View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF
EKSTRAK n-HEKSANA DAGING KELELAWAR
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Telaah Fitokimia dan Fraksinasi Senyawa
Aktif Ekstrak n-Heksana Daging Kelelawar. Dibimbing oleh RARAH RATIH
ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN
MANALU
Penelitian eksplorasi ini dilakukan berdasarkan adanya dugaan sebagian
masyarakat yang menyatakan bahwa makan daging kelelawar dapat
menyembuhkan penyakit asma, alergi, dan meningkatkan stamina. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen senyawa aktif pada daging
kelelawar dibandingkan dengan daging beberapa ternak konvensional dan ikan,
serta bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar.
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama
adalah uji steroid sebagai skrining awal pada beberapa potongan karkas dan hati
kelelawar, yang dilaksanakan selama dua bulan. Tahap kedua terdiri atas
ekstraksi dan uji fitokimia daging kelelawar, daging babi, ayam, kelinci, dan ikan
cakalang, serta bumbu masak, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan
karakterisasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto yang dilaksanakan selama enam
bulan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode Sokhlet. Telaah
fitokimia daging meliputi identifikasi komponen aktif secara kuantitatif, yaitu uji
steroid/ triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid
menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah
total fenolik menggunakan pereaksi AlCl2, uji flavonoid menggunakan Mg dan
HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik
kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT). Karakterisasi senyawa
hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid
chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Struktur kimia senyawa aktif
ditentukan menggunakan software masslynx, tools element composition. Hasil
skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati,
kecuali daging Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Thoopterus nigrescens
menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua
menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari Nyctimene cephalotes, Pteropus
alecto, dan Rousettus amplexicaudatus mengandung senyawa steroid dan
alkaloid, sedangkan Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp,
dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan hanya mengandung senyawa
steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa
triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana
Pteropus alecto menunjukkan persen kelimpahan yang tertinggi adalah senyawa
dengan bobot molekul masing-masing 413.2692 (C26H3704), 324.2691 (C23H34N),
276.2 (C19H34N), dan 319.3 (C21H39N2). Keempat bobot molekul mempunyai
kemiripan dengan senyawa steroid sebanyak lima senyawa, dan lima senyawa
lainnya mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid.
Kata kunci : fitokimia, ekstrak n-heksana, senyawa aktif, kelelawar.
88
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Phytochemical Study and Fractionation of
the Active Compound of n-Hexane Extract on Bushmeat of Fruit Bats. Under
direction of RARAH RATH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH
SUGITA, and WASMEN MANALU
This exploratory research was conducted to study the claim of some
people that eating meat of bat can cure asthma, allergies, and increase stamina.
The objective of this study was to determine the active compounds in meat of
bats as compared to those of conventional livestocks and fish, as well as cooking
spices used in the processing of the bat. The research was carried out for 8 months
which consisted of two stages. The first stage was a steroid test as an initial
screening on a few pieces of carcass and liver bats, carried out for two months.
The second stage consisted of the extraction and phytochemical test from meat of
bats, pork, chicken, rabbit, and tuna, as well as spices, followed by isolation,
fractionation, and characterization of n-Hexane extract of Pteropus alecto, held
for six months. Phytochemical study of meat included identification of active
compouns, namely quantitative test steroid/triterpenoid using Lieberman Burchard
reagent, the alkaloid test using reagents Dragendrof, Meyer reagents, reagent
Bouchardat, the total phenolic using AlCl2 reagent, flavonoids test using Mg and
concentrated HCl. Fractionation of the active compound was done by using
column chromatography and thin layer chromatography. Characterization of the
fractionation was done through the determination of molecular weight by the
method of liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Chemical
structure of the active compounds was determined by using masslynx software,
tools element composition. The results of initial screening indicated that boneless
carcass and liver of Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, and Thoopterus
nigrescens showed a steroid compound. The second stage showed that the
boneless carcass of Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, and Rousettus
amplexicaudatus showed steroids and alkaloids, while Acerodon celebensis,
Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, Thopterus sp, pork, rabbit, and fish
contained only steroid compounds. The results of the initial screening of the
spices showed the existence of triterpenoid compounds, flavonoids, and
alkaloids. The results of the characterization of the isolated extract n-Hexane
Pteropus alecto showed that the highest abundance in percentage were
compounds with molecular weights of each 413.2692 (C26H3704), 324.2691
(C23H34N), 276.2 (C19H34N), and 319.3 (C21H39N2). The four molecular weights
observed that have molecular structure similar to steroid compounds were five
compounds and five compounds others of molecular structures found similar to
alkaloid.
Keywords: phytochemicals, extracts n-Hexane, the active compound, bats.
89
Pendahuluan
Tuntutan sebagian konsumen terhadap bahan pangan dewasa ini semakin
bergeser, yaitu pangan yang diminati adalah pangan yang bersifat fungsional.
Artinya, bukan saja memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita
rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh
(Wijaya 2002). Suatu bahan pangan dapat dikategorikan menjadi pangan
fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan
makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung
senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang
dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, dan memiliki fungsi tertentu setelah
dikonsumsi (Gibson & Williams 2000).
Definisi pangan fungsional menurut Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia adalah pangan yang secara alamiah maupun telah
melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu, terbukti tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan (UU No 7 1996,
BPOM RI 2011). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan kelelawar sebagai
lauk yang dikenal dengan nama paniki. Berdasarkan informasi di media masa dan
wawancara langsung dengan konsumen, dipercayai bahwa daging dan hati
kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, seperti asma, alergi, juga dapat
mempertahankan stamina bagi pria atau wanita. Diduga bahwa daging kelelawar
mengandung senyawa aktif ketotifen dan steroid. Berdasarkan bank data, ketotifen
merupakan senyawa pemblokir pelepasan mediator inflamasi (PubChem, Drug
Bank). Steroid merupakan senyawa aktif yang terdapat pada hewan yang
berfungsi sebagai hormon pengatur tumbuh (Yohny et al 2003, Handayani et al.
2008).
Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan
rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabai, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan
bawang putih menjadikan daging kelelawar olahan kaya akan komponen aktif.
Darusman et al. (2007) melaporkan bahwa kandungan senyawa aktif pada kunyit
adalah flavonoid dan triterpenoid, kandungan cabe rawit adalah flavonoid,
90
sedangkan kandungan jahe adalah triterpenoid. Rustam et al. (2007) melaporkan
bahwa ekstrak metanol kunyit mempunyai efek antiinflamasi pada tikus.
Pada saat ini telah banyak dilakukan studi terkait keberadaan senyawa
bioaktif dalam bahan nabati atau tumbuhan, sedangkan eksplorasi satwa, hewan,
dan ternak masih sangat sedikit sekali dipelajari, terlebih yang berkaitan dengan
sumber daya/kekayaan hayati lokal Indonesia. Laporan ilmiah yang
mengungkapkan penggunaan daging kelelawar sebagai bahan pangan yang
bersifat fungsional sampai saat ini belum tersedia. Adanya kepercayaan sebagian
masyarakat akan keistimewaan daging kelelawar untuk menyembuhkan penyakit
asma perlu dibuktikan secara ilmiah. Identifikasi dan karakterisasi senyawa-
senyawa aktif yang terdapat di dalam daging kelelawar sangat berkaitan erat
dengan pengembangan ilmu pengetahuan karena akan mengaplikasikan berbagai
metode ekstraksi hingga pemurnian untuk mendapatkan jenis senyawa aktif yang
bertanggung jawab terhadap pengobatan penyakit asma.
Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan,
salah satunya adalah dengan melakukan telaah fitokimia dan karakterisasi
senyawa aktif ekstrak n-Heksana dari daging kelelawar. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan identifikasi secara kualitatif senyawa-senyawa aktif dan
karakterisasi senyawa-senyawa aktif dalam daging kelelawar melalui penentuan
bobot molekul. Teridentifikasinya senyawa-senyawa aktif akan menjawab
berbagai kepercayaan/pemeo yang beredar di masyarakat dan kesesuaian klaim
daging kelelawar sebagai pangan yang bersifat fungsional. Diharapkan, dengan
diketahuinya beberapa keistimewaan daging kelelawar, pelestarian dan
pemanfaatan hewan ini dapat diseimbangkan. Berdasarkan informasi ini
pemerintah dapat menindaklanjuti dengan program pelestarian kelelawar di
wilayah Sulawesi sebagai plasma nutfah, sekaligus membudidayakannya agar
terhindar dari kepunahan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Penelitian
ini diharapkan menghasilkan suatu temuan baru untuk dapat menjelaskan secara
ilmiah keterkaitan antara konsumsi daging kelelawar dengan pengobatan penyakit
asma. Studi lanjut secara genetik molekuler di antaranya melalui genotyping
terhadap spesies kelelawar, khususnya di Sulawesi dan secara umum di Indonesia,
akan terbuka, didasari dengan pembuktian keberadaan senyawa aktif dari hasil
91
penelitian ini nantinya. Penelitian ini, dengan demikian, akan menyumbangkan
satu penemuan baru dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk senyawa-
senyawa aktif yang terdapat pada produk hewani. Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
jenis senyawa aktif yang terdapat dalam daging kelelawar dan bumbu-bumbu
sebagai bahan pangan. Kepercayaan akan kegunaan konsumsi daging kelelawar
sebagai obat juga mengantarkan penelitian ini untuk mengisolasi dan
mengkarakterisasi senyawa aktif golongan alkaloid dan steroid yang terdapat
dalam daging kelelawar.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk proses
pengeringan daging, Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan, IPB untuk telaah fitokimia dan fraksinasi senyawa aktif, dan
Laboratorium Biotek, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset
dan Teknologi, Serpong, Tangerang, untuk penentuan bobot molekul dan struktur
molekul. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap pertama, yaitu uji
pendahuluan pada Oktober-Desember 2010. Tahap kedua pada Oktober 2011
sampai April 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap satu sebagai uji
pendahuluan adalah 3 ekor kelelawar P. alecto. Jenis kelelawar tahap kedua
adalah 37 ekor A. celebensis, 20 ekor N. cephalotes, 20 ekor P. alecto, 7 ekor
Pteropus sp, 20 ekor R. amplexicaudatus, 10 ekor T. nigrescens, 5 ekor
Thoopterus sp 1, 6 ekor Thoopterus sp 2 yang diperoleh dari beberapa lokasi di
Sulawesi, 2 kg daging ayam, 2 kg daging babi, dan 2 kg ikan cakalang yang
diperoleh di Pasar Bersehati Manado, 2 kg daging kelinci yang diperoleh dari
peternakan rakyat di Bogor, serta bumbu masak yang digunakan dalam
pengolahan daging kelelawar. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas berbagai
jenis pelarut organik teknis dan proanalisis, yaitu n-heksana, dietil eter, etil asetat,
92
metanol, etanol, kloroform, Pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Dragendrof,
Pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, HCl, FeCl3, Mg, amyl alkohol, amonia, dan
silica gel 60, 70-230 mesh, E. Merck untuk kromatografi kolom, silica gel 60 F
254 untuk kromatografi lapis tipis.
Peralatan yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan analitik,
dissecting set, camera digital, food processor, cool box, lempeng tetes,
seperangkat alat sokhlet, oven, seperangkat alat kromatografi kolom dengan
panjang kolom 40 cm, dan diameter1.8 cm, vacuum rotary evoporator bunchi R
114 yang dilengkapi dengan sistem vakum bunchi B 169, oven, lemari asam,
sinar UV 254 (original hanau floutest), pipa kapiler, dan seperangkat alat LC-MS,
seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof, jenis kolom acquatif BEH 1.7 μm C18
diameter 2.1 mm x 50 mm.
Metode Penelitian
Penelitan Tahap l
Penelitian tahap pertama adalah uji pendahuluan yang bertujuan untuk
mengetahui bagian mana dari komponen karkas dan non karkas kelelawar yang
mempunyai zat aktif, dan jenis ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian.
Jenis kelelawar yang digunakan adalah P. alecto. Uji pendahuluan yang dilakukan
adalah uji steroid.
Metode ekstraksi dilakukan secara dingin dengan maserasi dan secara
panas dengan sokhlet. Sebelumnya, kelelawar dipelihara dalam kandang di
tempat asalnya kurang lebih dua minggu dan diberi makan buah-buahan, seperti
pisang dan pepaya setiap hari. Satu hari sebelum dibawa ke laboratorium
kelelawar sudah dibakar kemudian karkasnya disimpan di lemari es suhu 5°C.
Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Peternakan IPB, dan disimpan pada suhu dingin.
Seminggu kemudian, karkas diblender sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Setiap sampel diuji sebanyak tiga kali. Analisis sampel terdiri atas: Sampel A
adalah bagian daging beserta lemak dan kulit, Sampel B adalah karkas
keseluruhan, Sampel C adalah daging tanpa lemak dan kulit, Sampel D adalah
bagian hati. Prosedur kerja uji pendahuluan adalah sebagai berikut.
93
Ekstraksi Dingin dengan Maserasi.
Sebanyak 0.3 g sampel dalam keadaan segar yang telah halus dimasukkan
ke dalam tabung reaksi ditambahkan dietil eter sebanyak 5 mL kemudian dikocok
menggunakan vorteks sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas dipipet
dan diteteskan pada lempeng dan diidentifikasi menggunakan pereaksi Lieberman
Buchard.
Ekstraksi Panas Menggunakan Metode Sokhlet (AOAC, 1995)
Sejumlah sampel daging yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu
80ºC selama 12 jam, dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk
menyerupai timbel, kemudian ditutup dengan kapas wol bebas lemak. Timbel
tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet, kemudian alat ekstraksi
dipasangkan dengan labu lemak di bawahnya. Pelarut n-heksana dituangkan ke
dalam alat ekstraksi sokhlet sesuai dengan ukuran yang digunakan, alat ekstraksi
sokhlet dipasang pada alat kondensator di atasnya.
Selanjutnya, dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun
ke dalam labu lemak berwarna jernih. Timbel dikeluarkan dan pelarut yang ada
dalam labu lemak didestilasi selama satu jam. Labu lemak yang berisi hasil
ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C selama satu jam dan didinginkan
dalam desikator.
Untuk pengujian steroid, ekstrak sebanyak 0.1 g ditambahkan kloroform
dan air dengan perbandingan 1:1 kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian dikocok dan didiamkan sampai berbentuk dua lapisan. Lapisan bawah
disaring dan filtratnya dipipet kemudian diteteskan ke plat tetes. Setelah kering
ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard.
Penelitian Tahap ll
Hasil pengujian tahap pertama merupakan rekomendasi untuk uji fitokimia
tahap kedua. Kelelawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar
yang ditangkap langsung di habitatnya yang langsung dipotong kemudian diambil
bagian karkasnya dan dikeringkan, sedangkan daging ternak konvensional dan
ikan serta bumbu masak diambil di pasar tradisional. Prosedur kerja penelitian
tahap kedua adalah sebagai berikut.
94
Pengeringan Sampel
Sampel daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang
yang digunakan dipotong-potong tipis dengan ukuran 1-3 cm, sedangkan bumbu
masak dihaluskan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80ºC salama 6-12 jam
sampai daging dan bumbu masak mudah dihancurkan, kemudian dihaluskan, lalu
dikemas dalam plastik untuk dianalisis. Sampel daging diekstraksi dengan pelarut
n-heksana menggunakan sokhlet, kemudian ekstrak n-heksana hasil akstraksi
diuji dengan metode fitokimia. Bumbu masak langsung diuji fitokimianya.
Uji Fitokimia Daging dan Bumbu Masak
Uji fitokimia merupakan skrining awal. Hasil uji fitokimia untuk ekstrak
n-heksana yang positif mengandung senyawa aktif dilanjutkan dengan isolasi dan
fraksinasi untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Uji fitokimia
daging secara kuantitatif meliputi, pemeriksaan alkaloid, flavonoid, fenolik, dan
triterpenoid, dengan prosedur kerja sebagai berikut.
Persiapan Bahan Uji.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.1 g ditambahkan pelarut campuran
kloroform dan aquades dengan perbandingan 1:1. Campuran dikocok dalam
tabung reaksi dan dibiarkan sejenak sehingga berbentuk dua lapisan. Lapisan yang
berada di atas digunakan untuk pemeriksaan fenolik dan flavonoid.
Pemeriksaan Alkaloid.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Setelah itu ditambahkan ammonia 10% dan CHCl3 10 mL kemudian dikocok.
Lapisan CHCl3 diambil dan ditambahkan H2SO4, kemudian dikocok lagi, fase
cairnya diambil dan dibagi menjadi tiga bagian.
Ke dalam masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendrof,
pereaksi Meyer, dan pereaksi Wegner. Warna merah yang terbentuk pada sampel
yang diberikan pereaksi Dragendrof, endapan warna putih pada sampel yang
ditambahkan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat kemerahan pada sampel yang
ditambahkan pereaksi Wegner menunjukkan bahwa sampel positif mengandung
alkanoid.
95
Pemeriksaan Fenolik.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes,
kemudian ditambahkan pereaksi AlCl3. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna
hijau, biru, atau ungu.
Pemeriksaan Senyawa Flavonoid.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g yang berada di dalam tabung
reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan
sedikit bubuk logam Mg serta beberapa tetes asam klorida pekat. Reaksi positif
adalah bila terbentuk warna merah kuning atau jingga
Pemeriksaan Senyawa Saponin
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian residunya dimasukkan ke dalam
gelas piala, ditambahkan aquades sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan selama 5
menit sampai mendidih. Kemudian, didinginkan dan dikocok vertikal sampai
membentuk busa. Kemudian ditambahkan HCl 2N dan didiamkan selama 10
menit. Positif mengandung saponin, jika busa dalam tabung reaksi tidak berubah.
Pemeriksaan Senyawa Triterpenoid/ Steroid.
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang
berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian filtratnya dipipet dan dipindahkan
ke dalam plat tetes kemudian diangin-anginkan. Identifikasi keberadaan senyawa
steroid dilakukan dengan reaksi warna dengan pereaksi Lieberman Burchard.
Triterpenoid positif apabila terbentuk warna merah atau violet, steroid positif
apabila terbentuk warna hijau atau biru.
Isolasi Ekstrak n-Heksana
Ekstrak n-heksana yang positif mengandung steroid dan alkoloid
selanjutnya diisolasi. Isolasi senyawa steroid dilakukan pada tiga jenis kelelawar,
yaitu A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus, serta daging babi. Dasar
pertimbangan memilih ketiga jenis kelelawar ini adalah A. celebensis merupakan
endemik Sulawesi, R. amplexicaudatus penyebaranya luas, P. alecto sudah
96
dikomersialkan dan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern
di daerah Sulawesi. Selain itu jumlah sampelnya tersedia. Bagan kerja tahap
ekstraksi dan isolasi senyawa steroid dapat dilihat pada Gambar 20
- dipotong-potong halus
- dikeringkan (80ºC, 12 jam)
- diekstrak dengan n-heksana
- diuji fitokimia - disabunkan
dengan KOH
- direfluks
(700C, 1jam)
-difraksinasi
dgn dietil eter
-dievaporasi
-uji L-B -uji L-B
-dipekatkan
Gambar 20 Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana.
Ekstrak n-heksana pekat sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu ukur,
disabunkan dengan menambahkan KOH kristal pa sebanyak 9.5 g dan 50 mL
etanol 95%, dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan
dan ditambahkan aquades sebanyak 50 mL, dan dimasukkan ke dalam labu kocok.
Kemudian ditambahkan dietil eter sebanyak 50 mL dan dikocok-kocok.
Didiamkan sampai terjadi pemisahan. Lapisan atas ditampung dalam gelas kimia,
dan ditambahkan dietil eter 20 mL kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu
kocok. Pemisahan ini diulangi sampai benar-benar lapisan atas bebas dari lemak
dan air. Hasil tampungan dicuci dengan air sampai alkali dengan menggunakan
indikator pp. Warna pink berarti belum bebas sabun, dan warna netral berarti
Daging segar
Bahan kering
Ekstrak n-heksana
Ekstrak n-heksana Ekstrak n-heksana
Steroid Alkaloid Flavonoid Fenolik Saponin
Fase tak tersabunkan
Fase tersabunkan
Steroid (-) Steroid (+)
97
bebas dari sabun. Fase yang tidak tersabunkan dipekatkan menggunakan
evaporator sampai bebas pelarut. Kedua fase ini kemudian diuji dengan pereaksi
Lieberman Buchart yang terdiri atas kloroform, asam asetat anhidrid dan asam
sulfat pekat.
Pemisahan Fase Tak Tersabunkan
Untuk melihat larutan pengembang yang baik, maka fase yang tak
tersabunkan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Fase tak
tersabunkan ditotolkan sebanyak 3 ulangan dengan jarak ulangan 1 cm pada
masing-masing plat kromatografi lapis tipis yang sudah diaktifkan pada suhu
80ºC selama 15 menit, dan dipotong-potong ukuran 5 cm x 6.5 cm dengan jarak
eluen dari titik penotolan dan batas atas 5 cm. Masing-masing Plat KLT yang
sudah ditotolkan ekstrak tak tersabunkan dimasukkan ke dalam masing-masing
vial yang berisikan larutan pengembang tunggal yang sudah dijenuhkan, yaitu n-
hexana, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan etil asetat sampai pergerakan
eluen mencapai batas atas KLT. Setelah itu, plat KLT diangkat dan diangin-
anginkan. Untuk melihat noda-noda pada plat KLT digunakan sinar UV. Melihat
jarak noda dan jumlah noda yang terbentuk pada plat KLT maka dilakukan
penggabungan dua jenis pelarut. Hasil penggabungan dua jenis eluen diperoleh
gabungan pelarut, yaitu n-heksana-dietil eter (80:20) dengan jumlah noda empat
titik dengan jarak noda yang sama. Setelah diperoleh eluen yang terbaik, sebanyak
1 g fase tak tersabunkan dipisahkan dengan cara kromatografi kolom
menggunakan fase diam silika gel 60 (70-230 mesh) sebanyak 80 g dengan
panjang kolom 40 cm, dan diameter 1.8 cm menggunakan fase gerak n-heksana-
etil asetat dan difraksinasi secara gradient. Fraksi-fraksi ditampung dalam tabung
reaksi yang sudah diberi label (T1-T125) setiap 5 menit. Masing-masing fraksi
dianalisis secara kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola Rf yang sama
digabungkan menjadi satu kemudian diuapkan. Semua fraksi-fraksi diuji steroid
dan alkaloid.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Identifikasi dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan
dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-
98
MS). Penentuan struktur molekul ditentukan dengan bantuan software masslynx,
tools element composition. Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak
tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan
ditunjukkan dalam Gambar 21.
Analisis Data
Hasil analisis fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif diuraikan secara
deskriptif.
- di KK dengan silika gel 60 (70-230
mesh)
- dielusi secara gradient dengan eluen n-
heksana-EtOAc
- ditampung setiap 5 menit
- hasilnya di KLT dengan larutan
pengembang n-heksana-EtOAc (80 : 20)
- disinar UV
- fraksinasi dengan pola Rf sama
digabung
-LC-MS -LC-MS
-Software masslynx, -Software masslynx,
tools element composition tools element composition
Gambar 21 Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan
penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan.
Fase tak tersabunkan 1 g
Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D Fraksi E Fraksi F
Bobot molekul Bobot molekul
Struktur molekul Struktur molekul
99
Hasil dan Pembahasan
Penelitian Tahap l
Penelitian tahap pertama merupakan uji pendahuluan. Berdasarkan uji
pendahuluan maka diketahui bahwa pada hati, daging bersama kulit, dan daging
campuran semua bagian tubuh yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan yang
dimaserasi, memiliki komponen senyawa steroid. Identifikasi senyawa steroid
diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sebelum dan sesudah diuji
dengan pereaksi Lieberman-Buchard. Perubahan warna sampel disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P alecto yang
diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi
Komponen
tubuh
Maserasi Sokhlet
Warna awal Warna akhir Warna awal Warna akhir
A Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun
B Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun
C Bening putih gading - -
D Bening biru kehijauan - -
Tanda - tidak dianalisis, A: daging dan kulit, B: karkas keseluruhan, C: daging
tanpa kulit, D: hati
Uji Lieberman Buchard pada penelitian pendahuluan ini memperlihatkan
bahwa sampel A, B, dan D menunjukkan perubahan warna dari warna bening
menjadi biru kehijauan, sedangkan sampel C tidak memperlihatkan perubahan
warna. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B, dan D teridentifikasi
positif memiliki senyawa steroid. Harborne (2006) menyatakan bahwa senyawa
aktif dapat diidentifikasikan dari warna yang dihasilkan dengan menggunakan
pereaksi Lierbemann Buchard, warna hijau menunjukkan steroid, warna merah,
merah muda, dan ungu menunjukkan triterpenoid. Senyawa steroid pada hewan
kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas. Secara fisiologis, steroid anabolik
dapat membuat seseorang menjadi agresif. Johnny et al. ( 2003) melaporkan
bahwa steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai
sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu. Saleh (2007) melaporkan bahwa ekstrak
metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid
(clionesterol) mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL / kg bb mencit
jantan.
100
Penelitian Tahap II
Uji fitokimia Daging Kelelawar, Ternak Konvensional, dan Ikan Cakalang
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, maka penelitian tahapan kedua
ditetapkan untuk mengambil sampel karkas tanpa tulang dengan menggunakan
metode ekstraksi secara panas, yaitu sokhlet. Pada penelitian ini pengujian
fitokimia meliputi beberapa spesies daging kelelawar yang ditangkap di beberapa
daerah, dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti ayam, babi, kelinci, dan
ikan cakalang. Tabel 8 menunjukkan bahwa semua jenis kelelawar, daging
kelinci, dan ikan cakalang positif mengandung senyawa steroid kecuali daging
ayam, dan ada 3 spesies kelelawar yang mengandung senyawa alkaloid.
Tabel 8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging
ternak konvensional serta ikan cakalang
Jenis daging Komponen aktif
Steroid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin
D M W 1 2 3
Daging kelelawar
A. celebensis
N. cephalotes
P. alecto
Pteropus sp
R. amplexicaudatus
T.nigrescens
Thoopterus sp 1
Thoopterus sp 2
++
++
++
++
++
+++
++
++
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Daging kelinci + - - - - - - - -
Daging ayam - - - - - - - - +
Daging babi + - - - - - - - -
Ikan cakalang ++ - - - - - - - -
W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; +++:
intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah;
- tidak terdapat senyawa aktif
Intensitas warna senyawa steroid sangat kuat pada T. nigrescens (+++)
daripada A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, Pteropus sp, Thoopterus sp 1,
Thoopterus sp 2, R. amplexicaudatus, serta ikan cakalang (++), sedangkan daging
babi dan kelinci intensitas warnanya lemah (+) seperti pada Lampiran 1. Kuatnya
intensitas warna pada semua jenis daging kelelawar diduga karena jenis makanan
yang dikonsumsi kelelawar di alam dan kemampuan tubuh kelelawar untuk
101
memetabolisme nutrisi dalam tubuh terutama karbohidrat yang akan
menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor untuk pembentukan asam
mevalonat yang akan menghasilkan steroid.
Uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner
menunjukkan bahwa P. alecto, N. cephalotes, dan T. nigrescens mengandung
senyawa alkaloid, walaupun intensitas warna lemah dan endapan yang terbentuk
kurang (+), seperti pada Lampiran 12. Identifikasi senyawa alkaloid diketahui
dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi oranye dengan endapan
oranye pada pereaksi Dragendrof, warna bening menjadi putih keruh dan endapan
putih keruh pada pereaksi Meyer, dan perubahan warna bening menjadi cokelat
dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. Terdapatnya kandungan alkaloid pada
N. cephalotes, P. alecto, dan T.nigrescens diduga karena pakan yang dikonsumsi
kelelawar jenis ini mengandung nutrisi yang dapat dijadikan sebagai prekursor
pembentukan alkaloid dan adanya kemampuan tubuh untuk membentuk asam-
asam amino, seperti lisina, histidina, dan tirosina yang merupakan cikal bakal
terbentuknya alkaloid
Uji fitokimia Bumbu Masak
Pengujian fitokimia menunjukkan bahwa bumbu masak mengandung
senyawa triterpenoid dan alkaloid. Tabel 9 menunjukkan bahwa cabe rawit, jahe
merah, kunyit, daun sereh, dan gabungan dari semua jenis bumbu masak positif
mengandung senyawa triterpenoid dan senyawa flavonoid, sedangkan kunyit dan
daun bawang hanya menggandung triterpenoid.
Identifikasi senyawa triterpenoid diketahui dengan adanya perubahan
warna sampel sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard menjadi merah
muda dengan intensitas warna setiap bumbu yang berbeda. Intensitas warna
senyawa triterpenoid sangat kuat pada kunyit, daun sereh, dan bumbu campur
(+++) daripada cabe rawit (++), sedangkan jahe merah dan daun bawang
intensitas warnanya lemah (+), seperti pada Lampiran 13.
Uji flavonoid menunjukkan bahwa jahe, sereh, cabe rawit, dan campuran
semua bumbu masak menggandung flavonoid. Identifikasi flavonoid diketahui
dengan adanya perubahan warna menjadi kuning untuk ekstrak jahe, cabe rawit,
102
dan campuran bumbu masak serta warna jingga untuk ekstrak sereh, dengan
intensitas perubahan warna yang sangat kuat, seperti pada Lampiran 14.
Tabel 9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar
Jenis bumbu Komponen aktif
Triterpenoid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin
D M W
Cabe rawit ++ - - - - +++ -
Jahe merah + - - - - +++ -
Kunyit +++ - - - - - -
Bawang daun + - - - - - -
Bawang merah - - - - - - -
Daun sereh +++ - - - - +++ -
Daun jeruk purut - - - - - -
Bumbu campur +++ - - - - +++ -
W:pereaksi Wagner; M:pereaksi Meyer; D:pereaksi Dragendrof; +++: intensitas
warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak
terdapat senyawa aktif
Isolasi Senyawa Steroid dengan Penyabunan
Prinsip penyabunan ialah memisahkan senyawa-senyawa lemak selain
senyawa-senyawa yang mengandung steroid, yaitu fase yang tersabunkan adalah
lemak, dan fase tidak tersabunkan mengandung senyawa steroid. Tabel 10
menunjukkan hasil uji Lieberman Buchart dan perolehan bobot ekstrak tak
tersabunkan dari masing-masing ekstrak n- heksana.
Tabel 10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari
ketiga jenis kelelawar dan daging babi
Jenis ekstrak
n-heksana
Bobot ekstrak
n-heksana (g)
Bobot fase tidak
tersabunkan (g)
Uji steroid
A. celebensis 70 1.225 Warna biru
P. alecto 130 3.887 Warna biru
R. amplexicaudatus 55 0.991 Warna biru
Daging babi 10 0.204 Warna biru
Hasil penyabunan ekstrak n-heksana A. celebensis, P. alecto, dan R.
amplexicaudatus serta daging babi yang difraksinasi dengan menggunakan dietil
eter menunjukkan bahwa fase tidak tersabunkan mengandung steroid, dan fase
yang tidak tersabunkan tidak mengandung steroid.
103
Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tak Tersabunkan
Berdasarkan banyaknya fase tak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar
dan daging babi, maka untuk pemisahan dengan menggunakan kromatografi
kolom diambil satu spesies yang jumlah fase tidak tersabunkan lebih banyak,
yaitu P. alecto. Untuk menguji pelarut terbaik yang digunakan dalam
kromatografi kolom digunakan enam pelarut tunggal sebagai analisis awal
menggunakan kromatografi lapis tipis. Gambar 22 memperlihatkan pola noda
yang terbentuk pada KLT dari fase tak tersabunkkan ekstrak n-heksana P. alecto
pada enam pelarut tunggal.
Kloroform
Etanol
Etil asetat
n-Heksana
Dietil eter
Metanol
Gambar 22 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-
heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal.
Berdasarkan pada pola noda yang terbentuk dari keenam pelarut tunggal
dilakukan kombinasi pelarut, yaitu Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat.
Gambar 23 memperlihatkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis
kombinasi pelarut Etanol–etil asetat (50:50) dan n-heksana-etil asetat (50:50)
Etanol–etil asetat (50:50)
n-Heksana-etil asetat(50:50)
Gambar 23 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-
heksana pada pelarut Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat.
Berdasarkan pola noda dari kedua kombinasi pelarut maka dipilih
kombinasi n-heksana-etil asetat. Hasil analisis kombinasi n-heksana-etil asetat
yang terbaik untuk proses kromatografi kolom dari fraksi yang tidak tersabunkan
104
adalah n-heksana-etil asetat (80 :20), dengan empat noda dan nilai Rf1 = 0.17,
Rf2 = 0.37, Rf3 = 0.73 dan Rf4 =1. Gambar 24 menunjukkan pola noda pada plat
kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto dengan
perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda.
n-Heksana - etil asetat
(50 :50)
n-Heksana - etil
asetat (70 :30)
n-Heksana - etil asetat
(80 :20)
Gambar 24 Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak
tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang
berbeda.
Hasil analisis dengan kromatografi kolom terhadap satu gram fase tidak
tersabunkan ekstak n-Hexana P. alecto diperoleh sebanyak 126 fraksi. Setelah
dianalisis dengan KLT diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi-fraksi yang
menampakkan pola yang sama pada kromatogram lapis tipis adalah fraksi A (T1-
T12) seberat 0.0436 g, fraksi B (T13-T36) seberat 0.0378 g, fraksi C (T37-T58)
seberat 0.237 g , fraksi D (T59-T67) seberat 0.127 g, fraksi E (T68-T76) seberat
0.0144 g, dan fraksi F (T77-T126) seberat 0.358 g. Kromatografi lapis tipis dari
keenam fraksi gabungan dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase
tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto.
105
Hasil analisis KLT terhadap enam fraksi gabungan menunjukkan bahwa
fraksi A memiliki satu noda tebal dengan nilai Rf = 0.92, fraksi B memiliki dua
noda dengan nilai Rf = 0.30 dan 0.63, fraksi C memiliki dua noda dengan nilai Rf
= 0.41 dan 0.58, fraksi D memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.40 dan 0.6, fraksi
E memiliki 3 noda dengan nilai Rf masing masing 0.16, 0.25, dan 0.46, dan fraksi
F memiliki dua noda dengan nilai Rf 0.73 dan 0.86.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Analisis selanjutnya adalah menentukan bobot molekul senyawa hasil
fraksinasi kolom menggunakan LC-MS seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof ,
kolom acquatif BEH 1.7 μm C18, 2.1 mm x 50 mm, dan pendugaan rumus
molekul serta struktur molekul menggunakan bantuan software masslynx, tools
element composition serta database melalui database (ChemSpider).
Hasil LC-MS dari fraksi A menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi
secara berurutan adalah 2.3, 2.75, 3.06, 3.19, 3.27, 3.75, 3,97, 4.32, 4.73, 5.00 dan
5.26. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.75 dan 4.73. Spektrum
massa dari fraksi A ditunjukkan dalam Gambar 26.
Gambar 26 Spektrum MS dari fraksi A.
Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.75
mempunyai rumus molekul C26H37O4 dan bobot molekul 413.2692, dan senyawa
dengan waktu retensi 4.73 mempunyai rumus molekul C23H34N dan bobot
106
molekul 324.2691. Berdasarkan database senyawa dengan bobot molekul 413.26
mempunyai lima kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 27.
17-[(3 Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-
oxoestr-4-en-4-olate
Massa: 413.269989013672 Da
11-(6-Hydroxy-2,5,7,8-
tetramethyl-3,4-dihydro-2H-
chromen-2-yl)-4,8-dimethyl-4,8-
undecadienoate
Massa: 413.269989013672 Da
O
15-(3-Carboxylato-3-
methyl-2-
butanyl)retinoic acid
Massa: 413.269745 Da
4-(Octyloxy)-4-[2-
(pentyloxy)phenyl]-2,5-
cyclohexadiene-1-carboxylate
Massa: 413.269745 Da
2-(4-isobutylphenyl)propanoate;
2-(4-isobutylphenyl)propanoic
acid; molecular hydrogen
Massa: 413.269745 Da
Gambar 27 Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26.
Dari kelima struktur tersebut satu senyawa mempunyai kemiripan dengan
struktur molekul senyawa steroid golongan estron, yaitu 17-[(3
Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate. Estron adalah kelompok
steroid jenis estrogen yang merupakan hormon seks wanita yang diproduksi di
kelenjar adrenal dan ovari dan berkaitan dengan pengembangan sel telur dan
perkembangan seks sekunder pada wanita (Wilbraham et al. 1992, Hart et al.
2003).
Senyawa dengan bobot molekul 324.27 mempunyai enam kemungkinan
senyawa seperti pada Gambar 28. Berdasarkan strukrur molekulnya, senyawa
N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2butanyl)benzyl]ethanaminium dan [4-(1-ethyl-3-
107
phenyl-pentyl) phenyl]methyl-trimethyl-ammonium tidak memiliki kemiripan
dengan senyawa steroid. Kedua senyawa ini memiliki kemiripan dengan turunan
benzena, dan cincin benzena sebagai subtituen pada alkana. Empat senyawa,
yaitu 1-{[(5R,7S)-3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3-
phenylpyridinium, 1-{[3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1-
(7-Isopropyl-1-me thyl-4-azulenyl)-2-methyl-2-propanyl]-1-methylpyrrolidinium
mempunyai kemi ripan dengan struktur molekul alkaloid golongan piridin-
piperidin karena mengandung cincin karbon dan satu atom nitrogen dalam satu
cincin karbon sebagai struktur inti. Senyawa alkaloid golongan ini terdapat pada
tumbuhan Piperis nigri (lada hitam), dan tumbuhan areca catechu (pohon pinang)
yang berguna sebagai obat cacing dan penenang (Kristina & Syahid 2008).
1-[1-(7-Isopropyl-1-methyl-4-
azulenyl)-2-methyl-2propanyl]-
1-methylpyrrolidinium
Massa: 324.268585 Da
N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2-
butanyl)benzyl]ethanaminium
Massa: 324.268585 Da
1-{[3-(4-
Methylphenyl)adamantan-1-
yl]methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-{[(5R,7S)-3-(4-
Methylphenyl)adamantan-1-yl]
methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-Dodecyl-3-phenylpyridinium
Massa: 324.269012451172 Da
[4-(1-ethyl-3-phenyl-
pentyl)phenyl]methyl-
trimethyl-ammonium
Massa: 324.269 Da
Gambar 28 Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27.
Keempat senyawa juga mempunyai kemiripan struktur molekul dengan
senyawa Kitotifen (Gambar 29) yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit,
108
anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor
histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi.
4-(1-Methyl-4-piperidinylidene)-4,9-dihydro-10H-
benzo[4,5]cyclohepta[1,2-b]thiophen-10-one
Molecular Formula: C19H19NOS
Monoisotopic mass: 309.118744 Da
Gambar 29 Struktur molekul senyawa kitotifen.
Hasil LC-MS dari fraksi C menunjukkan 11 puncak dengan waktu
retensi secara berurutan adalah 2.16, 2.23, 2.82, 3.11, 3.21, 3.39, 4.05, 4.58, 4.62,
4.95 dan 5.18. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.21 dan 4.62
dengan bobot molekul 276.2 dan 319.3. Spektrum massa dari fraksi C ditunjukkan
dalam Gambar 30.
Gambar 30 Spektrum MS dari fraksi C.
Hasil analisis spektrum massa menunjukkan bahwa senyawa dengan
waktu retensi 3.21 mempunyai molekul 276.26, dan senyawa dengan waktu
retensi 4.62 mempunyai bobot molekul 319.31. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan bantuan software senyawa dengan bobot molekul 276.26
mempunyai rumus molekul C19H34N dengan 17 kemungkinan senyawa. Empat
109
senyawa di antaranya mempunyai kemiripan dengan steroid golongan androstan.
Salah satu jenis hidrokarbon induk steroid dari keempat senyawa ini adalah
androstan dengan gugus fungsi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan rantai
samping NH3 yang melekat pada atom C nomor 17, seperti pada Gambar 31.
(5α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585 Da
(5β,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585
Da
(5α,8α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585Da
(5β,8α,14β,17β)-
Androstan-17-
aminium
Massa:
276.268585 Da
Gambar 31 Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26858.
Harold et al. (2003) menyatakan bahwa ciri umum struktur steroid adalah
sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggotakan enam, dan
cincin D beranggota lima, biasanya ada substitusi metil yang melekat pada C-10
dan C-13 dan semacam rantai samping yang melekat pada C-17. Adrostan
merupakan hormon seks pada pria yang masuk ke dalam kelompok androgen
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang berkaitan dengan perkembangan seks
sekunder pada pria (Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003).
Senyawa dengan bobot molekul 319.31 mempunyai rumus molekul
C21H39N2 dengan dua kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 32.
Berdasarkan pada struktur molekul, kedua senyawa tersebut mempunyai
kemiripan dengan senyawa alkaloid, karena adanya atom nitrogen dalam struktur
lingkar heterosklik.
Berdasarkan pada atom nitrogen, senyawa (3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9-
dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo[1,2-a:1',2'-c] pyrimi din-4-ium
masuk ke dalam alkaloid heterosiklik golongan imidazol yang atom nitrogen
terdapat pada cincin karbon dan cincin karbonnya mengandung dua atom
nitrogen. Alkaloid golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata
110
dan untuk meningkatkan sirkulasi darah. Santos & Moreno (2004) melaporkan
bahwa alkaloid pilocarpine dari tamanam Pilocarpus digunakan sebagai obat
tetes mata untuk pengobatan glaukoma, serta untuk stimulasi keringat dan kelenjar
air mata (Sawaya et al. 2011).
4-Amino-1-hexadecylpyridinium
Massa: 319.310791 Da
(3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9-dipropyl-
2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-
dipyrrolo[1,2-a:1',2'-c]pyrimidin-4-ium
Massa: 319.310791 Da
Gambar 32 Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.31.
Harbone (2006) mengatakan bahwa tidak satu pun definisi alkaloid yang
memuaskan, tetapi umumnya alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang
bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, dan biasanya dalam
cincin heterosiklik, sekurang-kurangnya satu atom di antara cincin harus
merupakan heteroatom, yaitu atom yang bukan karbon. Adanya senyawa steroid
dan alkaloid pada daging kelelawar, serta senyawa triterpenoid dan flavoinoid
pada bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar
menjadikan daging kelelawar sebagai pangan yang dapat berfungsi sebagai
pangan fungsional. Adanya kemiripan senyawa steroid golongan estron dan
androstan serta senyawa alkaloid golongan piridin-piperidin dan imidazol pada
daging kelelawar P. alecto maka dugaan daging kelelawar dapat membantu proses
penyembuhan asma, alergi dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima
Simpulan
Hasil skrining tahap awal pada bagian hati, daging bersama kulit, dan
karkas kelelawar P. alecto menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil uji
fitokimia tahap kedua menunjukkan N. cephalotes dan P. alecto mengandung
senyawa aktif yang beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-
heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan
alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol.
111
Daftar Pustaka
[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical
Chesmist. 1995. Inc. Arlington. Virginia. USA.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK.
00.05.52.0685. 2005. Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan
Fungsional. BPOM RI.
Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of
frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69
(1) :67-72.
Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari
spektrum infra merah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J
Ilmu Pert Indones 12(3):154-162.
Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product.
Cambridge England: Wood Publishing Limited
Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi
mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains
Teknol Farm13(1):1-11.
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa
tumbuhan. ITB Bandung
Harold H, LE Craine, DH Hart. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta:
Erlangga.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality test) dan antioksidan (1.1-diphenyl-2-
pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara
Sains 13(1):50-54.
Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa (Cocos nucifera),
pinang (Areca catechu) dan aren (Arenga pinnata) sebagai tanaman obat.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (terhubung berkala)
http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/ (7 Mei 2012)
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed
ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill.
Rustam E, Atamasari I, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol
kunyit (curcuma domestica val.) pada tikus putih jantan galur wistar. J
Sains Teknol 12(2):112-115.
112
Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan
cendana (Santalum album Linn). Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts
and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137.
Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of
pilocapus (Rustaceae) as sources of pilocarine and other imidazole
alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 (3). Absrtact.
http://www.springerlink.com/content/01027wm4011mr53w/. (7 mei 2012)
Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa
golongan triterponoid dari biji pepaya (Carica papaya L.). J Kim 2(1):15-
18.
Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung
: Penerbit ITB Bandung.
Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai
pangan fungsional. J Litbang Pert 24 (2): 47-55.
Recommended