View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
Kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di Indonesia
khususnya dimusim kemarau. Hal ini bukan hanya menjadi masalah nasional
bangsa tetapi juga telah menjadi masalah dunia, dimana Indonesia hampir secara
rutin setiap tahunnya menuai protes dan kecaman dari negara-negara lain terkait
kebakaran yang terjadi.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor: 22/KPTS/DJ-IV/2002 tanggal 13 September 2002
menegaskan bahwa dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di
beberapa wilayah Indonesia yang merupakan daerah rentan terjadinya bencana
kebakaran hutan dan lahan, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah maka perlu dibentuk Brigade
Pengendalian Kebakaran Hutan (Dephut, 2003).
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia
dengan luas areal gambut yang cukup besar. Adanya kegiatan mega proyek lahan
gambut sejuta hektar yang dilakukan pada tahun 1995, ternyata telah
menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kawasan gambut ini.
Pembukaan lahan yang dilakukan di areal gambut ini menyebabkan daerah ini
menjadi rentan terhadap bahaya banjir pada musim penghujan dan bahaya
kebakaran pada musim kemarau.
5
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap aspek kehidupan
(Purbawaseso, 2004) yaitu :
1. Dampak terhadap Lingkungan Fisik
Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan fisik mencakup
tanah, air dan udara.
a. Dampak terhadap tanah
Kebakaran akan memberikan dampak terhadap sifat fisik, kimia dan
biologi tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa
faktor, seperti : karakteristik tanah, intensitas dan lamanya kebakaran,
waktu dan intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan
bakar (Amril, 2009).
b. Dampak terhadap air
Dampak yang terjadi menyebabkan terganggunya siklus hidrologi.
Hilangnya vegetasi penutup tanah, sehingga mengakibatkan fungsi
penghambat air hujan menurun. Akibat dari aliran permukaan yang besar
menyebabkan meningkatnya erosi dan sedimentasi (Purbawaseso, 2004).
c. Dampak terhadap iklim dan kualitas udara
Hilangnya vegetasi hutan karena terbakar akan menyebabkan
terganggunya iklim baik iklim makro maupun mikro. Dan akibat
kebakaran hutan juga menimbulkan asap, asap tebal yang menyebabkan
menurunnya kualitas udara/Polusi udara (Purbawaseso, 2004).
6
2. Dampak terhadap flora dan fauna
Kebakaran hutan akan memusnahkan berbagai macam jenis tumbuhan yang
merupakan sumber daya alam hayati. Dan juga mengakibatkan hilangnya
tumbuhan obat tradisional bagi masyarakat, dan musnahnya berbagai jenis
satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Hal ini akan
menambah kelangkaan jenis satwa yang terancam punah, serta hilangnya
sumber mata pencaharian sebagian masyarakat.
3. Dampak terhadap sosial ekonomi dan kesehatan
a. Dampak terhadap sosial ekonomi
Kejadian kebakaran akan berdampak terhadap penurunan pendapatan,
hilangnya rasa keamanan, kebersatuan dan keharmonisan di dalam
masyarakat.
b. Dampak terhadap kesehatan
Kebakaran hutan selalu menimbulkan asap. Bahkan tidak jarang asap yang
muncul merupakan asap yang tebal atau pekat. Asap tebal menyebabkan
polusi udara. Gangguan kesehatan yang sering timbul akibat asap yang
tebal adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Asma bronchial,
bronchitis, radang paru, iritasi mata dan kulit.
Melihat begitu besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh manusia dalam
hal kebakaran hutan dan lahan secara sengaja atau tidak sengaja, maka diperlukan
sikap dan tindakan yang bijaksana dalam segala kegiatan yang berhubungan
dengan “api”.
7
Beberapa upaya penangganan kebakaran hutan (Syaufina, 2009) adalah :
1. Pencegahan Kebakaran Hutan
a. Sistem peringatan dini
Sistem peringatan dini sangat diperlukan baik untuk kegiatan pencegahan
maupun kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Sistem peringatan dini
dikembangkan antara lain melalui penilaian bahaya kebakaran (fire
danger rating system). Ada tiga tingkat upaya pencegahan dan sarana
serta prasarana untu melakukan pemadaman (pra-pemadaman):
1). Tingkat Pusat
a). Mengumpulkan informasi tentang prakiraan awal dan lamanya
musim kemarau diseluruh Indonesia dari Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG), Pusat dan menyebarluaskan informasi
sehingga setiap unit pengelolaan hutan yang ada dapat
mempersiapkan upaya antisipasinya.
b). Melakukan penilaian bahaya kebakaran secara nasional dengan
sistem peringkat bahaya kebakaran (SPBK/FDRS), sehingga
setiap hari dapat diketahui daerah yang rawan kebakaran.
2). Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota
a). Mengumpulkan informasi tentang prakiraan awal dan lamanya
musim kemarau dari kantor BMG setempat dan menyebarluaskan
informasi tersebut ke seluruh unit pengelolaan hutan yang ada di
wilayahnya dan seluruh masyarakat.
8
b). Melakukan penilaian bahaya kebakaran di tingkat
propinsi/kabupaten/kota dengan menggunakan SPBK dan
menyampaikannya secara harian ke setiap unit pengelolaan hutan.
c). Dalam jangka panjang pengembangan sistem peringatan dini
melalui pengembangan sistem-sistem penilaian bahaya kebakaran
lain, selain SPBK.
3). Tingkat Lapangan (unit pengelolaan hutan, daerah operasi dan
sebagainya)
a). Memanfaatkan informasi prakiraan awal dan lamanya musim
kemarau untuk upaya-upaya pencegahan dan persiapan
pemadaman kebakaran hutan.
b). Membuat tanda-tanda atau rambu-rambu atau papan peringatan
bahaya kebakaran hutan sesuai dengan peringkat bahayanya
sehingga dapat diketahui oleh seluruh pegawai, petugas
pemadaman kebakaran hutan dan seluruh masyarakat.
c). Membuat peta resiko kebakaran (fire risk map) melalui survei
lapangan dilokasi-lokasi dimana aktivitas manusia dapat
menimbulkan kebakaran hutan.
d). Memantau kondisi bahan bakar sebagai sumber bahaya (fire
hazard) terutama kadar airnya di daerah-daerah beresiko terjadi
kebakaran.
9
e). Melakukan segala macam aktivitas pencegahan dan persiapan
pemadaman sesuai dengan peringatan bahaya kebakaran yang
terjadi.
b. Penyusunan Rencana Pencegahan
Rencana pencegahan kebakaran hutan perlu disusun setiap tahun yang
secara umum berisi hal-hal sebagai berikut (Syaufina, 2009):
1). Data dasar perencanaan
a). Luas hutan yang harus dilindungi dari kebakaran, dirinci menurut
tipe hutan (hutan daratan, hutan gambut, hutan tanaman) dan
keadaan penutupan hutannya (hutan primer, hutan sekunder,
semak belukar dan sebagainya). Untuk areal HPH dilengkapi
dengan umur tegakan sejak tebang pilih (Logged Over Area) dan
untuk hutan tanaman disertai dengan umur tegakan.
b). Peta kejadian kebakaran
c). Statistik kebakaran hutan yang menguraikan bulan-bulan kejadian
kebakaran, tipe hutan yang terbakar, penyebab kebakaran, luas
areal yang terbakar dan lainnya.
d). Peta resiko kebakaran
e). Peta bahaya bahan bakar
f). Kondisi social ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan
(jumlah penduduk, pendidikan, agama, mata pencaharian, adat
istiadat dan sebagainya).
10
g). Peta-peta tematik lain (peta topografi, peta hidrologi, jaringan
jalan, peta lokasi, menara pengawas kebakaran).
2). Menetapkan tujuan pencegahan kebakaran hutan
3). Menyusun rencana kegiatan pencegahan kebakaran hutan yang
dilaksanakan melalui jalur :
a). Edukatif (pendidikan)
b). Yustisi/penegakan hukum
c). Keteknikan hutan yang mencakup pengelolaan bahan bakar,
tindakan silvikultur, penerapan pemanenan berdampak rendah,
menyusun rencana pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan
kebakaran hutan.
c. Pelaksanaan pencegahan kebakaran hutan
Pencegahan kebakaran hutan seringkali dapat berhasil dengan memuaskan
apabila dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi metodaa edukatif,
keteknikan dan penegakan hukum. Keberhasilan pencegahan kebakaran
ditentukan oleh :
1). Ketepatan pemilihan program kegiatan yang sesuai dengan sasarannya
2). Ketepatan pemilihan model pendekatan/metode dan penjadwalannya.
3). Sarana, prasarana dan dana yang memadai
4). Jumlah dan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaksananya.
2. Pemadaman Kebakaran Hutan
a. Deteksi kebakaran hutan
11
Prinsip pemadaman kebakaran hutan adalah menemukan kebakaran
secara cepat/dini dan kemudian memadamkannya selagi api masih kecil.
Prinsip dasar dalam pemadaman kebakaran hutan adalah :
1). Capailah setiap lokasi kebakaran hutan secepat yang dapat dicapai
dengan selamat. Seranglah dengan kekuatan penuh, sehingga api
mengecil. Jaga hingga dapat dipastikan bahwa api benar-benar mati.
2). Buatlah ilaran lebih cepat dari penjalaran api.
3). Klasifikasi bahan bakar perlu diketahui untuk menentukan kecepatan
menjalar dan ketahanan untuk mengendalikan api.
4). Perencanaan pengendalian kebakaran hutan untuk kondisi kebakaran
yang paling buruk tetap diperlukan.
5). Kondisi-kondisi yang terjadi akibat perkembangan kebakaran hutan
selalu berubah-ubah, oleh karena itu perencanaan pengendalian
kebakaran hutan merupakan proses yang terus menerus dengan
memperhatikan perubahan kondisi yang terjadi, sehingga didapatkan
hasil pemadaman yang lebih baik.
Cara-cara pemantauan/deteksi yang mungkin dapat dilakukan antara lain:
1). Cara deteksi umum
2). Cara deteksi terorganisir
Terdeteksi atau tidak terdeteksinya suatu kebakaran dalam peta sebaran
hotspot tergantung pada dua kemungkinan, yaitu :
1). Dalam keadaan cuaca baik, luas areal terbakar kecil sekali sehingga
temperatur yang dihasilkan masih lebih rendah dari temperatur
12
minimal yang dapat ditangkap oleh satelit NOAA sebagai satu pixel
hotspot.
2). Dalam keadaan cuaca berawan tebal, sehingga satelit NOAA tidak
dapat menangkap atau merekam apapun termasuk areal-areal yang
terbakar yang berada dibawah awan tersebut.
b. Sistem koordinasi dan komunikasi
Sistem koordinasi merupakan hal penting untuk menggalang dukungan
dan kerjasama dalam pemadaman kebakaran hutan. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan,
mengamanahkan bahwa dalam rangka mencegah dan membatasi
kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran, maka diperlukan
kegiatan pengendalian yang meliputi pencegahan, pemadaman dan
penanganan dampak pasca kebakaran hutan. Kegiatan pengendalian
kebakaran hutan ini memerlukan koordinasi pada tingkat nasional,
propinsi dan kabupaten/kota.
c. Prosedur mobilisasi
Pemadaman kebakaran hutan dan lahan adalah serangkaian kegiatan yang
ditujukan untuk mematikan api yang membakar hutan dan lahan
(Keputusam Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor 21/KPTS/DJ/IV/2002). Berkaitan dengan upaya pemadaman,
terdapat sejumlah prosedur yang perlu dilakukan oleh setiap elemen
penanganan kebakaran hutan dan lahan, antara lain :
13
1). Deteksi
2). Penanganan pertama
3). Pelaporan
4). Koordinasi dan mobilisasi
5). Kegiatan pra-pemadaman
6). Kegiatan pemadaman
7). Mobiliasai personil, peralatan dan logistik
d. Teknik pemadaman
Pemadaman kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan secara langsung
dan tidak langsung. Apabila tidak terlalu besar dan kondisi panas dan asap
masih memungkinkan untuk regu pemadaman bekerja, maka pemadaman
kebakaran secara langsung dapat dilakukan. Sebaliknya apabila kondisi
api terlalu besar dan akan membahayakan regu pemadam, maka
pemadaman kebakaran secara tidak langsung dilakukan dengan cara
membuat ilaran api berupa jalur yang dibersuhkan dari bahan bakar.
e. Penyelamatan (evakuasi)
Pemadaman kebakaran hutan adalah tugas yang berbahaya dan penuh
resiko. Berikut adalah langkah-langkah strategis tanggap darurat yang
harus dilakukan oleh Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan jajaran
dibawahnya dalam penyelamatan (evakuasi):
1). Mendirikan pos komando dengan perlengkapan yang memadai untuk
dioperasikan.
14
2). Mengkoordinasikan pendirian dan penempatan pos komando dengan
satkorlak setempat dan melengkapi pos komando dengan peralatan
Manggala Agni yang memadai.
3). Menggalang dan menyalurkan bantuan kepada korban yang tepat
sasaran.
4). Menugaskan personil dengan tugas dan kewenangan yang jelas,
rotasikan petugas pada periode tertentu untuk mmenghindari
kejenuhan.
5). Melakukan evakuasi korban bencana segera mungkin dan efektif,
utamakan yang masih hidup dan memerlukan pertolongan segera.
6). Memprioritaskan bantuan terhadap korban yang mengalami luka dan
dalam keadaan yang membahayakan.
7). Mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan instansi terkait
yang ada dilokasi.
8). Dalam memberikan bantuan makanan agar dilaksanakan secepatnya
kepada korban, dan dikoordinasikan dengan instansi lain yang masih
ada dilokasi.
9). Dalam melakukan pencarian orang hilang dilaksanakan bersama
regu lain yang ada dilokasi dengan rencana yang jelas dan
terkoordinasi.
10). Membuka aksesibilitas jalur logistik dan melakukan suplai serta
pendistribusian logistic yang diperlukan.
15
11). Memanfaatkan fasilitas komunikasi MANGGALA AGNI untuk
mendukung Jaringan komunikasi yang terputus.
12). Melakukan pembersihan lokasi yang hancur akibat bencana.
13). Dalam pengelolaan bantuan dilakukan dengan baik dan transparan
antara instansi yang ada dilokasi dan para korban bencana.
3. Penangganan pasca kebakaran hutan
a. Penyebab terjadinya kebakaran hutan
1). Sumber penyebab
Diperkirakan 99 persen terjadinya kebakaran hutan di Indonesia
disebabkan oleh tindakan manusia, baik yang sengaja maupun yang
tidak sengaja atau unsur kelalaian.
2). Pemicu Kebakaran
Ada beberapa pemicu terjadi nya kebakaran hutan dan lahan antara
lain :
a). Kemarau panjang
b). Sumber energi (batubara dan gambut)
c). Perilaku masyarakat/pengusaha
d). Kejadian alam
b. Tingkat keparahan kebakaran dan klasifikasinya
Dalam mempelajari dampak kebakaran hutan dan lahan, perlu dipahami
tingkat keparahan kebakaran (fire severity). Istilah tingkat kekerasan
kebakaran didefinisikan sebagai suatu istilah yang menggambarkan
respon ekosistem terhadap api, dan dapat digunakan untuk menerangkan
16
dampak kebakaran terhadap tanah dan sistem air, ekosistem flora dan
fauna, atsmosfer dan masyarakat.
Tingkat keparahan kebakaran tidak dapat dinyatakan sebagai ukuran
kuantitaif tunggal, tapi merupakan satu set ukuran yang terintegritasi.
Karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan
kebakaran hutan dan lahan yang kompleks dan saling mempengaruhi.
Klasifikasi tingkat keparahan kebakaran juga ditentukan oleh berbagai
faktor, antara lain : kondisi tanah, kondisi vegetasi, dan luaas areal
terbakar.
c. Penyelidikan (investigasi) penyebab kebakaran hutan
Penyelidikan atau investasi dimaksudkan disini adalah melakukan
kegiatan pengumpulan bahan keterangan dan informasi (pulbaket)
terhadap penyebab terjadinya kebakaran hutan.
d. Rehabilitasi areal bekas kebakaran.
Rehabilitasi merupakan upaya pemulihan kondisi hutan. Rehabilitasi
merupakan kelanjutan proses identifikasi dan evaluasi. Pihak yang
melakukan rehabilitasi adalah Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan,
Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan
Hutan dan Pemilik Hutan Hak.
B. Definisi Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang menyebar
secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput,
humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon
17
besar untuk tingkat terbatas (United Statis Forest Service, 1956) dalam Brown dan
Davis (1973) dalam Heryalianto (2006). kebakaran hutan sifatnya tidak tertekan
dan menyebar secara bebas. Dengan kata lain, kebakaran adalah fenomena alam
yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis.
Proses Fotosintesis :
CO2 + H2O + Energi matahari ( C6H12O6 ) n + O2
Proses Pembakaran :
(C6H12O6) n + O2 + Kindling temperatur CO2 + H2O + Energi Panas
Segitiga api adalah bentuk sederhana untuk menggambarkan proses
penyalaan api. Di dalam segitiga api tergambarkan 3 (tiga) faktor penyebab
terjadinya penyalaan. Ketiga unsur tersebut (Sumantri, 2007) adalah :
1. Adanya benda yang dapat terbakar (Bahan bakaran)
2. Pemanasan (Sumber panas)
3. Oksigen (di udara kandungan oksigen adalah 21 %, sedangkan apabila di udara
kandungan oksigen kurang dari 15 % maka kondisi ini akan menguntungkan
bagi anggota pemadam).
Oksigen (O2)
API
Bahan Bakar Sumber Panas
Gambar 1. Segitiga Api (Sumantri, 2007)
18
C. Tipe Kebakaran
Tipe kebakaran hutan dan lahan dibagi menjadi 3 (tiga) tipe (Sumantri,
2007), yaitu :
1. Kebakaran Bawah
Tipe kebakaran bawah adalah jenis kebakaran dimana api merayap di
bawah lantai hutan. Kebakaran bawah biasanya ditunjukkan dengan
munculnya asap dari sela-sela lantai hutan. Tipe kebakaran ini biasanya
terjadi pada lahan gambut dan batubara.
2. Kebakaran Permukaan
Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang terjadi di atas
permukaan tanah dan biasanya membakar rerumputan, alang-alang, semak-
belukar, hingga hutan sekunder. Pengaruh cuaca akan berpengaruh langsung
terhadap pengeringan bahan bakar di permukaan, sehingga bahan bakaran
permukaanlah yang pertama kali menyala apabila ada sumber panas.
3. Kebakaran Tajuk
Kebakaran atas atau kebakaran tajuk adalah kebakaran yang berkembang
dari bagian atas pohon yang satu ke tajuk pohon yang lainnya, dan berasal
dari kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk permukaan pohon.
Dalam tegakan hutan yang rapat pada kondisi tanah yang curam dan dengan
tiupan angin yang cepat, kebakaran tajuk dapat pula menyebabkan kebakaran
permukaan.
19
D. Penyebab dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran
Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan
faktor manusia. Secara alam, kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya
pinus mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan
monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus
dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hukum, 1983 dalam Frangky, 1999, dalam
Heryalianto, 2006).
BKSDA Kalimantan Tengah (2002), menyatakan bahwa kebakaran hutan
dapat disebabkan oleh :
1. Gejala alam seperti petir dan gesekan ranting yang kering.
2. Nyala api yang disebabkan oleh manusia pada saat penyiapan lahan untuk
HTI, perkebunan dan ladang.
3. Kurang sempurna mematikan api (termasuk membuang putung rokok, lalai
atau tidak sempurna dalam mematikan api unggun bekas camping).
4. Kesengajaan pembakaran limbah pertanian.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Fakta
tersebut, menurut Purbawaseso (2004) adalah :
1. Bahan bakar
Terdapat lima sifat bahan bakar yang mempengaruhi proses terjadinya
kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, volume bahan
bakar, jenis bahan bakar, dan kandungan kadar air bahan bakar.
20
a. Ukuran bahan bakar
Untuk menyatakan ukuran bahan bakar biasanya disertai dengan
bentuknya. Terdapat enam kelas bentuk dan ukuran bahan bakar seperti
pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Bentuk dan Ukuran Bahan Bakar No Ukuran Bentuk
1. Rabuk/sangat halus Gambut, akar, humus
2. Halus Daun, rumput,alang-alang, serasah
3. Kecil Ranting berkayu, cabang <0,63 cm
4. Medium Cabang, batang 0,63 cm – 2, 54 cm
5. Kasar Tonggak, tiang 2, 54 cm – 7, 62 cm
6. Besar Batang > 7, 62 cm
Sumber : Purbawaseso (2004)
b. Susunan bahan bakar
Susunan bahan bakar dibedakan atas susunan secara vertikal dan
horisontal. Bahan bakar dengan susunan vertikal atau kearah atas tajuk
akan memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan
susunan bahan bakar secara horisontal menyebabkan bahan bakar dapat
menyebar, sehingga api juga dapat menyebar berkesinambungan secara
mendatar. Apabila bahan bakar tersusun longgar, maka api akan lebih
cepat merambat dibandingkan dengan bahan bakar yang tersusun lebih
padat.
21
c. Volume bahan bakar
Volume bahan bakar dalam jumlah besar akan menyebabkan api lebih
besar, temperatur sekitar lebih tinggi, sehingga terjadi kebakaran yang sulit
dipadamkan. Sedangkan volume bahan bakar yang sedikit akan terjadi
sebaliknya yaitu api yang terjadi kecil dan mudah dipadamkan. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian McArthur (1973) dalam Purbowaseso
(2004) bahwa kecepatan menjalarnya api meningkat secara langsung dan
proporsional dengan meningkatnya volume bahan bakar tersedia.
d. Jenis bahan bakar
Bahan bakar berasal dari berbagai komponen vegetasi, baik yang masih
hidup maupun yang sudah mati. Berbagai komponen tersebut akan
menentukan kelompok bahan bakar, yang terbagi atas rumput, semak-
belukar, pohon-pohon atau tegakan dan sisa-sisa.
e. Kandungan kadar air dan kimiawi bahan bakar
Kadar air adalah jumlah kandungan air di dalam bahan bakar terhadap
berat kotor bahan bakar (dalam persen) yang dikeringkan pada suhu
100ºC. Istilah lain yang juga sering dipakai adalah kelembapan bahan
bakar. Kadar air bahan bakar sangat mempengaruhi dalam menentukan
perilaku kebakaran. Kadar air menentukakn kemudahan bahan bakar untuk
menyala, dan kecepatan proses pembakaran, kecepatan menjalarnya api,
dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Bahan
bakar yang mengandung banyak air akan sulit terbakar, demikian
sebaliknya.
22
Hawley dan Stickel (1948) dalam Septicorini (2006), membagi bahan
bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran kedalam
7 (tujuh) kelompok, yaitu :
a. Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut
b. Semak belukar
c. Rumput tanaman penutup tanah
d. Serasah dan humus
e. Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup
f. Pohon mati yang masih berdiri
g. Sisa pembalakan
2. Topografi
Topografi adalah gambaran permukaan bumi yang meliputi relief dan
posisi alamnya serta ciri-ciri yang merupakan hasil dari bentukan manusia.
Faktor topografi merupakan salah satu faktor yang bisa berperan dalam
kebakaran hutan dan lahan. Ada tiga faktor topografi yang biasannya
berperan penting yaitu kemiringan, arah lereng (aspek) dan medan.
(Purbowaseso, 2004).
a. Kemiringan
Kemiringan merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkah
laku api. Lahan dengan kemiringan sangat curam kemungkinan terjadi
lidah api yang besar, sehingga hal ini mempercepat pengeringan bahan
bakar. Bahan bakar yang kering akan mudah dan cepat tersulut api.
23
Semakin curam kemiringannya akan semakin cepat pula api menjalar. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1). Pada lereng yang naik, nyala api lebih dekat dengan bahan bakar.
2). Aliran angin biasanya mengarah ke puncak, sehingga menyebabkan
terdorong panas dan lidah api ke bahan bakar baru di atasnya.
3). Udara terpanasi secara konveksi dan naik sepanjang lereng
menyebabkan bertambahnya kecepatan yang pada akhirnya akan
mempercepat laju perembetan api.
4). Bara api mungkin akan menggelinding ke bawah dan menimpa bahan
bakar baru yang ada di bawahnya, sehingga akan mempercepat
penjalaran serta menyulut sumber api baru.
b. Arah lereng (Aspek)
Arah lereng mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku kebakaran.
Wilayah dengan arah lereng (aspek) menghadap matahari akan lebih cepat
terjadinya pengeringan bahan bakar dibandingkan dengan wilayah yang
memiliki arah kemiringan yang tidak mrnghadap matahari. Dengan
demikian lereng yang menghadap arah timur dan barat akan relatif cepat
mengalami pengeringan bahan bakar. Semakin tinggi intensitas penyinaran
matahari pada suatu daerah, maka angin lereng akan terjadi lebih awal dan
lebih kuat. Pada arah lereng yang langsung menghadap matahari akan
terjadi hal-hal sebagai berikut :
1). Kondisi suhu lebih tinggi
2). Angin akan bertiup lebih kencang.
24
3). Kelembapan udara lebih rendah, dan
4). Kandungan air bahan bakar lebih rendah.
c. Medan
Medan merupakan kondisi lapangan, yang bersifat khas. Kondisi medan
sebenarnya berperan sebagai penghalang yang mampu mengendalikan
aliran angin.
3. Cuaca
Faktor-faktor cuaca yang menyebabkan kebakaran hutan adalah suhu,
angin, kelembapan relatif dan curah hujan (Sumantri, 2004).
a. Suhu
Pengaturan suhu adalah penting diketahui karena bahan bakar yang telah
kering karena panas matahari akan terbakar lebih cepat dari pada bahan
bakar yang masih basah. Pra pemanasan juga mengurangi kelembaban
bahan bakar dan hanya diperlukan sedikit panas untuk membakar bahan
bakar. Sekali bahan bakar tersebut menyala/terbakar, maka bahan bakar
yang sudah mengalami pra pemanasan akan terbakar lebih cepat. Suhu
permukaan tanah mempengaruhi pergerakan aliran udara. Begitu panas
matahari menghangatkan permukaan tanah, maka udara yang berdekatan
dengan permukaan tanah akan menjadi panas dan udara dipermukaan
tanah naik keatas.
b. Angin
Angin merupakan faktor pemicu dalam tingkah laku api. Angin
merangsang pembakaran dan penjalaran api, melalui :
25
1). Peningkatan suplai oksigen
2). Pengaruh arah penjalaran api
3). Pengeringan bahan bakar
4). Mengubah menjadi bara api (api loncat)
5). Menggerakan udara yang dipanaskan ke bahan bakar disekitarnya.
c. Kelembapan relatif
Kelembapan relatif adalah perbandingan antara jumlah uap air yang ada
dengan jumlah uap air yang dapat ditampung oleh volume udara, pada
suhu dan tekanan atmosfer tertentu. Begitu udara terpanaskan oleh
matahari, kelembapan relatif menurun dan begitu udara menjadi dingin
maka kelembapan relatif bertambah. Kelembapan relatif akan
mempengaruhi kelembaban bahan bakar dan keberadaan air pada bahan
bakar.
d. Curah Hujan
1). Kadar air bahan bakar dipengaruhi oleh jumlah dan lamanya curah
hujan.
2). Bahan bakar halus dapat menyerap dan melepaskan air dengan mudah.
3). Curah hujan yang tinggi dalam waktu yang pendek tidak
meningkatkan kelembapan bahan bakar, sebaliknya curah hujan
rendah dalam waktu yang panjang bahan bakar dapat menyerap lebih
banyak air.
26
4. Waktu
Waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pembagian
waktu secara mudah dibedakan atas waktu siang dan waktu malam hari. Pada
waktu siang hari umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan
udara rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang. Sedangkan pada
waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu
kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup tenang.
Tabel 2. Hubungan Antara Waktu dengan Kondisi Kebakaran Hutan dan Lahan. No Waktu (pukul) Kondisi Kebakaran Hutan dan Lahan
1. 09.00-21.00 Kebakaran bisa besar, cepat, dan sukar di control
2. 21.00-04.00 Kebakaran biasanya lmbat, mudah dikendalikan
3. 04.00-06.00 Kebakaran paling lambat, mudah dikendalikan
4. 06.00-09.00 Intensitas api naik dan sulit dipadamkan.
Sumber : Purbawaseso (2004)
E. Titik Panas (Hotspot)
Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas yang ditentukan oleh data
digital satelit. Data digital yang digunakan berasal dari satelit NOAA-AVHRR
(National Oceanic Atmospheric Administration, Advanced Very Hight Resulaton
Radiometer). Nilai ambang batas yang digunakan dalam menentukan suatu
hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C) pada malam hari.
27
Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh
sensor satelit data digital. Ukuran kebakaran yang luasannya kurang dari 1.21 km2
akan dipresentasikan sebagai satu pixel dan yang lebih dari 1.21 km2 akan
dipresentasikan sebagai 2 pixel. luas areal minimum yang mampu dideteksi
sebagai 1 pixel diperkirakan seluas 0.15 ha (Albar, 2002 dalam Septicorini, 2006).
Metode Hotspot dapat dideteksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi
sensor AVHRR. Dalam mendeteksi kebakaran hutan dengan satelit NOAA adalah
tidak mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah titik
panas (hotspot). Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai Negara
untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara pendugaan bahaya
kebakaran yang lebih menjurus menunjukan akan atau terjadinya kebakaran hutan
adalah dengan metode titik panas (hotspot).
F. Satelit Pemantau Titik Panas (Hotspot)
Satelit yang digunakan untuk memantau titik panas (hotspot) adalah :
1. NOAA (National Oceanic and Atmosfheric Administration) adalah satelit
milik Pemerintah Amerika Serikat dengan sensor AVHRR (Advanced Very
High Resolution Radiometer) yang mampu mendeteksi kebakaran hutan,
analisa vegetasi, analisa ramalan cuaca, penelitian dan ramalan iklim,
pengukuran suhu muka laut global, pencarian dan penyelamatan laut.
Satelit NOAA merupakan satelit meteorology generasi ketiga milik
“Oceanic and Atmosfheric Administration” Amerika Serikat. Munculnya
satelit ini untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri
28
TIROS (Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965)
dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970-1976).
Konfigurasi satelite NOAA adalah pada ketinggian orbit 833-870 km,
inklinasi sekitar 98,7º-98,9º, mempunyai kemampuan mengindera suatu
daerah 2x dalam 24 jam (sehari semalam). NOAA merupakan satelit yang
dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik
lautan/samudera dan atmosfer.
Seri NOAA (Geoscience Australia, 2011 dalam Permana, 2013) dilengkapi
dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu:
a. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer)
b. TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde)
c. HIRS (High Resolution Infrared Sounder (bagian dari TOVS)
d. DCS (Data Collection System)
e. SEM (Space Environment Monitor)
f. SARSAT (Search and Rescue Sattelite System)
Diantara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk
pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima
saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran
inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA
adalah 102 menit, sehingga setiap hari menghasilkan kurang lebih 14,1 orbit.
Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang
pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak
berubah dalam satu lintang.
29
Secara umum sensor AVHRR mempunyai karateristik (Geoscience
Australia, 2011 dalam Permana, 2013) sebagai berikut :
a. Kepekaan Saluran merah infra ternal 0,12 K pada 300 K
b. Jumlah pixel sebanyak 1024
c. IFOV (Instantaneous Field of View) adalah 1,3 + 0,1 m rad
d. Resolusi terkecil adalah sebesar 1,1 x 1,1 km
e. Lebar liputan/sapuan adalah 2.590 km
f. FOV (Field of View) adalah 55,4º
g. Kecepatan garis (Line Rate) adalah 360 garis/menit
h. Kecepatan data (Line Data) adalah 665,4 x 103 bs
Data AVHRR dari NOAA dapat diaplikasikan untuk menganalisis
parameter-parameter dibidang meteorology, oseanografi, maupun hidrologi.
Kombinasi penggunaan beberapa saluran dari data AVHRR/NOAA dapat juga
dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, seperti pemantauan vegetasi, kebakaran
hutan, ekstraksi data albedo, ekstraksi data suhu permukaan laut dan suhu daratan,
pertanian, liputan awan maupun pendeteksian salju/es di permukaan bumi.
Sensor AVHRR terdiri dari 5 saluran (band) dengan panjang gelombang
tertentu berdasarkan jenis pengamatan dan panjang gelombang yang digunakan
oleh satelit NOAA dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
30
Tabel 3. Pengamatan dan Panjang Gelombang yang Digunakan Satelit NOAA Saluran Panjang
Gelombang (µm)
Daerah Spektrum
Pengamatan
1 0,56 – 0,68 Tampak Albedo siang hari, (pemetaan awan) pemantauan salju lapisan es dan cuaca
2 0,73 – 1,10 Tampak sampai infra merah dekat
Pemantauan perkembangan tumbuhan
3 3,55 – 3,93 Infra merah tengah
Pemetaan awan malam hari Pengukuran temperatur permukaan Membedakan daratan dan lautan Pemantauan aktifitas vulkanik Pemantauan penyebaran debu vulkanik
4 10,5 – 11,5 Infra merah jauh
Pemetaan awan siang dan malam Pengukuran temperatur permukaan laut Penelitian air tanah untuk pertanian
5 11,5 – 12,5 Infra merah jauh
Pemetaan siang dan malam Pengukuran temperature permukaan laut Penelitian air tanah dan pertanian
Sumber : Geoscience Australia (2011) dalam Permana (2013)
Stasiun bumi NOAA adalah sistem stasiun bumi satelit polar untuk
keperluan akusisi, pengarsipan dan pengolahan data NOAA. NOAA merupakan
seri satelit meteorologi polar yang memiliki sejarah operasional sangat panjang.
Sampai saat ini ada 5 (lima) satelit NOAA yang berfungsi yaitu NOAA 10, 12,
14, 15 dan 16.
Waktu peluncuran satelit NOAA AVHRR dari generasi ke generasi dapat
dijelaskan pada Tabel 4 berikut ini :
31
Tabel 4. Waktu Peluncuran Satelit NOAA dari Generasi ke Generasi
Satelit Waktu peluncuran Akhir Misi Keterangan
NOAA 6 27 Jui 1979 16 November 1986 NOAA 7 23 Juni 1981 7 Juni 1986
NOAA 8 28 Maret 1983 31 Oktober 1985 Dihentikan pada tanggal 29 Desember 1985
NOAA 9 12 Desember 1984
11 Mei 1994 Dihentikan pada tanggal 13 Februari 1998
NOAA 10 17 September 1986
Masih beroperasi Kemampuan saluran inframerah menurun sejak tahun 1994
NOAA 11 24 September 1988
13 September 1994 Gagal pada akhir misi
NOAA 12 14 Mei 1991 15 Desember 1994 NOAA 13 9 Agustus 1993 21 Agustus 1993 Tidak beroperasi setelah
akhir misi NOAA 14 30 Desember
1994 Masih beroperasi
NOAA 15 13 Mei 1998 Sedang menjalankan prosedur pemeriksaan
NOAA 16 21 Januari 2000 Masih beroperasi Masih dalam pengembangan
Sumber: Geoscience Australia (2011) dalam Permana (2013)
Recommended