View
55
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
skp
Citation preview
D IV REGULER STAN
2014
PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
ADRIYAN MUHANDIS (7C/2)
GILANG MRADIPTA PANGASTOMO (7C/14)
MIA ASTARINA PRIHYANTINI (7C/20)
RINDWA ADHI GUSNAWAN (7C/26)
ADRIYAN MUHANDIS (7C/2)
GILANG MRADIPTA PANGASTOMO (7C/14)
MIA ASTARINA PRIHYANTINI (7C/20)
RINDWA ADHI GUSNAWAN (7C/26)
SEMINAR KEUANGAN PUBLIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI DAN ISTILAH
Berbagai rumusan tentang definisi pengadaan telah banyak dikemukakan oleh para
pakar, dimana pada prinsipnya pengadaan diartikan sebagai kegiatan untuk
mendapatkan barang atau jasa secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan penggunanya.
Dalam Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan
Barang/Jasa didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh
Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya
dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa memiliki peranan yang signifikan dalam kegiatan
pembangunan di suatu negara. Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan secara tepat
akan mendukung dan mendorong pertumbuhan suatu negara, karena pemakaian
anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada
pertumbuhan ekonomi negara.
Beberapa istilah yang sering muncul dalam proses pengadaan barang/jasa adalah
sebagai berikut:
1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yaitu pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa;
2. Unit Layanan Pengadaan (ULP), yaitu unit organisasi Kementerian/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit
yang sudah ada;
3. Barang, yaitu setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh Pengguna Barang;
4. Pekerjaan Konstruksi, yaitu seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan
pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya;
5. Jasa Konsultasi, yaitu jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian
tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir
(brainware);
6. Jasa Lainnya, yaitu jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang
mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi,
pekerjaan konstruksi dan pengadaan barang.
B. DASAR HUKUM
Pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan mengacu pada sejumlah peraturan
dan kebijakan. Dasar hukum utama yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan
pengadaan barang/jasa, yaitu:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
Sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun
2010, pengadaan barang/jasa diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 sendiri telah
mengalami perubahan sebanyak 2 kali, yaitu pertama dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011, dan kedua dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012.
Perubahan dalam peraturan mengenai pengadaan barang/jasa tersebut
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk mempercepat pelaksanaan
pembangunan, dimana dalam hal ini diperlukan percepatan dalam pelaksanaan belanja
Negara. Untuk itu, pengaturan dalam Pengadaan Barang/Jasa perlu disempurnakan
agar dapat mempercepat pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Selain itu, perubahan
peraturan dimaksud juga dilaksanakan dalam rangka memperjelas dan menghilangkan
multitafsir yang muncul pada peraturan sebelumnya, serta untuk memberikan arah
dalam kebijakan pengadaan barang/jasa. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah ini
menunjukkan bahwa Pemerintah senantiasa berusaha untuk terus menyempurnakan
sistem pengadaan barang/jasa demi terwujudnya pengadaan barang/jasa yang efisien,
efektif, transparan, adil, dan akuntabel.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Garis Besar dan Proses Pengadaan Barang dan Jasa
Penyediaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Melalui Penyedia Barang dan Jasa2) Melalui Swakelola
Gambaran garis besar pengadaan barang dan jasa dijelaskan melalui gambar dibawah ini:
Kebijakan Pengadaan
Barang dan Jasa
Kebijakan Pengadaan
Barang dan Jasa
1) Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Swakelolaa. Ketentuan Umum
Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/ Jasa dimana pekerjaannya
direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh Kemenerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran, instansi
pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat.
Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan Swakelola meliputi
1. Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau
memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas
dan fungsi K/L/D/I;
2. Pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung
masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I;
3. Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi, atau pembiayaan tidak diminati
oleh Penyedia Barang/Jasa;
4. Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terkebih dahulu,
sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan
ketidakpastian dan risiko yang besar;
5. Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran. Seminar, lokakarya, atau penyuluhan;
6. Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus
untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh
Penyedia Barang/Jasa;
7. Pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di
laboratorium, dan pengembangan sistem tertentu;
8. Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
9. Pekerjaan industri kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri;
10. Penelitian dan pengembangan dalam negeri, dan/atau;
11. Pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista, dan industri
almatsus dalam negeri.
b. Perencanaan1. Swakelola oleh Penanggung Jawab Anggaran
a2. Swakelola oleh Instansi Pemerintah Lainnya
3. Swakelola oleh Kelompok Masyarakat
c. Pelaksanaan1. Pekerjaan dilaksanakan mengacu pada:
• Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk swakelola yang dilakukan oleh Instansi
Penanggungjawab Anggaran dan Kelompok Masyarakat
• Kontrak/MoU untuk swakelola yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah lain
pelaksana swakelola
2. Pengadaan barang, peralatan, jasa lainnya, dan/atau Tenaga Ahli perseorangan
dilakukan oleh:
• ULP/Pejabat Pengadaan pada Instansi Penanggungjawab Anggaran atau Intansi
Pemerintah lain pelaksana swakelola
• Kelompok Masyarakat (dengan memperhatikan prinsip dan etika pengadaan)
3. Pembayaran dilakukan secara berkala
4. Pencairan dana swakelola oleh kelompok masyarakat disalurkan langsung kepada
kelompok masyarakat tersebut, dengan tahapan:
• 40 % total dana apabila kelompok masyarakat telah siap
• 30% total dana apabila pekerjaan selesai 30%
• 30 % total dana apabila pekerjaan selesai 60%
5. Dibuat laporan kemajuan pekerjaan dan dokumentasi
6. Dibuat laporan realisasi pekerjaan
7. Dilakukan penyerahan hasil pekerjaan
d. Pertanggungjawaban
1. Tim Pengawas melakukan evaluasi setiap minggu terhadap pelaksanaan pekerjaan yang meliputi:
Pengadaan dan penggunaan material/bahan;
Pengadaan dan penggunaan tenaga kerja/ahli;
Pengadaan dan penggunaan peralatan/suku cadang;
Realisasi keuangan dan biaya yang diperlukan;
Pelaksanaan fisik; dan
Hasil kerja setiap jenis pekerjaan.
2. Dari hasil evaluasi tersebut, Tim Pengawas memberikan masukan dan rekomendasi untuk memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan pekerjaan Swakelola selanjutnya
2) Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyediaa. Ketentuan Umum
Secara umum garis besar Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia adalah:
b. PerencanaanPerencanaan merupakan bagian terpenting dalam proses pegadaan barang /jasa, karena proses perencanaan akan menjadi dasar dan landasan dalam menentukan arah pengadaan barang/jasa.
1. Perencanaan Umum
PersiapanPersiapan Pelaksanaan Pemilihan Penyedia
Pelaksanaan Pemilihan Penyedia
Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontrak
Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontrak
Rencana umum pengadaan merupakan tugas dab wewenang PA/KPA untuk menyusun dan menetapkan rencana umum pengadaan. Langkah-langkah yang diperlukan dalam penyusunan rencana umum pengadaan adalah:
Identifikasi kebutuhan barang/jasa yang diperlukan K/L/D/I; Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran yang meliputi Rencana
Anggaran Belanja dan Kebijakan Cara Pembiayaan; Penetapan kebijakan umum pengadaan; Pengumuman rencana umum oleh PA.
Melalui langkah-langkah diatas tersebut, akan diperoleh hasil pada tahap penyusunan rencanan umum pengadaan, yaitu:
Barang dan Jasa yang dibutuhkan K/L/D/I mencakup jenis, spesifikasi, jumlah/volume barang/jasa yang dibutuhkan;
Kebijakan cara pembiayaan dapat melalui pembiayaan oleh anggaran K/L/D/I yang bersangkutan dan/atau pembiayaan berdasarkan kerja sama antar K/L/D/I secara bersama;
Kebijakan umum tentang Pemaketan Pekerjaaan, Cara Pengadaan, Pengorganisasian pengadaan barang/jasa;
Kerangka Acuan Kerja.
2. Pengkajian Ulang Rencana Umum PengadaanPPK dan/atau ULP/Pejabat Pengadaan melakukan pengkajian ulang rencana umum
yang telah dibuat PA/KPA. Sesuai dengan kajian ini, PPK dapat mengusulkan perubahan rencana umum pengadaan kepada PA/KPA. Apabila perubahan tersebut disetujui, maka PA/KPA menetapkan kembali rencana umum yang sudah diubah. Usulan perubahan rencana umum pengadaan dapat juga diusulkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan setelah mendapat persetujuan dari PPK.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengkajian ulang rencana umum pengadaan adalah: PPK mengundang ULP/Pejabat Pengadaan dan tim teknis untuk melakukan
pengkajian ulang terhadap rencana umum pengadaan; Dalam rapat tersebut, dibahas hal-hal mengenai Pengkajian ulang kebijakan umum
pengadaan, pengkajian ulang rencana penganggaran biaya pengadaan, pengkajian ulang KAK , kemudian Penyusunan Berita Acara hasil rapat koordinasi tentang pengkajian ulang rencana umum pengadaan yang memuat perubahan-perubahan rencana umum pengadaan yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati dicantumkan secara jelas mengenai perubahan yang diusulkan oleh PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan.
PPK mengajukan usul perubahan rencana umum pengadaan kepada PA/KPA berdasarkan Berita Acara diatas;
PA/KPA menetapakan Rencana Umum Pengadaan yang sudah dikaji tersebut.
3. Penyusunan dan Penetapan Rencana Pelaksanaan Pengadaan PPK bertugas dan berwenang untuk menyusun dan menetapkan Rencana
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa mengacu pada rencana umum pengadaan yang sudah ditetapkan oleh PA/KPA.
Dalam proses penyusunan dan penetapan rencana pelaksanaan pengadaan, PPK menyusun dan menetapkan KAK termsuk perincian spesifikasi teknis dan gambar yang didasarkan pada Rencana Umum Pengadaan yang telah ditetapkan oleh PA/KPA dan Berita Acara Rapat Koordinasi tentang Pengkajian Rencana Umum Pengadaan yang tidak bertentangan dengan ketetapan Rencana Umum Pengadaan. Setelah itu, PPK menyusun dan menetapkan Harag Prakiraan Sementara (HPS) dan rancangan kontrak.
4. Pemilihan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemilihan menyusun dan menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa dan
metode penyampaian doumen merupakan kewenangan dari Pejabat Pengadaan. Pejabat Pengadaan menghasilkan Ketetapan Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang akan digunakan sebagai dasar dalam memilih penyedia barang/jasa pada proses pemilihan penyedia barang/jasa. Metode pemilihan penyedia barang/jasa terdiri dari berbagai macam alternatif yang hanya dapat digunakan oleh penyedia jasa tertentu saja. Alternatif-alternatif metode yang dapat digunakan tersaji pada tabel dibawah ini:
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memilh salah satu alternatif metode penyedia barang/jasa diatas adalah:
Mengidentifikasi barang/jasa yang akan diadakan, di antaranya mencakup jenis barang/jasa yang akan diadakan, nilai paket pengadaan barang/jasa, kompleksitas barang/jasa, tinggi rendahnya teknologi yang digunakan dalam proses pengadaan, kelompok penyedia yang akan melaksanakan, sifat kekhususan barang/jasa, keadaan tertentu yang melingkupi pengadaan barang/jasa, dan lain-lain sesuai perpres 54/2010 dan perubahannya.
Mengenali persyaratan penggunaan setiap alternatif metode pemilihan penyedia barang/jasa.
Memilih dan menetapkan salah satu metode pemilihan penyedia barang/jasa yang sesuai dengan karakteristik barang/jasa yang akan diadakan.
5. Pemilihan Metode Kualifikasi
Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya oleh Penyedia Barang/Jasa. Terdapat dua pilihan metode Kualifikasi, yaitu Prakualifikasi dan Pascakualifikasi. Pemilihan salah satu dari metode tersebut tergantung pada:
Jenis dan Karakteristik/barang dan Jasa
Metode pemilihan barang/jasa yang digunakan
Berikut ini adalah alternatif penggunaan metode kualifikasi
6. Pemilihan Metode Penyampaian Dokumen PenawaranULP/Pejabat Pengadaan mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih metode
penyampaian dokumen. Metode penyampaian dokumen terdiri atas tiga alternatif yang dapat digunakan, yaitu: Metode Satu Sampul, Metode Dua Sampul dan Metode Dua Tahap. Penggunaan masing-masing metode disajikan dalam tabel di bawah ini:
7. Pemilihan Metode Evaluasi PenawaranULP/Pejabat Pengadaan mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih metode
Evaluasi Penawaran yang akan menghasilkan Ketetapan Metode Evaluasi Penawaran. Dalam melaksankan metode ini, ULP/Pejabat Pengadaa disediakan beberapa alternatif yang harus dipilih dan ditetapkan, yaitu: Untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya terdapat alternatif
Sistem Gugur, Sistem Nilai, dan Sistem Penilaian Biaya selama umur ekonomis. Untuk pengadaan jasa konsultasi terdapat alternatif Metode evaluasi berdasarkan
kualitas, metode evaluasi berdasarkan kualitas dan biaya, metode evaluasi berdasarkan pagu anggaran, dan metode evaluasi berdasarkan biaya terendah.Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memilih salah satu alternatif metode
diatas adalah sebagai berikut: Metode pemilihan penyedia barang/jasa, metode penyampaian dokumen
penawaran sudah ditetapkan terlebih dahulu dan mengenali karakteristik barang/jasa yang diadakan.
Mengenali persyaratan penggunaan setiap aternatif metode evaluasi penawaran. Memilih dan menetapakan salah satu metode evaluasi penawaran yang sesuai.
8. Penyusunan Tahapan dan Jadwal Pengadaan Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa lainnya metode
pelelangan umum
Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Penyedian Barang/Jasa lainnya metode pelelangan sederhana
Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Penyedian barang/jasa lainnya metode kontes/sayembara
Jadwal Pelelangan umum, pelelagan terbatas, dan seleksi umum dengan
prakualifikasi
Jadwal Pelelangan umum, pelelagan terbatas, dan seleksi umum dengan pascakualifikasi
Jadwal Pelelangan Sederhana, Pemilihan langsung, atau Seleksi sederhana perorangan.
Jadwal Seleksi sederhana dengan prakualifikasi
Penggunaan sistem pengadaan untuk pemilihan penyedia barang
9. Pemilihan jenis kontrak Kontrak Pengadaan barang/jasa yang disebut kontrak perjanjian tertulis antara PPK
dan Penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. Bentuk perjanjian atau dalam perpres disebut engan bukti perjanjian terdiri atas 4 (empat) jenis, yaitu:
Bukti Pembelian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai denga Rp 5.000.000,-
Kuitansi, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp 10.000.000,-
Surat Perintah Kerja (SPK), untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa yang nilainya sampai dengan Rp 100.000.000,- dan untuk pengadaan jasa konsultasi yang nilainya sampai dengan Rp 50.000.000,-
Surat Perjanjian, untuk pegadaan barang, ), untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa yang nilainya diatas Rp 100.000.000,- dan untuk pengadaan jasa konsultasi yang nilainya diatas Rp 50.000.000,-
Pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan berdasarkan kontrak tertentu. Dibawah ini adalah jenis-jenis kontrak dan penggunaannya.
ULP/Pantia Pengadaan menetapakan Ketetapan Jenis Kontrak dan Rancangan Kontrak yang akan digunakan pada saat pelaksanaan pengadaan barang/jasa setelah proses pemilihan penyedia barang/jasa sudah menetapakan penyedia yag ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa.
10.Penyusunan Dokumen PengadaanDokumen Pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati dalam proses pengadaan barang/jasa yang terdiri atas dokumen kualifikasi dan dokumen pemilihan. Dokumen Pengadaan telah distandardisasi melalui Peraturan Kepala LKPP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
c. Pelaksanaan, Pemilihan Penyedia1. Pelaksanaan Lelang
Pelelangan Umum terdiri atas beberapa tahapan yaitu: Pengumuman Pascakualifikasi/Prakualifikasi Pendaftaran dan pengambilan dokumen pengaduan Pemberian penjelasan Pemasukan dokumen penawaran Pembukaan dokumen penawaran Evaluasi penawaran Evaluasi kualifikasi Pembuktian kualifikasi Pembuatan Berita Acara Hasil Pelelangan Penetapan Pemenang Pengumuman Pemenang Sanggahan Sanggahan Banding Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa
2. Penunjukkan Langsung
Pemilihan penyedia barang/jasa melalui metode penunjukkan langsung memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut:
3. Pengadaan LangsungPemilihan penyedia barang/jasa melalui metode pengadaan langsung memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut:
4. Kontes
Pemilihan penyedian barang/jasa melalui metode kontes memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut:
d. Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontraka) Penyusunan dan Pelaksanaan Kontrak
Setelah surat perjanjian ditandatangani PPK dan Penyedia Barang/Jasa, selanjutnya PPK melakukan langkah-langkah persiapan untuk melaksanakan kontrak. Angkah-langkah tersebut adalah :
Membuat surat pesanan (SP) Menyusun program mutu Melakukan rapat persiapan pelaksanaan kontrak Melakukan pemeriksaan bersama Melakukan inspeksi pabrikasi Pembayaran uang muka
b) Pelaporan dan Penyerahan Barang/JasaLaporan disampaiakn kepada pimpinan K/L/D/I secara berjenjang dari para
pelaksana pengadaan barang/jasa. Untuk pengadaan yang memalui penyedia barang/jasa, laporan dibuat oleh PPK/ULP/Pejabat Pengadaan. Laporan pengadaan barang/jasa yang harus dikerjakan dalam pengadaan barang/jasa di antaranya: Laporan Rencana Pengadaan, Laporan Evaluasi Lelang, Laporan Hasil Pekerjaan, Laporan Akhir dan Sanggahan (bila ada).
Penyerahan barang/jasa dilakukan secara bertahap: Provisional Hand Over (PHO), yaitu proses serah terima pekerjaan barang dari
penyedia kepada panitia penerima pekerjaan.
Final Hand Over (FHO), yaitu proses serah terima barang dari penyedia kepada pantia penerima pekerjaan setelah masa pemeliharaan.
Serah terima barang dari PPK ke Kuasa Pengguna dengan tata caradan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Langkah-langkah dalam proses serah terima adalah sebagai berikut:
Setelah pekerjaan selesai 100 %, penyedia mengajukan permintaan tertulis kepada PPK untuk penyerahan pekerjaan;
Dalam rangka penilaian pekerjaan, PA/KPA menugaskan Panitia/Pejabat Penilai Hasil Pengadaan;
PPK melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Penyedia. Apabila terdapat kekurangan-kekurangan dan/atau cacat hasil pekerjaan, Penyedia wajib memperbaiki/menyelesaikannya;
PPK menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak dan diterima oleh Pantia/Pejabat Penerima Hasil Pengadaan. Apabila diperlukan, penyedia wajib menyerahkan sertifikat garansi kepada PPK.
B. ALUR PIKIR PROSES PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Kebijakan umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kebijakan umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bertujuan untuk
mensinergikan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa dengan kebijakan-kebijakan di sektor
lainnya. Langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dalam Pengadaan
Barang/Jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah ini, meliputi:
a) peningkatan penggunaan produksi Barang/Jasa dalam negeri yang sasarannya untuk
memperluas kesempatan kerja dan basis industri dalam negeri dalam rangka
meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing nasional;
b) kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem senjata (Alutsista) dan
industri alat material khusus (Almatsus) dalam negeri;
c) peningkatan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, koperasi kecil dan
kelompok masyarakat dalam Pengadaan Barang/Jasa;
d) Perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup secara arif untuk menjamin terlaksananya pembangunan
berkelanjutan;
e) Peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik;
f) Penyederhanaan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan
keputusan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
g) Peningkatan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab para pihak yang
terlibat dalam perencanaan dan proses Pengadaan Barang/Jasa;
h) Peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan;
i) Penumbuhkembangan peran usaha nasional;
j) Penumbuhkembangan industri kreatif inovatif, budaya dan hasil penelitian
laboratorium atau institusi pendidikan dalam negeri;
k) Memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam negeri;
l) Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, termasuk di Kantor Perwakilan Republik Indonesia; dan
m) Pengumuman secara terbuka rencana dan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di
masing-masing Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pemerintah Daerah/Institusi
lainnya kepada masyarakat luas.
Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa
Terdapat sejumlah prinsip yang harus dijadikan dasar dalam melaksanakan
proses pengadaan barang/jasa. Penerapan ketujuh prinsip diharapkan dapat membuat
pengadaan barang/jasa dapat berjalan seperti yang diharapkan serta dapat memberi
manfaat yang maksimal bagi semua pihak. Pada bagian penjelasan pasal 5 atas Perpres 54
tahun 2010 telah dijelaskan maksud masing-masing tujuh prinsip tersebut.
Uraian di bawah dimaksudkan untuk lebih memperjelas hal tersebut, yaitu :
a) Efisien
Efisiensi pengadaan diukur terhadap seberapa besar upaya yang dilakukan untuk
memperoleh barang/Jasa dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan. Upaya yang
dimaksud mencakup dana dan daya yang dikeluarkan untuk memperoleh
Barang/Jasa. Semakin kecil upaya yang diperlukan maka dapat dikatakan bahwa
proses pengadaan semakin efisien.
b) Efektif.
Efektifitas pengadaan diukur terhadap seberapa jauh Barang/Jasa yang diperoleh
dari proses pengadaan dapat mencapai spesifikasi yang sudah ditetapkan.
c) Transparan.
Bagaimana proses pengadaan Barang/Jasa dilakukan dapat diketahui secara luas.
Proses yang dimaksud meliputi dasar hukum, ketentuan-ketentuan, tata cara,
mekanisme, aturan main, sepsifikasi barang/jasa, dan semua hal yang terkait
dengan bagaimana proses pengadaan barang/jasa dilakukan. Dapat diketahui
secara luas berarti semua informasi tentang proses tersebut mudah diperoleh dan
mudah diakses oleh masyarakat umum, terutama Penyedia Barang/Jasa yang
berminat.
d) Terbuka.
Berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang
memenuhi persyaratan/kriteria yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku.
Setiap penyedia yang memenuhi syarat dapat dengan mudah mendapatkan
informasi tentang prosedur yang jelas untuk mengikuti lelang/seleksi.
e) Bersaing.
Proses pengadaan barang dapat menciptakan iklim atau suasana persaingan
yang sehat di antara para penyedia barang/jasa, tidak ada intervensi yang dapat
mengganggu mekanisme pasar, sehingga dapat menarik minat sebanyak mungkin
penyedia barang/jasa untuk mengikuti lelang/seleksi yang pada gilirannya dapat
diharapkan untuk dapat memperoleh barang/jasa dengan kualitas yang
maksimal.
f) Adil/tidak diskriminatif.
Berarti proses pengadaan dapat memberikan perlakuan yang sama bagi semua
calon penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu, kecuali diatur dalam peraturan . Sebagai contoh bahwa
dalam peraturan ini mengatur agar melibatkan sebanyak mungkin Usaha Kecil,
Usaha Menengah dan Koperasi Kecil. Disamping itu juga mengutamakan
produksi dalam negeri.
g) Akuntabel.
Berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan
Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila prinsip-prinsip tersebut dapat dilaksanakan, diharapkan akan diperoleh
barang/jasa yang sesuai dengan spesifikasinya dengan kualitas yang maksimal serta
biaya pengadaan yang minimal. Disamping itu dari sisi penyedia barang/jasa akan terjadi
persaingan yang sehat dan pada gilirannya akan terdorong untuk semakin meningkatnya
kualitas dan kemampuan penyedia barang/jasa.
Organisasi pengadaan Barang dan Jasa
1. Organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia
Organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia
barang/jasa terdiri dari unsur-unsur :
a) Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Penggguna Anggaran (KPA)
b) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
c) Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan
d) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
Organisasi tersebut dapat dikembangkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a) PPK dapat dibantu oleh tim pendukung yang diperlukan untuk
pelaksanaan pengadaan.
b) Perangkat organisasi ULP ditetapkan sesuai kebutuhan yang paling
kurang terdiri dari :
Kepala ULP
Sekretariat
Staf Pendukung
Kelompok Kerja
Tata cara pembentukan perangkat ULP secara lebih rinci diatur dengan Peraturan
Kepala LKPP.
2. Organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui swakelola
Struktur Organisasi pengadaan barang/jasa melalui swakelola tergantung pada pihak
mana yang
bertindak sebagai pelaksana swakelola. Sesuai pasal 26 ayat (4), pengadaan
melalui swakelola dapat dilakukan oleh :
a) K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran.
b) Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola.
c) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola.
Pada dasarnya unsur-unsur organisasi pengadaan melalui swakelola meliputi :
a) Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Penggguna Anggaran (KPA)
b) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
c) TIM SWAKELOLA yang terdiri dari :
Tim Perencana
Tim Pelaksana
Tim Pengawas
d) ULP/Pejabat Pengadaan/Panitia Pengadaan bila diperlukan.
Pihak-pihak dalam pengadaan barang dan jasa
1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
a) Tugas Pokok dan Wewenang
menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3) rancangan Kontrak.
b) menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c) menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah
Kerja (SPK)/surat perjanjian;
d) melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
e) mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f) melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g) menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan
Berita Acara Penyerahan;
h) melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i) menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan tersebut, dalam hal diperlukan, PPK dapat:
a) mengusulkan kepada PA/KPA:
1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau
2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b) menetapkan tim pendukung;
c) menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
d) menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia
Barang/Jasa.
PPK merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa. Untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) memiliki integritas;
b) memiliki disiplin tinggi;
c) memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk
melaksanakan tugas. Persyaratan manajerial yang dimaksud adalah:
1) berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian
yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
2) memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif
dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
3) memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap
tugas/ pekerjaannya.
d) mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan
dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
e) menandatangani Pakta Integritas;
f) tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar
(PPSPM) atau Bendahara; dan
g) memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
2. Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan
ULP adalah unit organisasi Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang
bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
Keanggotaan Kelompok Kerja ULP wajib ditetapkan untuk :
a) Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya dengan nilai di atas
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b) Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
Untuk pengadaan barang/jasa dibawah nilai tersebut, dapat dilakukan oleh
ULP atau Pejebat Pengadaan
Tugas Pokok Kepala ULP
a. memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP;
b. menyusun program kerja dan anggaran ULP;
c. mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan
melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan;
d. membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan
Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi;
e. melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya Manusia ULP;
f. menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja sesuai
dengan beban kerja masing-masing Kelompok Kerja ULP; dan
g. mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang ditugaskan di
ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan dan/atau KKN.
3. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)
PPHP ditetapkan Oleh Pengguna Anggaran / Kuasa pengguna Anggaran. Anggota
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan berasal dari pegawai negeri, baik dari
instansi sendiri maupun instansi lainnya.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
b) memahami isi Kontrak;
c) memiliki kualifikasi teknis;
d) menandatangani Pakta Integritas; dan
e) tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar
(PPSPM) atau Bendahara.
Tugas pokok dan Kewenangan
a) melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b) menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui
pemeriksaan/pengujian; dan
c) membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.
4. Penyedia Barang/Jasa
Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan
kegiatan/ usaha;
b) memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk
menyediakan Barang/Jasa;
c) memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai Penyedia Barang/Jasa
dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah
maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak;
d) ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi Penyedia
Barang/Jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
e) memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang
diperlukan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
f) dalam hal Penyedia Barang/Jasa akan melakukan kemitraan, Penyedia
Barang/Jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan yang
memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan
tersebut;
g) memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro,
Usaha Kecil dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan
yang sesuai untuk usaha non-kecil;
h) memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk
Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi;
i) khusus untuk Pelelangan dan Pemilihan Langsung Pengadaan Pekerjaan
Konstruksi memiliki dukungan keuangan dari bank;
j) khusus untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Lainnya, harus
memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP) sebagai berikut:
SKP = KP – P
KP = nilai Kemampuan Paket, dengan ketentuan:
a) untuk Usaha Kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 5 (lima)
paket pekerjaan; dan
b) untuk usaha non kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 6
(enam) atau 1,2 (satu koma dua) N.
P = jumlah paket yang sedang dikerjakan.
N = jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat
bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
k) tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak
sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan
dengan surat pernyataan yang ditandatangani Penyedia Barang/Jasa;
l) sebagai wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta
memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh
Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga)
bulan terakhir dalam tahun berjalan.
m) secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada Kontrak;
n) tidak masuk dalam Daftar Hitam;
o) memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman;
dan
p) menandatangani Pakta Integritas.
C. MASALAH-MASALAH DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
1) Gagal dalam menyelenggarakan Pelelangan
Kelompok Kerja ULP menyatakan Pelelangan gagal, apabila :
a) Jumlah peserta yang lulus kualifikasi pada proses prakualifikasi kurang dari 3 (tiga),
kecuali pada Pelelangan Terbatas;
b) Jumlah peserta yang memasukan Dokumen Penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta,
kecuali pada Pelelangan Terbatas;
c) Sanggahan dari peserta yang memasukkan Dokumen Kualifikasi terhadap hasil
prakualifikasi ternyata benar;
d) Tidak ada penawaran yang lulus evaluasi penawaran;
e) calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 dan 2, setelah dilakukan evaluasi
dengan sengaja tidak hadir dalam klarifikasi dan/atau pembuktian kualifikasi;
Setelah pelelangan dinyatakan gagal, maka Kelompok Kerja ULP memberitahukan kepada
seluruh peserta. Setelah itu, maka Kelompok Kerja ULP atau Kelompok Kerja ULP pengganti
(apabila ada) meneliti dan menganalisis penyebab terjadinya pelelangan gagal, untuk
menentukan langkah selanjutnya, yaitu melakukan:
a) evaluasi ulang;
b) penyampaian ulang Dokumen Penawaran;
c) pelelangan ulang; atau
d) penghentian proses pelelangan.
2) Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa
a. Delik korupsi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah
Pada dasarnya ada 10 (sepuluh) perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah,
perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut :
1) Penyuapan.
Pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas dan janji untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu perbuatan yang akan berakibat membawa untung
terhadap diri sendiri atau pihak lain, yang berhubungan dengan jabatan yang
dipegangnya pada saat itu.
2) Penggelapan.
Perbuatan mengambil tanpa hak oleh seorang yang telah diberi kewenangan, untuk
mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang milik negara, oleh
pejabat publik maupun swasta.
3) Penerimaan Komisi.
Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai. Dalam bantuan uang, saham,
fasilitas, barang dll, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan
bisnis dengan pemerintah.
4) Pemerasan
Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau
barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik
ataupun kekerasan
5) Pilih Kasih
Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga,
afiliasi partai politik, suku, agama dan golongan. Yang bukan kepada alasan objektif
seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionaiisme kerja.
6) Penyalahgunaan Wewenang
Mempergunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang
memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap
diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.
7) Bisnis Orang Dalam
Melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau
keluarga, dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang dimilikinya
untuk memenangkan kontrak pemerintah
8) Nepotisme
Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik
yang sepaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan
atau pemilihan pemenang lelang
9) Sumbangan Tidak Resmi
Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada
waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dan hasil yang
dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah
10) Pemalsuan
Suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi, dengan
maksud untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Penyakit Korupsi dalam tahap perencanaan pengadaan.
Perencanaan pengadaan adalah tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa
pemerintah yang peranannya sangat manentukan. Kegiatan perencanaan ini bertujuan
untuk mempersiapkan secara rinci mengenai target, waktu, mutu, biaya, dan manfaat dari
paket-paket pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah, yang dibiayai dari
dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri.
KKN dalam kegiatan pengadaan pemerintah, pada umumnya dimulai dari tahap
perencanaan pengadaan. Sehingga dapat dikatakan asal mula penyakit KKN ini dari kegiatan
penyusunan rencana pengadaan, diantaranya adalah :
a). Penggelembungan anggaran.
Penggelembungan rencana pengadaan dapat terjadi pada berbagai aspek: biaya,
kualitas, bahan, volume dan sebagainya. Akibatnya, terjadi pembengkakan jumlah anggaran
APBN/APBD yang merupakan pemborosan dan memperbesar peluang kebocoran.
b). Rencana pengadaan yang diarahkan.
Penyusunan spesifikasi teknis dan kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang
agar suatu produk dan pengusaha tertentu dapat memenangkan lelang, sehingga dapat
menutup peluang bagi pengusaha lain. Dengan demikian akan terbuka kemungkinan pada
proses selanjutnya pihak perencana, pemilik proyek/kegiatan, panitia, mitra kerja dapat
bekerja sama secara kolutif. Akibatnya kompetisi tidak terjadi dan peluang negara untuk
memperoleh penawaran yang paling menguntungkan semakin kecil.
c). Pemaketan pekerjaan yang direkayasa.
Perencanaan pengadaan meliputi kegiatan pemaketan pekerjaan menjadi beberapa
paket, atau menggabungkan beberapa kegiatan menjadi satu paket pekerjaan untuk alasan
yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Pemaketan seharusnya dilakukan
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dengan mempertimbangkan aspek
efisiensi dan efektifitas, namun pada masih ada oknum yang melakukan rekayasa untuk
kepentingan KKN. Contohnya, pemaketan dengan membagi proyek kepada beberapa
pengusaha yang berasal dari kelompok tertentu dalam rangka ‘tender arisan’ atau proyek
bagi-bagi untung. Beberapa proyek/paket dijadikan satu paket besar, sehingga hanya bisa
dikerjakan oleh perusahaan besar dan kuat.
b. Penyakit Korupsi yang dapat timbul terkait dengan panitia/pejabat pengadaan.
Panita/Pejabat Pengadaan adalah pelaksana pengadaan yang dibentuk dan ditunjuk
oleh Kuasa Pengguna Anggaran, setelah seluruh kegiatan persiapan administrasi
pelaksanaan proyek/ kegiatan selesai. Kegiatan pembentukan/penunjukanpanitia/pejabat
pengadaan perlu diwaspadai sebagai hal yang dapat menjadi sebab berkembangnya
penyakit KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tugas dan peranan
panitia/pejabat pengadaan sangat berpengaruh terhadap ‘bersih-tidak’-nya proses
pengadaan barang di unit kerja tersebut, oleh karena itu kita perlu mewaspadai
terbentuknya atau ditunjuknya panitia/pejabat pengadaan yang tidak dilandasi dengan
kemampuan teknis, kredibilitas, dan integritas yang memadai. Akibatnya, hasil kinerja dari
panitia/pejabat pengadaan menjadi tidak maksimal, sehingga pemerintah tidak
memperoleh barang dan jasa seperti yang diharapkan, baik dalam ukuran kualitas,
kuantitas, harga, dan ketepatan waktu. Kinerja panitia/pejabat pengadaan yang pada
umumnya dapat menjadi sumber penyakit KKN, antara lain :
a. Panitia yang tidak memiliki integritas.
Pada umumnya, bila nuansa KKN telah mewarnai kinerja panitia/pejabat pengadaan,
mereka cenderung tidak obyektif, tidak jujur, bekerja tanpa visi, tidak profesional, tidak
transparan, dan tidak bertanggung jawab. Lemahnya integritas dan kompetensi panitia,
membuat proses pengadaan selalu rentan terhadap ancaman penyakit-penyakit KKN.
b. Panitia/pejabat pengadaan yang tidak independen.
Panitia/pejabat pengadaan dikendalikan atau dipengaruhi oleh pihak tertentu. Dalam
melaksanakan tugas, panitia/pejabat pengadaan tidak akuntabel dan cenderung lamban
karena menunggu perintah atau petunjuk dari atasan, yang sebenarnya tidak memiliki
otoritas di bidang pengadaan. Panitia/pejabat pengadaan akhirnya tidak memiliki kebebasan
dalam melakukan analisis maupun pertimbangan teknis yang diperlukan.
c. Panitia/pejabat pengadaan yang memihak.
Panitia/pejabat pengadaan cenderung untuk selalu memberi keistimewaan pada
kelompok tertentu. Putusan panitia/pejabat pengadaan selalu mengacu pada ‘kesepakatan’
atau aturan-aturan lelang yang tidak tertulis. Tindakan dan kebijakan panitia/pejabat
pengadaan lebih berpihak pada kelompok tertentu yang telah ‘memberikan janji’ atau
memberikan ‘sesuatu’ yang berharga, sehingga mereka bersedia bersedia mengikuti
kehendak kelompok tersebut. Panitia bekerja dengan subyektivitas yang tinggi, selalu
mengacu pada kriteria yang tidak baku, dan muncul kelompok-kelompok yang memiliki
kedekatan dengan pimpinan organisasi, sehingga kualitas produk pengadaan relatif rendah
tetapi harganya tinggi, serta timbulnya kasus-kasus tender ‘arisan’ atau ‘pelelangan yang
telah diatur’.
c. Penyakit korupsi dalam penetapan harga perkiraan sementara (HPS).
Penyusunan HPS harus dilakukan secara keahlian/profesional, dengan mengkaji studi
kelayakan, engineering design, data harga kontrak pekerjaan yang sejenis, harga pasar yang
berlaku, dan harga yang dikeluarkan oleh pemerintah/manufaktur atau perusahaan jasa.
Dalam kaitannya dengan praktek KKN, umumnya penyakit yang terjadi antara lain :
a). Penggelembungan harga (mark up).
Permainan harga juga dapat dilakukan dengan melakukan mark-up dengan bekerja
sama pengguna barang/jasa terutama ketika pelaksanaan dengan cara penunjukkan
langsung atau pemilihan langsung.
b). Harga dasar yang tidak standar.
Harga dasar (unit price) material, peralatan, dan tenaga merupakan salah satu faktor
penentu dalam menyusun HPS. Digunakannya data yang tidak valid akan mengakibatkan
HPS menjadi tidak akuntabel, karena harga dasarnya non standar (cenderung lebih tinggi).
c). Penentuan estimasi harga yang tidak sesuai ketentuan.
Yang menyusun estimasi harga harusnya adalah Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat
Pembuat Komitmen, namun dalam rangka kolusi, yang menyusun adalah ‘calon pemenang.
Upaya-upaya atau strategi yang dapat dilakukan untuk membangun ‘Jaring Pengaman Anti
KKN’ antara lain adalah dengan membuat program-program sebagai berikut:
3. Program Melawan Korupsi
a. Program kegiatan preventif melawan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Program ini dijalankan dengan menggunakan cara antara lain :
a. Membuat ‘Standards of Conduct’, yang berupa pernyataan tertulis tentang standar
perilaku, etika dan moral, dan ditandatangani oleh yang bersangkutan, disertai
sanksi-sanksi langsung bagi pelanggar, bagi para pelaku di bidang pengadaan, baik
pegawai pemerintah maupun pihaak swasta. Standar ini merupakan alat untuk
mencegah niat ber’KKN’.
b. Menerapkan Pakta Integritas, yang berupa suatu perjanjian tertulis khusus antara
pemerintah, peserta tender, dan disaksikan oleh LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), yang menjamin masing-masing pihak untuk tidak melakukan tindakan
korupsi/KKN dalam proses lelang bersangkutan, serta sanksi bila dilanggar.
Manfaatnya adalah untuk memberikan jaminan moral dan hukum, bagi pihak-pihak
yang terlibat, bahwa pengadaan tersebut benar-benar dilakukan secara fair dan
bebas KKN.
b. Program kegiatan edukasi dan membangun kesadaran publik.
Program ini dijalankan dengan menggunakan cara, antara lain:
a. Mengidentifikasi patologi/penyakit dalam proses pengadaan, termasuk modus
operandinya, sehingga masyarakat mudah melakukan pemantauan kegiatan
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hasil identifikasi patologi pengadaan ini
dapat digunakan masyarakat untuk mendeteksi, mencegah dan melakukan
partisipasi aktifnya dalam mengurangi/mencegah timbulnya KKN.
b. Mengadakan Hari Anti Korupsi Nasional, yang bertujuan membangkitkan gerakan
kesadaran anti korupsi nasional, dan menjadikan suatu momentum untuk perubahan
paradigma menuju pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Hari peringatan
ini diisi dengan berbagai kegiatan di masyarakat yang berhubungan dengan
integritas dan anti korupsi (lomba menulis, menggambar, lari maraton, gerak jalan,
dan lain-lain).
c. Memberikan edukasi untuk kaum muda, dengan cara menggunakan berbagai
program pendidikan formal dan non formal yang menarik kaum muda, melalui
berbagai media (komik, Kuis, TV Spot, Film, Website, dan lain-lain). Tujuannya adalah
menanamkan pengetahuan dan sikap jujur, benci pada korupsi, keserakahan dan
persekongkolan, sejak usia dini di bangku sekolah.
d. Kampanye integritas dan kesadaran publik untuk mencegah KKN, yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat atas isu-isu korupsi
melalui kampanye publik. Kampanye dilakukan dengan menggunakan media massa
dan sarana komunikasi publik lainnya, misalnya alat peraga audio visual, iklan
layanan masyarakat, poster, brosur, film, banner, dan sebagainya.
c. Program kegiatan meningkatkan pengawasan masyarakat.
Program ini dijalankan dengan menggunakan cara, antara lain:
a. Public Hearing, yaitu dengan melakukan ‘dengar pendapat’ sebelum proyek
diluncurkan atau dilelangkan, khususnya untuk proyek besar yang melibatkan
masyarakat luas )proyek pembangunan DAM, jalan raya, jaringan kereta api, dan
lain-lain. Masyarakat boleh memberikan masukan dan keluhan, sementara pihak
yang mempunyai kegiatan/proyek menjelaskan rencana lelang, biaya proyek, waktu
pelaksanaan, dan lain-lain. Cara ini untuk mengoptimalkan partisipasi publik dengan
forum terbuka sebelum proses pengadaan, untuk menampung aspirasi,
meningkakan transparansi dan meminimalkan peluang korupsi.
b. Mengembangkan Tripartite Partnership, yaitu kemitraan antara pemerintah, sektor
swasta, dan masyarakat, dalam strategi, program, dan berbagai kegiatan yang
terpadu dalam memerangi KKN di bidang pengadaan barang/jasa publik. Kekuatan
bersama yang solid dalam suatu forum lebih berarti dibanding upaya ‘parsial’ yang
terpecah-pecah dengan tujuan yang berbeda-beda, karena hanya akan
menghabiskan energi, waktu, dan biaya.
c. Mengembangkan Procurement Watch, yaitu partisipasi masyarakat untuk
mengorganisasikan pengawasan dalam proses pengadaan di lingkungannya, baik
secara pribadi, jalur organisasi profesi, politik, atau melalui LSM. Selain melakukan
fungsi ‘Watchdog’ atau ‘Whistleblower’ juga melakukan kajian-kajian mendalam,
pelatihan sumber daya manusia (SDM), dan riset untuk mengoptimalkan proses
pengadaan bagi kepentingan masyarakat.
d. Program kegiatan mengadopsi metode baru untuk mengurangi KKN.
Program ini dijalankan dengan cara melaksanakan pengadaan secara elektronik (E-
Procurement), yang memanfaatkan infrastruktur jaringan internet dan sistem informasi
elektronik. Proses pengadaan dilakukan secara on-line, sehingga dapat meningkatkan
transparansi, dan efisiensi melalui kompetisi terbuka, dan menghemat waktu. Dengan
pengadaan secara elektronik, akan mengurangi kontak langsung dengan pejabat pegelola
pengadaan, mengurangi praktek KKN, dan dapat menghemat tenaga serta biaya.
Melalui program-progran tersebut, diharapkan dapat memberikan ‘public awareness’ yang
maksimal bagi masyarakat, disamping dapat pula memberikan pengetahuan praktis tentang
modus-modus operandi KKN di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dengan
demikian, masyarakat dapat melakukan fungsi masing-masing dalam upaya mencegah,
mengurangi, atau menghilangkan praktek KKN di bidang pengadaan, baik yang terjadi
ditingkat nasional maupun regional dan lokal, baik yang tergolong kecil-kecilan maupun
besar-besaran.
CONTOH KASUS
1. Masalah HPS
Harga HPS ditinggikan. Contohnya, kasus korupsi Pengadaan Peralatan Penunjang
Laboratorium di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang sedang disidang di Pengadilan Negeri
Jakarta. Harga wajar barang yang hanya Rp11,815 milyar dibuat HPS seharga Rp16,99.
Diduga terjadi penggelembungan harga Rp5,175 milyar atau hampir 45% dari harga
wajarnya (harian Kompas, Rabu, 16 januari 2013). Peninggian harga HPS seperti ini bahkan
bisa dimulai pada saat pengusulan anggaran yang akhirnya tercantum dalam DIPA
(Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran). Dalam kasus seperti ini biasanya pembuat HPS
sudah “main mata” dengan panitia pengadaan barang dan calon pemenang lelang.
Usulan
Agar PPK dalam pengadaan meneliti dulu HPS yang dibuat karena dalam pemeriksaan PPK
lah yang menjadi penanggung jawab utama. Penelitian tersebut dengan memakai metode
survey lapangan. Pelaksanaan survei untuk perangkat khusus bisa dilakukan dengan
membentuk tim ahli.
2. Masalah PINJAM NAMA
Pinjam nama perusahaan. Untuk memenuhi ketentuan minimal jumlah peserta
lelang/seleksi, seluruh peserta lelang berada dalam satu komando. Hal ini bisa terjadi karena
perusahaan-perusahaan yang kalah dalam pelelangan sebenarnya hanya “boneka” karena
perusahaan tersebut hanya dipinjam namanya. Pada contoh pengadaan di UNJ tersebut
diduga perserta lelang yang kalah adalah perusahaan-perusahaan yang dikendalikan oleh
satu perusahaan, yakni perusahaan pemenang lelang.
Usulan
Pengenaan blacklist terhadap perusahaan yang melakukan kecurangan. Pengenaan blacklist
tidak hanya pada perusahaan tetapi juga pengenaan nya terhadap orang-orang dalam
perusahaan tersebut. Melakukan penyelidikan terhadap bidang usaha perusahaan dan track
record perusahaan tersebut dalam lelang pengadaan.
BAB III
PENUTUP
Perpres 54/ 2010 tentang PBJP telah memberikan arah yang jelas untuk berubah
ke praktik yang lebih baik, diantaranya adalah menciptakan iklim yang kondusif untuk
persaingan sehat, efisiensi belanja Negara dan mempercepat pelaksanaan APBN/APBD
(debottlenecking), memperkenalkan aturan, sistem, metoda dan prosedur yang lebih
sederhana dengan tetap memperhatikan good governance, klarifikasi aturan serta
memperkenalkan mekanisme reward and punishment yang lebih adil. Diantara sinyal
tersurat dari arah perubahan tersebut adalah keharusan membentuk ULP, pelaksanaan
PBJP melalui kontrak payung, e-catalogue e_pruchasing, pengungkapan lebih jelas
tentang jenis–jenis pengadaan, besaran uang muka, kelengkapan data administrasi, dan
mengupayakan insentif yang wajar kepada para pelaku PBJP dan perancangan
mekanisme blacklist.
Untuk mengatasi risiko kegagalan atau tidak efektifnya Perpres tersebut dapat
disarankan agar prosedur pengadaan disederhanakan. Selama ini Perpres mengatur dari sisi
pembeli, sebaiknya diubah dengan mengatur sisi penawarannya. Selama ini Perpres
mengatur tentang bagaimana instansi pemerintah melakukan pembelian. Aturan ini
hendaknya diubah dengan mengatur agar para calon penyedia barang/jasa dan berbagai
perusahaan melakukan persaingan dengan melakukan penawaran secara sehat dan
transparan.
Recommended