View
34
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
Tipus
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara
mendadak dan dapat menimbulkan cacat atau kematian. Secara umum,
stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD) dan
kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan
stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO)
(Bustan, 2000). Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga
sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat
(disabilitas, invaliditas) (Lumbantobing, 2003).
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh
iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh
darah otak yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak
tertentu (Hacke, 2003). Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus,
menyebabkan hipoksia sampai anoksia salah satu daerah pendarahan otak tersebut.
Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subarakhnoid
(Bruno et al., 2000).
II. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat
dan meskipun rata-rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke tetap
meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah populasi tua/meningkatnya
harapan hidup. Terdapat beberapa variasi terhadap insidensi dan outcome stroke di
berbagai negara. Sampai dengan tahun 2005 dijumpai prevalensi stroke pada laki-laki
2,7% dan 2,5% pada perempuan dengan usia ≥18 tahun. Diantara orang kulit hitam,
prevalensi stroke adalah 3,7% dan 2,2% pada orang kulit putih serta 2,6 % pada orang
Asia. (Ali et al., 2009; Carnethon et al., 2009)
Dari Survey ASNA di 28 RS seluruh Indoneisia, diperoleh gambaran bahwa
penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu
11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5%. Data-data lain
dari ASNA Stroke Collaborative Study diperoleh angka kematian sebesar 24,5%
(Misbach dkk, 2007).
III. FAKTOR RISIKO
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan
dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup (Currie et
al., 1997). Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan
dengan ketat (Cohen, 2000).
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke (Setyopranoto, 2011)
Beberapa faktor diketahui meningkatkan penyakit stroke, dan telah dilakukan
banyak studi berskala luas. Faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan
berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable,
atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented) (Goldstein et al., 2006).
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. Genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
1) Hipertensi
2) Paparan asap rokok
3) Diabetes
4) Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
5) Dislipidemia
6) Stenosis arteri karotis
7) Sickle cell disease
8) Terapi hormonal pasca menopause
9) Diet yang buruk
10) Inaktivitas fisik
11) Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
1) Sindroma metabolik
2) Penyalahgunaan alkohol
3) Penggunaan kontrasepsi oral
4) Sleep-disordered breathing
5) Nyeri kepala migren
6) Hiperhomosisteinemia
7) Peningkatan lipoprotein (a)
8) Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
9) Hypercoagulability
10) Inflamasi
11) Infeksi
IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi stroke non hemoragik menurut Trial Of Org 10172 In Acute Stroke
Treatment (Adams et al., 1993):
a. Aterosklerosis arteri besar
Pasien-pasien ini akan memiliki gejala klinis dan pencitraan otak berupa
stenosis atau oklusi yang signifikan (> 50%) pada arteri otak besar atau cabang arteri
kortikal yang memungkinkan adanya aterosklerosis. Gejala klinisnya terdapat
gangguan kortikal (afasia, kelalaian, atau keterbatasan fungsi motorik) atau disfungsi
pada batang otak dan cerebellum. Riwayat serangan TIA pada vaskular yang sama,
adanya bruit di carotis atau denyutan carotis yang berkurang membantu penegakan
diagnosis. Lesi kortikal atau cerebellum dan infark batang otak atau hemisfer
subkortikal dengan gambaran CT Scan atau MRI diameter lebih besar dari 1,5 cm
dianggap berpotensi aterosklerosis pada arteri besar. Gambaran studi duplek atau
arteriografi yang menunjukkan adanya stenosis >50% pada arteri intrakranial atau
ekstrakranial diperlukan. Studi diagnostik harus mengecualikan potensi sumber
emboli kardiogenik. Diagnosis stroke sekunder untuk aterosklerosis arteri besar tidak
dapat ditegakkan jika studi duplex atau arteriografi menunjukkan hasil yang normal
atau hanya kelainan yang minimal.
b. Kardioembolisme
Kategori ini meliputi pasien dengan oklusi arteri yang mungkin disebabkan
oleh kardioemboli. Sumber emboli jantung dibagi menjadi kelompok risiko tinggi dan
risiko menengah. Sedikitnya satu sumber jantung untuk emboli harus diidentifikasi
untuk diagnosis kemungkinan terjadinya stroke kardioemboli. Gambarannya hampir
sama dengan aterosklerosis arteri besar. Riwayat TIA, stroke pada lebih dari satu
wilayah pembuluh darah atau emboli sistemik sebelumnya mendukung diagnosis
klinis stroke kardioemboli. Kemungkinan diagnosis aterosklerosis arteri besar yang
disebabkan trombosis atau emboli harus dihilangkan. Pasien dengan risiko emboli
menengah dan tidak ada penyebab lain dari stroke dapat diklasifikasikan sebagai
pasien yang mungkin mengalami kardioemboli. Berikut adalah poin-poin untuk
klasifikasi derajat resiko kardioemboli menurut TOAST:
Tabel 2. TOAST Classification of High- and Medium-Risk Sources of
Cardioembolim
c. Oklusi arteri kecil (lacunar)
Pasien ini biasanya memiliki gejala klinis sindroma lakuner dan tidak didapatkan
disfungsi kortikal. Riwayat Diabetes mellitus dan hipertensi menyokong penegakan
diagnosis. Gambaran ST Scan atau MRI harus normal dan adanya disfungsi daerah
otak yang relevan ataupun pada subkorteks pada hemisfer lesi dengan diameter <1,5
cm.
d. Stroke akut dengan etiologi lainnya
Pasien ini termasuk pasien dengan etiologi yang relatif jarang, misalnya
nonarterosklerosis vaskulopati, hiperkoagulasi, dan kelainan hematologi. Gambaran
stroke iskemik akut pada CT Scan atau MRI pada ukuran atau lokasi yang sesuai.
Kemungkinan adanya aterosklerosis dan kardioemboli harus disingkirkan.
e. Stroke dengan penyebab lainnya
Beberapa pasien memiliki gejala klinis dan etiologi yang tidak sesuai diatas atau
pasien dengan lebih dari satu kemungkinan penyebab sehingga klinisi masih ragu
dengan diagnosis finalnya maka akan masuk dalam kategori ini. Misalnya pasien
dengan atrial fibrilasi yang juga memiliki stenosis arteri carotis ipsilateral. Berikut
adalah tabel subtipe stroke iskemik menurut TOAST:
Tabel 3. Subtipe stroke iskemik TOAST (Adam et al., 1993)
V. PATOFISIOLOGI
Stroke iskemik akut hasil dari oklusi vaskuler sekunder akibat penyakit
tromboemboli. Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan menipisnya adenosin trifosfat
selular (ATP). Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk mempertahankan gradien ionik
melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan kalsium dan
aliran pasif air ke dalam sel memimpin timbulnya edema sitotoksik. Stroke iskemik
dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan
pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah
yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Emboli serebri
adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut
dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi
sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau
proses perdarahan atau hipovolemik (Jauch, 2015).
VI. GAMBARAN CT SCAN
a. Infark hiperakut
Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan biasanya
tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50%
pasien; tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut
dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik. Gambaran CT
scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut adalah sebagai berikut (Warren
2010; Choksi et al., 2005; Tomandl et al., 2003):
Gambar 1. Infark luas pada area arteri serebri media kanan dengan gambaran edema
difus hemisfer serebri kanan yang bermanifestasi sebagai pendangkalan sulcus
serebri dan obliterasi fissura Sylvii kanan
Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement). Gambaran ini tampak
akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark serebral akut menyebabkan
hipoperfusi dan edema sitotoksik. Berkurangnya kadar oksigen dan glukosa seluler
dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa natrium-kalium, yang menyebabkan
berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke intraseluler dan edema sitotoksik yang
lebih lanjut. Edema serebri dapat dideteksi dalam 1-2 jam setelah gejala muncul.
Pada CT scan terdeteksi sebagai pembengkakan girus dan pendangkalan sulcus
serebri (Warren, 2010).
Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri. Substansia
grisea merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan
substansia alba, karena metabolismenya lebih aktif. Karena itu, menghilangnya
diferensiasi substansia alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT scan
yang paling awal didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada
substansia grisea. Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul
pada 82% pasien dengan iskemia area arteri serebri media (Tomand et al., 2003).
Tanda insular ribbon, yaitu gambaran hipodensitas insula serebri cepat tampak
pada oklusi arteri serebri media karena posisinya pada daerah perbatasan yang jauh
dari suplai kolateral arteri serebri anterior maupun posterior (Tomand et al., 2003).
Gambar 2. Hipodensitas insula serebri kiri pada infark arteriserebri media kiri
(panah putih)
Hipodensitas nukleus lentiformis Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema
sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung
mudah mengalami kerusakan ireversibel yang cepat pada oklusi bagian proksimal
arteri serebri media karena cabang lentikulo striata arteri serebri media yang
memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end vessel (Tomand et al. 2003)
Tanda hiperdensitas arteri serebri media Gambaran ekstraparenkimal dapat
ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala timbul, yaitu gambaran hiperdensitas
pada pembuluh darah besar, yang biasanya terlihat pada cabang proksimal (segmen
M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa didapatkan pada semua arteri.
Arteri serebri media merupakan pembuluh darah yang paling banyak mensuplai
darah ke otak. Karena itu, oklusi arteri serebri media merupakan penyebab terbanyak
stroke yang berat. Peningkatan densitas ini diduga akibat melambatnya aliran
pembuluh darah lokal karena adanya trombus intravaskular atau menggambarkan
secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri. Gambaran ini disebut sebagai
tanda hiperdensitas arteri serebri media (Gambar 4).
Gambar 3. Hipodensitas nukleus lentiformis (panah putih panjang), hipodensitas
kaput nukleus kaudatus (kepala panah putih), hipodensitas insula serebri (panah
putih pendek), dan pendangkalan sulkus serebri region
temporoparietal (panah hitam)
Gambar 4.Tanda hiperdensitas arteri serebri media,hiperdensitas
linear pada segmen proksimal arteri serebri media (tanda panah)
Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri media
(cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik hiperdens pada fisura Sylvii:
Gambar 5. Tanda Sylvian dot, tampak titik hiperdens
pada fisura Sylvii (tanda panah)
b. Infark akut
Pada periode akut (6-24 jam), perubahan gambaran CT scan non-kontras akibat
iskemia makin jelas. Hilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri,
pendangkalan sulkus serebri, hipodensitas ganglia basalis, dan hipodensitas insula
serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas pada fase
ini (Xavier et al., 2003).
c. Infark subakut dan kronik
Selama periode subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek massa
yang menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi
pada infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Edema dan efek massa
memuncak pada hari ke-1 sampai ke-2, kemudian berkurang.
Infark kronis ditandai dengan gambaran hipodensitas dan berkurangnya efek
massa. Densitas daerah infark sama dengan cairan serebrospinal (Gambar 6).
Gambar 6. Gambaran hipodensitas masing-masing lesi. Densitasnya sama dengan
cairan serebrospinal dan bentuknya sesuai distribusi vaskular arteri serebri media
(untuk infark di sulkus sentralis) dan arteri serebri posterior (untuk infark oksipital)
VII. TATALAKSANA
Penatalaksanaan stroke iskemik trombotik berdasarkan waktunya meliputi fase
prehospital, fase akut, fase perawatan dan fase pemulihan/rehabilitasi. Pada fase
prehospital diperlukan pendekatan diagnosis secara klinis serta mengatasi kegawatan
(primary survey), selain itu diperlukan sistem transportasi dan rujukan yang baik untuk
mengantarkan penderita ke pusat kesehatan secepat mungkin. Berdasarkan guideline
PERDOSSI tahun 2011 penatalaksanaan stroke fase akut antara lain:
1. Evaluasi cepat dan diagnosis: berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis, skala stroke dengan NIHSS.
2. Terapi umum/suportif:
a. Stabilitas jalan nafas dan pernafasan: dianjurkan memantau terus status
neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dalam 72 jam
pada pasien dengan defisiti neurologis yang nyata. Pemberian oksigenasi
dianjurkan pada keadaan saturasi <95% (bila pasien stroke trombotik non
hipoksia tidak perlu tambahan oksigen). Intubasi ETT diperlukan pada pasien
hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), syok, atau pada pasien yang
berisiko aspirasi. Bila perlu dilakukan trakeostomi bila pemakaian ETT lebih
dari 2 minggu.
b. Stabilisasi hemodinamik: infus kristaloid/koloid, pemasangan central venous
catheter dan dijaga tekanannya 5-12 mmHg, pemantauan tekanan darah optimal
140-220 mmHg untuk stroke trombotik fase akut, monitoring jantung pada 24
jam pertama, bila ada penyakit jantung kongestif segera mengatasinya, hipotensi
arterial, hipovolumia.
c. Pemeriksaan awal fisik umum: tekanan darah, pemeriksaan jantung,
pemeriksaan neurologis umum awal (derajat kesadaran, pupil dan okulomotor,
keparahan hemiparesis)
d. Pengendalian tekanan intra kranial (TIK): pemantauan ketat terhadap edema
serebral terutama 24 jam pertama pasca stroke dengan melihat perburukan
neurologis, terutama penderita dengan GCS <9 dipasang monitor TIK dengan
sasaran terapi <20 mmHg dan CPP> 70 mmHg. Pada penderita dengan kenaikan
TIK, posisi kepala 20-30o, hindari penekanan vena jugularis, hindari hipotermi,
jaga norovolumi, osmoterapi dengan mannitol 0,25-0,5 g/kgBB selama 20 menit
diulang tiap 4-6 jam.
e. Pengendalian suhu tubuh: pemberian asetaminofe 650 mg bila suhu > 38,5oC,
pemeriksaan hapusan dan kultur bila dicurigai ada infeksi.
f. Pemeriksaan penunjang: EKG, kimia darah, fungsi ginjal, hemtologi, faal
hemostasis, glukosa darah, analisis urine, analisis gas darah, serum elektrolit,
foto rontgen dada, CT Scan tanpa kontras.
Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam penatalaksaaan stroke.
Agen trombolitik digunakan untuk memicu tingkat reknalisasi endogen sehingga terjadi
reperfusi jaringan. Berdasarkan guideline stroke PERDOSSI syarat pemberian tPA
adalah hanya diberikan pada 3 jam pertama sejak serangan, tidak ada serangan stroke
maupun trauma pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah sistolik < 185 mmHg sedangkan
menurut The European Cooperative Acute Stroke Study, penggunaan trombolitik dalam
4,5 jam masih bermanfaat dan aman.
Risiko perdarahan meningkat pada penggunaan tPA di atas 6 jam sejak serangan,
diduga karena terbentuknya porous pada blood brain barier. Risiko perdarahan diduga
meningkat berhubungan dengan peningkatan usia, perubahan iskemi awal pada CT scan,
peningkatan tekanan darah dan gula darah.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan
terjadinya edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular lebih
lanjut dan terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan tetapi, disisi
lain, penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan penurunan perfusi
serebral sehingga kerusakan daerah iskemik di otak akan menjadi semakin luas. Terlebih
pada hipertensi kronik dengan kurva perfusi (tekanan darah – aliran darah ke otak)
bergeser ke kanan, Penurunan tekanan darah pada kondisi seperti ini akan semakin
mengakibatkan penurunan perfusi serebral. Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu,
penurunan tekanan darah pada pasien stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi
sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien,
menimbulkan kecacatan dan kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut,
tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke.
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke tahun
2011 perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Penurunan tekanan darah yang tinggi
pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan, karena kemungkinan dapat
memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun
dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Guideline
stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke
akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini
:
1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah
sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke
iskemik akut yang diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik
diturunkan hingga < 185 mmHg dan tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau
Diltiazem intravena.
2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik >
200 mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan
intrakranial, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai
gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara
hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten
dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau
tekanan darah 160/90 mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan
darah sistole hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah
terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan
subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 – 160
mmHg. Sedangkan tekanan darah sistole 160 – 180 mmHg sering digunakan sebagai
target tekanan darah sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun
hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya
kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.
6. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya,
misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan
ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 – 25% pada jam
pertama dan tekanan darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat
berakibat meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi perdarahan,
sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan perdarahan ulang dan
semakin luasnya hematoma (perdarahan).
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-hati.
Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kerusakan
semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh karena itu,
pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat dititrasi dengan
mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman penurunan tekanan
darah pada stroke akut adalah sebagai berikut :
1. Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting agent)
2. Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah
3. Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah otak
4. Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)
5. Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan
dicapai.
Penatalaksanaan fase perawatan menurut Guideline PERDOSSI antara lain:
1. Cairan
a. Infus cairan isotonis, dijaga euvolemi dengan CV 5-12 mmHg
b. Rata-rata kebutuhan cairan 20 cc/kgBB/hari.
c. Balance cairan
d. Mengkoreksi kelainan elektrolit dan asam basa darah
e. Cairan hipotonis yang mengandung glukosa dihindri kecuali dalam keadaan
hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi parenteral sebaiknya diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi diberikan bila
fungsi menelan sudah baik.
b. Nutrisi yang diberikan pada masa akut adalah sebesar 25-30mg/kgBB/hari.
c. Apabila diperkirakan pemasangan nasogastrik tube melebihi 6 minggu
sebaiknya dilakukan gastrostomi.
3. Pencegahan dan komplikasi
Komplikasi sub akut yang sering terjadi antara lain aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, deep vein thrombosis, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
kontraktur. Untuk itu perlu dilakukan mobilisasi terbatas, penggunaan antibiotik
sesuai kultur, bila perlu menggunakan kasur anti dekubitus. Pasien dengan risiko
DVT perlu diberi heparin subkutan atau LMWH atau heparinoid. Pada pasien
dengan risiko DVT yang tidak dapat menggunakan obat anti koagulan, sebaiknya
menggunakan stocking eksternal atau aspirin.
4. Penatalaksanaan medik lain
Penatalaksanaan medik lain antara lain menjaga kadar glukosa darah tetap
normal, analgesik dan antiemetik digunakan sesuai indikasi, perdarahan lambung
dapat diberikan antihistamin 2.
Untuk menghindari serangan ulang, pada penderita dengan stroke minor/TIA
memerlukan prevesi sekunder dengan obat antiplatelet, obat antihipertensi, statin,
antikoagulan, serta carotid enderectomy untuk pasien tertentu. Obat antiplatelet, Aspirin,
harus diberikan dalam waktu 7 hari sejak terapi awal. Selain itu modifikasi gaya hidup
bebas alkohol, berhenti merokok, olahraga, diet juga berperan untuk mengurangi risiko
stroke.
Penanganan stroke iskemi pada sistem saraf bertujuan untuk mencegah injury karena
iskemia awal dan menghindari reperfusi injury. Reperfusi dapat menyebabkan iskemi
sekunder karena masuknya sel darah putih pada area yang sebelumnya hipoperfusi
sehingga menyebabkan perbuntuan arteriol, selain itu sel darah putih juga memicu
terbentuknya radikal bebas. Citicholine merupakan obat yang mampu mengurangi
iskemia jaringan dengan menstabilkan membran dan mencegah pembentukkan radikal
bebas. Citicholine dapat diberikan 24 jam pertama semenjak serangan sebanyak 500 mg.
Rehabilitasi program juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan stroke
multidisipliner pada penyakit stroke, terutama karena penurunan angka morbiditas, maka
kecacatan akibat stroke menjadi meningkat. Kecacatan itu antara lain gangguan bicara,
berbahasa dan fungsi lainnya.
VIII. PROGNOSIS
Penelitian Framingham dan Rochester tentang stroke, secara umum tingkat
mortalitas pada 30 hari setelah serangan stroke adalah 28%. Pada stroke ischemic tingkat
mortalitas pada 30 hari setelah serangan adalah 19% dan 77% dapat bertahan sampai 1
tahun. Namun, secara umum prognosis pada stroke tergantung dari beberapa faktor,
yaitu:
a. Keparahan stroke
b. Kondisi premorbid pasien
c. Usia pasien
d. Kecepatan pemberian terapi awal
e. Fungsi tubuh yang terpengaruh akibat stroke
f. Komplikasi post stroke (Campellone, 2015; Jauch, 2015)
IX. KOMPLIKASI
Otak mengontrol banyak hal yang berlangsung di tubuh kita. Kerusakan otak dapat
mempengaruhi pergerakan, perasaan, perilaku, kemampuan berbicara/berbahasa dan
kemampuan berpikir seseorang. Stroke dapat mengakibatkan gangguan beberapa bagian
dari otak, sedangkan bagian otak lainnya bekerja dengan normal. Pengaruh stroke
terhadap seseorang tergantung pada:
1. Bagian otak yang terkena stroke
2. Seberapa serius stroke yang terjadi
3. Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya (Heart and Stroke Foundation,
2003).
Beberapa akibat stroke yang sering dijumpai adalah (Heart and Stroke Foundation,
2003):
1. Kelumpuhan satu sisi tubuh.
Ini merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi. Kelumpuhan
biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi di otak, karena adanya
pengaturan representasi silang oleh otak. Pemulihannya bervariasi untuk masing-
masing individu;
2. Gangguan penglihatan.
Penderita stroke sering mengalami gangguan penglihatan berupa defisit
lapangan pandang yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Hal ini menyebabkan
penderita hanya dapat melihat sesuatu pada satu sisi saja, sehingga misalnya ia
hanya memakan makanan di sisi yang dapat dilihatnya atau hanya mampu membaca
tulisan pada satu sisi buku saja;
3. Afasia.
Afasia adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara/berbahasa, membaca dan
menulis atau untuk memahami pembicaraan orang lain. Gangguan lain dapat berupa
disatria, yaitu gangguan artikulasi kata-kata saat berbicara;
4. Gangguan persepsi.
Stroke dapat mengganggu persepsi seseorang. Penderita stroke dapat tidak
mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya atau tidak mampu menggunakan
benda tersebut;
5. Lelah
Penderita stroke sering mengalami kelelahan. Mereka membutuhkan tenaga
ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan sebelumnya. Kelelahan juga
dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas, kurang makan atau mengalami
depresi;
6. Depresi
Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih merupakan perdebatan
apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan otak akibat
stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang dialaminya.
Dukungan keluarga akan sangat membantu penderita.
7. Emosi yang labil
Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami ketidakstabilan emosi
sehingga menunjukkan respons emosi yang berlebihan atau tidak sesuai.
Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan membantu meyakinkan penderita
bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke dan bukan berarti
mengalami gangguan jiwa.
8. Gangguan memori
Penderita stroke dapat mengalami gangguan memori dan kesulitan mempelajari
dan mengingat hal baru.
9. Perubahan kepribadian
Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol emosi positif maupun
negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita dan caranya berinteraksi
dengan lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat menimbulkan kemarahan
keluarga/pengasuhnya. Untungnya perubahan perilaku ini akan mengalami
perbaikan seiring dengan pemulihan strokenya. Memahami efek yang dapat terjadi
pada seseorang yang mengalami stroke akan sangat membantu keluarga penderita
memahamai perubahan yang terjadi pada penderita. Pengetahuan yang memadai
tentang hal tersebut dan membantu penderita melalui masa-masa sulit ini akan
sangat bermanfaat bagi upaya pemulihan penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Bendixen, Kapelle, Biller, Love. 1993. Classification of acute ischemic stroke, Definition for use in multicentre clinical trial. Journal of American Heart Association; vol. 24 (1): 35-41.
Ali M, Atula S, Bath PMW, Grotta J, Hacke W, Lyden P, Marler JR, Sacco RL, Lees KR. 2009. Stroke Outcome in Clinical Trial Patients Deriving from Different Countries. Stroke. hal. 40:35-40
Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. 2000. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-Hill. hal. 53-87.
Bustan M N, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Campellone J. 2015. Stroke. Diakses dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm pada 15 September 2015.
Carnethon, Simone GD, Ferguson TB, Flegal K, Ford E. 2009. Heart Disease and Stroke Statistics Update: A Report from the American Heart Assocoation Statistics Committee and Stroke Statistics Subcomittee. Circulation. 119:e21-e181
Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. hal. 89-109. 3.
Choksi V, Quint DJ, Maly-Sundgren P, Hoeffner E. 2005. Imaging of Acute Stroke. Applied Radiology. 34(2): 10-19. Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/500443_print pada 15 September 2015.
Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A. 1997. Epidemiology and costs of acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and non diabetic populations. 28: 1142-6.
Goldstein LB, Adams R, Albert MJ, Appel LJ, Brass LM. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council. 37:1583-1633
Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K. 2003. Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative Recommendations.
Heart and Stroke Foundation. 2003. Let’s Talk About Stroke: An Information Guide for Survivors and Their Families. Ottawa.
Jauch, EC. 2015. Ischemic Stroke. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#aw2aab6b2b7 pada 15 September 2015.
Lumbantobing SM. 2003. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Misbach J, Achmad A, Soertidewi L, Jannis J, Harris S, Lumempauw S, Rasyid A, Mulyatsih E. 2007. Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Setyopranoto I. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 2011; 38 (4).
Tomandl BF, Klotz E, Handschu R, Stemper B, Reinhardt F, Huk WJ, Eberhardt KE, Fateh-Moghadam S. 2003. Comprehensive Imaging of Ischemic Stroke with Multisection CT. 23:565–592. Diakses di http://radiographics.rsna.com/content/23/3/565.full.pdf+html pada 15 September 2015.
Warren DJ, Musson R, Connoly DJA, Griffiths PD, Hoggard N. 2010. Imaging in Acute Ischaemic Stroke: Essential For Modern Stroke Care. Postgrad Med J. 86:409-18.
Xavier AR, Qureshi AI, Kirmani JF, Yahia AM, Bakshi R. 2003. Neuroimaging of Stroke: A Review. South Med J.96(4). Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/452843 pada 15 September 2015.
Recommended