View
82
Download
15
Category
Preview:
Citation preview
BAB 1
ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN
1.1. ANATOMI TELINGA
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.1
Gambar 1. Anatomi Organ Pendengaran
1.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2 ½ - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat
banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada
duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1
1
1.1.2 Telingan tengah.
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk
kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani
umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah
yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas
melampaui batas atas membran timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum
yang meluas melampaui batas bawah membran timpani. Membran timpani
tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian
tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam.
Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini
menyebabkan bagian membran timpani yang disebut membrane Shrapnell
menjadi lemas (flaksid).2
Gambar 2. Membran Timpani
Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membran timpani. Dari umbo bermula suatu reflex cahaya ke arah bawah yaitu
2
pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan.1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas depan, atas belakang, bawah depan serta bawah
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.1
Gambar 3. Pembagian kuadran membran timpani
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:1
- batas luar : membran timpani
- batas depan : tuba eustachius
- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.
3
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak
dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior
sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial
meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut
lebih sempit pada bagian tengah.2
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring, bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang, sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak
di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian
bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk
masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi
dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang
masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba
eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani.2
1.1.3 Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai
labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin
membran yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh
yang tinggu kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan
perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika
bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian
4
koklear. Bagian verstibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan,
sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita.2
Gambar 4. Koklea
Gambar 5. Struktur dalam koklea
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal dengan modiolus, berisi berkas saraf
dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan
5
menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel
sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh
ductus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas
adalah skala vestibule, berisi perilimfe dan dipisahkan dari ductus koklearis oleh
membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga
mengandung perilimfe dan dipisahkan dari ductus koklearis oleh lamina spiralis
oseus dan membran basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks
koklea spiralis tepat setelah ujung buntu ductus koklearis melalui suatu celah yang
dikenal sebagai helikotrema. Membran basilaris sempit pada basisnya (nada
tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah)2
Terletak di aats membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti,
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan tiga
baris sel rambut luar (12.000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang
lengan horizontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,
dienal sebagai membrane tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh
suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.2
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikuus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung macula yang diliputi
oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa
6
yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang
mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe.
Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-
sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.2
Sakulus berhubungan denga utrikulus melalui suatu ductus sempit yang
juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Macula utrikulus terletak
pada bidang yang tegak lurus terhadap macula sakulus. Ketiga kanalis
semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu
ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista.
Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam
kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan
membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.2
1.2 FISIOLOGI PENDENGARAN
Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara
liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara
dalam rentang 2 sampai 4 kHz; perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10
hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling
berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.2
7
Gambar 6. Proses mendengar
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
kolea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe
pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimfe, sehinggs akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis.2
8
BAB 2
TRAUMA AKUSTIK
2.1. DEFINISI
Trauma akustik adalah cedera pada mekanisme pendengaran pada telinga
dalam karena kebisingan yang berlebihan (>85 dB). Trauma akustik merupakan
penyebab umum dari gangguan pendengaran sensorineural dan dapat disebabkan
oleh pajanan pada telinga, tembakan senjata api, paparan jangka panjang terhadap
suara keras (contohnya mesin yang bising).3
Trauma akustik sering dipakai untuk menyatakan ketulian akibat pajanan
bising, maupun tuli mendadak akibat ledakan hebat, dentuman, tembakan pistol,
serta trauma langsung ke kepala dan telinga akibat satu atau beberapa pajanan
dalam bentuk energi akustik yang kuat dan tiba-tiba.4
2.2. ETIOLOGI
Trauma akustik dapat disebabkan oleh bising yang keras dan secara tiba-
tiba atau secara perlahan-lahan yang dapat dikarenakan oleh mesin-mesin modern,
pesawat terbang, petasan, konser musik, telepon telinga (ear phone).5
9
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas
faktor bising dalam lingkungan kerja adalah sebagai berikut.6
Tabel 2.1. Paparan Bising yang Diperkenankan
Waktu
Pemajanan
per Hari
Intensitas
Kebisingan
dalam dB
8 jam 85
4 jam 88
2 jam 91
1 jam 94
30 menit 97
15 menit 100
7,5 menit 103
3,75 menit 106
1,88 menit 109
0,94 menit 112
28,12 detk 115
14,06 detik 118
7,03 detik 121
10
3,52 detik 124
1,76 detik 127
0,88 detik 130
0,44 detik 133
0,22 detik 136
0,11 detik 139
Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun sesaat.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Secara total, 16% gangguan pendengaran pada orang dewasa berhubungan
dengan paparan kebisingan. Trauma akustik setelah terpapar kebisingan adalah
salah satu kondisi paling sering, terutama bagi orang-orang muda yang
mengunjungi klub malam, musisi dan buruh industri.3
2.4. PATOFISIOLOGI
Trauma akustik agaknya merupakan penyebab ketulian sensorineural yang
paling umum. Ketulian sensorineural disebabkan baik oleh kerasnya suara
maupun lamanya paparan.2
Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi
suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan
fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan
getaran ke organ corti. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga,
kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ corti. Pada
trauma akustik,cedera koklea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan berupa
11
getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Namun pada pajanan
berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses fisika berupa mekanik
semata, namun juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara
berlebihan merangsang sel-sel tersebut.7
Pada proses mekanik terjadi pergerakan cairan dalam koklea yang begitu
keras menyebabkan robeknya membran Reissner dan terjadi percampuran cairan
perilimfe dan endolimfe sehingga menghasilkan kerusakan sel-sel rambut,
pergerakan membran basilaris yang begitu keras menyebabkan rusaknya organ
korti sehingga terjadi percampuran cairan perilimfe dan endolimfe akhimya terjadi
kerusakan sel-sel rambut. Pada proses metabolik juga dapat merusak sel-sel
rarnbut melalui cara vasikulasi dan vakuolasi pada retikulum endoplasma sel-sel
rambut dan pembengkakkan mitokondria yang akan mempercepat rusaknya
membran sel dan hilangnya sel-sel rambut. Selama paparan trauma akustik,
jaringan di telinga dalam memerlukan oksigen dan nutrisi lain dalam jumlah
besar. Oleh sebab itu terjadi penurunan tekanan O2 di dalam koklea, sehingga
konsumsi O2 akan meningkat. Peneliti lain mengatakan pada kondisi tersebut
akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah di dalam koklea. Akibat rangsangan
ini dapat terjadi disfungsi sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang
pendengaran sementara atau justru kerusakan sel-sel rambut yang mengakibatkan
gangguan ambang pendengaran yang permanen.3,7
Pada trauma akustik yang menyebabkan gangguan pendengaran sementara
terjadi perubahan fisiologi dari metabolisme sel yang mengakibatkan gangguan
dari sel rambut. Sel rambut menjadi edema dan mengganggu arah putaran dari
12
stereosilia ke membrana tektoria. Gangguan ini hanya terjadi selama beberapa jam
atau hari.7
Gambar 7. Kerusakan hair cell pada trauma akustik
Pada trauma akustik yang mengakibatkan penurunan pendengaran
permanen terjadi edema sel rambut sampai terjadi ruptur sehingga gangguan
pendengaran diakibatkan karena sel rambut akan menjadi distorsi dan arah
stereosilia tidak dapat kembali ke membrana tektoria. Apabila terjadi kerusakan
yang progresif dapat terjadi degenerasi syaraf pendengaran dan perubahan dari
pusat pendengaran.7
Suatu trauma akustik dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan
rusaknya sel sel rambut bagian basal, sedangkan trauma akustik dengan frekuensi
rendah akan mengakibatkan rusaknya sel sel rambut bagian apex. Bila kerusakan
akibat frekuensi nada tinggi akan di dekat foramen ovale, dan frekuensi nada
rendah di daerah apex. Lokasi kerusakan terletak 10 – 15 mm dari foramen ovale
yakni pada reseptor frekuensi 4000 Hz.7
13
Gambar 8. Gambaran reseptor suara di koklea
Pengalaman menunjukkan bahwa ketulian nada tinggi timbul terlebih
dahulu, dan hal ini diyakini berkaitan dengan energi akustik dan frekuensi alami
dari mekanisme pendengaran telinga dalam. Pada awalnya, paparan bising
menimbulkan suatu pergeseran ambang pendengaran sementara. Gangguan ini
biasanya pulih dalam waktu kurang dari dua minggu. Namun, trauma berulang
akan berakibat perubahan ambang yang menetap.2
2.5. EFEK FISIOLOGIS SUARA KERAS
Perubahan fisiologis dalam tubuh hanya mulai terjadi pada tingkat tekanan
suara yang lebih besar . Pada sekitar 120 dB ketidaknyamanan dimulai di telinga
dan nyeri terjadi ketika tingkat tekanan suara mencapai gendang telinga sekitar
140 dB. Gendang telinga bisa pecah/ rusak jika tekanan suara sekitar 160 dB.
Penelitian telah menyimpulkan bahwa dengan suara frekuensi rendah di wilayah
50 – 100 Hz dengan tingkat suara 150 dB atau lebih, sensasi getarannya
14
berpengaruh buruk pada dada dan organ thorax walaupun telinga terlindungi dari
getaran tersebut. Perubahan fisiologis lain yang terjadi meliputi getaran di dada
dan perubahan irama pernafasan, serta sensasi getaran hipofaring (sesak nafas).8
Rentang frekuensi antara 50-100 Hz pada tingkat tekanan suara 150-155
dB berakibat mual ringan dan pusing. Pada level tekanan 150 -155 dB (0,63-1,1
kPa); berpengaruh pada respirasi. Hal ini termasuk juga ketidaknyamanan sub
costal, batuk, tekanan substernal parah, respirasi tersedak, dan ketidaknyamanan
hipofaring. Pada tingkat tekanan yang cukup tinggi di wilayah 140 dB maka
efeknya bisa menghilangnya pendengaran bersifat sementara atau permanen bila
tekanan suara di level atasnya 140 dB ke atas. Pada tingkat akustik di atas 185 dB
membran timpani bisa pecah .Pada tingkat akustik dari sekitar 200 dB, paru-paru
mulai pecah, dan di atas sekitar 210 dB berakibat pada kematian.8
2.6. FAKTOR RESIKO
Mereka yang termasuk kategori berikut berisiko tinggi untuk terkena
trauma akustik:9
- Mereka yang bekerja di mana peralatan industri yang bersuara keras
beroperasi untuk jangka waktu yang lama
- Mereka yang sering menghadiri konser musik dan acara-acara lain dengan
suara musik yang memiliki desibel tinggi
- Mereka yang sering menggunakan pistol
2.7. GEJALA KLINIS
15
Keluhan utama pada trauma akustik adalah penurunan pendengaran. Pada
banyak kasus, keluhan utama pasien adalah sulit mendengar suara yang
berfrekuensi tinggi. Masalah kesulitan mendengar suara yang berfrekuensi rendah
muncul belakangan. Salah satu gejala yang paling penting yang dapat
menandakan terjadinya trauma akustik adalah tinnitus. Mereka yang mengalami
tinnitus ringan sampai sedang akan paling sering menyadari gejala ini ketika
mereka berada di lingkungan yang tenang.9
Gejala lain yang muncu adalah sensasi penuh di telinga (fullness), nyeri
telinga, kesulitan melokalisir suara, dan kesulitan mendengar di lingkungan
bising.9
2.8. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,
pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran
seperti audiometri.1
Pada anamnesis dapat ditanyakan juga apakah pemah bekerja atau sedang
bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya 5
tahun atau lebih. Pernahkah terpapar atau mendapat trauma pada kepala maupun
telinga baik itu berupa suara bising, suara ledakan, suara yang keras dalam jangka
waktu yang cukup lama. Apakah mempunyai kebiasaan mendengarkan
headphone, mendengarkan musik dengan volume yang keras. Apakah
mengkonsumsi obat-obatan ototoksis dalam jangka waktu lama. 1
16
Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya kelainan dari telinga
luar hingga membran timpani. Pada pemeriksaan audiologi, tes garpu tala
didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya
lebih baik dan Schwabach memendek, tes batas atas dan batas bawah hasilnya
menunjukan batas atas menurun. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural.
Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi
antara 3000 – 6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch)
yang patognomonik untuk jenis ketulian ini.1
Gambar 9. Gambaran audiogram pada trauma akustik
Pemeriksaan ini terdiri atas 2 grafik yaitu frekuensi (pada axis horizontal) dan
intensitas (pada axis vertikal). Pada skala frekuensi, untuk program pemeliharaan
pendengaran (hearing conservation program) pada umumnya diwajibkan
memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500, 1000, 2000, 3000,
4000, dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi
maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000Hz karena ini merupakan
frekuensi kritis yang rnenunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan
17
pendengaran dengan pekerjaan, tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit
sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan
atau karena sebab yang lain.1
2.9. PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan penyebab ketulian, bila penyebabnya karena kebisingan di
lingkungan kerja, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan
bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan
pelindung kepala (helmet).1
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang
bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan
kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba
pemasangan alat bantu dengar / ABD (hearing aid). Apabila pendengarannya
telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi dengan aekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima
keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan
sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan
bibir (lip reading), mimic dan gerakan anggota badan, serta Bahasa isyarat untuk
dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya
sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan
volume, tinggi rendah dan irama percakapan.1
18
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat
dipertimbangkan untuk pemasangan implant koklea (cochlear implant).1
2.10. PROGNOSIS
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural
koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun
pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting
adalah pencegahan terjadinya ketulian.1
2.11. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap trauma akustik antara lain dengan menghindari suara
bising dan gaduh (mendengarkan musik yang terlalu keras dalam jangka waktu
yang lama), berhati-hati dalam aktivitas yang berisiko seperti menembak. Bising
dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan
ketulian, oleh karena itu bising di lingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah
dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber bunyi,
misalnya yang berasal dari generator dipisah dengan menempatkannya di suatu
ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti
mesin tenun, mesin pengerolan baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan
sendiri oleh pekerja seperti di tempat penempaan logam, maka pekerja tersebut
yang harus dilindungi dengan alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup
telinga dan pelindung kepala.1
19
Gambar 10. Sumbat telinga (ear plug) Gambar 11. Tutup telinga (ear
muff)
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, Restuti. Gangguan Pendengaran. Dalam: Soetirto. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Pcnerbit Buku FKUI; 1997. h 10-13. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Dalam: Bashiruddin, Soetirto. h 49-52
2. Boies, Adams, Higler. Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamentals Otolaryngology) Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997. h 27-38.
3. Kashani, Saberi. Hannani. 2013. Prevention of Acoustic Trauma-Induced Hearing Loss by N-acetylcysteine Administration in Rabbit in Archives in Trauma Research. Health Faculty Kashan University of Medical Sciences, Iran. H145-146
4. Komang dkk. 2008. Efek Letusan Senjata Api Ringan terhadap Fungsi Pendengaran pada Siswa Diktuba Polri dalam: Cermin Dunia Kedokteran. Penerbit: FK Udayana. Bali. H.1-11
5. Maqbool. Deafness : Acoustic Trauma. Textbook of Ear Nose & Throath Diseases Eleventh Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher:2007. h 119-120.
6. Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Lingkungan Kerja.
7. Kersebaum. 1998. Acute Acoustic Trauma - It’s Features and Management. Penerbit: J R Army Med Corps. Jerman. H. 156-158
8. Adeleke. 2009. Acoustic Trauma in Handout by Prof. Ogunsote. Penerbit: Academic Press. Inggris. H. 1-13
9. Stoltzfus, Boskey. 2012. Acoustic Trauma. http://www.healthline.com/health/acoustic-trauma diakses pada 24 November 2015.
20
21
Recommended