View
43
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI
A. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, tiada tuhan melainkan Allah.
Shalawat dan salam keatas jungjungan besar kekasih Allah yang paling angung
Saidina Muhammada Saw.
Dan didalam pembahasan ini kami akan menerangkan masalah Ushul Fiqh yang
berkaitan dangan “Dalil-dalil yang tidak Disepakati” Dalil-dalil hukum yang
diperbedakan dikalangan ulama antara lain yang terpenting adalah.
1. Istihsan
2. Maslahah Mursalah
3. ‘Urf (Adat Istiadat)
4. Istishab
5. Syar’u Man Qoblan
6. Mazhab Sahabi
7. Sadd Az-zari’ah
Dan didalam makalah ini kami akan menerangkannya satu-satu secara terperinci
tentang Dalil-dalil Hukum yang tidak Disepakati. Atau dalil-dalil hukum yang
diperbedakan dikalangan para ulama.
1
1. Pengertian Istihsan.
Dari segi bahasa Istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari
kata Al-husnul (baik). Sedangkan istihsan menurut istilah Ushul Fiqh seperti
dikemukakan oleh Wahhab az-Zuhaili, terdiri dari dua defenisi yaitu:
1). Memakai qiyas khafi dan meninggalkannya qiyas jali karena ada pentunjuk
untuk itu.
2). Hukum pengecualian dari kaida-kaida yang berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan yang disebut pertama dikenal dengan Istihsan qiyasi, sedangkan yang
kedua disebut Istihsan Istisnaiy.1
Defenisi Istihsan di kalangan ahli Ushul Fiqh Berbeda-beda, Istihsan menurut
bahasa ialah seperti yang dikemukakan syekh Abdul Wahhab Khollaf,
mengembalikan sesuatu kepada yang baik, menurut istilah Ushul Fiqh yaitu
memperbandingkan yang di lakukan oleh mujtahid dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas
khafi (yang tersembunyi). Di sini terdapat kecendrungan yang lebih kuat untuk
mencela perbandingan yang di kemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak
berdasarkan nashnya, nash disini maksudnya penagmbilan sesuatu hukum dari Al-
qur’an dan Sunnah Rasulullah, dalam hal ini terjadi dua pendapat, pertama terang-
terangan memperlakukan hukum, dan yang kedua secara sembunyi-sembunyi, di sini
mujtahid sendiri yang menegakkan dalil hukumnya untuk menguatkan bentuk yang
sembunyi-sembunyi itu dan membetulkan bentuk pandangan zahir, ini namanya
menurut syar’I Istihsan, begitu juga apabila dia itu hukum kulli, mujtahid itu sendiri
yang mengemukakan dalil hukumnya, bahwa istihsan itu adalah perincin dari hukum
kulli dihukumkan kepadanya denagn hukum lain ini juga menurut syari’at di
namakan istihsan.
Dari defenisi di atas itu dapat ditarik kesimpulannya bahwa istihsan itu dibagi
menjadi dua yaitu: qiyas khafi dan qiyas jali 2
1 Satria Efendi, Ushul Fiqh. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm: 142-1432 Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, Pt Renika Cipta, 1995) hlm, 93-94
2
Para ulama ynag menerima istihsan sebagai dalil mengembalikan dasar istihsan
kepada al-qur’an dan Sunnah Rasulullah , dan didalam al-Qur’an Allah jelaskan
didalam suroh Al-zumar ayat 17-18,
Ahli Ushul fiqh dari Mazhab Hanafiy dan Hambaly sekalipun perbedaan didalam
mempormulasikan kata-katanya namu mereka sepakat bahwa istihsan ialah
perpindahan dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebahagian kasusu atau
meninggalkna suatu hukum karna adanya hukum yang lebih kuat.
Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan
menggunakan umumnya nash, nash disini Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah dan
kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas, oleh karena
itu bahwa istihsan dapat kita simpulkan istihsan itu adalah “perpindahan dari suatu
hukum yang ditetapkan oleh suatu dalil syara’ dalam suatu kasus tertentu kepada
hukum lain” karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan sesuai
dengan syari’at Islam.3
Macam-Macam Istihsan
Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum ada berbagai macam istihsan
menurut ulama Hanafiyyah antara lain:
1). Berpindahnya suatu hukum dari qiyas yang dzohir kepada suatu qiyas khafiy,
2). Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada
yang khusus.
3). Berpindahnya suatu hukum yang kully kepada hukum yang merupakan
kekecualian, misalnya orang yang dititip barang harus bertanggung jawab atas
yang dititipkan kepadanya apabila yang menitipkan itu meninggal, maka yang
dititip harus mengganti barang tadi apabila dia melalaikan pemeliharaannya.
Apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari suatu dalil kepada dalil lain
yang lebih kuat maka pengertian semacam ini tidak ada yang akan menolaknya lagi.
Kehujjahan Istihsan
3 H.A. Dzali Ushul Fiqhi Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hlm160-170
3
berdasarkan defenisi dan macam-macam istihsan dapat diketahui bahwa istihsan
pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri sebab
hukum-hukum tersebut pada macam pertama, berdasarkan dalil qiyas khafi lebih
diutamakan dibandingkan qiyas jali, lantara itu dapat menentramkan mujtahid dengan
jalan istihsan,
2. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah di sebut juga Maslahah Muthalaqoh, karena tidak dibatasi
oleh dalil pengakuan atau pembatalan adapun didalam istilah ahli Ushul Fiqhi ialah:
“Memberikan Hukum sayar’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat didalam nash
dan ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaitu kemaslahatan yang
tidak ditegakkan oleh syara’ dan tdak pula ditolak”
Hasbi Ash Shiddieqy memeberikan defenisi maslahah mursalah sebagai berikut:
memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala jalan yang merusak makhluk
sedangkan Hanafy M. A. mendefenisikan maslahah mursalah sebagai berikut maslaha
mursalah adalah kebaikan yang tidak di singgung-singgung syara’ untuk mengerjakan
atau meninggalakannya sedangkan kalau dikerjakan akan membawa mamfaat atau
menghindari mudharat.
Dalam hal ini barangkali kita bisa menyimpulka bahwa maslahah mursalah
adalah memeberikan hukum terhadap sesuatu kasus atas dasar kemaslahatan yang
secara khusus yang tidak tegas dinyatakan didalam nash, sedangkan apabila
dikerjakan jelas akan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apa bila
ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum.4
Tingkatan Maslahah
Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia
ahli ushul fiqh membagi maslahah kepada tiga bahagian sebagai berikut:
1). Al- maslahah Al- dharuriyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan
dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat, demikian penting
4 Ibid, hlm, 171-172
4
kemaslahatan ini apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi
kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tata kehidupan manusia
kemaslahatan ini meliputi agama, diri, akal, keturunan dan harta.
2). Al-maslahah Al-hajiat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan
kesulutan yang dihadapi , termaksud kemaslahatan ini semua ketentuan hukum
yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya bentuk
keringana dalam ibadah.
3). Al-maslahah Al-tahsiniyat maslahah ini sering disebut dengan maslahah
takmiliyat yaitu sesuatu kemaslahatan yang sikapnya pelengkap dan keluasan
terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat kemaslahatan ini dimaksudkan
untuk kebagusan dan kebaikan budi pekerti.
Dan ditinjau dari segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang langsung
mengaturnya terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1). Maslaham Al-mu’tabarah adalah suatu kemaslahatn yang dijelaskan dan
diakui kebenarannya secara langsung oleh nash, untuk memeliharan dan
mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia Islam menetapkan hukum qishash
bagi seorang pembunuh yang segaja seperti firman Allah dalam surah (Al-
baqarah, 178)
2). Maslahah Al-mulghah maksudnya suatu kemaslahatan yang bertentangan
dengan ketentuan nash karena segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak
syara’.
3). Maslahah Al-mursalah ada beberapa defenisi maslahah al-mursalah yang
dikemukakan para ulama Said Ramadhan Al-buth mendefenisikan maslaha
mursalah sebagai berikut “setiap mamfaat yang termaksud dalam maqsid al-
syari’, baik ada nash yang mengakui atau menolaknya.
Dari defenisi ini tanpak bahwa maslaha mursalah merupakan kemaslahatan yang
sejalan dengan apa yang terdapat didalam nash, tetapi tidak ada nash secara
5
khusus yang memerintahkan dan melarang untuk mewujudkannya, bukti bahwa
kemaslahatan ini sejalan dengan nash dapat dilihat dari kesimpulan nash dan
makna yang dikandungnya.5
Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Berdasarkan penelitian para ulama jelas bahwa syari’ah Islamiyah mengandung
kemaslahatan bagi manusia didalam mengatur hidup dan kehidupannya du dunia
ini hal ini di tegaskan dalam Al-qur’an sebagai berikut:
Artinya:
107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. al-anbiya, 107).
Kedudukan maslahah Mursalah
Apabila kemaslahatan manusia menjadi syara’ maka maslahat terkandung di
dalam syari’ah Islamiyyah. sehubung dengan kemaslahatan duniawi ini dalam
kaitannya dengan nash-nash syari’at ada tiga
1). Ulama yang menetapkan bahwa nash-nash syari’ah tidak bisa diketahui
kecuali semata-mata dari segi dzohirnya, jadi mereka hanya megakui maslahah
yang secara eksplisit yang di tegaskan didalam nash.
2). Ulama yang mau mengambil maslahat dari apa yang tersirat yaitu dengan
mengetahui illat, maksud dan tujuannya.
3). Ulama-ulama yang menetapkan bahwa kemaslahatan adalah termaksud
kemaslahatan yang dititipkan oleh syari’ah Islamyyah baik kemaslahatan itu
diketahu secara explisit dan implisit dari nas-nash syara’.6
Maslahah Mursalah sebagai Hujjah
5 Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Islam, (Jakarta, Zikrul Hakim, 2004) hlm, 82-86
6 H. A. Djazuli, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hlm, 172-174
6
Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagi hujjah ulama bersifat hati-hati
sehinnga tidak mengakibatkan pembentukan syara’at, berdasarkan nafsu dan
kepentingannya.7
3. AL-URF/AL-ADAT
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena menjadi
kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau adakaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus urf disebut juga adat. Menurut ahli syara’
urf adalah bermakna adat dengan kata lain urf dan adat itu tidak ada perbedaan, Urf
tentang perbuatan manusia misalnya jual beli dan urf perkataan misalnya saling
penegrtian.
Macam-Macam Urf
Urf ini dibagi menjadi dua macam yang pertama Urf Shahih dan yang kedua Urf
Fasid.Urf shahih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia dan tidak
berlawanan dengan dalil syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula
menggugurkan kewajiban, misalnya manusia saling pengertian tentang jumlah mas
kawin (mahar) apakah mas kawin itu di bayar berhutang apa kontan.
Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi
berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan
kewajiban, misalnya manusia saling mengerti untuk melakukan perbuatan negatif
dalam hal pacaran.
Hukum Urf
Untuk Urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan hukum dan
peroses peradilan , sedangkan untuk Urf Fasid tidak harus dipelihara atau dilestarikan
sebab pemelihara urf fasid berrartin menentang hukum syara’.8
Syarat Urf untuk dapat Dijadikan Sebagai Dalil Hukum
7 Abdul Wahab Khalap, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Gema Risalah, Press, 1997) hlm, 143 8 Ibid, hlm, 149-151
7
Syat untuk dapat dijadikan sebagai dali hukum ada empat sabagi berikut:
1). Urf itu harus termaksus urf shahih dalam arti tidak bertentangan dangan
ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasululah.
2). Urf itu harus bersifat umum dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negri itu.
3). Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya peristiwa yang akan dilandaskan
kepada urf itu misalnya seseorang yang mewakafkan tanahnya kepada seorang
ulama yang dimasa itu ulama adalah orang yang mengetahui agama.
4). Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan denagn kehendak
urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak
terikat dengan kebiasaanya yang berlaku umum, maka ynag dipengang adalah
ketegasan buakn urf, misalnya adat yag berlaku disatu masyarakat , istri belum
boleh dibawa pidah oleh suaminya dari rumah orang tuanya sebelum melunasi
maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang
istri sudah boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu
melunasi maharnya, dalam masalah ini yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu bukan adat yang berlaku.9
4. ISTISHHAB
Secara etimologis istishab adalah “membawa serta sesama-sama atau terus
bersama-sama” Al-Syawkaniy dalam kitabnya mengatakan:
“Istishab ialah mengekalkan apa yang telah ada (kekekalan sesuatu) selama tidak
ada yang mengubahnya”.
9 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenada mwdia Group, 2005) hlm, 156-157
8
Dalam arti apa yang telah ditetapkan pada masa yang telah lalu maka tetap
demikian keadaannya pada masa kini dan nanti, selama tidak ada dalil yang
mengubahnya. Sedangkan Ibnu Qoyyim memberikan defenisi istishab dengan terus
berlakunya apa yang telah ditetapkan dan tidak belakunya apa yang tidak ditetapkan,
yaitu terus berlakunya hukum baik yang ditetapkan maupun yang tidak ditetapkan
sehinnga ada dalil yang mengubah keadaannya.
Denagn demikian istishab didasarkan kepada pemikiran yang kuat yaitu apabila
sesuatu keadan terus berlangsung maka hukumnya tetap, oleh karena itu tidak
dianggap dalil yang kuat dalam arti apabila ada dalil lain seperti al-Qur’an dan
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas maka seluruhnya ini didahulukn daripada istishhab.
Penggunaan Istishhab
Penggunaan istishab didasarkan kepada:
1). Penelitian bahwa huku-hukum syara’ menunjukkan tetap berlaku terus sesuai
dengan ketetapan dalil, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Seperti
keharaman minum yang memabukkan
2). Dari segi akal bahwa manusia terus dianggap hidup karena ada tanda-tanda
kehidupannya (bernafas) sampai ada bukti lain bahwa ia telah meniggal,
seseorang terus dianggap didalam hubungan suami istri karena sebelumnya telah
melakukan akad nikah, sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai
misalnya dengan talaq.
Pembahagian Istishab
1). Istishhab al-Bara’at al-Ashilyyah yang menurut ibnu Qoyyim disebut dengan
terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan
taklifnya, seperti anak kecil sampai dengan ia baliq.
9
2). Istishhab yang di tunjukkan oleh syara’ atau akal seperti seseorang yang harus
bertanggung jawab terhadap utangnya.
3). Istishhab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum seperti
haram, mubah, dll.
4). Istishhab Washaf yaitu istishhab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetapi
dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.10
Kehujjahan Istishhab
Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah
untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya, pada dasarnya
istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui
sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yang
merubahnya.
5. SYAR’U MAN QOBLANA
Yang dimaksud denagn sar’u man qoblana ialah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-
nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa, apakah syari’at syari’at yang diturunkan kepada mereka itu
berlaku pula bagi ummat Muhammad Saw, para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa
syari’at para nabi yang terdahulu yang tidak tercantum didalam al-Qur’an dan
Sunnah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam karena kedatangan syariat Islam telak
mengakhiri berlakunya syariat-sariat yang terdahulu.
Dan ada juga syari’at yang tedahulu yang berlaku bagi umat islam seperti puasa
bulan ramadhan, jadi perlu kita garis bawahi tidak semua syariat yang terdahulu yang
tidak berlaku pada umat Islam seperti puasa ramadhan yang dimanaAllah berfirman
didalam suroh al-Baqqrah, 183
10 H. A. Djazuli, Ushul Fikh Metode Hukum Islam, (Jakarta, Pt Raja Grafindo Persada, 2000) hlm,193-197
10
Artinya:
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,11
6. MAZHAB SAHABI
Yang di maksud denagn mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah
tentang suatu kasus yang dimana hukumnya tidak tegas dijelaskan didalam al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah.
Sedang kan yang dimaksud sahabat Rasulullah adalah setiap orang muslim yang
hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang sangat lama serta menimba ilmu
dari Rasulullah.
Dalam hal ini pendapat sahabat dibagi menjadi empat bahagian.
1). Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad.
2). Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan merekan yang dikenal
dengan Ijma’ sahabat.
3). Fatwa sahabi secara perorangan yang tidak diikuti sahabat yang lain. Karena
dikalangan sahabat sering berbeda pendapat.
4). Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad
Dan beberapa pendapat itu dapat disimpulkan menjadi dua bahagian:
Pertama, menurut kalangan hanafiyyah, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan oleh generasi sesudahnya, alasan mereka antara lain firman Allah
dalam Al-qur’an sebagai berikut:
11 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005) hlm, 162-163
11
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik. (QS, Ali –imran, 110)
Ayat tersebut menurut mereka ditinjau kepada para sahabat dan menunjukkan
bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebaikan dan oleh karena itu harus
diikuti.
Kedua, menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal bahawa fatwa
sahabat tidak diikuti generasi sesudahnya alasannya dalam firman Allah sebagai
berikut:
Artinya:
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan. (QS, al-hasyr,2)
[1463] Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir,
merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.
Yang dimaksud mengambil pelajaran dalam ayat tersebut menurut mereka adalah
melakukan ijtihad, dengan demikian ayat tersebut memerintahkan orang-orang
yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad.12
7.SADD AZ-ZARI’AH
Kata sadd menurut bahasa menutup , dan kata az-zari’ah jalan kesuatu tujuan,
dengan demikiansadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu
tujuan, menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan Abdul Kari Zaidan sadd az-
zari’ah berarti “menutup jalan yang membawa kita kepada kebinasaan dan kejahatan”
12 Ibid, hlm, 169-171
12
Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, terbagi kepada
dua sebagai berikut:
1). Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi
sesuatu yang diharamkan, tetapi perbuatan sendiri itu adalah haram.
2). Perbuatan yang secara esensial dibolehkan namun perbuatan itu
memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang
diharamkan, perbuatan seperti ini terbagai kepada empat macam yang
dikemukakan Wahbah Az-zuhailai sebagai berikut:
1). Perbuatan itu dapat dipastikan akan membawa kebinasaan.
2). Perbuatan itu akan mengandung kemungkinan meskipun kecil akan
membawa kepada sesuatu yang dilanggar.
3). Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun kemungkinannya akan
membawa kebinasaan lebih besar daripada kemaslahatan.
4). Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan,
tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaanya ada kemungkinan membawa
kepada sesuatu yang dilarang.13
KESIMPULAN
Didalam makalh ini kami telah bembahas tentang dalil-dalil hukum yang atelah
disepakati maksudnya disini tidak disepakati disebut juga dalil-dalil hukum yang di
perdebatkan dikalangan ulama.
Dan dislam makalah ini kami telah membicarakan masalah yang berkaitan
dengan dalil-dalil yang tidak disepakati di atas dan antara lain, Istihsan, Maslahah
Mursalah, Urf atau adat istiadat, Istishab, Syar’u man qoblana, Mazhab Sahabi dan
Sadd az-Zari’ah.
13 Ibid, hlm, 172-174
13
Semoga kita dapat mengambil kesimpulan yang berguna bagi kita yang ada
dalam makalah kami ini.
Daftar Fustaka
Satria Efendi, Ushul Fiqh. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012)
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, Pt Renika Cipta, 1995)
H.A. Dzali Ushul Fiqhi Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000)
14
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Islam, (Jakarta, Zikrul Hakim,
2004)
15
Recommended