View
262
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
TEORI FITOREMEDIASI OLEH TUMBUHAN AIR Disbatraksikan oleh Smno.jursntnhfpub.2014. . - PowerPoint PPT Presentation
Citation preview
TEORI FITOREMEDIASIOLEH
TUMBUHAN AIR
Disbatraksikan olehSmno.jursntnhfpub.2014
Fitoremediasi (dari bahasa Yunani kuno “phyto”, yang berarti "tumbuhan", dan bahasa Latin “remedium”, yang berarti “memulihkan
kembali keseimbangan") , menggambarkan pengolahan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui penggunaan tumbuhan yang
mampu menyembuhkan masalah lingkungan tanpa perlu menggali kontaminan dan membuangnya ke tempat lain.
Fitoremediasi terdiri dari mitigasi konsentrasi pencemar dalam tanah yang terkontaminasi, air, atau udara, dengan tumbuhan yang mampu mengandung, mendegradasi, atau mengeliminasi logam, pestisida, zat pelarut, bahan peledak, minyak mentah dan turunannya, serta berbagai kontaminan lainnya dari media yang mengandungnya.
.
Fitoremediasi dapat diterapkan dimanapun dalam tanah atau lingkungan akuatik yang statis yang telah tercemar atau menderita polusi kronis. Contoh dimana fitoremediasi telah berhasil digunakan
meliputi restorasi lahan bekas tambang, mengurangi dampak kontaminan dalam tanah, air, atau udara. Kontaminan seperti logam,
pestisida, pelarut, bahan peledak, dan minyak mentah dan turunannya, telah dimitigasi dalam proyek-proyek fitoremediasi di seluruh dunia. Banyak tumbuhan seperti sawi, alpine pennycress,
rami, dan pigweed telah terbukti berhasil hiperakumulasi kontaminan di lokasi limbah beracun.
.
Keuntungan Fitoremediasi :
1. Biaya fitoremediasi lebih rendah dibandingkan dengan proses tradisional lainnya, baik in situ maupun ex situ
2. Tumbuhan dapat dengan mudah dipelihara dan dipantau3. Kemungkinan daur-ulang dan penggunaan kembali logam berharga
(oleh perusahaan yang mengkhususkan diri dalam "pertambangan fito“)
4. Metode ini tidak berbahaya karena menggunakan organisme alami dan mempertahankan lingkungan dalam keadaan lebih alami.
Keterbatasan Fitoremediasi:5. Fitoremediasi terbatas pada luas permukaan dan kedalaman yang
diduduki oleh akar tumbuhan.6. Pertumbuhan yang lambat dan biomassa yang rendah memerlukan
komitmen jangka panjang7. Dengan sistem berbasis tanaman remediasi, hal itu tidak mungkin
untuk benar-benar mencegah pencucian kontaminan ke air tanah (tanpa penghapusan secara lengkap tanah yang terkontaminasi, sehingga tidak menyelesaikan masalah kontaminasi)
8. Kelangsungan hidup tanaman dipengaruhi oleh toksisitas tanah dan kondisi umum tanah yang terkontaminasi.
9. Bio-akumulasi kontaminan, terutama logam, ke dalam tanaman yang kemudian masuk ke dalam rantai makanan, dari konsumen tingkat dasar ke konsumen yang lebih atas, membutuhkan pembuangan yang aman dari biomasa tumbuhan yang kaya kontaminan.
.
Berbagai proses fitoremediasi.
Berbagai proses yang dimediasi oleh tumbuhan atau ganggang dapat berguna untuk mengelola masalah lingkungan:1. Fito-ekstraksi - serapan dan konsentrasi zat dari lingkungan ke dalam
biomassa tanaman.2. Fito-stabilisasi - mengurangi mobilitas zat dalam lingkungan, misalnya,
dengan membatasi pencucian zat tersebut dari tanah.3. Fito-transformasi - modifikasi kimiawi zat dalam lingkungan sebagai
akibat langsung dari metabolisme oleh tumbuhan, seringkali mengakibatkan inaktivasinya, degradasi (fito-degradasi), atau imobilisasi (fito-stabilisasi).
4. Fito-stimulasi - peningkatan aktivitas mikroba tanah untuk degradasi kontaminan, biasanya oleh organisme yang berasosiasi dengan akar. Proses ini juga dikenal sebagai degradasi rizosfer. Fito-stimulasi juga dapat melibatkan tumbuhan air yang mendukung populasi aktif mikroba perombak, seperti dalam stimulasi degradasi atrazin oleh tumbuhan “hornwort” (Rupassara et al., 2002)
5. Fito-volatilisasi - penghapusan zat dari tanah atau air dengan meng-emisi-kan ke udara, kadang-kadang sebagai akibat dari fito-transformasi sehingga polutan menjadi tidak stabil.
6. Rhizo-filtrasi - menyaring air melalui massa akar untuk menghilangkan zat beracun atau kelebihan hara. Polutan tetap diserap masuk ke dalam akar atau dijerap di permukaan akar.
Rupassara, S. I., R.A.Larson, G.K.Sims dan K.A.Marley. 2002. Degradation of Atrazine by Hornwort in Aquatic Systems. Bioremediation Journal , 6 (3): 217–224.
Fito-ekstraksi (atau fito-akumulasi) menggunakan tumbuhan atau ganggang untuk menyerap kontaminan dari tanah, sedimen atau air, ke dalam
biomassa tumbuhan yang dipanen (organisme yang mampu menyerap jumlah yang lebih besar dari jumlah kontaminan normal dari tanah disebut hiperakumulator). Fito-ekstraksi telah berkembang pesat popularitasnya di seluruh dunia selama dua puluh tahun terakhir ini. Secara umum, proses ini
telah sering dicoba untuk mengekstraksi logam berat. Pada saat penyerapannya, kontaminan ini biasanya terkonsentrasi dalam volume yang
lebih kecil dari biomasa tumbuhan daripada volume tanah atau sedimen yang terkontaminasi. ‘Penambangan dengan tumbuhan', atau “phytomining”, juga
sedang bereksperimen dengan cara:Tanaman menyerap kontaminan melalui sistem akarnya dan menyimpannya dalam biomassa akar dan / atau mengangkutnya ke dalam batang dan / atau
daunnya. Tumbuhan hidup dapat terus menyerap kontaminan sampai dipanen. Setelah panen, jumlah kontaminan yang lebih rendah akan tetap
berada di dalam tanah, sehingga siklus pertumbuhan / panen biasanya harus diulang beberapa kali penanaman untuk mencapai pembersihan yang signifikan. Setelah proses tersebut, tanah yang telah dibersihkan dapat
mendukung pertumbuhan vegetasi lainnya.Fito-mining Arsenik dapat dilakukan dengan menggunakan Sunflower
(Helianthus annuus) (Marchiol et al., 2007) , atau Pakis Cina (Pteris vittata) (Wang, et al., 2002) sebagai hiperakumulator As, Pakis Cina menyimpan
arsenik dalam daunnya.
.3.. Marchiol, L., G.Fellet, D.Perosa dan G. Zerbi. 2007. Removal of trace metals by Sorghum bicolor and Helianthus annuus in a site polluted by industrial wastes: A field experience. Plant Physiology and Biochemistry, 45 (5): 379–387. 4.. Wang, J., F.J.Zhao, A.A.Meharg, A. Raab, J.Feldmann dan S.P.McGrath. 2002. Mechanisms of Arsenic Hyperaccumulation in Pteris vittata. Uptake Kinetics, Interactions with Phosphate, and Arsenic Speciation. Plant Physiology , 130 (3): 1552–1561.
Fitostabilisasi.
Fitostabilisasi berfokus pada stabilisasi dan penahanan polutan jangka panjang. Misalnya, keberadaan tumbuhan dapat mengurangi erosi angin;
atau akar tumbuhan dapat mencegah erosi tanah, imobilisasi polutan dengan cara adsorpsi atau akumulasi, dan menyediakan zona sekitar akar dimana polutan dapat mengendap dan menjadi stabil. Tidak seperti fitoekstraksi, fitostabilisasi berfokus terutama pada eksekusi polutan dalam tanah di
sekitar akar , tetapi tidak dalam jaringan tumbuhan. Polutan menjadi kurang “bioavailable”, sehingga mengurangi paparan ternak, satwa liar, dan
manusia. Contoh aplikasi semacam ini adalah penggunaan topi vegetatif untuk menstabilkan tailing tambang (Mendez dan Maier, 2008).
Mendez,M.O. dan R.M.Maier. 2008. Phytostabilization of Mine Tailings in Arid and Semiarid Environments—An Emerging Remediation Technology. Environ. Health Perspect., 116 (3): 278–83
Fitotransformasi
Dalam kasus polutan organik, seperti pestisida, bahan peledak, zat pelarut, bahan kimia industri, dan zat xenobiotik lainnya, tumbuhan tertentu, seperti Cannas, dapat melakukan metabolisme menghasilkan zat-zat non-toksik
(detiksifikasi). Dalam kasus lain, mikroorganisme yang hidup dalam hubungannya dengan akar tumbuhan dapat memetabolisme bahan toksik ini
yang ada di dalam tanah atau air. Senyawa kompleks dan “resisten” tidak dapat dipecah menjadi molekul dasar (air, karbon dioksida, dll.) oleh molekul
tanaman, sehingga istilah “fito-transformasi” mencerminkan perubahan struktur kimia tanpa mendegradasi secara lengkap molekul senyawa
tersebut. Istilah “Green Liver Model" digunakan untuk menggambarkan fito-transformasi, karena tumbuhan berperilaku analog seperti liver manusia
ketika berhadapan dengan senyawa xenobiotik (senyawa asing / polutan) (Burken, 2004). Setelah penyerapan xenobiotik, enzim tumbuhan
meningkatkan polaritas xenobiotik dengan menambahkan gugus fungsional seperti gugus hidroksil (OH-).
Burken, J.G. 2004. Uptake and Metabolism of Organic Compounds: Green-Liver Model, in McCutcheon, S.C.; J.L. Schnoor, Phytoremediation: Transformation and Control of Contaminants. A Wiley-Interscience Series of Texts and Monographs, Hoboken, NJ:
John Wiley, p. 59.
Hiperakumulator dan Interaksi Biotik Suatu tumbuhan dikatakan hiperakumulator jika ia dapat
mengkonsentrasikan polutan dalam persentase minimum yang bervariasi sesuai dengan polutan yang terlibat (misalnya: lebih dari 1000 mg / kg berat kering untuk Nikel, tembaga, kobalt, kromium , atau lebih dari 10.000 mg / kg
untuk seng atau mangan) (Baker dan Brooks. 1989). Kapasitas untuk akumulasi ini disebabkan hipertoleransi, atau fito-toleransi : hasil evolusi
adaptatif dari tumbuhan terhadap kondisi lingkungan yang “tidak bersahabat” melalui banyak generasi. Sejumlah interaksi dapat dipengaruhi oleh
hiperakumulasi logam, termasuk perlindungan, interferensi dengan tumbuhan tetangga yang berbeda spesiesnya, mutualisme (termasuk mikoriza,
penyebaran serbuk sari dan biji), komensalisme, dan biofilm.
Baker, A.J.M. dan R.R.Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which hyperaccumulate metallic elements – A review of their distribution, ecology and phytochemistry.
Biorecovery , 1 (2): 81–126.
Fito-skreeningTumbuhan dapat mentranslokasikan dan mengakumulasikan jenis-jenis
kontaminan tertnetu, sehingga dapat digunakan sebagai biosensor kontaminasi bawah-permukaan, dan memungkinkan peneliti untuk melacak keberadaan kontaminan (Sorek et al., 2008; Burken, Vroblesky dan Balouet,
2011) . Zat pelarut ber-khlor, seperti trichloroethylene, telah diamati pada pangkal batang pada konsentrasi yang berhubungan dengan konsentrasinya
dalam air tanah (Vroblesky, Nietch dan Morris, 1998). Untuk memudahkan pelaksanaan phytoscreening, metode standar telah dikembangkan untuk
mengekstrak pokok batang guna analisis laboratorium lebih lanjut, seringkali dengan menggunakan “penggerek –borer”. Fito-skreening dapat mendorong investigasi situs lebih dioptimalkan dan mengurangi biaya pembersihan lokasi
yang terkontaminasi.
1. Burken, J., D.Vroblesky dan J.C. Balouet. 2011. Phytoforensics, Dendrochemistry, and Phytoscreening: New Green Tools for Delineating Contaminants from Past and Present", Environmental Science & Technology, 45 (15): 6218–6226.
2. Sorek, A., N. Atzmon, O. Dahan, Z.Gerstl, L.Kushisin, Y. Laor, U.Mingelgrin, A.Nasser, D.Ronen, L.Tsechansky, N.Weisbrod dan E.R.Graber. 2008. Phytoscreening: The Use of Trees for Discovering Subsurface Contamination by VOCs. Environmental Science & Technology , 42 (2): 536–542.
3. Vroblesky, D., C.Nietch dan J.Morris. 1998. Chlorinated Ethenes from Groundwater in Tree Trunks. Environmental Science & Technology, 33 (3): 510–515..
Hiperakumulator adalah tumbuhan yang mampu tumbuh pada tanah dengan konsentrasi logam (kontaminan) yang sangat tinggi, menyerap logam ini
melalui akarnya, dan berkonsentrasi sangat tinggi logamini dalam jaringan tubuhnya (Rascio dan Flavia, 2011). Logam terkonsentrasi pada tingkat
yang beracun bagi spesies yang tidak “beradaptasi” tumbuh pada tanah yang kaya kontaminan logam. Dibandingkan dengan spesies non-
hiperaccumulator, akar tumbuhan hiperakumulator ini mampu mengekstrak logam dari tanah pada tingkat yang lebih tinggi, mentransfer logam lebih cepat ke batang dan daunnya, dan menyimpan sejumlah besar logam
kontaminan dalam daun dan akarnya (Hossner, et al., 1998). Kemampuan untuk hiperakumulasi logam beracun ini dibandingkan spesies tetangga
dekatnya ternyata disebabkan oleh perbedaan ekspresi gen dan perbedaan regulasi gen yang sama (Rascio dan Flavia, 2011). Lebih dari 500 spesies
tumbuhan berbunga telah diidentifikasi memiliki kemampuan untuk hiperakumulasi logam dalam jaringan tubuhnya (Sarma, 2011).
Tumbuhan hiperakumulator mempunyai kemampuan untuk mengekstrak logam dari tanah di lokasi yang terkontaminasi (fitoremediasi) dan
dikembalikan ke dalam ekosistem dalam bentuk yang tidak beracun. Tumbuhan ini juga memiliki potensi untuk digunakan menambang logam dari
tanah dengan konsentrasi yang sangat tinggi (phytomining) dengan cara menumbuhkan tanaman dan memanen logam yang ada di dalam jaringan
tubuhnya (Rascio dan Flavia, 2011).
Rascio, N. dan N.I.Flavia. 2011. Heavy metal hyperaccumulating plants: How and why do they do it? And what makes them so interesting?. Plant Science, 180 (2): 169–181. Hossner, L.R., R.H.Loeppert, R.J.Newton dan P.J.Szaniszlo. 1998. Literature review: Phytoaccumulation of chromium, uranium, and plutonium in plant systems. Amarillo National Resource Center for Plutonium, TX (United States) Technical Report. Sarma, H. 2011. Metal hyperaccumuulation in plants: A Review focusing on phytoremediation technology. Journal of Environmental Science and Technology, 4 (2): 118–138.
Arsenik mirip dengan fosfor yang menempati grup sama (kolom) dalam Tabel Periodik Unsur Kimia. Arsenik jarang diamati dalam kondisi
pentavalent, namun bilangan oksidasi yang paling umum untuk arsen adalah -3 pada arsenides, seperti senyawa logam-campur intermetalik; dan +3 pada arsenite, dan senyawa organo-arsenik. Arsenik juga mudah untuk mengikat
dirinya sendiri seperti yang terlihat pada ion As3-4 dalam mineral skutterudite (Ctirad, 2001). Dalam keadaan oksidasi +3, arsenik biasanya berbentuk
piramida karena pengaruh pasangan elektron (Norman, 1998).
Arsenik membentuk substansi tidak berwarna, tidak berbau, kristalin oksida As2O3 ("arsenik putih") dan As2O5 yang higroskopis dan mudah larut dalam air dan membentuk larutan yang bersifat masam. Asam Arsenik (V) adalah
asam lemah. Garamnya disebut arsenates yang merupakan dasar dari kontaminasi arsenik dalam air-tanah, hal ini mempengaruhi banyak orang.
Arsenates sintetis termasuk Paris Hijau (tembaga(II) acetoarsenite), kalsium arsenate, dan timbel hidrogen arsenat. Ketiganya telah digunakan sebagai
insektisida pertanian dan bersifat racun.Tahap-tahapan protonasi antara arsenat dan asam arsenik ternyata serupa
dengan fosfat dan asam fosfat. Asam arsenous benar-benar bersifat tribasic, dengan rumus As(OH)3.
.7.. Norman, N.C. 1998. Chemistry of Arsenic, Antimony and Bismuth. Springer. p. 50. 14.. Ctirad, U. 2001. Chapter 5 Skutterudites: Prospective novel thermoelectrics. Recent Trends in Thermoelectric Materials Research I. Semiconductors and Semimetals, 69. p. 139.
Biokimia arsenik mengacu pada proses-proses biokimia yang dapat menggunakan arsenik atau senyawanya, seperti arsenat. Arsenik adalah
elemen yang cukup melimpah di kerak bumi, dan meskipun banyak senyawa arsenik dianggap sangat beracun, berbagai senyawa organoarsenik diproduksi secara biologis dan berbagai senyawa arsen organik dan
anorganik dimetabolisme oleh berbagai organisme. Pola seperti ini juga dialami oleh unsur-unsur terkait lainnya, termasuk selenium, yang dapat
menunjukkan efek menguntungkan dan merugikan. Biokimia arsenik telah menjadi topik penting karena banyak senyawa arsenik yang beracun dan ditemukan di beberapa akuifer (Pearce, 2006), berpotensi mempengaruhi
jutaan orang melalui proses-proses biokimianya (Dopp, Kligerman dan Diaz-Bone, 2010).
Pearce, F. 2006. When the Rivers Run Dry: Journeys Into the Heart of the World's Water Crisis. Toronto: Key Porter. ISBN 978-1-55263-741-8.
Dopp, E., A.D.Kligerman dan R.A.Diaz-Bone. 2010. Organo arsenicals. Uptake, Metabolism, and Toxicity. Royal Society of Chemistry. ISBN 978-1-84973-082-2.
Biometilasi ArsenikArsenik anorganik dan senyawanya, setelah memasuki rantai makanan,
secara progresif dimetabolisme (detoksifikasi) melalui proses metilasi (Sakurai, 2003). Metilasi terjadi melalui reaksi metilasi reduktif dan metilasi
oksidatif, yaitu reduksi arsen pentavalent menjadi arsen trivalent diikuti dengan penambahan gugus metil (CH3).
Pada mamalia, metilasi terjadi dalam liver oleh ensim methyltransferase, produknya adalah (CH3) 2AsOH (asam dimetil-arsinus) dan (CH3) 2As (O)
OH (asam dimetil-arsinik), yang memiliki bilangan oksidasi As (III) dan As(V) (Dopp, Kligerman dan Diaz-Bone, 2010). Meskipun mekanisme metilasi
arsenik pada manusia belum dapat dijelaskan, namun sumber metil adalah metionin, yang menunjukkan peran S-adenosyl metionin. Paparan dosis
beracun dimulai ketika kapasitas metilasi liver ini terlampaui atau dihambat.Studi pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa arsen
anorganik dan metabolit alkohol melewati plasenta ke janin, ada bukti bahwa metilasi meningkat selama kehamilan dan hal itu dapat menjadi sangat
protektif bagi organisme yang sedang berkembang.
13.. Sakurai, T. 2003. Biomethylation of Arsenic is Essentially Detoxicating Event. Journal of Health Science , 49 (3): 171–178.
Arsenik (V) sebagai akseptor elektronSenyawa Arsenik (V) mudah direduksi menjadi Arsenik(III) dan dapat
berfungsi sebagai akseptor elektron pada primordial Bumi (Oremland et al., 2009). Dsanau-danau mengandung sejumlah besar arsenik anorganik yang
larut air, menjadi pangkalan biota yang toleran As. Meskipun fosfat dan arsenat secara struktural mirip, ternyata tidak ada bukti bahwa arsen dapat menggantikan fosfor dalam DNA atau RNA (Westheimer, 1987; Erb, et al.,
2012; Reaves et al., 2012).Senyawa Arsenik(V) biasanya mempunyai gugusan fungsional RAsO(OH)2
atau R2AsO (OH) (R = gugusan alkil atau aril). Asam Cacodylic, dengan rumus (CH3)2AsO2H, sangat terkenal dalam khasanah senyawa organo-arsenik. Sebaliknya, asam dimethylphosphonic kurang signifikan dalam
kimiawi fosfor. Asam Cacodylic muncul dari metilasi arsenik(III) oksida. Asam Phenylarsonic dapat diakses oleh reaksi asam arsenik dengan anilines, yang
disebut Reaksi Bechamp.Asam monomethylated, asam methanearsonic (CH3AsO (OH) 2), adalah prekursor fungisida (nama dagang Neoasozin) dalam budidaya padi dan
kapas. Derivatif asam phenylarsonic (C6H5AsO (OH) 2) digunakan sebagai aditif pakan ternak, termasuk asam 4-hydroxy-3-nitrobenzenearsonic (3-
NHPAA atau Roxarsone), asam ureidophenylarsonic, dan asam p-arsanilic. Aplikasi ini ternyata masih kontroversial karena mereka meng-emisikan
bentuk arsenik larut air ke lingkungan.
.21.. Oremland, R.S., C.W. Saltikov, F.W.Simon dan J.F. Stolz. 2009. Arsenic in the Evolution of Earth and Extraterrestrial Ecosystems. Geomicrobiology Journal , 26 (2009): 522-36. 22. Erb, T.J., P. Kiefer, B. Hattendorf, D. Günther dan J.A. Vorholt. 2012. GFAJ-1 Is an Arsenate-
Resistant, Phosphate-Dependent Organism. Science 2012 :…….. 23.23. Reaves, M.L., S. Sinha, J. D. Rabinowitz, L. Kruglyak dan R.J.Redfield. 2012. Absence of
Detectable Arsenate in DNA from Arsenate-Grown GFAJ-1 Cells. Science 2012 : 24. Westheimer, F.H. 1987. Why nature chose phosphates. Science, 235 (4793): 1173–1178.
Senyawa Organo-arsenik di AlamTrimethylarsine, dahulu dikenal sebagai Gas Gosio merupakan senyawa
organ-oarsenik yang berbau busuk , biasanya dihasilkan oleh aktivitas mikroba pada substrat arsenik anorganik (Cullen dan Reimer. 1989). Sebuah sumber topikal senyawa ini adalah pigmen hijau yang pernah populer dalam “wallpaper”, Paris hijau. Berbagai gangguan penyakit dianggap disebabkan oleh senyawa ini, walaupun tingkat toksisitasnya tidak terlalu tinggi (Bentley
dan Chasteen, 2002) .Senyawa organoarsenik lainnya yang ditemukan dalam di alam adalah
arsenobetain dan arsenocholine, keduanya ditemukan di banyak organisme laut (Dopp, Kligerman dan Diaz-Bone, 2010). Beberapa nukleosida
mengandung As (Francesconi, Edmonds dan Stick. 1992). Beberapa senyawa organoarsenik muncul melalui proses metilasi. Sebagai contoh,
Scopulariopsis brevicaulis menghasilkan sejumlah besar trimethylarsine jika tersedia arsenik anorganik (Bentley dan Chasteen, 2002). Senyawa
arsenobetain organik yang ditemukan di beberapa organisme laut seperti ikan dan ganggang, juga ditemukan dalam jamur dengan konsentrasi yang
lebih besar. Asupan rata-rata orang adalah sekitar 10-50 mg / hari. Nilai sekitar 1000 mg dapat terjadi setelah mengkonsumsi ikan atau jamur.
Namun demikian, hanya ada sedikit bahaya dalam memakan ikan karena senyawa arsenik ini hampir tidak beracun (Cullen dan Reimer, 1989).
1. Dopp, E., A.D. Kligerman dan R.A. Diaz-Bone . 2010. Organoarsenicals. Uptake, Metabolism, and Toxicity. Royal Society of Chemistry. ISBN 978-1-84973-082-2.
2. Cullen, W.R. dan K.J. Reimer. 1989. Arsenic speciation in the environment. Chemical Reviews, 89: 713–764.
3. Bentley, R. dan T.G. Chasteen. 2002. Microbial Methylation of Metalloids: Arsenic, Antimony, and Bismuth. Microbiology and Molecular Biology Reviews , 66 (2): 250–271.
4. Francesconi, K.A., J.S. Edmonds dan R.V. Stick. 1992. Arsenic Compounds from the Kidney of the Giant Clam Tridacna maxima: Isolation and Identification of an Arsenic-containing Nucleoside. Jour. Chem. Soc. Perkin Trans., 1(..): 1349-1356.
5. Bentley, R. dan T.G.Chasteen. 2002. Microbial Methylation of Metalloids: Arsenic, Antimony, and Bismuth. Microbiology and Molecular Biology Reviews , 66 (2): 250–271.
6. Cullen, W.R. dan K.J.Reimer. 1989. Arsenic speciation in the environment. Chemical Reviews , 89 (4): 713–764.
1. Sharma, H.D., Reddy K.R. (2004). “Geoenvironmental Engineering.” Jon Wiley & Sons, Hoboken, New Jersey, 478-485
2. Doty, S.L. (2008). “Enhancing phytoremediation through the use of transgenics and endophytes.” New Phytologist (2008) 179: 318–333
3. Blaylock, M.J., Elless, M.P., Huang, J.W., Dushenkov, S.M. (1999). “Phytoremediation of Lead-Contaminated Soil at a New Jersey Brownfield Site.” Remediation, summer 1999; 93-101
4. Chaney, R.L., Broadhurst, L., Centofanti, T. (2000) “Phytoremediation of Soil Trace5. Elements.” Bioavailability, Risk Assessment and Remediation; 311-3526. Rock, S.A., Sayre, P.G. (1998) “Phytoremediation of Hazardous Wastes: Potential Regulatory
Acceptability.” Remediation, autumn 1998; 5-177. Zadrow, J.J. (1999). “Recent Applications of Phytoremediation Technologies.” Remediation, spring
1999; 29-368. Mudhoo, A. (2011). “Phytoremediation of Cadmium: A Green Approach.”9. Gupta et al. (2000) “Phytoremediation: An Efficient Approach for Bioremediation of Organic and
Metallic Ions Pollutants.” Bioremediation and Sustainability; 213-24010.Dushenkov, S., Mikheev, A., Prokhnevsky A., Ruchko, M., and Sorochinsky, B., Phytoremediation of
radiocesium-contaminated soil in the vicinity of Chernobyl, Ukraine, Environ. Sci. Technol., Vol. 33, pp. 469-475, 1999.
.
Kekurangannya Fitoremediasi Banyak instansi pemerintah belum sepenuhnya memahami manfaat dari teknologi baru ini. Akibatnya, teknologi ini tidak dipertimbangkan untuk
mendukung proyek-proyek yang tercantum dalam Daftar Prioritas Nasional atau daftar Superfund (Batu et al, 1998). Fitoremediasi tidak dapat mengolah
kontaminasi air-dalam; rumput dapat membersihkan kontaminan hingga kedalaman tiga meter, semak-semak hingga kedalaman sepuluh meter, dan pohon berakar-dalam hingga 20 meter. Proses fitoremediasi ini umumnya
lambat dan dapat memerlukan waktu tiga hingga lima tahun untuk memenuhi tujuan pembersihan yang ditargetkan.
Pemilihan jenis tumbuhan yang spesifik-lokasi harus dilakukan untuk memproses campuran bahan kimia sambil mencegah kematian vegetasi. Pemilihan tumbuhan dan kombinasinya sangat banyak dan masih dalam
tahap percobaan yang membutuhkan penelitian lanjutan. Proses ini sangat tergantung pada klimatologi lokal dan harus dirancang dengan pertimbangan
lokal. Selain itu, operasi fitoremediasi skala besar mungkin membutuhkan peralatan pertanian kelas berat, yang umumnya terletak jauh dari daerah perkotaan yang terkontaminasi (Mudhoo, 2011). Satwa liar dan manusia
dapat mengkonsumsi hasil tanaman, maka harus dilakukan tindakan untuk mencegah masuknya kontaminan ke dalam rantai makanan. Jika kontaminan
tersebut diserap ke dalam tanah, biasanya tidak cukup mobile untuk memungkinkan fitoremediasi. Hal penting lainnya, biomassa limbah yang
kaya kontaminan harus dibuang dengan benar, kadang-kadang memerlukan biaya yang mahal (Sharma dan Reddy, 2004).
.
Keuntungan Akar tanaman menstabilkan tanah dan mencegah gerakan polutan melalui
limpasan dan debu yang tertiup angin. Teknik ini menggunakan tanaman dan sumberdaya alam lokal, sehingga lebih murah. Remediasi ini dilakukan di
tempat, menghemat biaya transportasi dan pengolahan off-site. Dibandingkan dengan sistem lainnya, biasanya estetika menyenangkan dan
disukai oleh masyarakat (Sharma dan Reddy, 2004). Mudhoo (2011) membuat “klaim” bahwa sifat dangkal dan luas dari teknik ini telah
membuatnya ideal untuk memulihkan tanah pertanian yang rusak akibat pencemaran limbah industri.
.
Latar Belakang Teoritis.Kata "phyto" (bahasa Yunani) berarti “tumbuhan”. Proses fitoremediasi melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan kontaminasi lingkungan. Hal ini biasanya mengacu pada
penggunaan tumbuhan tanpa penggalian material atau pengolahan tanah. Banyak ragam aktivitas yang terjadi untuk menyerap atau
menurunkan kontaminan pada berbagai skala. Zona akar tanaman harus kontak dengan tanah yang terkontaminasi, karena ini merupakan tempat penyerapan kontaminan. Membran akar
bertindak sebagai filter dalam proses yang disebut "rhizofiltration" dan akhirnya menyerap polutan. Dua macam gaya-dorong yang
menentukan perilaku kontaminan tergantung pada sifat bahan kimia polutan. "Phytodegradation" terjadi ketika proses metabolisme di
dalam tumbuhan dapat memecah bahan kimia organik, sedangkan "phytoaccumulation" terjadi ketika senyawa anorganik terkunci ke
dalam struktur tumbuhan (Sharma dan Reddy, 2004). Proses-proses gabungan, yang disebut "rhizodegradation" terjadi pada rimpang
akar dimana bakteri atau jamur mutualistik mendegradasi dan / atau mengikat polutan ke permukaan akar atau masuk ke dalam akar
tumbuhan.
.
Latar Belakang Teoritis.Kekuatan energi pendorong dapat diidentikkan dengan pompa dan sistem
miniatur pengolahan, dimana evapotranspirasi selama musim panas menyebabkan sejumlah besar kelembaban tanah harus diproses. Proses alami "phytoextraction" ini dapat menarik polutan tanah dari dalam tanah
sampai ke daun, namun sebagian besar polutan ini dapat terdegradasi, atau terakumulasi kalau proses metabolisme lokal tidak mampu
menghancurkannya (Sharma dan Reddy , 2004). Penyerapan air-tanah menciptakan "kerucut depresi" kecil, dan membatasi pergerapan polutan
dalam tanah. Daya tarik organik dikombinasikan dengan imobilisasi air-tanah secara efektif dapat membatasi pergerakan polutan dalam proses yang
disebut "phytostabilization". "Phytovolatilization" adalah sebuah proses baru yang diperkenalkan oleh Mudhoo (2011), melibatkan konversi kontaminan menjadi bentuk yang mudah menguap dan langsung mengemisikannya ke
atmosfer.
.
Sejarah Fitoremediasi“Godfather" dari fitoremediasi dan studi tumbuhan hiperakumulator adalah
R.R. Brooks dari Selandia Baru. Salah satu tulisan pertama tentang serapan logam berat yang sangat tinggi pada tumbuhan dalam ekosistem tercemar
ditulis oleh Reeves dan Brooks pada tahun 1983. Mereka menemukan bahwa konsentrasi timbal dalam tumbuhan Thlaspi yang tumbuh di daerah
pertambangan merupakan nilai tertinggi yang pernah dicatat untuk tanaman berbunga.
Karya ilmiah Profesor Brooks tentang hiperakumulasi logam berat oleh tumbuhan menimbulkan pertanyaan bagaimana pengetahuan ini dapat
digunakan untuk membersihkan tanah-tanah yang tercemar. Artikel ilmiah pertama tentang fitoremediasi ditulis oleh ilmuwan di Rutgers University, tentang penggunaan tumbuhan khusus untuk membersihkan tanah yang
tercemar. Pada tahun 1993, paten Amerika Serikat diajukan oleh perusahaan bernama Phytotech. Dengan berjudul "Fitoremediasi Logam", paten mengungkapkan metode untuk menyerap logam dari tanah dengan
menggunakan tumbuhan. Beberapa spesies tumbuhan, termasuk lobak dan mustard, secara genetik direkayasa untuk mengekspresikan protein yang disebut metallo-thionein. Protein tumbuhan ini mengikat logam berat dan
“menghapusnya” sehingga tidak terjadi toksisitas tumbuhan. Karena teknologi ini, tumbuhan hasil rekayasa genetika, termasuk Arabidopsis,
tembakau, canola, dan padi , telah dimodifikasi untuk memulihkan daerah yang terkontaminasi merkuri.
.
Reeves dan Brooks (1983) mempelajari konsentrasi timbal dan seng dalam Thlaspi rotundifolium subsp. cepaeifolium dan Alyssum wulfenianum yang
tumbuh pada material “tailing” tambang dan kerikil sungai yang terkontaminasi limbah tambang timbal-seng di Gua del PREDIL (Raibl)
wilayah Italia Utara. Kandungan Pb hingga 8200 μg/g (0,82%) , Zinc hingga 17300 μg/g (1,73%) dan ditemukan dalam daun-daun kering Thlaspi . Nilai-
nilai pada tumbuhan A. wulfenianum adalah 860 dan 2500 μg/g. Konsentrasi Pb dalam Thlaspi merupakan nilai tertinggi yang pernah tercatat pada
tumbuh-tumbuhan berbunga. Keberadaan taksa non-toleran yang sangat mirip dengan dua metallo-fita ini dan tumbuh di tanah yang tidak
terkontaminasi di daerah yang sama, mengisyaratkan bahwa kolonisasi limbah tambang ini merupakan proses yang bersifat neo-endemik.
Reeves, R.D. dan R.R. Brooks. 1983. Hyperaccumulation of lead and zinc by two metallophytes from mining areas of Central Europe. Environmental Pollution Series A,
Ecological and Biological, 31(4): 277–285.
Fitoremediasi merupakan teknologi hijau yang berbasis tumbuhan, telah menerima banyak perhatian setelah ditemukannya tumbuhan
hiperakumulator yang mampu mengumpulkan, mentranslokasikan, dan mengkonsentrasikan sejumlah besar unsur-unsur beracun tertentu dalam
bagian tubuhnya di atas tanah. Fitoremediasi meliputi beberapa proses yaitu, fitoekstraksi, fitodegradasi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi dan fitovolatilisasi. Jenis-jenis tumbuhan daratan dan perairan telah diuji untuk memulihkan tanah dan air yang terkontaminasi. Sejumlah spesies tumbuhan air telah
diteliti untuk remediasi kontaminan beracun seperti As, Zn, Cd, Cu, Pb, Cr, Hg, dll. (Rahman dan Hasegawa, 2011).
Arsenik, salah satu unsur-unsur beracun yang mematikan, tersebar secara luas dalam sistem air sebagai hasil pelarutan mineral dari batuan vulkanik
atau sedimen dan dari pengenceran air panas bumi. Selain itu, pembuangan limbah pertanian dan industri juga dipertimbangkan untuk kontaminasi
arsenik di perairan alami. Beberapa tumbuhan air telah dilaporkan mampu mengakumulasikan banyak arsenik dari air yang terkontaminasi. Eceng
gondok (Eichhornia crassipes), Duckweeds (Lemna gibba, Lemna minor, Spirodela polyrhiza), kangkung (Ipomoea aquatica), pakis air (Azolla
carolininia, Azolla filiculoides, dan Azolla pinnata), kubis air (Pistia stratiotes), Hydrilla (Hydrilla verticillata) dan selada air (Lepidium sativum) telah dipelajari
kemampuannya menyerap arsenik dan mekanisme serapannya, dan potensinya dalam teknologi fitoremediasi. Tumbuhan air berpotensi tinggi
dalam fitoremediasi arsenik.
Rahman, M.A. dan H. Hasegawa. 2011. Aquatic arsenic: Phytoremediation using floating macrophytes. Chemosphere, 83(5): 633–646.
Alvarado,S et al. (2002) melakukan penelitian ini penghapusan arsenik oleh enceng-gondok (Eichhornia crassipes) dan Duckweed (Lemna minor) dengan konsentrasi 0,15 mg/ L. Kerapatan tanaman adalah 1 kg/m2 untuk Duckweed
dan 4 kg/m2 untuk Eceng Gondok berdasarkan bobot basahnya. Arsen ditentukan dalam jaringan daun dan sampel air dengan Metode spektroskopi
serapan atom generasi hidrida. Unsur As dipantau dari waktu ke waktu selama periode 21 hari. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal
kemampuan bioakumulasi dari kedua spesies ini. Tingkat penyerapan untuk L. minor sebesar 140 mg As / ha/hari dengan pemulihan penghapusan
sebesar 5%. Enceng gondok memiliki tingkat penghapusan 600 mg As / ha/hari dan pemulihan penghapusan 18%. Efisiensi penyerapan oleh Eceng
Gondok lebih tinggi karena produksi biomassanya dan kondisi iklim yang lebih menguntungkan. Species ini merupakan alternatif yang dapat
diandalkan untuk bioremediasi arsenik di perairan.
. . Alvarado,S., M.Guédez, M.P. Lué-Merú, G.Nelson, A.Alvaro, A.C. Jesús dan Z. Gyula. 2002.Arsenic removal from waters by bioremediation with the aquatic plants Water Hyacinth (Eichhornia
crassipes) and Lesser Duckweed (Lemna minor). Bioresource Technology, 99(17): 8436-8440.
Tripathi dan Shukla (1991) meneliti efisiensi penghapusan polutan oleh jenis-jenis tumbuhan dan ganggang tertentu, Eichhornia crassipes, Microcystis
aeruginosa, Scenedesmus falcatus, Chlorella vulgaris dan Chlamydomonas mirabilis, dalam kondisi laboratorium untuk mengevaluasi peran potensialnya
dalam pengolahan air limbah. Air limbah Kota Varanasi, dicampur dengan limbah dari sekitar 1200 industri kecil, digunakan untuk material penelitian.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu budidaya eceng gondok diikuti oleh budidaya algae, dan akhirnya budidaya eceng gondok yang ke dua.
Untuk budidaya eceng gondok yang pertama, sebanyak 10 tanaman eceng gondok ditumbuhkan dalam tangki air limbah dengan waktu retensi 15 hari.
Pada tahap ke dua, spesies algae dikultur dalam air limbah dan dirawat selama 5 hari, sedangkan pada tahapan ke tiga, eceng gondok ditumbuhkan lagi dalam air limbah selama 9 hari. Akuakultur tiga tahapan ini menghasilkan pengurangan yang sangat tinggi BOD (96,9%), padatan tersuspensi (78,1%), alkalinitas total (74,6%), PO4 (89,2%), NO3 (81,7%), kemasaman (73,3%),
NH4 (95,1%), COD (77,9%), kesadahan (68,6%) dan bakteri coliform (99,2%). Selain itu, juga terjadi peningkatan konsentrasi oksigen terlarut
(70%).
. Tripathi, B.D. dan S.C. Shukla. 1991. Biological treatment of wastewater by selected aquatic plants. Environmental Pollution, 69(1): 1991 69-78..
. Accumulation of arsenic by aquatic plants in large-scale field conditions: Opportunities for
phytoremediation and bioindicationOriginal Research ArticleScience of The Total Environment, Volume 433, 1 September
2012, Pages 390-397Paulo J.C. Favas, João Pratas, M.N.V. PrasadClose abstractGraphical abstract
Purchase PDF - $41.95Abstract
This work focuses on the potential of aquatic plants for bioindication and/or phytofiltration of arsenic from contaminated water. More than 71 species of aquatic plants were collected at 200 sampling points
in running waters. The results for the 18 most representative plant species are presented here. The species Ranunculus trichophyllus, Ranunculus peltatus subsp. saniculifolius, Lemna minor, Azolla caroliniana and the leaves of Juncus effusus showed a very highly significant (P < 0.001) positive
correlation with the presence of arsenic in the water. These species may serve as arsenic indicators. The highest concentration of arsenic was found in Callitriche lusitanica (2346 mg/kg DW), Callitriche brutia (523 mg/kg DW), L. minor (430 mg/kg DW), A. caroliniana (397 mg/kg DW), R. trichophyllus (354 mg/kg DW), Callitriche stagnalis (354 mg/kg DW) and Fontinalis antipyretica (346 mg/kg DW). These results indicate the potential application of these species for phytofiltration of arsenic through
constructed treatment wetlands or introduction of these plant species into natural water bodies.
Karya ini berfokus pada potensi tanaman air untuk bioindication dan / atau phytofiltration arsenik dari air yang terkontaminasi. Lebih dari 71 spesies tanaman air dikumpulkan di
200 titik sampling dalam menjalankan perairan. Hasil untuk 18 jenis tumbuhan yang paling representatif yang disajikan di sini. Spesies Ranunculus trichophyllus,
Ranunculus peltatus subsp. saniculifolius, Lemna minor, Azolla carolininia dan daun Juncus effusus menunjukkan korelasi positif yang sangat sangat signifikan (P <0,001) dengan keberadaan arsenik dalam air. Spesies ini dapat berfungsi sebagai indikator
arsenik. Konsentrasi tertinggi arsenik ditemukan di Callitriche lusitanica (2346 mg / kg DW), Callitriche brutia (523 mg / kg DW), L. minor (430 mg / kg DW), A. carolininia (397 mg / kg DW), R. trichophyllus (354 mg / kg DW), Callitriche stagnalis (354 mg / kg DW)
dan Fontinalis antipyretica (346 mg / kg DW). Hasil ini menunjukkan potensi penggunaan spesies ini untuk phytofiltration arsenik melalui lahan basah pengobatan
dibangun atau pengenalan jenis tumbuhan ini ke dalam badan air alami.
.
. Phytoremediation of heavy metals—Concepts and applicationsReview ArticleChemosphere, Volume 91, Issue 7, May 2013, Pages 869-881Hazrat Ali,
Ezzat Khan, Muhammad Anwar SajadClose abstractGraphical abstract
Purchase PDF - $41.95Abstract
The mobilization of heavy metals by man through extraction from ores and processing for different applications has led to the release of these elements into the environment. Since heavy metals are nonbiodegradable, they
accumulate in the environment and subsequently contaminate the food chain. This contamination poses a risk to environmental and human health. Some heavy metals are carcinogenic, mutagenic, teratogenic and endocrine disruptors while others cause neurological and behavioral changes especially in children. Thus remediation of heavy metal pollution deserves due attention. Different physical and chemical methods used for this purpose
suffer from serious limitations like high cost, intensive labor, alteration of soil properties and disturbance of soil native microflora. In contrast, phytoremediation is a better solution to the problem. Phytoremediation is the use
of plants and associated soil microbes to reduce the concentrations or toxic effects of contaminants in the environments. It is a relatively recent technology and is perceived as cost-effective, efficient, novel, eco-friendly,
and solar-driven technology with good public acceptance. Phytoremediation is an area of active current research. New efficient metal hyperaccumulators are being explored for applications in phytoremediation and
phytomining. Molecular tools are being used to better understand the mechanisms of metal uptake, translocation, sequestration and tolerance in plants. This review article comprehensively discusses the
background, concepts and future trends in phytoremediation of heavy metals.
Mobilisasi logam berat oleh manusia melalui ekstraksi dari bijih dan pengolahan untuk aplikasi yang berbeda telah menyebabkan pelepasan unsur-unsur ke lingkungan.
Karena logam berat yang nonbiodegradable, mereka menumpuk di lingkungan dan kemudian mencemari rantai makanan. Kontaminasi ini menimbulkan risiko bagi
kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa logam berat bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan endokrin sementara yang lain menyebabkan perubahan
neurologis dan perilaku terutama pada anak-anak. Jadi remediasi pencemaran logam berat layak perhatian. Metode fisik dan kimia yang berbeda digunakan untuk tujuan ini menderita keterbatasan serius seperti biaya tinggi, padat karya, perubahan sifat tanah dan gangguan tanah mikroflora asli. Sebaliknya, fitoremediasi adalah solusi yang lebih baik untuk masalah ini. Fitoremediasi adalah penggunaan tanaman dan mikroba tanah
yang terkait untuk mengurangi konsentrasi atau efek racun dari kontaminan dalam lingkungan. Ini adalah teknologi yang relatif baru dan dianggap sebagai biaya yang
efektif, efisien, baru, ramah lingkungan, dan teknologi solar-driven dengan penerimaan masyarakat yang baik. Fitoremediasi merupakan daerah penelitian saat ini aktif. New
hyperaccumulators logam yang efisien sedang dieksplorasi untuk aplikasi dalam fitoremediasi dan phytomining. Alat molekul yang digunakan untuk lebih memahami
mekanisme serapan logam, translokasi, penyerapan dan toleransi pada tanaman. Ini artikel yang komprehensif membahas latar belakang, konsep dan tren masa depan
dalam fitoremediasi logam berat.
.
Arsenic (As) accumulation in food crops such as rice is of major concern. To investigate whether phytoremediation can reduce As uptake by rice, the As hyperaccumulator Pteris vittata was grown in
five contaminated paddy soils in a pot experiment. Over a 9-month period P. vittata removed 3.5–11.4% of the total soil As, and decreased phosphate-extractable As and soil pore water As by 11–38% and
18–77%, respectively. Rice grown following P. vittata had significantly lower As concentrations in straw and grain, being 17–82% and 22–58% of those in the control, respectively. Phytoremediation also
resulted in significant changes in As speciation in rice grain by greatly decreasing the concentration of dimethylarsinic acid (DMA). In two soils the concentration of inorganic As in rice grain was decreased
by 50–58%. The results demonstrate an effective stripping of bioavailable As from contaminated paddy soils thus reducing As uptake by rice.
Arsen (As) akumulasi dalam tanaman pangan seperti padi menjadi perhatian utama. Untuk mengetahui apakah fitoremediasi dapat mengurangi Sebagai serapan oleh beras, As hiperakumulator Pteris vittata ditumbuhkan dalam
lima tanah sawah yang terkontaminasi dalam percobaan pot. Selama periode 9 bulan P. vittata dihapus 3,5-11,4% dari total tanah As, dan penurunan As dan air pori tanah diekstrak fosfat-As oleh 11-38% dan 18-77%, masing-masing. Beras tumbuh mengikuti P. vittata telah secara signifikan lebih
rendah konsentrasi As dalam jerami dan gabah, menjadi 17-82% dan 22-58% dari mereka yang kontrol, masing-masing. Fitoremediasi juga mengakibatkan
perubahan signifikan dalam As spesiasi dalam gabah dengan sangat mengurangi konsentrasi asam dimethylarsinic (DMA). Dalam dua tanah
konsentrasi anorganik Seperti pada gabah mengalami penurunan sebesar 50-58%. Hasil menunjukkan sebuah stripping efektif bioavailable Seperti dari
tanah sawah yang terkontaminasi sehingga mengurangi Sebagai serapan oleh beras.
Ye,W.L., M. A. Khan, S.P. McGrath dan F.J. Zhao. 2011. Phytoremediation of arsenic contaminated paddy soils with Pteris vittata markedly reduces arsenic uptake by rice. Environmental Pollution,
159(12): 3739-3743.
Recommended