View
293
Download
21
Category
Preview:
Citation preview
i
STRATEGI PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL
KERAJINAN UKIRAN KAYU DI KABUPATEN
GIANYAR PROVINSI BALI
NI PUTU NINA EKA LESTARI
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
STRATEGI PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL
KERAJINAN UKIRAN KAYU DI KABUPATEN
GIANYAR PROVINSI BALI
NI PUTU NINA EKA LESTARI
NIM : 1090671010
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
STRATEGI PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL
KERAJINAN UKIRAN KAYU DI KABUPATEN
GIANYAR PROVINSI BALI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
NI PUTU NINA EKA LESTARI
NIM : 1090671010
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 09 MEI 2014
Promotor,
Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP.
NIP. 19580212 198601 1 001
Kopromotor I, Kopromotor II,
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE.,MS. Dr. Nyoman Mahaendra Yasa, SE.,M.Si.
NIP. 19540429 198303 1 002 NIP. 19610620 198603 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana
Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19580212 198601 1 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup
Pada Tanggal 7 Maret 2014
Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No. 0264UN14.4/HK/2014
Ketua : Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP.
Anggota :
1. Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MM.
2. Dr. Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si.
3. Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS.
4. Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS.
5. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP.
6. Dr. Siti Komariyah, SE., M.Si.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Putu Nina Eka Lestari
NIM : 1090671010
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Disertasi : Strategi Pemberdayaan Industri Kecil Kerajinan
Ukiran Kayu Di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 15 Februari 2014
Yang membuat pernyataan
Ni Putu Nina Eka Lestari
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis, haturkan kehadirat Ida Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, sembah sujud dengan segala kerendahan hati di Kaki Padma Satguru Bhagawan Sri Satya Sai Baba yang telah memberikan rahmat kesehatan, keilmuan, kekuatan lahir dan batin sehingga disertasi ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Dalam proses penyelesaian studi doktoral ini tidak lepas dari bimbingan, arahan dan dukungan penuh semangat dari Promotor, Ko-Promotor, Penguji, para dosen pengampu dan bersama pihak terkait lairmya. Karenanya pada kesempatan ini dengan rasa syukur yang mendalam dari penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada.
Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar atas berkenannya sebagai Promotor. Pengalaman dan kearifan beliau sebagai ilmuan ekonomi senior serta telah membimbing, mengarahkan, mendorong dan tidak henti-hentinya selalu memberi semangat penulis untuk senantiasa dapat menyelesaikan disertasi ini sesuai tujuan studi.
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar sebagai Ko-Promotor I yang dengan kecerdasan, keluasan wawasan dan ketegasan beliau sebagai ilmuan senior, telah memberikan bimbingan, mengarahkan dan tantangan. bagi penulis untuk menyelesaikan studi disertasi ini dengan penuh ketekunan tersendiri.
Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar sebagai Ko-Promotor II yang dengan kecerdasan, ketekunan dan kearifan beliau sebagai ilmuwan senior, telah memberikan bimbingan, mengarahkan dan makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi disertasi ini dengan penuh semangat.
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD beserta Pembantu-pembantu Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana.
Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, M.S selaku Asisten Disektur II beserta seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar yang memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti kuliah hingga selesai.
Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP dan Sekretaris Program Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS yang memberi kesempatan menempuh Program Doktor dan tidak segan-segannya selalu memberi semangat dan memantau secara kontinyu sebelum dan sesudah kuliah serta memacu penyelesaian disertasi dengan lancar dan baik.
Dekan Fakultas Ekonomi Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE., MS, Pembantu Dekan I Dr. I G W Murjana Yasa, SE., MSi, Pembantu Dekan II , Prof. Dr. Made Wardana, SE., MP, Pembantu Dekan III Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., MSi, beserta Sekretaris Dekan I Made Ira Wijayanti, Spd., MSi, yang memberi kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti kuliah di Program Doktor hingga selesai.
vii
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Sekretaris Jurusan Dr. I. B Purbadharmaja, SE., ME beserta staf yang telah memberi kesempatan kuliah di Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmi Ekonomi hingga selesai.
Kepada para penguji disertasi, yaitu : Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP ,Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS ,Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi ,Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS, Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS, Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP., Dr. Siti Komariyah, SE., M.Si, yang telah bersedia menguji dengan memberikan masukan, sanggahan, koreksi dan saran sehingga disertasi ini dapat terwujud.
Para dosen pengampu selama menempuh kuliah Prof. Ketut Nahen, M.Ec Ph.D, Prof. Dr. Ketut Sudibia, SE., SU, Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS, Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE., SU, Prof. Dr. Ketut Rahyuda, MSIE, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Prof. I Wayan Tjatera, SE., MSc,Ph.D (almarhum), Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D, Prof. Dr. Dewa Ngurah Suprapta, MSe, Prof. Dr. Ketut Ardana, MA, Dr. Ketut Putra Erawan yang telah memberikan materi kuliah dengan keahliannya masing-masing untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.
Pada kesempatan ini terimakasih disampaikan penulis kepada Gubernur Provinsi Bali beserta Bupati Gianyar, yang telah memberikan perijinan dan kesempatan untuk mencari data selama penelitian dilaksanakan.
Dosen pengampu mata kuliah penunjang disertasi (MKPD) Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs.,.MP dan Prof. Dr. Wayan Sudirman SE, SU. dengan kecerdasan dan keahliannya sebagai ilmuwan telah memberikan dasar-dasar teoritis yang menjadi bekal yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.
Dr. Ir. Paulus Kurniawan, MBA. yang telah memberikan motivasi, serta kesediaannya menjadi moderator dalam FGD (Focus Group Discussion) dan moderator Collokium, sangat membantu dan mendukung di dalam penyelesaian disertasi ini.
Penghargaan setinggi – tingginya dan ucapan terimakasih kepada seluruh guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Dengan rasa hormat dan bakti serta terimakasih disampaikan kepada Ayah tercinta Drs. Wayan Tangiarta, MM & Ibu Ni Made Armida, mertua I Nengah Cateng (alm) & Ni Nyoman Nyambreg, saudara ipar Ni Wayan Sukayasa sekeluarga, Ni Nyoman Sutejawati sekeluarga, Ni Ketut Ardani (alm) sekeluarga dan Bapak Made Sudiana & Ibu Nyoman Sulasni, beserta seluruh keluarga besar di Grogakgede Tabanan yang dengan penuh rasa kasih sayang telah mendoakan dan memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Kepada Ida Pandita Mpu Jaya Wasistananda dan Ida Pandita Istri, sekeluarga, Prof. DR. dr. Wayan Wita, Sp.JP sekeluarga, Bapak I Nyoman Darma sekeluarga dan seluruh keluarga besar di Sibanggede yang telah memberikan teladan, inspirasi dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, ketekunan di dalam mencapai tujuan, telah memberikan motivasi yang kuat bagi penulis didalam menyelesaikan studi serta disertasi ini.
Rasa hormat dan bakti juga disampaikan kepada Amaji Parwati Dewi dan Acarya Sankara Dewa serta seluruh keluarga besar Sai Pooja Ashram yang telah memberikan doa restu kepada penulis dengan penuh kasih sehingga memiliki kekuatan dan semangat dalam menyelesaikan disertasi ini.
viii
Terimakasih penulis sampaikan secara khusus kepada suami tercinta Ketut Suryada, SH atas pengertian, kesabaran serta dukungannya didalam menyelesaikan studi ini, anak-anak tersayang Satria Teja Dananjaya, Pertiwi Wina Sari, Windu Surya Sidhanta, serta adik Nyoman Tri Ediwan, SS,. M.Hum & Serlie Sintia Dewi, SE,MM, Hendra Darmawan, SH, keponakan Cipta Rini, SE & A.A. Bagus Ari Mahyuda, ST., Ray Platini & Yuda Hermawan, Sastra Gunawan, SE, Jason Raditya, Adrian Satyananda, serta cucu tercinta A.A. Ngurah Satya dan Gandhi Hermawan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh responden yang telah meluangkan waktu untuk memberikan data dalam proses penulisan disertasi ini.
Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, M.S, (alm) beserta keluarga sebagai pembimbing skripsi dan Tesis pada jenjang S1 dan S2 di Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional yang telah memberikan inspirasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Drs. Ketut Sambreg, MM beserta keluarga yang telah memberikan inspirasi kepada penulis untuk menjadi seorang dosen dan melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.
Dr. A.A.A. Tini Rusmini Gorda, SH, MH, selaku ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional Denpasar yang telah memberi ijin, dukungan semangat, teladan dalam penyelesaian disertasi ini.
Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Gede Sri Darma, DBA, selaku Rektor Universitas Pendidikan Nasional yang telah memberikan ijin belajar dan dorongannya dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini.
Seluruh teman-teman dan sahabat angkatan ke-2 September 2010 program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana yang telah memberi dukungan penuh kepada penulis dalam kehadirannya selama sidang-sidang berlangsung, kesediaannya dalam berdiskusi, kebersamaannya dalam suka dan duka selama menempuh studi dan penyelesaian disertasi ini, untuk itu penulis ucapkan terimakasih yang setulus tulusnya.
Kepada staff Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana Universitas Udayana Ni Komang Sri Mariatini dan Eka Putrawan, terimakasih dan atas jasa-jasa dalam menfasilitasi masa perkuliahan, sidang-sidang ujian hingga terselesaikannya disertasi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus mulia kepada semua pihak yang telah memberi bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan amal perbuatan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapatkan balasan dari Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pada akhirnya penulis bersyukur dapat menyelesaikan disertasi ini dengan kesadaran penuh bahwasanya disertasi ini belum sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi secercah manfaat kepada para sidang pembaca dan perkembangan ilmu.
Denpasar, Maret 2014
Penulis
Ni Putu Nina Eka Lestari
ix
ABSTRAK Pulau Bali di Indonesia terkenal selain industri pariwisatanya adalah
industri kecil kerajinan ukiran kayu yang berada di Kabupaten Gianyar, satu dari
sembilan kabupaten yang memiliki potensi strategis dalam menopang pendapatan
asli daerah tersebut. Semenjak tahun 2010 industri mengalami penurunan dalam
perolehan nilai exsport dari tahun ke tahun menurun kurang lebih 2 % secara
signifikan.
Studi ini bertujuan untuk : a) menganalisis rantai nilai industri kerajinan
ukiran kayu di kabupaten gianyar, b) menganalisis posisi strategis industri
kerajinan ukiran kayu di kabupaten Gianyar, c) menganalisis strategi
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di kabupaten Gianyar.
Data yang dipergunakan mencakup data primer yang diperoleh melalui
survei lapangan daan wawancara dengan 151 responden perajin ukiran kayu yg
ada di kabupaten Gianyar, serta data sekunder dari berbagai lembaga pemerintah.
Dari hasil penelitian diperoleh premis integrasi VSA (Value Chain,
SWOT, dan Analitical Hierarchy Process) yang memberikan hasil maksimal
untuk pemberdayaan kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar, sebagai berikut
: a) Rantai nilai kerajinan ukiran kayu terdiri dari ; Pemasok , Produsen produk
ukiran kayu, Trader dan Konsumen akhir. Kekurangan pasokan bahan baku kayu
yang berasal dari pulau Bali dan modal. Sedangkan di hilir kurangnya dukungan
Pemerintah dalam pemasaran produk hasil kerajinan ukiran kayu di Provinsi Bali
dan tingkat Nasional, b) Dari hasil analisis SWOT, diperoleh hasil pemetaan
posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu ada pada kuadran II yang ditunjukan
dengan nilai faktor internal adalah 0,31 dan faktor eksternal - 0,23. Menandakan
industri cukup kuat namun menghadapi tantangan yang besar, hasil ini
mengindikasikan pada strategi peningkatan ketrampilan dan investasi untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi untuk mencapai efisiensi, c) Hasil
perhitugan AHP diperoleh hasil bahwa strategi pemasaran menjadi faktor
prioritas yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar .
Rekomendasi dari studi ini antara lain: a) Pengembangan program One
Village One Product dan tempat setral ajang pamer produk ukiran kayu, b)
Pengembangan klaster industri kerajinan ukiran kayu, c) Pengembangan
Kewirausahaan melalui kurikulum di sekolah sejak SD sampai perguruan tinggi,
maupun melalui organisasi pemuda dan masyarakat, d) Pemerintah lebih
komunikatif dan sebagai mediator antara lembaga keuangan dengan para perajin
ukiran kayu melalui kegiatan sosialisasi program seperti adanya regulasi kredit
dan Jamkrida (Jaminan Kredit Daerah) yang di salurkan melalui Bank
Pembangunan Daerah Bali (BPD), e) Membentuk lembaga keuangan dan asuransi
untuk menunjang permodalan industri kecil, f) Melibatkan perajin secara intensif
dalam kegiatan penjualan melalui promosi dan pameran melalui roadshow, e-
marketing, website dan kerjasama pemerintah.
Kata Kunci : Pemberdayaan industri kecil, Kerajinan ukiran kayu, Kabupaten
Gianyar Provinsi Bali
x
ABSTRACT
The island of Bali in Indonesia, besides being well known for its tourism
industry, it is also well known for its wood carving handicraft small industry,
which is located in Gianyar Regency. Gianyar regency is one of the nine districts,
which has a strategic potential in supporting the original local revenue. Since
2010, this small industry has experienced a decline in export value from year to
year, a significant decrease of approximately 2 %.
This study aims to: a) analyze the chain value of wood carving industry in
Gianyar district, b) analyze the strategic position of wood carving industry in
Gianyar regency, and c) analyze the strategies of the empowerment of wood
carving industry in Gianyar regency.
The data used for this study includes primary data which were obtained through
field surveys and interviews with 151 respondents of wood carvings craftsmen in
the district of Gianyar, and secondary data from various government agencies.
The results obtained the VSA premise integration (Value Chain, SWOT,
and Analytical Hierarchy Process) which gives the maximal results for the
empowerment of wood carving handicraft in Gianyar regency, as follows: a) The
value chain of wood carving handicraft consists of: Supplier, Manufacturer of
wood carving products, traders and final consumers. Supply shortage of wood raw
materials originating from the island of Bali and the capital. Meanwhile, in the
downstream, there was a lack of government support in the marketing of
handicraft products of wood carving in the provincial and national levels, b) From
the results of the SWOT analysis, it was found that the mapping of the strategic
position of the wood carving handicraft industry was in quadrant II, as indicated
by the value of the internal factor 0.31 and the value of external factor being -
0.23, signaling that the industry is quite strong, but facing a major challenge, these
results indicate the strategy of improving the skill and investment to increase
quality and capacity for production to achieve efficiency, c) Results of the AHP
calculation, it was found that the marketing strategy becomes a priority factor that
determines the prospect of wood carving handicraft in Gianyar regency.
Recommendations from this study include: a) The development of One
Village One Product program and a central place for the exhibition of wood
carving products, b) The development of the clusters of industry for wood carving
handicraft, c) The development of entrepreneurship through school curriculum
from primary school to university levels, d) The Government should be more
communicative and should act as a mediator between financial institutions and the
wood carving craftsmen through socialization activity programs such as the
regulation of credit and Jamkrida (Regional credit Guarantee) which is channeled
through the Bali Regional Development Bank (BPD), e) Establishing financial
institutions and insurance to support the capitalization of small industries, f)
Involving craftsmen intensively in sales and promotional activities through road
shows and exhibitions, e-marketing, websites, and government cooperation.
Keywords: Empowerment of small industries, wood carving handicraft, Gianyar
Regency of Bali Province.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN ..................................................................... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR DOKTOR............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xxiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xxvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xxvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... . 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 24
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 26
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 28
2.1 Landasan Teori ....................................................................... 28
2.1.1 Teori Pembangunan Ekonomi .................................... 28
2.1.2 Teori Perubahan Struktural ........................................ 35
2.1.3 Pertumbuhan dan Prilaku dan Pelaku Ekonomi ......... 38
2.1.4 Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi ................... 39
2.1.5 Kebijakan Negara dan Pertumbuhan Ekonomi ......... 41
2.1.6 Pengertian Ekonomi Kelembagaan .......................... 43
2.1.7 Teori Pemberdayaan .................................................. 46
2.1.8 Pengertian Industri .................................................... 58
2.1.9 Konsep Industri Kecil ................................................ 60
2.1.10 Kriteria UKM ............................................................. 64
2.1.11 Karakteristik Industri Kecil ........................................ 65
2.1.12 Beberapa Permasalahan dalam Pemberdayaan
Industri Kecil .............................................................. 66
2.1.13 Strategi Pemberdayaan Industri Kecil ........................ 68
2.1.14 Analisis Industri ......................................................... 71
2.1.15 Daya saing ................................................................. 74
2.1.16 Pengertian Rantai Nilai ............................................. 80
2.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya ........................................... 82
xii
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN .................... 88
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................ 88
3.2 Kerangka Konsep Penelitian .................................................. 90
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................... 93
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................ 93
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 93
4.3 Subjek dan Objek Penelitian ................................................ 94
4.4 Identifikasi Dan Definisi Operasional Variabel .................... 94
4.4.1 Identifikasi Variabel .................................................. 94
4.4.2 Difinisi Operasional Variabel .................................... 95
4.5 Jenis dan Sumber Data .......................................................... 97
4.5.1 Jenis Data .................................................................. 97
4.5.2 Sumber Data ............................................................... 98
4.6 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .............. 99
4.6.1 Populasi ..................................................................... 99
4.6.2 Sampel Penelitian ...................................................... 99
4.6.3 Teknik Pengambilan Sampel ..................................... 101
4.7 Instrumen Penelitian .............................................................. 102
4.7.1 Teknis Pelaksanaan Suvery ........................................ 102
4.7.2 Survei Uji Coba (Pilot Study) dan Pengujian
Instrumen .................................................................... 103
4.8 Teknik Analisis Data ............................................................. 104
4.8.1 Analisis Ekonomi Rantai Nilai .................................. 104
4.8.2 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran
Kayu .......................................................................... 107
4.8.3 Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran
Kayu .......................................................................... 111
BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................... 121
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................... 121
5.1.1 Kondisi Geografis ..................................................... 121
5.1.2 Kondisi Demogratis .................................................... 123
5.1.3 Kondisi Makro Ekonomi ........................................... 125
5.1.4 Potensi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar ............. 129
5.2 Profil Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar .......................... 131
5.2.1 Profil Responden Sampel .......................................... 132
5.2.2 Profil Umum Usaha Kerajinan Ukiran Kayu ............ 133
5.3 Analisis Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu .......... 138
5.4 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Kabupaten Gianyar ................................................................ 146
5.5 Analysis Hierarchy Process (AHP) Industri Kerajinan
Ukiran Kayu .......................................................................... 153
xiii
BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................. 239
6.1 Analisis Rantai Nilai Industri Kerajinan Kayu ..................... 239
6.2 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu .... 250
6.3 Analisis Strategis Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran
Kayu ....................................................................................... 253
6.4 Temuan Teoritis dan Empiris ................................................. 262
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 267
7.1 Simpulan ............................................................................... 267
7.2 Saran ...................................................................................... 268
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 271
LAMPIRAN .................................................................................................... 279
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Pertumbuhan Penjualan Berdasarkan Ukuran Perusahaan
Periode 1997 – 1999 ...................................................................... 1
Tabel 1.2 Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja UMKM dan Usaha Besar
di Indonesia Tahun 2005 – 2012 ................................................... 4
Tabel 1.3 Sepuluh Besar Ekspor Manufaktur dari UMKM Indonesia 2009-
2010 ............................................................................................... 7
Tabel 1.4 PDRB Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Tahun 2008-2012 (dalam Jutaan Rp) ................................. 9
Tabel 1.5 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010
(persen) .......................................................................................... 10
Tabel 1.6 Perkembangan Jumlah Sentra, Unit usaha, Tenaga kerja, Nilai
Investasi dan Nilai Produksi Industri Kecil dan Menengah di
Tahun 2004 s/d 2011 ..................................................................... 13
Tabel 1.7 Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali Tahun 2003-2011 ...... 14
Tabel 1.8 Realisasi Ekspor Provinsi Bali Menurut Kelompok Komoditi
(US $) Tahun 2004 s/d 2011 ......................................................... 16
Tabel 1.9 Pemetaan UMKM di Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota
dan jenis Usaha Tahun 2011-2012 ................................................ 18
Tabel 1.10 Sepuluh Urutan Industri Kerajinan Berdasarkan Banyaknya
Jumlah Perusahaan, Jumlah tenaga Kerja, Nilai Investasi, Nilai
Produksi dan Rata-rata Eksport di Kabupaten Gianyar Tahun
2011 ............................................................................................... 19
Tabel 2.1 Sejarah dan Pengelompokan Teori Pertumbuhan ......................... 34
Tabel 2.2 Fase Kebutuhan Dasar Industri ..................................................... 71
Tabel 4.1 Pengambilan Sampel Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten
Gianyar Tahun 2012 ..................................................................... 101
Tabel 4.2 Kerangka Formulasi Strategis ....................................................... 106
xv
Tabel 4.3 Sistem Pembobotan SWOT ........................................................... 109
Tabel 4.4 Matrik SWOT ................................................................................ 110
Tabel 4.5 Skala Banding Secara Bersamaan ................................................. 113
Tabel 5.1 Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Kabupaten Gianyar
Tahun 2009 – 2013 ........................................................................ 126
Tabel 5.2. PDRB Sektoral atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Gianyar
Tahun 2009 – 2012 (dalam Jutaan Rupiah) .................................. 127
Tabel 5.3 Diagram Matriks SWOT Posisi Strategis Industri Kerajinan
Ukiran Kayu .................................................................................. 148
Tabel 5.4 Hasil Analisis Faktor Internal ....................................................... 149
Tabel 5.5 Hasil Analisis Faktor Eksternal ..................................................... 150
Tabel 5.6 Daftar Responden Sampel dalam Analisis AHP ........................... 155
Tabel 5.7 Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan Proyeksi
Pengembangan Kerajinan Ukiran Kayu ....................................... 156
Tabel 5.8 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Proyeksi Pengembangan Kerajinan Ukiran Kayu ......................... 157
Tabel 5.9 Matrik Priority Vector Proyeksi Pengembangan Kerajinan
Ukiran kayu ................................................................................... 157
Tabel 5.10 Bobot Gobal Level Pertama Proyeksi Pengembangan Kerajinan
Ukiran Kayu .................................................................................. 158
Tabel 5.11 Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor Strategi
Pengelolaan Keuangan ................................................................ 159
Tabel 5.12 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor
Strategi Pengelolaan Keuangan ................................................... 160
Tabel 5.13 Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pengelolaan
Keuangan ..................................................................................... 160
Tabel 5.14. Bobot Global Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan ......... 161
Tabel 5.15 Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor Strategi
Pengembangan SDM ................................................................... 162
xvi
Tabel 5.16 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor
Strategi Pengembangan SDM ..................................................... 163
Tabel 5.17 Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pengembangan
SDM ............................................................................................ 163
Tabel 5.18 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pengembangan SDM ............ 164
Tabel 5.19 Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor Strategi
Pemasaran .................................................................................... 165
Tabel 5.20 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Strategi
Pemasaran .................................................................................... 166
Tabel 5.21 Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemasaran .............. 166
Tabel 5.22 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran ............................. 167
Tabel 5.23 Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor Strategi
Manajemen Produksi ................................................................... 168
Tabel 5.24 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Strategi
Manajemen Produksi ................................................................... 169
Tabel 5.25 Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Manajemen
Produksi ....................................................................................... 169
Tabel 5.26 Bobot Global Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi ............ 170
Tabel 5.27 Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor Strategi
Pelayanan Publik ......................................................................... 171
Tabel 5.28 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Strategi
Pelayanan Publik ......................................................................... 172
Tabel 5.29 Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik .... 172
Tabel 5.30 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik .................. 173
Tabel 5.31 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Pengelolaan Keuangan ................................................................ 174
Tabel 5.32 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Strategi
Pengelolaan Keuangan ................................................................ 175
Tabel 5.33 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Pengelolaan Keuangan 175
xvii
Tabel 5.34 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Harga Pokok Produksi ................................................................. 176
Tabel 5.35 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Harga Pokok
Produksi ....................................................................................... 176
Tabel 5.36 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Harga Pokok Produksi 177
Tabel 5.37 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Kredit Perbankan ......................................................................... 177
Tabel 5.38 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Kredit
Perbankan .................................................................................... 178
Tabel 5.39 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Kredit Perbankan ........ 178
Tabel 5.40 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Pendidikan dan Pelatihan ............................................................ 179
Tabel 5.41 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Penelitian dan
Pelatihan ...................................................................................... 179
Tabel 5.42 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Penelitian dan
Pelatihan ...................................................................................... 180
Tabel 5.43 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Sistem Penggajian ....................................................................... 180
Tabel 5.44 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Sistem
Penggajian ................................................................................... 181
Tabel 5.45 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Sistem Penggajian ...... 181
Tabel 5.46 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Sistem Reward dan Punishment .................................................. 182
Tabel 5.47 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Sistem
Reward dan Punishment .............................................................. 182
Tabel 5.48 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Sistem Reward dan
Punishment .................................................................................. 183
Tabel 5.49 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Pemasaran Lokal ........................................................................ 183
Tabel 5.50 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Pemasaran
Lokal ............................................................................................ 184
xviii
Tabel 5.51 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Pemasaran Lokal ........ 184
Tabel 5.52 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Saleable Masterplan .................................................................... 184
Tabel 5.53 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Saleable
Masterplan................................................................................... 185
Tabel 5.54 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran ............................. 185
Tabel 5.55 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
E-Marketing................................................................................. 186
Tabel 5.56 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor E-Marketing . 186
Tabel 5.57 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran................................ 187
Tabel 5.58 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Sub Faktor
Layout Produksi ........................................................................... 187
Tabel 5.59 Matrik Priority Vector Alternatif Sub Faktor Layout Produksi ..... 188
Tabel 5.60 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Layout Produksi ............ 188
Tabel 5.61 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Sub Faktor
Teknologi Produksi ..................................................................... 188
Tabel 5.62 Matrik Priority Vector Alternatif Sub Faktor Teknologi
Produksi ....................................................................................... 189
Tabel 5.63 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Teknologi Produksi .... 189
Tabel 5.64 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Formula Bahan Baku ................................................................... 190
Tabel 5.65 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Formula
Bahan Baku ................................................................................. 190
Tabel 5.66 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Formula Bahan Baku 191
Tabel 5.67 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Desain dan Inovasi Produk .......................................................... 191
Tabel 5.68 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Desain dan
Inovasi Produk ............................................................................. 192
Tabel 5.69 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran ............................. 192
xix
Tabel 5.70 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Standarisasi Produk ..................................................................... 192
Tabel 5.71 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Standarisasi
Produk ......................................................................................... 193
Tabel 5.72 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Standarisasi Produk .... 193
Tabel 5.73 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Penelitian Pasar ........................................................................... 194
Tabel 5.74 Matrik Priority Vector Alternatif Sub Faktor Penelitian Pasar ... 194
Tabel 5.75 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Penelitian Pasar ......... 195
Tabel 5.76 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Pembinaan ................................................................................... 195
Tabel 5.77 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Pembinaan.... 196
Tabel 5.78 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Pembinaan .................. 196
Tabel 5.79 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang ........................................ 197
Tabel 5.80 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Fasilitas
Pameran dan Kontak Dagang ...................................................... 197
Tabel 5.81 Bobot Global Alternatif Sub Faktor Fasilitas Pameran dan
Kontak Dagang ............................................................................ 198
.Tabel 5.82 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari Sub Faktor
Sosialisasi Dan Fasilitasi Hak Paten ........................................... 198
Tabel 5.83 Matrik Priority Vector Alternatif dari Sub Faktor Sosialisasi
dan Fasilitasi Hak Paten .............................................................. 199
Tabel 5.84 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Sosialisasi dan
Fasilitasi Hak Paten ..................................................................... 199
Tabel 5.85 Bobot Global Alternatif Proyeksi Pengembangan Industri
Kerajinan Ukiran kayu ................................................................ 200
Tabel 5.86 Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan Strategi
Pengembangan Kerajinan Ukiran Kayu ...................................... 203
Tabel 5.87 Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Strategi Pengembangan Kerajinan Ukiran Kayu........................ 204
xx
Tabel 5.88 Matrik Priority Vector Level Pertama Strategi Pengembangan
Kerajinan Ukiran Kayu .............................................................. 204
Tabel 5.89 Bobot Gobal Level Pertama Strategi Pengembangan Kerajinan
Ukiran Kayu ................................................................................ 205
Tabel 5.90 Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua Untuk Faktor
Pengelolaan Keuangan ................................................................ 206
Tabel 5.91 Matrik Priority Vector Level Kedua Faktor Pengelolaan
Keuangan ..................................................................................... 206
Tabel 5.92 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pengelolaan
Keuangan ..................................................................................... 207
Tabel 5.93 Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua Untuk Faktor
Pengembangan SDM ................................................................... 207
Tabel 5.94 Matrik Priority Vector Level Kedua Faktor Pengembangan
SDM ............................................................................................ 208
Tabel 5.95 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pengembangan SDM 208
Tabel 5.96 Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua Untuk Faktor
Pemasaran .................................................................................... 209
Tabel 5.97 Matrik Priority Vector Level Kedua Faktor Pemasaran ............. 209
Tabel 5.98 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pemasaran ................ 210
Tabel 5.99 Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua Untuk Faktor
Manajemen Produksi ................................................................... 210
Tabel 5.100 Matrik Priority Vector Level Kedua Faktor Manajemen
Produksi ....................................................................................... 211
Tabel 5.101 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Manajemen Produksi 211
Tabel 5.102 Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua Untuk Faktor
Pelayanan Publik ......................................................................... 212
Tabel 5.103 Matrik Priority Vector Level Kedua Faktor Pelayanan Publik ... 212
Tabel 5.104 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pelayanan Publik ..... 213
Tabel 5.105 Bobot Global Level Kedua .......................................................... 213
xxi
Tabel 5.106 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah ............................ 214
Tabel 5.107 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Pemerintah .................................................................. 214
Tabel 5.108 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Pemerintah .................................................................. 215
Tabel 5.109 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengelolaan Keuangan dan Peran Asosiasi ................................. 215
Tabel 5.110 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Asosiasi....................................................................... 216
Tabel 5.111 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Asosiasi....................................................................... 216
Tabel 5.112 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan ............. 217
Tabel 5.113 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 217
Tabel 5.114 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 218
Tabel 5.115 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengembangan SDM dan Peran Pemerintah ............................... 218
Tabel 1.116 Matrik Priority Vector Alternatif Untuk Faktor Pengembangan
SDM dan Peran Pemerintah ........................................................ 219
Tabel 5.117 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Pemerintah .................................................................. 219
Tabel 5.118 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengembangan SDM dan Peran Asosiasi ................................... 220
Tabel 5.119 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pengembangan SDM
dan Peran Asosiasi....................................................................... 220
Tabel 5.120 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengembangan SDM
dan Peran Asosiasi....................................................................... 221
Tabel 5.121 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pengembangan SDM dan Peran Lembaga Keuangan ................. 221
xxii
Tabel 5.122 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pengembangan SDM
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 222
Tabel 5.123 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengembangan SDM
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 222
Tabel 5.124 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pemasaran dan Peran Pemerintah ................................................ 223
Tabel 5.125 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pemasaran dan Peran
Pemerintah ................................................................................... 223
Tabel 5.126 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pemasaran dan Peran
Pemerintah ................................................................................... 224
Tabel 5.127 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pemasaran dan Peran Asosiasi .................................................... 224
Tabel 5.128 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pemasaran dan Peran
Asosiasi ....................................................................................... 225
Tabel 5.129 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pemasaran dan Peran
Asosiasi ....................................................................................... 225
Tabel 5.130 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pemasaran dan Lembaga Keuangan ............................................ 226
Tabel 5.131 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pemasaran dan Peran
Lembaga Keuangan ..................................................................... 226
Tabel 5.132 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pemasaran dan Lembaga
Keuangan ..................................................................................... 227
Tabel 5.133 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah ............................... 227
Tabel 5.134 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Pemerintah .................................................................. 228
Tabel 5.135 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Pemerintah .................................................................. 228
Tabel 5.136 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi ................................... 229
Tabel 5.137 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Asosiasi....................................................................... 229
xxiii
Tabel 5.138 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Asosiasi....................................................................... 230
Tabel 1.539 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan ................. 230
Tabel 5.140 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 231
Tabel 5.141 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Manajemen Produksi
dan Peran Lembaga Keuangan .................................................... 231
Tabel 5.142 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor ...... 232
Tabel 5.143 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Pemerintah ......................................................................... 232
Tabel 5.144 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Pemerintah ......................................................................... 233
Tabel 5.145 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi .......................................... 233
Tabel 5.146 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Asosiasi ............................................................................. 234
Tabel 5.147 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Pemerintah .................................................................. 234
Tabel 5.148 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan ....................... 234
Tabel 5.149 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Lembaga Keuangan ........................................................... 235
Tabel 5.150 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Lembaga Keuangan ........................................................... 235
Tabel 5.151 Bobot Global Alternatif Strategi Pengembangan Industri
Kerajinan Ukiran Kayu .............................................................. 236
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peranan Industri Kecil Menengah dalam Ekspor di
Beberapa Negara Asia Tahun 1996 (dalam persentase) ....... 3
Gambar 1.2 Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk Tahun 1999
(dalam %) ............................................................................... 5
Gambar 1.3 Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk Tahun 2011
(dalam %) ............................................................................... 6
Gambar 1.4 Perkembangan Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali
Tahun 2007-2011 .................................................................. 15
Gambar 1.5 Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota Bali Terhadap PDRB
Bali Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2012 (%) ................... 17
Gambar 2.1 Strategi Pemberdayaan Industri Kecil .................................... 69
Gambar 2.2 Pemberdayaan Industri Kecil ................................................. 70
Gambar 2.3 The Five Forces Model .......................................................... 74
Gambar 2.4 The Determinants of National Competitive Advantage ......... 77
Gambar 3.1 Kerangka Proses Berpikir ...................................................... 90
Gambar 3.2 Kerangka Konseptual Penelitian ............................................ 91
Gambar 4.1 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian................................. 101
Gambar 4.2 Diagram Analisis SWOT ....................................................... 110
Gambar 4.3 Matrik Perbandingan Berpasangan ....................................... 114
Gambar 4.4 Proyeksi Pengembangan Usaha Kecil Menengah di
Kabupaten Gianyar................................................................. 116
Gambar 4.5 Hierarki Kebijakan Strategi Pengembangan Usaha Kecil
Menengah ............................................................................... 119
Gambar 5.1 Peta Kabupaten Gianyar ......................................................... 122
Gambar 5.2 Distribusi PDRB Sektoral Kabupaten Gianyar Tahun 2012 .. 128
xxv
Gambar 5.3 Komposisi Tingkat Pendidikan Responden ........................... 132
Gambar 5.4 Perkembangan Usaha Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten
Gianyar ................................................................................... 137
Gambar 5.5 Jangkauan Pemasaran dan Media Promosi Produk Ukiran ... 138
Gambar 5.6 Pemetaan Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Kabupaten Gianyar................................................................. 140
Gambar 5.7 Model Strategi Pengembangan Industri Ukir di Kabupaten
Gianyar ................................................................................... 152
Gambar 5.8 Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu di
Kabupaten Gianyar................................................................. 154
Gambar 5.9 Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu di
Kabupaten Gianyar................................................................. 158
Gambar 5.10 Strategi Pengelolaan Keuangan Industri Kerajinan Ukiran
Kayu di Kabupaten Gianyar ................................................... 161
Gambar 5.11 Strategi Pengembangan Sumberdaya Manusia Industri
Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar ...................... 164
Gambar 5.12 Strategi Pemasaran Industri Kerajinan Ukiran Kayu di
Kabupaten Gianyar................................................................. 167
Gambar 5.13 Strategi Manajemen Produksi Industri Kerajinan Ukiran
Kayu di Kabupaten Gianyar .................................................. 171
Gambar 5.14 Strategi Pelayanan Publik Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar ............................................................ 173
Gambar 5.15 Alternatif Proyeksi Masa Depan Industri Kerajinan Ukiran
Kayu Di Kabupaten Gianyar .............................................. 201
Gambar 5.16 Struktur Hirarki Strategi Pengembangan Industri Kecil
Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar ..................... 202
Gambar 5.17 Alternatif Skenario Masa Depan Industri Kerajinan Ukiran
kayu di Kabupaten Gianyar .................................................... 237
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampian 1 Kuisioner Penelitian
Lampian 2 Profil Responden dan UMKM
Lampian 3 Hasil Perhitungan Analitical Hierarchy Process (AHP) Software
Experct Choice Versi 11
xxvii
DAFTAR SINGKATAN
UKM : Usaha Kecil Menengah
ISK : Industri Skala Kecil
ISM : Industri Skala Menengah
GDP : Gross Domestic Products
PDRB : Produk Regional Domestik Bruto
BPS : Badan Pusat Statistik
Disperindag : Dinas Perindustrian dan Perdagangan
SWOT : Streght, Weakness, Oppertunities, dan Threats
SDM : Sumber Daya Manusia
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
VCA : Value Chain Analysis
AHP : Analytical Hierarcy Process
FGD : Focus Group Discussion
UKE : Unit Kerja Ekonomi.
SEM : Structural Equation Model
SK : Surat Keputusan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1997 telah
mengakibatkan kemunduran ekonomi nasional secara serius pada tahun 1998 yang
ditandai dengan menurunnya Gross Domestic Products (GDP) sebesar 13 persen
dari tahun sebelumnya dan angka pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen
pada tahun 2000 (BPS, 2004). Krisis ekonomi yang diawali dari terjadinya krisis
moneter atau nilai tukar tersebut berimplikasi pada melemahnya sektor perbankan
dalam perekonomian nasional sehingga sektor riil terutama industri-industri besar
mengalami penurunan kinerja sebagai akibat penggunaan permodalan yang berasal
dari hutang luar negeri. Data dari Kementerian Koperasi dan Pembinaan Ekonomi
Kecil dan Menengah (1997) menunjukkan bahwa perusahaan besar dan menengah
mengalami penurunan nilai tambah (value added) pada tahun 1998 sebesar 5,4
persen dan 27,2 persen dibanding tahun 1997. Sebaliknya Industri kecil (small firm)
dapat menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dari perusahaan counterpart-nya
yaitu perusahaan berskala besar dengan angka pertumbuhan mencapai 34,9 persen
pada tahun 1998 seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Pertumbuhan Penjualan Berdasarkan Ukuran Perusahaan
Periode 1997 - 1999
Firm Size
(Sales Definition)
Sales (Rp) Growth (% p.a)
1997 1998 1999 1998/1997 1999/1998
Total Industri 12.358 12.639 12.605 2,3 -0,3
Small < Rp 1 Miliar 2.899 3.911 3.901 34,9 -0,3
Medium Rp 1 - 50 Miliar 7.045 4.131 5.116 -27,2 -0,3
Large > Rp 50 Miliar 341.526 323.154 322.844 -5,4 -0,1
Sumber: MOCSME Survey Data, 1997 - 1999
2
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting
dalam pembentukan strategi untuk perkembangan dan pemulihan ekonomi di
banyak negara (Gray, 2002). Faktor utama dalam keberhasilan ekonomi kapitalis di
negara sedang berkembang terletak pada kewirausahaan. Lebih lanjut bahwa
pengembangan UMKM memberikan kesempatan untuk pertumbuhan lowongan
kerja dalam mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi (Riley, et al., 2006).
Dalam kaitannya dengan UMKM, menurut Becattini (1990) dan Tambunan
(1999) pertumbuhan UMKM mulai menjadi topik yang cukup hangat sejak
munculnya tesis flexible specialization pada tahun 1980-an, yang didasari oleh
pengalaman dari sentra-sentra Industri Skala Kecil (ISK) dan Industri Skala
Menengah (ISM) di beberapa negara di Eropa Barat, khususnya Italia. Sebagai
contoh kasus, bahwa pada tahun 1970 – 80-an, pada saat Industri Skala Besar (ISB)
di Inggris, Jerman dan Italia mengalami stagnasi atau kelesuan, ternyata ISK
(terkonsentrasi di lokasi tertentu membentuk sentra-sentra) yang membuat produk-
produk tradisional mengalami pertumbuhan yang pesat dan bahkan mengembangkan
pasar ekspor untuk barang-barang tersebut dan menyerap banyak tenaga kerja. Hal
ini menunjukkan bahwa industri kecil di sentra-sentra dapat berkembang lebih pesat,
lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat meningkatkan
produksinya daripada industri kecil secara individu di luar sentra (Haahti, 1993;
Aleke-Dondo, 1997).
Menurut Kuncoro (2001) Pengalaman Taiwan sebagai perbandingan justru
menunjukkan perekonomiannya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah
usaha kecil dan menengah yang disebut community based industry, sementara di
Indonesia peran industri kecil menengah relatif paling rendah di antara tujuh Negara
3
Asean sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1 yang menggambarkan
perkembangan industri di Taiwan yang sukses menembus pasar global, ternyata
ditopang oleh kontribusi UMKM yang dinamik.
Gambar 1.1
Peranan Industri Kecil Menengah dalam Ekspor di Beberapa Negara Asia
Tahun 1996 (dalam persentase)
Sumber: Tambunan, 1999
Berdasarkan pengalaman saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 dimana
industri kecil menengah di Indonesia mampu bertahan dan berkembang
dibandingkan industri dengan skala yang lebih besar, maka pembinaan dan
pengembangan UMKM di Indonesia pada era reformasi semakin mendapat
perhatian yang besar dari pemerintah. Perhatian tersebut cukup beralasan mengingat
peranan para pelaku UMKM dalam pengembangan perekonomian kerakyatan
semakin besar yang dapat dilihat dari karakteristik yang melekat pada pelaku usaha,
proses produksi yang cenderung padat karya mampu menyerap banyak tenaga kerja
dan sekaligus dapat memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan
dan mampu bertahan pada masa krisis ekonomi (Hill, 1997). Bila dibandingkan
dengan jumlah usaha besar, pada periode pasca krisis yaitu tahun 2005 hingga 2009,
4
pertumbuhan jumlah UKM terus mengalami peningkatan dengan penyerapan tenaga
kerja yang cukup besar sebagaimana disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja UMKM dan Usaha Besar di Indonesia
Tahun 2005 – 2012
Tahun Jumlah Unit Usaha (unit) Jumlah Tenaga Kerja (orang)
UMKM Usaha Besar UMKM Usaha Besar
2005 47.017.062 5.022 83.586.616 2.719.209
2006 49.021.803 4.577 87.909.598 2.441.181
2007 50.145.800 4.463 90.491.930 2.535.411
2008 51.409.612 4.650 94.024.278 2.756.205
2009 52.764.,603 4.677 96.211.332 2.674.671
2011 55.206.444 4.952 101.722.458 2.891.224
2012 56.534.592 4.968 107.657.509 3.150.645
Sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM, 2013
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan Industri yang berbasis ekspor, Harold
Innis dari Inggris (1920), dan dikembangkan oleh North (1955), Andrews (1953)
dan Dusenberry (1950) dalam teori Basis Ekspor (Export Base Theory) mengacu
pada pendekatan neoklasik dalam pertumbuhan ekonomi regional yang berbasis
pada sumber daya wilayah di Amerika Utara dengan pertumbuhan ekonomi dari
industri dengan mengekspor barang dan jasa dari daerah ke daerah lain karena
adanya sumber daya yang dimiliki suatu daerah (Cramon dan Rovayo, 2006).
Dorongan pengembangan daerah regional berasal dari luar daerah dimana ada dua
sektor kegiatan ekonomi yang bekerja, yaitu : (1) kegiatan eksport barang dan jasa
ke luar daerah. (2) kegiatan sektor lokal untuk melayani pasar lokal atau daerah
sendiri.
Berkaitan dengan ekspor, kontribusi UMKM juga ditunjukkan dalam
peningkatan pendapatannya yang didominasi oleh kegiatan ekspor. Data dari
Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah (1999)
5
menunjukkan bahwa 18 persen dari total ekspor Indonesia merupakan kontribusi
dari UMKM atau ekuivalen dengan Rp 47 triliun pada tahun yang sama (Van
Diermen, 2000). Produk tekstil garmen dan sepatu memberikan kontribusi terbesar
yaitu pada kisaran 27 persen, selanjutnya kontribusi terbesar kedua adalah produk
dan kayu pada kisaran 22 persen. Diikuti oleh mesin dasar, percetakan dan kertas
dan produk makanan dan minuman. Produk ekspor UMKM yang memberikan
kontribusi terkecil adalah produk dengan bahan dasar logam. Gambar 1.2
menunjukkan besarnya ekspor Indonesia berdasarkan jenis produk pada tahun 1999.
Gambar 1.2
Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
Tahun 1999 (dalam %)
Sumber: Departemen Koperasi dan PPK dan Menengah, 1999
Namun, sampai pada tahun 2011 telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia
berdasarkan jenis produk, dimana telah terjadi pergeseran urutan yakni kontribusi
ekspor terbesar adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit yang pada tahun 1999 tidak
masuk dalam urutan 10 besar, sementara itu kontribusi pengolahan produk dari kayu
memberikan kontribusi paling kecil dibandingkan tahun 1999 yang mampu
memberikan kontribusi terbesar kedua. Dalam waktu 12 (dua belas) tahun orientasi
6
ekspor Indonesia telah mengalami perubahan yang besar, hal ini bisa disebabkan
karena berbagai kebijakan Pemerintah terhadap orientasi ekspor, kemajuan
tehnologi maupun perubahan permintaan pasar dunia terhadap produk Indonesia.
Secara lebih rinci ekspor Indonesia berdasarkan jenis produk disajikan pada Gambar
1.3.
Gambar 1.3
Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
Tahun 2011 (dalam %)
Sumber: Kementrian Perindustrian, 2012
Sebagian besar ekspor UMKM Indonesia berasal dari industri manufaktur,
namun kontribusinya jauh lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor usaha besar (UB)
dalam total ekspor manufaktur Indonesia. Struktur ekspor manufaktur menurut skala
usaha memberi kesan seakan-akan ada korelasi positif antara kemampuan
melakukan ekspor dan skala usaha, artinya semakin besar sebuah perusahaan
semakin besar kemampuan ekspornya (walau kemampuan ekspor bisa berbeda
antarperusahaan dalam skala usaha yang sama). Alasannya jelas, UMKM terutama
usaha mikro (UMI) dan khususnya yang berlokasi di perdesaan, menghadapi
keterbatasan sumberdaya manusia (SDM), teknologi dan modal. Dalam kelompok
UMKM maupun kalangan UB, dalam melakukan ekspor, kebutuhan akan ketiga
7
faktor produksi tersebut lebih besar daripada perusahaan yang hanya melayani pasar
domestik (Tambunan, 2012).
Data 2007 dan target 2008 dari BPS dan Departemen perdagangan
menunjukkan bahwa daftar ekspor penting dari UMKM kurang lebih masih
konsisten, seperti makanan olahan, perhiasan dan kerajinan. Berdasarkan data dari
Departemen Perindustrian yang disajikan pada Tabel 1.3 memperlihatkan sepuluh
besar produk ekspor UMKM Indonesia di industri manufaktur untuk periode 2009-
2010.
Tabel 1.3
Sepuluh Besar Ekspor Manufaktur dari UMKM Indonesia 2009-2010
No Produk
2009 2010
Volume Nilai
(US $)
Volume Nilai
(US $)
1 Kelapa sawit olahan/minyak
kelapa sawit
20.737,9 12.924,9 8.068,0 6.124,2
2 TPT (teksil dan produk tekstil) 1.757,4 9.245,1 963,0 5.295,7
3 Besi baja, mesin dan otomotif 2.829,3 8.701,1 1.504,7 5.242,4
4 Produk-produk berbasis karet 2.506,8 5.020,2 1.404,2 4.415,3
5 Elektronika 339,8 7.899,6 179,6 4.320,9
6 Produk-produk dari tembaga,
timah dan lain-lain
508,1 5.241,5 262,7 3.002,8
7 Bubuk kertas dan kertas 6.539,9 4.272,4 3.318,2 2.718,4
8 Produk-produk dari kayu 3.184,2 3.441,0 2.250,0 2.262,7
9 Logam dasar 4.003,7 3.168,3 2.305,7 2.245,7
10 Makanan dan Minuman 1.612,8 2.569,8 789,8 1.463,0
Sumber: http://www.kemenperin.go.id, 2012
Tabel 1.3, menujukkan bahwa ekspor tertinggi dari UMKM adalah kelapa
sawit olahan/minyak kelapa sawit dan tiga ekspor terendah adalah berturut-turut
produk-produk dari kayu, logam dasar serta makanan dan minuman. Padahal
subsektor makanan dan minuman merupakan salah satu kelompok industri
terpenting bagi UMKM Indonesia (Tambunan, 2012).
Banyak hal yang membuat UMKM Indonesia hingga saat ini relatif masih
belum kuat, baik dibandingkan dengan UB maupun dengan sesama UMKM
8
dibanyak Negara lainnya. Selain tiga penyebab utama, yaitu keterbatasan modal,
kurang penguasaan teknologi dan kualitas SDM faktor orientasi pasar terutama dari
produk UMI yang dihasilkan hampir seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri/lokal.
Ada beberapa ciri UMKM Indonesia yang melakukan ekspor. Ciri pertama,
sebagian besar tidak melakukan ekspor secara langsung melainkan melalui
kemitraan atau perusahaan-perusahaan eksportir besar, atau menjual secara lokal
kepada turis asing Urata ( 2000); kedua, tidak semua UMKM Indonesia yang terlibat
dalam kegiatan ekspor sepenuhnya berorientasi ekspor, karena banyak yang hanya
mengekspor sebagian kecil dari jumlah output mereka. Namun demikian UMKM
memberi kontribusi tidak kecil terhadap pertumbuhan ekspor manufaktur bahkan
selama orde baru tumbuh cukup besar dengan menemukan peluang-peluang pasar
dan kemampuannya melakukan penyesuaian-penyesuaian biaya dan kualitas produk
terhadap perubahan-perubahan permintaan pasar di dunia (Hill, 2001 dalam
Tambunan, 2012); ketiga, umumnya UMKM yang terlibat dalam kegiatan ekspor
terkonsentrasi di lokasi yang sama untuk produk yang sama yang merupakan salah
satu karakteristik UMKM di Indonesia yang membentuk klaster-klaster; keempat,
ekspor UMKM sebagian besar dari kategori barang-barang berteknologi menengah
ke bawah; dan kelima, ekspor UMKM terkonsentrasi dimana upah adalah sumber
utama penentu daya saing global.
Secara spasial, konstelasi perkembangan UMKM di Indonesia yang semakin
meningkat dan tersebar di seluruh Indonesia baik yang formal dan informal secara
langsung memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi rakyat. Salah satu
daerah yang menyumbang perkembangan UMKM di Indonesia adalah Provinsi Bali.
9
Sebagai salah satu daerah wisata terkenal di Indonesia dan bahkan dunia, Provinsi
Bali menjadi episentrum bukan hanya wisata namun juga bisnis ekonomi. Kondisi
ini yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan multiplier effect
bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali
dapat dilihat melalui besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju
pertumbuhan PDRB berdasarkan atas dasar harga kontan 2000 sebagaimana di
sajikan pada Tabel 1.4 dan Tabel 1.5.
Tabel 1.4
PDRB Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (dalam Jutaan Rp) Lapangan Usaha
2008 2009 2010 2011 2012
Pertanian 4,898,453.32
5,645,784 5,745,585.79 5,873,098.00 6,070,983.49
Pertambangan dan
Penggalian
141,657.45 157,971.73 188,664.53 208,488.02 240,277.855
Industri Pengolahan 2,289,788.43 2,768,110.35 2,936,448.09 3,027,992.41 3,210,844.00
Listrik, Gas, dan Air
Bersih
356,044.27 410,371.98 438,590.34 470,830.61 513,572.99
Bangunan 909,435.80 1,067,443.02 1,146,121.48 1,236,386..67 1,467,171.65
Perdagangan, Hotel,
dan Restoran (PHR)
7,348,126.09 8,656,017.41 9,209,066.19 10,009,394.65 10,574,602.89
Pengangkutan dan
Komunikasi
2,575,564.36 3,016,617.21 3,190,613.09 3,381,200.32 3,636,776.49
Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan
1,734,273.10 1,899,187.64 2,041,019.60 2,167,882.16 2,366,826.86
Jasa-jasa 3,243,703.65 3,669,441.42 3,986,384.79 4,382,502.64 4,723,315.13
PDRB 23,497,047.07
27,290,945.61
28,882,493.90
30,757,776.28 32,804,381.36
Sumber: BPS Prov. Bali, 2012
Berdasarkan Tabel 1.5 dapat di lihat bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB
Provinsi Bali dari tahun 2008–2012 adalah sebesar 5,67 persen pertahun.
Pertumbuhan per sektor menunjukkan terdapat beberapa sektor yang memiliki laju
pertumbuhan pertahun di atas rata-rata laju pertumbuhan PDRB Provinsi Bali yaitu
sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 7,37 persen; pengangkutan dan
komunikasi sebesar 7,33 persen; perdagangan, hotel dan restoran (PHR) sebesar
6,79 persen; Industri pengolahan sebesar 6,62 persen dan jasa-jasa sebesar 5,72
10
persen. Selama lima tahun terakhir terlihat bahwa struktur PDRB Provinsi Bali di
dominasi oleh sektor listrik, gas dan air bersih serta pengangkutan dan komunikasi
kondisi ini menjadi konsekuensi sebagai tujuan wisata dunia, kebutuhan akan
penggunaan sektor listrik, gas dan air bersih untuk mendukung seluruh aktifitas
perekonomian di Bali.
Tabel 1.5
Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2006-2012 (persen)
Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-
rata
Pertanian 4,10 2,49 1,01 5,26 1,73 2,22 3,37 2,92
Pertambangan
dan Penggalian
2,54
2,97
3,52
5,27
10,73
10,51 15,25 5,01
Industri
Pengolahan
4,36 9,15 8,17 5,39 6,04 3,12 6,04 6,62
Listrik, Gas, dan
Air Bersih
6,57
7,89
8,98
4,71
8,70
7,35 9,08 7,37
Bangunan 4,51 6,09 6,71 0,91 7,33 7,88 18,67 5,11
Perdagangan,
Hotel, dan
Restoran (PHR)
5,11
7,58
8,36
6,50
6,40
8,69 5,65 6,79
Pengangkutan dan
Komunikasi
6,06
10,86
8,92
5,09
5,74
5,97 7,56 7,33
Keuangan,
Persewaan dan
Jasa Perusahaan
6,72
3,61
4,28
2,63
7,43
6,22 9,18 4,93
Jasa-jasa 6,95 2,80 4,66 5,64 8,55 9,94 7,78 5,72
PDRB 5,28 5,92 5,97 5,33 5,83 6,49 6,65 5.67
Sumber: BPS Prov. Bali, 2012
Laju pertumbuhan untuk sektor angkutan disebabkan karena banyaknya
aktifitas wisatawan serta adanya kegiatan keagamaan yang meningkatan aktivitas
transportasi terutama bagi kaum pendatang luar Bali yang ingin mudik. Sementara
itu peningkatan di subsektor komunikasi cenderung disebabkan karena
perkembangan teknologi informasi yang cukup pesat sehingga memberikan dampak
dan adanya perluasan jangkauan khususnya di bidang operator seluler yang sudah
11
sampai ke pelosok pedesaan, sehingga meningkatkan jumlah pemakai ponsel
maupun layanan internet via ponsel.
Secara umum peningkatan kontribusi terjadi di sektor angkutan dan
komunikasi dimana kedua sektor tersebut merupakan sektor tersier yaitu sektor yang
berbasis jasa. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang
dilaksanakan selain bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus
juga akan merubah struktur perekonomian dari sektor primer menuju sektor
sekunder atau tersier, atau dengan kata lain dari sektor yang berbasis sumber daya
alam atau sektor tradisional menuju sektor yang berbasis industri atau jasa.
Perubahan ini juga mencerminkan bahwa pembangunan juga dipengaruhi oleh
adanya teknologi yang berkembang, serta pembangunan juga menginginkan adanya
peningkatan produktivitas yang pada akhirnya juga akan meningkatkan pendapatan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Dodge (2010) yang menyatakan
bahwa hal penentu yang terkait dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
antara lain : 1) penentu produktivitas ( determinants of productivity ), 2) modal
manusia ( Human Capital ), 3) sumber daya alam ( natural resources ), 4) teknologi
( technology) dan 5) lingkungan ( environment ).
Sementara sektor yang lain yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan
dan penggalian, bangunan dan Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
mengalami laju pertumbuhan di bawah laju pertumbuhan rata-rata Provinsi,
terutama sektor pertanian yang memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 2,92
persen pertahun. Rendahnya pertumbuhan pada sektor pertanian ini terutama
disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem yang memicu penurunan produksi produk
pertanian dalam arti luas. Tidak itu saja, adanya serangan hama tikus, wereng, dan
12
bekicot serta virus, alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan berakibat pada
turunnya produksi pada sejumlah komoditas pertanian di beberapa sentra produksi
pertanian.
Perekonomian Bali memang tidak terbantahkan sangat tergantung pada
pariwisata. Bukan hanya pemerintah daerah yang banyak berharap dari sektor jasa
ini untuk menggerakkan roda pembangunan, tetapi juga sebagian besar masyarakat
hidupnya tergantung pada sektor jasa ini. Jadi dapat dikatakan bahwa pariwisata Bali
telah menjadi mesin penggerak perekonomian rakyat di Bali, bahkan ikut
menggerakkan perekonomian provinsi berdekatan melalui permintaan produk
produk kebutuhan masyarakat Bali dan wisatawan yang diproduksikan di Provinsi
tersebut; misalnya, bahan pangan dari Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Usaha kecil sektor pariwisata adalah usaha-usaha kecil pada setiap sektor
yang mendukung langsung kegiatan kepariwisataan atau perjalanan wisatawan,
yaitu: (1) sektor restoran, rumah makan dan warung, (2) hotel non bintang, angkutan
wisatawan, (4) travel biro, (5) money changer, (6) atraksi budaya dan hiburan
lainnya, dan (7) jasa perorangan, rumah tangga lainnya dan pramuwisata. Sedangkan
sektor hotel bintang walaupun pendukung utama sektor pariwisata, karena usaha-
usaha pada sektor ini tidak memenuhi ketentuan usaha kecil BI, maka tidak
termasuk usaha kecil sektor pariwisata.
Jadi, melalui efek pengganda (multiplier effects) dan efek menyebar (spread
effects), pengeluaran wisatawan yang ditangkap oleh usaha-usaha kecil pada sektor-
sektor pendukung kelancaran pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap
pendapatan daerah (nilai tambah bruto) Bali, menciptakan efek keterkaitan ke
belakang dan ke depan, dan menimbulkan efek pengganda terhadap sektor-sektor
13
ekonomi lainnya dalam perekonomian Bali. Lewis (1954) dalam Arsyad (2010)
menekankan perlunya saling ketergantungan antara berbagai sektor, yaitu antara
sektor pertanian dan sektor industri serta antara sektor dalam dan luar negeri, yang
akan memberikan keuntungan.
Melalui berbagai upaya yang dilakukan seperti pelatihan, bimbingan,
bantuan peralatan maupun permodalan, dibarengi dengan semakin kondusifnya
iklim usaha, maka bidang industri mampu menumbuh kembangkan usaha industri
dengan berbagai bidang dan sub bidang pendukungnya, sebagai indikator dalam
pencapaian hasil kegiatan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6
Perkembangan Jumlah Sentra, Unit usaha, Tenaga kerja,
Nilai Investasi dan Nilai Produksi Industri Kecil dan Menengah
di Tahun 2004 s/d 2011
No Tahun Sentra
(buah)
Unit
Usaha
Nilai Investasi
(Jutaan Rp)
Nilai Produksi
(Jutaan Rp)
Tng kerja
(orang) 1 2004 766 73.829 388.981 3.800.457 208.287
2. 2005 918 70.878 432.005 2.959.194 224.326
3. 2006 905 73.754 388.433 3.781.571 219.483
4. 2007 937 74.899 416.828 4.340.134 221.563
5. 2008 934 72.070 1.406.416 4.145.679 220.973
6. 2009 985 73.383 1.459.684 4.761.036 226.420
7. 2010 989 74.938 1.934.048 6.663.090 238.255
8. 2011 625 75.148 4.470.887 8.625.584 138.630
Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2012
Tabel 1.6 menunjukkan bahwa perkembangan sektor industri kecil dan menengah
mengalami pertumbuhan yang relatif cepat dari tahun 2004 ke tahun 2011, yang
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,62 persen. Namun keberadaan jumlah
unit usaha mengalami penurunan rata-rata 0,62 persen dalam kurun waktu 5 (lima)
tahun, sementara ada peningkatan penyerapan tenaga kerja rata-rata sebesar 1,55
persen setiap tahunnya namun pada tahun 2011 mengalami penurunan.
14
Realisasi ekspor non migas daerah Bali dari tahun ketahun mengalami
peningkatan, dan dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun yaitu tahun 2004 sampai
dengan tahun 2011 meningkat rata-rata 2,73% pertahun. Adapun perkembangan
realisasi ekspor Non Migas daerah Bali dari Tahun 2004-2011 sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.7 dan Gambar 1.4.
Tabel 1.7
Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali
Tahun 2004-2011
No. Tahun Realisasi Ekspor(US.$) Perubahan (%)
1 2004 498.969.473,16 -
2 2005 458.410.714,67 (8,13)
3 2006 458,789.262,74 0,08
4 2007 504.066.358,22 9,87
5 2008 553.832.364,47 9,87
6 2009 502.541371,61 -9,26
7 2010 519.912.506,91 4,46
8 2011 497.864.362,07 -4,2
Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2012
Gambar 1.4
Perkembangan Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali
Tahun 2004-2011 Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2009
15
Jenis komoditi ekspor Bali dikelompokkan menjadi 5 kelompok, sebagai berikut:
1) Hasil Kerajinan, berupa : Kerajinan kayu, kerajinan furniture, kerajianan perak,
kerajinan bambu, kerajinan logam, kerajinan rotan, kerajinan terracota, kerajinan
kulit, kerajinan batu padas, kerajinan anyaman, kerajinan keramik, kerajinan
kerang, kerajinan lukisan, kerajinan alat tulis;
2) Hasil Industri, berupa: Tekstil dan produk tekstil, sepatu, tas, plastik, ikan dalam
kaleng, dan komponen/rumah jadi;
3) Hasil Pertanian, berupa: ikan tuna, ikan kerapu, lobster, ikan hias hidup, ikan
nener, ikan kakap, ikan ikan lainnya, kepiting, sirip ikan hiu, buah-buahan,
burung hidup, rumput laut;
4) Hasil Perkebunan, berupa: panili dan kopi;
5) Lain-lain.
Realisasi masing-masing kelompok komoditi ekspor tersebut diatas terhadap
total ekspor selama 5 tahun yaitu tahun 2004 s/d 2008 disajikan pada Tabel 1.8.
Tabel 1.8
Realisasi Ekspor Provinsi Bali Menurut Kelompok Komoditi
Tahun 2004 s/d 2011(US $ 9%) Tahun Hasil
Kerajinan Hasil Industri
Hasil
Pertanian Hasil
Perkebunan Lain-Lain Jumlah
2004 201.022.383,17 239.216.314,31 48.321.236,08 8.355.397,52 2.054.142,08 498.969.473,16 (40,29%) (47,94%) (9,68%) (1,67%) (0,41%) (100%)
2005 227.604.660,14 170.820.808,77 52.518.522,18 2.328.455,34 5.138.268,24 458.410.714,67 (49,65%) (37,26%) (11,46%) (0,51%) (1,12%) (100%)
2006 235.882.292,99 162.249.204,65 52.461.279,78 1.529.327,43 6.667.157,89 458.789.262,74
(51,41%) (35,36%) (11,43%) (0,33%) (1,45%) (100%) 2007 247.282.261,85 180.254.250,24 71.857.777,62 1.809.919,04 2.862.149,47 504.066.358,22
(49,06%) (35,76%) (14,26%) (0,36%) (0,57%) (100%)
2008 266.205.490,20 188.931.305,50 96.174.429,47 640.064,71 1.881.056,59 553.832.346,47 (48,07%) (34,11%) (17,37%) (0,12%) (0,34%) (100%)
2009 224.098.539,63 170.473.759.00 104.542.168,10 916.739,85 2.465.619,51 502.541.826,09
(44,6%) (33,92%) (20,80%) (0,18%) (0,05%) (100%) 2010 215.288.407,35 180.215.610,68 119.769.734,32 887.631,00 3.751.123,56 519.912.506,91
(41,41%) (34,66%) (23,07) (0,17%) (0,72%) (100%)
2011 197.455.924,79 192.131.341,98 102.555.224,13 903.530,72 4.818.340,45 497.864.362,07 (39,66%) (38,59%) (20,60%) (0,18%) (0,97%) (100%)
Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2012
16
Berdasarkan Tabel 1.8 dapat diketahui bahwa realisasi ekspor menurut kelompok
komoditi Tahun 2004-2011 bahwa hasil kerajinan rata-rata menempati posisi
tertinggi dari 5 (lima) komoditas yang lain walaupun dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Kondisi ini juga dialami oleh komoditas yang lain kecuali komoditas
hasil pertanian yang terus meningkat.
Salah satu Kabupaten di Provinsi Bali yang yang memiliki sentra industri
penghasil kerajinan terutama kerajinan kayu adalah Kabupaten Gianyar. Sebagai
Daerah pusat budaya ukiran di Bali, Kabupaten Gianyar memiliki potensi dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Jika ditinjau dari besarnya
kontribusi PDRB kabupaten/kota di Provinsi Bali pada Tahun 2012 sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.5 yang menunjukkan bahwa Gianyar (12,13 persen)
menempatai urutan ketiga setelah Kabupaten Badung (25,36 persen) dan Denpasar
(21,19 persen).
25,36
8,31
5,9221,19
11,96
6,713,88
4,5512,13
Badung
Tabanan
Jbrn
Denpasar
Buleleng
Karangasem
Bangli
Klungkung
Gianyar
Gambar 1.5
Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Provinsi Bali
Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2012 (%)
Sumber: BPS Prov. Bali (2012)
Jika ditinjau dari hasil pemetaan UMKM di Provinsi Bali sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.9, terlihat bahwa secara keseluruhan Kabupaten Gianyar
17
memiliki UMKM terbesar dari 9 Kabupaten di Provinsi Bali yaitu 357,239
989,80= 33,8
persen UMKM Bali berada di Kabupaten Gianyar.
Sebagai hinterland (daerah sentra) kawasan wisata, Kabupaten Gianyar
memiliki peran penting dalam menumbuhkan pariwisata Bali dan sektor potensial
ekonomi lainnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Gianyar
tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi Rp 8.799.696,09,- dibandingkan tahun
2004 yaitu Rp 7.351.065,17. Begitu halnya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang mengalami peningkatan pada tahun 2006 menjadi Rp 67.559.020.915,17,-
dibandingkan tahun 2004 dan 2005 masing-masing adalah Rp 47.221.203.806,- dan
Rp 55.006.633.919,-. Kondisi makro regional yang cukup baik tersebut dikontribusi
dari sektor industri utama industri rumah tangga dan industri pariwisata
(http://www.gianyarkab.go.id).
Tabel 1.9
Pemetaan UMKM di Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota dan jenis Usaha
Tahun 2011-2012 (Unit)
Sumber: BPS Prov. Bali (2012)
KAB/KOTA PERDAGAN GAN
INDUST PERTANIAN
INDT NON PERTANIAN
ANEKA JASA TOTAL
Buleleng 6.715 2.684 2.441 1.988 13.829
Jembrana 11.111 5.195 1.162 3.028 20.495
Tabanan 10.341 1.881 4.190 1.877 18.289
Badung 11.391 1.073 2.057 1.527 16.049
Denpar 7.524 966 611 2.040 11.141
Gianyar 20.527 17.206 29.875 13.381 80.989
Bangli 24.336 2.392 1.600 2.569 30.897
Klungkung 1.109 6.795 1.413 376 9.692
Karangasem 12.290 20.573 2.036 3.078 37.977 1
Jumlah 2012 105.342 58.765 45.385 29.865 239.357
2011 96.672 57.590 42.470 26.663 223.395
18
Kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Gianyar salah satunya adalah industri kerajinan yang menjadi sektor penting dalam
mendukung sektor pariwisata. Beberapa industri kerajinan di Kabupaten Gianyar
bahkan telah mencapai pangsa ekspor. Tabel 1.10 menyajikan 10 urutan industri
kecil kerajinan di Kabupaten Gianyar berdasarkan banyaknya jumlah industri. Salah
satu industri kerajinan dengan jumlah unit usaha tertinggi dan mampu menyerap
jumlah tenaga kerja cukup besar di antara industri kerajinan lainnya adalah industri
kerajinan ukiran kayu khas Gianyar. Pada tahun 2011, nilai investasi dari industri
kerajinan ukir mencapai Rp 338.057.218.000,- nilai produksi Rp 100.608.319,- dan
bahkan telah mencapai pasar ekspor yaitu 66,3 persen. Begitu halnya dengan
penyerapan tenaga kerja mencapai 4.725 orang.
Tabel 1.10
Sepuluh Urutan Industri Kerajinan Berdasarkan Banyaknya
Jumlah Perusahaan, Jumlah tenaga Kerja, Nilai Investasi, Nilai Produksi dan
Rata-rata Eksport di Kabupaten Gianyar Tahun 2011
Jenis Industri Jumlah
Perusaha-
an (unit)
Jumlah
Tenaga
Kerja
(org)
Nilai
Investasi (Rp
000,-)
Nilai
Produksi
(Rp)
Rata-rata
Ekspor
(%)
Industri Kerajinan Ukir-Ukiran
Dari Kayu Kecuali Mebeller
248 4.725 338.057.218
100.608.319
66,3
Industri Barang Perhiasan
Berharga Untuk Keperluan
Pribadi Dari Logam Mulia
106 1.572
602.216.625
519.031.989
56,1
Industri Kerajinan Yang Tidak
Diklasifikasikan Ditempat Lain
45 611 239.250.066
54.733.600
56,2
Industri Pakaian Jadi Dari
Tekstil Dan Perlengkapannya
32 627 4.690.518
6.187.150
47,6
Industri Kain Tenun Ikat 8 270 448.158 2.910.000 56
Industri Pengolahan Teh Dan
Kopi
6 28
40.792 3.900.000 28,3
Industri Batik 6 81 339.988 992.500 61,7
Industri Percetakan 5 34 25.194.537 4.500.000 30
Industri Anyam-anyaman dari
Rotan Dan Bambu
4 59 632.082
194.200
65
Industri Barang Untuk
Keperluan Rumah Tangga Dan
Pajangan
4 73 678.698
1.925.000
58,8
Sumber: Disperindag Kabupaten Gianyar, 2011
19
Dibandingkan dengan industri kerajinan lainnya, industri ukiran kayu dipandang
cukup prospektif jika ditinjau dari banyaknya industri maupun kemampuan dalam
penyerapan tenaga kerja. Berbagai jenis produk kerajinan ukiran kayu yang
dihasilkan para pengrajin di Kabupaten Gianyar yang lebih berorientasi ciri khas
tertentu, dan diproduksi oleh masyarakat setempat yang masih bertautan erat dengan
tradisi dan mengandung nilai-nilai sakral, magis, dan simbolis. Benda sakral yang
hingga saat ini masih dijunjung tinggi dan dihormati oleh masyarakat Gianyar
adalah barong dan garuda. Bagi masyarakat Hindu, barong merupakan suatu
makhluk mitologis yang sakral dan dianggap sebagai simbol kebaikan serta
mempunyai kekuatan magis. Pengimitasian barong dan garuda sebagai benda
cenderamata merupakan usaha untuk menjaga kelangsungannya, sedangkan
perubahannya mereka sudah tidak lagi menciptakan untuk kepentingan ritual tetapi
untuk memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan sebagai jawaban dari dampak
yang ditimbulkan oleh dunia pariwisata. Bahkan komunitas pengerajin Gianyar tidak
hanya menciptakan seni kerajinan kayu yang mengacu pada barong dan garuda saja.
Mereka juga berusaha mengembangkan seni kerajinan ukiran kayu yang mengacu
pada jenis flora dan fauna yang dibuat sebagai benda cenderamata untuk memenuhi
kebutuhan komunitas wisatawan. Bahkan perkembangan lebih lanjut produk seni
kerajinan kayu yang mengacu pada jenis flora dan fauna tersebut dijadikan
komoditas perdagangan ekspor (Atmojo, W.T dkk, 2007).
Perkembangan industri kecil kerajinan ukiran kayu di Gianyar didukung oleh
keberadaan kawasan wisata yang memberikan side effect cukup besar bagi
perkembangan industri ukiran kayu di Kabupaten Gianyar Bali. Sebagai salah satu
dari 10 (sepuluh) produk unggulan di Provinsi Bali industri kerajinan ukiran kayu
20
mengalami pasang surut perkembangan, bahkan 3 (tiga) tahun terakhir ekspor
daerah Bali untuk kerajinan kayu terhadap total nilai ekspor sebesar 16,41 persen
pada tahun 2009 menjadi 14,97 persen pada tahun 2010 dan menjadi 12,72 persen
pada tahun 2011 (Dinas Perindag Prop. Bali, 2011). Berbagai hal menjadi penyebab
menurunnya perkembangan industri yang menghasilkan produk unggulan yang telah
diidentifikasi secara umum oleh pemerintah yang harus segera di upayakan
pemecahannya, antara lain :
a) sulitnya mendapatkan bahan baku kerajinan kayu;
b) kualitas SDM dalam menguasai teknologi produksi masih perlu ditingkatkan;
c) lemahnya akses permodalan dan akses promosi / pemasaran;
d) tidak adanya tempat promosi bersama berskala nasional dan internasional;
e) kurangnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam
usaha peningkatan ekspor daerah;
f) sering terjadi fluktuasi harga bahan pokok, barang penting dan strategis
lainnya, dan masih banyak faktor lainnya yang harus diidentifikasi lebih
spesifik.
Mengingat pentingnya peran industri kerajinan kayu sebagai salah satu produk
unggulan di Provinsi Bali dan komoditas terbesar di Kabupaten Gianyar sangat
penting untuk melakukan analisis mendalam terhadap keberadaan industri kerajinan
ukiran kayu baik internal maupun eksternal (strengths, weakness, opportunities dan
threats atau disingkat dengan ( SWOT) untuk menentukan posisi strategis industri
(Lee, S. F., & Ko, K. O., 2000; Ip, Y. K., & Koo, L. C., 2004; Rauch, P. , 2007;
Nikolaou, I. E.,2010; dan Manteghi & Zohrabi, 2011).
21
Dari serangkaian studi pendahuluan dilapangan, dari hasil random interview
memberikan gambaran secara umum permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan UMKM di Provinsi Bali umumnya dan Kabupaten Gianyar pada
khususnya meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang
berpengaruh terhadap industri kecil dan menengah antara lain: 1) kurangnya
permodalan, dimana permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu unit usaha; 2) keterbatasan SDM, dimana sebagian besar
usaha kecil merupakan usaha tradisional dan turun temurun. Selain itu terdapat
faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap UMKM antara lain: 1) iklim
usaha belum sepenuhnya kondusif, masih terlihat terjadinya persaingan yang kurang
sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan pengusaha besar; 2) terbatasnya sarana
prasarana, kurangnya informasi yang terkait dengan kemajuan IPTEK ( Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi ) menyebabkan sarana prasarana yang dimiliki tidak
cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usaha; 3) implikasi otonomi
daerah yang mengakibatkan munculnya pungutan-pungutan baru yang dikenakan
pada UMKM; 4) implikasi perdagangan bebas, dimana dengan adanya AFTA dan
APEC berimplikasi luas terhadap UMKM untuk bersaing dalam perdagangan bebas.
Dalam hal ini UMKM dituntut untuk melakukan proses produksi secara produktif
dan efisien serta menghasilkan produk sesuai standard kualitas. Usaha kecil
diharapkan mampu bersaing secara keunggulan komparatif dan kompetitif
berkelanjutan; 5) sifat produk dengan lifetime pendek, dimana sebagian besar
produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk fashion dan
kerajinan dengan lifetime pendek; dan 6) terbatasnya akses pasar yang menyebabkan
produk tidak kompetitif baik di pasar nasional dan internasional.
22
Namun demikian ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati sebagai
bentuk dari keunggulan UMKM yaitu UMKM memiliki potensi yang tidak dimiliki
oleh usaha besar antara lain: 1) sebagian besar menggunakan bahan baku lokal yang
tidak dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia; 2) keperluan modal UMKM
khususnya UMK relatif kecil. Tenggang waktu produksi (time lag) UMKM relatif
singkat, serta pada beberapa jenis kegiatan UMKM memiliki nilai komparatif yang
sangat tinggi: 3) potensi berikutnya yang dapat dijadikan keunggulan komparatif
UMKM adalah bahwa pada kegiatan-kegiatan usaha tertentu UMKM lebih efisien
dan produktif, daripada usaha besar. Dengan demikian dalam kegiatan usaha
tersebut usaha kecil dan menengah akan memiliki tingkat kompetisi yang baik.
Wiryono (1998) mengemukakan teori yang menarik untuk mengetahui
tingkat kompetisi, efisiensi dan produktivitas yang diukur dari trend pangsa output
dalam satu kurun waktu tertentu. Jika pangsa dari satu skala industri tertentu
menurun, berarti industri pada skala tersebut tidak efisien, demikian pula sebaliknya.
Beberapa kondisi realistis di atas seharusnya menjadi bahan pemikiran sekaligus
perenungan untuk tidak terus menerus menganggap UMKM sebagai kelompok
bisnis yang harus selalu dan diberikan bantuan seperti subsidi bunga. Kebijakan
yang selalu memposisikan UMKM sebagai kelompok yang perlu dibantu didasarkan
pada anggapan bahwa UMKM adalah kelompok usaha yang lemah dalam segala hal
dan tidak mampu bersaing dengan usaha besar. Sayangnya kebijakan tersebut
cenderung berlanjut terus hingga saat ini. Bahkan tantangan pasar global yang akan
segera datang direspon dengan anggapan UMKM akan habis terlindas dan tidak
mampu bersaing. Globalisasi dan pasar bebas (melalui WTO, APEC, AFTA)
menjadi momok yang menyeramkan bagi UMKM tanpa memberikan alternatif dan
23
strategi bagaimana seharusnya UMKM menghadapi pasar bebas. Dari realita potensi
unggulan UMKM seperti disebutkan di atas, maka selayaknya kalangan lembaga
perkeditan formal tidak lagi memandang UMKM sebagai kelompok usaha marginal,
tetapi berbagai dogma dan mitos disekitar kelemahan UMKM ternyata masih sulit
untuk dipatahkan. Kesulitan inilah yang seharusnya menjadi tantangan dan dorongan
bagi UMKM untuk mencari strategi yang paling efektif untuk menembus kendala
struktural dalam membangun akses terhadap permodalan yang berasal dari lembaga
perkreditan formal khususnya bank-bank komersial
Selain penentuan strategi yang tepat dalam upaya pengembangan UMKM di
Kabupaten Gianyar perlu juga dilakukan analisis rantai nilai (value-chain) yang
merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik
terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan
dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik
hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan dan perusahaan lain
dalam industri Pratyush et al.( 2012 ) Chang, Jhany C. et al.( 2002). Dengan value
chain perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk
menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (value added)
dapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Disamping itu diselaraskan dengan
pendapat para ahli ( ekspert ) dibidang kerajinan ukiran kayu seperti ; 1) pengusaha
2) pelaku ekspor, 3) asosiasi kerajinan dan ekspor, 4) departemen perindustrian.
Selanjutnya untuk menjaga dan meningkatkan perkembangan industri
terutama industri kecil, dukungan dan peran pemerintah sangat dibutuhkan melalui
berbagai kebijakan yang mampu melindungi dan memberikan ruang yang lebih luas
bagi industri kecil untuk tumbuh dan berkembang dalam persaingan yang semakin
24
ketat. Dengan mengetahui kondisi riil industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar, diharapkan akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh industri dan menjadikan produk kerajinan ukir sebagai produk
unggulan Kabupaten Gianyar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang
mampu bersaing secara kompetitif di pasar internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Kabupaten Gianyar sebagai salah satu wilayah wisata terkenal di Provinsi
Bali, selain memiliki beragam budaya yang menjadi daya tarik pariwisata juga
memiliki banyak usaha produktif bidang industri kecil, salah satunya adalah industri
kerajinan yang cukup prospektif yaitu industri kerajinan ukiran kayu baik ditinjau
dari banyaknya industri maupun dari kemampuan dalam menyerap tenaga kerja
(Tabel 1.10) menempati posisi pertama pada jajaran sepuluh industri kerajinan di
Kabupaten Gianyar Tahun 2011. Potensi industri kerajinan ukiran kayu bukan hanya
untuk memenuhi pasar domestik bahkan telah mencapai pangsa ekspor.
Namun dalam perkembangannya, industri kerajinan ukiran kayu mengalami
pasang surut bahkan 3 (tiga) tahun terakhir ekspor Bali untuk kerajinan ukiran kayu
terhadap total nilai ekspor dari tahun ke tahun mengalami penurunan yaitu sebesar
16,41 persen pada tahun 2009 menjadi 14,97 persen pada tahun 2010 dan turun
menjadi 12,72 persen pada tahun 2011 (Dinas Perindag Prov. Bali, 2011). Selain itu,
industri kerajinan ukiran kayu juga mengalami permasalahan berupa terbatasnya
modal dan sumber daya manusia, berdasarkan hasil survei awal menunjukkan bahwa
banyak perajin yang mengalihkan kegiatannya dari menjadi pemahat kayu beralih
25
profesi menjadi pedagang atau profesi yang lain yang lebih cepat mendatangkan
uang terutama di kalangan generasi muda.
Selain masalah internal, industri kecil kerajinan kayu juga menghadapai
permasalahan yang berasal dari eksternal industri yang berupa ketatnya iklim
persaingan usaha, terbatasnya sarana prasarana, implikasi otonomi daerah yang
meningkatkan biaya produksi, implikasi perdagangan bebas yang menuntut agar
industri bekerja dengan skala produksi yang efisien dan terbatasnya akses pasar
yang membuat industri kecil kerajinan ukiran kayu harus melakukan evaluasi.
Kondisi ini memerlukan upaya serius dari pemerintah daerah untuk terus
mengembangkan industri kerajinan ukiran kayu mulai dari hulu hingga hilir.
Berdasarkan potensi yang sangat besar atas keberadaan industri kerajinan
ukiran kayu di Kabupaten Gianyar sebagai sektor penting dalam menyediakan
lapangan kerja yang berarti sebagai salah satu penopang ketersediaan lapangan kerja
dan sekaligus keberadaannya sebagai sumber kesejahteraan masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dilain pihak permasalahan yang dihadapi oleh
industri kerajinan ukiran kayu juga dapat mengancam keberlangsungan hidup
industri kecil yang secara otomatis menjadi ancaman bagi perusahaan hulu hilirnya,
maka sangat layak sekali dilakukan studi lebih mendalam melalui penelitian tentang
posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu dalam memberikan backward dan
forward linkage bagi perkembangan sektor lainnya. Keterkaitan hulu hingga hilir
melalui analisis rantai nilai (value chain) menjaga keberlangsungan industri
kerajinan ukiran kayu, sehingga upaya untuk mendukung pemberdayaan industri
kerajinan kayu ukir menjadi lebih integratif dan komprehensif.
26
Secara rinci rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1) bagaimanakah keterkaitan rantai nilai industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar ?
2) bagaimanakah posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar?
3) bagaimanakah strategi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1) menganalisis rantai nilai industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar;
2) menganalisis posisi strategis industr kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar;
3) menganalisis strategi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu yang di
Kabupaten Gianyar.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka manfaat penelitian
adalah sebagai berikut:
1) hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan
dengan memberikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa melalui analisis
rantai nilai, UMKM dapat dijadikan sebagai barometer kekuatan perdagangan
daerah dalam persaingan global melalui keunggulan kompetitif;
27
2) memberikan kontribusi/masukan bagi Pemerintah dalam menyusun acuan
kebijakan pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
pada khususnya dan UMKM yang lain pada umumnya;
3) menambah khazanah penelitian khususnya dalam kajian pemberdayaan UMKM
dalam rangka pembangunan daerah sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.
28
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Dalam kajian ini akan membahas tentang teori – teori yaitu :
2.1.1 Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan
dalam pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai dengan
membaiknya faktor – faktor produksi. Faktor – faktor produksi tersebut adalah
kesempatan kerja, investasi dan teknologi yang digunakan. Membaiknya ekonomi
suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat,
investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu
Negara (Menteri permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).
Pembangunan dapat dipandang sebagai suatu proses transisi multi dimensi
yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan di dalam suatu
negara, dimana proses perubahan multidimensional tersebut ditandai oleh proses
tranformasi struktural. Menurut Stimson dan Stough (2006), proses transformasi
struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur ekonomi yang dicerminkan
oleh perubahan kontribusi sektoral (shift – share) di dalam pendapatan nasional.
Proses transformasi struktural itu sendiri dapat dikelompokkan dalam empat proses
utama yaitu : (1) proses akumulasi, (2) proses alokasi, (3) proses distribusi dan (4)
proses demografis.
Pembangunan Ekonomi bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya salah satu aspek ekonomi saja.
29
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu
Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup
masyarakatnya. Atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan
pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam kurun waktu lama ( jangka
panjang) disertai perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010). Paham pembangunan
ekonomi menekankan produk per kapita dan pendapatan per kapita. Produk per kapita
dan pendapatan per kapita inilah yang dijadikan ukuran tingkat hidup dalam
mayarakat. Karena itu era tahun lima puluhan pengertian pembangunan ini terbatas
pada proses kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, atau proses
pembangunan itu terbatas pada bidang ekonomi atau titik beratnya pada bidang
ekonomi. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan setiap negara, pertumbuhan
pendapatan dan pendapatan per kapita ini selalu dimonitor. Kemudian istilah
pembangunan dewasa ini semakin berkembang laksana mukjizat. Pembangunan
mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi ganda, menimbulkan banyak
harapan, tapi juga membawa perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan
masyarakat yang semakin meluas.
Meier dan Baldwin dalam Siagian (1982) lebih tegas lagi mengatakan
bahwa: Economic development is a process where by an economy's real national
income increases on along period of time. And, if the rate of development is greater
than the rate of population growth,then per capita real income will increase".
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses, dengan proses di mana pendapatan
nasional riil suatu perekonomian bertambah selama suatu periode waktu yang
panjang.
30
Dalam definisi tersebut, perhatian ditekankan pada perkataan proses,
pendapatan nasional riil, dan periode waktu yang panjang. Pembangunan dikatakan
proses karena pembangunan bukanlah suatu kegiatan yang selesai hanya dalam satu
kali dalam satu saat, melainkan pembangunan merupakan kegiatan terus-menerus.
Proses berarti bekerjanya kekuatan-kekuatan tertentu, selama periode yang panjang
dan mewujudkan perubahan-perubahan dalam variabel-variabel tertentu sehingga
tidak cukup hanya dalam menggolongkan satu daftar pembangunan yang terpisah-
pisah, melainkan harus dapat menentukan hubungan-hubungan kausal dalam
pembanguna tersebut. Sebab, hanya dari hubungan-hubungan kausal inilah dapat
ditentukan akibat-akibat yang diharapkan dari perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain.
1. Perubahan-perubahan khusus dalam penawaran faktor:
a) ditemukannya sumber-sumber tambahan;
b) akumulasi modal;
c) pertambahan penduduk;
d) di-introduser-nya teknik-teknik produksi yang baru dan yang lebih baik
e) perbaikan keahlian;
f) perubahan-perubahan institusionil dan organisasionil lainnya.
2. Perubahan-perubahan khusus dalam struktur permintaan akan produk
dihubungkan dengan perkembangan dalam:
a) jumlah dan susunan penduduk;
b) tingkat dan pembagian pendapatan;
c) cita rasa;
d) susunan institusionil dan organisasionil lainnya.
31
Makna pembangunan tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Namun terlepas dari perbedaan
tersebut, beberapa ahli ekonomi menggunakan istilah pembangunan dan
pertumbuhan sebagai suatu makna yang dianggap sinonim bahwa, mengesankan
suatu peralihan ke sesuatu yang baru dari sesuatu yang lama, yang telah digunakan.
Todaro (2006 ) dalam Economic for a developing World mengatakan:
“Development should there part be per ceived as a multi dimentional process involving the reorganization and reorientation of entire economic and social system. In addition to improvements in incomes and output, it typically involves radical changes in instutional social and administrative structures, as well as in popular atitudes and some times even customs and beliefs. Finally, development is usually in a national context, its widespread realisation may necessitate fundamental modification of the international economic and social system".
Karenanya, pembangunan harus terpadu atau multidimensi berarti mencakup
segala bidang. Tahun 1970 para ahli ekonomi memisahkan arti pertumbuhan dengan
Pembangunan. Pertumbuhan (growth) adalah suatu proses untuk meningkatkan
produksi (output) yang merupakan kegiatan rutin. Pembangunan adalah suatu usaha
terpadu, termasuk juga perubahan dalam kelembagaan untuk menuju ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan arti pembangunan maka pada
umumnya pembangunan selalu dibarengi dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan
belum tentu disetai dengan pembangunan. Di awal pembangunan ekonomi selalu
dibarengi dengan pertumbuhan dan sebaliknya. Kalau mengkaitkan UUD 1945 dengan
pembangunan manusia seutuhnya, maka penafsiran pembangunan manusia seutuhnya
haruslah merupakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan. Dalam perkembangan
pemikiran tentang pembangunan di Indonesia, antara lain dapat dicatat terdapatnya dua
macam pengertian tentang pembanguan, yakni yang bersifat sempit dan dalam
32
pengertian luas. Dalam arti sempit pembangunan sering dilihat dalam pandangan
historis monumental, yakni pembangunan yang menitikberatkan segi ekonomi tanpa
melihat kaitan antara aspek ekonomi dan politik, sosial budaya dan sebagainya. Dewasa
ini tampaknya pembangunan lebih banyak dilihat dalam pengertian sempit, seperti
tampak dalam praktek pembangunan yang berorientasi kepada GNP.
Pembangunan diartikan secara luas, yaitu dari dimensi historis. Dalam
pandangan ini, maka pengertian pembanguan jelas tidak dapat diartikan sebagai
pertumbuhan ekonomi semata-mata. Proses pembangunan dalam pengertian yang luas,
Indonesia seperti halnya banyak negara lain yang sedang berkembang, seringkali
dihadapkan pada dilema yakni pilihan kepada keperluan dan kemungkinan untuk
memberikan banyak perhatian kepada unsur tetap dalam masyarakat mencakup : (a)
keamanan, ketertiban (faktor statis), (b) perkembangan sosial ekonomi (faktor
dinamis); (c) keadilan-kebebasan (faktor etis).
GNP per kapita dari suatu negara seringkali merupakan ukuran dari kesuksesan
negara dalam menciptakan pembangunan ekonomi. Dari GNP per kapita dapat
ditentukan apakah negara itu diklasifikasikan negara maju atau negara berkembang.
Akan tetapi dengan lajunya pertumbuhan GNP tidaklah mutlak merupakan ukuran
keberhasilan pembangunan ekonomi negara sedang berkembang.
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses peningkatan riil Produk
Domestik Bruto (PDB) perkapita dari waktu ke waktu yang dikatakan berhasil kalau
secara obyektif menunjukkan peningkatan per kapita dari meningkatnya upah riil
serta pendapatan yang mengarah ke standar hidup yang lebih baik atau tinggi
(Bishop, dkk; 2011). Menurut menurut Perkins, dkk (2010), pertumbuhan ekonomi
yaitu : peningkatan nyata atau riil dalam pendapatan per kapita dan lembaga –
33
lembaga sosial serta politik yang diperlukan untuk mendukung ekspansi ekonomi
nasional. Perubahan ini ditandai oleh tumbuhnya sektor industri dengan pangsa
pasar pertanian menurun dari PDB dan perubahan signifikan dalam pertumbuhan
penduduk, migrasi pedesaan ke perkotaan serta memberikan kesempatan kerja.
Pertumbuhan ekonomi didifinisikan sebagai pertumbuhan jangka panjang non
inflasi dengan peningkatan out put (PDB) yang disebabkan oleh peningkatan
kapasitas produktif (Riley, 2006).
Schumpeter (1934) membedakan antara pembangunan ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi, di mana pembangunan ekonomi mengacu pada masalah
negara terbelakang sedang pertumbuhan mengacu pada masalah negara maju.
Menurut Schumpeter, adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan
stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi kesimbangan yang ada
sebelumnya; sedangkan pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.
Sementara itu Hicks dalam Arsyad (2004) mengemukakan, masalah negara
terbelakang menyangkut pengembangan sumber-sumber yang tidak ada atau belum
digunakan, kendati penggunaannya telah cukup dikenal; sedang masalah negara
maju terkait pada pertumbuhan, karena kebanyakan dari sumber mereka sudah
diketahui dan dikembangkan sampai batas tertentu.
Menurut Bishop, dkk (2011) ada dua faktor utama yang dapat
menyebabkan perekonomian dapat tumbuh yaitu antara lain: 1) dengan peningkatan
input (seperti tenaga kerja dan modal) dan 2) dengan meningkatkan produktifitas.
Percepatan pertumbuhan suatu negara tergantung pada: 1) tingkat pertumbuhan
modal Saham. 2) laju pertumbuhan yang dikaitkan dengan kemajuan teknologi, 3)
34
laju pertumbuhan angkatan kerja dan 4) laju pertumbuhan dalam tingkat
keterampilan anggkatan kerja. Keempat faktor tersebut akan mengakibatkan
peningkatan output atau Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB).
Efisiensi ekonomi produk domestik mengacu kepada kedua efisiensi yaitu
efisiensi produktif (menggunakan sumber daya) dan efisiensi alokatif yaitu
mengalokasikan sumber daya diantara teknik produksi sedemikian rupa sehingga
dapat menghasilkan barang dan jasa untuk memaksimalkan kesejahteraan
masyarakat. Faktor – faktor seperti modal, kemajuan teknologi, investasi modal
manusia dan efisiensi alokatif dapat menyebabkan peningkatan produktifitas tenaga
kerja.
Tabel 2.1
Sejarah dan Pengelompokan Teori Pertumbuhan
Mazhab
Historismus
diwakili oleh
Mazhab
Klasik
diwakili oleh
Mazhab Keynesian
dan Neoklasik
diwakili oleh
Teori
Pertumbuhan
Ekonomi Baru
(Endogenous
Growth Theory)
diwakili oleh
Teori Inovasi
Schumpeter
diwakili oleh
1 2 3 4 5
Frederich List
Bruno Hildebrand
Karl Bucher, dan
Walt Whitman
Rostow
Werner Sombart
Adam Smith
David
Ricardo
Von
Neuman
Harrod – Domar
(1939&1948)
Solow – Swan
(1956)
Ramsey (1928)
Paul romer
Robert Lucas
John Joseph
Pothenkalam
Scumpeter
Teori
Ketergantungan
(dependencia
theory)
diwakili oleh
Teori
kekayaan
Kognitif
(Cognitive
Capitalisme)
diwakili oleh
Teori Pertumbuhan
Terpadu
diwakili oleh
Teori
Pertumbuhan
Transformasion
al
diwakili oleh
Teori
Pertumbuhan
Pekerjaan yang
Berguna
diwakili oleh
6 7 8 9 10
Heiner
Rindermann
& James
Thompson
Galor Oded
Teori Meta
Edward J.
Nell
Ayres – Warr
IIAS dan
ANSEAD
(Badan
energi
Internasional
Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2013
35
2.1.2 Teori Perubahan Struktural
1. Teori Pembangunan Arthur Lewis
Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, mengikuti pertumbuhan
pendapatan nasional, akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi,
dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern
yang didominasi sektor non primer, khususnya industri manufaktur
dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan
pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan
ekonomi.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang
saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintan agregat, perdagangan
luar negeri (ekspor dan impor), dan penawaran agregat (produksi dan penggunaan
factor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna
mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Chenery ( 1979). Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada
mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang
berkembang, yang semula bersifat subsisten (pertanian tradisional) dan
menitikberatkan sektor pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern
yang didominasi sektor non primer, khususnya industri dan jasa. Ada 2 teori utama
yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi yakni dari
Arthur Lewis (teori migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi struktural).
Teori Arthur Lewis dalam Kuncoro (2003) pada dasarnya membahas proses
pembangunan ekonomi yang terjadi di pedesaan dan perkotaan (urban). Dalam
36
teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya
terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian modern di perkotaan dengan industri
sebagai sektor utama. Di pedesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka
kelebihan suplai tenaga kerja dan tingkat hidup masyarakatnya berada pada kondisi
subsisten akibat perekonomian yang sifatnya juga subsisten. Over supply tenaga
kerja ini ditandai dengan nilai produk marjinalnya nol dan tingkat upah riil yang
rendah.
Di dalam kelompok negara-negara berkembang, banyak negara yang juga
mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam tiga dekade terakhir ini, walaupun
pola dan prosesnya berbeda antar negara. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antar
negara dalam sejumlah faktor-faktor internal berikut:
1) kondisi dan struktur awal dalam negeri (economic base)
2) besarnya pasar dalam negeri
3) pola distribusi pendapatan
4) karakteristik industrialisasi
5) keberadaan SDA
6) kebijakan perdagangan LN
2. Teori Pola Pembangunan Chenery
Analisis teori Pattern of Development memfokuskan terhadap perubahan
struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari
perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari
pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda utama penggerak
ekonomi. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery tentang transformasi struktur
37
produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita,
perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor
pertanian menuju ke sektor industri.
Sejalan dengan proses perubahan struktural, pada suatu tingkat tertentu
terjadi penurunan konsumsi terhadap bahan makanan, khususnya ditinjau dari
permintaan domestik. Penurunan permintaan terhadap bahan pangan ini ternyata
akan dikompensasi oleh peningkatan permintaan terhadap barang-barang non
kebutuhan pangan, peningkatan investasi, dan peningkatan anggaran belanja
pemerintah, yang mengalami peningkatan struktur GNP yang ada. Di sektor ini
perdagangan internasional terjadi juga perubahan, yaitu pengingkatan nilai ekspor
dan impor. Sepanjang perubahan structural ini berlangsung, terjadi peningkatan
pangsa ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan penurunan pangsa sektor
yang sama di sisi impor.
Dari sisi tenaga kerja akan terjadi proses seperti halnya yang dikemukakan
oleh Lewis, yaitu bahwa akan terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian
di desa menuju sektor industri di kota, meskipun pergeseran ini masih tertinggal
(lag) dibandingkan proses perubahan sturktural itu sendiri. Dengan keberadaan lag
inilah maka sektor pertanian akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan
tenaga kerja baik dari awal hingga akhir dari proses transformasi struktural tersebut.
Produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian yang rendah lambat laun akan mulai
meningkat, dan memiliki produktivitas yang sama dengan pekerja di sektor industri
pada masa transisi. Dengan demikian produktivitas tenaga kerja dalam
perekonomian secara menyeluruh akan mengalami peningkatan
38
Menurut Kuznets, perubahan struktur ekonomi atau disebut juga
transformasi struktural, didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling
berkaitan satu sama lainnya dalam komposisi dari permintaan agregat, perdagangan
luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan
faktor-faktor produksi, seperti penggunaan tenaga kerja dan modal) yang
disebabkan adanya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan (Todaro, 2004).
Hipotesis utama dari teori–teori yang dibahas sebelumnya adalah bahwa
model perubahan struktural yang terjadi pada tiap-tiap Negara sebenarnya dapat
diidentifikasi dan proses perubahan secara umum dari masing-masing Negara pada
dasarnya memiliki kesamaan pola. Meski demikian teori ini toleran terhadap variasi-
variasi kecil yang terjadi dalam proses perubahan structural yang mungkin berbeda
antarnegara. Perbedaan faktor endowment, kebijakan pemerintah, dan aksesibilitas
terhadap modal dan teknologi, merupapkan faktor penjelas penting terhadap
perbedaan variatif transformasi structural yang terjadi.
2.1.3 Pertumbuhan dan Perilaku dengan Pelaku Ekonomi
Menurut Schumpeter (1934), lebih menekankan masalah pertumbuhan
ekonomi tentang pesanan pelaku ekonomi yang memiliki jiwa “entrepreneurship“
kepemimpinan di dalam menciptakan pertumbuhan. Faktor makin tinggi tingkat
pertumbuhan dan kemajuan perekonomiannya, maka makin terbatas kemungkinan
untuk inovasi. Masalah inovasi ini ditekankan oleh Schumpeter, di mana inovasi
sendiri meliputi proses inovasi dan inovasi produk (Riley, 2006). Kreativitas inovasi
ini terutama di cetuskan oleh inovator – inovator dari pelaku bisnis, mulai dari
39
rumah tangga, pribadi, perusahaan swasta, pemerintah dan ataupun pelaku ekonomi
lainnya.
Keterlibatan publik sebagai pelaku ekonomi dengan perkembangan
pengetahuan (knowledge) sebagai komoditas merupakan jaminan mutlak dalam
sistem pertumbuhan perekonomian di mana ketergantungan pasar saja tidak
menghasilkan yang baik dan memuaskan. De long (1996). Dari bahasan banyak para
peneliti ekonomi dapat dirangkumkan bahasannya : perilaku ekonomi yang
konstruktif baik dari perorangan, rumah tangga, perusahaan swasta, pemerintah atau
pelaku ekonomi lainnya akan memberikan peran terhadap pertumbuhan ekonomi
pada hal – hal berikut:
1) peningkatan belanja modal investasi;
2) peningkatan produktivitas secara efisien dan lebih tinggi dari kedua input modal
dan pasokan tenaga kerja;
3) meningkatkan dan memperluas migrasi tenaga kerja untuk mencapai
produktivitas yang tinggi dan efisien;
4) menciptakan ekonomi inovatif ke seluruh sektor perekonomian;
5) mendukung dan berperan aktif sebagai bagian dari modal sosial budaya.
2.1.4 Sumber–sumber Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk
nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan
tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan
ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan
output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup
40
diukur dengan output riil per orang. Sementara negara-negara miskin berpenduduk
padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan
menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-
negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup
tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja
serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan
kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf
hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta
kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi
berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya
pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum
penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat
cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa
pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.
Faktor Penggerak Pertumbuhan Ekonomi
1. Sumber-sumber Alam
Elemen ini meliputi luasnya tanah, sumber mineral dan tambang, iklim, dan
lain-lain. Beberapa negara sedang berkembang sangat miskin akan sumber-
sumber alam, sedikitnya sumber-sumber alam yang dimiliki merupakan kendala
cukup serius. Dibandingkan dengan sedikitnya kuantitas serta rendahnya
persediaan kapital dan sumber tenaga manusia maka kendala sumber alam lebih
serius.
41
2. Sumber-sumber Tenaga Kerja
Masalah di bidang sumber daya manusia yang dihadapi oleh negara-negara
sedang berkambang pada umumnya adalah terlalu banyaknya jumlah penduduk,
pendayagunaannya rendah, dan kualitas sumber-sumber daya tenaga kerja
sangat rendah.
3. Kualitas Tenaga Kerja yang Rendah
Negara-negara sedang berkembang tak mampu mengadakan investasi yang
memadai untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia berupa pengeluaran
untuk memelihara kesehatan masyarakat serta untuk pendidikan dan latihan
kerja.
4. Akumulasi Kapital
Akumulasi kapital sering kali dipandang sebagai elemen terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi. Usaha-usaha untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi dilakukan dengan memusatkan pada akumulasi kapital. Hal ini karena,
pertama, hampir semua negara-negara berkembang mengalami kelangkaan
barang-barang kapital berupa mesin-mesin dan peralatan produksi, bangunan
pabrik, dll. Kedua, penambahan dan perbaikan kualitas barang-barang modal
sangat penting karena keterbatasan tersedianya tanah yang bisa ditanami.
2.1.5 Kebijakan Negara dan Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi dapat direalisasikan melalui beberapa aspek berikut:
42
1) Adanya pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya
keamanan dan ketertiban hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam
negeri;
2) Mengambil inisiatif mengadakan investasi yang diperlukan untuk
memonitori proses pertumbuhan;
3) Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah
jumlah penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang
sangat cepat. Program pemerintahlah yang mampu secara intensif
menurunkan laju pertambahan penduduk yang cepat lewat program
keluarga berencana dan melaksanakan program-program pembangunan
pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau memperlambat
arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan
mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi;
4) Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk
mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya
memerlukan pengembangan faktor penawaran saja, yang menaikkan
kapasitas produksi masyarakat.
Strategi Pertumbuhan Ekonomi
1. Industrialisasi Versus Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi padat tenaga kerja
dan secara relatif menggunakan sedikit kapital, meskipun dalam investasi pada
pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, dan pengembangan teknologinya.
Kenaikan produktivitas sektor pertanian memungkinkan perekonomian dengan
43
menggunakan tenaga kerja lebih sedikit menghasilkan kuantitas output bahan
makanan yang sama.
2. Strategi Impor Versus Promosi Ekspor
Strategi industrialisasi via substitusi impor pada dasarnya dilakukan dengan
membangun industri yang menghasilkan barang-barang yang semula diimpor.
Alternatif kebijakan lain adalah strategi industrialisasi via promosi ekspor.
Kebijakan ini menekankan pada industrialisasi pada sektor-sektor atau kegiatan
produksi dalam negeri yang mempunyai keunggulan komparatif hingga dapat
memproduksinya dengan biaya rendah dan bersaing dengan menjualnya di pasar
internasional.
3. Perlunya Disertivikasi
Usaha mengadakan disertivikasi bagi negara-negara pengekspor utama
minyak dan gas bumi merupakan upaya mempertahankan atau menstabilkan
penerimaan devisanya.
2.1.6 Pengertian Ekonomi Kelembagaan
Kelembagaan dapat didefinisikan sebagai batasan yang dibuat untuk
membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi
politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Kelembagaan sebagai aturan yang
berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat
keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidakboleh dilakukan, aturan apa yang
berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang
44
mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima
sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.
North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan
memberikan hasil yang nyata hanya dengan memperbaiki kebijakan ekonomi makro
belaka. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang
mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa
contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan
hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Bagi North institusi adalah peraturan
perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut
serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara
berulang-ulang.
Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa
kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori
ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan
keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan
kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak),
pilihan atas kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan
lain-lain. Intinya, selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang
sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini
diperlukan kelembagaan non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar
pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain
aturan main / kelembagaan (institusion) (Yustika, 2013).
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan
multidisiplinier sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti
45
aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis.
Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi
kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis
penting yaitu: partikular, subyektif dan non prediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam
masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi
sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis
partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: 1)
keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal: dan 2) penelitian kualitatif
secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2013).
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif di sini sesungguhnya bukan berarti
peneliti melakukan penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial.
Karena itu lebih mendekatkan diripada situasi dan kondisi yang ada pada sumber
data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “ orang
dalam” dalam antropologi disebut emic.
Ketiga, non prediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama
sekali tidak masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan di sini ialah
bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, symbol dan
deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses
dibalik sebuah fenomena.
46
2.1.7 Teori Pemberdayaan
2.1.7.1 Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang
memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan
Oxford English Dictionary dalam Hutomo (2000), kata empower mengandung dua
pengertian, yaitu:
1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain;
2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau
keperdayaan.
Terdapat 4 konsep pemberdayaan ekonomi menurut Sumodiningrat (1999)
dalam Hutomo (2000), secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) perekonomian rakyat adalah perekonomian yang diselenggarakan oleh
rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah
perekonomian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat
secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri;
2) pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi
yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar
yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala
struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui
perubahan struktural;
3) perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi
tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari
ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian.
47
Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: a) pengalokasian
sumber pemberdayaan sumberdaya; b) penguatan kelembagaan; c)
penguasaan teknologi; dan d) pemberdayaan sumberdaya manusia;
4) pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan
produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, dan hanya
memberikan suntikan modal sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya
kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang
masih lemah dan belum berkembang;
5) kebijakannya dalam pembedayaan ekonomi rakyat adalah: a) pemberian
peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya
modal); b) memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi
rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker; c) pelayanan
pendidikan dan kesehatan; d) penguatan industri kecil; e) mendorong
munculnya wirausaha baru; dan f) pemerataan spasial;
6) kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: a) peningkatan akses bantuan
modal usaha; b) peningkatan akses pengembangan SDM; dan c) peningkatan
akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi
masyarakat lokal.
Menurut Kartasasmita (1996), pemberdayaan ekonomi rakyat adalah “Upaya
yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi
rakyat untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat ditingkatkan
produktivitasnya”. Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka
dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan
48
pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran,
penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan
masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus
dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek
kebijakannya. Pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan
kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan
politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas:
1) power over personal choices and life chances, kekuasaan atas pilihan-pilhan
personal dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat
keputusan-keputusan mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan
dan sebagainya;
2) power over the definition of need, kekuasaan atas pendefinisian kebutuhan,
kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan;
3) power over ideas, kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan
mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan
diskusi secara bebas dan tanpa tekanan;
4) power over institutions, kekuasaan atas lembaga-lembaga, kemampuan
menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi lembaga-lembaga
masyarakat seperti; lembaga pendidikan, kesehatan, keuangan serta lembaga-
lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya;
5) power over resources, kekuasaan atas sumber daya, kemampuan
memobilisasi sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam
memenuhi kebutuhan hidup;
49
6) power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas ekonomi
kemampuan memamfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi
serta pertukaran barang dan jasa;
7) power over reproduction. Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam
kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan,
sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan kelahiran dan perawatan anak.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai tujuan,
pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang
memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada
kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya.
Menurut Suharto (2005), pemberdayaan sebagai proses memiliki lima dimensi yaitu:
1) enabling; adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu
membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang
menghambat;
2) empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap
kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian;
3) protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah
agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan,
menghindari persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya
eksploitasi kelompok kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus
diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang
50
tidak menguntungkan masyarakat kecil. Pemberdayaan harus melindungi
kelompok lemah, minoritas dan masyarakat terasing;
4) supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat
lemah agar mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya.
Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke
dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan;
5) fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan
distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan
harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan
setiap orang memperoleh kesempatan usaha.
Selanjutnya Suharto (2005), menjelaskan pemberdayaan dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan yaitu:
1) pendekatan mikro, pemberdayaan yang dilakukan terhadap individu melalui
bimbingan, konseling, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah
membimbing atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas
kesehariannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat
pada tugas (task centered approach);
2) pendetakatan mezzo, pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok
masyarakat, pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan, pelatihan, dinamika
kelompok biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap kelompok agar
memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi;
51
3) pendekatan makro, pendekatan ini sering disebut dengan strategi sistem
pasar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada
sistem lingkungan yang luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial,
kampanye, aksi sosial, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat
adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
2.1.7.2 Pemberdayaan Usaha Kecil
Upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak terlepas dari perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Terkait dengan
pemberdayaan masyarakat dalam memperluas kesempatan kerja, maka dipengaruhi
salah satunya oleh kebijakan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM). Pengembangan UMKM terutama Usaha Kecil Menengah (UKM),
memiliki potensi yang strategis dalam rangka pemberdayaan masyarakat, mengingat
pertumbuhan dan aktifnya sektor riil yang dijalankan oleh UKM mampu
memberikan nilai tambah bagi masyarakat, yaitu tersedianya lapangan kerja dan
meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok UKM dapat
menjadi penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Menurut Wayan
(2007), berkaitan dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka beberapa
kegiatan pokok yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM terhadap UKM
antara lain:
1) program pengembangan sistem pendukung usaha UKM - kegiatan pokok
yang dilaksanakan melalui program ini, yaitu: (a) sumber pembiayaan,
khususnya skim kredit investasi dan penyediaan skim pembiayaan ekspor
melalui lembaga modal ventura dan lembaga non bank lainnya, terutama
52
yang mendukung UKM; (b) Penguatan jaringan pasar domestik produk-
produk UKM melalui pengembangan lembaga pemasaran,
jaringan/kemitraan usaha, dan sistem transaksi usaha yang bersifat on-line,
terutama bagi komoditas unggulan berdaya saing tinggi; (c) Penguatan
infrastruktur pembiayaan bagi petani dan nelayan di perdesaan dan
pengembangan skim-skim pembiayaan alternatif seperti sistem bagi hasil
dana bergulir, sistem tanggung renteng atau jaminan tokoh masyarakat
setempat sebagai pengganti agunan, penyuluhan perkoperasian kepada
masyarakat luas; (d) Fasilitasi pengembangan skim penjaminan kredit
melalui kerjasama bank dan lembaga asuransi, dan fasilitasi bantuan teknis
kepada BPR dan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) untuk
meningkatkan penyaluran kredit bagi sektor pertanian; (e) Penyediaan
dukungan pengembangan usaha mikro tradisional dan pengrajin, melalui
pendekatan pembinaan sentra-sentra produksi/klaster disertai dengan
dukungan penyediaan infrastruktur perdesaan; (f) Bantuan perkuatan untuk
KSP/USP yang masih dapat melakukan kegiatan; (g) Memfasilitasi UKM
untuk dapat berdagang di pasar darurat yang disediakan Departemen
Perdagangan;
2) pemberdayaan usaha skala mikro - kegiatan pokok yang akan dilaksanakan
melalui program ini, yaitu: (a) Peningkatan kesempatan dalam berusaha
dengan penyediaan kemudahan dan pembinaan teknis manajemen dalam
memulai usaha, perlindungan usaha, tempat berusaha wirausaha baru, dan
penyediaan skim-skim pembiayaan alternatif untuk usaha; (b)
Penyelenggaraan pelatihan budaya usaha dan perkoperasian serta fasilitasi
53
pembentukan wadah koperasi di daerah kantong-kantong kemiskinan; (c)
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan LKM dan KSP di
sektor pertanian dan perdesaaan antara lain melalui pembentukan sistem
jaringan antar LKM dan antara LKM dan bank; (d) Pengembangan usaha
mikro, kecil dan menengah melalui pendekatan klaster di sektor agribisnis
dan agroindustri disertai pemberian kemudahan dalam pengelolaan usaha,
termasuk dengan cara meningkatkan kualitas koperasi sebagai wadah
organisasi untuk meningkatkan skala ekonomi usaha dan efisiensi kolektif;
(e) Memfasilitasi sarana usaha bagi usaha skala mikro, yang berlokasi di
sekitar tenda-tenda penampungan, dan pasar darurat yang pelaksanaan
dikoordinasikan oleh Departemen Perdagangan; (f) Peningkatan kredit skala
mikro dan kecil serta peningkatan kapasitas dan jangkauan pelayanan
KSP/USP; (g) Peningkatan pengetahuan dan kemampuan kewirausahaan
pengusaha mikro dan kecil.
Salah satu hal yang dapat mendukung berkembangnya suatu UKM agar
tercipta perekonomian yang kokoh adalah faktor modal. Hingga saat ini faktor
modal berupa kredit usaha masih diusahakan pemerintah dan tercantum dalam
kebijakannya. Seperti yang telah disebutkan dalam kebijakan pemerintah di atas,
pemerintah melakukan kegiatan pokok di bidang permodalan di antaranya adalah
memperluas, memperkuat, dan memfasilitasi sumber-sumber pembiayaan serta
meningkatkan kredit skala mikro dan kecil. Dengan demikian, permodalan menjadi
faktor yang penting bagi kemajuan UKM dalam rangka menguatkan ekonomi
nasional meskipun dalam kenyataannya, beberapa pelaku UKM masih mengalami
kesulitan dalam memperoleh kredit tersebut.
54
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah dalam upaya mengembangkan
UKM melalui pemberdayaan, salah satunya melalui kebijakan Pemerintah yang
dituangkan dalam UU No. 20/2008 tentang UMKM, khususnya dalam pasal 7 ayat 1
sangat jelas dinyatakatan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan
iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
meliputi aspek:
1. pendanaan; dukungan pemerintah atas UMKM lewat kebijakannya dipertegas
lagi dalam pasal 8, yakni bahwa aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk:
a) Memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan
bukan bank;
b) memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga
dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
c) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat,
murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d) membantu para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
2. Dukungan pemerintah atas UMKM dalam pasal 10, aspek informasi usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk:
a) jaringan informasi bisnis;
b) mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber
pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan
55
c) memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.
3. Kemitraan, dukungan pemerintah atas UMKM dalam pasal 11, aspek kemitraan
sebagaimana dimkasud dalam pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk:
a) mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
b) mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha
Besar;
c) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
pelaksanaan transaksi usaha antarUsaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
pelaksanaan transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan
Usaha Besar;
e) mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah;
f) mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya
persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen; dan
g) mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang
perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
Tujuan adanya pemberdayaan UMKM ini adalah:
1. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang,
dan berkeadilan;
2. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha
yang tangguh dan mandiri; dan
56
3. meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan
lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan
pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Berkaitan dengan program kemitraan, Jafar (2000) mendefinisikan
kemitraan sebagai suatu strategis bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip
saling membutuhkan dan saling membesarkan. Jika ditinjau berdasarkan perundang-
undangan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil
mendefinisikan kemitraan usaha sebagai kerja sama usaha antara usaha kecil dengan
menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan. Menurut Jafar (2000)
tujuan kemitraan usaha yaitu :
1. meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat;
2. meningkatkan perolehan nilai tambah tinggi bagi pelaku kemitraan;
3. meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil;
4. meningkatkan pertambahan ekonomi desa;
5. memperluas kesempatan kerja;
6. meningkatkan ketahanan nasional.
Sedangkan manfaat kemitraan usaha yaitu:
1. produktifitas, dengan adanya kemitraan usaha diharapkan adanya
peningkatan produktifitas dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra;
2. Efisiensi, penerapan kemitraan bagi pengusaha besar dapat menghemat
tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja
yang dimiliki oleh usaha kecil. Sebaiknya usaha kecil yang umumnya relatif
57
lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi dengan bermitra
akan menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang
dimiliki oleh perusahaan besar;
3. jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pada kegiatan kemitraan. Proses
produksi biasanya tidak dikuasai oleh satu pihak saja, maka pihak-pihak
yang terlibat perlu menerapkan suatu standar mutu yang disepakati sehingga
pada akhir produksi dapat diperoleh jaminan mutu yang berkesinambungan;
4. Resiko, setiap kegiatan bisnis/usaha selalu memiliki resiko, bahkan satu
norma yang dianut oleh dunia usaha bahwa keuntungan/kesuksesan yang
besar biasanya mengandung konsekwensi resiko yang besar pula. Dengan
kemitraan diharapkan resiko yang besar dapat ditanggung bersama. Tentunya
pihak-pihak yang bermitra akan menanggung resiko yang proposional sesuai
dengan besarnya modal dan keuntungn yang diperoleh;
5. Sosial, kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif secara
ekonomi. Di samping itu, kemitraan dapat memberikan dampak sosial yang
tinggi, dengan mengantisipasi kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak
sosial akibat ketimpangan.
Berkembangnya suatu kemitraan tidak terlepas dari adanya dukungan iklim
yang kondusif untuk berkembangnya investasi dan usaha daerah. Dukungan
fasilitas, kemudahan perizinan, perangkat kebijakan perkreditan, tingkat suku bunga,
peraturan daerah, dan iklim kondusif lainnya sangat membantu proses kemitraan.
Dalam perwujudan hal tersebut sangat diperlukan adanya koordinasi dan persamaan
persepsi antar lembaga terkait mulai dari tingkat pusat (nasional) sampai tingkat
daerah.
58
2.1.8 Pengertian Industri
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau
barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah
untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi
adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga
dalam bentuk jasa. BPS–ISIC (International Standart Industrial Classifications of
All Economic Activities) membagi pengertian industri berdasarkan:
1. Jenis/macam-macam industri berdasarkan tempat bahan baku
1) Industri ekstraktif yaitu industri yang bahan baku diambil langsung dari
alam sekitar. Contoh : pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan,
peternakan, pertambangan, dan lain lain;
2) Industri nonekstaktif, industri yang bahan baku didapat dari tempat lain
selain alam sekitar.
3) Industri fasilitatif, industri yang produk utamanya adalah berbentuk jasa
yang dijual kepada para konsumennya. Contoh : Asuransi, perbankan,
transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya.
2. Golongan / macam industri berdasarkan besar kecil modal
1) Industri padat modal, industri yang dibangun dengan modal yang jumlahnya
besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya;
2) Industri padat karya, industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar
tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya.
59
3. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya
1) Industri kimia dasar, contohnya seperti industri semen, obat-obatan, kertas,
pupuk;
2) Industri mesin dan logam dasar, misalnya seperti industri pesawat terbang,
kendaraan bermotor, tekstil, dll
3) Industri kecil, contoh seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan,
es, minyak goreng curah, dll;
4) Aneka industri, misal seperti industri pakaian, industri makanan dan
minuman, dan lain-lain.
4. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
1) Industri rumah tangga, yaitu industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja
berjumlah antara 1-4 orang.
2) Industri kecil yaitu industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah
antara 5-19 orang.
3) Industri sedang atau industri menengah yaitu industri yang jumlah karyawan
/ tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
4) Industri besar yaitu industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah
antara 100 orang atau lebih.
5. Pembagian/penggolongan industri berdasakan pemilihan lokasi
1) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada pasar (market oriented
industri) yaitu industri yang didirikan sesuai dengan lokasi potensi target
konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantong-kantong di mana
60
konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan semakin menjadi
lebih baik.
2) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada tenaga kerja/labor (man
power oriented industri) yaitu industri yang berada pada lokasi di pusat
pemukiman penduduk karena bisanya jenis industri tersebut membutuhkan
banyak pekerja / pegawai untuk lebih efektif dan efisien;
3) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada bahan baku (supply
oriented industri) yaitu jenis industri yang mendekati lokasi di mana bahan
baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi yang besar.
6. Macam-Macam/Jenis Industri Berdasarkan Produktifitas Perorangan
1) Industri primer yaitu industri yang barang-barang produksinya bukan hasil
olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu. Contohnya adalah hasil
produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya;
2) Industri sekunder yaitu industri yang bahan mentah diolah sehingga
menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali. Misalnya adalah
pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya.
3) Industri tersier yaitu industri yang produk atau barangnya berupa layanan
jasa. Contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
2.1.9 Konsep Industri Kecil
Menurut Menekop dan UKM (UU No. 9 Tahun 1995), usaha Kecil
didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau
61
rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa
untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan sebesar 1
(satu) miliar rupiah atau kurang. Sementara Usaha Menengah didefinisikan sebagai
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun
suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan
secara komersial dan mempunyai omzet penjualan lebih dari 1 (satu) miliar. Ciri-ciri
perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah:
1. manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas
antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola
dalam UKM;
2. modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal;
3. daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki
orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan;
4. ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana
prasarana yang kecil.
Secara definitif, banyak konsep mengenai industri kecil dan menengah, di
bawah ini dijelaskan beberapa definisi tersebut antara lain:
1. Batasan normatif menurut SK Menperindag No. 254 tahun 1997, industri kecil
diartikan sebagai suatu kegiatan usaha industri yang memiliki nilai investasi
sampai dengan Rp 200,- juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Menurut UU No. 5 tahun 1999, memberikan batasan pada UKM yaitu untuk
usaha kecil adalah usaha yang memiliki:
a) kekayaan bersih Rp 200,- juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;
62
b) hasil penjualan tahunan (omzet) maksimum Rp 1 miliar;
c) milik warga Indonesia;
d) berdiri sendiri atau bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan.
Dengan batasan ini, diharapkan peranan pemerintah maupun masyarakat untuk
mendorong pengembangan UKM melalui pemberdayaan usaha yang
memperhatikan aspek sosial dan budaya masyarakat.
3. Menurut Deperindag dan BPS (2002), industri kecil adalah kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang
bertujuan untuk memproduksi barang maupun jasa untuk diperniagakan secara
komersial dengan nilai kekayaan bersih maksimum Rp 200 juta dan mempunyai
nilai penjualan per tahun sebesar Rp 1 miliar atau kurang. Selanjutnya BPS
memberikan criteria yang sederhana berdasarkan jumlah tenaga kerja atau unit
usaha sebagai berikut:
a) industri rumah tangga dengan tenaga kerja 1-4 orang;
b) industri kecil dengan tenaga kerja 5-19 orang;
c) industri sedang denga tenagakerja 20-99 orang;
d) industri besar dengan tenaga kerja 100 orang lebih.
4. Dari beberapa pengertian industri kecil, ada beberapa pertimbangan yang
mendasari pentingnya industri kecil yaitu a) adanya proses desentralisasi
kegiatan ekonomi dalam menunjang tercapainya integrasi kegiatan sektor
ekonomi lain, b) potensi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, c) dalam
jangka panjang berperan sebagai basis pembangunan ekonomi yang mandiri.
63
5. Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil berdasarkan pada nilai aset yang
dimiliki oleh usaha ini. Yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang
asetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp.600 juta.
6. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mendefinisikan usaha kecil adalah usaha
yang memiliki modal kerja kurang dari Rp.600 juta untuk kelompok usaha yang
bergerak dibidang perdagangan, pertanian dan industri. Dan usaha dengan modal
kerja kurang dari Rp.250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp. 1 milyar.
7. Riyanti (2003), kriteria usaha kecil adalah berbadan hukum dengan kriteria-
kriteria:
a) dikelola sendiri oleh pemiliknya;
b) memiliki setidak-tidaknya dua atau lebih karyawan;
c) memiliki lokasi dan sarana yang bisa diamati;
d) omzet pertahun diatas Rp.10 juta dan tidak lebih dari Rp. 1 miliar.
8. Menurut Departemen Keuangan, Usaha kecil adalah usaha produksi milik
keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia yang memiliki asset
penjualan paling banyak Rp 1 Milyar/tahun.
9. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM, Usaha Kecil adalah milik Warga
Negara Indonesia baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki
kekayaan bersih wsebanyak-banyaknya Rp 200.000.000 dan mempunyai omzet
atau nilai output penjualan paling banyak Rp 1.000.000.000 dan usaha tersebut
berdiri sendiri.
10. Menurut Komite Penanggulangan Kemiskinan, usaha Kecil adalah pemilik atau
pelaku kegiatan usaha skala mikro di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di
luar tanah dan bangunan maksimal Rp 25.000.000.
64
11. Menurut Asian Development Bank (ADB), Usaha Kecil adalah usaha-usaha non
pertanian yang mempekerjakan kurang dai 10 orang termasuk pemilik usaha dan
anggota keluarga.
12. Menurut Bank Dunia (World Bank), Usaha Kecil merupakan usaha gabungan
atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 100 orang, termasuk di
dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak
sebagai pemilik. Usaha Kecil merupakan usaha untuk mempertahankan hidup
(survival activities) yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh tabungan dan
pinjaman berskala kecil.
13. Menurut ILO (International Labour Organization), Usaha Kecil adalah usaha
yang mempekerjakan maksimal 10 orang dan menggunakanteknologi sederhana,
asset minim dan kemampuan manajerial rendah serta tidak membayar pajak.
Pengertian UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dari berbagai literatur
memiliki beberapa persamaan, sehingga dari pendapat-pendapat tersebut dapat
diambil satu kesimpulan bahwa UKM adalah sebuah perusahaan baik berbadan
hukum maupun tidak, yang memiliki tenaga kerja 1-100 orang lebih, milik Warga
Negara Indonesia dengan total penjualan maksimal 1 Milyar/tahun.
2.1.10 Kriteria UKM
UKM sebagai suatu badan usaha memiliki beberapa kriteria khusus. Kriteria
UKM menurut Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1995 adalah
sebagai berikut:
a. kekayaan bersih paling banyak 200.000.000. tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha;
65
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. ;
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki
atau dikuasai perusahaan besar;
e. bentuk usaha orang perorang, badan usaha berbadan hukum/ tidak berbadan
hukum, termasuk koperasi;
f. usaha sektor industri memiliki total asset maksimal Rp 5.000.000.000;
g. untuk sektor non industri memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
600.000.000. (tidak termasuk tanah dan banguan tempat usaha) atau memiliki
hasil penjualan tahunan Rp 3.000.000.000. pada usaha yang dibiayai.
2.1.11 Karakteristik Industri Kecil
Secara umum industri kecil memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Padat karya, dengan sifatnya yang padat karya sehingga industri kecil dapat
menyerap banyak tenaga kerja, kghususnya tenaga kerja daerah, sehingga dapat
mengurangi tingkat pengangguran dalam kondisi pertambahan penduduk yang
cukup tinggi sedangkan lapangan kerja terbatas sekali, maka kegiatankegiatan
yang mampu menyerap tenaga kerja mempunyai peran penting;
2. Modal kecil. mayoritas usaha kecil memiliki modal yang relatif kecil. Faktor
yang menyebabkan kecilnya modal yang dimiliki oleh sektor usaha kecil adalah
karena modalnya bersumber dari keuangan pribadi. Faktor yang kedua adalah
banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi apabila mengajukan permohonan
kepada pihak Bank;
66
3. Teknologi sederhana, teknologi yang digunakan dalam usaha kecil biasanya
bersifat konvensional. Penggunaan teknologi konvensional ini selain
disebabkan oleh minimnya dana, tapi juga karena proses produksinya tidak
membutuhkan teknologi tinggi;
4. Pemerataan, sifatnya sesuai dengan kondisi daerah maka Industri Kecil dapat
dikembangkan di daerah.
2.1.12 Beberapa Permasalahan dalam Pemberdayaan Industri Kecil
Pemberdayaan industri kecil dan menengah pada umumnya masih kurang
menyelesaikan permasalahan yang paling krusial. Penyelesaian terhadap segala
permasalahan dalam industri kecil hanya bersifat parsial dan sementara. Menurut
Hafsah (2004), pada umumnya permasalahan yang dihadapi industri kecil dan
menengah antara lain adalah:
1. Faktor internal
Faktor-faktor dari dalam yang berpengaruh terhadap industri kecil dan
menengah antara lain:
1) Kurangnya permodalan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan
suatu unit usaha. Permasalahan permodalan yang dihadapi UKM pada umumnya
adalah usaha perorangan atau perusahaan yang mengandalkan pada modal
pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman yang
berasal dari bank atau lembaga keuangan lain sulit diperoleh karena persyaratan
atau prosedur teknis tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha.
67
2) Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Sebagian besar usaha kecil merupakan usaha tradisional dan turun temurun.
Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun
pengetahuan dan ketrampilan sangat berpengaruh terhadap manajemen
pengelolaan usaha sehingga menyebabkan usaha sulit untuk berkembang secara
optimal. Dengan keterbatasan SDM, unit usaha tersebut sulit untuk mengadopsi
perkembangan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk.
3) Jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar masih lemah
Usaha kecil yang umumnya merupakan unit usaha keluarga memiliki jaringan
usaha yang masih terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang masih rendah
sehingga produk yang dihasilkan relatif terbatas dan mempunyai kualitas yang
kurang kompetitif.
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap industri kecil dan
menengah antara lain:
1) Iklim usaha belum sepenuhnya kondusif
Masih terlihat terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-
pengusaha kecil dan pengusaha besar.
2) Terbatasnya sarana prasarana
Kurangnya informasi yang terkait dengan kemajuan IPTEK ( Ilmu Pengetahuan
Dan Teknologi ) menyebabkan sarana prasarana yang dimiliki tidak cepat
berkembang dan kurang mendukung kemajuan usaha.
3) Implikasi Otonomi Daerah
68
Adanya otonomi daerah memiliki implikasi pada munculnya pungutan-pungutan
baru yang dikenakan pada UKM. Bila kondisi ini tidak segera dibenahi akan
menurunkan daya saing UKM.
4) Implikasi perdagangan bebas
Adanya AFTA dan APEC berimplikasi luas terhadap UKM untuk bersaing
dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini UKM dituntut untuk melakukan proses
produksi secara produktif dan efisien serta menghasilkan produk sesuai standard
kualitas. Usaha kecil diharapkan mampu bersaing secara keunggulan komparatif
dan kompetitif berkelanjutan.
5) Sifat produk dengan lifetime pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai
produk fashion dan kerajinan dengan lifetime pendek.
6) Terbatasnya akses pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk tidak kompetitif baik di
pasar nasional dan internasional.
2.1.13 Strategi Pemberdayaan Industri Kecil
Strategi pengembangan industri kecil adalah pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam pengembangan industri kecil (Deperindag, 2002).
1. Pendekatan Pembangunan
Dalam menyelesaikan obyek pengembangan industri baik yang bersifat
pemecahan masalah (problem solving) maupun bersifat pengembangan ke depan
(development oriented), strategi pemberdayaan yang ditempuh didasarkan pada pola
69
pendekatan logis dan kontemporer melalui dua langkah simultan yang bersinergi
yaitu:
1) memperkuat daya tarik faktor-faktor pada sisi permintaan pada produk-
produk industri (demand pull industri) melalui berbagai upaya yang
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan;
2) memperkuat daya dukung faktor-faktor pendorong pada sisi kemampuan
daya pasok (supply push strategy) untuk memperlancar kegiatan produksi
secara berdaya saing sesuai kondisi dan kebutuhan.
Sumber : Departemen Perdagangan dan Perindustrian, 2002
Gambar 2.1 : Strategi Pemberdayaan Industri Kecil
2. Penerapan Strategi Pemberdayaan
Meskipun pendekatan pembangunan dapat diterapkan pada semua skala
pembinaan dari level sektor maupun kelompok industri di tingkat nasional/daerah
secara makro sampai tingkat sentra industri dan unit usaha secara mikro, namun
Instansi terkait :
- Meneg Kimpraswil
- Dep. Perindag - Dep. Keuangan
- Dep. Pertanian
- Dep. Perhubungan
- Menekop & UKM
- Iklim Usaha
- Penerapan HaKi
- Peningkatan Kemitraan
PROGRAM :
Industri Kecil Penggerak Perekonomian
- Industri kecil - Industri Kecil berorientasi ekspor
- Industri Kecil Inisiatif Baru
- Ketersediaan bahan baku
- Dukungan Permodalan
- Bantuan teknologi
- Peningkatan Kemampuan SDM
Tujuan :
- Pasar
- BUMN/usaha
besar
Supply Push Strategy
70
pertimbangan efisiensi karena keterbatasan sumber daya maka dilakukan penetapan
prioritas pembinaan atau pengembangan industri kecil disajikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2
Pemberdayaan Industri Kecil
Sumber: Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2002
Pendekatan sentra industri kecil menengah ditempuh dengan kecenderungan pada
persaingan yang menuntut bergesernya pola persaingan individu ke arah pola
persaingan secara kolektif menuju daya saing global:
1. pemilihan proyek. Sebelum suatu obyek (sentra industri kecil menengah)
ditetapkan untuk dikembangkan maka terlebih dahulu dinilai bahwa obyek
tersebut layak dikembangkan atau dijadikan sasaran kegiatan;
2. kegiatan produksi berakar dari ketersediaan sumber daya dan kemampuan
masyarakat seperti ketrampilan pembuatan makanan khas tradisional;
3. melibatkan tenaga kerja yang banyak khususnya dari penduduk setempat;
4. menghasilkan nilai tambah agregat yang besar;
1. Inspirasi
2. Survival
3. Pengembangan
4. Inovasi
1. Pendirian
2. Pertumbuhan
3. Pengembangan
4. Kematangan
Konvensasi
kelemahan dari
pengalaman dengan
dukungan,
inovasi, motifasi
Mengatasi krisis
dan tantangan
Peningkatan manajemen
dan pemasaran,
produktivitas, adapbilitas
Inovasi baru,
peningkatan lanjut
Tinggi
Daya Saing Global
Tingkat
Penguasaan
Teknologi
Rendah
Kebutuhan Dasar Waktu
71
5. mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor terkait khususnya daerah
setempat;
6. prospek pasar yang potensial dan berkelanjutan;
7. komponen-komponen kegiatan yang diterapkan pada obyek pengembangan
selalu spesifik disesuaikan dengan kondisi, tingkat perkembangan dan masalah
yang dihadapi industri kecil bersangkutan.
Tabel 2.2
Fase Kebutuhan Dasar Industri
Fase Pendirian Fase Pertumbuhan Fase Pengembangan Fase Kematangan
1. Ketersediaan
infrastruktur untuk
memulai usaha
seperti studi
kelayakan,
pelatihan
perijinan, dan
aspek legal lain
2. Ketersediaan
tenaga kerja
3. Ketersediaan pasar
dan informasi
4. Permodalan
5. Ketersediaan
bahan
baku/penolong
sesuai produk
yang dihasilkan
6. Ketersediaan
infrastruktur fisik
1. Sertifikasi
standar
2. Pengembangan
teknologi
3. Teknologi tepat
guna
4. Perpajakan
5. Promosi
1. Peningkatan
kemampuan
teknologi
A. Peningkatan
kemampuan
manajemen
B. Peningkatan
penerapan ICT
C. Bantuan
kepemilikan
merek tersendiri
5. Peningkatan akses
kelembagaan
6. Pengembangan
saluran distribusi
1. Pengembangan
desain
2. Promosi merk
3. Peningkatan
kemampuan
lanjut usaha
4. Penjajakan
investasi baru
Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2002
2.1.14 Analisis Industri
Suatu industri didefinisikan sebagai suatu perusahaan yang menawarkan
produk atau jasa yang saling mengganti satu sama lain dan memberikan kepuasan
yang sama bagi konsumen. Menurut Hill & Jones (1998) tugas yang dihadapi oleh
seorang manajer adalah menganalisis kekuatan pesaing dalam lingkungan industri
72
yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Untuk keperluan itu,
maka kerangka kerja yang dikembangkan oleh Michael E. Porter dapat membantu
manajer dalam membuat analisis yang disebut dengan Model Lima Kekuatan (The
Five Forces Model) sebagaimana disajikan pada Gambar 2.3 yang meliputi:
1) persaingan antar unit-unit di dalam industri (Rivalry Among Existing Firms)
Persaingan di kalangan pesaing yang ada berbentuk perlombaan
untuk mendapatkan posisi dengan menggunakan taktik-taktik seperti persaingan
harga, perang iklan, introduksi produk dan meningkatkan pelayanan
atau jaminan kepada pelanggan. Persaingan terjadi karena satu atau lebih
pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki
posisi;
2) resiko masuknya pesaing baru (Threat of New Entrants)
Pesaing baru memiliki hambatan-hambatan dalam memasuki pasar karena dalam
memasuki pasar, suatu produk memerlukan diferensiasi dari produk pesaing,
juga dibutuhkan modal yang besar, biaya untuk berpindah supllier,
pendistribusian yang tepat dan memperhatikan aspek kebijakan pemerintah.
Dalam industri hambatan pendatang baru untuk memasuki pasar adalah pesaing
lama yang telah menjadi market leader. Pesaing lama selalu memonitor pesaing
baru dengan memanfaatkan kelemahan dari produk pesaing, sehingga pendatang
baru tidak dapat berkembang dan merebut pasar;
3) kemampuan tawar menawar dari pembeli (Bargaining Power of Buyers)
Pembeli akan selalu berusaha untuk mencari produk yang memiliki harga lebih
murah namun tetap memiliki kualitas produk dan pelayanan yang tinggi. Hal ini
73
membuat para pesaing saling beradu untuk memenuhi keinginan konsumen
tersebut;
4) kemampuan tawar menawar dari supplier (Bargaining Power of Suppliers)
Kekuatan pemasok akan sangat berpengaruh terhadap proses produksi sebuah
industri, terlebih jika jumlah pemasok bahan baku tidak banyak maka pemasok
dapat menetapkan harga yang tidak rendah selain itu lokasi pemasok yang jauh
akan menambah besar biaya untuk pengadaan bahan baku. Selain itu bahan baku
atau produk substitusi sangat sedikit serta meiliki biaya berpindah pemasok yang
tinggi, dan penawaran yang terbatas. Oleh karena itu untuk menghindari
tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pembelian dan keterbatasan bahan baku
dari pemasok, produsen sebaiknya memiliki industri yang memproduksi bahan
baku (industri hulu) untuk proses produksi;
5) ancaman jasa pengganti (Threat of Subtitute Services)
Produk substitusi merupakan ancaman yang besar bagi produk lain karena selain
mampu menjadi produk alternatif dari sebuah produk yang ada, dapat juga
merebut pasar dari sebuah produk yang disubstitusikan. Biasanya produk
substitusi memiliki harga yang murah dan menggunakan teknologi yang baru,
sehingga perusahaan harus cermat mengamati perubahan harga produk substitusi
yang menjadi ancaman bagi produk perusahaan tersebut, jika kemajuan
teknologo atau persaingan meningkat di industri substitusi, maka harga dan laba
dalam segmen akan menurun.
74
Gambar 2.3
The Five Forces Model
Sumber : Hill & Jones, 1998
2.1.15 Daya Saing
Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih
baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara.
Daya saing menurut Michael Porter (Hill & Jones, 1998) adalah produktivitas yang
didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World
Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia
(2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:
1) daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau
efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih
mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada
“kemampuan sektor swasta atau perusahaan”;
Risk of Entry
By Potential Competitors
Rivalry Among
Established
Firm
Bargaining
Power of
Buyers
Bargaining
Power of
Supplier
Threat of
Substitute
Product
75
2) pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga
rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem
ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta
perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya
terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya
saing;
3) tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak
lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam
perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang
maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel
seperti pertumbuhan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari
pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan
masyarakat.
4) kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran
keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata
daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang
tertutup.
Menurut Michael Porter (Dalam Hill & Jones, 1998), pada dasarnya ada 4 (empat)
faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1) strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-
unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta
bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya;
2) sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di
suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal,
76
dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan
industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor
tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal;
3) permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap
produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri,
terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah
pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi
dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan
konsumen;
4) keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok
atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini
menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu
perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri
pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Porter mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia
tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil
mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit sepatu
untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit. Kekuatan
daya saing Negara tersebut disajikan dalam Gambar 2.4
77
Gambar 2.4
The Determinants of National Competitive Advantage
Sumber : Hill & Jones, 1998
Keempat komponen yang disebut sebagai model Porter‟s Diamond tersebut
mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan
mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan
bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk
ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri
suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang
mempengaruhi daya saing, yaitu:
1) kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan-
perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti
misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik
eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing;
2) pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat
meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah
Strategy,
Structure
and Rivalry
National
Competitive
Advantage
Demand
Condition
Factor
Endowment
Related and
supporting
industries
78
terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-
komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust
mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor
permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah
yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja
pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.
Porter menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber
daya manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh
perbedaan karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam
menyediakan faktor-faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari
pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang peran penting dalam
peningkatan daya saing nasional.
Daya saing sebuah negara tergantung pada kapasitas industrinya untuk
berinovasi dan melakukan pembaharuan. Perusahaan memperoleh keunggulan
terhadap para pesaing dunia yang terbaik, karena tekanan dan tantangan. Mereka
mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestic yang kuat, pemasok berbasis
daerah asal yang agresif, dan para pelanggan local demanding. Sekali sebuah
perusahaan mencapai keunggulan kompetitif melalui suatu inovasi, perusahaan
tersebut dapat bertahan hanya melalui perbaikan yang tanpa lelah. Hampir setiap
keunggulan dapat ditiru, satu-satunya cara untuk mempertahankan keunggulan
kompetitif adalah denga memperbaharuinya – untuk bergerak beralih ke tipe-tipe
yang lebih canggih. Cho dan Moon, (2003) menyatakan: Mengapa perusahaan
tertentu mampu melakukan inovasi yang konsisten ? Mengapa perusahaan tanpa
mengejar perbaikan, mencari suatu sumber keunggulan kompetitif yang jauh lebih
79
canggih ? Mengapa perusahaan mampu mengatasi hambatan substansial terhadap
perubahan dan inovasi yang sedemikian sering menyertai keberhasilan ? Jawaban
terhadap pertanyaan tersebut adalah bersandar pada empat atribut luas dari sebuah
negara, atribut yang secara individual dan sebagai suatu system menyatakan
diamond dari keunggulan nasional, dibentuk dan dioperasikan oleh setiap negara
untuk industri-industrinya. Atribut ini adalah:
1) Kondisi Faktor, posisi negara dalam factor produksi, seperti tenaga kerja
terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri
tertentu.
2) Kondisi Permintaan, sifat dari permintaan pasar asal untuk barang atau jasa
industri.
3) Industri Terkait dan Industri Pendukung, keberadaan atau tidak adanya
industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara
internasional bersifat kompetitif.
4) Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan, kondisi dalam negara yang
mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, distur, dan dikelola,
sebagaimana juga sifat dari persaingan domentik.
Moon dan Cho (2003) menyatakan bahwa suatu kesalahan konsep dari daya
saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional
tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumber daya alam yang banyak
dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan
daya saing internasional sebuah Negara dengan panganugerahan faktornya. Sumber
daya yang dianugerahkan hanyalah bagian dari banyak factor penentu. Terdapat
Negara-negara yang memiliki banyak sumber daya tetapi memiliki suatu
80
perekonomian yang lemah. Suatu kesalahan konsep yang lain adalah mengukur daya
saing internasional sebuah Negara dengan pangsa pasar dunianya. Suatu negara
mungkin dengan mudah meningkatkan pangsa pasarnya dengan menurunkan harga
ekspor di bawah biaya produksi, kadang-kadang melalui subsidi pemerintah, tetapi
daya saing internasionalnya tidak selalu menguat. Rekening perdagangan adalah
indicator yang tidak tepat untuk kekuatan industri, paling tidak dalam jangka
pendek.
Suatu kesalahan konsep yang tersebar luas adalah membagi daya saing
internasional menjadi dua golongan: (1) daya saing harga, seperti upah nominal,
tingkat kurs dan produktivitas tenaga kerja; dan (2) daya saing bukan harga, seperti
kualitas, pemasaran, jasa dan diferensiasi pasar. Strategi bersaing diukur dengan 3
indikator yaitu: (1) Kinerja Pemasaran, (2) Kemampuan berpartner bisnis Global
dan (3) Kemampuan memuaskan konsumen.
2.1.16 Pengertian Rantai Nilai
Pengertian rantai nilai (Value Chain) Womack, Jones et.al, 1990
mendefinisikan Value Chain Analysis (VCA) sebagai berikut:
“ …..is a technique widely applied in the fields of operations management,
process engineering and supply chain management, for the analysis and
subsequent improvement of resource utilization and product flow within
manufacturing processes.”
Sedang Shank dan Govindarajan (1992) dan Porter (2001), mendefinisikan
Value Chain Analysis, merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang
membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktivitas-aktivitas yang
dilakukan, mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga
pelayanan purna jual. Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan bahwa Analisis value-
81
chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara
lebih baik terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value
pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara
lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan
perusahaan lain dalam industri. Value Chain mengidentifikasikan dan
menghubungkan berbagai aktivitas stratejik di perusahaan (Hansen, Mowen, 2000).
Sifat Value Chain tergantung pada sifat industri dan berbeda-beda untuk perusahaan
manufaktur, perusahaan jasa dan organisasi yang tidak berorientasi pada laba.
Tujuan dari analisis value-chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap
value chain di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau
untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (Value
added) dapat membuat perusahaan lebih kompetitif.
Strategi Low Cost menekankan pada harga jual yang lebih rendah
dibandingkan kompetitor untuk menarik konsumen. Konsekuensinya perusahaan
harus melakukan kontrol Cost yang ketat. Cost ditekan serendah mungkin sehingga
produk dapat dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan pesaing. Hal ini
akan menjadi insentif bagi konsumen untuk membeli produk tersebut. Cost yang
rendah merupakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Strategi ini banyak
dilakukan dengan baik, antara lain oleh Ramayana di Indonesia yang bergerak di
bidang retail, Air Asia dari Malaysia yang bergerak dalam bidang penerbangan,
Easy Jet yang bergerak di bidang penerbangan di Eropa.
Strategi kompetitif diferensiasi menekankan pada keunikan produk. Produk
tersebut berbeda dibandingkan dengan produk pesaing, sehingga konsumen mau
berpaling kepada produk perusahaan. Produk yang dihasilkan mempunyai nilai yang
82
lebih di mata konsumen. Perusahaan dapat mengenakan harga jual yang lebih tinggi,
karena konsumen mau membayar lebih untuk hal yang unik tersebut.
Strategi diferensiasi biasanya menekankan pada kualitas yang unggul.
Beberapa perusahaan yang sukses melakukan hal ini antara lain: Aepico dari
Thailand yang bergerak di bidang otomotif berhasil menempatkan produknya
mempunyai nilai unggul, dalam hal kualitas dan presisi mesin yang sangat baik,
sehingga seperti: Mercy dan BMW mau menggunakan jasanya dibandingkan
pesaing yang menawarkan harga murah. Harley Davidson yang berhasil
menanamkan image-nya, sehingga mempunyai pelanggan yang fanatik, begitu juga
dengan BMW.
2.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Intan (2003) yang berjudul “Strategi Pengembangan Industri Pengolahan
Sabut Kelapa Nasional” bertujuan untuk: 1) mengkaji potensi pengembangan
industri sabut kelapa nasional dengan memetakan daerah-daerah sumber bahan baku
yang potensial; 2) mengkaji skala ekonomis; 3) menganalisa kelayakan finansial dan
ekonomi; 4) menghitung dan menganalisa biaya sumberdaya domestik dan tingkat
proteksi efektif industri; 5) mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pengembangan industri sabut kelapa serta implikasinya terhadap
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya; dan 6) merumuskan strategi
pengembangan industri pengolahan sabut kelapa, serta pola pengembangan yang
tepat dalam upaya membangun industri pengolahan sabut kelapa yang tangguh,
berbasis pada industri kecil dan berorientasi ekspor. Berdasarkan hasil perhitungan
skala ekonomis menunjukkan bahwa skala usaha yang paling optimal ditingkat
83
usaha pengolahan sabut kelapa (UPSK) adalah kapasitas olah bahan baku 4000 butir
perhari. Berdasarkan hasil analisis nilai tambah menunjukkan bahwa setiap butir
sabut kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135,65
dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75,35 persen, bagian
tenaga kerja mencapai 17,70 persen dan bagian manajemen mencapai 62,01 persen.
Berdasarkan hasil analisis sumber bahan baku melalui pendekatan satuan wilayah
produksi (SWP) dimana didirikan unit usaha finishing yang mampu menyerap 20
UPSK, terdapat 11 Dati II di Indonesia yang mampu secara mandiri mendukung satu
SWP. Berdasarkan hasil analisis finansial pada tingkat UPSK pada delapan skala
usaha, menunjukkan bahwa kapasitas olah bahan baku 4000 butir per hari yang
paling layak diusahakan dengan nilai NPV, IRR, B/C dan MPI terbaik. Berdasarkan
hasil analisis financial dan ekonomi pada tingkat industri menunjukkan bahwa
industri pengolahan sabut kelapa nasional layak untuk dikembangkan. Sedangkan
hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa posisi industri berada pada kuadran kedua
dengan strategi pertumbuhan cepat atau skenario optimis.
Ningtias (2005) dengan judul “Strategi Pengembangan Usaha Kecil Waroeng
Cokelat (Kasus Usaha Kecil dan Menengah di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor,
Jawa Barat)” bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dari
usaha Waroeng Cokelat. Dengan menggunakan alat analisis SWOT dan QSPM,
maka diperoleh kesimpulan bahwa: faktor strategis eksternal peluang diperoleh dari
dukungan Disperindagkop dalam hal pelatihan dan pengembangan UKM di Kota
Bogor. Faktor ancaman terbesar adalah hambatan masuk dalam usaha makanan.
Faktor internal kekuatan adalah keuletan pemilik usaha dan kelemahan terbesar
adalah belum optimalnya promosi. Strategi yang digunakan adalah penetrasi pasar
84
dan pengembangan produk. Alternatif pengembangan adalah perluasan pasar,
pengembangan produk, promosi, modal usaha, lokasi usaha strategis, produksi
secara kontinyu, kualitas produk dan menambah tenaga kerja.
Soebagiyo (2008) yang berjudul “Analisis Kompetensi Produk Unggulan
Daerah pada Batik Tulis dan Cap Solo di Dati II Kota Surakarta‟ bertujuan untuk
menganalisis kompetensi batik tulis dan batik cap di Surakarta yang dihasilkan
industri skala kecil dan menengah. Penelitian ini metode: 1) metode pendekatan
Bayes untuk mendapatkan peringkat produk unggulan prioritas; 2) Analytical
Hierarcy Process (AHP) dengan mengaplikasikan software Expert Choice yang
bertuan untuk mengetahui kompetensi unggulan IKM daerah Surakarta; 3) analisis
Ekonomi Rantai Nilai, untuk menggambarkan secara garis besar tahapan mulai dari
input hingga ke tangan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
kompetensi dalam pengembangan industri lokal cukup relevan dalam meningkatkan
kompetitif lokal yang apada akhirnya dapat meningkatkan kompetitif nasional
dengan mengeksploitasi keunikan dan kelebihan yang dimiliki daerah.
Widiyanto (2010) yang berjudul “Strategi Pengembangan UMKM di Jawa
Tengah” bertujuan untuk mengkaji mengenai adaptasi teknologi, modal kerja,
pemasaran, inovasi, wirausaha, dan akses modal kerja dalam rangka membangun
strategi pengembangan UMKM di Jawa Tengah. Dari hasil penelitian dengan
menggunakan alat analisis deskriptif kuantitatif, maka diperoleh hasil sebagai
berikut: Potensi UMKM di Provinsi Jawa Tengah terletak pada sektor industri
pengolahan, pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan. Keterbatasan inovasi
dan tingkat adaptasi cukup tinggi. Sektor unggulan adalah industri pengolahan
kreatif karena tingkat replikasi pesaing sangat rendah dan mampu menjadi icon
85
product atau branding. Keterbatasan UMKM dalam menghadapi keunggulan
kompetitif adalah ekspansi pasar, aksesibilitas keuangan ke perbankan, kemampuan
SDM rendah.
Sriyana (2010) dengan judul “Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM): Studi Kasus di Kabupaten Bantul” bertujuan mengkaji tentang
bagaimana variabel pemasaran, permodalan, inovasi dan pemanfaatan teknologi
informasi, pemakaian bahan baku, alat produksi, penyerapan tenaga kerja, serta
rencana pengembangan usaha dalam menunjang strategi pengembangan Usaha Kecil
dan Menengah. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan alat analisis
statistic deskriptif maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: masalah yang
dihadapi UKM adalah pemasaran, permodalan, inovasi dan pemanfaatan teknologi
informasi, pemakaian bahan baku, alat produksi, penyerapan tenaga kerja, rencana
pengembangan usaha. Strategi pengembangan diperlukan dukungan dari asosiasi
pengusaha, perguruan tinggi, dinas terkait. Diperlukan adanya percepatan
transformasi UKM dari fase formasi menuju fase stabilisasi.
Munizu (2010) yang berjudul “Pengaruh Faktor-faktor Eksternal dan Internal
terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan” bertujuan
untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal serta pengaruhnya terhadap
kinerja UMK. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan Structural Equation
Model (SEM) memberikan hasil sebagai berikut: bahwa faktor eksternal adalah
kebijakan pemerintah, sosial ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh positif 98%,
sedangkan faktor internal adalah SDM, permodalan, teknik produksi, pemasaran
memiliki pengaruh positif 79,2%.
86
Heather Banham (2010) dalam External Environtmental Analiysis For Small
and Medium Enterprises. Dengan menggunakan metode derajat turbelensi
digunakan untuk membantu Usaha Kecil Menegah (UKM) dalam penilaian
lingkungan mereka. Hasil penelitian : UKM banyak menghadapi tantagan dalam
lingkungan bisnis. UKM perlu mensiasati perubahan jika ingin bertahan hidup dan
tumbuh serta menciptakan peluang investasi dan lapangan kerja UKM berhasil
beradaptasi dengan perubahan kemajuan teknologi, harapan pelanggan, persyaratan
pemasok,lingkungan dan meningkatnya persaingan membutuhkan perubahan
organisasi.
Fera, Macchiaroli (2010) dalam Appraisal of a New Risk Assessment Model
For Small and Medium Sized Enterprises. Penelitian ini tentang efektifitas metode
penilaian resiko baru dari UKM, metode analisi menggunakan Analytical Hierarcy
Process (AHP). Hasil penelitian metode penilaian resiko yang diterapkan di UKM
dengan menerapkan metode kuantitatif dan kualitatif kurang efektif. Jadi, upayanya
adalah mengembangkan model baru untuk mengurangi ketidakpastian dalam model
lama. Model yang diusulkan adalah AHP model. Melalui AHP memungkinkan
untuk menilai resiko terkait. Penerapan AHP dapat menunjukkan kinerja yang baik
dalam hal resiko keandalan penilaian. Penilaian resiko dengan model ini lebih baik
dibanding menggunakan metode tradisional.
Sedangkan Houben Lenie dan K.Vanhoof A. ( 2009 ) dalam A Knowledge
Based SWOT Analisis System as an Instrument for Strategik Planning in Small and
Medium Size Enterprises, menggunakan analisa deskriptif, mengemukakan bahwa
Kinerja yang baik dari sebuah organisasi merupakan hasil interaksi antara fihak
manajemen dengan lingkungan internal dan eksternal. Dengan mengkombinasikan
87
faktor kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman dalam analisis SWOT
serta dapat membantu perusahaan dalam membuat perencanaan strategi dan
perusahaan lebih fleksibel dalam menjalankan operasional organisasi yang kompleks
dalam lingkungan dimana perusahaan beroperasi.
Berdasarkan beberapa hasil studi sebelumnya, dapat dijelaskan perbedaan
studi ini dengan studi-studi sebelumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1, yang
secara jelas menunjukkan originalitas studi. Adapun originalitas studi ini adalah
sebagai berikut:
1) Studi ini dikembangkan berdasarkan pendekatan beberapa alat analisis
secara komprehensif (analisis rantai nilai, analisis SWOT dan AHP) dalam
menyusun kebijakan dalam pegembangan industri kecil yang berdaya saing
tinggi. Kajian secara komprehensif ini belum pernah dilakukan oleh peneliti
terdahulu.
2) Studi yang berhubungan dengan penyusunan kebijakan terkait dengan
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar Provinsi
Bali berdasarkan analisis ranta nilai, SWOT, AHP belum pernah dilakukan,
sehingga dapat dikatakan bahwa studi ini belum pernah dilakukan untuk
Disertasi.
88
BAB III
KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasar uraian dalam latar belakang, rumusan masalah serta tujuan
penelitian dapat disimpulkan bahwa studi ini dilakukan untuk mengkaji dan
menganalisis keberadaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
ditinjau dari keterkaitan dari hulu dan hilir; mengkaji faktor-faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi perkembangan industri kerajinan ukiran kayu serta
implikasi terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman; dan merumuskan
strategi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu yang tepat dalam membangun
UMKM berorientasi ekspor.
Sebelum menyusun kerangka konseptual, studi ini di mulai dari kajian teori
yang di mulai dari teori pembangunan ekonomi yang mengulas proses transisi multi
dimensi yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan dalam suatu
wilayah, yang dilanjutkan dengan pengkajian teori perubahan struktural yang
meninjau tentang perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Perubahan struktur
ekonomi membawa dampak terhadap perubahan-perubahan kontribusi dominan
setiap sektor dalam perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya teori pemberdayaan
memiliki peran yang penting dalam meningkatkan peran masyarakat baik sebagai
individu maupun sebagai pelaku usaha dalam kehidupannya dalam rangka
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan sebagai masyarakat yang mandiri
dan bermartabat.
Studi ini, dimulai dengan fenomena keberadaan industri kecil yang memiliki
peran besar dalam menopang perekonomian Negara terutama saat terjadi krisis,
89
namun ironisnya industri kecil dalam mempertahankan eksistensinya di tengah
persaingan yang semakin ketat sering mengalami kendala baik karena faktor-faktor
yang berasal dari dalam industry itu sendiri maupun faktor yang berasal dari luar
industri. Sehingga penting sekali untuk melakukan kajian dan analisis mendalam
terhadap industri kecil agar mampu menjadi industri yang berdaya saing tinggi di
kancah persaingan dunia. Selanjutnya dari fenomena tersebut perlu dilakukan kajian
teori yang dapat menuntun untuk berpikir secara deduktif karena teori bersifat
universal artinya berlaku umum dan di mana saja, tetapi dapat diterapkan untuk
kasus-kasus spesifik. Selanjutnya studi empirik yang dikaji di dalam studi ini
dimaksudkan untuk melengkapi wawasan dalam menyusun disertasi ini. Studi
empirik merupakan suatu proses generalisasi dari hal-hal yang sifatnya
khusus/spesifik menjadi kesimpulan- kesimpulan yang bersifat umum. Ini berarti
kajian atau studi empirik memberi inspirasi untuk berpikir induktif.
Bahwa proses berpikir tidak bisa deduktif saja atau induktif saja. Proses
berpikir merupakan interaksi antara proses berpikir deduktif dan induktif. Dari
proses interaksi tersebut dapat diketahui akar masalah yang selanjutnya dapat di
tentukan solusi terbaik atas permasalahan tersebut sehingga dapat dihasilkan konsep
disertasi. Konsep disertasi di dalamnya akan menghasilkan temuan-temuan baru.
Temuan-temuan baru yang akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan
ilmu atau teori, sedangkan temuan-temuan pada empirik akan memberikan
kontribusi pada kebijakan-kebijakan. Secara singkat uraian tersebut dijelaskan pada
Gambar 3.1.
90
Gambar 3.1
Kerangka Proses Berpikir
Sumber: Olahan Peneliti, 2012
3.2 Kerangka Konseptual Penelitian
Setelah menyusun kerangka proses berpikir, maka perlu disusun kerangka
konseptual yang memiliki ruang lingkup terkait dengan strategi pemberdayaan
industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar mencakup beberapa hal yaitu
(1) mendeskripsikan gambaran umum industri ukiran kayu di Kabupaten Gianyar,
(2) mengidentifikasi posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu, (3)
mengidentifikasi peta rantai nilai industri kerajinan ukiran kayu, (4) merumuskan
strategi pengembangan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
Kajian Teori
1. Teori Pembangunan ( Todaro 2006,
Arsyad 2010 )
2. Teori Pertumbuhan (Riley,2006)
3. Teori Pemberdayaan (Kartasasmita,
1996)
4. Teori Rantai Nilai (Michael E.Porter)
5. Teori Strategi Pemberdayaan melalui
analisis SWOT (Michael E.Porter)
6. Analisis AHP (Saaty, 2006)
Kajian Empiris
1. Strategi Pemberdayaan UMKM
(Widianto, 2010; Sriyana, 2010;
Niode, 2008; Ida Bagus, 2003)
2. Analisis SWOT (Munizu, 2010;
Heather C., 2010; Dickson et
al.,2010; Houben et al.)
3. Analisis Rantai Nilai (Pratyush et
al.,, 2012: Chang et al., 2002
4. Analisis AHP (A. Fera, 2010
Solusi
Disertasi
Akar Masalah pada
Industri Kecil
91
Gambar 3.2
Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Kerangka Proses Berpikir, 2012
Keberhasilan pemberdayaan UMKM dipengaruhi oleh potensi sumberdaya
yang dimiliki dan didukung dengan rencana strategis pengembangan yang tepat.
Kerangka konseptual penelitian berangkat dari deskripsi umum industri kerajinan
ukir kayu di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Deskripsi industri kerajinan ukiran
kayu mencakup beberapa aspek antara lain mulai dari penyebaran usaha, jumlah unit
usaha, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi, produksi hingga pemasaran.
Deskripsi umum industri kerajinan ukiran kayu memberikan gambaran mengenai
peluang atau potensi industri kerajinan ukir kayu baik secara domestik maupun
internasional serta kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Pemetaan Industri Kerajinan Ukir Kayu di Kabupaten Gianyar Bali
Identifikasi
Faktor Internal
(Kekuatan dan Kelemahan)
Analisis SWOT
Arah Pengembangan
Rekomendasi Kebijakan dan
rancangan program strategis
Analytical Hierarchy
Process (AHP)
Potensi Pengembangan Industri Kerajinan Ukir Kayu
Posisi Strategis Industri Identifikasi Rantai Nilai
Produksi Distribusi Komersialisasi
Analisis Rantai Nilai
Identifikasi
Faktor Eksternal
(Peluang dan Hambatan)
92
Pengembangan potensi industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
dapat dilihat dengan melakukan identifikasi terhadap posisi strategis industri
kerajinan ukiran kayu secara regional. Posisi strategis industri dianalisis melalui
identifikasi terhadap sejumlah faktor internal berupa kekuatan yang dimiliki dan
kelemahan yang dihadapi industri kerajinan. Serta identifikasi terhadap sejumlah
faktor eksternal berupa peluang industri dalam menghadapi berbagai ancaman atau
hambatan eksternal. Dari hasil analisis posisi strategis maka akan dapat diketahui
industri yang memiliki prospek paling strategis atau agresif untuk dikembangkan
lebih lanjut. Sehingga berbagai rekomendasi kebijakan pengembangan menjadi lebih
terarah, prioritas dan komprehensif untuk industri yang siap untuk berkembang
maupun industri yang berpotensi untuk dikembangkan.
Arah pengembangan industri kerajinan ukiran kayu sebagai usaha kecil
menengah dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau faktor yang
bersifat pendorong maupun hambatan yang dihadapi. Analisis rantai nilai terhadap
satu industri yang paling strategis atau yang memberikan daya ungkit terbesar dalam
perekonomian memberikan gambaran peluang maupun hambatan yang dihadapi
industri mulai dari hulu yaitu mulai penyediaan input hingga hilir yaitu peluang
pemasaran. Analisis rantai nilai juga memberikan gambaran peran pelaku atau
stakeholder yang terlibat dalam arah pemberdayaan serta nilai tambah dari setiap
tahapan pengembangan industri kerajinan.
Goal atau tujuan akhir yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah pada akhirnya
untuk mendapatkan formulasi kebijakan dalam rangka pemberdayaan industri
kerajinan ukir kayu di Kabupaten Gianyar secara lebih komprehensif dan
implementatif.
93
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah suatu rencana, kerangka untuk
mengkonseptualisasikan struktur relasi variabel-variabel suatu kajian penelitian
(Karlinger, 1993), atau perencanaan terinci yang digunakan sebagai pedoman studi
penelitian yang mengarah pada tujuan dari penelitian tersebut (Aaker, et al., 2001).
Penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif kuantitatif yang memberikan
gambaran umum pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar-Bali. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi dengan pendekatan
kuantitatif matematis dalam menangkap deskripsi umum industri kerajinan ukiran
kayu di Kabupaten Gianyar. Untuk mengidentifikasi posisi strategis industri
digunakan pendekatan teknometrik SWOT dan pendekatan deskriptif kuantitatif
untuk menganalisa rantai nilai. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan
pemberdayaan industri kerajinan akan digunakan pendekatan kualitatif yang
dikuantifikasikan dalam bentuk analytical hierarchy process yang berusaha
menangkap persepsi expertise mengenai pengembangan industri kerajinan ukir kayu
di Kabupaten Gianyar.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan di Kabupaten Gianyar dengan pertimbangan
karena Kabupaten Gianyar memiliki industri kecil kerajinan ukir kayu dengan
jumlah unit usaha sebanyak 243 unit. Penelitian dilakukan selama tiga bulan untuk
survey dan pengumpulan data.
94
4.3 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian atau responden adalah pihak-pihak yang dijadikan sampel
dalam penelitian. Dalam studi ini yang menjadi subyek penelitian adalah Perajin
Ukiran Kayu, Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Bank Umum Daerah, Pimpinan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Kepala Pemerintahan di Kabupaten
Gianyar.
Objek penelitian merupakan apa yang hendak diselidiki dalam penelitian.
Dalam studi ini objek penelitiannya adalah menganalisis rantai nilai industry
kerajinan ukiran kayu, menentukan posisi strategis industry kerajinan ukiran kayu
dan penentuan strategi pemberdayaan industry kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar.
4.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel adalah sebagai sesuatu yang mempunyai variasi nilai (Singarimbun
dan Effendi, 1995). Sedangkan identifikasi variabel didasarkan atas kajian teoritik
sebagai acuan kerangka berpikir deduktif dan eksplorasi melalui kajian empirik
untuk kesimpulan induktif. Sesuai dengan kerangka konseptual yang telah
dipaparkan di atas, maka variabel dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Variabel dalam Rantai Nilai terdiri dari:
a. Pasar akhir (end market);
b. Lingkungan penunjang;
c. pasar pendukung (supporting markets);
95
2) Variabel dalam analisis SWOT terdiri dari:
a. Kekuatan (strengths);
b. Kelemahan (weakness);
c. Peluang (opportunities);
d. Ancaman (threats).
3) Variabel dalam Analytical Hierarcy Process (AHP) terdiri dari:
a. hierarki level 1;
b. hierarki level 2;
c. hierarki level 3;
d. hierarki level 4
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1) Variabel dalam Rantai Nilai terdiri dari:
a. Pasar akhir (end market) adalah masyarakat pengguna barang untuk
kegiatan konsumsi, yang
b. Lingkungan penunjang adalah faktor-faktor di luar industri yang berperan
menunjang aktifitas perusahaan;
c. Pasar pendukung (supporting markets) adalah jasa pendukung aktifitas
industri;
2) Variabel dalam analisis SWOT terdiri dari:
a. Kekuatan (strengths) yaitu kondisi kekuatan yang ada dalam industri
UMKM yang terdiri dari sentra industri, tenaga kerja, harga produk, pola
kemitraan, ketrampilan kerja, aliran produksi, potensi pengembangan, bahan
baku, fleksibilitas jenis usaha;
96
b. Kelemahan (weakness) yaitu kondisi kelemahan yang ada dalam industri
UMKM yang terdiri dari: akses modal, teknologi, sifat produksi, kualitas ,
akses informasi, jangkauan pasar, mutu produk, IT, produktifitas, etos kerja,
profesionalisme, kemampuan manajerial, pembiayaan non bank, spesialisasi
dan inovasi;
c. Peluang (opportunities) yaitu kondisi peluang berkembang di masa datang
yang terjadi pada industri UMKM yang terdiri dari: ekonomi nasional,
pendapatan masyarakat, infrastruktur, jumlah penduduk, subsidi, dukungan
pemerintah, persaingan;
d. Ancaman (threats) yaitu kondisi yang mengancam dari luar industri UMKM
yang terdiri dari: lingkungan bisnis, pesaing, harga berfluktuasi, hambatan
masuk pasar, pemasok, pesaing, perubahan gaya hidup konsumen,
keterbatasan akses pasar, inflasi, perekonomian, globalisasi.
3) Variabel dalam Analytical Hierarcy Process (AHP) terdiri dari:
a. hierarki level 1 goal atau tujuan yaitu untuk mengetahui proyeksi
pengembangan UMKM;
b. hierarki level 2 yaitu proyeksi pengembangan UMKM yang terdiri dari
strategi pengelolaan keuangan, pengembangan SDM, pemasaran dan
pelayanan publik;
c. hierarki level 3 yaitu Faktor-faktor yang mempengaruhi proyeksi
pengembangan UMKM terdiri dari pengelolaan keuangan, harga pokok
produksi, kredit perbankan, pendidikan dan pelatihan, sistem penggajian,
reward dan punishment, pemasaran lokal, Saleable masterplan, e-
marketing, lay-out produksi, teknologi produksi, bahan baku, desain dan
inovasi, standarisasi produk, penelitian pasar, pembinaan, fasilitas pameran
97
produk di dalam dan luar negeri, sosialisasi dan standarisasi hak paten
produk;
d. hierarki level 4 yaitu skenario proyeksi pengembangan UMKM yang terdiri
dari skenario optimis, skenario status quo dan skenario pesimis;
4) Analisis rantai nilai adalah analisis yang diperoleh dari tanggapan responden
terkait dengan tahapan aktifitas produksi mulai dari input hingga pemasaran
produk sampai ke tangan konsumen melalui pengisian pertanyaan terstruktur
dan wawancara mendalam pada sampel perajin ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar;
5) SWOT adalah analisis yang bertujuan untuk menentukan strategi sektor
unggulan yang dapat di rumuskan berdasarkan pembobotan penilaian responden
atas pertanyaan terstruktur.
6) AHP adalah suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur untuk
memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) yang memerlukan pendapat
(judgement) responden yang expert pada permasalahan industri kecil kerajinan
ukiran kayu di Kabupaten Gianyar. Responden dalam analisis ini adalah
Kepala/Pegawai Deperindag, Ketua/Anggota Koperasi, Pegawai Lembaga
Perbankan, Kepala/Pegawai Pemkab Gianyar.
4.5 Jenis dan Sumber Data
4.5.1 Jenis Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dengan melakukan survei lapangan serta
data sekunder sebagai supporting data berupa existing statistic data.
98
1) Data Primer. Data ini diperoleh melalui survei lapangan (face to face interview).
2) Data Sekunder. Pengumpulan data yang berupa existing statistic data dilakukan
dengan mengumpulkan data-data statistik daerah yang berasal dari berbagai
laporan yang diberikan oleh lembaga pemerintah seperti BPS, Disperindag,
Dinas Koperasi dan UMKM, Disnaker, Pemerintah Kabupaten.
4.5.2 Sumber Data
Data dalam studi ini diperoleh dengan membagikan kuisioner yang
dirumuskan secara terstruktur, sistematis serta pemilihan responden yang
representatif dan expert pada permasalahan, sehingga memungkinkan data yang diisi
merupakan data yang telah mempunyai nilai obyektivitas yang tinggi sesuai dengan
pengetahuan/pengertian/persepsi individu tentang obyek sikap (kognitif) karena
pengalaman, lama bekerja atau dalam menghadapi persoalan yang diteliti.
Selain itu, perlu dilakukan pengecekan ulang atau pembuktian terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya dengan melakukan
wawancara atau komunikasi langsung dengan responden dan mengumpulkan
informasi data melalui FGD (focus group discussion) yaitu dengan memilih orang-
orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang terkait dengan
industry kecil kerajinan kayu di Kabupaten Gianyar Propinsi Bali. FGD bersifat
lebih lebar dari wawancara, karena FGD tidak hanya mengajukan pertanyaan secara
spesifik tetapi lebih pada upaya mendengarkan keterangan dari berbagai sumber
yang kemudian dirumuskan menjadi suatu data tertentu. Adapun pihak-pihak yang
akan dilibatkan dalam FGD ini adalah perwakilan dari: Bank Indonesia, pelaku
industri kecil, Departemen Perindustrian dan perwakilan dari Pemerintah daerah.
99
4.6 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
4.6.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah kumpulan individu atau obyek penelitian yang memiliki
kualitas dan ciri-ciri yang telah ditetapkan. Berdasarkan kualitas dan ciri tersebut,
populasi dapat dipahami sebagai kelompok individu atau obyek pengamatan yang
minimal memiliki satu persamaan karakteristik. Menurut Syarif (1983), populasi
diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang
mempunyai karakteristik tertentu dan mempunyai kesempatan yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah industri kecil kerajinan ukiran kayu
yang tergolong dalam UMKM di Kabupaten Gianyar berdasarkan jumlah pekerja.
Jumlah industri adalah sebanyak 248 unit, sebanyak 5 unit adalah termasuk industri
besar karena memiliki jumlah tenaga kerja > 100 orang (Deperindag). Populasi
dalam penelitian ini adalah sebanyak 243 unit yang tergolong dalam industri mikro
(rumah tangga) sebanyak 11 unit, industri kecil sebanyak 178 unit dan industri
menengah sebanyak 54 unit.
4.6.2 Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian dari populasi, seperti dikemukakan oleh Suratno
and Arsyad (1995) sampel merupakan sub kelompok yang mewakili populasi yang
diteliti, sehingga studi ini tidak menggunakan semua individu dalam populasi
sebagai responden, tetapi cukup mengambil sampel yang mewakili populasi.
Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Slovin dalam Narimawati, dkk., 2008):
100
2
1 Ne
Nn
2
)05,0(2431
243
= 151
Jadi jumlah sampel yang diambil adalah 151 unit industri dengan toleransi kesalahan
5%.
Pengambilan sampel untuk rumusan rekomendasi kebijakan pengembangan
dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dipilih secara langsung pada
orang yang ahli atau expertise pada pengembangan industri kerajinan ukiran kayu
yaitu asosiasi pengusaha dan institusi pemerintah terkait. Metode AHP tidak
menekankan jumlah minimum responden, namun metode ini menekankan pada
responden yang expert terhadap pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu. AHP
adalah suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya
ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang
memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak
terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak
ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi,
pengalaman ataupun intuisi.
4.6.3 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Metode pemilihan sampel untuk analisis rantai nilai ( value chaine ) dan
analisis SWOT, digunakan dalam penelitian ini adalah metode probabilitas secara
stratified random sampling. Cara ini digunakan jika populasinya heterogen. Dalam
populasi yang heterogen tersebut ternyata terdiri dari strata atau lapisan yang
homogen. Karena jumlah unit dalam tiap strata tidak sama maka digunakan
101
proportional stratified random sampling, cara ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan derajat keterwakilan sampel yang akan diambil terhadap populasinya.
Berikut ini diuraikan cara perhitungan untuk menentukan besarnya sampel dengan
cara (Zainudin, 1995):
Jumlah Industri setiap Kelompok
Besar sampel = x Jumlah Sampel
Jumlah Industri Keseluruhan
Hasil perhitungan besar sampel, secara rinci disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1
Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Sumber: Olahan Peneliti, 2012
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat disusun banyaknya populasi berdasarkan Kecamatan
di Kabupaten Gianyar sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Pengambilan Sampel Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gianyar
Tahun 2012 (Orang)
No Kecamatan
Jenis Industri
Mikro Kecil Menengah
Populasi Sampel Populasi Sampel Populasi Sampel
1 Sukawati 2 1 53 33 9 6
2 Tegallalang 1 1 31 19 3 1
3 Gianyar 2 1 11 7 10 6
4 Ubud 6 4 70 44 26 16
5 Blah Batuh - 4 2 3 1
6 Tampak Siring - 7 4 2 1
7 Payangan - 2 1 -
Kab. Gianyar 11 7 178 110 54 34
Sumber: Disperindag Kab. Gianyar, 2011
Industri Kerajinan
243 unit
Industri Kecil
178 unit Industri Mikro
11 unit
Industri Menengah
54 unit
Sampel
7 unit
Sampel
110 unit Sampel
34 unit
102
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi deskriptif
melalui survei kepustakaan dan survei lapangan melalui observasi dan in-depth
interview dengan kuesioner. Observasi dilakukan dengan melihat secara langsung
aktivitas perajin ukiran kayu. Sedangkan kuisioner merupakan suatu daftar
pertanyaan terstruktur yang digunakan untuk mengukur persepsi responden dan
fakta-fakta yang berhubungan dengan responden, serta dengan suatu keadaan yang
telah diketahui responden. Kuisioner yang diberikan kepada responden, telah diuji
tingkat validitasnya. Pengisian kuisioner oleh responden didampingi oleh tenaga
peneliti untuk membantu mengintepretasikan pertanyaan kuisioner dengan benar.
4.7.1 Teknis Pelaksanaan Survey
Beberapa aspek survei yang harus diperhatikan antara lain:
1) Kualitas lembar wawancara/kuesioner seperti apakah bahasanya mudah
dipahami, apakah penjelasan cukup lengkap, apakah kualitas cetak bagus,
apakah ukuran huruf dan tata letak sudah tepat
2) Pemilihan surveyor
3) Logistik yang diperlukan selama survei
4) Mekanisme Coaching
5) Administrasi dan prosedur keuangan
6) Waktu survei
7) Persiapan sebelum survei (untuk menghindari keengganan responden bekerja
sama)
103
8) Produktivitas (berapa banyak wawancara yang dapat diselesaikan per hari oleh
surveyor)
Tim surveyor merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan survei.
Tim surveyor terdiri dari supervisor survei yang bertugas mengkoordinir survei
untuk masing-masing industri.
4.7.2 Survei Uji Coba (Pilot Study) dan Pengujian Instrumen
Survei uji coba dilakukan pada pelaku usaha industri kerajinan ukiran kayu
di Kabupaten Gianyar. Sebelum pendataan dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan
lembar wawancara berdasarkan indikator yang ditetapkan. Untuk pengujian
kuesioner digunakan uji validitas adan reabilitas. Menurut Arikunto (1997),
instrumen yang baik bila memenuhi dua persyaratan yaitu valid dan reliable,
pembuatan instrumen harus dilandasi dengan kajian pustaka.
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat ke-valid-an
atau kesahihan sesuatu instrumen (Arikunto, 2002). Sebuah instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data
dari variabel yang diteliti secara tepat. Uji validitas dilakukan dengan metode
Pearson atau metode Product Moment yaitu dengan mengkorelasikan skor butir
pada kuesioner dengan skor totalnya Arikunto, (2002).
Sedangkan uji reliabilitas menggunakan metode Cronbach’s Alpha yaitu
menghitung rata-rata interkorelasi di antara butir-butir pernyataan dalam kuesioner.
Variabel dikatakan reliable jika nilai alpha lebih dari 0,3. Nilai koefisien reliabilitas
di atas 0,3, maka hasil data hasil angket memiliki tingkat reliabilitas yang baik, atau
dengan kata lain data hasil angket dapat dipercaya Nurhasyim ( 2004).
104
4.8 Teknik Analisis Data
Secara spesifik, sesuai dengan tujuan penelitian akan digunakan beberapa alat
analisis baik melalui metode kualitatif maupun kuantitatif yang diharapkan mampu
menjawab permasalahan dan tujuan yang akan dicapai.
4.8.1 Analisis Ekonomi Rantai Nilai
Analisis rantai nilai dimulai dengan melakukan pemetaan rantai (chain map)
atas produk unggulan prioritas yang tergolong sebagai peringkat utama, dengan
menggambarkan secara garis besar tahapan mulai dari input hingga pemasaran
produk sampai ke tangan konsumen. Kemudian masing-masing mata rantai nilai
diidentifikasi apa yang menjadi kekuatan atau kompetensinya. Untuk selanjutnya
dikuantifikasi dan dinilai Analisis Ekonomi Rantai Nilainya
Analisis value chain merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang
membentuk suatu produk. Analisis ini merupakan total value chain dari suatu
produk mulai dari desain produk sampai dengan pemanufakturan produk, bahkan
jasa setelah penjualan. Analisis value chain merupakan alat analisis strategis yang
digunakan untuk memahami secara lebih baik keunggulan kompetitif,
mengidentifikasikan di mana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan
biaya, dan memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan
pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industry Humphrey
(2005). Analisis value chain adalah upaya mengidentifikasi dan menjelaskan
hubungan internal dan ekternal dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan posisi
strategis perusahaan.
105
Struktur rantai nilai mencakup semua perusahaan dalam rantai tersebut yang
dibedakan berdasarkan lima unsur sebagai berikut:
1) End Markets (Pasar Akhir)
End Markets (pasar akhir) adalah masyarakat dan bukan terfokus pada suatu
lokasi. Pasar akhir menentukan karakteristik; termasuk harga, kualitas, kuantitas,
dan waktu suatu barang atau jasa yang sukses. Pembeli pasar akhir adalah
merupakan suara berpengaruh dan insentif bagi suatu perubahan. Mereka merupakan
sumber penting dalam penyampaian informasi permintaan, yang menyebarluaskan
pembelajaran dan dalam kasus tertentu bersedia berinvestasi dalam perusahaan
berurutan lebih bawah pada rantai nilai. Pendekatan rantai nilai mengkaji semua
peluang terkini dan berpotensial di semua pasar, mempertimbangkan kecenderun-
gan, calon pesaing dan faktor-faktor dinamis lainnya.
2) Usaha dan Lingkungan Penunjang
Usaha dan Lingkungan Penunjang meliputi norma, kebiasaan, undang-
undang, peraturan, kebijakan, perjanjian perdagangan internasional dan prasarana
umum (jalan, listrik, dll.) serta layanan umum (pendidikan, kesehatan) untuk
menunjang atau menghambat pergerakan suatu produk atau jasa di rantai nilainya.
Lingkungan kebijakan nasional dan peraturan merupakan komponen penting demi
berjalannya fungsi pasar dan perusahaan. Kinerja buruk pemerintah setempat,
penegakan hukum serta rezim peraturan yang lemah hanya akan meningkatkan biaya
dan risiko transaksi, membatasi investasi dalam perhubungan dan peningkatan mutu
suatu produk.
106
3) Hubungan Vertikal
Hubungan antar perusahaan di seluruh tingkatan rantai nilai penting untuk
memindahkan produk atau jasa ke pasar akhir. Transaksi yang bersifat lebih efisien
antara perusahaan terkait secara vertikal dalam rantai nilai, akan memberikan
dampak meningkatkan daya saing keseluruhan dari industri tersebut. Hubungan
vertikal juga mempermudah penyerahan manfaat dan layanan terkait, pengalihan
ketrampilan dan informasi antar perusahaan baik ke atas dan bawah dalam urutan
rantai nilai. Hubungan vertikal menguntungkan antar perusahaan terkait dapat men-
ingkatkan akses UMKM terhadap pasar, ketrampilan baru dan berbagai layanan, dan
mengurangi risiko pasar dengan menjamin penjualan di masa mendatang.
4) Hubungan Horizontal
Ada tegangan yang diperlukan antara kerjasama dan persaingan antar
perusahaan yang menjalankan fungsi serupa dalam suatu rantai nilai. Hubungan
antar perusahaan, baik formal maupun informal akan mengurangi biaya transaksi
bagi pembeli yang berurusan dengan pemasok kecil. Dengan menunjang pembelian
bahan baku dalam jumlah besar, memungkinkan terpenuhinya pesanan besar dan
hubungan horizontal akan membantu perusahaan kecil untuk menghasilkan
pendapatan besar. Asosiasi industri memungkinkan penciptaan standar-standar
industri dan pelaksanaan strategi pemasaran.
5) Supporting Markets (Pasar Pendukung)
Jasa pendukung adalah kunci peningkatan tingkat perusahaan. Jasa tersebut
meliputi: jasa keuangan, jasa lintas sektor seperti konsultasi bisnis, nasihat hukum
dan telekomunikasi serta jasa khusus bagi sector terutama pada jasa perlengkapan
107
irigasi atau jasa perancangan kerajinan tangan. Apabila dibutuhkan untuk waktu
yang lama, jasa tersebut harus disediakan secara komersial atau melalui pasar
(Cooper & Lybrand, 1996; Cooper & Slagmulder, 1999; Dekker & Van Goor, 2000;
Bazan & Navas-Alan, 2001).
4.8.2 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Untuk mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor
eksternal (peluang dan tantangan) dalam UKM di Kabupaten Gianyar digunakan
analisis SWOT. Identifikasi variabel dilakukan berdasarkan hasil Focus Group
Discussion (FGD), informasi instansi terkait, survei literatur. Dari identifikasi
SWOT, dibuat matrik atau diagram SWOT untuk menentukan posisi strategis
industry (Lee, S. F., & Ko, K. O., 2000; Ip, Y. K., & Koo, L. C., 2004; Rauch, P.,
2007; Nikolaou, I. E., 2010; Manteghi & Zohrabi, 2011; ).
Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengambilan misi,
tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis
(strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman). Menurut Rangkuti (2000) tahapan-tahapan dalam
penyusunan perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis yaitu:
1. tahapan pengumpulan data;
2. tahap analisis;
108
3. tahap pengambilan keputusan.
Tabel 4.2
Kerangka Formulasi Strategis
1. Tahap Pengumpulan Data Evaluasi Faktor Evaluasi Faktor Matrik Profil Eksternal Internal 2. Tahap Analisis Matrik Matrik Matrik Matrik Matrik TOWS BCG Internal Space Grand Eksternal Strategy 3. Tahap Pengambilan Keputusan Matrik Perencanaan Strategi Kuantitatif
Sumber : Rangkuti, 2000
Tahapan pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan
pra analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data eksternal
yang diperoleh dari lingkungan di luar organisasi dan data internal yang diperoleh di
dalam organisasi. Model yang dipakai pada tahap ini yaitu matrik faktor strategi
eksternal (EFAS), matrik faktor strategi internasl (IFAS) dan matrik profil kompetitif
(dalam mengukur kondisi retribusi tidak dipergunakan). Selanjutnya untuk
mengukur kondisi dari sektor unggulan diperlukan sistem pembobotan terhadap
masing-masing aspek dengan cara:
1) Terlebih dahulu membuat prioritas dari yang pengaruhnya dianggap paling
kuat ke yang paling lemah;
2) Menentukan persentase bobotnya dari masing-masing aspek yang antara
lain:
a. Aspek kekuatan dan kelemahan sebagai aspek yang dilihat dari dalam (internal);
b. Aspek peluang dan ancaman yaitu aspek yang dilihat dari luar
(eksternal).
109
Persentase pembobotan, diberikan nilai bobot yang sama untuk analisis
SWOT keadaan awal. Analisis SWOT yang diberikan bobot didasarkan atas daftar
pertanyaan atau kuesioner yang disetujui dari responden yang mau menjawab
pertanyaan dan telah menyerahkan daftar pertanyaan tersebut. Setelah masing-
masing aspek dibobot, selanjutnya diadakan penilaian dengan menggunakan hasil
identifikasi SWOT, seperti pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Sistem Pembobotan SWOT
Aspek Internal
atau Eksternal
Nilai Rating Bobot
Skor
Tertimbang
Faktor Kunci sukses Sangat kuat, kuat,
lemah, paling lemah.
4 sampai 1 Persentase
tersetujui
Rating x bobot
T O T A L Skor total
Sumber: Rangkuti, 2000
Langkah seterusnya dibentuk diagram analisis SWOT dengan cara
pembobotan terhadap variabel-variabel terukur (aspek kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman). Posisi pada koordinat merupakan total skor tertimbang hasil dari:
skor tertimbang aspek kekuatan skor tertimbang aspek kelemahan;
skor tertimbang aspek peluang skor tertimbang aspek ancaman.
Aspek internal (SW) pada sumbu horizontal dan aspek eksternal (OT) pada
sumbu vertikal, sehingga dapat diketahui letak dari obyek yang dikaji di dalam peta
tersebut.
110
3. Mendukung Strategi
Turn Around
4. Mendukung Strategi Defensif.
1. Mendukung Strategi
Agresif
2. Mendukung Strategi
Diversifikasi
Berbagai Peluang
Kekuatan
Internal Kelemahan Internal
Berbagai Ancaman
Gambar 4.2
Diagram Analisis SWOT
Sumber: Rangkuti, 2000
Strategi yang digunakan untuk mengoptimalisasikan sektor-sektor unggulan
dipergunakan matrik TOWS atau SWOT yang dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, berdasarkan hasil
perhitungan dalam diagram analisis SWOT. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4
Matrik SWOT
IFAS
EFAS
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Peluang (O) Strategi S-O Gunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
Strategi W-O
Atasi kelemahan
dengan memanfaatkan
peluang
Ancaman (T) Strategi S-T
Gunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
Strategi W-T
Atasi kelemahan
mencegah ancaman
Sumber: Rangkuti, 2000
111
4.8.3 Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Untuk menganalisis strategi pemberdayaan digunakan AHP sebagai suatu
model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk
memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan
pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka,
pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali
dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman ataupun
intuisi. AHP ini juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria,
perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang
dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1980; Saaty & Takizawa, 1986; Saaty,
1990a; Saaty, 1990b; Saaty, 1994a; Saaty, 1994b, Saaty, 2003; Saaty, 2006;
Sueyoshi, et. Al.; Saaty & Shang, 2011;).
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan
pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi
sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Dalam
menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus
dipahami antara lain:
a) Dekomposisi, setelah mendefinisikan permasalahan/persoalan, maka perlu
dilakukan dekomposisi, yaitu: memecah persoalan yang utuh menjadi
unsurunsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya.
112
b) Comparative Judgement, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena
akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini
lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison.
c) Synthesis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparison vektor eigen
(ciri) – nya untuk mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise
comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus
dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda
menurut bentuk hierarki.
d) Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah
bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman
dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang
didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty
mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan
“sama penting”, ini berarti bahwa nilai atribut yang sama skalanya, nilai
bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang
“penting absolut” dibandingkan dengan yang lainnya. Skala Saaty dapat
dilihat pada Tabel 4.5
113
Tabel 4.5
Skala Banding Secara Bersamaan
Tingkat
Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama penting Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting daripada elemen yang
lain
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung satu elemen dibanding
elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting
daripada elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
mendukung satu elemen dibanding
elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung
dan dominan terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting
daripada elemen yang lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang
satu terhadap elemen lain memiliki
tingkat penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai
pertimbangaan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua
kompromi diantara dua pilihan
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i
Sumber : Saaty, 2006
Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap
secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang
intangible (yang tidak terukur) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat
dibandingkan. Menurut Saaty (1980) analisis data sebagai berikut:
1) Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan
solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari
referensi dan berdiskusi dengan para pakar yang memahami permasalahan,
sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
114
2) Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan
kriteria yang paling bawah.
3) Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen
terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Teknik
perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan
“judgement” atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai “ key
person“. Mereka dapat terdiri atas: 1) pengambil keputusan; 2) para pakar; 3)
orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi. 4. Matriks
pendapat individu, formulasinya dapat disajikan sebagai berikut:
ijaA
C1 C2 . .
.
Cn
C1 1 a12 . .
.
A1n
C2 1/a12 1 A2n
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Cn 1/a1n .1/a2n . .
.
1
Gambar 4.3 Matrik Perbandingan Berpasangan
Sumber : Saaty, 2006
115
Dalam hal ini C1, C2, ..... Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hierarki.
Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks
n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil perbandingan yang
mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.
4) Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya
berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang nilai
rasio inkonsistensinya memenuhi syarat.
5) Pengolahan horisontal, yaitu: a) perkalian baris; b) perhitungan vektor prioritas
atau vektor ciri (eigen vektor); c) perhitungan akar ciri (eigen value)
maksimum, dan d) perhitungan rasio inkonsistensi. Nilai pengukuran
konsistensi diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban responden
6) Pengolahan vertikal, digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap
elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. Revisi
pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat cukup
tinggi (>0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat
terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang
sebenarnya.
Tehnik perhitungan yang digunakan untuk menentukan skala prioritas
diperoleh dengan menggunakan software Excel dan AHP Expert Choice Versi 11.
Struktur hierarki AHP dalam penelitian ini meliputi dua hal yaitu hierarki
proyeksi pengembangan dan strategi pengembangan usaha kecil menengah di
116
Kabupaten Gianyar. Adapun hierarki dan rancangan pertanyaan (kuesioner) untuk
setiap hierarki disajikan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4
Proyeksi Pengembangan Usaha Kecil Menengah di Kabupaten Gianyar Sumber: Hasil Penelitian, 2012
Proyeksi Pengembangan Usaha Kecil
Menengah
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Pengembangan
SDM
Strategi
Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pengelolaan
Kredit
Perbankan
Pendidikan &
Pelatihan
Pemasaran lokal
Saleable
Masterplan
Pelayanan
Publik
Lay out
produksi
Sistem Reward &
Punishment
Penelitian
Pasar
Fasilitas
Pameran dan
Kontak
Dagang di
Dalam dan
Luar Negeri
E-marketing
Teknologi
produksi Sistem
Penggajian
Formula
Bahan Baku
Standarisasi
Produk
Design &
inovasi
produk
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Proses Hak
Paten Produk
Optimis Status Quo Pesimis
Pembinaan Harga pokok
produksi
117
Keterangan:
Hierarki level 1: Tujuan yaitu proyeksi pengembangan usaha kecil menengah di
Kabupaten Gianyar
Hierarki level 2: Faktor-faktor yang mempengaruhi proyeksi pengembangan
UKM yang terdiri dari:
1) Kebijakan Pengelolaan Keuangan: Kebijakan pengelolaan keuangan usaha kecil
menengah
2) Pengembangan SDM: kebijakan pengembangan SDM perusahaan
3) Strategi Pemasaran: yakni sistem pemasaran yang dikembangkan
4) Manajemen Produksi: yakni sistem, lay-out dan pola produksi yang diterapkan
usaha kecil menengah
5) Pelayanan publik: mencerminkan kebijakan pemerintah yang berkaitan
langsung dengan pengembangan usaha kecil menengah
Hierarki Level 3: Beberapa indikator atau sub kriteria faktor penentu pengembangan
antara lain:
1. Pengelolaan keuangan
2. Harga pokok produksi
3. Kredit Perbankan
4. Pendidikan dan pelatihan
5. Sistem penggajian
6. Reward dan punishment
7. Pemasaran lokal
8. Saleable masterplan
118
9. E-marketing
10. Lay-out produksi
11. Teknologi produksi
12. Bahan Baku
13. Desain dan inovasi
14. Standarisasi produk
15. Penelitian pasar
16. Pembinaan
17. Fasilitas pameran produk di dalam dan luar negeri
18. Sosialisasi dan standarisasi hak paten produk
Hierarki level 5: Skenario proyeksi pengembangan usaha kecil menengah
meliputi:
1) Skenario optimis yaitu perkembangan usaha kecil menengah didorong dengan
kecepatan yang tinggi karena kekuatan yang dimiliki dan peluang
pengembangannya besar dengan kelemahan yang relatif kecil
2) Skenario status quo yaitu perkembangan usaha kecil menengah dibiarkan
stagnasi, tidak ada upaya untuk menciptakan daya saing produk
3) Skenario pesimis yaitu perkembangan industri dibiarkan negatif dan tidak ada
upaya untuk menciptakan daya dorong pengembangan daya saing.
Sedangkan struktur hierarki kedua adalah penyusunan strategi untuk skenario
proyeksi pengembangan usaha kecil menengah sebagaimana pada Gambar 4.5.
119
Gambar 4.5
Hierarki Kebijakan Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah Sumber: Hasil Penelitian, 2013
Keterangan:
Hierarki level 1 adalah strategi kebijakan pengembangan usaha kecil menengah
Hierarki level 2 adalah strategi atau rencana tindak lanjut dari pengembangan
usaha kecil menengah yang terdiri dari:
1) Strategi pengelolaan keuangan terutama dalam pelaporan keuangan, penentuan
harga pokok produksi dan pendanaan.
2) Strategi pemasaran, pembinaan dan pengembangan produk termasuk dalam hal
ini perluasan akses pasar (internasional) dan domestik, peningkatan inovasi
produk yang berdaya saing
3) Strategi manajemen produksi meliputi teknologi produksi, lay-out produksi,
Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil
Menengah
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Strategi
Pengembangan
SDM
Strategi
Pemasaran
Strategi
Manajemen
Produksi
Strategi
KebijakanPublik
Pemerintah Asosiasi Lembaga Keuaangan
Implementasi Penuh Implementasi Selektif Tidak Ada Implementasi
120
formula bahan baku, standarisasi produk, design dan inovasi produksi
4) Strategi pengembangan kualitas sumber daya manusia meliputi peningkatan
produktivitas SDM melalui pelatihan
5) Strategi perbaikan kebijakan publik yang mencerminkan peran pemerintah
dalam mengembangkan UKM, meliputi pembinaan, fasilitasi pameran dan
kontak dagang serta sosialisasi dan fasilitasi hak paten.
Hierarki level 3 adalah pelaku yang terlibat atau berperan penting dalam rencana
tindak lanjut pengembangan terdiri dari:
1) usaha kecil menengah
2) pemerintah meliputi pemerintah daerah, DisperindagKop, Bappeda dan dinas
terkait yang berhubungan langsung dengan pengembangan UKM
3) lembaga keuangan yaitu perbankan dan non perbankan
4) Kadin dan Asosiasi pengusaha
Hierarki level 4 adalah skenario tindak lanjut meliputi:
1) Skenario aksi implementasi penuh yaitu melaksanakan semua skenario optimis
dan strategi pengembangan usaha kecil menengah di Kabupaten Gianyar
2) Skenario aksi implementasi selektif yaitu melaksanakan secara selektif
skenario optimis karena kurang optimis untuk berhasil dalam mengembangkan
UKM di Kabupaten Gianyar
3) Skenario aksi tidak ada implementasi
121
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang gambaran umum Kabupaten Gianyar,
karakteristik responden penelitian serta hasil penelitian dari data primer yang
berhasil dikumpulkan. Di samping itu pula dibahas analisis data yang terkumpul
secara deskriptif maupun statistik.
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Kondisi Geografis
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten/Kota di
Propinsi Bali. Lokasinya sangat strategis, karena dilalui jalan arteri primer Kota
Denpasar dan Bangli. Secara astronomis Kabupaten Gianyar berada pada garis
meridien 08o 18'48" sampai dengan 08
o 38'58" Lintang Selatan dan 115
o 13'29"
sampai 115o 22'23" Bujur Timur. Kabupaten Gianyar berbatasan dengan Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar disebelah Barat, Kabupaten Bangli di sebelah Utara,
Kabupaten Bangli dan Klungkung disebelah Timur serta selat Badung dan Samudra
Indonesia disebelah Selatan. Bagian terluas wilayah Kabupaten Gianyar (20,25
persen) terletak pada ketinggian 250 - 950 meter dari permukaan laut. Luas
Kabupaten Gianyar 36.800 Hektar atau 6,53 persen dari luas Bali secara
keseluruhan. Secara geografis peta Kabupaten Gianyar disajikan pada Gambar 5.1.
122
Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013
Gambar 5.1
Peta Kabupaten Gianyar
Sektor pertanian masih menjadi leading sector di Kabupaten Gianyar. Hal itu
dilihat dari luas areal persawahan hingga akhir tahun 2012 mencapai 14.732 Ha atau
41persen dari luas Kabupaten Gianyar yang mencapai 36.800 Ha. Terdapat 12 buah
sungai melintasi wilayah Gianyar dan sebagian besar air sungai dimanfaatkan
sebagai irigasi persawahan. Akan tetapi, tanah kering di kabupaten gianyar
mencapai 21.879 Ha.
Hal ini masih menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai area
pemberdayaan industri olahan ukiran kayu, karena saat ini pertumbuhan industri
ukiran di Kabupaten Gianyar terus mengalami peningkatan. Dalam jangka panjang,
hasil produksi olahan ukir yang berupa souvenir, patung, pintu, dan lainnya akan
123
dapat dijadikan sebagai produk unggulan Kabupaten Ginyar dari sektor industri
olahan.
Rencana kegiatan tersebut dapat terwujud dengan adanya dukungan berbagai
pihak, serta dukungan kebijakan Pemerintah dengan meningkatkan kualitas perajin
ukiran kayu, dalam pemberdayaan motif dan model ukir untuk menciptakan daya
saing dan ciri khas dari setiap produk ukir. Dalam rangka pemberdayaan komoditas
ukiran kayu, pemerintah daerah melalui dinas dan pihak-pihak terkait dapat
membantu menyediakan sarana dan prasarana peralatan pendukung untuk
optimalisasi produksi dan promosi hasil kerajinan ukiran kayu.
5.1.2 Kondisi Demografis
Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar menurut
jenis kelamin pada tahun 2012 dari jumlah keseluruhan yaitu 484.600 jiwa,
komposisinya adalah 244.600 jiwa adalah laki-laki dan 240.000 jiwa adalah
perempuan, apabila diperhitungkan dari rasio jenis kelamin sebesar 101,92. Angka
tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Gianyar penduduk laki-laki lebih banyak
dibanding penduduk perempuan.
Persebaran penduduk di Kabupaten Gianyar cukup merata, karena perbedaan
jumlah persebaran penduduk dibeberapa lokasi masih tidak begitu jauh populasinya.
Persebaran penduduk terbesar berada di dua kecamatan yakni Kecamatan Sukawati
dengan kepadatan penduduk 2.099 jiwa/km2dan Kecamatan Gianyar 1.775
jiwa/km2. Sedangkan persebaran penduduk terkecil berada di Kecamatan Payangan
dengan penduduk 556 jiwa/km2
dan Kecamatan Tegallalang 837 jiwa/km2. Dengan
kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa sumberdaya manusia yang
124
dimiliki Kabupaten Gianyar harus didorong kearah pelatihan softskill yang mereka
miliki, sehingga dapat lebih produktif menciptakan peluang kerja di bandingkan
harus menjadi pemasok tenaga kerja, karena jumlah penduduknya yang tergolong
sedikit.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2012,
jumlah usia kerja di Kabupaten Gianyar sebanyak 274.661 jiwa, dengan tingkat
partisipasi angkatan kerja 74,50 persen. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
ini menunjukkan jumlah tenaga kerja pada setiap 100 penduduk usia kerja. TPAK
ini menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2011, dimana pada
tahun 2011 TPAK sebesar 73,73 persen, sedangkan tahun 2012 mencapai 98,28
persen. Ini berarti bahwa pertumbuhan tenaga kerja selama tahun 2012 diimbangi
dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, sehingga tingkat kesempatan kerja bagi
masyarakat masih sangat baik (SUSENAS, 2012).
Kabupaten Gianyar menjadi potensial sebagai sentra industri ukiran kayu
karena menjadi salah satu tujuan wisata yang sering didatangi oleh wisatawan asing
maupun domestik, sehingga permintaan akan produk ukiran semakin meningkat dan
dapat di tampung pada pertokoan atau pedagang-pedagang souvenir besar yang ada
di Bali. Hal ini ditunjang dari penduduk Kabupaten Gianyar yang sebagian besar
yakni 96.920 atau 19,97 persen penduduknya bekerja di sektor industri pengolahan,
salah satunya adalah industri olahan ukiran kayu yang memegang pengaruh cukup
besar di sektor industri olahan. Hal ini karena ukiran menjadi salah satu aksesoris
dan souvenir unggulan yang diminati oleh wisatawan di Provinsi Bali, bahkan
ukiran Bali sudah memiliki motif atau ciri yang menjadikan hasil karya ukirannya
berbeda dari daerah lain. Kondisi ini juga didukung dengan 164.764 atau 33,38
125
persen penduduk Gianyar bekerja di sektor perdagangan besar, eceran dan rumah
makan yang juga berpengaruh cukup besar pada permintaan ukiran kayu,
dikarenakan ukiran Bali sudah banyak digunakan sebagai aksesoris dirumah makan,
hotel atau bangunan-bangunan tradisional di Bali baik dalam bentuk jendela, pintu
maupun meja. Pedagang besar yang bergerak di penjualan souvenir Bali juga
menjadi tempat pemasaran yang baik bagi perajin ukiran kayu (GDA, 2013).
Sektor industri pengolahan menjadi sektor kedua yang paling banyak
menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor-sektor yang lain. Komoditas industri
olahan memang masih menjadi produk unggulan dari Kabupaten Giayar, karena
Giayar memiliki banyak sumber daya manusia (SDM) yang mendukung
perkembangan sektor industri olahan, khususnya subsektor industri ukiran kayu.
5.1.3 Kondisi Makro Ekonomi
Publikasi pertama pada tahun 2006, Kabupaten Gianyar melakukan
penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan menggunakan
tahun dasar 2000. Sampai dengan tahun ini masih sedikit membahas perubahan
tahun dasar dari tahun dasar 1993 ke tahun dasar 2000, terutama menjelaskan harga
satuan maupun jenis produksi yang dipergunakan untuk penyusunan PDRB
Kabupaten Gianyar tahun 2013. Perubahan tahun dasar dari tahun 1993 ke tahun
2000, telah menyebabkan beberapa sektor tertentu melaju dengan cepat, sedang
sektor lainnya relatif lambat. Hal ini disebabkan adanya dinamika penawaran dan
permintaan yang berbeda antar sektor dalam jangka waktu yang panjang, maka
sumbangan antar sektor akan berbeda secara nyata (BPS Kabupaten Gianyar, 2013).
126
Kabupaten Gianyar tergolong wilayah yang memiliki gejolak internal
maupun eksternal, meskipun pernah mengalami keterpurukan akibat adanya krisis
ekonomi beberapa tahun lalu. Kondisi makro perekonomian Kabupaten Gianyar
dalam beberapa tahun terakhir cenderung semakin membaik. Tabel 5.1
menunjukkan PDRB Kabupaten Gianyar atas dasar harga berlaku pada tahun 2011
dan 2012 masing-masing Rp. 8.118.673 juta dan Rp. 9.180.199 juta yang mengalami
peningkatan sebesar 6,79 persen atau 0,03 poin dari tahun sebelumnya, meskipun
lebih rendah dibandingkan pada periode 2010-2011 yang meningkat hingga 6,76
persen atau 0,72 poin dari tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut masih sangat
baik karena sejalan dengan membaiknya perekonomian nasional dan propinsi yang
diikuti permintaan beberapa komoditas ekspor Kabupaten Gianyar yang juga
meningkat. Kondisi ini setidaknya meningkatkan motivasi para pelaku ekonomi di
Kabupaten Gianyar untuk mengejar ketertinggalan saat terjadinya krisis global (BPS
Kabupaten Gianyar, 2013).
Tabel 5.1
Perkembangan Indikator Makro Ekonomi
Kabupaten Gianyar Tahun 2009 – 2012
Indikator Tahun
2009 2010 2011 2012
PDRB atas harga
berlaku (Juta Rupiah) 6.422.456 7.336.540 8.118.673 9.180.199
PDRB atas harga
konstan (Juta Rupiah) 3.187.823 3.380.513 3.609.056 3.854.011
Laju Pertumbuhan
Ekonomi (Persen) 5,93 6,04 6,76 6,79
PDRB perkapita atas
harga berlaku (Ribuan
Rupiah)
14.543.242 15.570.403 16.931.644 18.817.050
PDRB perkapita atas
harga konstan (Ribuan
Rupiah)
7.218.622 7.174.491 7.526.754 7.899.732
Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2012
127
Potensi modal dasar yang kuat yaitu SDM dan pasar domestik yang luas
menjadikan PDRB Kabupaten Gianyar terus mengalami peningkatan. Kekuatan
sumber daya manusia yang rentan dengan pengaruh cuaca dan kekuatan fisik
mengakibatkan industri pengolahan dan subsektor ukiran yang merupakan sektor
dominan ketiga di Kabupaten Gianyar membawa pengaruh yang signifikan tehadap
besar kecilnya PDRB Kabupaten Gianyar.
Sektor pemberi kontribusi ekonomi di Kabupaten Gianyar masih bertumpu
pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 28,77 persen. Sektor jasa 19,39
persen dan sektor industri pengolahan mencapai 18,47 persen. Tabel 5.2
menunjukkan bahwa kenaikan yang ditunjukkan oleh sektor industri pengolahan
menyumbang PDRB sebesar Rp. 1.695.202,19 juta pada tahun 2012, nilai itu
meningkat dibanding tahun 2010 dan 2011 yang hanya mencapai 1.397.096,37 dan
1.507.235,45.
Tabel 5.2.
PDRB Sektoral atas Dasar Harga Berlaku
Kabupaten Gianyar Tahun 2009 – 2012 (dalam Jutaan Rupiah)
Sektor Tahun
2009 2010 2011 2012
Pertanian 1.153.306,22 1.245.359,81 1.311.256,60 1.455.092,04
Pertambangan dan
Penggalian 37.912,63 41,289.47 47,187.72 54,222.63
Industri Pengolahan 1.208.579,11 1.397.096,37 1.507.235,45 1.695.202,19
Listrik, Gas dan Air
Bersih 66.126,26 77.201,45 89.508,32 107.978,87
Bangunan 329.727,04 394.457,89 446.853,73 556.224,75
Perdagangan, Hotel
dan Restoran 1.819.217,07 2.114.529,36 2.373.595,79 2.641.089,19
Pengangkutan dan
Komunikasi 294.912,51 328.935,22 352.142,27 391.786,05
Keuangan,
Persewaan dan Jasa
Perusahaan
347.602,11 396.623,24 430.210,93 498.626,54
Jasa-jasa 1.165.072,88 1.341.047,58 1.560.681,85 1.779.976,77
PDRB 11.9121.885.00 7.295.250,92 8.071.484,94 9.125.976,40
128
Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013
Sementara bila dilihat dari distribusi sektoral sebagaimana pada gambar 5.2,
sektor pemberi kontribusi nilai tambah terbesar dalam PDRB Kabupaten Gianyar
adalah perdagangan, hotel dan restoran yang sampai tahun 2012 mencapai 28,77
persen diikuti sektor jasa 19,39 persen dan sektor industri pengolahan sebesar 18,47
persen. Sektor kontributor terkecil adalah pertambangan dan penggalian hanya 0,59
persen, serta listrik, gas dan air bersih 1,18 persen. Sektor perdagangan, hotel dan
restoran memiliki distribusi terbesar dalam PDRB Kabupaten Gianyar, hal ini
didukung oleh potensi pariwisata Kabupaten Gianyar dan Propinsi Bali. Daya tarik
pariwisata juga memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan sektor lainnya
diantaranya industri kerajinan khususnya ukiran kayu (BPS Kabupaten Gianyar,
2013).
Gambar 5.2
Distribusi PDRB Sektoral Kabupaten Gianyar Tahun 2012
Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013
129
Kontribusi sektor industri pengolahan cukup besar dan berada di posisi
ketiga disebabkkan oleh faktor lokasi, sarana dan prasarana wisata dan menjadikan
Gianyar sebagai salah satu tujuan wisata favorit wisatawan asing dan domestik. Hal
ini menyebabkan peningkatan jumlah permintaan ukiran sebagai aksesoris atau
souvenir bagi wisatawan, sehingga dapat meningkatkan produksi yang optimal,
terutama di sub sektor ukiran kayu. Walaupun sektor industri pengolahan menjadi
penyumbang ketiga terbesar terhadap PDRB, namun apabila diperhatikan
kontribusinya tiap tahunnya mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 19,22
persen menjadi 19,39 persen dan pada tahun 2012 masih tetap sebesar 19,39 persen.
Perubahan ini menunjukkan perekonomian di Kabupaten Gianyar terutama sektor
industri pengolahan menunjukan pertumbuhan yang positif.
5.1.4 Potensi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kerajinan Ukiran
Kayu Kabupaten Gianyar
SDM di Kabupaten Gianyar memiliki potensi untuk diarahkan ke
pemberdayaan industri kerajinan ukiran, dari segi keahlian masyarakat sudah
memiliki ketrampilan. Keunggulan yang dimiliki Kabupaten Gianyar yaitu
masyarakat sudah terbiasa mengukir kayu secara turun menurun, mempunyai
ciri/motif yang khas, menjadi lokasi wisata, terdapat banyak wadah untuk menjual
atau mempromosikan hasil ukir, dan lain-lain. Hal itu menguntungkan bagi
Kabupaten Gianyar untuk dapat menigkatkan produksinya.
Sampai saat ini, industri ukiran di Kabupaten Gianyar rata-rata masih berada
di tingkat Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM). Hal itu juga menjadi
perhatian dari pemerintah terhadap pemberdayaan UMKM di Kabupaten Gianyar.
130
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali membidik pangsa pasar UMKM di Gianyar
naik 5 persen dari saat ini sebesar 2,81 persen atau 2.088 UMKM. Wayan Sudja,
Direktur Utama BPD Bali mengatakan dari 74.356 pelaku UMKM di Kabupaten
Gianyar, sebanyak 2.088 UMKM atau sekitar 2,81 persen saat ini sudah dibiayai
BPD Bali. Tahun ini ditargetkan pertumbuhan baik nasabah dan debitur dari UMKM
Gianyar naik sebesar 5 persen. “Angka tersebut akan terus kami tingkatkan tentunya
dengan dukungan dari pemda untuk bersama-sama melakukan pembinaan dan
pemberdayaan sektor UMKM, karena Kabupaten Gianyar yang pertumbuhan
perekonomiannya masih didominasi oleh sektor perdagangan serta hotel dan
restoran (PHR) tidak terlepas dari peran UMKM, terutama produsen hasil kerajinan
sebagai pendukung industri pariwisata” sebutnya (swararakyatbali.com).
Dari catatan BPD Bali, total dana penghimpunan pihak ketiga (DPK) di
Gianyar dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana tahun 2012 dana
yang terhimpun oleh perbankan di Gianyar sebesar Rp 3,9 triliun dengan share dari
BPD Bali adalah Rp 934 miliar atau sekitar 23 persen. Sedangkan kucuran kredit
perbankan di Kabupaten Gianyar tahun 2012 mencapai Rp3,6 triliun, dimana BPD
Bali memperoleh share 23 persen atau dengan nominal sekitar Rp 870 miliar.
Sementara itu, Bupati Gianyar Tjokorda Artha Ardhana Sukawati
mengungkapkan selama ini pertumbuhan perekonomian mengalami perkembangan
yang signifikan. Hal ini diindikasikan dari pencapaian pertumbuhan daerah dari 5,7
persen pada tahun 2007 naik dalam kurun waktu 5 tahun menjadi 6,8 persen.
Sedangkan pendapatan asli daerah juga mengalami peningkatan dari tahun 2007 lalu
sebesar Rp57 miliar menjadi Rp261 miliar pada tahun 2012. Hal itu tidak terlepas
dari peran perbankan dalam pembiayaan untuk menggerakkan perekonomian
131
Gianyar, termasuk kepada pengusaha UMKM. Diharapkan dengan peran dan fungsi
BPD Bali sebagai bank yang bervisi membangun daerah mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara merata.
Kondisi ini menjadikan kerajinan ukiran sangat berpotensi untuk melakukan
pemberdayaan disektor industri. Pertumbuhan UMKM di Kabupaten Gianyar
menjadikan pemberdayaan komoditas kerajinan ukiran kayu ke depannya menjadi
sangat baik, karena dari hasil kerajinan ukir dan bahkan limbah ukiran kayu bisa
dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar. Pada jangka panjang, hasil
produksi industri olahan yang berupa kerajinan dari ukiran kayu akan dapat
dijadikan sebagai produk unggulan Kabupaten Gianyar dari sektor Industri olahan.
5.2 Profil Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kerajinan Ukiran
kayuKabupaten Gianyar
Kerajinan ukiran kayudi Kabupaten Gianyar merupakan salah satu potensi
industri yang memiliki kontribusi besar dalam mendukung pariwisata dan
perekonomian daerah di Propinsi Bali. Keberadaan industri kerajinan ukiran kayu
bukan hanya memberikan efek pengganda bagi sektor pariwisata namun juga dalam
hal penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan sektor lainnya. Potensi industri
kerajinan bukan hanya memenuhi kebutuhan lokal namun juga telah menembus
pasar internasional. Maka tidak dapat dipungkiri, pemberdayaan industri kerajinan
ukiran kayu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pihak terkait untuk
menjaga eksistensi industri kerajinan ukiran kayu agar memiliki nilai tambah dan
nilai jual yang lebih tinggi serta berdaya saing global.
132
Studi ini secara khusus mengidentifikasi dan menganalisis eksistensi industri
kerajinan di Kabupaten Gianyar terhadap 152 perajin ukiran kayu dengan tahun
pengamatan 2013 yang mencakup 68 perajin dalam kategori mikro, 28 usaha kecil
dan 56 perajin dalam skala menengah. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling.
5.2.1 Profil Responden Sampel
Responden perajin yang dijadikan sampel berjumlah 152 perajin dengan
komposisi mayoritas adalah laki-laki sejumlah 138 orang dan perempuan 14 orang
dengan kisaran umur rata-rata pada usia produktif yaitu 35 hingga 50 tahun yaitu
sebanyak 70,9 persen, kisaran umur 23 hingga 35 tahun sebayak 15,9 persen dan
antara 50 hingga 65 tahun sebanyak 13,2 tahun. Secara demografis, perajin berada
pada usia produktif sebagai angkatan kerja sangat potensial untuk terus
dikembangkan kapasitas keahliannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan.
Gambar 5.3
Komposisi Tingkat Pendidikan Responden
Sumber : Hasil Penelitian Diolah, 2013
Potensi demografis perajin pada usia produktif juga didukung dengan tingkat
pendidikan yang rata-rata adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) 48 persen, dan
133
27,7 persen telah menempuh perguruan tinggi. Sementara untuk jenjang pendidikan
Sekolah Dasar (SD) adalah 7,9 persen, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16,4
persen. Secara rata-rata, perajin dengan kemampuan akademik yang cukup menjadi
modal utama dalam mengembangkan kemampuan keahlian usaha bukan hanya pada
proses produksi namun juga pasca produksi. Melalui potensi ini diharapkan produk
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar memiliki kualitas tinggi dan mampu
berdaya saing bukan hanya lokal namun juga internasional.
5.2.2 Profil Umum Usaha Kerajinan Ukiran Kayu
Berdasarkan identifikasi sampel, usaha industri kerajinan ukiran kayudi
Kabupaten Gianyar telah ada sejak tahun 1980 namun jumlah perajin belum banyak
dan pada tahun 2003 jumlah perajin yang memulai usaha kerajinan ukiran kayu
berkembang hingga 20,9 persen. Hal ini sejalan dengan berkembangnya pariwisata
di Propinsi Bali dan memenuhi permintaan baik dalam dan luar negeri.
Potensi kerajinan ukiran kayudi Kabupaten Gianyar sebagian besar
merupakan usaha pribadi. Hal ini menunjukkan minat masyarakat Kabupaten
Gianyar dalam wirausaha kerajinan cukup tinggi dan membuka peluang usaha bagi
masyarakat lainnya. Kerajinan ukiran kayu dapat dipahami sebagai transformasi
kehidupan sosial budaya masyarakat ditengah kemajuan pariwisata sehingga
memberikan keyakinan dan motivasi bagi perajin untuk menekuni usaha kerajinan
ukiran kayu. Sehingga nantinya secara agregat dengan semakin tumbuhnya sektor
industri kerajinan akan menjadi daya ungkit bagi perkembangan perekonomian
daerah.
134
Usaha industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar masih
terkendala dengan masih banyaknya industri yang belum memiliki hak paten atas
produk kerajinan, hanya 40,78 persen perajin yang telah mendaftarkan hak paten
atas kepemilikan inovasi produk. Maka dalam hal ini dibutuhkan peran
pemerintah melalui instansi terkait dalam meningkatkan pendataan dan
pendaftaran kembali hak paten atas produk kerajinan ukiran kayu.
Kendala lain yang masih ditemukan dalam industri kerajinan ukiran kayu
di Kabupaten Gianyar adalah keikutsertaan perajin sebagai wajib pajak. Hanya
ada satu perajin dari 152 perajin yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Maka dibutuhkan sosialisasi secara intensif pada perajin mengenai
pentingnya memiliki NPWP dalam menjaga keberlangsungan usaha dan sebagai
wujud partisipasi perajin dalam meningkatkan penerimaan negara.
Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan ukiran kayu
rata-rata memiliki sembilan pekerja laki-laki dan yang terbanyak adalah 20 orang
pekerja laki-laki. Sementara pekerja perempuan tiga orang dan yang terbanyak
15 orang pekerja perempuan. Komposisi tenaga kerja kerajinan ukiran kayu
memang lebih banyak di dominasi oleh pekerja laki-laki. Jumlah pekerja juga
umumnya tidak banyak, hal ini disebabkan proses pengerjaan industri
memerlukan waktu yang cukup lama dan keahlian. Rata-rata upah per bulan yang
diterima pekerja adalah Rp. 4.400.000,- dengan kisaran terendah Rp.600.000,-
per bulan. Untuk meningkatkan kualitas hasil kerajinan dibutuhkan tenaga ahli
dalam mengembangkan keahlian perajin. Ternyata hanya ada 14 perajin dari 152
135
perajin yang menggunakan bantuan tenaga ahli. Maka peran pemerintah daerah
untuk meningkatkan kualitas produk kerajinan melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan bagi perajin maupun mendatangkan tenaga ahli yang kompeten pada
industri kerajinan ukiran kayu.
Prospek usaha dalam industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
dapat dilihat dari rata-rata omset harian yang diperoleh perajin yang sebagian besar
berkisar antara Rp. 70.000,- hingga Rp.1.000.000,- yaitu 72,7 persen dan berkisar
antara Rp. 1.000.000,- hingga Rp.30.000.000,- yaitu 27,3 persen. Sementara dari sisi
aset yang dimiliki hingga mencapai Rp. 250.000.000,-. Dan modal usaha hingga Rp.
10.000.000,- yaitu 85,9 persen. Maka dilihat dari komposisi aset dan omset yang
diperoleh perajin menunjukkan bahwa industri kerajinan ukiran kayu cukup
menjanjikan keuntungan sebagai penggerak ekonomi masyarakat di Kabupaten
Gianyar.
Proses produksi menjadi tahapan penting yang menentukan kontinuitas
industri kerajinan ukiran kayu. Berdasarkan data dari survey pada 152 perajin di
Kabupaten Gianyar pada tahun 2013 terdiri dari 68 usaha mikro, 28 usaha kecil dan
56 skala usaha menengah diketahui bahwa, sekitar 93 persen pasokan bahan baku
ukiran di Kabupaten Gianyar masih didatangkan dari luar Provinsi Bali. Angka itu
menunjukkan bahwa perajin Kabupaten Gianyar sangat tergantung pada
ketersediaan bahan baku dari luar. Kondisi itu menjadikan biaya produksi menjadi
meningkat, karena perajin harus mengalokasikan biaya jasa transportasi yang tidak
sedikit untuk mendatangkan bahan baku dari luar daerah.
136
Produksi kerajinan ukiran kayu dibuat berdasarkan pesanan dari konsumen
dan secara keseluruhan proses produksi cukup lancar meskipun sebagian kecil masih
mengalami fluktuasi dalam produksi. Teknologi yang digunakan dalam produksi
banyak menggunakan mesin dan hal ini dianggap cukup membantu percepatan
proses pengerjaan produksi ukiran kayu yang mayoritas adalah patung kayu. Selain
itu perajin juga terus mengembangkan inovasi dalam desain patung yang diproduksi
sehingga memiliki daya jual tinggi dan mampu bersaing baik di pasar dalam maupun
luar negeri.
Tingginya frekuensi perubahan kinerja pada produksi kerajinan ukiran ini
dikarenakan perubahan pada biaya transportasi dan biaya oprasional produksi,
sehingga terjadi kenaikan harga yang tidak diimbangi dengan besaran kenaikan
harga jual produk. Dalam mengatasi hal ini, sebagian besar pekerja usaha kerajinan
ukiran memilih menambah jam kerja karyawan, dari pada harus mengurangi jumlah
karyawan, sehingga dapat berproduksi lebih banyak. Akibat dari kenaikan biaya
produksi yang tidak hanya berdampak pada bertambahnya jam kerja saja, akan tetapi
keuntungan, omset, harga jual dan harga bahan baku juga terkena imbasnya.
Sehingga dibutuhkan kerja sama dari pemerintah dalam mengatasi hal tersebut.
Pendampingan dan pelatihan yang intensif dapat menjadi alternatif pertama dalam
proses pemberdayaan industri kerajinan ukiran. Gambar 4.3 menunjukkan
perubahan dan prediksi pada perkembangan usaha ukiran kayu akibat terjadinya
kenaikan biaya produksi.
137
Gambar 5.4
Perkembangan Usaha Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Pemasaran kerajinan ukiran di Kabupaten Gianyar tersebar di berbagai
daerah mulai dari pemasaran di wilayah lokal, domestik, regional dan internasional.
Data yang diperoleh dari hasil survey 152 responden, didaptkan bahwa produk
ukiran dari Kabupaten Gianyar 63,30 persen dipasarkan di pasar lokal, 4,65 persen
wilayah regional, 2,92 persen wilayah nasional dan sisanya 29,12 dipasarkan di
pasar Internasional. Hal ini menunjukkan bahwa produk dari Kabupaten Gianyar
sebagian besar masih dipasarkan di pasar lokal, hal itu tidak terlepas dari teknik
promosi yang perajin lakukan.
Pengaruh media promosi yang tepat akan mempengaruhi tingkat penjualan
dan luas area pasar penjualan. Sebagian besar perajin masih belum bisa
memanfaatkan media informasi untuk mempromosikan barangnya dengan baik.
Hasil survey menunjukkan perajin di Gianyar sekitar 71.42 masih memasarkan
produknya melalui media person to person, 5.24 melaui media televisi dan radio,
138
sedangkan 22.80 dipasarkan melui media internet, dan 0.55 melalui media lainnya.
Pemilihan media promosi yang tepat dan intensitas promosi akan mampu
memperbaiki tingkat penjualan ukiran di Kabupaten Gianyar.
Gambar 5.5
Jangkauan Pemasaran dan Media Promosi Produk Ukiran
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
5.3 Analisis Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Nilai jual tinggi produk kerajinan ukiran kayu ditentukan oleh nilai tambah
yang didapatkan dalam setiap mata rantai produksi produk kerajinan. Nilai
ekonomis produk akhir di pasar sangat bergantung pada tahapan produksi mulai dari
penyediaan input produksi, proses produksi hingga penangangan pasca produksi.
Rantai nilai produk merupakan aktifitas yang berawal dari bahan baku hingga
penanganan purna jual dan mencakup aktifitas yang saling terkait hubungan dengan
pemasok (supplier linkage) dan hubungan dengan konsumen (consumer linkage).
Ketersediaan bahan baku yang didapatkan dari keterlimpahan sumberdaya
alam setidaknya harus diikuti dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia
sebagai komponen penggerak dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya
dalam menciptakan suatu produk yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi serta
139
didukung oleh penggunaan teknologi tinggi. Selain itu, kesinambungan suatu
produksi tidak terlepas dari peran penting pemerintah daerah. Secara kelembagaan,
institusi pendukung terdiri dari 3 lembaga, yaitu pemerintah (meliputi lembaga
politik dan lembaga sektor publik), sektor swasta (meliputi perusahaan dan lembaga
ekonomi lainnya, serta masyarakat (terdiri dari individu dan kelompok masyarakat).
Industri kerajinan ukiran kayu merupakan salah satu industri yang memiliki
rangkaian rantai nilai yang cukup sederhana. Pelaku usaha yang terlibat dalam rantai
nilai kerajinan ukiran kayu mulai dari pemasok bahan baku, perajin, pedagang,
eksportir untuk usaha kerajinan berbasis ekspor dan konsumen atau pengguna akhir
dari produk ukiran. Kualitas dan kuantitas hasil produksi ditentukan oleh peran
pelaku usaha dalam memberikan kontribusi pada tiap tahapan rantai nilai. Oleh
karena itu setiap pelaku usaha saling berkaitan dengan pelaku usaha lain dalam
menunjang kontinuitas distribusi produk.
Gambar 5.6 menunjukkan rantai nilai industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar. Dalam rantai tersebut terdapat banyak organisasi dan jaringan
kerja yang terlibat dengan fungsi-fungsi penting yang saling berinteraksi. Masing-
masing pelaku pada rantai nilai memiliki sebuah peran dan fungsi yang berbeda.
Hubungan antar fungsi mencerminkan kekuatan dan kelemahan yang penting dari
sebuah sistem kelembagaan. Seluruh hubungan terjadi dalam koridor kebijakan,
hukum, insentif dan serangkaian sumberdaya yang memungkinkan beroperasinya
sejumlah lembaga.
140
Gambar 5.6
Pemetaan Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berikut adalah peran dan fungsi dari masing-masing pelaku usaha dalam
rantai nilai kerajinan ukiran kayu.
1. Penyediaan Bahan
Baku Kayu
2. Penyediaan cat
untuk finishing
produk
Pemasok Input Produsen Produk
Ukiran Kayu
Trader atau
Eksportir Konsumen Akhir
1. Pengolahan
Bahan Kayu
2. Pembuatan
desain ukiran
3. Pemahatan
4. Pewarnaan
5. Packaging
1. Penjualan
2. Distributor
3. Promosi
Pengguna akhir
Perusahaan
Penjual Kayu
Penjual
Cat/Vernish
untuk Finishing
Perajin Ukiran
kayu
Pengepul
Agen/Pengece
r/Eksportir
Konsumen
Akhir
1. Teknologi
2. Anomali Klima
Peluang usaha yang
prospektif
Dinas Pertanian dan
Perkebunan
1. Kelangkaan Bahan
Baku
2. Kebutuhan tenaga
ahli
3. Permodalan
1. Fluktuasi Perekonomian
2. Fasilitasi Kontak
Dagang
Peluang usaha yang
prospektif
Peluang ekspor
Dinas Koperasi dan UKM
Dinas Perdagangan dan Industri
Dinas Pariwisata
KADIN
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Lembaga Keuangan
141
1. Industri Inti
Industri inti atau utama adalah perusahaan pembuat produk jadi
kerajinan ukiran yaitu perajin yang siap untuk dipasarkan. Perusahaan-
perusahaan ini dapat memasarkan produknya secara langsung kepada pembeli
di luar negeri dan dalam negeri (merangkap sebagai pedagang/eksportir) atau
hanya produsen murni. Skala perusahaan yang berada dalam kelompok industri
ini terdiri dari perusahaan kecil, mikro dan menengah.
Dalam upaya untuk memenuhi permintaan pasar, perajin melakukan
spesialisasi terhadap produk ukiran yang dapat berasal dari bahan baku kayu
atau jenis kayu, desain dan kualitas. Segmentasi pasar bagi produk ukiran
dilakukan untuk menjaga daya saing industri terhadap pesaing baik dari dalam
dan luar negeri. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian yang memadai dari perajin
untuk selalu mengembangkan inovasi produk baik terhadap model dan kualitas
bahan baku.
Kendala yang dihadapi perajin dalam proses produksi adalah
kekurangan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari Kabupaten Gianyar
sehingga kayu sebagai bahan baku utama hampir seluruhnya di peroleh dari
daerah diluar Bali, seperti pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi dengan proses
pengiriman melalui melalui moda angkutan laut dan darat sehingga harga bahan
baku menjadi lebih mahal dengan tingginya biaya transportasi.
Kendala permodalan juga masih dihadapi oleh perajin dalam
mengembangkan usaha. Masih minimnya aksessibilitas pembiayaan usaha
melalui lembaga keuangan khususnya perbankan menjadi permasalahan klasik
142
dalam disintermediasi perbankan dan sektor riil. Beban bunga dan prosedur
pengajuan kredit yang dirasakan masih sulit dijangkau oleh sebagian perajin
terutama skala mikro.
Dari sisi kelembagaan, masih kurangnya dukungan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dalam proses pendampingan dan pembinaan perajin ukiran
untuk pemberdayaan usahanya, baik melalui pelatihan sumberdaya manusia
maupun pemanfaatan tekhnologi tepat guna. Kurangnya dukungan Dinas
Pariwisata dalam proses promosi hasil kerajinan ukir, sehingga perajin
melakukan promosi secara individu untuk meningkatkan hasil penjualannya
Kurangnya dukungan Dinas Koperasi khususnya dalam pembinaan koperasi
atau kelompok-kelompok perajin ukiran agar dapat mengembangkan usahanya
melalui menajemen kelompok.
2. Industri Pendukung
a. Industri Kayu Primer. Industri kayu primer merupakan sumber bahan baku
dari industri kerajinan ukiran kayu. Keberadaan Industri primer ini tidak
berada dalam suatu wilayah yang sama dengan lokasi industri kerajinan
ukiran, meskipun demikian yang penting adalah terdapatnya suatu yang tak
terputus. Perusahaan penyedia bahan baku merupakan bagian dari industri
pendukung. Bahan baku kayu merupakan salah satu faktor yang menentukan
keunggulan komparatif dari industri kerajinan ukiran dan memberikan
kontribusi utama dalam menentukan biaya produksi kerajinan ukiran.
Umumnya produk- produk ukiran kayu dari berbagai negara dicirikan oleh
bahan baku kayu yang berasal dari negara produsen kerajinan ukiran kayu.
Hambatan ketersediaan bahan baku kayu disebabkan masih rendahnya
143
pemanfaatan teknologi dalam penanaman kayu dan adanya anomali klima
yang dapat mempengaruhi kualitas kayu.
b. Industri Pelapis Permukaan. Industri ini menyediakan bahan-bahan untuk
melapisi permukaan ukiran kayu yang menjadi proses finishing dalam
produk ukiran. Peranan industri ini sangat penting dalam memberikan nilai
tambah produk ukiran kayu.
c. Industri Pengemasan dan Jasa Transportasi. Industri pengemasan dan jasa
transportasi merupakan industri pendukung dalam membantu kelancaran
usaha industri kerajinan ukiran kayu dalam memenuhi permintaan pasar.
3. Industri Penyedia Jasa
Dukungan penelitian dan pemberdayaan (R&D) milik pemerintah dan
swasta akan memberikan kontribusi sebagai contoh dalam bahan baku baru
(alternatif) dan sifat-sifatnya, serta uji kualitas produk. Lembaga pendidikan
universitas khususnya dalam bidang kehutanan (hasil hutan) dibutuhkan untuk
memberikan dukungan aplikasi ilmu perkayuan serta kemampuan melakukan
penelitian dalam bidang kayu. Disamping itu keberadaan lembaga pendidikan
khusus dalam bidang pengolahan kayu dapat memberikan dukungan dalam
pelatihan dan riset untuk membentuk tenaga terampil dan ahli. Kontribusi lain
yang diperlukan dari lembaga pendidikan dan pelatihan adalah dalam penyebaran
(difusi) teknologi inovasi khususnya dalam aspek produksi. Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) khususnya KADIN Propinsi memiliki peranan dalam
penyediaan informasi baik kepada lembaga keuangan, pemerintah daerah serta
kerjasama antar anggota.
144
Sementara khusus untuk produk ukiran kayu berorientasi ekspor, peran
jasa pelabuhan atau kepabeanan menjadi sangat penting agar dapat
mempertahankan daya saing. Prosedur kepabeanan perlu dipermudah tanpa
mengurangi pengawasan agar pengiriman barang ekspor sesuai dengan jadwal
kontrak dan biaya-biaya yang ditimbulkan tidak membebani industri.
Lembaga keuangan seperti perbankan daerah memiliki peranan yang
penting untuk mendukung permodalan yaitu modal kerja dan investasi dalam
peningkatan kemampuan produksi industri kerajinan ukiran kayu.
4. Lembaga Pendukung
a. Pemerintah Daerah. Keberadaan industri kerajinan ukiran kayu di daerah
memberikan kontribusi penting bagi perekonomian daerah serta membuka
kesempatan kerja.Oleh karena itu Pemerintah Daerah sangat berkepentingan
dan berkewajiban menjaga bahkan mendorong industri ukiran kayu sehingga
eksistensi tetap terjaga. Di tengah kompetisi pasar yang semakin ketat maka
dukungan pemerintah daerah perlu dilakukan secara maksimal. Rantai
birokrasi dengan berbagai pungutan yang dikeluhkan oleh dunia usaha perlu
mendapat perhatian yang serius. Perspektif pemerintah daerah bukan lagi
bersifat myopic yang hanya berorientasi pada pendapatan asli daerah (PAD),
namun melihat peranan industri kerajinan dalam perspektif jangka panjang
sebagai penyumbang pajak, penggerak ekonomi daerah dan penyerap tenaga
kerja. Perbaikan infrastruktur serta prosedur dan fasilitas kepabeanan di
wilayah propinsi perlu dilakukan. Mekanisme operasi serta keterkaitan
industri kerajinan ukiran kayu dengan industri pendukung serta kelompok
perusahaaan penyedia jasa perlu dipahami oleh berbagai pihak karena
145
masing-masing memiliki peranan dalam mempertahankan kelangsungan
kluster industri agar tetap kompetitif.
b. Pemerintah Pusat. Pemerintah memiliki kewenangan dalam berbagai hal
yang memiliki dampak bagi kelangsungan industri kerajinan ukiran kayu di
daerah. Kewenangan tersebut meliputi kebijakan peraturan fiskal serta
pemilik (kawasan) hutan negara sebagai sumber bahan baku bagi industri
kayu nasional. Kebijakan fiskal meliputi penetapan pajak (pajak
pertambahan nilai, dan pajak ekspor produk kayu), kebijakan ekspor-impor,
dan penetapan kawasan industri bebas pajak, serta meletakkan dasar bagi
arah pemberdayaan industri nasional termasuk industri perkayuan.
c. Asosiasi Perajin Ukiran Kayu. Asosiasi pengusaha ini memiliki tujuan untuk
memajukan anggotanya dalam usaha. Peran asosiasi sangat di perlukan untuk
menyalurkan aspirasi yang muncul diantara para anggotanya, khusus yang
berada dalam lingkungan klusternya serta melakukan lobby kepada berbagai
pihak yang berwenang termasuk pemerintah daerah dan pusat serta pihak-
pihak non pemerintah.
d. Kamar Dagang dan Industri (KADIN). KADIN sebagai perwakilan dunia
usaha dalam memajukan industri memiliki peranan yang penting. Tugas
KADIN adalah mendukung kepentingan anggota dan menyediakan jasa-jasa
tertentu. Jasa-jasa yang diberikan antara lain pelatihan yang khusus dibuat
untuk industri ukiran, konsultasi bisnis dan teknologi, konsultasi masalah
perkreditan. Disamping itu KADIN bersama asosiasi dapat menyusun
program untuk meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan yang
146
tergabung dalam kluster serta mendorong terwujudnya kerjasama diantara
mereka.
e. Perguruan Tinggi. Peran Perguruan Tinggi adalah sebagai lembaga riset.
Oleh karena itu perajin ukiran kayu dapat secara kolektif mengadakan
kerjasama penelitian dengan berbagai universitas.
f. Lembaga Pendidikan dan Pelatihan. Peranan lembaga pelatihan perlu
ditingkatkan khususnya untuk memperkenalkan teknologi baru dalam rangka
difusi teknologi ukiran kayu dengan bekerjasama dengan pendanaan dari
pemerintah maupun swasta,begitu halnya kerjasama masih dibutuhkan
dengan asosiasi dan Kadin.
5.4 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten
Gianyar
Keberadaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar memiliki
peran penting dalam menyumbang perekonomian daerah. Potensi daerah yang
banyak ditopang oleh sektor pariwisata menjadikan industri kerajinan ukiran
memiliki posisi strategis dalam konstelasi persaingan industri yang semakin ketat
baik lokal maupun internasional. Maka dalam upaya untuk mengembangkan posisi
strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar, dibutuhkan analisis
mendalam mengenai faktor internal yang menjadi potensi atau kekuatan dan kendala
kelemahan industri serta peluang eksternal dan ancaman yang dapat mempengaruhi
eksistensi industri kerajinan ukiran kayu.
Analisis Strengths, Weakness, Opportunity dan Threats (SWOT) merupakan
teknik analisis yang dapat memetakan posisi strategis keberadaan industri kerajinan
ukiran kayu. Analisis SWOT adalah indentifikasi terhadap berbagai faktor secara
147
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan
pengambilan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti, 2000).
Pemetaan posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar mencakup 48 faktor dengan 25 (dua puluh lima) diantaranya faktor
internal, dan 23 (dua puluh tiga) faktor eksternal. Berikut adalah identifikasi faktor-
faktor posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
Faktor kekuatan dalam matrik SWOT mencakup beberapa komponen yang
menjadi kekuatan internal industri kerajinan ukiran kayu yaitu antara lain
keberadaan dalam kluster, ketersediaan tenaga kerja, stabilitas harga produk, adanya
pola kemitraan, keterampilan dan proses produksi yang sederhana, potensi pasar,
kualitas bahan baku dan fleksibilitas diversifikasi usaha. Di sisi lain industri
kerajinan ukiran memiliki beberapa kendala internal antara lain keterbatasan
aksesibilitas modal, penguasaan teknologi yang rendah dan kualitas manajerial
rendah, terbatasnya pasar dan masih rendahnya inovasi produk.
Sementara dari sisi eksternal, industri kerajinan ukiran kayu memiliki
beberapa peluang yaitu membaiknya kondisi perekonomian sehingga permintaan
semakin meningkat, adanya dukungan pemerintah dan peluang pasar internasional.
Di sisi lain ancaman juga akan dihadapi industri antara lain dinamika bisnis dan
perekonomian dan dinamika pasar global yang semakin cepat dan tanpa ada batas
antar negara.
148
Tabel 5.3
Diagram Matriks SWOT Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor Internal
Faktor Eksternal
STRENGHTS (S)
Faktor kekuatan internal:
1. Tergabung dalam klaster
2. Tenaga kerja melimpah &
murah
3. Pola kemitraan sudah ada
4. Ketrampilan kerja yang sudah
ada
5. Proses, sistem dan aliran
produksi sederhana
6. Potensi pemberdayaan pasar
7. Kualitas bahan baku
8. Lebih fleksibel dalam
mengganti jenis usaha
WEAKNESS (W)
Faktor kelemahan internal:
1. Kurangnya akses modal usaha
2. Penguasaan tekhnologi yang
rendah
3. Produksi tidak kontinyu
4. Kualitas SDM rendah
5. Akses informasi pasar kurang
6. Keterbatasan jangkauan pasar
7. Mutu produk sensitif terhadap
pasar
8. Kurangnya sistim informasi dan
dukungan litbang
9. Media Informasi belum maksimal
10. Produktifitas rendah
11. Etos kerja rendah
12. Profesional kerja rendah
13. Kemampuan manajerial yang
rendah
14. Non banking financing
15. Spesialisasi produk ketat
9. Rendahnya inovasi
16. Harga produk relatif berfluktuasi
OPPORTUNITIES (O)
Faktor peluang eksternal:
1. Perekonomian nasional semakin
membaik
2. Pendapatan masyarakat membaik
3. Infrastruktur komunikasi dan
informasi mudah dijangkau
4. Jumlah penduduk meningkat
5. Subsidi pemerintah bagi UKM
6. Dukungan pemerintah pada
UKM cukup tinggi
7. Permasaran Global
Strategi S-O
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan
peluang, yaitu:
“Strategi Meningkatkan Kualitas
dan Kapasitas Produksi Untuk
Perluasan Pasar”
Strategi W-O
Strategi yang minimalisir kelemahan
untuk memanfaatkan peluang:
“Strategi Peningkatan Intensitas
Pelatihan Untuk Spesialisasi Produk
dan Dukungan Modal Guna
Meningkatkan Kapasitas Produksi ”
THREATS (T)
Faktor tantangan eksternal:
1. Dinamika lingkungan bisnis
2. Jumlah pesaing meningkat
3. Harga fluktuatif
4. Susah masuk pasar
5. Kekuatan pemasok
6. Produk pesaing
7. Perubahan selera konsumen
8. Akses pasar terbatas
9. Perubahan tingkat bunga
10. Inflasi
11. Rendahnya mobilitas vertikal
12. Kondisi pasar tidak menentu
13. Berkembangnya industrialisasi
14. Pasar mendekati persaingan
sempurna
15. Persaingan global
Strategi S-T
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk mengatasi ancaman
“Strategi Peningkatan
ketrampilan dan Investasi Guna
Meningkatkan Kualitas dan
Kapasitas Produksi Untuk
Mencapai Effisiensi”
Strategi W-T
Strategi yang meminimalisir
kelemahan untuk mengatasi ancaman
“Strategi Penggunaan Tekhnologi
Tepat Guna dan Mendatangkan
Investor”
Sumber : Hasil olahan peneleiti, 2013
149
Melihat kondisi internal dan eksternal yang dihadapi industri kerajinan ukiran
kayu, maka dibutuhkan strategi pemberdayaan industri secara terpadu dan
komprehensif dalam upaya menjaga eksistensi potensi industri. Beberapa strategi
terpadu tersebut adalah (1) Strategi meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi
untuk perluasan pasar, (2) Strategi peningkatan intensitas pelatihan untuk
spesialisasi produk dan dukungan permodalan, (3) Strategi peningkatan ketrampilan
dan investasi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi untuk mencapai
efisiensi, (4) Strategi penggunaan tekhnologi tepat guna dan meningkatkan daya
tarik investasi.
Tabel 5.4
Hasil Analisis Faktor Internal
Komponen Faktor Internal Bobot Skor Nilai
Kekuatan
1 Tergabung dalam kluster 0,06 2,83 0,17
2 Tenaga kerja melimpah & murah 0,05 2,33 0,11
3 Harga produk relatif stabil 0,06 2,99 0,19
4 Pola kemitraan sudah ada 0,05 2,37 0,12
5 Ketrampilan kerja yang sudah ada 0,04 1,99 0,08
6 Proses, sistem dan aliran produksi sederhana 0,04 2,01 0,08
7 Potensi pemberdayaan pasar 0,06 2,71 0,15
8 Kualitas bahan baku 0,06 2,87 0,17
9 Lebih fleksibel dalam mengganti jenis usaha 0,04 2,13 0,09
Jumlah 0,47
1,17
Kelemahan
1 Kurangnya akses modal usaha 0.03 1.65 0.06
2 Penguasaan tekhnologi yang rendah 0.03 1.54 0.05
3 Produksi tidak kontinyu 0.03 1.53 0.05
4 Kualitas SDM rendah 0.03 1.48 0.05
5 Akses informasi pasar kurang 0.03 1.50 0.05
6 Keterbatasan jangkauan pasar 0.03 1.63 0.06
7 Mutu produk sensitif terhadap pasar 0.04 2.10 0.09
8 kurangnya sistim informasi dan dukungan litbang 0.04 1.90 0.08
9 Media Informasi belum maksimal 0.03 1.50 0.05
10 Produktifitas rendah 0.03 1.48 0.05
11 Etos kerja rendah 0.03 1.44 0.04
12 Profesional kerja rendah 0.03 1.53 0.05
13 Kemampuan manajerial yang rendah 0.03 1.59 0.05
14 Non banking financing 0.03 1.46 0.04
15 Spesialisasi produk ketat 0.04 1.84 0.07
16 Rendahnya inovasi 0.03 1.40 0.04
Jumlah 0.53
0.87
Selisih antara Faktor Kekuatan dan Kelemahan
0.31
Sumber: Hasil Penelitian, 2013
150
Berdasarkan hasil identifkasi posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu
bahwa faktor kekuatan yang dimiliki industri kerajinan ukiran kayu masih lebih
besar dibandingkan dengan kelemahan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
keberadaan industri kerajinan ukiran masih cukup potensial untuk terus
dikembangkan dengan kekuatan yang dimiliki antara lain dengan harga produk yang
cukup stabil dan tergabung dalam kluster industri dengan berusaha untuk
meminimalisir kelemahan terutama mutu produk.
Tabel 5.5
Hasil Analisis Faktor Eksternal
Komponen Faktor Eksternal Bobot Skor Nilai
Peluang
1 Perekonomian nasional semakin membaik 0,06 3,42 0,21
2 Pendapatan masyarakat membaik 0,06 3,29 0,19
3 Infrastruktur komunikasi dan informasi mudah dijangkau 0,06 3,08 0,17
4 Jumlah penduduk meningkat 0,05 2,58 0,12
5 Subsidi pemerintah bagi UKM 0,05 2,96 0,16
6 Dukungan pemerintah pada UKM cukup tinggi 0,05 2,92 0,15
7 UKM bisa bersaing dengan pasar dunia 0,05 3,05 0,17
Jumlah 0,38
1,16
Ancaman
1 Dinamika lingkungan bisnis 0,05 2,60 0,12
2 Jumlah pesaing meningkat 0,04 2,48 0,11
3 Harga fluktuatif 0,04 2,34 0,10
4 Susah masuk pasar 0,03 1,78 0,06
5 Kekuatan pemasok 0,05 2,61 0,12
6 Produk pesaing 0,05 2,57 0,12
7 Perubahan selera konsumen 0,04 2,48 0,11
8 Akses pasar terbatas 0,03 1,90 0,06
9 Perubahan tingkat bunga 0,03 1,92 0,07
10 Inflasi 0,03 1,73 0,05
11 Rendahnya mobilitas vertical 0,03 1,58 0,04
12 Kondisi pasar tidak menentu 0,03 1,63 0,05
13 Berkembangnya industrialisasi 0,04 2,52 0,11
14 Pasar mendekati persaingan sempurna 0,05 2,61 0,12
15 Lesunya perekonomian 0,03 1,67 0,05
16 Globalisasi 0,04 2,37 0,10
Jumlah 0,62
1,39
Selisih antara Peluang dan Ancaman
-0,23
Sumber: Hasil Penelitian, 2013
151
Berdasarkan hasil identifkasi posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu
bahwa faktor eksternal peluang yang dimiliki industri kerajinan ukiran kayu relative
masih besar walaupun memiliki skor nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan
faktor ancaman. Kondisi ini mengindikasikan bahwa industri kerajinan ukiran masih
dapat memanfaatkan peluang eksternal yang memberikan keuntungan bagi usaha
kerajinan ditengah ancaman yang juga harus dihadapi oleh industri kerajinan ukiran.
Beberapa peluang eksternal tersebut adalah dinamika perekonomian yang
cukup stabil sehingga secara ekonomis menjaga permintaan pasar dan stabilitas
harga bahan baku, peningkatan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan perbaikan
ekonomi, infrastruktur yang semakin baik dan semakin bersaingnya industri
kerajinan baik di pasar lokal maupun pasar global. Sementara ancaman yang
dihadapi industri kerajinan ukiran adalah dinamika bisnis yang semakin ketat,
persaingan yang semakin ketat, ketergantungan pada kontinuitas pemasok yang
cukup tinggi dan semakin beragamnya permintaan masyarakat terhadap inovasi
produk kerajinan ukiran kayu.
Kondisi internal dan eksternal yang dihadapi industri kerajinan ukiran kayu
menuntut pentingnya strategi pemberdayaan usaha yang komprehensif dan integratif
yang bukan hanya untuk mencapai tujuan jangka pendek yaitu keuntungan usaha
namun juga tujuan jangka panjang yaitu kontinuitas usaha baik produksi dan pasar.
Berdasarkan hasil pemetaan secara umum posisi strategis industri dalam matrik
SWOT diperoleh hasil bahwa keberadaan industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar adalah pada kuadran II yang ditunjukkan dengan nilai faktor
internal adalah 0,31 dan faktor eksternal -0,23. Posisi industri pada kuadran II
menandakan industri cukup kuat namun menghadapi tantangan yang cukup besar.
152
Maka strategi diversifikasi dapat diberlakukan dalam merespon posisi masa depan
industri kerajinan ukiran kayu. Industri dalam kondisi mantap namun menghadapi
sejumlah tantangan berat sehingga diperkirakan roda usaha akan mengalami
tantangan untuk terus berputar apabila hanya bertumpu pada strategi yang
sebelumnya. Oleh karena itu industri perlu memperbanyak ragam strategi taktis.
Faktor Internal
Kuat
1,00
Lemah
-1,00
Tinggi
1,00
Faktor Eksternal
-1,00
Strategi Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Produksi Untuk Perluasan
Pasar”
(Kuadran I)
“Strategi Peningkatan
Intensitas Pelatihan Untuk
Spesialisasi Produk dan
Dukungan Modal Guna
Meningkatkan Kapasitas
Produksi ”
(Kuadran IV)
“Strategi Peningkatan
Ketrampilan dan Investasi
Guna Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Produksi Untuk Mencapai
Effisiensi”
(Kuadran II)
“Strategi Penggunaan
Tekhnologi Tepat Guna dan
Mendatangkan Investor”
(Kuadran III)
Gambar 5.7
Model Strategi Pemberdayaan Industri Ukir di Kabupaten Gianyar
Sumber: Hasil Penelitian diolah, 2013
Gambar 5.7 menunjukkan hasil analisis faktor internal dan eksternal masing-
masing menunjukkan nilai 0,31 dan -0,23, yang mengindikasikan pada strategi
peningkatan ketrampilan dan investasi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas
produksi untuk mencapai effisiensi. Peningkatan kualitas dan kapasitas produksi
dapat dicapai dengan dukungan pemerintah melalui pendampingan, pelatihan dan
bantuan pinjaman modal. Hal ini juga membutuhkan dukungan perbankan untuk
meningkatkan jumlah investasi melalui pinjaman dengan bunga ringan atau
menghubungkan perajin dengan investor dari luar daerah, seperti kerjasama
Skor IFAS = 0,31
Skor EFAS = -0,23
153
perdagangan untuk meingkatkan kapasitas produksi untuk mencapai efisiensi
produksi.
5.5 Analytical Hierarchy Process ( AHP ) Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar menjadi salah satu
potensi terbesar dalam mendukung perkembangan pariwisata di Provinsi Bali. Bila
dibandingkan dengan industri kerajinan lainnya, industri kerajinan ukiran kayu
dipandang cukup prospektif dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi dan dapat
menjadi daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi daerah khususnya Kabupaten
Gianyar. Maka tidak dapat dipungkiri, industri kerajinan ukiran kayu dijadikan
sebagai produk unggulan daerah strategis yang diharapkan memiliki daya saing baik
lokal, nasional maupun internasional. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa
pemberdayaan potensi industri kerajinan ukiran kayu menjadi agenda penting baik
bagi pemerintah daerah maupun pelaku usaha terkait.
Hasil pemetaan posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu dengan
menggunakan analisis SWOT berada pada skenario yang cukup optimis meskipun
diperlukan adanya upaya pemberdayaan secara lebih intensif dan berdaya guna
dalam menghadapi berbagai tantangan terutama seiring dengan dinamisasi
perekonomian dan lingkungan bisnis yang bahkan tanpa ada batas antar wilayah dan
negara. Proyeksi masa depan pemberdayaan usaha kecil menengah khususnya
industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar ditentukan oleh beberapa
strategi dalam pengelolaan keuangan, strategi dalam pemberdayaan sumberdaya
manusia, strategi dalam manajemen produksi, strategi pemasaran dan strategi
pelayanan publik. Berikut adalah struktur hirarki pemberdayaan kerajinan ukiran
kayu di Kabupaten Gianyar.
154
Gambar 5.8
Struktur Hirarki Proyeksi Pemberdayaan
Industri Kecil Kerajinan Ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Proyeksi pemberdayaan kerajinan ukiran kayu menggunakan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan responden sejumlah tujuh orang yang
dianggap expert dalam pemberdayaan industri kerajinan. Berikut adalah nama
responden sebagai sampel dalam analisis AHP.
Proyeksi Pemberdayaan Industri
Kerajinan Kayu Ukir
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM
Strategi
Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pengelolaan
Kredit
Perbankan
Pendidikan &
Pelatihan
Pemasaran lokal
Saleable
Masterplan
Pelayanan
Publik
Lay out
produksi
Sistem Reward
& Punishment
Penelitian
Pasar
Fasilitas
Pameran dan
Kontak
Dagang di
Dalam dan
Luar Negeri
E-marketing
Teknologi
produksi Sistem
Penggajian
Formula
Bahan Baku
Standarisasi
Produk
Design &
inovasi
produk
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Proses Hak
Paten Produk
Optimis Status Quo Pesimis
Pembinaan Harga pokok
produksi
155
Tabel 5.6
Daftar Responden Sampel dalam Analisis AHP
No. Nama Instansi Jabatan
1. I Nyoman Tekek PT. Galeri Manis Eksportir
2. Drs. Ketut Pradnya PT. Bali Seraya/Seraya
Bali Style Perajin/Direktur
3. Drs. Gede Widarma
Suharta, MM
Disperindag Kabupaten
Gianyar Kepala Dinas
4. I Made Sudarta PT Jamkrida Bali
Mandara
Klaim dan
Subrogasi
5. Ir. I Wayan Gede Arsania Kadin Kabupaten
Gianyar
Ketua Kadin
Kabupaten
Gianyar
6. I Wayan Ardana, SH Dinas Koperasi Usaha
Kecil dan Menengah Kepala Dinas
7. I Ketut Darta, SH Disperindag Provinsi
Bali
Kepala Bidang
Industri Agro
Sumber : Hasil Penelitian diolah 2013
Teknik analisis data dengan menggunakan AHP diawali dengan melakukan
tabulasi hasil persepsi tujuh responden melalui rata-rata geometrik yaitu nilai sentral
yang dianggap mewakili nilai seluruh data yang diperoleh dari perkalian kualifikasi
persepsi antar responden dan dicari pangkat dari jumlah responden (Spiegel, 1999).
A. Perhitungan Level Pertama
Perhitungan bobot level pertama meliputi faktor strategi pengelolaan
keuangan, pemberdayaan sumberdaya manusia, pemasaran, manajemen produksi
dan pelayanan publik. Langkah awal adalah membentuk matrik perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi
responden. Berikut adalah matrik perbandingan berpasangan.
156
Tabel 5.7
Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Pengelolaan
Keuangan 1,0000 0,3895 0,1979 0,7226 2,4468
Pemberdayaan
SDM 2,5673 1,0000 0,6963 1,0378 2,7921
Pemasaran 5,0524 1,4361 1,0000 1,7876 4,6400
Manajemen
Produksi 1,3839 0,9636 0,5594 1,0000 2,6320
Pelayanan
Publik 0,4087 0,3581 0,2155 0,3799 1,0000
Jumlah 10,4122 4,1474 2,6692 4,9279 13,5109
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Matrik perbandingan berpasangan menunjukkan tingkat kepentingan setiap
faktor terhadap faktor lainnya. Misalnya nilai 0,39 menunjukkan persepsi responden
yang menganggap bahwa faktor pemberdayaan sumberdaya manusia (SDM) lebih
prioritas dibandingkan dengan pengelolaan keuangan. Aksioma resiprocal
comparison menjadikan nilai matrik antara faktor pemberdayaan sumberdaya
manusia dengan pengelolaan keuangan adalah 1/0,39 yaitu 2,57.
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
157
Tabel 5.8
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Pengelolaan
Keuangan 0,0960 0,0939 0,0742 0,1466 0,1811
Pemberdayaan
SDM 0,2466 0,2411 0,2609 0,2106 0,2067
Pemasaran 0,4852 0,3463 0,3746 0,3628 0,3434
Manajemen
Produksi 0,1329 0,2323 0,2096 0,2029 0,1948
Pelayanan
Publik 0,0393 0,0864 0,0807 0,0771 0,0740
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang menjadi bobot global dari tiap vektor.
Tabel 5.9
Matrik Priority Vector
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik Jumlah
Pengelolaan
Keuangan 0,0960 0,0939 0,0742 0,1466 0,1811 0.5918
Pemberdayaan
SDM 0,2466 0,2411 0,2609 0,2106 0,2067 1.1658
Pemasaran 0,4852 0,3463 0,3746 0,3628 0,3434 1.9123
Manajemen
Produksi 0,1329 0,2323 0,2096 0,2029 0,1948 0.9726
Pelayanan
Publik 0,0393 0,0864 0,0807 0,0771 0,0740 0.3575
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Sehingga nilai eigen vector atau bobot global tiap kriteria adalah.
158
Tabel 5.10
Bobot Gobal Level Pertama
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor Bobot Ranking
Pemasaran 0,3825 1
Pemberdayaan SDM 0,2332 2
Manajemen Produksi 0,1945 3
Pengelolaan Keuangan 0,1184 4
Pelayanan Publik 0,0715 5
Keterangan : Rasio konsistensi 0,0246
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap faktor, diperoleh hasil
bahwa strategi pemasaran menjadi faktor prioritas yang menentukan prospek
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar dengan bobot 0,3825 dan diikuti oleh
pemberdayaan sumberdaya manusia 0,2332, pengelolaan produksi 0,1945,
pengelolaan keuangan 0,1184 dan pelayanan publik 0,0715 dengan rasio konsistensi
kurang dari 10 persen yaitu 0,0246 yang berarti jawaban responden cukup konsisten.
Seperti ditunjukkan dalam Grafik 5.7
00,05
0,10,15
0,20,25
0,30,35
0,4
0,383
0,233 0,1950,118
0,018
Gambar 5.9
Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
159
Penentuan kontinuitas industri kerajinan bukan hanya di tentukan dari
kondisi hulu mulai penyediaan input hingga proses produksi namun yang tak kalah
penting adalah adanya ketersediaan pasar produk kerajinan kayu baik dalam skala
lokal, nasional maupun internasional. Promosi merupakan salah satu aspek penting
dalam pemasaran terutama memberikan informasi pada pasar mengenai produk yang
dijual.
B. Perhitungan Level Kedua
Perhitungan pada level kedua dengan menggunakan langkah yang sama
seperti pada level pertama untuk tiap kriteria pada level. Level kedua adalah sub
faktor dari faktor-faktor pada level pertama.
B.1 Strategi Pengelolaan Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk perbandingan berpasangan (Pairwise
comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk sub faktor
strategi pengelolaan keuangan.
Tabel 5.11.
Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor
Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan Pengelolaan
Harga Pokok
Penjualan
Kredit
perbankan
Pengelolaan 1,0000 1,0505 2,2186
Harga Pokok
Produksi 0,9520 1,0000 1,8964
Kredit Perbankan 0,4507 0,5273 1,0000
Jumlah 2,4027 2,5778 5,1150
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
160
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
Tabel 5.12.
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan Harga Pokok
Penjualan
Kredit
perbankan
Pengelolaan 0,4162 0,4075 0,4337
Harga Pokok Produksi 0,3962 0,3879 0,3707
Kredit Perbankan 0,1876 0,2046 0,1955
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.13.
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan Harga Pokok
Penjualan
Kredit
perbankan Jumlah
Pengelolaan 0,4162 0,4075 0,4337 1,2575
Harga Pokok Produksi 0,3962 0,3879 0,3707 1,1549
Kredit Perbankan 0,1876 0,2046 0,1955 0,5877
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
161
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
ini adalah strategi pengelolaan keuangan yaitu 0,1184. Berikut adalah hasil
perhitungan bobot global untuk sub faktor pengelolaan keuangan.
Tabel 5.14.
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Sub Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pengelolaan 0,4192 0,0496 1
Harga Pokok Produksi 0,3850 0,0456 2
Kredit Perbankan 0,1959 0,0232 3
Keterangan : Rasio konsistensi 0,0011
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa pengelolaan arus kas menjadi faktor prioritas dalam strategi pengelolaan
keuangan yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
dengan bobot 0,0496 dan diikuti oleh penentuan harga pokok penjualan 0,0456, dan
kredit perbankan 0,0232 dengan rasio konsistensi kurang dari 10 persen yaitu 0,0011
yang berarti jawaban responden cukup konsisten.
39%
36%
25%
Manejemn Keuangan
Harga Pokok Produksi
Akses Kredit Perbankan
Gambar 5.10
Strategi Pengelolaan Keuangan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
162
Pengelolaan arus kas usaha menjadi penentu kelancaran dan kontinuitas
proses produksi industri kerajinan ukiran kayu. Manajemen arus kas terletak pada
capaian sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran. Oleh karena itu penentuan
harga pokok produksi akan mempengaruhi harga jual produk sehingga menjadi lebih
kompetitif dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain pengelolaan kas internal,
penyediaan sumber pembiayaan keuangan eksternal berupa kredit dari lembaga
keuangan menjadi sangat penting dalam memperkuat eksistensi permodalan usaha.
B.2 Strategi Pemberdayaan Sumberdaya Manusia
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
pemberdayaan sumberdaya manusia (SDM), dengan langkah yang sama dengan
perhitungan sub faktor strategi pengelolaan keuangan. Langkah pertama adalah
membentuk perbandingan berpasangan (Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata
geometrik persepsi responden untuk strategi pemberdayaan SDM.
Tabel 5.15
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan
SDM
Pendidikan dan
Pelatihan Sistem Penggajian
Sistem Reward
dan Punishment
Pendidikan dan
Pelatihan 1,0000 3,0367 0,7573
Sistem Penggajian 0,3293 1,0000 1,8734
Sistem Reward dan
Punishment 1,3205 0,5338 1,0000
Jumlah 2,6498 4,5705 3,6308
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
163
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
Tabel 5.16
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM Pendidikan
dan Pelatihan
Sistem
Penggajian
Sistem Reward
dan
Punishment
Pendidikan dan
Pelatihan 0,3774 0,6644 0,2086
Sistem Penggajian 0,1243 0,2188 0,5160
Sistem Reward dan
Punishment 0,4983 0,1168 0,2754
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.17
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM Pendidikan
dan Pelatihan
Sistem
Penggajian
Sistem
Reward dan
Punishment Jumlah
Pendidikan dan
Pelatihan 0,3774 0,6644 0,2086 1,2504
Sistem Penggajian 0,1243 0,2188 0,5160 0,8591
Sistem Reward dan
Punishment 0,4983 0,1168 0,2754 0,8905
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
164
ini adalah strategi pemberdayaan SDM yaitu 0,2332. Berikut adalah hasil
perhitungan bobot global untuk sub faktor pemberdayaan SDM.
Tabel 5.18
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pendidikan dan
Pelatihan 0.4168 0.0972 1
Sistem Reward dan
Punishment 0.2968 0.0692 2
Sistem Penggajian 0.2864 0.0668 3
Keterangan : Rasio konsistensi 0,4069
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa pendidikan dan pelatihan menjadi faktor prioritas dalam strategi
pemberdayaan SDM yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar dengan bobot 0,0972 dan diikuti oleh sistem reward dan punishment
0,0692, dan sistem penggajian 0,0668. Seperti gambar berikut ini.
Gambar 5.11
Strategi Pemberdayaan Sumberdaya Manusia
Industri Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
165
B.3 Strategi Pemasaran
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
pemasaran, dengan langkah yang sama dengan perhitungan sub faktor pada faktor
sebelumnya. Langkah pertama adalah membentuk perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk
sub faktor strategi pemasaran.
Tabel 5.19
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemasaran
Pemasaran Pemasaran
Lokal
Saleable
Masterplan E-Marketing
Pemasaran Lokal 1,0000 1,6097 0,6991
Saleable
Masterplan 0,6212 1,0000 0,4219
E-Marketing 1,4304 2,3700 1,0000
Jumlah 3,0516 4,9797 2,1211
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
166
Tabel 5.20
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Pemasaran
Pemasaran Pemasaran
Lokal
Saleable
Masterplan E-Marketing
Pemasaran Lokal 0,3277 0,3232 0,3296
Saleable Masterplan 0,2036 0,2008 0,1989
E-Marketing 0,4687 0,4759 0,4715
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.21
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemasaran
Pemasaran Pemasaran
Lokal
Saleable
Masterplan E-Marketing Jumlah
Pemasaran Lokal 0,3277 0,3232 0,3296 0,9806
Saleable Masterplan 0,2036 0,2008 0,1989 0,6033
E-Marketing 0,4687 0,4759 0,4715 1,4161
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
ini adalah strategi pemasaran yaitu 0,3825. Berikut adalah hasil perhitungan bobot
global untuk sub faktor strategi pemasaran.
167
Tabel 5.22
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
E-Marketing 0,4720 0,1805 1
Pemasaran Lokal 0,3269 0,1250 2
Saleable Masterplan 0,2011 0,0769 3
Keterangan : Rasio Konsistensi 0,0001
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa e-marketing menjadi faktor prioritas dalam strategi pemasaran yang
menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar dengan bobot
0,1805 dan diikuti oleh pemasaran lokal 0,1250, dan saleable masterplan 0,0769
dengan rasio konsistensi kurang dari 10 persen. Teknik pemasaran melalui media
elektronik menjadi pilihan prioritas dibandingkan dengan pemasaran lokal dan
rencana induk penjualan atau saleable masterplan. Media elektronik dianggap
sebagai media paling efektif sejalan dengan semakin berkembangnya teknologi
informasi.
47%
33%
20%
E.Marketing
Pemasaran Lokal
Saleable Master Plan
Gambar 5.12
Strategi Pemasaran Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
168
B.4 Strategi Manajemen Produksi
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
manajemen produksi, dengan langkah yang sama dengan perhitungan sub faktor
pada faktor sebelumnya. Langkah pertama adalah membentuk perbandingan
berpasangan (Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik responden.
Tabel 5.23
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi
Manajemen
Produksi
Layout
Produksi
Teknologi
Produksi
Formula
Bahan
Baku
Desain
dan
Inovasi
Produk
Standarisasi
Produk
Layout Produksi 1,0000 0,3753 0,8246 0,1464 0,2776
Teknologi Produksi 2,6642 1,0000 1,2724 0,2742 1,5341
Formula Bahan
Baku 1,2127 0,7859 1,0000 0,3019 0,3665
Desain dan Inovasi
Produk 6,8317 3,6466 3,3124 1,0000 1,7897
Standarisasi Produk 3,6025 0,6518 2,7282 0,5588 1,0000
Jumlah 15,3112 6,4597 9,1376 2,2813 4,9679
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik dengan
membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh nilai 1
(satu).
169
Tabel 5.24
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Manajemen Produksi
Manajemen Produksi Layout
Produksi
Teknologi
Produksi
Formula
Bahan
Baku
Desain dan
Inovasi
Produk
Standarisasi
Produk
Layout Produksi 0,0653 0,0581 0,0902 0,0642 0,0559
Teknologi Produksi 0,1740 0,1548 0,1392 0,1202 0,3088
Formula Bahan Baku 0,0792 0,1217 0,1094 0,1323 0,0738
Desain dan Inovasi
Produk 0,4462 0,5645 0,3625 0,4384 0,3602
Standarisasi Produk 0,2353 0,1009 0,2986 0,2449 0,2013
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.25
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi
Manajemen
Produksi
Layout
Produksi
Teknologi
Produksi
Formula
Bahan
Baku
Desain
dan
Inovasi
Produk
Standarisasi
Produk Jumlah
Layout
Produksi
0,0653
0,0581 0,0902 0,0642 0,0559 0,3337
Teknologi
Produksi 0,1740 0,1548 0,1392 0,1202 0,3088 0,8971
Formula
Bahan Baku 0,0792 0,1217 0,1094 0,1323 0,0738 0,5164
Desain dan
Inovasi
Produk
0,4462 0,5645 0,3625 0,4384 0,3602 2,1718
Standarisasi
Produk 0,2353 0,1009 0,2986 0,2449 0,2013 1,0810
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
170
ini adalah strategi pemasaran yaitu 0,1945. Berikut adalah hasil perhitungan bobot
global untuk sub faktor strategi manajemen produksi.
Tabel 5.26
Bobot Global Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Desain dan Inovasi Produk 0.4344 0.0845 1
Teknologi Produksi 0.1794 0.0349 2
Formula Bahan Baku 0.1033 0.0201 3
Standarisasi Produk 0.2162 0.0155 4
Layout Produksi 0.0667 0.0130 5
Keterangan : Rasio Konsistensi 0,2279
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa desain dan inovasi produk menjadi faktor prioritas dalam strategi manajemen
produksi yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
dengan bobot 0,0845 dan diikuti oleh teknologi produksi 0,0349, formula bahan
baku 0,0201, standarisasi produk 0,0155 dan layout produksi 0,0130. Manajemen
produksi merupakan bagian manajemen yang memiliki peran penting dalam
koordinasi berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan usaha. Manajemen produksi
menyangkut pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proses produksi dalam
mencapai tujuan agar barang dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan yang
direncanakan. Seperti gambar berikut.
171
Gambar 5.13
Strategi Manajemen Produksi Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
B.5 Strategi Pelayanan Publik
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
pelayanan publik, dengan langkah yang sama dengan perhitungan sub faktor pada
faktor sebelumnya. Langkah pertama adalah membentuk perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk
sub faktor strategi manajemen produksi.
Tabel 5.27
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik
Pelayanan Publik Penelitian
Pasar Pembinaan
Fasilitas
Pameran dan
Kontak Dagang
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Hak Paten
Penelitian Pasar 1,0000 0,3621 0,2846 0,3016
Pembinaan 2,7616 1,0000 0,2344 2,3908
Fasilitas Pameran
dan Kontak Dagang 3,5139 4,2663 1,0000 4,5338
Sosialisasi dan
Fasilitasi Hak Paten 3,3161 0,4183 0,2206 1,0000
Jumlah 10,5917 6,0467 1,7395 8,2261
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
172
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
Tabel 5.28
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Pelayanan Publik
Pelayanan Publik Penelitian
Pasar Pembinaan
Fasilitas
Pameran dan
Kontak Dagang
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Hak Paten
Penelitian Pasar 0,0944 0,0599 0,1636 0,0367
Pembinaan 0,2607 0,1654 0,1347 0,2906
Fasilitas Pameran
dan Kontak Dagang 0,3318 0,7056 0,5749 0,5511
Sosialisasi dan
Fasilitasi Hak Paten 0,3131 0,0692 0,1268 0,1216
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.29
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik
Pelayanan Publik Penelitian
Pasar Pembinaan
Fasilitas
Pameran dan
Kontak
Dagang
Sosialisasi
dan
Fasilitasi
Hak Paten
Jumlah
Penelitian Pasar 0,0944 0,0599 0,1636 0,0367 0,3546
Pembinaan 0,2607 0,1654 0,1347 0,2906 0,8515
Fasilitas Pameran dan
Kontak Dagang 0,3318 0,7056 0,5749 0,5511 2,1633
Sosialisasi dan
Fasilitasi Hak Paten 0,3131 0,0692 0,1268 0,1216 0,6306
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
173
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global global dengan mengalikan
bobot lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama
dalam hal ini adalah strategi pemasaran yaitu 0,0715.
Tabel 5.30
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Fasilitas Pameran dan
Kontak Dagang 0,5408 0,0387 1
Pembinaan 0,2129 0,0152 2
Sosialisasi dan Fasilitasi
Hak Paten 0,1577 0,0113 3
Penelitian Pasar 0,0886 0,0063 4
Keterangan : Rasio Konsistensi 0,1316
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa fasilitas pameran dan kontak dagang baik di dalam maupun luar negeri
menjadi faktor prioritas dalam strategi pelayanan publik yang menentukan prospek
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar dengan bobot 0,0387 dan diikuti oleh
pembinaan pada perajin dalam pemberdayaan inovasi produk 0,0152, sosialisasi dan
fasilitasi proses hak paten produk 0,0113 dan penelitian pasar 0,0063. Seperti
gambar berikut ini.
Gambar 5.14
Strategi Pelayanan Publik Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar Sumber : Hasil Penelitian, 2013
174
C. Perhitungan Level Alternatif
Langkah terakhir adalah menghitung bobot global dari alternatif strategi
pemberdayaan usaha kerajinan ukir di Kabupaten Gianyar. Strategi dalam
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu meliputi beberapa skenario yaitu
skenario optimis, status quo dan pesimis.
C.1 Sub Faktor Pengelolaan Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor pengelolaan keuangan.
Tabel 5.31
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,9143 6,2056
Status Quo 0,1691 1,0000 4,1062
Pesimis 0,1611 0,2435 1,0000
Jumlah 1,3302 7,1579 11,3118
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
175
Tabel 5.32
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7518 0,8263 0,5486 2,1266
Status Quo 0,1271 0,1397 0,3630 0,6298
Pesimis 0,1211 0,0340 0,0884 0,2436
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor pengelolaan keuangan yaitu
0,0496. Berikut adalah hasil perhitungan bobot global untuk sub faktor strategi
pemasaran.
Tabel 5.33
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Pengelolaan Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7089 0,0352 1
Status Quo 0,2099 0,0104 2
Pesimis 0,0812 0,0040 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.2 Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor harga pokok produksi.
176
Tabel 5.34
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Harga Pokok
Produksi Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,7515 5,1112
Status Quo 0,2105 1,0000 3,0000
Pesimis 0,1957 0,3333 1,0000
Jumlah 1,4061 6,0848 9,1112
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.35
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Harga Pokok
Produksi Optimis
Status
Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7112 0,7809 0,5610 2,0530
Status Quo 0,1497 0,1643 0,3293 0,6433
Pesimis 0,1391 0,0548 0,1098 0,3037
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor harga pokok produksi yaitu
0,0456.
177
Tabel 5.36
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6843 0,0312 1
Status Quo 0,2144 0,0098 2
Pesimis 0,1012 0,0046 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.3 Kredit Perbankan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor kredit perbankan.
Tabel 5.37
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Kredit Perbankan
Kredit Perbankan Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,1062 4,4171
Status Quo 0,2435 1,0000 2,1918
Pesimis 0,2264 0,4562 1,0000
Jumlah 1,4699 5,5625 7,6089
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
178
Tabel 5.38
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Kredit Perbankan
Kredit Perbankan Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6803 0,7382 0,5805 1,9990
Status Quo 0,1657 0,1798 0,2881 0,6335
Pesimis 0,1540 0,0820 0,1314 0,3675
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor kredit perbankan yaitu 0,0232.
Tabel 5.39
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Kredit Perbankan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6663 0,0155 1
Status Quo 0,2112 0,0049 2
Pesimis 0,1225 0,0028 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.4 Pendidikan dan Pelatihan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor pendidikan dan pelatihan.
179
Tabel 5.40
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan
Pelatihan Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 51112 5,3256
Status Quo 0,1957 1,0000 2,1918
Pesimis 0,1878 0,4562 1,0000
Jumlah 1,3834 6,5674 8,5174
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal alternatif.
Tabel 5.41
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Penelitian dan Pelatihan
Pendidikan dan
Pelatihan Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7228 0,7783 0,6253 2,1264
Status Quo 0,1414 0,1523 0,2573 0,5510
Pesimis 0,1357 0,0695 0,1174 0,3226
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor pendidikan dan pelatihan yaitu
0,0972.
180
Tabel 5.42
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Penelitian dan Pelatihan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7088 0,0689 1
Status Quo 0,1837 0,0178 2
Pesimis 0,1075 0,0105 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.5 Sistem Penggajian
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan matrik
berpasangan (Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik
persepsi responden untuk sub faktor sistem penggajian.
Tabel 5.43
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Penggajian
Sistem Penggajian Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,1062 4,4171
Status Quo 0,2435 1,0000 2,1918
Pesimis 0,2264 0,4562 1,0000
Jumlah 1,4699 5,5625 7,6089
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
181
Tabel 5.44
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Penggajian
Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6803 0,7382 0,5805 1,9990
Status Quo 0,1657 0,1798 0,2881 0,6335
Pesimis 0,1540 0,0820 0,1314 0,3675
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor sistem penggajian yaitu
0,0668.
Tabel 5.45
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Penggajian
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6663 0,0445 1
Status Quo 0,2112 0,0141 2
Pesimis 0,1225 0,0082 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.6 Sistem Reward dan Punishment
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor sistem reward dan punishment.
182
Tabel 5.46
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Reward dan Punishment
Sistem Reward dan
Punishment Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,1112 4,4171
Status Quo 0,1957 1,0000 1,8734
Pesimis 0,2264 0,5338 1,0000
Jumlah 1,4220 6,6449 7,2905
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal alternatif.
Tabel 5.47
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Reward dan Punishment
Sistem Reward dan
Punishment Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7032 0,7692 0,6059 2,0783
Status Quo 0,1376 0,1505 0,2570 0,5450
Pesimis 0,1592 0,0803 0,1372 0,3767
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor sistem reward dan punishment
yaitu 0,0692.
183
Tabel 5.48
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Reward dan Punishment
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6928 0,0479 1
Status Quo 0,1817 0,0126 2
Pesimis 0,1256 0,0087 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.7 Pemasaran Lokal
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk
sub faktor pemasaran lokal.
Tabel 5.49
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pemasaran Lokal
Pemasaran Lokal Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,9143 5,9143
Status Quo 0,1691 1,0000 2,1918
Pesimis 0,1691 0,4562 1,0000
Jumlah 1,3382 7,3706 9,1061
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
184
Tabel 5.50
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Pemasaran Lokal
Pemasaran Lokal Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7473 0,8024 0,6495 2,1992
Status Quo 0,1264 0,1357 0,2407 0,5027
Pesimis 0,1264 0,0619 0,1098 0,2981
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal alternatif dengan bobot global sub faktor pemasaran lokal yaitu 0,1250.
Tabel 5.51
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Pemasaran Lokal
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7331 0,0916 1
Status Quo 0,1676 0,0209 2
Pesimis 0,0994 0,0124 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.8 Saleable Masterplan
Langkah pertama adalah matrik membentuk perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor saleable masterplan.
Tabel 5.52
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Saleable Masterplan
Saleable
Masterplan Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,6269 6,3509
Status Quo 0,1777 1,0000 2,1918
Pesimis 0,1575 0,4562 1,0000
Jumlah 1,3352 7,0832 9,5427
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
185
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.53
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Saleable Masterplan
Saleable Masterplan Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7490 0,7944 0,6655 2,2089
Status Quo 0,1331 0,1412 0,2297 0,5040
Pesimis 0,1179 0,0644 0,1048 0,2871
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor saleable masterplan yaitu
0,0769.
Tabel 5.54
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7363 0,0566 1
Status Quo 0,1680 0,0129 2
Pesimis 0,0957 0,0074 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.9 E-Marketing
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor e-marketing.
186
Tabel 5.55
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor E-Marketing
Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,2309 5,3628
Status Quo 0,1912 1,0000 2,3577
Pesimis 0,1865 0,4241 1,0000
Jumlah 1,3776 6,6551 8,7206
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.56
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor E-Marketing
E-Marketing Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7259 0,7860 0,6150 2,1269
Status Quo 0,1388 0,1503 0,2704 0,5594
Pesimis 0,1354 0,0637 0,1147 0,3138
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor e-marketing yaitu 0,1805.
187
Tabel 5.57
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0.7090 0.1280 1
Status Quo 0.1865 0.0337 2
Pesimis 0.1046 0.0189 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.10 Layout Produksi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor layout produksi.
Tabel 5.58
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Sub Faktor Layout Produksi
Layout Produksi Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,2613 4,7515
Status Quo 0,2347 1,0000 2,1918
Pesimis 0,2105 0,4562 1,0000
Jumlah 1,4451 5,7175 7,9433
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
188
Tabel 5.59
Matrik Priority Vector Alternatif
Sub Faktor Layout Produksi
Layout Produksi Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6920 0,7453 0,5982 2,0355
Status Quo 0,1624 0,1749 0,2759 0,6132
Pesimis 0,1456 0,0798 0,1259 0,3513
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot sub faktor layout produksi yaitu 0,0130.
Tabel 5.60
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Layout Produksi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0.6785 0.0088 1
Status Quo 0.2044 0.0027 2
Pesimis 0.1171 0.0015 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.11 Teknologi Produksi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor teknologi produksi.
Tabel 5.61
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Sub Faktor Teknologi Produksi
Teknologi Produksi Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,3042 5,3628
Status Quo 0,1885 1,0000 2,3577
Pesimis 0,1865 0,4241 1,0000
Jumlah 1,3750 6,7283 8,7206
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
189
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.62
Matrik Priority Vector Alternatif
Sub Faktor Teknologi Produksi
Teknologi Produksi Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7273 0,7883 0,6150 2,1306
Status Quo 0,1371 0,1486 0,2704 0,5561
Pesimis 0,1356 0,0630 0,1147 0,3133
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor teknologi produksi yaitu
0,0349.
Tabel 5.63
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Teknologi Produksi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7102 0,0248 1
Status Quo 0,1854 0,0065 2
Pesimis 0,1044 0,0036 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.12 Formula Bahan Baku
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor formula bahan baku.
190
Tabel 5.64
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Formula Bahan Baku
Formula Bahan
Baku Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,3688 4,8096
Status Quo 0,2289 1,0000 2,3577
Pesimis 0,2079 0,4241 1,0000
Jumlah 1,4368 5,7929 8,1673
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.65
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Formula Bahan Baku
Formula Bahan
Baku Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6960 0,7542 0,5889 2,0390
Status Quo 0,1593 0,1726 0,2887 0,6206
Pesimis 0,1447 0,0732 0,1224 0,3404
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor formula bahan baku yaitu
0,0201.
191
Tabel 5.66
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Formula Bahan Baku
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6797 0,0137 1
Status Quo 0,2069 0,0042 2
Pesimis 0,1135 0,0023 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.13 Desain dan Inovasi Produk
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor desain dan inovasi produk.
Tabel 5.67
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Desain dan Inovasi Produk
Desain dan Inovasi Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,9143 5,7688
Status Quo 0,1691 1,0000 2,3577
Pesimis 0,1733 0,4241 1,0000
Jumlah 1,3424 7,3385 9,1266
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
192
Tabel 5.68
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Desain dan Inovasi Produk
Desain dan Inovasi
Produk Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7449 0,8059 0,6321 2,1829
Status Quo 0,1260 0,1363 0,2583 0,5206
Pesimis 0,1291 0,0578 0,1096 0,2965
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor yaitu 0,0845.
Tabel 5.69
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7276 0,0615 1
Status Quo 0,1735 0,0147 2
Pesimis 0,0988 0,0084 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.14 Standarisasi Produk
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor standarisasi produk.
Tabel 5.70
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Standarisasi Produk
Standarisasi
Produk Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 5,7058 5,3628
Status Quo 0,1753 1,0000 2,1918
Pesimis 0,1865 0,4562 1,0000
Jumlah 1,3617 7,1620 8,5546
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
193
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.71
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Standarisasi Produk
Standarisasi Produk Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7344 0,7967 0,6269 2,1579
Status Quo 0,1287 0,1396 0,2562 0,5245
Pesimis 0,1369 0,0637 0,1169 0,3175
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor standarisasi produk yaitu
0,0155.
Tabel 5.72
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Standarisasi Produk
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,7193 0,0111 1
Status Quo 0,1748 0,0027 2
Pesimis 0,1058 0,0016 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
194
C.15 Penelitian Pasar
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor penelitian pasar.
Tabel 5.73
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Penelitian Pasar
Penelitian Pasar Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,2613 4,7515
Status Quo 0,2347 1,0000 2,3577
Pesimis 0,2105 0,4241 1,0000
Jumlah 1,4451 5,6854 8,1092
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.74
Matrik Priority Vector Alternatif
Sub Faktor Penelitian Pasar
Penelitian Pasar Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6920 0,7495 0,5859 2,0274
Status Quo 0,1624 0,1759 0,2907 0,6290
Pesimis 0,1456 0,0746 0,1233 0,3436
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
195
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor penelitian pasar yaitu 0,0063.
Tabel 5.75
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Penelitian Pasar
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6758 0,0043 1
Status Quo 0,2097 0,0013 2
Pesimis 0,1145 0,0007 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.16 Pembinaan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor pembinaan.
Tabel 5.76
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pembinaan
Pembinaan Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 3,4335 3,3490
Status Quo 0,2913 1,0000 1,6013
Pesimis 0,2986 0,6245 1,0000
Jumlah 1,5898 5,0579 5,9503
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
196
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.77
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Pembinaan
Pembinaan Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6290 0,6788 0,5628 1,8706
Status Quo 0,1832 0,1977 0,2691 0,6500
Pesimis 0,1878 0,1235 0,1681 0,4793
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor pembinaan yaitu 0,0152.
Tabel 5.78
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Pembinaan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6235 0,0095 1
Status Quo 0,2167 0,0033 2
Pesimis 0,1598 0,0024 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.17 Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor fasilitas pameran dan kontak dagang.
197
Tabel 5.79
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Fasilitas Pameran
dan Kontak
Dagang
Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,0169 3,9181
Status Quo 0,2489 1,0000 2,8942
Pesimis 0,2552 0,3455 1,0000
Jumlah 1,5042 5,3624 7,8123
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.80
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Fasilitas Pameran
dan Kontak Dagang Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,6648 0,7491 0,5015 1,9154
Status Quo 01655 0,1865 0,3705 0,7225
Pesimis 0,1697 0,0644 0,1280 0,3621
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor fasilitas pameran dan kontak
dagang yaitu 0,0387.
198
Tabel 5.81
Bobot Global Alternatif
Sub Faktor Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6385 0,0247 1
Status Quo 0,2408 0,0093 2
Pesimis 0,1207 0,0047 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.18 Sosialisasi dan Fasilitasi Proses Hak Paten
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) akhir dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor sosialisasi dan fasilitasi hak paten.
Tabel 5.82
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Sosialisasi Dan Fasilitasi Hak Paten
Optimis Status Quo Pesimis
Optimis 1,0000 4,9309 5,1112
Status Quo 0,2028 1,0000 2,3577
Pesimis 0,1957 0,4241 1,0000
Jumlah 1,3985 6,3551 8,4689
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
199
Tabel 5.83
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Sosialisasi dan Fasilitasi Hak Paten
Sosialisasi dan
Fasilitasi Hak Paten
Optimis Status Quo Pesimis Jumlah
Optimis 0,7151 0,7759 0,6035 2,0945
Status Quo 0,1450 0,1574 0,2784 0,5808
Pesimis 0,1399 0,0667 0,1181 0,3247
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor sosialisasi dan fasilitasi hak
paten yaitu 0,0113.
Tabel 5.84
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Sosialisasi dan Fasilitasi Hak Paten
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Optimis 0,6982 0,0079 1
Status Quo 0,1936 0,0022 2
Pesimis 0,1082 0,0012 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.19 Bobot Global Alternatif
Bobot global dari level alternatif dihitung dari rata-rata dari bobot global
alternatif yang diperoleh dari tiap sub faktor.
200
Tabel 5.85
Bobot Global Alternatif
Proyeksi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran kayu
Sub Faktor Alternatif Kebijakan
Optimis Status Quo Pesimis
A. Pengelolaan Keuangan
1. Pengelolaan 0,7089 0,2099 0,0812
2. Harga Pokok Produksi 0,6843 0,2144 0,1012
3. Kredit Perbankan 0,6663 0,2112 0,1225
B. Pemberdayaan SDM
1. Pendidikan dan Pelatihan 0,7088 0,1837 0,1075
2. Sistem Penggajian 0,6663 0,2112 0,1225
3. Reward dan Punishment 0,6928 0,1817 0,1256
C. Pemasaran
1. Pemasaran Lokal 0,7331 0,1676 0,0994
2. Saleable Masterplan 0,7363 0,1680 0,0957
3. E-Marketing 0,7090 0,1865 0,1046
D. Manajemen Produksi
1. Layout Produksi 0,6785 0,2044 0,1171
2. Teknologi Produksi 0,7102 0,1854 0,1044
3. Formula Bahan Baku 0,6797 0,2069 0,1135
4. Desain dan Inovasi Produk 0,7276 0,1735 0,0988
5. Standarisasi Produk 0,7193 0,1748 0,1058
E. Pelayanan Publik
1. Penelitian Pasar 0,6758 0,2097 0,1145
2. Pembinaan 0,6235 0,2167 0,1598
3. Pameran dan Kontak Dagang 0,6385 0,2408 0,1207
4. Sosialisasi dan Fasilitas Hak Paten 0,6982 0,1936 0,1082
Rata – Rata 0,6921 0,1967 0,1113
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Strategi dalam pemberdayaan kerajinan ukiran kayu dijalankan melalui
beberapa skenario yaitu skenario optimis, sttaus quo dan pesimis.
Skenario optimis dijalankan dengan kecepatan tinggi karena kekuatan dan
peluang yang dimiliki dengan kelemahan yang relatif kecil dan ancaman yang dapat
segera diatasi. Skenario optimis perlu didukung dengan investasi yang lebih besar
dan perluasan pasar yang agresif. Skenario status quo adalah skenario dimana
perkembangan industri kerajinan dibiarkan mengalami stagnasi atau tidak ada
pertumbuhan. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menciptakan daya tarik dan daya
201
dorong pemberdayaan industri. Sementara skenario pesimis dimana pertumbuhan
industri dibiarkan negatif dan tidak ada upaya untuk menciptakan daya tarik dan
daya dorong pemberdayaan industri bahkan dibiarkan secara alamiah sehingga
industri mengalami penurunan.
47%
33%
20%
Optimis
Quo
Pesimis
Gambar 5.15
Alternatif Proyeksi Masa Depan Industri Kerajinan Ukiuran Kayu
Di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Implementasi Pemberdayaan Usaha Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten
Gianyar dengan Skenario Implementasi Penuh, Selektif dan Tidak ada
Implementasi
Implementasi strategi kebijakan pemberdayaan industri kerajinan ukiran
kayu tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak yaitu pemerintah yang terlibat
langsung dalam pemberdayaan industri kerajinan seperti Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah serta dinas
terkait lainnya, asosiasi usaha sebagai media komunikasi para pelaku usaha industri
kerajinan serta peran serta lembaga keuangan.
Hasil analisis proyeksi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu
menunjukkan skenario optimis sehingga dibutuhkan strategi pemberdayaan yang
tepat dan didukung oleh stakeholder terkait. Rumusan penentuan strategi
202
pemberdayaan kerajinan ukiran kayu dengan menggunakan AHP terbagi dalam
beberapa level yaitu level faktor yang meliputi beberapa strategi yaitu pengelolaan
keuangan, pemberdayaan sumberdaya manusia, pemasaran, manajemen produksi
dan pelayanan publik. Level kedua mencakup stakeholder terkait yang sangat
penting dalam mendukung implementasi strategi yaitu pemerintah, asosiasi dan
lembaga keuangan sebagai penyedia akses pembiayaan. Sehingga level alternatif
meliputi implementasi penuh, selektif dan tidak ada implementasi. Berikut adalah
struktur hirarki strategi pemberdayaan kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
Gambar 5.16
Struktur Hirarki Strategi Pemberdayaan
Industri Kecil Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Strategi Kebijakan Pemberdayaan
Industri Kerajinan Kayu Ukir
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Strategi
Pemberdayaan
SDM
Strategi
Pemasaran
Strategi
Manajemen
Produksi
Strategi
Kebijakan
Publik
Pemerintah Asosiasi Lembaga Keuaangan
Implementasi Penuh Implementasi Selektif Tidak Ada Implementasi
203
A. Perhitungan Level Pertama
Perhitungan bobot level pertama meliputi faktor strategi pengelolaan
keuangan, pemberdayaan sumberdaya manusia, pemasaran, manajemen produksi
dan pelayanan publik. Langkah awal adalah membentuk matrik perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi
responden. Berikut adalah matrik perbandingan berpasangan.
Tabel 5.86
Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Pengelolaan
Keuangan 1,0000 0,2459 0,2179 0,2521 2,3319
Pemberdayaan
SDM 4,0661 1,0000 0,3986 3,0035 2,1944
Pemasaran 4,5893 2,5085 1,0000 4,0707 2,6244
Manajemen
Produksi 3,9660 0,3329 0,2457 1,0000 3,0455
Pelayanan
Publik 0,4288 0,4557 0,3810 0,3284 1,0000
Jumlah 14,0502 4,5431 2,2432 8,6547 11,1962
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
204
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
Tabel 5.87
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Pengelolaan
Keuangan 0,0712 0,0541 0,0971 0,0291 0,2083
Pemberdayaan
SDM 0,2894 0,2201 0,1777 0,3470 0,1960
Pemasaran 0,3266 0,5522 0,4458 0,4703 0,2344
Manajemen
Produksi 0,2823 0,0733 0,1095 0,1155 0,2720
Pelayanan
Publik 0,0305 0,1003 0,1699 0,0379 0,0893
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang menjadi bobot global dari tiap vektor.
Tabel 5.88
Matrik Priority Vector Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik Jumlah
Pengelolaan
Keuangan 0,0712 0,0541 0,0971 0,0291 0,2083 0,4599
Pemberdayaan
SDM 0,2894 0,2201 0,1777 0,3470 0,1960 1,2303
Pemasaran 0,3266 0,5522 0,4458 0,4703 0,2344 2,0293
Manajemen
Produksi 0,2823 0,0733 0,1095 0,1155 0,2720 0,8526
Pelayanan
Publik 0,0305 0,1003 0,1699 0,0379 0,0893 0,4279
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
205
Sehingga nilai eigen vector atau bobot global tiap kriteria adalah.
Tabel 5.89
Bobot Gobal Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor Bobot Ranking
Pemasaran 0,4059 1
Pemberdayaan SDM 0,2461 2
Manajemen Produksi 0,1705 3
Pengelolaan Keuangan 0,0920 4
Pelayanan Publik 0,0856 5
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap faktor, diperoleh hasil
bahwa strategi pemasaran menjadi faktor prioritas yang menentukan prospek
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar dengan bobot 0,4059 dan diikuti oleh
pemberdayaan sumberdaya manusia 0,2461, pengelolaan produksi 0,1705,
pengelolaan keuangan 0,0920 dan pelayanan publik 0,0856.
B. Perhitungan Level Kedua
Level kedua dalam strategi pemberdayaan kerajinan ukiran kayu meliputi
peran stakeholder terkait yaitu pemerintah, asosiasi dan lembaga keuangan.
Perhitungan bobot global level kedua dengan cara mengalikan bobot lokal faktor
level kedua dengan bobot global faktor pada level pertama.
B.1 Strategi Pengelolaan Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor strategi pengelolaan keuangan.
206
Tabel 5.90
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan Pemerintah Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Pemerintah 1,0000 2,3577 0,2982
Asosiasi 0,4241 1,0000 0,1753
Lembaga Keuangan 3,3529 5,7058 1,0000
Jumlah 4,7771 9,0635 1,4735
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.91
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan Pemerintah Asosiasi
Lembaga
Keuangan Jumlah
Pemerintah 0,2093 0,2601 0,2024 0,6719
Asosiasi 0,0888 0,1103 0,1189 0,3181
Lembaga Keuangan 0,7019 0,6295 0,6787 2,0101
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal faktor level kedua dengan bobot global faktor pengelolaan keuangan
yaitu 0,0920.
207
Tabel 5.92
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Lembaga Keuangan 0,6700 0,0616 1
Pemerintah 0,2240 0,0206 2
Asosiasi 0,1060 0,0098 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
B.2 Strategi Pemberdayaan SDM
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor strategi pemberdayaan SDM.
Tabel 5.93
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan
Pemerintah 1,0000 2,8626 2,8626
Asosiasi 0,3493 1,0000 1,0889
Lembaga Keuangan 0,3493 0,9184 1,0000
Jumlah 1,6987 4,7809 4,9514
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
208
Tabel 5.94
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan Jumlah
Pemerintah 0,5887 0,5987 0,5781 1,7656
Asosiasi 0,2057 0,2092 0,2199 0,6347
Lembaga Keuangan 0,2057 0,1921 0,2020 0,5997
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal faktor level kedua dengan bobot global faktor pemberdayaan SDM yaitu
0,2461.
Tabel 5.95
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pemerintah 0,5885 0,1448 1
Asosiasi 0,2116 0,0521 2
Lembaga Keuangan 0,1999 0,0492 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
B.3 Strategi Pemasaran
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor strategi pemasaran.
209
Tabel 5.96
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pemasaran
Pemasaran Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan
Pemerintah 1,0000 2,3319 2,9672
Asosiasi 0,4288 1,0000 1,4904
Lembaga Keuangan 0,3370 0,6710 1,0000
Jumlah 1,7658 4,0029 5,4576
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.97
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Pemasaran
Pemasaran Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan Jumlah
Pemerintah 0,5663 0,5826 0,5437 1,6925
Asosiasi 0,2428 0,2498 0,2731 0,7657
Lembaga Keuangan 0,1909 0,1676 0,1832 0,5417
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal faktor level kedua dengan bobot global faktor pemasaran yaitu 0,4059.
210
Tabel 5.98
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pemasaran
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pemerintah 0,5642 0,2290 1
Asosiasi 0,2552 0,1036 2
Lembaga Keuangan 0,1806 0,0733 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
B.4 Strategi Manajemen Produksi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor strategi manajemen produksi.
Tabel 5.99
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Manajemen Produksi
Manajemen Produksi Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan
Pemerintah 1,0000 1,9442 3,1133
Asosiasi 0,5143 1,0000 1,2739
Lembaga Keuangan 0,3212 0,7850 1,0000
Jumlah 1,8356 3,7292 5,3872
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
211
Tabel 5.100
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Manajemen Produksi
Manajemen Produksi Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan Jumlah
Pemerintah 0,5448 0,5213 0,5779 1,6440
Asosiasi 0,2802 0,2682 0,2365 0,7848
Lembaga Keuangan 0,1750 0,2105 0,1856 0,5711
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal faktor level kedua dengan bobot global faktor manajemen produksi yaitu
0,1705.
Tabel 5.101
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Manajemen Produksi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pemerintah 0,5480 0,0935 1
Asosiasi 0,2616 0,0446 2
Lembaga Keuangan 0,1904 0,0325 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
B.5 Strategi Pelayanan Publik
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor strategi pelayanan publik.
212
Tabel 5.102
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pelayanan Publik
Pelayanan Publik Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan
Pemerintah 1,0000 3,0000 0,3333
Asosiasi 0,3333 1,0000 3,0000
Lembaga Keuangan 3,0000 0,3333 1,0000
Jumlah 4,3333 4,3333 4,3333
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.103
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Pelayanan Publik
Pelayanan Publik Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan Jumlah
Pemerintah 0,2308 0,6923 0,0769 1,0000
Asosiasi 0,0769 0,2308 0,6923 1,0000
Lembaga Keuangan 0,6923 0,0769 0,2308 1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal faktor level kedua dengan bobot global faktor pelayanan publik yaitu
0,0856.
213
Tabel 5.104
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pelayanan Publik
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pemerintah 0,3333 0,0285 1
Asosiasi 0,3333 0,0285 2
Lembaga Keuangan 0,3333 0,0285 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
B.6 Bobot Global Level Kedua
Bobot global level kedua dihitung dari rata-rata bobot global tiap faktor pada
level kedua. Berikut adalah perhitungan bobot global level kedua.
Tabel 5.105
Bobot Global Level Kedua
Sub Faktor
Faktor Level Kedua
Pemerintah Asosiasi Lembaga
Keuangan
A. Pengelolaan Keuangan 0,0206 0,0098 0,0616
B. Pemberdayaan SDM 0,1448 0,0521 0,0492
C. Pemasaran 0,2290 0,1036 0,0733
D. Manajemen Produksi 0,0935 0,0446 0,0325
E. Pelayanan Publik 0,0285 0,0285 0,0285
Rata - Rata 0,1033 0,0477 0,0490
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C. Perhitungan Bobot Alternatif
Langkah terakhir adalah menghitung bobot global dari alternatif strategi
pemberdayaan usaha kerajinan ukir di Kabupaten Gianyar. Strategi dalam
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu meliputi implementasi penuh, selktif
dan tidak ada implementasi.
214
C.1 Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran pemerintah.
Tabel 5.106
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 1,1028 5,3042
Implementasi Selektif 0,9068 1,0000 2,7584
Tidak Ada
Implementasi 0,1885 0,3625 1,0000
Jumlah 2,0953 2,4654 9,0626
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.107
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4773 0,4473 0,5853 1,5099
Implementasi
Selektif 0,4328 0,4056 0,3044 1,1427
Tidak Ada
Implementasi 0,0900 0,1470 0,1103 0,3474
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
215
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0206.
Tabel 5.108
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,5033 0,0104 1
Implementasi Selektif 0,3809 0,0078 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1158 0,0024 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.2 Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Asosiasi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran asosiasi.
Tabel 5.109
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,8057 4,2147
Implementasi Selektif 1,2411 1,0000 2,7584
Tidak Ada
Implementasi 0,2373 0,3625 1,0000
Jumlah 2,4784 2,1683 7,9731
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
216
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.110
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4035 0,3716 0,5286 1,3037
Implementasi
Selektif 0,5008 0,4612 0,3460 1,3079
Tidak Ada
Implementasi 0,0957 0,1672 0,1254 0,3884
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran asosiasi yaitu 0,0098.
Tabel 5.111
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Asosiasi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Selektif 0,4360 0,0043 1
Implementasi Penuh 0,4346 0,0042 2
Tidak Ada Implementasi 0,1295 0,0013 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.3 Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan dari
tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk faktor peran lembaga
keuangan.
217
Tabel 5.112
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 1,0757 4,8096
Implementasi
Selektif 0,9296 1,0000 2,7584
Tidak Ada
Implementasi 0,2079 0,3625 1,0000
Jumlah 2,1375 2,4382 8,5680
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.113
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4678 0,4412 0,5613 1,4704
Implementasi
Selektif 0,4349 0,4101 0,3219 1,1670
Tidak Ada
Implementasi 0,0973 0,1487 0,1167 0,3627
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran lembaga keuangan yaitu
0,0616.
218
Tabel 5.114
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4901 0,0302 1
Implementasi Selektif 0,3890 0,0240 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1209 0,0074 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.4 Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Pemeirntah
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran pemerintah.
Tabel 5.115
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,9891 4,5839
Implementasi
Selektif 1,0111 1,0000 4,0613
Tidak Ada
Implementasi 0,2182 0,2462 1,0000
Jumlah 2,2292 2,2353 9,6452
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
219
Tabel 1.116
Matrik Priority Vector Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4486 0,4425 0,4753 1,3663
Implementasi Selektif 0,4535 0,4474 0,4211 1,3220
Tidak Ada
Implementasi 0,0979 0,1102 0,1037 0,3117
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,1448.
Tabel 5.117
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4554 0,0660 1
Implementasi Selektif 0,4407 0,0638 2
Tidak Ada Implementasi 0,1039 0,0150 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.5 Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran asosiasi.
220
Tabel 5.118
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 1,0252 4,5839
Implementasi Selektif 0,9754 1,0000 3,0035
Tidak Ada Implementasi 0,2182 0,3329 1,0000
Jumlah 2,1936 2,3582 8,5874
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.119
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4559 0,4348 0,5338 1,4244
Implementasi Selektif 0,4447 0,4241 0,3498 1,2185
Tidak Ada Implementasi 0,0995 0,1412 0,1164 0,3571
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran asosiasi yaitu 0,0521.
221
Tabel 5.120
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4748 0,0247 1
Implementasi Selektif 0,4062 0,0211 2
Tidak Ada Implementasi 0,1190 0,0062 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.6 Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Lembaga Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran lembaga keuangan.
Tabel 5.121
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,9531 4,5839
Implementasi Selektif 1,0492 1,0000 3,4714
Tidak Ada Implementasi 0,2182 0,2881 1,0000
Jumlah 2,2674 2,2411 9,0553
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
222
Tabel 5.122
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4410 0,4253 0,5062 1,3725
Implementasi Selektif 0,4628 0,4462 0,3834 1,2923
Tidak Ada Implementasi 0,0962 0,1285 0,1104 0,3352
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran lembaga keuangan yaitu
0,0492.
Tabel 5.123
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Lembaga Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4575 0,0225 1
Implementasi Selektif 0,4308 0,0212 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1117 0,0055 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.7 Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran pemerintah.
223
Tabel 5.124
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 1,1028 4,5839
Implementasi Selektif 0,9068 1,0000 4,2613
Tidak Ada Implementasi 0,2182 0,2347 1,0000
Jumlah 2,1249 2,3375 9,8452
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.125
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4706 0,4718 0,4656 1,4080
Implementasi Selektif 0,4267 0,4278 0,4328 1,2874
Tidak Ada Implementasi 0,1027 0,1004 0,1016 0,3046
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,2290.
224
Tabel 5.126
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4693 0,1075 1
Implementasi Selektif 0,4291 0,0983 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1015 0,0233 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.8 Faktor Pemasaran dan Peran Asosiasi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran asosiasi.
Tabel 5.127
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,9531 4,2613
Implementasi Selektif 1,0492 1,0000 4,5839
Tidak Ada Implementasi 0,2347 0,2182 1,0000
Jumlah 2,2839 2,1712 9,8452
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
225
Tabel 5.128
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemasaran dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4378 0,4390 0,4328 1,3096
Implementasi
Selektif 0,4594 0,4606 0,4656 1,3856
Tidak Ada
Implementasi 0,1027 0,1005 0,1016 0,3048
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran asosiasi yaitu 0,1036.
Tabel 5.129
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Asosiasi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Selektif 0,4619 0,0478 1
Implementasi Penuh 0,4365 0,0452 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1016 0,0105 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.9 Faktor Pemasaran dan Peran Lembaga Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran lembaga keuangan.
226
Tabel 5.130
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 2,3319 2,9672
Implementasi Selektif 0,4288 1,0000 1,4904
Tidak Ada Implementasi 0,3370 0,6710 1,0000
Jumlah 1,7658 4,0029 5,4576
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.131
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemasaran dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,5663 0,5826 0,5437 1,6925
Implementasi Selektif 0,2428 0,2498 0,2731 0,7657
Tidak Ada Implementasi 0,1909 0,1676 0,1832 0,5417
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran lembaga keuangan yaitu
0,0733.
227
Tabel 5.132
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Lembaga Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,5642 0,2290 1
Implementasi Selektif 0,2552 0,1036 2
Tidak Ada Implementasi 0,1806 0,0733 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.10 Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran pemerintah.
Tabel 5.133
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,6018 2,8942
Implementasi Selektif 1,6618 1,0000 3,1918
Tidak Ada Implementasi 0,3455 0,3133 1,0000
Jumlah 3,0073 1,9151 7,0860
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
228
Tabel 5.134
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,3325 0,3142 0,4084 1,0552
Implementasi Selektif 0,5526 0,5222 0,4504 1,5252
Tidak Ada Implementasi 0,1149 0,1636 0,1411 0,4196
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0935.
Tabel 5.135
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Selektif 0,5084 0,0475 1
Implementasi Penuh 0,3517 0,0329 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1399 0,0131 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.11 Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor asosiasi.
229
Tabel 5.136
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 1,0252 4,5839
Implementasi Selektif 0,9754 1,0000 3,1133
Tidak Ada Implementasi 0,2182 0,3212 1,0000
Jumlah 2,1936 2,3464 8,6972
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.137
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4559 0,4369 0,5271 1,4199
Implementasi
Selektif 0,4447 0,4262 0,3580 1,2288
Tidak Ada
Implementasi 0,0995 0,1369 0,1150 0,3513
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0446.
230
Tabel 5.138
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4733 0,0211 1
Implementasi Selektif 0,4096 0,0183 2
Tidak Ada
Implementasi 0,1171 0,0052 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.12 Faktor Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran lembaga keuangan.
Tabel 1.539
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,9531 4,5839
Implementasi Selektif 1,0492 1,0000 4,1110
Tidak Ada Implementasi 0,2182 0,2432 1,0000
Jumlah 2,2674 2,1963 9,6949
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
231
Tabel 5.140
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4410 0,4339 0,4728 1,3478
Implementasi Selektif 0,4628 0,4553 0,4240 1,3421
Tidak Ada Implementasi 0,0962 0,1108 0,1031 0,3101
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran lembaga keuangan yaitu
0,0325.
Tabel 5.141
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4493 0,0146 1
Implementasi Selektif 0,4474 0,0145 2
Tidak Ada Implementasi 0,1034 0,0034 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.13 Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran pemerintah.
232
Tabel 5.142
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,8860 4,2613
Implementasi Selektif 1,1287 1,0000 2,2746
Tidak Ada Implementasi 0,2347 0,4396 1,0000
Jumlah 2,3633 2,3256 7,5359
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.143
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4231 0,3810 0,5655 1,3696
Implementasi Selektif 0,4776 0,4300 0,3018 1,2094
Tidak Ada Implementasi 0,0993 0,1890 0,1327 0,4210
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0285.
233
Tabel 5.144
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4565 0,0130 1
Implementasi Selektif 0,4031 0,0115 2
Tidak Ada Implementasi 0,1403 0,0040 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.14 Faktor Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran asosiasi.
Tabel 5.145
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,9531 4,2613
Implementasi Selektif 1,0492 1,0000 2,6611
Tidak Ada Implementasi 0,2347 0,3758 1,0000
Jumlah 2,2839 2,3289 7,9224
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
234
Tabel 5.146
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4378 0,4092 0,5379 1,3850
Implementasi Selektif 0,4594 0,4294 0,3359 1,2247
Tidak Ada Implementasi 0,1027 0,1614 0,1262 0,3903
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0285.
Tabel 5.147
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4617 0,0132 1
Implementasi Selektif 0,4082 0,0116 2
Tidak Ada Implementasi 0,1301 0,0037 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.15 Faktor Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk faktor peran lembaga keuangan.
Tabel 5.148
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Penuh 1,0000 0,8860 4,2613
Implementasi Selektif 1,1287 1,0000 2,2746
Tidak Ada Implementasi 0,2347 0,4396 1,0000
Jumlah 2,3633 2,3256 7,5359
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
235
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari faktor.
Tabel 5.149
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi Jumlah
Implementasi Penuh 0,4231 0,3810 0,5655 1,3696
Implementasi Selektif 0,4776 0,4300 0,3018 1,2094
Tidak Ada Implementasi 0,0993 0,1890 0,1327 0,4210
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran lembaga keuangan yaitu
0,0285.
Tabel 5.150
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Implementasi Penuh 0,4565 0,0130 1
Implementasi Selektif 0,4031 0,0115 2
Tidak Ada Implementasi 0,1403 0,0040 3
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
C.16 Bobot Global Alternatif
Bobot global dari level alternatif dihitung dari rata-rata dari bobot global
alternatif yang diperoleh dari tiap faktor.
236
Tabel 5.151
Bobot Global Alternatif
Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Sub Faktor
Alternatif Kebijakan
Implementasi
Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
A. Pengelolaan Keuangan
1. Pemerintah 0,5033 0,3809 0,1158
2. Asosiasi 0,4346 0,4360 0,1295
3. Lembaga Keuangan 0,4901 0,3890 0,1209
B. Pemberdayaan SDM
1. Pemerintah 0,4554 0,4407 0,1039
2. Asosiasi 0,4748 0,4062 0,1190
3. Lembaga Keuangan 0,4575 0,4308 0,1117
C. Pemasaran
1. Pemerintah 0,4693 0,4291 0,1015
2. Asosiasi 0,4365 0,4619 0,1016
3. Lembaga Keuangan 0,4900 0,3865 0,1235
D. Manajemen Produksi
1. Pemerintah 0,3517 0,5084 0,1399
2. Asosiasi 0,4733 0,4096 0,1171
3. Lembaga Keuangan 0,4493 0,4474 0,1034
E. Pelayanan Publik
1. Pemerintah 0,4565 0,4031 0,1403
2. Asosiasi 0,4617 0,4082 0,1301
3. Lembaga Keuangan 0,4565 0,4031 0,1403
Rata - Rata 0,4574 0,4227 0,1199
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Skenario aksi implementasi penuh adalah melaksanakan semua skenario
optimis dan strategi pemasaran. Skenario aksi implementasi selektif adalah
melaksanakan secara selektif skenario optimis, karena kurang optimis untuk berhasil
untuk mengembangkan industri kerajinan ukiran kayu. Strategi yang digunakan
237
strategi selektif bukan pertumbuhan cepat. Sedangkan skenario terakhir tidak ada
implementasi dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu dan dibiarkan
tumbuh stagnan dan bahkan negatif.
Implementasi strategi kebijakan pemberdayaan industri kerajinan ukiran
kayu tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak yaitu pemerintah yang terlibat
langsung dalam pemberdayaan industri kerajinan seperti Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah serta dinas
terkait lainnya, asosiasi usaha sebagai media komunikasi para pelaku usaha industri
kerajinan serta peran serta lembaga keuangan. Dalam menjalankan strategi
pengelolaan keuangan peran lembaga keuangan sebagai penyedia pembiayaan usaha
paling prioritas dibandingkan dengan pemerintah dan asosiasi yaitu 0,671.
Kebijakan pemberdayaan sumberdaya manusia perlu mendapatkan dukungan dari
pemerintah 0,589, asosiasi 0,212 dan lembaga keuangan 0,200. Kebijakan dalam
strategi pemasaran dengan dukungan pemerintah 0,564, asosiasi 0,255 dan lembaga
keuangan 0,180 begitu halnya dalam menjalankan strategi manajemen produksi dan
kebijakan publik, peranan pemerintah menjadi prioritas utama.
Gambar 5.17
Alternatif Skenario Masa Depan Industri Kerajinan Ukiran kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Pada analisis balik posisi masa depan industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar dikembangkan tiga skenario implementasi yaitu implementasi
238
penuh, selektif dan tidak ada implementasi. Berdasarkan hasil analisis, implementasi
penuh menjadi prioritas utama yang dijalankan dalam pemberdayaan industri
kerajinan ukiran kayu yaitu 0,4574, implementasi selektif 0,4227 dan tidak ada
implementasi 0,1199. Skenario aksi implementasi penuh adalah melaksanakan
semua skenario optimis dan strategi pemasaran. Skenario aksi implementasi selektif
adalah melaksanakan secara selektif skenario optimis, karena kurang optimis untuk
berhasil untuk mengembangkan industri kerajinan kayu ukir. Strategi yang
digunakan strategi selektif bukan pertumbuhan cepat. Sedangkan skenario terakhir
tidak ada implementasi dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu dan
dibiarkan tumbuh stagnan dan bahkan negatif.
239
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dibahas; analisis terhadap hasil studi yang dijelaskan
pada bab sebelumnya, temuan teoritis dan empiris serta keterbatasan studi.
Pembahasan dilakukan berdasarkan pada temuan teoritis maupun empiris dan
penelitian sebelumnya yang relevan dengan studi yang dilakukan.
6.1 Analisis Rantai Nilai Industri Kerajinan Kayu
Hasil temuan dalam studi ini membuktikan bahwa kendala yang dihadapi
perajin ukiran kayu di Kabupaten Gianyar dalam proses produksi adalah
kekurangan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari Kabupaten Gianyar
sehingga kayu sebagai bahan baku utama hampir seluruhnya di peroleh dari
daerah di luar Bali, seperti pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi dengan proses
pengiriman melalui angkutan laut dan darat sehingga harga bahan baku menjadi
lebih mahal dengan tingginya biaya transportasi. Selain biaya transportasi yang
tinggi, sumber bahan baku kayu dari luar pulau Jawa juga mengalami keterbatasan
persediaan. Menurut Porter (1985) bahwa Analisis value-chain merupakan alat
analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap
keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat
ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik
hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain
dalam industri. Value Chain mengidentifikasikan dan menghubungkan berbagai
aktivitas stratejik di perusahaan (Hansen, Mowen, 2000).
240
Industri dapat menentukan keputusan-keputusan stratejik jika industri
tersebut telah mampu menjaga seluruh komponen yang terkait dengan operasional
industri baik dari aspek hulu maupun hilirnya. Pada industri kerajinan ukiran
kayu, diketahui bahwa kayu adalah bahan baku utama dari proses produksinya
yang tidak bisa dipisahkan dengan peran sumberdaya yang memiliki kemampuan
seni yang tinggi dibidang ukiran akan dapat menghasilkan produk ukiran yang
memiliki daya seni yang tinggi yang dapat dijadikan sebagai simbol tingginya
budaya tidak hanya daerah tetapi juga sebagai cermin budaya Bangsa yang
bernilai ekonomi sangat tinggi. Keunikan ukiran kayu yang dihasilkan perajin dari
Kabupaten Gianyar telah masuk di pasar dunia. Pangsa pasar kerajinan kayu
daerah Bali di beberapa Negara baik di Asia maupun Eropah adalah: 1) Amerika
Serikat sebesar US$ 21.201.746,91; 2) France sebesar US$ 9.281.062,29; 3)
Australia sebesar US$ 9.240.648,68; 4) Germany sebesar US$ 6.758.308,96
dan 5) Japan sebesar US$ 5.513.211,29, dimana eksport Bali banyak dipasok dari
Kabupaten Gianyar (Dinas Perindustrian dan perdagangan Provinsi Bali, 2012).
Keunikan hasil ukiran seharusnya memberikan nilai tambah yang tinggi
bagi para perajin, namun pada kenyataannya tidak demikian karena keterbatasan
pelaku pada industri kecil ukiran kayu dalam menembus akses pasar internasional,
hal ini membuat para exportir dan perajin skala besar saja yang mampu
mendapatkan nilai tambah produksi yang sangat tinggi, karena harga produk
ukiran seperti ukiran patung garuda wisnu atau pintu ukiran Bali serta ukiran
tokoh-tokoh Ramayana dan mahabarata yang harganya bisa mencapai puluhan
hingga ratusan juta rupiah (sumber, perajin Bapak I Made Ade perajin dan pelaku
eksport ukiran kayu garuda wisnu dari Desa Pakuduwi Tegalalang dan Bapak
241
ketut Pradnya perajin eksportir ukiran kayu tradisional Bali seperti pintu style Bali
dan patung-patung tokoh cerita pewayangan sekaligus pemilik museum ukiran
kayu Wiswa Karma di Batu Bulan). Harga yang tinggi dari produksi ukiran kayu
ditentukan oleh tingkat keunikan dan kerumitan desain ukirannya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa peran kemampuan mengukir perajin menjadi faktor penentu
tinggi rendahnya nilai produk ukiran kayu yang berarti bahwa dengan bahan baku
kayu yang sama dapat memberikan nilai yang berbeda-beda tergantung
kemampuan perajin ukiran dalam memberikan sentuhan ukirannya. Berdasarkan
hasil wawancara dengan perajin yang bernama I Wayan Tekek perajin dan
pemilik Galeri Manis dari Desa Mas Ubud mengatakan sebuah realita bahwa saat
ini para generasi muda di Kabupaten Gianyar mulai tidak tertarik menekuni
pekerjaan dibidang ukiran kayu. Generasi muda lebih tertarik untuk bekerja pada
sektor jasa yang banyak tersedia diKabupaten Gianyar pada khususnya dan
Provinsi Bali pada umumnya karena akan lebih cepat memperoleh uang dan tidak
perlu bekerja lebih keras untuk memahat kayu. Selain berat, pekerjaan memahat
membutuhkan konsentrasi dan inovasi yang tinggi untuk dapat menghasilkan
produk yang bernilai seni tinggi. Untuk menghasilkan satu produk tertentu
dibutuhkan waktu yang relatif lama dan setelah itu produk yang telah diselesaikan
dalam waktu lama tersebut tidak selalu bisa langsung laku terjual. Kondisi
tersebut yang membuat para generasi muda tidak tertarik untuk menekuni
pekerjaan sebagai perajin ukiran kayu ditambah dengan semakin banyaknya art
shop ukiran kayu di Kabupaten gianyar yang beralih fungsi menjadi rumah makan
semakin memperkuat keputusan para generasi muda untuk beralih ke pekerjaan
yang lain yang dapat memberikan penghasilan jauh lebih besar dan lebih cepat.
242
Peran yang tidak kalah pentingnya dengan sumberdaya perajin adalah
bahan baku kayu. Berdasarkan hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa
sumber pasokan bahan baku untuk produk cinderamata selalu tersedia karena
bahan baku kayu tidak selalu dari kayu jati atau bengkirai yang semakin langka di
seluruh daerah tetapi bisa dibuat dari kayu yang dihasilkan di wilayah Gianyar
dan sekelilingnya seperti kayu sengon. Namun untuk jenis produk meubelir dan
pintu serta aksesoris furniture lain, dibutuhkan bahan baku kayu jati dan
sejenisnya yang semakin sulit didapatkan di wilayah Bali bahkan dari luar Bali
seperti Jawa dan Kalimantan bahan baku tersebut semakin sulit didapatkan.
Kondisi ini akan membahayakan keberadaan industri kerajinan ukiran kayu dalam
jangka panjang.
Kendala permodalan juga masih dihadapi oleh perajin dalam
mengembangkan usaha. Masih minimnya aksessibilitas pembiayaan usaha melalui
lembaga keuangan khususnya perbankan menjadi permasalahan klasik dalam
disintermediasi perbankan dan sektor riil. Beban bunga dan prosedur pengajuan
kredit yang dirasakan masih sulit dijangkau oleh sebagian perajin terutama skala
mikro menjadi salah satu penghambat bagi industri kecil untuk mengembangkan
skla produksinya. Berdasarkan hasil diskusi dalam forum discussion group (FGD)
didapatkan informasi bahwa sebenarnya pemerintah Provinsi Bali melalui
lembaga perbankan telah membuat kebijakan untuk membantu pertumbuhan
industri kecil yang dituangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2012 tanggal 15
Maret 2012 “Tentang Perlindungan, Pemberdayaan dan Pembinaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”. Bahwa koperasi, usaha mikro, kecil dan
menengah merupakan badan usaha yang mempunyai kedudukan dan peran
243
strategis dalam meningkatkan perekonomian daerah, menopang ketahanan
ekonomi masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah Daerah
berperan serta membangun dan menumbuhkan iklim usaha dengan cara :
1) Memberikan perlindungan kepada koperasi dan UMKM seperti :
a. Memberikan hak istimewa kepada koperasi untuk melaksanakan
usaha distribusi yg menguasasi hajat hidup orang banyak.
b. Melindungi UMKM dgn cara melindungi pasar tradisional dgn
pembatasan pendirian minimarket berjejaring nasional dgn jarak
tertentu
2) Pemberdayaan koperasi dan UMKM dilakukan dalam bentuk
a. Pendidikan dan pelatihan;
b. Penguatan permodalan;
c. Pembinaan manajemen;
d. Bimbingan teknis;
e. Pemasaran produk
3) Membantu akses permodalan koperasi dan UMKM dalam bentuk
penyediaan Dana Penguatan Modal yang disalurkan melalui Bank dan
lembaga keuangan bukan Bank.
4) Kegiatan yang akan dilakukan untuk mempercepat dan memperluas
pemberdayaan UMKM dilakukan dengan pendekatan pengelompokan
jenis usaha dan atau asosiasi dimana Gubernur memfasilitasi penciptaan
iklim usaha yg kondusif mencakup :
244
a. Pendanaan, fasilitas untuk memperluas sumber pendanaan dan
kemudahan dalam mengakses kredit perbankan dan lembaga
keuangan bukan bank
b. Sarana dan prasarana, pembangunan sarana dan prasarana yang dapat
mendorong tumbuhnya dunia usaha
c. Informasi usaha, membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank
data dan jaringan informasi bisnis koperasi dan UMKM di daerah
dengan jaringan nasional / internasional
d. Dan kemitraan, dimana koperasi dan UMKM dapat melakukan
kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kemitraan yg adil dan
merata.
e. Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem
pelayanan terpadu satu pintu,
f. Menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi
di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian
rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang
kaki lima serta lokasi lainnya serta mengkoordinasikan agar usaha
besar menyediakan ruang tempat usaha paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat usaha yang dibangun bagi Koperasi dan
UMKM
g. Mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Koperasi
dan UMKM melalui pengadaan secara langsung
245
h. Memprioritaskan pelaku usaha Koperasi dan UMKM di daerah dalam
pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota
i. Dukungan kelembagaan dengan meningkatkan fungsi dekopinwil,
inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan
keuangan mitra bank, Lembaga Penjaminan Daerah, Lembaga
Pembiayaan Daerah, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai
lembaga pendukung pengembangan Koperasi dan UMKM di daerah,
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
j. Pemanfaatan dana CSR dari badan usaha umum, BUMN/D dalam
perlindungan, pemberdayaan, dan pembinaan Koperasi dan UMKM
Selanjutnya Pemerintah telah merealisasikan program bantuan pendanaan
bagi pelaku industri kecil menenngah melalui Program Jamkrida (Jaminan Kredit
Daerah) yang disalurkan melalui beberapa bank salah satunya adalah Bank
Pembangunan Daerah Bali (BPD) dalam bentuk regulasi kredit lunak. Namun
berdasarkan hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil
responden yang tahu dan mendapatkan fasilitas kredit tersebut, dan sebagaian
besar responden tidak mengetahui informasi tentang program kredit lunak
tersebut. Selain ketidaktahuan perajin terhadap informasi cara mengakses modal
dari perbankan, juga didukung oleh ketidaktersediaan agunan/jaminan dan
ketakutan perajin jika mereka tidak mampu membayar hutang maka jaminan
hutang yang berupa sertifikat rumah atau tanah akan dilelang. Kondisi ini
membuat perajin lebih memilih untuk meminjam modal secara perorangan dengan
proses yang lebih mudah walaupun ongkos berupa bunga pinjaman yang harus
246
dibayar jauh lebih tinggi dibanding yang ditetapkan lembaga keuangan bank
maupun non bank. Menurut Hafsah (2004), permodalan merupakan faktor utama
yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Permasalahan
permodalan yang dihadapi UKM pada umumnya adalah usaha perorangan atau
perusahaan yang mengandalkan pada modal pemilik yang jumlahnya sangat
terbatas, sedangkan modal pinjaman yang berasal dari bank atau lembaga
keuangan lain sulit diperoleh karena persyaratan atau prosedur teknis tidak dapat
dipenuhi oleh pengusaha.
Dari sisi kelembagaan, masih kurangnya dukungan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dalam proses pendampingan dan pembinaan perajin ukiran
untuk pengembangan usahanya, baik melalui pelatihan sumberdaya manusia
maupun pemanfaatan tekhnologi tepat guna. Kurangnya dukungan Dinas
Pariwisata dalam proses promosi hasil kerajinan ukiran, sehingga perajin
melakukan promosi secara individu untuk meningkatkan hasil penjualannya
Kurangnya dukungan Dinas Koperasi khususnya dalam pembinaan koperasi atau
kelompok-kelompok perajin ukiran agar dapat mengembangkan usahanya melalui
menajemen kelompok. Usaha kecil yang umumnya merupakan unit usaha
keluarga memiliki jaringan usaha yang masih terbatas dan kemampuan penetrasi
pasar yang masih rendah sehingga produk yang dihasilkan relatif terbatas dan
mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Hafsah (2004).
Hasil FGD menggambarkan bahwa Pemerintah Provinsi Bali telah
membuat regulasi yang telah diterbitkan yaitu:
1. Perda No. 2 tahun 2012 tentang kepariwisataan; dan
247
2. Perda No. 3 tahun 2012 tentang perlindungan, pemberdayaan, dan
pembinaan Koperasi, UMKM.
Dimana pemerintah memiliki beberapa program kegiatan yaitu:
a) Pembinaan/pendampingan sertifikasi kepada IKM dan kelompok perajin
untuk mendapatkan sertifikasi legalitas kayu ( SVLK );
b) Promosi, dengan cara memfasilitasi pameran melalui pemajangan produk
di 16 ITPC (Indonesia Trade Promotion Center)
c) Fasilitasi Perdagangan Luar Negeri, melalui:
1) penerbitan SKA (Surat Keterangan Asal);
2) penerbitan rekomendasi ETPIK
Namun berdasarkan hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa
responden belum pernah mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah maupun
Provinsi baik dalam bentuk pembinaan sertifikasi maupun fasilitas promosi
dengan melibatkan responden dalam kegiatan pameran. Beberapa responden skala
menengah telah diberikan fasilitas untuk promosi produk melalui pameran baik di
sakala nasional maupun internasional namun dengan biaya sendiri. Kondisi ini
membuat perajin industri kecil kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
kurang kuat dalam melakukan terobosan-terobosan produk dalam bentuk inovasi
produk yang berorientasi pasar global, padahal peluang pasar bagi hasil ukiran
kayu baik di pasar domestik maupun pasar dunia masih terbuka luas. Sebagai
salah satu produk unggulan Indonesia di pasar internasional, kebaradaan industri
kecil kerajinan ukiran kayu senantiasa harus dijaga keberlanjutannya, selain
menyediakan lapangan kerja yang tinggi, kontribusi produk dari kayu menempati
posisi sepuluh (10) besar ekspor dari UMKM di Indonesia (Tabel 1.3). Produk
248
ukiran kayu dari Kabupaten Gianyar menjadi salah satu produk unggulan yang
mengandung unsur lokalitas dan budaya yang sangat tinggi, sehingga produk ini
dapat dijadikan sebagai produk yang memiliki daya saing tinggi di pasar global
dan ini menjadi tanggungjawab seluruh komponen masyarakat.
Hasil studi ini bila dirujukkan dengan teori yang ada dan beberapa hasil
studi sebelumnya seperti yang dikemukakan oleh Michael Porter (Dalam Hill &
Jones, 1998), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing
suatu negara, yaitu:
5) Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-
unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola,
serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya;
6) Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di
suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal,
dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan
industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis
faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang
mahal;
7) Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap
produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri,
terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi
arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri.
Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan
keinginan konsumen;
249
8) Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.
Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana
ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-
industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Moon dan Cho (2003) menyatakan bahwa suatu kesalahan konsep dari
daya saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional
tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumber daya alam yang banyak
dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan
daya saing internasional sebuah Negara dengan panganugerahan faktornya.
Sumber daya yang dianugerahkan hanyalah bagian dari banyak faktor penentu.
Terdapat Negara-negara yang memiliki banyak sumber daya tetapi memiliki suatu
perekonomian yang lemah. Suatu kesalahan konsep yang lain adalah mengukur
daya saing internasional sebuah Negara dengan pangsa pasar dunianya. Suatu
negara mungkin dengan mudah meningkatkan pangsa pasarnya dengan
menurunkan harga ekspor di bawah biaya produksi, kadang-kadang melalui
subsidi pemerintah, tetapi daya saing internasionalnya tidak selalu menguat. Jadi
untuk meningkatkan kemampuan daya saing produk suatu Negara adalah dengan
selalui menjaga rantai nilai industri , membutuhkan peran aktif seluruh komponen
yang berada dalam lingkungan industri baik dari lingkungan internal maupun dari
eksternal industri.
250
6.2 Analisis Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Hasil temuan dalam studi ini membuktikan bahwa berdasarkan hasil
identifkasi posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu, faktor kekuatan yang
dimiliki industri kerajinan ukiran kayu masih lebih besar dibandingkan dengan
kelemahan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa keberadaan industri kerajinan
ukiran masih cukup potensial untuk terus dikembangkan dengan kekuatan yang
dimiliki antara lain dengan harga produk yang cukup stabil dan tergabung dalam
kluster industri dengan berusaha untuk meminimalisir kelemahan terutama mutu
produk.
Sementara berdasarkan hasil identifkasi posisi strategis industri kerajinan
ukiran kayu bahwa faktor eksternal peluang yang dimiliki industri kerajinan
ukiran kayu relative masih besar walaupun dibandingkan dengan faktor ancaman
yang memiliki skor lebih besar dibandingkan peluang. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa industri kerajinan ukiran masih dapat memanfaatkan
peluang eksternal yang memberikan keuntungan bagi usaha kerajinan ditengah
ancaman yang juga harus dihadapi oleh industri kerajinan ukiran.
Namun demikian, dengan kekuatan yang dimiliki oleh industri kecil
kerajinan ukiran kayu yang sangat sulit ditiru oleh orang lain bahkan Negara lain
adalah kemampuan sumber daya manusia dalam hal ini adalah ketrampilan yang
dimiliki oleh para perajin yang bersifat turun temurun. Dimana produk ukiran
kayu secara keseluruhan menggambarkan unsur budaya dan religiulitas
masyarakat Bali yang sangat dominan. Selain kekhasan dan keunikan yang
melekat pada produk ukiran, terdapat kekuatan besar yang dimiliki atas sproduk
tersebut antara lain perajin telah tergabung dalam kluster industri kecil kerajinan
251
ukiran kayu yang membuat para perajin bisa saling bekerjasama dalam
mendapatkan pasokan bahan baku, proses produksi dan pemasaran produk
dilakukan dengan saling mendukung satu dengan yang lain. Dengan kekuatan
tersebut, perajin yang tergabung dalam industri kecil akan dapat mengatasi
ancaman yang dihadapi terutama terkait dengan semakin berkurangnya pasokan
bahan baku kayu yang sebenarnya bisa diatasi melalui peran serta Pemerintah
dalam bentuk kebijakan lahan hutan ditanami dengan tanaman kayu jati yang
memiliki masa panen dengan waktu yang lebih pendek seperti jati emas, sehingga
diharapkan dalam jangka waktu panjang ketersediaan bahan baku kayu akan
selalu terjaga. Dinamika lingkungan bisnis yang terus berfluktuasi menjadi faktor
penting bagi keberlangsungan pasar ukiran kayu, terutama untuk produk ukiran
yang di ekspor. Ketergantungan ekspor pada satu atau beberapa Negara dapat
membahayakan pasar ukiran kayu, sehingga melalui pemerintah yang
bekerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian dapat melakukan analisis
kembali melalui program reorientasi ekspor yang diharapkan akan dapat
menemukan Negara-negara tujuan ekspor baru yang lebih potensial. Selain itu,
peran masyarakat di wilayah Bali pada khususnya dan seluruh wilayah Indonesia
pada umumnya sebagai konsumen lokal atas produk-produk ukiran kayu tersebut
dapat menjamin pemasaran produk didalam negeri jika seandainya ada gangguan
terhadap jaringan pasar di luar negeri.
Melalui analisis SWOT tersebut telah dapat diindentifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika
yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan
252
ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan
dengan pencapaian misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan
demikian perencana strategis (strategic planner) mampu menganalisis faktor-
faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang
ada (Lee, S. F., & Ko, K. O., 2000; Ip, Y. K., & Koo, L. C., 2004; Rauch, P.,
2007; Nikolaou, I. E., 2010; Manteghi & Zohrabi, 2011)..
Berdasarkan hasil analisis SWOT menunjukkan hasil bahwa posisi industri
pada kuadran II yang menandakan industri cukup kuat namun menghadapi
tantangan yang cukup besar, hasil ini mengindikasikan pada strategi peningkatan
ketrampilan dan investasi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi
untuk mencapai effisiensi. Peningkatan kualitas dan kapasitas produksi dapat
dicapai dengan dukungan pemerintah melalui pendampingan, pelatihan dan
bantuan pinjaman modal. Hal ini juga membutuhkan dukungan perbankan untuk
meningkatkan jumlah investasi melalui pinjaman dengan bunga ringan atau
menghubungkan perajin dengan investor dari luar daerah, seperti kerjasama
perdagangan untuk meingkatkan kapasitas produksi untuk mencapai efisiensi
produksi. Selain itu, strategi diversifikasi dengan usaha yang terkait dapat
diberlakukan dalam merespon posisi masa depan industri kerajinan ukiran kayu.
Industri dalam kondisi mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat
sehingga diperkirakan roda usaha akan mengalami tantangan untuk terus berputar
apabila hanya bertumpu pada strategi yang sebelumnya. Oleh karena itu industri
perlu memperbanyak ragam strategi taktis.
253
6.3 Analisis Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran kayu
Hasil pemetaan posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu berada pada
skenario yang cukup optimis meskipun diperlukan adanya upaya pengembangan
secara lebih intensif dan berdaya guna dalam menghadapi berbagai tantangan
terutama seiring dengan dinamisasi perekonomian dan lingkungan bisnis yang
bahkan tanpa ada batas antar wilayah dan negara. Maka untuk menjalankan
skenario optimis dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu, dibutuhkan
strategi atau kebijakan khusus dalam menjaga eksistensi industri kerajinan ukiran
kayu yaitu strategi dalam pengelolaan keuangan, strategi dalam pengembangan
sumberdaya manusia, strategi dalam manajemen produksi, strategi pemasaran dan
strategi pelayanan publik.
Berdasarkan hasil analisis dengan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) pada tujuh orang yang dianggap expert dalam pengembangan industri
kerajinan, diperoleh hasil sebagaimana bahwa strategi pemasaran menjadi faktor
prioritas yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
Keterbatasan perajin dalam mengakses pasar menjadi kendala utama bagi para
perajin dalam memasarkan produk ukiran kayu. Promosi merupakan salah satu
aspek penting dalam pemasaran terutama memberikan informasi pada pasar
mengenai produk yang dijual. Teknik pemasaran melalui media elektronik
menjadi pilihan prioritas dibandingkan dengan pemasaran lokal dan rencana induk
penjualan atau sale-able masterplan. Media elektronik dianggap sebagai media
paling efektif sejalan dengan semakin berkembangnya teknologi informasi.
Pemerintah Provinsi Bali memiliki program bidang pemasaran yang
dilakukan melalui promosi besar-besaran dibidang pariwisata ke manca Negara
254
dan mengadakan kerjasama dengan travel agent yang ada di luar negeri. Bidang
pemasaran bagi UKM dilakukan secara tidak langsung melalui penyediaan
anggaran yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi yaitu melalui
penyelenggaraan pameran dalam upaya meraih pasar, memberikan bantuan
perkuatan kepada kelompok/sentra kerajinan yang berorientasi ekspor,
menyelenggarakan misi dagang atau kontak bisnis dengan provinsi lain
(menggarap pasar domestik dan lain-lain (Saefuloh, 2007), namun realita di
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum merasakan
manfaat dan fasilitas program-program pemasaran yang sudah disiapkan oleh
pemerintah Provinsi.
Pengembangan sumberdaya manusia menjadi faktor penting selanjutnya
yang memegang peranan penting dalam meningkatkan daya saing produk. Oleh
sebab itu pembinaan SDM UKM ditujukan untuk meningkatkan mutu SDM.
Pembinaan ini dilakukan melalui dan APBD dalam bentuk pendidikan dan
pelatihan manajemen usaha kecil. Pembinaan lainnya dilakukan misalnya melalui
kerjasam dengan Badan pengembangan Ekspor Nasional Departemen
Perindustrian dan Perdagangan bekerjasama dengan Mitra Pengembangan Bisnis
(MPB). Berbagai pembekalan pengetahuan praktis dan ketrampilan menjadi
eksportir (khususnya handycraft) diharapkan dapat meningkatkan diri menjadi
trade mark Bali .(Saefuloh, 2007). Yang menjadi masalah ternyata sebagian besar
responden tidak tahu informasi dan cara mengakses program-program tersebut,
sehingga apa yang diharapkan oleh pemerintah Provinsi atas keberhasilan
program-program tersebut menjadi sulit terealisasi. Salah satu cara untuk
255
mendekatkan gap tersebut adalah dengan mengaktifkan peran asosiasi perajin
yang diharapkan mampu menjadi perantara kesenjangan yang terjadi antara
Pemerintah dengan pelaku industri terutama industri kecil.
Strategi dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu dijalankan
melalui beberapa skenario yaitu skenario optimis, status quo dan pesimis.
Berdasarkan hasil analisis AHP diketahui bahwa skenario optimis yang perlu
didukung dengan investasi yang lebih besar dan perluasan pasar yang agresif.
Sementara bila ditinjau dari analisis balik posisi masa depan industri kerajinan
ukiran kayu di Kabupaten Gianyar perlu dikembangkan scenario implementasi
penuh menjadi prioritas utama yang dijalankan dalam pengembangan industri
kerajinan ukiran kayu.
Upaya pemberdayaan industri kerajinan ukiran merupakan suatu hal yang
mutlak diperlukan guna mewujudkan kerajinan ukiran yang memiliki kemampuan
bersaing (competitive advantage) di pasar domestik, regional maupun
internasional, dengan mengemban misi peningkatan mutu produk, memperluas
pangsa pasar dan memperkuat jaringan pemasaran bagi produk–produk ukiran.
Sementara itu lingkungan strategis industri ukiran masih dihandalkan pada
berbagai kendala baik intern maupun ekstern. Kendala intern terlihat dari
rendahnya mutu SDM, terbatasnya modal, teknologi dan kerjasama usaha.
Sedangkan kendala ekstern ditandai oleh belum kondusifnya lingkungan bisnis
dan belum memadainya infrastruktur.
Disisi lain industri ukiran kayu mempunyai celah-celah yang dapat
menjadi peluang untuk bangkit dalam memenangkan persaingan yaitu globalisasi
dan reformasi ekonomi, keberpihakan pemerintah yang kuat terhadap industri,
256
perkembangan teknologi, debirokratisasi dan deregulasi, otonomi daerah dan
perubahan Departemen Koperasi menjadi Menteri Negara Koperasi dan PKM,
tuntutan pelayanan masyarakat, meningkatnya kepedulian lembaga donor
internasional terhadap UKM Indonesia dan sebagainya.
Oleh karena itu industri kerajinan ukiran kayu ditantang untuk
meningkatkan daya saing dan pangsa pasarnya, menguatkan dan memperluas
basis usaha dan kewirausahaannya, memperkukuh struktur dunia usaha yang
berintikan UKM dan memulihkan serta mengembangkan kemampuan untuk
keluar dari krisis ekonomi. Untuk kepentingan tersebut, dukungan Pemerintah
terhadap pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu menjadi faktor sangat
penting. Dimana Pemerintah seyogyanya mampu membuat berbagai kebijakan
yang memperkuat daya tarik industri kerajinan ukiran kayu seperti menciptakan
iklim usaha yang baik yang didukung oleh tumbuhnya kemitraan dari industri
hulu dan hilir amupun kemudahan mendapatkan HKI. Selain itu, diperlukan juga
kebijakan Pemerintah yang memperkuat daya dukung faktor-faktor pendorong
daya saing industri kerajinan ukuran kayu yang terkait dengan ketersediaan bahan
baku kayu yang semakin sulit didapat, dukungan permodalan dan peningkatan
kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan inovasi produk (Gambar
2.1).
Sehubungan dengan kondisi lingkungan strategis industri kerajinan ukiran,
maka strategi kebijakan pemberdayaan kerajinan ukiran kayu mencakup empat
strategi pokok.
1. Strategi kebijakan pertama ditujukan untuk memungkinkan terbukanya
kesempatan berusaha seluas-luasnya serta kepastian usaha sebagai prasyarat
257
utama untuk menjamin berkembangnya industri kerajinan ukiran. Strategi
kebijakan ini mencakup:
a. Sejalan dengan kebijakan moneter yang mendukung stabilitas suku
bunga pinjaman yang wajar dan dapat dijangkau oleh industri, terutama
pengusaha mikro; dilaksanakan penyempurnaan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan sektoral; penyederhanaan perizinan, peraturan
daerah dan retribusi; serta peningkatan upaya penegakan hukum.
b. Pemberian sistem insentif pajak dan kemudahan untuk
menumbuhkembangkan sistem dan jaringan lembaga pendukung industri
ukiran yang lebih meluas di daerah, seperti lembaga keuangan atau
pembiayaan yang mandiri dan mengakar di masyarakat atau dapat
disebut sebagai lembaga keuangan masyarakat (LKM), lembaga
penjamin dana, dan lembaga profesional sebagai penyedia pelatihan,
teknologi, informasi, dan layanan advokasi.
c. Peningkatan kemampuan aparat dan menyederhanakan birokrasi
pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan fungsi sebagai
fasilitator sejalan dengan pelimpahan kewenangan daerah dalam
melaksanakan kebijakan dan program pemberdayaan industri.
2. Strategi kebijakan kedua ditujukan untuk memperluas akses kepada sumber
daya produktif agar industri ukiran semakin mampu memanfaatkan
kesempatan yang terbuka, potensi sumberdaya alam lokal yang dimiliki serta
meningkatkan skala usahanya. Strategi kebijakan ini mencakup:
a. Peningkatan kemampuan lembaga layanan pengembangan usaha,
teknologi dan informasi bagi industri di tingkat lokal serta penciptaan
258
sistem jaringan melalui penguatan manajemen atau pendampingan
kepada lembaga layanan tersebut secara partisipatif dan kompetitif.
b. Peningkatan kualitas jasa layanan LKM serta lembaga keuangan
sekunder di tingkat lokal melalui dukungan (a). perlindungan status
badan hukum, kemudahan perizinan serta penyediaan sistem insentif;
(b).penguatan manajemen serta pemodalan dan penjaminan secara
partisipatif, kompetitif dan adil dengan memilih lembaga yang potensial,
kuat dan menjanjikan berdasarkan kinerja masa lalunya; (c).
pengembangan sistem penilaian kredit yang didukung oleh jaringan
sistem informasi antar LKM sehingga dapat menghilangkan persyaratan
agunan dan memudahkan akses kredit; dan (d). pembentukan sistem
jaringan antar LKM agar terjalin kerjasama dan tercipta sistem
peminjaman antar LKM.
c. Mendorong berkembangnya lembaga-lembaga pelatihan khusus bagi
industri ukiran dan anggota sebagai bagian dari upaya untuk
mempercepat peningkatan kualitas SDM. Lembaga-lembaga tersebut
adalah lembaga yang dikelola oleh dunia usaha serta masyarakat. Sistem
insentif perlu diberikan pada tahap awal bersamaan dengan upaya
perkuatan antara lain melalui pelatihan dan pemagangan pengelola dan
instruktur; pembinaan manajemen; sertifikasi pelatihan dan akreditasi;
dan pengembangan jaringan kerjasama antar lembaga pelatihan. Sejalan
dengan itu perlu dilakukan reorientasi dan restrukturisasi lembaga
pendukung usaha milik pemerintah menjadi lembaga mandiri.
259
3. Strategi kebijakan ketiga ditujukan untuk mengembangkan industri kerajinan
ukiran yang mempunyai keunggulan kompetitif, terutama yang berbasis
teknologi. Strategi ini mencakup:
a. Peningkatan kualitas pengusaha ukiran kayu menjadi wirausaha yang
mampu memanfaatkan potensi, keterampilan atau keahliannya untuk
berkreasi, berinovasi dan menciptakan lapangan kerja serta
mengembangkan budaya berusaha.
b. Penerapan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Disahkannya
Undang-Undang Desain Industri menjadi UU Nomor 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah
dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap desain industri
yang sebelumnya tidak mendapatkan pengaturan hukum secara khusus.
c. Pengembangan lembaga inkubator bisnis dan teknologi yang selain
dapat berfungsi untuk mendukung pengembangan industri juga
merupakan sarana untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis
teknologi. Hal ini disertai dengan pengembangan modal ventura dan
penyediaan pinjaman berjangka panjang; sistem insentif untuk kemitraan
industri kerajinan ukiran kayu dengan investor asing untuk produk
unggulan berorientasi ekspor; dan dukungan penelitian dan
pengembangan teknologi dalam pengembangan teknologi proses dan
produk ukiran kayu.
d. Pengembangan jaringan produksi dan distribusi industri kerajinan
melalui pengembangan usaha kelompok. Jaringan antar industri dan
antar kelompok industri melalui wadah koperasi dengan
260
mengembangkan keterkaitan usaha melalui integrasi vertikal dan
horizontal, maupun jaringan antara industri dan usaha besar melalui
kemitraan usaha.
e. Perkuatan organisasi dan kemampuan manajemen industri melalui
wadah koperasi untuk meningkatkan skala usaha yang ekonomis dan
meningkatkan efisiensi secara bersama, antara lain dengan implantasi
tenaga ahli atau manajemen serta penerapan manajemen partisipatif dan
manajemen mutu terpadu.
f. Pengembangan teknologi informasi dan membentuk jaringan kerjasama
lembaga-lembaga layanan dan pendukung industri sehingga tercipta
spektrum kerjasama layanan saran dan profesi atau keahlian yang
paripurna disertai pelatihan dan pemagangan bagi para pengelolanya.
4. Strategi kebijakan keempat dilakukan melalui pengembangan pemasaran dan
jaringan usaha dengan kebijakan dan strategi yang meliputi pemberian iklim
usaha yang kondusif, peningkatan daya saing dan capacity building,
perluasan akses pasar, dan pengembangan sistem informasi serta
infrastruktur.
Strategi kebijakan tersebut selanjutnya diwujudkan dalam berbagai program
diantaranya:
a. Program pengembangan sistem pendukung usaha. Program ini bertujuan
menciptakan iklim usaha yang kondusif serta memperkuat peran dan
fungsi lembaga-lembaga pendukung yang penting untuk meningkatkan
akses industri pada sumber daya produktif, terutama pelaku usaha yang
masih tertinggal. Program ini antara lain mencakup penyempurnaan
261
segala peraturan dan ketentuan yang menghambat kesempatan dan
kegiatan industri serta mengurangi biaya transaksi yang timbul; dan
perkuatan lembaga-lembaga pendukung pengembangan industri
kerajinan ukiran, seperti sistem dan jaringan lembaga keuangan,
pengembangan SDM, jasa pengembangan teknologi dan informasi serta
sistem dan jaringan produksi dan distribusi.
b. Program pengembangan kewirausahaan dan industri kerajinan ukiran
berkeunggulan kompetitif. Program ini ditujukan untuk mengembangkan
sikap dan semangat kewirausahaan serta meningkatkan kemampuan atau
keterampilan pengusaha ukiran kayu. Program ini mencakup, antara lain
pengembangan kewirausahaan dan kewirakoperasian serta
pengembangan usaha dalam aspek keterampilan dan pengetahuan
mengenai modal, pasar, manajemen usaha, teknologi, dan informasi. Hal
tersebut ditempuh melalui pelatihan perencanaan dan strategi
pengembangan usaha, etika berusaha dan profesi, pelatihan kepada
pengurus atau pengelola dan angggota usaha dan koperasi untuk
berusaha secara kooperatif, serta pelatihan motivator industri dan
koperasi untuk meningkatkan partisipasi aktif anggota, serta perkuatan
dan pengembangan lembaga inkubator teknologi dan bisnis berdasarkan
prinsip kemandirian; serta pengembangan desain, proses, mutu produk
dan teknologi informasi bagi jaringan usaha.
c. Program pemetaan dan sistem informasi pasar. Program ini dilakukan
melalui promosi dan pengembangan infrastruktur jaringan, rekadana dan
pemberdayaan asosiasi, penumbuhan iklim kondusif dan kerjasama luar
262
negeri. Penumbuhan iklim usaha yang kondusif dilakukan melalui
pemberian dukungan peraturan peundang-undangan yang memberikan
perlindungan kepada industri kerajinan diantaranya dengan melakukan
kajian peraturan perundang-undangan mengenai industri kerajinan,
penyusunan rancangan undang-undang subkontrak, kajian kebijakan
ekspor impor, pemberian bebas fiskal bagi industri kerajinan untuk
promosi, dan revisi Keppres tentang pencadangan Usaha.
6.4 Temuan Teoritis dan Empiris
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa studi ini
diharapkan dapat menjelaskan rantai nilai yang terkait dengan industri kecil
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali, yang diharapkan hasil
studi ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
Pemerintah Daerah, perajin, tokoh masyarakat dan masyarakat sebagai masukan
untuk menjadi pertimbangan dalam upaya melestarikan produk ukiran kayu serta
meningkatkan daya saing produk tersebut di pasar global.
Temuan teoritis maupun empiris sulit dibedakan antara satu dengan lain-
nya karena merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Temuan-
temuan tersebut adalah.
1) Temuan terkait dengan analisis rantai nilai menunjukkan bahwa industri
kerajinan ukiran kayu memiliki keterbatasan dalam mempertahankan dan
mengembangkan usahanya baik dari aspek hulu dan hilirnya yaitu yang terkait
dengan pasokan bahan baku, dimana sumber bahan baku kayu semakin sulit
didapat di sekitar Bali, sehingga perajin harus mendatangkan dari Jawa atau
263
Kalimantan. Sulitnya bahan baku ini menimbulkan harga kayu dan biaya
transportasi yang mahal. Sebagaimana diungkapkan dalam teori rantai nilai
Porter, bahwa semakin panjang rantai hulu hilir yang dibangun dalam suatu
industri, maka akan menimbulkan biaya yang tinggi (Hill & Jones, 1998),
namun berbeda dengan rantai hulu hilir pada industri kerajinan ukiran kayu
yang terdiri dari pemasok, perajin dan konsumen akhir, tetapi biaya produksi
juga tinggi yang disebabkan oleh kondisi daya tawar tawar pemasok yang
lebih kuat mengakibatkan nilai tambah yang dinikmati oleh perajin relatif
lebih kecil dibandingkan dengan nilai tambah yang dinikmati oleh pemasok.
2) Hasil temuan melalui analisis SWOT menunjukkan bahwa faktor kekuatan
yang dimiliki industri kerajinan ukiran kayu lebih besar dibandingkan dengan
kelemahannya. Namun pada kenyataan, industri kerajinan ukiran kayu banyak
menghadapi kelemahan seperti akses informasi pasar yang masih kurang
sehingga penjualan produk untuk pasar yang lebih luas maupun pasar ekspor
hanya bisa diakses oleh perajin tertentu (skala besar), selain itu
berkembangnya teknologi informasi sebagai pendukung aktivitas promosi dan
penjualan juga tidak mampu diakses oleh sebagian besar perajin.
3) Hasil temuan yang terkait dengan strategi pemberdayaan menunjukkan bahwa
industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar mengalami banyak
keterbatasan mulai dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan perajin dalam
mengakses modal yang disediakan oleh pemerintah, terbatasnya
pendampingan pengembangan usaha, tidak adanya perlindungan atas karya
yang dihasilkan oleh perajin, ketidaktahuan sebagian besar perajin dalam
264
membangun kemitraan dan ketidakmampuan sebagian besar perajin dalam
menembus pasar global.
4) Hasil temuan berdasarkan kombinasi analisis rantai nilai, analisis SWOT dan
AHP menunjukkan bahwa titik fokus dalam rangka pemberdayaan industri
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar adalah terkait dari aspek
pemasaran terutama melalui e-marketing. Media elektronik dianggap sebagai
media paling efektif dalam memperluas akses pasar baik pasar domestik
maupun internasional sejalan dengan semakin berkembangnya teknologi
informasi.
5) Hasil temuan teoritis menunjukkan bahwa : a) Teori rantai nilai yang
dikemukakan oleh Porter , bahwa semakin panjang rantai hulu hilir yang
dibangun dalam suatu industri akan menimbulkan biaya yang tinggi dan
semakin kecil nilai tambah yang bisa dinikmati oleh produsen, namun
berbeda dengan rantai hulu hilir pada industri kerajinan ukiran kayu yang
relative pendek tetapi biaya produksi juga tinggi dan nilai tambah yang
dinikmati oleh produsen atau perajin menjadi kecil. Jadi bukan panjang
pendeknya mata rantai, tetapi sangat ditentukan oleh seberapa besar
ketergantungan perajin terhadap input. Disamping itu juga ditentukan oleh
seberapa besar informasi pasar yang diketahui oleh perajin. Kalau terjadi
distorsi informasi pasar, maka teori rantai nilai dari Porter tidak bisa berlaku
sepenuhnya. b) Teori migrasi yang dikemukakan oleh Lewis, bahwa akan
terjadi perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota sehubungan dengan
perkembangan sektor industri di Kota akibat terjadinya perubahan struktur
ekonomi atau di sebut juga transformasi struktural, menjadi tidak berlaku
265
sepenuhnya dengan tumbuhnya industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar. Keberadaan industri kerajinan ukiran ini ternyata mampu meredam
arus migrasi, karena sebagian tenaga kerja lokal lebih memilih di lingkungan
tempat tinggalnya sebagai tempat usaha, bahkan tenaga kerja yang tidak
mampu mengakses pasar kerja di Kota lebih memilih kembali ke Desa dan
bekerja pada industri kerajinan Ukiran kayu.
6.5 Keterbatasan Studi
Beberapa keterbatasan serta hambatan-hambatan lain yang dialami selama
studi ini antara lain:
1) Terbatasnya lokasi penelitian. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu
unit analisis yaitu industri kecil kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar Bali;
2) Studi ini dapat dipakai sebagai basis generalisasi bagi industri-industri lain
terutama bagi industri yang memiliki karakteristik produk dan cara
pengelolaan yang menyerupai obyek dalam studi ini;
3) Variabel-variabel yang dikembangkan dalam studi ini relatif masih
terbatas karena sebenarnya masih banyak variabel-variabel lain yang bisa
dikembangkan lebih mendalam seperti variabel budaya, kelembagaan dan
variabel-variabel lain yang relevan untuk dikembangkan dalam model;
4) Studi ini adalah penelitian survei dengan menggunakan data cross
sectional dan kuisioner, sehingga data sangat tergantung pada jawaban
responden yang tidak dapat di kontrol oleh peneliti. Diharapkan studi
selanjutnya menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode grounded
266
research, sehingga dapat diketahui secara mendalam tentang
perkembangan industri kecil dari aspek perajin, pemerintah, masyarakat
dan kelembagaan yang tepat agar posisi industri ukiran kayu tetap eksis
dan terus berkembang seiring dengan tetap terjaganya nilai-nilai budaya
yang tercermin dalam setiap guratan ukiran kayu.
267
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari integrasi tiga model analisis yang di gunakan dalam penelitian
diperoleh hasil untuk pemberdayaan ekonomi industri kerajinan ukiran kayu
secara maksimal ( achievement ) sebagai berikut :
1) Berdasarkan hasil analisis rantai nilai diketahui bahwa rantai nilai kerajinan
ukiran kayu terdiri dari ; Pemasok , Produsen produk ukiran kayu, Trader atau
Eksportir dan Konsumen akhir. Kendala yang dihadapi perajin di tingkat hulu
yaitu proses produksi kekurangan pasokan bahan baku kayu yang berasal
dari pulau Bali sendiri dan modal. Sedangkan kendala di hilir kurangnya
dukungan Dinas Perindustrian dan perdagangan seta Dinas Koperasi
(Pemerintah) dalam proses pemasaran dan sarana pamer produk hasil
kerajinan ukiran kayu di Provinsi Bali dan tingkat Nasional;
2) Berdasarkan hasil analisis SWOT, diperoleh hasil pemetaan posisi strategis
industri kerajinan ukiran kayu ada pada kuadran II yang menandakan industri
cukup kuat namun menghadapi tantangan yang besar, hasil ini
mengindikasikan pada strategi peningkatan ketrampilan dan investasi untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi untuk mencapai efisiensi;
3) Hasil pemetaan posisi strategis indutri kerajinan ukiran kayu berada pada
skenario yang optimis. Untuk menjalankan skenario optimis dalam
pemberdayaan industi kerajinan ukiran kayu dibutuhkan strategi prioritas
yaitu strategi pemasaran terutama melalui e-marketing.
268
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan sebagai berikut.
1) Pemerintah dapat mengambil beberapa kebijakan terkait dengan
keberlangsungan rantai nilai Industri kecil kerajinan ukiran kayu.
a. Membuat kebijakan yang berhubungan dengan ketersediaan bahan baku
kayu dalam jangka pendek melalui pemberian fasilitas kemudahan
mendatangkan kayu dari daerah lain. Dalam jangka panjang
memfasilitasi penelitian dan pengembangan (R & D) dengan bekerjasama
dengan institusi pendidikan dan pihak swasta untuk mengatasi kelangkaan
bahan baku kayu. Dan melalui kementerian kehutanan melakukan
penanaman kayu pada lahan-lahan yang tersedia dengan jenis yang di
butuhkan oleh perajin ukiran kayu misalnya jati emas.
b. Pemerintah hendaknya lebih komunikatif dan sebagai mediator antara
lembaga keuangan dengan para perajin ukiran kayu melalui kegiatan
sosialisasi program seperti adanya regulasi kredit dan Jamkrida (Jaminan
Kredit Daerah) yang di salurkan melalui Bank Pembangunan Daerah Bali
(BPD) serta meningkatkan peran organisasi Asosiasi perajin agar
mampu menjadi mediator antara program Pemerintah dengan perajin
agar dapat mengetahui informasi mengenai permodalan, manajemen
usaha yang baik , serta penguatan kelembagaan dengan melakukan temu
usaha bisnis secara rutin dalam rantai nilai kluster industri kerajianan
kayu. Disamping itu penguatan modal sosial dengan melibatkan tokoh
masyarakat dalam mensosialisasikan program program pemerintah kepada
perajin.
269
c. Meningkatkan image pengukir kepada generasi muda dengan memberi
fasilitas khusus kepada sekolah pendidikan ukiran kayu dengan
melibatkan seniman yang capable sebagai mentor dan motivator generasi
penerus pengukir kayu dan melibatkan dunia pendidikan dalam
menanamkan jiwa kewirausahaan sejak dini melalui kurikulum
pendidikan. Sehingga mampu memperkecil alih pekerjaan dengan
menanamkan spirit bisnis keluarga dengan etos kerja yang tinggi, untuk
melanjutkan kelangsungan industri kerajinan kayu dan melestarikan
keunikan seni mengukir yang dimiliki komunitas perajin ukiran kayu di
Bali khususnya di Kabupaten Gianyar.
2) Berdasarkan hasil pemetaan posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu,
dapat disarankan sebagai sebagai berikut :
a. Meningkatkan kualitas dan kapasitas hasil ukiran kayu melalui pelatihan
teknis produksi dengan teknologi inovatif, disain produk, manajemen
mutu, memfasilitasi perajin untuk pembuatan produk yang memiliki
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mendapatkan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HKI).
b. Pemerintah hendaknya bekerjasama dengan lembaga – lembaga penelitian
dapat melakukan analisis program reorientasi ekspor yang di harapkan
dapat menemukan negara – negara tujuan ekspor baru yang lebih
potensial. Memfasilitasi perajin untuk memperluas pasar ekspor melalui
pendampingan dan kemudahan pengurusan Sertifikasi Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) sebagai persyaratan ekspor bagi perajin yang mengekspor
hasil kerajinan.
270
c. Meningkatkan pelaksanaan Perda Provinsi Bali nomor 5 tahun 2005
tentang bangunan gedung. Implementasi perda tersebut melalui bangunan
atau arsitektur Bali maupun elemen – elemen arsitektur Bali di tingkatkan
melalui peningkatan pengawasan, baik pada tahap perencanaan maupun
pada tahap konstruksi. Hal ini dapat meningkatkan peran masyarakat Bali
khususnya dan Indonesia pada umumnya sebagai konsumen lokal atas
produk - produk ukiran kayu.
3) Berdasarkan hasil analis Analitical Hierarchy Process (AHP) dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengembangan program One Village One Product dan pemerintah
hendaknya menyediakan tempat sentral ajang pamer ( trade center )
produk ukiran kayu.
b. Melibatkan perajin ukiran kayu secara intensif dalam kegiatan promosi
dan pameran melalui roadshow, e-marketing, website, bekerjasama dengan
pemerintah.
c. Harus ada komitmen atau political will untuk berpihak kepada perajin
melalui sinergisitas dan konektivitas dari sisi regulasi, mulai dari
perencanaan sampai implementasinya.
271
DAFTAR PUSTAKA
Aaker A., Kumar V. and Day G. S. 2001. Marketing Research. Seventh
Edition.
New York: John Wiley & Sons. Inc.
Abimanyu, A. 1994. Orientasi Usaha dan Kinerja Bisnis Konglomerat. Makalah
dalam Seminar Nasional Mencari Keseimbangan Antara Konglomerat dan
Pengusaha Kecil-Menengah di Indonesia: Permasalahan dan Strategi,
Dies Natalis STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta, 30 April.
Aleke-Dondo, C. 1997. Evolution and Experience of Credit Programs for Small-
Scale Enterprices. In Cleaner Production and Small Enterprise
development in Kenya, ed. Frijns, J. & Malombe, J. M., p. 61 – 66
Antara, M. 2003. “UKM Motor Penggerak Perekonomian di Era Otonomi
Daerah”. Makalah
Atmojo, W.T., dkk. 2007. Pariwisata dan Kerajinan Kayu di Gianyar Bali
Kelangsungan dan Perubahannya. Artikel. Universitas Negeri Medan.
Pp. 1-11
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan, cetakan ke-2, Yogyakarta:
Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Arsyad, Lincolin. 2010. Pembangunan Ekonomi, Unit Penerbit STIM YPKN
Yogyakarta , Edisi 5
Azis, I. J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Bali 2001. Program Pembangunan
Daerah Propinsi Bali Tahun 2001-2005.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali .2001. Tabel Input-Output Pariwisata Bali
2000. Kerjasama Bappeda Bali dengan Badan Pusat Statistik Propinsi
Bali.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2001–2006, Survey Industri Besar dan
Menengah tahunan.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Laporan perekonomian indonesia.
Bazan, L. & Navas-Aleman, L. 2001. Comparing in Chain Governance and
Upgrading Patterns in the Sinos Valley, Brazil. Unpublished paper presented
272
at Workshop on Local Upgrading in Global Chain. Brighton: Institute of
Development Studies.
Becattini, G. 1990. The Marshallian Industrial District as a Socioeconomic Nation.
In F. Pyke, G. Becattini & W. Sengenberger (Eds.), Industrial Districts and
Inter-Firm Cooperation in Italy. Geneva: ILO.
Bernroider, Edward, 2002, Factors in SWOT Analysis Applied to Micro, Small-
to-Medium, and Large Software Enterprises: An Austrian Study, Journal of
European Management Journal Vol. 20, No. 5, pp. 562–573,
Berry, A., et al. 2001. Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.
Bulletin of Indonesia Economic Studies. Vol 37. No.3 Dec 2001.
Brata, A. G. 2003. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun II No 8, Nopember.
Bishop, Sangeta, and Parrott, Christine et al, 2011 : AP.
Macroeconomic/Microeconomic; Publisher : Kaplan Publishing, New
York.
Cooper, Donald R., and Emory, William. 1995. Business Research Methods. Fifth
Edition, USA: Irwin R.D.,Inc.
Carillo, Maria Rosario,2002 : Human capital formation in the new growth theory :
the role of social factors. http://growth book2.ec.unipi.it/papers
Libro/Carillo.pdf.
, and Lybrand. 1996. European Value Chain Analysis Study.
Europe: ECR Europe
, and Slagmulder. 1999. Supply Chain Development for the Lean
Enterprise, Productivity. Portland: OR
David, F. R. 1997. Strategic Management, 6th
Edition. New Jersey: Prentice Hall
Englewood Cliffs.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bali. 2009. Rencana Strategi
Propinsi Bali Tahun 2009-2013. Bali.
2011. Realisasi Ekspor Daerah Bali Periode 2009-2011. Bali.
Dekker, H. C., & Van Goor, A. R. 2000. Supply Chain Management and
Management Accounting: A Case Study of Activity-Based Costing.
International J. Logist: Res. Appl. 3, 41 – 52
273
Dodge, Eric R, .2010. Microeconomics/Macroeconomics McGraw – Hill, New
York.
Frijns, Jos and Van Vliet, Bas, 1999, Small-Scale Industry and Cleaner
Production Strategies, Journal of World Development, Vol. 27, No. 6,
pp. 967-983.
Gray C, et. al. 2002. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Galor O, 2005, From Stagnation to Growth: Unified Growth Theory. Handbook of
Economic Growth, Elsevier.
Haahti, A. J. 1993. Intersratos – Internationalization of strategic Orientations of
European small and Medium-Sized Enterprises. Brussels: European
Institue for Advanced Studies in Management Report - 01
Hafsah, M. J. 2004. Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Infokop No.25 Tahun XX.
Hitt, Michael A., Et Al., 1997, Manajemen Strategis : Menyongsong Era
Persaingan Dan Globalisasi, Jakarta: Terjemahan, Penerbit Erlangga.
Hill, Charles W.L., And Gareth R. Jones, 1998, Strategic Management : An
Integrated Approach, Fouurt Edition, Usa: Houghton Miffin Company.
Hill, Hal., 2000. Ekonomi Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
, 2001a. Small and Medium Enterprises. Indonesia Asian Survey
41 (2).
, 2001b. Small and Medium Enterprises in Indonesia: Old Policy
Challenges for a New Administration. Asian Survey 41 (2).
Husein, U. 2010. Desain Penelitian Manajemen Strategik. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hutomo, Mardi yatmo. 2000. Ekonomi Kerakyatan. Artikel Bapenas.
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8584/.
Ip, Y. K., Koo, L. C. 2004. BSQ Strategic Formulation Framework a Hybrid of
Balanced Scorecard, SWOT Analysis and Quality Function Deployment.
Managerial Auditing Journal, Vol. 19 No. 4, 533 – 543.
Intan, A.H. E., Gumbira, S., dan Saptono I. T. 2003. Strategi Pengembangan
Industri Pengolahan Sabut Kelapa Nasional (Strategy on the Development
274
of National Coir Processing Industry). Jurnal Manajemen & Agribisnis.
Vol. 1 No. 1 April 2003. P. 42-54.
Irawan, dan Suparmoko. 1981. Ekonomi Pembangunan, edisi ketiga, Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Iswardono S.P. 1990. Ekonomika Mikro. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jafar M., Hafsah. 2000. Kemitraan Usaha. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jauch, Lawrence R., and William F Glueck, 1988, Strategic Management And
Business Policy, 5 th Edition, Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Karjantoro, A.K. 2002. Usaha Kecil dan Problem Pemberdayaannya. Majalah
Usahawan. 4: XXXI:52-56
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui
Kemitraan Guna Mewujudkan Ekonomi Nasional Yang Tangguh Dan
Mandiri. Seminar Nasional. Lembaga Pembinaan Pengusaha Kecil
Menengah dan Koperasi (LP2KMK-GOLKAR).
Kembar Sri Budhi, Made, 2009 : Nilai Tambah Ekonomi dan Nilai Tambah
Sosial, ISBN 928- 929
Kerlinger, F. N. 1990. L.R Simatupang). Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Kodrat, D. S. Manajemen Strategi: Membangun Keunggulan Bersaing Era Global
di Indonesia Berbasis Kewirausahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu
. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan
Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP-AMP YKPN.
Koontz, Harold, and Heinz Weichrich, 1990, Essential of Management, New
York: Mcgraw-Hill Publishing Company
Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan
Ekonomi. Yogyakarta: UPP-AMP YKPN.
. 2003. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: LPP AMP YPKN.
. 2010. Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan, Yogyakarta:UPP
STIM YKPN
Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium. Jakarta: Prenhanllindo.
275
Kurniawan Paulus K, 2011. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Keterkaitannya,
Perpustakaan Program Doktor Ilmu Ekonomi Unud, tidak diterbitkan.
dan Supomo, I. A. 2003. Analisis Formasi Ketrekaitan, Pola Kluster
dan Orientasi Pasar: Studi Kasus Sentra Industri keramik di kasongan
Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta. Jurnal Empirika, Volume 16. Juni.
No.1. p. 1-20.
Lee, S. F., & Ko, K. O. 2000. Building Balance Scorecard with SWOT Analysis,
and Implementing “Sun Tzu’s The Art of Business Management
Strategies” on QFD Methodology. Managerial Auditing Journal, 15/1/2,
68 – 76
Luzzati, Tommaso, 2008: Growth Theory and The Environtment : how to include
matter without making it really matter. http://growth
book2.ec.unipi.it/papersLibro/Luzzati.pdf.
Manteghi, N., and Zohrabi, A. 2011. A Proposed Comprehensive Framework for
Formulating Strategy: A Hybrid of Balanced Scorecard, SWOT Analysis,
Porter’s Generic Strategies and Fuzzy Function Deployment. Procedia
Social and Behavior Sciences 15. p. 2069 - 2073
MOCSME (Ministry of Cooperative and SMEs, Departemen Koperasi,
Pengusaha Kecil dan menengah), 1999. Statisti: Koperasi Pengusaha Kecil
dan Menengah. Jakarta: Statistik: Koperasi Pengusaha Kecil dan
Menengah.
Narimawati, Umi. 2008. Teknik-Teknik Analisis untuk Riset Ekonomi. Jakarta:
Graha Ilmu.
Nikolaou, I. E., & Evangelinos, K. I. 2010. A SWOT Analysis of Environmental
Management Practice in Greek Mining and Mineral Industry. Resources
Policy, 35, 226 – 234.
North, Douglas. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic
Performance. Cambridge University Press.
Perkin, Dwight,et al, 2001: et al, 2001 : Economic of Development 5 Edition (
W.W Norton & Company. New York, N,Y 2001) 9-15.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2002. Analisis Indikator Sosial Ekonomi Jawa
Timur Tahun 1998 – 2002. Buku 2. Ringkasan Eksekutif
Pemerintah Provinsi Dati I Bali. 1999. „Rancangan Naskah Pola Dasar
Pembangunan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Tahun
1999/2000-2003/2004‟.
276
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Riley, Geoff and College, Eton, 2006 : A2 Macroconomic/International Economy
Theories of Economic Growth. Http://tutor 2u. Net/ economic/ revision-
notes/a2-macro-theories-of-economic-growth.html.
Saaty, T. L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: McGraw Hill
Inc.
_______. 1990a. How to Make Decision: The Analytic Hierarchy Process.
European Journal of Operational Research, 48 (1), p. 9 – 26.
_______. 1990b. Physics as a Decision Theory. European Journal of Operational
Research, 48 (1), p. 98 – 104.
_______. 1994a. Homogeneity and Clustering in AHP Ensure the Validity of the
Scale. European Journal of Operational Research, 72 (3), p. 598 – 601.
_______. 1994b. Highlights and Critical Points in the Theory and Application of
the Analytic Hierarchy Process. European Journal of Operational
Research, 74 (3), p. 426 – 447.
_______. 2003. Decision Making with the AHP: Why in the Principal
Eigenvector Necessary. European Journal of Operational Research, 145
(1), p. 85 – 91.
_______. 2003. Decision Making with the AHP: Why in the Principal
Eigenvector Necessary. European Journal of Operational Research, 145
(1), p. 85 – 91.
_______. 2006. Rank from Comparison ang from Ratings in the Analitic
Hierarchy/Network Processes. European Journal of Operational
Research, 168 (2), p. 557 – 570.
Saaty, T. L. & Shang, J. S. 2011. An Innovative Orders-of-Magnitute Approach to
AHP-Based Multi-Criteria Decision Making: Prioritizing Divergent
Intangible Humane Acts. European Journal of Operational Research,
214, p. 703 -715.
Saaty, T. L. & Takaziwa, M. 1986. Dependence and Independence: From Linear
Hierarchies to Non Linear Network. European Journal of Operational
Research, 26 (2), p. 229 – 237.
Sukirno, Sadono. 2006, Ekonomi Pembangunan Proses masalah dan Dasar
Kebijakan, cetakan ketiga, Penerbit Kencana, Jakarta.
277
Siagian. 1982. Pembangunan ekonomi dalam cita-cita dan realita. Digital Library
of State University of Malang http://library.um.ac.id/free-
contents/printbook1.php/koleksi-digital-perpustakaan-21103.html
Soebagiyo, D. dan Wahyudi, M. 2008. Analisis Kompetensi Produk Unggulan
Daerah Pada Batik Tulis dan Cap Solo di Dati II Kota Surakarta. Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Vol. 9. No. 2. Desember. p 184-197.
Suarja, Wayan AR., 2007. Prospek Pengembangan Kredit Usaha Rakyat dalam
Mendukung Pemberdayaan UMKM dan Koperasi. Jakarta: Harian Media
Indonesia tanggal 23 Nopember 2007.
Sueyoshi, T., Shang, J., & Chiang, W. 2009. A Decision Support Framework for
Internal Audit Prioritization in Rental Car Company: Combined Use
between DEA and AHP. European Journal of Operational Research, 199
(1), p. 219 – 231.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung:
Refika Aditana.
Syarif, Umar, 1983. Metode Statistik. Edisi Keenam. Bandung: Penerbit Tarsito.
Slovin‟s Formula Sampling Techniques, www.eHow.com, Education- Tembolok
diunduh 6 Juni 2012.
Tambunan, T. 1999. Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia. Jakarta:
PT. Mutiara Sumber Widya.
. 2003. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil Menengah. Media
Mahardhika, Vol. 1 Nomor 2 Januari: 1 - 9.
. 2012. Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia (Isu-isu
Penting). Jakarta: LP3ES.
Todaro, Michael P. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid II,
diterjemahkan oleh Burhanudin Abdullah. Jakarta: Erlangga.
Thoha, M. 2000. Pengembangan Ekonomi Kerakyatan : Kekuatan, Kelemahan,
Tantangan dan Peluang dalam Indonesia Menapak Abad 21, Kajian
Ekonomi Politik, Jakarta: IPSK-LIPI.
Thompson Jr, Arthur A. and Strickland III, A.J. 2003. Strategic Management,
Concept and Case. New York: Mc. Graw Hill Comapanies Inc.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah.
278
Undang Undang No. 9 Tahun 1995Tentang : Usaha Kecil
Urata, Shujiro. 2000. Policy Recommendations for SME Promotion in Indonesia.
Report to the Coordination Ministry of Economy, Finance and Industry.
Jakarta.
Wiryono, 2004. Penelitian Manfaat Kredit Mikro Untuk UKM. Disertasi Doktor.
Fakultas Bidang Keahlian Ekonomi Pembangunan Fakultas Pascasarjana
Universitas Pajajaran Bandung. Bandung.
Wheelen, Thomas L., And J. David Hunger, 2007, Strategic Management And
Business Policy, 11th Edition, Addison – USA: Wesley Publishing
Company.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan “Paradigma, Teori dan
Kebijakan”. Jakarta: Erlangga.
Zainuddin, Muhamad, 1995. Metodologi Penelitian. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Recommended