View
40
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
Soal.
1. Ny. Viona (50 tahun, 60 Kg) dirujuk ke RS dengan keluhan ada kekakuan dan
nyeri pada lutut, siku, pergelangan tangan, dan kaki disertai eriterima dan
bengkak pada daerah tersebut. Dua minggu yang lalu ada keluhan nyeri pada
saat buang air kecil. Hasil pemeriksaan Lab. Menunjukkan kadar asam urat
serum >10 mg/dl dan leukositosis. Analisa urine + 10 eritrosit. Pada
pemeriksaan radiologis ditemukan adanya batu pada bili-buli.
Terapi :
Na. diklofenak (retard) 100 mg 1x1
Kolkisin 1 gr
Allupurinol 300 mg 1x1
Na. Bikarbonat 2x1
Pertanyaan :
a. Jelaskan patofisologi dari penyakit diatas
b. Jelaskan kaitan antara gejala yang timbul, data Lab/Radiologi dengan
pathogenesis penyakit
c. Jelaskan tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat
diatas
d. Jelaskan mengapa penyakit tersebut diberi terapi ;
- Na. Diklofenak bentuk retard
- Na. Bikarbonat
2. Jelaskan ;
a. Perbedaan OA dan RA berdasarkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
tampak (pola sendi, rasa nyeri, kekakuan, dan gambaran ekstraartikular).
b. Faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan OA
c. Aspek perubahan biokimiawi kartilago yang menyebabkan OA
3. Ny. Nia (67 tahun, 65 kg) dengan keluhan tidak bisa berjalan, nyeri dan kaku
pada tulang punggung, pinggul, kaki dan tangan. Performance tubuh Nampak
kiposis. Hasil penelitian GMP T-Score (-3,5). Terapinya Kalsitonin 100
IU/hari, (SC) raloxifen 60 mg/hari, risedionat 30 mg/mgg. Riwayat obat 2
tahun yang lalu mendapatkan terapi prednisone 5 mg, preparat kalsium dan
vitamin D serta HRT.
Pertanyaan.
a. Malina T-score (-3,5)
b. Jelaskan kaitan antara gejala yang muncul dan pathogenesis penyakit
c. Jelaskan proses kehilangan massa tulang pada proses penuaan.
d. Apa yang dimaksud dengan “Burn turnover” pada OP, sebutkan marker
“Burn turnover”
e. Jelaskan tujuan pengobatan OP secara umum
f. Jelaskan tujuan pengobatan terapi 2 mekanisme dari masing-masing obat
pada kasus tersebut
g. Apa yang harus diperhatikan untuk pemakaian susu berkalsium tinggi
pada lansia ?
4. Batuk dan Asma
Pak joni (70 tahun, BB 60 kg, TB 167 cm, TD 170/100 mgHg), perokok berat,
menderita glukoma. Karena tidak tahan sakit, dokter mata memberikan obat
tetes beta bloker, + 30 menit setelah itu dia merasa sesak napas. Melalui
anamnesa dokter jaga, Pak Doni memang sebelumnya menderita asma dan
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
Pertanyaan :
a. Patogenesis asma
b. Penggolongan obat asma
c. Jelaskan obat okuler beta blocer
d. Terapi penanganan kasus tersebut
5. GIT
a. Jelaskan pathogenesis penyakit Tukak peptikum, dan reflukgastro
esofageal (GERD)
b. Bagaimana terapi penyakit akibat bakteri Helicobacter pylori
c. Jelaskan patofisiologi infeksi usus
d. Penatalaksanaan terapi infeksi usus
Jawaban
1. A
2. B
3. C
4. D
5. Gastrointerstinal (Saluran Pencernaan) atau GI.
a. Patogenesis tukak peptik
Penyakit tukak peptic (TP) yaitu tukak lambung (TL) dan tukak
duodenum (TD) merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan
dalam klinik terutama kelompok umur diatas 45 tahun.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab utama TP/TD adalah
H.pylori sehingga penyakit ini disebut juga sebagai Acid H.pylori disease,
namun demikian peranan faktor-faktor lain dalam kejadiaan TP jelas ada
sehingga TP dapat dikatakan sebagai penyakit multifactor.
Telah disebutkan diatas bahwa etilogi TP/TD yang telah diketahui
sebagai faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa adalah
helicobacter pylory, obat anti inflamasi non steroid (AINS), asam
lambung atau pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan satu atau
beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada kejadiaan TP.
a. Faktor Agresif
Helicobacter pylory, asam lmbung/pepsin pada kerusakan
mukosa. Helicobacter pylory adalah bakteri gram negatif yang dapat
hidup dalam suasana asam dalam lambung/ duodenum (antrum,
korpus, dan bulbus), berbentuk seperti kurva/S-shaped dengan ukuran
panjang sekitar 2 μm dan diameter 0,5 μm, mempunyai satu atau lebih
flagel pada salah satu unjungnya. Bakteri ini ditularkan secara feko-
oral atau oral-oral. Didalam lambung terutama terkonsentrasi dalam
antrum, bakteri ini berada pada lapisan mucus pada permukaan epitel
yang sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/antar epitel.
Bila terjadi infeksi Helicobacter pylory, maka bakteri ini kan
melekat pada permukaan epitel dengan bantuan adhesion sehingga
dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah zat
sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis
kronik aktif atau duodenitis kronik aktf. Untuk terjadi kelainan
selanjutnya yang lebih berat yaitu tukak.
Apabila terjadi infeksi Helicobacter pylory, Host akan memberi
respon untuk mengeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui
mobilisasi sel-sel PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara
intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi
atau sitokinin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor
nekrosis factor, dan lain-lain. Yang bersama-sama dengan reaksi imun
yang timbul justu akn menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi
baktri dan infeksi menjadi kronik.
Seperti dikethui bahwa setelah Helicobacter pylory berkoloni
secara stabil terutama dalam antrum, maka bakteri ini akan
mengeluarkan bermacam-macam sitotoksin yang secara langsung
dapat merusak epitel mukosa gastroduodenal, seperti vacuolating
cytotoxin (Vac A.gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel,
cytotoxin associated gen A (CagA gen). disamping itu, Helicobacter
pylory juga melepaskan bermacam-macam enzim yang dapat merusak
sel-sel epitel, seperti urease, protease, lipase, dan fosfolipase.
Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling bertanggung jawab terhadap
kerusakan sel-sel epitel. CagA gen merupakan pertanda virulensi
Helicobacter pylory dan hamper selalu ditemukan pada tukak peptic.
Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi ammonia
yang toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase
A2 menekan sekresi mucus menyebabkan daya tahan mukosa
menurun, merusak lapisan yang kaya lipid pada apical sel epitel dan
memlaui kerusakan sel-sel ini, asam lambung berdifusi balik
menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terbentuk tukak
peptic.
Helicobacter pylory yang terkonsentrasi terutama dalam
antrum menyebabkan antrum predominant gastritis sehingga terjadi
kerusakan pada D sel yang mengeluarkan somastatin, yang fungsinya
mengerem produksi gastrin. Akibat kerusakan sel-sel D, produksi
somatostatin menurun sehingga produksi statin akan meningkat yang
merangsang sel-sel parietal mengeluarkan asam lambung yang
berlebih. Asam lambung yang masuk ke dalam duodenum sehingga
keasaman meningkat menyebabkan duodenitis (kronik aktf) yang
dapat berlanjut menjadi tukak duodenum.
Asam lambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan
gastric metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup Helicobacter
pylory dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih
menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan
menekan produksi mucus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan
mukosa lebih menurun dan mempermudah terbentuknya tukak.
Defek atau inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi
Helicobacter pylory atau akibat OAIN akan mempermudah difusi balik
asam/pepsin kedalam mukosa/jaringan sehingga memperberat
kerusakan jaringan. Pada pathogenesis TP, maka asam lambung yang
berlebih merupakan faktor utama terjadinya tukak sedangkan faktor
lainnya merupakan faktor pencetus.
b. Obat Antiinflamasi non-steroid (OAINS).
OAINS dan asam asetil salisilat (Acethyl salicylic =ASA)
meruapan salah-satu obat yang paling sering digunakan dalam
berbagai keperluan, seperti antipiretik,antiinflamasi, analgetik,
antitrombolitik, dan kemoprevensi kanker kolorektal. Pemakaina
OAINS/ASA secara kronik dan regular dapat menyebabkan terjadinya
resiko pendarahan gastrointestinal 3 kali lipat disbanding yang bukan
pemakai. Pemakaian OAINS/ASA bukan hanya dapat menyebabkan
kerusakan structural pada gastrodoudenal, tetapi juga pada usus halus
dan usus besar berupa inflamasi,ulserasi atau perforasi.
Pathogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama
gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek
toksik/iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA
yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai
tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang
menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arikidonat sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin.
Seperti diketahui bahwa, prostaglandin endogen sangat berperan/
berfungsi dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran
darah mukosa, poliferase sel-sel epitel, sekresi mucus dan bikarbonat,
mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung..
Sampai saat ini dikenal 2 jenis isoenzim siklooksigenase
(COX) yaitu COX-1 dan COX-2.
COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, juga dalam
ginjal, endotelin, otak dan trombosit; berperan penting dalam
pembentukan prostaglandin dari asam arikidonat. COX-1
merupakan House-keeping dalam saluran cerna
gastrointestinal.
COX-2 ditemukan dalam otak dan ginjal, yang juga
bertanggung jawab dalam respon inflamasi/injury.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin
pada penggunaan OAINS/ASA melalui 4 tahap,yaitu : menurunkan
sekresi mucus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan
poliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan
kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerja sama platelet dan
mekanisme koagulasi.
Endote vascular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator
prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan atau hambatan
(COX-1) akan timbul vasokontriksi sehingga aliran darah menurun
yang menyebabkan nekrose epitel.
Hambatan COX-2 menyebabkan peningkatan pelekatan
leukosit PMN pada endotel vascular gastroduodenal dan mesenteric,
dimulai dari pelepasan protease, radikal bebas oksigen sehingga
memperberat kerusakan endotel dan epitel. Perlekatan leukosit PMN
menimbulkan statis aliran mikrovaskular,iskemia, dan berakhir dengan
kerusakan mukosa/tukak peptic
c. Faktor Lingkungan atau penyakit lain
Yang merupakan faktor resiko terjadinya tukak,yaitu :
a).merokok (tembakau, sigaret) meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi Helicobacter pylory dengan menurunkan faktor pertahanan
untuk Helicobacter pylory. b). faktor strez, malnutrisi, makanan tinggi
garam, dan c). faktor genetic.
d. Faktor-faktor detensif
Apabila terjadi gangguan satu atau beberapa dari faktor
pertahanan mukosa, maka daya tahan mukosa akan menurun sehingga
mudah dirusak oleh faktor agresif yang menyebabkan terjadinya tukak
peptic.
Ada 3 faktor pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan
mukosa,yaitu :
Faktor preepitel
Faktor epitel
Faktor subepitel
b. Pathogenesis penyakit refluks gastroesofageal
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal refluks
disease/GERD adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esophagus,faring, laring, dan sluran nafas.
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktoral. Esophagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofagial apabila :1) Terjadi
kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan
mukosa esophagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa
esophagus , walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan
esophagus tidak cukup lama.
Esophagus dang aster dipisahnkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(High pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmHg).
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme : 1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak
adekuat, 2). Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES
setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa pathogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensive dari esophagus
dan faktor efensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensive
esophagus adalah :
Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar GERD ternyata mempunyai
tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks
retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intrabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang
normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES :1). Adanya
hiatus hernia, 2). Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah
tonusnya), 3). Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic,
theofilin, opiate dll, 4) faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan
kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan berkembangnya tehnik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus Gerd dengan tonus LES yang normal
berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES
relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat
(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada pathogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopik
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus Hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus
LES.
Bersihan asam dari lumen esophagus. Faktorfaktor yang berperan
terhadap bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltic, ekresi
air liur dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisamya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh
kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin
besar kemungkinan terjadinya esophagitis. Pada sebagian besar GERD
ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
Ketahanan epithelial esophagus. Berbeda dengan lambung dan
duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mucus yang melindungi
mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
1. Membrane sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ke
jaringan esophagus.
3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient,oksigen, dan
bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+dan CO2.
4. Sel – sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentranspor ion
H+dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,
sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H+. yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi
daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya
rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat
pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun, dari
kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,
antara lain; dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed
gastric emptying.
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam pathogenesis GERD
relative kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian
ada hubungan terbalik antara infeksi Helicobacter pylori denga strain
yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esophagitis, Barrett’s
esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi
Helicobacter pylori terhadap GERD merupakan kosekuensi logis dari
gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi Helicobacter pylori sangat tergantung terhadap
distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh
gejala refluks pra-infeksi Helicobacter pylori dengan predominant antral
gastritis,pengaruh eradikasi Helicobacter pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD. Sementara itu, pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi Helicobacter pylori dengan Corpus
predominant gastritis, pengaruh eradikasi Helicobacter pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD.
Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi Helicobacter pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi Helicobacter pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi
Helicobacter pylori dengan Corpus predominant gastritis, eradikasi
Helicobacter pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang
pada pasien-pasien dengan infeksi Helicobacter pylori dapat
mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta
eradikasi Helicobacter pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum
pengobatan PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa
non-acid reflux turut berperan dalam pathogenesis timbulnya gejala
GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan
refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini,
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
c. Terapi Penyakit akibat bakteri Helicobacter pylori.
Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi Helicobacter pylori (Hp) untuk
menetapkan adanya infeksi sebelum memberikan pengobatan atau untuk
penelitian epidemiologi. Selain itu untuk mengamati apakah telah tercapai
eradikasi sesudah pemberian obat antibiotic.
Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter
pylori adalah :
a. Non Invasif :Serologi,IgA anti Hp, urea breath test : 13C,14C
b. Invasif/endoskopi : Tes Urease : CLO,MIU, Histopatologi, Kultur
mikrobiologi, polymerase chain reaction (PCR).
1. Serologi
Pemeriksaan ini banyak digunakan dalam penelitian
epidemiologi karena relative murah dan dapat diterima oleh kelompok
anak-anak yang tidak mau diperiksa dengan cara yang invasive seperti
gastroskopi.
Pada umumnya yang diperiksa adalah antibody IgC terhadap
kuman Helicobacter pylori. Cara ini biasa digunakan untuk penelitian
atau epidemiologi sebelum pemberian terapi eradikasi. Tehnik yang
dipakai adalah dengan menggunan EIISA, Westernblot, fiksasi
komplemen, dan imunofluoresen.EIISA paling luas penggunaannya.
2. Urea Bresth Test (UBT)
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi infeksi Helicobacter pylori
secara non invasive yang dipelopori pada tahun 1987 oleh Graham dan
Bell, cara kerjanya adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang
mengandung isotope Carbon, baik 13C ataupun 14C. bila ada aktivitas
urease dari kuman Helicobacter pylori akan dihasilkan isotope CO2
yang diserap dan dikeluarkan melalui pernapasanhasilnya dinilai
dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan
dengan nilai dasar. Bila hasinya positif berarti terdapat infeksi kuman
Helicobacter pylori. 13C merupakan isotop nonradioaktif, ditemukan
pada 1,11% CO2 yang keluar melalui udara pernapasan normal..
dianggap positif bila terjadi kenaikan
Recommended