View
225
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI ( STIA ) YAPPAN JAKARTA
PENGARUH MOTIVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP
PENYANDANG TUNANETRA
DISUSUN OLEH
Nama : EKO RAMADITYA ADIKARANo pokok : 09401106
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat ujian akhirguna mencapai gelar sarjana strata satu (S1)
Jurusan Administrasi Negarapada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi YAPPAN
Jakarta2011
Disetujui untuk dipertahankan
Pembimbing Skripsi
Drs.H.NOOR SYARIEF.MM
MengetahuiSEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI YAPPAN
JAKARTA
... ... Ketua Ketua jurusan Administrasi Negara
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan Karya asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Yappan Jakarta maupun di Perguruan Tinggi lain.
2. Skripsi ini belum pernah dipublikasikan, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
3. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang diperoleh, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Yappan Jakarta.
Jakarta, Juli 2011Yang membuat pernyataan
Eko Ramaditya Adikara No. Pokok. 09401106
ABSTRAKSI
Eko Ramaditya Adikara, 2011; Pengaruh Motivasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Tunanetra.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk memperoleh data sejauh mana motivasi mampu menciptakan peluang bagi tunanetra dalam penguasaan teknologi informasi dan bagaimana teknologi informasi dapat menjadi alat bantu dalam kehidupannya. Penulis juga berusaha memaparkan hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi tunanetra dalam penguasaan teknologi informasi, baik yang berasal dari diri sendiri mau pun dari lingkungan sekitar. Lewat karya ilmiyah ini juga akan dijelaskan bagaimana tunanetra melakukan proses belajar serta memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Ada pun metode penelitian yang digunakan adalah kepustakaan dan penelitian lapangan. Dari usaha penelitian ditemukan berbagai antara lain:1. Hilangnya peluang tunanetra menguasai teknologi informasi, disebabkan tidak
adanya motivasi baik dari diri sendiri maupun orang lain.2. Hambatan tunanetra dalam penguasaan teknologi informasi, disebabkan
kurangnya dukungan sarana dan prasarana, serta dukungan dari lingkungan sekitar.
3. Kurangnya kesadaran tunanetra tentang manfaat teknologi informasi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari yang disebabkan beberapa faktor psikologis yang bersifat negatif.
4. Hilangnya hak dan kesempatan tunanetra untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kehidupan yang disebabkan disfungsi indera penglihatan.
5. Tantangan yang dihadapi tunanetra dalam penguasaan teknologi informasi yang sebenarnya akan lebih mudah dikuasai apabila indera penglihatan dapat berfungsi.
6. Kurangnya respon positif dan penerimaan masyarakat akan keberadaan tunanetra, disebabkan anggapan bahwa tunanetra adalah penyandang cacat yang tak dapat berbuat apa-apa.
7. Tantangan yang dihadapi tunanetra karena tidak semua elemen teknologi informasi dapat dimanfaatkan oleh tunanetra. Hal ini disebabkan kurangnya nilai-nilai aksesibilitas yang diterapkan dalam teknologi informasi bersangkutan.
Berdasarkan temuan data permasalahan tersebut penulis memberikan kesimpulan, bahwa motivasi dari dalam diri tunanetra untuk maju akan mengubah hambatan hidup yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan menjadi tantangan hidup yang dapat diatasi. Untuk itu, tunanetra dapat menggunakan teknologi
informasi sebagai alat bantu untuk menjembatani kesenjangan sosial yang selama ini terjadi di masyarakat. Selain itu peran lingkungan tidak kalah penting untuk mendukung kegiatan Tunanetra dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sehingga perlu adanya kerjasama antara lingkungan (dalam hal ini orang yang mendampingi tunanetra atau orang yang berpenglihatan) dengan Tunatetra untuk saling belajar dan memahami kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi tunanetra. Komunikasi dua arah antara tunanetra dan orang berpenglihatan perlu diperhatikan, agar pihak penolong, dalam hal ini orang-orang berpenglihatan, dapat memahami bagaimana caranya membantu pihak yang perlu ditolong, yaitu tunanetra itu sendiri. Yang paling penting, tentu saja adalah membangkitkan motivasi tunanetra untuk menguasai teknologi informasi itu sendiri.
Kata Kunci : Motivasi, Teknologi Informasi, Penyandang Tunanetra
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, penulis sajikan karya
ilmiah dalam bentuk skripsi ini dengan tujuan untuk melengkapi persyaratan ujian
negara sarjana strata satu (S1) jurusan ilmu Administrasi Negara pada Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi YAPPAN Jakarta.
Untuk memenuhi kewajiban tersebut penulis memilih judul : PENGARUH
MOTIVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG TUNANETRA. Judul
tersebut dipilih berdasarkan anggapan penulis bahwa apabila tunanetra memiliki
motivasi yang baik dan dapat memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat
bantu pengganti fungsi penglihatan, maka ia dapat mengubah kendala dan
tantangan dalam penguasaan teknologi informasi menjadi peluang dan
kesempatan, sehingga dapat mempermudah tunanetra dalam partisipasinya di
kehidupan bermasyarakat.
Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan penulis baik dalam
penguasaan bahasa maupun teknis dalam penyusunan skripsi ini, karena itu
penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak, sehingga dengan demikian akan menjadikan bekal penulis
bagi penyempurnaan skripsi ini dan juga pengetahuan pembaca karya ilmiyah ini.
Berkaitan dengan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut,
tidaklah berlebihan apabila penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Drs H Noor Permadi MM selaku ketua Yappan
2. Bapak Prof Dr.Sinaulan selaku Ketua STIA Yappan
3. Bapak Noor Syarief selaku pembimbing skripsi.
4. Bapak ... selaku ketua jurusan Administrasi Negara.
5. Bapak dan Ibu Dosen maupun staf Tata Usaha STIA Yappan.
6. Keluarga : Ayah Rahadi Sudarsono, Ibu Emmy Darwati, Adik Anggowo A.S.
7. Wali murid tunanetra dan murid-murid tunanetra dari beberapa SLB/A di
Indonesia yang penulis kunjungi untuk bahan wawancara.
8. Kekasih : Isye Oktaviana.
9. Rekan, sahabat, dan teman-teman almamater STIA Yappan.
Akhirnya penulis hanya dapat mendoakan bagi semua pihak tersebut, semoga
bantuan dan pengorbanan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang
setimpal dari ALLAH SWT. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di Indonesia.
Jakarta, Juli 2011
RAMADITYA
DAFTAR ISI
JUDUL....................................................................................................................iLEMBAR PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI...................................................iiPERNYATAAN ORISINALITAS......................................................................iiiABSTRAK............................................................................................................ivKATA PENGANTAR..........................................................................................viDAFTAR ISI......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................11.2 Masalah Pokok skripsi................................................................................ 41.3 Hipotesis......................................................................................................51.4 Tujuan Penelitian.........................................................................................61.5 Metode Penelitian........................................................................................71.6 Pembabakan Skripsi.....................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Perkembangan Kejiwaan Penyandang Tunanetra......................................10
2.1.1 Pengertian Tunanetra........................................................................102.1.2 Pengertian Kepribadian.....................................................................102.1.3 Perkembangan Pribadi Tunanetra.....................................................11 2.1.4 Pengaruh Ketunanetraan Terhadap Kepribadian Tunanetra.............14
2.2 Peluang dan Tantangan Tunanetra.............................................................192.2.1 Interaksi Fisik....................................................................................192.2.2 Interaksi Sosial..................................................................................202.2.3 Pemanfaatan Teknologi.....................................................................20
2.3 Motivasi Penyandang Tunanetra................................................................212.3.1 Pengertian Motivasi..........................................................................212.3.2 Teori-Teori Motivasi.........................................................................222.3.3 Faktor-faktor motivasi Internal Tunanetra........................................262.3.4 Faktor-faktor motivasi Eksternal Tunanetra.....................................28
2.4 Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Bagi Tunanetra.........................292.4.1 Sejarah Singkat Teknologi Informasi...............................................292.4.2 Teknologi Asistif..............................................................................312.4.3 Tunanetra dan Teknologi..................................................................342.4.4 Teknologi Asisif Bagi Tunanetra......................................................37
2.4.5 Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Tunanetra di Indonesia...402.5 Hubungan Antara Motivasi dengan Penguasaan Teknologi Informasi Bagi
Tunanetra....................................................................................................44
BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN3.1 Perkembangan Jiwa Anak…..............…………………………………...46
3.1.1 Motivasi Pertama Dari Orangtua......................................................463.1.2 Keluarga Sebagai Media Social Learning........................................48
3.2 Perkembangan Pendidikan.........................................................................493.2.1 Masa Pra Sekolah..............................................................................493.2.2 Taman Kanak-kanak…………………………………………….....513.2.3 Sekolah Luar Biasa………………………………………………...533.2.4 Sekolah Umum…………………………………………………….543.2.5 Masa Perkuliahan………………………………………………….56
3.3 Perkembangan Remaja...............................................................................573.3.1 Video Games Sebagai Media Sosialisasi..........................................573.3.2 Lima Bidadari Sebagai Hasil Imajinasi………………………….....603.3.3 Pengaruh Negatif……………………………………………….......61
3.4 Penguasaan Teknologi...............................................................................623.4.1 Video Games....................................................................................623.4.2 Komputer…………………………………………………………..633.4.3 Internet……………………………………………………………..653.4.4 Gadget...............................................................................................66
3.5 Semangat Hidup………………………………………………………....673.5.1 Faktor Internal..................................................................................673.5.2 Faktor Eksternal…………………………………………………....69
BAB IV ANALISA 4.1 Kelemahan Penyandang Tunanetra.............................................................71
4.1.1 Kelemahan Fisik................................................................................714.1.2 Kelemahan Mental…………………………………………………73
4.2 Kekuatan Penyandang Tunanentra.............................................................754.2.1 Kekuatan Dasar.................................................................................754.2.2 Kekuatan Olahan…………………………………………………...76
4.3 Tantangan Penyandang Tunanetra.............................................................774.4 Motivasi dan Teknologi Informasi Sebagai Solusi....................................78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN5.1 Kesimpulan...............................................................................................815.2 Keterbatasan.............................................................................................825.3 Saran.........................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKARIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi (TI) di Indonesia begitu cepat,
baik dari sektor industri, pendidikan otomotif, elektronika dan berbagai elemen
kehidupan lainnya. Pada masa sekarang, berbagai metode pemanfaatan dan akses
TI telah diterapkan di berbagai sektor kehidupan, mulai dari lembaga pendidikan,
perusahaan besar, hingga instansi pemerintah.
Perkembangan TI yang mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat
lunak (software) telah memberikan kemudahan untuk belajar, bekerja,
bersosialisasi, dan berkomunikasi di dunia luar. Seiring dengan hal tersebut,
komputer sebagai salah satu elemen utama TI telah mengalami perkembangan
yang cepat sehingga dapat digunakan untuk menyimpan data dengan kapasitas
memori yang besar, memutar suara, video dan lain sebagainya.
Kemajuan TI sendiri juga telah membawa perubahan yang besar dalam
kehidupan orang-orang yang lahir dengan kondisi fisik tidak sempurna, yang
biasa disebut penyandang cacat, yang selanjutnya disebut penyandang disabilitas
atau orang berkebutuhan khusus. Dengan adanya teknologi asistif, orang
berkebutuhan khusus dapat memanfaatkannya sebagai alat bantu untuk
menggantikan fungsi organ tubuh atau panca indera mereka yang tidak berfungsi.
Kini orang berkebutuhan khusus dapat berkomunikasi, bersekolah, dan bekerja
layaknya orang yang memiliki fungsi fisik sempurna.
Salah satu yang cukup memanfaatkan TI sebagai penunjang kehidupan adalah
penyandang tunanetra. PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) (2004)
mendefinisikan tunanetra sebagai “mereka yang tidak memiliki penglihatan sama
sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi
tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa
berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca
mata (kurang awas)”.
Dengan hilangnya fungsi penglihatan mereka, otomatis mereka juga
kehilangan akses terhadap hal-hal yang seharusnya dapat disaksikan oleh mata
yang memiliki fungsi penglihatan sempurna. Mereka tak dapat membaca atau
menulis dengan normal, tidak dapat nonton TV atau mengendarai kendaraan
seperti orang yang matanya sempurna, dan berbagai hambatan lain yang muncul
akibat hilangnya fungsi penglihatan. Hal itu dapat berdampak pada menurunnya
kualitas hidup tunanetra itu sendiri, yang menyebabkan mereka mengalami
kemunduran, tekanan jiwa, bahkan diskriminasi.
Dengan semakin berkembangnya TI, kini tunanetra dapat memakainya sebagai
alat bantu pengganti fungsi mata yang hilang. Mereka dapat memperoleh
informasi mengenai lingkungan sekitarnya, bersekolah secara inklusif di lembaga
pendidikan umum, bekerja di kantor atau perusahaan, bahkan memenuhi
kebutuhan sampingan seperti main game atau membaca novel.
Sayangnya, tak semua tunanetra di Indonesia, termasuk lingkungan sosial di
sekitarnya, menyadari bahwa TI dapat menjadi alat bantu yang cukup bermanfaat
untuk menunjang kehidupan tunanetra. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
1. Kurangnya motivasi, baik yang bersumber dari diri sendiri maupun yang
bersumber dari lingkungan sekitar.
2. Kurangnya dukungan dan dorongan dari pihak-pihak terdekat, yaitu orangtua
dan keluarga, yang menyebabkan tunanetra mengalami tekanan jiwa dan
kehilangan rasa percaya diri.
3. Adanya punishment, di mana masyarakat tak menerima keberadaan tunanetra,
karena menganggap mereka berbeda dan perbedaan tersebut menjadikan
tunanetra tak sempurna, yang berpengaruh pada status sosial tunanetra yang
ikut menjadi tidak sempurna.
4. Tunanetra cenderung merasa pasrah dengan keadaannya, asalkan dapat makan
dan minum maka segalanya sudah tercapai.
5. Sifat minder serta kurang percaya diri, menyebabkan tunanetra malu dan takut
untuk belajar.
6. TI dianggap sebagai barang mahal yang hanya menghabiskan biaya dan
sumber daya.
7. Adanya pemahaman bahwa TI sulit dipelajari dan tidak mungkin dapat
dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan.
8. Bagi yang mampu kadang merasa sombong, sehingga berhenti belajar dan tak
mau mengikuti perkembangan TI.
Bagi tunanetra Indonesia yang menerima dan menggunakan TI dalam
kehidupannya pun harus melewati proses belajar yang tidak mudah, pasalnya
tidak semua hardware dan software dapat langsung digunakan oleh tunanetra.
Hardware dan software itu hendaknya aksesibel, maksudnya dapat diakses dengan
mudah oleh tunanetra. Contoh yang paling mudah adalah jam bicara, jadi
tunanetra dapat mengakses fungsi waktu dari jam dengan mendengarkan
informasi yang disuarakan oleh jam tersebut.
Selain masalah di atas, tunanetra pun harus berhadapan dengan hal-hal yang
menyebabkan mereka mengalami tekanan jiwa. Contoh paling dekat adalah
kurangnya dukungan dari pihak keluarga, sehingga tunanetra tidak memperoleh
akses akan dunia luar, tidak dapat bergaul seperti halnya anak-anak berfisik
sempurna pada umumnya, atau bersosialisasi secara normal.
Saat keluar rumah tak jarang mereka dihina karena kondisi fisiknya, demikian
juga saat sekolah atau bekerja, tunanetra masih belum memperoleh hak dan
kewajiban yang seharusnya juga diperolehnya. Kurangnya sarana dan prasarana di
Indonesia juga cukup menghambat tunanetra untuk dapat menguasai dan
memanfaatkan TI. Demikian pula dengan tenaga pengajar, dosen, konsultan, atau
ilmuwan yang mengkhususkan diri mengabdi untuk perkembangan TI bagi
tunanetra yang jumlahnya masih sedikit, sehingga tunanetra kesulitan untuk
belajar dan memanfaatkan TI.
1.2 Masalah Pokok Skripsi
Bertolak dari latar belakang di atas terlihat bahwa dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup tunanetra sangat dipengaruhi oleh adanya motivasi. Selain itu,
pemanfaatan teknologi informasi pun dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi
keberhasilan upaya tersebut. Mengingat bawa persoalan-persoalan di atas yang
sangat luas sehingga untuk dapat membahas dan menganalisa secara tuntas dan
menyeluruh akan memerlukan kemampuan ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang luas pula.
Dengan harapan agar pembahasan skripsi dapat lebih terarah sesuai dengan
topik penelitian yang diarahkan untuk mempermudah pembahasan yang
menguraikan pada bab-bab selanjutnya, maka masalah-masalah yang penulis pilih
untuk diketengahkan dalam pembahasannya, adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh motivasi serta pemanfaatan teknologi informasi dalam
meningkatkan kualitas hidup tunanetra, dalam hal ini penulis memfokuskan
pada pengalaman hidup penulis sendiri sebagai tunanetra.
2. Sejauh manakah motivasi dan teknologi informasi dapat mengatasi kendala
serta tantangan yang dihadapi tunanetra, dalam hal ini, fokus pada pengalaman
pribadi yang penulis alami.
3. Faktor apa saja yang menghambat tunanetra untuk dapat hidup sejajar seperti
halnya orang-orang yang memiliki fisik sempurna, serta bagaimana motivasi
dan teknologi informasi dapat mengubah hambatan-hambatan tersebut
menjadi peluang bagi tunanetra untuk dapat hidup lebih baik.
1.3 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu anggapan dasar daripada suatu argumentasi suatu
masalah yang dianggap benar untuk sementara, sedang untuk membuktikan
kebenaran yang sesungguhnya dari argumen tersebut masih harus dibuktikan
melalui uraian selanjutnya dan kaitannya dengan hipotesa ini adalah sebagai
berikut:
1. Apabila tunanetra dapat membangkitkan motivasi positif dalam dirinya,
diharapkan akan tercipta semangat dalam usaha-usaha peningkatan kualitas
hidup seperti bersosialisasi, bersekolah, bekerja, bahkan hidup normal
bersama masyarakat di sekelilingnya.
2. Apabila tunanetra dapat memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat bantu,
maka akan mengubah hambatan hidup menjadi peluang hidup, sehingga dapat
beraktivitas dan menjalaninya dengan lebih mudah.
3. Apabila tunanetra telah dapat membangkitkan motivasi dan memanfaatkan
teknologi informasi, diharapkan hal ini dapat menjadi contoh positif, baik bagi
rekan-rekannya sesama tunanetra, keluarga dan relasi dari tunanetra yang
bersangkutan, dan untuk masyarakat luas secara umum. Dengan demikian,
harkat dan martabat tunanetra pun akan naik, karena masyarakat menyadari
dan membuktikan sendiri bahwa tunanetra pun dapat hidup layak dan ambil
bagian dalam kehidupan bermasyarakat.
Inilah rangkuman hipotesis dalam skripsi yang penulis buat, hipotesis ini ada
terlihat dalam gambaran pada penjabaran Bab IV dan Bab V dalam skripsi ini.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain:
a. Untuk memberikan gambaran bahwa tunanetra dapat menguasai dan
memanfaatkan teknologi informasi.
b. Untuk memberikan gambaran betapa pentingnya motivasi sebagai
penggerak utama bagi tunanetra untuk menguasai teknologi informasi.
c. Untuk memberikan gambaran strategi serta langkah-langkah yang dapat
diambil tunanetra untuk memaksimalkan kualitas hidupnya dengan bekal
motivasi dan teknologi informasi.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu
menggambarkan dan mengguraikan kejadian yang sedang terjadi berdasarkan data
yang berhasil dikumpulkan, kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.
Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut:
1. Studi kepustakaan, yaitu cara memperoleh data dengan mempelajari buku-
buku ,catatan surat kabar dan media online yang menyajikan informasi yang
ada hubungannnya dengan masalah yang sedang dibahas.
2. Studi lapangan yaitu cara memperoleh data dengan melaksanakan penelitian
secara langsung pada objek yang sedang diteliti dengan cara:
a. Observasi, yaitu memperoleh data dengan cara melakukan pengamatan lalu
mencatat peristiwa serta keterangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini penulis
mengambil objek beberapa orang tunanetra, dan sebagian besar objek
penelitian adalah berdasar pada pengalaman hidup yang penulis alami.
b. Wawancara, yaitu cara memperoleh data dengan mengadakan tanya jawab
dengan orangtua penulis, dengan beberapa orang tunanetra, dan dengan
staff pengajar tunanetra yang dianggap dapat memberi keterangan atau
informasi yang dibutuhkan.
1.6 Pembabakan Skripsi
Dengan tujuan untuk memperjelas batasan-batasan yang diuraikan dalam
skripsi ini secara keseluruhan, maka secara kronologis dan sistematis batasan
dalam skripsi ini penulis bagi dalam bab dan sub bab, masing masing bab dan sub
bab saling berkaitan serta saling isi mengisi sehingga secara keseluruhan akan
merupakan suatu karangan ilmiah yang dapat dimengerti dan diterima oleh para
pembaca.
Secara lengkapnya uraian yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini adalah
sbb:
1. Bab I adalah merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas uraian latar
belakang permasalahan penulisan, masalah pokok skripsi yang menjadi batasan
skripsi, uraian tentang anggapan dasar sementara yang dianggap benar sebagai
pemecahan masalah berupa hipotesa, tujuan penelitian, metode penelitian yang
dilaksanakan dalam rangka memperoleh data dan informasi, dan menguraikan
pembabakan skripsi yang penulis pergunakan untuk menjelaskan urut-urutan
pembahasan skripsi ini.
2. Bab II adalah bab yang berisi uraian tentang teori-teori dari kehidupan sosial,
pengertian tunanetra, motivasi bagi tunanetra, sejarah teknologi informasi bagi
tunanetra, serta hubungan antara motivasi dan penguasaan teknologi informasi
bagi tunanetra.
3. Bab III berisi tinjauan mengenai pribadi penulis sebagai objek utama, meliputi
perkembangan jiwa anak, perkembangan pendidikan, perkembangan remaja,
penguasaan teknologi, semangat hidup, dan kemandirian sebagai tunanetra.
4. Bab IV menguraikan tentang kekuatan tunanetra, kelemahan tunanetra, peluang
dan tantangan dalam membangun motivasi dan memanfaatkan teknologi
informasi, dan harapan-harapan yang hendak dicapai serta proses-proses
penanggulangannya. .
5. Bab V berupa bab tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kejiwaan Penyandang Tunanetra
2.1.1. Pengertian Tunanetra
Menurut batasan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) tunanetra adalah
individu yang berindera penglihatan lemah pada kedua matanya sedemikian rupa
sehingga tidak memiliki kemampuan membaca tulisan atau huruf cetak ukuran
normal (ukuran huruf ketik pika) pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu
dengan kaca mata, sampai dengan mereka yang buta total (Anggaran Rumah
Tangga Pertuni tahun 1993, Pasal 1:1).
Dengan demikian, yang disebut tunanetra bukan hanya mereka yang tidak
dapat melihat sama sekali (totally blind), tapi juga mereka yang lemah penglihatan
(low vision) sesuai spesifikasi yang tercantum di atas. Untuk orang-orang yang
berpenglihatan sempurna, PERTUNI memberikan definisi “orang awas,” artinya
mereka yang dapat memfungsikan penglihatannya secara sempurna.
2.1.2. Kepribadian
Byrne dan Kelly (1981:31) mendefinisikan kepribadian sebagai "Sum total of
all of the relatively enduring dimensions of individual differences" (gabungan
semua dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu,
yang membedakannya dengan individu-individu lain). Definisi tersebut
menyiratkan bahwa kepribadian itu merupakan gambaran menyeluruh tentang
keadaan individu berdasarkan dimensi-dimensinya, dan bahwa individu itu unik,
sehingga tidak ada dua orang individu yang memiliki kepribadian yang persis
sama.
Ferguson (1970 dalam Zimbardo, 1977:409) mendefinisikan kepribadian
sebagai berikut: "... personality is the sum total of the ways in which an individual
characteristically reacts to and interacts with others and with objects”
(Kepribadian adalah gabungan semua cara khas seorang individu bereaksi dan
berinteraksi dengan individu-individu lain dan dengan obyek-obyek). Definisi
tersebut menyiratkan bahwa kepribadian seseorang itu dapat dilihat dari caranya
bereaksi dan berinteraksi dengan lingkungannya, dan setiap orang bereaksi dan
berinteraksi dengan caranya masing-masing yang khas. Bila kita menggabungkan
kedua definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kepribadian adalah
gabungan dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu,
yang ditunjukkan oleh caranya yang khas dalam bereaksi dan berinteraksi dengan
individu-individu lain dan dengan obyek-obyek, yang menunjukkan perbedaannya
dengan individu-individu lain. Berdasar pada landasan teori di atas maka dapat
diasumsikan bahwa ketunanetraan pada diri individu merupakan ciri khas bukan
berbeda menurut harkat martabat yang membedakan pribadinya dengan pribadi
individu lain, karena ketunanetraan yang dialaminya akan mempengaruhi caranya
bereaksi dan berinteraksi dengan individu atau objek di sekitarnya.
2.1.3. Perkembangan Pribadi Tunanetra
Pada tahun 1954, Julian Rotter memperkenalkan satu varian dari pendekatan
teori belajar yang dinamakan social learning theory. Teori social learning tidak
memandang manusia sebagai dikontrol oleh kekuatan-kekuatan internal, dan tidak
pula sebagai boneka yang tak berdaya terhadap pengaruh-pengaruh
lingkungannya. Melainkan, teori ini berpendapat bahwa sebaiknya fungsi
psikologis itu dipahami sebagai suatu interaksi timbal-balik antara perilaku
dengan kondisi-kondisi yang mengontrolnya (Bandura, 1971 dalam Zimbardo,
1977:428).
Berbeda dengan teori-teori belajar lainnya (misalnya teori operant
conditioning dari Skinner), pendekatan belajar sosial ini menekankan bahwa
proses kognitif manusia berperan dalam kegiatan belajar dan mempertahankan
pola-pola perilaku. Teori social learning meyakini pentingnya situasi eksternal
dan peranan reinforcement dalam menentukan perilaku, dan bahwa stimuli
memainkan peranan yang kuat dalam menentukan perilaku, tetapi di samping itu
teori ini juga menekankan pentingnya proses kognitif "yang terjadi di dalam
kepala".
Teori social learning ini mengemukakan bahwa orang dapat belajar sesuatu
secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang lain, di samping belajar
melalui pengalaman langsung. Lebih jauh, orang dapat menggunakan simbol-
simbol untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa eksternal secara kognitif,
sehingga memungkinkan mereka meramalkan kemungkinan konsekuensi
tindakannya tanpa harus benar-benar mengalaminya. Di samping itu, individu
mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan kemampuan
tersebut dia mengevaluasi perilakunya sendiri (berdasarkan standar pribadinya)
dan menciptakan penguatan sendiri (misalnya dengan merestui perbuatannya
sendiri (self-approval) atau menyesali perbuatannya sendiri (self-reproach).
Kapasitas mengatur diri sendiri ini memungkinkan individu mengontrol
tindakannya sendiri, bukannya dikontrol oleh kekuatan-kekuatan eksternal.
Dalam pengembangan teori Social Learning, Bandura melakukan penelitian
yang disebutnya Observational Learning (belajar melalui pengamatan)
(Zimbardo, 1977:429). Menurut hasil penelitian tersebut, banyak perilaku yang
ditampilkan individu dipelajari atau dimodifikasi dengan memperhatikan dan
meniru model melakukan tindakan-tindakan tersebut. Model tersebut dapat
mencakup orang tua, guru, teman, bintang televisi, tokoh kartun, dan lain-lain.
Pengaruh modeling itu ditentukan oleh empat proses yang saling terkait:
1. Proses Perhatian (Attentional Processes). Orang akan belajar dari seorang
model hanya jika mereka memperhatikan dan mengenali aspek-aspek terpenting
dari perilaku model itu. Model yang menarik atau dipersepsi sebagai mirip dengan
observer akan lebih besar kemungkinannya untuk berpengaruh, dan demikian pula
halnya dengan model yang sering muncul dengan menampilkan perilaku
fungsional yang penting. Model-model tertentu (seperti yang ditayangkan di
televisi) begitu efektif dalam menarik perhatian sehingga penonton akan meniru
aktivitas model tersebut meskipun individu tidak memiliki insentif khusus untuk
berbuat demikian.
2. Proses Pengingatan (Retention Processes). Pengaruh seorang model
tergantung pada kemampuan individu untuk mengingat tindakan model itu
sesudah dia hilang dari pandangan. Pengkodean simbolik (symbolic coding) dan
pengulangan dalam hati (mental rehearsal) untuk perilaku model merupakan dua
proses yang membantu meningkatkan daya ingat.
3. Proses Reproduksi Motorik (Motoric Reproduction Processes). Bila orang
belajar perilaku baru dengan mengamati seorang model, mereka tidak akan dapat
menunjukkan bukti hasil belajarnya itu tanpa menampilkan aktivitas yang
ditirunya itu. Jika mereka memiliki kekurangan dalam keterampilan tertentu,
maka mereka tidak akan dapat melakukan apa yang telah mereka amati itu.
4. Proses Penguatan dan Motivasi (Reinforcement and Motivational Processes).
Apakah perilaku yang telah dipelajari itu akan ditampilkan atau tidak, tergantung
pada apakah perilaku tersebut akan mendapatkan imbalan (reward) atau hukuman
(punishment). Jika terdapat insentif yang positif, maka perilaku yang ditiru itu
akan memperoleh lebih banyak perhatian, dipelajari dengan lebih baik, dan
ditampilkan lebih sering.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan
kepribadian tunanetra dapat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya, model
yang dicontohnya, lingkungan tempat ia berada, dan keyakinan yang dianutnya.
Semakin besar input psitif yang diterima, maka semakin besar pula nilai-nilai
positif yang tumbuh dalam diri tunanetra. Namun, semakin besar nilai-nilai
negatif yang diterimanya, maka pribadinya pun akan tumbuh menjadi pribadi
yang negatif.
2.1.4. Pengaruh Ketunanetraan Terhadap Kepribadian Tunanetra
Ketunanetraan mempunyai pengaruh yang luas terhadap proses perkembangan
individu. Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan dampak
ketunanetraan itu pada bidang-bidang perkembangan yang memiliki kaitan
langsung dengan perkembangan kepribadian, yaitu perkembangan sosial dan
emosi, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, dan perkembangan
mobilitas.
a. Dampak Emosional
Bayangkan sebuah keluarga tiba-tiba mendapati bahwa seorang anaknya
menjadi tunanetra. Bagaimanakah perasaan keluarga tersebut? Ayah dan
ibunya mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan; mereka
mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai
cara; mereka mungkin merasa kecewa, sedih, malu, dan berbagai bentuk
emosi lainnya. Mereka mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap
anaknya itu. Mary Kingsley (dalam Mason & McCall, 199:24)
mengemukakan bahwa skenario seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang
mempunyai anak cacat. Dalam keadaan seperti itu keluarga tersebut perlu
memperoleh bantuan untuk menyadari bahwa keadaan tersebut tidak
sepenuhnya suram. Dengan bantuan dan pengajaran yang tepat, anak tunanetra
itu akan mampu mengembangkan berbagai keterampilan yang dibutuhkannya
untuk merealisasikan seluruh potensinya dan menjadi orang dewasa yang
mandiri, mencapai keseimbangan yang baik, dan mampu menyesuaikan
dirinya secara sosial.
Kingsley mengemukakan bahwa biasanya orang tua akan mengalami masa
duka akibat kehilangan anaknya yang "normal" itu dalam tiga tahap: tahap
penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan; meskipun untuk
orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-
tahun. Proses "duka cita" ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang
tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan
berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan
hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya
akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
b. Masa Bayi
Faktor-faktor lain, seperti tingkat pemahaman orang tua mengenai
ketunanetraan, juga akan mempengaruhi hubungan orang tua-anak pada masa
dini. Elstner (1983), dalam Mason & McCall, 1999)24), dalam telaahannya
mengenai abnormalitas dalam komunikasi verbal anak tunanetra,
mengemukakan bahwa kita perlu mempertimbangkan perspektif orang-orang
awas dalam lingkungan bayi tunanetra. Secara tak sadar, untuk memicu respon
kasih sayang mereka terhadap bayi tunanetra itu, mereka mengharapkan bayi
tersebut menampilkan reaksi dan pola perilaku sebagaimana yang lazim
ditampilkan oleh bayi awas. Oleh karena itu, mereka salah tafsir terhadap
wajah bayi tunanetra yang tanpa ekspresi itu bila hal itu ditafsirkannya sebagai
mencerminkan penolakan atau tak berminat terhadap orang-orang di
sekitarnya. Kita biasanya mengharapkan bayi menatapkan pandangannya
kepada kita sebagai tanda adanya komunikasi sesuatu yang tidak dilakukan
oleh seorang bayi tunanetra. Tidak tersambungkannya hubungan komunikasi
tersebut, menurut formulasi Wills (1978 dalam Mason & McCall, 1999:24),
disebabkan karena anak tunanetra dan orang-orang awas di sekitarnya
berkomunikasi dalam "wavelengths" yang berbeda.
c. Masa Pra-Sekolah
Masalah dapat timbul pada saat anak tunanetra itu memasuki masa usia pra-
sekolah. Dalam kegiatan bermain dengan sebayanya, dia mungkin sering
diacuhkan oleh teman-temannya. Kingsley (dalam Mason & McCall, 1999:24)
mengemukakan bahwa pada masa ini anak-anak bermain secara paralel untuk
beberapa saat lamanya, melakukan kegiatan yang sama tetapi tidak bekerjasama.
Kerjasama itu dipelajarinya melalui proses saling mengamati bermain dan
melakukan kontak mata. Akibat kehilangan indera penglihatannya, anak
tunanetra itu tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan oleh
teman-temannya, dan akibatnya dia mungkin tidak akan diajak untuk turut serta.
Kekurangan tersebut seyogyanya dapat diatasi dengan bantuan orang dewasa
yang memahami kebutuhan khusus anak tunanetra tersebut, misalnya dengan
memberikan deskripsi verbal tentang apa yang tengah terjadi di lingkungannya
sehingga anak itu terangsang untuk turut melibatkan diri.
d. Bahasa Tubuh
Pada saat anak sudah lebih besar, mereka memerlukan keterampilan untuk
mengawali dan mempertahankan hubungan sosial. Bahasa tubuh (body
language) merupakan sarana komunikasi yang penting untuk melengkapi
bahasa lisan di dalam komunikasi sosial. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai
dengan bahasa tubuh kawan-kawannya, sejauh tertentu sosialisasinya mungkin
akan terganggu. Bayangkan, misalnya, seorang mahasiswa yang masih
mengangkat tangannya tinggi-tinggi pada saat hendak mengajukan pertanyaan
di kelas sebagaimana yang dilakukannya di taman kanak-kanak. Pada awal masa
sekolahnya, anak tunanetra mungkin diajari oleh gurunya untuk mengangkat
tangan setinggi mungkin bila hendak bertanya atau menjawab pertanyaan. Dia
tidak menyadari dan tidak ada orang yang pernah memberitahukan kepadanya
bahwa dengan bertambahnya usia dan semakin tingginya tingkat sekolah, isyarat
itu semakin kecil hingga sekedar sedikit mengangkat jari saja seperti yang
dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi.
e. Nuansa bahasa tubuh yang luwes yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku
sebagaimana yang dapat kita amati pada anak awas pada umumnya, sangat
kontras dengan bahasa tubuh yang terkadang sangat kaku yang dapat kita amati
pada banyak anak tunanetra (Kingsley dalam Mason & McCall, 1999:25).
f. Penyesuaian Sosial
Terdapat banyak bukti yang bertentangan tentang apakah individu tunanetra
kurang baik penyesuaian dirinnya dibanding anak awas. Karena penelitian itu
tidak memperlihatkan bahwa anak tunanetra pada umumnya tidak mampu
menyesuaikan diri, maka kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kepribadian
bukan kondisi yang melekat dengan ketunanetraan (Hallahan & Kauffman,
1991:313).
Cutsforth (1951 dalam Hallahan & Kauffman, 1991) adalah salah seorang ahli
pertama yang menekankan bahwa jika ketidakmampuan menyesuaikan diri terjadi
pada diri seseorang, hal itu lebih diakibatkan oleh cara masyarakat
memperlakukan orang tunanetra tersebut. Pada intinya, reaksi masyarakat
terhadap ketunanetraanlah yang menentukan tingkat penyesuaian diri individu
tunanetra itu. Bila individu tunanetra tidak diterima oleh mereka yang non-cacat,
banyak profesional percaya bahwa hal itu karena beberapa di antara mereka
mengalami kesulitan memperoleh keterampilan sosial, seperti cara menunjukkan
ekspresi wajah yang tepat.
2.2. Peluang dan Tantangan Tunanetra
Bila kita merujuk pada sub bab sebelumnya, maka hilangnya fungsi
penglihatan dapat menjadi tantangan bagi tunanetra untuk dapat hidup seperti
halnya orang awas. Namun, dengan memahami tantangan yang dialami tunanetra,
maka diharapkan, baik tunanetra itu sendiri atau pun orang awas, dapat
membantu tunanetra mengubahnya menjadi peluang hidup.
(www.livestrong.com/article/241936-challenges-that-blind-people-face ). Berikut
ini garis besar tantangan-tantangan yang umum dihadapi oleh tunanetra.
Tantangan-tantangan tersebut adalah sbb:
2.2.1. Interaksi Fisik
Menurut World Access for the Blind, tantangan terbesar bagi tunanetra adalah
interaksi fisik. Akibat hilangnya fungsi penglihatan, tunanetra akan menemui
kesulitan bergerak dan berorientasi di tempat-tempat yang tidak dikenalnya.
Untuk berjalan di jalan yang ramai misalnya, mereka umumnya membawa
pendamping orang awas, atau memanfaatkan tongkat untuk memandu jalan.
Selain itu, tunanetra perlu menghapal dengan seksama keadaan lingkungan
sekitarnya. Apabila ia tinggal bersama anggota keluarga di sebuah bangunan,
pastikan jalan-jalan yang biasa dilalui tunanetra bebas dari rintangan contohnya
benda pecah belah atau benda besar. Keadaan akan bertambah sulit bila benda-
benda yang biasa dipergunakan secara rutin, misalnya Audio CD atau perangkat
hiburan, dipindah-pindahkan tanpa memberitahu tunanetra yang bersangkutan.
2.2.2. Interaksi Sosial
Kebutaan sering menimbulkan tantangan sosial, terutama untuk aktivitas di
mana tunanetra tak dapat ikut berpartisipasi di dalamnya. Menurut World Health
organisation (WHO), kebutaan akan menghambat seseorang untuk melakukan
pekerjaan tertentu, sehingga membatasi peluang mereka untuk memperoleh
pendidikan, pekerjaan, atau status sosial lainnya. Hal ini tak hanya mempengaruhi
keadaan finansial, namun juga rasa percaya diri tunanetra yang bersangkutan.
Kebutaan juga membatasi aktivitas sosial lain, seperti olahraga dan
pendidikan. Tunanetra membutuhkan layanan khusus agar dapat ikut proses
pendidikan, dan mereka tentunya tak dapat berolahraga yang membutuhkan fungsi
mata seperti menembak atau balap mobil.
Pada kasus yang paling sederhana, membuat janji untuk bertemu dengan
seseorang, tunanetra akan dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, karena ia
tak dapat mengidentifikasi tempat bertemu atau ciri-ciri orang yang hendak
ditemuinya.
2.2.3. Pemanfaatan Teknologi
Karena tunanetra tak dapat melihat, maka ia akan kesulitan mengoperasikan
peralatan elektronik atau teknologi canggih yang tidak didesain khusus untuk
mengakomodasi kebutuhan mereka.
Seperti dicontohkan University of Wisconsin, tunanetra atau orang yang
memiliki keterbatasan penglihatan akan menemui kesulitan saat hendak
mengakses halaman web beserta konten di dalamnya. Mereka membutuhkan
aplikasi khusus yang dapat mengubah informasi yang ditampilkan ke bentuk
informasi yang dapat diterima oleh indera mereka yang masih berfungsi, namun
hal tersebut membutuhkan proses belajar serta biaya yang tidak sedikit.
Untuk mengoperasikan benda-benda elektronik seperti mesin cuci, kompor
gas, atau ponsel, tunanetra perlu menghapal dan memahami dengan seksama
fungsi dan cara penggunaan alat-alat tersebut. Terkadang hal itu menjadikan
tunanetra kurang mandiri, misalnya ketika ia mengoperasikan ponsel yang tidak
didesain khusus untuk tunanetra, ketika ada pesan singkat (SMS) masuk, ia
membutuhkan bantuan orang awas untuk membacakan isinya, sehingga ketika tak
ada orang awas yang membantunya, tunanetra tak dapat mengakses informasi
yang dibutuhkannya.
2.3. Motivasi Penyandang Tunanetra
2.3.1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak
(move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu,
membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan
untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas
perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang
sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan
kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku
yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Menurut Wexley
& Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif,
dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
Menurut Morgan (dalam Soemanto, 1987) motivasi bertalian dengan tiga hal yang
sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah:
1. keadaan yang mendorong tingkah laku ( motivating states ),
2. tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut ( motivated behavior ),
3. Tujuan dari pada tingkah laku tersebut ( goals or ends of such behavior ).
Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan sejumlah proses- proses
psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya
persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan
tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang
menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.
(www://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/teori-motivasi-abraham-maslow-2/
Teori motivasi Abraham Maslow).
2.3.2 Teori-Teori Motivasi
A. Teori motivasi Abraham H. Maslow
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada
intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat
atau hierarki kebutuhan,yaitu:
1) Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Manifestasi
kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan
papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur,
perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah,
kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja,
menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi
organisasi.
2) Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)
Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan
jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya
dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan
antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan
formal atas kedudukan dan wewenangnya.
3) Kebutuhan sosial (Social Needs).
Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam
kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan
diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang
diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense
of belonging dalam organisasi.
4) Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs).
Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian.
Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta
prestise yang ditampilkannya.
5) Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization).
Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik.
Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan
(kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai
untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja
pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen
B. Teori Motivasi Herzberg
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong
seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri
dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor
ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene
memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk
didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi
lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor
motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan,
yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan
tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).
C. Teori Motivasi Douglas McGregor
Mengemukakan dua pandangan manusia yaitu teori X (negative) dan
teori y (positif), Menurut teori x empat pengandaian yag dipegang
manajer
a. karyawan secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai
kerja
b. karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau diancam
dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
d. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua factor yang
dikaitkan dengan kerja.
Kontras dengan pandangan negative ini mengenai kodrat manusia ada
empat teori Y :
a. karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti
istirahat dan bermain.
b. Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka komit pada sasaran.
c. Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.
D. Teori Motivasi Vroom (1964)
Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation
menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia
yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu
sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi
seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
a) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
b) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika
berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk
mendapatkan outcome tertentu).
c) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif,
netral, atau negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu
yang melebihi harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan
kurang dari yang diharapkan
E. Achievement Theory Mc Clelland (1961)
Yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga
hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
a) Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
b) Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama
dengan soscialneed-nya Maslow)
c) Need for Power (dorongan untuk mengatur)
F. Teori Motivasi Clayton Alderfer ERG
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan
pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan
(relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan
teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang
lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali
pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu
dan dari situasi ke situasi.
2.3.2. Faktor-faktor Motivasi Internal Tunanetra
a. Cita-cita atau aspirasi
Sejak dini, hendaknya orangtua menanamkan nilai-nilai kesempurnaan
dalam diri tunanetra,, dan membantu mengatasi kekurangannya dari segi
penglihatan, sehingga, memberi kesempatan untuk belajar dan bekerja,
serta memberikan pengetahuan tentang disiplin dan tanggungjawab.
Dengan demikian tunanetra dapat menyuarakan aspirasi dan membangun
cita-cita yang sama dengan orang awas.
b. Kondisi jasmani dan rohani
Bila tunanetra diberikan pemahaman yang benar tentang kondisi jasmani
dan rohaninya, maka ia dapat menumbuhkan motivasi berdasar pada
pemahaman bahwa kondisi jasmani yang kurang sempurna bukan
merupakan penghambat, namun sebuah tantangan agar ia mampu
mengoptialkan anggota tubuhnya yang lain untuk menutupi kekurangan
jasmaniah yang disandangnya. Dengan pemahaman rohaniah yang baik,
tunanetra dapat menumbuhkan motivasi berdasarkan pada pemahaman
bahwa Allah akan selalu menyertai hambanya yang sabar dan ikhtiar.
c. Dorongan untuk berprestasi
Dorongan yang menjadikan tunanetra punya keinginan berprestasi,
sehingga ia dapat kreatif menyiasati kekurangan fisik yang disandangnya,
dan mengoptimalkan kemampuannya yang lain untuk meraih prestasi yang
diinginkannya.
d. Keuletan dalam mengatasi tantangan Sifat ulet akan menjadikan tunanetra
pantang menyerah, baik terhadap hambatan yang muncul dari dirinya
sendiri (malas, minder, sombong, dan lain-lain) atau hambatan yang
datangnya dari luar dirinya (diskriminasi, tanggapan negatif lingkungan
sekitar, dan lain-lain).
2.3.3. Faktor-faktor Motivasi Eksternal Tunanetra
a. Dukungan orangtua dan keluarga.
Adanya sikap positif dari pihak terdekat, dalam hal ini, orangtua dan
keluarga merupakan langkah penanaman motivasi eksternal terbaik yang
dapat diberikan pada tunanetra sebelum mereka mulai keluar dari
lingkungannya. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi
bagi tunanetra, sehingga ia mampu hidup dengan normal di lingkungan
keluarganya, dan hal tersebut dapat juga diterapkannya pada lingkungan
luar.
b. Dukungan lingkungan sosial
Sumber motivasi eksternal selanjutnya adalah bagaimana masyarakat dan
lingkungan sekitar bereaksi dan berinteraksi dengan tunanetra. Bila
tunanetra diberikan kesempatan untuk dapat bersosialisasi dengan wajar,
maka ia pun dapat belajar hidup normal dan bersosialisasi seperti apa yang
dipelajarinya dari lingkungan sekitar. Bila nilai-nilai positif yang
diterimanya, maka akan positif pula umpan balik yang akan diberikannya.
c. Dukungan sarana dan prasarana
Motivasi eksternal ini, meski sifatnya tidak mutlak, akan sangat membantu
dalam meningkatkan motivasi tunanetra. Adanya fasilitas belajar mengajar
yang memadai, dibangunnya sarana transportasi dan navigasi yang
mengindahkan standarisasi bagi tunanetra, serta tersedianya akses terhadap
teknologi informasi akan membuka peluang di berbagai bidang sosial,
mulai dari pendidikan, pekerjaan, hiburan, bahkan persamaan hak dan
kewajiban dalam bernegara dan bermasyarakat.
2.4. Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Bagi Tunanetra
2.4.1. Sejarah Singkat Teknologi Informasi
Secara umum teknologi informasi dapat diartikan sebagai kegiatan atau proses
pemanfaatan, pengambilan, pengumpulan (akuisisi), pengolahan, penyimpanan,
penyebaran, dan penyajian informasi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi,
2006: 6). Tercakup dalam definisi tersebut adalah semua perangkat keras,
perangkat lunak, kandungan isi, dan infrastruktur komputer maupun
telekomunikasi. Istilah TIK atau ICT (Information and Communication
Technology), atau yang di kalangan negara Asia berbahasa Inggris disebut sebagai
Infocom, muncul setelah berpadunya teknologi komputer (baik perangkat keras
maupun perangkat lunaknya) dan teknologi komunikasi sebagai sarana
penyebaran informasi sebagai perpaduan pada paruh abad ke 20.
Bila dilacak ke belakang, terdapat beberapa tonggak perkembangan teknologi
yang secara nyata memberi sumbangan terhadap eksistensi TIK saat ini. Pertama
adalah temuan telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1875. Temuan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan penggelaran jaringan komunikasi dengan kabel
yang melilit seluruh daratan Amerika, bahkan kemudian diikuti pemasangan kabel
komunikasi trans atlantik. Inilah infrastruktur masif pertama yang dibangun
manusia untuk komunikasi global.
Memasuki abad ke-20, tepatnya antara tahun 1910-1920, terealisasi transmisi
suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama (Lallana, 2003:5).
Komunikasi suara tanpa kabel segera berkembang pesat, dan kemudian bahkan
diikuti pula oleh transmisi audio visual tanpa kabel, yang berwujud siaran televisi
pada tahun 1940-an. Komputer elektronik pertama beroperasi pada tahun 1943,
yang kemudian diikuti oleh tahapan miniaturisai komponen elektronik melalui
penemuan transistor pada tahun 1947, dan rangkaian terpadu (integrated
electronics) pada tahun 1957.
Perkembangan teknologi elektronika, yang merupakan soko guru TIK saat ini,
mendapatkan momen emasnya pada era perang dingin. Persaingan IPTEK antara
blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (eks Uni Sovyet) justru memacu
perkembangan teknologi elektronika lewat upaya miniaturisasi rangkaian
elektronik untuk pengendali pesawat ruang angkasa maupun mesin-mesin perang.
Miniaturisasi komponen elektronik, melalui penciptaan rangkaian terpadu,
pada puncaknya melahirkan mikroprosesor. Mikroprosesor inilah yang menjadi
otak perangkat keras komputer, dan terus berevolusi sampai saat ini.
Di lain pihak, perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat mulai
diimplementasi-kannya teknologi digital menggantikan teknologi analog yang
mulai menampakkan batas-batas maksimal pengeksplorasiannya. Digitalisasi
perangkat telekomunikasi kemudian berkonvergensi dengan perangkat komputer
yang dari awal merupakan perangkat yang mengadopsi teknologi digital. Produk
hasil konvergensi inilah yang saat ini muncul dalam bentuk telepon seluler. Di
atas infrastruktur telekomunikasi dan komputasi inilah kandungan isi (content)
berupa multimedia, mendapatkan tempat yang tepat untuk berkembang.
Konvergensi telekomunikasi komputasi multimedia inilah yang menjadi ciri
abad ke-21, sebagaimana abad ke-18 dicirikan oleh revolusi industri. Bila revolusi
industri menjadikan mesin-mesin sebagai pengganti otot manusia maka revolusi
digital (karena konvergensi telekomunikasi-komputasi-multimedia terjadi melalui
implementasi teknologi digital) menciptakan mesin-mesin yang mengganti (atau
setidaknya meningkatkan kemampuan) otak manusia.
2.4.2. Teknologi Asistif
Berdasarkan pada perkembangan teknologi informasi yang telah dipaparkan di
atas, manusia pun mulai memikirkan akses dan pemanfaatan teknologi informasi
bagi penyandang ketunaan, yang kemudian dikenal dengan istilah Teknologi
Asistif (assistive technology).
Menurut Technology-Related Assistance for Persons with Disabilities Act (1988)
Amerika Serikat. "..assisstive technology devices..are any item, place of equepment
or product system, whether acquired commercially of the shelf modified, or
customized, that is used to increse, maintain, or improve functional capabilities of
individuals with disabilities."
Sementara itu Wobschall dan Lakin at.al (McBroyer, 2002) mendefinisikan
"..assistive technology is just a subset of tools used by human being, providing in
ways and places that are needed by relatively few people with significant impairment
in `normal' physical, sensory, or cognitive abilities."
Dengan demikian Assistive technology pada hakikatnya adalah segala macam
benda atau alat yang dengan cara dimodifikasi atau langsung digunakan untuk
meningkatkan atau merawat kemampuan penyandang ketunaan.
Komputer adalah salah satu bagian penting hasil perkembangan teknologi
informasi masa kini. Di antara makna pentingnya adalah assistive technologies
(teknologi-teknologi asistif) yang membantu siswa-siswa dengan kebutuhan khusus
untuk belajar mengerjakan tugas-tugas yang terkait dengan belajar dan kehidupan
sehari-hari. Beberapa teknologi asistif memungkinkan siswa dengan disabilitas untuk
mengakses komputer; sebagian lainnya memberikan berbagai peluang pendidikan
yang sebelumnya tidak ditawarkan.
Di antara teknologi asistif yang terpenting adalah teknologi yang memberikan
akses ke komputer dan teknologi komunikasi modern lain kepada siswa-siswa dengan
disabilitas. Beberapa contoh aplikatifnya adalah sebagai berikut :
a. Keyboard-nya dapat dimodifikasi, sehingga dapat digunakan misalnya untuk
orang yang hanya memiliki satu tangan atau satu jari untuk mengetik.
b. Program-program pengenalan suara memungkinkan siswa dengan berbagai
disabilitas fisik untuk memasukkan teks ke dalam komputer dengan berbicara.
c. Joysticks telah dikembangkan untuk memungkinkan individu-individu
mengontrol komputer dengan menunjuk dengan dagu atau kepalanya.
Dewasa ini ada berbagai macam perangkat asistif yang dapat menyediakan
berbagai kesempatan pendidikan dan pekerjaan. Sebagai contoh, tulisan besar dan
translasi Braile dengan bantuan komputer dapat membantu komunikasi untuk siswa-
siswa yang mengalami hambatan penglihatan. Software translasi Braille dapat
mengonversikan teks menjadi format Braille yang tepat. Software pembesaran-layar
memperbesar ukuran teks dan grafik, mirip dengan captioning dan tampilan real-time
graphics di televisi, yang menyiarkan dialog dan tindakan di acara atau film televisi
melalui teks tercetak. Computer speech synthesizers dapat menghasilkan kata-kata
lisan secara artifisial. Speech recognition software (software untuk mengenali suara)
dapat membantu siswa-siswa yang hanya dapat mengucapkan beberapa bunyi untuk
mengerjakan berbagai tugas. Individu diajari beberapa bunyi "token" yang dapat
direspons oleh komputer yang diprogram secara khusus. Komputer mengenali suara
dan mengerjakan berbagai fungsi sehari-hari dan fungsi-fungsi berbasis-sekolah,
seperti menyalakan TV, memainkan rekaman video, atau mengakses kurikulum
sekolah di CD-ROM. Peralatan-peralatan canggih lainnya bereaksi terhadap sinyal-
sinyal otak yang kemudian mentranslasikannya menjadi perintah dan tindakan digital.
Teknologi-teknologi lain, misalnya peralatan adaptif dan tombol-tombol khusus,
memungkinkan siswa dengan disabilitas fisik untuk meningkatkan mobilitas
fungsionalnya dengan menghidupkan berbagai peralatan dan mengontrol alat-alat lain
seperti lampu atau radio. Computerized "gait trainers" dapat membantu individu-
individu dengan keseimbangan yang buruk atau mereka yang memiliki pengendalian
tubuh yang kurang untuk belajar berjalan. Peralatan-peralatan yang dikendalikan
radio dapat membuka pintu dan mengoperasikan mesin penjawab di telepon.
Teknologi yang sangat menarik dirancang untuk siswa-siswa yang sakit dan
harus dirawat di rumah sakit. PC Pal, komputer khusus dengan layar LCD, dapat
disediakan di ruang-ruang perawatan di rumah sakit. Peralatan ini menyediakan
Games Komputer, memberikan akses Internet dan memungkinkan siswa yang
dirawat di rumah sakit untuk terus mengikuti pekerjaan rumah (PR)-nya dan
untuk tetap berhubungan dengan teman-temannya.
Situs-situs Web khusus telah diciptakan untuk memudahkan siswa-siswa dengan
disabilitas. Yang paling menonjol adalah yang dikembangkan dan dipromosikan oleh
Center for Applied Special Technology (CAST), sebuah organisasi yang misinya
adalah memperluas kesempatan bagi orang-orang dengan disabilitas melalui
penggunaan komputer dan berbagai teknologi asistif. CAST menawarkan sebuah situs
Web (yang disebut "Bobby") dan alat-alat berbasis-Web yang menganalisis
aksesibilitas berbagai halaman Web.
2.4.3. Tunanetra Dan Teknologi
Sering kali, untuk dapat melakukan kegiatan kehidupannya sehari-hari secara
mandiri, tunanetra harus menggunakan teknik alternatif, yaitu teknik yang
memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan fungsi indera penglihatan
dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari sehingga pola kehidupan kesehariannya
pun sangat berubah dan dalam banyak hal menjadi berbeda dari orang pada
umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) merumuskan definisi ketunanetraan
sebagai berikut: “An individual may properly be said to be blind or a blind person
when he has to devise so many alternative techniques that is, if he is to function
efficiently - that his pattern of daily living is substantially altered.”
Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu
khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan
untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera
penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang
kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer,
menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk
membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut. (Tarsidi, 2007)
Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang
paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu
pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan. Sejalan
dengan hal ini, untuk memungkinkan orang tunanetra mengakses computer,
teknik alternative yang telah dikembangkan adalah yang memanfaatkan speech
technology dan refreshable Braille display. Refreshable Braille display device
mengkonversi teks menjadi karakter Braille yang dapat dibaca dengan perabaan
pada bagian display-nya. Hardware device ini dihubungkan ke CPU untuk
menerima data teks dan berfungsi sebagai monitor. Mungkin karena pertimbangan
harga, sejauh ini Braille display hanya diproduksi untuk menayangkan satu baris
karakter Braille, yang bervariasi dari 18 hingga 80 karakter perbaris. Informasi
yang dapat kita lihat pada layar monitor akan ditampilkan pada Braile display ini
baris demi baris secara suksesif. Kecepatan seorang tunanetra membaca layar
monitor menggunakan Braille display ini terkait erat dengan keterampilanya
membaca Braille. Hasil penelitian Simon & Huertas (1998) menunjukkan bahwa
kecepatan membaca rata-rata tunanetra pembaca Braille yang berpengalaman
adalah 90-115 kata per menit dibandingkan dengan 250 300 kata per menit untuk
mereka yang membaca secara visual. Akan tetapi, hambatan terbesar bagi
kebanyakan orang tunanetra untuk memiliki alat ini adalah harganya yang masih
sangat mahal (di atas $2000).
Speech technology memungkinkan pengguna computer tunanetra mengakses
tayangan pada layer monitor dengan pendengaran. Speech reading software
terintegrasi ke dalam operating system dan dapat mengakses hampir semua
program aplikasi. Suaranya diproduksi melalui sound card yang tersedia, dengan
kualitas mirip suara manusia yang sesungguhnya. Speech screen reading software
ini terdiri dari dua komponen utama yaitu speech synthesizer yang mengkonversi
teks ke dalam suara dan screen reader yang memungkinkan pengguna computer
menavigasi layar sesuai dengan kebutuhannya (misalnya membaca perkalimat
atau perkata, membaca document control, menu dan lain-lain.). Kini terdapat
banyak speech screen reading software yang beredar di pasar internasional yang
dirancang untuk berbagai macam bahasa. Yang paling banyak dipergunakan di
Indonesia adalah JAWS produksi Freedom Scientific. Dua keuntungan utama dari
teknologi ini dibandingkan Braille display adalah (1) pengguna komputer akan
dapat sepenuhnya memanfaatkan kedua belah tangannya untuk mengoperasikan
keyboard (tidak harus menggunakan tanganya untuk membaca), dan (2) harganya
jauh lebih murah. Di samping itu, kecepatan screen reader dalam membaca layar
pun dapat diatur sesuai dengan kesukaan, begitu pula pitch dan jenis suaranya. Ini
berarti bahwa seorang tunanetra dapat membaca layar monitor secepat mungkin
sesuai dengan kemampuan pendengaranya menangkap makna suara speech
synthesizer itu dan dapat memilih suara pembaca yang lebih disukainya.
Untuk memproduksi hard copy dalam format Braille, telah dikembangkan dan
diproduksi printer Braille (juga disebut Braile embosser) yang dioperasikan
dengan Braille translation software yang menerjemahkan data dari tulisan biasa ke
dalam format Braille. Pembuatan Braille translation software yang dirancang
khusus untuk mengakomodasi sistem Braille Indonesia telah berhasil dilakukan
oleh Yayasan Mitra Netra bekerjasama dengan Universitas Bina Nusantara,
Jakarta. Software yang diberi nama MBC IV ini dapat dipergunakan untuk
mengoperasikan berbagai Braille embosser yang tersedia di pasar internasional.
Dengan bantuan teknologi akses di atas, dengan tambahan scanner, orang
tunanetra memiliki akses ke buku atau bahan bacaan lainya yang bertulisan biasa
setelah melalui proses scanning. Hal ini memungkinkan orang tunanetra membaca
buku-buku biasa secara mandiri. Untuk membantu mempermudah orang tunanetra
membaca buku biasa, telah dikembangkan pula reading machine yang dirancang
khusus untuk membantu tunanetra membaca print. Alat ini memadukan
processor, scanner dan speech synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Di pihak lain, untuk mempermudah orang tunanetra dalam memasukkan dan
menyimpan data, telah dikembangkan pula Braille notetaker, yaitu komputer kecil
(beratnya sekitar satu kilogram) yang memungkinkan orang tunanetra menulis
dengan braille dan mendapatkan output dalam bentuk suara dan/atau braille. Alat
ini dilengkapi dengan Braille display dan Braille keyboard serta speech
synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Dengan teknologi akses tersebut orang tunanetra dapat melakukan berbagai
hal sebagaimana para pengguna komputer pada umumnya seperti word
processing, accounting, music composing, Internet browsing, programming, dan
lain-lain. Hal ini memungkinkan orang tunanetra melakukan berbagai macam
pekerjaan yang secara tradisional harus dilakukan mengunakan penglihatan. Jadi,
bagi orang tunanetra, computer bukan sekedar alat Bantu kerja tetapi merupakan
alat akses ke “dunia awas”.
2.4.4. Teknologi Asistif Bagi Tunanetra
Berikut ini adalah beberapa macam teknologi asistif yang umum digunakan
tunanetra. Teknologi asistif tersebut dapat diaplikasikan pada perangkat keras dan
perangkat lunak yang dibangun khusus untuk kebutuhan tunanetra, atau pada
perangkat keras dan perangkat lunak umum yang kemudian menjadi lebih mudah
diakses serta dimanfaatkan oleh tunanetra. (www.disaboom.com/blind-and-visual-
impairment/assistive-technology-for-the-blind)
a. Screen reader
Teknologi screen reader atau pembaca layar mulai dikembangkan pada era
70-an. Teknologi ini mensimulasikan suara manusia, lalu mengubah teks,
warna, atau cursor yang umumnya muncul di layar monitor menjadi
keluaran suara. Pengguna dapat mengendalikan kerja pembaca layar untuk
melakukan proses navigasi, pembacaan, atau penulisan. Ada pun beberapa
produk pembaca layar yang populer digunakan adalah sbb:
1. JAWS for Windows, pembaca layar untuk PC
(www.freedomscientific.com).
2. Window-Eyes, pembaca layar untuk PC (www.gwmicro.com)
3. Nuance Talks, pembaca layar untuk ponsel (www.nuance.com/talks )
4. Voice Over, pembaca layar untuk iPod, iPhone, iPad, dan produk
Apple lainnya.
b. Braille Display
Perangkat ini bekerja layaknya monitor yang menampilkan tulisan cetak di
layarnya, maka Braille Display dapat menampilkan huruf cetak dalam
format Braille, sehingga tunanetra dapat membaca informasi yang diubah
oleh komputer ke format Braille dengan cara meraba huruf Braille yang
muncul di Braille Display. Larry Skutchan, tunanetra yang merupakan
praktisi teknologi asistif berpendapat bahwa penting bagi tunanetra untu
tidak sekedar memperoleh informasi dengan cara mendengar, tapi juga
berlatih membaca dan menulis dengan huruf Braille.
c. Peralatan elektronik aksesibel
Ini adalah perangkat elektronik umum yang beredar di pasaran, namun
biasa dimanfaatkan tunanetra untuk menunjang kebutuhan sehari-hari.
Peralatan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga mampu
mengadopsi teknologi text to speech untuk menuarakan informasi yang
disajikan, atau menggunakan objek faktual yang dapat diraba. Contoh
penggunaannya seperti mesin cuci untuk mencuci, alat perekam untuk
merekam informasi yang dapat didengarkan kembali di masa datang, atau
perangkat multimedia untuk menikmati hiburan. Karena tak semua
peralatan elektronik di pasaran memiliki spesifikasi yang mudah
dioperasikan tunanetra, National Federation of the Blind membuat
pedoman khusus mengenai perangkat lektronik seperti apa yang dapat
dioperasikan oleh tunanetra.
(www.nfb.org/nfb/accessible_home_showcase.asp?SnID=684722052)
d. Pembaca buku portabel
Ini adalah sebuah alat yang mampu mengunduh bahan bacaan seperti
novel, jurnal, atau majalah berformat e-book, lalu mengubahnya menjadi
informasi suara sehingga tunanetra dapat memperoleh informasi dari
bahan bacaan yang diunduhnya. Salah satu pembaca buku portabel yang
cukup populer adalah Victor Reader. (www.humanware.com)
e. GPS bicara
Global Positioning System (GPS) adalah perangkat navigasi berbasis
satelit yang dapat mengkalkulasi keberadaan pengguna di mana pun, lalu
memberikan informasi arah sesuai dengan tujuan penggunanya. Beberapa
GPS bicara yang cukup populer adalah BrailleNote GPS, Street Talk™,
Trekker, dan Mobile GEO.
2.4.5. Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Tunanetra Di Indonesia
Mengingat luasnya pembahasan mengenai modul-modul teknologi informasi,
baik yang berupa hardware maupun software, maka penulis akan mempersempit
kajian pada alat-alat bantu berupa teknologi asistif yang telah tersedia dan
dirasakan manfaatnya oleh tunanetra di Indonesia.
A. Alat Bantu Untuk Tunanetra Secara Umum
Alat-alat bantu di bawah ini dapat digunakan baik oleh tunanetra yang
totally blind maupun yang low vision.
1. Voice Recorder
Voice Recorder merupakan sebuah device yang dapat menyimpan
rekaman dalam format audio. Ada dua jenis voice recorder, yaitu analog
biasanya berbentuk tape recorder dan kaset di mana suara direkam di
atas pita, dan digital di mana suara direkam dalam bentuk data dan
disimpan di media penyimpanan optik.
2. Komputer Bicara
Komputer bicara adalah seperangkat PC atau laptop yang telah
dilengkapi piranti lunak pembaca layar yang dapat mengubah teks
menjadi keluaran suara (www.mitranetra.or.id)
3. OCR : Roman Alphabets-Braille Converter System.
Sistem ini merupakan pengembangan software OCR, sehingga hasil
scanning terhadap buku, dokumen, suratkabar daqn sebagainya akan
diubah format penyajiannya ke dalam braille-based output. Selain itu
terbuka juga kemungkinan untuk memadukannya dengan text to speech
synthesizer sehingga didapat output berupa suara.
(http://asnugroho.wordpress.com/2007/03/16/teknologi-bagi-tuna-netra/)
4. Pengembangan perpustakaan CD yang dikhususkan bagi para tuna netra,
sesuai dengan standar internasional DAISY (Digital Audio-Based
Information System). Jadi, buku-buku cetak dapat diubah menjadi format
audio, baik analog (kaset) maupun digital (CD atau MP3).
(www.mitranetra.or.id)
5. Pengembangan software voice recognition system khusus untuk bahasa
Indonesia, sebagai media input bagi komputer. Dengan demikian, pihak
pemakai (dalam hal ini tuna netra) dapat menulis makalah, mengedit dan
sebagainya. tanpa (atau meminimalisir) menggunakan keyboard,dan
sebagai gantinya memakai software tsb. untuk merubah suara ke dalam
text. Ada pun ide pembuatan text to speech dan speech to text ini
diprakarsai oleh Arry Akhmad Arman (http://indotts.melsa.net.id/),
sedangkan aplikasi voice to text telah banyak diterapkan pada perangkat
komunikasi, salah satunya gadget Android keluaran Google.
(www.google.com)
B. Alat Bantu Untuk Low Vision
Alat bantu low vision yang paling efektif adalah peralatan yang
memancarkan cahaya. Cahaya merupakan alat bantu low vision pertama yang
harus dipertimbangkan, dibahas dan diasesmen dalam konsultasi low vision.
Jika tingkat iluminasi (pencahayaan) lingkungan rendah, dan cahaya lampu
yang ada tidak cukup terang, maka sebaiknya dipergunakan lampu belajar
yang dapat diputar ke segala arah, sebaiknya dengan watt yang rendah. Watt
yang rendah itu sangat penting untuk kenyamanan karena panas yang
dipancarkannya minimum dibandingkan dengan yang dipancarkan dari lampu
pijar biasa. (http://d- tarsidi.blogspot.com/2008/06/alat-alat-bantu-low-vision-
bagi-anak.html)
a. Penggunaan Standar Baca (reading stand)
Banyak alat optik menuntut jarak baca yang dekat dan yang lebih
mudah terpenuhi bila menggunakan sebuah standar baca. Terdapat
bermacam-macam model standar baca untuk dipergunakan dengan alat
bantu low vision . Standar baca itu harus dilengkapi dengan alat untuk
mengubah-ubah ketinggiannya dan kebesaran sudutnya, dan dilengkapi
dengan alat untuk menyimpan dan menahan bahan bacaan. Ada standar
baca yang dilengkapi dengan klip pada bagian atasnya untuk menahan
kertas-kertas lepas.
b. Kaca Mata
Penggunaan kaca mata yang cocok, yang diresepkan secara tepat
juga sangat membantu low vision. Antara 10 hingga 15% anak
penyandang ketunanetraan berjenis low vision dapat dibantu dengan kaca
mata, dan sering kali hanya inilah yang dibutuhkannya.
c.Penggunaan Magnifikasi (pembesaran)
Elemen ketiga yang dibutuhkan adalah satu jenis magnifikasi eksternal.
Magnifikasi ini dapat diperoleh dengan: memperbesar ukuran obyek
(magnifikasi ukuran); memperkecil jarak lihat ke obyek (magnifikasi jarak
relatif); memperbesar sudut penglihatan (magnifikasi sudut relatif),
biasanya dilakukan dengan sistem multi-lensa seperti teleskop. Sering kali
ketiga teknik dasar tersebut dipergunakan sekaligus. Jika hal ini dilakukan,
maka hasil magnifikasinya akan merupakan produk magnifikasi yang
dihasilkan oleh berbagai metode. Dalam contoh berikut ini, seorang anak
tunanetra ingin menonton televisi dan memerlukan magnifikasi 2x untuk
melakukannya. Untuk itu terdapat tiga kemungkinan opsi: mengganti
pesawat televisi berdiameter 10 inci dengan 20 inci; memperdekat jarak
duduk anak dari yang biasanya 6 meter menjadi 3 meter; memberi anak
teleskop dengan magnifikasi 2x. Jika ketiga cara di atas dipergunakan
sekaligus, maka total magnifikasi yang diperoleh bukan 6x melainkan 8x
(yaitu 2 x 2 x 2).
2.5 Hubungan antara Motivasi dengan Penggunaan Teknologi Informasi
bagi Tunanetra
Motivasi tercipta karena adanya keinginan yang besar dalam diri seseorang
untuk melakukan sesuatu termasuk hal yang dilakukan oleh seorang tunanetra
dalam menjalani aktifitas kesehariannya. Seorang tunanetra akan termotivasi
untuk melakukan sesuatu yang positif dalam kehidupannya apabila di dukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai, salahsatunya adalah perangkat dan aplikasi
teknologi informasi. Melalui teknologi informasi seorang tunanetra dapat
termotivasi untuk melakukan kegiatannya, karena dengan adanya teknologi
informasi tersebut seorang tunanetra cukup terbantu sehingga kesulitan yang
dihadapi dapat teratasi dengan baik, sebagai pengganti salahsatu fungsi organ
tubuh (indera penglihatan) yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga dapat
menjalani kehidupan layaknya orang normal lainnya.
Motivasi pun dapat tercipta melalui kegiatan social learning yang diperoleh
seorang tunanetra dalam proses pembelajaran, sehingga seorang tunanetra
mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan kemampuan
yang mereka miliki dapat mengevaluasi perilakunya sendiri (berdasarkan standar
pribadinya) dan dapat menciptakan penguatan sendiri. Perkembangan kepribadian
tunanetra dapat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya melalui model
yang diperoleh dari lingkungan tempat mereka berada dan keyakinan yang
dianutnya. Semakin besar input psitif yang diterima, maka semakin besar pula
nilai-nilai positif yang tumbuh dalam diri tunanetra tersebut. Namun, semakin
besar nilai-nilai negatif yang diterima, maka pribadinya pun akan tumbuh menjadi
pribadi yang negatif.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa antara motivasi
dan penggunaan teknologi informasi memiliki pengaruh yang cukup positif
terhadap kehidupan tunanetra terutama dalam peningkatan kualitas kehidupannya
menjadi lebih baik.
BAB III
OBJEK PENELITIAN
Mengingat banyaknya individu tunanetra yang tersebar luas di seluruh
Indonesia dan keterbatasan kemampuan penulis untuk melakukan penelitian
secara mendalam dan menyeluruh, serta didukung fakta bahwa penulis sendiri
merupakan tunanetra yang telah melakukan implementasi terhadap kajian karya
ilmiah ini, maka penulis akan lebih memfokuskan aplikasi landasan teori pada
objek utama yaitu diri penulis sendiri. Penulis tetap menyertakan data-data
tambahan yang penulis dapatkan melalui dialog dan penggalian informasi dengan
beberapa orang tunanetra di Indonesia yang penulis asumsikan telah mewakili
validitas serta realibilitas data-data yang penulis tuangkan dalam karya ilmiyah
ini.
3.1. Perkembangan Jiwa Anak
3.1.1. Motivasi Pertama Dari Orangtua
Penulis lahir pada tanggal 3 Pebruari 1981 di kota Semarang, Jawa Tengah.
Ayah penulis bernama Rahadi Sudarsono, dan Ibu penulis bernama Emmy
Darwati. Saat lahir, tim medis memfonis penulis menyandang tunanetra. Hal itu
ditandai dengan ekspresi wajah penulis yang datar dan tidak merespon stimuli
lingkungan sekitar, dan penulis tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada
umumnya.
Menurut keterangan ayah, beliaulah yang pertama kali mengetahui bahwa
penulis menyandang tunanetra. Pada saat itu, ayah penulis menyampaikan berita
tersebut kepada Ibu penulis, dan seperti halnya manusia pada umumnya yang
menerima kelahiran putra pertama mereka yang “tidak normal”, maka timbul pula
unsur-unsur penolakan dan kesedihan akan kenyataan tersebut. Namun, unsur-
unsur penolakan dan kesedihan tersebut tidak berlanjut menjadi penyesalan,
melainkan langsung pada penerimaan. Inilah pelajaran pertama tentang motivasi
yang penulis peroleh dari orangtua, bahwa mereka menganggap penulis adalah
karunia Allah yang paling sempurna, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Orangtua penulis menyampaikan bahwa menurut mereka, kebutaan yang
penulis sandang bukanlah aib atau cacat yang dapat mengurangi derajat manusia,
tapi sebagai bentuk keadilan Allah bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan
kekurangannya, dalam hal ini penulis memiliki kekurangan karena tidak dapat
melihat. Oleh karena itu, orangtua memutuskan untuk fokus pada kelebihan yang
penulis miliki, sehingga kekurangan yang sebelumnya merupakan hambatan dapat
diubah menjadi tantangan. Hal ini akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
Adanya motivasi ini tentu membuka jalan bagi tunanetra yang baru lahir untuk
dapat hidup lebih baik, dan inilah yang rata-rata dialami keluarga dengan putra
putri tunanetra di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Ibu Primaningrum
Rustam yang dikaruniai dua putri kembar tunanetra sekaligus. Berkat motivasi
positif dalam diri beliau, maka ia pun dapat menerima keberadaan putri-putrinya
dengan lapang dada.
3.1.2. Keluarga Sebagai Media Social Learning
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, orangtua penulis dapat menerima
ketunanetraan yang penulis sandang. Ini dapat dibuktikan lewat pemberian kasih
sayang, pendidikan, serta perlakuan yang secara derajat tidak berbeda dengan apa
yang dilakukan orangtua lain pada anak-anaknya yang awas. Yang membedakan
hanya perlakuan-perlakuan yang sifatnya teknis, yang berkaitan langsung dengan
ketunanetraan yang penulis sandang, misalnya menuntun saat berjalan,
membacakan buku, dan lain-lain.
Saat penulis sudah mulai lancar berjalan, orangtua mulai mensosialisasikan
penulis dengan lingkungan sekitar. Mereka mengijinkan penulis berjalan atau
berlari keliling rumah dengan pengawasan mereka berdua atau pengasuh,
membawa penulis ke luar rumah dan ke tempat-tempat umum, serta mengenalkan
penulis dengan masyarakat sekitar. Mereka bahkan memberi kesempatan pada
penulis untuk bermain dengan anak-anak seusia penulis, dengan cara bermain dan
permainan yang tidak dibedakan. Mereka hanya mengajarkan elemen-elemen
mana saja yang berbahaya, dan umumnya hal tersebut sama dengan elemen-
elemen yang patut diwaspadai orang awas. Contohnya, pulang ke rumah kalau
sudah sore, main harus ingat waktu, atau berhati-hati saat lari atau lompat.
Hal tersebut tentu saja, membangkitkan motivasi penulis untuk mulai
bersosialisasi dengan dunia luar. Bersama adik laki-laki yang awas, penulis
bermain dan bergaul dengan masyarakat tanpa merasakan adanya perbedaan yang
disebabkan oleh ketunanetraan penulis. Sesekali memang ada yang menyebut
penulis “buta” atau “tunanetra” namun hal tersebut tidak menimbulkan pengaruh
negatif pada penulis, karena orangtua tidak pernah memberikan informasi bahwa
kebutaan yang penulis sandang merupakan hal negatif. Salah satu pesan orangtua
yang paling berharga adalah, “Kamu memang buta mata, namun kamu tidak buta
hati.”
Hal di atas juga diterapkan oleh Ibu Primaningrum Rustam, sehingga kedua
putrinya kini tumbuh dengan wajar dan mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan ketunanetraan, contohnya tidak
dapat berjalan dengan baik, tidak dapat mencerna informasi visual dengan
sempurna, juga ikut terminimalisir dengan cara semacam ini.
3.2. Perkembangan Pendidikan
3.2.1. Masa Pra Sekolah
Dalam perkembangannya, meski belum secanggih sekarang, kedua orangtua
penulis telah memanfaatkan teknologi informasi dengan keluaran suara untuk
merangsang pertumbuhan penulis. Adapun media yang digunakan saat itu adalah
radio kaset yang selalu diletakkan di samping penulis.
Dengan menggunakan radio kaset tersebut, orangtua berusaha merangsang
indera pendengaran penulis, yang berlanjut pada aktivitas gerak penulis. Karena
fungsi mata sebagai media penangkap informasi yang tidak berfungsi pada tubuh
penulis, maka indera pendengaran dapat dengan optimal menangkap bunyi-
bunyian yang dikeluarkan oleh radio kaset tersebut, sehingga penulis dapat
merespon alunan musik, dan setelah tumbuh menjadi BALITA, mulai menikmati
sandiwara radio dan kaset-kaset cerita.
Selain itu, orangtua penulis berusaha untuk mengajarkan penulis berbagai hal
yang umumnya dapat dipelajari oleh anak awas. Untuk memahami benda-benda
elektronik seperti mobil, motor, pesawat, atau kereta api, orangtua penulis
memilihkan mainan yang sudah mengusung teknologi elektronik yang
memanfaatkan baterai, sehingga mainan tersebut dapat bergerak dan
mengeluarkan suara, dan dapat menjadi semacam miniatur dari perangkat yang
sebenarnya. Dengan cara itulah penulis mengetahui seperti apa bentuk mobil
polisi berikut suaranya, bagaimana motor dan kereta api beroperasi, dan seperti
apa gerak-gerik manusia yang disimulasikan oleh robot mainan.
Orangtua juga mengijinkan untuk membongkar dan memisah-misahkan
komponen-komponen mainan elektronik yang penulis miliki, sehingga mereka
dapat menunjukkan pada penulis tentang komponen-komponen apa saja yang
terdapat dalam mainan elektronik tersebut. Dukungan dari luar inilah yang mulai
membangkitkan motivasi penulis untuk menyukai teknologi, karena penulis dapat
dengan bebas mengeksplorasi rasa ingin tahu yang telah terstimulasi, namun
terhambat aksesnya oleh disfungsi indera penglihatan.
Untuk memahami hal-hal yang ditangkap oleh indera tubuh lainnya, orangtua
langsung mempraktekkannya pada objek bersangkutan. Misalnya, untuk
memahami seperti apa rasa dingin, orangtua menempelkan kulit penulis ke es batu
atau membiarkan penulis berdiri dekat hembusan kipas angin. Saat berendam
dengan air hangat, orangtua mengenalkan rasa hangat di kulit penulis, dan sempat
merasa kesal karena penulis tak pernah berhenti ingin tahu seperti apa rasa panas
sehingga mereka mendekatkan jari telunjuk tangan penulis ke lilin yang sedang
meleleh. Proses pengenalan rasa itu berlanjut dengan sendirinya, dan biasanya
orangtua menjawab pertanyaan yang penulis ajukan, misalnya permen rasanya
apa, garam rasanya apa, bahkan bagaimana rasa tersengat aliran listrik yang secara
tidak sengaja sering penulis alami.
3.2.2. Taman Kanak-kanak
Untuk pertama kalinya, penulis mulai masuk ke lingkungan dengan jumlah
individu yang lebih besar, yaitu Taman Kanak Kanak (TK). Penulis pernah
bersekolah di TK umum di kota Semarang, lalu melanjutkannya di Jakarta. Di
sinilah penulis mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara penulis dan rekan-
rekan penulis. Sebelumnya mungkin penulis hanya tahu kata-kata “buta” atau
“tunanetra,” namun saat mulai sekolah penulis pun memahami maknanya.
Perbedaan kondisi fisik tersebut mulai dapat penulis rasakan pengaruhnya,
terutama saat menjalani proses belajar.
Namun, karena model utama penulis, dalam hal ini orangtua, tidak pernah
memberikan informasi bahwa seorang tunanetra berbeda derajat dengan yang lain,
maka saat mengetahui arti tunanetra itu penulis tidak terlalu merasakan perbedaan
yang berarti. Untuk dapat mengikuti proses belajar, khususnya pengenalan huruf
latin dan angka-angka, orangtua memberikan mainan plastik berbentuk Abjad,
yang terdiri dari huruf kapital, huruf kecil, angka, dan symbol. Dengan demikian,
penulis dapat membayangkan seperti apa bentuk karakter-karakter tersebut saat
dicetak di buku atau dituliskan di atas kertas. Caranya adalah dengan meraba
mainan-mainan plastik tersebut.
Saat di sekolah, guru TK mencoba cara mengajar yang berbeda dengan
murid-murid lain. Dengan mainan plastik tersebut, mereka mengajarkan penulis
bagaimana caranya membaca dan menyusun kata. Misalnya, kalau penulis hendak
membuat kata SEKOLAH, maka penulis diharuskan menaruh huruf S E K O L A
H secara berurutan. Kelemahannya adalah guru penulis tidak menemukan cara
untuk mengajar menulis, sehingga untuk itu mereka hanya meminta penulis
menirukan huruf-huruf plastic yang penulis raba, lalu menggerakkan tangan
penulis sesuai dengan bentuk huruf-huruf plastik yang penulis raba.
Untuk memberikan informasi mengenai warna, orangtua mencoba
memberikan pengenalan warna dengan pasangannya yang telah umum, misalnya
rumput dan daun subur warnanya pasti hijau, awan biasa pasti berwarna putih,
awan mendung pasti berwarna abu-abu, darah pasti berwarna merah, dan lain-lain.
Dengan kata lain, informasi yang diberikan hanya sekadar nama saja, namun
betul-betul ditekankan aplikasinya, sehingga dapat meminimalisir kesalahan saat
mengidentifikasi warna suatu benda, misalnya rumput warnanya ungu atau
matahari warnanya hijau.
Pelajaran tersebut coba diterapkan guru penulis saat mengajar di sekolah. Saat
pelajaran melukis misalnya, mereka coba memberi bidang-bidang yang sudah
tercetak sedemikian rupa (misalnya cetakan gunung, cetakan segitiga, cetakan segi
empat, dan lain-lain) dan penulis diminta mewarnai sesuai petunjuk, jadi pensil
gambar dan krayon gambar milik penulis sudah dipisahkan sesuai warna-
warnanya. Inilah yang selanjutnya penulis gunakan sebagai dasar pemahaman
tentang elemen visual seperti angka, huruf, warna, bentuk, dan simbol.
3.2.3. Sekolah Luar Biasa
Pada tahun 1987, salah seorang kenalan orangtua memberi informasi tentang
Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB/A), sekolah untuk tunanetra yang terletak di
Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Maka, orangtua pun memasukkan penulis ke
sekolah tersebut. Sebelum masuk tingkat sekolah dasar, penulis masuk kelas
observasi selama satu tahun,. Kelas ini sejajar dengan TK, bedanya di sini penulis
belajar mengenai cara baca tulis tunanetra menggunakan huruf Braille, yaitu huruf
timbul yang dapat dibaca dengan cara merabanya dan dapat ditulis menggunakan
alat khusus.
Saat itu, seorang guru SLB/A bernama Ibu Lilis Tejakomala ditunjuk sebagai
pembimbing kusus yang bertugas memberikan pendidikan intensif pada penulis.
Beliaulah yang mengajarkan cara membaca dan menulis huruf Braille, cara
mengaji menggunakan Al-Qur’an Braille, dan cara orientasi mobilitas (teknik
penguasaan lingkungan untuk tunanetra). Selama satu tahun, penulis tinggal di
rumah Ibu Lilis. Di sanalah penulis belajar mengurus diri secara mandiri, seperti
makan, mandi, membersihkan pakaian, dan beribadah.
Selanjutnya, penulis tinggal di Asrama Putra SLB/A selama kurang lebih 13
tahun. Di sinilah penulis mempraktekkan apa yang sudah penulis pelajari dari Ibu
Lilis, dan sekaligus belajar banyak hal baru, khususnya bersosialisasi dengan
individu tunanetra lain.
Setiap hari Sabtu, ayah penulis menjemput dan penulis berlibur di rumah.
Biasanya sebelum pulang ke rumah, ayah membawa penulis ke kantor beliau. Di
sinilah penulis mulai mengenal komputer, yang saat itu digunakan karyawan
kantor sebagai media bekerja dan bermain. Di sinilah untuk pertama kalinya
penulis mulai tertarik pada komputer. Dengan ditemani ayah dan rekan-rekannya,
penulis belajar mengenali tombol-tombol pada keyboard, dan memahami prinsip
dasar kerja komputer. Hanya dengan menekan tombol, penulis dapat menulis atau
memberi perintah, dan semua terasa begitu mudah.
Ketertarikan penulis pada komputer semakin bertambah ketika rekan-rekan
ayah asyik memainkan games seperti Digger, Tetris, Round42, dan Paratrooper,
yang kala itu sangat populer. Tentu saja ketertarikan penulis adalah pada suara
yang terdengar saat games dimainkan, dan informasi tentang apa yang sedang
terjadi di layar yang diceritakan oleh ayah penulis. Jadi, penulis dapat mengikuti
games yang sedang dimainkan, bahkan mencoba memainkan games tersebut
dengan panduan orang-orang di sekitar penulis. Karena ketertarikan penulis itulah,
maka orangtua membelikan penulis mesin game. Pembahasan mengenai
pengaruhnya akan dikupas pada bab-bab selanjutnya.
3.2.4. Sekolah Umum
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SLB/A Lebak Bulus, penulis pun
mewujudkan cita-cita bersekolah di sekolah umum. Dulu istilah untuk pendidikan
semacam ini adalah sekolah terpadu, di mana siswa-siswi berkebutuhan khusus
bersekolah dengan siswa-siswi regular di satu sekolah umum. Awalnya, penulis
sempat ditolak dengan alasan tak tersedianya sarana dan prasarana bagi siswa
tunanetra. Namun, berkat perjuangan orangtua dan guru-guru SLB/A Lebak
Bulus, akhirnya penulis dapat diterima di SMPN 226, sebuah sekolah menengah
umum negeri yang letaknya tidak terlalu jauh dengan asrama penulis, sehingga
penulis dapat tetap berasrama di tempat sebelumnya.
Tantangan pun mulai penulis temui, karena media belajar mengajar bukan
huruf Braille, dan tidak lagi memungkinkan untuk menggunakan mainan plastik
yang dulu penulis pergunakan saat TK. Sebagai alternative, penulis memanfaatkan
perangkat teknologi berupa tape recorder, sebuah perekam analog yang dapat
merekam suara ke dalam kaset. Penulis memakainya untuk merekam materi
pelajaran yang disampaikan di kelas. Rekaman tersebut kemudian dapat penulis
dengarkan kembali untuk kebutuhan menyalin ulang ke format Braille, atau untuk
mempelajari kembali materi yang disampaikan. Untuk merekam pelajaran yang
dituliskan lewat papan tulis, biasanya penulis langsung meminta guru
bersangkutan untuk membacakan dengan keras, atau meminta bantuan teman
sebangku untuk membacakan ulang.
Guna memudahkan penulis mengakses materi pelajaran yang tertulis di buku
cetak, ayah merekam isi buku pelajaran tersebut ke kaset kosong. Untuk buku
pelajaran dengan jumlah halaman 100 dapat menghabiskan kira-kira 10 kaset
berdurasi 60 menit. Ini adalah bentuk usaha alternative orangtua dengan
memanfaatkan teknologi yang seadanya. Hal ini sering membuat ayah kecapaian
karena membaca hingga larut malam, tak jarang alergi beliau kumat dan bersin-
bersin di rekaman pelajaran yang sedang dibacakannya.
Untuk mengatasi masalah saat pelajaran matematika dan fisika, penulis
mendapat bantuan dari Yayasan Mitra Netra (YMN), organisasi yang bergerak di
bidang pemanfaatan potensi penyandang tunanetra. YMN meminjamkan modul
belajar timbul yang dapat diraba, sehingga saat pelajaran matematika dan fisika,
penulis menggunakan modul tersebut untuk memahami gambar yang sedang
diterangkan. Misalnya, di kelas sedang diterangkan mengenai Bejana, maka
penulis mengambil modul Bejana yang tercetak di lembaran kertas, di mana
Bejana tersebut direpresentasikan oleh titik-titik timbul dua dimensi yang diukir
menyerupai Bejana sebenarnya.
Metode belajar di atas juga diterapkan oleh murid-murid tunanetra yang saat
ini mengikuti pendidikan inklusif. Salah satunya adalah Ayu, siswi tunanetra dari
Bali yang sebelumnya sekolah di SLB/A Driya Raba Bali, lalu melanjutkan
pendidikan di sekolah umum. Selain menggunakan format Braille sebagai media
baca tulis primer, Ayu juga memanfaatkan tape recorder untuk memudahkan
dalam proses belajar mengajar.
3.2.5. Masa Perkuliahan
Di masa perkuliahan, teknologi informasi sudah lebih canggih, sehingga
dalam proses akademis penulis sudah dapat menjalaninya dengan lebih mudah
dan mandiri. Untuk merekam materi yang disajikan di kelas, penulis sudah
menggunakan voice recorder, yaitu alat perekam yang mampu merekam suara dan
menyimpannya dalam format digital audio (MP3, WAV, atau WMA). Dengan
demikian, kegiatan ini menjadi lebih praktis karena penulis tidak lagi
membutuhkan kaset dalam jumlah banyak, dan hasil rekaman dapat diedit serta
dipindah-pindahkan dengan lebih mudah.
Untuk mengerjakan tugas perkuliahan, penulis memanfaatkan komputer yang
telah dilengkapi dengan pembaca layar, sehingga penulis dapat membaca dan
menulis tugas-tugas sesuai kebutuhan. Adapun media cetak sudah dapat discan
menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition), dan hasilnya
berupa file PDF atauTXT yang selanjutnya dapat penulis akses menggunakan
komputer. Sedangkan untuk output penulis dapat mencetaknya dengan printer,
atau mengirimkan langsung ke guru atau dosen via email.
3.3. Perkembangan Remaja
3.3.1. Video Games Sebagai Media Sosialisasi
Salah satu nilai tambah bagi tunanetra seperti penulis adalah fokus dan daya
ingat, dan dengan memanfaatkan dua elemen tersebut penulis dapat bermain video
games dengan baik. Fokus, artinya penulis dapat berkonsentrasi saat memainkan
sebuah game dan tidak cepat panik serta mampu mengambil keputusan dengan
baik, sedangkan daya ingat yang tinggi memungkinkan penulis menghafal posisi
serta pola permainan yang disajikan di game.
Adapun untuk memainkan sebuah game penulis tidak melihat objek yang
muncul di layar TV, melainkan mendengarkan suara-suara yang terdengar dari
speaker TV. Untuk mempermudah permainan, penulis menghapal informasi
tentang permainan yang penulis mainkan yang didapat dari rekan-rekan penulis.
Informasi tersebut mencakup karakter protagonis, latar belakang, warna, bentuk,
suara, serta pola permainan.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penulis telah mengenal teknologi video
games sejak usia dini, dan ketertarikan itu berawal dari pendengaran, di mana saat
itu penulis tertarik akan bunyi-bunyian yang dikeluarkan video games, sehingga
membuat penulis termotivasi untuk tahu lebih banyak bahkan memiliki video
games sendiri.
Tahun 1987, orangtua penulis membelikan mesin game yang pertama, yaitu
Atari 2600. Mesin game kedua penulis dapatkan tahun 1990, yaitu NES (Nintendo
Entertainment System), lalu yang ketiga adalah Sega Mega Drive yang penulis
peroleh tahun1994, dan SNES (Super Nintendo Entertainment System) tahun
1996.
Saat pertama kali memiliki mesin game, yaitu Atari 2600, hampir seluruh
anak tetangga bermain di rumah penulis. Disinilah penulis dapat mengenal pribadi
mereka lebih dekat dan lebih mudah, karena penulis tidak perlu ke luar rumah dan
mengunjungi mereka satu-persatu. Setelah penulis memiliki Nintendo
Entertainment System, video games tak sekadar menjadi media sosialisasi dan
perkawanan semata, tapi juga menjadi media pembelajaran bagi penulis. Melalui
informasi yang penulis dengar dari adik dan teman-teman, penulis dapat
mengetahui tampilan visual dari sebuah game, misalnya ukuran tubuh karakter
Mario dalam game Super Mario Bros yang kecil, lalu menjadi lebih besar saat
mendapatkan jamur yang keluar dari batu bata yang disundulnya.
Pada tahun 2005, penulis menemukan situs www.audiogames.net yang berisi
game-game khusus tunanetra. Audio game memanfatkan teknologi audio,
sehingga tunanetra dapat memainkan game hanya dengan mendengarkan
informasi yang disajikan oleh game bersangkutan.
Lewat game online yang didesain khusus untuk tunanetra, penulis mulai
membangun hubungan pertemanan dengan rekan-rekan tunanetra di luar negeri.
Kami berkomunikasi dan berkompetisi layaknya gamer-gamer awas. Yang
membedakan hanya antarmuka game yang kami mainkan, umumnya hanya
berupa teks tanpa gambar, sehingga dapat dibaca oleh aplikasi pembaca layar.
Video Games juga membantu penulis dalam pengembangan imajinasi dan
daya khayal. Saat memainkan game tertentu dan ada area yang tidak dapat
dijangkau misalnya, maka penulis akan berkhayal dapat menjangkau tempat
tersebut. Kadang-kadang penulis juga membayangkan hal yang tidak masuk akal,
misalnya penulis seolah-olah ikut masuk kedalam permainan tersebut dan
membantu tokoh utamanya menyelesaikan game. Hal ini dapat menyita waktu
penulis seharian penuh, hanya sekadar duduk dan mengimajinasikan hal-hal yang
berhubungan dengan video games.
Dengan bantuan orang awas, penulis juga mencoba menirukan apa-apa saja
yang ada dalam video games yang penulis mainkan, misalnya berpose kuda-kuda
bertarung dari tokoh utama sebuah game, mengucapkan kalimat-kalimat yang
muncul di game, atau menyanyikan musik game yang penulis dengar.
Motivasi untuk berkompetisi menjadi yang terbaik pun mulai tumbuh dalam diri
penulis, karena pada kenyataannya, penulis dapat memainkan game-game seperti
halnya rekan-rekan penulis yang awas. Penulis dapat merasakan reward berupa
rasa bangga dan rasa puas ketika berhasil menyelesaikan sebuah game, atau
berhasil mengalahkan pencapaian yang diraih teman penulis.
Pada masa remaja, pengetahuan dan keahlian bermain video games membantu
penulis untuk dapat bersosialisasi dengan teman-teman seusia penulis yang saat
itu juga menyukai hal yang sama. Melalui diskusi, kompetisi, dan obrolan seputar
video games, penulis berhasil membangun jaringan pertemanan yang tidak hanya
menambah jumlah teman, tapi juga menyatukan individu-individu yang memiliki
kegemaran sama dengan penulis.
3.3.2. Lima Bidadari Sebagai Hasil Imajinasi
Saat penulis mulai memasuki usia remaja, penulis berhasil mengembangkan
daya imajinasi dengan bantuan elemen-elemen yang telah dibahas sebelumnya. Di
masa inilah penulis juga mulai mengenal lawan jenis, mempelajari karakter, dan
memahami proses interaksi antar individu. Salah satu hasil imajinasi yang penulis
ciptakan adalah karakter “Lima Bidadari,” yang merupakan representasi dari
berbagai kepribadian dan kecerdasan yang penulis tuangkan dalam bentuk visual.
Ini penulis lakukan untuk mempermudah penulis mengidentifikasi sifat dan
kepribadian lawan jenis yang penulis temui, sekaligus media identifikasi sifat dan
kepribadian penulis sendiri.
Ada pun pembuatan karakter Lima Bidadari ini dibantu oleh Slamet
Riyanto, rekan penulis yang coba menterjemahkan imajinasi penulis dalam bentuk
gambar. Secara garis besar, visualisasi lima bidadari sangat sederhana. Mereka
memiliki postur tubuh konvensional seperti manusia, bukan seperti peri berukuran
kecil di film kartun atau bidadari berselendang seperti di cerita-cerita legenda.
Untuk mempermudah proses imajinasi, penulis coba membayangkan mereka
dengan wajah yang sama. Yang membedakan hanyalah busana, senjata,
ekspresi wajah, dan sifat-sifatnya.
Lima bidadari sendiri merupakan perwakilan dari spiritual quotient
(kecerdasan spiritual), emotional quotient (kecerdasan emosional), intellectual
quotient (kecerdasan intelektual), body (tubuh), dan soul (jiwa). Untuk mengenal
lebih jauh tentang mereka, pembaca dapat mengakses situs penulis di
www.ramaditya.com. Ada pun halaman depan situs tersebut memuat gambar lima
bidadari.
3.3.3. Pengaruh Negatif
Berikut ini adalah beberapa hal negatif yang muncul pada diri penulis, dan
untuk pertama kalinya penulis berhasil mengidentifikasikan dan merasakan
dampaknya pada usia remaja.
a. Sombong dan angkuh, ini disebabkan tumbuhnya rasa percaya diri yang
terlalu berlebihan, sehingga menyebabkan penulis meremehkan hal-hal yang
sebenarnya penting, mengendurkan semangat belajar karena beranggapan
sudah lebih unggul dari yang lain, bahkan merasa paling hebat dibandingkan
tunanetra-tunanetra lain yang saat itu tidak memperoleh pencapaian seperti
penulis.
b. Egois, karena merasa paling memahami kehidupan yang penulis jalani,
penulis cenderung tak mau mendengarkan saran dan permintaan dari orang
lain dan memprioritaskan apa yang menurut penulis paling baik.
c. Sedih dan putus asa, ini muncul bukan karena ketunanetraan yang penulis
sandang, tapi dampak dari poin sebelumnya. Ketika penulis mengalami
kegagalan, contohnya saat kelas 3 SMP pernah jatuh ke ranking 25 dari 40
siswa, atau saat ditolak menjadi kekasih wanita yang penulis sukai, maka
penulis pun merasa putus asa dan sedih berlebihan. Hal itu tentu saja membuat
penulis tidak produktif dan membuang-buang waktu.
3.4. Penguasaan Teknologi
Hampir 80% aktivitas sehari-hari penulis berhubungan dengan teknologi
informasi. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran TI serta manfaat yang penulis
peroleh dengan menguasainya.
3.4.1. Video Games
Penulis menguasai video games lewat informasi yang penulis peroleh dari
rekan bermain dan orangtua, serta praktek lapangan yang penulis jalani sendiri.
Video games telah membantu penulis dalam proses sosialisasi dan interaksi
dengan lingkungan sekitar, khususnya mereka yang memiliki kegemaran sama
dengan penulis.
Selain itu, video games juga telah membantu mengaktifkan otak kanan
penulis, yang sebenarnya sulit diakses karena tidak adanya informasi visual yang
masuk dari mata, namun lewat video games hal tersebut dapat diatasi, dan sebagai
hasilnya mampu membangkitkan daya khayal serta imajinasi penulis.
Pada perkembangannya, penulis tidak hanya memanfaatkan teknologi video
games sebagai media bersenang-senang, tapi juga menjadikannya lapangan kerja.
Penulis pernah menjadi composer lepas untuk beberapa pengembang game local
di Indonesia, salah satunya www.divinekids.com. Penulis juga pernah menjadi
kontributor Majalah Hot Game dan mengulas rubrik musik game. Saat ini, penulis
tercatat sebagai salah satu kontributor tetap rubrik video games di situs berita
teknologi online www.detikinet.com.
3.4.2. Komputer
Setelah mengenal komputer melalui perangkat yang tersedia di kantor ayah,
penulis mulai serius mempelajari dan menekuni segala hal yang berhubungan
dengan komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
Di tahun 1990, penulis belajar mengetik 10 jari dengan dibantu seorang
mahasiswi dari Universitas Indonesia (UI) bernama Silvia, yang saat itu tengah
melakukan penelitian di Asrama SLB/A Lebak Bulus. Selanjutnya, seorang
instruktur mesin ketik bernama Ibu Hilma membantu proses belajar dengan
metode pembelajaran yang resmi. Dalam jangka waktu satu bulan, penulis telah
lancar mengetik 10 jari menggunakan mesin ketik.
Tahun 1996, penulis mengikuti kursus komputer bicara yang diselenggarakan
Yayasan Mitra Netra. Saat itulah untuk pertama kalinya penulis mengenal
program pembaca layar, dan memanfaatkannya untuk belajar aplikasi-aplikasi
DOS (Disk Operating System) seperti WordStar, WordPerfect, dan Lotus 123.
Ada pun instruktur penulis saat itu adalah Bapak Suratim yang juga seorang
tunanetra.
Tahun 1999, penulis membeli seperangkat Personal komputer (PC) pribadi,
namun karena harga aplikasi pembaca layar masih cukup mahal, maka penulis
mengoperasikan komputer dengan cara menghafal perintah-perintah yang dapat
dijalankan dengan keyboard. Saat itu komputer penulis belum menggunakan
system operasi Windows dan masih memakai DOS, sehingga masih dapat dihafal
dan mudah dalam penggunaannya.
Penulis mulai menggunakan pembaca layar JAWS for Windows setelah
membeli perangkat PC yang kedua di tahun 2002. PC ini sudah menggunakan
system operasi Windows XP, dan pembaca layar JAWS for Windows yang penulis
gunakan sudah dapat dipasang. JAWS for Windows sendiri merupakan pembaca
layar yang paling umum digunakan di Indonesia.
Setelah menggunakan PC dengan spesifikasi terkini, penulis mulai
memanfaatkannya untuk aktivitas yang lebih menantang, seperti belajar bahasa
pemrograman dan aplikasi pembuat musik digital. Untuk bahasa pemrograman,
penulis belajar Visual Basic, HTML, dan PHP, sedangkan untuk aransemen musik
penulis menggunakan Cakewalk Sonar, Steinberg Cubase, dan Adobe Audition.
Dalam merakit komputer, penulis banyak belajar secara mandiri, baik dari
majalah komputer maupun internet. Pengetahuan yang penulis dapat kemudian
langsung dipraktekkan dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari merakit komputer,
memasang program, bahkan membuka layanan jual beli komputer bagi yang
membutuhkan.
Pada proses belajar tersebut, tak jarang penulis menemui hambatan, seperti
perangkat keras atau perangkat lunak yang tidak dikenali pembaca layar sehingga
penulis tak dapat membacanya secara mandiri, arus listrik yang sering menyengat
tubuh penulis, atau aplikasi yang membutuhkan pemahaman yang baik untuk
dapat mengoperasikannya. Saat ini penulis sudah menggunakan komputer di
hampir setiap kegiatan penulis, mulai dari mengerjakan tugas, membuat artikel,
membuka internet, mengaransemen musik, presentasi saat pelatihan, bahkan
menyusun karya ilmiyah ini.
3.4.3. Internet
Penulis mulai memanfaatkan jasa Internet pada sekitar tahun 1997, saat itu
melalui jaringan dial-up milik salah seorang rekan sekolah. Mengingat kecepatan
aksesnya yang masih sangat lambat, saat itu penulis hanya memanfaatkannya
untuk belajar memahami cara kerja internet, mengunduh informasi mengenai
internet, dan bertukar file musik sederhana dengan pembuat musik di luar negeri.
Setelah belajar sedikit mengenai pembuatan halaman web, penulis pun
membuat blog pribadi pada tahun 2003. Blog ini beralamat di
www.ramaditya.com, dan merupakan blog pribadi tunanetra pertama di Indonesia.
Adapun konten blog yang disusun bersama rekan penulis Slamet Riyanto ini
menyajikan informasi aktivitas sehari-hari penulis, yang disajikan layaknya buku
harian. Isinya adalah mengenai pengalaman penulis sebagai tunanetra dalam
menekuni berbagai aspek kehidupan, mulai dari pemenuhan kebutuhan,
menikmati kegemaran, proses belajar, hingga cinta.
Meski blog tersebut milik tunanetra, namun penulis tetap memasukan elemen
visual di dalamnya, seperti foto dan video, sehingga pengunjung tidak hanya
memahami kehidupan penulis lewat teks saja, tapi juga lewat gambar. Tak jarang
foto atau video yang dipasang posisinya terbalik atau terlalu besar ukurannya
sehingga membuat halaman web tidak teratur, namun perbaikan terus dilakukan.
Kegemaran mengelola www.ramaditya.com akhirnya membawa penulis
bekerja sebagai salah satu reporter tunanetra untuk Yayasan Mitra Netra. Tahun
2005, penulis menjadi salah satu dari lima jurnalis tunanetra yang mengisi kanal
Mitra Netra News Online (MNO), yaitu program kerja kolaborasi Yayasan Mitra
Netra dan Samsung untuk mengetengahkan berita-berita seputar penyandang
disabilitas secara online.
Selanjutnya, penulis aktif sebagai kolumnis lepas untuk DetikINET, media
pemberitaan online di Indonesia yang menyajikan berita seputar teknologi
informasi dan komunikasi. Lewat DetikINET, penulis tak hanya memberitakan
seputar video games, tapi juga informasi mengenai teknologi serta
pemanfaatannya bagi penyandang disabilitas. Penulis juga memanfaatkan internet
sebagai sumber informasi utama belajar dan penggalian pengetahuan. Penulis
banyak mengumpulkan eBook yang penulis unduh, serta buku-buku yang telah
diubah ke format audio. Salah satu situs buku audio yang menjadi langganan
penulis berbelanja buku adalah www.audible.com, di mana penulis dapat
memperoleh buku-buku berformat audio dalam berbagai kateori.
Dengan memanfaatkan internet pula penulis dapat membangun jaringan
perkawanan dan komunikasi. Saat ini penulis telah memiliki beberapa akun
jejaring sosial dan program komunikasi, di antaranya facebook, Twitter, Youtube,
dan Yahoo Messenger. Semuanya dapat diakses melalui www.ramaditya.com.
3.4.5. Gadget
Berikut ini beberapa perangkat teknologi informasi yang penulis gunakan
dalam kehidupan sehari-hari, dan telah banyak menunjang aktivitas penulis.
Perangkat-perangkat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Telepon genggam.
Dulunya penulis hanya menggunakan telepon genggam untuk menerima dan
melakukan panggilan saja, dan apabila ada pesan masuk harus dibacakan oleh
orang lain. Sejak memiliki ponsel yang dilengkapi pembaca layar, penggunaan
telepon genggam tidak hanya sebatas komunikasi suara, namun sudah melibatkan
pemanfaatan SMS dan internet.
Saat ini penulis telah memakai telepon genggam dengan system operasi
Android dan antarmuka layar sentuh. Secara umum sekitar 80% fitur telepon
genggam sudah dapat penulis akses.
b. Voice Recorder
Perangkat ini penulis gunakan untuk merekam peristiwa atau kejadian ke
format audio, sehingga dapat penulis gunakan untuk berbagai keperluan. Penulis
memanfaatkan voice recorder saat melakukan wawancara, belajar di kelas dan
kebutuhan dokumentasi lainnya.
c. Multimedia Player
Multimedia player merupakan perangkat yang dapat memainkan file-file
multimedia, baik audio maupun video. Penulis memanfaatkannya sebagai media
hiburan, karena lebih ringkas dan efektif ketimbang memakai kaset atau CD. Ada
pun perangkat multimedia player yang penulis gunakan adalah iPod Shuffle,
karena sangat mudah digunakan oleh tunanetra
3.5. Semangat Hidup
3.5.1. Faktor Internal
Penulis menempatkan poin-poin di bawah ini sebagai faktor primer yang
mutlak mempengaruhi semangat hidup penulis, diantaranya :
a. Iman pada Allah SWT.
Saat penulis iman kepada Allah, bahwa segala ciptaannya diciptakan dalam
wujud yang paling sempurna dan menurut fungsinya, maka penulis percaya
bahwa kelahiran penulis sebagai tunanetra tentu telah dirancang oleh Allah SWT,
dan Allah SWT tentu akan selalu mendampingi segala ciptaannya, dan Allah
SWT tidak akan membebankan cobaan yang melebihi kemampuan hambanya.
Dengan kata lain, Allah yang telah menciptakan penulis sebagai tunanetra telah
memberikan yang terbaik bagi penulis, dan penulis Insya Allah dapat menjalani
kehidupan dengan baik, karena Allah telah menyesuaikan ujian sesuai
kemampuan penulis.
b. Rasa syukur.
Nilai ini ditanamkan oleh kedua orangtua, namun pada kenyataannya aplikasi
dari rasa syukur ini penulis jalankan dalam diri penulis sendiri. Saat menyadari
bahwa penulis memiliki kekurangan berupa kebutaan, penulis tidak
menganggapnya sebagai cacat yang membedakan derajat penulis dengan orang
lain. Penulis mencoba memperhatikan orang-orang dengan keterbatasan fisik yang
jauh lebih tidak beruntung dibandingkan penulis, misalnya penyandang bisu tuli
yang meskipun dapat melihat namun tidak dapat mendengar atau berbicara. Meski
demikian, mereka masih dapat berkarya dan hidup dengan baik, artinya penulis
yang memiliki kondisi fisik lebih sempurna seharusnya dapat berkarya dan hidup
lebih baik.
c. Niat dan cita-cita.
Dengan membangun niat dan cita-cita yang positif, maka penulis tidak lagi
terfokus pada masalah yang timbul akibat kebutaan yang penulis alami, tetapi
berusaha mencari solusi bagaimana meneguhkan niat dan mewujudkan cita-cita
yang penulis rencanakan.
d. Kegemaran pribadi.
Meyakini bahwa hidup perlu diisi dengan hal-hal yang menyenangkan juga
turut membantu meningkatkan semangat hidup penulis. Dengan menikmati
kegemaran pribadi, penulis dapat mengantisipasi stress atau tekanan jiwa yang
berlebihan. Salah satu kegemaran pribadi penulis adalah bermain video games,
membaca, menulis, nonton bioskop, koleksi pernak-pernik Star Wars, dan
rekreasi.
3.5.2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor di bawah ini penting dimiliki oleh individu berkebutuhan khusus
seperti penulis, namun apabila faktor-faktor ini tidak dimiliki, asalkan memiliki
faktor-faktor internal, semangat hidup masih dapat dicapai.
a. Dukungan keluarga.
Tak dapat dipungkiri bahwa dukungan orang-orang terdekat, dalam hal ini
keluarga, sangat berperan penting dalam memberikan semangat hidup bagi
penulis. Dengan adanya dukungan baik berupa materi maupun moral, aktivitas
sehari-hari penulis menjadi lebih mudah, karena saat menjalaninya penulis
mendapatkan restu yang sangat dibutuhkan penulis, terutama sebagai
penyemangat hidup apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
b. Penerimaan lingkungan.
Hidup di tengah-tengah masyarakat yang mendukung keberadaan dan aktivitas
penulis merupakan salah satu hal yang dapat memberikan semangat yang cukup
besar, karena penerimaan tersebut dapat menjadi tolok ukur bagi penulis bahwa
penulis adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga berarti dan berguna
tidak hanya untuk diri penulis tapi juga untuk orang lain.
c. Sarana dan prasarana.
Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai, maka penulis akan dapat
lebih mudah menjalani aktivitas sehari-hari. Apbila sarana dan prasarana tersebut
tidak tersedia dengan baik atau dengan kata lain tidak memadai, kemungkinan
tantangan hidup yang penulis hadapi akan lebih sulit. Dengan bertambah
mudahnya tantangan hidup yang penulis hadapi, maka motivasi untuk hidup maju
dan memanfaatkan sarana serta prasarana yang tersedia akan meningkat, sehingga
hasil yang akan penulis peroleh akan jauh lebih baik lagi.
BAB IV
ANALISA
4.1. Kelemahan Penyandang Tunanetra
Berdasarkan pada landasan teori dan studi lapangan maka didapati beberapa
kelemahan penyandang tunanetra yang akan dijelaskan pada sub-bab berikut.
4.1.1. Kelemahan Fisik
Tunanetra, baik yang lemah penglihatan (low vision) maupun buta total
(totally blind) kehilangan fungsi indera penglihatannya, baik sebagian maupun
seluruhnya. Hal tersebut dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan.
a. Keterbatasan akses informasi
Disfungsi indera penglihatan membuat tunanetra kehilangan akses terhadap
informasi visual yang umumnya ditangkap oleh mata. Dengan kata lain, tunanetra
tidak dapat menerima secara utuh informasi yang diterimanya dari indera
tubuhnya. Seperti kita ketahui, tunanetra tidak dapat melihat wajahnya sendiri,
tidak dapat memandang bentuk tubuh keluarganya, tidak dapat membaca atau
menulis, tidak dapat mengemudikan kendaraan, tidak dapat menonton TV atau
bioskop, tidak dapat membedakan warna atau karakter, tidak dapat mengukur baik
atau buruk, dan berbagai limitasi akses informasi lainnya.
Hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan yang masuk ke
dalam fungsi otak seorang tunanetra, perbedaan pemahaman atas objek-objek di
lingkungan sekitarnya, bahkan kekeliruan dalam menginterpretasikan elemen-
elemen di sekelilingnya. Contoh paling sederhana, karena tak dapat melihat
bagaimana orang berjalan, tersenyum, atau memandang saat berkomunikasi, maka
respon yang diberikan tunanetra kemungkinan akan kaku, mengingat mereka tidak
dapat meniru secara sempurna seperti halnya orang awas.
Kebutaan juga dapat mempengaruhi cara tunanetra berdandan atau
membawakan diri, mengingat mereka tidak memperoleh informasi yang sempurna
mengenai hal-hal tersebut, yang biasanya sangat mudah ditangkap oleh indera
penglihatan. Hilangnya fungsi penglihatan juga dapat menghambat tunanetra
dalam dunia pendidikan, karena tunanetra tidak dapat membaca atau menulis
secara normal, yang merupakan kegiatan utama dalam proses belajar mengajar.
Mereka membutuhkan peralatan atau metode khusus agar dapat mengikuti proses
belajar mengajar dengan baik.
Dalam lapangan pekerjaan, ketunanetraan dapat menghalangi seseorang
untuk memilih jenis pekerjaan secara leluasa. Contohnya, tunanetra tak dapat
bekerja sebagai pilot, pembalap, atau jenis pekerjaan lain yang membutuhkan
penglihatan.
Untuk mengakses buku cetak atau sumber pengetahuan visual yang lain,
tunanetra membutuhkan metode dan alat khusus, sehingga akses informasi tak
dapat dilakukan secara langsung, dan biaya yang dibutuhkan untuk akses
informasi tersebut masih tergolong mahal.
b. Keterbatasan Mobilitas.
Masalah utama yang dihadapi tunanetra adalah soal mobilitas, di mana
mereka tak dapat bergerak atau berpindah-pindah dengan leluasa seperti halnya
orang awas. Mobilitas paling sederhana adalah ketika tunanetra harus membaca
atau menulis. Jika tunanetra membaca atau menulis menggunakan format Braille,
pergerakan pembacaan maupun penulisan mereka tidak akan secepat orang awas
yang membaca dan menulis dengan normal. Sebagai contoh perbandingan, orang
awas dapat membaca kira-kira 200 kata per menit, sedangkan tunanetra hanya
dapat membaca kurang lebih 100 kata per menit.
Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tunanetra perlu melakukan
identifikasi secara intensif terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga pergerakan
mereka jauh lebih lambat dibanding orang awas yang dapat melakukan
identifikasi melalui penglihatannya. Selain itu, tunanetra tidak dapat
memanfaatkan kendaraan bermotor secara mandiri, sehingga untuk melakukan
pergerakan yang cepat mereka mengandalkan transportasi yang dikemudikan oleh
orang awas.
4.1.2. Kelemahan Mental
Ketunanetraan juga dapat berdampak pada mental individu yang
menyandangnya. Apabila tidak diberikan motivasi dan pengarahan yang tepat,
maka dampak semacam ini kemungkinan besar akan mudah bermanifestasi.
Berikut ini beberapa dampak yang ditimbulkan oleh kebutaan, antara lain sebagai
berikut :
a. Putus asa. Individu bersangkutan merasa hidup tidak ada gunanya dan sia-sia.
b. Emosional. Individu bersangkutan marah karena mengira penciptaan dirinya
yang tunanetra membuatnya berbeda derajat dengan orang yang diciptakan
dengan fisik sempurna.
c. Minder. Individu bersangkutan tidak memiliki motivasi untuk maju dan
cenderung membandingkan kondisi fisiknya dengan mereka yang berfisik
sempurna. Lebih lanjut, mereka menganggap orang berfisik sempurna lebih
superior dibanding dirinya yang memiliki kekurangan fisik.
d. Egois. Individu bersangkutan merasa paling tahu mengenai dunianya,
termasuk apa saja yang baik dan tidak baik untuknya, sehingga cenderung
tidak memperhatikan dan mendengarkan masukan-masukan dari pihak luar.
e. Sombong. Individu bersangkutan yang berhasil memperoleh pencapaian
hidup di atas rata-rata rekan-rekannya, apabila tidak diarahkan dengan baik,
umumnya tidak mau berbagi dengan rekan-rekannya, dan cenderung tidak
mau belajar lebih giat lagi.
f. Malas. Individu bersangkutan tidak dapat melihat betapa dinamisnya
kehidupan di sekelilingnya. Hal tersebut menyebabkan dirinya enggan
melakukan kegiatan apapun.
4.2. Kekuatan Penyandang Tunanentra
4.2.1. Kekuatan Dasar
Berikut ini adalah beberapa kekuatan yang dimiliki penyandang tunanetra
sejak lahir. Kekuatan ini umum dijumpai pada tiap individu tunanetra.
a. Daya konsentrasi. Hilangnya fungsi penglihatan membuat tunanetra mampu
berkonsentrasi dan melakukan fokus dengan baik. Ini karena tunanetra tidak
terganggu atau beralih perhatiannya, yang umumnya disebabkan oleh
penglihatan.
b. Daya ingat. Karena sedikitnya informasi visual yang masuk ke dalam otak
tunanetra, maka seorang tunanetra cenderung mampu mengingat informasi
yang masuk melalui pendengaran atau perabaan. Hal tersebut karena variabel
informasi yang diperoleh melalui pendengaran dan perabaan relatif lebih
sedikit dibanding variabel yang terdapat pada informasi visual. Hal tersebut
memudahkan tunanetra dalam mengingat atau menghafal sesuatu.
c. Daya Khayal. Terbatasnya informasi visual yang umum digunakan manusia
sebagai sumber khayal atau imajinasi membuat tunanera leluasa membangun
khayalan atau imajinasi yang bersumber dari pendengaran dan indera tubuh
lainnya. Hal tersebut tercermin dalam diri penulis sendiri yang begitu
menikmati video games dengan cara khayal dan imajinasi yang tidak
melibatkan visual, dan beberapa karya tulis tunanetra seperti Antologi Puisi
Angin Berbisik yang merupakan kumpulan puisi karya Irwan Dwi Kustanto
yang juga tidak melibatkan unsur visual dalam pembuatannya.
4.2.2. Kekuatan Olahan
Berikut ini adalah kekuatan yang akan muncul pada diri tunanetra apabila
mendapatkan pembinaan serta pengarahan yang tepat. Tidak semua individu
tunanetra memiliki kekuatan ini.
a. Motivasi. Apabila tunanetra melalui proses pembinaan dan pengarahan yang
tepat, serta diberikan nilai-nilai positif dalam kehidupannya, maka motivasi
yang besar untuk membangun niat dan mewujudkan cita-citanya akan
muncul.
b. Determinasi. Setelah motivasi berhasil diciptakan, maka tunanetra akan
memiliki determinasi yang kuat untuk meraih apa yang diinginkannya. Ia
akan memanfaatkan segala fasilitas untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari.
c. Pemanfaatan Teknologi Informasi. Seperti tercermin dalam kehidupan
penulis, apabila tunanetra disandingkan dengan teknologi dan informasi,
maka akan membuka peluang serta kesempatan untuk melakukan hal-hal
yang sebelumnya tak dapat diraih karena kebutaan yang disandang.
4.3. Tantangan Penyandang Tunanetra
Dengan kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya, tunanetra dihadapkan
pada tantangan hidup di berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut tidak hanya
dihadapi oleh individu yang bersangkutan, tapi juga dihadapi lingkungan di
sekitarnya.
Tantangan pertama yang dihadapi tunanetra adalah menjawab pertanyaan,
bagaimana ia dapat mengalahkan keterbatasannya sendiri. Hal ini dapat diatasi
apabila tunanetra memahami keadilan Allah SWT yang tentunya menciptakan
kebutaan dengan alasan dan maksud baik. Selanjutnya, perlu dipupuk rasa syukur
agar tunanetra dapat berterima kasih dan mencintai pemberian Allah pada dirinya,
baik kelemahan maupun kekuatannya.
Selanjutnya, lingkungan terdekat dari tunanetra, dalam hal ini orangtua dan
keluarga pun mendapat tantangan karena diharuskan menerima dan mengasuh
anggota keluarganya yang berbeda dengan orang kebanyakan. Di sini penting
sekali untuk menjadi roll model yang baik, sehingga tunanetra dapat melalui fase
social learning dan observational learning dengan baik.
Tantangan berikutnya muncul dari lingkungan sosial di sekitarnya, karena
tidak semua lingkungan dapat bersahabat dengan tunanetra. Saat bergaul,
tunanetra masih dikucilkan dan dianggap masyarakat kelas dua, sehingga
keberadaannya kurang dihargai, dan berimbas pada perlakuan diskriminatif yang
diberikan pada tunanetra.
Dalam dunia pendidikan, tunanetra dihadapkan pada tantangan berupa belum
meratanya sistem pembelajaran secara inklusif, sehingga tunanetra harus dapat
beradaptasi dengan lingkungan belajar yang tidak kondusif. Dalam hal ini,
dibutuhkan kerjasama dua belah pihak, baik dari pendidik maupun terdidik, untuk
mengatasi masalah-masalah yang timbul saat tunanetra menjalani proses belajar
mengajar.
Bagi tunanetra yang hendak bekerja, tantangan terbesar adalah meyakinkan
pihak penyedia lapangan kerja bahwa tunanetra memiliki kemampuan dan
kecakapan yang tidak kalah dengan orang awas. Selain itu, keterbatasan sarana
dan prasarana juga merupakan tantangan yang harus dihadapi tunanetra Indonesia.
Dengan fasilitas seadanya, tunanetra dan pihak terkait dituntut untuk dapat
memaksimalkan produktivitas dan performance, sehingga meski terbatas secara
fisik, namun tunanetra tetap dapat menghasilkan sesuatu yang tidak hanya
berguna bagi dirinya, tapi juga untuk orang di sekitarnya.
4.4. Motivasi dan Teknologi Informasi Sebagai Solusi
Berdasarkan pada pengalaman hidup penulis, dapat kita simpulkan bahwa
keberadaan teknologi informasi sangat berperan penting dalam peningkatan
kualitas hidup penulis sebagai tunanetra. Hal ini juga dirasakan tidak hanya oleh
penulis, tapi juga oleh tunanetra lain yang tersebar di dunia.
Hal tersebut juga didukung dengan adanya motivasi untuk melakukan
sesuatu, di mana motivasi tersebut menjadi motor penggerak bagi penulis untuk
belajar dan berusaha meraih niat dan cita-cita, dengan memanfaatkan TI sebagai
alat bantu dalam proses pencapaian tersebut.
Pada saat penulis masih kecil, kedua orangtua penulis menanamkan motivasi
yang besar di dalam diri penulis, dan mereka berhasil menadi model dalam social
learning dan observational learning yang penulis alami. Dengan kata lain,
motivasi yang ditanamkan orangtua telah berhasil menjadikan mereka model yang
ideal bagi penulis. Pemanfaatan teknologi informasi juga telah membantu di
berbagai bidang kehidupan yang penulis jalani.
Peralatan elektronik seperti radio dan televisi telah membantu penulis
menyerap informasi, meskipun informasi yang didapat hanya melalui
pendengaran saja. Sedangkan teknologi video games telah membantu penulis
bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya penulis, satu hal yang kemungkinan sulit
dicapai oleh anak-anak seusia penulis. Dalam proses belajar mengajar, keberadaan
tape recorder dan voice recorder sangat membantu penulis dalam proses
dokumentasi, yang sebelumnya begitu sulit dilakukan. Data audio yang berisi
informasi materi akademis dapat penulis olah sebagai media belajar dan pengganti
fungsi mata yang biasanya digunakan untuk membaca buku cetak.
Dengan adanya komputer dan internet, penulis pun mendapatkan lapangan
pekerjaan yang sebelumnya tidak dapat dijalani oleh tunanetra. Komputer
membantu penulis tidak hanya di bidang jurnalistik, tapi juga multimedia dan
hiburan. Sementara internet membantu penulis mendapatkan akses informasi
dengan skala yang sangat luas, dan membantu penulis membangun jaringan
pertemanan yang besar.
Sementara itu, penulis dapat memanfaatkan gadget seperti telepon genggam
atau ponsel pintar – yang sudah dimodifikasi sehingga menjadi aksesibel bagi
tunanetra – telah berhasil membuat penulis melakukan komunikasi secara
mandiri, yang sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh penulis karena
membutuhkan orang lain untuk mengoperasikan gadget tersebut.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa baik motivasi maupun teknologi
informasi dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang tunanetra.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan masalah yang dibaha dalam
karya ilmiyah ini. Ada pun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan pribadi yang baik sangat berperan dalam perkembangan jiwa
tunanetra. Hal ini mencakup proses penumbuhan motivasi, baik dari dalam
diri maupun dari luar diri tunanetra tersebut.
2. Pengaruh motivasi sangat positif dalam usaha tunanetra membangun niat
dan mewujudkan cita-citanya, dan pemanfaatan teknologi informasi
merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mewujudkan
hal tersebut.
3. Pemanfaatan teknologi informasi dalam kehidupan tunanetra dapat
mengubah hambatan menjadi peluang. Hal-hal yang sebelumnya mustahil
untuk dapat diwujudkan, kini dapat diraih.
4. Bila motivasi belajar dan teknologi informasi digabungkan, maka
tunanetra akan menjadi sosok yang luar biasa, yang mampu melakukan
berbagai hal bahkan melebihi orang-orang berpenglihatan.
5. Agar hasil yang dicapai maksimal, maka semangat yang dimiliki tunanetra
perlu diimbangi dengan dukungan dari lingkungan sekitarnya, baik secara
materi maupun moral.
5.2 Keterbatasan
Dalam pembuatan karya ilmiyah ini, penulis menyadari bahwa banyak
keterbatasan yang menghambat proses pembuatannya hingga mencapai hasil yang
maksimal. Salah satu hambatannya berasal dari diri penulis sendiri, di mana
ketunanetraan yang penulis sandang menyebabkan penulis tidak dapat mengambil
dan memasukkan sumber-sumber informasi secara lengkap dan terperinci.
Selain itu, luasnya objek pengkajian membutuhkan pengetahuan yang luas
pula untuk mengkajinya, maka penulis memilih untuk menjadikan diri penulis
sebagai objek penelitian, dan diharapkan hal tersebut dapat mewakili validitas dan
realibilitas hasil rumusan masalah yang penulis tuangkan, mengingat hampir
sebagian besar tunanetra di Indonesia yang menjalani pengalaman hidup seperti
penulis juga mendapatkan pencapaian yang tidak jauh berbeda.
Selebihnya, tentu terdapat kekurangan dalam pembuatan karya ilmiah ini,
yang tidak terverifikasi oleh penulis, yang menyebabkan kurang baiknya kualitas
karya ilmiyah ini. Semoga dapat dimaklumi dan dapat diterima.
5.3 Saran
1) Untuk umum
Kiranya karya ilmiyah ini dapat menjadi salah satu pedoman bagi
masyarakat di Indonesia untuk lebih memberikan perhatian kepada
tunanetra, dan penyandang cacat pada umumnya. Hendaknya selalu dibuka
kesempatan yang seadil-adilnya bagi rekan-rekan penyandang disabilitas
untuk menunjukkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya, tanpa
adanya diskriminasi dan pengucilan.
2) Untuk akademis
Kiranya karya ilmiah ini dapat menjadi kontribusi yang mampu
menambah wawasan pengetahuan, dan nantinya dapat disebarkan pada
masyarakat sebagai salah satu wadah berbagi pengetahuan, sehingga akan
lebih banyak lagi pihak-pihak terkait yang dapat mengambil manfaat dari
karya ilmiah ini.
3) Untuk relasi penyandang disabilitas
Kiranya karya ilmiah ini dapat memperkuat niat baik rekan-rekan dalam
membantu rekan-rekan yang berkebutuhan khusus agar mereka dapat
mencapai niat dan cita-cita tertinggi mereka.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Eko Ramaditya Adikara atau lebih akrab dipanggil Rama,
dilahirkan di Semarang, 2 Februari 1981. Penulis merupakan anak pertama dari
dua bersaudara dari pasangan Rahadi Sudarsono dan Emmy Darwati. Penulis
beralamat di Perum Jati Agung 1 Blok B3 No 6 Jatibening Baru.
Pendidikan Formal yang pernah ditempuh, Sekolah Dasar SLB/A PTN
Lebak Bulus, Jakarta-Selatan , SMPN 226, Jakarta-Selatan,
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 11, Jakarta-Selatan, S1 Fakultas
Sastra Jurusan Inggris, Universitas Darma Persada, Konsentrasi
Linguistik (Semester Akhir angkatan tahun 2000) dan S1 Jurusan
Administrasi Negara, STIA Yappan, Jakarta Selatan (Angkatan
tahun 2010)
Penulis pernah menjadi Reporter Mitra Netra News Online,
Yayasan Mitra Netra tahun 2004-2005 dan bekerja trainer dan sebagai
Kolumnis DetikInet (www.detikinet.com). Judul skripsi yaitu Pengaruh
Motivasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Peningkatan Kualitas
Hidup Penyandang Tunanetra.
Recommended