View
4.160
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Cultural Anthropology
Ethnography
Minahasa
Name : Odrine
Class : MC 11-1B
NIM : 2007110270
Lecture : Pak Boy Ferdin Boer
1
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat bantuanNya lah
saya dapat berhasil dengan baik dan tepat waktu menyelesaikan karya tulis ini. Tidak lupa
juga untuk dosen Antropologi saya Pak Boy Ferdin, yang telah sangat banyak membantu
saya selama ini, memberikan banyak informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat
dalam proses pengerjaan karya tulis ini. Saya sangat berbahagia, karena saya bisa dengan
sangat mudah menemukan tempat-tempat penting, seperti Perpustakaan Nasional RI yang
berada di Salemba dan juga Monas, karena dari perpustakaan tersebutlah saya menjadi
tidak terlalu menemukan hambatan berarti saat proses pengerjaan. Di Perpustakaan
tersebut terdapat koleksi lengkap dari buku-buku yang saya cari dan butuhkan.
Saya sangat berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak orang yang
membacanya, dan kerja keras saya selama ini tidak akan menjadi sia-sia. Dan semoga para
pembaca tidak akan menemukan kesulitan dalam memahami isi dari karya tulis saya ini.
Akhir kata, selamat menikmati karya tulis ini.
Jakarta, 2009
Penulis
2
Daftar Isi
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Latar Belakang 3
Isi 4
Demografi 4
Sistem Teknologi 13
Sistem Religi 17
Sistem Bahasa 25
Sistem Mata Pencarian 31
Sistem Pengetahuan 33
Sistem Organisasi Sosial 34
Sistem Kesenian 36
Daftar Pustaka 47
Biografi Penulis 48
3
Latar Belakang
Kebudayaan merupakan salah satu aspek penting dakam hidup manusia. Seperti yang kita
ketahui, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak kebudayaan, etnik dan
bahasa. Karya tulis ini secara keseluruhan membahas tentang Minahasa, Etnografi dari
Minahasa. Latar belakang saya membuat karya tulis ini adalah karena ketertarikan saya
terhadap kebudayaan yang unik dari masyarakat Minahasa. Salah satu kabupaten di wilayah
Sulawesi Utara ini, mempunyai banyak sekali cerita masa lalu yang menarik dan unik. Juga
sejarah dan berbagai ritual yang menjadi ciri khas dan tradisi mereka. Di sini juga saya
membahas tentang tujuh unsur kebudayaan secara lengkap, yaitu sistem teknologi, apa saja
yang berhasil mereka lakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka; sistem religi,
membahas tentang agama, kepercayaan, ritual, mitos-mitos apa saja yang dipercaya oleh
masyarakat Minahasa; sistem bahasa, membahas tentang ragam bahasa yang dimiliki oleh
masyarakat Minahasa, penggunaannya juga contoh-contoh dari bahasa tersebut; sistem
mata pencarian, tentang apa saja mata pencarian yang dipilih oleh Masyarakat sekitar untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya; sistem pengetahuan, tentang apa-apa saja pengetahuan
yang telah dimiliki oleh masyarakat Minahasa; sistem organisasi sosial, membahas
mengenai sistem keluarga yang ada di sana, juga sistem pemerintahan dan poloitik yang
berlaku di sana; terakhir sistem kesenian, menjabarkan semua kesenian yang ada dari tari-
tarian, musik, dan karya tangan masyarakat Minahasa. Dengan semua alasan-alasan
tersebutlah saya memilih membahas kebudayaan Minahasa.
4
DemografiMinahasa, salah satu kabupaten di Proponsi Sulawesi Utara, yang terletak di jazirah utara
Pulau Sulawesi. Luas wilayahnya 4.619,6 kilometer persegi, terbagi atas 30 kecamatan, 534
desa. Jumlah penduduknya pada tahun 1987 adalah 831.409 jiwa. Tingkat kepadatan
penduduknya 180 jiwa per kilometer persegi.
Menurut survey terbaru, penduduk Minahasa mengalami penurunan, jumlah penduduk
Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2007 adalah 301.857 Jiwa.
Kabupaten Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis minahasa yang mendiami
daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18 kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :
KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK KEPADATAN PER KM
TONDANO UTARA 10.064 374
TONDANO BARAT 18.588 547
TONDANO SELATAN 17.196 126
TONDANO TIMUR 13.903 381
LANGOWAN BARAT 18.873 364
LANGOWAN SELATAN 8.057 15
LANGOWAN TIMUR 17.773 130
KAKAS 22.177 184
TOMPASO 14.535 491
REMBOKEN 11.488 202
5
KAWANGKOAN 26.218 532
TOMBARIRI 25.512 180
SONDER 18.114 319
ERIS 12.843 320
LEMBEAN TIMUR 8.855 131
KOMBI 11.133 92
PINELENG 34.822 250
TOMBULU 14.147 164
JUMLAH 301.857 273
Batas-batas Geografis & Keadaan Alam
Ibu kotanya adalah Tondano, terletak di tepi Danau Tondano,
di utara wilayahnya berbatasan dengan kabupaten Sangihe
Talaud dan Laut Sulawesi, di timur dengan Laut Maluku, di
selatan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow, dan di
barat dengan Laut Sulawesi.
Keadaan alam
Minahasa, di samping jazirah utara Pulau Sulawesi,
kabupaten ini mencakup pulau-pulau disekitarnya,
antara lain Pulau Lembeh, Bangka, Kinorabutan,
Talise, Tindila, Ganga, Lehage, Mantehage, Nain Besar,
Nain Kecil, Manado Tua, Bunaken, Siladen dan Pulau
Tatapan. Minahasa dilingkari laut di sisi barat, utara,
dan timur, kecuali sisi selatan yang berbatasan dengan
Kabupaten Bolaang Mongondow.
6
Permukaan tanahnya sangat bervariasi, pada umumnya terdiri atas perbukitan dan
pegunungan, dan hanya sebagian kecil dataran landai. Luas permukaan yang datar landai
dengan kemiringan 0 – 2 persen adalah 25.175 hektar, atau hanya sekitar 5,67 persen dari
luas seluruhnya. Daerah seperti ini terdapat di Kecamatan Bitung, Lauditan, Airmadidi,
Dimembe, Wori, Pineleng, Tondano, Langowan dan Kecamatan Kakas. Permukaan yang
sangat curam dengan kemiringan 40-45 persen adalah yang terluas dari seluruh permukaan,
yaitu 227.000 hektar.
Daerah ini sebagian besar terdiri atas pegunungan dan perbukitan. Gunung tertinggi di
Minahasa adalah Gunung Klabat (1.995 meter), lalu Gunung Soputan (1.700 meter),
Manimporok (1.661 meter), Lokon (1.580 meter), Rindengah (1.553 meter), Tagui (1.520
meter), dan lain-lain. Beberapa diantaranya adalah gunung berapi yang masih aktif, seperti
Gunung Lokon dan Soputan yang sudah beberapa kali meletus. Danau Tondano di tengah
daerah ini menurut dugaan terjadi karena letusan gunung berapi. Hal tersebut dibuktikan
dengan terdapatnya beberapa mata air panas serta keadaan alam dan jenis batuan
sekitarnya.
Dari celah-celah gunung ini mengalirlah sungai-sungai yang bermuara di Laut Maluku di
pantai timur, misalnya Sungai Ranoyapo (panjang 54 kilometer), Poigar (50 kilometer),
Tondano ( 41 kilometer), Talawaan (32 kilometer), Minanga (27 kilometer), dan lain-lain.
Sungai-sungai tersebut sulit digunakan sebagai lalu lintas karena selain sempit dan berkelok-
kelok, juga aliran airnya sangat deras dan terkadang melewati tebing curam atau air terjun.
Air terjun yang terkenal terdapat dari aliran Sungai Tondano di Tonsea Lama.
Sejarah
Minahasa berasal dari kata "MINAESA" yang berarti persatuan, yang mana zaman dahulu
Minahasa dikenal dengan nama "MALESUNG".
Menurut penyelidikan dari Wilken dan Graafland bahwa pemukiman nenek moyang orang
Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, kemudian berkembang dan
berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini).
7
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut pada waktu itu dibagi
dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat
Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan
Pasiowan Telu : Rakyat
Berdasarkan penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu
musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta
pembagian wilayah Minahasa. Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam
beberapa anak suku, yaitu:
Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut
Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara
Anak suku Toulour : menuju timur (atep)
Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar
Pada saat itu belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai
Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan
abad XV dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya perang
dengan Bolaang Mongondow, maka penyebaran penduduk makin meluas keseluruh daerah
minahasa. hal ini sejalan dengan perkembangan anak suku sepert anak suku Tonsea,
Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan bantik.
Sejak dahulu Minahasa tidak mengenal adanya pemerintahan absolute seorang raja. Sistem
pemerintahan pada saat itu dipegang oleh walian (pemimpin agama/adat serta dukun),
tonaas (orang sakti dan ahli pertanian), teterusan (panglima perang), dan potuasaan
(penasihat). Lama kelamaan yang menjadi kepala wanua (kampong, pemukiman), adalah
tu’a um banua, yang kemudian disebut hokum tua. Para pembantunya disebut tu’a lukar
(kepala lingkungan), dan meweteng (pembagi kerja).
8
Bangsa spanyol masuk ke Minahasa sekitar tahun 1524. Kemudian tahun 1607 datang
bangsa Belanda. Mereka menukar besi dengan beras. Pada tahun 1617 bangsa Portugis
berlabuh di Manado Tua. Inggris mendarat tanggal 10 September 1810.
Peperangan melawan penjajah dimulai pada tanggal 10 Agustus 1643, ketika bangsa
Spanyol hendak menjajah Minahasa dengan menetapkan Mainalo sebagai raja. Tindakan itu
segera mendapat perlawanan dari Ukung Tua Lumi dari Toumuhung dan terjadilah
peperangan. Akhirnya orang Spanyol mundur. Peperangan terbasar menghadapi Belanda
adalah Perang Tondano tahun 1807-1909 yang dipimpin oleh Tonaas Sarapuang dan
Korengkeng. Terjadi pembunuhan opsir-opsir Belanda oleh rakyat Kawangkoan dan sebagai
akibatnya Kepala Walak Kawangkoan dibuang dan meninggal di Kuningan Jawa Barat.
Dengan lembaran Negara Nomor 64 Tahun 1919, minahasa di jadikan daerah otonom. Pada
saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : distrik tonsea, manado, bantik, maumbi,
tondano, touliang, tomohon, sarongsong, tombariri, sonder, kawangkoan, rumoong,
tombasian, pineleng, tonsawang, dan tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah
menjadi 6 distrik yaitu distrik manado, tonsea, tomohon, kawangkoan, ratahan, dan
amurang.
Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang berada di
tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado. Kemudian karena
kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan
pemerintah nomor 4 Yahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota
Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung.
Dalam rangka untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam rentang kendali
penyelenggaraan tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan dan
pelayanan masyarakat usulan pembentukan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota
Tomohon diproses bersama-sama dengan 25 calon Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia,
dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI, maka Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota
Tomohon ditetapkan menjadi Kabupaten dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU Nomor
10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003 dengan UU
9
Nomor 33 Tahun 2003 , Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan menjadi daerah otonom
yang baru.
Dengan adanya Pemekaran tersebut maka wilayah minahasa menjadi 3 (tiga) Kabupaten
(Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara) dan 3 (dua) Kota (Kota Manado,
Bitung dan Tomohon)
Asal usul penduduk di Minahasa.
Berbicara tentang asal-usul penduduk dari Minahasa, kita akan menemukan banyak versi
yang ada, dan ternyata ada bedanya walaupun intinya tetap sama. Untuk itu di sini akan
tersaji dua versi besar saja, yang dapat menggambarkan bagaimana asal-usul dari penduduk
Minahasa.
1. Versi orang tua (leluhur) Tontemboan / Tompakewa
Sekali waktu di sebelah barat pegunungan Wulur Mahatus terdamparlah sebuah batu
yang sangat indah bentuknya. Di sana belum ada penghuninya, sehingga belum ada
yang memperhatikan. Pada suatu siang, di kala cuaca cerah dan udara pantai terasa
panas menimpa batu (karang) itu, berkeringatlah batu itu, dan dari keringat itu
terbentuklah sesosok putri yang jelita. Dengan terpekur, putri itu melayangkan
pandangan ke sekelilingnya, ingin mengetahui di mana sebenarnya ia berada. Sambil
berdiri di atas batu yang telah memunculkannya itu, ia memperhatikan alam sekitarnya
dengan penuh tanda tanya, tibalah ia pada suatu keputusan untuk berdoa kepada Yang
Maha Kuasa dan Maha Besar. Isi doanya meminta kepastian dan jawaban, juga
meminta seorang teman.
Seusai ia berdoa pecahlah batu dimana ia berdiri dan keluarlah seorang Walian wanita
(pemimpin agama) sambil berkata : Kamu tidak sendirian, saya ini diciptakan untuk
menemani dan menjagamu. Karena kalian terbentuk dari batu berkeringat maka
kepadamu kuberikan nama “Lumimuut” (Limuut = keringat ; Lumimuut = berkeringat).
Nama saya “Tareniema” dan saya adalah pemimpin agama di dunia ini. Sekali kelak,
akan ditentukan waktunya nanti bahwa kalian akan kawin dengan seorang Walian
10
‘Wangko’ dan dari perkawinan ini akan diturunkan manusia-manusia yang hanya akan
hidup terus dan berkembangbiak bagaikan semut, apabila mereka mau bekerja keras
dan memeras keringat. Doa seorang putri tadi yang saat ini bernama Lumimuut
terkabul, ia mendapat seorang teman yang bernama Tereniema, seorang Walian, yang
kemudian berubah menjadi Karema.
Penuturan selanjutnya mengatakan demi usaha Karema, Lumimuut pun hamil melalui
peristiwa yang aneh. Dikatakan Lumimuut hamil oleh angin barat yang dahsyat. Melalui
doa Karema kepada Opo’e Walian Wangko’ Lumimuut dihadapkan ke arah barat takala
sedang berhembus angina kencang. Dan hamillah Lumimuut. Setelah tiba waktunya,
lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama “Tuar” yang berarti “bernilai tinggi”.
Tuar pun berubah menjadi Toar.
Toar dipelihara dan dididik dengan penuh kasih saying, terutama oleh Karema yang
bermaksud supaya Toar kelak bias menjadi Tonaas Wangko’. Setelah Toar dewasa
timbullah sebuah masalah baru, siapakah yang akan menjadi pasangannya untuk
meneruskan keturunan??
Sang Walian Karema bisa menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Karema
menyediakan dua buah tongkat yang sama panjangnya, tongkat yang satu dibuat dari
batang tu’is dan yang satu lagi dari batang tawaang (Dracaena terminalis). Berkatalah
Karema pada Toar dan Lumimuut : sekarang tibalah saat kalian pergi mengembala
keliling dunia. Telah saya sediakan dua buah tongkat yang sama panjang untuk kalian
berdua. Karema berpesan pada mereka, jika diperjalanan menemukan orang yang juga
membawa tongkat, ukurlah panjangnya. Jika sama, maka mereka ibu dan anak. Tapi jika
berbeda, Lumimuut dan Toar diwajibkan untuk berkeluarga dan berkembangbiak. Agar
keturunan mereka memenuhi bumi dan tak terbataskan lautan dan gunung.
Mereka pun pergi, Toar ke utara, Lumimuut ke selatan. Tak terduga pada suatu malam
bulan purnama mereka bertemu di gugusan pegunungan Wulur Mahatus. Merekapun
mengukur tongkat mereka, dan hasilnya berbeda. Karena tongkat Toar yang terbuat
dari batang tu’is bertambah panjang sesuai dengan sifatnya. Maka berkembangbiaklah
mereka dan menetap di sekitar pegunungan yang banyak ditumbuhi bamboo. Dan
11
diwilayah inilah mereka berkembang biak dan anak-anak mereka menjadi cikal bakal
orang Minahasa.
2. Versi orang tua (leluhur) Tombulu
Versi ini berbicara mengenai “Manusia Pertama Minahasa”, baru diperkenalkan secara
tertulis pada pertengahan tahun 1980 di Tomohon. Melalu rekaman Bapak I.W. Palit
yang telah menerima peninggalan silsilah orang-orang lesung dari datuk Walian
tu’a :omban me’eres secara tidak langsung, yang adalah juga datuk leluhur beliau, versi
Tombulu ini telah disusun dan disajikan sebagai berikut : “Adalah sekelompok besar
keluarga pelaut mendarat di sebelah barat tanah Malesung yang terletak di sebelah
barat laut tanah Minahasa sekarang. Pemimpin keluarga itu bernama Ratu Sumilang.
Perempuan ini, turut serta juga seorang perempuan tua bernama Karema yang
bertugas sebagai imam (walian). Bersama imam Karema turut juga seorang anak
perempuannya bernama Lumimuut. Mula-mula mereka menempati dataran tinggi di
antara tiga gunung Tarawitan, Lokon, dan Kasehe.
Mereka membuat pondok di salah satu tempat yang disebut Mahwatu Tu’urzintana’
tempat dimana banyak terdapat pohon Mahwatu di pangkal tanah, yaitu dataran di
tengah-tengah ketiga gunung itu. Pondok mereka terdapat di bagian barat dataran
tersebut, terletak di bagian hulu sungai Makalesung, yakni anak sungai Ranowangko
yang bermuara di Tanawangko. Mereka tidak tahan menetap, dan akhirnya pun
memutuskan untuk pindah ke timur di sekitar mata air besar yang kini namanya
“Wailian” sekat dengan negeri Wailian sekarang, yakni di kaki gunung Lokon sebelah
tenggara. Ternyata di tempat baru pun mereka kurang betah, mereka pun kembali
beralih ke kaki gunung Mahawu dekat mata air. Di sana mereka menebas hutan,
mengusahakan perkebunan, dan ternyata tanahnya subur. Hal ini menarik minat
mereka untuk menetap, tapi Karema harus bertanya dulu pada Empung Wailan
Wangko, yaitu “Allah yang Maha Kaya dan Besar”. Dan Karema pun mendapat jawaban
ketidaksetujuan yang diterjemahkannya dari suara burung. Ratu Sumilang dan yang
lainnya tidak mau mendengarkan dan memutuskan untuk tetap menetap, terpaksa
Karema dan Lumimuut pergi dari tempat itu kembali ke dekat mata air lagi.
12
Terjadilah letusan gunung yang dahsyat, Gunung Lokon dan Mahawu serentak meletus.
Lokon mengeluarkan batu-batu, dan Mahawu mengeluarkan air disertai lumpur panas,
dan terjadilah air bah, yang memusnahkan Ratu Sumilang dan anak-anaknya, karena
ketinggian hati mereka. Tinggallah Karema dan Lumimuut di tanah Malesung.
Tak diduga seorang raja bernama Sumendap jatuh cinta pada Lumimuut, dan
menikahinya. Saat Lumimuut mengandung, Suhendap menghilang dan lahirlah seorang
putra bernama Touareghes yang disingkat Tour. Setelah Tour beranjak dewasa, Karema
ingin mencarikan pasangan untuknya, tapi di sana tidak ada wanita lain selain ibunya.
Karema pun mempunyai ide untuk bertanya pada Wailan Wangko apa mereka boleh
menjadi suami istri. Untuk mengetahui jawabannya Karema mencabut sebuah batang
tu’is dan membelahnya menjadi dua sama panjang. Ia memberikan satu pada Tour dan
satu pada Lumimuut. Mereka harus pergi berjalan berlawanan, dan jika nanti bertemu
ukurlah tongkat tersebut. Jika tidak sama panjang berarti mereka boleh menjadi suami
istri atas restu Walian Wangko. Dan ternyata saat mereka bertemu kembali dan
tongkatnya disejajarkan ternyata berbeda panjangnya. Merekapun menikah dan
menetap di bawah pohon Kinilow. Dan keturunan merekalah yang selanjutnya menjadi
para orang-orang Minahasa.
Letak pusat daerah kebudayaan
Dari cerita tentang batu Pinabetengan kita dapat mengetahui letak dari pusat kebudayaan di
Minahasa. Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk
dari jalan raya Tomposo, dan terletak di lereng Gunung Tonderukan, dekat Gunung Soputan.
Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa Tengahlah dulu menjadi pusat
kebudayaan nenek moyang. Cerita Lumimuut dan Toar, sangat erat hunungannya dengan
serita batuPinabetengan atau Batu Pembagian wilayah untuk para subetnik. Setiap suku
atau subsuku yang dating kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, Pasan dan Batik,
harus mengakui ikrar yang dilakukan di Batu Pinabetengan, yaitu mereka adalah suku
keturunan yaitu dari Lumimuut dan Toar, akibatnya versi mitos Lumimuut dan Toar menjadi
13
banyak, mencapai lebih dari 90 versi tetapi terdapat versi yang sama di setiap cerita, yaitu
terdapatnya tanah, air dan batu.
Sistem Teknologi
Masyarakat melakukan banyak usaha dan pemanfaatan sumber daya yang ada, guna
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Cara atau tekhnik dan metode mereka dapat
memperlihatkan bahwa tingkat pemahaman mereka mengenai teknologi sudah sangat
maju. Berikut adalah beberapa contoh pemanfaatan teknologi yang dapat membantu
kehidupan :
Air terjun dari aliran Sungai Tondano di Tonsea Lama, sudah dimanfaatkan oleh
warga sebagai pembangkit listrik tenaga air yaitu PLTA Tanggari I sebelah utara
Tondano dan PLTA Tanggari II.
14
Jalur perhubungan – Panjang jalan seluruhnya 1.458 kilometer; di antaranya yang
sudah beraspal 537 kilometer. Untuk perhubungan laut terdapat Pelabuhan Bitung.
Untuk angkutan penumpang saat ini tersedia sebuah kapal milik Pelni dengan tujuan
Tanjung Priok, melalui pelabuhan Tolitoli, Pantoloan, dan Banjarmasin. Sebuah lagi
menghubungan kan Minahasa dengan Tanjung Priok, melalui Tanjung Perak,
Ujungpandang, Balikpapan, Ternate, Sorong, Biak dan Jayapura. Perhubungan udara
dilakukan melalui bandara Dr. Sam Ratulangi Manado.
Hampir semua desa sudah mendapatkan penerangan listrik dari PLN. Jaringan
pelistrikan berasal dari PLTA Tonsea lama dan PLTD.
Mengganti sistem sambungan takik dengan menggunakan konektor, guna menghemat
pembuangan kayu
Kayu dibutuhkan untuk dijadikan bahan bangunan, dan dari sisi yang lain kayu dalam bentuk
pohon berfungsi menjaga keseimbangan alam. Kelangkaan kayu di pasaran sebagai bahan
bangunan semakin dirasakan oleh para pelaku rancang bangun beberapa tahun terakhir ini.
Di daerah Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, kayu banyak digunakan oleh masyarakat
sebagai bahan utama pembuatan rumah tinggal. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
proses pelaksanaan konstruksi rumah kayu Minahasa mengakibatkan banyak sisa-sisa
potongan kayu akibat takikan untuk pertemuan kayu. Disisi lain, pelaksanaan konstruksi
membutuhkan waktu relatif lama. Solusi yang diusulkan untuk mengurangi material kayu
terbuang dan mempersingkat waktu yang diperlukan dalam penyelesaian pekerjaan
konstruksi tanpa mengurangi kekuatan struktur pada balok adalah mengganti sistim
sambungan takik pada setiap pertemuan kolom dan balok, dengan menggunakan
konektor.
Berdasarkan hasil riset, setelah mengganti sistim takik dengan sistim konektor, prosentase
berkurangnya jumlah takikan = 31,8 %. Volume kayu terbuang berkurang 48,4 %. Alokasi
waktu penyelesaian berkurang 35,5 %. Berarti untuk membuat satu rumah kayu Minahasa
tipe 63, dapat menghemat sebanyak 0,21 m3 balok kayu gergajian atau = 0,34 m3 kayu
15
bulat. Waktu penyelesaian pekerjaan berkurang 16 hari dari total keseluruhan waktu 45
hari, menjadi 29 hari.
Sistem struktur dan konstruksi rumah kayu Minahasa dapat diterapkan pada perancangan
bangunan perkuliahan Program Studi Teknologi Kayu Fakultas Teknik Universitas Negeri
Manado, dengan modifikasi pada sistem sambungan dan modul struktur.
Saguer dan Cap Tikus
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui
penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam
bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada
kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar
alkoholnya.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan
petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan
peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau.
Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang
digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut
saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer
semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi
kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini
masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya
disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan
itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan pasti
kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap warga
16
Minahasa ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu mulai
dikenal sejak nenek moyang mereka.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela
hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut
pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis
keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian
orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan
banyak.
Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi minuman Cap
Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik menjadi sekitar
40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol
Cap Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus yang baik akan
mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api.
Selain bisa diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah pabrik
anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke kota dan
bahkan di antarpulaukan secara gelap.
Alat penyuling Cap Tikus secara tradisional
17
Sistem Religi
Agama yang pertama kali masuk ke Minahasa adalah Islam atau religi Pribumi Minahasa.
Agama ini dibawa pada tahun 1525 melalui Belang oleh orang Bolaang Mongondow. Agama
ini berkembang bersama tawanan Belanda yang dibuang ke Minahasa, seperti Imam Bonjol,
Pangeran Dipenogoro, Kiai Maja dan para pengikut mereka. Jumlah penduduk yang
memeluk agama Islam ialah 75.731 orang. Tempat ibadah umat Islam yang tercatat, ada
tujuh buah di Minahasa.
Proses pengajaran religi pribumi Minahasa terjadi dari mulut ke mulut atau
penuturan lisan. Penyampaian ajaran diberikan secara langsung. Inti religi Minahasa
18
adalah konsep leluhur orang Minahasa. Di masa lampau orang Minahasa mengenal
banyak opo’. Kata opo’ sendiri berarti tetua. Banyak opo’ perempuan atau laki-laki,
tapi yang dominan adalah perempuan. Hal ini terwujud dalam Lumimuut atau
Karema. Lumimuut ditafsirkan sebagai Si-Apo’-ni’mema’ in tana’, yang kemudian
digambarkan sebagai dukun tertinggi.
Konsep dosa dalam Religi pribumi Minahasa tidak begitu jelas, walaupun ada sanksi
Ilahi pada orang kikir, berbohong dan melanggar janji. Tidak ada konsep dosa yang
mutlak yang terdapat di injil.
Religi pribumi percaya bahwa ada tiga tingkatan dunia, yang harus dijalani manusia
dari awal kehidupan hingga mencapai suatu kehidupan yang lebih abadi. Tingkatan
dunia itu adalah, pertama Dunia-bawah adalah dunia gelap dan dikuasai oleh opo’-
opo’ yang sifatnya lewo’-se sakit (penyebab penyakit), atau pembawa malapetaka.
Penguasa dunia bawah sering mengganggu kehidupan manusia dan bila mereka
marah maka harus diberikan berbagai persembahan. Kedua adalah Dunia-tengah,
tempat hidup manusia secara jasmani. Dan ketiga adalah Dunia-atas, tempat hidup
para arwah dan si pencipta.
Dalam Religi Pribumi Minahasa, roh manusia mendapat bentuk baru melalui proses
kematian. Roh ini dianggap roh kelas dua dan sangat dibedakan dengan roh yang
dikaruniakan ketika manusia sebagai individu baru memulai kehidupannya, takkalah
roh masih baru, masih segar. Kehidupan di dunia hanya dianggap sebagai mata
rantai dari perputaran kehidupan, dimana manusia juga harus mengenapi ketiga
dunia yang telah digambarkan.
Agama Kristen masuk pada tahun 1563 melalui Pater Diego Magelhaenis. Agama Protestan
masuk melalui kompeni Belanda dan kemudian mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Kini jumlah pemeluknya 628.373 orang. Tempat ibadahnya ada 1.260 buah. Sedang
perkembangan agama Katolik tidak sepesat itu. Pemeluknya ada 56.684 jiwa, dengan 159
tempat ibadah.
19
Agama Protestan mempunyai suatu aliran yang dinamakan Pietisme. Aliran ini
mengutamakan perasaan atau yang disebut agama hati, karena aliran inilah yang
telah melatarbelakangi Pekabaran Injil di Minahasa, dan khususnya di Minahasa
Tengah. Dikatakan bahwa Pekabaran Injil angkatan pertama (1815 -1850), masih
membawakan Pietisme yang asli ke negri ini (contoh di Ambon, Tiomr, dan
Minahasa).
Dalam pandangan pietisme, untuk menyatakan bahwa seseorang dalam batinnya
telah bertobat, dan telah mempunyai iman Tuhan, maka pernyataan saja tidaklah
cukup. Iman Kristen itu harus dapat dilihat dari prilaku seseorang yang telah
menyatakan pertobatannya. Kesalehan harus benar-benar dikhayati dan dapat
diukur dari tindakan. Mengukur cara ini orang-orang Peitis berusaha untuk
menciptakan standart pengukur pada setiap individu dengan apa yang disebut oleh
Stoffler sebagai: (a) whole (menyeluruh) yaitu pertobatan harus benar menyeluruh,
penyerahan seluruhnya pada Yesus Kristus. Dorongan dari ideal (cita-cita) mencapai
kesempurnaanyang menyeluruh dalam kehidupan mereka yang secara nyata hidup
menjauhi hal-hal keduniawian. Hidup dalam kesederhanaan dan dapat mengikuti
Yesus Kristus. Akibatnya terdapatnya tindakan yang ekstrim yang dianggap mistik
yaitu berusaha hidup menyendiri agar dapat lebih baik dan lebih menyeluruh
berhubungan dengan Yesus Kristus. Inilah yang disebut tindakan mistik dari agama
hati. Mereka melakukan askese atau menyendiri dan berusaha menolak nafsuh
badaniah dan segala kesenangan duniawi. Mereka memandang dunia sebagai
lembah yang penuh dosa dna berusaha mengikuti jejak juru slamat dan ajarannya
secara menyeluruh. (b) Perfect atau sempurna. Jalan menuju pertobatan semua
tindakan mengendaki dilakukan sesempurnah mungkin, yaitu harus sesuai aturan.
Mengaku salah dan menyatakan bertobat, ibarat pindah dari kerajaan setan ke
kerajaan Allah, proses pertobatan ini harus terlihat dari prilaku dan sikap. Setelah
semua tindakan dalam hidup dilakukan dengan sempurna sesuai yang dikehendaki
Yesusu Kristus, maka terwujud sikap hidup yang mengikuti sikap Juru Selamat. Dalam
proses selanjutnya seorang Peitis dapat mengertikan dan melakukan Kasih dan
Karunia Allah. (c) Entire (segenap) Pertobatan menyeluruh diperoleh bila telah ada
penghayatan tentang arti pertobatan itu, sehingga dengan segenap hati menuruti
20
Kristus. Jadi segenap (entire) adalah sikap dari pengikut Kristus, yang
memperlihatkan tata nilai adalah susunan dan urutan pentingnya nilai Kristiani yang
didapat setelah melakukan tindakan-tindakan pertobatan.
Pada masa kini, sebagian besar (90 persen) orang Minahasa memeluk agama Kristen,
diantaranya 7 persen katolik. Pemeluk agama Islam berjumlah hamper 10 persen, dan
selebihnya pemeluk agama Hindu dan Buddha. Namun, unsur-unsur kepercayaan asli
mereka belum mereka tinggalkan sepenuhnya terutama dalam rangka upacara daur hidup,
aktivitas pertanian, dll.
Ritual-ritual kepercayaan :
Kelahiran
Segera setelah ibu merasa bahwa ia telah mengandung, maka setelah umur kehamilan kira-
kira 4 atau 5 bulan, para walian membuat upacra khusus : Maajoh embet wo u sesempen
(penyerahan sabuk dan pisau). Seekor ayam jago itu mengucur lurus ke piring, itu pertanda
bahwa anak yang akan lahir adalah laki-laki. Tetapi bila darah yang menetes adalah
berbelok-belok, maka anak tersebut adalah perempuan. Setelah hati ayam dibaca, yaitu
masa depan anak dan ibu dibaca melalui hati ayam, dan diceritakan tentang kelahiran yang
akan terjadi. Semua lambing tersebut ditutup dengan kain merah atau putih, dan diberikan
pada orang tua dari bayi yang akan lahir.
Menjelang kelahiran, para dukun beranak (sumosompoi) menutup sebagian rumah yang
terbuka, dan semua anjing diikan moncongnya. Para sanak keluarga yang berkumpul tidak
boleh rebut, maksud semua ini adalah agar jiwa/roh (yang baru) dari si bayi yang akan lahir
jangan segera terbang, bila mendengar suara gaduh. Pada waktu melahirkan, suami
menopang punggung istri sambil memegang seutas tali rotan. Tali rotan adalah lambing
hubungan antara Dunia-atas dengan Dunia-tengah, yang akan menjadi tempat yang baru
bagi si bayi.
Upacara selanjutnya adalah memandikan bayi. Jika tempat pemandian (sungan atau danau)
terlalu jauh, si bayi hanya dibawa sampai jarak tertentu lalu kainnya dipercikan air dari
21
tempat tersebut. Jika bayi itu perempuan, maka si ayah tidak ikut. Bayi dibawa oleh
serombongan walian perempuan, tiba di tempat mandi, kaki bayi dicelupkan ke dalam air.
Ini melambangkan nantinya ia akan menjadi pengambil air yang terampil. Upacara ini
disebut tumandi si toyaang I massu. Pada bayi laki-laki upacara lebih rumit, sebelum bayi
tiba di tempat pemandian, walian telah menyediakan sejumlah benda tajam yang sering
digunakan untuk perang. Dalam upacara ini, sang ayah mendampingi bayi, dan bayi tersebut
disentuhkan pada semuan alat-alat perang tersebut.
Kemudian kaki si bayi disentuhkan beberapa kali pada batang tu’is. Sambil menggendong si
bayi, si ayah berusaha secepat mungkin tiba di rumah karena sepanjang perjalanan, semua
orang yang ada berusaha menyentuh si bayi. Akhirnya setibanya di rumah pun, mereka
dihadang oleh banyak penduduk desa, lalu si ayah dan bayinya pergi ke batu suci
Tumotowa, dimana ia dihadang lagi oleh banyak orang, yang memukul-mukul si ayah
dengan ranting tu’is. Pada saat si ayah tiba di batu Tumotawa, ia mengelilingi batu itu
beberapa kali, sambil mengelak diri dari para penyerang. Jika persediaan batang tu’is telah
habis, maka semua keluarga dan penyerang-penyerang tadi, mengantarkan si ayah dan bayi
ke rumah sambil mengeluh-eluhkan mereka. Si bayi dianggap sebagai bakal pembela desa
yang gagah berani, dan semua yang hadir menangis sebagai tanda menyambut anggota
baru yang dianggap pendatang kecerahan. Tiba di rumah si ayah melepaskan 3 anak panah
dan mendoakan putranya agar memperoleh keberuntungan dan keselamatan. Upacara ini
diikuti oleh penyembelian seekor babi, kemudian hati babi dibaca dan walian pun meramal
tentang cara melindungi si anak.
Nama oleh kelompok Tontemboan deberikan segera setelah bayi digendong ke luar rumah.
Upacara ini dinamakan rumoyor toyaang, hingga di daerah barat sungai Rano-i-Apo’,
upacara ini dinamakan Pasiowan ngando dan dilakukan pada hari ke 9. Biasanya setelah tiga
bulan, terjadi upacara penambahan nama yang disebut tandian I makeet. Biasanya upacara
ini dipentingkan untuk anak laki-laki. Walian membawa seekor anjing pilihan, dan si bayi
berumur tiga bulan itu diselipkan ranting pada tangannya, dan walian berusaha agar bayi
dapat menyentuh anjing dengan ranting ditangannya. Lalu buntut anjing tersebut dipotong,
dan diikat pada akar tertentu lalu dikalungkan pada si bayi.
22
Perkawinan
Ikatan perkawinan pada upacara peralihan biasanya telah dilangsungkan saat calon
pasnagan mencapai umur 5-7 tahun. Biasanya orang tua menentukan calon pengantin
dengan maksud untuk lebih merapatkan hubungan antar keluarga yang telah dikenal.
Kadangkala pasangan bertemu di ladang pertanian Mapalus dan Maando. Pernikahan yang
sesungguhnya di kemudian hari tidak akan berpengaruh terhadap pemilihan calon ini.
Karena dahulu biasanya laki-laki akan mendapat lebih dari seorang istri.
Penentuan perkawinan biasanya menunggu tanda-tanda kedewasaan biologis pada
pasangan, yang sekitar 12 – 12 tahun. Persiapan menjelang perkawinan dimulai jauh
sebelumnya, yaitu pada waktu kedua keluarga mengadakan upacara pesendeen itu.
Keluarga dari si gadis telah mulai diberikan berbagai hadiah secara berturut-turut, misalnya
binatang, makanan dan sebagainya, sampai si gadis dianggap dewasa dan dapat
memberikan keturunan.
Ketika para penginjil dating ke Minahasa pada abad ke 19 pemberian harta ini dianggap
sebagai suatu masalah besar, karena disamakan dengan perdagangan wanita. Namun
sampai saat ini pemberian harta pernikahan tersebut tetap berlangsung di Minahasa,
dengan cara sendiri-sendiri dan masih sangat menonjol pada kelompok Tonsea. Soal materi
pada kelompok subetnik Tonsea sampai saat ini merupakan bagian dari adat yang belum
dilepaskan. Pada orang Tonsea perkawinan bisa dibatalkan oleh pihak keluarga apabila harta
yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam rapat perkawinan keluarga.
Upacra perkawinan dilakukan pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak
keluarga para walian. Walian yang memimpin upacara perkawinan, biasanya memotong
beberapa butir pinang, disuguhkan dengan sirih dan sedikit kapur, kepada kedua mempelai
walian itu mengunyah campuran pianang, sirih, dan kapur. Hasil kunyahan tersebut
selanjutnya dimasukkan ke dalam mulut mempelai pria dan wanita. Setelah itu walian
menghambur-hamburkan beras ke empat sudut meja, dan membagi sisa beras kepada
kedua mempelai. Upacara ini dilanjutkan dengan memotong babi gemuk dan menuangkan
arak. Dengan demikian perkawinan dianggag sah, mempelai didoakan untuk
kebahagiaannya.
23
Kematian
Kematian tidak saja merupakan persoalan keluarga, tetapi seluruh masyarakat. Salam
kematian, roh seseorang dianggap menjadi bebas, sampai roh tersebut sadar bahwa ia telah
berada dalam dunia bawah tanah, dalam dunia maut. Penduduk percaya bahwa tingkat
keteraturan dalam dunia kematian ini berhubungan dengan status roh itu ketika masih utuh
dalam bentuk individu dalam Dunia-tengah. Bila Ia seorang walian maka dalam alam yang
baru, setelah melalui proses yang diwajibkan melalui tahapan, maka ia akan mendapatkan
tempat yang serupa. Sedangkan di Dunia-tengah, keluarga harus pula melakukan
serangkaian pesta atau upacara balas jasa. Dalam pesta balas jasa kematian, biasanya
berbagai walian diikutsertakan untuk mengadakan bermacam upacara.
Pada zaman dahulu, bila yang meninggal adalah seorang kepala walak, maka perlu diadakan
semacam upacara mauri (upacara pengayauan khusus). Upacara ini adalah penting dan
memikul biaya besar. Fungsinya adalah mencari beberapa kepala orang yang akan
menerima si kepala walak yang meninggal itu. Ada yang mencap walian pemimpin upacara
pengayuan sebagai “panglima perang” di mana bagian arti religi pengayauan dilupakan. Tak
diragukan bahwa pekerjaannya yang terpenting adalah untuk mencari orang yang akan
menemani atau mengawali orang yang berpengaruh meninggal dunia. Pada zaman VOC
telah diusahakan agar kebiasaan mengayau dan pembalasan dengan cara membunuh
dilarang.
Ketentuan ini lebih diperkeras lagi, yaitu diancam dengan hukuman sejak pendudukan
Inggris di Minahasa yaitu tahun 1810 – 1816. Waktu itu diadakan semacam operasi
pemberantasan untuk cara-cara itu. Sebagai gantinya pemerintah mengganti dengan
penyembelian babi. Pemberantasan telah ditingkatkan lagi ketika Belanda kembali
menguasai Minahasa pada tahun 1817.
Simbol-simbol dasar orang Minahasa
24
Apakah sebenarnya symbol-simbol itu? Ernest Cassirer (An Essay on Man) telah
menggambarkan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yaitu berada dalam suatu
dunia simbolis yang mengelilinginya. Menceritakan tentang keadaan tempat tinggal pada
masa lalu, kepemimpianan dan religi, telah masuk pada dunia symbol. Dari symbol-simbol
itu kita dapat memahami system nilai yang berlaku pada masa lampau (Zeitgeist) Orang
Minahasa.
Jika religi pribumi sebagaimana yang tergambar dalam beberapa tanda di Batu
Pinabetengan termasuk dalam kebudayaan, maka dari batu itulah juga dapat tergambar
suatu learning proses dari orang Minahasa karena fungsi symbolic yang melekat pada
manusia adalah beranjak dari : Mitos, Religi, Bahasa, Seni, Sejarah dan pada akhirnya
membentuk ilmu (pengetahuan).
Ada empat unsur terdapat pada symbol-simbol :
1. Simbol = tanda
2. Simbol = yang bersifat abstrak
3. Simbol = yang bukan merupakan rangsangan mutlak
4. Simbol = merupakan konsep bermakna
Simbol-simbol yang terdapat dalam Batu Pinabetengan yang akan dibicarakan adalah yang
berupa tanda-tanda, yang masih jelas terlihat. Mariolijn Groustra, seorang ahli gambar-
gambar isoteric dan seorang ahli agama-agama lama, juga seorang cicit dari J.G.Schwarz,
menunjukkan tiga tanda yang penting yang terdapat di Batu Pinabetengan, yaitu :
25
Dari seluruh cerita batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa di situ adalah pusat dari
religi pribumi. Kemudian batu ini menjadi symbol dari keseimbangan dari para subetnik
yang dating kemudian. Jadi percampuran etnik untuk Orang Minahasa bukanlah sesuatu
yang baru. Menerima stink lain adalah suatu yang lumrah. Symbol yang terpenting yang
berguna sampai saat ini, adalah symbol pertama dan symbol kedua, yaitu symbol air dan
symbol energy sebagai symbol kekuatan dan keseimbangan.
Sistem Bahasa
26
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di daerah Minahasa terbagi atas beberapa dialek,
seperti dialek Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsawang, yang semuanya
merupakan dialek dari bahasa Minahasa. Dialek Ratahan dan dialek Bantik banyak
persamaannya dengan bahasa Sangir, sedangkan dialek Ponosakan menunjukan banyak
persamaan dengan bahasa Bolaang Mongondow. Namun ketiga pemakai bahasa ini
mengaku dirinya adalah orang Minahasa.
Ada yang menganggap beberapa dialek di atas sudah sebagai bahasa, yang diantaranya
masih terbagi atas beberapa dialek dan subdialek. Bahasa Tonsawang masih terbagi atas
dialek Tonsawang dan To’undanow. Bahasa Tontemboan terbagi atas dialek Makela’I dan
Matana’i. Bahasa Toulour terbagi atas dialek Tondano, Remboken, dan Kakas. Dialek
Tondano sendiri masih dapat dibagi atas tiga subdialek, yakni Tondano Kota, Tondano
Pante, dan Kampung Jawa Tondano. Dikalangan peneliti bahasa sendiri belum ada
kesepekatan apakah ada bahasa Minahasa atau tidak.
Begitu banyaknya subsuku bangsa dengan bermacam-macam bahasa, dialek, atau
subdialeknya, sehingga orang Minahasa mengangkat bahasa Melayu Manado menjadi
sarana komunikasi dikalangan mereka. Bahasa Melayu Manado ini sebenarnya merupakan
salah satu dialek local dari bahasa Melayu yang berpusat di Riau, dan menyebar sebagai
bahasa perdagangan di Nusantara. Bahasa Melayu Manado masih dapat dibedakan menjadi
dialek Melayu Pante, Melayu Gunung, dan Melayu Kota. Dialek Melayu Pante digunakan
oleh masyarakat penduduk pesisir, terutama dikalangan nelayan Borgo, sehingga disebut
juga dialek Melayu Borgo. Dialek Melayu Kota masih mempunyai variasi antara bahasa yang
digunakan oleh orang Cina, Arab, dan orang Manado sendiri.
Berikut merupakan daerah-daerah yang menggunakan kedelapan Bahasa/dialek tersebut
Bahasa Tondano dipergunakan orang di wilayah keliling Danau Tondano di bagian Barat,
bagian Selatan dan bagian Timur sampai di pantai Timur. Dialek yang terbesar dalam
wilayah dan jumlah penutur terdapat di bagian Utara, yakni kota Tondano dan sekitarnya
atau disebut kecamatan Tondano, selanjutnya di kecamatan-kecamatan Eris dan Kombi.
Terdapat juga di Minahasa Selatan di kecamatan Tompaso Baru dan Modoinding, yakni
27
penutur dialek induk Tondano terdapat di desa-desa sebagai berikut, Pinaesaan,
Kinalawiraan, Kinaweruan, Liningaan, Bojonegoro, dan dialek Kakas di desa Temboan dan
Polimaan, dialek Remboken di desa Kinamang.
Bahasa Tonsea dipergunakan orang dibagian Timur Laut Minahasa, dan wilayahnya
merupakan wilayah yang agak luas, kecuali di pulau-pulau di sebelah Utara dan Timurnya,
yaitu Bangka, Talise dan Lembeh. Tersiri atas dua dialek, yaitu dialek-induk Tonsea, yang
digunakan di sekitar Ibukota Airmadidi, Tatelu, dan Minaweret. Dan dialek Kalabat-Atas
yang digunakan di sekitar Maumbi dan Likupang.
Bahasa Tombulu dipergunakan di Minahasa bagian Barat-Laut sampai di pantai Barat bagian
Utara Minahasa. Bahasa ini berpusat di Tomohon, Sarongsong, Kakaskasen, Tanamangko
sampai sebenarnya di inti Kota Manado, tapi di sana penutur telah beralih menggunakan
bahasa Melayu-Manado. Bahasa ini merupakan bahasa pertama yang dikenal oleh para
pendatang, orang Barat, oleh karena bahasa ini dipergunakan di kota Manado sejak semula.
Istilah-istilah dalam pemerintahan Minahasa, dalam peradilan, hukum, agama alifuru dan
lain-lain semua berasal dari bahasa ini.
Bahasa Tontemboan dipergunakan di Minahasa bagian Selatan, yaitu sebelah Selatan
eilayah dialek Kakas, di Langowan, selanjutnya di Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Rumoong
dan Tombasian. Kemudian sebagian dari penutur-penutur bahasa ini menyebar ke wilayah
di seberang Sungai Ranoyapo di wilayah sekitar Gunung Lolombulan.
Bahasa Tonsawang dipergunakan oleh penduduk yang menempati wilayah administrasi
Kecamatan Tombatu, dengan pusatnya Tombatu. Moyang dari puak yang menggunakan
bahasa ini, datangnya dari pulau kecil Mayu dan Tafure di selat Maluku. Dari sana mereka
mendarat di Minahasa dekat desa Atep (pantai Tondano), kemudian ke Tompasa dan
akhirnya di tempat pemukiman mereka sekarang di sebelah selatan Gunung Soputan.
Bahasa Ratahan dipergunakan disekitar kota Ratahan, seperti di Ratahan sendiri,
selanjutnya di Rasi, Liwutung, Molompar, Tetengesan, Bentenan dan lain-lain. Moyang
mereka sebelum datang di Ratahan datang melalui Bentenan, olehnya juga puak yang
memakai bahasa ini disebut puak Bentenan dan hasil tenunan mereka disebut kain
Bentenan. Bahasa Ratahan mempunyai persamaan dengan bahasa Sangir.
28
Bahasa Bantik dipakai di wilayah kecil sebelah barat daya Manado, yakni di Malalayang, dan
Kalasei dan di sebelah utara kota, yakni Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Baikang, Molas,
Meras dan pada mulanya di kelurahan Sangir di Kota Manado, selanjutnya di desa Tanamon
di Kecamatan Tenga (Minahasa Selatan) dan di Desa Bantik (dahulu Sumoit) di Kecamatan
Poigar (Bolaang Mongondow). Seperti bahasa Ratahan, bahasa Bantik ini juga kerabat
dengan bahasa Sangir.
Bahasa Ponosakan dipakai di Kecamatan Belang yaitu Desa Tobabo dan di sebagian Desa
Watuliney, di sebelah tenggara Minahasa. Bahasa ini adalah kerabat bahasa Bolaang
Mongondow. Pemakai bahasa ini adalah satu-satunya subetnis di Minahasa yang beragama
Islam. Moyang mereka berasal dari bagian Selatan.
Berhubung terdapat banyaknya bahasa yang digunakan di Minahasa, berikut saya akan
memberikan contoh bahasa yang terdiri dari percampuran kedelapan bahasa diatas.
Contoh bahasa:
Kata Benda
Angou : ranting halus
Ari : tiang rumah
Waha : bara
Lulumbo : bibit
Kahu : emas
Watu : jimat perang
Kosei : ikan belut
Laasa : hadiah
Lamia : tempat tidur
Lapa : penjepit dari emas
Talinga : darah
Dani’na : daun
Kata Kerja
Alin : antar / bawa
29
Asar : ceritakan
Doringin : menari
Entos : petik padi
Gogar : bongkar
Tumion : pegang
Lampus : jalan terus
Kalalo : lihat
Lalo : langgar
Udung : menyelam
Kayaba : mengipas api
Hubu : menyalak
Giup : meniup
Sogot : mengikat
Kata Sifat
Arui : senang
Worang : kurus
Tirayo : sombong
Rende : dekat
Engkol : bengkok
Elur : damai
Gigir : rata / licin
Goni : cerdik
Kulo : putih
Kundes : lemah
Ena’ : tenang
Bara : panas
Kures : dungu
Beng : kacau
30
Tulisan Minahasa kuno
Informasi Dasar
Sistem tulis Minahasa purbakala ialah Ideogramatis* dan tanggal asalnya tidak
diketahui. Tulisannya horisontal dan dari kiri ke kanan
(Ideogramatis: Gambar atau simbol yang merupakan seorang, obyek atau ide,
tetapi dengan gambar atau kalimat tetap. Sebagai contoh, tulisan Cina adalah
ideogramatis).
Kata "Minahasa" artinya "konfederasi" atau juga "negara yang dibentuk melalui gabungan
beberapa daerah". Minahasa merupakan grup etnis yang hidup di Sulawesi Timur Laut dan
terdiri dari 8 suku.
Berlawanan dengan grup-grup etnis yang lain di Sulawesi, yang beragama Muslim, orang
Minahasa beragama Kristen. Walaupun jumlah sangat sedikit yang buta huruf, orang
Minahasa disebut "tolfuros", yang berarti "setengah-liar" atau "kejam". Mereka bicara
berdasarkan bahasa malayu, tetapi bentuk mereka, secara fysik, lain dibanding dengan
suku-suku bangsa lainnya di pulau itu; menurut beberapa sumber mereka mempunyai sifat
yang khas Jepang. Menurut cerita itu mereka masuk dari bagian utara ke pulau ini.
31
Sangat sedikit diketahui tentang sistem tulis Minahasa. Hanya dua halaman dapat dipublikasi (gambar atas) dari manuscript Minahasa.
32
Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat Minahasa hidup dari bercocok tanam di ladang (uma atau
kobong kering). Di lokasi tertentu, misalnya di sekitar Danau Tondano, Pineleng, Tumpaan,
dan Dimembe, penduduk bercocok tanam di sawah. Tanaman pokok di ladang adalah
jagung, yang sekaligus merupakan makanan pokok mereka. Tanah Minahasa terkenal pula
dengan hasil Kopranya. Di samping itu, banyak juga petani yang menanam pala, cengkeh,
dan lada.
Ada pula penduduk yang berjualan di pasar sebagai pedagang kecil (tibo-tibo). Mereka
menjual bumbu dapur, sayur-mayur, buah-buahan dan ikan. Pekerjaan berdagang (batibo)
biasanya dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan kaum prianya ada yang bekerja sebagai
tukang (bas), misalnya tukanag kayu (bas kayu), tukang batu (bas mesel), buruh tani, sopir,
kusir bendi, dll. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan sekitar Danau Tondano
bermata pencaharian menangkap ikan.
Dari segi perekonomian
Sektor pertanian memegang peranan utama dalam perekonomian daerah ini. Tanahnya
sangat subur untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Tanaman yang biasanya
diusahakan oleh masyarakat adalah padi sawah dan padi ladang, jagung, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau, ubi jalar, dan ubi kayu, serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Tanaman
keras yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, cengkeh, pala, kopi, vanili, cokelat.
Dari sector perikanan, daerah ini sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Di Air
Tembaga Bitung terdapat pengalengan ikan. Pangkalan utama perikanan laut juga terdapat
di Kema, Belang, Amurang, dll. Ikan yang ditangkap, selain dipasarkan di daerah sekitarnya,
juga dikalengkan dan diekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Australia dan Eropa. Tahun 1983
hasil tangkapan 14.441 ton. Hasil dari danau 2776 ton, waduk 24 ton, sungai 266 ton, dan
budi daya kolam 1.205 ton, sawah 1.782 ton dan tambak 7 ton.
33
Jenis industry yang ada antara lain adalah industry pakaian dan kulit, industry pangan,
industry kimia dan serat (10 unit); indusrti logam, alat angkutan dan jasa (315 unit); industry
bahan bangunan umum (1.345 buah), secara keseluruhan jumlah perusahaan 3.805 unit
dengan tenaga kerja 8.306 orang (th 1988).
Komoditi ekspor daerah ini terdiri dari kopra, minyak kelapa, bungkil kopra, arang
tempurung, palang, fulu, karet olahan, minyak daun cengkeh, ikan, biji jarak, rotan, kayu
gergajian, kaolin, tepung pala, kopi, teripang laut, minyak fuli, dll.
34
Sistem Pengetahuan
Mereka memiliki pengetahuan tentang pemanfaatan lahan dari tinggi dan letak lahan
tersebut. Daerah pada ketinggian 0-100 meter di atas laut dengan lereng yang datar
melandai, digunakan warga sebagai persawahan, ladang, perkebunan, perumputan. Daerah
ketinggian 100-500 meter dengan lereng datar dan landai miring, digunakan warga sebagai
sawah, ladang, hutan produksi, perkebunan, dan perumputan. Daerah yang sangat miring
dijadikan hutan lindung dengan produksi terbatas, dan perkebunan tanaman keras. Daerah
ketinggian 500-1000 meter digunakan sebagai perkebunan tanaman keras dengan teknik
terasering, sedang yang sangat miring dan curam dijadikan hutan lindung mutlak.
Pengetahuan tentang alam, dimana mereka mengetahui bahsa sifat dari tanaman / batang
tumbuhan tu’is akan semakin memanjang seiring dengan berjalannya waktu, walaupun
batang itu tidak terhubung lagi dengan induknya. Terlebih jika terus-menerus terkena air.
Sejak dulu, orang Minahasa telah mempunyai pengetahuan tentang arah mata angin,
seperti yang tertulis di asal usul masyarakat Minahasa. Karema dapat membimbing dan
menempatkan dengan tepat tubuh Lumimuut ke arah hembusan angin barat yang tengah
bertiup kencang.
Pengetahuan tentang ilmu penyulingan. Dimana, jika saguer yang dihasilkan oleh pohon
saguer disuling dan disimpan dengan baik, maka kadar alkohol dari minuman tersebut dapat
naik bahkan sampai 40 %.
Masyarakat Minahasa telah memiliki pengetahuan tentang simbol-simbol dari dahulu kala.
Terbukti dari semua bukti-bukti yang berhasil ditemukan, kebanyakan tergambar simbol
yang mempunyai banyak arti.
35
Sistem Organisasi Sosial
Dasar kelompok kekerabatan orang Minahasa adalah keluarga inti monogamy. Keluarga inti
ini bermula dari sepasang suami istri (sanga’awu), kemudian berkembang menjadi keluarga
inti beserta anak-anaknya yang belum kawin (seme’urang). Satu keluarga inti ada pula yang
disertai anak tiri atau anak angkat (maki-anak). Satu keluarga menggunakan nama fam yang
diambil dari nama fam suami, meskipun sang istri dapat pula menambahkan dengan nama
fam asalnya. Hubungan kekerabatan bersifat bilateral, artinya seseorang menghitung garis
kekerabatan melalui garis laki-laki dan garis perempuan. Adat menetap nikah yang dianut
adalah neolokal, artinya sepasang pengantin baru akan menetap di luar lingkungan kerabat
suami dan kerabat istri. Pada masa lalu orang Minahasa pernah mengamalkan adat
menetap nikah utrolokal, yaitu pengantin baru bebas memilih tinggal di lingkungan kerabat
suami atau kerabat istri.
Kelompok kerabat lain adalah patuari atau family, yang dalam istilah antropologi biasa
disebut kindred. Patuari adalah kesatuan kerabat yang timbul karena hubungan perkawinan.
Unsur-unsur kerabat yang tercakup dalam kelompok karena hubungan perkawinan bisa
menjadi cukup luas. Dalam masyarakat Minahasa, kelompok ini meliputi saudara sekandung
patuari karengan, saudara-saudara sepupu dari pihak ayah atau pihak ibu (anak ne
matuari), saudara sepupu derajat kedua dari pihak ayah dan pihak ibu (puyun ne matuari),
saudara istri (ipar). Kerabat lainnya yang termasuk kelompok patuari ini adalah orang tua
sendiri (ina, ama), saudara orang tua dari pihak ayah dan pihak ibu (atau ito; tanta atau mui)
dan kemenakan (pahanaken). Dalam pencarian jodoh, mereka berpegang pada adat
eksogami family atau patuari, artinya mereka harus mencari jodoh di luar lingkup
keanggotaan kindred.
Pada masa kini stratifikasi social orang Minahasa ditentukan berdasarkan tinggi rendahnya
pendidikan, pangkat dan kekayaan. Namun pada dasarnya orang Minahasa tempo dulu
sangat menghormati orang tua atau orang yang dituakan. Orang semacam itu dianggap
mempunyai pengetahuan luas mengenai hal adat dan agama.
36
Sistem Pemerintahan
Sejak dahulu Minahasa tidak mengenal adanya pemerintahan absolute seorang raja. Sistem
pemerintahan pada saat itu dipegang oleh walian (pemimpin agama/adat serta dukun),
tonaas (orang sakti dan ahli pertanian), teterusan (panglima perang), dan potuasaan
(penasihat). Lama kelamaan yang menjadi kepala wanua (kampong, pemukiman), adalah
tu’a um banua, yang kemudian disebut hokum tua. Para pembantunya disebut tu’a lukar
(kepala lingkungan), dan meweteng (pembagi kerja).
37
Sistem Kesenian
Di Minahasa, terdapat banyak jenis-jenis kesenian yang berbuah dari hasil kreativitas dan
pemikiran mereka. Mereka banyak menuangkan perasaan dan suasana hati mereka dengan
tari-tarian, musik dan lain-lain. Biasanya hasil-hasil dari kesenian tersebut erat hubungannya
dengan berbagai ritual, tradisi dan makna-makna tertentu.
Contoh dari kesenian:
Minahasa houses and warugas at Tondano
(From: C.G.C. Reinwardt:
“Reis naar het oostelijke
gedeelte van den Indischen
Archipel, in het jaar 1821” –
“A journey to the eastern
part of the Indonesian
Archipelago, in the year of
1821”).
Detail of a mat
Plait of uncolored, black and red strips.
Pattern: along the borders a double row with
St. Andrew-crosses filled squares. Inside them
an uncolored border of meanders, enclosing
half-crosses. In the centre two rows with birds
turn their heads to each other, and further
stars, uncolored on a black ground. The whole
mat is traversed by slanting red stripes.
38
Minahasa, North Sulawesi. Measurements: 186 x 53 centimeters. State-museum for
Ethnology, Leyden, the Natherlands, Cat. no. 695/18.
Cotton weaving
Bentenan cloth, “pasolongan rinegetan”. The weaving
consist of three roundly woven track, sewn together and
ikat in the warp. The pattern is formed by diamonds,
squares, triangles, meanders and anchor-motives and is
probably inspired by the “patola” – weavings. Colors: wine-
red, light and dark-blue, beige and light-brown. Decorated
with little bells at the lower rim. The cloth is lightly
damaged and provided with a set-up piece. Due to the
finer weaving it deviates from the common type of
Bentenan cloths. Found with the Tombulus, Minahasa.
Date: 1888, Measurements: 167 x 82 centimeters.
Djakarta Meseum, Indonesia, Cat. no. 2766.
Massive yellow-copper anklets, “wentel”.
Cast: the decoration consists of pyramids, zigzag-lines
and globules.
Originated from Tonsea, Mianahasa.
a. Diameter: 10 centimeters, height 3,5
centimeters.
b. Diameter: 8 centimeters, height 5 centimeters.
Head, made from wood
39
Head-hunter’s trophy, consisting of an oval piece of
wood, decorated with tufts of human hair, which are to
represent beard and hair of the head. Pieces of the skull
serve as teeth. With almond-shaped eyes, a long narrow
nose, narrow right eye-brows.
Measurement of the part of the mask: 127 mm long and
73 mm wide. The exact place of origin is unknown. The
article is in the collection of the Museum of Ethnology in
Rotterdam (inventory no. 493) and was obtained at its
establishment in 1883.
After a drawing of Pleyte (see C.M. Pleyte, “Indonesian
mask”, reprint from “Globus”, Band 61, no. 21 and 22 page: 64).
Wooden statue, “teteles”, (this word is derived from “teles” – to
buy).
Used by the priests to drive away diseases.
The board is of dark wood, the contours of the figures are long;
the hands are stretched along the side. Undecorated and
unclothed: set up on a wooden foot-piece.
Measurement: height 56 centimeters, breadth 14 centimeters.
Place of origin: Tombulu, Minahasa.
Djakarta Museum, Indonesia, Cat. no. 2778.
A little wooden board with the representations of a sacrificial ritual.
40
Carved out on both side. Depicted are: people, animals
(pigs), plants (a banana-tree) and some object.
The board is of dark wood, contours of the figures are
cut of and filled up with lime.
Place of origin: Sawangan, Tonsea, Minahasa.
Measurement: 17 x 5,5 centimeters.
The board is of dark wood, the contours of the figures
are and is probably in the Museum for Ethnology in
Rotterdam.
After a picture in “communications Netherlands
Missionary Society” (Mededelingen Nederlandsch
Zendelingsgenootschap), Volume VI, 1862, opposite page: 408.
Bagian atas
Tari Cakalele, tari perang Minahasa
Bagian bawah
Tari marambak, yang merupakan pengungkapan
sukacita dengan saling pegang ruas tangan, siku
dan jari tangan sebagai ungkapan, jabat tangan.
Tari Kabasaran
Menari dengan pakaian serba merah, mata
melotot, wajah garang, diiringi tambur
41
Tari Kabasaran
sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda
dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan
yang lemah gemulai.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata;
Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi
lebih garang dalam bertarung.
Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong,
Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut Kawasalan, yang
berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.
Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan
dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari,
sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional
Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi
“B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki
keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi
tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.
Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara
adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila Minahasa
berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei (prajurit
perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan
jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4
yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke
kanan.
Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang
merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena
penari kabasaran adalah penari yang turun temurun.
Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada
42
Tari Kabasaran
lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak
tersebut terdiri dari :
1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya
berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan
pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan
keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu
agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari
pengawalan penari Kabasaran.
2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya,
mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk
menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa
berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam
peperangan.
3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri
dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang
gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando
pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-
aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan,
Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi
Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari
diperbolehkan mengumbar senyum riang.
Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain
“Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di
Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken
tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja
merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara
khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei,
mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan
memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.
43
Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga
kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena
bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton,
Pasolongan, Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan
bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai
bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau
kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng
(bel yang terbuat dari kuningan).
Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran
yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa
1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua)
dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan
keluarga pemimpin negeri.
2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen,
kontrolir oleh Kabasaran.
3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).
4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24
hari.
Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas,
akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat
itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap
kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi
desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang
nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan
semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam
organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang
Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne
Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa
beras, gula putih, dan kain.
44
Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan
beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas
dengan luka-luka yang mengerikan.
Tari Katrili : Tarian Tradisional Warisan Portugis
Tari katrili sudah sangat akrab dengan masyarakat suku Minahasa.
Meski sudah berusia ratusan tahun, tarian tradisional ini masih
tetap dilestarikan, walau tak banyak yang tahu. Tarian yang biasa
digelar pada acara-acara penting ini adalah warisan bangsa Portugis
dan Spanyol, yang dikenalkan saat mereka menjajah bangsa kita
abad 16 silam.
Para penari memulai tarian dengan lincah serta wajah-wajah ceria. Para penari terlihat
begitu dinamis dan tetap semangat, seiring irama bernuansa musik country yang mengiringi
tarian ini. Tarian tradisional suku Minahasa ini disebut tari katrili.
Tarian yang menggambarkan tentang pergaulan remaja dan muda-mudi suku Minahasa ini,
merupakan tarian yang diwarisi dari bangsa Portugis dan Spanyol, yang pada abad 16 silam
sempat menjajah negeri kita.
Lihat saja kostum yang dikenakan para penari ini. Gaun dan stelan jas penari wanita dan
prianya terlihat jelas bercirikan budaya Eropa.
Meski tarian ini merupakan warisan penjajah, tarian yang selalu
dipertunjukan di setiap acara-acara seremonial pemerintah atau
di pesta-pesta yang digelar warga ini, ternyata tetap dilestarikan
dan dipelihara masyarakat suku Minahasa. Bahkan tarian ini telah
menjadi salah satu tarian utama bagi suku Minahasa.
Selain kerap dipertunjukan di acara pesta, tarian warisan Portugis dan Spanyol ini juga selalu
dilombakan di sekolah-sekolah ataupun di berbagai festival kebudayaan. Karena usianya
45
telah ratusan tahun, gerakan-gerakan tarian pun banyak dimodifikasi atau diubah sesuai
keinginan para instrukturnya.
Sayangnya irama musik pengiring tarian ini kini lebih banyak menggunakan rekaman kaset
ataupun rekaman cakram. Padahal beberapa tahun lalu musik pengiring tarian ini masih
menggunakan alat musik kolintang, yang juga merupakan salah satu alat musik tradisional
asli budaya suku Minahasa.
Kolintang, alat musik Minahasa yang mendunia
Alat musik kolintang termasuk jenis instrument perkusi yang berasal dari Minahasa Sulawesi
Utara. Alat musik itu disebut kolintang karena apabila di pukul berbunyi : Tong-Ting –Tang.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer
diatas kedua kaki pemain yang duduk selonjor di lantai.dan dipukul pukul. Fungsi kaki
sebagai tumpuan bilah bilah kayu(wilahan/tuts) kemudian diganti dua potong batang pisang
atau dua utas tali. Konon penggunaan peti resonator sebagai pengganti batang pisang mulai
di gunakan sesudah Pangeran Diponegoro di buang ke Menado (tahun 1830) yang
membawa serta “gambang” gamelannya.
Penggunaan kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan rakyat Minahasa, yang
biasanya dipakai dalam upacara upacara pemujaan arwah arwah para leluhur. Dengan
berkembangnya agama Kristen yang di bawa oleh misionaris misionaris Belanda, eksistensi
kolintang yang merupakan bagian dari kepercayaan animisme menjadi demikian terdesak
bahkan hampir punah, menghilang selama lebih dari 50 tahun. Setelah perang Dunia
II,kolintang muncul kembali dipelopori oleh Nelwan Katuuk, seniman tuna netra asal
Minahasa bagian utara yang merangkai nada kolintang menurut skala diatonis.
Pada tahun 1952, di Minahasa bagian selatan (Ratahan) seorang anak berusia 10 tahun
bernama Petrus Kaseke, terinspirasi membuat kolintang dengan dasar petunjuk orang orang
tua yang pernah melihat kolintang dan dari mendengar suara musik kolintang yang di
populerkan lewat siaran RRI Minahasa yang di mainkan oleh Nelwan Katuuk. Sulitnya
hubungan transportasi antara Minahasa bagian utara dengan Minahasa bagian selatan pada
46
waktu itu tidak meluruhkan semangat putra pendeta Yohanes Kaseke dan almarhum
Adelina Komalig untuk berkreasi tanpa melihat contoh, dengan bermodal potongan
potongan kayu bakar yang diletakkan di atas dua batang pisang dan di tuning (stem) nada
natural dengan rentang nada 1 oktaf.
Sebuah prestasi yang luar biasa jika pada tahun 1954, Petrus Kaseke yang kala itu masih
terbilang bocah mampu membuat kolintang dua setengah oktaf nada diatonis dengan peti
resonator.Kemampuannya terus terasah dan berkembang, terbukti pada tahun 1960
berhasil meningkatkan rentang nada menjadi tiga setengah oktaf yang dimainkan oleh dua
orang pada satu alat.
Bersamaan dengan bea siswa dari Bupati Minahasa untuk meneruskan kuliah di Universitas
Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1962, suami dari Endang soetjiowati terus
mengembangkan alat musik kolintang dengan mengganti jenis jenis kayu wilahan yang ada
di Minahasa seperti kayu Telur, Bandaran, Wenang, Kakinik dengan kayu yang ada di pulau
Jawa yang menghasilkan kwalitas nada yang sama yaitu kayu Waru. Kolintang mulai
diproduksi untuk di jual pada tahun 1964,sambil dipopulerkan melalui pentas pentas
kolintang keliling Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, dengan membentuk kelompok
musik
Waktu terus berlalu, usaha dari bapak dua anak Leufrand Kaseke dan Adelina Kaseke
semakin berkembang. Kelompok musik yang dibentuknya sudah pentas melanglang ke
berbagai negara di dunia. Mulai tahun 1972 hingga sekarang, ia tinggal Salatiga Jawa Tengah
dan membangun usahanya, dimana bahan baku kolintang berupa kayu Waru mudah di
dapatkan di sekitar Rawa Pening Salatiga. Pemesanan dari luar negeri terus mengalir, antara
lain dari Australia, China, Jepang, Korea, Hongkong, Swiss, Kanada, Jerman, Belanda,
Amerika bahkan Negara Negara di Timur Tengah. Hampir semua kedutaan besar Indonesia
di dunia mengkoleksi alat musik kolintang buatan Petrus Kaseke.
Inovasi terus menerus dari Petrus Kaseke dan pengrajin kolintang lainnya sudah
menempatkan kolintang setara dengan instrument musik moderen popular seperti gitar,
biola, piano, xylophone dan marimba. Sehingga agar dapat dikategorikan alat musik etnis
tradisional, kolektor dan distributor alat musik etnis Asia dari Korea, harus memesan
47
kolintang dengan desain yang khusus, yang lebih mengesankan kuno. Jaman sekarang
kolintang sudah merupakan alat musik yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia pada
umumnya,dengan penyebarannya di sekolah sekolah, gereja dan perkumpulan lainnya,
instansi-instansi pemerintah juga seringnya festival festival dan lomba kolintang baik tingkat
daerah maupun tingkat nasional ditambah pula era globalisasi dan internet membantu
mempopulerkan kolintang keseluruh dunia.
Daftar Pustaka
48
Palm, Hetty. (1958). Ancient Art of The Minahasa. Jilid XXXVI. Cetakan lepas dari majdalah
untuk ilmu bahasa, ilmu bumi dan kebudajaan Indonesia, Jakarta
H.M, Taulu. (1952). Kamus Etymology Melesung. Yayasan Budaya “Membangun”, Sulawesi
Utara
Kantor Statistik Kabupaten Minahasa. (1989). Minahasa Dalam Angka 1988. Minahasa
Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1997). PT Delata Pamungkas, Jakarta
Mamangko, Roy E. (2002). Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan-Telaan Historis,
Teologis, Antropologis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
http://www.minahasa.go.id/portal
http://www.minahasa.net/id/about-map.html
http://daunews.files.wordpress.com
http://www.theminahasa.net/social/tradition/food/indexid.html
http://www.theminahasa.net/social/language/writingid.html
http://digilib.stiefesatuan.ac.id/gdl.php
http://minsel.go.id/sda/html
http://kolintang.co.id
49
Biografi
Nama saya Odrine, biasa dipanggil Ine. Perempuan. Alamat saya di Poris Indah blok D/238
Tangerang. Saya lahir di Jakarta, 2 Oktober 1989. Hobi saya adalah menulis banyak hal,
membaca, dan olah raga.
Saya saat ini berkuliah di Tho London School of Public Relations Jakarta, jurusan Mass
Communication, batch 11. Saya lulus dari SMP dan SMA san Marino Jakarta Barat.
50
Recommended