View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana
Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh :
LILIK SIYAGA
E1E008039
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana
Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi Persyaratan Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Oleh :
LILIK SIYAGA
E1E008039
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
S K R I P S I
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)
Oleh:
LILIK SIYAGA
E1E008039
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal 18 Februari 2013
Para penguji/pembimbing/
Penguji I/
Pembimbing I
Sunaryo, S.H.,M.Hum.
NIP. 19531224 198601 1 001
Penguji II/
Pembimbing II
Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H.
NIP. 19610527 198702 1 001
Penguji III
Haryanto Dwiatmodjo,S.H,M.H.
NIP. 19630926 199002 2 001
Mengetahui,
Dekan
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 196409231 98901 1 001
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : LILIK SIYAGA
NIM : E1E008039
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
YANG DILAKKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan Nomor: 55/Pid.Sus/2011/PN. Pwt)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil
karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain
yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil
jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 18 Februari 2013
Yang membuat pernyataan
LILIK SIYAGA
NIM. E1E008039
ABSTRAK
Kaidah-kaidah dan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat
berfungsi untuk membentengi tingkah laku masyarakat dalam melakukan
perbuatanya sehari-hari, akan tetapi dengan bergesernya waktu, maka
perubahan perilaku masyarakat pun semakin terlihat, norma-norma yang
sebelumnya ditaati oleh masyarakat semakin ditinggalkan, perilaku-perilaku
masyarakat saat ini mencerminkan merosotnya budaya masyarakat.
Salah satu faktanya dapat dilihat dalam kasus yang terjadi dalam
Surat Putusan No.55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, dalam kasus ini telah terjadi
suatu tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang bernama
Agus Panca Rotama terhadap seorang teman yang bernama Yoga Afriaji.
Dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk meneliti tentang,
Apakah sudah tepat penerapan unsur-unsur Pasal 338 KUHP yang dijadikan
sebagai dasar hukum atas pertanggungjawaban mengenai perbuatan anak
dalam melakukan tindak pidana terhadap nyawa orang lain sesuai dengan
putusan NO.55/Pip.Sus/2011/PN,Pwt? Pertimbangan hukum hakim dalam
memutus perkara tindak pidana terhadap nyawa orang lain yang dilakukan
oleh anak ?
Metode penelitian yang digunakan adalah: deskritif-analitis, dengan
metode pendekatan Yuridis-Normatif, yakni penelitian yang dilakukan
dengan konsep kepustakaan, data diperoleh melalui studi kepustakaan,
sehingga datanya berbentuk data sekunder. Metode analisis data yang
digunakan adalah, Yuridis-Normatif.
Dari penelitian ini maka dapat di ambil kesimpulan bahwa, Anak
dibawah umur yang bernama Agus Panca Rotama sebagai pelaku telah
melakukan tindak pidana pembunuhan yang melanggar perundang-
undangan sebagai berikut, yakni Melanggar Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Sebab Peristiwa tersebut telah mengakibatkan
korban yang merupakan seorang teman meninggal dunia.
Kata Kunci: Tindakan (Pembunuhan); Putusan Pengadilan No. 55/
Pid.Sus / 2011 / PN. Pwt. Perlindungan Anak.
ABSTRACT
Principles and norms that live in society which has function to fortify
society’s behavior in doing their daily deed, however, by moving the time , then
changing of society’s behavior also is more appeard, the norms that before
obeyed by society’s is more lived behind, the society’s behavior recently reflect
the regressof society’s culture.
One of the facts can be seen in a case that occurred in Court Decision No.
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. In this case, has happened a criminality act of murder
which is done by child of under age named Agus Panca Rotama on purpose doing
the murder to a friend named Yoga Afriaji.
In this research, the writer attends to observe about, this is precisely the
application of the elements of article 338 of the Penal Code which serve as the
legal basic for accountability regarding the child acts in a criminal act against
another person’s life in accordance with is it right if the rules of legislation which
is become as basic of law for responsibility of what the child of under age did, in
doing criminality act of murder to a friend appropriate with court decision no
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt? Legal reosoning of judges in deciding criminal cases
against the life of another person by a child?
The research method used was descriptive-analytical, with juridical-
normative approach method, that is, a research conducted by literature concept.
The data were obtained from literature study, so that the data were in form of
secondary data. The data analysis method used was juridical-normative.
From this research it could be concluded that the child named Agus Panca
Rotama as suspected has done the criminal act of murder which broke the
legislation as follow, that is break the section 338 book of prophecy . that even
has caused some victim who is a friend died.
Keywords: Action (Murder); Court Decision No. 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Court
Children .
MOTTO
“Aku akan selalu berusaha untuk menggapai impianku, dan
aku tidak akan pernah diam karena aku tahu pemenang itu
bukan pendiam”
“Kegagalan tidak akan menghentikan langkahku karena itu
bukan tujuanku, melainkan pelajaran untuk mencapai
SUKSES”
“Aku lebih suka memandang lukisan ombak dilaut yang tak
kenal putus menghantam karang dari pada lukisan
hamparan sawah subur yang tenang”
( Ir. Soekarno )
PERSEMBAHAN
Karya kecilku ini aku persembahkan teruntuk :
Almarhum bapakku yang mendewasakan aku semenjak
remaja dan ibuku yang telah melahirkan aku ke dunia ini:
Raisha Istriku yang sangat aku cintai dan mencintaiku
dengan memberikan perhatian, semangat, mengingatkan
untuk selalu berdoa, berusaha dan sholat lima waktu serta
menerima keluhanku dengan kebesaran hatinya yang
cantik...
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Segala Puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT seru sekalian alam,
karena atas rahmatnya dan ridho-Nya, maka skripsi ini yang berjudul “TINDAK
PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA YANG DILAKUKAN OLEH
ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana Nomor : 55/Pid.
Sus/2011/PN.Pwt )” Sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar sarjana
strata satu (S1) Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto, Serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan beserta para sahabatnya.
Dengan mengingat segenap kekurangan yang ada, penulis telah berusaha
memaksimalkan diri untuk menulis dan menyelesaikan skripsi ini sebaik
mungkin. Namum penulis mengerti bahwa hasil penelitian ini masih perlu untuk
disempurnakan lagi, mohon para pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang membangun.
Penulisan skripsi ini bukan merupakan hasil tunggal penulis, melainkan
tidak terlepas dari pikiran dan budi baik banyak orang, dengan kesungguhan hati
penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua yang senantiasa penulis
hormati, karena merekalah penulis bisa seperti sekarang ini dan tak lupa untuk
orang yang sangat spesial dalam hidupku yaitu istriku tersayang Raisha Putri
Kemala, SH yang tanpa lelah memberikan dukungan moril dan materiil.
Pada kesempatan ini pula izinkanlah penulis dengan kerendahan hati dan
rasa syukur menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada yang
terhormat Sunaryo, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I dan Dr. Setyo Wahyudi,
S.H., M.H selaku Pembimbing II, yang selalu menjadi panutan dalam keilmuan
serta telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. Drs. Edy Yuwono, PhD, selaku Rektor Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto;
2. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
3. Dr. Agus Raharjo,S.H.,M.Hum, selaku pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
4. Haryanto Dwiadmodjo, S.H., M.Hum,, selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana serta dosen Penguji pada Seminar skripsi dan Ujian skripsi;
5. Saryono Hanadi, S.H. M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang
memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan;
6. Kapolres Banyumas selaku atasan langsung yang telah mengijinkan
penulis untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto;
7. Dosen Fakultas Hukum selama penulis kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
8. Seluruh pihak yang memberikan motivasi, saran dan kritik selama
punulisan skripsi ini;
Penulis berharap dengan selesainya skripsi ini dapat memberikan manfaat
khususnya bagi peneliti sendiri serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam ruang lingkup hukum pidana.
Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah
memberikan bantuan selama penyusunan skripsi ini, Amin.
Wasaalamu’alaikum Wr.Wb.
Purwokerto, 18 Februari 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAKS .......................................................................................................... iv
ABSTRACT .............................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 15
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 16
D. Kegunaan Penelitian................................................................ 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................18
A. Pengertian Tindak Pidana........................................................18
1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Ahli Hukum...... 18
2. Unsur Tindak Pidana......................................................... 21
3. Macam-macam tindak pidana............................................ 24
B. Tindak Pidana Pembunuhan....................................................26
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan............................ 26
2. Unsur Tindak Pidana Pembunuhan................................... 28
3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan.... 32
4. Kualifikasi Tindak Pidana Pembunuhan............................ 35
C. Pemidanaan........................................................................... 43
1. Teori-teori pemidanaan..................................................... 43
2. Tujuan pemidanaan............................................................ 50
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................57
A. Hasil Penelitian..............................................……….............57
B. Pembahasan ............................................................................79
BAB V PENUTUP ........................................................................................114
A. Simpulan ...............................................................................114
B. Saran .....................................................................................115
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................117
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of
the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang, dan menghargai partisipasi anak.1
Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat
perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangan kearah
dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kontrol,
ia melakukan perbuatan tidak baik. Sehingga merugikan diri sendiri bahkan
orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa
pertumbuhan, sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari
1 http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses melalui
internet pada tanggal 26 desember 2012
lingkungan pergaulannya. Disamping itu keadaan ekonomi pun juga bisa
menjadi pendorong bagi anak untuk melakukan perbuatan yang dilarang.2
Setelah keluarga merupakan salah satu penyebab anak melakukan
tindak pidana atau pelanggaran, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan
sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan
merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di
sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan
kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak
semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan
melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai
pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu
kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.
Anak dengan latarbelakang ketidak harmonisan keluarga, tentu akan
lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa
menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan
menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga.
Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan
menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan
pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan membunuh.
Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak.
Apabila pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan
2 http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=kriminalitas
anak&&nomorurut_artikel=390,
diakses melalui internet tanggal 26 desember 2012
kenakalan dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan
kejahatan atau criminal. Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, B.
Simanjuntak berpendapat bahwa, kondisi-kondisi rumah tangga yang
mungkin dapat menghasilkan “anak nakal”, adalah:3
1. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,
pemabuk, emosional.
2. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri.
3. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani.
4. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati,
cemburu, terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada
pihak lain yang campur tangan.
5. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat,
rumah piatu, panti-panti asuhan.
Perkembangan peradaban dan pertumbuhan pada masyarakat cukup
pesat, dimana kejahatan ikut mengiringi dengan cara-cara yang telah
berkembang pula. Kejahatan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan.
Pengaruh modernisasi tidak dapat dielakkan, disebabkan oleh ilmu
pengetahuan yang telah mengubah cara hidup manusia dan akhirnya hanya
dapat untuk berusaha mengurangi jumlah kejahatan serta membina penjahat
tersebut secara efektif dan intensif. Maka sulit kalau dikatakan Negara akan
3 B. Simanjuntak. Kriminologi. Bandung : Tarsito, 1984, hlm. 55.
melenyapkan kejahatan secara total. Emile Durkheim menyatakan bahwa
kejahatan adalah:4
“suatu gejala normal didalam setiap masyarakat
yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan
sosial dan karena itu tidak mungkin dapat
dimusnahkan sampai tuntas”.
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk
menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut
bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif,
yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang
disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai
suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima
sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih
menimbulkan perbedaan pendapat.5
Kejahatan menurut non hukum atau kejahatan menurut aliran sosiologis
merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat.
Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda,
akan tetapi memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses
interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan kelompok-
kelompok masyarakat mana yang memang melakukan kejahatan. Kejahatan
(tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian
4 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya,
Jakarta:Pradya Paramita, 1987, Hal. 1. 5 Digitized by USU digital library, 2003.
yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi
oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga perbuatan-
perbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat luas, baik kerugian
materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia,
walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.6
Ditinjau dari sosiologi, Sutherland menyelidiki bahwa kejahatan
merupakan suatu persoalan yang paling serius atau penting yang bersumber
dimasyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk melakukan
kejahatan dan masyarakat sendiri yang menanggung akibat dari kejahatan
tersebut, walaupun secara tidak langsung. Oleh karena itu untuk mencari
sebab-sebab kejahatan adalah di masyarakat. Kajahatan atau sifat jahat itu
sendiri bukan karena pewarisan, tetapi karena dipelajari dalam pergaulan di
masyarakat, sedangkan pergaulan di masyarakat itu adalah berbeda-beda, yang
sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya sendiri.7
Secara sosiologis seseorang yang melakukan tindak pidana kejahatan
merupakan hasil perubahan-perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat
sebagai bentuk deviasi sosial (pelanggaran norma-norma masyarakat).
Soerjono Soekanto merumuskan bahwa, deviasi adalah: 8
“penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-
nilai dalam masyarakat. Kaidah-kaidah timbul dalam
masyarakat karena diperlukan sebagai pengatur
dalam hubungan antara seseorang dengan orang lain,
atau antara seseorang dengan masyarakatnya”.
6 H. R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat Jilid II, Jakarta: Restu Agung , 2006 7 Edwin H. Sutherland, Azas-Azas Kriminologi, Bandung , Hal. 106
8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, Hal. 214.
Pengertian penjahat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya.9
Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek yuridis merupakan
seseorang yang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan telah
diputus oleh pengadilan atas pelanggarannya dan telah dijatuhi hukuman, dan
dalam hukum pidana dikenal dengan istilah narapidana.
Tindak pidana memang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa
namun anak juga turut andil dalam melakukan suatu kejahatan yang tidak kalah
dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa, memang disayangkan
bahwa prilaku kriminalitas dilakukan oleh anak, karena masa anak adalah
dimana anak seharusnya bermain dan menuntut ilmu, tapi pada kenyataannya
anak zaman sekarang tidak kalah bersaing dengan orang dewasa untuk
melakukan tindak pidana, namun Negara membedakan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa dan yang dilakukan oleh anak, Negara lebih
meringankan tindak pidana yang dilakukan oleh anak karena anak merupakan
tunas bangsa dan generasi penerus bangsa sehingga setiap anak pelaku tindak
pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara
manusiawi sebagaimana yang termuat dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan
terhadap pendapat anak.
Diambil dari sebuah contoh kejadian nyata, pada zaman sekarang
nyatanya anak sudah berani melakukan tindak pidana pembunuhan, adalah
9 A. Gumilang, Kriminalistik, Bandung: Angkasa, 1993, Hal. 4.
Agus Panca Rotama bin Sukiswo yaitu seorang anak yang berumur 17 Tahun
dan telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap salah seorang teman
yaitu yang bernama Yoga Afriaji bin Sukardi, dalam putusan Pengadilan
Negeri Purwokerto Nomor 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, Agus telah dinyatakan
bersalah karena telah menghilangkan nyawa orang lain sesuai dengan Pasal
338 KUHP. Pada awalnya bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang
sering kali ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata “BANGSAT,
BAJINGAN” Agus bertanya kepada Yoga dengan mengatakan “
MAKSUDNYA APA KAMU SETIAP KETEMU SAYA NGOMONG “
BANGSAT, BAJINGAN “ kemudian Yoga menjawab “ EMANG KENAPA,
KAMU EMOSI “ dan Agus menjawab “ YA JELAS SAYA EMOSI KARENA
SETIAP KETEMU SAYA KAMU BILANG “ BANGSAT, BAJINGAN”
kemudian Agus berkata lagi kepada Yoga sambil mengajak“ KALAU
MEMANG BERANI KITA KEATAS, atas ajakan tersebut Yoga
menyanggupi dan mau pergi ke bukit hutan Jatisaba.
Bahwa sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas Plasa Desa
Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul 24.00 Wib Agus turun
dari motor sedangkan Yoga langsung melepas helm yang dipakainya,
selanjutnya Yoga turun dari kendaraan dan langsung menyerang Agus dengan
memukul dengan tangan kosong ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan
memukul ke arah pipi kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu
sepanjang setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga
sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah kiri keluar
darah dan langsung sempoyongan, pada saat sempoyongan Yoga masih sempat
menarik kepala Agus dengan memegang rambut Agus ditekankan ke bawah
sampai tertunduk, pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh Yoga, Agus
langsung mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan disimpan di balik
baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan mengayunkan parang /
bendo kearah leher sebelah kiri, akan tetapi di tangkis oleh Yoga dengan
menggunakan tangan kanan, sehingga melukai tangan kanan Yoga hingga tiga
jari putus, kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo
itu ke arah leher sebelah kiri dan melukai leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya
Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo mengenai leher
sebelah kanan dan juga melukai leher sebelah kanan, kemudian Yoga jatuh
tersungkur ketanah, mengetahui Yoga sudah jatuh tersungkur kemudian Agus
menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo kearah telinga sebelah
kiri, kemudian Yoga di bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di
senderkan di PAL/PATOK, pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup,
kemudian Agus mengambil tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas PAL
kemudian menebas tangan kiri dengan parang/bendo sebanyak dua kali,
sehingga dia tidak bergerak lagi dan mengakibatkan meninggal.10
Salah satu contoh kenakalan yang dilakukan anak nyatanya terjadi
zaman sekarang, Agus merupakan salah satu contoh anak nakal yang telah
melakukan tindak pidana pembunuhan, dan terbukti bersalah di pengadilan,
sehingga pengadilan menjatuhkan pidana penjara 7 ( tujuh ) tahun pada Agus,
10
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
sesuai dengan amanat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak diatur bahwa apabila anak melakukan tindak
pidana pada batas umur yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tetapi diajukan
ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur
tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap
diajukan ke Sidang Anak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, maka petugas dituntut
ketelitiannya dalam memeriksa surat-surat yang berhubungan dengan bukti-
bukti mengenai kelahiran serta umur dari anak yang bersangkutan, dalam
masalah anak penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dalam sistem
peradilan saja akan tetapi juga dikenal adanya restorative justice.
Pada tahun 1980an, Braithwaite memperkenalkan sistem
penghukuman dengan pendekatan restorative justice, karena terinspirasi oleh
masyarakat Maori dalam menangani penyimpangan di lingkungan mereka,
yang menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan
petinggi masyarakat setempat untuk menyelsaikan masalah secara
kekeluargaan.11
Tony Marshall memberikan definisi dari restorative justice sebagai 12
“proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki
kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang
bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana
11 Braithwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. Ofxord: Oxford
University Press, 2002.
12 Ibid.
menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan
implikasinya untuk masa depan.”,
Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan
restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang13
“bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku
dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk
mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Pada dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative justice. Dan pada tahun
2006, Restorative Justice Consortium, memberikan definisi sebagai berikut:
Restorative Justice works to resolve conflict and repair harm. It
encourages those who have caused harm to acknowledge the impact of what
they have done and gives them an opportunity to make reparation. It offers
those who have suffered harmthe opportunity to have their harmor loss
acknowledged and amends made. (Restorative Justice Consortium 2006)14
James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong , menjelaskan bahwa
restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang
berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang
pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah
pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua
berhubungan dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan utamanya adalah
pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah „keadilan
restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash
13
ibid
14 Liebmann, Marian. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley
Publisher, 2007.
dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan
pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari
tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik
korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan
reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar15
Liebmann memberikan, merumuskan prinsip dasar restorative justice sebagai
berikut:
1. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban
2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari
kejahatan di masa depan
6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,
baik korban maupun pelaku.
Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara
mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali
segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga
dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim
awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari
perbuatannya).16
15
Ibid 16
Ibid.
Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkungan
Peradilan Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi
perkara yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam
hal melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematika hukum (recht
sistematisch) isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh.
1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) Badan
Peradilan Umum.
2. Memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang telah
menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain, seperti
Badan Peradilan Agama.
Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman
pada standard minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice (The
Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:17
1. Kebijakan sosial memajukan kesejahtraan remaja secara maksimal
meperkecil intervensi sistem peradilan pidana.
2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses
peradilan pidana.
3. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir.
4. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.
17
United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the
Beijing Rules) Adopted by General Assembly resolution 40/33 tanggal 29 November 1985.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang
tua/wali.
6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana juga membutuhkan
perlindungan hukum sebagai salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa
depan, perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum
yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian
masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik maupun mental, oleh
karena itu anak memrlukan perlindungan dan perawatan khusus.18
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara
tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung
ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan
seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai
ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan
mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara
menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan
perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung
18
Harkristuti Harkrisnowo. Menelaah Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu (dalam
Konteks Indonesia). Seminar Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana di Danau Toba. Medan .
Tanggal 4-5 April 2002, hlm. 3.
ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan
kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.19
Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana,
hukum acara, dan hukum perdata, di Indonesia pembicaraan mengenai
perlindungan hukum mulai tahun 1997 dalam seminar perlindungan
anak/remaja yang diadakan prayuwana. Seminar tersebut menghasilkan dua hal
penting yang harus diperhatikn dalam perlindungan anak yaitu:
1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahtraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh
perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta
untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahtraan rohani dan
jasmani anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah,
sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan
hidupnya seoptimal mungkin.20
Sehingga pergerakan dan perkembangan pemikiran terfokus pada
kesejahteraan anak, dengan bertujuan memisahkan proses peradilan anak dan
orang dewasa serta melindungi anak dari penerapan hukum orang dewasa.21
19
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, PT Refika Aditama,
2008, hlm,.2. 20
Irma Setiyowati Sumitro. Op.cit., hlm. 4. 21
Anthony M. Platt. 1997. The Child Savers: the invention of Delinquency. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Second Edition, Englanrge, hlm. 54.
Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan
perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan
kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi
tertentu. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak
benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak
asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan
yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.
Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin
mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum
perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun
peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Dalam bukunya
yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar
Siregar mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia,
di mana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi
juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.22
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk membuat skripsi
dengan judul: TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
22
Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986, hlm. 22.
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan Pidana Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt )
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka peneliti dapat
membatasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang Undang
Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN.
Pwt?
2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak
pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada perkara Nomor
: 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN.
Pwt.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus
perkara tindak pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada
perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan
pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat
baik secara teorits maupun praktis sebagai bagian yang tak terpishkan, bagi
kalangan akademisi hukum, yaitu :
1. Manfaat Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah
referensi khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penerapan
hukuman terhadap anak di Indonesia.
2. Manfaat Praktis:
Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah khususnya
aparat penegak hukum mudah-mudahan dapat melakukan perubahan
paradigma dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan
perubahan dinamika yang terjadi dalam memenuhi keadilan
masyarakat, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara
profesional, manusiawi, dan berkeadilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Pengertian Tindak Pidana
1. Pengertian tindak pidana menurut para ahli hukum
Pengertian “het strafbaarfeit” telah diterjemahkan oleh para sarjana
menjadi berbagai macam arti, dan para sarjana itu mempunyai batasan dan
alasan tersendiri untuk menentukan pengertian het strafbaarfeit.
Untuk lebih jelasnya, peneliti mengutip beberapa pengertian tentang tindak
pidana menurut pakar dan ahli hukum pidana seperti tersebut di bawah ini:
Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
menerjemahkan istilah perbuatan pidana adalah:23
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada
itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan
orang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu.”
Pengertian tindak pidana menurut Bambang Purnomo dalam
bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa:24
“Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai istilah
yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana, perbuatan pidana
23 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hlm. 54.
24 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, Hlm.
16.
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat”.
Sianturi dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan
penerapannya, mengartikan het strafbaarfeit ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi:
1) Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum
2) Peristiwa Pidana
3) Perbuatan Pidana
4) Tindak Pidana
Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Moeljatno bahwa perbuatan pidana
maksudnya adalah, bahwa:25
“Hal itu dibuat oleh seseorang dan ada sebab maupun
akibatnya, sedangkan pengertian peristiwa tidak menunjukkan
bahwa yang melakukan adalah seorang manusia, bisa hewan
atau alam melakukannya”.
Menurut Simons, strafbaarfeit yang dikutip oleh P.A.F.
Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, yang
mengatakan bahwa:26
“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.
25
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990, 26
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1994, Hlm 172.
Adapun menurut J.E.Jonkers, yang dikutip oleh Martiman
Prodjohamidjojo dalam bukunya Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia, memberikan definisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian,
yaitu:27
1) Definisi pendek memberikan pengertian bahwa strafbaarfeit
adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh
undang-undang.
2) Definisi panjang atau lebih mendalam bahwa strafbaarfeit
adalah suatu kelakuan melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang dapat
dipertanggungjawabkan.
Perbuatan pidana oleh Moeljatno dirumuskan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar
larangan tersebut dan perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang menghambat tercapainya tata
pergaulan dalam masyarakat seperti yang dicita-citakan masyarakat,
perbuatan itu juga harus memenuhi unsur formil dan materil, unsur formil
adalah unsur yang sesuai dengan rumusan Undang-undang, dan unsur
materil adalah yang bersifat melawan hukum atau tidak sesuai dengan
dicita-citakan mengenai pergaulan masyarakat. Perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-undang atau
Peraturan lainnya, yaitu perbuatan tersebut dikenai tindakan penghukuman.
Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Satochid Karta Negara
mengenai istilah tindak pidana (tindakan) menurutnya tindak pidana
27
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, Hlm. 15-16
mencakup pengertian melakukan atau perbuatan atau pengertian tidak
melakukan, dan istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya
tindakan manusia saja.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia mengatakan, bahwa:28
“Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman.
Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak
pidana”.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Memahami
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia menerangkan dari beberapa pakar
hukum pidana memberikan definisi mengenai strafbaarfeit, antara lain:29
1) Simons, mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan
yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan dan di lakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.
2) Hamel dan Noyon-Langemeyer, mengatakan bahwa
strafbaarfeit itu sebagai kelakuan orang yang bersifat
melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan.
3) Van Hatum, mengatakan bahwa perbuatan oleh karena
mana seseorang dapat dipidana.
4) Moeljatno, mengatakan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Unsur tindak pidana
Dari beberapa perumusan Strafbaarfeit jelas bahwa adanya suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut merupakan unsur-unsur
28
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986,
Hlm. 55. 29
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
yang sangat penting di dalam usaha mengemukakan adanya suatu tindak
pidana.
Unsur-unsur tindak pidana, menurut Leden Marpaung dalam
bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus, membedakan 2 macam unsur
yaitu:30
Unsur subjektif; Unsur objektif.
Selanjutnya Leden Marpaung menjelaskan beberapa unsur-unsur
tindak pidana diantaranya adalah: Unsur Subjektif adalah unsur-unsur
yang melekat pada si pelaku tindak pidana dalam hal ini termasuk juga
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur Subjektif dari suatu tindak pidana adalah :
a. Kesengajaan atau ketidak sangajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat di dalam
kejahatan–kejahatan Pembunuhan, Pencurian,
Penipuan.
d. Merencanakan terlebih dahulu, Pasal 340 KUHP.
Kemudian yang dimaksud dengan Unsur Objektif adalah unsur
yang ada hubungan dengan keadaan tertentu di mana keadaan-keadaan
tersebut sesuatu perbuatan telah dilakukan.
Unsur-unsur Objektif dari suatu tindak pidana adalah :
a. Sifat melawan hukum. Misalnya Pasal 338 KUHP.
b. Kausalitas (sebab-akibat) dari pelaku.
c. Kausalitas yaitu hubungan antara sesuatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan akibat.
30 Leden Marpaung, Hukum Pidana Bagian Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hlm. 9
Adapun istilah unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno,
terbagi ke dalam beberapa unsur antara lain :
a. Kecaman dan akibat (perbuatan).
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum.yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Adapun menurut J. B. Daliyo dalam bukunya Pengantar Hukum
Indonesia, mengatakan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga
suatu peristiwa pidana ialah:31
a. Harus ada suatu perbuatan, maksudnya bahwa memang
benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang, kegiatan itu terlihat
sebagai suatu perbuatan yang dapat dipahami oleh orang
lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan
dalam ketentuan hukum artinya perbuatannya sebagai
suatu peristiwa hukum yang dapat memenuhi isi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu,
pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti
yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung
jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan
bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela
diri dari ancaman orang lain yang mengganggu
keselamatanya dan dalam keadaan darurat.
c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
disalahkan oleh ketentuan hukum.
d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu
perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan
31
J.B.Daliyo ,Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001, Hlm. 14
kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan
aturan hukum.
Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada
ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu
perbuatan tertentu dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas
maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau
di dalam suatu perbuatan tertentu maka dalam peristiwa pidana terhadap
pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman tertentu.
Dengan mencermati pengertian di atas, maka unsur-unsur tindak
pidana berhubungan dengan unsur-unsur kesalahan yang mencakup
beberapa hal yang penting yaitu, unsur-unsur tindak pidana yang dilihat dari
segi adanya perbuatan melawan hukum, perbuatan tersebut dapat
dipertanggung jawabkan adanya unsur kesalahan, memenuhi rumusan
undang-undang dan tidak adanya alasan pembenaran dan pemaaf.
3. Macam-macam tindak pidana
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
delik itu dapat dibedakan atas pelbagai pembagian tertentu seperti tersebut
dibawah ini :
a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en
oventredingen)
Kejahatan ialah delik-delik yang melanggar kepentingan
hukum dan juga membahayakan secara konkret,
pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.
Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan
delik kejahatan dan pelanggaran itu: Untuk mengetahui
yang mana delik kejahatan dan yang mana pula delik
pelanggaran, dalam KUHP lebih mudah karena jelas
kejahatan pada buku II sedangkan pelanggaran pada
buku III .
b. Delik materiel dan formel ( materiele end formele
delicten)
Pada delik materil disebutkan adanya akibat tertentu,
dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Pada
delik formil, disebut hanya suatu perbuatan tertentu
sebagai dapat dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242,
263, 362 KUHP.
c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten end
omissiedelicten)
Delik komisi (delicta commissionis) ialah delik yang
dilakukan dengan perbuatan. Delik omisi
(ommissiedelicten) dilakukan dengan membiarkan atau
mengabaikan (nalaten).
Delik omisi terbagi menjadi dua bagian:
1) Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang
diperintahkan seperti pasal 164, 224, 522, 511 KUHP.
2) Delik omisi tidak murni (delicto commissionis per
omissionem)
Delik ini terjadi jika oleh Undang-undang tidak
dikehendaki suatu akibat (yang akibat itu dapat
ditimbulkan dengan suatu pengabaian). Seperti Pasal
338 KUHP yang dilakukan dengan jalan tidak
memberi makan.
d. Delik selesai dan delik berlanjut (af lopende en
voordorende delicten)
Delik selesai adalah delik yang terjadi dengan melakukan
suatu atau beberapa perbuatan tertentu. Delik yang
berlangsung terus ialah delik yang terjadi karena
meneruskan keadaan yang dilarang.
e. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en
samengesteede delicten)
Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan
dengan lebih dari satu perbuatan untuk terjadinya delik
itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif.
Contoh yang paling utama ialah delik yang dilakukan
sebagai kebiasaan seperti pasal 296 KUHP.
f. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige
en gequalificeerde delicten)
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai
semua unsur bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan
yang memperberat pidanaatau tidak menjadi soal apakah
itu merupakan unsur atau tidak misalnya pencurian
dengan membongkar, pembunuhan berencana (sebagai
lawan pembunuhan). Sebaliknya ialah delik berprivilege
(geprivilegieer de delict), bentuk khusus yang
mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana
(tidak menjadi soal apakah itu unsur ataukah tidak),
dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya
pembunuhan anak lebih ringan dari pembunuhan biasa.
Perbedaan antara delik bersahaja dan delik berkualifikasi
(termasuk berprivilege) penting dalam mempelajari teori
percobaan objektif dan penyertaan.
g. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse
en culpose dellicten)
Delik yang dilakukan sengaja dan delik kelalaian penting
dalam hal percobaan, penyertaan, pidana kurungan,
pidana perampasan.
h. Delik politik dan delik komun atau umum (politeeke
en commune delicten)
Delik politik dibagi atas:
1) Yang murni, tujuan politik yang hendak dicapai yang
tercantum didalam bab I buku II, pasal 107. Disini
termasuk Landes Verrat dan Hochverrat. Di dalam
komperensi hukum pidana di Kopenhagen 1935
diberikan definisi tentang delik politik sebagai
berikut:
Suatu kejahatan yang menyerang baik
organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga
hak-hak warga negara yang bersumber dari situ.
2) Delik politik campuran, setengah delik politik
setengah delik komun (umum).
i. Delik propria dan delik komun (delicta propria en
commune deliction)
Delik propia diartikan delik yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu,
seperti delik jabatan, delik militer, dsb
B. Tindak Pidana Pembunuhan
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Perkembangan kehidupan dalam suatu masyarakat yang sangat
pesat menimbulkan persaingan yang ketat untuk memperoleh penghidupan
yang layak, sehingga tidak sedikit dari masyarakat untuk menghalalkan
segala cara untuk mendapat apa yang mereka inginkan, keadaan tersebut
tak mudah untuk dihadapi sehingga menyebabkan penyimpangan tingkah
laku dalam masyarakat, apabila dilihat dari keadaan faktor ekonomi
merupakan salah satu penyebab paling sensitif akan perbuatan masyarakat
yang menyimpang, perbuatan masyarakat yang menyimpang itu salah
satunya adalah membunuh, yaitu dengan kata lain merampas/ mengambil
nyawa orang lain dengan melanggar hukum, apabila dilihat dari kamus
besar bahasa Indonesia pengertian pembunuhan adalah:32
“pembunuhan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah proses, perbuatan, atau cara membunuh
(menghilangkan, menghabisi, mencabut nyawa)”
Perbuatan yang dikatakan membunuh adalah perbuatan yang oleh
siapa saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. pembunuhan
(Belanda : Doodslag) itu dincam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun (Pasal 338 KUHP). jika pembunuhan itu telah direncanakan
lebih dahulu maka disebut pembunuhan berencana (Belanda : Moord),
yang diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun atau seumur hidup atau pidana mati (Pasal 340 KUHP).33
Bunyi Pasal 338 KUHP adalah :
“barang siapa dengan sengaja menghilangkan
nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Bunyi Pasal 340 KUHP adalah :
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih
dahulu merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
32
Dekdipbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Balai Pustaka,2005, hlm. 257 33
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung. Alumni 2005, hlm., 129-
130.
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun”.
Perkataan nyawa sering disinonim dengan "jiwa". pembunuhan
adalah suatu perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan hilangnya
seseorang dengan sebab perbuatan menghilangkan nyawa. dalam KUHP
Pasal 338-340 menjelaskan tentang pembunuhan atau kejahatan terhadap
jiwa orang. kejahatan ini dinamakan "makar mati" atau pembunuhan
(Doodslag).34
2. Unsur Tindak Pidana Pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam KUHP BAB XIX Pasal
338-350. Arti nyawa sendiri hampir sama dengan arti jiwa. Kata jiwa
mengandung beberapa arti, antara lain; pemberi hidup, jiwa, roh (yang
membuat manusia hidup). Sementara kata jiwa mengandung arti roh
manusia dan seluruh kehidupan manusia.
Dengan demikian kejahatan terhadap nyawa dapat diartikan
sebagai kejahatan yang menyangkut kehidupan seseorang
(pembunuhan/murder).
Kejahatan terhadap nyawa dapat dibedakan beberapa aspek:
a. Berdasarkan KUHP, yaitu:
1) Kejahatan terhadap jiwa manusia
2) Kejahatan terhadap jiwa anak yang sedang/baru lahir.
3) Kejahatan terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan
34
Lade Marpung. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta. Sinar Grafika,
1999, hlm. 4.
b. Berdasarkan unsur kesengajaan (dolus) Dolus menurut teori kehendak
(wilsiheorie) adalah kehendak kesengajaan pada terwujudnya
perbuatan.35
Sedangkan menurut teori pengetahuan kesengajaan adalah
kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur yang diperlukan.
Kejahatan itu meliputi:
a. Dilakukan secara sengaja
b. Dilakukan secara sengaja dengan unsur pemberat
c. Dilakukan secara terencana
d. Keinginan dari yang dibunuh
e. Membantu atau menganjurkan orang untuk bunuh diri.
Dalam hal menghilangkan atau merampas jiwa orang lain, ada
beberapa teori, yaitu:
a. Teori Aequivalensi yang dianut oleh Von Buri atau dikenal dengan
teori (condition sin quanon) yang menyatakan bahwa semua faktor
yang menyebabkan suatu akibat adalah sama (tidak ada unsur
pemberat)
b. Teori Adaequato yang dipegang oleh Van Kries atau lebih dikenal
dengan teori keseimbangan, yang menyatakan bahwa perbuatan itu
seimbang dengan akibat (ada alasan pemberat).
c. Teori Individualis dan Generalis dari T. Trager yaitu bahwa faktor
dominan yang paling menentukan, suatu akibat itulah yang
35
Adami Chazawi.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. PT RajaGrafindo, Jakarta,
2001, hlm. 50
menyebabkannya, sementara menurut teori nyawa atau generalisasi
faktor yang menyebabkan itu akibatnya harus dipisah satu-persatu.36
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:
a. Atas dasar unsur kesalahannya.
Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada
hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam pasal bab XIX
KUHP
2) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur bab XIX
3) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang
diatur dalam Pasal 170, 351 ayat 3, dan lain-lain.
b. Atas dasar obyeknya (nyawa).
Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam,
yaitu:
1). Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam
Pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP.
2). Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP.
3) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan
ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.
36
Ibid., hlm 63-64
Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil yakni delik
yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul tanpa menyebut cara-
cara yang menimbulkan akibat tersebut. Perbuatan dalam kejahatan
terhadap nyawa dapat berwujud menembak dengan senjata, api, menikam
dengan pisau, memberikan racun dalam makanan, bahkan dapat berupa
diam saja dalam hal seseorang berwajib bertindak seperti tidak
memberikan makan kepada seorang bayi.
Timbulnya tindak pidana materiil sempurna, tidak semata-mata
digantungkan pada selesainya perbuatan, melainkan apakah dari wujud
perbuatan itu telah menimbulkan akibat yang terlarang ataukah belum atau
tidak. Apabila karenanya (misalnya membacok) belum mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini dinilai baru merupakan
percobaan pembunuhan (338 jo 53),dan belum atau bukan pembunuhan
secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33837
Dan apabila dilihat dari sudut cara merumuskannya, maka tindak
pidana materiil ada 2 macam, yakni:
a. Tindak pidana materiil yang tidak secara formil merumuskan tentang
akibat yang dilarang itu, melainkan sudah tersirat (terdapat) dengan
sendirinya dari unsur perbuatan menghilangkan nyawa dalam
pembunuhan (338).
37
Ibid
b. Tindak pidana materiil yang dalam rumusannya mencantumkan unsur
perbuatan atau tingkah laku. Juga disebutkan pula unsur akibat dari
perbuatan (akibat konstitutif) misalnya pada penipuan (378) .
3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan
Berkembangnya kehidupan dalam suatu masyarakat yang
menimbulkan berbagai masalah sosial membuktikan bahwa kehidupan
manusia semakin sulit, keadaan tersebut tidak mudah dihadapi sehingga
akhirnya menyebabkan penyimpangan tingkah laku dalam suatu
masyarakat (deviant), kemudian orang lalu bertingkah laku dengan
melanggar norma-norma yang berlaku dan berbuat sekehendak dirinya
sendiri untuk mencapai kepuasan dan kepentingan sendiri tanpa
memperhatikan hak-hak dan kepentingan yang lainnya.38
Sebagai akibat dari perubahan dalam masyarakat tersebut
kemudian Romli Atmasasmita dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi, mengutip pendapat Durkheim yang mengemukakan
bahwa:39
“Terjadinya penyimpangan tingkah laku yaitu adanya
tradisi yang telah menghilang dan telah terjadi
deregulasi di dalam masyarakat”.
Selanjutnya masih menurut Romli Atmasasmita yang mengutip
pendapat Merton, mengemukakan bahwa:40
38
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung,
1982, Hlm.21-25. 39
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992,
Hlm.23. 40
Ibid.
“Penyimpangan tingkah laku atau deviant merupakan
gejala dari suatu struktur masyarakat di mana aspirasi
budaya yang sudah terbentuk terpisah dari sarana yang
tersedia di masyarakat”.
Dari kedua pendapat yang dikemukakan oleh Durkheim dan
Merton. tersebut, maka lahirlah berbagai wujud penyimpangan tingkah
laku seperti pembunuhan, pemerkosaan, perbuatan cabul dan perbuatan
lainnya yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Keadaan
tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, ekonomi, psikologi
(kejiwaan), keluarga bahkan timbul dari dirinya sendiri, sehingga
perbuatan itu melanggar aturan-aturan hukum.
a. Faktor yang bersumber dari pribadinya
Hal ini biasanya dapat dilihat dari ciri-ciri kepribadian itu sendiri,
misalnya kurang keimanan kepada ALLAH SWT (tidak melakukan
ibadah-ibadah yang diwajibkan maupun yang disunahkan), dan kurangnya
pendidikan dalam keluarga maupun pendidikan formal.
b. Faktor Ekonomi
Berdasarkan pengamatan peneliti, timbulnya pembunuhan itu
sebagian besar disebabkan dari pergaulan dan kondisi ekonomi yang tidak
menentu mengakibatkan emosi sangat cepat meluap.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan tidak kalah dominannya dengan faktor pribadi
dan faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam delik
pembunuhan, di bawah ini beberapa contoh yang mempengaruhi faktor
lingkungan: Lingkungan keluarga atau rumah tangga, Lingkungan keluarga
yang diliputi dengan ajaran yang Islami tentunya berbeda dengan keluarga
yang tidak disertai dengan Islami dalam rumah tangganya, sehingga
keluarga yang tidak Islami tentunya akan mempengaruhi anak
keturunannya dikemudian hari.
Sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono bahwa corak-corak
keluarga yang dapat menghasilkan anak nakal adalah sebagai berikut:41
1) Anggota-anggota lainnya, karena penjudi, pemabuk,
penjahat, dan sebagainya.
2) Tidak ada salah satu dari orangtuanya karena meninggal,
perceraian, atau melarikan diri dari tanggungjawab.
3) Kurang perhatiannya dari orangtuanya, karena masa bodoh,
cacat indera, sakit jiwa dan lain-lain.
4) Tidak mampu menguasai diri sendiri, iri hati, cemburu
pada anggota keluarga dan banyaknya campur tangan
pihak lain.
5) Tekanan ekonomi seperti pengangguran, kurangnya
penghasilan dan karena orangtua sibuk bekerja diluar
rumah.
Lingkungan pergaulan, sudah kodratnya manusia lahir di dunia
mempunyai naluri dan harus hidup berkelompok serta bergaul dengan
orang lain, bahkan apabila suatu saat seseorang dipisahkan dari kelompok
orang dan hidup sendirian, maka kemungkinan besar orang tersebut akan
terganggu keseimbangan jiwanya.
Oleh karena itu sudah merupakan gejala yang wajar apabila
manusia mencari teman dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sedangkan dalam pergaulan dengan kawan-kawan yang kurang baik dan
41
ibid,
terlalu bebas tanpa adanya pengawasan dari orang tua, maka akan
membentuk suatu watak kepribadian yang kurang baik.
4. Kualifikasi Tindak Pidana Pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut
atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri dari :
a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP)
b. Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan tindak
pidana lain (339 KUHP)
c. Pembunuhan berencana (moord, 340)
d. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama
setelah dilahirkan (341, 342, dan 343)
e. Pembunuhan atas permintaan korban (344)
f. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (345)
g. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349)42
1) Pembunuhan Biasa Dalam bentuk Pokok
Kejahatan nyawa yang dilakukan dengan sengaja
(pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 KUHP
yang rumusannya adalah :
“barang siapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain dipidana
karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun”.
42
Adami Chazawi.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT RajaGrafindo, Jakarta,
2001, hlm. 55.
Rumusan Pasal 338 KUHP dengan menyebutkan unsur tingkah
laku sebagai “menghilangkan nyawa” orang lain, menunjukan bahwa
kejahatan pembunuhan adalah suatu tindak pidana materil. Tindak pidana
materil adalah suatu tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat
tertentu (akibat yang dilarang atau akibat konsitutif/constitutief gevolg).
Untuk dapat terjadi atau timbulnya tindak pidana materil secara sempurna,
tidak semata-mata digantungkan pada selesainya perbuatan, apabila
perbuatan itu tidak mengakibatkan hilangnya nyawa orang maka perbuatan
itu merupakan percobaan pembunuhan (338 jo 53), dan belum atau bukan
pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 338
KUHP.43
Ajaran Von Buri yang dikenal dengan teori conditio sine qua non,
yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua faktor yang ada dianggap
sama pentingnya dan karnanya dinilai sebagai penyebab dari timbulnya
akibat. Oleh karna itu setiap faktor sama pentingnya, maka satu faktor
tidak boleh dihilangkan dari rangkaian faktor penyebab, sebab apabila
dihilangkan akibat itu tidak akan terjadi44
Dalam perkembangan selanjutnya timbul banyak teori yang
berusaha memperbaiki dan menyempurnakan teori Von Buri, yang pada
dasarnya teori-teori tersebut mencari batasan antara mana faktor syarat dan
mana faktor penyebab atas suatu akibat, teori-teori ini dapat dikelompokan
kedalam dua teori besar , yakni
43
Ibid., hlm. 57-58. 44
Ibid., hlm. 60
a. Teori yang mengidividualisir (individualiserede theorien), atau
teori yang membedakan.
b. Teori yang menggeneralisir (generaliserende theorien), atau teori
yang menyamakan.
Teori yang mengidividualisir maksudnya ialah bahwa dalam
menentukan faktor sebab, hanyalah melihat pada faktor mana yang paling
berperan atau paling dominan (mempunyai andil paling besar) terhadap
timbulnya akibat, sedangkan faktor lain adalah faktor syarat.
Sedangkan teori yang menggenralisir, maksudnya ialah dalam
mencari untuk menentukan faktor sebab hanya melihat pada faktor mana
yang pada umumnya menurut kewajaran dapat menimbulkan akibat.45
Karena terdapat kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan
ketidakpuasan bagi banyak ahli hukum terhadap teori yang
mengidividualisir, maka timbulah teori yang menggenralisir, teori ini pada
garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Teori Adequat Subyektif
Teori adequat sebyektif yang dipelopori oleh J Von Kries, yang
menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian
yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang
timbul, yang faktor ini diketahui atatu didasari oleh yang bersangkutan
sebagai adequat untuk menimbulkan akibat itu.
b) Teori Adequat Obyektif
45
Ibid.,hlm. 62
Apabila teori adequat sebyektif dari J Von Kries dalam hal
mencari faktor yang menurut kejadian yang normal yang didasari
sebanding atau layak untuk menimbulkan akibat, yang artinya dengan
melihat dari sudut subyektif, dan oleh karna itu pandangan Von kries ini
dinamakan subjective prognose (peramalan yang subjektif)46
Lain halnya dengan teori adequat objektif yang dipelopori oleh
Rumelin yang disebut dengan teori Obyektif nacbtraglicbe prognose
(peramalan yang obyektif). Menurut teori ini, dalam hal mencari faktor
penyebab dari timbulnya suatu akibat pada faktor-faktor obyektif yang
ada setelah (post factum) timbulnya akibat yang dapat dipikirkan secara
obyektif dapat minimbulkan akibat. Bagaimana alam pikiran/sikap batin
yang bersangkutan sebelum berbuat tidaklah penting, melainkan
bagaimana kenyataan obyektif setelah timbulnya akibat, apakah faktor
atau perbuatan tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk
menimbulkan akibat itu.47
b. Pembunuhan Yang Diikuti, Disertai Atau Didahului Oleh Tindak
Pidana Lain .
Pembunuhan yang dimaksudkan ini adalah sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, yang berbunyi:
“Pembunuhan yang diikuti. Disertai atau didahului
oleh suatu tindak pidana lain. Yang dilaksanakan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya
46
Ibid. 47
Ibid., hlm. 63-64
dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan benda yang
diperolehnya secara melawan hukum, pidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau
sementara waktu, paling lama 20 tahun.”
c. Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T.
pembentukan Pasal 340 KUHP diutarakan, antara lain :
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran
dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu
sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum
atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga
ia menyadari apa yang dilakukannya.48
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu”
antara lain :
“bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”49
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar
dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan
niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya
48
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31 49
Tirtaamidjaja. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Fasco. 1995.
1) Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa
anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama
sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia
sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan
anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun”.
Unsur pokok dalam Pasal 341 KUHP tersebut adalah bahwa
seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia
melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan.
Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa
perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu
didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.50
2) Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan
keputusan yang diambil sebab takut ketahuan
bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat
dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu
dihukum karena membunuh bayi secara
berencana dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun”.
Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa
Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum
melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
50
Chidir Ali, Respons., hlm. 76
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi
pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan
khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341
KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan
hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika
si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.51
e. Pembunuhan Atas Permintaan Korban
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Pasal 344 KUHP ini membicarakan mengenai pembunuhan atas
permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan
yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu
permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan
saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena
belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi
perumusan Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam
sebuah perang, dimana kalau salah seorang prajurit menderita sakit parah
sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan perang, sedangkan ia
51
Ibid.
tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai tujuan; di dalam
hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.52
f. Penganjuran dan Pertolongan Pada Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
“Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang
supaya membunuh diri, atau menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar
kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi
orangnya bunuh diri”.
Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja
menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh
diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi seseorang dapat terlibat
dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya,
apabila orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya
upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang
yang digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati
karenanya.53
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende
voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus
dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.54
g. Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
52
Ibid,.hlm.77 53
Ibid. 54
Ibid.
“Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau
mati kandungannya atau menyuruh orang lain
menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun”.
1) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin
Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai
berikut :
“(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan
gugur atau mati kandungan seseorang perempuan
tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu
mati, ia dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima belas tahun”.
2) Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang
Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan
gugur atau mati kandungan seorang perempuan
dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam
bulan
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati,
ia dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya tujuh tahun”.
C. Pemidanaan
1. Teori Pemidanaan
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa
dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa
dilukiskan sebagai berikut :
“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu,
menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap
dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara
menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu,
maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang
misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu,
pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia
terhadap serangan siapa pun juga, sedangkan pada pihak lain
pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak
dilindungi dan dibela itu”.55
Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar
pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada
umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini
mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang
menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan
bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap
kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu
pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio
praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu
55
Utrecht,Hukum Pidana I,Peenerbit Universitas,Bandung,1967,hlm.158-159.
dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh
keadilan etis.56
Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant
menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.
Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant, karena teori itu
menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan (dwang) belaka. Bukankah bagi
siapa yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah sukup melakukan
paksaan saja. Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikannya. Akan tetapi
pidana itu harus bersifat suatu penderitaan yang dapat dieprtanggungjawabkan
kepada etika. Pidana itu bukan penderitaan, karena pidana hendak memaksa.
Sebaliknya, pidana itu bersifat memaksa supaya pidana itu dapat dirasakan
sebagai suatu penderitaan.
Menurut Leo Polak, maka pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah :
a) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum objektif;
b) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak
boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi,
pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpanya
pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar
penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum
yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
56
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati Di Indonesia Dewasa Ini,Ghalia Indonesia,Jakarta,1984,hlm.19.
Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang
dilakukan penjahat;
c) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.
Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dipidana secara tidak adil.57
Wirjono Prodjodikoro didalam bukunya yang berjudul Azas-azas
Hukum Pidana Di Indonesia mengatakan :
“Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang
maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh.
Dalam Kitab Suci Al-Qur‟an Surat An Nisaa ayat 93, menyatakan :
ا يقتل ومن ا مؤمن د تعم ا جهنم فجزاؤهۥ م لد وغضب فيها خ عذاب ا لوۥ وأعد ولعنوۥ عليو ٱلل
ا عظيم
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya”58
Berdasarkan kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya
terkandung makna pembalasan yang setimpal di dalam suatu pidana. Tindakan
pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a) Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);
b) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
57
Ibid,hlm.20. 58
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1981, hlm.20
b. Teori Relatif atau Teori tujuan
Menurut teori relative, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata
tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan
(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari
pemidanaan ialah prevensi umum dan pevensi khusus.
Dalam teori prevensi umum seperti dikemukakan oleh Von Feurbach,
ialah jika seseorang terlebih dahulu mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu
pidana apabila ia melakukan suatu kejahatan, maka sudah tentu ia akan lebih
berhati-hati akan tetapi, penakutan tersebut bukan suatu jalan mutlak (absolut)
untuk menahan orang melakukan suatu kejahatan. Sering suatu ancaman pidana
belum cukup kuat untuk menahan mereka yang sudah merencanakan melakukan
suatu kejahatan, yaitu khususnya mereka yang sudah biasa tinggal dalam penjara,
meraka yang belum dewasa pikirannya, para psikopat dan lain-lainnya.59
Selanjutnya menurut teori prevensi khusus , maka tujuan pemidanaan ialah
menahan niat buruk pembuat, pemidanaan bertujuan menahan pelanggar
mengulangi perbuatannya atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan
jahat yang telah direncanakannya.
Pembela teori prevensi khusus adalah Van Hamel. Van Hamel membuat
suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus itu sebagai
berikut :
a) Pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku tidak
melakukan niat yang buruk;
59
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Loc Cit.
b) Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana,
yang nanti memerlukan suatu reclassering;
c) Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang
sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi;
d) Tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib
hukum.60
Menurut pandangan modern, prevensi khusus sebagai tujuan dari hukum
pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai.61
Sebab tujuan
pemidanaan disini diarahkan ke pembinaan atau perawatan bagi si terpidana, yang
berarti dengan pidana itu ia harus dibina sedemikian rupa sehingga setelah selesai
menjalani pidananya ia menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia
mendapat pidana.
c. Teori Gabungan
Dengan adanya keberatan-keberatan terhadap teori-teori pembalasan dan
teori tujuan, maka timbullah golongan ketiga yang mendasarkan pada jalan
pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterangkan secara kombinasi
dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur
yang ada.
Teori gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
60
Ibid,hlm.23. 61
Sudarto,Op Cit,hlm.89.
1) Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu
tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat.
Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana
adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib
hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari
kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila
bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Sedangkan Zevenbergen, berpandangan bahwa makna setiap pidana
adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib
hukum. Sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan
ketaatan pada hukum. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang
tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum;
2) Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar
pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus
ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari
pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana,
sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib
masyarakat;
3) Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus
dititikberatkan sama.
Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena
pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum
pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang
adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara
negatif maupun secara positif.62
2. Tujuan Pemidanaan
Tujuan dari pada pemidanaan adalah :
a. Restorasi, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai
b. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
c. Pemidanaan tidak dimaksudkan utk menderitakan dan
merendahkanmartabat manusia.
d. Sampai saat ini Hukum Pidana Indonesia belum memiliki
Sentencing Guidelines (pedoman yang memuat tentang
pemidanaan), tapi sudah dirumuskan dalam Pasal 55 R-KUHP
2008.
Dalam pemidanaan anak tidak akan menemukan perbedaan
kecuali yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
Tentang perlindungan Anak.
62
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Op Cit,hlm.24.
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan
informasi yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi
masalah, untuk itu agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
A. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa dan
mengembangkan permasalahan dalam skripsi adalah metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam suatu
penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga
berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
masyarakat,63
dengan cara menguji dan mengkaji secara yuridis mengenai
permasalahan yang diteliti dengan peraturan atau ketentuan-ketentuan
yang lalu dan saat ini diberlakukan, agar mendapatkan gambaran yang
jelas tentang masalah yang diteliti dalam skripsi ini.
B. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis, menurut pendapat komarudin ; “Deskriptif Analitis ialah
menggambarkan masalah yang kemudian menganalisa permasalahan yang
ada melalui data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah serta
63
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghlm.ia
Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 160,
disusun dengan berlandaskan kepada teori-teori dan konsep-konsep yang
digunakan”.64
C. Tahapan Penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian, terlebih dahulu penetapan
tujuan penelitian harus jelas, kemudian mencari perumusan masalah yang
akan dibahas, kemudian mencari teori dan konsep, kemudian mencari dan
menelusuri dan mengumpulkan data primer dan data skunder yang relevan
setelah itu diolah dan dituangkan dalam skripsi ini, untuk mendapatkan
data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu :
1. Penelitian kepustakaan ( Library Research ) .
Menurut Ronny Hanitijo Soemintro, yang dimaksud dengan
penelitian kepustakaan yaitu :65
“Penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dalam bidang
hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder,
yaitu :
1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat,66
terdiri dari beberapa peraturan perundang-
undanagn sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Hukum
64
Martin Steinman dan Gerald Willen, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Angkasa,
Bandung. 1974, hlm. 97. 65
Ibid, Hlm. 11. 66
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Rajawali
Pers, Jakarta, 1985, hlm. 11.
Pidana67
, UU No. 4 Tahun 1979,UU No 3 Tahun 1997, UU No
23 Tahun 2002
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan skunder,68
seperti kamus hukum.
2 . Penelitian Lapangan ( Field Research ).
Untuk menunjang data sekunder yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan, maka dilakukan penelitian lapangan yaitu guna
mengambil data lapangan yang berada di instansi-instansi yang terkait
dengan punulisan skripsi ini, sebagai penunjang data sekunder.
Sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu
mempersiapkan surat izin untuk memperoleh data terkait instansi yang
relevan dengan penulisan skrpsi ini. Dapat berupa dokumen, kemudian
dikumpulkan lalu dianalisa dan diolah secara sistematis dan terarah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder
yang diperoleh dari kepustakaan dan data primer dari lapangan yang
berada di instansi-instansi yang bersangkutan, adapun data-data tersebut
adalah sebagai berikut :
67
Ibid, hlm. 14. 68
Ronny Hanitijo Soemantiro, Op.Cit, hlm. 116.
1. Studi kepustakaan ( library Research ), yaitu melalui penelaahan
data yang diperoleh dalam peraturan perundang-undangan, buku,
teks, jurnal, hasil penelitian, dan lain-lain melalui inventarisasi data
secara sistematis dan terarah, apakah satu aturan bertentangan
dengan aturan lain atau tidak, sehingga data yang diperoleh lebih
akurat. Dengan menggunakan metode pendekatan Yuridis-
Normatif, yaitu dititk beratkan pada pengunaan dan kepustakaan
atau data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tersier yang ditunjang oleh data primer, metode pendekatan ini
digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti
berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan
satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapan
dalam praktek.
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer ini mencakup peraturan
perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan pustaka yang berisikan informasi tentang
bahan primer mengacu pada buku-buku, karya ilmiah dan
lain-lain. Sehingga dapat membantu untuk menganalisa dan
memahami bahan hukum dan objek penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan lain yang ada relevansinya dengan
pokok permasalahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan skunder antara lain artikel, berita
dari internet, majalah, Koran, kamus hukum dan bahan
diluar bidang hukum yang dapat menunjang dan
melengkapi data penelitian sehingga masalah tersebut
dapat dipahami secara komprehensip.
2. Untuk mendukung data sekunder yang diperlukan, maka penulis
akan mengumpulkan data lapangan yang tersedia di berbagai
lingkungan instansi terkait, dengan wawancara dengan para pejabat
dalam instansi yang terkait, demi kelengkapan data sekunder dalam
skripsi ini. Kemudian hasilnya akan dianalisis bersama-sama
dengan data sekunder, sehingga penulis akan mendapatkan
gambaran secara jelas, guna membahas permasalahan dalam
penelitian skripsi ini.
E. Lokasi Penelitian
Dalam hal penelitian pustaka peneliti melakukan di berbagai lokasi antara
lain:
1. Perpustakaan
1).Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Jl. Prof.
HR Boenyamin No. 708 Purwokerto
2).Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas Jl. Jend. Gatot
Soebroto No. 85 Purwokerto
2. Penelitian Lapangan
1). Pengadilan Negeri Purwokerto Jl. Gerilya Purwokerto
F. Analisis Data
Sebagai cara Untuk menarik kesimpulan dari penelitian yang sudah
terkumpul, disini penulis sebagai instrumen analisis, akan menggunakan
metode analisis yuridis-kualitatif. Dalam arti bahwa melakukan analisis
terhadap data yang diperoleh dengan menekankan pada tinjauan normatif
terhadap objek penelitian dan peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum
positif:
1. Mengkaji peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain tidak boleh saling bertentangan.
2. Memperhatikan hirakis peraturan perundang-undangan, artinya
peraturan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih
tinggi kedudukannya.
3. Kepastian hukum, artinya apakah undang-undang sudah benar-
benar dilaksanakan oleh penegak hukum.
Setelah dianalisis baru kemudian pada akhirnya diambil
kesimpulan dengan memberikan rekomendasi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
Terdakwa bernama Agus Panca Rotama pada hari Rabu tanggal 10
Agustus 2011 sekira jam 00.30 WIB atau setidaknya pada waktu lain dalam
Bulan Agustus 2011 atau setidaknya masih dalam tahun 2011 bertempat di
Jatisaba Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas masih dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, telah melakukan tindak pidana
terhadap nyawa manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Pada awalnya bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang sering kali
ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata “BANGSAT,
BAJINGAN” kemudian Agus berkata kepada Yoga sambil mengajak“
KALAU MEMANG BERANI KITA KEATAS, atas ajakan tersebut Yoga
menyanggupi dan mau pergi ke bukit hutan Jatisaba.
Sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas Plasa Desa Jatisaba
Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul 24.00 Wib Agus turun dari
motor sedangkan Yoga langsung melepas helm yang dipakainya, selanjutnya
Yoga turun dari kendaraan dan langsung menyerang Agus dengan memukul
dengan tangan kosong ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan
memukul ke arah pipi kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu
sepanjang setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga
sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah kiri keluar
darah dan langsung sempoyongan, pada saat sempoyongan Yoga masih
sempat menarik kepala Agus dengan memegang rambut Agus ditekankan ke
bawah sampai tertunduk, pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh
Yoga, Agus langsung mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan
disimpan di balik baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan
mengayunkan parang / bendo kerah leher sebelah kiri, akan tetapi di tangkis
oleh Yoga dengan menggunakan tangan kanan, sehingga melukai tangan
kanan Yoga hingga tiga jari putus, kemudian Agus menyerang lagi dengan
mengayunkan parang/bendo itu ke arah ke leher sebelah kiri dan melukai
leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya Agus menyerang lagi dengan
mengayunkan parang/bendo mengenai leher sebelah kanan dan juga melukai
leher sebelah kanan, kemudian Yoga jatuh tersungkur ketanah, mengetahui
Yoga sudah jatuh tersungkur kemudian Agus menyerang lagi dengan
mengayunkan parang/bendo kearah telinga sebelah kiri, kemudian Yoga di
bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di senderkan di PAL/PATOK,
pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup, kemudian Agus mengambil
tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas PAL kemudian menebas tangan kiri
dengan parang/bendo sebanyak dua kali, sehingga dia tidak bergerak lagi dan
mengakibatkan meninggal.
Akibat perbuatan Terdakwa korban Yoga Afriaji meninggal dunia
dengan luka sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum nomor
474.3/21943/IPG/18-08-2011 tertanggal 18-08-2011 yang dibuat dan
ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpKF, MSiMed dokter
pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto yang pada kesimpulannya antara lain disebutkan :
Luka memar di dahi akibat trauma tumpul;
Luka bacok di kepala dan telinga kiri dan kanan akibat trauma tajam;
Luka lecet di kaki akibat trauma tumpul;
Luka amputasi di pergelangan tangan kiri akibat trauma tajam;
Luka bacok pada tangan kanan akibat trauma tajam;
Perdarahan di bawah selaput laba-laba akibat trauma tumpul;
Tanda-tanda perdarahan hebat.
Kematian akibat perdarahan hebat yang disebabkan oleh terputusnya
pergelangan tangan kiri.
2. Dakwaan Jaksa
Oleh Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa dengan dakwaan
Alternatif Subsideritas, yaitu :
KESATU :
PRIMAIR :
Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3
Tahun 1997.
SUBSIDIAIR :
Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3
Tahun 1997.
LEBIH SUBSIDIAIR :
Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI
No 3 Tahun 1997.
A T A U :
KEDUA :
Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3
Tahun 1997.
3. Barang Bukti
Di persidangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan barang bukti
berupa :
- 1 (satu) buah HP warna biru abu-abu merk NOKIA Type 1200.
- 1 (satu) buah Dompet warna merah bertuliskan “Rolling stones”.
- 1 (satu) unit SPM Yamaha Mio warna hijau, thn 2011 No.Pol.R.5636.WE,
Nosin.28D2497928, Noka.MH328D305BK503945.
- 1 (satu) buah STNK An. NUR HARTATI Alamat Ds, Kasegeran
RT.10/RW.01 Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas beserta kunci
dan
- Helm warna hitam bertuliskan YAMAHA, barang bukti tersebut adalah
milik dari Yoga Afriaji dan Nurhartati, maka dikembalikan kepada ahli
waris korban Yoga Afriaji yaitu saksi Nurhartati ;
- 1 (satu) buah HP warna biru putih merk NOKIA Type N.6300.
- 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam bertuliskan “BIERO”.
- 1 (satu) buah jaket jeans warna abu-abu merk “lesfgreen”.
- 1 (satu) buah celana pendek boxer warna hitam motif tulisan.
- 1 (satu) buah kaos singlet warna hitam motif tulisan.
- 1 (satu) buah celana jeans warna abu-abu merk “ Nevada” kondisi bekas
dibakar.
- 1 (satu) buah kaos kerah warna putih kondisi bekas dibakar.
- 1 (satu) buah celana panjang kain warna cokelat.
- 1 (satu) buah parang /golok /bendo betangkai kayu.
- 1 (satu) buah jemper lengan panjang warna cokelat bertuliskan “BECHEK
KNOWLEDGE SPOWER”dan ada noda darah.
- 1 (satu) buah kaos lengan pendek warna cokelat bertuliskan “arrange” dan
ada noda darah.
- 1 (satu) buah celana jeans ukuran ¾ warna abu-abu merk LEAD jeans dan
ada noda darah.
- 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam dengan timang gambar garuda.
- 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam bertuliskan “Rotex”. Oleh karena
barang bukti tersebut dipergunakan dalam pembunuhan, maka dirampas
untuk dimusnahkan.
4. Alat Bukti
a. Keterangan Saksi
Para saksi yang keterangannya didengarkan di persidangan atas
persetujuan Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa yang sebelumnya diambil
sumpahnya oleh penyidik yaitu:
1. Saksi. NUR HARTATI.
- Bahwa saksi mengetahui adik saksi meninggal dunia pada hari Rabu
tanggal 10 Agustus 2011sekitar jam 11.00 wib.
- Bahwa yang memberitahu saksi bahwa adik saksi meninggal dunia
adalah warga.
- Bahwa adik saksi meninggal dunia di hutan jati ikut Grumbul Wadas
Mlasa, Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
- Bahwa nama adik saksi yang meninggal dunia namanya Yoga Afriaji
umur 13,5 tahun pelajar Kelas 2 SMP PGRI Cilongok .
- Bahwa saksi hafal, ciri-ciri adik saksi adalah muka oval, tinggi sekitar
165 cm, badan sedang, kulit sawo matang, rambut pendek hitam lurus.
- Bahwa adik saksi tinggal satu rumah dengan saksi dan dengan kedua
orang tua saksi.
- Bahwa saksi tidak pernah melihat adik saksi bertemu dengan terdakwa.
- Bahwa adik saksi pergi terakhir dan tidak kembali lagi pada hari Selasa
tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 18.15 wib.
- Bahwa saksi masih ingat pakaian yang dipakai adik pada saat adik pergi,
adik saksi memakai jemper warna coklat, celana jeans panjang ¾ warna
biru, dan sandal jepit warna hitam.
- Bahwa pada waktu adik saksi mau pergi adik saksi Yoga Afriaji pamit
dengan saksi.
- Bahwa setahu saksi adik saksi Yoga Afriaji meninggal dunia karena
dibunuh oleh terdakwa .
- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut awalnya pada hari Selasa tanggal 9
Agustus 2011 sekitar pukul 18.15 wib sehabis Yoga Afriaji buka puasa
dengan saksi dan ibu saksi, adik saksi Yoga Afriaji berpamitan hendak
pergi ke Tanjung Purwokerto, waktu itu ibu saksi melarang karena sudah
waktunya sholat tarawih, akan tetapi adik saksi Yoga Afriaji tetap
memaksa pergi dan meminta uang kepada ibu saksi sebesar Rp.15.000,-.
- Bahwa pada waktu itu adik saksi Yoga Afriaji berpamitan hendak pergi
ke Tanjung Purwokerto dengan temannya anak Panusupan, Kecamatan
Cilongok, Kabupaten Banyumas, tetapi ditanya siapa temannya tersebut,
tidak dijawab oleh adik saksi Yoga Afriaji melainkan langsung pergi,
dengan mengendarai sepeda motor Mio warna hijau No.pol.R.5636.WE.
- Bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 23.00 wib
karena sudah malam dan adik saksi Yoga Afriaji belum pulang saksi
kawatir, maka saksi SMS adik saksi Yoga Afriaji dengan maksud untuk
menyuruh pulang, karena janjinya sebelum berangkat adik saksi Yoga
Afriaji akan pulang jam 22.00 wib dan oleh adik saksi Yoga Afriaji
dijawab “ Ya nanti aku di Tanjung “.
- Bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 24.00 wib
saksi SMS lagi ke adik saksi lagi Yoga Afriaji “ Yoga jam segini kok
kamu belum pulang ini kan sudah malam, besok mau sekolah,” dan
oleh saudara Yoga dijawab “ nanti Mba, aku pulang, jangan
dipikirkan terus “.
- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 01.07 wib
ada SMS ke HP saya darti HP milik adik saksi Yoga Afriaji yang isinya “
Mba Yoga kabur ke Jawa Timur, Yoga ada masalah menghamili
anak orang, Yoga kabur bersama anak GOR”.
- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 03.00 wib
saksi coba telepon adik saksi Yoga Afriaji tetapi HP milik adik saksi
Yoga Afriaji sudah tidak aktif.
- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 06.47 wib
ada SMS lagi ke HP saksi dari HP milik adik saksi Yoga Afriaji yang
isinya sama seperti SMS pada pukul 01.07 wib yaitu Mba Yoga kabur
ke Jawa Timur, Yoga ada masalah menghamili anak orang, Yoga
kabur bersama anak GOR”.
- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 07.01 wib
saksi mendapatkan telepon dari seorang laki-laki dengan menggunakan
nomor HP milik adik saksi Yoga Afriaji.
- Saya : “ Ini Yoga apa bukan ?” dijawab “ ini temannya “.
- Saya : “ Yoganya dimana ? “ dijawab “ lagi tidur “.
- Saya : “ coba tolong bangunkan. “ dijawab “ Dia tidak mau bangun,
katanya dia takut karena ada masalah, dia takut kalau dimarahi
sama mbak dan keluarga“.
- Saya : “ Lho kamu kok bisa pegang HP Yoga ? tidak dijawab
melainkan telepon dimatikan dan saya telepon balik HP sudah tidak
aktif.
- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 07.10 wib
setelah saksi menerima telepon dari HP adik saksi Yoga Afriaji, ibu dan
bapak saksi melakukan pencarian kerumah teman-temannya adik saksi
Yoga Afriaji, yang bernama Jemi di Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok,
akan tetapi adik saksi tidak ditemukan.
- Bahwa pada hari rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 11.00 wib
saksi dan keluarga mendapatkan kabar bahwa ada anak laki-laki
ditemukan meninggal dunia di Grumbul Wadas Mlasa Desa Jatisaba,
Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dan setelah ditengok oleh
paman saksi ternyata anak yang ditemukan meninggal dunia tersebut
adalah adik kandung saksi Yoga Afriaji.
- Bahwa saksi tidak tahu kenapa adik saksi dibunuh oleh terdakwa.
- Bahwa setahu saksi adik saksi tidak mempunyai masalah dengan
keluarga dan dengan orang lain.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diajukan dipersidangan
berupa, 1 (satu) buah jemper lengan panjang warna cokelat bertuliskan
“BECHEK KNOWLEDGE SPOWER”dan ada noda darah, 1 (satu) buah
kaos lengan pendek warna cokelat bertuliskan “arrange” dan ada noda
darah, 1 (satu) buah celana jeans ukuran ¾ warna abu-abu merk LEAD
jeans dan ada noda darah, 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam
dengan timang gambar garuda, 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam
bertuliskan “Rotex”.) adalah milikadik saksi.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti sepeda motor Mio yang
diajukan dipersidangan yang waktu itu dipakai oleh adik saya.
- Bahwa adik saksi kalau pergi main selalu pamit sama saksi dan kalau
saksi tidak ada ya dengan orang tua saksi.
- Bahwa kalau adik saksi sedang berkumpul dengan teman-temannya
seringnya berkumpul didepan rumah.
- Bahwa saksi tidak pernah melihat adik saksi membawa dan minum-
minuman keras.
2. Saksi. WARYANTO.
- Bahwa awal mula saksi melihat mayat adalah pada hari Rabu 10 Agustus
2011 sekitar pukul 05.30 wib, pada saat saksi jalan kaki melintasi jalan
tersebut, melihat darah segar berceceran dipinggir jalan dan saat itu
saksi merasa curiga, berhubung saat itu sedang mengantar anak saksi ke
sekolah jadi saksi tidak berhenti dan saksi langsung berjalan kearah
utara, dan saksi pulang juga melewati jalan terebut dan sekaligus mampir
dirumah Pak. RT.namanya Rasmuji dan memberitahu bahwa dijalan
hutan jati banyak berceceran darah , dan saksi langsung nderes kelapa,
sekitar pukul 10.00 wib saksi bertujuan mencari rumput dan saksi
merasa penasaran adanya darah tersebut dan saksi cek dan saksi telusuri
didalam hutan tersebut ternyata ada sesosok mayat laki-laki yang tidak
saksi kenal dan saksi merasa takut dan saksi pulang menghubungi Pak
RT. Lagi memberitahu bahwa benar-benar ada mayat yang
dimungkinkan dibunuh, dan saat itu pula saksi bersama pak RT dan
warga lainnya mengecek lagi adanya mayat tersebut namun saksi tidak
mendekat mayat tersebut karena takut. Dan setelah banyak yang
berdatangan melihat,ada orang yang paham dengan mayat tersebut
katanya bernama Yoga Afriaji alamat Desa Kasegeran, Kecamatan
Cilongok, Kabupaten Banyumas.
- Bahwa yang pertama kali melihat mayat yang diketahui bernama Yoga
Afriaji adalah saksi.
- Bahwa jarak pertama kali saksi melihat darah dengan ditemukannya
mayat kurang lebih 30 meter.
- Bahwa setelah saksi mengetahui bahwa darah yang dilihat tersebut
adalah darah orang yang habis dibunuh, saksi langsung lapor pak RT.
- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut pada hari Rabu tanggal 10
Agustus 2011 sekitar pukl 10.00 wib di jurang hutan kayu jati Wadas
Mlasa ikut Desa Jatisaba RT.05/03, Kecamatan Cilongok, Kabupaten
Banyumas.
- Bahwa yang pertama kali melihat mayat adalah saksi sendiri, saat itu
saksi langsung lapor kerumah pak Ketua RT.08/04 Desa Jatisaba,
kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dan selanjutnya saya
bersama pak RT dan warga lainnya kembali ke lokasi mayat tersebut.
- Bahwa saksi awalnya tidak mengenali sosok mayat tersebut, namun
setelah beberapa saat kemudian ada beberapa orang yang paham yang
katanya bernama Yoga Afriajialamat Desa Kasegeran Cilongok.
- Bahwa sepengetahuan saksi mayat bisa masuk kejurang kemungkinan
diseret
- Bahwa saksi tidak tahu pada malam kejadian pembunuhan tersebut
suasana terang atau gelap.
- Bahwa disekitar pal tempat terjadinya pembunuhan tersebut tidak ada
lampu penerangan.
- Bahwa didekat pal ditemukan juga potongan tangan dan potongan jari.
- Bahwa setahu saksi rumput yang rusak adalah dari pal sampai ke tempat
ditemukannya mayat.
3. Saksi ahli , dr. HM. ZAENURI SYAMSU H, Sp.KF.Msi Med
- Bahwa saksi sebagai saksi ahli bidang outopsi dalam perkara
pembunuhan.
- Bahwa saksi menerima surat dari Kepolisian Resort Cilongok tanggal 10
Agustus 2011 No. R/05/VII/2011/Sek Clk tentang permintaan Visum
et repertum.
- Bahwa saksi membuat visum et repertum dengan cara melakukan outopsi
/bedah mayat .
- Bahwa nama mayat yang di outopsi bernama YOGA AFRIAJI bin
SUKARDI, umur 14 tahun, jenis kelamin laki-laki.
- Bahwa saksi melakukan autopsi pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011
jam 20.00 WIB di RS. Margono Sukarjo.
- Bahwa saksi membenarkan Visum Et Repertum No.474.3/21943/IP9/18-
8-2011 tertanggal 18 Agustus 201yang ditunjukan oleh Hakim.
- Bahwa saksi melihat, luka memar di dahi, luka bacok di kepala dan
telinga kiri dan kanan, luka lecet di kaki, luka amputasi di pergelangan
tangan kiri, luka bacok pada tangan kanan dan pendarahan di bawah
selaput laba-laba.
- Bahwa Luka memar di dahi dan perdarahan di bawah selaput laba-laba
karena trauma tumpul, sedangkan luka bacok di kepala, telinga kiri dan
kanan serta luka amputasi di pergelangan tangan kiri akibat trauma tajam.
- Bahwa kalau hanya luka memar di dahi, perdarahan dibawah selaput
laba-laba dan luka bacok di bagian kepala, telinga kiri dan telinga kanan
tidak menyebabkan kematian secara langsung pada korban, namun luka
amputasi di pergelangan tangan bisa menyebabkan kematian yang sangat
cepat atau dalam hitungan menit .
- Bahwa amputasi di pergelangan tangan cepat sekali menyebabkan
kematian, karena pada pergelangan tangan banyak sekali pembuluh darah
besar yang apabila terputus akan menyebabkan perdarahan hebat.
- Bahwa menurut keterangan saksi, kematian diperkirakan kurang dari 5
jam setelah makan terakhir.
- Bahwa yang ditemukan dimayat makanan yang terakhir masuk adalah
makanan besar dan pada saat di autopsi tidak ditemukan adanya tanda-
tanda pembusukan.
- Bahwa saksi membenarkan foto mayat yang waktu itu diotopsi oleh
saksi.
- Bahwa mayat bisa diketahui kapan matinya setelah dilihat dari makanan
terakhir yang masuk sudah sampai dimana baik makanan besar maupun
makanan kecil/ringan.
- Bahwa saksi tidak bisa membedakan makanan besar atau makanan kecil
karena sudah bercampur.
b. Keterangan Terdakwa
Dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut :
- Bahwa terdakwa masih ingat kejadian pembunuhan tersebut terjadi pada
hari Rabu tanggal 10 Agustus 2001 sekitar jam 00.30. wib.
- Bahwa terdakwa mempunyai niat ingin membunuh korban awalnya
terdakwa mempunyai rasa sakit hati karena sering dibilangi dengan kata-
kata kotor “bangsat, Bajingan “ timbul emosi dan mempunyai niat untuk
membunuh.
- Bahwa waktu terdakwa berada dijembatan dengan korban, waktu itu
terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya ngomong “
Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang kenapa kamu
emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap ketemu saya
kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “ kalau
memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jati saba ikut
grumbul Wadas Plasa) dan korban menyetujuinya.
- Bahwa setelah sampai di bukit wadas Plasa terdakwa turun dari motor
dan korban langsung melepas helm, lalu turun dari motor langsung
menyerang terdakwa dengan memukul kearah pelipis sebelah kiri satu
kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali, mengetahui terdakwa langsung
diserang/dipukul sebanyak dua kali, kemudian terdakwa langsung
mengambil bambu sepanjang setengah meter yang ada disekitar situ,
kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban sebelah kiri sebanyak
satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung keluar darah dan
langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan tersebut korban
masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya
ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui kepala
terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil
parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang
baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban
kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan
menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan
kanan korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan
korban kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai
leher korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah
kanan dan melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah,
mengetahui korban jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah
bagian belakang sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian
terdakwa serang lagi kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai,
kemudian korban terdakwa dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang
terbuat dari cor, setelah terdakwa dudukan tersebut terdakwa ketahui
korban masih hidup kemudian korban terdakwa ambil tangan kirinya
terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa tebas/potong dengan
parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu korban meninggal
kemudian korban terdakwa dorong ke jurang .
- Bahwa potongan tangan kiri korban dan parang/bendo terdakwa buang ke
jurang.
- Bahwa waktu nenek terdakwa melihat ada darah dipakaian dan celana
terdakwa bilang habis menolong orang kecelakaan di hutan Wadas Plasa
lalu dibawa ke RS.Margono .
- Bahwa terdakwa mengambil parang dirumah nenek pada hari selasa
tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 15.00 wib.
- Bahwa sebelum kejadian pembunuhan terdakwa pernah menawarkan
sepeda motor milik temannya kepada Sucipto.
- Bahwa terdakwa ditangkap polisi sekitar jam 14.00 wib pada saat
terdakwa sedang berada di gang depan rumah.
- Bahwa maksud terdakwa mengajak korban janjian ketemu dilapangan
adalah terdakwa ingin menanyakan sebab apa setiap ketemu terdakwa
korban bilang “Bajingan dan Bangsat “.
- Bahwa parang/bendo yang digunakan untuk membunuh korban adalah
milik nenek terdakwa dan pada saat terdakwa mengambil parang atau
bendo dirumah nenek terdakwa tidak seijin nenek terdakwa.
- Bahwa pada saat terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban
suasana ditempat kejadian pembunuhan terang bulan.
- Bahwa korban mengolok-ngolok terdakwa sejak sebulan yang lalu dan
terdakwa mulai tersinggung dengan kata-kata korban sejak seminggu
yang lalu.
- Bahwa terdakwa kalau berkelahi dengan korban tidak membawa parang
terdakwa kalah.
- Bahwa pada saat pinjam celana ke Rahmat Tirtaman terdakwa ambil
sendiri dan saudara Rahmat Triatman masih tiduran di kasur, waktu itu
Rahmat Triatman hanya memberitahu kalau celanannya ada dibelakang
pintu.
- Bahwa pada saat terdakwa menitipkan sepeda motor ditempat nenek
terdakwa, terdakwa ketemu dengan nenek terdakwa dan terdakwa bilang
kalau sepeda motor tersebut adalah milik teman terdakwa.
- Bahwa terdakwa merencanakan pembunuhan terhadap korban sejak hari
Senin tanggal 8 Agustus 2011.
- Bahwa alasan terdakwa menjual sepeda motor milik korban adalah untuk
menghilangkan jejak karena waktu terdakwa pergi yang terkakhir dengan
korban ada yang melihat adalah saksi Imron.
- Bahwa cara terdakwa menyimpan golok supaya tidak kelihatan adalah
disimpan dibalik baju lalu ditutupi dengan jaket.
- Bahwa terdakwa tahu bahwa korban sudah mati, pada waktu malam itu
juga.
- Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti yang diajukan
dipersidangan berupa 1 unit sepeda motor jenis Yamaha Mio warna
hijau, HP merk Nokia, Dompet dan helm warna hitam yang waktu
diambil dari korban setelah korban dibunuh.
- Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti berupa parang/bendo yang
diajukan dipersidangan adalah yang waktu itu digunakan untuk
membunuh korban.
- Terdakwa membenarkan bahwa barang bukti yang dipakai oleh korban
pada saat dibunuh adalah jamper warna hitam, kaos warna coklat
bertuliskan ARRANGE, celana jeans tiga perempat warna abu-abu,sabuk
warna hitam.
- Bahwa terdakwa belum pernah dihukum.
- Bahwa alasan terdakwa memotong tangan kiri korban adalah supaya
korban cepat mati.
- Bahwa terdakwa pertama kali mempunyai niat untuk membunuh pada
waktu dilapangan pada saat korban minta rokok ke terdakwa.
- Bahwa perasaan terdakwa setelah terdakwa membunuh korban adalah
menyesal.
- Bahwa korban setiap ketemu dengan terdakwa selalu meminta rokok.
- Bahwa waktu kakak perempuan korban SMS korban, terdakwa yang
membalasnya.
- Bahwa tujuan terdakwa menelpon kakak korban adalah untuk
menghilangkan jejak supaya orang tua korban tidak tahu.
- Bahwa terdakwa kenal dengan korban baru sekitar 6 bulan yang lalu.
- Bahwa awalnya terdakwa kenal sama korban yaitu pada waktu itu
terdakwa mau menonton acara musik rock di GOR, pada saat terdakwa
memarkir sepeda motor korban nyenggol terdakwa, waktu itu korban
dengan teman-temannya dan teman-temannya bilang kepada terdakwa
“ati-ati Mas “ terdakwa disuruh minta maaf, selang beberapa hari
terdakwa bertemu dengan korban di jalan lalu terdakwa kenalan dengan
korban.
- Bahwa karena teman korban preman-preman anak GOR, maka sangat
mempengaruhi pikiran terdakwa.
- Bahwa terdakwa mempunyai niat membunuh korban pada hari Selasa
tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 17.30 wib sore.
- Bahwa tujuan terdakwa mengayunkan parang/golok ke korban adalah
supaya tangan korban lepas dari pegangan kepala terdakwa.
- Bahwa pada saat terdakwa mengeluarkan parang/golok dari balik baju,
yang ada dipikiran terdakwa hanya ingin melukai korban.
- Bahwa pembunuhan tersebut memang sudah direncanakan oleh
terdakwa, karena kalau dilukai saja nanti temannya akan balas dendam.
- Bahwa pada waktu terdakwa kepalanya dipegang oleh korban terdakwa
emosi.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana terhadap terdakwa yang
pada pokoknya menuntut agar Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin. SUKISWO
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“SENGAJA MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA “,
sebagaimana Dakwaan kesatu Primair melanggar Pasal 340 KUHP jo.
Pasal 1 angka 1 UURI No.3 Tahun 1997;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AGUS ROTAMA Bin.
SUKISWO dengan pidana penjara selama 10(sepuluh) tahun dikurangi
selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa
tetap ditahan ;
3. Menyatakan barang bukti :
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
6. Putusan Hakim
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam fakta persidangan dapat ditemukan bahwasanya hakim
menjatuhkan vonis kepada anak dibawah umur atas dasar pertimbangan
hakim yaitu:
a. Hakim menggunakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
c. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, yaitu mengandung tiga variabel :
a) sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b) hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi.
c) terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hakim berpendapat bahwa terdakwa mampu bertanggung
jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang
didakwakan dan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri
terdakwa haruslah dijatuhi pidana.
Bahwa suatu pemidanaan adalah dimaksudkan disamping
membawa manfaat bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah
diharapkan agar membawa manfaat dan berguna pula bagi diri pribadi
terpidana itu sendiri, oleh karena itu penjatuhan pidana tidaklah bertujuan
sebagai balas dendam dan untuk duka nestapa bagi terdakwa, melainkan
dimaksudkan agar terdakwa kelak di kemudian hari setelah selesai
menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat menempuh hidup dan
kehidupannya secara layak dengan bekal penuh kesadaran penuh yang
disertai tekad dan prinsip untuk senantiasa lebih berhati-hati dalam
menapaki perjalanan hidup dan kehidupannya serta dapat berusaha
menimba kembali sebagai manusia yang berharkat di tengah-tengah
masyarakat.
Alasan hakim tersebut diperkuat dalam KUHAP Pasal 1 angka 9
mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara pidana. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menerima,
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara; melainkan hakim tidak
boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada. Oleh karena itu
menurut doktrin hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit) dan putusan
hakim dianggap benar res judicata pro veritate habetur, dalam mengadili
perkara pidana anak maka dasar pertimbangan hukum adalah berpijak pada
legal justice yang termuat dalam norma hukum yang berlaku (hukum
positif)69
.
b. Putusan Hakim
1. Menyatakan Terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “PEMBUNUHAN”
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas dengan pidana
penjara selama : 7 (tujuh) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Memerintahkan Terdakwa ditahan ;
5. Menentukan barang bukti;
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).
D. Pembahasan
Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa harus
terlebih dahulu telah memenuhi semua syarat untuk dilakukan pemidanaan
69
Seminar Nasional “Optimalisasi Perlindungan Anak danTantangannya di
Indonesia”,Atas Kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta, UNICEF dan Kejaksaan Agung
Republik Indonesia, Yogyakarta, 29 Oktober 2009
atas diri Terdakwa seperti dinyatakan oleh Leo Polak, maka pemidanaan
harus memenuhi tiga syarat yaitu :
a) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan
tata hukum objektif;
b) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana
tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi.
Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi.
Umpanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka
kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya
lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh
diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai
dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;
c) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.
Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu
supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Dari hasil penelitian terhadap putusan perkara Pengadilan Negeri
Purwokerto Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dan dengan melakukan studi
pustaka tentang materi yang berhubungan dengan obyek penelitian serta
mengacu pada pendapat Leo Polak mengenai syarat-syarat pemidanaan,
maka agar dapat menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, dapat
disusun analisis sebagai berikut :
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor :
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan
pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Dan sistemnya juga
berbeda dengan pemeriksaan pada pelaku tindak pidana dewasa.
Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi segala
aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut
kepentingan anak.70
Undang-Undang Pengadilan Anak pada Pasal 40 menyatakan bahwa
hukum acara yang berlaku dalam acara pengadilan anak ialah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku
bagi anak adalah KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus
berhadapan dengan hukum,yaitu71
1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.
70
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu , Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di
Indonesia, SinarGrafika, Jakarta, 1993, Hal. 14
71 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen
and ClifffordE. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003,
Hal.2
2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum.
Undang-undang Pengadilan Anak menyatakan bahwa “Hukum acara
yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini”, ini berarti hukum acara yang
berlaku (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) diterapkan juga
dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
anak tersebut.
Rumusan Pasal 338 KUHP adalah :
“barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
penjara paling lama limabelas tahun”
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan
biasa adalah sebagai berikut :
1. Unsur subjektif : perbuatan dengan sengaja
2. Unsur objektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)
yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah
terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud
sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan
terlebih dahulu72
Unsur subjektif tersebut terdapat dalam fakta persidangan yaitu
dalam pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa: “Menimbang bahwa
berdasarkan keterangan terdakwa dihubungkan dengan alat bukti surat
visum et repertum atas nama korban menurut Hakim anak berpendapat
bahwa kematian korban memang telah dikehendaki dan diketahui oleh
terdakwa serta terkandung suatu kesengajaan, oleh karena itu unsur sengaja
telah terbukti dan terpenuhi”.
Unsur objektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku
harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan
tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan
untuk menghilangkan nyawa orang lain.73
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak
mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan
dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja
orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan
khusus dengan pelaku.74
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan
nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang
72
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31. 73
Ibid. hlm., 31 74
Ibid. hlm., 35.
yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.75
Berkaitan dengan unsur objektif tersebut dalam fakta persidangan
terdakwa memang sudah berniat menghilangkan nyawa dari korban dengan
latar belakang, kekesalan kepada korban, berikut adalah fakta persidangan
dalam putusan pengadilan :
a) Bahwa Terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan nyawa
seseoarang yang bernama Yoga tersebut menggunakan alat bantu
parang/bendo.
b) Bahwa sewaktu Terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan
nyawa seseorang bernama Yoga tersebut, korban melakukan
perlawanan, yaitu sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas
Plasa Desa Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul
24.00 Wib Agus turun dari motor sedangkan Yoga langsung melepas
helm yang dipakainya, selanjutnya Yoga turun dari kendaraan dan
langsung menyerang Agus dengan memukul dengan tangan kosong
ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan memukul ke arah pipi
kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu sepanjang
setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga
sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah
kiri keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat
75 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986, hlm. 122.
sempoyongan Yoga masih sempat menarik kepala Agus dengan
memegang rambut Agus ditekankan ke bawah sampai tertunduk,
pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh Yoga, Agus langsung
mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan disimpan di
balik baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan
mengayunkan parang / bendo kerah leher sebelah kiri, akan tetapi di
tangkis oleh Yoga dengan menggunakan tangan kanan, sehingga
melukai tangan kanan Yoga hingga tiga jari putus, kemudian Agus
menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo itu ke arah ke
leher sebelah kiri dan melukai leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya
Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo mengenai
leher sebelah kanan dan juga melukai leher sebelah kanan, kemudian
Yoga jatuh tersungkur ketanah, mengetahui Yoga sudah jatuh
tersungkur kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan
parang/bendo kearah telinga sebelah kiri, kemudian Yoga di
bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di senderkan di
PAL/PATOK, pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup,
kemudian Agus mengambil tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas
PAL kemudian menebas tangan kiri dengan parang/bendo sebanyak
dua kali, sehingga dia tidak bergerak lagi dan mengakibatkan
meninggal.
c) Bahwa Terdakwa menghilangkan nyawa korban saudara Yoga
tersebut adalah dengan sengaja karena sudah merasa kesal terhadap
korban.
d) Bahwa yang menjadi latar belakang permasalahan tersebut sehingga
terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan nyawa seseorang
yang bernama Yoga tersebut sehubungan karena terdakwa merasa
kesal karena bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang
sering kali ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata
“BANGSAT, BAJINGAN”, selanjutnya Terdakwa emosi dan
melakukan perbuatan menghilangkan jiwa seseorang bernama
YOGA tersebut.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur objektif dalam Pasal 338
KUHP telah terpenuhi.
Kepentingan hukum dalam konteks di atas adalah tiap-tiap
kepentingan yang harus dijaga, agar supaya tidak dilanggar dan yang
semuanya itu ditujukan untuk kepentingan hukum, dapat berupa; hak-hak
hubungan keadaan, bangunan masyarakat. Sedangkan kepentingan hukum
(Rechts belangen) dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: kepentingan
perseorangan; kepentingan masyarakat; kepentingan negara.
Walaupun dikenal tiga kepentingan hukum akan tetapi sebenarnya
kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-pisahkan, hal ini disebabkan
karena suatu kepentingan hukum baru dapat dianggap sebagai
perseorangan, bila kepentingan itu juga merupakan kepentingan
masyarakat 76
kepentingan yang demikian itu adalah: Jiwa (leven); Badan
(lijk); Kehormatan (Eer); Kemerdekaan (Vrijheid); Harta benda
(Vermogen)
Kepentingan hukum bagi masyarakat adalah ketentraman dan
keamanan, sedangkan kepentingan hukum bagi negara adalah keamanan
negara. Pada hakekatnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisahkan. Di
dalam kepentingan hukum yang dilindungi oleh suatu norma tindak pidana
khususnya dalam pasal 338 KUHP adalah jiwa (leven) . Mengenai
penyelesaian hukumnya ada yang diselesaikan dengan pengaduan atau
pelaporan.
KUHP sebagai hukum publik, terdapat suatu tindak pidana terletak di
tangan penuntut umum atau kejaksaan. Permintaan dari korban tidak
mempunyai pengaruh apa-apa dan sebagai penyimpangannya dari asas ini
dapat ditunjuk atas permintaan penderita, hal ini lazim disebut pengaduan.
Delik aduan diatur secara tersebar dalam Buku II KUHP dan hanya berlaku
terhadap kejahatan-kejahatan tertentu saja, sedangkan laporan tidak
termasuk dalam rentetan delik aduan, disebabkan karena kepentingan umum
yang terkandung di dalamnya atau kerugian terhadap suatu kepentingan
khusus apabila terjadi suatu penuntutan.
76
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat
Para ahli Hukum Terkemuka Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa Tanpa Kata dan Tahun, hlm
79
2. Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak
pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan oleh anak dalam
perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Dalam fakta persidangan dapat ditemukan bahwasanya hakim
menjatuhkan vonis kepada anak dibawah umur atas dasar
pertimbangan hakim yaitu:
a. Hakim menggunakan dasar hukum Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman.
b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
c. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, yaitu mengandung tiga variabel :
a) sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b) hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi.
c) terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Terdahap Tuntutan Pidana Penuntut Umum tersebut, terdakwa melalui
Penasehat hukumnya mengajukan tanggapan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
- Niat membunuh korban justru muncul dan kemudian dilaksanakan adalah
pada saat korban telah tergeletak karena perkelahian dengan terdakwa
dikarenakan ketakutan terdakwa kalau korban masih hidup maka korban
bisa menceritakan kepada teman-temannya tentang peristiwa itu dan
terdakwa ketakutan kalau sampai dikeroyok oleh teman-teman korban,
Sehingga dengan demikian unsur dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu ini tidak terbukti dan terpenuhi;
- Menurut hemat Penasehat hukum terdakwa dari fakta-fakta yang
terungkap dipersidangkan akan lebih tepat dan lebih bijaksana apabila
terdakwa dituntut berdasarkan/menggunakan Pasal 338 KUHP dan
mohon dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya;
Dari keterangan saksi-saksi yang dibawah sumpah yang saling
bersesuaian dan keterangan terdakwa serta alat bukti surat yang diajukan di
persidangan, maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut :
- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut pada hari Rabu tanggal 10 Agustus
2011 sekitar pukl 00.30 wib di jurang hutan kayu jati Wadas Plasa ikut
Desa Jatisaba RT.05/03, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas ;
- Bahwa terdakwa mempunyai rasa sakit hati karena sering dibilangi
dengan kata-kata kotor “bangsat, Bajingan “ timbul emosi dan
mempunyai niat untuk membunuh ;
- Bahwa terdakwa mengambil parang dirumah nenek pada hari selasa
tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 15.00 wib.
- Bahwa terdakwa kalau berkelai dengan korban tidak membawa parang
terdakwa kalah.
- Bahwa terdakwa membawa bendo yang diambil dari rumah neneknya
guna untuk berjaga-jaga kalau teman-teman korban mau mengeroyok
apabila terjadi perkelaian antara terdakwa dengan korban.
- Bahwa maksud terdakwa mengajak korban janjian ketemu dilapangan
adalah terdakwa ingin menanyakan sebab apa setiap ketemu terdakwa
korban kok bilang “ Bajingan dan Bangsat “.
- Bahwa terdakwa dengan korban berboncengan dengan sepeda mio milik
terdakwa sedang berhenti dijembatan bertemu dengan saksi sarno.
- Bahwa waktu terdakwa berada dijembatan dengan korban, waktu itu
terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya ngomong “
Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang kenapa kamu
emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap ketemu saya
kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “ kalau
memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jati saba ikut
grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya.
- Bahwa setelah sampai di bukit wadas Plasa terdakwa turun dari motor
dan korban langsung melepas helm, lalu turun dari motor langsung
menyerang terdakwa dengan memukul kearah pelipis sebelah kiri satu
kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali, mengetahui terdakwa langsung
diserang/dipukul sebanyak dua kali, kemudian terdakwa langsung
mengambil bambu sepanjang setengah meter yang ada disekitar situ,
kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban sebelah kiri sebanyak
satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung keluar darah dan
langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan tersebut korban
masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya
ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, dalam keadaan kepala
terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil
parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan taruh dibelakang bajunya,
kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban kearah leher
sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan menggunakan
tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan korban
tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban kena
selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher korban
kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan
melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban
jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi kearah bagian belakang
sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang
lagi kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban
terdakwa dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor,
setelah terdakwa dudukan tersebut dan mengetahui korban masih hidup,
kemudian terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa lalu menaruhnya
diatas pal dan kemudian terdakwa tebas/potong dengan parang/bendo
sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu korban meninggal, kemudian
korban dorong ke jurang.
- Bahwa tujuan terdakwa mengayunkan parang/golok ke korban adalah
supaya tangan korban lepas dari pegangan kepala terdakwa.
- Bahwa pada saat terdakwa mengeluarkan parang/golok dari balik baju,
yang ada dipikiran terdakwa hanya ingin melukai korban.
- Bahwa potongan tangan kiri korban dan parang/bendo terdakwa buang ke
jurang.
- Bahwa setelah kejadian pembunuhan terdakwa pernah menawarkan
sepeda motor milik korban kepada sucipto yang rencananya digunakan
untuk biaya melarikan diri.
- Bahwa terdakwa ditangkap polisi sekitar jam 14.00 wib pada saat
terdakwa sedang berada di gang depan rumah.
- Bahwa alasan terdakwa memotong tangan kiri korban adalah supaya
korban cepat mati.
- Bahwa berdasarkan Visum et Repertum No. 474.3/21943/IPG/18-08-
2011 tertanggal 18 Agustus 2011 yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Dr. M. ZAENURI SYAMSU HIDAYAT, SpKF, MsiMed. Dokter pada
Rumat Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
dengan kesimpulannya: Kematian akibat perdarahan hebat yang
disebabkan oleh terputusnya pergelangan tangan kiri.
- Bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh terdakwa, karena kalau
dilukai saja nanti temannya akan balas dendam.
Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa dapat dipersalahkan
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut
Umum sebagaimana dalam dakwaannya;
Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
disusun secara ALTERNATIF SUBSIDERITAS yaitu :
KESATU :
PRIMAIR : melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU
RI No.3 Tahun 1997;
SUBSIDAIR : melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU
RI No.3 Tahun 1997;
LEBIH SUBSIDAIR : melanggar pasal 351 ayat (3) jo pasal 1 angka 1 UU
RI No.3 Tahun 1997;
A T A U :
KEDUA : melanggar pasal 339 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU
RI No.3 Tahun 1997;
Karena dakwaan Penuntut Umum disusun bersifat ALTERNATIF
SUBSIDERITAS, maka Majelis Hakim memilih dakwaan yang tepat
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yakni dakwaan
kesatu, oleh karena dakwaan tersebut bersifat subsidairitas dengan demikian
akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan PRIMAIR yaitu
melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No.3 Tahun 1997
berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
pembunuhan berencana (moord), dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
20 (dua puluh tahun)”,
Pasal 340 KUHP mengandung unsur-unsur adalah sebagai berikut :
1. Barang Siapa;
2. Dengan sengaja;
3. Dengan Direncanakan lebih Dahulu;
4. Menghilangkan Nyawa Orang Lain;
Ad.1. Unsur Barang Siapa;
Yang dimaksud dengan barang siapa adalah orang atau manusia
sebagai subjek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang secara
hukum dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya ;
Dalam perkara ini unsur “barang siapa” ditujukan kepada orang /
manusia, hal ini sebagaimana dari fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan seorang
terdakwa ke persidangan, yaitu terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin
SUKISMO, dan Terdakwa tersebut mempertanggungjawabkan terhadap
perbuatan yang dilakukannya;
Terdakwa tersebut telah membenarkan identitas dirinya sebagaimana
termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud
dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas,
sehingga tidak salah orang atau error in persona;
Sesuai alat bukti surat berupa : Surat Kelahiran No.92/Des/28/8/93
tertanggal 23 Agustus 1993 dibuat dan ditandatangani oleh H. SODERI, a.n.
Sekretaris Desa Panusupan, menerangkan bahwa Agus Panca Rotama lahir
hari Jumat Pon, tanggal 13 Agustus 1993 dari seorang ibu bernama
KARIYAH dan ayah SUKISWO, serta hasil Laporan Petugas Pembimbing
Kemasyarakatan, dan keterangan Terdakwa serta orang tua terdakwa,
terbukti bahwa terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO
dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1993;
Kelahiran terdakwa tersebut di atas dikaitkan dengan peristiwa
terjadinya tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum yaitu
terjadi pada tanggal 10 Agustus 2011, maka terdakwa AGUS PANCA
ROTAMA Bin SUKISWO saat terjadinya tindak pidana berusia 17 (tujuh
belas) tahun dan 11 (sebelas) bulan;
Karena usia terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO
masih di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah,
sehingga secara yuridis terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin
SUKISWO masih tergolong anak (vide Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997), dengan demikan maka yang berwenang memeriksa perkara terdakwa
a quo adalah Pengadilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997;
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut pendapat Hakim
unsur “barang siapa” ini telah terpenuhi;
Ad.2. Unsur Dengan Sengaja;
Yang dimaksud “dengan sengaja” menurut Memori Penjelasan
(Memorie van Toelichting) adalah menghendaki dan menginsyafi terjadinya
suatu tindakan / perbuatan beserta akibatnya (willens en wetens veroorzaken
van een gevoldg);
Unsur dengan sengaja ini ditujukan pada unsur perbuatan yaitu
“Unsur Menghilangkan Jiwa Orang Lain”;
Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan
dengan keadaan dalam jiwa / bathin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari
rangkaian perbuatannya;
Menurut doktrin hukum pidana untuk menetapkan suatu perbuatan
disengaja atau tidak dikenal dengan 3 (tiga) teori yaitu :
a. Teori kehendak adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh
pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa
perbuatan tersebut dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang;
b. Teori pengetahuan adalah menyatakan bahwa suatu perbuatan tertentu
dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang
jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh
hukum pidana;
c. Teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas, suatu perbuatan
yang disengaja adalah apabila perbuatan tersebut diketahui dan
dikehendaki pelaku;
Menurut doktrin Hukum Pidana Modern kesengajaan dikenal dengan
tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan hubungan kausal antara
kelakuan / perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu :
- Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), berarti terjadinya
suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan
dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku;
- Kesengajaan sebagai kesadaran pasti (kepastian) atau keharusan (opzet
bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang
sebenarnya terdakwa harus melakukan suatu perbuatan yang terlarang;
- Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (voorwaardelijkopzet),
yang menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan
dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang;
Berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana di dalam Berita Acara
Persidangan yang menyatakan waktu terdakwa berada dijembatan dengan
korban, waktu itu terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu
saya ngomong “ Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang
kenapa kamu emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap
ketemu saya kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “
kalau memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jatisaba ikut
grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya, setelah sampai di bukit
wadas Plasa terdakwa turun dari motor dan korban langsung melepas helm,
lalu turun dari motor langsung menyerang terdakwa dengan memukul
kearah pelipis sebelah kiri satu kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali,
mengetahui terdakwa langsung diserang/dipukul sebanyak dua kali,
kemudian terdakwa langsung mengambil bambu sepanjang setengah meter
yang ada disekitar situ, kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban
sebelah kiri sebanyak satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung
keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan
tersebut korban masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang
rambut saya ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui
kepala terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil
parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang
baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban
kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan
menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan
korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban
kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher
korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan
melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban
jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah bagian belakang
sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi
kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa
dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa
dudukan tersebut terdakwa ketahui korban masih hidup kemudian korban
terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa
tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu
korban meninggal kemudian korban terdakwa dorong ke jurang;
Dari fakta-fakta hukum di atas terbukti bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa kepada korban YOGA AFRIAJI adalah bertujuan
dan menghendaki kematian korban, dan terdakwa mengetahui melakukan
pembunuhan dilarang oleh Hukum Pidana (Undang-Undang), dengan
demikian jika dihubungkan dengan teori dan gradasi kesengajaan, maka
perbuatan terdakwa masuk kedalam teori “gabungan” dan tergolong
“kesengajaan sebagai maksud” (opzet als oogmerk);
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat unsur “Dengan Sengaja” ini telah terpenuhi;
Ad.3. Unsur Dengan Direncanakan Terlebih Dahulu;
Dimaksud “direncanakan terlebih dahulu” (voor bedachte rade) adalah
antara timbulnya maksud dan pelaksanaan keinginan tersebut ada waktu /
masa baik untuk mengurungkan maksud tersebut ataupun memikirkan dan
mengatur cara dilakukannya keinginan tersebut atau agar tercapai
keberhasilan pelaksanaan keinginan itu;
Bahwa “direncanakan terlebih dahulu” pada dasarnya mengandung
tiga persyaratan atau elemen, yaitu :
1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;
2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai
dengan pelaksanaan kehendak;
3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang;
Berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana termuat dalam Berita Acara
Persidangan adalah sebagai berikut :
Bahwa terdakwa berniat menghilangkan nyawa korban YOGA
AFRIAJI yaitu pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar jam 00.30
wib saat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya
ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, dalam keadaan kepala
terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil
parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan taruh dibelakang bajunya,
kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban kearah leher
sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan menggunakan tangan
kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan korban tepatnya kena
bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban kena selanjutnya
terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher korban kena, dan
kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan melukai, kemudian
korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban jatuh tersungkur
ketanah terdakwa serang lagi kearah bagian belakang sebanyak satu kali dan
juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi kearah telinga sebelah
kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa dudukan terdakwa
senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa dudukan tersebut
dan mengetahui korban masih hidup, kemudian terdakwa ambil tangan
kirinya terdakwa lalu menaruhnya diatas pal dan kemudian terdakwa
tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu
korban meninggal;
Terdakwa membunuh korban adalah kalau korban masih hidup,
terdakwa takut dikeroyok oleh teman-teman korban untuk melampiaskan
balas dendamnya, disamping itu terdakwa mengayunkan bendonya ke
terdakwa tujuannya hanya melukai supaya terlepas dari tarikan korban
kerambut terdakwa sampai menunduk;
Bahwa terdakwa membawa bendo yang digunakan untuk membunuh
korban YOGA AFRIAJI, yang diambil dari rumah neneknya pada hari
selasa tanggal 9 Agustus 2011 jam 15.00 wib.di Desa Jatisaba, Kecamatan
Cilongok yang awalnya hanya untuk jaga-jaga karena takut temannya
korban banyak serta dalam menggunakan bendonya tersebut, dikarenakan
emosi yang timbul dari diri terdakwa akibat kepalanya ditarik oleh tangan
kiri korban serta dalam mengayunkan bendo kearah korban hanya asal sabet
saja supaya tangan korban lepas dari pegangan ke kepala terdakwa;
Sesuai dengan fakta-fakta hukum di atas, tergambar Terdakwa dalam
memutuskan kehendaknya dalam suasana tidak tenang, dan tidak tersedia
waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan
kehendak, dengan demikian terdakwa tidak berpikir dengan tenang
bagaimana cara-cara melaksanakan pembunuhan dan tidak ada kesempatan
untuk mengurungkan niatnya, serta pelaksanaan kehendak (perbuatan) yang
dilakukan terdakwa dalam suasana tidak tenang;
Dengan demikian 3 (tiga) syarat tersebut di atas tidak terpenuhi,
sehingga unsur “Dengan Direncanakan Lebih Dahulu” ini tidak
terpenuhi;
Karena salah satu unsur dari Dakwaan Kesatu Primair tidak terpenuhi
maka Dakwaan tersebut haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut:;
Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Dakwaan
Kesatu Subsidair yaitu melanggar Pasal 338 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU
RI No.3 Tahun 1997 yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Barang Siapa;
2. Dengan sengaja;
3. Menghilangkan Nyawa Orang Lain;
Menimbang, bahwa oleh karena unsur 1.Barang Siapa dan unsur
2.Dengan Sengaja telah dipertimbangkan dalam Dakwaan Kesatu Primair
dan unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka Majelis Hakim tidak akan
mempertimbangkan lagi dan langsung mengambil alih pertimbangan
tersebut ke dalam Dakwaan Kesatu Subsidair, yang selanjutnya Majelis
Hakim akan mempertimbangkan unsur berikutnya yang ketiga yakni
Menghilangkan Nyawa Orang Lain;
Ad.3. Unsur Menghilangkan Nyawa Orang Lain;
Menimbang, bahwa pengertian “menghilangkan nyawa orang lain”
adalah akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku adalah
adanya kematian orang lain, sehingga
dengan demikian unsur “Menghilangkan Nyawa Orang lain” harus
memenuhi tiga syarat yaitu :
- Adanya wujud perbuatan,
- Adanya suatu kematian,
- Adanya hubungan sebab dan akibat antara pebuatan dan kematian (orang
lain);
Menimbang, bahwa sebagaimana pertimbangan hukum di atas, bahwa
terdakwa tidak beralasan hukum mencabut keterangannya dalam Berita
Acara pemerksaan Penyidik, maka dalam memberikan pertimbangan hukum
dalam putusan ini Majelis Hakim tetap berpegang dengan Berita Acara
Pemeriksaan Penyidik terhadap terdakwa sebab sesuai dengan ketentuan
Pasal 187 huruf a KUHAP secara hukum menyatakan “alat bukti surat”
sebagaimana diatur pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, termasuk juga
berita Acara Penyidik;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan tersebut di atas :
Bahwa korban YOGA AFRIAJI meninggal dunia berdasarkan Visum Et
Repertum No. 474.3/21943/IPG/18-08-2011 tertanggal 18 Agustus 2011,
yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat,
SpKF, Msi Med., dokter pada rumah sakit Umum Daerah Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto , sebab pasti kematian korban adalah akibat
perdarahan hebat yang disebabkan oleh terputusnya pergelangan tangan kiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana
di dalam Berita Acara Peersidangan menerangkan, bahwa pada hari Rabu
tanggal 10 Agustus 2011 sekitar jam 00.30 Wib bertempat di Hutan Jatisaba
Grumbul Wadas Plasa, Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Kabupaten
Banyumas, terdakwa telah membunuh korban YOGA AFRIAJI karena
merasa jengkel dan marah kepada korban kalau ketemu selalu memanggil “
Bangsat, Bajingan, oleh karena itu dari pada dibuat malu maka lebih baik
Terdakwa ngajak bertemu dengan korban untuk menanyakan maksudnya
apa kalau setiap ketemu selalu bilang “ Bangsat, Bajingan”;
Cara Terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban YOGA
AFRIAJI, bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus sekitra jam 00.30
Wib, Terdakwa bersama-sama dengan korban menggunakan sepeda motor
Yamaha Mio milik korban warna hijau No. Pol : R 5636 WE menuju
jembatan, terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya
ngomong “ Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang
kenapa kamu emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap
ketemu saya kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “
kalau memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jatisaba ikut
grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya, setelah sampai di bukit
wadas Plasa terdakwa turun dari motor dan korban langsung melepas helm,
lalu turun dari motor langsung menyerang terdakwa dengan memukul
kearah pelipis sebelah kiri satu kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali,
mengetahui terdakwa langsung diserang/dipukul sebanyak dua kali,
kemudian terdakwa langsung mengambil bambu sepanjang setengah meter
yang ada disekitar situ, kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban
sebelah kiri sebanyak satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung
keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan
tersebut korban masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang
rambut saya ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui
kepala terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil
parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang
baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban
kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan
menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan
korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban
kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher
korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan
melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban
jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah bagian belakang
sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi
kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa
dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa
dudukan tersebut terdakwa ketahui korban masih hidup kemudian korban
terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa
tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu
korban meninggal kemudian korban terdakwa dorong ke jurang;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim
berpendapat unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” ini atas
perbuatan Terdakwa telah terpenuhi;
Pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa yang didasarkan pada
fakta-fakta yang terungkap dipersidangkan dan hal tersebut telah sesuai
dengan keterangan saksi, keterangan terdakwa, Visum et repertum dan
barang bukti yang diajukan dipersidangan, serta telah dipertimbangkan
dalam unsur-unsur dari dakwaan kesatu subsidair oleh Majelis Hakim, maka
dengan demikian Majelis Hakim sependapat dengan argumentasi Penasihat
Hukum Terdakwa tersebut di atas, sehingga argumentasi Penasihat Hukum
Terdakwa tersebut haruslah diterima;
Karena semua unsur dari Pasal 338 KUHP telah terpenuhi, maka
perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Subsidair
Penuntut Umum yang kualifikasinya akan di rumuskan dalam amar putusan;
Karena dakwaan Kesatu Subsidair telah terbukti, sedangkan
dakwaan Penuntut Umum disusun secara SUBSIDARITAS, maka dakwaan
selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
Karena selama proses persidangan tidak ditemukan alasan-alasan
penghapus pidana dari Terdakwa, maka Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat
penjatuhan pidana / tindakan hukum terhadap Terdakwa, sehingga terhadap
Terdakwa dapat dijatuhi pidana / tindakan;
Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Hakim sebelum menjatuhkan putusan hukum terhadap
Terdakwa perlu mempertimbangkan Hasil Penelitian Kemasyarakatan
(LITMAS) yang ada dalam perkara ini, yaitu dari Balai Pemasyarakatan
Purwokerto yang dibuat oleh MURWANTO, S.Sos., tertanggal 25 Agustus
2011 , yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa klien telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan yang melanggar hukum;
Telah didengar pula keterangan kedua orang tua kandung Terdakwa
bernama : SUKISWO dan KARIYAH yang pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa para orang tua Terdakwa masih bersedia untuk mengawasi,
mengasuh, membina terdakwa apabila proses hukum sudah selesai;
Eksistensi Pejabat Pembimbing Kemasyarakatan secara yuridis
adalah untuk membantu mempelancar tugas Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim dalam perkara anak Nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak
dengan membuat Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (vide Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), dan Hakim dalam
menjatuhkan pidana atau tindakan diantaranya wajib memperhatikan
Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (penjelasan Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997), walaupun demikian maka Hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa, tidak mutlak harus terikat dengan
kesimpulan dan saran yang termuat di dalam laporan Pejabat
Kemasyarakatan, sebab hakim bersandar pada asas kebebasan Hakim dan
asas kemandirian Hakim;
Berdasarkan Pasal 22, 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terhadap anak nakal yang telah
terbukti melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana atau tindakan.
Pidana Pokok terdiri dari : pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda;
atau pidana pengawasan;
Pidana tambahan terdiri dari : perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi;
Tindakan terdiri dari :
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja; atau Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau
Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
Karena Terdakwa memenuhi kreteria sebagaimana ketentuan Pasal 25
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka
terhadap Terdakwa dapat dijatuhkan pidana atau tindakan, dan selanjutnya
Hakim akan mempertimbangkan apakah penjatuhan pidana atau tindakan
yang cocok terhadap Terdakwa;
Dalam menentukan penjatuhan pidana atau tindakan kepada anak,
Hakim memperhatikan antara lain :
- Berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak;
- Keadaan anak;
- Keadaan rumah tangga orang tua, wali atau orang tua asuh;
- Hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungan;
- Memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan (vide penjelasan
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak),
Dalam perkara Terdakwa Anak sebagai pelaku kejahatan secara
yuridis harus mendapat perhatian khusus, salah satu hal yang harus
diperhatikan Hakim adalah harus melakukan penjatuhan sanksi / pidana
yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak sebagaimana Pasal 64
ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .
Dalam penentuan penjatuhan pidana atau tindakan ini, tentunya
Hakim harus berpedoman dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di
persidangan.
Perbuatan Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan KESATU SUBSIDAIR melanggar Pasal 338
KUHP yang diancam dengan hukuman paling lama 15 (lima belas) tahun,
jika dihubungkan dengan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Terdakwa dalam
perkara a quo adalah paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan;
Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pasal 338 KUHP,
sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa adalah merupakan
tindak pidana tergolong berat dan bukan berupa kenakalan remaja an sich,
dengan demikian Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa;
Menurut ilmu hukum pidana / hukum penitentier, pemidanaan itu
bukan ditujukan pada upaya balas dendam semata, akan tetapi lebih
ditujukan pada upaya perbaikan diri pelaku, agar kelak di kemudian hari
tidak kembali melakukan perbuatan pidana, dan juga sebagai upaya
preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat dihukum
tersebut.
Sebagaimana teori tujuan pemidanaan integratif, yang menyatakan
bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,
keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan
kerusakan bagi individu dan masyarakat, sehingga tujuan pemidanaan
adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku, sehingga diharapkan
pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim mengandung unsur-unsur yang
bersifat , pertama, kemanusiaan yang berarti bahwa pemidanaan yang
dijatuhkan hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat para pelaku
tindak pidana tersebut, kedua, edukatif yang mengandung makna bahwa
pemidanaan tersebut mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas
perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan pelaku mempunyai
sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha pencegahan dan
penanggulangan kejahatan, dan yang ketiga, keadilan yaitu pemidanaan
tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun
masyarakat .
Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari
Terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta hal-hal yang memberatkan
dan hal-hal yang meringankan bagi diri Terdakwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 197 ayat 1 huruf (f) KUHAP ;
Hal-hal Yang Memberatkan :
- bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
- bahwa perbuatan terdakwa tergolong sadis;
Hal-hal Yang Meringankan :
- bahwa terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya
- bahwa terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi
- bahwa keluarga terdakwa telah memberikan uang duka/tali asih ;
- bahwa terdakwa masih muda dan masih dibina ;
- bahwa terdakwa belum pernah dihukum ;
oleh karenanya menurut Hakim, pidana yang akan dijatuhkan kepada
Terdakwa telah setimpal dengan beratnya dan sifat kejahatan yang
dilakukan Terdakwa, dan telah sesuai pula dengan rasa keadilan hukum dan
keadilan sosial.
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana, dan oleh karena Terdakwa pernah ditahan dalam
proses perkara a quo, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (4)
KUHAP masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan .
Terdakwa ditahan dalam proses persidangan ini dan karena pidana
yang dijatuhkan adalah pemidanaan, serta untuk efektifitas pelaksanaan
putusan dan untuk memenuhi kepastian hukum sesuai pasal 197 Ayat 1
huruf (k) KUHAP (UU Nomor 8 tahun 1981), maka memerintahkan agar
Terdakwa ditahan;
a). Hakim berpendapat bahwa terdakwa mampu bertanggung jawab,
maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang
didakwakan dan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri
terdakwa haruslah dijatuhi pidana.
b). Bahwa suatu pemidanaan adalah dimaksudkan disamping membawa
manfaat bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah diharapkan
agar membawa manfaat dan berguna pula bagi diri pribadi terpidana itu
sendiri, oleh karena itu penjatuhan pidana tidaklah bertujuan sebagai
balas dendam dan untuk duka nestapa bagi terdakwa, melainkan
dimaksudkan agar terdakwa kelak di kemudian hari setelah selesai
menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat menempuh hidup dan
kehidupannya secara layak dengan bekal penuh kesadaran penuh yang
disertai tekad dan prinsip untuk senantiasa lebih berhati-hati dalam
menapaki perjalanan hidup dan kehidupannya serta dapat berusaha
menimba kembali sebagai manusia yang berharkat di tengah-tengah
masyarakat.
Hakim dalam memutus perkara tindak pidana anak harus mencakup
beberapa aspek sebagaimana menurut Gustaf Rutbruch dengan teorinya
“Ide des rechts”, yaitu: keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan
(Zweekmossigkeit), kepastian hukum (Rechts sicherheit). Ketiga unsur
tersebut secara empiris hakim memperhatikan sisi keadilan dan kemanfaatan
bagi anak disamping itu juga kepastian hukum. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan efek jera bagi anak maupun pihak lain sehingga bermanfaat
pula bagi anak yang dipidana tersebut.
Dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut, menunjukkan
bahwa sikap Hakim pemutus perkara kental atau dipengaruhi oleh alam
fikiran positivis/legalistik77
Artinya suatu hukum baru dinyatakan sebagai
hukum apabila terumus dalam undang-undang. Atau dengan kata lain, apa
yang dinormakan dalam undang-undang, itulah yang diterapkan, tidak
terkecuali bagi anak-anak pelaku pembunuhan.
Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang
melakukan kenakalan, UU tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi
anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya
menjadi dikurangi ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada
orang dewasa.
Untuk menghindarkan ketidak objektivitas pembaca, sebaiknya
jika pemidanaan dianggap ringan, agar dimuat hal-hal yang meringankan
terdakwa.
Aturan dalam suatu perundang-undangan, akan menjadi tidak
hidup jika tidak dikomunikasikan kepada masyarakat terlebih dahulu. Hal
ini sangat penting bagi hukum, karena banyak yang meyakini bahwa
sebagaian besar dari hukum adalah sistem norma, dan peraturan
perundang-undangan adalah sebuah sistem norma dari karakter yang khas,
dia memberitahukan kepada seseorang atau masyarakat apa yang
seharusnya dikerjakan, serta bagaimana cara mengerjakannya, atau apa
saja yang tidak dikehendaki untuk dilakukan.
77
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum
(Susunan I), Rajawali Press, Jakarta, 1996, hal. 170
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti dalam
bab-bab sebelumnya, akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan
oleh anak dalam perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto telah menerapkan unsur-unsur
Pasal 338 KUHP, unsur-unsur dalam pembunuhan biasa telah terpenuhi
yaitu :
1. Unsur subjektif : perbuatan dengan sengaja
2. Unsur objektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja
dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja
(opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja
yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu.
Unsur objektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya
pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan
menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa
tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
2. Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak
pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan oleh anak dalam
perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Hakim menggunakan pertimbangan hukum :
a. Dasar hukum Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Karena selama proses persidangan tidak ditemukan alasan-
alasan penghapus pidana dari Terdakwa, maka Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi
anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka
ancamannya ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada
orang dewasa.
B. Saran
Karena menyangkut nyawa manusia maka negara melalui alat
penegak hukum harus bertanggung jawab untuk memproses sesuai KUHP
dan UU Pengadilan Anak.
Hakim harus memperhatikan kepentingan anak, di bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di Lapas Khusus Anak, dengan
putusan yang bermanfaat dengan memperhatikan Pasal 64 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2001,
A.Gumilang, Kriminalistik, Bandung: Angkasa, 1993
Ade Maman Suherman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004
Anthon F. Susanto. Semiotika Hukum: dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. PT. Refika Aditama: Bandung, 2005
Anthony M. Platt. (1997). The Child Savers: the invention of Delinquency.
Chicago dan London: The University of Chicago Press. Second
Edition, Englanrge
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1992,
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra
Aditya Bakti: Bandung, 2002.
------------------------ Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Persfektif Kajian
Perbandingan. PT. Citra Aditya Bakti: Bandubng, 2005.
B.Simandjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial, Alumni, Bandung, 1981.
---------------. “Kriminologi.” Bandung : Tarsito, 1984
Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986,
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak
Pidana, Bandung: Armico, 1985,
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT. Remaja
RosdaKarya: Bandung, 2005.
Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, STHB Press, Bandung, 2005,
Esmi Warassih. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis. PT.
Suryandaru Utama: Semarang, 2005
Edwin H. Sutherland, Azas-Azas Kriminologi, Bandung,
G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1997
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003,
Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda karya:
Bandung, 1999.
M Hamdan. Politik Hukum Pidana. PT. Radja Grafindo Persada: Jakarta,
1997.
M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Remadja Karta, Bandung, 1984, hal 1.
Mardjonon Reksodipoetro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, 1993
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, PT. Refika
Aditama, 2008
Moeljatno, Asas-AsasHukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2002
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan
Masalahnya, Jakarta:Pradya Paramita, 1987.
Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan hukum Pidana Nasional. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2006.
P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni,
Bandung, 1982.
R Abdul Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. PT Radja Grafindo Persada:
Jakarta, 1993
Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju,
1997
-----------------------, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung,
1992.
R.Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana;Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus,Pelita, Bogor, 1974
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat,Angkasa Bandung 1986
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM,
Jakarta, 1990,
Sri Rahayu Sundari dalam Nashriana, Hukum Penitensier, UNSRI,
Palembang, 2005,
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung, 1981
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002
------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
-------------------------, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,
Angkasa, Bandung, 1980.
Soelaeman, Pendidikan dalam keluarga, Alfabeta, Bandung, 1994
Theo Huibers. Filsafat Hukum. Kanisius: Yogyakarta, 1995.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, As-syaamil Press &
Grafika, Bandung 2000. Hlm 202
Wagiati sutedjo, Hukum pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010
Warner J. Severin & James W. Tankard. Communication Theories; Origins,
Methods , and Uses in The Mass Media. Edisi ke-3 New York:
Longman, 1992.
Willis Sofyan S, Remaja dan Masalahnya, Alfabeta, Bandung, 2008,
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco,
Bandung, 1989.
Van Bemmelem. Hukum Pidana. PT Bina Cipta: Jakarta, 1986.
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural
Kriminologi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Unpad Press,
Bandung, 2004.
--------------------- & Adang. Pembaharuan Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2008.
Sumber Lain
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana dalam
Hukum pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 1969
Seminar Nasional “Optimalisasi Perlindungan Anak danTantangannya di
Indonesia”,Atas Kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta,
UNICEF dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Yogyakarta, 29
Oktober 2009
Dekdipbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Balai Pustaka,2005.
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
RUU-KUHAP
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
UU No.48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Rosmi Julitasari, Dukungan Lebih Manjur dari Hukuman, Http:
www.VHRmedia.com, diakses tanggal 26, maret 2012
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=kriminalitas
anak&&nomorurut_artikel=390, diakses melalui internet tanggal 26
desember 2012
http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses
melalui internet pada tanggal 26 desember 2012
Recommended