View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembahasan mengenai oposisi bukanlah merupakan hal baru dalam bidang
ilmu politik. Oposisi dalam terminologi ilmu politik barat dikenal sebagai
kanalisasi terhadap sejauh mana mekanisme sebuah demokrasi yang
dikembangkan rezim menutup atau membuka peluang bagi berkembangnya visi
politik lain diluar jalur yang telah ditentukan, yang secara politis akan
memungkinkan pihak luar menilai atau mempertanyakan arah penyelenggaraan
kekuasaan negara oleh pemegang kekuasaan
Dilihat dari perspektif kaum kulturalis bahwa di negara-negara pada
umumnya, kultur oposisi dipandang sebagai subkultur demokrasi dimana
golongan atau partai yang dalam kurun waktu tertentu tidak duduk dalam
pemerintahan dilindungi haknya untuk berperan menjadi semacam counter player
terhadap penguasa (The ins). Counter player ini (the out) bertindak sebagai
pengontrol sekaligus evaluator kebijakan rezim, sehingga memungkinkan
munculnya program-program alternatif (tandingan).
Setiap kekuasaan yang sedang berjalan, diperlukan adanya pengontrol. Hal
ini dikarenakan sifat kekuasaan itu cenderung pada penyimpangan, seperti halnya
yang dikemukakan Lord Acton bahwa “power tends to corrupt”. Hal ini disinyalir
secara eksplisit oleh al-Qur’an melalui perkataan Ratu Balqis: “Sesungguhnya jika
seorang raja masuk ke sebuah desa, maka ia akan merusaknya dan menjadikan
kemuliaan penduduknya terhina” (QS. An-Naml: 34). Secara terperinci dan detail
17
islam tidak mengatur oposisi, namun agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW memberikan napas, nilai-nilai dasar, dan garis-garis besar bagaimana
beroposisi. Dalam arti menjadi umat yang kritis dan berpihak kepada kebenaran
dengan cara mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran (ta'muruuna bi
al ma'ruf wa tanhauna 'anil munkar). Begitu pula dalam al-Qur'an surah Al 'ashr
ayat tiga digariskan secara gamblang agar kita saling menasihati dengan
kebenaran dan kesabaran, dalam hal inilah oposisi di Indonesia di perlukan.
A. Oposisi dalam Konteks Demokratisasi Politik
1. Teori- Teori Oposisi
1.1 Landasan Teoretik
1.1.1 Teori Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor disini
tentunya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Aktor dipandang sebagai
manusia yang mempunyai tujuan atau maksud tujuan dan tindakannya tertuju
pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun ditandai mempunyai pilihan
(nilai, keperluan). Maka penulis menggunakan teori ini untuk mengetahui apa
yang menjadi tujuan PDI Perjuangan membuat pilihan sebagai partai oposisi.
Setelah koalisi kebangsaan gagal menempatkan Megawati Soekarnoputri dan
Hasyim Muzadi menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum
(PEMILU) 2004, tentunya menjadi pilihan rasional Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) setahun kemudian memproklamirkan diri sebagai partai
oposisi. Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan apa yang menjadi tujuan
18
utama PDIP menentukan sikapnya sebagai partai oposisi? Politik selalu
dihadapkan pada pilihan-pilihan beresiko. Berbagai pilihan tersebut dapat menjadi
"benar" apabila didekati dengan rasionalitas. Itulah mengapa dalam ilmu politik
dikenal teori pilihan rasional (rational choice theory).
1.1.2 Teori Kecerdasan Oposisi
James Redfield bukanlah seseorang yang dikenal sebagai seorang analitis
politik. Namun idenya menggagas suatu teori tentang “kecerdasan oposisi” yakni
suatu bentuk kecerdasan selain kecerdasan intelektual, emosional, serta spiritual,
dapat kita kembangkan untuk melihat bagaimana suatu kekuatan oposisi bisa
berjalan efektf. Inti kecerdasan itu meliputi; pilihan ideology gerakan, sumber
daya kelembagaan, SDM aktornya, manajemen gerakan, serta jejaring kerja, salah
satunya akan menunjukan bagaimana PDI Perjuangan manggalang kekuatan
oposisi dalam parlemen. Selain itu teori kecerdasan oposisi akan memperlihatkan
sejauh mana kecerdasan PDIP untuk mewujudkan oposisi yang efektif.
1.2 Makna dan Bentuk Oposisi
1.2.1 Makna Oposisi
Untuk memahami makna oposisi ada baiknya apabila kita melihat makna
dasar dari kata tersebut. Secara etimologis oposisi berasal dari bahasa Inggris
yakni opposition. Bahasa Latin opposites, opponore yang berarti menghadapkan,
membantah, menyanggah. Secara terminologis, menurut Lorens Bagus (1996:754)
“Oposisi diartikan sebagai dinamisator yang ada dalam usaha dan kegiatan yang
19
berjalan kearah yang berlawanan, baik dalam eksistensi yang berlainan atau sama,
dalam keadaan seimbang oposisi bisa tersembunyi”. Dalam hal ini polaritas atau
oposisi-oposisi terjadi diantara prinsip-prinsip eksistensi yang interistik, yang
telah melahirkan eksistensi partikular. Hal ini dingkapkan oleh Dahl (1973:121) :
“Dalam konteks ini fenomena oposisi diartikan sebagai pendapat, sikap, dan
tindakan, yang bebeda atau berlawanan dengan garis pemegang kendali politik
pemerintahan.”
Fenomena yang diungkapkan oleh Dahl diatas bahwa oposisi berarti cara
menyatakan pendapat, sikap, dan tindakan yang berbeda dengan kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau pemegang kekuasaan. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Marbun (2005:386) bahwa “Oposisi diartikan sebagai
kelompok yang mempunyai pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan
kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, tapi lawan
dalam percaturan politik.”
Hal ini diperjelas oleh Arbi Sanit (1985:5) bahwa “oposisi adalah partai
atau sekelompok partai politik yang memposisikan diluar pemerintahan dan
menjalankan fungsi kontrol secara kritis terhadap pemerintah”. Jadi oposisi
diharapkan mampu mengontrol jalannya pemerintahan baik dalam proses
pembuatan kebijakan publik, maupun pengawasan tehadap pelaksanaan suatu
kebijakan publik.
Sehingga oposisi sebenarnya bukanlah sebuah kebutuhan, melainkan
kenyataan tak terhindarkan. Keberadaan oposisi membuat negara memliki counter
player karena sebagaimana yang diidentifikasi oleh Ghita Ionescu dan Isabel de
20
Madriaga (1982:36) bahwa “oposisi hadir sebagai pemerhati, pengontrol dan
evaluator perilaku dan kinerja negara.” Oposisi dibutuhkan oleh negara-negara
yang mengaku sebagai negara demokrasi untuk manjadi sparing partnernya.
Dari beberapa pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa oposisi
adalah ucapan atau perbuatan suatu kelompok politik atau golongan masyarakat
yang mempunyai pendirian bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang
menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, melainkan sparing patner
dalam percaturan politik yang menjalankan peran kontrol dalam pemerintahan
dalam rangka menegakan demokrasi dan membangun Good Governance.
1.2.2 Bentuk Oposisi
Format oposisi lazimnya berbeda-beda pada setiap negara demokrasi
karena amat tergantung pada sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang
berlaku. Format oposisi dalam sistem pemerintahan presidensial jelas berbeda
dengan pola oposisi dalam sistem pemerintahan parlementer. Begitu pula format
oposisi dalam sistem multipartai tidak sama dengan oposisi dalam sistem dua
partai dominan. Skilling (1990: 90-91) membedakan oposisi ke dalam empat tipe,
yaitu:
1. Oposisi integral, yaitu oposisi yang ditujukan kepada sistem (anti komunis) atau negara secara keseluruhan.
2. Oposisi faksional, yaitu oposisi yang diajukan kepada para pemimpin (secara individu bukan rezim atau sistem secara keseluruhan) yang sedang berkuasa.
3. Oposisi fundamental, yaitu oposisi atau kritikan kepada seluruh rangkaian kunci dari rezim yang berkuasa, tetapi tidak menolak sistem itu sendiri.
4. Oposisi spesifik, yaitu oposisi yang ditujukan kepada kebijakan-kebijakan tertentu (yang merupakan bagian dari kebijakan umum) tanpa menolak rezim, para pemimpin, maupun kebijakan umum (besar).
21
Robert A. Dahl (1996:57) menyatakan tidak ada suatu pola oposisi tunggal
di negara-negara demokrasi. Dari segi tujuannya, paling kurang ada empat pola
oposisi, yaitu:
1. Oposisi dalam rangka mengubah kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah.
2. Oposisi yang bertujuan mengubah personalia pemerintahan. 3. Oposisi untuk mengubah struktur politik yang berlaku. 4. Oposisi dalam rangka mengubah struktur sosial ekonomi.
Selain dapat ditinjau atas dasar tujuannya, oposisi juga bisa dibedakan atas
dasar kohesivitas, pola persaingan, ciri khas, lingkungan pertarungan, dan pilihan
strateginya. Dalam negara demokrasi yang telah mapan di mana sistem politik dan
pemerintahan telah diterima masyarakat, tujuan oposisi terbatas pada upaya
mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem-sistem
demokrasi yang masih mencari bentuk sehingga implementasinya masih
dipersoalkan oleh publik, tujuan oposisi bisa lebih jauh, mulai dari mengubah
personalia pemerintahan, struktur politik, bahkan struktur sosial ekonomi yang
berlaku.
2. Perkembangan Oposisi di Indonesia
Kata oposisi akan mengingatkan pada aktivitas gerakan-gerakan
demonstrasi di jalanan, atau pada tokoh-tokoh intelektual yang sering memberikan
pandangan kritisnya terhadap jalannya pemerintahan. Pemahaman tentang oposisi
yang lebih bergerak ditingkat masyarakat ini dapat dipahami, karena peran oposisi
di tingkat parlemen tidak pernah penting dalam sejarah Indonesia kecuali pada
periode pemerintahan liberal pada tahun 1950an. Saat itu Indonesia menganut
22
sistem pemerintahan parlementarian, sebuah sistem yang menginstitusionalisasi
aktivitas oposisi dalam parlemen. Pasca periode tersebut, sistem ketatanegaraan
kembali menjadi republik, sistem oposisi dalam parlemen pun menghilang dari
kehidupan politik Indonesia.
Ketiadaan sistem oposisi yang kuat bukan hanya hilang akibat dari
pergantian sistem ketatanegaraan, di negara dengan sistem ketatanegaraan
parlementarian yang sudah mapan pun, yakni di negara-negara welfare state
seperti Skandinavia dan di negara-negara maju lainnya, aktivitas gerakan oposisi
terus berkurang, khususnya sejak Perang Dunia (PD) II (Ionescu & de Madariaga,
1968:15). Situasi ini disebabkan peningkatan peran dan tugas pemerintah
(eksekutif) yang lebih membutuhkan perhatian dan kajian yang lebih mendalam.
Kajian terhadap peran negara pun terus meningkat diiringi dan diikuti oleh
penurunan drastis kajian tentang peran legislatif, termasuk oposisi di dalamnya
(Ionescu & de Madariaga, 1968:12). Elemen kontrol yang menjadi fungsi dasar
dari oposisi dipahami sebagai pengganggu pelaksanaan tugas sehari-hari
pemerintah.
Kajian tentang gerakan oposisi di Indonesia sempat berdinamika setelah
rezim otoritarian hancur di Indonesia. Meski pada beberapa tahun berikutnya,
nada skeptis mulai ditemukan dalam kajian-kajian yang melihat bahwa tidak
banyak yang berubah pasca perubahan politik. Meski harus diakui bahwa dari segi
kuantitas, perubahan politik telah menciptakan kepercayaan diri masyarakat
Indonesia yang ditandai dengan banyaknya gerakan-gerakan kemasyarakatan.
23
2. 1 Oposisi Pada Masa Soekarno
Sejarah Indonesia yang berdaulat pada awalnya telah berjalan tepat
menuju pembentukan oposisi. Tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia, Wakil
Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat no. X pada November 1945
tentang pembentukan partai-partai politik dimana Indonesia memasuki sistem
multi partai.
Secara sistemik, demokrasi liberal telah mengkondisiskan terbangunnya
peluang bagi perbedaan, kompetensi, dan sirkulasi kekuasaan. Bahkan, dinamika
politik dimasa itu yang berjalan secara sangat cepat telah melahirkan sistem
politik yang dinamis, tentu saja dengan segenap biaya politiknya seperti
terbengkalainya program-program konkret ekonomi. Di saat yang sama,
eksperimen multipartai dan demokrasi liberal telah membangun perlahan-lahan
sejumlah perangkat kultural yang penting. Perangkat-perangkat kultural yang
dibangun oleh sistem liberal parlementer saat itu diantranya: penghargaan atas dan
kesiapan menjalani perbedaan, kesiapan menjalani kompetisi politik secara sehat,
kesiapan untuk menjalani sirkulasi kekuasaan, kesiapan untuk menjadi pemenang
yang baik dan menjadi pecundang yang baik, serta kesiapan untuk membangun
toleransi lintas kelompok, lintas ideologi, dan lintas kepentingan.
Pada pemilu 1955 ditandai oleh kesiapan sistemik dan kultural yang relatif
baik. Disamping itu, tradisi oposisi berkembang secara cukup sehat. Studi-studi
tentang masa itu, selalu menggambarkan betapa suasana kehidupan politik di
tandai oleh pertentangan-pertentangan antar kelompok, antar ideologi, antar
kepentingan namun dalam suasana saling toleransi antar kelompok, ideologi, dan
24
kepentingan itu. Oposisi terbangun sebagai sesuatu yang rutin dan biasa, tidak ada
tendensi peniadaan oposisi karena oposisi tidak dianggap sebagai ganjalan atau
gangguan.
Tetapi sejak Soekarno merubah demokrasi liberal menjadi demokrasi
terpimpin, maka dimulailah proses penghancuran kondisi yang mendukung
kehadiran oposisi di Indonesia. Hal ini berlanjut pada masa orde baru yang
melakukan pembinasaan oposisi.
2. 2 Oposisi Pada Masa Soeharto
Orde Baru sebagai sistem politik yang otoritarian tidak sepenuhnya anti
oposisi seperti yang terjadi dalam sistem politik totaliter, meskipun keberadaan
oposisi pada masa ini sering disebut dengan oposisi jalanan atau oposisi berserak,
karena terbatas pada demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ataupun
mahasiswa, dan pihak lainnya yang cenderung ditiadakan atau diberantas oleh
penguasa orde baru karena dianggap sebagai pengganggu jalannnya pemerintahan.
Negara totaliter seperti bekas Uni Soviet atau Republik Rakyat Cina hanya
mengizinkan satu partai politik berkuasa, yakni Partai Komunis, Orde Baru
memberi peluang kepada dua partai, yakni, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Walaupun selalu di bawah tekanan, PDI dan PPP memiliki kesempatan
bermanuver sebagai tandingan pemerintah. Manuver itu dimungkinkan setidaknya
lima tahun sekali dalam masa kampanye pemilu.
25
Begitu pula dengan masyarakat sipil. Meski Orde Baru menerapkan
korporatisme negara, dengan berbagai kelompok masyarakat seperti asosiasi
profesi diwadahtunggalkan, tapi masih ada kelompok yang memainkan peran
oposisi, yakni oposisi di tingkat masyarakat dan lembaga formal pemerintahan.
Sejak Orde Baru berkuasa walaupun semua hal dikontrol ketat, tidak
menghalangi kelahiran generasi oposisi pada tahun 1970an, 1980an, yang
dimotori mahasiswa dan pers (Raillon, 1985:43), dengan agenda dasarnya adalah
mengoreksi kebijakan pemerintah. Reaksi pemerintah Orde Baru tarik ulur
terhadap gerakan oposisi ini. Salah satunya adalah memberantas gerakan ini pada
tahun 1974 lewat peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 15 Januari (Malari).
Antiklimaks lain yang menjadi titik balik bagi gerakan oposisi Indonesia adalah
ketika pada awal tahun 1990an Presiden Soeharto mengatakan secara terbuka
bahwa semua gerakan yang mengritik pemerintahannya akan ditindak. Sejak itu
kekerasan mewarnai banyak kebijakan pemerintah terhadap masyarakatnya.
Disela-sela periode 1980an dan 1990-an, adanya eksistensi kelompok oposisi di
berbagai arena, seperti mantan tentara dalam Petisi 50, atau gerakan-gerakan
mahasiswa di kampus yang berlindung di balik kebebasan akademis. Pada masa
itu juga ada Forum Demokrasi yang dimotori Gus Dur, atau Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang didirikan Adnan Buyung Nasution dan
kawan-kawan. Ada pula oposan individual yang menonjol seperti Arief Budiman
dan Sri Bintang Pamungkas. Pada berbagai kesempatan dan isu yang sensitif
secara politik misalnya suksesi, para oposan sipil ini menyuarakan kritik mereka
pada rezim orde baru atau kepada Soeharto pribadi.
26
Secara umum, di masa orde baru oposisi politik selalu hadir walaupun
ruang geraknya sangat terbatas. Rezim memberi ruang yang sempit, namun dapat
dimanfaatkan para oposan yang memainkan politik oposisinya dengan baik
walaupun selalu dihantui para penguasa yang menganggapnya devil atau
pengganggu.
Dapat dikatakan terjadinya gelombang reformasi 1998 yang akhirnya
menurunkan Soeharto dari kekuasaannya selama tiga puluh dua tahun diawali
dari gerakan-gerakan yang dipersiapkan para oposan itu. Pada titik inilah mencuat
kebutuhan yang tidak terhindarkan, yakni membangun oposisi baik dalam visi
maupun misi. Dengan terbangunnya opsisi yang permanen dan solid, cepat atau
lambat demokratisasi sistem politik sebetulnya akan menjadi keharusan sejarah.
Dalam konteks inilah Indonesia baru yang demokratis, adil, dan terbuka
membutuhkan terbangunnya oposisi secara permanen dan solid.
2. 3 Oposisi Pada Masa Reformasi
Memasuki era reformasi pembicaraan mengenai oposisi menjadi sangat
terbuka, bahkan banyak partai berlomba-lomba memproklamirkan diri akan
menjadi oposan dengan pemerintahan yang akan berkuasa. Hal ini sangat berbeda
dengan periode sebelumnya dimana oposisi menjadi hal yang tabu, tidak hanya
dalam praktek tetapi juga dalam pembicaraan.
Salah satu tujuan reformasi adalah mengupayakan terciptanya struktur-
struktur politik baru yang lebih demokratis. Dunia perpolitikan Indonesia
memerlukan terobosan-terobosan dalam upaya mengawali momentum tersebut.
27
Diantaranya dengan mengadopsi kultur oposisi yang diharapkan mampu
memperkokoh konsep check and balances dalam format yang lebih ideal pada
keseluruhan kinerja dan hubungan antar lembaga politik. Oleh karenanya
pelembagaan atas kultur oposisi menjadi sebuah langkah penting untuk menjamin
pluralitas politik yang tidak diwadahi dalam pemerintahan sebelumnya.
Seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan)
yang kini mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla. Keputusan itu disampaikan dalam kongres 2005 di Bali.
Sikap oposisi yang diambil PDI Perjuangan merupakan tradisi baru dalam sistem
politik Indonesia. Untuk itu adalah tantangan tersendiri bagi para pengurus dan
kader partai untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa kelak sistem ini akan
baik bagi perkembangan demokrasi Indonesia.
3. Peran Partai Politik sebagai Oposisi dalam Mewujudkan
Demokratisasi
3. 1 Partai Politik sebagai Oposisi
Menurut Roger H. Soltau (dalam Soelistiyati Ismail :1984; 111-112), yang
dimaksud dengan partai politik adalah :
Partai politik terdiri dari sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang memakai kekuasaan memilih bertujuan, mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Sedangkan menurut Miriam Budiarjo (1998 : 16), yang dimaksud dengan
partai politik adalah : “Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah
28
suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.”
Sedangkan menurut Carl J. Friedrich (Cecep Darmawan, 2008:63) ”Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
untuk merebut kekuasaan terhadap pemerintah, dimana kekuasaan ini akan
memberikan manfaat yang bersifat idiil dan materiil kepada anggota partainya.”
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama, yang memiliki tujuan memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan, serta dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan
melaksanakan berbagai kebijaksanaannnya,
Hal tersebut sejalan dengan partai politik menurut Undang-Undang No.2
tahun 2008 (Pasal 1) yang dimaksud dengan partai politik adalah:
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan partai politik oleh sekelompok masyarakat tentunya
memiliki tujuan dan fungsi. Dalam prakteknya, tujuan partai politik ini harus
tepat dengan apa yang telah digariskan dalam aturannya. Carl J. Friedrich
(Budiarjo: 1982; 161) bahwa :
Tujuan partai politik untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, menitikberatkan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material.
29
Tujuan dan fungsi parati politik dalam hal ini pun diatur dalam Undang-
undang nomor 2 tahun 2008 pasal 10 ayat 1 dan 2, bahwa:
1. Tujuan Umum Partai Politik adalah: a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Tujuan Khusus Partai Politik adalah: a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam pasal 11 Undang-undang nomor 2 pasal 1 tahun 2008 mengatur
tetang fungsi partai politik yaitu:
Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Sejalan dengan pendapat Maurice Duverger (dalam Teuku May Rudi:
1992; 66) yang menyatakan bahwa fungsi partai politik adalah :
a. Pendidikan politik (political education); b. Seleksi politik (political selection); c. Penghimpunan (kegiatan) politik (political aggregation);
30
d. Saluran pernyataan kepentingan (interest articulation); e. Pengawasan/pengendalian politik (political control); f. Komunikasi politik (political comunication).
Jika setiap partai politik mampu menjalankan fungsinya dengan maksimal,
maka demokratisasi politik Indonesia akan semakin bergerak pada arah yang lebih
baik. Meskipun memang dalam melaksanakan tujuan dan fungsinya bukan hal
yang mudah.
Seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli diatas bahwa salah satu
fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik baik kepada kader
ataupun masyarakat umumnya. Dalam konteks ini, oposisi harusnya menjadi salah
satu bagian dari pendidikan politik karena partai memiliki sikap politik yang telah
ditentukan dan mau tidak mau menuntut para kadernya memiliki kapabilitas
dalam beroposisi.
Pembicaraan mengenai oposisi politik dapat dibagi ke dalam dua jenis
aktor, yaitu aktor masyarakat politik dan aktor masyarakat sipil (civil society).
Keduanya sama-sama melakukan pengawasan atau checks and balances, terhadap
pemerintah yang berkuasa. Bedanya adalah, pada aktor pertama oposisi terhadap
pemerintah dilakukan oleh masyarakat politik yang terdiri dari partai politik atau
para politikus. Sementara itu bagi ranah kedua, oposisi dipraktekkan oleh
masyarakat sipil seperti aktivis lembaga swadaya pemerintah (LSM), aktivis
organisasi masyarakat (ORMAS), intelektual, atau seniman.
Diamond (Cecep Darmawan, 2008:140) mengajukan lima ciri masyarakat
sipil yang dapat dibedakan dari masyarakat politik. Kelima ciri tersebut adalah:
a. Masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik, bukan tujuan-tujuan privat.
31
b. Masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan negara, tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas negara atau mendapat posisi dalam negara. Masyarakat sipil tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh.
c. Masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman, artinya bahwa organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik.
d. Masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan kepentingan berbeda pula.
e. Masyarkat sipil haruslah dibedakan dari fenomena civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civil community adalah konsep yang lebih luas sekaligus lebih sempit; lebih luas karena ia mencakup semua janis perhimpunan (termasuk parokial), dan lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur dan horizontal di seputar ikatan yang mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai.
Iklim politik demokrasi era reformasi memungkinkan partai politik
tumbuh bebas tanpa hambatan politik dari pemerintah, tiap partai politik dan para
politikus bebas mengeluarkan kritik dan pendapat yang berbeda dengan
pemerintah.
Di negara demokrasi manapun peran partai politik amat penting. Termasuk
Indonesia, yang parpolnya memiliki kekuasaan amat besar. Selain di legislatif
pusat dan daerah, jabatan eksekutif: presiden-wapres, gubernur-wagub, bupati-
wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, harus melalui nominasi partai politik
(PARPOL). Juga jabatan kenegaraan, seperti gubernur, duta besar, ketua
Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), panglima
Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan kepala Polisi Republik Indonesia (PolRI),
harus melalui fit and proper test di DPR sebagai kepanjangan tangan dari partai
politik, menyusun kabinet pun Presiden perlu berkonsultasi dengan parpol.
Partai politik yang berperan sebagai kontrol bagi pemerintah sekaligus
juga mitra (sumber inspirasi atau input) pemerintah dalam merumuskan kebijakan
32
publik harus dapat menjalankan perannya dengan baik. Robert A. Dahl dalam
Budiarjo (1982:109) secara tegas mengatakan bahwa “Partai politik merupakan
manifestasi yang nyata dan bentuk oposisi yang paling efektif.” Maka cukup tepat
jika oposisi yang sedang dijalankan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
dilihat dari perspektif ini.
Gabriel A. Almond dan Coleman menambahkan fungsi partai politik yang
ideal salah satunya adalah dengan melakukan oposisi, adapun fungsi partai politik
yang diungkapkan kedua ahli tersebut (1960:167) yaitu:
Pertama berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik ataupun output pada umumnya. Kedua berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai politik yang bersangkutan). Ketiga berperan untuk dapat memadu tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga partai politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat diterima dan diterima oleh masyarakat secara luas. Menurut Gabriel Almond (1999: 96) “Partisipasi politik diawali oleh
adanya artikulasi kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol
sumber daya politik seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang
diktator militer.” Peran mereka sebagai agregator politik (penggalang/penyatu
dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi politik selanjutnya.
Oleh karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999) terbagi ke
dalam 3 kategori seperti ilustrasi berikut ini:
33
Partisipasi politik Almond
Fungsi artikulasi kepentingan ini biasanya dilakukan oleh struktur yang
disebut dengan interest group atau kelompok kepentingan. Interest group pada
awalnya menampung kepentingan-kepentingan yang diajukan masyarakat.
Kemudian kelompok-kelompok kepentingan itu membuat rumusan untuk
kepentingan-kepentingan tersebut. Kemudian disampaikan kepada badan-badan
politik maupun pemerintah yang berwenang untuk membuat sebuah
kebijaksanaan, dan diharapkan akan memperleh tanggapan yang mungkin
berwujud sebuah kebijaksanaan yang memungkinkan terpenuhinya kepentingan-
kepentingan masyarakat.
Dalam konteks sistem politik yang tidak kondusif bagi oposisi dari
masyarakat politik, harapan tinggal tertuju pada masyarakat sipil. Hal ini sejalan
dengan Budiman (1991:365) Bahwa “Dalam membicarakan isu demokratisasi
secara konseptual, maka pertama-tama harus mengacu pada dua aktor yang
kondusif untuk mewujudkan demokratisasi yaitu state (negara) dan civil society
INTEREST ARTICULATION
(Artikulasi Kepentingan)
INTEREST ARTICULATION
(Artikulasi Kepentingan)
INTEREST AGGREGATION
(Penyatuan Kepentingan)
POLITICAL PARTICIPATION (Partisipasi Politik)
34
(masyarakat sipil).” Civil society akan menjadi aktor dalam agenda gerakan
oposisi tersebut. Masyarakat sipil ( civil society) adalah ruang dan aktor penting
dalam gerakan sosial menuju demokrasi. Maka dalam agenda oposisi inipun
masyarakat sipil mendapat tampat utama untuk menjadi aktor utama.
Adapun menurut Gramsci (Cecep Darmawan, 2008: 138) “Civil society
adalah golongan yang secara sadar ingin membongkar historical block yang
dibangun oleh dua sistem pertama, yakni negara dan pasar.”
Menurut Francis Fukuyama (dalam Siagian, 1994 : 332) analisis mengenai
perkembangan peran civil society, baik dalam tingkat teori maupun tingkat
praktikal/empirik mengisyaratkan bahwa “Peran civil society dapat diamati dari
bentuk keterlibatan warga masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan-
keputusan politik ditingkat suprastruktur politik.”
Menurut Hendardi (1993:129), karakter civil society dapat dilihat dari
faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ditingkat civil society masyarakat melakukan kegiatan politik secara kolektif melalui partisipasi politik anggota masyarakat secara luas;
b. Pada tingkat civil society terdapat phase perkembangan yang bersifat on going process ditingkat grassroot politics. Pada tingkat grassroot politics, masyarakat melakukan kegiatan politik secara agresif ditingkat infrastruktur politik, sedangkan para elit politik cenderung bersifat defensif untuk membungkam tuntutan dan protes dari masyarakat.
c. Gerakan civil society terfokus pada “praksis politik” yang mengacu pada gerakan yang transparan, untuk kemudian merambah secara luas ketingkat negara. Ini berarti bahwa negara tidak boleh tidak vis a vis dengan kekuatan civil
society sebagai kekuatan penyeimbang (oposisi). Sejalan dengan Dahl, Karel Van
Het Reve menilai oposisi sebagai sebuah kelompok yang sangat longgar yang
melakukan pertentangan terhadap pemerintah dimana mereka tinggal. Dua ahli ini
35
mengakui keberadaan oposisi extra-parlementer, baik yang terdiri atas individu
atau kelompok, baik itu partai maupun kelompok penekan (pressure group). Jadi
yang dimaksud dengan oposisi disini bukan hanya partai oposisi vis a vis dengan
partai pemerintah, melainkan dengan semua unsur yang sifatnya bersebarangan
dengan penguasa. Hal ini ditunjukan dengan cara yang konstitusional maupun
revolusioner.
Indonesia sedang mengalami Transisi demokrasi yang harus dikelola
dengan baik. Sehingga tidak melahirkan kepemimpinan yang otoriter dan
dominatif. Asumsi yang logis atau konotasi dari masa transisi adalah terjadinya
perubahan yang membaik yakni dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik
menjadi lebih baik lagi, dari yang hitam menjadi putih, dari yang putih menjadi
lebih putih bersih lagi. Kalau tidak begitu maka bukan lagi transisi namanya
melainkan erosi, degradasi dan bahkan dekadensi demokrasi. Salah satu upaya
pengelolaan transisi adalah melalui gerakan oposisi
Hal ini senada dengan pemikiran Robert A. Dahl (1973:1-16) “bahwa
diakui kehadiran oposisi atau kompetensi antara pemerintah merupakan salah satu
aspek demokratisasi yang paling penting.” Hal ini berhubungan dengan
karakteristik kunci demokratis yaitu diberikannya preferensi-prefernsi yang kuat
disertai kesempatan yang sama bagi para warganegaranya. Melalui beberapa
argumennya Dahl beranggapan bahwa setiap negara di dunia ini selalu ada yang
bisa disebut sebagai oposisi sekalipun negara itu dianggap sebagai negara yang
tidak demokratis. Pernyataan ini diperkuat oleh Austin Ranney (1990: 37) bahwa
“Keberadaan oposisi adalah kenyataan historis yang tidak terhindarkan oleh setiap
36
bangsa.” Lebih tegas lagi Fahmi Huwaydi (dalam Setia Permana, 2002: 198)
menyatakan bahwa ”oposisi bukanlah sekadar hak tapi juga kewajiban”.
Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratein yang
berarti kekuasaan atau pemerintahan. Demokrasi berarti pemerintahan atau atau
kekuasaan rakyat. Prinsip-prinsip demokrasi menurut Philipus dan Nurul Aini
(2004: 199-120) diantaranya:
Adanya pemisahan kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif, pemerintah berdasarkan hukum (constitusional governmentt, rule of law, pemerintahan oleh mayoritas, government by discussion, free general elction, terdapat lebih dari satu partai politik dan menjalankan fungsinya, open management, free press, recognition of minority right, melindungi hak-hak azasi manusia, independent yudiciary, control ever administration, agreemen Demokratisasi di Indonesia terus berjalan seiring dengan perkembangan
perpolitikan dalam negeri, proses demokrasi tidak terlepas dari keberadaan partai
politik dalam sebuah negara, tentunya partai politik juga mempunyai andil yang
cukup penting dalam mewujudkan demorasi.
Tujuh kriteria yang dikemukakan Robert A Dahl (1985:18) mengenai
kriteria rezim demokratis yaitu:
1. Warganegara mempunyai hak mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tata sosio-ekonomi, dan ideology yang berlaku. Salah satu tradisi control dalam masyarakat demokratis adalah melalui tradisi oposisi .
2. Keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijakan secara konstitusional dibebankan kepada pejabat-pejabat yang dipilih.
3. Pejabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unusr paksaan dianggap sesuatu yang memalukan.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak unutk dipilih sebagai pejabat resmi dalam pemerinthan, meskipun batas umur untuk dipilih lebih tinggi daripada batas umur untuk memiilih.
5. Warganegara memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas,
37
termasuk melancarkan kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tata sosio-ekonomi, dan ideologi yang berlaku.
6. Warga mempunyai mendapatkan sumber-sumber alternative, karena memang sumber-sumber yang dimaksud ada dan dilindungi hukum, dan
7. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut diatas, setiap warganegara juga mempunyai ak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasiyang relative independen, termasuk partai-partai politik dan kelmpok kelompok kepentingan yang bebas.
Menurut Arbi Sanit (1985:25) “Demokrasi sebagai suatu gagasan
kehidupan yang ideal pada hakekatnya dibangun oleh tiga nilai yang ideal yaitu
kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), dan keadilan (justice).” Ketiga
nilai demokrasi tersebut direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari pada negara
yang menganut sistem politik demokrasi. Adanya jaminan atas terlaksananya
nilai-nilai demokrasi tersebut sangat bergantung pada adanya kesempatan dari
setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada negara.
Menurut Siagian (1994:133) paling tidak ada dua proposisi yang dapat
memperjelas peranan oposisi sebagai prasyarat bagi demokratisasi diantaranya :
1. Secara sistematis koneksitas antara negara dengan masyarakat dalam sistem politik sebuah negara kontemporer belum seimbang, dalam arti :
2. Negara sangat kuat peranannya dalam semua aspek kehidupan; a. Ada unsur otoriterisme dalam performance kekuasan yang sangat
kondusif untuk membungkam proses demokratisasi politik; b. Kelompok-kelompok politik sipil sangat fragmentaris dalam sepak
terjang politiknya. 3. Gerakan demokratisasi dalam kelompok politik sipil hanya berada pada
tataran yang periferal. Jika tercipta kondisi yang distribusional dalam gerakan demokratisasi, maka secara kontekstual hubungan antara state dan civil society, dapat menuju pada “otonomi relatif negara”. Seperti yang diungkapkan oleh Budiman (1990:377) bahwa didalam negara terjadi konflik antar sesama kelompok elit politik (struktural) yang berkuasa.
Prinsip kebebasan dan partisipasi oleh warga masyarakat seluruhnya
merupakan ciri utama dari demokrasi. Prinsip ini memungkinkan adanya kontrol
terhadap penguasa, agar tetap berada pada jalur pemerintahan yang dikehendaki
38
bersama, dengan catatan penggunaan kebebasan secara persuasi, tidak dengan
koersi. Lebih jelasnya David Betham mendefinisikan demokrasi sebagai “sebuah
cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengatur
secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat.” Dari sana terlihat bahwa unsur
kontrol masyarakat dan kesetaraan politis merupakan hal penting.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi, diperlukan lembaga-lembaga
yaitu:
1. Pemerintah yang bertanggung jawab
2. DPR yang memilki golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam
msayarakat, yang dipilih berdasarkan pemilu, dimana dimungkinkan adanya
oposisi sebagai kontrol
3. Organisasi politik (partai politik)
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradailan yang bebas untuk hak-hak azasi dan mempertahankan
keadilan
Secara rinci, Alamudi (Cecep Darmawan, 2008: 124) mengatakan bahwa
demokrasi menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat. 2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. 3. Kekuasaan mayoritas. 4. Hak-hak minoritas. 5. Jaminan hak azasi manusia. 6. Pemilihan yang bebas dan jujur. 7. Persamaan di depan hukum. 8. Proses hukum yang wajar. 9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional. 10. Pluralisme social, ekonomi, dan politik. 11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat.
39
Kualitas atau kadar demokrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya: “Rasionalitas, partisipasi politik, mobilisasi politik, dan perwakilan”
(Philipus dan Nurul Aini, 2004:121).
Di Indonesia, gagasan dan konsep demokrasi awal mulanya tidak dapat
dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-
tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting:
Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua,
migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka
adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka
banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda
bumiputera. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Fenomena demokrasi selanjutnya dapat ditemui dalam sejarah
perkembangan politik pasca kolonial atau pasca kemerdekaan. Fokus demokrasi
pada masa itu adalah demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin
(1959-1965) yang dibentuk oleh Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa
Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian
atau para ahli menyebutnya periode transisi dan konsolidasi demokrasi yakni
tahun1998 hingga saat ini.
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di
tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada tanggal 3 November 1945 yang
ditandatangani oleh Hatta. Maklumat tersebut menyatakan perlun berdirinya
partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah
menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada Januari 1946. Maklumat
40
Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah
terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pemilu yang gagal dilangsungkan tahun 1946 itu diharapkan bisa
berlangsung kembali dua tahun berikutnya. Namun, akibat Agresi Militer Belanda
II, tahun 1948 Pemilu pertama di Indonesia gagal dilaksanakan. Barulah pada
tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi Pemilu dengan
ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953. Pemilu multipartai secara nasional
disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilihan parlemen) dan
15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama di
Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati
kriteria demokratis, sebab selain jumlah Partai Politik (Parpol) tidak dibatasi,
berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan
pluralisme dan representativness.
Pemilu pertama ini menghasilkan partai mayoritas Partai Nasional
Indonesia (PNI, 57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (NU, 45 kursi),
Partai Komunis Indonesia (PKI, 39 kursi) dan 37 kursi lainnya dibagi beberapa
partai kecil. Partai-partai ini juga sangat ideologis, sehingga persaingan partai
bukan hanya persaingan memperebutkan kekuasaan, tetapi juga faham ideologi
yang saat itu juga menjadi tren negara-negara yang baru merdeka.
Akhirnya fragmentasi politik yang kuat pada saat itu berdampak kepada
ketidakefektifan kinerja parlemen hasil Pemilu 1955 dan pemerintahan. Parlemen
tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat
dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni
41
berganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek. Ketidakefektifan kinerja
parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan
partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul,
bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir
menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan
mengedepankan kepentingan rakyat. Keadaan ini terus berlangsung, hingga
akhirnya, Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi parlementer tidak
dapat digunakan untuk revolusi (parliamentary democracy is not good for
revolution).
Presiden Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktek
demokrasi liberal dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi
Indonesia yang disebutnya sebagai demokrasi terpimpin (Guided Democracy),
meski akhirnya runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang
melibatkan unsur komunis yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan angkatan
bersenjata. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI
serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncullah
kekuasaan baru dibawah militer pimpinan Letnan Jendral Soeharto yang lebih
dikenal kenal sebagai Orde Baru.
Pada masa kekuasaan Presiden Soeharto rencana praksis politiknya, pada
awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya,
yang kemudian disebutnya sebagai demokrasi pancasila dalam konsep yang
sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar demokrasi pancasila memiliki titik
42
berangkat yang sama dengan konsep demokrasi terpimpin soekarno, yakni suatu
demokrasi asli Indonesia. Demokrasi pancasila adalah demokrasi yang sesuai
dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi pancasila
merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan
pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal yaitu pancasila.
Orde Baru kemudian merespons penjadwalan pelaksanaan Pemilu.
Namun, sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi, Presiden Soeharto
melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi
3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gololngan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar sendiri, yang
notabene dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa, tidak bersedia menyatakan
diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan.
Praktek demokrasi diktator yang diterapkan Presiden Soeharto mulai jatuh
dalam krisis, bersamaan dengan runtuhnya ekonomi orde baru sebagai akibat
terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah
menjadikan porak porandanya ekonomi nasional. Krisis ekonomi memacu
berlangsungya aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Gerakan Reformasi bergulir dengan memunculkan banyak aktor politik
dan mahasiswa di berbagai daerah, hampir di seluruh Indonesia. Gerakan ini
menuntut demokrasi yang selama ini terbelenggu. Berakhirnya Orde Baru
melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok
dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal,
sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik.
43
Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di
kalangan prodemokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal
memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam demokrasi yang dilakukan
pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para
tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan
desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa
pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa
UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer
dari politik praktis.
Praktek berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan
luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House
tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa
konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori negara bebas. Hal
ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai
kebebasan yang sangat minimal (partly free). Tetapi di lain pihak, transisi
demokrasi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial
yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon,
Poso, Sambas dan lainnya.
Pada PEMILU tahun 2004 calon presden yang diusung Partai Demokrat
berhasil duduk dalam kursi kepresidenan Indonesia periode 2004-2009. Pasca
pemilu 2004 muncul fenomena oposisi yang dipilih oleh partai demokrasi
Indonesia Perjuangan yang saat itu kalah dalam pemilu, hal ini dikatakan sebagai
44
salah satu unsur kemajuan demokrasi di Indonesia, karena seperti yang kita
ketahui oposisi yang selama hadir di Indosia terbatas pada mahasiswa ataupun
masyarakat yang beroposisi dijalanan atau berdemonstrasi.
Demokrasi di Indonesia terus berkembang, kontrol sosial dan kontrol
publik terhadap pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pemerintah
makin kuat dan nyata. Terbukti banyak sekali kaum oposan dari elemen civil
society yang berunjukrasa ketika pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla menetapkan kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar dan minyak
(BBM). Fenomena ini menggambarkan betapa rakyat menginginkan tingkat
transparansi dan akuntabilitas para pejabat publik,termasuk presiden, yang makin
tinggi. Hal ini berlanjut dengan dipilihnya hak angket oleh DPR yang diusung
oleh faraksi PDI Perjuangan sebagai partai oposisi.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa salah satu faktor
penting dalam demokrasi adalah partisipasi dimana warganegara memiliki hak
untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum mengenai soal-soal
politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para
pejabat, pemerintah, rezim, tata sosio ekonomi, dan ideology yang berlaku. Salah
satu tradisi kontrol dalam masyarakat demokratis adalah melalui tradisi oposisi.
Budaya oposisi juga sebuah ciri yang sehat dalam demokrasi. Ini bertujuan
agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang, serta dapat mengambil
keputusan dan menetapkan kebijakan secara tepat. Oposisi yang sehat dan
membangun adalah oposisi yang genuine dan membawa manfaat sebesar-
besarnya bagi rakyat. Budaya oposisi harus tumbuh di Indonesia untuk melakukan
45
kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun oposisi harus masuk
dalam sistem politik yang demokratis dan mencerminkan aspirasi rakyat. Oposisi
yang dimaksudkan adalah oposisi loyal yang berada didalam sistem. Jika bangsa
Indonesia ingin mengembangkan kehidupan politik yang demokratis, antara
oposisi dan demokrasi seharusnya tidak dipisahkan.
3.2 Oposisi dalam Pembuatan Kebijakan Publik
Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap
kemungkinan kebijaksanaan yang salah atau tindakan yang salah (sin of
commission), tetapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukannya dan tidak
dilakukannya (sin of omission). Pemerintahan dalam suatu negara yang
konservatif ataupun revolusioner, dan dalam suatu pemerintahan yang didukung
oleh kelompok elit tertentu ataupun yang didukung oleh massa, maupun suatu
pemerintahan yang mengikuti suatu system pluralis demokrasi atau diktator
monolitis, suatu partai politik itu dibentuk tiada lain memiliki fungsi untuk
menjalankan kekuasaan politik. Fungsi ini dilakukan oleh partai politik baik
ketika membentuk pemerintahan atau ketika partai politik berfungsi sebagai
oposisi didalam pemerintahan. Fungsi-fungsi ini merupakan hal penting dalam
menentukan kebijakan nasional.
Oposisi yang dilakukan oleh PDI Perjuangan diharapkan mampu meliputi
berbagai aspek, diantaranya mempengaruhi kebijakan publik baik dalam proses
pembuatan maupun dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Hal ini berkaitan dengan fungsi parpol menurut Philipus dan Aini (2004:123)
46
yakni ”Melakukan fungsi input, sebagaisarana partisipasi politik, sebagai sarana
pengatur konflik, sebagai sarana pembuat kebijakan, sebagai sarana untuk
mengkrik rezim yang sedang berkuasa.”
Sejalan dengan pendapat Haryanto (1984:13-14), ”bahwa salah satu fungsi
partai politik adalah pembuatan kebijakan.” Kegiatan tersebut dilakukan oleh
partai, kemudian partai politik merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan yang
akan dimasukan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan
kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Tentunya
keberadaan fraksi PDI Perjuangan dalam parlemen sedikitnya mampu
mempengaruhi kebijakan publik pada saat proses perumusannya.
Kebijakan publik menurut David Easton (dalam Fadillah Putra dan
Muchsin, 2002:22) adalah “Public policy is the authoritative allocation of values
for the whole society”. Kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian
nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga
yang berwenang seperti pemerintah.
Beberapa karakteristik kebijakan publik yang dapat diidentifikasikan
menurut Islamy (1994:20) adalah sebagai berikut :
1. Adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai, yaitu pemecahan masalah publik (public problem solving);
2. Adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan; 3. Merupakan fungsi pemerintah sebagai pelayanan public (civil servant); 4. Adakalanya berbentuk ketetapan pemerintah yang bersifat negatif, yaitu
ketetapan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah produk-produk yang berisi aturan-aturan atau ketetapan baik yang
bersifat positif maupun negatif yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan sikap
47
dan tindakan untuk kepentingan umum yang meliputi keseluruhan wilayah atau
instansi..
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan diantaranya
adalah :
a. Adanya pengaruh tekanan dari luar.
Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-
tekanan dari luar. Walaupun dalam pendekatan pembuatan keputusan dengan
nama “rational comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat
keputusan (decision maker) harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang
akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan prosedur
pembuatan keputusan itun tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga
adanya tekanan-tekanan dari luar itu ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan
keputusan (decision making). Faktor pertama ini sangat memungkinkan untuk
masuknya kepentingan oposisi dalam mempengaruhi kebijakan publik yang akan
dibuat.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi cenderung akan selalu diikuti oleh para
administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenan itu telah
dikritik sebagai salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti
lebih-lebih kalau suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan (decision
maker) banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya.
48
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari pembuat keputusan (decision maker) juga
berpengaruh terhadap pembuatan keputusan karena seringkali pembuatan
keputusan (decision making) dilakukan dengan pertimbangan pengalaman-
pengalaman dari orang atau kelompok lain yang sebelumnya berada diluar bidang
pemerintahan.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu
berpengaruh pada pembuatan keputusan (decision making) (Nigro dan Nigro,
1980 : 14).
Sementara menurut Ulul Albab (2004):
Pembuat kebijakan acap kali mendapat tekanan-tekanan dari luar, baik dalam bentuk tekanan dari kelompok kepentingan, partai politik maupun dari masyarakat. Tekanan-tekanan demikian biasanya datang secara tiba-tiba dan cukup mengganggu. Hal ini pernah dan bahkan sering terjadi di Indonesia terutama di era reformasi ini, dimana para pembuat kebijakan di gedung DPR/MPR mendapat tekanan masyarakat melalui gerakan demontrasi. Disamping itu, kebiasaan lama seringkali juga menjadi referensi para pembuat kebijakan manakala mereka sampai pada tahap kejenuhan dan kemandegan yang cenderung sulit dicari jalan keluarnya”.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pembuatan kebijakan (decision
making), para pembuat kebijakan (decision maker) ternyata masih bisa
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, baik eksternal maupun internal. Dari
penjelasan tersebut oposisi yang sedang dijalankan oleh Partai Demokrasi
Indonesia perjuangan diharapkan mampu mempengaruhi pemerintah pada pada
proses pembuatan kebijakan publik, ketika kebijakan publik yang dibuat oleh
49
pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla tidak berpihak pada
kepentingan rakyat.
3.3 Oposisi dalam Pengawasan Kebijakan Publik
Jantung dari suatu sistem politik dan tata pemerintahan yang demokratis
itu terletak pada wujud kontrol terhadap kegiatan pemerintahan yang seharusnya
dilakukan oleh rakyat. Seorang penulis mengatakan bahwa demokrasi dalam
pemerintahan itu terwujud control of goverment by the govermened.
Gruber (dalam Miftah Thoha 2003:5) mengatakan:
Pemerintah bisa bertindak demokratis jika peran kontrol yang dilakukan rakyat yang dijalankan secara maksimal, konstitusional, dan bertanggung jawab. Didalam pemerintahan yang modern dan demokratis, hampir tidak mungkin manejemen birokrasi pemerintahannya bisa menjalankan tanpa kontrol dari rakyat. (Thoha, 1999; 69).
Sementara menurut Dahl (dalam Miftah Thoha 2003; 57) “Di dalam
negara yang pemerintahnnya dijalankan secara demokraris meletakan para
pejabatnya bisa dikontrol oleh rakyat melalui pemilihan.”
Salah satu fungsi lembaga perwakilan rakyat adalah melakukan fungsi
pengawasan (over sight) yaitu fungsi yang dijalankan oleh parlemen untuk
mengawasi eksekutif. Keberadaan fraksi dalam parlemen merupakan kepanjangan
tangan dari partai politik. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan
APBN, dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan ini parlemen diberi beberapa hak,
antara lain adalah hak bertanya, hak interplasi, hak angket, hak amandemen, hak
50
resolusi, hak impeachment, dan hak resolusi. Berbagai hak yang diberikan kepada
anggota DPR tersebut memungkinkan DPR melakukan pengawasan lebih efekif
kepada eksekutif atau pemerintahan, karena dalam hak-hak tersebut setiap
anggota legislatif diberikan hak untuk bertanya dalam setiap kebijakan publik
yang akan dibuat, dan meminta pertanggung jawababan pemerintah terhadap
kebijakannya. Bahkan DPR memiliki hak untuk melakukan penyelidikan jika
salah satu kebijakan pemerintah dirasa banyak merugikan rakyat dan negara.
Sudah semestinya hak istimewa yang dimiliki badan legislatif ini mampu
mengawasi berjalannya kebijakan publik, terutama DPR dari fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pihak yang beroposisi dengan
pemerintah.
Selanjutnya Calvin MacKenzie (dalam Toni Andrianus, 2006; 135)
mengungkapkan beberapa teknik pengawasan berupa:
1. Oversight hearing, bentuk pengawasan yang paling sering sebagai bagian tetap dari tanggung jawab mereka.
2. Special investigation, lembaga perwakilan rakyat melakukan investigasi khusus secara terus menerus.
3. Personal control, pegawai badan eksekutif berasal dibawah kontrol lembaga perwakilan rakyat dalam beberapa cara
4. Financial control the power of purse adalah teknik legislatif yang paling efektif untuk mengawasi cara kerja badan eksekutif.
5. Impeachment, senjata lembaga perwakilan rakyat terakhir sebagai keuatan untuk menurunkan presiden, wakil presiden, atau pegawai sipil lainnya yang ditemukan bermasalah karena penghianatan, penyuapan, kejahatan tingkat tinggi, dan pidana ringan.
Dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah
PDI Perjuangan sebagai partai oposisi memiliki banyak kesempatan untuk
melakukan kontrol, hal ini tentunya dilakukan oleh fraksi PDI Perjuangan yang
51
berada dalam legislatif, karena para oposan ini memeliki wewenang untuk
melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Hal ini dipertegas oleh tujuan partai politik menurut Philipus (2004:123),
yaitu :
1. Berpartisipasi dalam pemerintahan, yaitu dengan mendudukan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah serta dapat mengambil atau menentukan keputusan politik (output pada umumnya).
2. Berusaha melakukan pengawasan, bila perlu oposisi terhadap tindakan, kelakuan, dan kebijakan para pemegang otoritas (terutama jika mayoritas pemerintah tidak berada dipihaknya)
3. Berperan sebagai pemadu (streamling). Dalam hal ini partai politik berperan memadukan tuntutan-tuntutan yang masih mentah sehingga partai politik berfungsi sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan issu politik yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat.
B. Oposisi dan Pendidikan Politik
1. Oposisi sebagai Bentuk Pendidikan Politik
Oposisi yang sedang dijalankan PDI Perjuangan saat ini sudah seharusnya
mampu memberikan pendidikan politik baik bagi masyarakat maupun para kader
PDI Perjuangan baik yang duduk dalam struktural partai, eksekutif daerah,
ataupun legislatif. Karena partai politik merupakan salah satu agen pendidikan
politik. Seyogianya kiprah partai politik di Indonesia bisa menampilkan diri
sebagai agen pencerahan. Sebab partai politik mengemban peran dan fungsinya
jika dijalankan secara konsisten akan membawa perubahan pada peningkatan
kesadaran politik masyarakat.
Sudah diungkapkan sebelumnya bahwa pendidikan politik tidak hanya
penting bagi masyarakat, tetapi juga penting untuk para kader partai. Pendidikan
52
politik kader bangsa secara umum bertujuan memberikan bekal pengetahuan
dalam rangka memperluas cakrawala politik, sebagai sumbangsih nyata dalam
upaya penanaman nilai-nilai peradaban politik bagi rakyat, sehingga pada
gilirannya akan melahirkan ide-ide yang mampu menjadi penerus perjuangan
bangsa dan pembangunan nasional.
1.1 Definisi Pemdidikan Politik
Istilah pendidikan politik adalah gabungan dari dua kata, yakni pendidikan
dan politik. Menurut Astrid S. Susanto (1982:19) bahwa: “Inti kegiatan
pendidikan sebenarnya, selain menyangkut proses proses belajar, juga
menyangkut conditioning dan reinforcement terhadap masyarakat”. Sehingga
dengan demikian pendidikan ialah merupakan proses belajar seseorang tentang
sesuatu serta mempersiapkan kondisi dan situasi lingkungan yang dapat
menghasilkan rangsangan yang akan menghasilkan reaksi atau respon tertentu.
Apabila dihadapkan pada konsep pendidikan politik, maka belajar tentang sesuatu
diatas diartikan belajar tentang politik.
Pendidikan yang dimaksud dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 adalah sebagai berikut:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
53
Sedangkan politik menurut Miriam Budiarjo (2000 : 19) kata politik
berasal dari bahasa Yunani yaitu Politeia, yang berarti kesatuan masyarakat yang
mengurus diri sendiri (negara).
Politik menurut Inu Kencana Syafiie (2002 : 7):
Politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri tetapi juga seni, dikatakan sebagai seni karena kita sering melihat politikus yang tanpa pendidikan ilmu politik, tapi mampu berkiat memiliki bakat yang dibawa sejak lahir dari naluri sanubarinya sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis. Dapat dikatakan sebagai ilmu karena memiliki objek, subjek, terminologi, ciri, teori, filosofis dan metodologis yang khas dan spesifik serta diterima secara universal, disamping dapat diajarkan dan dipelajari oleh banyak orang.
Jadi makna pendidikan politik dapat disimpulkan sebagai suatu usaha yang
dilakukan secara sengaja dan terus menurus untuk menerapkan suatu pengetahuan
tertentu guna mengembangkan potensi dirinya untuk membangun manusia
menjadi lebih berkualitas.
Pendidikan politik pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan
orang dewasa. Pendidikan semacam ini jelas tidak menonjolkan proses kultivasi
individu sebagai “pribadi terisolasi” dalam ruang hampa atau dalam menara
gading keilmuan, akan tetapi lebih menekankan realisasi diri manusia di tengah
medan sosial, dalam suatu konteks politik, dengan aspek-aspek sosial dan
politiknya, di tengah situasi-situasi konflik, yang disebabkan oleh macam-macam
perbedaan atau pluriformitas. Pendidikan politik adalah proses pendewasaan
individu dalam berpolitik. Berkaitan dengan hal ini Khoiron menjelaskan
(1999:5):
Penyadaran warga negara untuk sampai pada pemahaman politik atau aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan
54
pertarungan konflik-konflik, pendidikan politik ini diselengggarakan sebagai upaya edukatif yang sistematis dan intensif untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara
Pendidikan politik sebagai salah satu fungsi strukur politik dengan tujuan
untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi
secara maksimal dalam sistem politiknya. Dalam perspektif ini dapat dikatakan
bahwa pendidikan politik merupakan metode untuk lebih melibatkan rakyat dalam
sistem politik melalui partisipasinya yang didasari atas kesadaran politiknya
sebagai bagian dari warga masyarakat dalam suatu negara.
Hal ini berkaitan dengan fungsi partai politik sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2008 tentang partai politik (Pasal 11), yaitu:
Partai Politik berfungsi sebagai sarana: 1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
4. Partisipasi politik warga negara Indonesia, 5. Dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Berkaitan dengan hal ini oposisi yang dilakukan PDI Perjuangan tentunya
tidak sekedar sebagai chek and balances sebagai output dari hadirnya sebuah
oposisi, melainkan secara internal pun dapat bermanfaat sebagai pendidikan
politik bagi pelaksana khususnya dan umumnya dapat memberikan pendidikan
politik bagi masyarakat Indonesia secara luas agar selalu melek politik dalam
upaya melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartaprawira (1985:59):
55
Pada pokoknya rakyat perlu pendidikan politik secara kontinyu atas dasar nilai-nilai tertentu. Masalah politik adalah masalah yang kompleks, bersegi banyak, berubah-ubah dan karena itu perlu pemikiran yang mendalam. Pertama rakyat seyogyanya memahami segala persoalan dan tantangan terhadap sistem politiknya agar dapat menjawab dan memecahkan secara tepat. Dari sudut ini pendidikan politik sebagai satu jenis pendidikan boleh di anggap sebagai suatu yang tidak akan pernah selesai. Melalui berbagai macam lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat, mereka berpartisipasi atau dimobilisasi.
Mengenai pengertian dari pendidikan politik (dalam arti kata yang lebih
ketat) Alfian (1981:235) mengatakan : “Dapat diartikan sebagai usaha yang sadar
untuk megubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami
dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal
yang hendak di bangun”. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kartini Kartono
(1996:64) bahwa : “Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang
disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi
partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam mencapai tujuan-
tujuan politik”. A. Kosasih Djahiri (1995:18) menyatakan bahwa:
Pendidikan politik adalah pendidikan atau bimbingan, pembinaan warga negara suatu negara untuk memahami mencintai dan memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap bangsa negara dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada.
Dari beberapa pendapat diatas ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
politik adalah suatu upaya untuk membentuk warga negara yang lebih kompeten
dalam berpartisipasi secara aktif untuk meningkatkan kesadaran politiknya.
Memahami dan memiliki rasa keterikatan diri yang tinggi terhadap bangsa negara
dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada, ialah merupakan
ciri sudah atau mulai tertanamnya kesadaran politik. Dengan demikian pendidikan
politik berupaya merubah warga negara agar dapat memiliki kesadaran politik.
56
Memiliki kesadaran politik berarti memiliki keterpaduan aspek kogitif, afektif dan
prikomotor dari individu dalam berpolitik. Pendidikan polotik selalu mengandung
nilai positif, dan dari nilai yang diterapkan tersebut diharapkan mampu
menciptakan pengetahuan baru yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan politik.
Oposisi yang sedang dijalankan PDI Perjuangan tentunya tidak hanya
terbatas pada sebagai sikap pengawasan terhadap pemerinthah, sebelum mencapai
tujuan besar tersebut sudah barang tentu adanya oposisi dimaksudkan untuk
melatih dan memantapkan sikap masyarakat pada umumnya dan kader PDI
Perjuangan pada khususnya dalam berpolitik. Karena selama rezim orde lama
maupun orde baru keberadaan para oposan sangat dibatasi ruang geraknya.
Meskipun oposisi bukan hal baru dalam era reformasi ini, tapi beroposisi secara
terbuka merupakan sebuah fenomena yang tidak seharusnya hanya sebatas
djadikan perbincangan publik, akan lebih efektif jika dijadijakan sarana
pendidikan politik secara real.
1.2 Tujuan Pendidikan Politik
Tujuan pendidikan politik menurut Kartono (1989:20) adalah:
Membuat rakyat mampu memahami situasi sosial politik yang penuh dengan konflik, berani memberikan kritik membangun terhadap kondisi masyarakat yang tidak mantap, aktivitasnya diarahkan pada proses demokrasi sejati, dan sanggup memperjuangkan kepentingan serta ideologi tertentu khususnya yang berkorelasi dengan keamanan dan kesejahteraan hidup bangsa. Sejalan dengan pernyataan tersebut Brownhill (1989:10) mengungkapkan
golongan yang mendukung terhadap pelaksanaan pendidikan politik yang terjadi
dalam sebuah negara yaitu:
57
a. Mereka yang mempertahankan status quo tapi merasa bahwa saat ini dalam suatu masyarakat yang terus berubah, pendidikan politik dirasakan sangat perlu
b. Mereka yang mempertahankan status quo tapi merasa bahwa pendidikan politik terbuka itu sifatnya produktif-balik(counter-productive)
c. Mereka yang menganut paham aktivisme yang menginginginkan golongan masyarakat yang kurang beruntung mengetahui cara bekerja sistem tersebut
d. Mereka yang menganut paham demokrasi partisipasi tapi terkendali e. Mereka yang lebih radikal dan tidak menyukai tatanan politik dan percaya
pendidikan politik bisa melemahkannya.
Adapun tujuan dari pendidikan politik (Amril, 2004:104) yaitu:
1. Melatih orang muda dan orang dewasa menjadi warga negara yang baik; khususnya dalam fungsi sosial dan fungsi politik, seperti bisa mengembangkan sikap gotong royong/kooperatif, mau bermusyaawarah dan kerja sama; bersikap toleran, solider, loyal terhadap bangsa dan Negara, bersikap sportif dan seterusnya demi kesejahteraan hidup bersama.
2. Membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa eeetika politik dan tanggung jawab politik, agar orang menjadi insan politik terpuji (bukan memupuk egoisme dan menjadi bintang politik).
3. Agar orang memiliki wawasan kritis mengenai relasi-relasi politik yang ada di sekitarnya. Memiliki kesadaran bahwa urusan-urusan manusia dan struktur sosial yang ada di tengah masyarakat itu tidak permanen, tidak massif atau immanen sifatnya, tetapi selalu bisa berubah dan daaaaapat diubah melalui perjuangan politik.
4. Kemudian mampu mengadakan analisis mengenai konflik-konflik politik yang aktual, lalu berusaha ikut memecahkan; jadi terdapat partisipasi politik. Sebab, urusan politik itu jelas membawa dampak kebaikan atau keburukan kepada rakyat banyak. Karena rakyat juga sangat berkepentingan dengan urusan politik yang menyangkut mati hidupnya diri sendiri dan keselamatan rakyat pada umumnya.
5. Selanjutnya berpartisipasi politik dengan jalan memberikan pertimbangan yang konstruktif mengenai masyarakat dan kejadian politik itu merupakan hak-hak demokratis yang asasi. Hal yang perlu bukan hanya melancarkan proses-proses politik dari warga negara dan pertanggungjawabannya untuk mengatur masyarakat dan negara mengarah pada kehidupan yang sejahtera.
Partisipasi aktif memiliki pengaruh dan kekuatan, sebab bisa ikut pula
dalam pengawasan aktivitas mengatur masyarakat dan negara. Maka menjalani
proses pendidikan politik tanpa bisa berbuat politik itu sama saja dengan berenang
58
di atas kasur. Sebaliknya melakukan perbuatan politik tanpa refleksi atau kearifan
dan peendidikan politik bisa disebut aktivisme, yaitu berbuat awur-awuran atau
anarki dan perbuatan makar.
1. 3 Bentuk Pendidikan Politik
Pendidikan politik tidak akan terlaksana tanpa adanya penyelenggaraan
yang dilakukan secara nyata di lapangan atau di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan penyelenggaraan pendidikan politik tentunya akan berkaitan erat
dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di tengah-tengah
masyarakat tersebut. Dengan demikian, bentuk pendidikan politik mana yang akan
diterapkan dalam mendukung terlaksanannya pendidikan politik merupakan hal
yang sangat penting bagi pemerintahan suatu negara, pada umumnya pemerintah
memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di
dalam sebuah negara. Bentuk pendidikan politik itu sendiri menurut Kuntomijoyo
(1994: 58) mengatakan sebagai berikut :
Pendidikan politik memiliki beragam bentuk, berkaitan dengan ini
Stradling memberikan pendapatnya (dalam Brownhill, 1989:105) bahwa:
Pengertian melek politik disini sebaiknya menyangkut keterampilan tindakan yang didalamnya terdapat kemampuan untuk berpartisipasi dalam membentuk keputusan kelompok dan kemampuan secara efektif untuk mempengaruhi dan atau merubah institusi politik. Stradling (dalam Brownhill, 1989:104) membagi substansi kurikulum
penyelenggaraan pendidikan politik kedalam tiga bagian antara lain:
a. Pengetahuan 1. pengetahuan profesional 2. pengetahuan praktikal
59
3. pemahaman b. Keterampilan
1. keterampilan intelektual 2. keterampilan tindakan 3. keterampilan komunikasi 4. Sikap dan nilai-nilai prosedural
Antara fungsi pendidikan politik dan tujuan dari pendidikan politik
mempunyai kedekatan tersendiri yang tak dapat dipisahkan dan keberhasilan
pencapaian fungsi dan tujuan dari pendidikan politik (oposisi) merupakan
keberhasilan dari pelaksanaan pendidikan politik itu sendiri.
Menurut Alfian (1990:236) untuk menganalisis keberhasilan pendidikan
politik dilihat dari dua dimensi yaitu:
Dimensi pertama berupa gambaran jelas tentang sistem politik ideal yang diinginkan, dimensi kedua ialah realitas atau keadaan sebenarnya dari masyarakat itu sendiri yang langsung diperbandingkan dengan tuntutan-tuntutan sistem politik tadi.
Dihubungkan dengan dimensi yang kedua dalam melakukan analisis
keberhasilan pendidikan politik yang pada intinya melakukan kaji banding antara
tuntutan sistem politik ideal dengan realitas politik yang sesungguhnya menurut
Idrus Affandi (1996:28) “Mutlak diperlukan adanya struktur baku sistem politik
yang dicita-citakan, yakni sistem politik yang mencerminkan nilai dan norma
yang merupakan landasan dan motivasi masyarakat sekaligus dasar untuk
membina dan mengembangkan diri untuk melibatkan di dalamnya.”
Fraksi PDI Perjuangan sebagai partai oposisi harus mampu menjalankan
fungsi pendidikan politik kepada masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat
berkesempatan untuk menilai dan menguji, apakah kebijakan pemerintah yang
lebih tepat atau alternatif kebijakan yang ditawarkan oposisi. Masyarakat
60
kemudian bisa menyimpulkan apakah pemerintah yang benar atau oposisi yang
lebih benar.
2. Oposisi dalam Konteks Pembangunan Politik Indonesia
Pemikiran tentang membangun sistem politik yang sesuai kebutuhan
mendasar bagi bangsa Indonesia telah sejak lama dipikirkan. Hampir setiap
pemikiran mengenai pembangunan sistem politik secara langsung atau tidak
langsung mengadopsi kehidupan politik di negara-negara lain yang sudah maju,
dengan harapan bahwa negara kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran yang
bermanfaat bagi upaya pembangunan sistem poitk negeri ini. Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai pembangunan politik, ada baiknya jika kita memahami
makna pembangunan politik itu sendiri.
Pembangunan politik yang dikemukakan oleh Almond dan Powel (1996:
13) yaitu:
Pembangunan politik adalah respon sistem politik terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan masyarakat dan internasional, dan terutama respon sistem terhadap tantangan-tantangan pembinaan negara, pembinaan bangsa, partisipasi, dan distribusi. Pembangunan politik itu sendiri semula dirumuskan berdasarkan istilah-istilah modernisasi politik. Ketiga kriteria pembangunan politik yang diajukan adalah deferesiansi struktur, otonomi subsistem, dan sekularisasi kultural. Sejalan dengan itu, Lucian W. Pye (dalam Juono Sudarsono, 1976: 92-93)
menyusun suatu daftar yang cukup komprehensif yang memuat sepuluh arti yang
dapat dikaitkan dengan pengertian pembangunan politik, yakni:
1. Persyaratan politik daripada pembangunan ekonomi 2. Kehidupan politik yang lazim ada pada negara-negara industri 3. Modernisasi politik 4. Pelaksanaan suatu bangsa negara
61
5. Pembangunan administrasi dan hukum 6. Mobilisasi masa dan demokrasi 7. Pembinaan kehidupan demokrasi 8. Stabilitas dan perubahan yang teratur 9. Mobilisasi dan kekuasaan 10. Satu segi dari proses perubahan sosial yang bersegi banyak
Tidak jauh berbeda dengan, Samuel P. Huntington (1965: 387-388) yang
menyatakan bahwa “pembangunan politik memiliki empat pengertian-pengertian
yang sering diulang-ulang: rasionalisasi, integrasi nasional, demokratisasi dan
mobilisasi atau partisipasi.”
Dari beberapa pendapat para ahli diatas pembangunan politik dapat
didefinisikan sebagai adanya perbaikan atau kenaikan tingkat demokratisasi,
partisipasi, efesiansi pemerintahan dalam memobilisir sumber-sumber kekuatan
atau kapabilitasnya untuk suatu tujuan nasional yang besar. Jika upaya tersebut
dilakukan secara terus-menerus dimasa-masa yang akan datang, dengan
mengikutsertakan aspek-aspek lain yang menunjang keberhasilan pembangunan
politik itu sendiri, maka pembangunan politik yang dijalankan akan membawa
dampak yang sangat baik.
Affan Gafar (1989: 25-29) mengungkapkan ada lima faktor penting yang
harus dikemukakan dalam menganalisa pembangunan politik, yaitu:
a. Stabilitas tidak dapat diasingkan, bahwa stabilitas politik akan sangat tergantung pada jenis dan intensitas tantangan yang dihadapinya.
b. Partisipasi sebagai faktor dukungan kedua adalah dukungan dimana sistem politik dapat menarik sejumlah keuntungan yang berarti dari kalalangan masyarakatnya.
c. Pembangunan dalam sistem lainnya merupakan faktor ketiga yang dapat mempengaruhi sistem politik.
d. Pola fungsi dari sistem itu sendiri merupakan faktor keempat yang dapat diketengahkan.
e. Reaksi dari tokoh-tokoh politik terhadap perubahan sistem politik.
62
Upaya pembangunan nasional tidak pernah berjalan mulus seperti yang
direncanakan, begitu pula dengan pembangunan dalam bidang politik yang tidak
terlepas dari kendala-kendala yang tak terhenti baik itu datang dari pemerintah
sebagai pelaksana ataupun masyarakat sebagai pendukung keberhasilan
pembangunan politik itu sendiri.
Pada dasarnya ada empat masalah yang dihadapi dalam pembangun politik
(Affan Gafar, 1989: 20) yaitu:
1. Masalah penetrasi dan integrsai, ini diartikan sebgai masalah pembangunan negara
2. Masalah kesetiaan dan kepercayaan, yang disebut sebagai masalah pembangunan bangsa.
3. Masalah partisipasi, dimana kelompok-kelompok penekan didalam masyarakat mempunyai fungsi atas pembuatan keputusan di dalam sistem politik.
4. Masalah distribusi kesejahteraan, yaitu dari tekanan warga masyarakat kepada pemerintah untuk menggunakan kekuasaan dalam usaha untuk mendistribusikan kembali pendapatan, kesejahteraan, kesempatan, serta kehormatan. Pembangunan politik memiliki ciri yang paling mendasar mengenai
masalah-masalah pembangunan dalam hal ini Juono Sudarsono, (1976: 28-30)
menyatakan:
Ciri pertama yang disepakati luas ialah semangat umum atau sikap terhadap persamaan. Banyaknya partisipasi, tuntutan hukum harus bersifat universal, penerimaaan jabatan-jabatan pemerintahan harus mencerminkan ukuran-ukuran kemampuan berdasarkan prestasi. Ciri yang kedua yang sering kita jumpai dalam bagian terbesar pengertian mengenai pembangunan politik bertalian erat dengan kesanggupan suatu sistem politik. Kesanggupan ini erat hubungannya dengan hasil suatu sistem politik untuk mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi, prestasi pemerintahan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi prestasi itu. Lebih khusus lagi kesanggupan melibatkan masalah kebesaran, ruang lingkup dan skala prestasi politik dan pemerintahan. Kesanggupan juga berarti efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijaksanaan umum. Ciri yang ketiga adalah diferensiasi dan spesialisasi. Hal ini terutama berlaku
63
dalam analisa mengenai struktur-struktur dan lembaga-lembaga masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembangunan politik
tidak terlepas dari peningkatan kualitas demokrasi, penguatan sistem politik dan
pemerintahan, penguatan partai politik menjadi lebih mapan serta peningkatan
partisipasi masyarakat. Tingginya partisipasi masyarakat merupakan cermin
kuatnya demokrasi dan legitimasi pemerintah atas masyarakat, terlebih bila
didukung oleh sistem politik dan partai politik yang bisa memfasilitasi partisipasi
masyarakat dengan baik.
Salah satu rumus dasar sistem politik demokrasi adalah adanya kekuatan
oposisi yang berfungsi melakukan kritik, kontrol, koreksi dan sekaligus sebagai
kekuatan penyeimbang bagi pemerintah yang tengah berkuasa. Hal ini senada
dengan pemikiran Robert A. Dahl (1973:1-16) “bahwa diakui kehadiran oposisi
atau kompetensi antara pemerintah merupakan salah satu aspek demokratisasi
yang paling penting.”
Negara-negara yang sudah maju tumbuh dan berkembang melalui tahapan
yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Pada
umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan politik..
Organsky (dalam Affan Gafar, 1989: 59-72) menjelaskan tahap-tahap
perkembangan politik, yakni:
a. Tahap politik unifikasi sederhana (primitive). b. Politik industrialisasi. c. Politik kesejahteraan nasional (pencapaian kemakmuran yang merata) dan d. Politik berkelimpahan (tahap otomatis).
64
Bangsa-bangsa yang tumbuh lebih dahulu di negara-negara Eropa dan
Amerika Utara pada umumnya mengalami tahap pertumbuhan ini selangkah demi
selangkah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Teori Organsky tentang tahap-tahap
pembangunan politik terjadi dihampir semua negara. Di Eropa barat dan Amerika
Utara terlihat bahwa tahap perkembangan negara di mulai dari tahap unifikasi
primitif, Organsky menyebutkan perkembangan yang terjadi di Eropa Barat mulai
terjadi pada abad ke 16, juga dibelahan dunia lain, asal mula negara ditandai
dengan munculnya koloni-koloni Eropa. Tentunya dengan berbagai keunikan
yang berbeda-beda dari suatu negara.
Organsky juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah tahap unifikasi
primitif yaitu negara masuk pada tahap politik industrialisasi, dimana negara
mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan
industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang
ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-
negara di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di
Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris
dimana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong
ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi
merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat
terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi secara
implisit masih terjadi di Indonesia, dimana proses industrialisasi dan
pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih krisis
65
yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di
fase ini.
Tahap selanjutnya menurut Organsky adalah politik kesejahteraan
nasional, politik kesejahteraan nasional merupakan politik bangsa-bangsa industri
sepenuhnya, tahap ini menurut Organsky adalah tahap dimana telah terjadi saling
tergantungan antara rakyat dengan pemerintah yang selanjutnya menjadi lengkap.
Kekuasaan negara tergantung pada kemampuan rakyat biasa untuk bekerja dan
berjuang, dan rakyat bersama-sama dengan penguasa-penguasa industri,
tergantung kepada pemerntah nasional untuk melindungi mereka terhadap
kemiskinan akibat depresi dan kehancuran dari perang.
Fungsi primer pemerintah pada tahap industrialisasi adalah melindungi
pengusaha yang memiliki modal untuk mempercepat laju industri, sedangkan
dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat
terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi
berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka
dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang
menjalan fase seperti ini, dimana fokus pemerintahan adalah mensejahterkan
rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan.
Tahap terakhir menurut Organsky adalah tahap politik berkelimpahan
(politics of abundance) atau otomatisasi, Organsky menyebutkan tak satu pun
negara di dunia masuk dalam tahap ini tetapi Amerika Serikat dan beberapa
negara Eropa yang paling maju telah memasuki gerbang tahap politik
berkelimpahan. Tahap ini ditandai oleh majunya teknologi, komputer dan
66
kehidupan serba otomatis, sehingga mesin-mesin industri berjalan dengan
otomatis yang berdampak pada pengangguran karena para buruh tersisih oleh
kemampuan mesin. Masyarakat pada tahap ini mempunyai ciri-ciri pemusatan
kekuatan ekonomi, penggunaan mesin yang sangat mahal dan efisiensi produksi
pabrik, ciri ini sudah terjadi pada beberapa negara maju, dimana telah tumbuh
perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli perekonomian yang merupakan
kekuatan ekonomi global atau dikenal dengan perusahaan multi nasional yang
beroperasi di banyak negara di dunia.
Keberadaan oposisi yang dihadirkan oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dalam perpolitikan Indonesia diharapkan mampu mendukung Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS), salah satu diantaranya adalah
pembangunan politik. Meningkatnya kehidupan masyarakat yang demokratis
merupakan salah satu unsur keberhasilan pembangunan politik, dan salah satu
rumus dasar sistem politik demokrasi adalah adanya kekuatan oposisi yang
berfungsi melakukan kritik, kontrol, koreksi dan sekaligus sebagai kekuatan
penyeimbang bagi pemerintah yang tengah berkuasa.
Recommended