View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN MILITER
TENTANG PEMANTAPAN SISTEM KAMAR UNTUK MEWUJUDKAN KESATUAN
HUKUM DAN MENINGKATKAN PROFESIONALISME HAKIM
Pada hari ini Rabu tanggal 31 Oktober 2012 dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah
Agung Republik Indonesia dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4
(empat) Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia di Manado, dengan tema
“Pemantapan Sistem Kamar untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim”.
Memperhatikan : 1. Pengarahan Ketua Mahkamah Agung RI.
2. Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang
Yudisial.
3. Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non
Yudisial.
4. Pengarahan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI.
5. Pengarahan Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI.
6. Pengarahan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan
Militer Mahkamah Agung RI.
Membaca : Paparan makalah yang disampaikan oleh Tuada Uldilmil MARI
(H. M. Imron Anwari, SH., Sp,N. MH.) tentang Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer dan Akibatnya.
Mendengar : 1. Tanggapan para peserta
2. Penjelasan :
a. Pemakalah.
b. Narasumber.
3. Permasalahan-permasalahan yang disampaikan dalam
Komisi III.
2
Menimbang : A. Bidang Teknis
1. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer
menimbulkan akibat baik aspek sosiologis, psikologis terhadap Terdakwa,
maupun berdampak positif dan negatif bagi Kesatuan. Oleh sebab itu
pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana pemecatan
perlu disusun dengan cermat sehingga alasan penjatuhan hukuman
tambahan pemecatan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Norma dasar bagi Hakim Militer untuk menjatuhkan pidana tambahan kepada
Terdakwa berupa pemecatan dari Dinas Militer dengan atau tanpa
pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata adalah ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 KUHPM yang mengatur bahwa
pemecatan dari Dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata, selain itu harus memperhatikan ketentuan
Pasal 39 KUHPM. Pidana tambahan pemecatan terhadap prajurit pada
prinsipnya merupakan hukuman yang dirasakan sangat berat, yang secara
nyata dapat menimbulkan kerugian bagi kesatuan dalam hal prajurit tersebut
memiliki keahlian khusus yang dapat secara langsung mempengaruhi tugas
pokok kesatuan. Hal lain yang perlu disoroti terkait dengan penjatuhan pidana
tambahan pemecatan dari Dinas Militer adalah yang berkaitan dengan
kewenangan Hakim dalam melakukan pengawasan dan pengamatan
terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dari Dinas Militer dan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum, mengingat kewenangan
pengamatan oleh Hakim Pengawas sudah tidak ada lagi terhadap prajurit TNI
yang telah dipecat dan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Dengan tidak adanya pengamatan secara berlanjut terhadap prajurit TNI yang
menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum, maka dapat
menimbulkan efek negatif apabila kelak setelah keluar dari Pemasyarakatan
Umum dengan keahliannya dapat digunakan untuk hal-hal yang negatif dan
tidak bertanggung jawab.
2. Upaya mediasi di lingkungan Peradilan Militer sampai saat ini tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
sedangkan ketentuan tentang prosedur mediasi di Pengadilan sebagaimana
3
Perma Nomor 01 Tahun 2008 dalam Pasal 4 hanya mengatur semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama. Kedepan
diharapkan lembaga mediasi ini dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara
pidana, termasuk penyelesaian perkara pidana di lingkungan Peradilan Militer.
Proses pemeriksaan perkara di lingkungan Peradilan Militer didasari pada
penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara (Papera) kepada
Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili (Vide Pasal 123
ayat (1) butir f Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer). Makna penyerahan perkara sebagai dimaksud dalam pasal tersebut
Pengadilan Militer diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
perkara tersebut yang berarti Pengadilan Militer diberikan kewenangan
sepenuhnya untuk menyelesaikan perkara yang dilimpahkan oleh Papera baik
melalui persidangan. Prinsip mediasi seyogianya dilaksanakan diluar
persidangan yang menjadi kewajiban Kepala Pengadilan Militer atau dapat
menunjuk Hakim mediasi. Tujuan mediasi pada prinsipnya untuk
penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban
termasuk kerugian yang diderita oleh Korban (victim). Oleh sebab itu yang
menjadi persoalan bagaimana penerapan mediasi yang tepat di lingkungan
Peradilan Militer dan perkara-perkara apa saja yang dapat diselesaikan
melalui lembaga mediasi, termasuk siapa saja yang terlibat dalam mediasi
tersebut dan apa produk hukum dari Pengadilan terhadap mediasi tersebut.
3. Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang penyesuaian
batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, yang mengatur
tentang tindak pidana ringan terhadap kejahatan dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 ayat (1) dan Pasal 482 KUHP yang ditentukan dengan nilai barang
atau uang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Pemeriksaan di persidangan atas perkara tersebut oleh Hakim Tunggal
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 205 ayat (1) jo ayat (3) sampai Pasal
210 KUHAP. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan tersebut tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
sebab sesuai ketentuan Pasal 211 ayat (1) jo ayat (3) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 acara pemeriksaan cepat dengan Hakim Tunggal hanya
berlaku pada perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan raya. Pada
4
prinsipnya pemeriksaan dengan Hakim Tunggal dalam perkara tertentu untuk
percepatan penyelesaian perkara dapat dilaksanakan di lingkungan Peradilan
Militer apabila berpedoman pada Perma Nomor 02 Tahun 2012, namun
demikian perlu ditentukan secara eksplisit tindak pidana ringan apa saja yang
dapat diperiksa dan diadili di lingkungan Peradilan Militer, mengingat
kejahatan dalam KUHPM tidak dikenal perkara dengan kualifikasi tindak
pidana ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan perkara dengan Hakim Tunggal di
lingkungan Peradilan Militer dapat menerapkan ketentuan tindak pidana
ringan sebagaimana dimaksudkan dalam Perma Nomor 02 Tahun 2012.
4. Penerapan Pasal 45 A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, terkait
dengan pembatasan Kasasi terhadap perkara pidana yang diancam dengan
pidana penjara 1 tahun ke bawah. Di lingkungan peradilan militer ancaman
pidana penjara 1 tahun ke bawah sering diikuti dengan pidana tambahan
berupa pemecatan dari Dinas Militer. Hal ini menimbulkan persoalan
mengingat hukuman tambahan pemecatan dirasakan lebih berat
dibandingkan dengan hukuman badan, sehingga perlu dipertimbangkan
adanya pengecualian upaya hukum kasasi terhadap penerapan Pasal 45 A
ayat (2) huruf b dalam hal adanya pidana tambahan pemecatan bagi Prajurit
TNI.
B. Bidang Non Teknis Peraturan Panglima TNI No. 11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 tentang tata
cara pernikahan, perceraian dan rujuk bagi Prajurit TNI, dalam Pasal 10 ayat (1)
menyatakan Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat
izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Persoalan yang timbul di
lapangan izin cerai bagi Prajurit TNI melalui prosedur yang berjenjang
dilaksanakan melalui penelitian oleh Bintal Satuan sebelum diajukan kepada
pejabat yang berwenang, sehingga Prajurit TNI yang mengajukan permohonan
cerai khususnya di Pengadilan Agama mendapat hambatan karena belum
adanya izin dari Komandan Satuan. Ada kalanya putusan perceraian oleh
Pengadilan Agama dijatuhkan sebelum adanya surat izin dari Komandan Satuan
5
mengingat izin cerai dari Kesatuan terlalu lama, dan akibatnya menimbulkan
persoalan dalam pembinaan personel dan administrasi yang dilaksanakan oleh
Satuan. Untuk mengatasi persoalan tersebut telah dikeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 tentang
petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun 1983 yang
mengatur batas waktu 6 bulan yang diberikan oleh Pengadilan Agama sebelum
memutus perkara tersebut untuk menunggu surat izin dari Komandan Satuan,
namun surat edaran tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Disamping itu
yang menjadi persoalan Pengadilan Agama terbeban karena terjadi penumpukan
perkara menunggu lamanya waktu yang diperlukan untuk selesainya perkara
perceraian yang salah satu pihaknya adalah Prajurit TNI, dan perlu diperhatikan
lagi di Pengadilan Agama masalahnya tidak hanya sampai pada perceraian,
namun akan berlanjut pada penentuan/gugatan harta gono-gini, hak asuh anak
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah agar SEMA
tersebut dapat dilaksanakan dan juga menjadi pedoman bagi Peradilan Agama
maupun pejabat di lingkungan TNI yang berwenang mengeluarkan izin tepat
pada waktunya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas terdapat beberapa
permasalahan sebagai berikut:
A. Bidang Teknis: 1. Apakah akibat yang ditimbulkan dengan adanya penjatuhan pidana tambahan
pemecatan terhadap prajurit TNI sesuai ketentuan Pasal 26 KUHPM?
2. Apakah Perma Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
Pengadilan dapat diterapkan di lingkungan Peradilan Militer ?
3. Apakah Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang
penyesuaian batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP,
dengan Hakim Tunggal dapat diterapkan di lingkungan Peradilan Militer ?
4. Apakah Pasal 45 A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung RI, dapat
dikecualikan dalam hal upaya hukum kasasi terhadap adanya penjatuhan
pidana tambahan berupa pemecatan dari Dinas Militer terhadap Prajurit TNI?
6
B. Bidang Non Teknis Apakah surat izin cerai yang dikeluarkan oleh Komandan Kesatuan
terhadap prajurit TNI yang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama dapat dikeluarkan dalam tenggang waktu 6 bulan sesuai dengan SEMA,
mengingat keterlambatan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap
percepatan penyelesaian perkara di lingkungan Pengadilan Agama?
PEMBAHASAN A. Bidang Teknis
1. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer bagi Prajurit
TNI dirasakan lebih berat dari pada pidana pokok berupa pidana badan, hal ini
dapat dilihat dari aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa di samping
itu penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit dapat
menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap Kesatuan.
Norma penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim dalam sidang
pengadilan adalah Pasal 26 KUHPM yang menegaskan bahwa Terdakwa
berdasarkan kejahatan yang dilakukannya dipandang tidak layak lagi untuk tetap
berada dikalangan Militer. Ukuran layak atau tidak layak tersebut tidak diberikan
definisi yang jelas dalam Undang-Undang, sehingga Hakim diberikan kebebasan
untuk menafsirkan ukuran layak atau tidak layak yang dijadikan dasar penjatuhan
hukuman tambahan pemecatan dari Dinas Militer.
Penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI juga
didasarkan penilaian Hakim Militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh
Terdakwa sehingga dianggap tidak layak lagi dipertahankan dalam kalangan
Militer. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim Militer tidak dapat dialihkan
kepada Hakim Peradilan Umum dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan.
Penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim Militer harus tercakup dan
tersirat dalam pertimbangan hukum putusan Hakim dan hal yang paling essensial
apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan maka keberadaan Terpidana dalam
kalangan Militer setelah selesai menjalani pidana akan menggoyahkan sendi-
sendi ketertiban dalam masyarakat Militer.
Hakekat yang menjadi dasar mengapa Hakim Peradilan Umum tidak
berwenang menjatuhkan pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas
Militer, adalah disebabkan karena wewenang penjatuhan pidana tambahan
7
pemecatan bersifat khas Militer dan menjadi kewenangan Hakim Militer,
walaupun mungkin dapat terjadi dalam hal seorang Prajurit TNI diperiksa di
Pengadilan Umum dalam perkara koneksitas, Hakim Militer juga turut duduk
dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka penjatuhan pidana
pemecatan dapat dilaksanakan. Selain itu akibat yang ditimbulkan dengan
adanya pidana tambahan pemecatan tersebut ditinjau dari aspek sosiologis
maupun psikologis akan berpengaruh langsung kepada Terdakwa, sedangkan
dampak bagi Kesatuan berpengaruh dalam pembinaan personel diantaranya
dapat menimbulkan efek jera terhadap Pajurit TNI yang lain, sehingga akan
menimbulkan kepatuhan para Prajurit terhadap peraturan yang ada. Ukuran
layak dan tidak layak selain berpedoman kepada peraturan yang berlaku juga
indikator yang digunakan adalah bahwa terdakwa pernah melakukan tindak
pidana (residivis) dan/atau melakukan tindak pidana berlanjut. Oleh sebab itu
ketentuan pasal 26 KUHPM wajib dicantumkan dalam setiap putusan pengadilan
dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer, apabila
dalam putusan tersebut tidak mencantumkan ketentuan pasal 26 KUHPM
berakibat putusan tersebut batal demi hukum.
2. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 123 ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Perwira Penyerah
Perkara mempunyai wewenang menyerahkan perkara ke Pengadilan dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) yang akan
digunakan sebagai dasar oleh Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara di
lingkungan Pengadilan Militer. Skeppera yang dikeluarkan oleh Papera tersebut
pada prinsipnya menyerahkan kepada Pengadilan Militer guna menyelesaikan
perkara tersebut. Sedangkan bagi Oditur dengan adanya Skeppera tersebut
diberi kewenangan untuk melaksanakan penuntutan terhadap perkara
sebagaimana yang tercantum dalam Skeppera tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
tidak dikenal lembaga mediasi, sebagaimana Undang-Undang Peradilan Umum,
Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan Perma
Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan dalam Pasal 4
hanya dikenal dalam perkara perdata melalui Hakim mediasi. Proses mediasi
dalam perkara pidana dimungkinkan dalam hal Terdakwa mengakui
8
perbuatannya, mampu membayar ganti rugi kepada korban, dan perkara yang
ancaman pidananya tergolong ringan. Sebagai contoh perkara kealpaan yang
menyebabkan orang lain luka-luka dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP. Dalam kasus
seperti ini upaya mediasi dapat dilakukan di luar persidangan yang diprakarsai
oleh Kepala Pengadilan atau Hakim mediasi yang ditunjuk. Dari penjelasan
tersebut di atas maka mediasi dalam perkara pidana bertujuan untuk percepatan
penyelesaian perkara dan juga memperhatikan kepentingan Korban. Oleh sebab
itu untuk mengikat agar mediasi tersebut dilaksakan seyogianya ada produk
Pengadilan berupa “Penetapan”. Dengan demikian perlu diatur tata cara dan
proses mediasi yang akan berlaku di lingkungan Pengadilan Militer, di samping
itu perlu segera ditentukan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan
melalui cara mediasi. Mengingat mediasi yang akan diterapkan di lingkungan
Peradilan Militer tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,
maka diperlukan payung hukum berupa Peraturan Mahkamah Agung yang
mengatur tentang tata cara dan prosedur mediasi di lingkungan Peradilan Militer,
dan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan melalui cara mediasi
sebagai wujud dari restorative justice.
Mediasi tersebut juga sebagai upaya atau kehendak terdakwa dan korban
untuk tidak menyelesaikan perkaranya di pengadilan mengingat proses
berperkara di pengadilan memakan waktu yang cukup lama, sehingga ada
pandangan keadilan tidak saja diperoleh di persidangan namun dapat diperoleh
di luar persidangan.
3. Dalam KUHAP acara pemeriksaan tindak pindana ringan diatur dalam
paragrap 1 bagian ke-6 dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP disidangkan
dengan Hakim Tunggal, sedangkan ketentuan tindak pidana ringan tidak diatur
secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer. Dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pada
dasarnya pemeriksaan sidang Pengadilan Militer dilaksanakan oleh Majelis
Hakim, namun demikian pengecualian persidangan dengan Hakim tunggal
dimungkinkan dalam kaitannya perkara-perkara pemeriksaan cepat, sesuai
ketentuan Pasal 211 sampai dengan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 diatur acara pemeriksaan cepat yang hanya berlaku bagi
9
pemeriksaan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan dengan pemeriksaan
oleh Hakim tunggal. Oleh sebab itu Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27
Februari 2012 dalam rangka percepatan penyelesaian perkara seyogyanya dapat
diterapkan juga dalam lingkungan Peradilan Militer.
4. Hak setiap warga negara dijamin dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
1945 pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J dan Undang-Undang Nomor 9
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut memberikan jaminan
kepada setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum
(equality before the law). Jaminan tersebut seharusnya tidak memberikan
batasan kepada setiap warga negara maupun prajurit yang akan membela hak-
haknya dalam melakukan penegakan dan upaya hukum. Sebagaimana kita
ketahui pidana tambahan berupa pemecatan dari Dinas Militer merupakan
hukuman yang berat bagi setiap prajurit. Dengan adanya ketentuan Pasal 45 A
huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 yang telah membatasi upaya hukum kasasi, hal tersebut pada prinsipnya
akan membatasi hak prajurit dalam upaya melakukan pembelaan diri yang
berkaitan dengan hukuman pidana tambahan berupa pemecatan. Dengan
adanya prinsip bahwa hukuman tambahan pemecatan dari Dinas Militer
merupakan hukuman yang dirasakan sangat berat, maka sudah selayaknya
ketentuan pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 dikecualikan terhadap prajurit yang dijatuhkan
pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer untuk melakukan upaya hukum
kasasi.
B. Bidang Non Teknis Izin cerai bagi Prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Peraturan Panglima
TNI Nomor 11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 tentang tata cara pernikahan,
perceraian dan rujuk bagi Prajurit TNI. Pasal 10 ayat (1) mengatur Prajurit TNI
yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin terlebih dahulu dari
pejabat yang berwenang. Dalam pelaksanaanya mengingat lamanya dikeluarkan
izin perceraian oleh pejabat yang berwenang melebihi tenggang waktu 6 bulan,
sehingga masih terjadi sebelum surat izin dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang gugatan perceraian telah diputus oleh Pengadilan Agama. Hal ini
10
menimbulkan kesulitan bagi Kesatuan dalam menertibkan administrasi personel
misalnya untuk menentukan status perkawinan yang masih tercatat di Kesatuan
terhadap istri yang sah. Oleh sebab itu dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 tentang petunjuk
pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun 1983 diharapkan
Pengadilan Agama yang menangani gugatan perceraian Prajurit TNI seyogianya
memperhatikan apakah prajurit tersebut sudah mendapat izin cerai dari
Komandan Satuan yang berwenang, sehingga tidak menimbulkan persoalan
dikemudian hari dalam pembinaan prajurit. Surat Edaran Mahkamah Agung
tersebut oleh Pengadilan Agama seyogianya dijadikan pedoman untuk
mengantisipasi terjadinya penyimpangan administrasi terkait dengan izin cerai
dari pejabat yang berwenang sebagai syarat formal yang harus dipenuhi oleh
setiap Prajurit TNI. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya
putusan perceraian oleh Peradilan Agama sebelum ada surat izin dari atasan
yang berwenang, maka perlu dilakukan koordinasi antara Pengadilan Agama
yang menerima gugatan perceraian Prajurit TNI untuk dapat menginformasikan
secara formal kepada Kepala Pengadilan Militer agar persyaratan surat izin cerai
dari Komandan Satuan dapat segera diterbitkan tidak melampaui tenggang
waktu 6 bulan sebagaimana ditentukan oleh surat edaran dimaksud. Agar
koordinasi antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer dapat berjalan
dengan baik, maka lebih tepat kiranya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
yang bersifat penekanan kembali kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 yang berisi perlunya memberikan informasi
kepada Pengadilan Militer dalam hal ada Prajurit TNI yang mengajukan gugatan
perceraian di Pengadilan Agama. Tujuan yang diharapkan dengan
diinformasikannya gugatan perceraian Prajurit TNI di Pengadilan Agama, maka
Pengadilan Agama tidak terbebani menunggu surat izin cerai yang dikeluarkan
oleh Kesatuan, sehingga diharapkan Kepala Pengadilan Militer dapat membantu
mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan percepatan
dikeluarkannya surat izin cerai oleh Pejabat yang berwenang.
11
KESIMPULAN A. Bidang Teknis
1. Pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer memiliki aspek
sosiologis maupun psikologis yang akan berpengaruh langsung kepada diri
pribadi Terdakwa, sedangkan dampak pada Kesatuan berpengaruh dalam
pembinaan personel diantaranya dapat menimbulkan efek jera terhadap
Pajurit TNI yang lain. Dalam menjatuhkan hukuman tambahan pidana
pemecatan dari Dinas Militer Hakim wajib mencantumkan ketentuan Pasal 26
KUHPM, apabila ketentuan Pasal 26 KUHPM tidak dicantumkan dalam
putusan dapat berakibat putusan batal demi hukum.
2. Pelaksanaan Mediasi dalam perkara pidana di lingkungan Pengadilan Militer
pada prinsipnya dapat dilaksanakan diluar persidangan oleh Kepala
Pengadilan Militer atau Hakim mediasi yang ditunjuk dalam perkara-perkara
tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, dan
perkara-perkara lain yang oleh pendapat Ketua Pengadilan dapat
diselesaikan melalui mediasi, yang bertujuan untuk percepatan penyelesaian
perkara dan melindungi kerugian yang timbul dari pihak korban. Adapun
produk yang dikeluarkan Pengadilan dari hasil mediasi tersebut berupa
“Penetapan”. Oleh sebab itu diperlukan payung hukum berupa Peraturan
Mahkamah Agung yang mengatur tata cara dan prosedur mediasi di
lingkungan Peradilan Militer, dan tindak pidana apa saja yang dapat
diselesaikan melalui cara mediasi.
3. Acara pemeriksaan dengan Hakim Tunggal di lingkungan Peradilan Militer
hanya dikenal dalam perkara pemeriksaan cepat (perkara lalu lintas dan
angkutan jalan) sesuai ketentuan Pasal 211 sampai dengan Pasal 214
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Dengan berlakunya Perma Nomor
02 Tahun 2012 dalam rangka percepatan penyelesaian perkara, maka
pemeriksaan dengan Hakim Tunggal dapat diterapkan di lingkungan
Peradilan Militer, namun demikian perlu ditentukan secara jelas perkara apa
saja yang dapat diselesaikan dengan Hakim Tunggal, sehingga diperlukan
payung hukum berupa Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur tentang
hal tersebut.
12
4. Ketentuan Pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yang telah membatasi upaya hukum
kasasi, perlu adanya pengecualian bagi Prajurit TNI yang dijatuhi pidana
tambahan pemecatan dari Dinas Militer dapat mengajukan upaya hukum
kasasi, oleh sebab itu perlu didukung dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI.
B. Bidang Non Teknis Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17
April 1984 tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun
1983 adanya batas waktu 6 bulan yang diberikan oleh Pengadilan Agama
dikeluarkannya surat izin cerai oleh pejabat yang berwenang di lingkungan TNI,
seyogianya dipedomani sebagai syarat formal yang harus dipenuhi oleh setiap
Prajurit TNI. Oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antara Pengadilan Agama
dengan Pengadilan Militer, sehingga surat izin cerai yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang di lingkungan TNI tidak melampaui batas waktu yang
sudah ditentukan.
SARAN Berkenaan dengan uraian pembahasan dan kesimpulan tersebut di atas,
bersama ini disampaikan saran / rekomendasi kepada Yang Mulia Ketua
Mahkamah Agung RI sebagai berikut:
1. Mohon menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai penekanan
kembali Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17
April 1984, yang berisi agar Pengadilan Agama menginformasikan kepada
Pengadilan Militer dalam hal adanya gugatan perceraian oleh Prajurit TNI di
Pengadilan Agama, guna membantu percepatan penyelesaian perkara.
2. Mohon menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berisi
pengecualian penerapan Pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
terhadap Prajurit TNI yang mendapat hukuman tambahan dipecat dari Dinas
Militer berhak mengajukan upaya Hukum Kasasi.
13
3. Mohon menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai payung hukum
dalam rangka pelaksanaan mediasi dalam perkara pidana di lingkungan
Peradilan Militer.
Recommended