View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
56
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA NELAYAN
Karang Agung; Budaya Jawa dan Abangan
Penduduk Karang Agung termasuk dalam etnis Jawa. Apabila mengacu
pada tipologi masyarakat Jawa oleh Geertz, maka penduduk Karang Agung
termasuk dalam masyarakat Jawa abangan. Pengaruh nilai Islam tidak begitu
kental di Karang Agung. Budaya Jawa pesisir lebih banyak mendominasi
kehidupan masyarakat Karang Agung. Karakter masyarakat Karang Agung
cenderung keras dan terbuka.
Pelapisan Sosial
Pada masyarakat perdesaan pelapisan sosial seringkali muncul berdasarkan
kepemilikan aset produksi. Namun pada komunitas nelayan tradisional justru
tidak tampak adanya pelapisan sosial berdasarkan kepemilikan aset produksi. Hal
ini disebabkan oleh tipisnya perbedaan strata ekonomi antara pemilik perahu dan
nelayan biasa. Masyarakat Karang Agung seperti halnya nelayan tradisional
lainnya cenderung egaliter. Hal ini berbeda dengan nelayan modern yang terlihat
jelas pelapisan sosial diantara nelayan sendiri. Modernisasi perikanan membawa
dampak pada perubahan formasi sosial pada komunitas nelayan. Pemilik alat
produksi berada pada lapisan sosial atas, sedangkan buruh nelayan hanya berada
pada lapisan bawah. Pola hubungan produksi menimbulkan terjadinya gejala
patronase yang kuat antara pemilik alat produksi dengan buruh nelayan. hal ini
justru tidak terjadi pada nelayan tradisional. Pada masyarakat Karang Agung
57
dapat dikatakan bahwa nelayan baik pemilik perahu maupun bukan sama-sama
menempati lapisan paling bawah dalam stratifikasi masyarakat.
Pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat Karang Agung lebih
didasarkan pada aspek kekuasaan. Lapisan atas ditempati oleh kalangan pegawai
pemerintahan seperti aparat desa, guru dan pegawai negeri sipil lainnya. Lapisan
ini dicirikan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk
lain pada umumnya, rumah yang lebih bagus serta kepemilikan barang-barang
elektronik maupun kendaraan bermotor. Lapisan atas ini biasanya dipercaya oleh
masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan sehingga seringkali posisi ketua
RT maupun RW dijabat dari kalangan atas ini. Lapisan atas ini biasanya dipanggil
sesuai dengan pekerjaan atau jabatan yang dipangkunya. Tidak mengherankan
apabila sering terdengar panggilan pak/bu guru, pak/bu dokter, pak inggi (petinggi
atau kepala desa), pak carik (sekretaris desa) dan lain sebagainya. Lapisan atas
tidak serta merta menguasai alat produksi bahkan secara ekonomi mungkin masih
lebih rendah dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya.
Lapisan menengah diisi oleh kalangan pekerja swasta, pedagang, petani
dan petambak. Lapisan ini secara ekonomi terkadang mempunyai kedudukan
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan lapisan atas, namun status kekuasaan
dipandang lebih rendah dibandingkan dengan lapisan atas. Masyarakat Karang
Agung lebih menghargai status sosial berbasis kekuasaan dibandingkan ekonomi.
Nelayan, buruh tani dan buruh bangunan biasanya menempati lapisan
paling bawah. Secara kuantitas lapisan bawah paling banyak jumlahnya. Ciri yang
paling mudah diamati adalah kondisi rumah tinggal yang kurang layak huni.
58
Lapisan bawah dapat dipastikan mempunyai status ekonomi yang rendah
dikarenakan pendapatan yang rendah dan tidak menentu. Walaupun dapat
ditemukan adanya pelapisan dalam masyarakat Karang Agung, namun pelapisan
ini tidak berlaku secara ketat dan bersifat terbuka.
Apabila ditinjau dari bentuk pelapisannya maka pelapisan yang terjadi di
Karang Agung bersifat terbuka karena memungkinkan terjadinya perpindahan
antar lapisan. Sangat memungkinkan terjadinya peningkatan status sosial dari
lapisan bawah menjadi lapisan atas. Peningkatan status sosial ini biasanya terjadi
ketika salah satu anggota rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang menjadi ciri
lapisan diatasnya.
Salah satu contoh adalah pada rumah tangga Pak Prw (58 tahun). Pak Prw
adalah seorang nelayan yang tidak mempunyai perahu. Untuk melaut Pak Prw
bekerja sama dengan Pak Wnd, sang pemilik perahu dan dibantu oleh Msn, anak
Pak Wnd. Pak Prw sendiri mempunyai tiga orang anak laki-laki. Rumah tangga
Pak Prw dapat dikategorikan sebagai lapisan bawah karena secara ekonomi rumah
tangga Pak Prw tergolong miskin dan tidak mempunyai pengaruh kekuasaan pada
masyarakat sekitarnya. Pak Prw termasuk orang yang sadar akan arti penting
pendidikan, oleh karenanya semua anaknya disekolahkan hingga lulus SMA.
Salah satu anaknya, Ags setelah lulus SMA bekerja sebagai tenaga honorer di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Tuban. Sejak saat itu Pak Prw merasa bangga
dan “lebih dihormati” oleh orang-orang di sekitarnya. Suatu kebanggaan tersendiri
apabila mempunyai anak yang bekerja di kantor pemerintahan walaupun sebatas
tenaga honorer. Paling tidak setiap pagi anaknya berangkat kerja dengan
59
menggunakan pakaian seragam. Bagi warga Karang Agung, seragam (baju hijau
linmas, khaki dan korpri) merupakan salah satu simbol status sosial. Lambat laun,
status sosial rumah tangga Pak Prw meningkat seiring pula dengan peningkatan
status ekonomi mereka. Beberapa barang elektronik dan motor kini melengkapi
rumah Pak Prw. Sebagai tenaga honorer, Ags mendapatkan kemudahan untuk
membeli barang-barang tersebut secara kredit.
“Sejak anak saya menjadi pegawai Pemda, keluarga saya menjadi
lebih dihargai oleh para tetangga. Walaupun gaji Ags tidak seberapa,
tapi lumayanlah. Kini Ags juga sudah punya motor walaupun
kreditan”
Pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung dapat dijelaskan dengan
menggunakan pandangan Weber. Weber tidak menolak adanya posisi ekonomi
sebagai dasar kelas, hanya saja ia menambahkan dua elemen lagi yaitu
kehormatan kelompok status dan kekuasaan politik. Artinya bahwa uang
(ekonomi) saja, tidak cukup menjadi dasar penerimaan di kalangan kelompok
status berprestise tinggi. Latar belakang keluarga dan sejarah juga penting. Ketiga
dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah satu atau keduanya dengan banyak
situasi, namun secara analitis berbeda dan bisa berdiri sendiri. Marx yang hanya
memandang kelas sebagai perwujudan ekonomi yaitu penguasaan aset produksi,
tidak mampu menjelaskan proses pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung.
Relasi Sosial
Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung tidak berbeda dengan
sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa pada
umumnya menganut pola kekerabatan bilateral atau parental yang berarti
60
hubungan kekerabatan ditelusuri dari garis keturunan Ayah (laki-laki atau
patrilineal) dan garis keturunan ibu (perempuan atau matrilineal).
Struktur keluarga dikenal dengan istilah dulur parek (keluarga dekat) dan
dulur adoh (keluarga jauh). Keluarga dekat adalah keluarga yang apabila
ditelusuri mempunyai pertalian darah cukup dekat. Biasanya keluarga dekat
diukur dari kakek nenek. Artinya keluarga dekat adalah keluarga yang berasal dari
satu kakek nenek. Sedangkan keluarga jauh adalah keluarga yang berasal dari
garis keturunan yang berbeda kakek nenek. Walaupun tingkatan kekerabatan
dalam masyarakat Jawa bisa mencapai tujuh turunan, namun pada kenyataan di
lapang kekerabatan ini hanya bertahan hingga jenjang tiga generasi saja.
Gambar 3. Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung
Grepak senthe
Gantung siwur
Udheg-udheg
Canggah
Buyut
Anak
Embah
Wareng
Bapak/ibu
Bapak/ibu
Anak
Puthu
Canggah
Wareng
Grepak senthe
Udheg-udheg
Buyut
Gantung siwur
Tingkat
kekerabatan yang
masih dikenal oleh
masyarakat
Tingkat
kekerabatan yang
masih dikenal oleh
masyarat
61
Prinsip yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa adalah nglumpukne
balung pisah (mengumpulkan tulang yang berserakan) yang berarti berusaha
menjaga tali silaturahmi bahkan hingga keluarga jauh. Sebagaimana daerah
pedesaan Jawa lainnya, apabila ditelusuri hampir banyak penduduk Karang
Agung yang masih bertalian darah dan termasuk dalam keluarga jauh. Pola
permukiman antar kerabat biasanya masih berdekatan. Seiring kemajuan jaman,
generasi muda sudah tidak menghiraukan lagi nilai-nilai kekerabatan yang ada.
Kini antar kerabat jauh sudah jarang berinteraksi sehingga hubungan kekerabatan
semakin renggang. Bahkan seringkali sudah tidak saling mengenal satu dengan
yang lain.
Perbedaan dalam bertata krama maupun bahasa yang digunakan
disesuaikan dengan tingkatan umur. Sudah selayaknya orang yang lebih tua akan
dihormati, hal ini tampak dalam penggunaan bahasa jawa halus (basa krama,
bahasa Jawa yang lebih sopan) apabila berbicara dengan orang yang lebih tua.
Bahasa Jawa halus ini juga digunakan apabila berbicara dengan orang yang belum
begitu dekat atau baru saja kenal. Sudah menjadi hal yang biasa apabila orang
yang sudah kenal dekat akan menggunakan bahasa Jawa kasar walaupun status
sosial mereka berbeda.
Relasi sosial antara laki-laki dan perempuan sering disebut sebagai relasi
gender. Relasi gender di Karang Agung berlangsung secara harmonis. Walaupun
dalam nilai masyarakat Jawa, perempuan sering diartikan sebagai kanca wingking
(teman di belakang) pada kenyataannya peran perempuan dalam kehidupan rumah
tangga dan masyarakat semakin menonjol. Keterlibatan perempuan dalam
62
pencarian nafkah dapat diartikan sebagai bentuk keadilan dalam relasi gender.
Perempuan tidak lagi hanya mendominasi pada kegiatan domestik namun telah
mengarah pula pada kegiatan produktif. Sebagian besar perempuan usia muda
baik yang sudah atau belum berkeluarga terlibat dalam kegiatan ekonomi
produkstif. Sebagaian besar bekerja sebagai buruh di pabrik rokok, bekerja
sebagai pedagang ikan maupun membuka warung di rumah.
Peran perempuan dalam ranah produktif yang semakin meningkat ternyata
tidak diimbangi dengan menurunnya peran domestik perempuan. Perempuan
masih mempunyai tanggung jawab yang tidak bisa dialihkan kepada pihak laki-
laki dalam melaksankan kegiatan domestiknya. Sudah menjadi hal yang wajar
apabila perempuan justru mendapatkan beban ganda, baik dalam ranah produktif
maupun domestik. Hal ini juga berlaku pada anak perempuan yang selalu
mendapatkan beban kerja pada ranah domestik yang lebih besar dibandingkan
anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai tanggung jawab membantu ibunya
dalam kegiatan memasak, membersihkan rumah hingga mengasuh adik.
Sedangkan pada anak laki-laki tanggung jawab tersebut hampir tidak ada. Akses
pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan pada saat ini tidak lagi menjadi
persoalan. Keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam
pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.
Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan juga
tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya dapat berperan serta dengan baik
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada pemilihan kepala desa periode
sebelumnya, salah seorang calon adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
63
masyarakat Karang Agung dapat menerima peran perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Relasi sosial dapat pula dilihat dari hubungan produksi antara pemilik alat
produksi dan pekerja. Nelayan Karang Agung yang mempunyai alat produksi
berupa perahu dan alat tangkap hampir semua terlibat dalam kegiatan melaut.
Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perbedaan stratifikasi antara keduanya.
Relasi diantara keduanya dapat digambarkan sebagai bentuk kerjasama yang
saling menguntungkan. Kedua belah pihak menyadari bahwa pekerjaan nelayan
bukanlah jenis pekerjaan individu namun berupa pekerjaan secara berkelompok.
Ikatan kerja antara buruh nelayan dan pemilik sangat longgar sehingga
memungkinkan seseorang untuk beralih kerja dengan orang lain. Namun demikian
sangat jarang terjadi perpindahan kerja tersebut. Ikatan diantara mereka sangatlah
kuat namun tidak dapat diartikan sebagai bentuk ikatan patronase. Nelayan
bekerja didasarkan oleh rasa saling mempercayai dan berlangsung turun temurun.
Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian
dari penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi biaya perbekalan kepada pemilik
perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut masing-
masing sebanyak satu bagian. Hampir semua pemilik perahu terlibat dalam
kegiatan penangkapan. Sehingga pemilik perahu akan mendapatkan satu bagian
sebagai bentuk imbalan atas investasinya berupa perahu, motor tempel dan alat
tangkap ditambah satu bagian lagi sebagai imbalan atas tenaga yang dikeluarkan
saat melaut. Pemilik perahu berkewajiban untuk menyediakan perbekalan melaut
khususnya bahan bakar. Selain itu beberapa pemilik perahu juga menyediakan
64
rokok kepada para nelayan yang ikut melaut. Pemilik perahu bertanggung jawab
penuh terhadap aset yang dimilikinya mulai dari pemeliharaan dan perbaikan. Di
Karang Agung tidak mengenal stratifikasi dalam kegiatan melaut. Semua awak
perahu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama. Pemilik perahu sudah
sewajarnya menerima bagian yang lebih besar karena resiko ekonomi yang
ditanggungnya lebih besar dibandingkan buruh nelayan.
Tata nilai dan norma
Nuansa Islam memang tidak terlalu kental di masyarakat Karang Agung.
Kehidupan sosial masyarakat Karang Agung masih identik sebagai masyarakat
Jawa pesisir sehingga tradisi selamatan, sedekah laut, kesenian tayub masih hidup
di masyarakat. Tidak mengherankan apabila setiap sore hingga malam hari sering
dijumpai tradisi minum toak di warung-warung pinggir jalan. Kesenian tayub
merupakan salah satu kesenian yang sering dipentaskan pada saat acara sedekah
laut maupun hajatan semacam perkawinan atau khitanan. Pada saat tayub
berlangsung biasanya dihidangkan minuman keras tradisional semacam toak atau
arak.
Hampir setiap hari di warung-warung pinggir jalan menyediakan toak dan
aneka makanan ringan untuk disantap ketika minum toak. Sudah menjadi
kebiasaan di saat sore atau malam hari, penduduk laki-laki Karang Agung saling
berinteraksi di warung toak tersebut. Warung toak dapat dianggap sebagai sarana
menjalin relasi sosial antar warga Karang Agung.
65
Perkawinan berlangsung sesuai dengan tradisi Jawa dengan menggunakan
hukum Islam. Tradisi Jawa masih mengenal beberapa nilai yang sampai kini
masih dipegang teguh. Sebelum perkawainan berlangsung biasanya pihak
keluarga saling berunding dan mencocokan hitungan berdasarkan primbon. Ada
beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar karena diyakini akan berakibat
buruk bagi pasangan mempelai maupun keluarga. Tidak jarang mereka melakukan
konsultasi terlebih dahulu pada orang yang lebih tua dan dianggap lebih
memahami perhitungan Jawa ini. Apabila hasil perhitungan menunjukkan
ketidakcocokan maka perkawinan dapat dibatalkan. Ini semua untuk menjaga hal-
hal yang tidak diinginkan terjadi.
Namun demikian kepercayaan terhadap primbon Jawa saat ini sudah mulai
luntur. Walaupun masyarakat Karang Agung masih melakukan perhitungan
primbon Jawa, namun mereka sudah tidak lagi secara ketat mengikutinya. Sering
ketika perhitungan tidak cocok, perkawinan tetap dilangsungkan. Biasanya
perkawinan yang seperti ini didahului dengan acara selamatan yang tidak seperti
perkawinan biasanya.
Kelembagaan
Kelembagaan tradisional yang masih hidup di Karang Agung adalah
sambatan, anjeng atau buwuhan dan mendarat. Sambatan adalah kegiatan saling
tukar menukar tenaga kerja pada saat pembangunan atau perbaikan rumah.
Sambatan juga dilaksanakan pada saat hajatan pada saat mempersiapkan pesta.
Kegiatan sambatan dilakukan oleh laki-laki dewasa dan dilakukan antar tetangga
66
maupun kerabat dekat. Untuk perempuan dikenal istilah mendarat, yaitu tukar
menukar tenaga kerja untuk keperluan memasak pada saat hajatan. Anjeng
merupakan kegiatan tukar menukar uang atau barang pada saat hajatan. Ketika
hajatan, tetangga atau kerabat laki-laki yang diundang akan memberikan uang,
sedangkan undangan perempuan biasanya membawa beras atau gula pasir.
Kegiatan ini akan terus berputar pada setiap orang yang melangsungkan hajatan.
Kwanyar; Budaya Madura dan Kentalnya Nilai Islam
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik,
stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian
bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa
dengan etnografi komunitas etnik lain (Alwi, 2001). Penduduk Madura mayoritas
memeluk agama Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai)
pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat.
Pelapisan Sosial
Pelapisan yang terjadi pada masyarakat Kwanyar Barat yang kental dalam
nilai religius menempatkan kiai dan keluarganya pada lapisan sosial yang paling
atas. Kiai adalah sebutan bagi seseorang yang memimpin sebuah pondok
pesantren. Jadi, walaupun ada seseorang yang memiliki ilmu agama sangat tinggi
namun tidak memimpin pesantren tidak dapat disebut sebagai kiai. Gelar kiai
sendiri bersifat turun temurun yang didasarkan pada pewarisan kepemimpinan
sebuah pesantren. Pewarisan tersebut didasarkan pada pola kekerabatan. Pondok
67
pesantren di Madura tersebar hingga di pelosok pedesaan. Hampir seluruh kiai di
Madura adalah kiai NU yang berpegang pada ahlus sunnah wal jama’ah.
Kiai menempati struktur sosial paling atas, hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa tokoh elit yang menjadi panutan utama oleh masyarakat Madura
adalah kiai. Pepatah yang dipegang orang Madura adalah “bapak-bebuk, guru,
rato” (ayah-ibu, guru, dan ratu). Maksudnya untuk Pepatah tersebut menerangkan
urutan pihak yang dijunjung tinggi warga Madura. Urutan pertama ditempati
bapak-bebuk yaitu ayah dan ibu. Kemudian disusul guru persisnya ulama atau
kiai. Sedangkan rato atau pemerintah menempati urutan terakhir.
Kalau diusut sedikit lebih ke dalam, maka tempat paling strategis
ditempati ulama atau kiai. Meski menempati urutan ke dua setelah orang tua, tapi
masing-masing orang tua tersebut dipastikan patuh dan menjunjung tinggi kiai.
Jadi seluruh pribadi Madura mempunyai ketaatan amat tinggi pada kiai. Masing-
masing keluarga Madura biasanya punya kiai panutan, yang selalu dijadikan
rujukan dalam mengambil sikap. Kepada kiai pula, warga Madura mengadukan
persoalan pribadi maupun meminta restu.
Lapisan berikutnya adalah kelompok yang bukan berasal dari kerabat kiai
namun telah menunaikan ibadah haji. Ibadah haji selain sebagai salah satu
kewajiban bagi umat Islam juga berfungsi sebagai simbol status sosial seseorang.
Lapisan ini biasanya ditempati oleh penduduk yang bekerja sebagai pedagang atau
pengusaha lokal. Secara ekonomi, lapisan ini cukup menempati posisi yang
strategis. Hal ini dapat dimaklumi mengingat biaya untuk menunaikan ibadah haji
68
sangatlah besar, belum lagi biaya hajatan sebelum dan sesudah menunaikan
ibadah haji.
Lapisan paling bawah ditempati oleh masyarakat biasa. Lapisan ini
jumlahnya paling banyak karena terdiri dari berbagai tingkatan ekonomi. Jenjang
pada lapisan ini cukup tinggi, mulai dari rumah tangga miskin hingga sejahtera.
Seseorang yang cukup kaya namun belum menunaikan ibadah haji dipandang
masih berada pada lapisan paling bawah. Sekali lagi dasar pelapisan adalah pada
pemahaman dan simbol-simbol agama. Mobilitas sosial dapat terjadi terutama
pada lapisan bawah menuju lapisan menengah. Seseorang yang berada pada
lapisan bawah kemudian berangkat haji, status sosialnya akan naik. Namun
demikian sangat sulit untuk naik menuju lapisan paling atas. Hal ini disebabkan
karena lapisan atas cenderung bersifat tertutup karena berdasarkan kekerabatan.
Perkawinan pada lapisan atas biasanya terjadi antar kerabat atau antar keluarga
kiai. Pada komunitas nelayan dikenal ada dua lapisan, yaitu pemilik perahu yang
disebut dengan juragan dan buruh nelayan atau mondhu. Sebagaimana nelayan
tradisional lainnya, pemilik perahu terlibat langsung dalam kegiatan melaut
sehingga pelapisan yang terjadi tidak terlalu tampak diantara keduanya.
Pelapisan sosial di Kwanyar Barat yang lebih didasarkan pada aspek
agama membuktikan pendapatan Weber, yang melihat masyarakat dari tiga aspek,
ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini saling berkaitan dimana, kedudukan
sosial yang tinggi dapat memberikan pengaruh pada aspek ekonomi maupun
politik. Lapisan atas yang ditempati oleh Kiai beserta keluarganya secara ekonomi
dapat dipastikan sangat mapan. Selain memimpin pondok pesantren, kiai biasanya
69
mempunyai jaringan bisnis yang cukup luas. Akses secara politik juga sangat
terbuka, terlebih setelah kejatuhan rezim orde baru. Banyak kiai yang terlibat
dalam politik praktis, paling tidak sebagai sarana peraih suara (vote getter).
Pelapisan yang cenderung tertutup utamanya pada lapisan atas lebih
disebabkan pada pewarisan status yang bersifat turun-temurun. Kepemimpinan
pondok pesantren akan diwariskan kepada anak ataupun keluarga terdekat yang
ditunjuk. Perkawinan pada lapisan atas biasanya lebih terbatas antar lapisan atas
saja. Hal inilah yang menyebabkan lapisan atas cenderung tertutup dan tidak
memungkinkan lapisan yang ada dibawah untuk memasukinya.
Pelapisan berdasarkan aspek agama ini ternyata tidak membawa dampak
terhadap kesejahteraan masyarakat lapisan bawah. Walaupun dibandingkan
dengan Karang Agung, potensi dana sosial keagamaan di Kwanyar Barat justru
lebih banyak. Zakat, sedekah dan infak merupakan bentuk-bentuk dana sosial
keagamaan yang ada di Kwanyar Barat. Dana sosial keagamaan ini sangat sedikit
yang menyentuh langsung pada lapisan masyarakat bawah. Hanya zakat fitrah,
daging kurban dan sebagian kecil sedekah yang bisa diakses oleh lapisan bawah.
Sebagian besar dana sosial ini digunakan untuk aktivitas pembangunan masjid.
Tidak mengherankan apabila di Kwanyar Barat banyak dijumpai bangunan masjid
yang berdiri megah.
70
Relasi Sosial
Kekerabatan pada masyarakat Kwanyar Barat terbentuk melalui garis
keturunan, baik berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Pada umumnya, ikatan
kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah.
Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau
kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan
taretan jau (kerabat jauh). Kerabat inti merupakan kerabat yang berasal dari satu
tingkat garis keturunan keatas maupun kebawah. Sedangkan kerabat dekat adalah
perluasan dari kerabat inti secara menyamping. Kerabat jauh adalah seseorang
yang masih ada pertalian darah dan tidak termasuk dalam kerabat inti maupun
kerabat dekat.
Relasi sosial antar rumah tangga tercermin dari eratnya jaringan
pertetanggaan dan pertemanan. Selain kerabat, bagi masyarakat Kwanyar Barat,
tetangga dianggap sebagai saudara yang terdekat. Walaupun tidak mempunyai
hubungan kerabat sama sekali, peran tetangga sangat besar karena tetangga
merupakan pihak yang akan datang pertama kali ketika kita kesusahan. Secara
umum relasi sosial etnik Madura dikenal sangat erat, hal inilah yang kemudian
akan membantu dalam strategi nafkah rumah tangga miskin.
Hubungan produksi pada komunitas nelayan dapat berjalan dengan baik.
Ikatan kerja didasarkan pada saling mempercayai dan saling membutuhkan. Tidak
ada hubungan kerja yang mengikat antara pemilik perahu dan buruh nelayan,
keduanya merasa perlu bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian
besar hubungan kerja berasal dari ikatan kekerabatan. Pemilik perahu biasanya
71
akan mengajak kerabatnya untuk bersama-sama melaut. Kondisi ini
mengyebabkan tidak pernah dijumpai adanya perpindahan tenaga kerja dari satu
perahu ke perahu yang lain.
Pola bagi hasil yang berlaku di Kwanyar Barat memberi kesempatan bagi
pemilik perahu untuk mendapatkan pengembalian atas biaya investasi yang
ditanamkannya. Pemilik perahu bertanggung jawab atas pengeluaran bahan bakar
yang diperlukan untuk melaut. Pengeluaran ini nantinya akan diganti dari hasil
penjualan tangkapan. Setelah dikurangi biaya bahan bakar, hasil penjualan
kemudian dibagi menurut perbandingan sebagai berikut; pemilik perahu 40 persen
dan sisanya sebanyak 60 persen merupakan bagian awak perahu. Jumlah awak
perahu sebanyak tiga orang sehingga masing-masing mendapatkan 20 persen.
Pemilik perahu karena ikut melaut maka akan mendapatkan bagian sebanyak 60
persen dari penjualan hasil tangkapan.
Tata nilai dan norma
Karakter sosial budaya masyarakat Kwanyar Barat sangat berbeda dengan
masyarakat Karang Agung. Pengaruh Islam yang sangat kuat menyebabkan segala
bidang kehidupan didasarkan pada nilai Islam. Pada hari Jum’at nelayan memilih
untuk melaut pada siang hari selepas sholat Jum’at. Malam Jum’at, desa Kwanyar
Barat selalu diramaikan dengan kegiatan pengajian dan pembacaan tahlil yang
dilakukan di masjid atau dari rumah-rumah warga.
Kegiatan melaut juga sangat disesuaikan dengan waktu sholat. Nelayan
berusaha untuk menunaikan sholat di daratan. Karenanya baru selepas subuh
72
nelayan berangkat melaut dan kembali sebelum waktu dhuhur habis. Apabila
melaut pada malam hari, nelayan akan memilih berangkat selepas shalat isya’ dan
kembali sebelum fajar.
Kelembagaan
Sistem kelembagaan tradisional yang masih berlangsung di Kwanyar Barat
adalah tradisi menyumbang pada saat pesta atau hajatan. Undangan mempunyai
kewajiban untuk menyumbangkan sejumlah uang kepada tuan rumah. Sumbangan
ini kemudia dicatat dan kelak akan dikembalikan pada saat sang penyumbang
mengadakan hajatan. Hal ini tidak berlaku bagi lapisan sosial atas. Pada saat
hajatan yang dilakukan oleh lapisan atas justru tuan rumah yang memberikan uang
saku bagi undangan.
Pada masyarakat Bangkalan terdapat budaya tan pentan sebagai bagian
dalam perkawinan. Budaya ini berupa kewajiban bagi pihak laki-laki untuk
memberikan berbagai kebutuhan perempuan seperti baju, perhiasan, kosmetik
hingga perabot rumah tangga semacam meja rias, tempat tidur hingga lemari.
Pihak laki-laki membawa barang-barang ini bersamaan pada saat akad nikah.
Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk melakukan tan-pentan namun masalah
gengsi menjadi salah satu penyebab masih bertahannya tradisi ini.
Menurut beberapa tokoh masyarakat, tan pentan sebenarnya mempunyai
makna positif bagi pihak yang melakukan perkawinan. Pada dasarnya tan pentan
tidak mensyaratkan barang-barang yang mewah dan mahal, hanya seiring
perkembangan jaman tan pentan seolah dijadikan ajang untuk menunjukkan status
73
sosial seseorang, bahkan untuk sekedar menjaga gengsi. Tan pentan merupakan
perwujudan kesiapan pihak laki-laki dalam menempuh hidup baru dan
menanggung semua kebutuhan hidup pihak perempuan. Nilai moral tradisi ini
adalah, perkawinan membutuhkan persiapan yang cukup, baik secara psikis juga
finansial. Tentu semua pihak berharap keluarga baru tersebut dapat hidup dengan
sejahtera tanpa kekurangan.
Ikhtisar
Kedua desa kasus berbeda dalam karakteristik sosial budaya. Nuansa
islam sangat mendominasi Kwanyar Barat, sangat berbeda dengan Karang Agung
yang lebih mengarah pada bentuk masyarakat Jawa pesisir. Pelapisan sosial di
kedua desa sangat berbeda, Karang Agung mendasari pelapisan sosialnya
berdasarkan pengaruh akan kekuasaan sedangkan Kwanyar Barat menggunakan
agama. Lapisan atas di Karang Agung diisi oleh aparat pemerintahan dan pegawai
negeri. Status pegawai negeri menjadi salah satu simbol status yang sangat
bergengsi di Karang Agung. Lapisan atas di Kwanyar Barat diisi oleh kiai dan
keluarganya. Penghormatan terhadap sosok kiai sangat terasa di Madura, bahkan
terdapat nilai bapak-bebuk, guru, rato yang hingga kini dipegang teguh oleh
masyarakat Madura.
Lapisan menengah di Karang Agung diisi oleh para pekerja swasta, petani
dan pedagang. Sedangkan di Kwanyar Barat lapisan ini ditempati oleh keluarga
yang telah menunaikan ibadah haji. Gelar haji merupakan simbol status sosial
74
yang cukup disegani di Kwanyar Barat. Lapisan paling bawah di Karang Agung
ditempati oleh buruh tani, nelayan dan
Gambar 4. Pelapisan sosial di kedua desa kasus
Pelapisan sosial di kedua desa kasus dapat dijelaskan menggunakan
konsep pelapisan sosial Weber, dimana basis pelapisan didasarkan pada aspek
ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini seringkali saling berkaitan dan
tumpang tindih. Pelapisan sosial di Karang Agung lebih terbuka dibandingkan
pelapisan sosial di Kwanyar Barat. Lapisan atas di Kwanyar Barat yang ditempati
oleh kiai dan keluarganya cenderung tertutup. Sarana untuk mengakses lapisan
atas tersebut hanyalah melalui proses perkawinan.
Sistem kekerabatan di kedua desa mempunyai persamaan yaitu
berdasarkan atas garis keturunan ibu dan ayah. Struktur keluarga juga mengenal
adanya keluarga dekat dan keluarga jauh. Sistem kekerabatan masyarakat
Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat
inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Sedangkan
Lapisan Atas
Lapisan Menengah
Lapisan Bawah
Desa Karang Agung ;
Pegawai pemerintahan
dan aparat desa
Pekerja swasta,
pedagang, petani
Buruh bangunan,
buruh tani, nelayan
Desa Kwanyar Barat ;
Kiai beserta
keluarganya
Keluarga Haji
Masyarakat lainnya
75
masyarakat Karang Agung mengenal dulur parek (kerabat dekat) dan dulur adoh
(kerabat jauh).
Hubungan produksi antara pemilik perahu dan buruh nelayan berlangsung
secara longgar sehingga ikatan patronase diantara keduanya tidak begitu kuat.
Bagi hasil dilakukan setelah hasil penjualan dikurangi dengan biaya perbekalan.
Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian kepada
pemilik perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut
masing-masing sebanyak satu bagian. Sedangkan bagi hasil di Kwanyar Barat
memberikan bagian kepada pemilik perahu sebesar 40 persen dan sisanya
sebanyak 60 persen merupakan hak awak perahu.
Recommended