View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT
MASYARAKAT WONOSALAM
(Studi di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S. HI)
Oleh:
Choirul Anshoruddin. S NIM 03210088
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
APRIL, 2008
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap terhadap pengembangan
keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT
MASYARAKAT WONOSALAM
(Studi di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang)
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 19 April 2008
Penulis,
Choirul Anshoruddin. S NIM. 03210088
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Choirul Anshoruddin. S, NIM 03210088,
mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah
membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi,
maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT
MASYARAKAT WONOSALAM
(Studi di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang)
Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
majelis dewan penguji.
Malang, 19 April 2008
Pembimbing,
Drs. Roibin, M. HI NIP 150 294 456
iv
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT
MASYARAKAT WONOSALAM
(Studi di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang)
SKRIPSI
Nama : Choirul Anshoruddin. S Nim : 03210088 Jurusan : Ahwal Al-Syahshiyyah Fakultas : Syari’ah
Tanggal, 19 April 2008
Yang mengajukan
Choirul Anshoruddin. S 03210088/S-1
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Drs. Roibin M.HI. NIP.150 294 456
Mengetahui,
Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag. NIP. 150 216 425
v
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji saudara Choirul Anshoruddin. S, NIM 03210088, Mahasiswa
Fakultas Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul :
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT
MASYARAKAT WONOSALAM
(Studi di Desa Wonosalam Kec. Wonosalam Kab. Jombang)
telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Dewan Penguji :
1
Dr. Umi Sumbulah, M.Ag. NIP. 150 289 266
( ) (Penguji Utama)
2
Drs. Murtadho, MHI NIP. 150 368 792
( ) (Ketua Penguji)
3
Drs. Roibin, M. HI NIP 150 294 456
( )
(Pembimbing)
Malang, 19 April 2008 Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag
NIP. 150 216 425
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk
Orang-orang yang paling berjasa dalam hidupku
Yang telah memberikan arti bagi kehidupanku
1. Kepada orang tuaku Ayahanda H. Syaiful Hidayat dan Ibunda Hj. Dzur
Rohma Dengan kasih sayang, ketulusan dan doanya telah membekaliku untuk
mengarungi samudra kehidupan ini.
2. Adik Albin Badrus Surury, sebagai sumber semangat yang menjadikan hidupku
lebih berarti, semoga aku mampu membimbing kalian menjadi putra-putri
harapan dan kebanggaan keluarga.
3. Kepada guru-guruku yang telah memberikan ilmunya kepadaku.
4. Keluargaku semuanya yang turut serta memberikan do’a dan semangat selama
ini, menjadikan hidupku begitu indah dan bermakna.
5. Sahabat-sahabat sejatiku mustaqim, syaifuddin, arif om yusuf serta sahabat
kosku di joyosuko 60B terima kasih telah membuatku merasa percaya diri dan
tetap semangat .
6. Teman-teman di UKM Pagar Nusa yang membuatku merasa bangga menjadi
teman sehebat kalian, kalian lebih berarti daripada medali sekalipun.
Kupersembahkan
karya yang sederhana ini kepada kalian semua, doaku;
“Semoga Allah SWT. memberikan kekuatan dan kemampuan kepadaku
untuk bisa mewujudkan apa yang kalian titipkan selama ini
Dan semoga aku bisa membahagiakan kalian semua”
Amin Ya Robbal Alamin.
vii
MOTTO
��� ا ا���� ا�����
ة ما مل خيالف النصمالعادة حمك
"Adat kebiasaan bisa dijadikan Hukum
selama tidak bertentangan dengan nash”.
(Nasrun Haroen)
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrohim
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. dimana atas
limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan dibekali
kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah skripsi dengan
judul: Cok Bakal Dalam Pekawinan Adat Masyarakat Wonosalam (Studi di Desa
Wonosalam Kec. Wonosalam Kab. Jombang), yang masih jauh dari kesempurnaan
dan akan dijadikan persyaratan untuk memperoleh gelar S. HI (Sarjana Hukum
Islam).
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, shahabat dan para pengikutnya, yang
telah membawa petunjuk kebenaran bagi seluruh umat manusia yaitu Ad-Dinul Islam
dan yang kita harapkan safa’atnya di dunia dan di akhirat.
Dalam penulisan skripsi ini banyak yang telah membantu penulis
menyelesaikan dan menjadikan sebuah karya ilmiah, oleh karena itu sudah
sewajarnya jika penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri Malang (UIN).
3. Roibin M.HI, selaku dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktunya
dengan sabar untuk memberikan bimbingan, kritikan, pengarahan dan motivasi
dalam penulisan skripsi ini.
4. Ayahanda dan ibunda tercinta, H. Syaiful Hidayat dan Hj. Dzur rohma yang telah
memberikan dorongan moral maupun spiritual dengan curahan kasih sayang dan
ix
do’anya kepada peneliti dalam menuntut ilmu. Serta adik-adikku Albin Badrus
Surury, sebagai sumber semangatku.
5. Kepada guru-guruku yang telah memberikan ilmunya kepadaku, semoga Allah
membalas kebaikanmu semua.
6. Pejabat daerah penelitian setempat yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungannya.
7. Sahabat-sahabat sejatiku Syaifuddin, Mustaqim, Arif Prof, Match Stick, Ubed,
om Yusuf, Surur, Nanang, Zigzag 45, serta sahabat kosku Joyo Suko 60B
khususnya sahabat UKM Pagar Nusa yang tidak pernah bosan-bosan
membantuku dan TETAP SEMANGAT & TETAP KOMPAK.
8. Semua keluarga dan pihak yang telah turut serta dalam membantu terselesainya
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangan di sana sini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik saran
yang membangun demi perbaikan karya tulis selanjutnya. Mudah-mudahan tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga khususnya penulis pribadi.
Malang, 12 Februari 2008
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Pernyataan Keaslian Skripsi............................................................................. ii
Halaman Persetujuan Pembimbing .................................................................. iii
Halaman Persetujuan ....................................................................................... iv
Halaman Pengesahan ....................................................................................... v
Halaman Persembahan..................................................................................... vi
Motto................................................................................................................ vii
Kata Pengantar ................................................................................................. viii
Daftar Isi.......................................................................................................... x
Daftar Transliterasi........................................................................................... xiii
Daftar lampiran ................................................................................................ xv
Abstrak ............................................................................................................. xvi
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 5
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
D. Batasan Masalah.......................................................................... 6
E. Definisi Operasional.................................................................... 7
F. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
G. Kegunaan Penelitian.................................................................... 8
H. Sistematika Pembahasan ............................................................. 9
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11
A. Penelitian Terdahulu ................................................................ 11
B. Pengertian Tradisi, Tipe dan Maknanya Bagi Masyarakat. 13
1. Pengertian Tradisi ................................................................. 13
2. Pernikahan Adat Jawa........................................................... 15
3. Makna Tradisi Bagi Masyarakat ........................................... 26
xi
C. Perkawinan Menurut Hukum Islam ....................................... 28
1. Pengertian Pernikahan Dalam Islam ..................................... 28
2. Rukun Dan Syarat Pernikahan .............................................. 29
3. Larangan Pernikahan Dalam Islam ....................................... 31
BAB III: METODE PENELITIAN .......................................................... 42
1. Paradigma Penelitian............................................................. 43
2. Jenis dan Pendekatan Penelitian............................................ 43
3. Sifat Penelitian ...................................................................... 45
4. Sumber Data......................................................................... 45
5. Metode Pengumpulan Data.................................................. 47
6. Metode Pengolahan Data ..................................................... 48
7. Metode Analisis Data........................................................... 49
BAB IV: PAPARAN DAN ANALISIS DATA ......................................... 50
A. Kondisi Objektif Masyarakat Wonosalam ............................. 50
1. Keadaan Geografis ................................................................ 50
2. keadaan penduduk................................................................. 52
3. Keadaan pendidikan...............................................................54
4. Keadaan keagamaan...............................................................55
5. Kondisi sosial kuktural masyarakat........................................56
B. Tradisi Cok Bakal Dalam Perkawinan Masyarakat
Islam Wonosalam Jombang.................................................. 57
1. Bagaimana Pandangan Masyarakat Wonosalam Terhadap
Tradisi Perkawinan Cok Bakal.............................................. 57
2. Dampak Diamalkannya Tradisi Cok Bakal Bagi Masyarakat
Wonosalam............................................................................ 63
xii
C. Analisis Data.................................................................................68
1. Pandangan Masyarakat Wonosalam Terhadap Tradisi
Cok Bakal.................................................................................68
2. Dampak Diamalkannya Tradisi Cok Bakal Bagi Masyarakat
Wonosalam............................................................................ ..78
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... ..83
A. Kesimpulan................................................................................ ..83
B. Saran-saran................................................................................ ..84
DAFTAR PUSTAKA
xiii
TRANSLITERASI
Di dalam naskah ini banyak di jumpai nama dan istilah teknis yang berasal dari
bahasa Arab dengan huruf Latin. Pedoman yang digunakan untuk penulisan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
th ط Tidak dilambangkan ا
dh ظ b ب
(koma terbalik) ‘ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
y ي sy ش
,t (bila ditengah kalimat) ة sh صh (bila diakhir kalimat)
dl ض
xiv
ا/ ء= Apabila terletak diawal mengikuti vokal, tapi apabila terletak ditengah
atau diakhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (’ ),
berbalik dengan koma (‘ ) pengganti lambang “ع”.
2. Vokal, Panjang Dan Diftong
Vokal Panjang Diftong (misal)
a
i
u
= Fathah
= Kasrah
= Dlommah
â
î
û
= a panjang
= i panjang
= u panjang
ــ�
ــ�ــ
= aw
= ay
xv
ABSTRAK
Choirul Anshoruddin. S 2008. Cok Bakal Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Wonosalam (Studi di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang). Skripsi. Jurusan Ahwal Ash-Syakhsiyyah. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Drs. Roibin M.HI.
Kata Kunci: Tradisi, Cok Bakal, Perkawinan Adat Jawa.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara, bahkan keluarga mereka masing-masing. Cok Bakal di desa Wonosalam sudah menjadi tradisi yang wajib untuk diamalkan. Pembuatan sesajen dan sepen merupakan sebuah media untuk meminta restu kepada leluhur agar kedua mempelai dan masyarakat sekitar dijauhkan dari mara bahaya yang akan menimpa. Ini yang kemudian peneliti rasa menjadi penting untuk diketahui lebih jauh, hingga pantas kiranya untuk ditelusuri: 1) Bagaimana pandangan masyarakat Wonosalam terhadap tradisi Cok Bakal? 2) Apakah tradisi Cok Bakal memiliki dampak langsung bagi perkawinan adat masyarakat Wonosalam?
Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial dengan jenis penelitian deskriftif kualitatif sebagai pendekatan, serta deskriptif analitik sebagai sifatnya. Sedangkan sumber data berupa data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian diolah melalui tiga tahapan yaitu editing, classifaying dan verifying. Selanjutnya data dianalisis dengan mengunakan teori interaksi simbolik dengan mengamati aktifitas manusia seperti komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna, sehingga dapat menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat yang tidak perlu dikuantifikasi.
Adapun hasil dari penelitian ini antara lain bahwa dalam memandang tradisi Cok Bakal masyarakat Wonosalam beranggapan bahwa ini merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dilestarikan dan wajib untuk dilaksanakan. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan alasan karena tradisi tersebut sedikit menyimpang dari ajaran Islam. Sedangkan faktor-faktor penyebab tradisi ini tetap eksis yaitu: karena faktor kebersamaan dan kemaslahatan, adanya rasa patuh terhadap orang tua dan leluhur, terjadinya musibah yang berimplikasi bagi yang tidak melaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan kontribusi dilaksanakannya tradisi Cok Bakal bagi masyarakat Wonosalam semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan untuk mempererat hubungan dalam bermasyarakat. Karena dengan dilaksanakannya tradisi Cok Bakal ini secara tidak langsung akan semakin mempererat tali silatur rahim antara penduduk yang satu dengan yang lain dan akan semakin membangun rasa gotong royong sesama pelaku tradisi atau kebudayaan.
xvi
COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT
WONOSALAM JOMBANG
(Studi Di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang)
1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Cok Bakal.
2. Apakah Cok Bakal merupakan adat murni masyarakat Desa Wonosalam.
3. Sejak kapan acara Cok Bakal mengakar dimasyarakat Desa Wonosalam.
4. Kapan pelaksanaan Cok Bakal digelar.
5. Dari manakah sumber nilai adat Cok Bakal.
6. Bagaimana prosesi seremoni adat Cok Bakal.
7. Apa saja sarana yang dibutuhkan untuk menggelar tradisi adat Cok Bakal.
8. Mengapa masyarakat masih mengamalkan adat lokal disamping mengamalkan
ajaran Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya.
9. Apa makna filosofis yang terkandung di dalam Cok Bakal sehingga
pengamalannya tetap dipertahankan.
10. Bagaimanakah pandangan atau pemaknaan masyarakat Wonosalam terhadap cok
bakal yang selalu diamalkan sebagai tradisi lokal.
11. Adakah sanksi moral, atau sanksi hukum serta sanksi sosial yang didapat
seseorang sebagai akibat tidak diamalkannya Cok Bakal sebagai budaya lokal.
12. Apakah Cok Bakal sejalan dengan Islam ataukah sebaliknya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan akad yang paling sakral dan agung dalam sejarah
perjalanan hidup manusia yang dalam Islam disebut sebagai mîtsâqan ghalîdhan
yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.1 Adapun kata nikah/kawin menurut arti asli ialah hubungan
seksual tetapi menurut arti majzi (mathaporic) atau arti hukum ialah aqad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dengan seorang wanita.2
1Kompilasi Hukum Islam Bab II Tentang Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2. 2Idris Ramulyo (1996). Tinjauan Beberapa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta; Ind-Hillco. Hal. 1
1
2
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Perkawinan merupakan suatu
dambaan setiap manusia, sebagai umat Islam kita telah dianugrahi oleh Allah swt
pasangan dalam mengarungi kehidupan di muka bumi ini. Jika kita telah merasa
mampu, maka hendaklah kita cepat menikah sesuai dengan anjuran Rasulullah dan
melangsungkan proses ikatan formal antara calon suami dan istri. Karena dengan
pernikahan yang baru saja dilakukan oleh kedua pasangan ini bahtera rumah tangga
dapat tewujud. Dan sejak itulah tanggung jawab orang tua telah tuntas yaitu yang di
mulai dari melahirkan, merawat, membesarkan, menyekolahkan serta menikahkan.
Sejak itulah tanggung jawab seorang suami terhadap istrinya dimulai.
Adapun hadis dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. bersabda:4
�ات ا�� �� ��� ��اك���� ا���أ ة � ر� ���� �� !� و�&%$!� و�#���!� و����!� � �
Artinya: "Orang berkawin kepada perempuan, karena empat perkara: karena hartanya, dan karena kecantikannya dan karena agamanya. Oleh karena itu, dapatilah perempuan yang mempunyai agama, (karena jika tidak) binasalah dua tanganmu".
Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan
oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Allah SWT berfirman:
z≈≈≈≈ yy yyssss öö öö6666 ßß ßß™™™™ ““““ ÏÏ ÏÏ%%%% ©© ©©!!!! $$ $$#### tt tt,,,, nn nn==== yy yy{{{{ yy yyllll≡≡≡≡ uu uuρρρρ øø øø———— FF FF{{{{ $$ $$#### $$$$ yy yyγγγγ ‾‾ ‾‾==== àà àà2222 $$$$ ££ ££ϑϑϑϑ ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ àà ààMMMM ÎÎ ÎÎ7777 // //ΨΨΨΨ èè èè???? ÞÞ ÞÞÚÚÚÚ öö öö‘‘‘‘ FF FF{{{{ $$ $$#### ôô ôô ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ uu uuρρρρ óó óóΟΟΟΟ ÎÎ ÎÎγγγγ ÅÅ ÅÅ¡¡¡¡ àà àà����ΡΡΡΡ rr rr&&&& $$$$ ££ ££ϑϑϑϑ ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ uu uuρρρρ ŸŸ ŸŸωωωω tt ttββββθθθθ ßß ßßϑϑϑϑ nn nn==== ôô ôôèèèè tt ttƒƒƒƒ ∩∩∩∩⊂⊂⊂⊂∉∉∉∉∪∪∪∪
3Undang-undang perkawinan di Indonesia. Surabaya; Arkola. Hal. 5 4A, Ahmad (1978), Bulughul Maram. Bandung: CV. Diponogoro. Hal. 483
3
Artinya: "Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui".
ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ uu uuρρρρ ÈÈ ÈÈ ee ee≅≅≅≅ àà àà2222 >> >> óó óó xx xx«««« $$$$ oo ooΨΨΨΨ øø øø)))) nn nn==== yy yyzzzz ÈÈ ÈÈ ÷÷ ÷÷ yy yy` ÷÷ ÷÷ρρρρ yy yy———— ÷÷ ÷÷//// ää ää3333 ªª ªª==== yy yyèèèè ss ss9999 tt ttββββρρρρ ãã ãã���� ©© ©©.... xx xx‹‹‹‹ ss ss???? ∩⊆∪
Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah".
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria
bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya,
bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Sementara itu, dalam hukum adat perkawinan bukan hanya merupakan
peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga
merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian
dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah
para leluhur kedua belah pihak beserta seluruh keluarga mengharapkan juga restunya
bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah nikah selanjutnya dapat hidup
rukun bahagia sebagai suami istri sampai "kaken-kaken ninen-ninen" (istilah jawa
yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan isteri menjadi nini-nini yang
bercucu-cicit). Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya,
maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai
macam upacara lengkap dengan "sesajen-sesajennya". Ini semua barangkali dapat
dinamakan takhayul, tetapi ternyata sampai sekarang hal-hal itu sangat meresap pada
4
kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap
dilakukan dimana-mana. 5
Seperti yang ada di Jombang tepatnya di Desa Wonosalam Kecamatan
Wonosalam Kabupaten Jombang, terdapat prosesi seremoni yang sangat menarik
yang salalu diselenggarakan sebelum akad nikah oleh mayoritas masyarakat Desa
Wonosalam. Seremoni tersebut di kenal dengan Cok Bakal.6
Cok Bakal secara sederhana dapat diartikan sebagai Tradisi melakukan ritual-
ritual tertentu sebelum dilaksanaknnya perkawinan, seperti melakukan sesajen serta
do’a kepada arwah leluhur. Secara analitis kata Cok Bakal di ambil dari kata Cikal
Bakal karena dalam seremoni tersebut ada dua hal yaitu:
a) Mengadakan acara tasyakuran dan ruwatan kepada calon
pengantin/mempelai,
b) Mengirim doa kepada arwah para leluhur yang telah menggunakan Cok Bakal
sebagai tradisi sebelum melakukan perkawinan.7
Adapun tradisi yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di desa
Wonosalam sangatlah kental, sehingga sudah selayaknya kita sebagai makhluk sosial
untuk menghormati dan menghargai adanya kepercayaan semacam itu. Karena kita
sebagai manusia memang tidak dapat hidup sendiri. Sedangkan adat kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat Wonosalam sebelum acara perkawinan dilangsungkan,
tuan rumah yang akan menyelenggarakan hajat perkawinan akan datang kepada para
tetangga-tetangga yang berada disekitarnya untuk dapat membantunya dalam
mempersiapkan segala sesuatunya dalam hajat perkawinan anaknya tersebut, yang
5Soerojo Wignjodipoero (1995) Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Hal. 122. 6Herlambang, Wawancara (Carang Wulung Wonosalam Jombang, 10 Oktober 2006) 7Pardi, Wawancara (Tukum Wonosalam Jombang, 10 Oktober 2006)
5
berupa bantuan tenaga seperti yang dikenal pada masyarakat Jawa yaitu ”rewang”.
Sebelum perkawinan di desa Wonoalam dilaksanakan, mereka melakukan tradisi
Cok Bakal yaitu yang mempunyai arti: " Tradisi melakukan ritual-ritual tertentu
sebelum dilaksanaknnya pernikahan, seperti melakukan sesajen serta do’a kepada
arwah leluhur. Asal-muasalnya dinamakan Cok Bakal adalah tradisi yang dipakai
dan digunakan para leluhur untuk keselamatan orang yang akan melaksanakan
perkawinan dan warga setempat, sehingga bila ada salah satu diantara mereka yang
mempunyai hajat perkawinan mereka harus melakukan ritual Cok Bakal (sesajen)
tersebut. 8
Penelitian ini menjadi penting bagi peneliti khususnya dan bagi orang yang
masih memperhatikan hukum Islam sehingga perlu dilakukan karena menyangkut
eksistensi hukum perkawinan Islam khususnya di desa Tukum Wonosalam Jombang.
Penelitian ini berorientasi kepada mencari klarifikasi dalam melihat fenomena Cok
Bakal yang terjadi sebelum acara perkawinan. Apakah perkawinan tersebut memang
tidak dipermasalahkan di sana, ataukah ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi
mengapa tradisi tersebut masih ada hingga saat ini, ataukah ada makna lain di balik
tradisi Cok Bakal itu masih dilakukan hingga saat ini.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah ialah mengemukakan beberapa masalah yang mungkin
timbul dari tema penelitian.9
8Mulyono, Wawancara (Tukum Wonosalam Jombang, 14 Oktober 2006) 9Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2001), 35.
6
Memahami latar belakang masalah di atas, maka akan muncul beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses dilakukannya tradisi Cok Bakal dalam perkawinan di desa
Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang?
2. Bagaimana pendapat tokoh masyarakat dan warga Desa Wonosalam
Kecamatan. Wonosalam Kabupaten. Jombang?
3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam tentang tradisi Cok Bakal di desa
Wonosalam Kecamatan Wonosalam Kabupten Jombang?
4. Bagaimana dampak atau manfaat tradisi Cok Bakal bagi perkawinan Adat
masyarakat Wonosalam
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pandangan Masyarakat Wonosalam Terhadap Tradisi Cok Bakal?
2. Apakah Tradisi Cok Bakal Memiliki Dampak Bagi Perkawinan Adat
Masyarakat Wonosalam?
D. Batasan masalah
Membatasi masalah ialah suatu kegiatan melihat bagian demi bagian dari
masalah-masalah yang ada dan mempersempit lingkupnya sehingga dapat dipahami
secara benar.10
10Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset (Jakarta: Fajar Agung, 1989), 28.
7
Nana Sudjana memberikan definisi batasan masalah yaitu, menetapkan satu
atau dua masalah dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi serta ruang
lingkupnya.11
Pembatasan dalam masalah penelitian ini adalah melihat beberapa masalah
yang ada dalam identifikasi masalah kemudian memilih beberapa masalah yang akan
dijadikan rumusan masalah.
Masalah-masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah seputar
pendapat masyarakat tentang tradisi Cok Bakal dan hal-hal yang melatarbelakangi
sehingga tradisi Cok Bakal itu dilakukan.
Untuk kepentingan pembatasan masalah, maka penulis merasa perlu untuk
mencantumkan definisi konseptual dari judul penelitian ini, sebagai berikut:
Cok Bakal adalah tradisi melakukan ritual-ritual tertentu sebelum dilaksanakannya
pernikahan.
E. Definisi Operasional
1. Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun.12
2. Cok Bakal adalah suatu adat atau kebiasaan yang diyakini masyarakat
Wonosalam, bahwasanya jika tidak dilakukan ritual-ritual tertentu sebelum
dilaksanaknnya pernikahan, seperti melakukan sesajen serta do’a kepada
arwah leluhur, maka hal ini tidak dibolehkan karena diyakini adanya petaka
yang akan menimpa anggota keluarganya.
11Nana Sudjana, Op. Cit., 35. 12 M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994 ),756
8
F. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ialah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu
hal yang hendak diperoleh setelah penelitian selesai dilakukan.13
Hal-hal yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah tersebut yang telah
dipaparkan diatas. Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui pendapat tokoh masyarakat tentang tradisi Cok Bakal di
desa Wonosalam Wonosalam Jombang
2. Untuk mengetahui Dampak digunakannya tradisi Cok Bakal bagi
masyarakat Wonosalam
G. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dalam menyikapi realita yang ada di masyarakat.
b. Dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya demi pengembangan
khazanah keilmuan yang berkaitan dengan hukum Islam sebagai
fenomena dan realita sosial.
13Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 2002). Hal. 51.
9
2. Secara praktis
a. Untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat Islam di wilayah
Kabupaten Jombang khususnya masyarakat Wonosalam tentang tradisi
Cok Bakal sesuai hukum Islam.
b. Sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi hal-hal di masyarakat
terhadap tradisi Cok Bakal yang sesuai dengan hukum Islam.
H. Sistematika Pembahasan
Sebelum penulis mengeksplorasi lebih jauh lagi, penulis akan menguraikan
sistematika pembahasan dalam penelitian ini, dengan harapan akan mempermudah
dalam memahami alur dan isi yang termaktub di dalamnya. Adapun perinciannya
adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: Pendahuluan, dalam bab satu ini dibahas
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Tinjauan Pustaka yang berisi: bahasan mengenai pertama penelitian
terdahulu, pengertian tradisi, tipe dan maknanya bagi masyarakat,
mengemukakan gambaran umum tentang perkawinan dalam hukum Islam
yang memuat: pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, asas
perkawinan, tujuan perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, dan larangan
perkawinan. Dan yang kedua mengemukakan gambaran umum tentang
perkawinan menurut hukum adat istiadat (‘urf) dalam hukum islam yang
10
memuat: definisi adat istiadat (‘urf) , macam-macam adat istiadat (‘urf),
kehujjahan adat istiadat (‘urf) dan peranannya dalam hukum Islam.
Bab III Metode Penelitian, yang terdiri dari: jenis dan pendekatan penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik
analisis data.Pradigma, Pendekatan, dan Jenis Metode Penelitian, jenis dan
Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data.
Pada umumnya dalam penelitian lapangan (sosiologis), Metode Penelitian
akan diletakkan pada bab III setelah Tinjauan Pustaka.
Bab IV Paparan dan Analisis Data, berisi tentang: kondisi objektif lokasi penelitian,
pendapat tokoh masyarakat setempat tentang tradisi Cok Bakal, dan faktor-
faktor yang melatarbelakangi ditaatinya tradisi perkawinan “Cok Bakal” di
masyarakat Wonosalam dan tinjauan ‘Urf terhadap tradisi perkawinan “Cok
Bakal ” di masyarakat Wonosalam.
Bab V Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
Dalam sekmen ini peneliti akan membahas tentang hal-hal yang
berhubungan dengan hasil penelitian sesuai dengan apa yang ada pada
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian. Kemudian akan
dipaparkan tentang saran-saran untuk tokoh dan warga masyarakat di desa,
serta memuat beberapa usulan bagi kaum intelektul dan para peneliti yang
lain di Desa Wonosalam Kec Wonosalam Kab Jombang.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang tradisi dalam ruang lingkup perkawinan, dapat dikatakan
telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adalah sangat penting untuk
meletakkan satu perbedaan dengan peneliti terdahulu untuk menjamin orisinilitas
hasil karya penulis ini. Adapun sebagian peneliti tersebut adalah:
Muhammad Subhan pada tahun 2004 dengan judul “Tradisi Perkawinan
Masyarakat Jawa Di Tinjau dari Hukum Islam (Kasus di Kelurahan Kauman Kec.
Mojosari Kab. Mojokerto)” adat yang diteliti adalah Petungan/ petung bulan untuk
mantu yaitu pemilihan bulan untuk menentukan bulan tertentu untuk melangsungkan
pernikahan. Adapun hasil penelitian ini adalah: Bagi sebagian masyarakat Jawa yang
mempunyai hajat perkawinan tidak hanya melakukan perkawinan begitu saja, tetapi
11
12
ada proses yang sangat menarik yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan
membawa keberuntungan dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan
bahagia bersama pasangannya. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua
yang diawali dengan kebaikan, maka yang akan didapatkan pun baik. Pemilihan
bulan yang disandarkan pada “petungan” sebenarnya tidak bertentangan dengan
syari’at Islam karena sebagian sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Penelitian yang dilakukan oleh Choirul dengan judul "Hukum Perkawinan Adat Di
Tinjau Dari Sudut Hukum Islam (Studi Kasus Di Daerah Samin Desa Jipang
Kecamatan Cepu Kabupaten Blora)”. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti
tentang hukum perkawinan adat khususnya pada masyarakat Samin Desa Jipang
Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, yang mana dalam melakukan perkawinan mereka
memiliki adat dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan. Dan dari situ penulis
ingin meneliti apakah peraturan-peraturan perkawinan adat di daerah Samin tersebut
dapat diakui sebagai suatu hukum. Selain itu juga meneliti tentang faktor-faktor yang
menghambat dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam, serta proses
pelaksanaan perkawinannya. Metode pengumpulan data yang digunakan penulis
adalah metode wawancara, observasi dan dokumenter. Penulis melakukan penelitian
dengan bentuk studi kasus, lapangan dengan berpedoman pada metode deduksi,
induksi, komparasi dan dokumenter. Dan menggunakan pendekatan perspektif
dengan melalui konsep-konsep yang bersumber dari petunjuk ajaran agama Islam.14
Penelitian yang dilakukan oleh Wasid dengan judul "Prosesi Perkawinan Adat
Sunda Perspektif Fiqih (Studi Di Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi
14Abdul Wasid, Hukum Perkawinan Adat Di Tinjau Dari Sudut Hukum Islam (Studi Kasus Di Daerah
Samin Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora) (Syari’ah: UIN MALANG, 2005), NIM: 00210097
13
Tengah Kabupaten Bandung)”. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin meneliti
tentang prosesi perkawinan adat sunda yang di tinjau dari fiqih. Di kelurahan Karang
Mekar Kecamatan Cimahi Tengah Kabupaten Bandung memiliki adat dalam
pelaksanaan pernikahan mulai dari peminangan sampai acara puncak yakni
walimahan. Untuk mendukung keutuhan penelitian ini peneliti menggunakan metode
interview dan dokumentasi, sebagai bahan kajian teori, sedangkan untuk menganalisa
data yang telah terkumpul peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu
analisis yang dilakukan dengan cara mengamati langsung ke lapangan. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa tidak semua proses pelaksanaan perkawinan adat
Sunda sesuai dengan hukum Islam.15
Berdasarkan dari beberapa penelitian terdahulu belum ada yang
memfokuskan pada tema yang akan penulis teliti. Dan untuk penelitian yang
dilakukan oleh penulis, memfokuskan pada penelitian “Cok Bakal Dalam
Perkawinan Adat Masyarakat Wonosalam” (Studi di Desa Wonosalam Kecamatan
Wonosalam Kabupaten Jombang).
B. Pengertian Tradisi, Tipe dan Maknanya Bagi Masyarakat
1. Pengertian Tradisi
Pembahasan mengenai masalah tentang seputar pengertian tradisi,
Titik Insyiroh dalam Skripsinya menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-
hari, istilah tradisi sering di pergunakan. Ada tradisi jawa, tradisi kraton,
15Choirul Istiqomah, Prosesi Perkawinan Adat Sunda Perspektif Fiqih (Studi Di Kelurahan Karang
Mekar Kecamatan Cimahi Tengah Kabupaten Bandung), (Syari’ah: UIN MALANG, 2002), NIM: 97250025.
14
tradisi petani, tradisi pesantren dan lain-lain. Sudah tentu masing-masing
dengan identitas arti dan kedalaman makna tersendiri, tetapi istilah “tradisi” ,
biasanya secara umum di maksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai,
norma dan adat kebiasaan yang berbau lama, dan yang lama tersebut hingga
kini masih di terima, diikuti bahkan di pertahankan oleh kelompok
masyarakat tertentu.16
Menurut khazanah bahasa indonesia, tradisi berarti segala sesuatu
seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek
moyang. Ada pula yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata
traditium, yaitu segala sesuatu yang di transmisikan, diwariskan oleh masa
lalu ke masa sekarang. Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah bahwa
tradisi, intinya adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga
sekarang. Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola
kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek
kehidupan.17
Menurut Hasan Hanafi, tradisi (turats) adalah segala warisan masa
lampau (baca tradisi) yang sampai kepada kita dan masuk kedalam
kebudayaan yang sekarang berlaku. Dengan demikian, bagi Hanafi turats
tidak hanya merupakan persoalan meninggalkan sejarah, tetapi sekaligus
merupakan persoalan kontribusi jaman kini dalam berbagai tingkatannya.18
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia
16Titik Insyiroh, Tradisi Siaran Bawaan Pada Pesta Pernikahan, "Skripsi", (Malang: UIN, 2006) 10 17Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Al- Ikhlas, 1990)hal: 23 18Moh Nur Hakim, Islam Tradisi Dan Reformasi “Pragmatisme”Agama Dalam Pemikiran Hasan Hanafi, (Malang: Bayu Media publishing, 2003) hal: 29
15
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih
berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara
tentang tradisi Islam atau tradisi kristen secara tidak sadar ia sedang
menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau
ribuan tahun yang lalu, tetapi masih hadir dan malah tetap berfungsi sebagai
pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Ajaran Islam atau Kristen
tersebut masih berfungsi hingga saat ini, karena adanya proses pewarisan
sejak awal berdirinya ajaran tersebut, melewati berbagai kurun generasi dan
diterima oleh generasi sekarang. Oleh karena itulah tradisi dalam pengertian
yang paling elementer adalah sesuatu yang di transmisikan atau di wariskan
dari masa lalu ke masa kini.19
Dari sini Penulis memahami tradisi “Cok Bakal” sebagai tradisi yang
diwariskan sejak masa nenek moyang dan di pertahankan sampai saat ini,
sehingga penulis merasa perlu memaparkan tentang definisi tradisi tersebut.
2. Pernikahan Adat Jawa
a. Makna dan Tujuan Pernikahan Bagi Masyarakat
Pernikahan merupakan satu hal yang sangatlah sakral, agung dan
monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu pernikahan bukan hanya
sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur, untuk
membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah antara laki-laki
dan perempuan. Namun juga memiliki arti yang sangat mendalam dan luas
19M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi Dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta: Adi Cita Karya nusa, 1998) hal: 4
16
bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera kehidupan seperti yang dicita-
citakannya.
Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana
dari pasangan tersebut akan terlahir keturunan-keturunan yang pada akhirnya
mengisi dan mengubah warna kehidupan dunia ini.
Pernikahan menurut masyarakat Jawa adalah hubungan cinta kasih yang
tulus antara seorang pemuda dan pemudi, yang pada dasarnya terjadi karena
sering bertemu antara kedua belah pihak, yakni perempuan dan laki-laki.
Dalam suatu pepatah jawa mengatakan "tresno jalaran soko kulino" yang
artinya cinta kasih itu tumbuh karena terbiasa. Dalam hukum adat,
pernikahan selain merupakan suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami istri, yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan
membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga
berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak istri dan pihak suami.20
Terjadinya pernikahan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk
dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun
dan damai.21 Dalam buku “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat” Soerojo
Wignjodipoero mengatakan bahwa pernikahan merupakan peristiwa yang
sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, karena pernikahan itu
20Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat.(Bandung: Citra Aditiya Bakti. 1995) hal. 69 21Ibid., 69.
17
tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan saja, namun juga
melibatkan orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga-keluarga mereka masing-masing.22 Selain itu dalam pelaksanaan
pernikahan adat, terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan suatu budaya
yang selalu dilakukan, yang mana ini sudah dilakukan sejak dulu. Dari situ
dapat diartikan bahwa campur tangan dari orang tua sangatlah berpengaruh.
Meskipun demikian pihak orang tua masih menginginkan agar dalam
mencari jodoh, anak-anak mereka memperhatikan beberapa hal sebagaimana
dikatakan orang Jawa “bibit, bobot, dan bebet” dari si laki-laki atau
perempuan yang bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal dari
keturunan yang baik, yang dapat dilihat dari sifat watak perilaku dan
kesehatannya, sebagaimana keadaan orang tuanya, apakah anak itu bukan
anak nakal dan sebagainya. Dan bagaimana pula bobotnya, harta kekayaan
dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya, apakah anak itu bukan anak
yang tidak jelas asal usulnya dan sebagainya. Bagaimana pula bebetnya yakni
apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik.23
Dalam pernikahan adat jawa juga dikenal adanya selamatan dan ritual
kebudayaan seperti yang di jelaskan oleh Ijmaliyah dalam skripsinya
menjelaskan bahwa selamatan adalah suatu upacara makan yang terdiri atas
sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa. Selamatan merupakan
peristiwa yang sangat sederhana yang mana peserta upacara selamatan
22Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 1995) Hal. 122. 23Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hal. 70
18
memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka sebagai
makhluk sosial.24
Adapun tujuan selamatan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera,
aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus atau untuk
mencapai keselamatan hidup. Bahkan, dari berbagai jenis selamatan,
sebagaimana yang telah dilukiskan oleh Dr. Geertz, dapat diselenggarakan
hanya untuk memenuhi ketentuan adat budaya daerah, oleh karena dalam
keadaan-keadaan tertentu orang diharapkan untuk mengadakan upacara-
upacara tertentu. Dengan kata lain, banyak sekali ritual keagamaan telah
melalui proses perubahan dan menjadi pola-pola yang sekuler, oleh karena itu
ritual-ritual tersebut masih diharuskan akan tetapi sudah kehilangan isi
keagamaannya. Dengan cara itu beberapa selamatan yang dilakukan di desa-
desa yang tadinya bersifat keagamaan telah berubah menjadi selamatan adat.
Hal ini bertujuan untuk mempererat kesetiakawanan kelompok, untuk
menyebarkan kabar gembira, untuk memperoleh legitimasi bagi usaha-usaha
tertentu serta sebagai rasa syukur (pemujaan terhadap Tuhan). Menurut Mark
Woodward bahwa ritual selamatan disamping untuk memenuhi ketentuan
adat juga sebagian besar didalamnya terkandung doa-doa Islami yang diambil
dari sumber kitab-kitab Islam dan atas dasar aksesori Jawa-lokal.25
Menurut teori antropologi kebudayaan, bila kita memperhatikan suatu
masyarakat, maka dapat dilihat bahwa para warganya, walaupun mempunyai
sifat-sifat individual yang berbeda, akan memberi reaksi yang sama pada
24Ijmaliyah, Mitos ”Segoro Getih” Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Atau Isteri Di
Masyarakat Ringinrejo Kediri (Studi Akulturasi Mitos Dan Syari’at), (Syari’ah: UIN MALANG, 2002) hal. 15
25Ibid., 33-34.
19
gejala-gejala tertentu. Sebab dari reaksi yang sama itu adalah karena mereka
memiliki sikap-sikap umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku
yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang dalam antropologi
budaya dinamakan kebudayaan. Kebudayaan menjadi milik manusia melalui
proses belajar, bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang dimiliki bersama
dalam suatu masyarakat tertentu.26 Dalam setiap masyarakat disamping
terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga
terdapat pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga
masyarakat harus dilakukan, atau norma-norma. Dalam kenyataannya norma
dalam banyak hal tidak sesuai dengan perilaku aktual.27
Konsep daerah kebudayaan menurut teori antropologi adalah suatu
daerah kebudayaan atau culture area merupakan suatu penggabungan atau
penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku
bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna
mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa.28
Sistem penggolongan daerah kebudayaan yang sebenarnya merupakan
suatu sistem klasifikasi yang mengklasifikasikan beraneka warna suku bangsa
yang terbesar disuatu daerah atau benua besar, kedalam golongan
berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini
untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam hal penelitian analisa atau
26T.O.Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 13. 27TH.Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980), 18. 28Abdurrahmat Fathoni, Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2006), 52-53.
20
penelitian komperatif dari suku-suku bangsa di daerah atau benua yang
bersangkutan.29
b. Asas-Asas dalam Pernikahan Adat Jawa
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa pernikahan itu bukan
hanya berarti suatu ikatan suami istri saja, akan tetapi merupakan suatu ikatan
yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta
membina kehidupan rumah tangga. Yang dari situ akan kita ketahui bahwa
pernikahan itu bukan hanya merupakan hubungan antara suami istri saja
tetapi menyangkut hubungan para anggota kerabat baik dari pihak suami dan
pihak istri. Dan dari hubungan tersebut akan menghasilkan keturunan yang
sah menurut hukum Islam, Negara dan hukum adat, dan ini sesuai dengan
asas-asas pernikahan menurut hukum adat yakni sebagai berikut:
1. Pernikahan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai bahagia dan kekal.
2. Pernikahan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan
atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat.
3. Pernikahan juga harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang
tidak diakui masyarakat adat.
4. Pernikahan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum
cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup
umur pernikahan harus berdasarkan izin orang tua / keluarga dan kerabat.
29Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1 (Jakarta: UI-Press, 1987), 110.
21
5. Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan.
Karena akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perceraian adalah pecahnya
hubungan kekerabatan antara dua keluarga. 30
c. Syarat-Syarat Pernikahan Adat Jawa
Sahnya suatu pernikahan menurut hukum adat Jawa dapat dilaksanakan
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Wali, orang tua dari mempelai perempuan yang akan menikahkannya
atau dapat digantikan dengan saudara kandung yang laki-laki dan juga
wali hakim apabila orang tuanya sudah meninggal
4. Perangkat desa yang kedatangannya dianggap sebagai saksi atas
pernikahan tersebut.
5. Saksi, diambil dari suara dari kedua mempelai masing-masing.
6. Keluarga kedua belah pihak, yang mana harus hadir ketika diresmikan
sebuah pernikahan tersebut untuk memberikan restu terhadap kedua
mempelai.
7. Mahar, yang dapat berupa uang atau barang yang digunakan oleh
calon istri.
Dalam hal syarat-syarat pernikahan sebenarnya antara hukum adat dan
hukum Islam itu tidak jauh berbeda. Karena untuk dapat terlaksananya suatu
pernikahan itu syarat utama yakni harus ada mempelai laki-laki dan
perempuan. Selain itu antara kedua belah pihak harus mengetahui bagaimana
30Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hal. 71
22
keadaan dan kebiasaan keduanya. Kemudian harus diketahui pula apakah
perempuan itu masih sendiri dalam arti belum menikah ataupun dalam
pinangan seseorang, apakah si perempuan itu mau menikah dan tidak merasa
terpaksa untuk menikah. Selain itu kehadiran seorang wali sangat dibutuhkan,
karena seorang perempuan tidak bisa menikah sendiri harus ada wali
nikahnya, meskipun wali nikah/ayahnya meninggal dapat digantikan saudara
laki-lakinya.
Untuk terlaksananya suatu pernikahan juga dibutuhkan dua orang saksi
diambil dari yang masih ada hubungan famili dengan kedua mempelai
misalnya saudaranya atau pamannya. Selain itu kehadiran seorang perangkat
desa juga sangat diperlukan karena kehadirannya itu juga dianggap sebagai
saksi pernikahan. Dan inilah fungsi dari kehadiran keluarga atau kerabat
yakni untuk menyaksikan pernikahan tersebut. Satu lagi yang tidak kalah
pentingnya yakni adanya mahar berupa uang atau barang yang dapat
digunakan oleh calon istri, yang dalam hukum Adatnya disebut dengan
peningset.31 Mahar atau dapat disebut dengan mas kawin adalah pemberian
yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri diwaktu datang pertama
kali ke rumahnya dengan tujuan ingin menikahinya.32
Hukumnya wajib bagi laki-laki memberi mahar (maskawin) kepada
wanita calon istrinya, baik berupa uang, barang maupun jasa, sebagaimana
difirmankan Allah:
31Ibid., 51. 32Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tantang Perkawinan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974),77
23
(#θ è?#u uρ u !$ |¡ ÏiΨ9$# £ ÍκÉJ≈ s%߉|¹ \' s#øtÏΥ 4 βÎ* sù t÷ ÏÛ öΝä3s9 tã & óx« çµ÷ΖÏiΒ $ T¡ø�tΡ çνθè=ä3sù $ \↔ÿ‹ ÏΖyδ
$ \↔ÿƒÍ÷£∆ ∩⊆∪
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Mahar merupakan pemberian yang pertama dari seorang laki-laki kepada
calon istrinya sebagai cermin dari kebulatan tekadnya untuk hidup bersama.
Jadi, sama sekali bukan harga bagi seorang wanita. Namun meskipun
hukumnya wajib, mahar tidak termasuk rukun nikah, karena itu seandainya
dalam akad nikah tidak disebutkan, nikahnya tetap dihukumi sah.33
d. Tujuan Pernikahan Adat Jawa
Bagi masyarakat Jawa pernikahan bukan hanya merupakan ikatan lahir
batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dalam pembentukan
suatu keluarga bahagia, kekal dan sejahtera berdasarkan Tuhan Yang Maha
Esa. Akan tetapi adanya pernikahan tersebut bertujuan untuk mendapatkan
keturunan yang akan menjadi penerus silsilah keluarga dan kerabat, menurut
garis ayah atau ibu atau garis orang tua. Karena adanya silsilah yang
menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah
merupakan barometer dari asal usul keturunan seseorang yang baik dan
teratur.34
Selain harus jelas bibit, bobot dan bebetnya bagi si calon pasangan,
berbagai perhitungan ritual lain harus pula diperhitungkan agar pernikahan itu
bisa lestari, bahagia, dan dimurahkan rizkinya oleh Tuhan Yang Maha Esa, 33A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (nikah, talak, cerai, dan rujuk) (jakarta: Al Bayan.1994), 44 34Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hal. 70.
24
dan pada akhirnya akan melahirkan anak-anak yang cerdas, patuh kepada
kedua orang tuanya, serta taat beribadah.
Tujuan-tujuan pernikahan yang terpenting adalah sebagai berikut:
1) Memperoleh Ketenangan
Keadaan jasmani, rohani, dan pola piker seseorang akan mengalami
perubahan ketika mencapai usia balig. Dan semua itu memunculkan
kebutuhan terhadap pernikahan.
Pada fase ini, hendaklah seseorang memenuhi kebutuhan alamiahnya.
Pengabaian terhadapnya hanya akan menimbulkan guncangan jiwa yang tak
kunjung reda. Kecuali jika orang yang dimaksud mendapatkan teman hidup
yang sesuai. Ya, pada saat itu ia akan merasakan ketenangan dan
kedamaian.
Jadi, salah satu tujuan pernikahan adalah memperoleh ketenangan jiwa,
fisik, pikiran, dan akhlak. Dalam kehidupan bersama, hendaklah pasangan
suami-isteri selalu berusaha meneguhkan keadaan tersebut, sehingga
memungkinkan keduanya tumbuh sempurna.
2) Saling Mengisi
Tatkala mencapai usia balig, para jejaka dan gadis pasti merasakan
adanya kekurangan. Perasaan semacam ini akan lenyap sewaktu mereka
menikah, membina kehidupan bersama, dan saling mengisi satu sama lain.
Semua itu mencapai puncaknya ketika anak pertama dari pasangan sumi
istri terlahir ke dunia ini.
Pernikahan memberikan pengaruh sangat besar dan sangat penting
terhadap perilaku seseorang. Sejak itu, dimulailah fase kematangan dan
25
kesempurnaan yang mampu menutupi ketidakharmonisan dalam
beraktifitas dan bergaul (di mana msing-masing pihak berusaha merelakan,
meluruskan dan menasehati satu sama lain).
Dengannya, niscaya akan tercipta hubungan kemanusiaan nan mulia
yang pada gilirannya akan mendorong pasangan suami-isteri melangkah
menuju kesempurnaan yang didamba.
3) Memelihara Agama
Lantaran mengikuti dorongan hawa nafsu, banyak kaum muda yang
kehilangan akidah sucinya untuk kemudian terjerembab ke kubangan dosa.
Dalam hal ini, mahligai pernikahan akan menjauhkan seseorang dari bibir
jurang kegekapan yang sungguh berbahaya dan mematikan. Sebuah hadis
menyebutkan, “Barang siapa yang menikah, telah memelihara separuh
agamanya…..”
Pernikahan tidak hanya menyelamatkan seseorang dari kejatuhan (ke
lembah dosa). Lebih dari itu, memungkinkan dirinya menghadap dan
beribadah kepada Allah Swt. Selain pula akan memuaskan nalurinya secara
wajar sehingga menjadikan jiwanya tenteram dan damai. Semua itu tentu
sangat dipentingkan dalam kehidupan beragama.
Adapun pernikahan yang berbahaya bagi keberagamaan seseorang
adalah pernikahan yang menghindarkan seseorang dari pusaran instink
seksual lalu menjatuhkan ke dalam pusaran lain, seperti kebohongan
penghianatan dan kebiasaan dengan hal-hal yang diharamkan. Hal itu
bukanlah pernikahan, melainkan tak lebih dari perangkap penderitaan baru.
Pernikahan semacam itu hanya akan mendatangkan problem pertengkaran
26
yang melukai hati masing-masing pihak dari pasangan suami-isteri.
Pernikahan yang mengotori kejernihan nilai-nilai kekerabatan dan
persahabatan tak lebih dari ajang penyiksaan belaka.
4) Kelangsungan Keturunan
Allah Swt telah menumbuhkan keinginan dalam diri seseorang untuk
melanjutkan keturunan. Namun, bagi sebagian pasangan suami-isteri yang
hanya bermaksud mencari kelezatan dan kesenangan hidup semata,
kelahiran anak yang merupakan buah pernikahan dipandang sebagai
menyusahkan dan sama sekali tidak diinginkan. Karenanya, dimensi
spiritual dari pernikahan hendaknya dijadikan pegangan hidup. Pada
gilirannya, semua itu akan mendorong masing-masing pihak (suami dan
isteri) untuk mau saling mengisi dan melangkahkan kaki di jalan
kesempurnaan.
Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan disebabkan
keringnya dimensi spiritual yang seharusnya terkandung di dalamnya. Amat
disayangkan, banyak gadis dan jejaka yang menikah hanya lantaran
kekayaan, kecantikan atau kemasyhuran.35 Keadaan tersebut niscaya akan
menggiring mereka menuju kepahitan hidup dan menenggelamkan ke
dalam lautan kesulitan.
3. Makna Tradisi Bagi Masyarakat
Sudah jelas tidak mungkin terbentuk untuk bertahan masyarakat atau
kelompok tradisional dengan kecenderungan tradisionalismenya, kecuali
35Ali Qaimi, Singgasana para pengantin (Bogor, 2002), hal. 10.
27
fihak tersebut menganggap bahwa tradisi yang mereka pertahankan, baik
secara obyektif maupun subyektif dalah sesuatu yang bermakna, berarti atau
bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam penjelasan yang agak rinci. Makna
tradisi bagi masyarakat adalah sebagai berikut:36
a. Sebagai Wadah Ekspresi Keagamaan
Tradisi mempunyai makna sebagai wadah penyalur keagamaan masyarakat,
hampir ditemui pada setiap agama. Dengan alasan, agama menurut pengalaman
secara rutin dikalangan pemeluknya. Dalam rangka pengamalan itu, ada tata cara
yang sifatnya baku, tertentu dan tidak bisa dirubah-rubah. Sesuatu yang tidak pernah
dirubah-rubah dan terus menerus dilakukan dalam prosedur yang sama dari hari
kehari bahkan dari masa kemasa, akhirnya identik dengan tradisi. Berarti tradisi bisa
muncul dari alamiah dari keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun
perseorangan.
b. Sebagai Alat Pengikat Kelompok
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk kelompok. Bagi manusia hidup
berkelompok adalah suatu keniscayaan, karena memang tidak ada orang yang
mampu memenuhi segala keperluannya sendirian. Atas dasar ini, dimana dan
kapanpun selalu ada upaya untuk menegakkan dan membina ikatan kelompok,
dengan harapan agar menjadi kokoh dan terpelihara kelestariannya. Adapun cara
yang ditempuh antara lain melalui alat pengikat termasuk yang berwujud tradisi.
c. Sebagai Benteng Pertahanan Kelompok
dalam dunia ilmu-ilmu sosial, kelompok tradisionalis cenderung
diindentikkan dengan stagnasi (kemandekan), suatu sikap yang secara teoritis
36Imam Bawani, Op. Cit., 34-35
28
bertabrakan dengan progres (kemajuan dan pembaharuan). Padahal, pihak progres
yang didukung dan dimotori oleh sains dan teknologi, yang dengan daya tariknya
sedemikian memikat, betapapun pasti berada di posisi yang lebih kuat. Karenanya
adalah wajar bila pihak tradisionalis mencari benteng pertahanan termasuk dengan
cara memanfaatkan isi tradisi itu sendiri.
Secara umum, adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal (local custom) yang
mengatur interaksi masyarakat. Dalam ensiklopedi disebutkan bahwa adat adalah
“kebiasaan” atau “tradisi” masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara
turun temurun. Kata “adat” di sini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang
mempunyai sanksi, seperti “hukum adat”, dan mana yang tidak mempunyai sanksi,
seperti disebut adat saja.37 Adapun yang dikehendaki dengan kata adat dalam karya
ilmiah ini adalah adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan adat saja.
Dalam literatur Islam, adat disebut العادة atau العـرف yang berarti adat atau
kebiasaan.38 Menurut Abdul Wahâb Khalâf urf adalah:39
وفي لسان الشرعيين الفرق . العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك ويسمى العادة
.بين العرف والعادة
Artinya: Al-‘Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pulah dengan al-‘âdah. Dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘âdah.
37Ensiklopedi Islam, Jilid I ( Cet.3; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 21. 38Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 1258, 1284. 39Abdul Wahâb Khalâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqih (Cet. 12;tt: Al-Nashr Wal-Tauzîk, 1978/1398), 89.
29
Menurut Al-Jurjânîy yang dikutip oleh Abdul Mudjib, al-‘âdah adalah:40
ه ما إليوادعل وقوعكم الملى حه عليع اسالنرمتااسة مادالعرأخ دعة بر
Artinya: Al-‘âdah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang terus-menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-menerus. Adapun terhadap al-‘urf diartikan:
رل العقوبالع ائعالطب هتلقتل وقوة العادهه بشليع سفوت النقرتااسم إلـى . ف عـرأس ها لكنضة أيجح وهو
.الفهم بعد أخرى
Artinya:
Al-‘urf adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang jiwa merasa
tenang dalam mengerjakannya, karena sejalan dengan akal sehat dan
diterima oleh tabiat. Al-‘urf juga merupakan hujjah, bahkan lebih cepat
untuk dipahami.
Memperhatikan definisi-definisi di atas, dan juga definisi yang diberikan oleh
ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-‘Urf dan Al-‘Âdah adalah searti,
yang mungkin serupa perbuatan atau perkataan. Dan secara sederhana dapat
dipahami bahwa adat harus:
a. Diketahui banyak orang atau harus memasyarakat.
b. Diamalkan secara terus menerus dan berulang.
40Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (Cet. 3; Jakarta: Kalam Mulia, 1999), 44.
30
Mengenai kajian adat dalam Islam, dan dari beberapa literatur yang
peneliti dapatkan menyatakan bahwasanya menurut al-Zarqa’ yang dikutip
oleh Nasrun Haroen, ‘Urf (adat kebiasaan) dibagi pada tiga macam: 41
a) Dari segi obyeknya ‘urf dibagi pada al-‘urf al-lafzhî (adat
istiadat/kebiasaan yang menyangkut ungkapan) adalah adat atau
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam
meredaksikan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami
dan terlintas dalam fikiran masyarakat. dan al-‘urf al-‘amali (adat
istiadat/ kebiasaan yang berbetuk perbuatan). adalah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan, yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain.
b) Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi dua, yaitu al-‘urf al-‘âm (adat yang
bersifat umum) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas
diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Dan al’urf al-khâsh (adat
yang bersifat khusus). adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu.
c) Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi dua yaitu: al-
‘urf al-shâhih (adat yang dianggap sah) adalah kebiasaan yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nâsh (ayat
atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka. Dan al-‘urf al-fâsid (adat yang
41Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Cet.2; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997),139-141.
31
dianggap rusak) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Berlatar belakang dari penjelasan di atas, para ulama ushul fiqh
sepakat bahwa al-‘urf al-shâhih baik yang menyangkut al-‘urf al-lafzhî, al-
‘urf al-‘amali maupun menyangkut al-‘urf al-‘âm dan al’urf al-khâsh, dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Menurut Imam al-Qarafi
(ahli fiqh Maliki) yang dikutip oleh Harun Nasroen menyatakan bahwa
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu
meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga
hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan
kemasalahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.42 Dengan mengutip
pendapat Imam al-Syathibi (ahli ushul fiqh Maliki) dan Ibn Qayyim al-Jauzi
(ahli ushul fiqh Hanbali) Nasrun Haroen juga menyatakan bahwa seluruh
ulama mazhab menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam
menetapkan hukum apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum masalah
yang sedang dihadapi.43 Misalnya, seseorang menggunakan jasa pemandian
umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia di dalam kamar mandi dan
berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan hukum
syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi,
perbuatan seperti itu telah berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga
seluruh ulama mazhab menganggap sah akad ini. Alasan mereka adalah adat
perbuatan yang berlaku.
42Ibid, 142. 43Ibid.
32
Dari sini bisa dikatakan bahwasanya adat bisa dijadikan sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:44
a. Berlaku secara umum
b. Telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul.
c. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi.
d. Tidak bertentangan dengan nash.
Maka dari berbagai kasus adat yang dijumpai, para ulama’ ushul fiqih
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan adat, diataranya adalah:
أ�.�دة +&��, +��* �(��) ا��'
Adat kebiasaan bisa dijadikan Hukum selama tidak bertentangan dengan nash.
C. Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Pernikahan dalam Islam
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran.
Sedangkan menurut istilah syari’at, nikah berarti akad antara laki-laki dan
perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.
Nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan
badan dalam arti majazi (metafora). Demikian itu berdasarkan firman Allah
Azza wa Jalla berikut ini:
44Nasrun Haroen, Op.Cit., 143-144.
33
£èδθ ßs Å3Ρ$$ sù ÈβøŒ Î* Î/ £Îγ Î=÷δ r& ∩⊄∈∪
Artinya: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka” (an-
Nisa’ : 25).45
Kehidupan berkeluarga terjadi lewat pernikahan yang sah, baik
menurut hukum agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sini akan tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir
batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal. Dalam agama Islam,
dasar pernikahan telah jelas digariskan al-qur’an dan As-Sunnah.
Allah berfirman:
(#θ ßsÅ3Ρr& uρ 4‘yϑ≈ tƒ F{ $# óΟä3ΖÏΒ tÅs Î=≈ ¢Á9$#uρ ô ÏΒ ö/ ä.ÏŠ$ t6 Ïã öΝà6Í←!$ tΒ Î)uρ 4 βÎ) (#θçΡθ ä3tƒ
u !#t� s)èù ãΝÎγ ÏΨøóムª! $# ÏΒ Ï&Î#ôÒ sù 3 ª! $#uρ ììÅ™≡ uρ ÒΟŠÎ=tæ ∩⊂⊄∪
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
)ا�$(�رى روا; (+�9 678 01�2 �5 ر34 و+� 01�2 +� ا����ح
Artinya: Nikah adalah sebagian dari sunnahku, barang siapa tidak suka terhadapku, maka tidak termasuk golonganku (HR Bukhari).
Maka jelaslah, bahwa melaksanakan pernikahan berarti mengikuti
sunnah Rasul yang mulia. Para ulama berpendapat, hukum asal nikah adalah
sunnah muakkadah bagi setiap muslim yang mempunyai keinginan dan
45Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta Timur, 2001), hal. 3.
34
kemampuan untuk menikah. Namun jika hubungannya seorang laki-laki dan
perempuan telah menjurus pada perbuatan berdekat-dekat dengan zina,
hukum nikah menjadi wajib. Sebaliknya jika nikah disalahgunakan untuk
tujuan-tujuan yang bertentangan dengan ajaran agama, maka hukum nikah
menjadi haram.
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Suatu pernikahan adalah sah menurut hukum Islam, jika memenuhi
seluruh rukun dan syarat perkawinan. Tidak terpenuhinya ketentuan-
ketentuan mengenai rukun dan syarat tersebut akan membuat suatu
perkawinan menjadi tidak sah. Rukun perkawinan adalah unsur yang harus
ada dalam setiap perkawinan
Rukun-rukun dalam pernikahan itu ada lima yaitu: calon suami, calon
istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul. Namun dari kelima rukun
pernikahan tersebut yang paling penting adalah ijab qabul antara yang
mengakadkan dengan yang menerima akad tersebut. Sedangkan syarat-syarat
pernikahan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan,
yaitu syarat-syarat yang menyangkut bagi calon mempelai, wali, saksi dan
ijab qabul. Rukun dalam pernikahan itu antara lain:
1. Calon suami
2. Calon istri
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Ijab qobul
35
Kompilasi hukum Islam pasal 14 menentukan bahwa rukun atau unsur
yang harus terpenuhi ketika perkawinan dilangsungkan adalah: calon suami,
calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul (ijab qobul). Menurut
jumhur ulama’ rukun nikah itu adalah ijab dan kabul, calon istri, calon suami,
dan wali. sedangkan saksi-saksi hanya dimasukkan sebagai syarat, seperti
juga mahar dan maskawin. Rukun tersebut memerlukan sejumlah persyaratan
agar suatu perkawinan dapat dilaksanakan dengan sah. Tidak terpenuhinya
syarat-syarat tersebut dapat mengakibatkan batalnya suatu perkawinan,
sehingga perkawinan itu tidak mempunyai akibat hukum.
Pada garis besarnya, syarat sah perkawinan itu ada dua yaitu: 46
a. Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon
pengantin adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik karena
haram untuk sementara atau selamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
3. Larangan Pernikahan Dalam Islam
Tidak semua perempuan boleh dinikahi, tetapi syarat perempuan yang
boleh dinikahi hendaklah dia bukan orang yang haram bagi laki-laki yang
akan menikahinya. Larangan pernikahan dengan seorang perempuan itu ada
dua macam, pertama larangan muabbad, yaitu larangan untuk dinikahi
selamanya. Kedua, larangan muaqqat, yaitu larangan pernikahan dengan
seorang perempuan selama perempuan tersebut masih dalam keadaan
tertentu. Apabila keadaan itu berubah maka larangan itu tercabut dan
perempuan itu menjadi halal untuk dinikahi.
46Slamet Abidin, Amirudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 63
36
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) dalam Islam yang
antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan agama;
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka
mengambil pelajaran.
2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;
Dari sudut ilmu kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan
antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan
mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat
bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas.
a. Ibu kandung kamu.
b. Anak perempuan kandungmu.
c. Saudara kandungmu yang perempuan.
d. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandungmu.
e. Dilarang kamu menikahi anak perempuan dari saudara perempuan
kandungmu.
f. Dilarang (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari
ibumu
37
g. Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan
dari ayah kamu.
3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan
Maksudnya ialah bahwa seorang laki-laki dengan wanita yang
tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pernah menyusu (menetek)
dengan ibu (wanita) yang sama dianggap mempunyai hubungan
sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah antara keduanya
karena alasan sesusu (sesusuan).
Ada dua pendapat tentang masalah tersebut:
Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu
(menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul
larangan perkawinan antara anak laki-laki yang menyusu itu bahkan
juga berlaku larangan bagi anak laki-laki itu kelak dengan anak dari
ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat
Hanafi beserta pengikut-pengikut madzhab Hanafiah tersebut, seperti
juga Imam Hambali dan Imam Malik.
Pendapat yang kedua ialah bahwa menyusu itu minimal lima kali
sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan
kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali
itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah
timbul larangan perkawinannya. Pendapat Imam syafi’i dengan para
penganutnya.
38
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan
yang terdahulu, misalnya kakak/adik dari istri kamu (laki-laki). Laki-
laki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya
yang perempuan maka timbullah larangan perkawinan antara suami
dari kakak/adik perempuan itu dengan kakak/adik perempuan itu.
Lazimnya di Indonesia disebut kakak/adik ipar, demikian juga
hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan
anak tiri.
5. Larangan perkawinan poliandri
Jangan kamu laki-laki menikahi wanita yang sedang bersuami.
Dari sudut wanita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan
poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah dengan laki-
laki lain).
6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang li’an
Li’an diatur dalam al-qur’an surah XXIV ayat 4 dan ayat 6 atau
surah An-Nuur (cahaya).
tÏ% ©!$#uρ tβθãΒ ö� tƒ ÏM≈ oΨ|Áós ßϑø9 $# §ΝèO óΟ s9 (#θè?ù' tƒ Ïπyèt/ö‘r' Î/ u!#y‰pκà− óΟ èδρ߉Î=ô_ $$ sù
tÏΖ≈ uΚ rO Zοt$ ù#y_ Ÿωuρ (#θ è=t7ø)s? öΝçλ m; ¸οy‰≈ pκy− # Y‰t/r& 4 y7 Í×‾≈ s9 'ρé& uρ ãΝèδ tβθà)Å¡≈ x�ø9 $# ∩⊆∪
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
39
tÏ% ©!$#uρ tβθ ãΒ ö�tƒ öΝßγ y_≡ uρø— r& óΟ s9 uρ ä3tƒ öΝçλ °; â !#y‰pκà− Hω Î) öΝßγ Ý¡ à�Ρr& äοy‰≈ yγ t±sù
óΟÏδ ωtn r& ßìt/ö‘r& ¤N≡ y‰≈ uηx© «!$$ Î/ � … çµ‾ΡÎ) z Ïϑs9 šÏ%ω≈ ¢Á9 $# ∩∉∪
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
Akibat istri yang di li’an maka mereka bercerai untuk selama-
lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi antara
bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya.
7. Larangan perkawinan (menikah) wanita/pria pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari
segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga
keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan
mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang didasarkan
sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak akan
dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga kesucian itu, seperti
tang di jelskan dalam al-qur’an XXXIV : 3 (surah Al-Nuur Ayat 3).
’ÎΤ# ¨“9 $# Ÿω ßxÅ3Ζtƒ āω Î) ºπ uŠÏΡ#y— ÷ρr& Zπ x.Î�ô³ãΒ èπu‹ ÏΡ# ¨“9 $#uρ Ÿω !$ yγ ßsÅ3Ζtƒ āω Î) Aβ#y— ÷ρr& Ô8Î�ô³ãΒ 4 tΠ Ìh� ãm uρ y7Ï9≡ sŒ ’ n?tã tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# ∩⊂∪
Artinya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
40
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri
yang ditalak tiga)
Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah
dinikahi lebih dahulu oleh laki-laki lain secara sah kemudian tertalak
lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Kemudian apabila di suami menalaknya (sesudah talak yang
kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan bekas istri itu) untuk menikah kembali, apabila keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat
Bahwa prinsipnya pekawinan menurut hukum Islam itu adalah
monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan
anak yatim yang berada di bawahpengawasan dan pemeliharaan kamu
bolehlah menikahi ibu tiri dari anak yatim tersebut dua, tiga atau
maksimal 4 empat orang.
Dari beberapa penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa pernikahan
adalah merupakan suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya.
41
Pernikahan bertujuan membentuk keluarga sakinah yang diliputi rasa
saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.
Keluarga yang seperti inilah yang akan merupakan batu-bata, semen, pasir,
kapur dan sebagainya dari bangunan umat yang dicita-citakan oleh agama
Islam. Karena itu rasulullah s.a.w melarang hidup menyendiri dengan tidak
kawin-kawin, yang menyebabkan hilangnya keturunan, keluarga dan
melenyapkan umat.
42
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan
data penelitian dan dibandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.47
Seorang peneliti yang akan melakukan proyek penelitian, sebelumnya ia dituntut
untuk mengetahui dan memahami metode serta sistematika penelitian, jika peneliti
tersebut hendak mengungkapkan kebenaran melalui suatu kegiatan ilmiah. Adapun
dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik atau metode penelitian yang
meliputi:
47Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),126-127.
42
43
1. Paradigma Penelitian
Paradigma ialah sebuah framework tak tertulis, berupa lensa mental atau peta
kognitif dalam mengamati dan memahami sesuatu yang dapat mempertajam
pandangan terhadap dan bagaimana memahami data.48
Dalam rangka menghadapi aneka fenomena sosial yang hadir ke permukaan
kehidupan masyarakat yang perlu disikapi, maka penulis menggunakan paradigma
Definisi Sosial yaitu paradigma yang diaplikasikan dalam penelitian kualitatif, sebab
penelitian dalam skripsi ini membawa penulis pada sebuah kerangka pemahaman
bagaimana metode atau teknik untuk memasuki dunia konseptual para subyek
penelitian sedemikian rupa, sehingga berkompeten dalam memahami kehidupan
sehari-hari khususnya pada saat penulis berinteraksi dengan obyek penelitian.
Paradigma Definisi Sosial adalah sebuah kerangka yang berusaha memahami
perilaku manusia dari segi kerangka pemikirannya dan tindakannya. 49
2. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Menentukan jenis penelitian sebelum terjun ke lapangan adalah sangat
signifikan, sebab jenis penelitian merupakan payung yang akan digunakan sebagai
dasar utama pelaksanaan riset. Oleh karenanya penentuan jenis penelitian didasarkan
pada pilihan yang tepat karena akan berimplikasi pada keseluruhan perjalanan riset.50
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini adalah field research (penelitian
lapangan), yang mana penelitian ini menitik beratkan pada hasil pengumpulan data
48Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Malang, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Cet. I; Malang: t.p., 2005), 10. 49Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: SuatuPendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 12. 50Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Hand Out, Fakultas Syari'ah UIN Malang, t.t),t.h.
44
dari informan yang telah ditentukan.51 Penelitian lapangan (field research) adalah
penelitian secara langsung obyek yang diteliti yaitu masyarakat Wonosalam untuk
mendapatkan data-data yang berkaitan dengan pembahasan yang dibahas. Dalam hal
ini adalah mengenai Tradisi Perkawinan “Cok Bakal” pada masyarakat Wonosalam
Kec. Wonosalam Kab. Jombang.
Berangkat dari rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka
pendekatan yang dipergunakan adalah proses pengumpulan data sistematik dan
intensif untuk memperoleh data tentang fenomena sosial dan merubah fenomena
sosial dengan mengunakan pengetahuan dari fenomena sosial itu sendiri. Dengan
bahan pertimbangan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena yang
terdapat di lokasi penelitian yaitu fenomena tradisi perkawinan “Cok Bakal” pada
masyarakat Wonosalam Kec. Wonosalam Kab. Jombang.
Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu yang
terdapat pada orang-orang yang jadi obyek penelitian. Menurut kaum fenomelogis
penelitian ini ditekankan pada aspek subyektif dari prilaku seseorang. Mereka masuk
ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti sedemikian rupa sehingga
mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh
mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.52 Sehingga dalam penelitian
kualitatif hasilnya bisa berubah-rubah sesuai penelitian yang dilakukan.
Bogdan Taylor seperti dikutip oleh Lexi J. Moleong mendefinisikan motode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Lexy juga
51Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosda Karya, 2002), 135. 52Ibid., 1.
45
menulis dalam bukunya bahwa Kirk dan Miller memberikan kerangka definisi
penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara
fundamental yang bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.53
3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah “deskriptif analitik” yaitu penelitian
yang menggambarkan realitas yang ada dan menganalisa tradisi perkawinan “Cok
Bakal” pada masyarakat Wonosalam Kec. Wonosalam Kab. Jombang.
4. Sumber Data
Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan
dalam menggunakan dan memahami serta memilih sumber data, maka data yang
akan diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan. Oleh karenanya, peneliti
harus mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan dalam
penelitiannya itu. Ada dua jenis sumber data yang biasanya digunakan dalam
penelitian dan yang digunakan dalam skripsi ini adalah: 54
1. Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
utama yakni para pihak yang menjadi obyek dari penelitian ini. Data primer
dalam penelitian ini adalah data yang dihasilkan melalui wawancara secara
53Ibid, 3. 54Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001),129.
46
langsung dengan informan terutama informan yang menjadi subyek dari yang
melakukan tradisi perkawinan Cok Bakal.
No. Nama Umur Sebagai Desa / Dusun
1 H. Mulyono 70 Tokoh Adat Sumberejo
2 Pardi 50 Kepala Dusun Tukum
3 K.H Suyono 52 Kiai Wonokerto
4 K.H Muhadi 60 Kiai Tukum
5 Herlambang 63 Sesepuh Carang wulung
6 Syaifullah 47 TNI Wonosalam
7 Hj. Sati’ul Inayah
61 Ustadzah Wonosalam
8 Siti masrufah 53 Carik Tukum
9 Sutopo 66 Sesepuh Galengdowo
10 Basori 54 Masyarakat Wonomerto
2. Sumber Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh dari sumber kedua yang
merupakan pelengkap, meliputi buku-buku yang menjadi referensi terhadap tema
yang diangkat.
Menurut Soerjono Soekanto sumber data dibagi menjadi tiga yaitu: sumber
data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. Sumber Data Tersier
adalah data-data penunjang, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk dan
47
penjelasan terhadap data primer dan sumber data sekunder, diantaranya kamus dan
ensiklopedia.55
5. Metode Pengumpulan Data
Kualitas data sangat ditentukan oleh kualitas alat atau metode
pengumpulannya. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam pengumpulannya,
digunakan dua metode yaitu:
a. Metode Observasi
Observasi sering diartikan dengan pengamatan, pengamatan adalah alat
pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara
sistematik gejala-gejala yang diselidiki.56 Sesungguhnya yang dimaksud observasi di
sini adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian. Dalam arti bahwa data tersebut dihimpun melalui pengamatan peneliti
dengan menggunakan panca indera.57
Metode observasi dilakukan dalam suasana alamiah yang wajar. Pada tahap
awal, penulis lebih bersifat tersamar. Ketersamaran dalam pengamatan ini dikurangi
sedikit demi sedikit seirama dengan semakin akrabnya hubungan antara penulis
dengan informan. Ketika suasana akrab dan terbuka sudah tercipta, penulis bisa
mengkonfirmasikan hasil pengamatan melalui wawancara dengan informan.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
55Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pres, 1986), 12. 56Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Metode Penelitian (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), 70. 57Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001)142.
48
informan terkait.58 Jenis wawancara yang digunakan penulis adalah wawancara
bebas terpimpin atau bebas terstruktur dengan menggunakan panduan pertanyaan
yang berfungsi sebagai pengendali agar proses wawancara tidak kehilangan arah.59
Metode wawancara ini dilakukan kepada informan yang banyak mengetahui, juga
terhadap pelaku pelanggaran dan yang mentaati tradisi tersebut.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian. Penelaahan dokumentasi dilakukan khususnya untuk mendapatkan
data-data dalam segi konteks. Kajian dokumentasi dilakukan terhadap catatan yang
berkorelasi dengan permasalahan penelitian.
6. Metode Pengolahan Data
Untuk mempermudah dalam memahami data yang diperoleh dan agar data
terstruktur secara baik, rapi dan sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa
tahapan menjadi sangat urgen dan signifikan. Adapun tahapan-tahapan pengolahan
data adalah:
a. Editing
Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah
diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta
relevansinya dengan kelompok data yang lain dengan tujuan apakah data-data
tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dan untuk
58M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 193-194. 59Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Op.Cit., 85.
49
mengurangi kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk
meningkatkan kualitas data.
b. Classifaying
Mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data
yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan tertentu untuk
mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
c. Verifying
Verifikasi data adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin validitas data
yang telah terkumpul. Verifikasi ini dilakukan dengan cara menemui sumber data
(informan) dan memberikan hasil wawancara dengannya untuk ditanggapi apakah
data tersebut sesuai dengan yang diinformasikan olehnya atau tidak.
7. Metode Analisis Data
Setelah data yang masuk diolah maka proses selanjutnya adalah
menganalisisnya. Dalam mengalisis data penelitian ini, maka peneliti menggunakan
teori Interaksi Simbolik yaitu suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.60 Sehingga dapat
menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat,
mengenai pandangan serta kontribusi tradisi Cok Bakal terhadap masyarakat
Wonosalam.
60Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komuniksi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001),68.
50
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Kondisi Objektif Masyarakat Wonosalam
Penelitian ini dilakukan di Desa Wonosalam Kecamatan Wonosalam
Kabupaten Jombang. Oleh karenanya dalam mendeskripsikan lokasi penelitian ini,
penulis membagi beberapa pemaparan yaitu:
1. Keadaan Geografis
Desa yang dijadikan obyek penelitian adalah desa Wonosalam. Desa ini
terletak disebelah utara Desa Mojowarno, disebelah selatan berbatasan dengan Desa
Bareng, sebelah barat Desa Galungdowo dan disebelah timur Desa Jabung. Jarak
yang ditempuh menuju pusat pemerintahan kecamatan adalah 2 km. jarak dari
Ibukota/kota adalah 30 km. Dari Kec. Wonosalam Menuju ke desa Wonosalam ini
bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat, melalui jalan yang
50
51
sudah diaspal dengan baik. Jalan yang diaspal hanya terletak di jalan menuju Desa
Wonosalam, sementara jalan menuju dusun-dusun pedalaman tidak diaspal cukup
diberi makadam saja.
Desa Wonosalam terdiri dari 9 dusun dengan luas wilayah 13.905,075 Ha,61
yang terdiri dari sawah, ladang, perumahan, jalan, pemakaman, perkebunan dan
sarana umum lainnya. Hampir semua lahan yang ada di desa ini merupakan tanah
yang subur akan tetapi sangat minim akan irigasinya. Wilayah desa ini berada pada
dataran tinggi dengan bukit-bukit kecil yang sudah dihuni oleh penduduk, disela-sela
bukit-bukit terletak lahan pertanian atupun perkebunan penduduk, berupa tanah
kering yang sangatlah luas. Di tanah inilah penduduk melakukan kegiatan pertanian
ataupun perkebunan yang merupakan mata pencaharian utama penduduk desa
Wonosalam.
Iklim di desa Wonosalam termasuk iklim tropis, dengan dua musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan daerah ini cukup memberikan
kenyamanan pada penduduk karena dengan air hujan penduduk dapat melakukan
aktifitas pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian utama dan juga pada
musim ini, sumber mata air yang keluar dari perbukitan melimpah ruah dan dapat
memudahkan penduduk untuk mendapatkan air bersih sebagai kebutuhan sehari-hari.
Namun, pada musim kemarau penduduk mulai kekurangan pasokan air, pertanian
banyak yang gagal, sumur-sumur pun banyak yang kering, ketika ini terjadi pada
umumnya penduduk hanya mengantungkan hidupnya dalam memperoleh air bersih
dengan bergantian mengalirkan air bersih yang bersumber dari pegunungan ke desa-
desa. Setiap dusun hanya akan dialiri air bersih selama 3 jam setiap harinya. Musim
61Sumber monografi Desa Wonosalam Kec. Wonosalam, tanggal 1 November 2007
52
kemarau merupakan masa-masa sulit bagi kehidupan penduduk desa Wonosalam.
Usaha pertanian banyak gagal panen, karena kekurangan air. Hujan yang dinantikan
tidak kunjung turun sehingga yang dapat diandalkan adalah tanaman perkebunan
yang dapat dipanen secara tahunan yaitu cengkeh, kopi, venili, durian, mangga
rambutan dan salak pondoh.
2. Keadaan Penduduk
Pada waktu penelitian ini dilakukan, penduduk desa Wonosalam tercatat
berjumlah 7320 jiwa yang terdiri dari laki-laki 3545 orang dan perempuan 3775
orang. Penduduk ini kemudian terbagi dalam 2032 KK (Kepala Keluarga). Yang
bermukim di 17 Rukun Warga.62 Setiap kepala keluarga rata-rata mempunyai empat
sampai lima orang anggota keluarga.
Keadaan alam desa Wonosalam yang tidak begitu ramah dalam menyediakan
sarana kehidupan ekonomi masyarakat, telah menjadi pendorong yang kuat bagi
penduduk untuk melakukan mobilitas luar pedesaan. Kebutuhan ekonomi yang
semakin meningkat untuk mendukung kebutuhan hidup para penduduk, telah
mendorong penduduk untuk melakukan migrasi keluar desa atupun keluar kota,
terutama pada penduduk berusia muda.
Seperti umumnya masyarakat pedesaan di Wonosalam, mayoritas penduduk
hidup sebagai petani, walaupun ada yang bekerja sebagai wiraswasta, petukangan,
buruh panen, kuli ataupun serabutan. Jenis tanaman yang diusahakan oleh petani di
desa adalah duren, cengkeh, kopi, vanili dan juga salak pondoh, sedangkan padi
hanya ditanam ketika diperkirakan air hujan memadai turun, karena musim
penghujan pada umumnya berlangsung cukup lama sekitar enam bulan lamanya.
62 Sumber Monografi Desa Wonosalam Kec. Wonosalam, tanggal 1 November 2007
53
Secara umum penduduk Desa Wonosalam agak kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka dari kegiatan pertanian yang terdiri dari persawahan dan
perkebunan. Oleh karena itu, mereka mayoritas pergi keluar negeri sebagai Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) di Malasyia atupun pergi keluar kota di surabaya bahkan
keluar lintas Provisi di Sumatera atau Kalimantan sebagai solusi untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka.
Tabel Mata Pencaharian Masyarakat Wonosalam
Buruh tani 1960 Orang
Petani 3510 Orang
Pedagang/wiraswasta/Pengusaha 58 Orang
Pengrajin 25 Orang
PNS 30 Orang
TNI/Polri 9 Orang
Penjahit 16 Orang
Montir 12 Orang
Sopir 63 Orang
Pramuwisa 13 Orang
Karyawan Swasta 180 Orang
Kontraktor 3 Orang
Tukang Kayu 39 Orang
Tukang Batu 29 Orang
Guru Swasta 20 Orang
Dalam masalah pendidikan, sebagian besar penduduk desa Wonosalam hanya
berpendidikan tingkat Sekolah Dasar bahkan ada yang tidak tamat SD. Memang ada
sebagian kecil yang memperoleh pendidikan sampai SLTP, SLTA dan Perguruan
54
tinggi, namun semua bisa dihitung dengan jari. Terdapat kesan yang kuat bahwa hal
ini berkaitan dengan rendahnya kemampuan ekonomi penduduk untuk membiayai
pendidikan anak-anaknya ketingkat yang lebih tinggi disamping tempat sekolah yang
jauh dari rumah-rumah penduduk dan kesadaran akan pendidikan sangat minim.
3. Keadaan Pendidikan
Tingkat Pendidikan Masyarakat Wonosalam
Jumlah penduduk buta hurup 145 orang
Jumlah penduduk tidak tamat SD/sederajat 135 orang
Jumlah penduduk tamat SD/sederajat 3825 orang
Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat 1070 orang
Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat 776 orang
Jumlah penduduk tamat D-1 25 orang
Jumlah penduduk tamat D-2 9 orang
Jumlah penduduk tamat D-3 17 orang
Jumlah penduduk tamat S-1 22 orang
Jumlah penduduk tamat S-2 5 orang
Jumlah penduduk tamat S-3 1 orang
Sarana pendidikan yang tersedia di wilayah tidaklah cukup memadai, dua
buah Taman Kanak-Kanak, lima buah Sekolah Dasar dan tiga buah Madrasah
Ibtidaiyah, dua buah Sekolah Lanjutan Tinggat Pertama dan satu buah Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas. Disamping kurang memadainya sarana, minat untuk
melanjutkan sekolah sangat rendah karena tekanan akan kehidupan ekonomi
keluarga dan juga adanya kecenderungan untuk mengawinkan anak sebelum pada
waktunya.
55
4. Keadaan Keagamaan
Hampir seluruh warga penduduk Desa Wonosalam mengaku memeluk Islam
sebagai agamanya yang berhaluan pada Ahlussunnah wal jama’ah. Secara
keseluruhan masyarakat Wonosalam adalah sebagai warga Nahdhatul Ulama’ (NU)
dan sebagian LDII (lemkari). Meskipun semua penduduk Wonosalam memeluk
Islam, akan tetapi suasana keagamaan kurang begitu mewarnai kehidupan mereka.
Tingkat kepatuhan masyarakat Wonosalam terhadap doktrin-doktrin agama boleh
dikatakan sedikit rendah. Masyarakat mengamalkan agamanya hanya sebatas pada
suatu perkara-perkara yang diwajibkan saja, itupun tingkatannya masih di bawah
rata-rata dari penduduk keseluruhan, sementara perkara-perkara yang berpredikat
anjuran kurang begitu diperhatikan dan diindahkan oleh warga masyarakat Desa
Wonosalam.
Dilihat dari sarana peribadatan, saat ini desa Wonosalam memiliki sarana
ibadah 5 (lima) buah masjid dan ± 17 (tujuh belas) Musholla yang tersebar
diberbagai dusun. Pada umumnya meskipun terdapat 5 (lima) masjid dan ± 17
Musholla, ketika adzan dikumandangkan tempat-tempat ibadah tersebut sepi dari
warga yang shalat jama’ah, yang shalat jama’ah hanyalah orang-orang tertentu dan
yang terdekat dengan tempat tersebut. Masjid hanya ramai hanya ketika sholat jum’at
dan sholat hari raya Idul Fitri/Adha (Idul Fitri)saja.
Adapun kegiatan tahlil serta yasinan di desa Wonosalam masih ada yang
menyelenggarakannya, akan tetapi dilakukan hanya pada ketika ada orang meninggal
dunia saja selain itu, suara tahlilan dan yasinan hampir tidak terdengar. Momen
pembacaan tahlil serta yasin hanya dilaksanakan ketika ada orang yang meninggal
saja, yasinan bukan merupakan agenda rutinan tengah bulanan, mingguan dan kamis
56
malam jum’at masyarakat Wonosalam. Oleh karenanya dapat dipahami bahwasannya
seandainya tidak ada orang yang meninggal dunia di desa Wonosalam, maka dapat
dipastikan bahwasanya suara tahlilan dan yasinan tidak akan pernah terdengar sama
sekali. Umumnya masyarakat desa Wonosalam masih banyak yang memegang dan
mempertahankan kepercayaan tradisional seperti mempercayai roh-roh leluhur dan
kekuatan gaib yang terdapat benda-benda tertentu dan kekuatan yang berasal dari
nenek moyang atau orang jawa biasa dengan istilah (klenik).
5. Kondisi Sosial Kultural Masyarakat
Masyarakat Desa Wonosalam selalu mengindahkan tradisi yang telah ada di
tengah-tengah mereka, termasuk juga dalam mempertahankan tradisi Cok Bakal,
yaitu tradisi yang dilakukan masyarakat Wonosalam sebelum melakukan
perkawinan. Dimana seorang mempelai laki-laki dan mempelai perempuan harus
melakukan ruwatan sebelum acara perkawinan dilangsungkan.
Rasa peduli masyarakat terhadap tradisi setempat memberikan satu labelisasi
bahwasannya masyarakat desa Wonosalam bisa dikatakan sebagai masyarakat
tradisional, pada umumnya dalam mengamalkan tradisi lokalnya, masyarakat desa
Wonosalam kurang memperhatikan atau tidak tahu apakah tradisi tersebut sesuai
dengan Islam atau tidak, ini disebabkan oleh tingkat pendidikan mereka yang sangat
minim dan juga karena kurangnya perhatian dari beberapa tokoh agama dan dalam
memberikan penyuluhan keagamaan yang berkorelasi dengan tradisi setempat.
Disamping itu juga yang jadi penyebabnya adalah karena tingkat kepatuhan terhadap
agama yang sangat minim sehingga dalam pengamalan tradisi lokalnya masyarakat
desa Wonosalam tidak mempersoalkan tradisi tersebut apakah sesuai dengan agama
yang mereka yakini atau tidak.
57
Dalam pengamalan tradisi, yang terpenting bagi mayarakat desa Wonosalam
adalah bisa melestarikan dan rasa puas yang didapat dalam mematuhi tradisi tersebut.
Bagi masyarakat desa Wonosalam, tradisi yang selama ini dilestarikannya adalah
merupakan ciri khas dari daerah mereka yang tentunya memiliki nilai yang sangat
positif dan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka, karena dalam situasi yang
sudah bisa dikatakan moderen yang penuh dengan arus globalisasi ini, masyarakat
desa Wonosalam masih bisa dalam mempertahankan tradisi lokalnya.
Masyarakat desa Wonosalam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, ini
bisa dilihat dengan antusiasme mereka dalam bantu-membantu serta bahu-membahu
saat para saudara kerabat, tetangga, sanak famili yang mempunyai hajatan baik
pembangunan rumah dan perbaikannya maupun hajatan lainnya. Bantuan mereka
tanpa diminta, akan tetapi jiwa-jiwa sosial mereka merasa terpanggil dengan
sendirinya disaat yang lain membutuhkan. Menjunjung tinggi nilai-nilai sosial di
kalangan masyarakat sudah mengakar dan sudah tertanam sejak dahulu kala sehingga
telah menjadi kebudayaan tersendiri dikalangan mereka.
B. Tradisi “Cok Bakal” Dalam Perkawinan Masyarakat Islam Wonosalam
Jombang
1. Pandangan Masyarakat Wonosalam Terhadap Tradisi Perkawinan ”Cok
Bakal”
Adapun pengertian “Cok Bakal” sebenarnya telah dipaparkan di latar
belakang masalah, namun agar kajian ini terbangun secara sistematis, maka saji
ulang tentang pengertian tradisi perkawinan “Cok Bakal” dianggap merupakan
sesuatu yang sangat penting dan signifikan demi terciptanya pemahaman yang
58
sempurna terkait permasalahan tersebut. “Cok Bakal” secara bahasa berasal dari kata
Cikal Bakal, sedangkan secara sederhana dapat diartikan sebagai "Tradisi melakukan
ritual-ritual tertentu sebelum dilaksanaknnya pernikahan, seperti melakukan sesajen
serta do’a kepada arwah leluhur". 63
Prosesi “Cok Bakal” ini dilaksanakan sebelum acara ijab qobul, satu hari
sebelum acara pernikahan dilaksanakan, tepatnya setelah ba’da maghrib tradisi
sesajen atau dengan istilah Cok Bakal ini diselenggarakan oleh masyarakat serta di
pimpin oleh ketua adat yang biasa memimpin setiap acara ini berlangsung. Mulanya
di awali dengan kalimat pembuka, setelah itu acara dapat dilangsungkan dengan
sama-sama mengucapkan kalimat tahlil serta istighosah dan ditutup dengan doa.
Setelah acara doa bersama ini selesai maka selanjutnya dilanjutkan dengan acara
(kenduren) dalam istilah jawa yaitu makan bersama ditempat tuan rumah tersebut.
Saat bersamaan itulah tuan rumah mulai menyajikan sesajen ditempat-tempat
tertentu seperti pada: setiap sudut rumah, tempat menanak nasi, tempat makanan
serta tempat pengeras suara (sound sistem). Disamping itu pula ditengah-tengah
rumah disediakan sesajen yang dinamakan Sepen. Ini semua dimaksudkan agar
keluarga tersebut dijauhkan dari marabahaya dan dijauhkan dari bala’ yang diyakini
apabila tidak dilakukan acara tersebut maka, akan terjadi malapetaka ataupun bala’.
Mbah Mulyono mengungkapkan bahwasanya:
Tradisi Cok Bakal niki sampun dilaksanaaken turun menurun milai jaman Mojopahit lan di damel ngantos sakniki kalian tiang khususe masyarakat Wonosalam. sien nate wonten warga masyarakat Wonosalam nate ngelaksanaaken pernikahan tap mboten ndamel acara ruwatan Cok Bakal, padahal masyarakat meriki sedoyo sampun percados, menawi mboten ndamel Cok Bakal niku bakale kantuk musibah, Selang pinten sasi
63Mulyono.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007)
59
sak mantune pernikahan akhire manten estri pejah. Nah niki saget didamel salah satu bukti lek cok bakal niku sampun adate tiang mriki. 64
Mbah Mulyono sebagai tokoh adat mengatakan bahwasanya taradisi Cok
Bakal sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak jaman kerajaan Majapahit dan
dipakai hingga saat ini khususnya pada masyarakat Wonosalam. Beliau menekankan
bahwasanya hal ini sudah menjadi adat kebiasaan yang wajib dilakukan. Mbah
Mulyono menceritakan bahwasanya dahulu pernah ada warga masyarakat
Wonosalam yang melaksanakakan pernikahan akan tetapi tidak menggunakan
ruwatan Cok Bakal, padahal masyarakat disini semua sudah percaya, jika tidak
menggunakan Cok Bakal itu akan mendapatkan musibah, dalam waktu beberapa
bulan setelah pernikahan pengantin wanita yang telah menikah meninggal. Menurut
mbah Mulyono sebagai sesepuh adat ini adalah salah satu bukti kalau Cok Bakal itu
sudah menjadi adat masyarakat Wonosalam.
Bapak Pardi mengungkapkansebagai kepala dusun:
Ten meriki poro masyarakat Wonosalam sedoyo percados lek taradisi Cok Bakal niku awale saking jaman kerajaan Mojopahit seng dibeto kalian sesepuh jaman sien. Ten mriki wonten pesareane utawi makam mbah Wali Wono Segaran ing pucuk gunung Kuncung. Mbah Wali Wono Segaran niku pegawai ndalem kraton mojopahit ing masa eneme sien, ing masa-masa tugase mbah wali wono segaran diutus kalean ndalem damel njagi perbatasan Mojopahit kalian Kediri. Lan ngantos akhir hayate mbah Wali Wono Segaran sedo ten perbatasan Mojopahit (biyen) celak candi Ngrimbi yen sakniki di jenengne Wonosalam iki. Sien nate wonten tiang Wonosalam nikahan, tapi mboten ndamel Cok Bakal, duko niku supe nopo pancen mboten purun ndamel, sing jelas yugane nopo putrane niku akhire pegatan selang pinten-pinten sasi. 65 Pardi selaku kepala dusun mengatakan bahwasanya masyarakat Wonosalam
semua percaya kalau tradisi Cok Bakal berawal dari jaman kerajaan Majapahit yang
64Mulyono.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007) 65Herlambang, Wawancara (Wonosalam 7 Nonember 2007)
60
di bawa oleh sesepuh jaman dahulu. Di Wonosalam ini ada makam mbah wali
Wonosegaran di puncak gunung Kuncung. Mbah wali Wonosegaran pada masa
mudanya itu adalah pegawai ndalem kraton Majapahit yang menjaga perbatasan
Majapahit dengan Kediri. sampai pada akhir hayatnya beliau mengabdikan pada
kraton Majapahit. Pada akhirnya dimakamkan di desa Wonosalam pada puncak bukit
gunung Kuncung dekat dengan Candi Ngrimbi. Bapak Pardi menambahkan
bahwasanya dahulu ada orang Wonosalam menikah, akan tetapi tidak menggunakan
Cok Bakal, entah itu lupa atau memang tidak mau memakai, yang jelas anak/
puteranya pada akhirnya mengalami musibah yang berakhir dengan perceraian
dalam waktu beberapa bulan.
Bapak Herlambang mengungkapkan bahwasanya:
Tradisi Cok Bakal niku dilaksanaaken sak derenge akad nikah utawi Ijab Qobul, sedinten sak derenge nikah. Acara ritual Cok Bakal dilaksanaaken ngagem ndungo kalian keluargo, kalian undangan sami-sami munajat dining gusti Allah Ta’ala lan moco istighosah lan tahlil, sak mantune niku sesajen Cok Bakal diselap ten panggene pawonan, tempat jajan, ngajeng nggriyo lan ten tempat salon. Sepen diselap ten nggriyo tengah damel ndungak’aken arwah-arwah poro leluhur lan makhluk ghoib sekne lancar. Mbinjinge dilaksanaaken acara siraman ten manten kaleh. Tradisi niki patut dilaksaaken kalean tiang Wonosalam, yen sopo wonge ora gelem ngelaksanaaken tradisi iki, akeh sangsi seng bakal di terimo yoiku balak utawo musibah loro, sedo lan ora di anggep karo poro masyarakat lan tanggi-tanggine.66 Herlambang mengungkapkan tradisi Cok Bakal itu dilaksanakan sebelum
acara akad Nikah atau acacra Ijab Qobul, sehari sebelum pernikahan berlangsung.
Acara ritual Cok Bakal dilaksanakan dengan berdo’a bersama keluarga, dan para
undangan sama-sama berdo’a kepada Allah Ta’ala dan membaca istighosah dan
tahlil, setelah itu sesajen Cok Bakal ditaruh di dapur, tempat menaruh makanan kecil,
66Herlambang, Wawancara (Wonosalam 7 November 2007)
61
depan rumah dan tempat salon atau sound system. Sepen ditaruh di ruang tengah
rumah yang berfungsi sebagai sesajen yang ditujukan kepada arwah-arwah para
leluhur dan makhluk ghoib agar proses acara pernikahan dapat berjalan dengan
lancar. Keesokan harinya dilaksanakan acara siraman terhadap pasangan calon
pengantin. Tradisi ini harus dilaksakan bagi masyarakat Wonosalam, dan barang
siapa saja yang tidak mau melaksanakan tradisi ini, banyak sangsi yang akan
diterima yaitu, musibah penyakit, kematian dan juga tidak dianggap serta diacuhkan
oleh masyarakat dan juga para tetangga.
K.H Muhadi mengungkapkan bahwasanya:
Menurut kulo, tradisi Cok Bakal niku sae maksud lan tujuane ndungakne calon manten. Ten mriku nggeh wonten acara istighosah lan tahlil serta sareng-sareng ndungo dining gusti Allah. Tapi kito kedah noto niat supoyo gak salah niate, niate shodaqoh maring masyarakat lan njogo kerukunan serta melestarikan tradisi. Amrih sesajen niku lek didamel tumbal utawi nyuguhi barang ghoib niku sing mboten kantuk, lek damel sekedar melestarikan tradisi Cok Bakal niku nggeh mboten nopo-nopo Masalah musibah, kematian, rezeki,jodoh niku nggeh sampun diatur kalian gusti Allah dados mboten usah ajreh.67 Menurut KH. Muhadi mengungkapkan tradisi Cok Bakal itu pada dasarnya
baik yaitu mendoakan calon pengantin. Disitu terdapat acara istighosah dan tahlil
serta bersama-sama berdo’a kepada Allah. Tapi kita harus menata niat supaya tidak
salah dalam niat, niatnya adalah shodaqoh kepada masyarakat dan menjaga
kerukunan serta melestarikan tradisi. Untuk sesajen itu kalau niatnya dipakai sebagai
tumbal atau menyuguhkan kepada makhluk ghaib itu yang tidak diperbolehkan, jika
hanya sekedar untuk melestarikan tradisi Cok Bakal itu ya tidak apa-apa. Masalah
musibah, kematian, rezeki, jodoh niku sudah diatur oleh Allah jadi tidak usah takut.
67Muhadi, Wawancara (Wonosalam 7 Nonember 2007)
62
K.H Suyono juga mengungkapkan bahwasanya: Tradisi Cok Bakal niku sak temene ngoten sae lan saget ngelestareaken adat seng sampun berjalan lami saking nenek moyang lan poro leluhur. Saking, niat sing perlu ditoto yoiku diniati shodaqoh lan mempererat seduluran. Sesajen nikukan Cuma simbol lan tradisi adat seng wonten milai sien jamane poro leluhur, dadose nggeh pun mboten nopo-nopo saking nggeh niku wau ditoto niate pun ngantos dadi syirik ajrih marang liyane gusti Allah.68 Tradisi Cok Bakal itu sebenarnya mempunyai tujuan baik dan dapat
melestarikan adat yang sudah berjalan lama dari nenek moyang dan para leluhur.
Jadi niatlah yang harus ditata yaitu diniati shodaqah dan mempererat kekeluargaan.
Sesajen itu Cuma simbol dan tradisi adat yang ada mulai jaman nenek moyang atau
para leluhur dahulu, jadi melakukan tradisi itu ya tidak apa-apa akan tetapi harus
menata niat agar jangan sampai menjadi syirik yaitu takut kepada selain Allah.
Ibu Satiul Inayah dalam pelaksanaan tradisi “Cok Bakal” ada beberapa hal
atau bahan yang harus disediakan sebagai sesajen seperti: 69
Pisang, Cermin, Sisir, Telor, Suro, Kembang, Kendi kecil, Nasi procot, Kemiri, Kencur, Jeruk purut, Cabe, Kunir, Kelapa, Gula merah, Bawang merah dan putih, Laos, Merica, Ketumbar, Minyak wangi, Ikan di tusuk, Kluwek.
Bapak Saifullah mengungkapkan Sedangkan bahan-bahan dari sepen antara
lain:70
Nasi, Teh, Air putih, Kopi, Soro, Kenang, Apem, Ikan, Jajan, Sambel goring, Rokok, Bumbu kenang, Lampu/lilin.
Pada umumnya semua informan mengatakan bahwa Tradisi “Cok Bakal”
adalah tradisi masyarakat Wonosalam murni yang eksis sejak dari nenek moyang
yang di bawa oleh mbah Wali Wono Segaran yang ada pada jaman Majapahit hingga
68Suyono, Wawancara (Wonosalam 7 Nonember 2007) 69Satiul Inayah, Wawancara (Wonosalam 7 Nonember 2007) 70Syaifullah, Wawancara (Wonosalam 8 Nonember 2007)
63
saat ini, ada pula yang mengatakan bahwa Tradisi “Cok Bakal” merupakan bentuk
kepatuhan dan keta’dziman masyarakat kepada nenek moyang atau leluhur. Dalam
memandang eksistensi Tradisi “Cok Bakal” ini, ternyata pandangan masyarakat desa
Wonosalam terbagi pada dua golongan, yaitu antara golongan yang sepakat dan yang
tidak sepakat, kedua pandangan ini berasal dari golongan sesepuh dan kaum muda
desa.
2. Dampak/Manfaat Digunakannya Tradisi Cok Bakal Bagi Masyarakat
Wonosalam
Bapak Sutopo mengungkapkan, Masyarakat Wonosalam menginformasikan
bahwasannya ada beberapa faktor yang sangat urgen hingga membuat masyarakat
Wonosalam tetap melaksanakan atau mengamalkan tradisi yang ada di desa mereka
hingga saat ini, adapun faktor-faktor tersebut secara umum ada dua yaitu:71
1. Faktor tradisi atau kebiasaan dari nenek moyang
2. Faktor kebersamaan dan kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat
Bapak Basori mengungkapkan, secara khusus juga ada dua faktor yang
mempengaruhi masyarakat yaitu:72
1. Karena adanya rasa patuh serta taat terhadap orang tua dan nenek moyang
(para leluhur mereka) hingga bagaimanapun mereka harus tetap
melaksanakan tradisi tersebut.
71 Sutopo, Wawancara (Wonosalam 8 Nonember 2007)
72 Basori, Wawancara (Wonosalam 8 Nonember 2007)
64
2. Karena adanya fakta (kejadian) yang mendukung, hal ini juga yang
menjadikan masyarakat bisa mempercayai dan mentaati serta melaksanakan
tradisi Cok Bakal.
Ibu Siti Masrufah mengungkapkan makna filosofis di laksanakannya tradisi
Cok Bakal ini antara lain:73
1. Mendoakan kepada calon mempelai agar nantinya dalam membina keluarga
dapat menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
2. Memberi Woro-Woro atau pengumuman kepada masyarakat setempat
bahwasanya besok akan dilaksanakannya pernikahan.
3. Mempererat tali silaturrahmi dan tali persaudaraan karena saat
dilaksanakannya tradisi cok bakal semua sanak keluarga dan sanak famili
semua berkumpul untuk bersama mendoakan agar proses acara yang
dilaksanakan pada keesokan harinya dapat berjalan lancar tanpa kurang satu
apapun.
4. Sebagai tanda rasa syukur atas terjadinya peristiwa yang membahagiakan
dan diberikannya kemampuan dalam menikahkan putera mereka.
Mbah Mulyono menambahkan:
Tradisi niki bagi tiang Wonosalam sampun lami dilaksanaaken turun temurun milai poro leluhur lan buyut-buyut kito, masyarakat mriki mboten wantun melanggar lan mboten gadah kewantunan damel nggantos utawi merubahipun, Nopo meleh tujuanepun sae ndungakne calon manten lan mempererat tali silatturahmi antara keluarga dan tetangga dalam bermasyarakat.74
73 Siti Masrufah, Wawancara (Wonosalamr 8 November 2007)
74 Mulyono.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007
65
Mbah Mulyono menambahkan saat meneliti mengadakan wawancara
bahwasanya tradisi ini sudah berlangsung lama dan berlangsung secara turun
temurun sehingga masyarakat tidak mempunyai keberanian untuk mengganti
ataupun merubahnya, apalagi tujuannya bagus mendoakan calon pengantin juga
mempererat tali silatturrahmi antara keluarga dan para masyarakat.
Bapak Saifullah menambahkan:
Tradisi niki sampun dados kewajiban bagi masyarakat Wonosalam sing mboten kantuk ditinggal atau dilaksanaaken sak derenge acara nikah, minimal seminggu sak derenge acara nikah bahan-bahan damel acara ritual sampun dipersiapaken kados kendil alit Cermin, Sisir, Minyak wangi lan bokor damel acara ruwatan. Sak lintune kados Pisang, Telor, Suro, Kembang, Nasi procot, Kemiri, Kencur, Jeruk purut, Cabe, Kunir, Kelapa, Gula merah, Bawang merah dan putih, Laos, Merica, Ketumbar , Ikan di tusuk, Kluwek saget di persiapaken sedinten sak derenge acara mulai dilaksanaaken.75 Bapak Saifullah menambahkan saat wawancara, bahwasanya tradisi ini sudah
menjadi kewajiban bagi masyarakat Wonosalam yang tidak boleh ditinggal atau
dilaksanakan sebelum acara nikah, minimal seminggu sebelum acara nikah bahan-
bahan untuk persiapan acara ritual sudah dipersiapkan seperti kendil kecil, cermin,
sisir, minyak wangi dan bokor untuk acara ruwatan. Selain itu seperti pisang, telor,
kembang, nasi procot, kemiri, kencur, jeruk purut, cabe, kunir, kelapa, gula merah,
bawang merah serta bawang putih, laos merica, ketumbar, ikan ditusuk, kluwek
saget dipersiapkan sehari sebelum acara mulai dilaksanakan.
Mbah Sutopo menambahkan saat wawancara: Mulai sien tradisi niki sampun wonten lan di damel kalian poro masyarakat Wonosalam. Mulai kulo alit ngantos sakniki acara lan tradisi
75 Saifullah.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007
66
niki mboten berubah lan mboten wonten tiang sing wantun ngerubah, amergo minurut wargo Wonosalam acara niki nggadah makna sing sakral sanget. Acara ritual cok bakal niku dilaksanakan sak derenge acara ijab qobul, sedinten sak derenge acara pernikahan, sakmantune sholat maghrib tradisi cok bakal dilaksanaaken lan dipimpin kalian ketua adat sing biasane mimpin setiap acara niki berlangsung. Awale dimilai kalian kalimat pembuka, setelah niku acara saget diterusaken kalian sami-sami maos tahlil lan istighosah lan di tutup kalian ndungo. Sakmantune acara ndungo bersama niki mantun selanjute diterusaken kalian acara kenduren ing daleme manten jaler utawi tuan rumah. Lan sakmantune kenduren tuan rumah biasane milai ngedalaken sesajen lan diselap pojok'an griyo, pawon, tampat panganan jajan-jajan cilik lan ten ngandape salon. Saklintune niku wonten meleh sasajen sing diselap ten tengah griyo, asmane Sepen sing diantarane wonten lampu lilin utawi lampu templek lan rokok, kopi, teh lan tuyo pethak. Niki sedanten supoyo keluargo tersebut tebeh kalian musibah dan tebeh kalian bala' sing diyakini menawi mboten dilaksanaaken ing daleme acara tersebut, bakale kantuk musibah lan bala'. Mbah sutopo menegaskan menawi wonten tiang nggadah hajat pernikahan lan mboten ndamel tradisi niki moko masyarakat Wonosalam mboten purun ndugi senajan dibayar76 Mbah Sutopo menceritakan bahwasanya tradisi ini sudah berlangsung sangat
lama oleh masyarakat secara turun-temurun. Bahkan sejak kecil mbah Sutopo sudah
mengetahui acara Cok Bakal sudah dilaksanakan. Sebelum dilaksanakan acara Ijab
Qobul, terlebih dahulu satu hari sebelum acara pernikahan dilaksanakan, tepatnya
setelah ba’da maghrib tradisi sesajen ini atau dengan istilah cok bakal dilaksanakan
yang di pimpin oleh ketua adat yang biasa memimpin setiap acara ini berlangsung.
Mulanya di awali dengan kalimat pembuka, setelah itu acara dapat dilangsungkan
dengan sama-sama mengucapkan kalimat tahlil serta istighosah dan ditutup dengan
doa. Setelah acara doa bersama ini selesai maka selanjutnya dilanjutkan dengan
acara (kenduren) dalam istilah jawa yaitu makan bersama ditempat tuan rumah
tersebut. Saat bersamaan itulah tuan rumah mulai menyajikan sesajen ditempat-
tempat tertentu seperti pada: setiap sudut rumah, tempat menanak nasi, tempat
76 Saifullah.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007
67
makanan serta tempat salon. Disamping itu pula ditengah-tengah rumah disediakan
sesajen yang dinamakan Sepen diantaranya terdapat lampu penerangan yang berupa
lilin ataupun lampu Templek dalam istilah jawa serta disediakan rokok,kopi,teh dan
air putih. Ini semua dimasudkan agar keluarga tersebut dijauhkan dari marabahaya
dan dijauhkan dari bala’ yang diyakini apabila tidak dilakukan acara tersebut maka,
akan terjadi malapetaka ataupun bala’. Mbah sutopo menegaskan apabila ada orang
yang mengadakan hajat pernikahan dan tidak memakai ritual Cok Bakal maka,
masyarakat Wonosalam tidak akan mau membantu serta datang kepada orang yang
sedang melangsungkan pernikahan meskipun dibayar dengan uang.
Bapak Basori menambahkan bahwasanya:
Tradisi Cok Bakal niki selain mendoakan kepada calon mempelai lan kito sedoyo wargo sekitar Cok Bakal niki nggadah makna tersendiri sing kudu kito lestarikan, supados budayo saking poro leluhur mboten ical lan luntur. Kito sebagai poro penerus keturunan kedah bangga lan podo njogo ngelestareaken sami-sami budaya sing taseh wonten, toh niki maksud lan tujuane sae.77
Bapak Basori menambahkan bahwasanya tradisi ini selain mendoakan
kepada calon pengantin dan kita semua warga sekitar karena Cok Bakal memiliki
makna tersendiri yang harus kita lestarikan, supaya budaya dari para leluhur tidak
hilang dan luntur. kita sebagai para penerus keturunan harus bangga dan sama-sama
menjaga serta melestarikan budaya-budaya yang masih ada, karena Cok Bakal ini
memiliki tujuan yang baik.
77Basori.,op.cit Wawancara (Wonosalam 10 Nonember 2007
68
Andri sebagai anggota remaja msjid memaparkan bahwasanya:
Tradisi Cok Bakal memang sampun dilampai milai zamane mbah-mbah sien
lan dilaksanaaken ngantos sakniki, maksud lan tujuane memang sae inggih meniko
ngadaaken istighosah lan tahlil serta dinungo dining gusti Allah ta’ala sekne
diparingi keselametan dumateng keluargo lan masyarakat setempat. Nanging
sesajen niku seng bakale nggarahi syirik lan ndadeake panganan mubadzir. Kulo
pribadi mboten setuju dilaksanaaken tradisi niki amergo kathah dampak negatif
seng dilampahi, ten syari’at Islam inggih mboten wonten dalil seng nganjuraken
tradisi kados mekaten, inggih meniko Cok Bakal.
Andri sebagai anggota remaja masjid memaparkan pendapatnya bahwa
tradisi Cok Bakal memang sudah dilaksanakan sejak zaman dahulu dan dilaksanakan
sampai sekarang, maksud dan tujuane memang bagus yaitu ngadaaken istighosah
dan tahlil serta brr’doa kepada Allah ta’ala agar diberi keselametan kepada keluarga
dan masyarakat setempat. Akan tetapi sesejen itulah yang nantinya membuat syirik
dan menjadikan makanan mubadzir. Saya berpendapat tidak setuju dilaksakannya
tradisi ini dikarenakan banyak dampak negatif yang akan dilaksanakan, di syari’at
Islam juga tidak ada dalil yang menganjurkan tradisi Cok Bakal seperti ini.
Bapak Sabran mengungkapkan selaku pegawai KUA:
Tradisi Cok Bakal niki tujuane sae ndunga’aken calon manten, keluargo lan
masyarakat sedanten, tapi sesajen niki saget ndamel tiang syirik lan nggaraaken
panganan dadi mubadzir, langkung sae panganan niku diparingaken tiang lan
masyarakat sekitar sekne mboten sia-sia. Ten syari’at Islam inggih mboten wonten
69
dalil sing nganjuraken ngelaksanaaken Cok Bakal. Dadose sakniki kito kedah
wangsul ingatase syari’at Islam seng bener.
Bapak Sabran selaku pegawai KUA mengungkapakan bahwa Cok Bakal
mempunyai tujuan yang baik yaitu mendoakan calon pengantin, keluarga dan
masyarakat semua, akan tetapi ini bisa membuat orang menjadi syirik dan membuat
makanan menjadi mubadzir, lebih baik makanan iti diberikan kepada masyarakat
sekitar agar tidak mubadzir. Di syari’at Islam juga tidak ada dalil yang
menganjurkan untuk melaksanakan Cok Bakal. Jadi sekarang kita harus kembali
kepada syari’at Islam yang benar.
Melaksanakan tradisi Cok Bakal ini merupakan satu kewajiban bagi setiap
penduduk pribumi desa Wonosalam. Karena mereka mempercayai bahwa ketika ada
yang melanggar atau tidak mengamalkan tradisi “Cok Bakal” tersebut Akan
mendapatkan musibah baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini menjadi
kenyakinan bagi masyarakat dikarenakan memang sudah banyak fakta dan realita
yang terjadi, yaitu ketika seseorang tidak melaksanakan tradisi “Cok Bakal” maka
dia akan mengalami banyak cobaan dan rintangan bahkan bisa ditimpa musibah
dalam kehidupan rumah tangganya, selain dari itu juga mereka mengatakan bahwa
ketika mereka tidak mematuhi tradisi tersebut maka mereka akan menjadi gunjingan
oleh masyarakat sekitar bahkan mereka bisa tidak diterima dalam masyarakat
tersebut.
70
C. Analsis Data
Pada dasarnya yang disebut dengan analisis data adalah mendialogkan antara
hasil penelitian dengan kerangka teori yang dijadikan pisau analisisnya yang dalam
skripsi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang
bersifat menggambarkan dari awal hingga akhir dengan tidak menggunakan
formulasi statistik.
Analisis deskriptif kualitatif dalam skripsi ini di urut sesuai dengan rumusan
masalah yang akan dicarikan jawabannya, yaitu yang terdiri dari:
1. Pandangan Masyarakat Wonosalam Terhadap Tradisi Perkawinan “Cok
Bakal” .
Masyarakat Wonosalam secara sederhana mengartikan tradisi Cok Bakal ini
sebagai Cikal Bakal bagi kedua mempelai yang akan melaksanakan perkawinan
dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka di kemudian hari. Tradisi Cok
Bakal ini merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat pribumi (penduduk asli)
dalam mengamalkannya. Dengan maksud menghilangkan bala' musibah yang
mungkin akan menimpa kedua pasangan yang menikah tersebut.
Pada dasarnya keberadaan tradisi perkawinan “Cok Bakal” telah diakui oleh
masyarakat Desa Wonosalam sebagai tradisi yang telah eksis dan diamalkan secara
turun-temurun oleh warga setempat dengan beberapa tujuan tertentu seperti telah
dikemukakan Pada penjelasan sebelumnya. Akan tetapi ketika dilihat dari segi
pengamalan atau penerapan tradisi tersebut, sesuai dengan perkembangan jaman dan
perkembangan pengetahuan saat ini mereka mulai terbagi kepada dua bagian, yaitu
ada yang sepakat dan ada yang tidak sepakat terhadap diberlakukannya tradisi
71
perkawinan “Cok Bakal” di tengah-tengah masyarakat Wonosalam. Adapun yang
menjadi alasan dari kedua belah fihak tersebut antara lain :
a. Masyarakat yang setuju dilaksanakannya tradisi Cok Bakal
Dari pihak yang sepakat terhadap tradisi perkawinan “Cok Bakal”
tersebut, kebanyakan kelompok ini terdiri dari orang-orang tua dan sesepuh
desa yang faham betul akan tradisi Cok Bakal, atau bisa dikatakan bahwa
mereka ini adalah dari kelompok primitif (abangan), mereka beranggapan
bahwa tradisi ini sangatlah sakral bahkan sudah eksis dan telah diamalkan
oleh nenek moyang mereka bahkan sampai turun temurun hingga saat ini, dan
orang-orang yang menyelenggarakannya adalah Islam Walaupun memang
tradisi ini tidak diperintah oleh Islam, akan tetapi yang paling penting bagi
mereka adalah bahwasannya tradisi yang mereka taati tersebut tidaklah
berseberangan dengan Islam, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
b. Masyarakat yang tidak setuju dilaksanakannya tradisi Cok Bakal
Adapun alasan dari pihak yang tidak sepakat terhadap tradisi Cok
Bakal yaitu yang terdiri dari kaum-kaum pemuda Desa Wonosalam yang
sudah banyak mengenyam pendidikan atau pengetahuan dari luar daerah
mereka seperti di pondok pesantren bahkan di kampus-kampus, kelompok ini
beranggapan bahwa dengan diamalkannya tradisi perkawinan “Cok Bakal”
tersebut dianggap mereka (yang mentaati) telah menghamburkan makanan
begitu saja, seperti meletakkan sesajen di sembarang tempat dan ini tidak
sesuai dengan yang diajarkan Islam, bahkan lebih jauh golongan tersebut
sudah tidak percaya lagi terhadap akibat atau implikasi yang akan diterima
bagi mereka yang tidak mentaati tradisi “Cok Bakal”. Yang lebih parah lagi
72
banyak dari pemuda desa Wonosalam tersebut yang tidak faham tentang apa
tradisi perkawinan “Cok Bakal” itu sendiri, hal ini disebabkan karena mereka
sudah tidak begitu menghiraukan lagi tradisi yang ada di desa mereka.
Menelusuri dua sudut pandang yang berbeda tersebut, maka melihat tingkat
pengetahuan atau pendidikan mereka sangatlah penting untuk mengidentifikasi
mengapa mereka sepakat dan mengapa mereka tidak sepakat. Seperti dalam
pembahasan sebelumnya, tepatnya mengenai tingkat pendidikan masyarakat
Wonosalam, memang dari data tersebut sudah terindikasi dengan jelas bahwa masih
banyak dari warga masyarakat Wonosalam yang masih tertinggal dalam hal
pendidikan bahkan masih banyak yang buta huruf, dalam hal keagamaan mereka
ternyata juga masih berada dibawah rata-rata, nuansa keagamaan masih kurang
begitu melekat dalam diri mereka, berangkat dari sini yang dikutip oleh Imam
Bawani, secara teoritis membagi masyarakat tradisionalis menjadi empat tipe model
masyarakat.
Berdasarkan kategorisasi tersebut, ternyata kelompok masyarakat yang
sepakat terhadap Tradisi “Cok Bakal” termasuk kepada kaum Tradisionelis yang
sifatnya leluhurisme, Sebutan ini secara khusus diperuntukkan bagi masyarakat yang
mempunyai kepercayaan akan perlunya senantiasa menjalin hubungan dengan para
leluhur, hal itu akan di pegang teguh sebagai norma kehidupan untuk setiap generasi.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tipe ini biasanya selalu menghubungkan
kondisi baik dan buruk, nasib untung dan rugi juga sebagai peristiwa yang mereka
alami, dengan ada atau tidaknya restu dari para leluhur, yang dalam
perkembangannya memadukan antara kepercayaan lokal dengan Islam, hal ini dapat
dilihat dari aktivitas kehidupan keberagamaan mereka sehari-hari. Sedangkan
73
kelompok yang tidak setuju dengan tradisi tersebut adalah kelompok modernis yaitu
kelompok yang terdiri dari para pemuda desa dan mereka sudah banyak mengetahui
pengetahuan dari daerah lain, hingga mereka lebih dipengaruhi oleh pola berfikir
moderen yang tidak percaya lagi terhadap tradisi atau adat itiadat yang ada.
Terlepas dari adanya golongan yang tidak sependapat dengan
diberlakukannya tradisi Cok Bakal di desa Wonosalam tersebut, pada kenyataannya
tradisi ini masih eksis sampai sekarang dan masih menjadi kepercayaan bagi
sebagian besar masyarakat Wonosalam untuk mengamalkan tradisi tersebut.
Di samping itu, pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia
sudah semestinya memiliki makna dan dasar mengapa perbuatan tersebut
dilaksanakan dan dipatuhi, begitu juga seperti kepatuhan masyarakat Wonosalam
terhadap tradisi perkawinan ”Cok Bakal” yang didasari oleh beberapa faktor. Secara
umum ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu:
1) Faktor Tradisi atau Kebiasaan
Yang dimaksud dengan tradisi adalah bahwasannya perkawinan ”Cok Bakal”
di Desa Wonosalam tersebut merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
para leluhur atau nenek moyang, kebiasaan ini sudah menjadi suatu
kepercayaan atau keyakinan yang harus dipatuhi, dan kemudian diwariskan
kepada keturunan atau anak cucunya hingga saat ini.
Dalam hal ini peneliti berpendapat seperti yang dikatakan oleh Imam Bawani
dalam bukunya bahwa secara umum tradisi tersebut di maksudkan untuk
menunjuk kepada suatu nilai, norma dan tradisi kebiasaan yang berbau lama,
dan yang lama tersebut hingga kini masih di terima, diikuti bahkan di
74
pertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu. Bahkan lebih spesifik lagi
dijelaskan dalam khazanah Bahasa Indonesia kalau tradisi itu berarti segala
sesuatu seperti tradisi, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun
dari nenek moyang. Ada pula yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal
dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang di transmisikan, diwariskan
oleh masa lalu ke masa sekarang.
Berdasarkan beberapa sumber tersebut jelaslah bahwa tradisi intinya adalah
warisan masa lalu yang dilestarikan terus-menerus sampai saat ini. Warisan
masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan tradisi
kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.
Beberapa hal inilah yang mungkin membuat masyarakat Wonosalam tetap
melaksanakan tradisi perkawinan “Cok Bakal” hingga saat ini.
2) Faktor Kebersamaan dan Kemaslahatan
Adapun yang dimaksud dengan kebersamaan disini yaitu bahwa masyarakat
desa Wonosalam beranggapan kalau tradisi ini adalah merupakan sebuah
wujud kekompakan dari mereka dan juga merupakan suatu simbol atau ciri
khas dari desa mereka, jadi menurut pandangan mereka tradisi tersebut tidak
boleh ditinggalkan begitu saja dan harus tetap dipatuhi sampai kapanpun.
Menyikapi hal tersebut maka ketika peneliti meminjam pendapat dari Imam
Bawani yang mengatakan bahwasanya tidak mungkin bertahan sutau
masyarakat atau kelompok (Tradisional) keculai mereka tetap berpegang
teguh kepada tradisi yang mereka miliki dan mereka percayai, baik secara
obyektif maupun subyektif adalah sesuatu yang bermakna, berarti atau
bermanfaat bagi kehidupan mereka. Sedangkan Menurut kodratnya manusia
75
adalah makhluk kelompok, bagi manusia hidup berkelompok adalah suatu
keniscayaan, karena memang tidak ada orang yang mampu memenuhi segala
keperluannya sendirian. Atas dasar ini, dimana dan kapanpun selalu ada
upaya untuk menegakkan dan membina ikatan kelompok, dengan harapan
agar menjadi kokoh dan terpelihara kelestariannya. Adapun cara yang
ditempuh antara lain melalui alat pengikat termasuk yang berwujud tradisi itu
sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan kemaslahatan disini adalah sampai saat ini
masyarakat Wonosalam tetap beranggapan bahwasannya dengan
dilaksanakannya tradisi “Cok Bakal” akan memberikan ketenangan dan
ketentraman bagi semua keluarga bahkan warga yang ada di desa tersebut,
dan ini sudah terbukti sejak diberlakukannya tradisi itu oleh nenek moyang
mereka dahulu kala.
Sedangkan secara khusus juga terdapat dua faktor yang dianggap anggap
sangatlah mempegaruhi terhadap keberlangsungan tradisi tersebut yaitu:
1) Faktor Adanya Rasa Patuh Terhadap Orang Tua dan Leluhur
Diamalkannya tradisi Cok Bakal memang tidak terlepas dari pada kepatuhan
mereka kepada orang tua dan leluhur yang telah mewariskan tradisi tersebut
kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu ciri dari masyarakat tradisional
yang selalu menganggap bahwa petuah orang tua itu haruslah dipatuhi dan
dilaksanakan, mereka cenderung stagnan dalam hal pemikiran seperti dalam
masalah tradisi itu sendiri. Adapun yang mempengaruhi pemikiran stagnan
masyarakat tersebut disebabkan oleh karena mereka memang kurang
mempunyai akses atau hubungan dengan dunia luar, bisa dikatakan kalau
76
mereka ini termasuk dari kelompok masyarakat Isolates yaitu masyarakat
kecil bersahaja yang secara ekonomis dapat memenuhi kebutuhan hidup
sebagai kelompok, mempunyai kebudayaan sendiri yang hampir tak pernah
terjadi perubahan. Karena mereka hanya mempunyai hubungan yang amat
terbatas dengan dunia luar, juga mereka cenderung selalu memegang teguh
apa yang menjadi petuah atau wejangan dari orang tua mereka. Dari sinilah
bisa disimpulkan bahwasannya masyarakat tersebut akan selalu mematuhi
dan mejalankan tradisi yang ada di desa mereka itu.
2) Faktor Adanya Implikasi Bagi yang Tidak Melaksanakan
Sementara itu, yang juga membuat masyarakat Wonosalam tetap
melaksanakan tradisi Cok Bakal disebabkan oleh kepercayaan mereka bahwa
yang melanggar atau tidak mengamalkan tradisi “Cok Bakal” tersebut Akan
mendapat musibah baik secara langsung maupun tidak langsung hal ini
menjadi kenyakinan bagi masyarakat dikarenakan memang sudah banyak
fakta dan realita yang terjadi, yaitu ketika seseorang tidak melaksanakan
“Cok Bakal” maka dia akan mengalami banyak cobaan dan rintangan bahkan
bisa ditimpa musibah dalam kehidupan rumah tangganya, selain dari pada itu
bahwa ketika mereka tidak mematuhi tradisi tersebut maka mereka akan
menjadi gunjingan oleh masyarakat sekitar dan mereka bisa tidak diterima
dalam kehidupan bermasyarakat.
Menelusuri permasalahan tersebut, memang terdapat pengakuan bahwa ada
salah satu orang yang tidak melaksanakan tradisi dan ternyata dalam
kehidupan keluarganya setelah menikah banyak mengalami rintangan dan
cobaan, akan tetapi yang perlu kita tegaskan adalah benarkah cobaan yang
77
terjadi itu memang benar dikarenakan tidak dijalankannya tradisi atau tidak,
karena peneliti rasa yang punya kekuasaan untuk menurunkan musibah itu
hanyalah Allah dan bukan suatu tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat, hal
inilah yang mungkin perlu dibangun dalam pola pikir masyarakat
Wonosalam.
Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ajaran Email Durkheim (1858-
1918)—seorang sosiolog Prancis—tentang faham ritus dalam masyarakat. Di sini
kesucian sebagai nilai ultim suatu komunitas bukan hanya dipelihara dengan
punishment atau pengecualian dan cap-cap negatif melainkan juga dengan ritus.
Perayaan-perayaan festival dan acara-acara budaya dalam masyarakat seperti
kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Ritus diadakan secara kolektif dan
regular agar masyarakat disegarkan kembali dan dikembalikan atas pengetahuan dan
makna-makna kolektif. Ritus menjadi mediasi bagi anggota masyarakat untuk tetap
berakar pada the sacred (keramat). Dalam hal ini, saraf-saraf kesadaran disentuhkan
pada hal-hal yang keramat, karena biasanya sesuatu yang keramat lebih mudah
diterima, tidak dipertanyakan, kalau sudah dijadikan mitos yang sesungguhnya di
dalam ritus itu terdapat nilai-nilai dan makna kolektif yang disakralkan.78
Adapun tentang bagaimana tradisi ”Cok Bakal”ditinjau dari hukum Islam.
Dalam Hukum Islam kita mengenal istilah 'Urf. 'Urf ialah sesuatu yang telah sering
dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau
perbuatan dan keharusan untuk meninggalkan sesuatu. 'Urf juga sering diartikan
sebagai adat. Oleh karena Ulama' berpendapat bahwa "adat itu adalah syari'at yang
78Johannes Supryono, "Paradigma Kultural Masyarakat Durkhaemien", dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.) et. al, Teori-Teori Kebudayaan (Cet. 1; Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.
78
dikukuhkan sebagai hukum", maka 'Urf menurut syara' juga mendapat pengakuan.
selama 'Urf itu tidak bertentangan dengan Syara', atau menghalalkan yang haram,
dan membatalkan yang wajib.79
Ketika tradisi perkawinan ”Cok Bakal” ini ditinjau dari sudut pandang Islam,
maka dalam Ensiklopedi disebutkan bahwa tradisi adalah “kebiasaan” atau “adat”
masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Juga
sebagaimana yang telah di formulasikan oleh Al-Jurjânîy yang dikutip Abdul Mudjib
mengatakan bahwa:
ل وقوعكم الملى حه عليع اسالنرمتااسة مادالعرأخ دعة بره ما إليوادع
Artinya:
Al-‘âdah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang terus-menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-menerus.
Adapun yang di konsepkan oleh Abdul Wahâb Khalâf mengatakan bahwa:
العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك
Artinya:
Tradisi adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Maka dari kedua pendapat tersebut bisa dikatakan bahwa “Cok
Bakal” merupakan adat atau tradisi, hal ini diindikasikan oleh beberapa hal
yaitu:
a. “Cok Bakal” telah dipercaya, diamalkan dan dipertahankan oleh masyarakat
Desa Wonosalam secara terus menerus dan berulang-ulang dalam 79Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh) (Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 135.
79
pengamalan suatu perbuatan dalam suatu perkawinan menjadi syarat yang
sangat urgen untuk bisanya suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu tradisi,
karena jika perbuatan tersebut hanya diamalkan sesekali, maka perbuatan itu
gagal untuk berpredikat tradisi. Terus menerusnya pengamalan “Cok Bakal”
bisa di buktikan dengan keterangan informan yang diinterview oleh peneliti
yang secara keseluruhan mereka memberikan keterangan atau informasi
bahwa “Cok Bakal” telah diamalkan dan dipertahankan secara turun-
temurun dan telah mengakar sejak dahulu kala.
b. “Cok Bakal” telah diketahui oleh seluruh masyarakat Desa Wonosalam pada
khususnya dan mereka sebagian besar mengamalkan kebiasaan ini, disamping
itu juga dilihat dari bentuknya kebiasaan ini berupa kegiatan dan perbuatan
yang berbentuk ucapan sebagaimana dalam konsep Abdul Wahâb Khalâf
tentang pengertian tradisi merupakan komponen atau wujud dari sesuatu yang
dikerjakan yang apabila dikerjakan secara terus menerus, maka akan bisa
dikatakan sebagai tradisi.
Seperti yang sudah di jelaskan dalam halaman sebelumnya tepatnya pada
bagian paparan data hasil wawancara, disana dijelaskann bahwa yang dimaskud
dengan tradisi “Cok Bakal” itu adalah Tradisi melakukan ritual-ritual tertentu
sebelum dilaksanaknnya perkawinan, seperti melakukan sesajen serta do’a kepada
arwah leluhur.
Berdasarkan keterangan tersebut yang perlu kita ketahui bahwasannya ada
sebuah kaidah fiqhiyyah yang mengatakan bahwa:
أألصل فى األ شياء اإلباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
80
Pada dasarnya setiap sesuatu hukumnya boleh sebelum ada dalil yang jelas
yang menunjukkan keharaman sesuatu tersebut. Bersandar pada kaidah di atas, maka
pada dasarnya tradisi perkawinan “Cok Bakal” tersebut hukumnya boleh, mengenai
permasalahan ini para ulama’ ushul fiqih merumuskan suatu kaidah fiqh yang
berkaitan dengan adat, yang berbunyi: ة ما مل خيالف النصمالعادة حمك (Adat kebiasaan bisa
dijadikan Hukum selama tidak bertentangan dengan nash).80
2. Dampak atau Manfaat Diamalkannya Tradisi Cok Bakal Bagi Masyarakat
Wonosalam
Pembahasan tradisi secara terminologi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk
kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi
pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam atau tradisi
kristen secara tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang
dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu, tetapi masih hadir dan malah
tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Ajaran Islam
atau Kristen tersebut masih berfungsi hingga saat ini, karena adanya proses
pewarisan sejak awal berdirinya ajaran tersebut, melewati berbagai kurun generasi
dan diterima oleh generasi sekarang.
Sementara itu, pernikahan menurut masyarakat Jawa adalah hubungan cinta
kasih yang tulus antara seorang laki-laki dan perempuan, yang pada dasarnya terjadi
karena sering bertemu antara kedua belah pihak. Dalam suatu pepatah jawa
80 Nasrun Haroen.,Op.Cit. hal.143.
81
mengatakan "tresno jalaran soko kulino" yang artinya cinta kasih itu tumbuh karena
terbiasa. Dalam hukum adat, pernikahan selain merupakan suatu ikatan antara laki-
laki dan perempuan sebagai suami istri, yang bertujuan untuk mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi
juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak istri dan pihak suami.
Diamalkannya tradisi perkawinan Cok Bakal pada masyarakat Wonosalam ini
tentu memiliki makna dan tujuan di dalamnya, makna dan tujuan yang terkandung ini
diharapkan bisa memberikan kontribusi kepada semua masyarakat yang mentaati dan
melaksanakan tradisi Cok Bakal tersebut. Adapun makna filosofis dan tujuan yang
terkandung dari dilaksankannya tradisi ini adalah:
a. Makna filosofis dilaksanakannya tradisi Cok Bakal
Terdapat beberapa makna dilaksanakannya tradisi Cok bakal bagi
masyarakat Wonosalam yang diantaranya:
1) Mendoakan kepada calon mempelai agar nantinya dalam membina
keluarga dapat menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
Seperti pengadaan sesajen yang terbuat dari pisang, cermin, sisir, telor,
suro, kembang, kendi kecil, nasi procot, kemi, kencur, jeruk purut, cabe,
kunir, kelapa, gula merah, bawang merah dan putih, laos, merica,
ketumbar, minyak wangi, ikan di tusuk, kluwek. Semua ini di buat
sebagai media untuk mendoakan kedua mempelai agar terhindar dari
mara bahaya yang akan menimpa mereka baik secara langsung ataupun
tidak.
82
2) Memberi Woro-Woro atau pengumuman kepada masyarakat setempat
bahwasanya akan dilaksanakannya pernikahan. Hal ini dikarenakan
penyelenggaraan tradisi ini melibatkan para saudara dan masyarakat
setempat hingga mereka bisa mengetahui kalau mau diadakannya acara
pernikahan.
3) Mempererat tali silaturrahmi dan tali persaudaraan karena saat
dilaksanakannya tradisi cok bakal semua sanak keluarga dan sanak famili
semua berkumpul untuk bersama mendoakan agar proses acara yang
dilaksanakan pada keesokan harinya dapat berjalan lancar tanpa kurang
satu apapun.
4) Sebagai tanda rasa syukur atas terjadinya peristiwa yang membahagiakan
dan diberikannya kemampuan dalam menikahkan putera mereka, hingga
dalam tradisi ini diadakan makan-makan bersama dalam satu ruangan
demi menjaga kerukunan bermasyarakat dan bersyukur kepada tuhan.
b. Maksud dan tujuan dilaksanakannya tradisi Cok Bakal
Adapun maksud dan tujuan diamalkannya tradisi Cok Bakal oleh masyarakat
Wonosalam ini adalah:
a. Untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat
Yang dimaskud kesejah teraan disini adalah bahwasanya dilaksanakannya
tradisi Cok Bakal ternyata bukanlah semata-mata hanya untuk kelanggengan
kedua mempelai saja, akan tetapi do'a-do'a yang di panjatkan juga di tujukan
kepada masyarakat umum yang ada dalam wilayah tersebut. Mereka berharap
dengan diadakannya tradisi tersebut bisa memberikan ketenangan dan
83
kesejahteraan bagi kedua mempelai dan juga bagi masyarakat yang ada di
sekelilingnya.
b. Untuk mempererat hubungan dalam bermasyarakat
Dalam hal ini, yang tidak kalah penting dari diamalkannya tradisi tersebut
adalah untuk mempererat tali silatur rahim atau hubungan antara masyarakat
yang ada dalam satu wilayah tersebut. Dengan adanya tradisi ini diharapkan
bisa menjadi media bagi masyarakat untuk lebih mempererat hubungan antara
satu dengan yang lain, juga supaya bisa menumbuhkan rasa solidaritas untuk
saling membantu antara sesama pelaku adat tersebut.
Dari penjelasan diatas bisa dikatakan bahwa maksud dan tujuan
diamalkannya tradisi perkawinan “Cok Bakal” tidak lain hanya semata-mata untuk
kemaslahatan kehidupan berkeluarga bagi kedua mempelai dan masyarakat di
sekitarnya. Karena ketika tradisi tersebut tidak dilaksanakan maka dipercaya pasti
akan terjadi musibah bagi pelanggar tersebut baik itu musibah secara langsung
maupun tidak dan mereka cenderung akan sulit diterima dimasyarakat, juga dengan
diamalkannya tradisi tersebut akan menjadikan sebagai benteng pertahanan bagi
kelompok mereka dari arus budaya modernisasi yang semakin merajalela dengan
segala dampak negatifnya, dari situ tidak ada jalan lain sebagai pemersatu kelompok
kecuali dengan menjaga kemurnian tradisi yang mereka miliki. Dari sini bisa kita
lihat bahwasanya pelaksanaan tradisi Cok Bakal ini ternyata mepunyai kontribusi
yang cukup besar bagi kehidupan bermayarakat di desa Wonosalam itu sendiri.
84
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisisnya sebagaimana telah
disajikan pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Tradisi Cok Bakal menurut sebagian besar masyarakat Wonosalam merupakan
warisan dari nenek moyang yang harus dilestarikan dan wajib untuk
dilaksanakan. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan alasan karena tradisi
tersebut menyimpang dari ajaran Islam. Ada beberapa faktor hingga tradisi ini
masih tetap eksis yaitu: faktor tradisi atau kebiasaan, kebersamaan dan
kemaslahatan, adanya rasa patuh terhadap orang tua dan leluhur, adanya
implikasi bagi yang tidak melaksanakan baik langsung ataupun tidak.
84
85
Sedangkan dari tinjauan Urf bisa dikatakan bahwa Cok Bakal ini bisa dikatakan
sebagai tradisi, karena ia sudah dipercaya dan diamalkan bahkan telah diketahuai
oleh semua masyarakat Wonosalam.
2. Dampak atau manfaat dilaksanakannya tradisi Cok Bakal bagi masyarakat
Wonosalam adalah: Untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan untuk
mempererat hubungan dalam bermasyarakat. Karena dengan dilaksanakannya
tradisi Cok Bakal ini akan semakin mempererat tali silatur rahim antara penduduk
yang satu dengan yang lain dan akan semakin membangun rasa gotong royong
sesama pelaku tradisi atau kebudayaan.
B. Saran-saran.
1. Dalam pelaksanaan suatu tradisi, masyarakat hendaknya memperhatikan alur dari
prosesinya dan memberikan kritik keagamaan agar terhindar dari hal-hal yang
secara jelas dilarang oleh agama yang diyakini kebenaran doktrin-doktrinnya
dengan atas nama melestarikan dan mengamalkan adat lokal dan hendaklah
dalam pengamalan adat masyarakat mengacu pada dasar filsafat tradisi
Minangkabau �Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”””” makna dari
ungkapan ini bahwa semua tradisi yang berseberangan dengan Islam harus
ditinggalkan.
2. Mahasiswa Fakultas Syari’ah sebagai mahasiswa yang berbasic ke-Islaman
hendaklah mempunyai dedikasi yang mendalam untuk meneliti adat-adat yang
hidup ditengah-tengah masyarakat dan merumuskan akulturasinya dengan Islam
dengan jalan penetapan atau modifikasi agar berjalan sesuai dengan koridor
Islam atau agar lebih kelihatan Islami.
86
3. Masyarakat Desa Wonosalam hendaklah memodifikasi sesajen kepada hal-hal
yang lebih bermanfaat, seperti memberikan makanan-makanan terebut kepada
yang membutuhkan agar pengamalan tradisi Cok Bakal kedepan bisa sejalan
dengan Islam sebagai agama yang diyakini masyarakat Wonosalam dan juga
mendapatkan legalisasi secara keagamaan
DARTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya. A, Ahmad (1978), Bulughul Maram. Bandung: CV. Diponogoro. Al-Barry, M. Dahlan (1994) Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola. Achmadi, Abu Cholid Narbuko (2005) Metode Penelitian, Jakarta: PT Bumi Aksara. Ahmad Zuhdi Muhdhor, Atabik Ali (1996) Kamus Kontemporer Arab-Indonesia
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak. Ahmad Zuhdi Muhdhor (1994) Memahami Hukum Perkawinan (nikah, talak, cerai,
dan rujuk) Jakarta: Al Bayan. Arikunto, Suharsimi (1993) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta. Bawani, Imam (1990) Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al-
Ikhlas. Ayyub, Hasan (2001) Fikih Keluarga Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. Abidin, Slamet Amirudin (1999) Fiqih Munakahat 1 Bandung: CV. Pustaka Setia. Bungin, Burhan (2001) Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif
dan Kualitatif Surabaya: Airlangga Press. Ensiklopedi Islam, (1999) Jilid I Cet.3; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Malang (2005) Buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah Cet. I; Syariah UIN Malang. Fischer, TH (1980) Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia Jakarta: Pustaka
Sarjana. Fathoni, Abdurrahmat (2006) Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar (Jakarta:
PT.Rineka Cipta. Haroen, Nasrun (1997) Ushul Fiqh I Cet.2; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu Hakim, Moh Nur (2003) Islam Tradisi Dan Reformasi “Pragmatisme”Agama
Dalam Pemikiran Hasan Hanafi, Malang: Bayu Media publishing.
Hadikusuma, Hilman (1995) Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditiya Bakti.
Istiqomah, Choirul, (2002) Prosesi Perkawina Adat Sunda Perspektif Fiqih (Studi di
Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi Tengah Kabupaten Bandung), Syari'ah: UIN Malang.
Insyiroh, Titik (2006) Tradisi Siaran Bawaan Pada Pesta Pernikahan, "Skripsi",
Syari'ah: UIN Malang. Ijmaliyah, Mitos ”Segoro Getih” Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Atau
Isteri Di Masyarakat Ringinrejo Kediri (Studi Akulturasi Mitos Dan Syari’at), (Syari’ah: UIN MALANG, 2002)
Ihromi, T.O (2006) Pokok-Pokok Antropologi Budaya Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi 1 Jakarta: UI-Press. Moleong, Lexy J. (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Rosda
Karya. Muhtal, Kamal (1993) Asas-Asas Hukum Islam dalam Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang Nazir, M (2003) Metode Penelitian Jakarta: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komuniksi dan Ilmu Sosial Lainnya Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mujib, Abdul (1999) Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh Cet. 3; Jakarta: Kalam Mulia. Pranowo, M. Bambang (1998) Islam Faktual Antara Tradisi Dan Relasi Kuasa,
Yogyakarta: Adi Cita Karya nusa. Presiden Republik Indonesia (t. th) Kompilasi Hukum Islam (INPRES NO. 1 Tahun
1991). Surabaya: Karya Anda. Qaimi, Ali (2002) Singgasana Para Pengantin Bogor: Cahaya. Ramulya, Mohammad, Idris (1996) Hukum Perkawinan Islam: Studi Analisis dari
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press
Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian Hand Out, Fakultas Syari'ah UIN Malang
Sayuti, Husin (1989) Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung. Supryono, Johannes (2005) "Paradigma Kultural Masyarakat Durkhaemien", dalam
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.) et. al, Teori-Teori Kebudayaan Cet. 1; Yogyakarta: Kanisius.
Sumber Monografi (2007) Desa Wonosalam Kec. Wonosalam, Kab. Jombang. Sudjana, Nana (2001) Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah, Skripsi, Tesis,
Disertasi Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo. Wasid, Abdul, ( 2005) Hukum Perkawinan Adat Ditinjau dari Sudut Hukum Islam
(Studi kasus di daerah Samin Desa Jipang Kec. Cepu Kab. Blora), Syari'ah: UIN Malang.
Wignjodipoero, Soerojo (1995) Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT.
Toko Gunung Agung. Wahab Khallaf, Abdul (1996) Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh) Cet.
VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Sesajen yang dinamakan Cok Bakal
Sesajen Yang Dinamakan Sepen
Ritual Cok Bakal Sehari Sebelum Dilaksanakannya Acara Pernikahan
Wawancara Dengan Calon Mempelai Laki-Laki Sehari Sebelum Pernikahan
Upacara Menginjak Telur (Wiji Dadi)
Pengantin Putri Membasuh Kaki Pengantin Putra
Wawancara Dengan Bapak Pardi Sebagai Kepala Desa
Wawancara Dengan Tokoh Adat Sesaat Setelah Ritual Cok Bakal Selesai
Wawancara Dengan Ibu Siti Masrufah
Wawancara Dengan KH. Muhadi
Wawancara Dengan KH. Suyono
Wawancara Dengan Ibu Sati’ul Inayah
Wawancara Dengan Bapak Saifullah
Recommended