View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
Listrik merupakan energi yang tak terpisahkan dalam hidup
manusia.Listrik mempermudah manusia dalam melakukan berbagai
kegiatan.Akan tetapi kehadiran energi listrik yang dipakai sekarang bukanlah
gratis.PT Perusahaan Listrik Nasional (Persero) merupakan salah satu Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang penyediaan tenaga
listrik yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perusahaan-
perusahaan swasta telah banyak yang melakukan kerja sama dengan PT PLN
(Persero) untuk mengelola energi listrik di seluruh pelosok negeri, tetapi
kebutuhan akan energi listrik masih kekurangan.
Undang-undang Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009 telah
mengisayaratkan bahwa PLN bukan lagi pemegang kuasa tunggal di bidang
ketenagalistrikan, kalangan swasta yang memiliki dan mengelola kawasan industri
dimungkinkan untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik lengkap
dengan jaringan transmisi di kawasan tersebut. Hal tersebut berarti, PLN
menghadapi adanya potensi persaingan di masa mendatang, terutama di kawasan-
kawasan industri dan kawasan mixed, komersial dan industri, padahal pendapatan
penjualan listrik dari pelanggan industri telah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap seluruh pendapatan penjualan listrik.Oleh karena itu, PLN
dituntut untuk memiliki kondisi keuangan yang sehat, efisien, dapat memenuhi
tingkat keandalan dan pelayanan sesuai ekspektasi pelanggan.Atas kondisi
tersebut dibutuhkan dukungan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
tinggi, berperilaku sesuai GCG (Good Corporate Governance) dan CoC (Code of
Conduct) dalam menjalankan usahanya (PLN, 2016).
2
Proses bisnis penjualan tenaga listrik dimulai dari unit-unit bisnis
pembangkitan tenaga listrik. Tenaga listrik dihasilkan dari pembangkit-
pembangkit tenaga listrik yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan pembelian
Excess Power.Selanjutnya tenaga listrik yang dihasilkan disalurkan melalui
jaringan-jaringan transmisi.Sistem jaringan transmisi yang digunakan adalah
transmisi tegangan rendah 20.000 Volt.Kemudian dari jaringan transmisi tersebut
tenaga listrik didistribusikan melalui gardu-gardu listrik yang menurunkan
tegangan 20.000 Volt menjadi 380 Volt.Dari gardu-gardu tersebut tenaga listrik
didistribusikan kepada pelanggan melalui jaringan SR. Pendapatan berupa
penjualan tenaga listrik diperoleh dari pembayaran rekening atas pemakaian
tenaga listrik oleh pelanggan. Jumlah pemakaian tenaga listrik dicatat oleh
petugas pencatat meter setiap bulannya. Hasil pemakaian tenaga listrik yang
diukur pada kwh meter pelanggan setiap bulannya menjadi dasar tagihan rekening
listrik kepada pelanggan (PLN, 2016).
Seiring dengan meningkatnya produksi listrik, beban usaha perusahaan
naik sebesar Rp 8,2 triliun atau 3,32% menjadi Rp 254,4 triliun dibandingkan
periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 246,3 triliun. PLN pada periode Tahun
2016, mengantarkan perseroan untuk dapat mencetak laba bersih sebesar Rp 10.5
triliun lebih rendah dibanding laba tahun 2015 sebesar 15,6 triliun. Pertumbuhan
beban usaha tahun 2016 lebih kecil dibanding pertumbuhan kWh jual karena PLN
terus melakukan program efisiensi melalui substitusi penggunaan bahan bakar
minyak/BBM dengan penggunaan batubara/energi primer lain yang lebih murah,
dan pengendalian biaya bukan bahan bakar.Efisiensi terbesar terlihat dari
3
berkurangnya biaya bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 12,3 triliun sehingga
pada 2016 menjadi Rp 22,8 trilliun atau 35,03% dari tahun sebelumnya Rp 35,0
trilliun, terutama dikarenakan penurunan konsumsi BBM 0,8 juta kilo liter,
sehingga volume pemakaian sampai dengan 2016 sebesar 4,7 juta kilo liter (PLN,
2016).
Merujuk pada Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN selaku Pemegang Izin Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik untuk kepentingan umum wajib menyediakan tenaga listrik secara
terus-menerus, dalam jumlah yang cukup dan dengan mutu dan keandalan yang
baik. Dengan demikian PLN harus mampu melayani kebutuhan tenaga listrik saat
ini maupun di masa yang akan datang agar PLN dapat memenuhi kewajiban yang
diminta oleh Undang-Undang tersebut. Sebagai langkah awal PLN harus dapat
memperkirakan kebutuhan tenaga listrik paling tidak hingga 10 tahun ke depan.
Kebutuhan tenaga listrik padasuatu daerah didorong oleh tiga faktor
utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, program elektrifikasi dan program
pemerintah untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta kawasan-
kawasan industry lainnya. Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian yang
sederhana adalah proses meningkatkan output barang dan jasa. Proses tersebut
memerlukan tenaga listrik sebagai salah satu input untuk menunjangnya,
disamping input-input barang dan jasa lainnya. Disamping itu hasil dari
pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang
mendorong peningkatan permintaan barang-barang/peralatan listrik seperti
televisi, pendingin ruangan, lemari es dan lainnya. Akibatnya permintaan tenaga
4
listrik akan meningkat. Faktor kedua adalah program elektrifikasi.Sebagai upaya
PLN untuk mendukung program Pemerintah dalam meningkatkan rasio
elektrifikasi maka PLN perlu melistriki semua masyarakat yang ada dalam
wilayah usahanya. Hal ini secara langsung akan menjaga eksistensi wilayah usaha
PLN dan sekaligus meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia, khususnya pada
daerah-daerah yang telah menjadi wilayah usaha PLN. PLN dalam RUPTL ini
berencana untuk menambah pelanggan baru yang besar, yaitu rata-rata 2,2 juta per
tahun, sehingga rasio elektrifikasi akan mencapai 99,7% pada tahun 2025.
Penambahan pelanggan baru tersebut tidak hanya mencakup mereka yang berada
di wilayah usaha PLN saat ini tetapi juga mencakup mereka yang berada di luar
wilayah usaha (PLN, 2016).
Perubahan yang terjadi semakin cepat, ekspektasi pelanggan meningkat, di
saat yang sama sumberdaya semakin terbatas menuntut PT PLN (Persero) terus-
menerus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik guna memberikan
pelayanan kepada para pelanggan.Semua itu menuntut organisasi untuk
berinovasi, karena cara-cara lama tidak lagi bisa menjawab tantangan hari ini.
Organisasi diharuskan untuk cepat membaca dan mengenali kondisi-kondisi baru
kemudian beradaptasi sesegera mungkin terhadap perubahan tersebut. Kesuksesan
suatu organisasi ditentukan oleh kemampuan adaptasi dan pengambilan langkah
strategis guna menghadapi perubahan dan perkembangan lingkungan (Ancok,
2012). Oleh karena itu organisasi didorong untuk senantiasa menjadi organisasi
pembelajar (learning organization). Learning organization adalah organisasi yang
secara berkelanjutan mengembangkan kapasitas untuk membangun hasil mereka
5
dengan penuh hasrat, pola pikir baru dan meluas senantiasa dijaga, adanya
kebebasan dalam aspirasi kolektif dan individu secara kontinyu belajar untuk
melihat sesuatu secara menyeluruh (Senge, 2006). Individu yang berada pada
learning organization memiliki karakteristik seperti terbuka, dapat berpikir secara
tim, dan mau mengambil resiko untuk memotivasi orang lain. Learning
organization memungkinkan adanya perkembangan, penerimaan, perubahan dan
pengharapan terhadap pengetahuan baru yang dapat meningkatkan inovasi (Valle,
2011). Lebih lanjut Fry (2003) menjelaskan bahwa dalam learning organization
pengembangan, kepemimpinan, motivasi, pengelolaan, dan individu yang
bertahan terkait dengan visi, tujuan, budaya dan nilai organisasi merupakan
tantangan utama inovasi.
Setiap organisasi saat ini menghadapi lingkungan yang semakin dinamis
dibandingkan waktu-waktu yang lalu sehingga kemampuan untuk berubah
menjadi sebuah keharusan.Bahkan tidak jarang suatu organisasi dengan sengaja
menciptakan perubahan untuk mendongkrak kembali kinerja organisasinya.Saat
ini organisasi berfokus pada bagaimana memelihara dan memanfaatkan potensi
tenaga kerja mereka untuk menghasilkan ide-ide unik dan berguna sebanyak
mungkin. Para karyawan diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk
menyusun strategi perusahaan yang inovatif baik itu produk dan proses serta
solusi efektif untuk masalah bisnis yang dihadapi dan mempertahankan
keunggulan kompetitif organisasi (Narula, Budhiraja, & Malhotra, 2014).
Keberhasilan proses perubahan ini tergantung pada karyawan mengambil
tanggung jawab pribadi untuk perubahan dan antisipasi cepat mereka pada
6
kemungkinan untuk mengubah dan berinovasi (Ghitulescu, 2013). Akibatnya,
organisasi semakin merangsang perubahan perilaku yang berorientasi, untuk
memastikan bahwa karyawan merevisi ada skema psikologis dan berpartisipasi
dalam pekerjaan mereka dan praktek organisasi (Hornung & Rousseau, 2007).
Dalam konteks proses perubahan bottom-up, perilaku karyawan yang inovatif
adalah hasil pekerjaan yang penting (Dreu, 2006). Namun, karyawan memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam mengambil tindakan; orang proaktif akan
mengambil tindakan untuk mengaktualisasikan situasi hati atau tanda adanya
masalah, sedangkan orang-orang lebih berhati-hati akan menunggu informasi dan
peluang untuk bertindak (Liao, 2015).
Perusahaan cenderung menyoroti kelangkaan karyawan kreatif.Kreativitas
mengacu pada produksi ide-ide baru dan berguna oleh seorang individu atau
sekelompok individu yang bekerja bersama-sama (Amabile, 1989; Zhou &
Shalley, 2003). Kreativitas ditentukan oleh kemampuan intelektual, pengetahuan,
motivasi, kepribadian dan lingkungan.Kreativitas karyawan berfungsi sebagai
sumber utama untuk inovasi organisasi (Amabile, 1988) dan sejumlah bukti
menunjukkan bahwa kretifitas dapat berkontribusi untuk inovasi organisasi,
efektivitas, dan kelangsungan hidup perusahaan (Amabile, 1996; Zhou, 2003).Hal
ini telah muncul sebagai salah satu titik fokus penting untuk mengeksplorasi
faktor organisasi, lingkungan dan pribadi yang mendorong inovasi karyawan.
Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi karyawan sebagai sumber
penting dari inovasi dan telah mengatakan pentingnya perilaku kerja yang
inovatif, masalah terkait sumber daya manusia akan menjadi pusat dalam setiap
7
diskusi tentang kemampuan karyawan perusahaan dan niat untuk berperilaku
inovatif di tempat kerja. Penelitian tentang perilaku kerja yang inovatif telah
mempelajari berbagai faktor sebagai pendahulu perilaku inovatif individu
sebagian besar difokuskan pada karakteristik pribadi dan kontekstual.karakteristik
kontekstual sering termasuk terisolasi sumber daya manusia (SDM) praktek yang
biasanya fokus pada insentif dan manfaat sistem (Chandler dan kawan-kawan,
2000; Hornsby dan kawan-kawan, 2002;. Kuratko dan kawan-kawan, 2005),
sistem evaluasi (Shalley dan kawan-kawan,. . 2004) dan variabel desain pekerjaan
(Parker dan kawan-kawan, 2006; Shalley dan kawan-kawan, 2004).. Tapi
penelitian empiris sistemik belum sepenuhnya diterapkan untuk meneliti
kemungkinan bahwa interaksi antara berbagai praktik HR memberikan kontribusi
signifikan terhadap perilaku kerja inovatif karyawan.
Inovasi didefinisikan sebagai implementasi dan adopsi pemikiran baru
oleh individu dalam organisasi(Ancok, 2012).Dalam konteks ini istilah ‘baru’
bukan berarti original tetapi newness (kebaruan). Inovasi dapat menambahkan
nilai dari produk, pelayanan, proses kerja, pemasaran, sistem pengiriman, dan
kebijakan, tidak hanya perusahaan tetapi juga pemegang saham dan masyarakat
(Jong & Hartog, 2007). Inovasi juga merupakan prosess dinamis yang bertujuan
untuk meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi.prosess dinamis tersebut
termasuk peningkatan produk, jasa, teknologi, prosess, dan sistem atau solusi baru
(Khan, 2012). Inovasi dalam organisasi diidentikkan dengan kemampuan suatu
perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ada (Ancok,
2012).
8
Banyak peneliti berpandangan bahwa inovasi individu membantu untuk
mencapai keberhasilan organisasi (Jong & Hartog, 2007).Perilaku inovasi
karyawan terkait dengan kesuksesan penyelenggaraan organisasi yang efektif
yakni meningkatkan, mempromosikan, dan merealisasikan ide-ide baru yang
bermanfaat bagi kinerja (Sanders dkk, 2010). Dengan demikian, baik ilmuwan dan
praktisi manajemen sumberdaya manusia perlu mengkaji lebih lanjut predictor
individu dan organisasi yang nantinya bisa menjadi landasan bagi kegiatan
inovatif yang akan dilakukan di tempat kerja. Pengenalan terhadap prediktor
tersebut akan sangat bermanfaat untuk praktek manajemen sumberdaya manusia
dalam organisasi apapun.
Terdapat dua pandangan mengenai pendekatan inovasi yaitu pendekatan
klasik dan modern (Hurley& Hussey, 1997). Pendekatan klasik memandang
bahwa inovasi sebagai suatu hal yang kebetulan dikala individu berani mengambil
langkah yang berbeda dari orang lain. Pada pandangan ini inovasi dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi kesuksesannya sehingga bakat yang
dimiliki individu lebih ditonjolkan di sini.Berbeda dengan pendekatan modern
yang lebih memandang bahwa inovasi sebagai suatu proses yang bertingkat dan
dapat diprediksikan, karya sebuah tim, proses dinamis kelompok yang terdiri dari
keragaman individu di dalamnya. Individu-individu yang memiliki latar belakang
dan bakat yang berbeda membentuk sebuah kombinasi pemikiran dan saling
bertukar pengalaman kreatif sehingga terlahir sebuah inovasi (Greenberg & Bron,
2003).
9
Dasar perilaku kreatif adalah adanya ide-ide kreatif yang melahirkan
inovasi sehingga perlu diperhatikan karakteristik individu dalam inovasi tersebut
(Hurley& Hussey, 1997).Berpikir kreatif dan kerjasama tim merupakan hal yang
juga dapat menimbulkan inovasi (Adair, 2004). Berpikir kreatif juga memberikan
kesempatan untuk karyawan berkreasi di tempat kerja dengan implikasi kognitif
dan afektif yang positif. Kesulitan di tempat kerja misalnya dapat diselesaikan
melalui pengungkapan ide, perspektif, dan kerangka yang berbeda (Wood,
Beckmann, & Rossiter, 2011). Kreativitas semata-mata mengenai perhimpunan
ide-ide baru dan orisinil, sedangkan inovasi meliputi aplikasi dari sesuatu yang
baru untuk menghasilkan sesautu yang baru dan bermanfaat (Janssen,
2003).Patterson (2002) menyatakan bahwa inovasi lebih dari sekedar ide, inovasi
merubah ide menjadi tindakan dan memberi tekanan pada penemuan produk,
proses, dan prosedur baru yang memberikan keuntungan untuk
organisasi.Penelitian tentang kreativitas dengan pendekatan kepribadian telah
difokuskan pada hubungan antara atribut individu dan perilaku inovasi.Namun,
beberapa studi telah meneliti secara empiris efek dari sifat-sifat psikologis yang
memiliki hubungan positif pada perilaku inovasi dalam pengaturan organisasi.Hsu
dkk(2011) menemukan bahwa karyawan dengan tingkat efikasi diri kreatif yang
tinggi menunjukkan tingkat perilaku inovasi yang tinggi di tempat kerja.
Kreativitas merupakan langkah pertama menuju inovasi yang terdiri
beberapa tahap untuk merealisasikannya. Untuk mengetahui hubungan antar
inovasi dan perilaku kerja inovatif dapat dijelaskan dengan tiga level, yaitu level
individu, level kelompok dan level organisasi. Pada level individu merupakan
10
suatu tahap yang fokus pada perilaku kerja inovatif, sikap dan karakteristik dari
individu rekan sekerja. Perilaku kerja inovatif berhubungan dengan kemampuan
dan kemauan menghasilkan ide dan keterampilan bekerja dengan menggunakan
ide tersebut (Scott & Bruce, 1994).Jong & Hartog (2007) mendefinisikan perilaku
inovatif sebagai aktivitas individu yang bertujuan untuk memperkenalkan ide-ide
baru dan berguna yang berhubungan dengan proses, produk, atau prosedur. Lebih
lanjut Ayranci (2011) menyatakan perilaku inovatif merupakan kemampuan
individu yang dapat dipelajari meliputi kemampuan berpikir dengan cara yang
berbeda dari individu lain, sensitif terhadap permasalahan, ketidaksempurnaan
informasi yang hilang dan tidak konsisten, mencari solusi untuk permasalahan,
memformulasikan asumsi-asumsi baru serta melakukan analisis terhadap hasil
dari asumsi yang ada. Inovasi level kelompok adalah perluasan dari level individu
yang diterapkan pada kelompok sedangkan level organisasi merupakan perluasan
dari level kelompok.
Aspek struktural, budaya, dan SDM merupakan karakteristik yang selalu
muncul bila ingin mempelajari organisasi yang inovatif (Ancok, 2012).Faktor-
faktor yang telah diteliti terkait dengan pendorong inovasi telah banyak
dilakukan.Amabile (1996) dan Mumford & Gustafson (1998) menemukan bahwa
kepemimpinan merupakan salah satu faktor pendorong inovasi. Faktor pendorong
inovasi yang lain adalah kemampuan belajar organisasi (Tsai, 2001), budaya dan
iklim organisasi (Mumford & Gustafson, 1998). Kompleksitas pekerjaan dan tipe
pengawasan yang diterapkan perusahaan juga menjadi faktor pendorong dalam
inovasi (Oldham & Cummings, 1996).
11
Kreativitas dan inovasi merupakan salah satuhal yang memiliki kaitan
dengan pengelolaan sumber daya manusia dalam sebuah organisasi. Secara
eksplisit berfokus pada interaksi dinamis antara pengembangan individu dalam
keterampilan berpikir kreatif dan iklim organisasi yang mendukung (Williams
&Foti, 2011). Kombinasi antara fleksibilitas pengelolaan sumber daya manusia
dan fleksibilitas individu serta karakteristik positif individu seperti optimisme,
harapan, resistensi atau efikasi diri dapat memprediksi kesiapan karyawan untuk
menampilkan perilaku inovatif di tempat kerja. Meskipun fleksibilitas pengelolaan
sumber daya manusia dan fleksibilitas individu memiliki hubungan yang lemah
terhadap perilaku inovatif karyawan, pada situasi tertentu karakteristik individu
tersebut dapat menjadi variabel mediator untuk memprediksi perilaku kerja yang
inovatif (Turek&Turek, 2015).
Janssen (2003) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai aktifitas
menciptakan ide-ide baru untuk persoalan-persoalan yang sulit (idea generation),
mengerahkan dukungan untuk ide-ide inovatif (idea promotion), menjelaskan ide-
ide inovatif ke dalam penerapan yang berguna (idea realization) secara sengaja ke
dalam suatu peran kerja, kelompok, dan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan
perilaku kerja inovatif (De Jong, 2007; Scott & Bruce 1994; West & Farr, 1990)
adalah inovasi yang terjadi pada level individu sebagai komponen inovasi dalam
kelompok maupun organisasi yang didalamnya terjadi inisiasi, perkenalan dan
aplikasi ide, proses, produk, dan prosedur, dari adaptasi design untuk keuntungan
individu, kelompok, organisasi, maupun lingkungan sosial.Proses inovasi
digambarkan sebagai proses berulang dan berlangsung terus menerus yang
12
meliputi fase kesadaran, penghargaan, adopsi, difusi, dan implementasi.Seiring
dengan perkembangan era globalisasi, kebutuhan organisasi saat ini mengarah
pada ketersediaan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif (Jong & Hartog,
2007). Salah satu cara agar organisasi menjadi lebih inovatif adalah dengan
memotivasi dan memfasilitasi kemampuan karyawan mereka untuk berinovasi.
Tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan keuntungan dari
potensi individu dan kemudian meningkatkannya sehingga menghasilkan inovasi
organisasi dan keunggulan daya saing.Organisasi harus menarik, mempertahankan
dan mengembangkan bakat-bakat kreatif jika mereka ingin tetap kompetitif.
Inovasi karyawan adalah hal sangat penting karena dapat meningkatkan
penciptaan ide-ide dalam menghasilkan produk dan jasa serta proses kerja yang
lebih baik. Gaya kepemimpinan yang kondusif terhadap inovasi adalah
kepemimpinan partisipatif, visi seorang pemimpin terhadap inovasi dan
kemampuan untuk mengembangkan kelompok-kelompok yang efektif. Ada tiga
gaya kepemimpinan yang berpengaruh pada inovasi dalam perusahaan yaitu,
transformasional leadership, partisipative leadership, dan leader member
exchange (Jong & Hartog, 2007).
Gaya kepemimpinan transformasional mampu membuat bawahan bekerja
melampaui kepentingan mereka sendiri dengan mengubah nilai-nilai dan konsep
diri bawahan sehingga meningkatkan kebutuhan dan aspirasi mereka (Janseen,
2003). Pemimpin yang mengadopsi gaya transformasional akan memacu
munculnya perilaku inovatif dalam organisasi (Ancok, 2012). Pemimpin yang
memacu tumbuhnya inovasi dalam organisasi adalah pemimpin yang
13
berpandangan jauh kedepan (visioner), mampu mensinergikan berbagai unit,
divisi, dan sumber daya yang ada dalam organisasi untuk mencapai suatu tujuan
yang ingin dicapai bersama (transformasional) (Bass, 1985).Tsai dan Ghosal
(1998) berpendapat bahwa visi bersama memiliki pengaruh terhadap inovasi
melalui promosi rasa kepercayaan.Thornberry (2003) berpendapat bahwa individu
dapat dilatih untuk inovatif dengan menyediakan lingkungan organisasi yang
kondusif.
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa perilaku inovatif
karyawan dipengaruhi cukup besar oleh interaksi mereka dalam lingkungan
pekerjaan.Hal ini berarti pemimpin memiliki peran untuk ikut menumbuhkan dan
mengembangkan perilaku inovatif karyawan.Dengan demikian inovasi dan
kepemimpinan dalam organisasi merupakan dua hal yang saling
berhubungan.Temuan dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kepemimpinan transformasional memberdayakan kapasitas kerja karyawan dan
memotivasi perilaku inovasi.Namun, pengetahuan tentang hubungan antara
kepemimpinan transformasional dan perilaku inovatif karyawan tetap belum
berkembang. Selain itu, studi ini berpendapat bahwa hubungan antara
kepemimpinan transformasional dan inovasi organisasi tidak selalu sama (Basu
dan Green, 1997; Kahai dkk, 2003; Shin dan Zhou, 2003), yang menyerukan
untuk mengkaji lebih lanjut mediasi dan moderasi faktor antara kepemimpinan
transformasional dan perilaku inovatif karyawan.
Kepemimpinan telah sering diteliti sebagai penentu inovasi.Kim dan Yoon
(2015) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional secara positif terkait
14
dengan sejauh mana karyawan merasakan budaya inovasi.Temuan dari studi ini
juga menunjukkan bahwa iklim untuk kreatif melalui peningkatan pengakuan
kreativitas karyawan, fleksibilitas untuk berubah, dan sumberdaya untuk inovasi
secara signifikan berhubungan dengan persepsi karyawan dari budaya
inovasi.Lebih lanjut dijelaskan terdapat varian dalam sejauh mana karyawan
merasakan budaya inovasi di organisasi.
Cheung dan Wong (2010) melalui penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kreativitas
bawahan (follower). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketika tugas pimpinan yang
tinggi dengan didukung hubungan yang kuat dengan bawahan akan meningkatkan
kreatifitas karyawan. Selain itu, studi Wang dan Rode (2010) menunjukkan bahwa
terdapat efek interaktif antara kepemimpinan transformasional, identifikasi
karyawan dengan pemimpin, dan iklim inovatif dikaitkan dengan kreativitas
karyawan. Individu paling kreatif ketika mereka optimal mempertahankan jejaring
gagasan yang beraneka ragam (Baer, 2010).Pemimpin transformasional dapat
mempengaruhi kreativitas karyawan dengan membuat karyawan merasa
tertantang dan bersemangat untuk mencari pendekatan baru dalam pekerjaan
mereka (Cheung & Wong, 2010).
Kepemimpinan transformasional diharapkan dapat membangun struktur
organisasi yang lebih modern, berbasis pengetahuan, dan lebih memperhatikan
lingkungan pekerjanya serta membentuk sistem manajemen yang fleksibel, lebih
inovatif, dan menyesuaikan diri pada tren teknologi dan informasi yang
berkembang. Perilaku kepemimpinan transformasional menekankan pada sifat-
15
sifat kepemimpinan yang dapat mendukung visi dan misi perusahaan serta
memotivasi karyawan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dari standar yang
ada.Dalam kepemimpinan transformasional, pemimpin menggunakan perilaku
seperti kharisma dan rangsangan intelektual untuk mempengaruhi capaian
bawahan sehingga mencapai hasil yang lebih baik.Pemimpin juga
mengembangkan suatu visi dan memotivasi bawahan untuk mencapai visi tersebut
(Bass, 1990).
Perilaku kepemimpinan transformasional tepat digunakan sebagai salah
satu penentu inovasi dan kreativitas di tempat kerja, beberapa di antaranya adalah
visi, dukungan untuk inovasi, otonomi, dorongan, pengakuan, dan tantangan
(Gumusluoglu & Ilsev, 2009; Elkins & Keller, 2003). Pemimpin transformasional
meningkatkan inovasi dalam organisasi atau kecenderungan organisasi untuk
berinovasi.Motivasi inspirasional dan stimulasi intelektual sangat penting untuk
inovasi organisasi (Elkins & Keller, 2003).Pemimpin transformasional
mempromosikan ide-ide kreatif dalam organisasi mereka, perilaku ini
mencerminkan peran pemimpin transformasional (Bilal & Bilal, 2014;
Gumusluoglu & Ilsev, 2009).Para pemimpin ini memiliki visi yang memotivasi
para pengikut mereka, meningkatkan kesediaan mereka untuk melakukan sesuatu
melampaui harapan, dan menantang mereka untuk mengadopsi pendekatan
inovatif dalam pekerjaan mereka.sehingga motivasi yang tinggi tersebut dapat
meningkatkan inovasi organisasi (Mumford dkk, 2002).
Kepemimpinan transformational didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan
yang mengubah pengikut untuk meningkatkan kepentingan diri mereka dengan
16
mengubah semangat mereka, cita-cita, dan nilai-nilai dan memotivasi mereka
untuk melakukan suatu hal yang lebih baik dari yang diharapkan (Bass, 1985;
Yukl, 1999). Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak penelitian yang
dilakukan untuk menjelaskan bagaimana kepemimpinan transformasional
bekerja.Para pemimpin transformasional mendorong bawahannya agar lebih
inovatif (Robbins, 2011). Pemimpin transformasional mampu mendorong
anggotanya untuk mengembangkan aspirasi dan memperoleh makna dalam
bekerja, mampu mengembangkan pemimpin baru di lingkungan kerjanya,
menciptakan lingkungan kerja yang apresiasif sehingga bisa menggugah gairah
dan semangat untuk berinovasi (Ancok, 2012). Beberapa studi meneliti
kepemimpinan transformasional dengan fokus pada pengaruh idealized influence,
inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration
(Bass, 1985; Nemanich dan Keller, 2007). Idealized influence menampilkan
pemimpin penuh kepedulian, dapat dipercaya, dan mengagumkan, menunjukkan
fitur dari visi dan mengartikulasikan visi untuk mencapai itu, dan merangsang
potensi inovatif pada karyawan (Bass, 1999; Bass dan kawan-kawan, 2003.).
Selain itu, motivasi inspirasional merangsang individu melalui proses
inspirasional yang menghasilkan karyawan lebih meningkat kinerjanya. Secara
khusus, motivasi inspirasional menggambarkan bagaimana pemimpin mendorong
karyawan mereka untuk mencapai visi dengan memperkaya individu dan
semangat tim (Bass dan kawan-kawan., 2003). Fokus pada rangsangan intelektual,
Bass (1999) dan Bass dan kawan-kawan.(2003) menunjukkan bagaimana para
pemimpin menggunakan motivasi inspirasional untuk membuat sebuah organisasi
17
bebas dari kritik, kesalahan dan keluhan karyawan. Kepemimpinan
transformasional ini juga membantu karyawan menciptakan lingkungan kerja
yang berbasis hubungan daripada mengkritik satu sama lain atau fokus pada
kepentingan pribadi mereka. Dengan kata lain, setiap karyawan menghargai
pertimbangan individu masing-masing, yang menciptakan lingkungan organisasi
untuk berinovasi. Singkatnya, kepemimpinan transformasional membantu
karyawan mendapatkan kesempatan unik untuk mengembangkan pembelajaran
dan kompetensi kooperatif yang meningkatkan perilaku inovatif pada tingkat
individu dan inovasi organisasi (Bass, 1999;.Bass dan kawan-kawan, 2003; Bass
dan Riggio, 2006).
Di sisi lain, inovasi adalah proses dimana orang-orang yang berusaha
untuk mengembangkan ide-ide baru dan menerapkan hasil diuji ide-ide untuk
kinerja yang lebih baik (Van De Ven, 1986; Grant, 2000). Landasan konseptual
inovasi menyatakan bahwa itu adalah proses multi-tahap pengenalan masalah,
generasi ide, membangun dukungan untuk ide-ide, dan implementasi ide (Kanter,
1988; Scott dan Bruce, 1994). Proses inovasi sebagian besar ditunjukandari
pengaruh motivasi individu, kepribadian dan pengetahuan awal, dan mekanisme
yang mendukung organisasi (Barron dan Harrington, 1981). Karakteristik individu
ini termasuk perilaku inovatif sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin.Gaya
kepemimpinan transformasional mampu mengembangkan makna dalam bekerja,
menciptakan lingkungan kerja yang apresiatif sehingga menggugah gairah dan
semangat untuk berinovasi dan belajar bersama. Sifat apresiatif pemimpin
transformasional akan memotivasi orang untuk berinovasi (Janseen, 2003). Gaya
18
kepemimpinan transformasional mampu memanusiakan bawahan,
memperlakukan bawahan sebagai manusia cerdas dan terhormat, serta menyentuh
hati bawahan agar memunculkan potensi maksimal mereka.
Stimulasi intelektual oleh para pemimpin telah terbukti meningkatkan
pendekatan eksplorasi untuk masalah yang kompleks (Bass & Avolio, 1994;
Gumusluoglu & Ilsev, 2009).Bukti juga telah mendukung peran kepemimpinan
transformasional dalam memfasilitasi berpikir divergen melalui stimulasi
intelektual (Jung, 2001), yang telah dikaitkan dengan inovasi (De Dreu & West,
2001). Akhirnya, dengan mengakui upaya follower dalam mengembangkan ide-
ide baru, pemimpin meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan mengatasi
kegagalan dan emosi negatif yang khas dalam pemecahan masalah yang
kompleks, dan usaha berkelanjutan langsung ke pengembangan solusi baru
(Bryant, 2003). harapan pemimpin untuk inovasi, yang dapat disampaikan melalui
reward (Wang, Law, Hackett, Wang, & Chen, 2005), juga cenderung
meningkatkan perilaku inovatif (Eden, 1992; Scott & Bruce, 1994).
Pekerjaan saat ini menjadi lebih dinamis dan desentralisasi, perilaku dan
inisiatif proaktif menjadi penentu yang kritis dari keberhasilan organisasi.
Misalnya, sebagai bentuk-bentuk baru dari manajemen yang meminimalkan
fungsi pengawasan, perusahaan akan semakin bergantung pada inisiatif pribadi
karyawan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah (Frese, Fay,
Hilburger, Leng, & Tag, 1997). Perilaku proaktif dapat menjadi konsep yang lebih
dari high-leveragebahkan dapat mengakibatkan peningkatan efektivitas organisasi
(Bateman & Crant, 1999). Perusahaan harus fokus pada mengidentifikasi
19
danmengoreksi kebijakan dan sistem yang meminimalkan dan mengurangi
inisiatif individu (Frohman, 1997).
Giebels, Reuver, Rispens, dan Ufkes (2016) menemukan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara kepribadian proaktif dan perilaku kerja inovatif pada
karyawan. Umumnya, kepribadian proaktif dianggap sebagai kepribadian
membangun (Fuller & Marler 2009) dan didefinisikan sebagai disposisi seseorang
terhadap tindakan yang diambil untuk mempengaruhi lingkungan mereka
(Bateman & Crant, 1993). Sebuah penelitian menunjukkan pentingnya
kepribadian proaktif untuk hasil kerja individual yang diinginkan seperti gaji,
promosi, dan kepuasan karir (Seibert, Crant, & Kraimer, 1999) serta kinerja
organisasi yaitu, produktivitas (Kirkman & Rosen, 1999).
Kepribadian proaktif didefinisikan sebagai kepercayaan pada kemampuan
seseorang untuk mengatasi kendala situasional dan kemampuan untuk
mempengaruhi perubahan lingkungan. Bateman dan Crant (1993, 2000)
menemukan kepribadian proaktif berbeda dari kesadaran diri, kebutuhan untuk
berprestasi, kebutuhan untuk dominasi, dan locus of control dan memiliki korelasi
moderat dengan model lima faktor kepribadian (Big five personality). Kepribadian
proaktif ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan pada berbagai hasil
organisasi dan individu.Crant dkk (1999) terutama Bateman dan Seibert
berkontribusi besar dalam merintis dan membangun konstruk kepribadian
proaktif.Dalam karyanya itu ditemukan keterkaitan positif keterlibatan responden
penelitian dalam pelayanan masyarakat dan perubahan konstruktif lingkungan
(Bateman dan Crant, 1993) dan kinerja karyawan (Crant, 1995).
20
Searle (2011) dalam studinya menggaris bawahiadanya hubungan yang
signifikan pada kepribadian proaktif untuk perilaku kerja proaktif yaitu inovasi
individu, mengambil alih dan pencegahan masalah melalui mediasi pemberdayaan
psikologis. Ford (2011) juga mengintegrasikan sifat individu kepribadian proaktif
dengan pemberdayaan karyawan sebagai faktor kontekstual untuk mengeksplorasi
apakah keduanya mengarah ke hasil karyawan yang diinginkan yang mungkin
menunjukkan bahwa karyawan siap untuk mengambil alih situasi dan
menunjukkan inisiatif mereka untuk menghasilkan hasil kerja yang positif.
Diamati bahwa hasil kerja, kualitas pelayanan dan efektivitas dirasakan tinggi di
antara para perawat ketika mereka memiliki tingkat yang tinggi pada salah satu
dari dua variabel tersebut (Ford, 2011).
Joo danReady (2012) mengungkapkan dalam penelitian mereka bahwa
karakteristik pribadi (kepribadian proaktif dan orientasi tujuan kinerja) bersama
dengan karakteristik kontekstual (budaya pembelajaran organisasi dan kualitas
leader member exchange) berpengaruh pada kepuasan karir karyawan.Prabhu dan
kawan-kawan (2012) melaporkan bahwa efikasi dirikewirausahaan bertindak
sebagai mediator dalam memprediksi hubungan yang kuat antara kepribadian
proaktif dan niat kewirausahaan. Fuller dan kawan-kawan (2010) menyoroti
bahwa kinerja orang-orang kepribadian proaktif tidak disarankan dalam kondisi
otonomi kerja yang rendah maka ia menekankan peran otonomi atau kemerdekaan
atau kebebasan sebagai katalis dalam lingkungan kerja mereka bertujuan untuk
mendorong kinerja tinggi. Li dan kawan-kawan (2012) melakukan studi
longitudinal, di mana kepribadian proaktif ditemukan secara signifikan terkait
21
dengan berbagai hasil kesuksesan karir seperti pendapatan, kesejahteraan
psikologis, kepemimpinan dan kompleksitas pekerjaan, namun berbagai faktor
genetik dan hubungan timbal balik antara kepribadian proaktif dan lingkungan
kerja juga dikemukakan.
Proaktif dapat dianggap merupakan prediktor penting untuk perilaku
inovatif di antara karyawan.Misalnya, pekerjaan sebelumnya menunjukkan bahwa
proaktif secara positif terkait dengan generasi ide (Kim, Hon, & Crant, 2009).
Studi lain di antara pelamar MBA menunjukkan bahwa kepribadian proaktif
positif terkait dengan membawa perubahan konstruktif (Bateman & Crant, 1993).
Selanjutnya, Seibert, Kraimer, dan Crant (2001) menunjukkan bahwa kepribadian
proaktif antara karyawan berhubungan positif dengan inovasi. Mengingat
ketekunan orang proaktif (Crant, 2000), orang proaktif mungkin sangat efektif
dalam mengungkapkan ide-ide mereka dan menghasilkan dukungan luas, yang
bisa dibilang mempromosikan realisasi ide agar sukses (Schwaab, Postmes, Van
beest, & Spears, 2007 ).
Sebuah hubungan positif ditemukan pada studi yang dilakukan oleh
Seibert (1999) antara kepribadian proaktif dan dua indikator keberhasilan karir
yaitu gaji dan promosi serta kepuasan karir.Kepribadian proaktif juga ditemukan
memiliki pengaruh yang signifikan pada keterlibatan bekerja (Drown,
2013).Selanjutnya, kreativitas karyawan menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi
mereka yang terlibat dalam perilaku inovatif (Anderson dan kawan-kawan
2004;.Janssen dan kawan-kawan 2004.).Artinya, kepribadian proaktif positif
mempengaruhi kreativitas karyawan, yang pada gilirannya membuat karyawan
22
memiliki sikap positif tentang pekerjaan dan organisasi mereka dan mencapai
hasil kerja yang tinggi.Para peneliti telah menemukan bahwa kepribadian proaktif
berhubungan dengan hasil yang bermanfaat untuk individu dan organisasi seperti
kesuksesan karir, inovasi, kewirausahaan (Becherer dan Maurer 1999; Crant
1995) (Seibert dan kawan-kawan 1999), prestasi kerja (Chan 2006; Thompson
2005), dan efektivitas tim (Becherer dan Maurer, 1999).
Kesuksesan atau kegagalan inovasi tergantung pada berbagai faktor
lainnya, baik dari dalam maupun luar organisasi, seperti hubungan karyawan
dengan pasar, kekuatan regulasi, dan transfer teknologi (Amabile dan kawan-
kawan, 1996; Joo dan kawan-kawan 2013). Inovasi mencakup adaptasi dari
produk atau proses yang ada sebelumnya, atau dibuat di luar organisasi (Joo dan
kawan-kawan, 2013). Dunia kerja saat ini yang lebih dinamis dan desentralis dari
sebelumnya menyebabkan organisasi yang menginginkan karyawan yang dapat
dengan cepat beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan baru dan cepat berinovasi
untuk mengembangkan produk dan jasa baru (Campbell, 2000; Frese & Fay,
2001).Selain itu, untuk mempertahankan keunggulan kompetitif, organisasi telah
menjadi semakin tertarik pada pekerja yang bekerja sendiri dan menggunakan
inisiatif mereka sendiri (Chan, 2006; Crant, 2000).Akibatnya, organisasi yang
baik lebih mungkin untuk mempekerjakan karyawan dengan orientasi proaktif
(Campbell, 2000) dan mengevaluasi perilaku proaktif sebagai bagian dari
penilaian kinerja (Griffen, Neal, & Parker, 2007).
Campbell (2000) menunjukkan bahwa utilitas dari mempekerjakan
karyawan proaktif tergantung pada konteks organisasi dan sifat pekerjaan
23
karyawan.Misalnya, di posisi mana ada fokus pada stabilitas dan/atau rutinitas,
pekerjaan non-inovatif, pekerja proaktif mungkin menjadi frustrasi. Akibatnya,
mereka dapat melakukan hal lebih buruk dalam posisi mereka dari orang lain yang
kurang proaktif. Campbell (2000) berpendapat manajer hanya harus
mempekerjakan individu dengan kepribadian proaktif setelah mempertimbangkan
faktor-faktor situasional dan review dari kompetensi yang dibutuhkan bagi
karyawan untuk menjadi sukses dalam pekerjaan mereka. McCune, Cadiz, Drown,
dan Bodner (2009) menemukan bahwa efek dari kepribadian proaktif berbeda-
beda di industri yang berbeda, seperti layanan atau penjualan dibandingkan
dengan akuntansi atau manufaktur. Sejauh kajian yang telah dilakukan peneliti
belum banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan sejauh mana
orang-orang dengan kepribadian proaktif dipengaruhi oleh lingkungan. Bateman
dan Crant (1993) menyatakan bahwa perilaku proaktif tidak sama menguntungkan
dan diinginkan di semua organisasi atau pekerjaan, penting untuk
mengidentifikasi kondisi batas di mana kepribadian proaktif cenderung mengarah
ke hasil yang relevan pada pekerjaan yang positif untuk membantu dalam seleksi,
perencanaan karir, dan desain pekerjaan.
Sebuah meta-analisis terbaru dari Hammond dan kawan-kawan (2011)
menekankan peran penting yang dimainkan oleh desain pekerjaan dan
karakteristik pekerjaan dalam mempromosikan inovasi individu. Herzberg (1966),
Hackman & Oldham (1980), Karasek & Theorell (1990) dan Bakker & Demerouti
(2007) melakukan kajian tentang hubungan antara desain pekerjaan dan hasil
kerja. Karasek & Theorell (1990) dan Bakker & Demerouti (2007)
24
mengkategorikan karakteristik pekerjaan yang terdiri dari dua dimensi, job control
/ resource dan job demand.Mereka lebih menekankan kebutuhan untuk
mempertimbangkan efek interaksi antara kategori ini dalam hubungan antara
desain pekerjaan dan hasil kerja.Tuntutan pekerjaan seperti tekanan waktu tinggi
berpotensi memunculkan stres ketika karyawan tidak memiliki kapasitas untuk
menjawab tuntutan tapi dapat menantang dan memotivasi ketika seorang
karyawan memiliki tingkat kontrol yang tinggi terhadap pekerjaannya.Akan tetapi
belum banyak studi yang meneliti efek interaksi ini dalam hubungan antara desain
pekerjaan dengan perilaku kerja inovatif (Martín, Salanova, &Peiro, 2007).
Hackman dan Oldham (1976) mengemukakan bahwa karakteristik
pekerjaan mempengaruhi hasil perilaku dan sikap melalui pengaruh mereka pada
tiga keadaan psikologis: pengalaman memaknai (yaitu, sejauh mana seorang
karyawan merasa pekerjaan memiliki nilai dan kepentingan), pengalaman atas
tanggung jawab (yaitu, sejauh mana seorang karyawan merasa bertanggung jawab
dan akuntabel untuk hasil pekerjaan), dan pengetahuan tentang hasil (yaitu, sejauh
mana karyawan menyadari tingkat kinerjanya). Secara khusus, berbagai
keterampilan, identitas tugas, dan tugas penting yang diduga mempengaruhi
pengalaman memaknai, otonomi diduga berdampak pada pengalaman
bertanggung jawab, dan umpan balik dari pekerjaan diduga mempengaruhi
pengetahuan hasil.Lebih lanjut menurut Cumming dan Worley (2009)
limakarakteristik inti pekerjaan (task identity, task significance, skill variety,
autonomy, dan feedback) mempengaruhi 3 kondisi psikologis yang penting dan
pada gilirannya akan menciptakan hasil pribadi dan kinerja.
25
Fried dan Ferris (1987) mengemukakan bahwa otonomi, berbagai
keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, dan umpan balik dari pekerjaan
memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja, motivasi internal kerja, kinerja
pekerjaan, dan berhubungan negatif dengan absensi. Penelitian lain banyak
menunjukkan bahwa otonomi sangat penting untuk menciptakan penentuan self
determination dan kebermaknaan (Deci & Ryan, 2000). Selain itu, sangat penting
bagi karyawan menerima umpan balik tentang kemajuan menuju prestasi yang
dituju (Locke & Latham, 1990). Umpan balik dari pekerjaan memberikan
kesempatan bagi karyawan untuk belajar tentang tingkat kinerja mereka dan
kedekatan dengan tujuan mereka. Jika karyawan berhasil bergerak ke arah tujuan
prestasi, makna berpengalaman akan ditingkatkan. Jika karyawan mengetahui
bahwa mereka tidak bergerak ke arah tujuan prestasi, kemampuan untuk
mengubah perilaku mereka (yaitu, otonomi) akan memungkinkan mereka
menemukan jalan yang berbeda menuju tujuan prestasi. Dengan demikian,
memiliki otonomi dan umpan balik dari pekerjaan harus mempromosikan
pengalaman bermakna dan hasil kerja yang positif.Humphery dan Morgeson
(2007) menunjukkan bahwa desain pekerjaan memiliki dampak besar pada sikap
dan perilaku pekerja, iamenjelaskan rata-rata 43% dari varians dalam hasil ini.
Perusahaan akan mendapatkan keuntungan dengan melakukan redesign
pekerjaan. Sebagai contoh autonomi dan dukungan sosial adalah dua prediktor
terbaik untuk meningkatkan hasil kerja (Humpery & Morgeson, 2007).Dalam
penelitian ini hasil kerja tersebut adalah perilaku kerja inovatif. Diketahui pula
bahwa proses informasi serta kompleksitas pekerjaan memiliki hubungan positif
26
dengan perilaku inovasi pada karyawan terutama pada proses generasi ide pada
karyawan. Lebih lanjut Humpery dan Morgeson (2007) menyebutkan jika
otonomi jadwal kerja, otonomi metode kerja, dan autonomi dalam pengambilan
keputusan secara positif berhubungan dengan perilaku kerja inovasi pada
karyawan. Dengan memiliki otonomi yang tinggi pada jadwal kerja, metode kerja,
dan pengambilan keputusan pada pekerjaan maka akan meningkatkan realisasi ide
inovasi oleh karyawan.
Sebuah organisasi tak dapat menghindari adanya interaksi antar kelompok
untuk memecahkan masalah organisasi. Hal ini terkait dengan konsep
pembelajaran sosial/kolektif yaitu proses sebuah kelompok secara bersama-sama
mendefiisikan masalah, mencari, menilai serta menerapkan solusi. Pembelajaran
sosial berfokus pada proses partisipatif, perilaku individu dan lingkungan
merupakan faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1997).
Pemimpin transformasional mendorong difusi pengetahuan (Harborne & Johne,
2003), menetapkan tugas yang menantang (Jong &Hartog, 2007), membangkitkan
rangsangan intelektual (Jung dan kawan-kawan., 2003), yang semuanya
berhubungan positif dengan perilaku kerja inovatif. Gaya kepemimpinan
mempersiapkan karyawan untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dan
meningkatkan keyakinan tentang kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan
dan menyelesaikan tugas dengan kebaruan dan inovatif (Garcia-Morales dan
kawan-kawan, 2008; Hughesdan kawan-kawan, 1999). Pemimpin yang
memperhatikan rasa prestasi diharapkan dapat meningkatkan inovasi karyawan
mereka.Aryee (2007) menyatakan bahwa karyawan inovatif ketika mereka bekerja
27
di otonomi tugas tinggi dengan lingkungan kerja mendukung untuk sering
konsultasi, pengarahan diri sendiri, kontrol, dan delegasi tugas.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan transformasional,
kepribadian proaktif, dan desain kerja terhadap perilaku kerja inovatif maka
hipotesis penelitian ini adalah kepemimpinan transformasional, kepribadian
proaktif dan desain kerja merupakan prediktor perilaku kerja inovatif.Apabila
kepemimpinan transformasional tinggi maka perilaku inovatif pada karyawan
tinggi. Begitu pula dengan kepribadian proaktif yang tinggi akan meningkatkan
perilaku kerja inovatif pada karyawan. Karyawan semakin baik mempersepsikan
desain kerja yang mereka miliki maka akan meningkatkan motivasi mereka untuk
melakukan perilaku kerja inovatif.
Gambar 1.Kerangka berpikir variabel penelitian
28
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiric kepemimpinan
transformasional, kepribadian proaktif, dan desain kerja dalam memprediksi
peningkatan perilaku kerja inovatif pada karyawan.
IMPLIKASI PENELITIAN
1. Implikasi teoritik
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif kepada
psikologi industri dan organisasi mengenai pengembangan faktor-faktor
yang mempengruhi peningkatan perilaku kerja inovatifpada
karyawan.Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan
untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perilaku kerja inovatif,
kepemimpinan transformasional, kepribadian proaktif, dan desain kerja.
2. Implikasi praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan
pertimbangan bagi praktisi dalam pembuatan model intervensi dalam
meningkatkan perilaku kerja inovatif dengan mempertimbangkan variabel
lain seperti kepemimpinan transformasional, kepribadian proaktif, dan
desain kerja.
Recommended