View
226
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Oleh
Nanang Adita Permana
E1A008232
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh
Nanang Adita Permana
E1A008232
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : NANANG ADITA PERMANA
NIM : E1A008232
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)
Yang saya buat ini adalah benar merupakan hasil karya sendiri, tidak menjiplak
hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, Agustus 2013
NANANG ADITA PERMANA
NIM. E1A008232
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul : PROSES PEMERIKSAAN SIDANG
TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai
kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat usaha, bimbingan, dan
doa serta dukungan yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak , maka skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Angkasa S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
2. Sanyoto, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Hukum acara
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
memberikan nasehat-nasehat, ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga, serta
telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi
penulis;
4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;
5. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H., selaku dosen penguji skripsi, yang telah
memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan
skripsi penulis;
6. Bapak Mukhsinun, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik, yang telah
membimbing, memberikan nasehat-nasehat, ilmu-ilmu, serta motivasi
untuk berproses menuntut ilmu;
7. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
8. Kedua orang tua penulis, yang telah memberikan dukungan, semangat,
do‟a, nasehat dan kasih sayangnya kepada penulis selama menuntut ilmu
sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini;
9. Kakak-kakak dari penulis, yang telah memberikan do‟a dan motivasi
selama penyusunan skripsi ini, serta seluruh keluarga besar dari penulis;
10. Sahabat-sahabat dekat Rizal, Sigit, Wisnu, Anung, Adi, Fajar, Faisal,
Fandi, Catur, Ian dan yang telah hadir dalam seminar saya.
11. Teman-teman KKN POSDAYA Desa muntang Kecamatan Bantarkawung
Kabupaten Purbalingga yang telah menjadi keluarga baru bagi penulis.
12. Semua teman-teman angkatan 2008 dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga apa yang telah diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
dari Alloh SWT sebagai amal ibadah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam karya
penulisan (skripsi) ini, namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf
sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Purwokerto, Agustus 2013
Penulis,
NANANG ADITA PERMANA
NIM. E1A008232
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................................... ix
ABSTRACT ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
D. Keguanaan Penelitian ................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana ................................................ 9
B. Tujuan Hukum Acara Pidana ..................................................... 13
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana ................................................. 17
D. Anak di Bawah Umur ................................................................. 27
1. Pengertian Anak ............................................................... 27
2. Pengertian Anak Nakal .................................................... 33
3. Perlindungan Anak ........................................................... 34
E. Terdakwa .................................................................................... 38
1. Pengertian Terdakwa ........................................................ 38
2. Hak Terdakwa Menurut KUHAP..................................... 39
3. Hak Terdakwa Anak ........................................................ 40
F. Pengadilan ................................................................................... 45
1. Pengertian Pengadilan Anak ............................................ 45
2. Kompetensi Pengadilan Anak .......................................... 51
3. Asas-asas Pengadilan Anak ............................................. 54
4. Sanksi Terhadap Anak Nakal ........................................... 56
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................... 58
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................ 58
C. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 59
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 60
E. Metode Penyajian Data ............................................................. 60
F. Metode Analisis ......................................................................... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................... 62
B. Pembahasan ................................................................................ 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 105
B. Saran .......................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)
Oleh:
NANANG ADITA PERMANA
E1A008232
Tindak pidana narkotika dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh orang
yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak. Penjatuhan pidana
terhadap anak hendaknya berbeda dengan penjatuhan pidana terhadap terdakwa
yang sudah dewasa oleh karena itu pelaksanaan penegakan hukum kepada anak
hendaknya dilakukan secara khusus dari mulai penyidikan hingga pelaksanaan
putusan. Proses pemeriksaan terhadap terdakwa anak menggunakan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai dasar hukumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemeriksaan terdakwa anak
dalam putusan nomor: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini
menggunakan data primer berupa putusan nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. dan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan data sekunder
peraturan perundangan dan literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan
yang diteliti data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan metode
normatif kualitatif.
Kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut Proses pemeriksaan terdakwa anak
dalam putusan nomor: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. belum sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Kata Kunci : 1. Proses pemeriksaan sidang anak
ABSTRACT
EXAMINATION PROCESS HEARING CRIMINAL ACTS AGAINST
CHILDREN IN NARCOTICS
(Judicial Review Court Decision Against Purwokerto
Number 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)
By :
NANANG ADITA PERMANA
E1A008232
Criminal acts of narcotics, in fact, not only done by people who are already
adults, but also by the children. Imposition of criminal proocedings against
defendants who have adults. Therefore the implementation of law enforcement to
the childs should be made specifically from the start the investigation until the
execution of the verdicht. The process of examining the accused child use
provisions of law number 3 Year 1997 about juvenile court. Study purpose to
determine the defendant dropped the child in decision number
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
The research method used a normative juridical approach. This study used
primary data from decision number: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. and provisions of
law number 3 Year 1997 about juvenile court and secondary data from legislation
and literature relevant to the issues under study. The data obtained than analyzed
used qualitative normative methods
Conclusion the results of the study as follows the process of examining the
accused child in decision number: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. not accordance with
the provisions of law number 3 year 1997 about juvenile court.
Key Word : 1. Inspection process hearing children
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan salah satu potensi bagi perkembangan dan
pertumbuhan suatu bangsa dimasa depan oleh sebab itu anak patut diberikan
pembinaan dan perlindungan secara khusus oleh negara dan undang-undang
untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial.
Untuk melaksanakan pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut
diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang memadai,1 oleh karena itu anak yang melakukan kenakalan
(tindak pidana) diperlukan pengadilan anak yang secara khusus menangani
kasus anak guna menanggulangi kenakalan anak.
Kenakalan anak di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan baik
secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan secara kuantitas jumlah anak
yang menjadi tahanan, narapidana dan anak didik kemasyarakatan dapat
dilihat pada data di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) yaitu pada
tahun 2007 berjumlah 2.149 anak, kemudian mengalami peningkatan menjadi
2726 di tahun 2008.2
Peningkatan secara kualitas dapat dilihat bahwa kenakalan anak bukan
lagi kenakalan biasa tetapi cenderung kenakalan yang dilakukan, sudah
menjurus kepada tindak kriminal yang melanggar hukum. Berdasarkan data
1Darwan Prins. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 2.
2Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia.Genta Publishing: Yogyakarta, hlm. 1.
dari Ditjenpas terdapat lima jenis tindak pidana yang sering dilakukan oleh
anak, yaitu pencurian, narkotika, susila, penganiayaan dan pengeroyokan.3
Proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim
yang menangani berbagai macam kasus tindak pidana dengan terdakwa
seorang anak biasa dilakukan dengan sewenang-wenang tanpa melihat
mekanisme beracara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dan tanpa melihat kondisi kejiwaan atau psikis
terdakwa anak. Notabenya seorang anak dilindungi oleh negara dalam bentuk
peraturan perundangan dan juga seorang terdakwa anak memiliki mekanisme
beracara tersendiri terhadap proses pemeriksaan sidang pengadilan dan hakim
mempunyai kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dalam pemeriksaan sidang anak.
Beberapa proses pemeriksaan sidang pengadilan anak yang pernah
mendapat sorotan tajam dari masyarakat dan pemerhati anak yaitu proses
pemeriksaan sidang pengadilan AAL (15 tahun) yang dituduh melakukan
pencurian sandal milik petugas kepolisian di Palu yang terjadi pada akhir
bulan Mei 2011, kasus AAL diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Palu
dan Hakim Tunggal Rommel F. Tampubolon dengan tegas menyatakan AAL
bersalah. Kasus AAL yang beberapa waktu ini menjadi fokus perhatian
masyarakat luas dan telah menjadi isu nasional telah mendorong lahirnya
gerakan dan solidaritas masyarakat sipil termasuk penggalangan sandal jepit
yang berlangsung di beberapa kota dan mengundang pernyataan-pernyataan
3
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/all/year/2012/month/12,
diakses pada tanggal 29 September 2012.
dari para tokoh masyarakat dan pejabat di tingkat nasional. Vonis yang
diberikan kepada AAL dinilai terasa sebagai pisau hukum hanya tajam bagi
rakyat kecil tapi tumpul bagi aparat negara. Banyak pihak menyayangkan
kasus yang menimpa AAL tersebut dan sorotan tajam dialamatkan kepada
pihak kepolisian, hal mana korban pencurian adalah petugas kepolisian. Ini
dinilai tidak sebanding dengan berbagai persoalan besar yang melanda negeri
ini tapi tidak mendapatkan penanganan secara memadai.
Menurut teori ilmu hukum putusan yang dijatuhkan kepada AAL
tersebut mungkin baik, argumentatif ilmiah. Tetapi sebenarnya, belum
menyentuh perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga benar
sekali kalau Radbruch mengatakan summum ius sums inuiria. Bahwa keadilan
tertinggi itu adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi hukum sering
kali merugikan keadilan.4
Terkait dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, pada proses pemeriksaan sidang pengadilan
terhadap terdakwa anak YNS bin AK di Pengadilan Negeri Purwokerto
dengan perkara tindak pidana narkotika, YNS bin AK didakwa secara
alternatif yaitu telah melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, atau kedua melanggar Pasal 111 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan
ancaman pidana penjara 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun,
4Jeremias Lemek. 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan
Hukum di Indonesia. Galangpress: Jakarta, hlm. 25.
dalam amar putusan hakim menyatakan bahwa Terdakwa YNS bin AK telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan terhadap terdakwa YNS bin AK dilakukan
dengan sidang tertutup dimana hanya keluarga yang boleh menyaksikan
proses persidangan dan hakim, jaksa serta pengacara tidak mengunakan toga
untuk menjamin jalannya sidang dilakukan dengan cara kekeluargaan agar
kejiwaan terdakwa YNS bin AK tidak tertekan akan tetapi dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, terdakwa YNS bin AK belum sepenuhnya
menerapkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Hakekatnya anak tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa,
dalam ukuran kecil kita yakin bahwa ada perbedaan antara pelanggar-
pelanggar anak dengan orang yang sudah dewasa, sudah seharusnya anak
mendapat perlakuan khusus dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.
Agar dapat terwujudnya suatu tata cara pemeriksaan anak di depan sidang
pengadilan maka diperlukan beberapa lembaga dan perangkat hukum yang
mengatur tentang anak serta dapat menjamin pelaksanaanya dengan
berasaskan keadilan, salah satunya adalah perangkat undang-undang tentang
tata cara pemeriksaan anak. Ada beberapa peraturan yang mendasarinya antara
lain:
1. KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk
pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
2. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1959
tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara Pidana Dengan Pintu Tertutup
Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa
3. Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06-UM 01
Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan Anak
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (akan berlaku 2014)
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang di dalamnya diatur mengenai tata cara pemeriksaan
anak di pengadilan, diharapkan mampu menjamin perlindungan anak dalam
keseluruhan proses pemeriksaan pidana. Sehingga tumbuh kembang anak
tetap dapat berjalan dengan baik.
Beberapa tata cara pemeriksaan anak dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak perlu diberi perhatian khusus, demi
peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang
bersangkutan. Sehubungan dengan itu maka ada beberapa tata cara
pemeriksaan anak yang perlu di perhatikan dan diperjuangkan pelaksanaanya.
Tata cara tersebut dilaksanakan selama proses pemeriksaan sidang pengadilan,
yang terdapat pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, seperti:
1. Sidang tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan; (Pasal 8 (1),(6))
2. Di setiap persidangan anak diwajibkan memiliki pendamping baik orang
tua, advokat dan pembimbing kemasyarakatan; (Pasal 55)
3. Dalam pengadilan anak jaksa, hakim, penasehat hukum dilarang
mengenakan pakaian seragam, toga serta atribut/tanda kepangkatan
masing-masing; dan (Pasal 6)
4. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama 1/2
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(Pasal 26 ayat (1))
Perlakuan khusus terhadap anak nakal atau anak yang berkonflik
dengan hukum, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Hal
itu bukan berarti penyimpangan dari prinsip equality before the law.
Ketentuan demikian dalam kerangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan
seimbang bagi anak.5
Aspek perlindungan anak dalam peradilan anak ditinjau dari segi
psikologi bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, ketelantaran,
penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.6
Sehingga kondisi psikis anak tetap baik walaupun berada dalam proses
pemeriksaan perkara pidana.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis ingin
melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek normatif pemeriksaan
terdakwa anak dalam sidang pengadilan dengan judul:
5Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan pemidanaa. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 4.
6Agung Wahyono dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di
Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 10.
"Proses Pemeriksaan Sidang Terhadap Anak Dalam Tindak
Pidana Narkotika (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)"
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
ditarik suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dalam Proses pemeriksaan sidang pengadilan
YNS bin AK?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim yang mengadili “menyerahkan
terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan BAPAS” dalam
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat
memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Tujuan diadakanya
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui, mengkaji dan menggali penerapan Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Proses
pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin AK.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan
terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan penulis, serta wacana bagi perlindungan anak di Indonesia yang
berhadapan dengan hukum khususnya dalam proses pemeriksaan perkara
pidana di sidang pengadilan.
2. Kegunaan Praktis
Untuk mengembangkan pola pikir dan mengetahui kemampuan
penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh serta hasil penelitian ini dapat
memberi informasi kepada masyarakat pada umumnya dan semua pihak yang
berkepentingan pada khususnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha
untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat,
baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau
penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang
yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para
penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup
bangsa kita, sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai
sasarannya.
Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.
hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu
pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana
lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap
terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup
yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan
penyidikan, penuntutan, pengadilan dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana.
Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara-cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara
dengan mengadakan hukum pidana.7
Istilah pidana sendiri adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini.
Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja
dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.8
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan hanya memberikan
beberapa definisi yang merupakan bagian hukum acara pidana seperti
penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya
hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya
merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana.
Hukum acara pidana menurut Van Bemmelen9 sebagaimana dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu sebagai berikut.
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran
2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut
7Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 7.
8A. Hamzah dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta, hlm. 24.
9Andi Hamzah, op.cit. hlm. 6.
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib.
Pengertian diatas lebih mengedepankan adanya tahapan tahapan dalam
beracara pidana poin satu sampai empat menunjukkan tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga batas antara
penyidikan dan penuntutan menjadi kabur. Kelima menunjukkan
adanya pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya
hukum yang dapat ditempuh pada poin enam dan ke tujuh merupakan
eksekusi dari putusan hakim yang dilaksanakan oleh jaksa”.
Polisi, jaksa, hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana,
tetapi harus berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan
perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang. Menyangkut
dengan kaitan antara KUHAP sebagai lex generalis dan acara pidana dalam
perundang-undangan diluar KUHP itu sebagai lex specialis. Maka KUHAP
juga terdapat pasal khusus mengenai ketentuan yang berbunyi: “KUHAP
berlaku juga sebagai hukum acara bagi perundang-undangan pidana di luar
KUHP kecuali bagi perundang-undangan pidana di luar KUHP kecuali
undang-undang yang bersangkutan menyimpang.10
Menurut D. Simons11
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah menyebutkan mengenai hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidanakan dan menjatuhkan pidana”.
10
Ibid., hlm. 2. 11
Ibid., hlm. 4.
Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap
dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena
merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya
saja. Dan Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut
dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4
adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan
dan penuntutan menjadi kabur, karena memang kita dapat menggolongkan
Van Bammelen pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai
bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah
pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula
upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun
peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya
hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang
normal.
Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang
diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono
Prodjodikoro, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung.
Sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara
pidana menurut Wirjono Prodjodikoro12
adalah sebagai berikut:
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana”.
12
Ibid., hlm. 7.
Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara pidana
pada menjalankan hukum pidana materiil. Dapat dijabarkan bahwa tujuan
negara dalam menciptakan hukum pidana materiil yaitu tata tertib, aman,
sejahtera, dan damai dalam masyarakat.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
Setiap apa yang dibuat manusia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu
dan maksud dibuatnya. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang
dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat
dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri
Kehakiman13
yang dikutip oleh Ziad dalam diktatnya adalah sebagai berikut.
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.
Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari
kebenaran materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti
yang dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari
penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan di pengadilan yang ditekankan pada
pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga
menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah
dengan alat bukti tersebut.
13Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm. 1.
Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama
dan cenderung dicampuradukan karena pada prinsipnya sama untuk mencari
kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari
kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat
menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah
perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan
yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu
sendiri dengan prinsip keadilan.
Tujuan acara pidana secara yuridis juga tercantum dalam KUHAP
yang merupakan kodifikasi undang-undang beracara pidana sehingga dapat
pula dimasukkan dalam tujuan acara pidana. Tujuan yang hendak dicapai
KUHAP dapat ditelaah dalam huruf c konsiderans, yang merumuskan:
“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang
hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang msing-masing
ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Landasan tujuan KUHAP menurut Yahya Harahap14
tersebut dapat
dijabarkan menjadi bebarapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu :
1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang
diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang
dibebankan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak
14
Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 58-80.
dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-
wenang oleh aparat penegak hukum.
2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan :
a. Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai
dengan fungsi dan wewenang masing-masing;
b. Peningkatan pembinaan profesionalisme; dan
c. Pembinaan peningkatan sikap mental.
3. Tegaknya hukum dan keadilan
Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari
aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang
berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan
tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan
prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP.
4. Melindungi harkat martabat manusia
Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai
harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hak-hak asasi yang
melekat pada tiap diri manusia.
5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum
Kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang
dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu
lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar.
Untuk mewujudkan hukum acara pidana yang diinginkan diperlukan
suatu fungsi agar tujuan itu dapat terealisasi, karena tujuan itu masih belum
jelas dan abstrak maka dibutuhkan fungsi hukum acara pidana agar
pelaksanaannya punya kegunaan yang mendukung untuk mendapatkan tujuan
yang dinginkan.
Menurut Mardjono Reksodiputro15
, tujuan sistem peradilan pidana
dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
dan
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulagi lagi kejahatannya.
Dalam rangka mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana memiliki
desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP. Menurut
Mardjono Reksodiputro secara garis besar sistem peradilan pidana dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap
prajudikasi (pre-judication), tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi
(adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post
adjudication).16
Menurut J. M. Van Bemmelen17
dalam bukunya (Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht), menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok
acara pidana adalah:
1. Mencari dan menemukan kebenaran;
15
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3 November
2011.
16
ibid
17
Andi Hamzah, op. cit, hlm 8-9.
2. Pengambilan putusan oleh hakim; dan
3. Pelaksanaan dari putusan.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran
karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti
itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat)
yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara
pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan awal, dan tujuan akhir
sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus
berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan. Tujuan akhir hukum acara pidana
yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana terdapat asas-asas hukum acara pidana yang
digunakan sebagai pedoman dalam penegakan hukum acara pidana, yaitu:
1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Sebenarnya hal ini bukan merupakan barang baru dengan lahirnya
KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-kata
yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk
menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP
yang memakai istilah “segera”.18
Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika (hulp
magistraat) melakukan penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh
empat jam memberitahukan kepada jaksa.
Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada
istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu
diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum.
Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam
KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP
sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak
yang di tunjuk dalam KUHAP.
2. Praduga Tidak Bersalah
Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah
dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam
Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP yang
merumuskan:
18
Ibid., hlm. 12.
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan/dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Sehingga terdakwa yang dihadirkan di muka persidangan tidak boleh dalam
kondisi diborgol.
Menurut M. Yahya Harahap19
yang dikutip dalam bukunya
Mohammad taufik Makarao dan Suhasril menyebutkan:
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan
dinamakan prinsip akusator”
Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan, adalah:
a. Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka
atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan
manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
b. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan
(tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Kearah
itulah pemeriksaan ditujukan.
3. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal
19Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam teori
Dan Praktik. Ghalia Indonesia: Jakarta, hlm. 3.
ini disebut (dominus litis) di tangan penuntut umum atau jaksa. (Dominus)
berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta
supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja
penuntutan dari penuntut umum.
Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid20
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum”.
Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu
dianut di Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
“Jaksa agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan
umum” dalam sebuah perkara. Pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo21
yang dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Baik di Negara Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang
disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya badan
20
Andi Hamzah, op.cit. hlm. 17. 21
Ibid.,hlm. 20.
penuntut umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau
adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna
kepentingan masyarakat”.
Sehingga dalam jaksa melakukan penuntutan harus berdasarkan atas
kepentingan negara dan masyarakat.
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” ayat (3).
“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum” ayat (4).
Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat (4) lebih
dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut:
“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,
terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut
tidak terpenuhi”.
Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena masih ada
pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik yang
berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum
(openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum untuk
menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal
tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP.
Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi
hukum.
Pengecualian terhadap Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga dikecualikan terhadap
tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak
alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali, tidak
patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka umum.
Begitu juga dengan anak-anak dengan pertimbangan terhadap akibat psikis
anak.22
Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan
seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan
dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya
diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat
mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan
demi nama baik keluarganya.23
Sebagaimana menurut D. Simons24
yang dikutip Andi Hamzah dalam
bukunya, menyebutkan sebagai berikut:
“HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan
bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan
suatu persidangan tertutup untuk umum”.
Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak
dapat dibanding. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun
dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
22Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, op. cit. hlm. 9.
23Andi Hamzah, op. cit. hlm. 21.
24ibid.
Bahkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas menyatakan:
“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.
Sehingga mengucapkan sidang terbuka untuk umum menjadi suatu keharusan
bagi hakim dimana hakim akan memulai sidang, terkecuali pada kasus-kasus
kesusilaan dan terdakwanya seorang anak di bawah umur.
5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum pula dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3
huruf a KUHAP. Dalam penjelasan umum butir 3 huruf a KUHAP
merumuskan sebagai berikut:
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman merumuskan sebagai berikut:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”.
Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga
menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap
setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Sehingga dalam mengadili suatu perkara hakim tidak boleh membeda-bedakan
terdakwa, baik terdakwa itu orang biasa atau rakyat kecil atau terdakwa itu
pejabat negara yang memiliki kekuasaan yang luas.
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini
diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri
yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili
golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam
tentang ilmu hukum.
Menurut D. Simons25
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu
dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut
maka Jerman juga tidak menganutnya.”
7. Tersangka/terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP
yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
25
Ibid. hlm. 22.
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan;
b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
d. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik
atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan
negara;
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan; dan
f. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
Menurut Andi Hamzah26
yang dikutip dalam bukunya berpendapat
sebagai berikut:
“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan
hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-
kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi
politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga
menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum secara merata.”
Sebagaimana menurut Adnan Buyung Nasution27
, sebagaimana
dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan
oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi
dan keadaan kesehatan yang buruk”.
26
Ibid. hlm. 24. 27
ibid.
8. Asas Akusator dan Inkisitor
Asas inkisitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang
seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan
para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan
yang dilakukan secara tertutup. Sedangkan asas akusator adalah kebalikan dari
prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan
terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan
pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang tidak memihak.
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Ini berarti perbedaa antara
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya
telah dihilangkan.
Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan
pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin dituntut
untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu pembantu untuk acara
pidana. Hal ini sejalan dengan pendapat Andi Hamzah28
dalam bukunya
sebagai berikut:
“Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan
pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin
dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu
pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi,
kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.”
28
Ibid. hlm. 25.
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda
dengan acara perdata dimana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili
kuasanya. Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim
dengan terdakwa.29
Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan
diatur dalam Pasal 154, 155, dan seterusnya. Pengecualian dari asas langsung
ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau (in
absentia). Pasal 213 KUHAP merumuskan sebagai berikut:
“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya
di sidang”.
Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara
pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.
D. Anak di Bawah Umur
1. Pengertian Anak
Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. Anak
merupakan suatu titipan kepada orang yang telah menikah dan berkeluarga.
Sehingga anak harus dijaga dan dilindungi oleh orang tuannya hingga anak
dapat melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang ada dan juga dapat berpikir
secara sehat untuk menentukan pilihan hidupnya kelak. Untuk melaksanakan
pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik
yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai.
29
ibid
Dalam sistem perundangan-undangan kita belum ada unifikasi tentang hukum
anak akan tetapi terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan
saat ini, seperti pada: Hukum Perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang Pengadilan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Hukum anak sendiri adalah sekumpulan peraturan hukum yang
mengatur tentang anak.30
Adapun hal-hal yang diatur hukum anak itu,
meliputi: sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak
sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak,
pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal
dan lain sebagainya.31
Pentingnya memahami hukum anak, dapat disimpulkan dari
konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yang merumuskan sebagai berikut:
“Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber
daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak
memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang”.
Dalam kehidupan bernegara, anak merupakan generasi penerus bangsa dan
merupakan generasi muda yang nantinya sebagai penerus cita-cita bangsa.
Pengertian anak sendiri dimata hukum positif Indonesia diartikan sebagai
orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di
30
Darwan Prins, op. cit. hlm. 1.
31
ibid
bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau
kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige
ondervoordij).32
Maka berdasarkan dari pengertian anak ternyata dalam
hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku
dan berlaku universal. Dimana pengertian anak tersebut terdapat dalam
beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan yang
mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14
(empat belas) tahun ke bawah.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal
47 ayat (1), merumuskan;
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Dalam Pasal 50 ayat (1), merumuskan;
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Dalam undang-undang ini pengertian anak tidak diartikan secara lebih
jelas, namun pengertian dari Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang
berisi mengenai pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau
di bawah perwalian sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun dapat
diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun.
32
Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan
Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung, hlm. 4.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam Pasal 1 butir 2, merumuskan;
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin”.
Dalam undang-undang ini anak didefinisikan sebagai seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam
Pasal 1 butir 1, merumuskan;
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini merumuskan sebagai
berikut;
“Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut menyebutkan bahwa batasan umur anak
nakal (anak yang melakukan tindak pidana) yang dapat diajukan ke
pengadilan anak adalah anak yang sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 1 butir 1, merumuskan;
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam
kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu
perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-
undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang
menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, dan
anak asuh.
f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Dalam Pasal 1 butir 3, merumuskan;
“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana”.
Dalam undang-undang ini definisi anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
g. Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Dalam Konvensi PBB yang
ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 1990
menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah umur 18 (delapan belas)
tahun.
h. Menurut KUHP. Seperti halnya dalam Undang-Undang tentang
Perkawinan, dalam KUHP pengertian dari anak tidak diartikan secara
lebih lanjut, namun berdasarkan Pasal 45 KUHP dapat disimpulkan
mengenai pengertian anak yaitu seseorang yang belum cukup umur,
dimana batasan umurnya adalah 16 (enam belas) tahun.33
Namun seiring
perkembangan zaman, maka ketentuan dari Pasal 45 KUHP ini sudah tidak
berlaku lagi dan sebagai gantinya digunakan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan berlaku
tahun 2014.
Apabila diperbandingkan ketentuan batasan umur seorang anak di
Indonesia dengan di negara lain maka batasan umur maksimal 18 (delapan
belas) tahun (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sama dengan batasan
umur dari 27 (dua puluh tujuh) negara bagian di Amerika Serikat, Kamboja,
Taiwan, dan Iran. Sedangkan untuk umur maksimal 17 (tujuh belas) tahun
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) sama dengan 6 (enam) negara bagian di Amerika
Serikat, Australia, Philipina, Malaysia dan Singapura. Begitu pula batas usia
minimal 8 (delapan) tahun di Indonesia (Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak) identik dengan rata-rata usia minimal anak di
Negara Amerika Serikat dan Australia, sedangkan untuk Negara Inggris dan
Belanda batas minimal 12 (dua belas) tahun.34
33
Endang Sumiarni. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Hukum Pidana.
Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 2.
34
Ibid., hlm. 8.
2. Pengertian Anak Nakal
Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang
aktual, hampir di semua negara di dunia termasuk Indonesia. Adapun proses
pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai
dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasar kesejahteraan anak tidak sama,
tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Kita dapat melihat di
negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya
harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan,
pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan
akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak. Dan hal
tersebut merupakan dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk
melakukan tindak pidana atau kejahatan.
Istilah kenakalan anak sendiri diambil dari istilah asing Juvenile
Delinquency. Pengertian Juvenile Delinquency secara etimologis
penjabarannya dapat diketahui dari arti kata Juvenile dan arti kata
Delinquency. Juvenile sinonim dengan istilah young person (orang yang
muda). Adapun Delinquency adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan
oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan oleh orang
dewasa merupakan suatu kejahatan.35
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
35
Setya Wahyudi, op. cit. hlm. 29.
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi
anak
Baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Romly Atmasasmita36
yang dikutip dalam bukunya Setya
Wahyudi memberikan rumusan kenakalan anak sebagai berikut:
“Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap
norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan
perkembangan pribadi si anak bersangkutan”.
Sedangkan menurut Kartini Kartono37
yang dikutip dalam bukunya Setya
Wahyudi memberikan rumusan kenakalan anak sebagai berikut:
“Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan anak muda, merupakan gejala
sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang”.
Dari pengertian-pengertian kenakalan anak maka dapat disimpulkan bahwa
kenakalan anak adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik
norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia
muda.
3. Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan upaya, usaha atau cara untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya dengan baik yang dilaksanakan secara rasional,
36Ibid., hlm. 30.
37
ibid
bertanggungjawab dan bermanfaat bagi perkembangan pribadi anak yang
bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya
inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan
kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak
memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera”.
Sedangkan kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan anak terdapat
pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang merumuskan sebagai berikut:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak”.
Kaitannya dengan anak nakal atau anak yang melakukan tindak
pidana. Anak nakal memiliki hak dalam setiap tingkat pemeriksaan baik
pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, yaitu
dilindungi baik dari kekerasan fisik ataupun psikis anak.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan dengan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66
ayat (1), yang merumuskan sebagai berikut:
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi”.
Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (1) yang merumuskan hal
serupa.
Pemidanaan terhadap terdakwa anak, hakim dalam menjatuhkan
pidana harus menghindari pidana berupa perampasan kemerdekaan, karena
akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam proses menuju kedewasaan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (4), yang merumuskan sebagai berikut:
“Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.
Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (3) yang merumuskan hal
serupa.
Apabila dilakukan perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir,
maka perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (6), merumuskan sebagai
berikut:
“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku”.
Hal ini juga senada dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b yang merumuskan hal
serupa.
Setiap pemeriksaan sidang pengadilan, maka hakim wajib
menyatakan bahwa sidang tertutup untuk umum sesuai dengan apa yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dalam Pasal 66 ayat (7), yang merumuskan sebagai berikut:
“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri
dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum”.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dalam Pasal 8 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut:
“Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup”.
Perlindungan anak khususnya anak nakal sudah termuat dalam
peraturan perundang-undangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang tidak terlepas dari Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai konsekuensi dari
diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang merupakan cerminan dari Universal Declaration of Human
Rights tahun 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights tahun 1966 dan International Covenant on Civil and Political Rights
tahun 1966, yang telah diratifikasi di Indonesia.
E. Terdakwa
1. Pengertian Terdakwa
Berperkara di pengadilan terdapat beberapa pihak, diantarnya hakim
sebagai juri, jaksa sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan, dan terdakwa.38
Sistem yang saling berhadapan antara penuntut
umum dengan terdakwa disebut sistem pemeriksaan akusatur yang telah
digunakan di Indonesia saat ini, sebelumnya di Indonesia menggunakan sistem
inkisitor dimana hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama.39
Hal terpenting diantara para pihak dalam pemeriksaan sidang
pengadilan adalah terdakwa karena terdakwa merupakan pihak yang menjadi
fokus dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Sebelum ada keputusan hakim
yang tetap, maka seorang terdakwa harus dianggap sebagai orang yang tidak
bersalah, sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (Presumption of
Innocence) dalam hukum acara pidana.40
Sedangkan pengertian mengenai
terdakwa sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (15) KUHAP merumuskan bahwa:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan”.
38
Al Wisnubroto. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta,
hlm. 7.
39
Andi Hamzah, op. cit. hlm. 64.
40
Ibid., hlm. 14.
Namun dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian tersangka
dengan terdakwa hanya dikenal dengan satu istilah yaitu (Verdachte) tanpa
dibedakan lebih khusus seperti halnya dalam KUHAP yang membedakan
pengertiannya. Dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian (Verdachte)
hanya dibagi dalam (Verdachte) sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan,
sehingga (Verdachte) sesudah penuntutan inilah dalam KUHAP kita diartikan
sebagai terdakwa.41
Pengertian terdakwa menurut R. Soesilo sebagaimana dikutip dalam
literature, menyebutkan pengertian terdakwa sebagai berikut:
“Orang yang karena kesalahan dan kejahatan telah adanya petunjuk-
petunjuk yang konkrit telah adanya bukti-bukti kejahatan untuk
mengadakan tuduhan oleh jaksa di depan pengadilan”.
2. Hak Terdakwa Menurut KUHAP
Terdakwa mempunyai hak sejak ia mulai diperiksa oleh penyidik,
meskipun seorang terdakwa diduga telah melakukan suatu perbuatan yang
cenderung sebagai perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang
melanggar hukum, bukan berarti seorang terdakwa dapat dilakukan semena-
mena dan dilanggar hak-haknya baik itu hak hukumnya, sehingga hak-hak
tersebut harus dipenuhi oleh hakim. Tersangka atau terdakwa diberikan
seperangkat hak oleh KUHAP dari mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68,42
yang dikutip dalam bukunya Yahya Harahap, hak-hak tersebut antara lain
meliputi:
41Ibid., hlm. 65.
42
Yahya Harahap, op. cit, hlm. 332-338.
a. Hak untuk segera diperiksa , diajukan ke pengadilan, dan diadili. (Pasal 50
ayat (1), (2), (3))
b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan. (Pasal 51 butir a
dan b)
c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan
hakim. (Pasal 52)
d. Hak untuk dapat mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat
pemeriksaan. (Pasal 54)
e. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk
oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi
tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-
cuma.
f. Hak tersangka atau terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang memiliki
keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya. (Pasal 65)
3. Hak Terdakwa Anak
Anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum dari proses
penyidikan hingga pemeriksaan sidang pengadilan dan berakhir dengan sanksi
hukum mempunyai hak sejak ia mulai diperiksa oleh penyidik, meskipun
seorang anak diduga telah melakukan suatu perbuatan yang cenderung sebagai
perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang melanggar hukum,
bukan berarti seorang anak dapat dilakukan semena-mena dan dilanggar hak-
haknya baik itu hak hukumnya, sehingga hak-hak tersebut harus dipenuhi oleh
penyidik, jaksa, dan hakim.
Selain hak terdakwa yang terdapat dalam KUHAP, seorang anak
memiliki hak di dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yaitu terdapat dalam Pasal 51 ayat (1), (2), dan (3)
a. Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan
bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam Undang-undang ini. (Pasal 51 ayat (1))
b. Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua
asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ((Pasal 51 ayat (2))
c. Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan
langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh
pejabat yang berwenang. (Pasal 51 ayat (3))
Selain hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Hak anak dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, yaitu:
a. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan. (Pasal 10)
b. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16
ayat (1))
c. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(Pasal 16 ayat (2))
d. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir. (Pasal 16 ayat (3))
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : (Pasal 17 ayat
(1))
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
f. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. (Pasal 17 ayat (2))
g. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. (Pasal 18)
Selain hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Pengadilan Anak. Hak anak dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 66
ayat (1))
b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk
pelaku tindak pidana yang masih anak. (Pasal 66 ayat (2))
c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum. (Pasal 66 ayat (3))
d. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai
upaya terakhir . (Pasal 66 ayat (4))
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan
pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya. (Pasal 66 ayat (5))
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh baittuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku. (Pasal 66 ayat (6))
g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. (Pasal 66 ayat (7))
Hak-hak anak menurut Arif Gosita43
yang dikutip oleh Meli Linda
Juliana dalam skripsinya menyebutkan hak-hak anak selama pemeriksaan
sidang pengadilan, yaitu:
a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan
b. Hak mendapatkan penasehat hukum selama persidangan
c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
persidangan mengenai dirinya, misalkan transportasi, perawatan,
kesehatan
d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial,
misalkan berbagai ancaman penganiayaan, cara dan tempat
penahanan.
e. Hak untuk menyatakan pendapat
f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut atas
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 22
KUHAP
43Meli Linda Juliana. 2004. Hak Terdakwa Anak Dalam Memperoleh Bantuan Hukum
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri No. 15/Pid.B.AN/2001/PN.Tsm). Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto, hlm. 75.
g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan penghukuman
yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai
manusia seutuhnya.
F. Pengadilan
1. Pengadilan Anak
Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia
peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri
sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi (Undang-Undang
Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi) dan Pengadilan Anak (Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Setelah masuknya era reformasi yang
diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak didirikan.
Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah Pengadilan Niaga,
Pengadilan Pajak, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan yang
terakhir yaitu Pengadilan Perikanan.
Definisi pengadilan khusus sendiri berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dalam Pasal
1 ayat (5) merumuskan bahwa :
“Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang”.
Dalam definisi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 Tentang Peradilan Umum dalam Pasal 1 ayat (5) tersebut di atas
memberikan pandangan kepada kita bahwa pengadilan khusus merupakan
pengadilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu pengadilan negeri
dan pengadilan tinggi yang diatur khusus berdasarkan undang-undang.
Salah satu pengadilan khusus yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan
Anak. Sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam pengadilan khusus juga
melekat pada kriteria Pengadilan Anak, yaitu;
a. Diatur didalam undang-undang secara khusus;
b. Merupakan tingkatan pengadilan di bawah Mahkamah Agung; dan
c. Adanya hakim khusus atau hakim ad hoc yang memeriksa sengketa khusus
Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-
undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dalam sejarah peradilan anak telah mengalami
pergantian peraturan. Peraturan yang pertama kali mengatur Pengadilan Anak
adalah KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk
pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, kemudian
Mahkamah Agung membuat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3 tahun 1959 tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara
Pidana Dengan Pintu Tertutup Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa,
lalu Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M. 06-UM 01
Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan Anak, dan yang terakhir Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang akan diganti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang akan berlaku 2014.
Pengertian Pengadilan Anak pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat pada Pasal 2 yang
merumuskan sebagai berikut;
“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada
di lingkungan Peradilan Umum”.
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, pengertian Pengadilan Anak tidak disebutkan, sehingga
pengertian Pengadilan Anak menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
Dari Encyclopedia Americana44
yang di kutip dalam bukunya Agung
Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:
“Peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-
penjahat muda, anak-anak nakal dan anak-anak terlantar”.
Sedangkan Soedarto45
dalam ceramahnya yang dikutip dalam bukunya Agung
Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:
“Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak”.
44Agung Wahyono dan Siti Rahayu, op. cit hlm. 6.
45
Ibid., hlm. 7.
Pemeriksaan Pengadilan Anak tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan
pengadilan dengan terdakwa orang dewasa. Berdasarkan Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:
“Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan
anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merumuskan bahwa:
“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini”.
Pasal 3 KUHAP ini ingin mengatakan bahwa peradilan yang dilakukan dalam
lingkungan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung serta
pengadilan lain yang merupakan pengkhususan dari peradilan umum harus
dilakukan menurut cara yang telah diatur dalam Bab XX KUHAP atau dalam
Pasal 145 sampai dengan Pasal 283 KUHAP.46
Penanganan terhadap anak-anak yang berperilaku menyimpang di
Negara Belanda diatur dalam Kinder Wetten 1901, sementara di Amerika
Serikat pembentukan Pengadilan Anak (juvenile court) telah ada sejak tahun
1899. Dimana asas yang dianut dalam Pengadilan Anak adalah parens
patriae, yaitu bahwa penguasa harus bertindak apabila anak-anak
membutuhkan pertolongan, sedangkan anak yang melakukan kejahatan
bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris
46P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. 2010. Pembaharuan Kuhap Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 45.
juvenile Court telah dibentuk dengan undang-undang tanggal 25 Juli 1921 dan
mulai berlaku tanggal 1 November 1922.47
Menurut analisis sejarah di Eropa dan Amerika bahwa ikut campurnya
pengadilan dalam kehidupan anak serta keluarga, senantiasa ditujukan kepada
penanggulangan keadaan buruk anak seperti kriminalitas anak, terlantarnya
anak dan penyalahgunaan terhadap anak.48
Sebagai salah satu lembaga hukum, maka peradilan anak merupakan
lembaga yang menjamin kepentingan anak nakal. Karena misi hukum
mempertahankan kedamaian di antara manusia dan sekaligus melindungi
kepentingan manusia,49
dalam hal ini anak nakal atau anak yang berkonflik
dengan hukum.
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (juvenile justice)
sendiri tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi
anak pelaku tindak pidana. Tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran
bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan
kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.50
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam.
Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman.
Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar
menjadi insaf dan dapat kembali ke masyarakat.51
47Darwan Prins, op. cit. hlm. 10.
48
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, op. cit. hlm. 7.
49
Muderis Zaini. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika:
Jakarta, hlm. 20.
50
Setya Wahyudi, op. cit. hlm. 1.
51Bambang Waluyo, op. cit. hlm. 3.
Kita juga tidak dapat kesampingkan mengenai alasan hapusnya pidana
bahwa salah satunya adalah anak-anak. Karena anak bukan termasuk orang
yang mampu untuk bertanggung jawab. Jika anak-anak melakukan suatu
perbuatan pidana, maka perbuatannya dapat dimaafkan.52
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak secara nasional, tidak
melepaskan pada tujuan perlindungan individu anak yang bersangkutan.
Penggunaan sistem peradilan pidana anak saat ini di Indonesia, bertumpu
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak. Di dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merumuskan mengenai tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, yaitu:
“Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,
untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu
agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang”.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum adat berdasarkan
ketentuan-ketentuan di luar peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam
hukum adat terdapat ketentuan perlindungan hukum terhadap anak erat
kaitannya dengan bidang kekerabatan atau kekeluargaan adat dan bidang
hukum waris adat, terutama yang masih menganut struktur tradisional
masyarakat hukum adat setempat.53
52Asadulloh Al Faruk. 2009. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia
Inonesia: Bogor, hlm. 85.
53
Endang Sumiarni dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan hukum terhadap anak dalam
hukum keluarga. Universita Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 1.
4. Kompetensi Pengadilan Anak
Pertama-tama dalam hal pemeriksaan pengadilan maka yang utama
membahas tentang kompetensi pengadilan pidana atau sering disebut juga
wewenang pengadilan untuk mengadili perkara pidana yang diajukan
kepadanya. Kompetensi pengadilan dalam teori dibagi dalam dua bagian yakni
kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
a. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili
perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan lain. tingkatan pengadilan
sebagaimana yang dikenal selama ini adalah pengadilan tingkat pertama
pengadilan negeri (PN), pengadilan tingkat kedua pengadilan tinggi (PT), dan
Mahkamah Agung (MA) sementara jenis-jenis peradilan adalah peradilan
umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama,
atas dasar tingkatan dan jenis pengadilan inilah maka kewenangan masing-
masing pengadilan itu berbeda satu dengan yang lain, terdapat beberapa
prinsip yang memperlihatkan kewenangan masing-masing. prinsip pertama:
pengadilan negeri (PN) berwenang mengadili semua perkara pidana yang
belum pernah diadili dan belum memperoleh putusan. Prinsip kedua:
pengadilan tinggi (PT) berwenang mengadili perkara yang sudah diputus oleh
pengadilan negeri. Prinsip ketiga: Mahkamah Agung (MA) berwenang
mengadili perkara pidana yang dimintakan kasasi kepadanya.54
54Darwan Prins, op. cit. hlm. 13.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara
berdasarkan wilayah kekuasaanya hukum. wilayah hukum dari satu
pengadilan negeri adalah satu wilayah kabupaten/kota.55
Di dalam kompetensi
relatif terdapat prinsip-prinsip untuk menentukan adanya kewenangan
mengadili. prinsip-prinsip tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 84, 85 dan
86 KUHAP yakni sebagai berikut:
1) Pasal 84 KUHAP yaitu
a) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai
tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya;
b) Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan,
hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila
tempat kediaman sebagaian besar saksi yang dipanggil lebih dekat
pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan
negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
c) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam
daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan
negeri itu masing-msing berwenang mengadili perkara pidana itu; dan
d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada
sangkutpautnya dan dilakukan oleh orang yang sama dalam derah
hukum berbgi pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing
55Yahya Harahap. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Sinar
Grafika: Jakarta, hlm. 96.
pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan
penggabungan perkara tersebut.
2) Pasal 85 KUHAP pasal ini menentukan bahwa didalam hal keadaan daerah
tidak mengijinkan suatu pengadilan untuk mengadili suatu perkara, maka
atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang
bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri
Kehakiman (menteri yang berwenang kalau tidak ada Menteri Kehakiman
misalnya Menteri Hukum dan HAM) untuk menetapkan atau menunjuk
pengadilan negeri lain.
3) Prinsip ketiga ini menentukan bahwa pengadilan yang berwenang
mengadili perkara pidana yang dilakukan diluar negeri adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86
KUHAP yang bunyinya: apabila seseorang melakukan tindak pidana
diluar negeri yang diadili menurut hukum Republik Indonesia maka
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Mengenai pengadilan anak, tindak pidana yang pelakunya anak
tersebut berstatus sipil maka sesuai penjelasan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, bahwa pengadilan anak itu berada di bawah peradilan umum.
Dengan demikian kompetensi absolut pengadilan anak berada di bawah
peradilan umum. Hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang merumuskan bahwa:
“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada di lingkungan Peradilan Umum”.
Menyangkut kompetensi relatif pengadilan anak adalah mengenai
anak nakal yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang
dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan perundang-undangan yang lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat dimana tindak pidana anak tersebut dilakukan (locus
delicti).56
5. Asas-Asas Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas, yang membedakan dengan
yang diatur dalam KUHAP. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:
a. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak
ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan
maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.
b. Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat (2))
Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah
terbatas menyangkut perkara anak nakal.
c. Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat (5),(6), dan (7))
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak nakal
harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:
1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak
2) di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak
56Darwan Prins, op. cit. hlm. 14.
3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak , dan hakim kasasi
anak.
d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat (11))
Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari:
1) Pembimbing kemasyarakatan
2) Pekerja sosial, dan
3) Pekerja sosial sukarela
e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1))
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasehat
hukum tidak memakai toga.
f. Keharusan Splitsing (Pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang
berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana
bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang
Pengadilan Anak. Sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa,
atau apabila berstatus militer di Pengadilan Militer.
g. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1))
Acara pemeriksaan di sidang Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup.
Ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum.
h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14, dan 18)
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri,
banding, dan atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
i. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan Pasal 49)
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan
menurut KUHAP.
j. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 32)
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari
ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal
adalah 10 (sepuluh) tahun.
6. Sanksi Terhadap Anak Nakal
Istilah yang digunakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yaitu anak nakal sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan istilah anak yang
berkonflik dengan hukum. Anak nakal sebelum proses persidangan disebut
“tersangka” yaitu anak yang berkonflik dengan hukum dalam tingkatan
pemeriksaan penyidikan. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan disebut “terdakwa”.57
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan. Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun
57
Lilik Mulyadi, op. cit. hlm. 27.
1997 tentang Pengadilan Anak, pidana pokok yang dapat dijatuhkan anak
nakal adalah:
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan
Sedangkan pidana tambahan dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, merumuskan bahwa:
“Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi”.
Terhadap Anak Nakal yang melakukan tindak pidana, selain pidana
pokok dan pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
hakim juga dapat memberikan tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak
nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu berupa tindakan:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
BAB III
METODE PENELITIAN
E. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus
(Case Approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pendekatan kasus
(Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah
diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum (doctrinal),
hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.58
F. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian deskriptif normatif. Penelitian deskriptif normatif adalah penelitian
yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan
manusia, keadaan atau gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
58 H. Zainal Amirudin Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Radja
Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 1.
G. Sumber Bahan Hukum
Usaha pengumpulan bahan hukum untuk keperluan penyusunan
penelitian ini penulis menggunakan cara studi pustaka untuk mengumpulkan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Yaitu dengan cara membaca
dan mempelajari buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
2. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka
dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang dapat menunjang
bahan hukum primer, yaitu dokumen resmi dan literature yang berkaitan
dengan pokok masalah yang diteliti.
1. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum Pidana
3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum Keluarga
4. Hukum Anak Indonesia
5. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan Permasalahannya
6. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder.
1. Kamus Hukum
2. Artikel Ilmiah
H. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian pada umumnya
dibedakan antara metode pengumpulan bahan hukum yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh
langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar, sedangkan
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data
sekunder.59
Usaha pengumpulan data untuk keperluan penyusunan penelitian ini
penulis menggunakan cara studi pustaka untuk mengumpulkan bahan hukum
sekunder. Yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku yang ada
hubungannya dengan pokok permasalahan.
I. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun
secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya, disesuaikan dengan
59 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 1.
pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang
utuh.
J. Metode Analisis
Menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis
normatif. Metode analisis normatif merupakan cara menginterpretasikan dan
mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum,
norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian
dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai
sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan
(conclution) terhadap permasalahannya. Data yang ada dianalisis untuk
mengetahui pemeriksaan terdakwa anak di bawah umur dalam proses
pemeriksaan sidang pegadilan dengan aturan hukum yang berlaku.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Mengenai proses pemeriksaan sidang terhadap YNS bin AK dalam
tindak pidana narkotika dapat dilakukan penelitian, pembahasan dan
penelaahan sebagai berikut:
1. Duduk Perkara
Terdakwa YNS bin AK yang bertempat tinggal di Desa Kedungjati RT
03 / 08 Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga. Pada hari Senin tanggal
02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30, di Jalan Raya Arcawinangun, dengan
tanpa hak atau melawan hukum membawa GANJA.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dari Laboratorium Forensik
Bareskim Polri, Laboratorium Forensik Cabang Semarang dan berdasarkan
Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Forensik Cabang Semarang No. LAB :
31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011, yang dilakukan oleh Yayuk Murti
Rahayu, B, Sc. bahwa GANJA seberat 6,103 gram dalam plastik Nomor
Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung FOSITIF DERIFAT
CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) nomor urut 08
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Setelah ditanya oleh petugas kepolisian lalu terdakwa mengakui bahwa
barang berupa GANJA tersebut didapat dengan cara membeli kepada UGI di
Taman Kota Purbalingga seharga Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah)
menggunakan uang AGUNG, selanjutnya GANJA dimasukan kedalam tas dan
dicangklongkan di badan terdakwa lalu kembali pulang ke Purwokerto
berboncengan dengan AGUNG, tetapi pada saat petugas kepolisian melakukan
penangkapan terhadap terdakwa ternyata AGUNG berhasil melarikan diri
menggunakan sepeda motor yang dibawanya bersamaan dengan trek-trekan
yang terjadi di Jalan Raya Arcawinangun tersebut.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang disusun
secara alternatif, yaitu sebagai berikut:
1) Dakwaan Pertama
Terdakwa pada hari Senin tanggal 02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30
atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2001,
bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan
Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya pada tempat-
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan I.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa YNS bin AK didakwa telah
melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
ATAU
2) Dakwaan Kedua
Terdakwa pada hari Senin tanggal 02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30
atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2001,
bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan
Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya pada tempat-
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa YNS bin AK didakwa telah
melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam perkara pada Putusan Nomor
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara dengan memperhatikan
ketentuan undang-undang.
Menyatakan terdakwa YNS bin AK terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika yaitu tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kedua yaitu Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa YNS bin AK, dengan
menyerahkan terdakwa kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja dalam LP Anak Kutoarjo Kabupaten Purworejo
dan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.
Menyatakan barang bukti:
- 1 (satu) bungkus kertas Koran berisi GANJA seberat 6,103 gram,
- 1 (satu) buah plastik kecil transparan,
- 1 (satu) buah tas kulit warna hitam merk Heaner
Dirampas untuk dimusnahkan.
Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.500,00 (dua ribu lima ratus).
4. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan
terdakwa yang saling bersesuaian, dihubungkan dengan alat bukti surat berupa
Berita Acara Laboratoris Kriminalistik dan barang bukti yang diajukan dalam
perkara ini, yang kemudian memunculkan fakta-fakta hukum dalam
persidangan;
Menimbang, bahwa dalam rumusan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengandung tiga unsur, yaitu:
1) Setiap Orang;
Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan
kepada orang perorangan atau siapa saja yang dapat menjadi subyek hukum
(Dader) dari tindak pidana, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta
dipersidangan bahwa yang diajukan oleh penuntut umum sebagai terdakwa
dalam perkara ini adalah YNS bin AK, dan terdakwa tersebut
mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri
(pertanggungjawaban pribadi);
Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa tersebut telah
membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan penuntut
umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan
kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang (error in
persona);
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut yang dimaksud
setiap orang adalah terdakwa YNS bin AK, dengan demikian unsur setiap
orang terpenuhi;
2) Secara Tanpa Hak Atau Melawan Hukum
Menimbang, bahwa secara tanpa hak atau melawan hukum ini oleh
beberapa penulis disebut dengan “Wederrechtelijk”. Suatu kajian dari
Lamintang yang ditulisnya pada buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia
(197:354) mengatakan kata-kata pengganti dalam bahasa Indonesia untuk
“Wederrechtelijk” adalah “tidak sah”, Perkataan “secara tidak sah” sudah
mencakup pengertian “bertentangan dengan hukum obyektif”. Sebagaimana
dikatakan Simons, Zevenbergen, Pompe, dan Van Hattum, juga mencakup
dengan pengertian “bertentangan dengan hak orang lain” (Noyon), serta
mencakup pengertian “tanpa hak yang ada pada diri seseorang” (Hoge Raad),
dan mencakup juga pengertian “tanpa kewenangan” (Hazewinkel Suringa);
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akan tetapi penggunaannya dibatasi dimana menurut Pasal 8
ayat (2) bahwa dalam jumlah terbatas Narkotika Golongan I dapat digunakan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk regensia
diagnostik, serta regensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri
Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Adapun yang dimaksud dengan „untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi‟ menurut penjelasan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah penggunaan narkotika
terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk pendidikan,
pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan,
penyelidikan, penyidikan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Bambang Subroto,
SH. saksi Arif Hidayat, dan terdakwa serta Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik, serta dikuatkan dengan adanya barang bukti
diperoleh fakta:
- Bahwa terdakwa saat sedang berboncengan sepeda motor dengan Agung
(DPO) pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 sekitar pukul 23.30 wib
bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun,
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, ditangkap oleh
petugas dari kepolisian.
- Bahwa kemudian petugas kepolisian memerintahkan terdakwa untuk
membuka dan mengeluarkan isi tas kulit warna hitam merk Haener yang
dicangklongkan terdakwa tersebut yang ternyata terdakwa mengeluarkan
1(satu) bungkus kertas koran berisi ganja yang dibungkus lagi dengan
plastik transparan dan selanjutnya dilakukan penyitaan. Selanjutnya
berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Labotatoris Forensik Cabang
Semarang No. LAB : 31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011, yang
dilakukan oleh Yayuk Murti Rahayu, B, Sc. GANJA seberat 6,103 gram
dalam plastik Nomor Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung
FOSITIF DERIFAT CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1
(satu) nomor urut 08 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
- Bahwa terdakwa tidak memiliki ijin dalam menguasai narkotika/ganja
tersebut, terdakwa juga bukan seorang peneliti narkotika untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan juga tidak menjalani
rehabilitasi karena kecanduan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terdakwa dalam
menguasai narkotika golongan satu tersebut adalah tanpa hak atau melawan
hukum, dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;
3) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan I
Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat beberapa alternatif
perbuatan, oleh karena itu apabila salah satu perbuatan terpenuhi maka unsur
ke-3 tersebut harus dinyatakan terpenuhi;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan menurut
keterangan saksi Bambang Subroto, SH. saksi Arif Hidayat, Berita Acara
Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik, serta keterangan terdakwa yang
dikuatkan dengan adanya barang bukti, terungkap bahwa:
- Bahwa pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 Agung (DPO) datang ke
rumah terdakwa di Bukateja Purbalingga dan sekitar jam 20.30 wib
terdakwa diajak jalan-jalan oleh Agung (DPO) untuk menonton
pertunjukan wayang di Tidu, tetapi oleh Agung terdakwa dibawa ke
Purwokerto dan sekitar pukul 23.30 wib bertempat di Jalan Raya
Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas, terdakwa ditangkap oleh petugas dari kepolisian.
- Bahwa kemudian petugas kepolisian memerintahkan terdakwa untuk
membuka dan mengeluarkan isi tas kulit warna hitam merk Haener yang
dicangklongkan terdakwa tersebut yang ternyata terdakwa mengeluarkan
1(satu) bungkus kertas koran berisi ganja yang dibungkus lagi dengan
plastik transparan dan selanjutnya dilakukan penyitaan.
- Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Forensik
Cabang Semarang No. LAB : 31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011,
yang dilakukan oleh Yayuk Murti Rahayu, B, Sc. GANJA seberat 6,103
gram dalam plastik Nomor Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung
FOSITIF DERIFAT CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1
(satu) nomor urut 08 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terdakwa telah
menguasai Narkotika Golongan I dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
semua unsur Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dakwaan kedua penuntut umum telah terpenuhi dan berdasarkan alat bukti
yang ada berupa keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang didukung dengan
barang bukti majelis hakim berkesimpulan kesalahan terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan yaitu terdakwa telah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan kepadanya;
Menimbang, bahwa selanjutnya majelis hakim akan
mempertimbangkan apakah terhadap pribadi dan perbuatan terdakwa ada
alasan penghapus atau peniadaan pidana baik alasan pemaaf atau alasan
pembenar, sehingga berakibat dapat atau tidaknya terdakwa
mempertanggungjawabkan perbuatannya;
Menimbang, bahwa alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah
bersifat subyektif dan melekat pada diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai
sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, dan telah diatur dalam Pasal
44 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP. Selama
proses persidangan majelis hakim tidak menemukan keadaan-keadaan
sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa dikategorikan
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya;
Menimbang, bahwa tentang alasan pembenar (rechtvaardingungs
gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain
diluar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50,
dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak
menemukan fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang
dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, sehingga tidak
menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa;
Menimbang, bahwa karena dipersidangan tidak ditemukan alasan -
alasan penghapus pidana terhadap terdakwa, maka terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat
penjatuhan pidana terhadap terdakwa;
Menimbang, bahwa dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Pasal 111 ayat (1) mengenal ancaman pidana minimal khusus,
tetapi dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan apakah aturan tersebut
hanya dikenakan terhadap terdakwa orang dewasa atau juga untuk terdakwa
anak-anak;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo terdakwanya adalah anak-
anak dan untuk terdakwa anak-anak diatur dengan aturan khusus yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka
pengadilan dalam dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa akan
menggunakan aturan khusus tersebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan hasil penelitian pemeriksaan
Pembimbing Kemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Kantor Wilayah Jawa Tengah Balai Pemasyarakatan Purwokerto dan
pembimbing kemasyarakatan berpendapat dan menyarankan agar terdakwa
YNS bin AK “Diputus dengan tindakan dikembalikan kepada orang tua atau
diputus dengan pidana bersyarat”;
Menimbang, bahwa selain sebagaimana diamanatkan Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pidana
penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir, dihubungkan pula dengan himbauan Mantan
Ketua Mahkamah RI, Prof Dr. Bagir Manan SH. MCL, pada tanggal 16 Juli
2007 pada pokoknya menghimbau para hakim untuk menghindari penahanan
pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan dari pada penjara;
Menimbang, bahwa disamping itu anak sebagai pelaku tindak pidana
bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga sebagai
korban, dalam hal ini anak sebagai korban factor ekonomi (kemiskinan orang
tua), faktor lingkungan dan korban perhatian dari orang tua sehingga dapat
dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur orang
dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya. Namun
sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana harus dilindungi hak-haknya,
agar menjadi anak bangsa yang memiliki masa depan sebagai harapan bangsa;
Menimbang, bahwa sebelum pengadilan menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa perlu Majelis mempertimbangkan hal yang memberatkan dan hal
yang meringankan hukuman bagi terdakwa tersebut:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam
pemberantasan dan penggunaan narkotika;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
- Terdakwa belum pernah dihukum dan masih berusia muda;
- Orang tua terdakwa masih sanggup mendidik terdakwa;
- Terdakwa akan melanjutkan pendidikan di pesantren.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan perbuatan terdakwa yang
terbukti di persidangan hanya menguasai bukan sebagai pemilik narkotika
tersebut, Laporan Pembimbing Kemasyarakatan, keterangan orang tua, saksi-
saksi yang meringankan terdakwa dan ihwal yang bermanfaat bagi terdakwa
serta hal-hal yang meringankan terdakwa, maka telah cukup adil apabila
putusan yang akan dijatuhkan adalah berupa tindakan sesuai dengan ketentuan
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yaitu terdakwa dikembalikan ke orang tua atas pengawasan
BAPAS demi kepentingan terbaik bagi terdakwa untuk tumbuh kembang di
bawah bimbingan langsung orang tua karena terdakwa masih membutuhkan
kasih sayang orang tuanya serta untuk mengantar terdakwa untuk tumbuh
kembang menuju masa depan yang baik;
b. Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut akhirnya hakim
memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI
a. Menyatakan terdakwa YNS bin AK telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak menguasai
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”
b. Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa YNS bin AK tersebut dengan
menyerahkan terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan
BAPAS;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) bungkus kertas koran berisi GANJA seberat 6,103 gram,
- 1 (satu) buah plastik kecil transparan,
- 1 (satu) buah tas kulit warna hitam merk Heaner
Dirampas untuk dimusnahkan.
d. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
2.500,00 (dua ribu lima ratus).
Demikianlah diputuskan dalam rapat pemusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Senin tanggal 23 April 2012 terdiri
dari Abdulatip, S.H.,M.H., selaku Hakim Ketua Sidang Agus Tjahjo
Mahendra, S,H.,M.H., dan Budi Setyawan, S.H., masing-masing selaku
Hakim Anggota putusan mana diucapkan pada hari Kamis tanggal 26 April
2012 dalam sidang yang terbuka untuk umum, oleh Hakim Ketua Sidang
didampingi Hakim Anggota tersebut, dibantu Hariyanto, S.H., Panitera
Pengganti dan dihadiri Suprihartini, S.H., Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Purwokerto serta dihadiri oleh terdakwa didampingi orang tuanya dan
penasehat hukum.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Nomor
18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt., dihubungkan dengan data pustaka yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut di atas, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin AK.
Setiap apa yang dibuat manusia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu
dan maksud dibuatnya. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang
dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat
dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri
Kehakiman60
yang dikutip oleh Ziad dalam diktatnya adalah sebagai berikut.
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan
60Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm. 1.
apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.
Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari
kebenaran materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti
yang dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari
penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan di pengadilan yang ditekankan pada
pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga
menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah
dengan alat bukti tersebut.
Pendapat lain dari Van Bemmelen61
yang dikutip oleh Ziad dalam
diktatnya juga mengemukakan bahwa ia melukiskan hukum acara pidana
sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu sebagai berikut.
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran
2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu.
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya.
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran duna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib”.
Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama
dan cenderung dicampuradukan karena pada prinsipnya sama untuk mencari
61ibid
kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari
kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat
menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah
perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan
yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu
sendiri dengan prinsip keadilan.
Tujuan acara pidana secara yuridis juga tercantum dalam KUHAP
yang merupakan kodifikasi undang-undang beracara pidana sehingga dapat
pula dimasukkan dalam tujuan acara pidana. Tujuan yang hendak dicapai
KUHAP dapat ditelaah dalam huruf c konsiderans, yang merumuskan:
“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang
hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-
masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Landasan tujuan KUHAP menurut Yahya Harahap62
tersebut dapat
dijabarkan menjadi bebarapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu :
6. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang
diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang
dibebankan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak
dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-
wenang oleh aparat penegak hukum.
62
Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 58-80.
7. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan :
d. Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai
dengan fungsi dan wewenang masing-masing;
e. Peningkatan pembinaan profesionalisme; dan
f. Pembinaan peningkatan sikap mental.
8. Tegaknya hukum dan keadilan
Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari
aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang
berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan
tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan
prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP.
9. Melindungi harkat martabat manusia
Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai
harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hak-hak asasi yang
melekat pada tiap diri manusia.
10. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum
Kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang
dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu
lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar.
Untuk mewujudkan hukum acara pidana yang diinginkan diperlukan
suatu fungsi agar tujuan itu dapat terealisasi, karena tujuan itu masih belum
jelas dan abstrak maka dibutuhkan fungsi hukum acara pidana agar
pelaksanaannya punya kegunaan yang mendukung untuk mendapatkan tujuan
yang dinginkan.
Menurut Mardjono Reksodiputro63
, tujuan sistem peradilan pidana
dapat dirumuskan sebagai berikut :
d. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
e. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
dan
f. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulagi lagi kejahatannya.
Untuk mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana memiliki
desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP. Menurut
Mardjono Reksodiputro secara garis besar sistem peradilan pidana dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap
prajudikasi (pre-judication), tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi
(adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post
adjudication).64
Menurut J. M. Van Bemmelen65
dalam bukunya (Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht), menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok
acara pidana adalah:
4. Mencari dan menemukan kebenaran;
5. Pengambilan putusan oleh hakim; dan
6. Pelaksanaan dari putusan.
63
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3 November
2011.
64
ibid
65
Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 8-9.
Ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran
karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti
itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat)
yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara
pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan awal, dan tujuan akhir
sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus
berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan. Tujuan akhir hukum acara pidana
yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Selaras dengan tujuan hukum acara pidana, Perlindungan anak
merupakan upaya, usaha atau cara untuk menciptakan kondisi agar setiap anak
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik yang dilaksanakan
secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat bagi perkembangan pribadi
anak yang bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan
matinya inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan
ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga
anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan
hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera”.
Kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan anak terdapat pada
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang merumuskan sebagai berikut:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak”.
Anak pada hakekatnya adalah potensi tumbuh kembang suatu bangsa
dimasa depan. Oleh sebab itu anak patut diberikan pembinaan dan
perlindungan secara khusus oleh negara dan undang-undang untuk menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan
pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik
yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai,66
oleh karena itu anak yang melakukan kenakalan (tindak pidana) diperlukan
pengadilan anak yang secara khusus menangani kasus anak guna
menanggulangi kenakalan anak.
Untuk menanggulangi kenakalan anak, Pengadilan Anak memiliki
kriteria yang berbeda dibandingkan pengadilan biasa lainnya, yaitu;
d. Diatur didalam undang-undang secara khusus;
e. Merupakan tingkatan pengadilan di bawah Mahkamah Agung; dan
f. Adanya hakim khusus atau hakim ad hoc yang memeriksa sengketa
khusus.
Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-
undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang merupakan lex spesialis dirogat lex generalis
dari KUHAP, KUHP, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dalam sejarah peradilan anak telah mengalami pergantian
peraturan. Peraturan yang pertama kali mengatur Pengadilan Anak adalah
KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk pemidanaan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana, kemudian Mahkamah Agung
membuat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1959 tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara Pidana Dengan Pintu
Tertutup Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa, lalu Peraturan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M. 06-UM 01 Tahun 1983
66Darwan Prins. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 2.
tentang Tata Tertib Persidangan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang akan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang akan berlaku 2014.
Bahwa dalam beracara di Pengadilan Anak, tata cara persidangan sama
dengan yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 3 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan bahwa:
“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini”.
Sedangkan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, merumuskan bahwa:
“Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan
anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Dalam hal “ditentukan lain”, pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang membedakan dengan KUHAP yaitu
terdapat pada beberapa pasal pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dan biasa disebut sebagai asas-asas dalam
Pengadilan Anak, yaitu:
a. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak
ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan
maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.
b. Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat (2))
Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah
terbatas menyangkut perkara anak nakal.
c. Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat (5),(6), dan (7))
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak nakal
harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:
1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak
2) di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak
3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak , dan hakim kasasi
anak.
d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat (11))
Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari:
1) Pembimbing kemasyarakatan
2) Pekerja sosial, dan
3) Pekerja sosial sukarela
e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1))
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasehat
hukum tidak memakai toga.
f. Keharusan Splitsing (Pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang
berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana
bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang
Pengadilan Anak. Sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa,
atau apabila berstatus militer di Pengadilan Militer.
g. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1))
Acara pemeriksaan di sidang Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup.
Ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum.
h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14, dan 18)
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri,
banding, dan atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
i. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan Pasal 49)
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan
menurut KUHAP.
j. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 32)
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari
ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal
adalah 10 (sepuluh) tahun.
Perlakuan khusus terhadap anak nakal atau anak yang berkonflik
dengan hukum, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Hal
itu bukan berarti penyimpangan dari prinsip equality before the law.
Ketentuan demikian dalam kerangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan
seimbang bagi anak.67
67Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 4.
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, merumuskan bahwa:
“Dalam perkara anak nakal penuntut umum, penasihat hukum,
pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan
saksi, wajib hadir dalam sidang anak.”
Dilihat dari Pasal 55 tersebut di atas, persidangan terhadap anak wajib dihadiri
a. penuntut umum
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang
disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga
jaksa.
Undang-undang kita membedakan pengertian antara jaksa dengan
penuntut umum yaitu pada ketentuan umum Pasal 1 angka 6 KUHAP yang
menegaskan bahwa:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum……
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penuntutan…….”
Penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut
umum sebagai monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh
melakukan penuntutan. Hal ini disebut (dominus litis) di tangan penuntut
umum atau jaksa. (Dominus) berasal dari bahasa latin yang artinya
pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya.
Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.
Penuntut umum anak ditetapkan berdasarkan surat keputusan Jaksa
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung terhadap
penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana
orang dewasa yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami
masalah anak.
b. penasihat hukum
Di dalam hukum acara pidana terdapat asas-asas hukum acara
pidana yang digunakan sebagai pedoman dalam penegakan hukum acara
pidana, salah satunya yaitu Tersangka/terdakwa Berhak Mendapat
Bantuan Hukum Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan
Pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana
tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu
antara lain sebagai berikut:
g. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan;
h. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
i. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
j. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut
keamanan negara;
k. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan; dan
l. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
Menurut Andi Hamzah68
yang dikutip dalam bukunya
berpendapat sebagai berikut:
“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum
menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan
kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata,
bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang
disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan
hukum secara merata.”
Sebagaimana menurut Adnan Buyung Nasution69
, sebagaimana
dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi,
disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna
huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk”.
c. pembimbing kemasyarakatan
Pengertian pembimbing kemasyarakatan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebutkan dalam Pasal 1
angka 11 yang merumuskan sebagai berikut:
“Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan
pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan”.
Tugas dari pembimbing kemasyarakatan diatur dalam Pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
merumuskan sebagai berikut:
68
Andi Hamzah, op. cit, hlm. 24. 69
ibid.
a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam perkara Anak Nakal, baik di dalam maupun di
luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan;
b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat,
pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara
dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh
pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
Ditinjau dari aspek yuridis dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak maka pembimbing kemasyarakatan
tersebut adalah petugas kemasyarakatan pada balai kemasyarakatan yang
melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sedangkan
pengertian “balai pemasyarakatan” merupakan pranata untuk
melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan yakni seorang yang berada
dalam Balai Pemasyarakatan/BAPAS sedangkan makna “warga binaan
pemasyarakatan” adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien
pemasyarakatan.70
Bahwa kewajiban pembimbing kemasyarakatan berkaitan dengan
Pasal 34 ayat (1) huruf a, yakni membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan yang secara teoritik berdasarkan Pasal 56 ayat (2) huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
bahwa laporan penelitian kemasyarakatan ini berisikan tentang hal-hal
sebagai berikut:
1) Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial
2) Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan
70Pasal 1 angka 4, 5, 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
d. orang tua, wali atau orang tua asuh
Orangtua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui
hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orangtua memiliki peranan
yang sangat penting dalam membesarkan anak dan panggilan ibu/ayah
dapat diberikan untuk perempuan/pria yang bukan orangtua kandung
(biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah
pada orangtua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak)
dan ayah tiri (suami ibu biologis anak).
Menurut Thamrin Nasution71
“Orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam
suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan
sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu”.
Jika menurut Hurlock72
“Orangtua sendiri merupakan orang dewasa yang membawa anak
ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan”.
Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke
kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat
membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan
bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing
orangtua kerena setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang
berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga
yang lain.
Bahwa keempat unsur tersebut merupakan keharusan dalam proses
pemeriksaan sidang anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum.
71http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua. diakses tanggal 6 Juli 2013.
72
ibid
Meskipun pada prinsipnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah
tanggung jawab anak itu sendiri. Tetapi karena terdakwa adalah anak, maka
tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh,
pembimbing kemasyarakatan, penasehat hukum dan penuntut umum.
Kehadiran penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua,
wali atau orang tua asuh dan penasehat hukum bertujuan agar dalam setiap
tingkatan pemeriksaan anak tercipta suasana kekeluargaan dan tanpa adanya
suatu paksaan terhadap terdakwa anak. Hal tersebut merupakan perintah yang
diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dalam Pasal 42 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut:
“Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan”.
Bahwa dalam setiap pengambilan putusan terhadap anak nakal, hakim
wajib mempertimbangkan mengenai anjuran dari pembimbing
kemasyarakatan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam
penjelasan Pasal 25, yang merumuskan sebagai berikut:
“Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau
kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping
itu hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah
tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota
keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, hakim wajib
memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan”.
Setiap pemeriksaan sidang pengadilan, YNS bin AK hanya didampingi
oleh penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, penasehat hukum dan
saksi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan berita acara sidang dalam Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Sehingga
proses pemeriksaan sidang pengadilan anak terhadap terdakwa YNS bin AK
belum memenuhi ketentuan yang diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana orang tua terdakwa tidak ikut
mendampingi terdakwa YNS bin AK.
2. Pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan terdakwa kepada orang
tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam Putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha
untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat,
baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau
penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang
yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para
penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup
bangsa kita, sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai
sasarannya.
Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.
hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu
pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana
lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap
terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup
yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan
penyidikan, penuntutan, pengadilan dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana.
Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara-cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara
dengan mengadakan hukum pidana.73
Istilah pidana sendiri adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini.
Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja
dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.74
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan hanya memberikan
beberapa definisi yang merupakan bagian hukum acara pidana seperti
penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya
hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya
merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana.
Hukum acara pidana menurut Van Bemmelen75
sebagaimana dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu sebagai berikut.
8. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran
73
Andi Hamzah, op. cit, hlm. 7. 74
A. Hamzah dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta, hlm. 24.
75
Andi Hamzah, op.cit. hlm. 6.
9. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu
10. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya
11. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut
12. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib
13. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut
14. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib.
Pengertian diatas lebih mengedepankan adanya tahapan tahapan dalam
beracara pidana poin satu sampai empat menunjukkan tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga batas antara
penyidikan dan penuntutan menjadi kabur. Kelima menunjukkan
adanya pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya
hukum yang dapat ditempuh pada poin enam dan ke tujuh merupakan
eksekusi dari putusan hakim yang dilaksanakan oleh jaksa”.
Polisi, jaksa, hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana,
tetapi harus berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan
perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang. Menyangkut
dengan kaitan antara KUHAP sebagai lex generalis dan acara pidana dalam
perundang-undangan diluar KUHP itu sebagai lex specialis. Maka KUHAP
juga terdapat pasal khusus mengenai ketentuan yang berbunyi: “KUHAP
berlaku juga sebagai hukum acara bagi perundang-undangan pidana diluar
KUHP kecuali bagi perundang-undangan pidana diluar KUHP kecuali
undang-undang yang bersangkutan menyimpang.76
Menurut D. Simons77
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah menyebutkan mengenai hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
76
Ibid., hlm. 2. 77
Ibid., hlm. 4.
“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidanakan dan menjatuhkan pidana”.
Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap
dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena
merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya
saja. Dan Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut
dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4
adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan
dan penuntutan menjadi kabur, karena memang kita dapat menggolongkan
Van Bammelen pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai
bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah
pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula
upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun
peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya
hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang
normal.
Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang
diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono
Prodjodikoro, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung.
Sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara
pidana menurut Wirjono Prodjodikoro78
adalah sebagai berikut:
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
78
Ibid., hlm. 7.
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana”.
Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara
pidana pada menjalankan hukum pidana materiil. Dapat dijabarkan bahwa
tujuan negara dalam menciptakan hukum pidana materiil yaitu tata tertib,
aman, sejahtera, dan damai dalam masyarakat.
Proses beracara di pengadilan khususnya acara pidana terdapat
beberapa pihak, diantaranya hakim sebagai juri, jaksa sebagai penuntut umum
sekaligus melaksanakan putusan pengadilan dan terdakwa.79
Sistem yang
saling berhadapan antara penuntut umum dengan terdakwa disebut sistem
pemeriksaan akusatur yang saat ini sedang diterapkan di Indonesia,
sebelumnya di Indonesia menggunakan sistem pemeriksaan inkuisitor dimana
hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama.80
Sistem akusatur ini pihak yang saling berhadapan yaitu terdakwa
dengan penuntut umum. Terdakwa didampingi penasehat hukum, sedangkan
di pihak lain terdapat penuntut umum atas nama negara melaksanakan
tuntutan pidana. Di belakang penuntut umum ini terdapat polisi yang memberi
data tentang hasil penyidikan.81
Dianutnya sistem akusatur ini diharapkan proses pemeriksaan sidang
pengadilan terhadap terdakwa menjadi seimbang dimana hakim berposisi
netral dalam menilai argument dan alat bukti masing-masing pihak. Dalam
pemeriksaan dengan sistem akusatur ini hakim memposisikan dirinya sebagai
79
Al Wisnubroto. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta,
hlm. 7.
80
Andi Hamzah, op.cit. hlm.64.
81
ibid
juri atau penilai, sehingga dalam proses persidangan hakim tidak boleh
bertanya kepada terdakwa. Dengan demikian sistem pemeriksaan akusatur
akan lebih menjamin perlindungan terdakwa dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan.
Pengertian mengenai terdakwa sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (15)
KUHAP merumuskan bahwa:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan”.
Namun dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian tersangka
dengan terdakwa hanya dikenal dengan satu istilah yaitu (Verdachte) tanpa
dibedakan lebih khusus seperti halnya dalam KUHAP yang membedakan
pengertiannya. Dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian (Verdachte)
hanya dibagi dalam (Verdachte) sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan,
sehingga (Verdachte) sesudah penuntutan inilah dalam KUHAP kita diartikan
sebagai terdakwa.82
Istilah yang digunakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yaitu anak nakal sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan istilah anak yang
berkonflik dengan hukum. Anak nakal sebelum proses persidangan disebut
“tersangka” yaitu anak yang berkonflik dengan hukum dalam tingkatan
pemeriksaan penyidikan. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sidang
82Ibid., hlm. 65.
pengadilan disebut “terdakwa”.83
Dalam pemeriksaan sidang pengadilan bagi
anak dibedakan dengan pemeriksaan sidang pengadilan dengan terdakwa
orang dewasa, yaitu terhadap perkara anak nakal dilakukan didalam
pengadilan khusus yaitu Pengadilan Anak.
Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-
undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Sebagai salah satu lembaga hukum, maka peradilan
anak merupakan lembaga yang menjamin kepentingan anak nakal. Karena
misi hukum mempertahankan kedamaian di antara manusia dan sekaligus
melindungi kepentingan manusia,84
dalam hal ini anak nakal atau anak yang
berkonflik dengan hukum.
Pengertian Pengadilan Anak pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat pada Pasal 2 yang
merumuskan sebagai berikut;
“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada
di lingkungan Peradilan Umum”.
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, pengertian Pengadilan Anak tidak disebutkan, sehingga
pengertian Pengadilan Anak menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
83
Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan
Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung, hlm. 27.
84
Muderis Zaini. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika:
Jakarta, hlm. 20.
Encyclopedia Americana85
yang di kutip dalam bukunya Agung
Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:
“Peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-
penjahat muda, anak-anak nakal dan anak-anak terlantar”.
Sedangkan Soedarto86
dalam ceramahnya yang dikutip dalam bukunya Agung
Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:
“Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak”.
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (juvenile justice)
sendiri tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi
anak pelaku tindak pidana. Tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran
bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan
kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.87
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak secara nasional, tidak
melepaskan pada tujuan perlindungan individu anak yang bersangkutan.
Penggunaan sistem peradilan pidana anak saat ini di Indonesia, bertumpu
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak. Di dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merumuskan mengenai tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, yaitu:
“Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,
untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu
agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.
85Agung Wahyono dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di
Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 6.
86
Ibid., hlm. 7.
87
Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta, hlm. 1.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum adat berdasarkan
ketentuan-ketentuan di luar peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam
hukum adat terdapat ketentuan perlindungan hukum terhadap anak erat
kaitannya dengan bidang kekerabatan atau kekeluargaan adat dan bidang
hukum waris adat, terutama yang masih menganut struktur tradisional
masyarakat hukum adat setempat.88
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ialah pidana pokok
dan pidana tambahan. Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana pokok yang dapat dijatuhkan
anak nakal adalah:
e. Pidana penjara
f. Pidana kurungan
g.Pidana denda
h.Pidana pengawasan
Sedangkan pidana tambahan dalam Pasal 23 ayat (3) berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana, selain pidana
pokok seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hakim juga dapat
memberikan tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana
88Endang Sumiarni dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan hukum terhadap anak dalam
hukum keluarga. Universita Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 1.
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yaitu berupa tindakan:
d. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
e. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
f. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
Penjatuhan pidana terhadap anak nakal bukan semata-mata sebagai
pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan
pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana
sendiri agar menjadi insaf dan dapat kembali ke masyarakat.89
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan dengan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66
ayat (1), yang merumuskan sebagai berikut:
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi”.
Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (1) yang merumuskan hal
serupa.
Pemidanaan terhadap terdakwa anak, hakim dalam menjatuhkan
pidana harus menghindari pidana berupa perampasan kemerdekaan, karena
akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam proses menuju kedewasaan.
89Bambang Waluyo, op. cit, hlm. 3.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (4), yang merumuskan sebagai berikut:
“Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.
Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (3) yang merumuskan hal
serupa.
Serta dalam menjatuhkan putusan, hakim haruslah berpedoman pada
anjuran dari pembimbing kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada dasar
hukum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dalam Pasal 59 ayat (2), yang merumuskan sebagai berikut:
“Sebelum mengucapkan putusannya, hakim wajib mempertimbangkan
laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan”.
Ketika Terdakwa YNS bin AK melakukan tindak Pidana dan ketika
pemeriksaan sidang pengadilan, status terdakwa masih berumur 16 (enam
belas) tahun. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:
“Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Sehingga dalam hal ini kewenangan pengadilan yang berhak mengadili YNS
bin AK adalah Pengadilan Anak, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
YNS bin AK didakwa secara alternatif melanggar Pasal 114 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan I atau melanggar Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Abdullatif, S.H., M.H., dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan mengadili dalam amar putusan yang
pertama menyatakan terdakwa YNS bin AK telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:
a. setiap orang
b. secara tanpa hak atau melawan hukum
c. unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan I
Amar putusannya yang kedua hakim menjatuhkan pidana kepada
terdakwa YNS bin AK berupa tindakan menyerahkan terdakwa kepada orang
tuanya di bawah pengawasan BAPAS, dengan dasar pertimbangan:
a. Amanat Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bahwa pidana penjara hanya dapat
dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
b. Himbauan Mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Prof Dr. Bagir Manan
SH. MCL, pada tanggal 16 Juli 2007 pada pokoknya menghimbau para
hakim untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan
putusan berupa tindakan dari pada penjara.
c. Fakta nyata dilapangan mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana
merupakan korban faktor ekonomi (kemiskinan orang tua), faktor
lingkungan dan kurangnya perhatian dari orang tua sehingga dapat
dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur
orang dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas
perbuatannya. Namun sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana
harus dilindungi hak-haknya, agar menjadi anak bangsa yang memiliki
masa depan sebagai harapan bangsa.
d. Kesanggupan orang tua terdakwa YNS bin AK untuk dapat mendidik
anaknya dengan lebih baik.
e. Perbuatan terdakwa yang terbukti di persidangan hanya menguasai
bukan sebagai pemilik narkotika tersebut.
f. Dan pertimbangkan hal yang memberatkan dan hal yang meringankan
hukuman bagi terdakwa tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt,
maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin
AK.
Proses pemeriksaan sidang pengadilan dengan terdakwa YNS bin
AK belum memenuhi penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana orang tua terdakwa tidak
ikut mendampingi terdakwa YNS bin AK. Bahwa dalam setiap
pemeriksaan sidang pengadilan terdakwa YNS bin AK hanya didampingi
oleh:
a. penuntut umum;
b. penasehat hukum;
c. pembimbing kemasyarakatan; dan
d. saksi.
2. Pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan terdakwa kepada orang
tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam Putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
a. Amanat Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bahwa pidana penjara hanya dapat
dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
b. Himbauan Mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Prof Dr. Bagir Manan
SH. MCL, pada tanggal 16 Juli 2007 pada pokoknya menghimbau para
hakim untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan
putusan berupa tindakan dari pada penjara.
c. Fakta nyata dilapangan mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana
merupakan korban faktor ekonomi (kemiskinan orang tua), faktor
lingkungan dan kurangnya perhatian dari orang tua sehingga dapat
dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur
orang dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas
perbuatannya. Namun sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana
harus dilindungi hak-haknya, agar menjadi anak bangsa yang memiliki
masa depan sebagai harapan bangsa.
d. Kesanggupan orang tua terdakwa YNS bin AK untuk dapat mendidik
anaknya dengan lebih baik.
e. Perbuatan terdakwa yang terbukti di persidangan hanya menguasai
bukan sebagai pemilik narkotika tersebut.
f. Dan pertimbangkan hal yang memberatkan dan hal yang meringankan
hukuman bagi terdakwa tersebut.
B. Saran
1. Dalam pemeriksaan perkara anak nakal atau anak pelaku tindak pidana;
a. penuntut umum;
b. pembimbing kemasyarakatan;
c. orang tua, wali atau orang tua asuh;
d. penasehat hukum; dan
e. saksi.
Wajib hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
2. Bahwa hakim dalam memutus suatu perkara anak nakal atau anak pelaku
tindak pidana, haruslah benar-benar melihat dari berbagai sisi atau sudut
pandang yang menyeluruh dalam diri terdakwa anak tersebut, seperti motif
anak melakukan tindak pidana, tingkat pendidikan, ekonomi keluarga,
kondisi lingkungan dan juga hakim haruslah dapat melihat kondisi yang
terbaik bagi si anak, keluarga si anak dan lingkungan si anak dalam
mengambil tindakan hukum bagi anak pelaku tindak pidana. Jangan
sampai dalam tindakan atau putusan hakim mengakibatkan hilangnya
masa depan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Al Faruk, Asadulloh. 2009. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia
Indonesia: Bogor.
Amirudin, Asikin, H. Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT
Radja Grafindo Persada: Jakarta.
Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Sinar
Grafika: Jakarta.
Hamzah, A dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta.
Harahap, Yahya. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta.
______________. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta.
Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2010. Pembaharuan Kuhap Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Sinar Grafika: Jakarta.
Lemek, Jeremias. 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap
Penegakan Hukum di Indonesia. Galangpress: Jakarta.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan
Permasalahannya. Mandar Maju: Denpasar.
Prins, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya bakti: Medan.
Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Sumiarni, Endang dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan Hukum Terhadap
Anak dalam Hukum Keluarga. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta.
Sumiarni, Endang. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum
Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta.
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta.
Wahyono, Agung dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di
Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.
Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika: Jakarta.
Wisnubroto, Al. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya:
Yogyakarta.
Zaini, Muderis. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar
Grafika: Jakarta.
Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana
________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan
________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
________,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
________,Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
________,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
________,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
________,Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
________,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
________,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
C. Jurnal, Majalah, dan Risalah
Meli Linda Juliana. 2004. Hak Terdakwa Anak Dalam Memperoleh Bantuan
Hukum (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri No.
15/Pid.B.AN/2001/PN.Tsm). Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman: Purwokerto.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3
November 2011.
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/all/year/2012/mont
h/12, diakses pada tanggal 29 September 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua, diakses tanggal 6 Juli 2013.
D. Sumber Lain
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid,Sus/2012/PN.Pwt.
Recommended