View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA:
MEMBACA MANUSIA DALAM LAKU
SKRIPSI
REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI
1006663240
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI INDONESIA
DEPOK
JULI 2014
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
i
UNIVERSITAS INDONESIA
DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA: MEMBACA
MANUSIA DALAM LAKU
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora
REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI
1006663240
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI INDONESIA
DEPOK
JULI, 2014
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatukan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.
Depok, Juli 2014
Rebecca Kezia Serefina Palupi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi
NPM : 1006663240
Tanda Tangan :
Tanggal : 8 Juli 2014
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi
NPM : 1006663240
Program Studi : Indonesia
Judul Skripsi : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca
Manusia dalam Laku
telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Penguji: Nitrasattri Handayani, M.Hum. (......................................)
Pembimbing : Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, M.Sc., Ph.D
(......................................)
Penguji : Rasjid Sartuni, M.Hum. (......................................)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : Juli 2014
Oleh
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
v
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur tak akan pernah cukup untuk mengutarakan rasa terima kasih
saya pada Daya yang Maha Besar—Tuhan Allah, Yesus Kristus—atas kebaikan-Nya
menemani saya menunantaskan penulisan skripsi ini. Dari-Nya saya belajar untuk
menenun mimpi dan bersama dengan-Nya tak ada mimpi yang sia-sia. Pada akhirnya,
saya kembali ke tempat saya memulai, drama.
Penelitian ini tak akan selesai—pun dimulai—apabila Ia tak mengirimkan
orang-orang baik hati dalam hidup saya. Rasa terima kasih yang besar pada mereka,
tak dapat terukur maupun diurutkan. Terima kasih ini dituliskan untuk mengingat
kebaikan hati mereka.
Kepada Ibu Riris K. Toha Sarumpaet, terima kasih atas waktu, ilmu, dan buku
yang diberikan dengan kasih pada saya. Di sela-sela kesibukan yang padat—Tuhan
mengabulkan doa yang tak berani saya ucapkan—Ibu masih bersedia duduk dan
berdiskusi dengan saya. Maafkanlah tulisan saya yang seringkali sulit dimengerti dan
jauh dari indah ini.
Kepada Bapak Yoeseof, terima kasih atas bimbingannya yang mengawali
langkah saya. Walaupun pembicaraan dengan Bapak akhirnya harus berhenti, ‘Drama
Propaganda’ telah membantu saya menyelesaikan penelitian ini.
Kepada Ibu Nitra dan Bapak Rasjid, penguji skripsi ini, terima kasih atas
kesediaan dan waktu yang diluangkan untuk membaca tulisan saya.
Kepada dua—yang karenanya saya ada—darah, daging, dan detak jantung
saya, terima kasih. Kalian tahu bahwa tempat saya pulang ada pada pelukan kalian.
Untuk waktu dan cinta yang tiada batasnya, mama dan papa, separuh mimpi saya
adalah kalian.
Kepada adik saya, Ignatius Kevin Tigor yang jenius, terima kasih karena telah
menemani papa dan mama selama saya berkeliaran mencari mimpi. Adik perempuan
saya yang lain, Cindy Gabriella, terima kasih atas hadiah dan kemudaannya yang
membahagiakan.
Kepada keluarga besar Silalahi, Opung dengan doa dan senyumnya, Inangtua,
Tulang, Natulang, Tante, dan Om serta abang dan adik-adik sepupuku. Terima kasih
atas makan malam dan hadiah, yang selalu dapat menumbuhkan semangat. Terutama
kepada Tulang Besar, terima kasih untuk perangkat teknologi yang menjadi sumber
utama penulisan skripsi ini.
Kepada Sjors Tares, matahari yang bersinar terang, terima kasih karena tak
pernah lelah dan padam. Kamu menunggu!
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
vi
Kepada saudari dari rahim yang berbeda (sisters from another mother),
Testarossa, Sasya, Natya, dan Fenesha, terima kasih atas cinta yang dibagi dan
perjalanan seru. Untuk puluhan kali ‘tunda’ yang dimengerti, kalian kesayangan.
Kepada Bapak Madin Tyasawan dan Ibu Novi, saya ucapkan terima kasih atas
kesediannya memberikan saya akses mencari bahan dan data yang disimpan oleh
Komite Teater untuk penulisan skripsi ini.
Kepada Mbak Lidya, yang telah begitu baik membantu saya mencari dan
bersedia membalas pesan saya kapan saja, terima kasih banyak.
Kepada teman-teman Dewan Kesenian Jakarta, Angka (kamu baik sekali),
Maria, Sekar, Dita, terima kasih banyak atas kehangatannya menerima saya di sana.
Kepada kawan-kawan seperjuangan, khususnya mereka yang ada di Kober dan
sekitarnya, terima kasih atas tawa dan duka yang dibagi. Arkhe, Norman, Citra, Galuh,
Gadis, Chotim, Dwi, Goma, Paijo, dan Selly, terima kasih banyak. Marilah kita
bersama menyambut paduan suara di tempat pertama dulu bertemu.
Kepada Yosepha, teman sekamar yang baik, terima kasih atas buku dan
bincang-bincangnya. Seluruh kawan 2010 lainnya, terima kasih atas ruang yang dibagi,
cerita yang ditawarkan, kebodohan dan kelucuan masa muda, serta kelas-kelas yang
tiada duanya. Istimewa untuk Adeboi dan Greis, ditunggu.
Kepada keluarga besar IKSI, Vauriz, Agung, Nanto, Emon, Mas KC, Cai, Kiki
‘jin’, Anas, Tebo, Coir, Ditya, Taye, Ojah, Kiki Alik, Indras, dan Rizky, terima kasih
untuk bangku biru, Pagupon, Sasina, HHK, buku dan semua yang tak akan terganti.
Rasa syukur dan terima kasih ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, bagi
mereka yang tak sempat saya sebutkan namanya, semoga kebaikan kalian mendapat
ucapan terima kasih yang lebih layak dari Daya Maha Besar.
Akhirnya, saya berharap, penulisan skripsi ini akan membawa manfaat bagi
pengembangan kesusastraan Indonesia, khususnya drama. Semoga drama tetap hidup
sepanjang masa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi
NPM : 1006663240
Program Studi : Indonesia
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal :
Yang menyatakan
( Rebecca Kezia Serefina Palupi )
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
viii
ABSTRAK
Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi
Program Studi : Indonesia
Judul : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca
Manusia dalam Laku
Skripsi ini menganalisis masalah ‘aku’—manusia—dalam naskah drama asli yang
dihasilkan pada Festival Teater Jakarta periode 2008-2013. Kondisi ‘aku—manusia—
yang muncul melalui naskah drama memiliki keterpengaruhan dari masa transisi
politik di Indonesia. Adanya pengaruh dari masa pemerintahan Orde Baru, gerakan
reformasi, sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua terekam
dalam drama-drama ini melalui masalah tentang relasi manusia dengan diri sendiri,
kekuasaan, dan sistem masyarakat. Tiga relasi ini menghasilkan pokok-pokok
persoalan manusia masa kini, yaitu penyalahgunaan kebebasan, ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, serta adanya gejala disintegrasi. Persoalan tersebut
menampilkan drama-drama dengan suasana suram dan humor yang satir.
Kata kunci:
Aku, drama, festival teater jakarta, manusia, orde baru, pemerintahan, relasi, transisi
ABSTRACT
Name : Rebecca Kezia Serefina Palupi
Study Program : Indonesia
Title : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca
Manusia dalam Laku
This thesis analyzed the problem of ‘I’—human—in the original drama of Festival
Teater Jakarta from 2008 until 2013. The condition of ‘I’—human—in the original
drama has been influenced by the transition phase of Indonesia’s politics. The
influence of Orde Baru, reformation movement until the Susilo Bambang
Yudhoyono’s last governance had been documented in the dramas of human relations
with themselves, power, and also the society. These three relations had produced main
problems of human in the recent period, that is freedom abusement, civil distrust of
government, and the symptoms of disintegration. Those problems showed a dark and
satirical humor of the dramas.
Keywords:
I, drama, festival teater jakarta, human, orde baru, governance, relation, transition
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. … i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................. vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR SKEMA ........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 7
1.3 Tujuan ........................................................................................... 9
1.4 Kerangka Teori............................................................................... 10
1.5 Metodelogi Penelitian ................................................................... 15
1.6 Sistematika Penyajian .................................................................... 18
BAB II TELAAH STRUKTURAL DRAM-DRAMA
FESTIVALTEATER JAKARTA ................................................................ 19
2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ................... 19
2.1.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia
dengan Diri Sendiri .................................................................... 20
2.1.2 Analisis Struktural Naskah Drama
Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ................................. 22
2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan ...................... 51
2.2.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia
dengan Kekuasaan .............................................................. 51
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
x
2.2.2 Analisis Struktural Naskah Drama
Relasi Manusia dengan Kekuasaan .................................... 53
2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat ..................... 78
2.3.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi
Manusia dengan Masyarakat .......................................................... 79
2.3.2 Analisis Struktural Naskah Drama
Relasi Manusia dengan Masyarakat .................................. 80
2.4 Simpulan........................................................................................110
BAB III MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM
DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA ................................. 112
3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama Festival
Teater Jakarta sebagai Hasil
Perspektif Pengamatan Relasi Manusia ................................................ 113
3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah dalam
Drama dengan Realitas Sosial di Indonesia ........................................ 117
3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam
Drama dan Realitas Sosial ......................................................... 117
3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam
Drama dan Realitas Sosial ....................................................... 127
3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam
Drama dan Realitas Sosial .................................................... 140
3.4 Kecenderungan Masalah dalam Drama
Ditinjau dari Keadaan Sosiologis ........................................................ 149
3.5 Simpulan .......................................................................................... 164
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 166
4.1 Kesimpulan ................................................................................... 166
4.2 Saran ........................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 173
LAMPIRAN ................................................................................................... 175
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ........ 49
Gambar 2.2 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan .......... 76
Gambar 2.3 Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia
dengan Masyarakat ....................................................................................... 81
Gambar 2.4 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........ 108
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
xii
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........... 108
Skema 3.1 Persoalan Drama FTJ dalam Konteks Realitas Sosial............. 116
Skema 3.2 Temuan Peristiwa dalam Drama
melalui Penelusuran Sosiologis ..................................................................... 151
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Naskah Drama Festival Teater Jakarta 2008-2013 ................ 16
Tabel 1.2 Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian ..................... 17
Tabel 3.1 Kritik Sosial melalui Pers dan Respon Negara 1966-1974 ...... 131
Tabel 3.2 Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 2009 .......................................... 137
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan pelaksanaan Festival Teater Jakarta bertautan erat dengan tujuan utama
dibangunnya Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu mewadahi kegiatan seni di
Jakarta—yang menjadi pusat kebudayaan di Indonesia. Pusat kesenian ini didirikan
atas dasar keinginan dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, untuk
menyediakan ruang bagi seniman kota berkarya. Sejalan dengan tujuan untuk
menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Indonesia maka didirikan
pulalah sebuah lembaga yang membantu pemerintah menjalankan tujuan dari Pusat
Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu Dewan Kesenian Jakarta.1 Lembaga ini, yang
pada awal didirikan diketuai oleh Trisno Sumardjo, mengatasi keenam Komite yang
secara langsung mengatur jalannya kehidupan seni di Jakarta. Keenam Komite itu
adalah Komite Teater, Komite Tari, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Musik,
dan Komite Film. Dewan Kesenian Jakarta juga bertugas untuk memberikan bantuan
kepada para seniman dalam mewujudkan karyanya. Beberapa program dan bantuan
dana dirancang sebagai salah satu cara memfasilitasi kerja seni tersebut.
Festival Teater Jakarta merupakan salah satu program yang dibentuk oleh
Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Festival ini dilaksanakan pertama kali pada
tahun 1973, atas gagasan Wahyu Sihombing, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian
Jakarta, dengan berfokus pada pembinaan kelompok-kelompok teater di Jakarta.
Tujuan utamanya adalah mencari kelompok teater yang memiliki keunggulan artistik
untuk tampil di acara kesenian Taman Ismail Marzuki. Pada perkembangannya, tujuan
festival ini tidak hanya mencari kelompok yang dapat mengisi acara di Taman Ismail
Marzuki (selanjutnya disebut TIM), tetapi juga mengembangkan kelompok tersebut
secara profesional. Oleh sebab itu, Festival Teater Jakarta (selanjutnya disebut FTJ)
1 Diambil dari Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008 (2012) Achamad Syaeful
Anwar, disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
2
Universitas Indonesia
memberikan status ‘kelompok teater senior’ bagi peserta yang memenangi FTJ tiga kali
berturut-turut. Kelompok ini akan mendapat bantuan dana dari DKJ sebagai salah satu
lanjutan program pembinaan FTJ.
Namun, sejak FTJ tidak lagi berada di bawah penyelenggaraan DKJ, program
bantuan dana untuk kelompok senior tidak diteruskan. Semenjak tahun 1992, tanggung
jawab pelaksanaan FTJ dialihkan kepada Pengelola Gelanggang Remaja dan Dinas
Kebudayaan karena adanya rencana renovasi gedung Teater Arena dan Teater
Tertutup—yang biasa digunakan sebagai tempat penyelenggaraan FTJ. Oleh sebab itu,
FTJ pada periode tersebut diselenggarakan secara terpisah di beberapa wilayah di DKI
Jakarta. Pada masa itu, terjadi krisis yang datang dari pihak internal FTJ. Muncul
anggapan bahwa FTJ tidak lagi menjadi media yang efektif untuk mewadahi kegiatan
seni di Jakarta. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah peserta FTJ pada tahun 90-
an.
Setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ di komplek TIM, pada tahun 2006,
krisis di dalam tubuh FTJ segara dibenahi. Secara perlahan, peserta FTJ tercatat
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (yang dilanda krisis internal pada tahun
1990-an). Proses kembalinya FTJ di bawah penyelenggaraan DKJ, diprakarsai oleh
kepengurusan Ratna Sarumpaet—ketua DKJ masa itu—dengan dilaksanakannya
diskusi bersama pihak asosiasi teater di masing-masing wilayah. Baru pada tahun 2006,
dicapai kesepakatan oleh stakeholder dan DKJ untuk mengembalikan penyelenggaraan
FTJ ke TIM.
Walaupun diikuti oleh peningkatan jumlah peserta yang menjanjikan, tantangan
FTJ di masa ini semakin banyak. Salah satu yang selalu menjadi masalah adalah
infrastruktur untuk memperlengkapi kebutuhan acara seni yang memadai. Infrastruktur
ini sangat mempengaruhi konsistensi para pekerja seni untuk terus berkarya. Tanpa
adanya konsistensi untuk terus menghasilkan hal-hal baru dalam kesenian, FTJ akan
kehilangan tujuannya.
Selain itu, Mudji Sutrisno (2013) juga mencatat bahwa konsistensi FTJ
mendapat tantangan dari segala sesuatu yang sifatnya serba instan. Semakin maju
teknologi membuat orang lebih suka pada hal yang cepat dan praktis sehingga kegiatan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
3
Universitas Indonesia
yang memerlukan proses panjang, seperti FTJ, menjadi kurang peminatnya. Ditambah
pula dengan adanya pandangan bahwa FTJ merupakan suatu acara yang bersifat
eksklusif, hanya untuk pemuas estetika belaka. Unsur perlombaan membuat para
peserta menghasilkan karya yang terpaku pada selera juri, kemudahan penggarapan,
dan unsur hiburan.2 Padahal menurut Madin Tyasawan, FTJ ini dapat bertahan karena
adanya daya yang dihasilkan (secara konsisten, seperti yang disebutkan sebelumnya)
oleh para pekerja seni sebagai proses mereka mencari kesejatian diri. Proses ini
diwujudkan dalam bentuk kegelisahan artistik yang seharusnya dapat ditampung oleh
FTJ. Dengan begitu, FTJ akan dapat memberikan lebih dari sekadar perlombaan teater,
yaitu hasil reaksi para peserta terhadap peristiwa kehidupan.
Sayangnya, proses para peserta dalam mengolah gagasan atau kegelisahan
tersebut, masih terjebak pada bentuk-bentuk yang lama. Hal ini disebabkan oleh
penulisan naskah drama yang bersifat tidak dinamis (Benny Yohanes, 20113). Para
peserta dianggap tidak berani untuk mengangkat cerita yang kurang populer, tetapi
lebih relevan dengan masa kini. Padahal kebutuhan untuk menyajikan pementasan
yang dekat dengan masyarakat—mengingat persaingan dengan teknologi dan hal yang
serba instan—menjadi suatu hal yang dibutuhkan FTJ untuk terus hidup. Dengan
memilih atau menggunakan naskah drama yang baru, para peserta dapat lebih
mengembangkan kemampuan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dipangggungkan.
Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa drama merupakan seni yang bersifat
paradoksal. Drama yang dipanggungkan merupakan hasil tafsir dari naskah drama,
“Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara
dan pemain menafsirkan teks” (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 158). Ketika drama
dibicarakan sebagai teks, ia merupakan sebuah bentuk kesenian berupa bahasa yang di
dalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Namun, sebagai bentuk seni representatif,
2 Wawancara personal dengan Madin Tyasawan, Ketua Komite Teater tahun 2010, (2014) menanggapi
tulisannya, “kita membutuhkan pedoman penyelenggaraan FTJ yang visioner dalam menjawab
tantangan jaman, yang kondusif dalam memacu kreativitas, yang memberi peluang potensi inovasi, yang
memungkinkan FTJ bukan melulu lomba dengan ukuran menang-kalah, tetapi menjadi fiesta (pesta)
kreativitas.” (Diambil dari Koran Panggung FTJ (2010) ed.2) 3 3 Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
4
Universitas Indonesia
ia diciptakan untuk dipentaskan (Scholes 1978:731). Dalam seni teater modern,
keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan,
“Because it is literature, a play can be read. But because its is representational
art, a play is meant to be witnessed. (…) The text of a play is something like the
score of symphony—a finished work, yet only potentiality untill it is performed.
Most plays, after all, are writen to be performed.” (Scholes 1978: 731)
Oleh sebab itu, ketika muncul kritik tentang stagnansi bentuk pementasan pada
FTJ, perlu pula dilihat bagaiman konsep dari gagasan tersebut dibicarakan dalam
naskah drama. Hal ini penting untuk mempelajari kesalahan dan kekurangan dari segi
konsep. Komite Teater DKJ pun menilai bahwa keberadaan naskah drama merupakan
hal yang mendesak untuk diperhatikan, terutama penulisan naskah-naskah drama baru.
Dengan adanya naskah-naskah baru, inovasi akan semakin banyak dilakukan. Tidak
hanya dari segi konsep, tetapi juga pada eksekusi di atas panggung. Naskah-naskah
baru ini juga dapat mewadahi kebutuhan para peserta untuk membicarakan tanggapan
atau pandangan mereka terhadap peristiwa dalam kehidupan pada masa tersebut. Hal
ini akan membangun sebuah interaksi yang baik antara pelaku FTJ (peserta dan
penyelenggara) dan pengunjung FTJ atau masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh
Scholes “Drama, then, offers us a direct presentation of its imaginative reality”
(Scholes 1978: 731). Interaksi ini akan dapat memperkaya kehidupan masyarakat dan
pengembangan kegiatan seni drama pada FTJ.
Untuk mengarahkan seluruh komponen FTJ kepada tujuan yang baru ini,
Komite Teater pun menetapkan judul tema ‘Membaca Aku, Membaca Laku’ sebagai
platform penyelenggaraan FTJ. Judul tema4 ini mulai digunakan pada pelaksanaan FTJ
tahun 2010. Kemudian pada pelaksanaan tahun-tahun berikutnya, platform ini
melahirkan tema-tema yang berbeda, seperti Membaca Lingkungan (2011), Membaca
Tradisi (2012), dan Membaca Teks (2013). Sebenarnya, tujuan dari pencanangan tema
adalah mengarahkan para peserta untuk melihat ‘aku’ secara lebih dalam. Kata ‘aku’
yang digunakan ini dapat merujuk pada ‘aku peserta’ atau ‘aku masyarakat’. Pada
4 Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
5
Universitas Indonesia
intinya, ‘aku’ ini memiliki pengertian tentang manusia dan segala hal yang terjadi
padanya di masa ini.
Semenjak diberlakukannya tema ini, jumlah produksi naskah asli mulai
mengalami peningkatan. Pada tahun tahun 2013, jumlah naskah asli tercatat lebih
banyak dari penggunaan naskah-naskah lama atau adaptasi. Hal ini disebabkan oleh
keseriusan Komite Teater untuk mengembangkan penulisan naskah drama dengan
memberikan apresiasi bagi penulis naskah terbaik. Sebenarnya, pada tahun yang sama,
Komite Teater ingin menetapkan peraturan baru terkait fokus mereka terhadap
penulisan naskah drama asli. Peraturan baru itu menetapkan bahwa para peserta FTJ
harus menggunakan naskah asli buatan grup. Akan tetapi, aturan ini ditolak oleh
sebagian besar peserta karena merasa tidak siap. Perlu diingat bahwa FTJ merupakan
program berjenjang yang pelaksanannya dimulai di tingkat wilayah dan berakhir di
tingkat pusat. Menurut Ketua Komite Teater saat ini, Dewi Noviami, pelaksanaan FTJ
di tingkat pusat baru dapat dijalankan apabila dana dari pemerintah telah cair. Oleh
sebab itu, waktu sosialisasi tentang perubahan peraturan ini dilakukan setelah
penyelenggaraan festival teater di tiap wilayah. Pemenang dari festival wilayah yang
akan maju ke FTJ menganggap bahwa waktu sosialisasi aturan baru tersebut sangat
berdekatan dengan pelaksanaan FTJ sehingga tidak semua kelompok siap untuk
memproduksi naskah baru.
Naskah-naskah drama FTJ juga memiliki manfaat bagi kesusastraan Indonesia.
Dengan melihat bahwa naskah drama memiliki peran yang sangat besar dalam
perjalanan FTJ—terutama setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ pada tahun
2006—maka penulis ingin mengetahui persoalan ‘aku’ yang diangkat dalam naskah
drama asli FTJ. Hal ini berkaitan dengan pernyataan sebelumnya bahwa FTJ
merupakan wadah dari kegelisahan para peserta—yang adalah bagian dari
masyarakat—atas peristiwa kehidupan yang dialaminya. Kegelisahan ini timbul dari
perbedaan antara kenyataan (Das Sein) dan harapan (Das Sollen) yang dirasakan oleh
peserta—terutama pengarang drama (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 145). Kenyataan
ini diolah melalui proses kreatif dan diciptakan kembali sebagai dunia imajiner dalam
karya (Luxemburg 1984: 17).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
6
Universitas Indonesia
Namun, keinginan untuk meneliti naskah drama dari tahun 2006—tahun
kembalinya FTJ ke DKJ—tidak dapat terwujud karena naskah-naskah drama pada
tahun 2006 dan 2007 tidak disimpan oleh pihak DKJ. Sebenarnya, DKJ pun belum
memiliki penyimpanan khusus untuk semua naskah drama—baik asli maupun
adaptasi—yang digunakan pada FTJ. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri
mengingat adanya keinginan Komite Teater untuk memajukan penulisan naskah drama
di FTJ.
Pengumpulan naskah-naskah drama ini juga sangat penting untuk membantu
proses pengembangan pertunjukan. Peserta lain dapat melihat bentuk dan gagasan yang
telah muncul pada FTJ sebelumnya, untuk digunakan sebagai landasan berinovasi.
Dengan adanya dokumentasi naskah drama yang baik, proses pembelajaran dalam FTJ
dapat berjalan. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan awal diselenggarakannya FTJ,
yaitu untuk mengumpulkan dan membina kelompok-kelompok teater yang ada di
Jakarta.
Selain itu, naskah-naskah drama ini tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi
belaka, tetapi juga dapat menjadi alat kritik, dan yang terpenting sebagai perenungan
bagi kehidupan manusia (Oemarjati 1971: 63). Gagasan pengarang yang dituangkan
melalui ‘aku’ dianggap penting untuk melihat masalah utama yang dibicarakan dalam
drama. Hal ini disebabkan oleh interaksi—aku—manusia dipandang sebagai sumber
masalah utama dalam karya drama karena menjadi tempat bertemunya berbagai
karakter di suatu tempat dalam satu masa. Drama menjadi berbeda dari bentuk seni
yang lain karena hakikatnya adalah membicarakan manusa, seperti yang diungkapkan
Swingewood (1972) bahwa “memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu
situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk selanjutnya menemukan
nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19).
Oleh sebab itu, penelusuran naskah drama FTJ dari tahun 2008 hingga 2013,
hendak melihat ‘aku’ sebagai bagian dari manusia yang terikat oleh suatu kondisi sosial
di masa kini. Penelitian tidak hanya akan berhenti pada struktur dari drama yang ada,
tetapi juga menggunakan pendekatan sosiologi untuk mengutuhkan gambaran ‘aku’
dalam kenyataan. Dengan begitu, penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
7
Universitas Indonesia
pengetahuan tentang gambaran kenyataan yang mempengaruhi kecenderungan tema
yang dibahas pada drama masa kini Hal ini dimaksudkan untuk mengawali
pembicaraan tentang drama masa kini dalam periodisasi sastra drama.
1.2 Perumusan Masalah
Pembicaraan karya sastra drama yang dihasilkan pada masa kini masih jarang
ditemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Vauriz Bestika pada tahun 2011, tentang
drama Republik Reptil5 karya Radhar Panca Dahana yang mengangkat masalah antara
KPK dan kepolisian6, merupakan satu dari sedikit pembicaraan tentang drama masa
kini. Sedikitnya pembicaraan mengenai naskah drama pada masa kini tidak berbanding
lurus dengan jumlah naskah yang diciptakan. Secara kuantitatif, penciptaan naskah
masa kini dapat dikatakan banyak. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pementasan-
pementasan drama yang menggunakan naskah-naskah baru, seperti pentas “Gundala
Gawat”7 oleh Teater Gandrik dan “Goyang Penasaran”8 oleh Teater Garasi. Ada pula
kegiatan yang dilangsungkan untuk memicu produktivitas naskah pada masa kini,
seperti Indonesia Dramatic Reading Festival, Bengkel Penulisan Lakon (sebagai ganti
Sayembara Penulisan Lakon DKJ), Festival Teater SMA, dan Festival Teater Jakarta.
Festival Teater Jakarta adalah festival teater terbesar di Indonesia. Festival ini
telah menjadi barometer perkembangan pertunjukan drama di Jakarta dan beberapa
daerah lain. Namun, belum ditemukan adanya pembicaraan mengenai naskah-naskah
drama yang dihasilkan pada acara ini. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan mengingat
bahwa festival ini merupakan wadah bagi para pelaku teater untuk mengungkap
gagasannya atas kegelisahan mereka dalam melihat peristiwa kehidupan. Proses
5 Republik Reptil dan Drama-Drama Lainnya. 2010. Jakarta: Balesastra Pustaka 6 Bestika, Vauriz. “Drama “Republik Reptil”: Tanggapan terhadap Perkara KPK dan Kepolisian”. 2011.
Depok: Universitas Indonesia 7 Ditulis oleh Goenawan Mohamad dibantu oleh Agus Noor dan Whany Dharmawan berdasarkan cerita
komik Gundala Putra Petir karangan Hasmi. Naskah ini dipentaskan oleh Teater Gandrik, disutradarai
oleh Djaduk Ferianto, pada tanggal 26-27 April 2013 di Graha Bhakti Budaya TIM. 8 Ditulis oleh Naomi Srikandi dan Intan Paramaditha berdasarkan cerita pendek dengan judul yang sama
karangan Intan Paramadhita. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Studio Teater Garasi, Yogyakarta,
pada pertengahan Desember 2011.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
8
Universitas Indonesia
pertemuan antara gagasan dan kenyataan yang mempengaruhinya dapat dilihat pada
naskah drama yang menjadi konsep awal dari kerja seni drama yang panjang.
Hal tersebut juga dapat menjawab masalah FTJ yang disinyalir tidak lagi
memiliki korelasi dengan kehidupan masyarakat. Berangkat dari pemahaman bahwa
drama merupakan sebuah kenyataan baru yang bertolak dari kenyataan yang ada maka
unsur pengarang/peserta yang menghasilkan karya menjadi penting. Pengarang—
sebagai tuhan dalam drama—menciptakan sebuah dunia baru sebagai hasil tanggapan
dia, yang juga bagian dari masyarakat, atas keadaan sosial yang dialaminya kepada
pembaca (Luxemburg 1984: 23). Dengan demikian pembicaraan mengenai naskah
drama tidak hanya terpaku pada bentuk-bentuk pemanggungan, tetapi juga dapat
memaknai peristiwa kemanusiaan yang dibicarakan di dalamnya.
Pentingnya peran ‘aku’—peserta/pengarang—dituangkan oleh Komite Teater
DKJ dalam platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’. Platform ini diharapkan dapat
membuka sudut pandang peserta mengenai masalah-masalah ‘aku’—masyarakat—
yang terdapat di dalam kehidupan masa kini. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan
para peserta pada hal-hal yang dianggap mendesak untuk dibicarakan di dalam FTJ
sehingga akan mengembalikan tujuan awal digagasnya acara ini, yaitu sebagai bagian
dari peristiwa budaya.
Oleh sebab itu, masalah-masalah mengenai ‘aku’ pada naskah drama akan
ditelusuri secara sosiologis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan masyarakat
saat ini yang menjadi sebuah urgensi. Masalah-masalah seputar ‘aku’—manusia—
disebabkan oleh lakuannya dalam kehidupan (Oemarjati 1971: 78). Bentuk lakuan
yang ditemukan, diasumsikan lahir dari adanya relasi manusia dengan faktor-faktor
dalam kehidupan.
Penelitian ini menggunakan perspektif pengamatan (lihat Damono 2008: 64)
relasi manusia untuk menemukan masalah seputar keadaan manusia di dalam naskah
drama. Relasi manusia yang pertama adalah manusia dengan kekuasaan. Relasi vertikal
ini dianggap dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana pembentukan manusia
dalam situasi bangsanya. Relasi manusia yang kedua adalah manusia dengan
masyarakat. Hal ini dianggap dapat memperlihatkan masalah manusia yang muncul
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
9
Universitas Indonesia
dalam interaksinya dengan keadaan sosial di sekitarnya. Yang terakhir dan bersifat
fundamental adalah relasi manusia dengan dirinya sendiri. Dari relasi ini diasumsikan
dapat memperlihatkan lakuan yang dihasilkan manusia sebagai dirinya sendiri di antara
hubungan-hubungan lainnya.
Perspektif relasi manusia ini akan ditelusuri melalui unsur-unsur yang
membangun drama. Dengan melihat unsur di dalam drama, seperti alur dan tokoh,
diharapkan gambaran atas masalah manusia yang menjadi kegelisahan para peserta FTJ
dapat dikumpulkan secara utuh. Kenyataan dalam naskah drama ini akan dibandingkan
dengan kenyataan yang ada pada kehidupan melalui pendekatan sosiologi. Pendekatan
sosiologi ini sangat penting dalam sastra, seperti yang diungkapkan Grebstein (1968):
“Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari
lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus
dipelajari dari konteks yang seluas-luasnya (…) Setiap karya sastra adalah hasil
pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural,” (Damono
2010: 6—7)
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan melihat urgensi dari pembicaraan atas naskah drama FTJ tahun 2008-
2013 maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Menjelaskan struktur intrinsik naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013
b. Menguraikan aspek sosiologis naskah-naskah drama Festival Teater Jakarta
periode 2008-2013.
c. Menjelaskan kecenderungan tema yang dihasilkan dari naskah-naskah Festival
Teater Jakarta dengan menyesuaikan temuan dari naskah drama dengan aspek
sosiologis yang mempengaruhinya sebagai gambaran drama masa kini.
Secara khusus penulisan skripsi ini bertujuan untuk memaknai peristiwa
kehidupan masyarakat di Indonesia pada masa kini. Hal tersebut datang dari kebutuhan
FTJ untuk melihat pula korelasinya selama ini dengan kehidupan masyarakat. Tujuan
ini berangkat dari pernyatan Jakob Sumardjo dan Saini K.M mengenai sastra sebagai
tolak ukur kualitas masyarakat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
10
Universitas Indonesia
“Sebagai cabang kesenian, sastra berfungsi memperjelas, memperdalam, dan
memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Dengan
penghayatan yang lebih baik terhdap kehidupannya manusia dapat berharap
untuk dapat menciptakan kehidupan yang sejahtera.” (Sumardjo & Saini K.M
1991: 16)
1.4 Kerangka Teori
Drama adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengandalkan dialog dan
lakuan tokoh-tokohnya untuk menyampaikan masalah yang ingin dibicarakan. Pada
hakikatnya, masalah dalam drama adalah persoalan tentang manusia yang timbul dalam
situasi dramatik sebagai hasil dari interaksinya (Oemajati 1971: 79-80). Masalah
tentang manusia yang diangkat ke dalam sebuah drama adalah gagasan pengarang yang
muncul dari pengalaman kehidupannya. Kesenjangan antara kenyataan (Das Sein) dan
harapan (Das Sollen) yang ia temukan dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan suatu
kegelisahan dalam diri pengarang sehingga ia—sebagai bagian dari masyarakat—
memberikan tanggapan terhadap situasi tersebut. Situasi inilah yang ia bangun kembali
ke dalam sebuah drama.
A. Teeuw (2003: 188) mengatakan bahwa hubungan antara sastra—khususnya
drama—dan kenyataan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Kenyataan
membentuk gagasan pengarang sehingga pengarang menciptakan sebuah karya.
Sementara itu, pada waktu yang berbeda, masyarakat membaca karya dan mendapat
masukan dari hasil bacaannya tersebut. Walaupun tidak terjadi secara langsung, hasil
pembacaan masyarakat terhadap drama dapat memberikan masukan atau pengaruh
dalam tindakan dan pola pikirnya, seperti diucapkan oleh Mochtar Lubis (1992) berikut
ini:
“membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima
oleh anak manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi,
atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.”
(1992: 346)
Jauh sebelumnya, Plato telah lebih dulu menyatakan bahwa karya sastra adalah
sebuah bentuk tiruan dari kenyataan. Namun, pernyataan Plato tersebut disanggah oleh
Aristoteles yang melihat bahwa karya sastra bukanlah sebuah tiruan belaka. Ia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
11
Universitas Indonesia
menambahkan pernyataan Plato dengan daya imajinasi yang dimiliki oleh pengarang
terhadap proses peniruan tersebut. Ketika seorang pengarang ingin menuliskan sebuah
karya dari pengalaman yang ia punya maka pengalam tersebut telah direkonstruksi
ulang dengan daya imajinasi serta penambahan lain yang membuat karya tidak lagi
sama dengan kenyataan. Namun, unsur-unsur dalam kenyataan tetap dapat terasa
dalam karya.
Seorang pengarang sastra bukan lagi peniru tetapi pencipta yang baru.
Pengarang drama memasukkan gagasannya tersebut ke dalam sebuah bangunan yang
menjadikan drama utuh. Berbeda dengan jenis sastra lainnya, drama bersifat
paradoksal, ia diciptakan untuk dipentaskan. Oleh sebab itu, bangunan drama lebih
kompleks dan lebih hidup dibandingkan dengan karya sastra lainnya. Hal inilah yang
disampaikan oleh Letwin dan Stockdale:
“architecture, by both connotation and definition, is the art and science, style
and method, of designing and creating something. Most commonly, that
something is thought of as a building, but it can be—indeed is—defined as any
created form, such as a systemn of government, a symphonic composition, or,
in our case, the production of dilm or stage play. (…) that there is a design to
its creation—what writer Eric Kahler described as an ‘inner organizational
coherence’—and that these methods and designs can be studied and
apprehended.” (Letwin & Stockdale 2008: xiii)
Semakin padu seorang pengarang membangun gagasannya ke dalam unsur-
unsur intrinsik drama maka semakin nyata pula dunia yang ingin digambarkannya.
Kepaduan tersebut dapat dilihat dari hubungan antarunsur yang terbangun secara indah
dan jujur (Letwin dan Stockdale 2008: xii). Unsur-unsur dalam drama, menurut Letwin
dan Stockdale, terdiri atas alur, karakter/tokoh, tema, genre, dan cara bercerita (Letwin
& Stockdale 2008: xv). Namun, ada pula yang menambahkan unsur bahasa dan dialog
sebagai bagian terpenting untuk melihat bangunan drama, seperti Jakob Sumardjo dan
Saini K.M (1991). Reaske (1996) membagi anatomi bangunan drama ke dalam tiga
fokus, yaitu alur, karakter, dan bahasa.
Pada dasarnya, pernyataan para ahli tentang unsur yang membangun drama ini
menjelaskan bahwa tubuh drama dibangun dari sebuah hubungan sebab akibat yang
tersusun dalam beberapa babak (alur) dan dimainkan oleh tokoh-tokoh berbeda
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
12
Universitas Indonesia
karakter dengan dialog yang mendukung situasi untuk mempersoalkan tema yang
dipilih.
Untuk melihat alur suatu drama, Sumardjo dan Saini K.M menggunakan
struktur dramatik Aristoteles yang membagi drama dalam lima bagian utama, yaitu
eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan ditutup dengan konklusi. Lima bagian
tersebut membentuk hubungan kausal yang menjadi satu kesatuan padu tanpa dapat
diubah urutannya (Sumardjo & Saini K.M1991: 142). Freytag (1863) menggambarkan
struktur dramatik Aristoteles tersebut sebagai sebuah “struktur piramidal” (Oemarjati
1971: 70). Pada dasarnya, menurut Oemarjati, tujuan diciptakannya konvensi bagian-
bagian alur adalah untuk mempermudah penelitian tentang drama. Akan tetapi,
interpretasi terhadap alur sebaiknya disesuaikann pula dengan kebutuhan sifat drama
(Oemarjati 1971: 72). Oleh sebab itu, muncul pula pendapat lain tentang pembagian
alur, seperti pendapat Letwin dan Stockdale yang menganalisis alur dengan berfokus
pada tokoh pembawa cerita. Alur—menurut Letwin dan Stockdale (2008: 1)—dibagi
dalam tujuh komponen dasar, yaitu tokoh utama, insiden yang mengganggu
keseimbangan dunia tokoh utama, obyektif—tujuan yang ingin dicapai tokoh utama
untuk mengembalikan keseimbangan dunianya, rintangan—hal yang mencegah tujuan
tokoh utama, krisis, klimaks, dan penyelesaian.
Luxemburg mengingatkan kembali bahwa alur dalam drama tidak disajikan
secara gamblang dalam teks melainkan melalui gabungan peristiwa, tokoh,
penggarapan waktu, dan ruang (Luxemburg 1984:1967-1973). Dari pernyataannya
tersebut, alur tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya tokoh yang memainkan atau
waktu yang menjadi latar situasi. Tokoh dalam drama, umumnya berupa manusia
walaupun tidak menutup kemungkinan adanya tokoh binatang atau mahkluk fantasi
lainnya (Sumardjo & Saini K.M 1991: 144). Besar kecilnya peran mereka ditentukan
dari kebutuhan cerita dalam drama. Ada tokoh yang menggerakkan cerita (protagonis)
dan ada pula yang menentang tokoh penggerak cerita (antagonis). Di samping kedua
tokoh tersebut, muncul pula tokoh-tokoh pendukung yang perannya disesuaikan
dengan fungsi mereka dalam menunjang keutuhan cerita.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
13
Universitas Indonesia
Tidak seperti karya sastra lainnya, penggambaran para tokoh diwujudkan dalam
dialog dan lakuan. Dialog para tokoh menjadi bagian penting dalam drama karena
fungsinya menggantikan narasi—seperti dalam karya sastra lainnya (Scholes 1978).
Hubungan antara dialog dan tokoh saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui
dialog, pembaca dapat melihat karakter tokoh yang bermain. Di lain sisi, dialog yang
disampaikan oleh tokoh tergantung pada karakter si tokoh tersebut (Luxemburg 1984:
160-161). Melalui gerak gerik dan interaksi para tokoh, pembaca dapat melihat hasil
dari buah pikiran pengarang (Sumardjo & Saini K.M 1991: 145).
Penggarapan waktu yang mendukung terciptanya alur, biasanya, disusun secara
kronologis (Luxemburg 1984: 169). Akan tetapi, menurutnya, dalam drama ada banyak
cara untuk menampilkan latar waktu—tidak selalu harus berurutan atau linear.
Terkadang dalam drama, ada adegan yang dapat terjadi bersamaan, ada pula yang
mundur ke belakang untuk dapat maju ke depan. Masalah pemberitaan waktu kepada
pembaca dapat diungkapkan melalui irama atau kejadian yang menimbulkan kesan
masa lalu atau masa depan.
Selain latar waktu, alur juga membutuhkan latar tempat yang dapat mendukung
terciptanya suasana yang diinginkan. Penggambaran latar juga mampu menunjukkan
pada pembaca tentang genre dan gaya yang diangkat oleh pengarang. Artinya, latar
tempat dalam drama tidak selalu harus menunjukkan suatu bangunan atau tempat,
tetapi bisa juga gambaran situasi berlangsungnya peristiwa (Scholes 1978: 743).
Aliran merupakan salah satu unsur penting dalam struktur drama. Drama-drama
absurd, sebagai salah satu aliran kontemporer penulisan drama—memiliki fokus pada
persoalan tentang hakikat manusia. Bagian dalam drama absurd memang sengaja
dibuat tidak masuk akal untuk meninggalkann pertanyaan tentang makna drama
tersebut. Keabsurdan drama-drama ini terbentuk atas dasar usahanya merubuhkan
nilai-nilai yang dianggap tak lagi memadai bagi kehidupan manusia di abad-20
(Abbotson 2003: 1). Melalui irrasionalitas dalam struktur dramanya, drama absurd
menawakan nilai baru untuk dimaknai.
Swingewood (1972) menyampaikan bahwa yang utama dalam sebuah drama
adalah persoalan atas manusia yang muncul melalui tokoh, “memainkan tokoh-tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
14
Universitas Indonesia
ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk
selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19).
Oleh sebab itu, dengan menganalisis unsur alur (hubungan sebab akibat dalam
penggambaran suatu latar) dan tokoh (karakter dan dialog), dapat ditemukan gagasan
utama yang ingin disampaikan pengarang.
Persoalan timbul dari hasil interaksi manusia dengan kehidupan yang di
dalamnya terdiri atas alam, tuhan, masyarakat, dan dirinya sendiri. Hal ini kembali lagi
pada pembicaran di awal bahwa ketika kenyataan dalam naskah drama telah
diungkapkan, pendekatan sosiologis dapat dilakukan untuk melihat hubungan di antara
kenyataan dalam naskah dan realita sosial. Allan Swingewood mengingatkan beberapa
hal penting dalam kajian yang menggunakan pendekatan sosiologis,
“pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilaksanakan sebaik-baiknya asal si
kritikus tidak melupakan dua hal: (a) peralatan sastra murni yang dipergunakan
pengarang besar untuk menampilkan masa sosial dalam dunia rekaannya, dan (b)
pengarang itu sendiri, lengkap dengan kesadaran dan tujuannya.” (Damono 2010:
20)
Poin mengenai pengarang dalam kutipan di atas merujuk pada dunia penciptaan
naskah drama, yang didalamnya meliputi asal usul, tujuan, dan kondisi sosial
pengarang. Proses penciptaan ini juga tidak luput dari pengaruh masyarakat
pembacanya. Selain pengaruh lingkungan yang dialami, dilihat, dan dirasakan oleh
pengarang, kehadiran pembaca atau penikmat tentu menjadi suatu aspek penting dalam
penciptaan. Keberterimaan menjadi penting, mengingat perlunya apresiasi terhadap
keberlangsung proses kreatif. Dalam sejarah drama di Indonesia, Jakob Sumardjo
mencatat bahwa perkembangannya tidak luput dari selera masyarakat penikmat.
Keberterimaan karya dalam masyarakat dapat menentukan keberlangsungan suatu
jenis kesenian. Hal ini tercatat dalam sejarah pertunjukan drama di Indonesia, ketika
komedie Stamboel mengalahkan kejayaan teater bangsawan karena masyarakat di Jawa
saat itu tidak siap menerima pertunjukan dengan gaya Bahasa Melayu tinggi (Sumardjo
1997: 103-104). Atau seperti kemunculan pementasan drama dari kaum intelek yang
meletakkan naskah drama sebagai unsur terpentingnya. Hal ini dapat terus berlangsung
bahkan berkembang hingga sekarang karena kesiapan masyarakat menerima karya-
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
15
Universitas Indonesia
karya tersebut. Jadi, dalam proses penciptaan, pengarang tidak hanya menempatkan
dirinya sebagai aspek yang dominan tetapi juga meraba apa yang masyarakat ingin
dengar atau nikmati.
Pada intinya, Grebstein (1968) mengatakan bahwa untuk memahami karya
secara lengkap haruslah melihat konteks yang seluas-luasnya sebab karya sastra lahir
dari sebuah hubungan kausal yang rumit antara faktor sosiokulturalnya dan karya itu
sendiri (Damono 2010: 6-7). Jadi, dari apa yang dikemukankan oleh para ahli pada
bagian ini, penelitian tentang kecenderungan suatu drama—ditinjau dari pendekatan
sosiologis—menempatkan naskah drama sebagai sebuah bahan tinjauan dengan
didukung oleh unsur-unsur di luar karya itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik dalam
karya—seperti tokoh, tema, dan alur—akan menjadi tanda yang merepresentasi faktor-
faktor sosial. Hal inilah yang akan menjadi landasan dalam penelitian naskah drama
FTJ periode 2008-2013.
1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif yang menggunakan teks drama
sebagai bahan pengkajian. Penelusuran yang dilakukan akan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra—dengan teori strukturalisme genetik—yang mengacu pada pendapat
Piaget Goldmann,
“karya sastra itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari
proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang
hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.” (Faruk
1994: 12)
Atas dasar tersebut, langkah awal dalam penelitian ini adalah mengumpulkan
naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013. Sebelumnya, penulis hendak
menggunakan naskah drama FTJ dari tahun 2006-2013. Namun, karena keterbatasan
sumber daya yang ada, naskah-naskah drama tahun 2006 dan 2007 tidak dapat
ditemukan. Pihak penyelenggara, dalam hal ini DKJ, tidak memiliki dokumentasi yang
memadai atas naskah-naskah drama yang pernah dipentaskan pada acara tersebut,
khususnya naskah drama asli. Oleh sebab itu, penulis mengumpulkan naskah drama
asli FTJ periode 2008-2013 berdasarkan data yang diterima dari DKJ.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
16
Universitas Indonesia
Tabel 1.1
Naskah Drama Festival Teater Jakarta Periode 2008-2013 yang Dihimpun
Naskah yang berhasil dihimpun dari tahun 2008-2013 berjumlah 29 naskah dari
total 30 naskah drama asli sepanjang periode tersebut. Melihat latar belakang dan
rumusan masalah yang ada maka dipilihlah penggunaan sampel dalam penelitian ini.
Tahun Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Pusat
2008
Ruang Tunggu Terakhir-
Dediesputra, Sanggar
Matahari
Harta Karun-
Ibas Aragi,
Teater Legium
Gagu Ngigau Galau
Wagu Diky Soemarno, Teater Nonton
Gara-Gara Si
Manis Djumala Ridwan,
Lab. Teater Fitrah
Audisi Orang Mati
Dayo PA, Teater Indonesia
2009
Tidak ditemukan
Dari Jam Ban Ke
Speed Tank Yustiansyah
Lesmana, Teater
Ghanta
2010 Nol Karat
Roy Hakim,
Teater Trompah
Ruang Kehormatan Manahan Hutahuruk,
Teater Nonton
Siapa yang
Menyebabkannya? Djaelani Manoch,
Teater Lorong
2011
Roman
Herman Al Rasyid, Teater
Anam
Bek
Yamin Azhari,
Teater Pangkeng
Pesta Sampah
Yustiansyah
Lesmana, Teater Ghanta
TE(N)TANGGA(NG) Diky Soemarno,
Teater Nonton
Techno Ken Dedes Dadang Badoet,
Stage Corner Community
Bongkar Diding Boneng,
Teater Popcorn
2012
Oseng-Oseng
Afri Rosyadi, WULAN
D’LIMAH
Antorium
Ayak MH, Teater
Cermin
Perjalanan Hang
Juro
Echo Chotib, Teater
EL’NA’MA
Parlemen WC
Ribut Achwandi,
Kantong Teater
Ukoro
Budi Ketjil, TEater
Indonesia
Hitam Putih
Mifthuddin Palannari, Lintas
Teater Jakarta
2013
Ken O Ken Afri Rosyadi, Teater
Matahari Bersinar Terang
Stuktur Rumah
Tangga Kami Dendy Madiya,
Artery
Lima Pintu Budi Yasin
Misbach, Teater
Alamat
Paralel 45 Angga Dian, Teater
Pojok
Optimism Teater Hijau Lima
Satu
Kokology Diky Soemarno,
Teater Nonton
Diari Kematian
Edi Saputra, Teater Q
Hijrah Budi Ketjil, Teater
Indonesia
Istana Pasir Maya Azeezah,
Lintas Teater Jakarta
Tengok Djaelani Manoch,
Teater Lorong
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
17
Universitas Indonesia
Selain memudahkan, juga untuk memperinci uraian tentang keadaan sosiologis naskah
drama FTJ.
Langkah kedua, dipilih sembilan naskah drama dari jumlah naskah yang
berhasil dihimpun. Pemilihan kesembilan naskah drama ini berdasarkan pada jenis
relasi yang dianggap dapat menguraikan masalah utama dalam drama. Dalam tiap jenis,
akan dipilih tiga naskah yang mewakili naskah-naskah lainnya—yang diasumsikan—
memiliki kesamaan. Sembilan naskah drama ini akan menjadi korpus data dari
penelitian yang dilakukan.
Tabel 1.2
Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian
Langkah ketiga, penulis akan melakukan penelusuran struktural terhadap
korpus data yang telah dipilih. Hasil dari penelitian struktural ini akan digunakan dalam
penelusuran sosiologis karya. Penelusuran struktural ini memfokuskan pada
pembicaraan tentang alur dan tokoh yang membangun masalah dalam drama.
Langkah keempat, dilakukan penelusuran sosiologis terhadap temuan dari
analisis struktural. Penelusuran ini menggunakan teori pengkajian sosiologi sastra
dengan menggunakan bahan literatur yang ada.
Relasi I Relasi II Relasi III
“Gagu Ngigau Galau
Wagu”
(2008, Diky Soemarno)
“Paralel ‘45”
(2013, Angga D.S)
“Lima Pintu”
(2012, Budi Y. Misbach)
“Ruang Tunggu
Terakhir”
(2008, Dediesputra)
“Parlemen WC”
(2012, Ribut Achwandi)
“Te(Ntangga(NG)”
(2011, Diky Soemarno)
“Ruang Kehormatan”
(2009, Manahan H.)
“Pesta Sampah”
(2011, Yustiansyah
Lesmana)
“Roman”
(2009, Herman Al
Rasyid)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
18
Universitas Indonesia
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab dan sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut:
Bab pertama akan menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua berisi analisis struktural naskah-naskah drama FTJ periode 2008-
2013 yang telah dibagi ke dalam tiga kategori.
Bab ketiga akan membahas hasil analisis struktural drama dilihat dari dunia
penciptaannya. Temuan dari analisis struktural akan dilihat dengan menggunakan
konteks sosial yang mengutuhkan gambaran tentang manusia masa kini dan masalah-
masalahnya.
Bab empat berisi kesimpulan dari penelusuran sosiologis terhadap naskah-
naskah drama FTJ 2008-2013. Kesimpulan diharapkan dapat menghasilkan gambaran
tentang manusia masa kini yang muncul serta pembicaraan awal atas kecenderungan
masalah yang diangkat dalam drama masa kini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
19 Universitas Indonesia
BAB II
TELAAH STRUKTURAL DRAMA-DRAMA
FESTIVAL TEATER JAKARTA
Dari pembacaan awal, naskah-naskah drama yang telah dipilih sebagai korpus
data penelitian ini memiliki beberapa kesamaan yang patut dicurigai sebagai sebuah
semangat pada suatu periode. Kesamaan yang terdapat dalam kesembilan naskah
drama ini muncul melalui relasi manusia dengan lingkungannya. Relasi manusia
dengan faktor lingkungan tersebut menghasilkan sebuah masalah utama yang dapat
diperiksa melalui unsur-unsur yang membangun keutuhan struktur drama.
Relasi manusia yang akan dilihat dalam penulisan ini adalah relasi manusia
dengan diri sendiri, relasi manusia dengan kekuasaan, serta relasi manusia dengan
masyarakat. Dengan menggunakan perspektif relasi manusia, akan diuraikan unsur-
unsur yang membangun struktur dari kesembilan naskah drama yang telah dipilih.
Bangunan atau struktur drama terdiri atas unsur-unsur yang mengutuhkan dunia yang
dibentuk di dalamnya. Unsur-unsur tersebut terdiri atas tema, alur, tokoh, genre, dan
gaya bercerita (David Letwin & Stockdale 2008).
Hubungan di antara unsur-unsur ini saling bertautan dan menjadi cara
pengarang drama menceritakan masalah yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
Namun, tidak seperti karya sastra lain yang menyusun unsur-unsurnya melalui narasi,
drama menguraikan unsur-unsur ini melalui interaksi tokoh-tokohnya. Ada pengarang
yang menyertakan pula petunjuk pemanggungan yang memberikan pembaca informasi
mengenai situasi dalam drama tersebut, tetapi ada pula yang benar-benar hanya
mengandalkan dialog antar tokoh sebagai sarana penyampaian cerita.9
Pada bagian berikut ini, akan diuraikan sturktur dari sembilan naskah drama
FTJ periode 2008-2013 yang telah dikategorikan menurut jenis relasi manusia yang
dibicarakan.
9 Diambil dari The Elements of Drama. Scholes 1978: 737. “Drama in its pure form uses word to create
action through the dialogue of characters talking to one another rather than to the reader…”
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
20
Universitas Indonesia
2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri
Pembicaraan mengenai relasi manusia dengan dirinya sendiri merupakan
sebuah pembicaraan mengenai eksistensi manusia. Drama-drama yang membicarakan
mengenai eksistensialimse umumnya bersifat absurd. Drama-drama ini disebut absurd
karena memaparkan suatu dunia yang sangat menggelikan dan dinilai tak masuk logika
(Scholes 1978: 752). Dunia yang menggelikan tersebut bertujuan untuk merubuhkan
pola yang membelenggu eksistensi manusia. Aliran drama ini lahir dari situasi manusia
yang menolak sistem atau konvensi lama dengan tujuan untuk membentuk norma-
norma baru yang sesuai. Tokoh-tokoh drama yang terkenal dengan drama absurdnya,
antara lain Jean Genet, Samuel Beckett, dan Iwan Simatupang.
Kekuatan drama-drama aburd ini terdapat pada dialog antar-tokohnya. Seperti
misalnya, Samuel Beckett dalam dramanya Endgame 10, memperlihatkan tokoh yang
terkungkung di antara kiamat di sekitarnya. Namun, masalah utama dalam drama ini
terletak pada reaksi tokoh-tokohnya—melalui dialog—terhadap peristiwa yang
dialaminya. Dalam drama tersebut, peristiwa kiamat dan tokohnya justru tak saling
bersinggungan dan tak ditemukan penjelasan yang rasional mengenai konflik tersebut.
Itulah mengapa drama-drama absurd memiliki kekuatan dalam dialog antar-tokohnya
yang bertujuan untuk mempertanyakan atau berceramahceramah tentang eksistensi
manusia.
2.1.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri
“Ruang Tunggu Terakhir”
Saman adalah seorang pria lanjut usia yang menjadi korban bencana alam.
Dengan keadaan yang terluka parah, Saman tiba di sebuah ruangan. Di sana, ia akan
bertemu dengan tokoh Man yang berjanji padanya untuk membawa ia pergi dari kiamat
yang terjadi. Man menjanjikan sebuah tanah baru yang subur dan dapat dipakai untuk
menata hidup baru. Dengan kondisi yang payah, Saman berusaha memegang teguh
10 Endgame merupakan drama satu babak yang ditulis oleh Samuel Beckett dalam bahasa Perancis.
Pada tahun 1957, naskah yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris oleh Beckett,
dipublikasikan untuk pertama kalinya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
21
Universitas Indonesia
janji Man tersebut. Dalam penantiannya, ia bertemu dengan dua tokoh lain—Maman
dan Lukman—yang juga mendapat janji yang sama dari Man. Pertemuan mereka ini
justru membawa ketegangan di masing-masing pihak. Ada kecurigaan dan rasa takut
yang menyelimuti mereka, ketika mengetahui bahwa mereka sama-sama menunggu
Man. Namun, keadaan di luar semakin gawat. Bencana alam datang silih berganti.
Tentara-tentara datang dan pergi untuk meringkus orang. Luka di tubuh mereka makin
makin parah, tetapi Man belum juga tiba. Di tengah keputusasaan mereka, muncul
tokoh Iman. Dengan membawa kabar dari Man, Iman memberikan mereka harapan
baru untuk berjalan menuju tanah yang dijanjikan.
“Gagu Ngigau Galau Wagu”
Lima orang menghuni sebuah perumahan yang terkesan ganjil. Mereka adalah
seorang guru, pengusaha, juru masak, tentara, dan seorang tukang sapu. Awalnya,
kehidupan mereka terlihat biasa saja. Namun, keadaan menjadi bertambah ganjil ketika
seorang dari mereka merasa kehidupan mereka terus-menerus berputar di tempat yang
sama. Mereka pergi bekerja di pagi hari, tetapi tak lama kemudian, kembali lagi karena
pekerjaan dibatalkan. Mereka pun menghabiskan aktivitasnya dengan bermain catur,
minum jamu bersama Mbak Mirna, dan berolahraga bersama Pak Kades. Pola itu
mereka lakukan terus-menerus, sampai suatu hari, Mbak Mirna pergi. Dunia mereka
berubah. Mereka tidak mau lagi minum jamu. Padahal Pak Kades telah mengusahakan
segala cara untuk membujuk mereka. Namun, kelima tokoh ini mengadakan aksi protes
untuk meminta Mba Mirna kembali lagi. Tiba-tiba Pak Kades marah besar, ia
menyetrum kelima tokoh tersebut. Setelah kelima orang itu dapat ditenangkan, Pak
Kades mengajari orang baru untuk berperan sebagai Mirna. Ternyata, Pak Kades
adalah seorang dokter dan kelima orang itu adalah pasiennya. Ketika Pak Kades—
dokter Bandi—mengajari orang baru tersebut untuk bekerja menjadi tukang jamu,
kelima tokoh itu keluar. Mereka terkejut ketika melihat kehadiran orang asing di
perumahan rekayasa milik Dokter Bandi.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
22
Universitas Indonesia
“Ruang Kehormatan”
Dokter Ivan menyiapkan sebuah keluarga baru untuk Bapak. Namun, Bapak
ragu bahwa orang-orang pilihan Dokter Ivan adalah keluarganya. Dokter Ivan terus
meyakinkan Bapak bahwa Ibu, Anak 1, Tiga Anak Kembar, Paman, dan Bibik adalah
keluarga barunya. Kelucuan timbul dari tingkah laku mereka aneh. Ternyata mereka
adalah keluarga rekayasa yang digunakan Dokter Ivan untuk sebuah penelitian. Demi
meraih kebebasan dari ruang kehormatan tersebut, mereka harus berperan sebaik
mungkin sesuai dengan arahan Dokter Ivan. Suatu hari, mereka akhirnya diajak pergi
berlibur oleh Dokter Ivan. Hal itu berarti mereka akan segera bebas, tetapi Bapak tidak
boleh ikut. Bapak dapat menerima hal itu, tetapi tidak dengan anggota keluarga yang
lain. Setelah meyakinkan keluarganya untuk pergi, Bapak menemui Dokter Ivan dan
meminta kebebasannya. Namun, Dokter Ivan menolak. Ia bahkan mengancam Bapak
untuk mengurungnya seumur hidup, jika tak mematuhi keinginannya.
2.1.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri
Ketiga drama ini membagi peristiwa-peristiwa penting ke dalam empat bagian.
Pada bagian pertama ditemukan sebuah pemaparan yang memperkenalkan satu per-
satu tokohnya. Bagian pertama ini penting untuk mengetahui keadaan para tokoh dalam
dunia drama. Apabila memperhatikan sinopsis ketiga naskah drama ini, tokoh-
tokohnya digambarkan sebagai sekumpulan orang depresi yang dirawat oleh seorang
dokter, orang yang hidup dalam sebuah keluarga bentukan, dan orang-orang yang putus
asa pada saat kiamat terjadi (lihat bagian 2.1.1). Namun, pada bagian pemaparan,
keadaan tersebut belum diungkapkan secara jelas. Para tokoh tidak mengetahui
keadaan mereka yang sebenarnya. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa
para tokoh merupakan orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau putus asa.
Ditemukan pula adanya sedikit kejanggalan yang diperlihatkan melalui lakuan para
tokoh, seperti yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
23
Universitas Indonesia
“Gagu Ngigau Galau Wagu”
Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana
terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan tersebut
terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu yang
disembunyikan dari suasana tersebut. Tampak beberapa orang penghuni
perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya di pagi hari.
Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah.
Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak…
Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya?
Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang?
……………………………………………………………………..
Adegan 2
Di tempat yang sama hanya situasi di pagi hari. Hanya yang membedakan adalah
tidak ada orang yang sedang berkumpul.
Pak Slamet: Lho kok pak guru, Pak Marman, dan ibu donna belum
berangkat juga?
………………………………………………………………………………
Pak Slamet: Jadi tidak ada yang berangkat kerja hari ini???
Pak Yusuf: Pak Slamet??
Pak Slamet: Saya malas nyapu jalanan pak guru,
Pak Marman: Yasudah kalau begitu kita ngobrol-ngobrol saja…
Semua: Mari…
Ibu Donna: Saya merasa pagi kita selalu seperti ini ya??
Pak Slamet: Maksud ibu?
Ibu Donna: Ya saya seperti melakukan hal yang sama setiap paginya.
Begitupun dengan yang bapak-bapak lakukan… selalu
sama… (2008: 2&9)
“Ruang Kehormatan”
Dokter Ivan: Selamat siang, selamat saya ucapkan kepada bapak! Hari ini
saya mendengar kabar bahwa anak bapak menerima beasiswa
sekolah ke luar negeri selama tiga tahun.
Bapak: Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya
mempunyai seorang anak. Jangan kira seorang anak, seirang
istri pun saya tidak pernah punya.
………………………………………………………………………
Bapak: Masuk di akal juga! (hening sesaat) tuan, apakah anda pernah
merasakan kejadian yang sama yang berkali-kali tuan alami
dalam hidup tuan dulu?
Dokter Ivan: (gugup) oh.. tentu saja pernah! (…)
Bapak: Dan itu wajar?
Dokter Ivan: Tentu saja wajar, lumrah…
Bapak: Tapi saya merasa aneh, kejadian yang saya alami ini persis
seperti saat ini kita bicara, kejadian ini rasanya sudah 15 kali
berulang-ulang di setiap tahunnya, bukankah itu aneh? (2010:
1-2)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
24
Universitas Indonesia
Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kegiatan yang rutin dilakukan para
tokoh sehingga menimbulkan suatu pola yang secara tidak sadar menjadi bagian dari
diri mereka. Tokoh-tokoh dalam dua drama tersebut mulai merasakan sebuah
kegelisahan atas kejadian yang terus-menerus mereka alami. Dalam naskah drama
“Gagu Ngigau Galau Wagu”, kelima tokoh utama digambarkan dengan latar belakang
profesi yang berbeda-beda. Tokoh Pak Yusuf adalah seorang guru yang bersahaja dan
ramah kepada tokoh lain. Tokoh Ibu Donna, sebagai satu-satunya perempuan di tempat
itu, digambarkan sebagai seorang wanita karier yang oportunis dengan pembawaan
yang sedikit centil. Tokoh Pak Marman adalah seorang tentara yang tingkah lakunya
didasarkan pada semangat mengabdi bagi negara. Pak Julius adalah seorang koki
dengan wawasan yang kebarat-baratan. Tokoh Pak Slamet digambarkan sebagai
seorang tukang sapu jalan yang bersahaja.
Percakpaan yang terjadi di antara tokoh-tokoh ini seringkali menimbulkan
kebingungan sebab tidak memiliki topik utama yang jelas. Mereka hanya berbicara
sesuai dengan bidang yang mereka tekuni sehingga pembicaraan antara tokoh yang
satu dan yang lain tidak memilki kaitan. Adapun asal usul para tokoh dicurigai sebagai
sebuah perwakilan atas peran manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tiap profesi
mewakili kelas sosial tertentu. Kecurigaan bahwa profesi mereka hanya sekadar nama,
disebabkan oleh tidak adanya kegiatan yang menunjukkan bahwa mereka memang
mengerjakan hal tersebut. Pada satu bagian, para tokoh diceritakan akan berangkat
kerja di pagi. Namun, selalu ada alasan ganjil yang menyebabkan mereka tidak jadi
pergi bekerja. kejanggalan ini yang membawa kecurigaan bahwa mereka tidak
melakukan profesi yang disebutkan.
Dalam kutipan yang diambil dari naskah “Ruang Kehormatan” pun ditemukan
sebuah kejanggalan asal usul tokoh Bapak. Tokoh Bapak nampak tidak yakin dengan
identitasnya sebagai seorang bapak. Ia berulang kali menanyakan pada Dokter Ivan
tentang identitasnya tersebut. Di lain pihak, Dokter Ivan seolah-olah medoktrin Bapak
dengan jawabannya. Namun, keraguan tokoh Bapak atas pernyataan Dokter Ivan justru
semakin jelas terlihat. Keraguannya digambarkan melalui reaksinya dengan tokoh-
tokoh lain—sepeti tokoh Anak 1, Ibu, Paman, dan Bibi—yang tidak dikenal, tetapi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
25
Universitas Indonesia
sudah dihapal urutan kejadiannya. Reaksi para tokoh yang muncul ini pun tidak kalah
anehnya sebab mereka seolah-olah dipaksa masuk ke dalam ruangan oleh orang lain—
yang tidak dijelaskan siapa atau apa—seperti yang dikutip berikut ini.
Ibu: (berteriak) Tidak perlu berbuat kasar pada saya, tidak perlu
mendorong-dorong saya. Saya akan jalan pada arah yang saya mau,
tidak
perlu dipaksa-paksa (meracau).
Anak 1: Ibuuuuu….!!! (memeluk dan mencium) Ibu, saya tidak menyangka
ibu ada, aku mempunyai ibu.
Ibu: (senang) Aku saja tidak menyangka aku mempunyai anak
(membantu ank 1 berdiri) Anakku…!!”(berteriak dan
berpelukan).”ngomong-ngomong namu siapa, nak?
Anak 1: Namaku Leoni, bu. Masa ibu tidak tahu.
Ibu: Iya ibu tau namamu Leoni. Kan tadi, kamu sendiri yang
mengatakannya.
Anak 1: I ya ya
Bapak: (tertawa) betul-betul keluarga yang harmonis…
Dokter Ivan: Tapi keharmonisan itu tidak hadir karena setiap bagian dari
keluarga menciptakan situasi yang baik antara yang satu dengan
yang lainnya! Contohnya, hubungan komuinikasi yang baik antara
ayah dan anak harus tetap terjaga, begitu pun dengan ibu dan anak
(2010: 5)
Sedikit berbeda dengan dua drama lainnya, naskah drama “Ruang Tunggu
Terakhir” tidak secara gamblang memperlihatkan repetisi kejadian yang membentuk
suatu pola. Repetisi tersebut diuraikan melalui petunjuk pemanggungan setiap kali ada
tokoh yang akan muncul. Di bagian awal, tokoh Saman masuk setelah adanya bencana
alam dan kecelakaan dahsyat kemudian tokoh Saman bermonolog dan adegan berhenti.
Tiba-tiba di antara kesunyian selepas Saman bermonolog, bencana dan kecelakaan
dahsyat terjadi lagi dan muncullah tokoh Maman dan Lukman. Dari repetisi tersebut
terbentuklah pola kemunculan tokoh baru yang didahului dengan bencana. Tokoh
Saman pun tidak diperlihatkan mengetahui adanya pola tersebut. Bagi tokoh Saman,
tugasnya adalah menunggu. Hal tersebut menjadisuatu rutinitas yang harus dijalaninya
ketika ia berada di tempat tak bernama itu. Kerisauan tokoh Saman dipicu oleh
ketidakpastian datangnya tokoh Man yang ditunggu.
Repetisi ini tidak mengganggu para tokoh sampai pada suatu ketika, terjadi
perubahan. Setelah sekian lama melakukan hal tersebut, kegiatan itu mendarah daging.
Namun, mendadak, para tokoh merasa cemas dengan repetisi yang membentuk pola
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
26
Universitas Indonesia
dalam hidup mereka. Ada tokoh yang menunjukkan ketakutan, ada pula tokoh yang
menyangkal adanya keanehan di balik repetisi itu. Pola yang mereka jalani, dapat
dicurigai sebagai sebuah pertanda bahwa para tokoh hidup dalam belenggu. Pada saat
mereka menyampaikan reaksi atas pola tersebut,muncullah kesadaran individu atas
eksistensi diri.
Perlu pula digarisbawahi bahwa dua di antara naskah drama ini menggunakan
kata ‘ruang’ dalam judulnya. Yang menarik, ketiga naskah drama ini menggunakan
‘ruang’ sebagai latar peristiwa. Ruang dalam naskah drama Gagu Ngigau Galau Wagu
disulap menjadi sebuah perumahan yang dihuni oleh para tokoh. Mengapa perumahan
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ruang? Berdasarkan lakuan para tokoh serta
beberapa pernyataan dari tokoh lain, perumahan tersebut merupakan sebuah kamuflase
dari ruang di rumah sakit jiwa. Ruang ini digunakan oleh tokoh Dokter Bandi untuk
memperhatikan kehidupan kelima tokoh tersebut.
Lalu semuanya pun kembali ke rumah mereka masing-masing. Hanya tinggal
dokter Bandi seorang diri. Lalu ia pun menuju keluar panggung tetapi dicegah
oleh Mirna.
Mirna: Pak… sampai kapan mereka disini???
Dokter Bandi: Belum waktunya…
Mirna: Tapi mereka sudah lima tahun di sini… sudah waktunya mereka
untuk ditransmigasikan…
Dokter Bandi: Belum waktunya mirna… saya lebih mengetahui kapan mereka
harus keluar dari tempat ini…mengerti kamu?
Mirna: Iya saya tau pak, tetapi… (2008: 16)
Tidak jauh berbeda dengan naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, naskah
drama “Ruang Kehormatan” pun mengubah rumah sakit jiwa sebagai rumah tinggal
keluarga bentukan Dokter Ivan. Sementara itu, ruang yang dimaksud dalam naskah
drama “Ruang Tunggu Terakhir” adalah sebuah tempat di mana tokoh Saman, Maman,
dan Lukman berlindung dari kiamat sambil menunggu datangnya tokoh Man. Kedua
naskah drama ini menggunakan kata ‘ruang’ dalam judulnya. Hal tersebut
menunjukkan adanya keistimewaan kata ‘ruang’, baik yang menjadi latar maupun
judul.
Pada dasarnya, ruang digunakan sebagai salah satu ungkapan rasa
terbelenggu—selain repetisi kejadian—yang dialami para tokoh. Ruang merupakan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
27
Universitas Indonesia
sebuah tempat yang memiliki batasan dan memiliki kesan tertutup. Kelima tokoh
dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” merasa terbelenggu dengan aktivitas
yang terus-menerus mereka lakukan tanpa mengerti makna di baliknya. Tokoh
Bapak—yang dari awal mengalami kecemasan—terbelenggu dengan identitasnya
yang terasa asing. Ia menyatakan hal tersebut secara terus terang kepada tokoh dokter
Ivan, seperti yang dikutip berikut ini.
Bapak: (baru beberapa langkah hendak keluar
ruangan).Tidak…tiiiidaaakk, saya
selalu berpikir..saya tidak akan pernah bias keluar…saya pasti
menemui tembok putih yang besar dan pintu yang
terkunci….saya mengidap penyakit…saya mengidap penyakit
apa, Nyonya??
Dokter Ivan: (tertawa) Pak…pak…!!! Itu bukan penyakit!! Itu hanya
perasaan saja, saya pun pernah mengalaminya.
Bapak: Masa???
Dokter Ivan: Iya…pasti bapak merasa terkurung kan….dipenjara.?
Bapak: Loh…kok tau??
Dokter Ivan: Pasti bapak merasa seperti seekor burung yang ditempatkan di
dalam sangkar emas.
Bapak: Betul !!! (2010: 7-8)
Dari kutipan tersebut, ditemukan tidak adanya ikatan antara tokoh Bapak
dengan ruangan yang disebut sebagai rumah milik keluarganya. Berulang kali ia
menyatakan dirinya ingin pergi dari sana, tetapi ia selalu terantuk pada tembok yang
besar. Ia menyebutkan bahwa dirinya seperti burung dalam sangkar. Hal ini secara
tidak langsung menunjukkan adanya penolakan dalam diri tokoh Bapak terhadap asal
usul yang diberikan dokter Bandi kepadanya.
Apabila dalam kedua drama tersebut latar diumpamakan sebagai sebuah
kurungan yang berkonotasi buruk, lain halnya dengan drama “Ruang Tunggu
Terakhir”. Latar yang digunakan memang sama-sama berupa ruangan. Namun,
ruangan yang digambarkan pada drama ini merupakan tempat tokoh-tokohnya
berlindung dari kiamat yang terjadi. Penggambaran latar seperti ini, memiliki
kemiripan dengan drama Samuel Beckett “Endgame” 11. Dalam drama absurd ini,
Beckett meletakkan tokohnya dalam sebuah ruangan yang melindunginya dari bencana
11 Lihat catatan kaki pada hlm.20
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
28
Universitas Indonesia
yang tengah terjadi di luar sana. Hingga akhir drama ini, tokoh dengan kiamat di
sekitarnya tidak bersinggungan, tetapi di situlah terdapat poin penting dari drama
Beckett. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman pun mengalami hal yang sama. Mereka
datang ke ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang masih berdiri di tengah
kehancuran kota. Dalam ruangan itu, mereka mengurung diri dari kebinasaan. Mereka
bersembunyi sambil berharap tokoh Man sang penyelemat datang.
Ruangan gelap. Pintu-pintu beraneka kelam. Botol-botol, lilin,
Sampah sisa pesta mabuk berserakan. Seorang datang. (…)
Saman: Man! ... Man?! ... Dimana kamu, Man? ... Man?! ... Aku sudah
sampai ... Dimana kamu? ... Man?! ...
Sepi. Tidak ada jawaban. Orang itu keluar-masuk entah. Kadang
Menendang sesuatu tak sengaja. Orang itu menemukan lilin
Dan menyalakannya
Saman: Man?! ... Jangan permainkan aku ... Oh, aku lelah, Man! ... Panas
sekali perjalanan ke tempat ini. Dimana kamu? ... Man ... Kita sudah
janji bertemu ‘kan? ... Tapi, dimana kamu? ... Aku sudah sampai ...
Dimana kamu, Man? ... Kamu ada dimana?! ... Man?! ... Kamu di
luar atau di dalam?...
…………………………………………………………………………..
Saman: Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh!
Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu
kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan
jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan
banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah
longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi
aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera
langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh
hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan
sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon
kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu,
Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat
keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)
Maman: Kita sudah sampai?
Lukman: Kita belum berangkat.
Maman : Apakah kita sudah sampai, ditempat kita akan berangkat?
Lukman: Tidak tahu.
Mereka mengamati dan mencari sesuatu untuk penerang.
Lukman: Saya juga berpikir begitu. Inilah tempat terakhir yang tersisa. Ruang
terakhir yang ada. Saya pikir kita sudah sampai.
………………………………………………………………………
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
29
Universitas Indonesia
Lukman: Kalau begitu, kita harus yakin. Atau keyakinan tidak dibutuhkan
lagi.
Maman: Berarti kita sudah sampai. (2008: 3-4, 9)
Bagian pertama ketiga naskah drama ini menunjukkan pemaparan yang berisi
asal usul tokoh dengan situasi yang mereka alami. Melalui penggambaran alur dan
sedikit temuan tentang karakter para tokoh, dihasilkanlah sebuah suasana yang penuh
kecemasan dan kebingungan. Para tokoh ini dipaksa merasa nyaman berada di dalam
dunia yang sebenarnya merupakan kamuflase belaka. Adapun kesadaran dalam diri
mereka—yang sesekali muncul—tentang dunia palsu yang mereka huni, ditutupi
dengan pola yang membuat mereka merasa menjalani kehidupan yang sudah
seharusnya.
Bagian kedua yang menandakan peristiwa penting dalam ketiga naskah drama
ini adalah perubahan pola pada rutinitas para tokoh. Alur kemudian menanjak naik dan
menunjukkan adanya perumitan masalah, ketika tokoh-tokoh ini diserbu dengan
masalah yang mengganggu keseimbangan dunianya. Para tokoh dipaksa untuk keluar
dari pola yang telah nyaman mereka jalani. Namun, ada sedikit pertentangan dalam
bagian ini. Pada bagian peristiwa sebelumnya, para tokoh merasakan kecemasan ketika
berpikir ulang tentang rutinitas yang mereka jalani. Namun, ketika rutinitas mereka
sedikit berubah, mereka memperlihatkan penolakan. Memang, kesadaran atas rutinitas
yang membelenggu ini, terbilang masih dalam takaran yang kecil (kecuali tokoh Bapak
dalam drama “Ruang Kehormatan) sehingga timbul pendapat bahwa hal yang membuat
mereka selama ini bertahan hidup dalam belenggu adalah munculnya. Akan tetapi, rasa
tidak nyaman ketika rutinitas mereka diubah, memaksa para tokoh untuk mulai berpikir
tentang posisi dirinya dalam pola kehidupan di tempat itu.
Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, perubahan tersebut ditandai
dengan kemunculan tokoh Dokter Bandi dan Mirna yang tidak sesuai urutan. Kelima
tokoh ini sudah terbiasa dengan urutan kemunculan yang diawali oleh Mirna dan
dilanjutkan dengan tokoh Dokter Bandi. Namun, ketika Dokter Bandi dan Mirna
muncul bersamaan, mereka tahu ada sesuatu yang salah. Rupanya, hal ini memicu
reaksi keras dari mereka, seperti yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
30
Universitas Indonesia
“Gagu Ngigau Galau Wagu”
Dokter Bandi: Apa kabar bapak-bapak semuanya?
Pak Julius: Lho Pak Kades…
Lalu mereka tampak diam seperti ada yang aneh.
Dokter Bandi: Lho… kenapa bapak-bapak ini pada diam semuanya? Terkejut
melihat saya?
………………………………………………………………………….
Pak Yusuf: Ada apa pak Kades menemui kami?
Ibu Donna: Iya, tidak seperti biasanya…
Pak Julius: Biasanya kan Pak Kades selalu datang setelah…
Pak Marman: Kok rasanya ada yang aneh ya…
………….………………………………………………………………
Dokter Bandi: (memotong) sudah… saya akan jelaskan ke bapak-bapak semua
bahwa hari ini adalah hari terakhir mbak mirna di sini…dia akan
ikut program TKW ke Malaysia…
Pak Marman: Maksud Pak Kades?
…………………………………………………………………………..
Ibu Donna: Jelas saja mereka tidak mau minum… wong caranya saja tidak
seperti yang biasa…
Dokter Bandi: Maksud ibu Donna?
Ibu Donna: Biasanya kan sebelum minum jamu mereka sibuk mencari
catur…lalu datanglah mbak mirna dengan membawa catur dan
goyangan-goyangan khas Banyumas, dan mbak mirna selalu
bilang (menirukan gaya Mirna) ‘ayo bapak-bapak… kalau tidak
minum jamu saya nanti tidak saya kasih caturnya lho…’ begitu
pak. (2008: 17-19)
Dari kutipan di atas, hal yang paling penting untuk menjaga keharmonisan
dalam dunia tokoh-tokoh tersebut adalah urutan dengan waktu yang tepat. Ketika
mereka menjumpai adanya pergeseran atau kejadian yang tidak biasa, para tokoh
dengan segera memberikan reaksi penolakan yang keras. Tokoh Mirna yang mereka
kenal sebagai tukang jamu, harusnya muncul sendirian ketika mereka tengah sibuk
mencari papan catur. Tokoh dokter Bandi yang berperan sebagai Kades, muncul setelah
tokoh Mirna pergi. Namun, ketika dua tokoh tersebut muncul bersamaan, kelima tokoh
nampak kebingungan. Perubahan bagi mereka adalah sesuatu hal yang baru sehingga
mereka—yang selama ini hidup dalam keadaan yang serba pasti—tak dapat
menyesuaikan diri dengan cepat.
Sementara itu, perubahan pola yang ditemukan dalam naskah drama “Ruang
Kehormatan” ditandai dengan pertengkaran tokoh Ibu dan tokoh Bapak. Pada bagian
ini, tokoh Bapak diceritakan telah menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
31
Universitas Indonesia
bersama anggota keluarga yang dipilih oleh Dokter Ivan. Sampai pada suatu saat, tokoh
Ibu merasa lelah berpura-pura menjadi istri yang bahagia. Ia mencoba mendapatkan
haknya—tentang kebutuhan rohani dan jasmani—dari suaminya. Ternyata hal tersebut
merupakan keadaan yang terlarang untuk dibicarakan sebab mereka semua sebenarnya
memang hanya berpura-pura. Penolakan Bapak untuk berhubungan intim dengan tokoh
Ibu sudah terjadi dari awal pertemuan. Tokoh Bapak menolaknya dengan mengatakan,
“Saya laki-laki! Saya punya hasrat sebagai seorang laki-laki. Saya bisa saja meniduri
perempuan itu! (…) saya masih punya martabat sebagai diri saya sendiri!!!” (2008: 6).
Hal ini muncul dari alam bawah sadarnya yang mengetahui bahwa tokoh Ibu bukanlah
istrinya yang sah. Sikap tersebut menunjukkan adanya kepribadian yang teguh dalam
memegang prinsip, tidak oportunis, serta secara tidak langsung mengakui bahwa
kehidupan tersebut hanyalah rekayasa. Namun, dari peristiwa itu, tokoh Bapak—dan
tokoh lain—diperlihatkan tidak berdaya untuk menolak peran yang diberikan oleh
Dokter Ivan.
Ibu: (membanting gelas dan nampan ditanganya, marah) kamu bisa
ngomong begitu pada mereka!!. Tidak perlu berpura-pura… tidak
perlu berpura-pura!!! Apa selama ini kamu tidak berpura-pura??!!
Bapak: Ssshhttt… bu!! Jangan di depan mereka…
Ibu: Biar!!! Biar mereka tau sebenarnya!!! Sebagai seorang suami
semestinya kamu tau apa kebutuhan seorang istri!!! Tidak perlu
saya harus mengejar-ngejar kamu, meminta-minta, saya ini istrimu,
ya!!! Istrimu!!! Sementara kamu, apa kamu tidak berpura-pura pada
mereka bahwa hubungan kita kelihatan baik-baik saja??!!. perasaan
saya betul-betul sakit!!! (tante menghampiri dan menenangkan ibu)
Anak 4: Kenapa yah… kenapa ayah harus berbohong pada kami, kenapa
ayah harus berpura-pura??
Anak 3: Kami menyayangi ibu sama halnya seperti kami menyayangi ayah,
mengapa ayah selama ini tega membohongi kami??
Bapak: Ayah… ayah… tidak bermaksud…
Anak 2 Ayah pembohong!!!, ayah tidak bisa dipercaya!!!
Bapak: Ayah… hanya ingin… (2008: 15-16)
Pilihan tokoh Bapak untuk melanjutkan hidup dalam kepura-puraan
mengakibatkan kekecewaan dalam diri tokoh lain yang merasa memiliki ikatan dengan
dirinya. Namun, ketika hal yang tabu tersebut dibicarakan, tokoh Bapak pun memiliki
reaksi yang sama dengan kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
32
Universitas Indonesia
Wagu”, yaitu tidak siap untuk menerima perubahan. Ia berusaha keras untuk
menyembunyikan hal yang dirahasiakannya selama ini, seperti yang dapat dilihat
dalam kutipan di atas. Tokoh Ibu terus mendesak tokoh Bapak dan tokoh lain nampak
pula antusias untuk mengetahui pembelaan Bapak. Namun, tokoh Bapak sepertinya
tidak dapat mengatakan hal yang ingin disampaikannya. Adanya sikap antusias tokoh
lain diduga muncul dari alam bawah sadar yang mengetahui tentang kepalsuan identitas
diri mereka masing-masing.
Pada bagian ini, ditemukan perubahan sikap dari tokoh lain—Ibu, Anak-anak,
Paman, dan Bibi—yang tidak hanya dapat menyesuaikan diri, tetapi juga telah
menjiwai peran tersebut. Perbedaan sikap mereka pada bagian ini dan bagian awal
sangat kontras. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi tokoh
Bapak untuk menahan keinginannya menceritakan hal yang ia ketahui. Akan tetapi,
bagi tokoh Bapak sendiri, tekanan yang diberikan oleh tokoh Ibu juga menjadi sebuah
perubahan yang besar. Dapat dilihat dalam kutipan di atas, tokoh Bapak mengalami
kecemasan seperti yang dialaminya di bagian awal. Terlihat dari gerak-geriknya dan
gaya bicaranya yang terbata-bata. Padahal, selepas bagian pertama, tokoh Bapak sudah
mulai dapat menyesuaikan diri dengan perannya di dalam keluarga tersebut.
Sama halnya dengan tokoh bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”, konflik
pada drama “Ruang Tunggu Terakhir” dimulai ketika tokoh Saman bertemu dengan
tokoh Maman dan Lukman. Sebelumnya, mereka secara terpisah sama-sama menanti
seorang yang bernama Man. Dalam monolog-monolog awal tokoh Saman,
diperlihatkan usahanya yang keras untuk meyakinkan dirinya akan janji Man. Ketika
ia bertemu dengan orang lain yang mengaku dijanjikan hal yang sama dengan dirinya,
keraguan itu muncul. Keraguan itu tidak hanya menyerang tokoh Saman, tetapi juga
tokoh Maman. Para tokoh merasakan keraguan karena dihadapkan pada refleksi diri
mereka—yang sama-sama menunggu Man—dalam diri tokoh lain. Nada interaksi
ketiga orang ini sedikit meninggi, ditambah lagi dengan situasi sekitar yang semakin
gawat. Munculnya tokoh petugas menandakan keadaan bahaya seperti yang dapat kita
lihat pada kutipan berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
33
Universitas Indonesia
Lukman: Sejak tadi kami ada ditempat ini ... dan tidak melihat ada
siapapun.
Maman: Kami yang sedang menunggu ... Bukan kamu ! ... Pasti
kamu baru datang ‘kan ?! ... Mau apa ke tempat ini ?
Saman: Aku mau bertemu seseorang yang bernama Man ... Aku dan
Man sudah berjanji, untuk bertemu di tempat ini ... Dan aku
sudah tiba ditempat ini, ketika belum ada siapa pun di sini
(...) Dan melihat kalian ada di sini ... Aku yang lebih dulu
sampai di tempat ini ... Bukan kalian ! (...)Kenapa kalian
datangi tempat seperti ini ? ...
Lukman: Karena sudah tidak ada tempat lain ...
Maman: Ini ruang terakhir yang tersisa, yang kami temukan
Lukman: Pak ! ... Ssstt ... Kami menunggu seseorang, yang akan
menjemput ditempat ini.
Saman: Di jemput ? ... Kalian mau kemana ? ...
Maman: Kami mau berangkat, menuju harapan tanah yang
dijanjikan.
Lukman: Pak ?! ... Sssstt ! ...
Saman: Apakah orang itu bernama Man ? ...
Seorang yang luka keluar dari persembunyiannya,
Diikuti yang lain. Perlahan-lahan dan tetap curiga.
Maman: Apa ?
Saman: Apakah orang yang menjanjikan, untuk menjemput kalian
ditempat ini bernama Man ?
Lukman: Ya ! Orang itu bernama Man. Nama yang sama dengan
nama orang yang ingin bapak temui.
………………………………………………………………………
Seorang yang gusar tampak bingung dan makin gelisah.
Maman: Ya ?! Tapi, janji siapa ? ... Janji Man yang mana ?! ...
Apakah kedua Man ini orang yang sama ?! Hah ?! ... Kalau
Man ada dua, atau Man ada banyak, bagaimana ? ... Oh ! ...
(2008: 13-15)
Dari kutipan di atas, ditemukan perubahan terhadap diri tokoh Saman atas
harapannya pada tokoh Man. Ia—di bagian awal—telah berulang kali meyakinkan diri
akan janji Man. Namun, ketika bertemu dengan tokoh Maman dan Lukman yang juga
masih bergumul dengan kepercayaan atas janji Man, kepercayaan tokoh Saman
melemah. Inilah yang disebutkan sebelumnya sebagai refleksi masing-masing tokoh
pada diri tokoh yang mereka temui. Keadaan mereka yang menyedihkan baru terasa
ketika melihat tokoh lain yang mengalami hal serupa. Pertemuan ketiga tokoh—yang
sama-sama mendapat janji dari tokoh Man—justru tidak memperkuat kepercayaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
34
Universitas Indonesia
mereka terhadap janji tersebut, sebaliknya saling melemahkan. Selain melihat refleksi
diri pada tokoh lain, hal ini juga dapat disebabkan oleh kecurigaan yang timbul dari
keadaan bahaya di sekitar mereka.
Pertemuan tiga karakter yang berbeda ini saling bertabrakkan. Tokoh Saman—
diceritakan sebagai sahabat Man—memiiki karakter yang cenderung pasrah, ditambah
lagi dengan kondisi dirinya yang terluka parah. Tokoh Maman yang paling tua di antara
mereka digambarkan begitu pesimis dengan keadaan kesehatan yang buruk. Tokoh
Lukman, yang dinyatakan paling muda, nampak begitu agresif menyerang tokoh
Saman yang asing. Ada sedikit ketidakpercayaannya terhadap tokoh Saman yang
belum dikenal. Kondisi fisik mereka yang tidak sehat serta bencana di sekeliling
mereka membuat janji Man terasa sebagai satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.
Namun, setelah melihat bahwa ada pihak lain yang juga dijanjikan hal serupa oleh
tokoh Man, masing-masing dari mereka merasa janji Man tidak lagi eksklusif. Tokoh
Maman bahkan diperlihatkan terserang kepanikan hebat ketika tokoh Saman
membicarakan janji Man. Ia tidak hanya ragu terhadap janji Man, tetapi juga
mempertanyakan keberadaan tokoh Man. Selain itu, keadaan yang terus bertambah
genting—digambarkan dengan gemuruh di luar dan gerak-gerik tokoh bersepatu lars
yang meneror—menimbulkan tekanan terhadap kondisi kejiwaan para tokoh. Adanya
tokoh Seseorang yang memvisualisasi bentuk abstrak dari rasa gusar, bingung, dan
gelisah menambah intens krisis dalam bagian ini.
Bagian berikutnya menunjukkan peristiwa yang merupakan puncak dari konflik
yang dialami para tokoh. Klimaks dari perubahan—yang terus mengarahkan para tokoh
terhadap kesadaran berpikir—akan adanya pola yang membelenggu mereka terjadi
ketika para tokoh berani mempertanyakan nasib mereka. Mereka tidak lagi
mengabaikan kenyataan bahwa selama ini mereka hidup dalam sebuah kepalsuan yang
dikendalikan oleh ‘tuhan’ dalam dunia mereka. Tokoh ‘tuhan’ ini merupakan simbol
dari kekuatan superior yang menjaga agar pola tersebut tidak hancur. Dalam naskah
drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, tokoh ‘tuhan’ adalah
para dokter yang menjadikan mereka obyek penelitian kejiwaan. Dokter Bandi dan
Dokter Ivan memiliki beberapa kesamaan—peran maupun karakter—dalam alur
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
35
Universitas Indonesia
drama. Selain berprofesi sebagai dokter, keduanya menggunakan tokoh-tokoh utama
sebagai obyek penelitian. Dengan segala cara, mereka berusaha untuk
mempertahankan kekuatannya atas para tokoh, misalnya dengan ancaman atau
hukuman. Sifat mereka dapat dikatakan otoriter dan absolut. Perkataan mereka menjadi
sabda yang harus dipatuhi oleh para tokoh, sebab di luar itu, tidak ada kepastian tentang
hidup bagi para tokoh. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan mereka telah
membuat esensi dari keberadaan para tokoh memudar. Tidak sepenuhnya hilang, hanya
tenggelam di dalam alam bawah sadar mereka.
Begitu pula dengan naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, Man adalah
“’tuhan bagi tokoh Saman, Maman, dan Lukman. Janji yang diberikan Man adalah
alasan mereka untuk bertahan hidup. Tanpa adanya janji tersebut, kehidupan mereka
yang sudah di ambang kematian mungkin tak lagi patut diperjuangankan. Namun,
harapan tersebut justru membuat mereka terkungkung dalam kenyamanan menunggu.
Sebenarnya, ada dua versi naskah “Ruang Tunggu Terakhir” yang dikumpulkan oleh
penulis. Satu versi yang menyertakan monolog tokoh Man dan versi yang lain tanpa
monolog tokoh Man. Dalam penelitian ini, digunakan versi yang menghilangkan
monolog tokoh Man. Oleh sebab itu, karakter dari tokoh Man ini tidak pernah
diketahui. Tokoh Man dan janjinya hidup melalui perkataan tokoh-tokoh lain. Cara
para tokoh membicarakan tokoh Man, seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka
menyerahkan sepenuhnya nasib hidup kepada janji Man. Hal ini serupa dengan tokoh-
tokoh pasien dalam dua naskah drama lainnya, mereka menghilangkan kemampuan
berpikir kritis dan membiarkan Man mengendalikan hidup mereka.
Bagian ketiga atau klimaks dalam naskah drama merupakan akibat dari
perubahan yang dialami oleh para tokoh. Di setiap naskah drama, klimaks diwujudkan
dengan cara yang berbeda. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, para
tokoh akhirnya berani menggunakan akal mereka untuk menyatakan kesadaran bahwa
Dokter Bandi selama ini telah merekayasa kehidupan para tokoh.
Dokter Bandi: Kenapa pak?
Pak Slamet: Mbak Mirna…
Pak Julius: Iya mbak mirna…
Pak Yusuf: Kami hanya mau minum jamu dengan mbak Mirna
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Perkataan mereka membuat Dokter Bandi marah.
Dokter Bandi: Baiklah kalau begitu, kalau bapak-bapak dan ibu Donna tidak
mau minum.. tidak apa-apa..
Lalu dokter Bandi langsung mengambil tindakan yang berupa stressing
kepada mereka semua. Keadaan pun menjadi kacau balau. Sampai akhirnya
mereka semua lelah dan merasa ngantuk sekali.
Dokter Bandi: Mirna itu sudah pergi…kalau kalian tidak mau minum apa yang
saya berikan...maka kalian akan terus seperti ini
selamanya…bagaimana?? Kalian mau minum??
Pak Yusuf: Saya tidak mau minum jamu, saya mau mbak Mirna…
Pak Yusuf mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang sampai akhirnya ia
menangis,
tapi akhirnya ditenangkan oleh teman-temannya.
…………………………………………………………………………
Pak Marman: Bapak boleh memaksa kami menari sambil menyanyi, bapak
boleh memaksa kami untuk bermeditasi, bapak boleh paksa
kami untuk berada di tempat ini, membuat kami berada seolah-
olah berada di sebuah kompleks perumahan, tapi kami tidak
bisa menembus dinding putih dan pintu biasa anda lalui ini. tapi
anda tidak bisa memaksa kami untuk minum jamu tanpa mbak
Mirna. (2008: 23-24)
Kutipan di atas memberitahukan bahwa kelima tokoh masyarakat menolak
pemberian rutinitas baru. Penolakan tersebut sebenarnya tidak terjadi secara besar-
besaran, melainkan dengan cara dan alasan yang sederhana. Alasan mereka menolak
Dokter Bandi adalah rasa rindu pada tokoh Mirna si tukang jamu. Pendekatan yang
dilakukan oleh Dokter Bandi pun terlihat tidak semulus yang dilakukan oleh Mirna
sehigga tokoh-tokoh lain merasa tidak nyaman dan memberontak. Namun, alasan yang
sederhana ini, menunjukkan bahwa para tokoh telah melakukan sebuah pilihan. Suatu
hal yang menunjukkan adanya kemampuan untuk memutuskan mana yang baik bagi
dirinya. Penolakan ini adalah hal baru yang dialami Dokter Bandi setelah ia berhasil
menciptakan pola yang harus kelima tokoh ini jalani. Oleh sebab itu, reaksi keras pun
datang dari Dokter Bandi. Ia tidak segan-segan menghukum kelima tokoh agar menurut
padanya. Hukuman yang diberikan berupa stressing kepada kelima tokoh. Stressing ini
tentu bertujuan untuk meredam emosi mereka yang meningkat.
Nampaknya, stressing itu sudah kebal bagi para tokoh sehingga tidak mampu
meredam kegelisahan mereka. Pada bagian ini, ditemukan benang merah antara
perilaku mereka yang ganjil dengan kehidupan yang terlihat normal. Unsur paksaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
37
Universitas Indonesia
membuat tingkah laku mereka terasa dibuat-buat. Pemberian stressing pun
menimbulkan pertanyaan terhadap efek samping yang diderita oleh kelima tokoh ini.
Apakah ada kaitannya perilaku mereka yang aneh dengan pemberian stressing? Pada
akhirnya, segala profesi dan latar belakang mereka menjadi sia-sia. Mereka menjalani
itu semua sebatas formalitas untuk melengkapi syarat hidup ‘normal’. Tidak ada
keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol karena asal usul tokoh tersebut.
Kesamaan ditemukan ketika melihat bahwa tokoh guru bertindak sama seperti tokoh
pengusaha, tokoh penyapu jalan sama seperti tokoh tentara, dan sebagainya. Kelima
tokoh tersebut tidak lain adalah manusia tanpa identitas.
Harapan Dokter Bandi untuk meredakan pemberontakan para tokoh, tidak
berbuah manis. Pak Marman, mewakili tokoh yang lain, angkat bicara mengenai
kehidupan mereka selama ini. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menegaskan
pada Dokter Bandi bahwa mereka semua tahu hal yang dilakukan oleh tokoh Dokter
dan bersedia memberikan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Namun, satu yang tak
dapat mereka kompromikan, yaitu minum jamu tanpa Mbak Mirna. Mereka menolak
untuk minum jamu kecuali jamu yang dibawa oleh tokoh Mirna. Padahal jamu yang
dibawa Mirna itu tidak lain adalah obat untuk kelima tokoh yang sebenarnya pasien
rumah sakit jiwa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa
para tokoh telah berani memilih sesuatu dalam hidupnya. Mereka berani menanggung
apa pun risiko di balik pilihannya tersebut.
Dalam drama “Ruang Kehormatan”, klimaks ditandai dengan keberanian tokoh
Bapak membuka kebenaran mengenai keluarga palsu yang dibentuk oleh Dokter Ivan.
Keberanian itu muncul setelah mengalami tekanan oleh anggota keluarga yang lain.
Dari bagian awal drama ini, tokoh Bapak telah memperlihatkan kecenderungan emosi
yang tidak stabil atau mudah meledak-ledak. Hal yang dapat meredakan kecemasan
dan emosi yang meledak-ledak tersebut adalah perkataan Dokter Ivan. Namun, ketika
ia dihadapkan pada konflik dengan anggota keluarga yang lain, Dokter Ivan tidak ada
di sana. Akibatnya, tokoh Bapak tidak dapat mengatasi tekanan dari luar sehingga
emosinya meledak menjadi sebuah dorongan untuk menggunakan akal sehatnya. Hal
tersebut dapat dilihat pada bagian yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
38
Universitas Indonesia
Bapak: (hilang kesabaran) tutp (sic) mulut kalian
semuanyaaaaaa!!!.Diam!!.apa kalian tidak berfikir (sic)??.apa
kalian tidak berfikir bahwa kalian semuanya sedang berpura-
pura??!!??.
Anak 1: (menangis) apa maksud ayah??
………………………………………………………………………………
Bapak: Sekarang kalian telah mendengar sendiri… kalian semua bisa
ambil kesimpulan. Saya bukanlah ayah kalian, karna (sic) ibu
kalian itu tidak pernah melahirkan kalian. Dan kamu juga…
Jhon… Elsye…kalian bukanlah suami istri yang sebenarnya
seperti halnya aku dengan perempuan itu. Tetapi kita semua harus
tetap berpurapura!. Kita harus tetap berpura-pura bahwa kita
adalah keluarga,karna (sic) dengan jalan seperti inilah kalian
semua dapat pergi dari tempat ini. Kalian bisa kembali pulang
kepada keluarga kalian yang sebenarnya. Jika kita tetap
mempertahankan kepura-pura ini. Mereka akan menganggap
kalian sembuh dan dapat dikembalikan pada keluarga kalian
masing-masing. Hanya aku sendiri yang tidak akan pulang
menemui keluargaku. Aku adalah tumbal bagi eksperimen mereka.
Aku juga rindu pada anak-anakku dan istriku yang sebenarnya.
Aku ingin sekali jumpa mereka. Tapi mereka malu menemuiku
disini…alas an (sic) itulah yang membuat mereka tetap
menahanku disini….” (mengalihkan focus)”bagaimana, apa
kaliantidak kangen sama suami kalian?... sama… isrtimu,
Jhon??...sama kedua orang tua kalian… ayah… ibu?? (2010: 16-
18)
Dari kutipan di atas, ditemukan alasan mereka untuk berpura-pura selama ini,
yaitu keinginan untuk bebas dari tempat tersebut. Di bawah alam sadar para tokoh,
mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki ikatan keluarga. Namun, adanya syarat
untuk bebas tersebut, membuat para tokoh memilih untuk tunduk pada Dokter Ivan.
Pada bagian selanjutnya dari kutipan di atas, dikatakan bahwa tokoh Bapak
memperlihatkan perbedaan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan darah di
antara mereka. Anak kembar yang tidak mirip. Paman dan Bibi yang ternyata sudah
memiliki keluarga asli di luar tempat tersebut. Dan rencana Anak 1 untuk sekolah di
luar negeri, yang tak lain adalah rekayasa Dokter Ivan. Dari kenyataan terbuka satu
persatu, usaha Dokter Ivan untuk membuat keluarga ini terlihat seperti keluarga
‘normal’ menjadi jelas. Ia menggunakan kepalsuan dan angan-angan yang besar
sebagai benang merah di antara para tokoh. Pengakuan tokoh Bapak merupakan
caranya melawan kekuasaan Dokter Ivan atas diri mereka. Walaupun tidak dilakukan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
39
Universitas Indonesia
secara langsung seperti dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau”, tetapi keberanian
Bapak untuk mengakui bahwa mereka semua terbelenggu dalam pola yang dibuat oleh
Dokter Ivan adalah caranya untuk melawan keabsolutan tokoh ‘tuhan’ dalam dunianya.
Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, kehidupan para tokoh
dibentuk dari harapan mereka atas janji Man. Ditemukan pada bagian selanjutnya,
ketiga tokoh ini bersembunyi dalam ruangan sambil menantikan kedatangan Man.
Sementara itu, di luar ancaman bencana dan petugas terus-menerus meneror kehidupan
mereka.
Maman: Kamu sendiri, bagaimana ? Hah ?! ... Bagaimana ? Jangan
berbohong ! ... Siapa Man itu ? ... Coba ceritakan siapa Man itu !
... Jangan dikurang-kurangkan ! ... Dan jangan dilebih-lebihkan !
Saman: Man adalah sahabatku sejak kecil ... Kami selalu bersama
melakukan apa pun ... Belajar, bermain, bertualang, dan kami
saling percaya pada banyak hal, sampai kami meyakini pekerjaan
yang berbeda ...
Maman: Apakah Man tidak pernah berbohong ?
Saman: Ya ! Itulah yang selalu disampaikan Man. Yang tiada henti dan
tak kenal putus asa ia perjuangkan sejak dulu. Kita harus
menyelamatkan diri kita ! Kita harus menyelamatkan
kemanusiaan kita !
Tiba-tiba ledakan dari luar, melemparkan sampah limbah
Industri & tanah, pecahan beton dan potongan kayu ke dalam.
Ada beberapa potongan tubuh manusia yang sudah membusuk.
Orang-orang terkejut dan lilin mati. Sepi. Sirine. Langka
Sepatu lars. Orang-orang terpencar bersembunyi. Silhuet
Petugas dengan sorot senter dari luar.
Mereka bertatapan.
Lukman & saman: Tidak.
Mereka diam. Sepi beberapa saat.
Saman: Kehancuran yang diramalkan Man, tidak separah kenyataan yang
terjadi ... Kenyataan sekarang ini menunjukkan, semuanya
menjadi lebih ganas dan menggila ... Dengan mata dan cakar iblis
berseringai
Lukman : Saya juga berpikir begitu. Untuk perjuangan Man yang teguh!
Kita harus mendukungnya ! Kita harus mendoakannya ! Semoga
Man dapat menghadapi semuanya! Semoga Man selamat menuju
janjinya ! (2008: 15-18)
Pada bagian kedua, terjadi peristiwa yang mempertemukan tokoh Saman
dengan tokoh Maman dan Lukman. Pada pertemuan pertama, harapan dan kepercayaan
mereka terhadap janji Man melemah. Namun, pada kutipan di atas (bagian selanjutnya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
40
Universitas Indonesia
dari peristiwa bagian kedua), mereka akhirnya saling menguatkan dalam menanti
terwujudnya janji Man. Janji Man seolah menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan
di dalam ruangan tersebut, walaupun di sekitar mereka ancaman terjadi. Pada titik
tersebut, mereka telah mengalami sebuah pola yang ditemukan pula dalam naskah
drama lainnya. Kehidupan yang terus berputar pada satu titik tanpa adanya
pertimbangan dari akal sehat terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi. Mereka
terbelenggu dalam ruangan tersebut.
Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, bagian ketiga yang
menunjukkan puncak dari konflik, ditemukan pada peristiwa para tokoh yang mencoba
ke luar dari ruangan tersebut. Ruangan yang selama ini melindungi mereka dari
kenyataan di luar sana, harus mereka tinggalkan demi mewujudkan kehidupan yang
lebih baik. Janji Man adalah membawa mereka untuk pergi ke tanah yang baru. Di
tempat itu, mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Namun, dalam penantian
mereka, para tokoh sadar bahwa janji Man semakin lama semakin sulit untuk terwujud
tanpa adanya usaha dari mereka. Usaha tersebut diwujudkan dengan meninggalkan
ruangan yang awalnya dijadikan tempat bertemu, agar mereka dapat melihat tanda-
tanda alam yang menunjukkan kedatangan Man.
Mereka kembali lagi terpaku.
Lukman: Kita tidak punya pilihan !
Saman: Ya ! Kita harus segera keluar dari ruangan ini ... Tapi kita harus
sangat berhati-hati ...
Lukman: Ya ! Kita harus sangat berhati-hati
Orang-orang memandang langit merah dan bulan purnama dibelakang legam
silhuet monumen nasional. Angin berhenti. Suaranya tak
terdengar lagi.
Ada klakson kapal laut akan berangkat. Dibentangan horison tampak melayari
kelam.
Saman: Inilah saatnya ...
Lukman: Saat yang dijanjikan Man untuk menemui kita ...
………………………………………………………………………………
Orang-orang menunggu. Mereka semakin lemah. Orang yang tadi gusar sudah
terkulai. Lilin hampir mati. Orang yang luka bersandar. Orang yang membawa
ransel
duduk menunduk.
Maman : Sejak masih jabang bayi, aku sudah menunggu, kapan dilahirkan.
Sejak dilahirkan, aku sudah menunggu, sampai kapan aku
dibesarkan. Selama dibesarkan aku sudah menunggu, kapan
menjadi dewasa(…) Dan kembali aku menunggu, untuk
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
41
Universitas Indonesia
berangkat ke tempat ini. Setelah menempuh perjalanan sangat
berat yang hampir membunuhku, aku sampai untuk menunggu
lagi. Menunggu dijemput menuju tanah yang dijanjikan itu, satu-
satunya harapan yang ada yang aku punya. Hanya itu ! Disini aku
sudah menunggu ... sampai tidak tahu lagi menunggu. Aku sudah
kehilangan ... diriku sendiri... Habis sehabis-habisnya diriku ! ...
Aku lelah ! ... Lelah ... Lelah sekali ... Apakah ... masih menunggu
? ... Apakah... kita ... masih ... menunggu ? ... Aku ... berpikir ...
sudah ... sampai ... (2008:19-26)
Monolog tokoh Maman dalam kutipan di atas merupakan sebuah pernyataan atas
keinginannya untuk menjadi manusia yang tidak terikat pada hal apa pun, termasuk
janji Man. Pada titik tersebut, para tokoh merasa lelah untuk terus berharap dan
memutuskan membebaskan diri dari segala bentuk kepasrahan mereka. Selama ini,
para tokoh mengandalkan janji Man untuk melanjutkan hidup. Namun, setelah
peristiwa tersebut, mereka memutuskan untuk pergi dan menentukan sendiri nasibnya.
Tindakan tersebut mengubah pola yang selama ini mereka jalani. Pada bagian
tersebut—secara tidak langsung—para tokoh melawan kekuatan dari tokoh Man yang
selalu mereka andalkan, seperti perlawanan tokoh Bapak dalam naskah drama “Ruang
Kehormatan”. Namun, di saat mereka memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman
tersebut, mereka dihadapkan pada kenyataan yang buruk. Para tokoh lupa bahwa
bahaya mengincar mereka. Kiamat yang terjadi dapat menyebabkan kematian bagi
mereka. Konsekuensi dari keputusan mereka untuk ke luar dari penantian adalah
menghadapi kekacauan tersebut. Kesadaran mereka atas risiko pilihan tersebut sama
dengan yang dialami oleh kelima tokoh “Gagu Ngigau Galau Wagu”.
Saman: Man belum sampai ? ... Sampai kapan ? ... Man ! ... Jangan
mempermainkan aku, Man ! ... Hati ... ku ... bisa ... terbakar ...
kalau ... kupikir ... kau mempermainkanku ... Man ! ... Jangan,
Man ! ... Kakiku luka dan membusuk ! ... Aku akan kehilangan
kakiku, Man ! ... Aku akan kehilangan kakiku ! ... Aku akan
kehilangan kakiku ... Aku akan ... kehilangan ...
Tiba-tiba ledakan. Bom lagi. Tiang ruangan tumbang menimpa kaki orang
yang luka. Langit-langit ruangan rubuh menimpa orang yang tadi gusar dan
sudah terkulai. (…)
Sirine. Langkah sepatu lars. (2008: 27)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
42
Universitas Indonesia
Bagian keempat dari rangkaian peristiwa di dalam naskah-naskah drama ini
merupakan peleraian dari konflik yang dialami para tokoh. Setelah konflik para tokoh
memuncak, alur perlahan turun dengan ditandai oleh rutinitas para tokoh yang kembali
seperti semula. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang
Kehormatan”, para tokoh terlihat kembali melakukan aktivitas yang sudah dibuat oleh
dokter mereka masing-masing. Dapat dikatakan, kegiatan para tokoh dalam bagian ini
mirip dengan adegan di bagian awal. Untuk naskah drama “Gagu Ngigau Galau
Wagu”, kesamaan tersebut muncul melalui pola dialog antartokoh.
Suasana yang sedikit aneh dari biasanya. Para penduduk tampak lemas dan tidak
bergairah. Tapi mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasanya.
Ibu Donna: (Menghampiri Pak yusuf) baru bangun Pak Guru…
Pak Julius: Bagaimana muridnya ya?
Pak Slamet: Tadi malem begadang?
Pak Marman: disiplin
Pak yusuf: Main catur, kesiangan…
Ibu Donna: Konsultasi masalah tidur bangun pagi…ada obat…
Pak Slamet: Kesemapatan dalam kesempitan (2008: 24)
Kutipan di atas merupakan cuplikan dari adegan pada bagian keempat—setelah
klimaks—yang ternyata memiliki kesamaan pola dengan urutan dialog pada bagian
pertama dalam drama ini. Walaupun isi dialognya menunjukkan ada pengulangan dari
bagian pertama, tetapi dituliskan pula di sana bahwa suasana pada bagian tersebut
terasa aneh. Keanehan situasi tersebut dapat dibandingkan dengan bagian berikut ini.
Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana
Terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan
tersebut terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu
yang disembunyikan dari suasana tersebut.Tampak beberapa orang
penghuni perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya
di pagi hari. Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah.
Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak…
Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya?
Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang?
Pak Marman: Kedisiplinan itu penting lho pak!
Pak Yusuf: Saya main catur sampai larut sekali, jadi bangunnya kesiangan
begini…
Ibu Donna: Wah pak, coba konsultasi sama saya masalah susah tidur dan
susah bangun pagi…saya ada lho pak obat untuk kita yang
susah tidur dan susah bangun pagi…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
43
Universitas Indonesia
Pak Slamet: Ibu donna memang tidak bisa melihat kesempatan dalam
kesempitan. (2008: 2)
Dari dua kutipan di atas, ditemukan persamaan dan perbedaan di antara dua
bagian yang berbeda dalam satu naskah. Kutipan pertama merupakan keadaan
pascaklimaks, sedangkan kutipan kedua menunjukkan keadaan praklimaks. Jika
diperhatikan dengan seksama, kutipan isi dialog pada kutipan pertama adalah inti dari
percakpaan di kutipan kedua. Perbedaannya terletak pada cara para tokoh
menyampaikan dialog tersebut. Pada kutipan kedua, para tokoh menyampaikannya
dengan bersemangat sehingga terasa ada keakraban di antara mereka. Percakpaan
tersebut adalah bentuk ramah-tamah di antara tetangga yang dilakukan untuk menjalin
tali kekerabatan di lingkungan perumahan. Namun, di kutipan pertama, semangat dan
rasa keakraban itu memudar. Dituliskan pada bagian petunjuk pemanggungan bahwa
suasana berubah, penduduk nampak lemas dan tidak bergairah. Bagian tersebut dilihat
sebagai penanda bahwa titik balik pada bagian ketiga menghasilkan rutinitas yang sama
dengan suasana yang berbeda.
Hal serupa terjadi dalam naskah drama “Ruang Kehormatan”. Para tokoh
kembali menjalankan perannya sebagai bagian dari keluarga bentukan Dokter Ivan.
Tidak ada anggota keluarga yang menunjukkan perilaku berbeda setelah terungkapnya
kepalsuan identitas mereka. Hanya tokoh Bapak yang diperlihatkan mengalami
perubahan tingkah laku, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
Anak 1: Kenapa sih, nyonya? Kita sekarang mau tamassya, tapi harus
membawa semua pakaian kita?
Dokter Ivan: Oh… itu! Soalnya, kita akan jalan2 keluar kota selama 3 bulan
lebih, jadi penting dong membawa baju yang banyak!!! (mencoba
meyakinkan)
…………………………………………………………………………………
………
Bapak: kalian jangan hiraukan ayah, ayah memang harus tinggal disini,
dan kalian semua apa tidak ingin melihat pohon, gunung, pantai,
dan bintang-bintang?
Anak 3: tentu dong, yah!
Bapak: ya sudah, cepat bantu ibu, tante, dan paman kalian berkemas bantu
bawa tas mereka!!!
Semua: oke, boss…!!
…………………………………………………………………………………
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
44
Universitas Indonesia
Org. Gila: Angkat tangan, jangan bergerak!” (semua angkat tangan kecuali
nyonya) saya adalah perampok kelas kakap!, macem-macem, gue
dorr lu semua!!!
Dokter Ivan:Irma!!
Suster: Iya, dok!
Dokter Ivan:Kamu tolol!, kenapa dia lepas dari pandangan kamu, dan dia bisa
masuk keruangan ini!!!
Suster: Aa..eh..maaf dok..saya..salah..saya rela dihukum..potong
gaji..atau diskors..
Dokter Ivan:Persetan dengan itu semua!!!, bawa dia keluar, dan segera
bersihkan areal luar, jangan sampai keluarga ini melihat
orangorang berseragam seperti ini!. Itu akan membuat mereka
“Trauma” kembali!
Suster: Iya, Dok!!!”(membawa orang gila itu keluar, dengan lebih halus,
tidak dipaksa)
Dokter Ivan: Nah…sekarangt sudah siap berangkat?
Anak-anak:Siaaaaaap!!!!
Bapak: (menbghampiri nyonya) Nyonya izinkan saya berbicara
sebentar kepada mereka. Bukankah ini terakhir kalinya saya,
melihat mereka?
Dokter Ivan: Waktu saya sempit, (agak kesal), tapi silakan…dan tolong
dipercepat!!! (2008: 21-23)
Pada kutipan di atas, ditemukan perubahan sikap tokoh Bapak. Ia terlihat lebih
tenang dari sebelumnya. Ketika tokoh Dokter Ivan mengajak anggota keluarga yang
lain pergi, tokoh Bapak tidak terserang kepanikan seperti yang sebelumnya terlihat.
Reaksi keras justru muncul dari tokoh anggota keluarga yang lain. Mereka
menginginkan tokoh Bapak untuk ikut bersama mereka karena merasa bagian dari
keluarga tersebut. Pada bagian ini, ditemukan pula adegan yang memberitahu tentang
kondisi sebenarnya dari tempat tersebut, yaitu rumah sakit jiwa. Hal tersebut
ditunjukkan dengan kemunculan pasien lain di tengah mereka. Kemunculan tokoh Org
Gila ini seharusnya dapat memicu keributan di antara tokoh lain. Namun, tidak adanya
reaksi dari tokoh lain, menandakan bahwa mereka memang telah mengetahui rekayasa
yang dibuat oleh Dokter Ivan. Tokoh Bapak pun telah mengingatkan mereka—pada
bagian ketiga—bahwa untuk dapat pergi dari tempat tersebut, mereka harus mengikuti
peran yang diinginkan oleh Dokter Ivan kepada masing-masing tokoh. Oleh sebab itu,
tokoh lain memilih untuk mengabaikan saja kejadian tersebut agar proses kebebasan
mereka tidak terganggu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
45
Universitas Indonesia
Bagian yang menyatakan peleraian konflik dalam naskah drama “Ruang
Tunggu Terakhir” ditunjukkan dengan kedatangan tokoh Iman. Iman adalah adik dari
tokoh Man yang mereka tunggu selama ini. Kedatangan tokoh Iman seolah
mengisyaratkan adanya pertanda baik dari janji Man. Para tokoh yang digambarkan
tengah terdesak dalam situasi yang gawat, dapat sedikit bernapas lega setelah Iman
muncul. Hal tersebut terlihat dalam bagian drama yang dikutip berikut ini.
Keharuan terjaga teriakan dari luar mencari-cari. Silhuet orang mencari-cari.
Memanggil-manggil perlahan, hampir berbisik. Bisikan jauh yang sampai.
Os Iman: ooii ! ... Ada orang di situ ? ... Oooii ! ...
Orang yang di dalam terkejut dan hendak bersembunyi, tapi
Tidak sanggup bergerak dan meninggalkan orang yang lain.
Orang yang diluar masuk melewati pintu-pintu, dengan tas
Selempang di pundaknya mencari.
Iman: ada orang di sini ? ... Saya membawa pesan dari man ! ... Halo
?! ...
Mereka saling menemukan dan bertatapan.
Iman: eh ! ... Bang saman !
Saman: iman ! ... Oh ! ...
Mereka berpelukan hangat. Dengan keharuan yang dalam.
………………………………………………………………………………
Iman: bang man berpesan ... Menugaskan kepadaku ... Untuk ...
Menjemput abang ... Bang man ... Minta maaf, bang ... Bang man
... Minta maaf ... Tidak ... Bisa ... Datang ...
Orang yang tidak bisa merasakan kakinya menundukkan
Kepala. Hampir tak mampu menahan tangis.
Saman: ya ! Ya ! ... Terima kasih, iman ! ... Terima kasih ! ... Oh ! ... Man
... Akhirnya ... Begitu akhirnya, man ... Tapi ... Kamu ... Atau iman
... Adalah ... Untuk janji ... Dan itu sama, man ... Dan itu janji ...
Janji itu tetap terjaga, man ... Janjimu tetap sampai... Dan ... Pribadi
... Tetap teguh ... Kamu teguh dengan janjimu, man ...
Sepi beberapa saat.
Lukman: perjuangan harus dilanjutkan ! ... Perjalanan ini harus diselesaikan,
pak ! ... Api menyala dalam dadaku ... Kita harus sampai ! ... Kita
harus sampai, pak ?! ... Kita harus sampai ...
Saman: ya ! Matahari sudah bersinar di tempat ini ! ... Ayo ! Kita berangkat
! Mengarungi jalan bersama matahari ... Untuk man yang teguh !
Kamu sudah sampai, man ! ... Kami mendoakanmu
Tiba-tiba ledakan. Bom lagi menghancurkan lebih hancur ruangan itu. Pintu
rubuh berantakan. Menimbun dan menumpuk semuanya. Ruangan terbuka
terang benderang. Ruang tunggu terakhir luluh lantak hancur rata.
(2008:29-32)
Ada tiga hal baru yang ditunjukkan dalam kutipan di atas, yaitu tak ada lagi
konflik di antara ketiga tokoh, harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man menjadi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
46
Universitas Indonesia
nyata, dan kehancuran ruang yang selama ini mengurung mereka dari situasi di luar.
Pada bagian tersebut, terlihat bagaimana ketiga tokoh ini membangun kerja sama yang
baik dalam mewujudkan harapan mereka. Tak ada lagi kecurigaan atau keraguan di
antara mereka. Tokoh Lukman yang diceritakan paling muda dan kuat di antara
mereka, dapat membantu kedua tokoh lain untuk bertahan hidup. Saman dan Maman
yang sudah berusia lanjut pun mempercaya tokoh Lukman untuk membantu mereka
mengatasi keadaan mereka yang buruk. Pandangan negatif yang biasa dilontarkan oleh
tokoh Maman dapat dinetralisir melalui pandangan positif dari Lukman. Yang kedua,
harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man tak lagi diragukan. Tokoh Iman yang
datang membawa kabar kematian tokoh Man memutuskan belenggu yang membuat
para tokoh berada dalam kepasrahan. Kini, tanpa adanya tokoh Man, mereka dapat
melangkah dengan lebih pasti untuk menemukan tanah baru tersebut. Adapun ruangan
tempat mereka berlindung yang hancur menjadi sebuah simbol dari awal baru yang
harus mereka tempuh. Tak ada lagi penantian panjang, yang ada hanyalah kesempatan
untuk pergi dari tempat tersebut. Ketiga hal tersebut memberikan suasana baru bagi
alur drama ini yang dari awal digambarkan begitu kelam. Terasa ada semangat baru
dari para tokoh yang memberikan sebuah kenyataan penuh harapan. Seketika itu pula,
matahari menyinari tempat tersebut. Kemunculan matahari ini memberikan pertanda
baik bagi nasib para tokoh.
Dalam hal penyelesaian, drama-drama absurd kadang memiliki akhir yang tak
berhubungan sama sekali dengan masalah pada bagian awal. Dari ketiga naskah drama
yang diteliti, empat bagian peristiwa di dalamnya tidak mengarah pada satu kesimpulan
yang memberikan kejelasan akan nasib para tokoh. Kebingungan dan pertanyaan yang
dihasilkan, menurut Scholes, dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan dari
penulisan drama tentang keberadaan manusia (1978).
Naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan” tidak
menunjukkan adanya akhir yang bahagia bagi tokoh utama mereka. Namun, hal
tersebut tidak berarti pula bahwa para tokoh berakhir tragis. Mereka hanya disebutkan
kembali melakukan kegiatan seperti di awal. Tokoh dokter yang menjadi pengendali
kehidupan mereka memberikan solusi bagi perubahan yang sempat mengganggu
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
47
Universitas Indonesia
rutinitas para tokoh. Tokoh Dokter Bandi (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) mencoba
menggantikan sosok Mirna dengan orang lain. Sementara itu, tokoh Dokter Ivan
mengancam tokoh Bapak agar tetap mengikuti aturan main yang ditetapkannya. Hal
yang dilakukan oleh kedua tokoh ini tentu saja tidak dapat dikatakan menjadi
penyelesaian dari masalah yang dialami oleh para tokoh. Mereka justru membuat
masalah tersebut kembali berulang, seperti yang diperlihatkan dalam kutipan berikut
ini.
Dokter Bandi: Tugas kamu adalah menggantikan peran saya sebagai tukang
jamu…lakukan seperti apa yang saya contohkan tadi…
Asisten: Tapi saya kan laki-laki dok…
Dokter Bandi: Saya juga laki-laki…jadi menurut saya tidak ada
masalah…lagipula mereka semua juga tidak akan tau anda laki-
laki atau perempuan…
Lalu keluarlah semuanya dari dalam rumahnya masing-masing. Dan mereka
terkejut melihat bahwa ada orang baru di dalam lingkungan mereka. Adegan
tersebut mengakhiri pementasan. (2008: 26)
Dari kutipan di atas, ditemukan sebuah kenyataan bahwa identitas diri seorang
tokoh tidak penting. Hal yang membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya adalah
fungsi mereka dalam masyarakat. Esensi dari keberadaan diri mereka tidak diakui. Hal
tersebeut diwujudkan dengan pemeranan tokoh Mirna si tukang jamu yang dimainkan
oleh Dokter Bandi. Kelima tokoh masyarakat tidak memberikan reaksi penolakan
kepada Dokter Bandi yang berperan sebagai Mirna sebab tingkah laku, waktu
kemunculan, dan fungsinya sama seperti Mirna. Namun, di bagian akhir, ketika para
tokoh muncul dan melihat ada tokoh yang baru di dunia mereka, barulah diperlihatkan
adanya reaksi. Hal ini diduga menandakan bahwa konflik utama dalam naskah drama
ini terletak pada ketidakmampuan seorang tokoh mengidentifikasi dirinya. Akan tetapi,
bagian setelah para tokoh menemukan adanya tokoh baru, tidak lagi djelaskan. Naskah
drama ini memberi akhir yang terbuka bagi nasib para tokoh
Bapak: Tapi saya sudah merasa sehat!!!, saya punya anak dan istri sama
seperti halnya mereka!
Dokter Ivan: Kamu memang sehat!, kamu sudah pulih! Tapi kamu
membutuhkan surat keterangan sehat jika kamu mau keluar dari
tempat ini, tapi untuk itu kamu masih perlu bersandiwara selama
20 tahun lagi!!! Jika kamu membangkang, kamu bisa lebih lama
di tempat ini!!!
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
48
Universitas Indonesia
Bapak: Tolong saya, dokter!!! Rumah ini sudah seperti penjara bagi
saya!, saya tertekan berada disini 15 tahun lebih!!!
Dokter Ivan: Tunggu 20 tahun lagi atau tinggal selama-lamanya!?!? (pergi)
Bapak: Dokter…tolong lah dok… dokter… dokter!!!! (2010: 23-24)
Dari kutipan di atas, ditemukan kenyataan bahwa tokoh Bapak sebenarnya
tidak mengalami gangguan kejiwaan apa pun. Dengan berada di dalam ruangan
tersebut, ia justru dipaksa untuk berubah menjadi orang lain. Hal ini memicu
munculnya kemarahan dari tokoh Bapak yang menginginkan kebebasan untuk menjadi
dirinya sendiri. Akan tetapi, kekuatan Dokter Ivan mengungguli keberanian Bapak
dalam memperjuangkan kebebasannya. Pada akhirnya, masalah yang dihadapi tokoh
Bapak, tidak terjawab. Ia tetap harus menunggu di dalam ruangan itu. Tidak dijelaskan
pula bagaimana Dokter Ivan akhirnya menjawab kemauan Bapak. Satu hal yang
menghalangi langkah Bapak untuk bebas adalah ancaman yang diberikan oleh Dokter
Ivan. Dengan melakukan ancaman tersebut, ia sebenarnya tengah menyatakan kendali
atas diri tokoh Bapak.
Sementara itu, bagian penyelesaian dalam naskah drama “Ruang Tunggu
Terakhir” merupakan awal baru bagi kehidupan para tokoh. Setelah di bagian
sebelumnya, mereka mendapat pencerahan dengan kedatangan tokoh Iman, kini
mereka diberi kesempatan untuk memulai pencarian tanah yang dijanjikan Man.
Walaupun mereka kini tak lagi dapat mengandalkan tokoh Man—karena ia dikabarkan
telah mati—mereka justru terlihat lebih bersemangat dalam usaha menemukan tanah
yang baru. Tanah baru tersebut adalah harapan baru bagi mereka untuk keluar dari
keadaan yang kacau di tempat mereka sekarang.
Langit merah dan bulan purnama.
Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama.
Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana,
gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan
dipinggirkan yang terluka dan sembunyi.
Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit.
Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi.
Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang
dijanjikan.
Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini.
Semoga ! (2008: 34)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
49
Universitas Indonesia
Dari kutipan di atas, gambaran tentang harapan diwujudkan dengan tari-tarian
oleh tokoh Orang-orang serta munculnya bulan purnama yang menjadi penanda
kedatangan Man—sebelum ia dikabarkan mati. Tokoh Maman, Lukman, dan Saman
tidak lagi menjadi pusat dari cerita tersebut. Pada bagian ini, semua yang berada di
tempat tersebut sama-sama berharap akan adanya kesempatan untuk sampai di tanah
yang dijanjikan. Namun, sama seperti dua naskah drama lainnya, nasib mereka tidak
ditentukan dalam bagian penyelesaian ini. Akhir dari alur drama merupakan akhir yang
terbuka sehingga siapa pun dapat menebak hal yang terjadi pada tokoh-tokohnya.
Jika diwujudkan melalui grafik maka ketiga alur drama-drama ini akan menjadi
seperti yang berikut ini.
Dari grafik alur di atas, dapat diperhatikan bahwa ketiga drama mencapai titik
klimaks yang sama walaupun berangkat dari tingkat ketegangan paparan yang berbeda-
beda. Pada drama “Ruang Kehormatan” sudah terasa ada ketegangan sejak di bagian
paparan. Ketegangan dalam hal ini tentu saja sifatnya sebagai eksposisi untuk
memperkenalkan tokoh dan bagian-bagian lainnya. Konflik mulai menguat pada
bagian gawatan dan ketiga drama mencapai titik yang sama. Setelah klimaks, adegan-
adgen mulai turun perlahan hingga bagian akhir mencapai titik netral kembali. Hal ini
0
2
4
6
8
10
12
14
P A P A R A N G A W A T A N K L I M A K S L E R A I A N S E L E S A I A N
GNGG RK RTT
Gambar 2.1
Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
50
Universitas Indonesia
memperlihatkan bahwa ketiga drama ini sengaja menyusun pembagian alur seperti di
atas sehingga dapat mendukung terciptanya suasana dalam drama.
Adapun suasana yang nampak dalam ketiga drama, berkaitan erat dengan masalah
utama yang dibicarakan, yaitu tentang eksistensi manusia. Masalah ini muncul secara
tersirat melalui pembagian peristiwa dalam ketiga drama, dialog, serta posisi hubungan
tokoh-tokohnya. Cara dari ketiga naskah drama ini melakukan pembagian peristiwa—
yang terdiri atas paparan, perumitan, klimas, dan selesaian—merupakan sebuah
pembabakan yang sama dengan cara para tokoh superior dalam drama—Dokter Ivan,
Dokter Bandi, dan Janji man—membagi kehidupan tokoh-tokohnya. Pola ini terus
berputar sebab pada bagian selesaian, peristiwa kembali lagi ke awal. Perputaran yang
terus-menerus kemudian menjadi sebuah belenggu yang berujung pada kesia-siaan.
Para tokoh terjebak dalam kehidupan yang tidak memiliki tujuan atau garis akhir sebab
bentuk pola kehidupan mereka menyerupai lingkaran. Dalam dialog-dialog para tokoh,
disampaikanlah pemikiran dan perasaan mereka yang hidup dalam lingkaran tersebut.
Seperti pada peristiwa pertama dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” (lihat
bagian 2.1.2: 5), lima tokoh pasien menyampaikan kebingungan mereka dengan
peristiwa yang selalu sama dalam kehidupan yang dijalani. Tokoh-tokoh ini merasakan
bahwa ada sesuatu yang membelenggu di balik rutinitas yang mereka jalani.
Pola tersebut diciptakan oleh tokoh superior, yaitu Dokter Bandi (“Gagu Ngigau
Galau Wagu”), Dokter Ivan (“Ruang Kehormatan”, dan Man (“Ruang Tunggu
Terakhir”). Para tokoh dipaksa untuk tunduk pada kendali mereka. Mereka hanya
menjalankan kehidupan sesuai dengan fungsi peranan tokoh di dalamnya. Hal tersebut
menimbulkan suasana yang sepi. Para tokoh terasing dari dirinya dan melebur dalam
suatu pemeranan yang massal (Hassan 1989: 36). Inilah titik di mana terjadi perdebatan
tentang esensi keberadaan mereka sebagai individu atau eksistensialisme 12para tokoh.
Ketika para tokoh dihadapkan pada pilihan, mereka tak dapat memilih bagi diri mereka
sendiri karena hilangnya ke-aku-an dalam diri para tokoh.
12 Lihat Fuad Hassan 1989: 31-37, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Bab 1: Pemikiran Soren
Kierkegaard tentang Eksistensialisme.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
51
Universitas Indonesia
2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan
Drama-drama yang berbicara mengenai kekuasaan isinya dekat dengan protes,
sindiran, dan perenungan atas ketimpangan sosial yang menjadi akibat dari kekuasaan
yang lalim (Damono 2012: 62). Hal ini dapat timbul dari masalah sehari-hari, seperti
kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksejahteraan kehidupan masyarakat. Drama-drama
yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet atau Nano Riantiarno, isinya banyak berbicara
tentang perjuangan kelas, kritik sosial, dan protes keras terhadap kesalahan-kesalahan
yang timbul dari konsep kekuasaan. Menurut Kuntowijaya, konsep kekuasaan dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk dan dijadikan sihir yang membelenggu manusia
(Damono 2012: 62).
Dalam ketiga drama yang dipilih ini, konsep kekuasaan dekat sistem
pemerintahan. Mereka bercerita tentang penderitaan masyarakat di bawah sistem
pemerintahan yang kacau atau masyarakat yang kacau karena tersihir hasrat untuk
berkuasa. Hal tersebut digambarkan melalui suasana yang kelam, satir, dan terkadang
sinis. Cara-cara ini ditempuh untuk mengajak pembaca melihat dan merasakan pula
kegetiran dalam drama-drama tersebut.
2.2.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan
“Parlemen WC”
WC menjadi kebutuhan yang sangat utama bagi masyarakat di kampung itu.
Dengan membangun sebuah WC yang layak, seseorang dapat menjadi penguasa
kampung. Oleh sebab itu, rakyat berlomba-lomba mendirikan WC yang lebih baik. Di
antara orang-orang yang serakah, muncul tokoh Parmin yang cerdas dan jenaka. Ia
tidak memiliki ambisi untuk menguasai kampung. Keinginannya adalah menjaga
keseimbangan hidup bersama. Namun, karena dibutakan oleh hasrat kekuasaan, orang-
orang di kampung menjadi gila. Dari sebuah WC, muncullah bencana besar yang
merusak kampung.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
52
Universitas Indonesia
“Paralel ‘45”
Warga Timur tidak setuju dengan terpilihnya Pemimpin di Barat. Untuk
mencegah pemberontakan, Pemimpin Barat mendirikan sebuah tembok pemisah kedua
wilayah, yang disebut Paralel ’45. Warga Timur dilarang memasuki wilayah Barat dan
begitu pula sebaliknya. Adanya peraturan tersebut menimbulkan huru-hura karena
memecah belah persatuan sebuah negara. Pasangan suami istri, Marni dan Rasyid,
menjadi korban dari pemimpin yang diktator. Mereka tinggal terpisah sehingga setiap
hari mereka bertemu di tembok tersebut. Namun, pertemuan mereka terganggu oleh
keluarnya keputusan bahwa Barat telah menjadi negara yang sah. Timur yang tidak
memiliki kekuataan hukum apa pun, akhirnya kembali dijajah. Kerusuhan terjadi di
Timur. Semenjak itu, Marni tidak pernah lagi datang ke Paralel ’45. Rasyid yang
merana memikirkan nasib Marni, terus mengunjungi Paralel ’45 walaupun Marni tidak
lagi datang. Sampai suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu yang terakhir
kalinya. Oleh karena rasa rindu yang besar dan putus asa melihat situasi yang ada,
mereka pun nekat menyebrangi tembok perbatasan. Tentara penjaga yang telah
berulang kali memperingatkan tak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus menjalankan
tugasnya. Di atas Paralel ’45, Marni dan Rasyid bertemu dalam kematian.
“Pesta Sampah”
Di negeri antah berantah, orang-orang mengumpulkan sampah. Mereka hidup
dalam kemiskinan. Pulung, tokoh yang selalu optimis menunggu mutiaranya, bertemu
dengan seorang pengusaha asing. Ia ditawarkan sebuah jalan yang dipercaya dapat
mempertemukan ia dengan mutiara dambaannya. Sayang, nasib berkata lain. Alih-alih
mendekatkan Pulung dengan mutiaranya, ia kehilangan Mulung, kekasihnya.
Akhirnya, Pulung harus rela menerima kenyataan bahwa ia hanya diperbudak oleh tuan
tersebut supaya tanah mereka dapat dijajah dan dijadikan negeri beton. Keadaan
bertambah kacau ketika Pejabat menjual semua aset negara kepada Pakdir. Kini,
manusia-manusi diperbudak oleh Pakdir. Mereka dijadikan binatang. Moral dan
kemanusiaan telah lenyap. Pulung pun harus rela melihat manusia-manusia lain
kehilangan jiwanya di tengah bising dan keterasingan arus globalisasi itu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
53
Universitas Indonesia
2.2.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan
Ketiga naskah drama ini berfokus pada masalah yang timbul akibat hubungan
antara manusia dengan konsep kekuasaan. Bentuk-bentuk dari kekuasaan muncul
dalam wujud yang berbeda di tiap naskah drama. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
kebutuhan penceritaan dalam drama. Namun, konsep kekuasaan yang dibicarakan
dalam ketiga naskah drama ini memiliki makna yang buruk. Kekuasaan ditempatkan
sebagai tokoh antagonis dalam alur drama. Penyalahgunaan konsep kekuasaan tersebut
merupakan awal dari masalah yang terjadi dalam ketiga naskah drama. Secara umum,
alur dari ketiga naskah drama tersebut tersusun atas bagian pemaparan masalah,
perumitan masalah, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pada dasarnya, masalah
utama dalam ketiga naskah drama ini dibagi ke dalam tahapan yang sama dengan
naskah drama tentang relasi manusia dan diri sendiri (lihat bagian 1.2.2). Akan tetapi,
ditemukan perbedaan penyajian peristiwa di dalam drama tentang relasi manusia
dengan kekuasaan, misalnya petunjuk pemanggungan yang lebih dominan
menggambarkan peristiwa penting.
Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah digambarkan melalui
adegan penembakan seorang anak perempuan yang tidak diketahui asal usulnya. Ia,
dijelaskan, ditembak karena melanggar batas wilayah Timur dan Barat. Kematian anak
perempuan tersebut menjadi penanda adanya masalah antara kekuasaan dan rakyat.
Masalah tersebut menimbulkan bentuk komunikasi yang tidak harmonis sehingga
suasana yang diperlihatkan cenderung suram dan terasa mencekam.
(anak perempuan masuk panggung, mendekat perlahan menuju dinding
pembatas)
Herman: hey apa yang kau lakukan, jangan mendekat. Pergi dari tembok
itu. Hey, kau jangan main-main! Kembali ke timur menjadi dari
sini, atau aku akan menembakmu. Aku tidak main-main,
kuhitung sampai tiga. Satu dua…
Anak perempuan: aku sudah tidak tahan dengan seluruh keadaan ini. aku ingin
bertemu ayahku, saudara-saudaraku, wargaku. Aku tidak
memiliki masalah apapun. Timur dan barat hanyalah tembok
yang harus ku tembus, dan aku percaya Negara ini akan satu
kembali. Aku hanya butuh persatuan dan kesatuan. Lagi!
(Percakapan tumpang tindih antar Ibu, Anak, dan Herman. Herman yang tak
Tega menembak terus memerintahkan orang itu agar menjauh, tapi orang iu
uterus melangkah seperti sudah siap mati. Baru dihitungan kedua, anak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
54
Universitas Indonesia
perempuan itu tertembak senapan dari prajurit wilayah barat. Ia pun tumbang
tepat diatas dinding pembatas, kemudian prajurit barat mendatangi dan
menarik jenazahnya. Menggotong lalu membawanya keluar panggung.
(2013: 1)
Kutipan di atas menunjukkan situasi dua wilayah yang bersitegang. Secara
geografis, keduanya merupakan satu wilayah yang sama. Namun, secara politik,
wilayah Timur menolak pemimpin yang terpilih sehingga akhirnya memisahkan diri
dari wilayah Barat. Tembok tersebut dibangun sebagai penanda perbatasan dua
wilayah. Hukum yang berlaku di sana merupakan hasil dari kepentingan politik
sepihak. Rakyat digambarkan menolak adanya pemisahan tersebut—diwakili oleh
tindakan tokoh Anak Perempuan yang hendak menyeberang ke wilayah Barat.
Kutipan tersebut akan dilanjutkan dengan adegan pembacaan undang-undang
yang mengatur masalah perbatasan wilayah dan fungsi dinding pembatas yang
selanjutnya akan disebut Paralel ‘45. Paralel ‘45 menjadi bentuk kekuasaan yang
konkret dalam kehidupan masyarakat di wilayah Timur dan Barat. Kehadiran tembok
Paralel ‘45 melambangkan hal yang bersifat keras, terbatas, dan meneror. Ditambah
pula dengan kejadian berdarah yang membuka drama ini, menegaskan bahwa terdapat
dua kubu yang saling bertentangan, yaitu tembok Paralel 45—sebagai lambang
kekuasaan—dan rakyat yang menolak kebijakan pemerintah.
Berbeda dengan naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah yang ada
pada dua naskah drama lainnya disajikan dengan lebih santai. Masalah tidak diajukan
dengan cara yang meneror, tetapi dengan pendekatan yang jenaka atau puitis. Dari
kedua judul naskah drama tersebut, “Parlemen WC” dan “Pesta Sampah”,
mengindikasikan suasana yang ceria dan meriah dibandingkan dengan suasana yang
dihasilkan dari judul “Paralel ‘45”. Kata ’45 identik dengan peristiwa kemerdekaan
Indonesia sehingga memberi kesan yang heroik, patriotik, atau berbau perjuangan.
Berbeda dengan kata ‘WC’ atau ‘sampah’ yang dikonotasikan dengan hal yang bersifat
buruk, sepele, dan kotor. Namun, dengan menggabungkan kata lain pada dua kata
tersebut, dapat memperluas pemaknaannya. Kata ‘parlemen’ yang bersanding dengan
kata ‘wc’ menjadi terkesan konyol. Kata ‘pesta’ bersanding dengan kata ‘sampah’,
terkesan meriah sekaligus kumuh.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
55
Universitas Indonesia
Nampaknya, hal itulah yang sengaja dilakukan untuk mendukung suasana yang
hendak dibawa dalam alur cerita drama. Pada bagian pemaparan masalah, naskah
drama “Parlemen WC” dibuka dengan sebuah monolog santai di sebuah bilik WC
umum. Tokoh Parmin membuka drama dengan menceritakan panjang lebar mengenai
aktivitasnya di dalam WC. Dari monolog-monolog tokoh Parmin, diketahui bahwa wc
ini merupakan sebuah barang penting dalam kehidupan di kampungnya, seperti yang
dikatakannya berikut ini.
Parmin: (mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat
lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita
semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya.
Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding
untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang
bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa
dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan)
mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasa-
rasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau
orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat,
perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi
pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat
diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang
perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke
arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)
Kutipan monolog tokoh Parmin menjelaskan alasan sebuah WC menjadi wujud
yang berarti. Tidak hanya itu, WC—di kampung Parmin—adalah bentuk kekuasaan
yang sah. Tidak hanya secara filosofis—seperti yang diutarakan dalam monolog
Parmin—tetapi juga pada praktiknya. Masa jabatan seorang Ketua RT ditentukan dari
kemampuannya menyediakan dan mengelola WC yang layak pakai bagi seluruh
masyarakat. Keseriusan Parmin dalam menyampaikan hal tersebut memberi sebuah
kelucuan. Sebuah WC menjadi bagian vital dalam kehidupan masyarakat sehingga
dapat mengendalikan orang yang berkuasa di kampung tersebut. Sebuah WC yang
menjadi lambang kekuasaan dapat berarti dua hal, (1)kuasa tidak bicara tentang
superioritas, tetapi kesediaan melayani serta milik bersama; (2) kekuasaan memiliki
citra yang buruk dan berisi hal-hal kotor.
Sementara itu, suasana dalam naskah drama “Pesta Sampah” dibangun melalui
sebuah komposisi gerakan tubuh dan formasi tokoh yang menghasilkan keindahan.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
56
Universitas Indonesia
Suasana sengaja tetap dipertahankan kumuh untuk mewakili kawasan para pemulung.
Komposisi gerakan yang dipadu dengan suasana kumuh tersebut adalah simbol untuk
menyampaikan masalah dari naskah drama ini. Para tokoh yang merupakan pemulung,
bergerak-gerak dengan memainkan keranjang dan sampah, menghibur diri mereka di
tengah suasana yang didominasi oleh warna batu, coklat, dan hitam. Selain itu,
pengaturan gerak dan eksplorasi tubuh yang disertai dengan barisan syair membuat
bagian pemaparan ini terasa meriah, seperti dalam sebuah pesta. Penggambaran ini
diceritakan secara detail melalui teks petunjuk pemanggungan dalam naskah drama.
Selain itu, terdapat sebuah barisan kata yang mirip seperti mantera, diucapkan berulang
kali pada bagian pembuka. Teks ini nampaknya merupakan moto hidup yang dipegang
teguh oleh para pemulung, terutama tokoh Pulung.
Utara, Selatan, Barat, Timur (berulang-ulang) Ngin angina ingin ngun bangun
ba’ba;hus hus dimana…mutiara hus!
Mutiara adalah kesabaran
Kesabaran adalah keikhalsan
Keikhlasan adalah meneriman, menerima dan terus menerima
Kapan memberinya (2011: 1)
Bagian tersebut kemudian disusul dengan munculnya tokoh Pulung, Rombeng,
dan Polong. Mereka adalah pemulung yang tinggal di daerah tersebut. Dari percakapan
mereka, dapat dilihat kondisi masyarakat yang miskin dan serba kekurangan. Namun,
kesulitan ini tidak disampaikan melalui nada percakapan yang putus asa, menderita,
dan depresi. Sejauh pengataman dalam bagian pemaparan ini, para tokoh membuat
kondisi mereka yang sulit menjadi lebih mudah dengan dihiasi tawa dan sesekali
berangan-angan untuk hidup berkecukupan. Ada pula tokoh Mulung, kekasih Pulung,
yang memberikan warna segar dalam interaksi ini melalui lakuannya yang manja dan
manis terhadap Pulung.
Pada bagian perumitan masalah, ketiga naskah drama ini menunjukkan
interaksi para tokoh utama dengan tokoh di sekitarnya untuk memperlihatkan efek
samping dari disharmoni hubungan kekuasaan dengan manusia. Naskah drama “Paralel
‘45” yang telah sejak awal memberikan ketegangan melalui adegan penembakan,
menggunakan tokoh Marni dan Rasyid untuk memicu tokoh lain memperlihatkan
kondisi mereka pasca-pembangunan Paralel ’45. Seperti halnya dengan tokoh Marni
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
57
Universitas Indonesia
dan Rasyid, tokoh Pulung pun muncul sebagai korban keadaan yang disharmonis
dalam naskah drama “Pesta Sampah”. Kedua tokoh utama dalam drama yang berbeda
ini memiliki kesamaan bentuk hubungan antara kekuasaan dengan manusia. Sementara
itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, perumitan masalah ditunjukkan melalui
tokoh-tokoh yang ingin merebut kekuasaan melalui proyek pembangunan WC baru.
Dalam drama ini, para tokoh telah tersihir dengan iming-iming kekuasaan yang hidup
berkelimpahan dalam harta dan kekuatan.
Pada bagian perumitan masalah dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pasangan
Marni dan Rasyid digambarkan sebagai tokoh yang tidak berurusan secara langsung
dengan pergolakan politik di negaranya. Masalah mereka hanya satu, yaitu cinta yang
terhalang oleh Paralel ’45. Persoalan cinta ini sebenarnya hanyalah efek samping dari
masalah utama. Keharuan yang ditimbulkan dari adegan romantis antara Marni dan
Rasyid dapat dikatakan sebagai bumbu penyedap.
Diantara para prajurit yang berjaga (Widodo di menara barat. Herman di menara
timur),
Rasyid yang berada di barat dan Marni yang berada di timur menyuarakan
kegelisahan
mereka menjadi seorang sepasang suami istri yang terpisah karena krisis politik
wilayah
tersebut. Lampu spot 2 titik di depan.
Marni: ini bukan keinginanku
Rasyid: ini bukan keinginanku
…………………………………………………………………………
(kemudian Marni dan Rasyid mendekat kearah dinding. Marni terlihat lebih
semangat ketimbang Rasyid. Marni menangis sedang Rasyid
menenangkan)
Rasyid: bagaimana keadaan timur?
Marni: uruslah kependudukanmu, pindah ke timur bersamaku Rasyid
Rasyid: aku tidak bisa Marni
Marni: kenapa? Apa kau mulai nyaman bercinta dengan tembok ini?!
membayangkan seolah-olah dinding ini terukir wajahku?
Rasyid: kau butuh pemimpin!
Marni: kau lah pemimpinku rasyid. Kau imamku!
Rasyid: bukan marni, timur butuh pemimpin!
Marni: pindahlah rasyid, aku mohon. Aku rindu padamu.
…………………………………………………………………………
(Marni dan Rasyid saling bersandar di tembok. Kemudian jatuh terududk.
Masing-masing
saling meratapi). (2013: 2-3)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Kutipan di atas menunjukkan suasana yang haru ketika pasangan suami istri ini
menumpahkan kerinduan mereka. Rasa rindu mereka terhadap satu sama lain dapat
ditangkap dengan melihat gerak-gerik, posisi tubuh, dan pembawaan mereka ketika
mengatakannya. Kepasrahan mereka menimbulkan rasa simpati sekaligus rasa benci
terhadap kekuasaan yang membuat mereka menjadi menderita. Pertemuan mereka
terjadi berulang kali tanpa ada solusi yang pasti selama tembok tersebut masih berdiri.
Suatu hari, konflik semakin memanas ketika seorang tentara baru dengan cepat
menembakan peluru ke arah Rasyid. Peluru itu memang meleset dan tidak melukai
Rasyid, tetapi tembakan tersebut segera menyulut emosi Rasyid yang sudah memanas.
Pada bagian tersebut, terungkap pula masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh lain.
Hal tersebut dipicu oleh kehadiran Marni dan Rasyid yang berada di tengah polemik
politik dua wilayah.
Rasyid: Hey apa-apaan kau ini? Jangan main tembak sembarangan
Marni: Ada apa di sana? Kamu baik-baik saja?
(munir turun menara mendekati Rasyid yang masih tercengang dan emosi)
Munir: Sudah kubilang jangan mendekat!
Rasyid Ya tapi jangan main tembak begitu, kau hampir saja
membunuhku!
Marni: (mulai panik) Apa? Siapa yang mau menembakmu? Rasyid kau
baik-baik saja kan?
………………………………………………………………………………
Munir: Hey mau apa kamu?
Marni: Rasid, apa yang terjadi? Rasyid, jangan main-main dengan
prajurit barat!
(Rasyid tak merespon ucapan Marni. Terus berjalan mendakti Munir)
Rasyid: Bunuh aku, Bunuh!! Kalian itu bertugas untuk mengamankan
negara, bukan untuk mengurangi populasi manusia dengan
senapan yang kalian punya. (2013: 7-8).
Tentara tersebut merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan yang
dilambangkan melalui Paralel ’45. Mereka diminta untuk siap sedia menghalau orang
yang berusaha melewati batas wilayah. Namun, ada pengecualian tertentu yang berlaku
bagi pasangan Marni dan Rasyid selama ini. Sayangnya, tokoh Munir—tentara baru—
tidak mengetahui hal tersebut. Sebagai orang baru di sana, ia hanya tahu peraturan yang
selama ini mendoktrinnya. Rasa kemanusiaan Munir telah terkikis dengan
kesetiaannya pada tugas. Tokoh Munir pun tak dapat disalahkan jika mencoba
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
59
Universitas Indonesia
melaksanakan tugasnya. Dengan kehadiran tokoh Munir, tekanan yang dihasilkan dari
sistem kekuasaan yang salah justru semakin nyata. Di bawah alam sadar para tokoh
tentara penjaga perbatasan, mereka mempertanyakan pula posisi mereka di tengah
kecamuk politik negerinya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Herman: hey, kau tahu Negara ini sedang terpecah? Kau tau
penyebabnya? Cuma ketidakpercayaan rakyat pada seorang
pemimpin, juga kediktatoran pemimpin itu sendiri. sungguh
kombinasi yang cocok untuk sebuah kehancuran Negara. (munir
terus mendengarkan)
Herman: Kau pikir pemimpinmu itu melakukan hal yang benar dengan
mengisolasi seluruh warga yang tidak memilihnya pada
pemilihan 2045 lalu? (…) Tapi apa harus semua ini ia lakukan?
Apa adil perpecahan ini untuk orang-orang sepertiku? Seperti
Marni? Orang-orang yang hanya menggunakan hak pilihnya dan
tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi setelah itu. Yang aku
perdulikan (sic) hanya hidup yang lebih baik, siapapun
pemimpinku. (…) Dia tidak kalah jahat dari seorang iblis yang
tega memisahkan seorang suami dengan istrinya. Apa kau sadar
seberapa panjang perjalanan mereka? apa kau sadar apa yang
mereka lakukan selama ini? kau sadar apa yang bisa menyatukan
negara kita kembali? (Munir terdiam berpikir)
Herman: kau tahu bagaiman caranya? Dengan apa? (munir mencari
jawaban). (2013: 10-11)
Dari kutipan di atas diketahui bahwa kekuasaan yang lalim menimbulkan
masalah yang kompleks. Masalah tersebut tidak hanya menyangkut kesejahteraan
hidup rakyat, tetapi juga meliputi kualitas manusia yang dihasilkan. Dengan adanya
perpecahan, masyarakat dihadapkan pada perubahan yang terjadi secara cepat dan
besar-besaran. Nilai moral tergerus karena tidak adanya kesempatan bagi masyarakat
untuk menata kehidupan yang baik. Di tengah perpecahan, manusia dipaksa untuk
bertahan hidup. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas oleh tokoh Herman—tentara
penjaga menara Timur—melalui monolognya yang dihasilkan dari kekalutan ia sebagai
tentara sekaligus juga bagian dari masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa
keraguan terhadap pemimpin dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat. Pemimpin
yang diharapkan dapat membawa perubahan baik, justru memecahbelah kesatuan
bangsa dan menempatkan dirinya sebagai penguasa.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
60
Universitas Indonesia
Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, perumitan masalah ditunjukkan melalui
adegan Pulung yang mulai merasa putus asa dengan keadaannya.
Pulung terpojok. Ia tak menyangka bahwa teman-temannya akan
meninggalkannya.
Music ngehe! Pergi meninggalkan Pulung.
Pulung: Kalian harusnya eling! Telapak kaki kalian itu sudah jebrag!
Melepuh! Nggak pantes nginjek keramik. Itulah, kalo nggak punya
wawasan dan harapan yang maju. Jebrag! (…)
Mutiara adalah kesabara…aku sendiri juga tak tau dimana
kesabaran kita bersembunyi..Long..beng…
Pulung seperti hilang diri ditinggal temannya. Ia goyah. Hanya tinggal Mulung
yang setia.
Mulung: Lung…sabar ya…masih ada aku lung
Pulung: Utara, selatan, barat, timur (berulang-ulang) ngin angina ingin
ngung bangun ba’ba; hush us dimana… mutiara!
Mulung: Mulai…mulai…deh, kembali pake acara percaya tahayul, bid’ad,
khurofat lagi. Sudah apa lung. Itu nggak nambah pahal kita. Udah
ya… yuk kita main drama-dramaan lagi(…)
Pulung semakin hilang diri. Ia tak terkendali. Pikirannya seperti sepi.
Menangis! Ia bicara sendiri. memandang jauh kesegala arah. Suasana pelan
pelan berubah (…) Mungkin di sebuah layar ada gambar yang bergerak
memvisiualkan ikon produk secara abstrak bisa cepat atau pun lambat. Penuh
warna-warna. Seorang penari membelah belah ruang menidurkan pulung
dalam mimpinya. Kemudian hilang bersambung.
Pulung: Kita harus berubah, kalu kita tidak berubah siapa yang akan
merubah kita?!!!
Mulung: Siapa kamu?
Pulung: Aku pulung…. (2011: 9)
Awalnya, tokoh Pulung ini diperlihatkan sebagai seorang yang optimis
menghadapi kesulitan hidup. Ia menjadi panutan teman-teman sesama pemulung—
Rombeng dan Polong—dengan motivasi “mencari mutiara kehidupan” (lihat “Pesta
Sampah”: 1-2). Namun, keadaan mereka semakin sulit. Tokoh Rombeng dan Pulung
pun akhirnya meninggalkan Pulung. Mereka merasa bahwa Pulung terlalu naif dalam
melihat kenyataan hidup. Tokoh Rombeng dan Polong tak mau lagi berada di rantai
kehidupan manusia yang paling bawah. Pada bagian sebelumnya, tokoh Pulung
menjelaskan bahwa orang-orang yang berada di rantai kehidupan terendah juga dapat
bermanfaat bagi sesama (“Pesta Sampah”: 2). Namun, kenyataan berbanding terbalik
dengan idealisme Pulung. Tokoh Rombeng dan Polong merasa para pemimpin yang di
atas tidak mempedulikan keadaan mereka yang di bawah. Tidak ada hubungan saling
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
61
Universitas Indonesia
menguntungkan dari posisi tersebut. Akibat dari kesalahan sistem kekuasaan, mereka
harus terus-menerus menderita. Penolakan teman-temannya menjadi pukulan keras
bagi tokoh Pulung. Padahal tokoh Pulung disebutkan memiliki kualitas sebagai
manusia yang idealis, seperti dalam kutipan berikut ini
Pulung: Ikut aku? Hahaha, kamu nda salah lung? Aku ini siapa? Orang
sampah! Kemukan enak sudah hidupnya. Buat apa? Lucu..
Mulung: Iya, tapi aku suka dengan sikap kamu yang keras dalam meyakini
sesuatu. Kamu beda lung. Aku pengen ikut kamu aja. Kamu lebih
meredeka dari aku. Aku cinta kamu lung. (2011: 6)
Akan tetapi, idealismenya sirna setelah ia dihadapkan pada realitas. Ia menjadi
hilang akal dan terlihat kebingungan. Keadaan tokoh Pulung yang semakin sulit
tersebut dimanfaatkan oleh tokoh Pakdir yang datang tiba-tiba. Tokoh ini
berpenampilan seperti seorang pengusaha yang kaya raya. Dari nama tokoh ini,
‘Pakdir’, diduga merupakan singkatan dari ‘Pak Direktur’. Tokoh Pak Dir ini datang
dengan membawa jawaban yang nampaknya mampu mengatasi masalah tokoh Pulung,
seperti dalam kutipan berikut ini.
Mereka terkejut.
Pakdir: Saya Pak Dir, tim survey lahan basah bebas susah yang merupakan
tim kilat dalam memberikan jasa secara (…) Di peruntungan saya,
anda bisa jadi kaget lantaran benda-benda ternyata lebih bagus dan
lebih pintar dari anda. Kita dilayani oleh benda-benda. Asyik,
tinggal pencet semua berubah. Lampu-lamu warna yang kemilau di
hati.
Pulung: semuanya betulan Bapake Dir?
Pakdir: Pak dir! Bukan! Lilin… ya iyalah!!
Pulung: Saya kira imajiner kaya saya sama si Mulung
Pak dir: Nyata, ga pake Tanya, ha … you ini gembel yang naif.
Pulung: Maksud anda? Anda jangan menghina saya ya pak. Gini-gini juga
saya punya alasan mutiara. (2011: 10-11)
Dari kutipan tersebut, tokoh Pulung tetap terlihat polos walaupun sudah mulai
ada ketertarikannya terhadap penawaran dari Pakdir. Sebelumnya, tokoh Pulung
digambarkan cukup puas dengan kehidupannya (“Pesta Sampah”: 2-3). Namun setelah
ditinggal pergi oleh teman-temannya, Pulung nampaknya berpikir ulang tentang
keadaan dirinya. Ia melihat adanya kesempatan yang ditawarkan oleh tokoh Pakdir.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
62
Universitas Indonesia
Dari sanalah, ia akahirnya berani mengambil tawaran tersebut demi perubahan
kesejahteraan hidupnya.
Kesempatan untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik, juga ditemukan
sebagai motif bagi tokoh-tokoh dalam naskah drama “Parlemen WC” untuk merebut
kekuasaan di kampung tersebut. Dari interaksi dan penyataan tokoh-tokoh yang
terobsesi untuk berkuasa ini, ditemukan adanya kesalahan pengertian atas konsep dari
menjadi pemimpin dan penguasa.
Gimin: Sudah-sudah! Malah gentian situ yang rebut. Saya mau
mengaspirasikan ide saya yang tersisa, kalau mau rebut jangan di
sini. Bukan tempatnya untuk ribut!
Parmin: Wah, mentang-mentang sudah dapat jatah jadi sok ngatur orang.
Demonya kan sudah kepalang berjalan. Kenapa baru bekerja? Ya,
pekerjaan yang paling sia-sia. Paling-paling tinggal sisa-sisanya.
Dan tidak butuh Konsentrasi.
Gimin: Ini juga gara-gara Karjo yang nggak mau turun tahta juga!
Surip: Wah sampeyan itu pada kaya ya rupanya. Belum apa-apa sudah
rebutan Tahta segala.
Parmin: Hus! Ngerti apa kamu bocah ingusan? Ini adalah tahta yang
menampung tambang emas. Jangan lho. Setidaknya siapa yang
paling banyak menyumbang dia akan mendapat hasilnya.
Surip: Hasil yang bagaimana?
Parmin: Hasilnya ya, tanggung jawab dia untuk membangung WC ini. dan
itu kesempatan untuk jadi ketua RT sangat besar.
Surip: Hanya untuk sebuah jamban ini setiap orang bisa jadi ketua RT ?
EDAN!
Parmin: Ini soal hegemoni. Bukan soal yang sederhana. Kamu belum
nyandak, le.
Surip: Hegemoni yang seperti apa?
Parmin: Wah, kamu ini payah! Kamu tahu ketua RT sekarang sudah hampir
tidak menjabat lagi. Sudah saatnya diganti. Nah, orang-orang
kampong yang biasanya buang air di jamban beramai-ramai untuk
ikut serta balapan buang air di jamban ini. kalau nanti sampai
roboh itu sudah risiko. Tapi, di balik robohnya jamban itu ada
khikmahnya.
Dari percakapan tersebut, terlihat adanya niatan khusus dari tokoh Surip dan
Gimin terhadap tahta di kampung itu. Mereka diam-diam mengamati dan menghitung
keuntungan yang dapat diperoleh, jika mereka mampu memperbaiki WC dan menjadi
Ketua RT. Yang lebih mengejutkan lagi, perhitungan tersebut ternyata dilakukan untuk
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
63
Universitas Indonesia
memenuhi kepentingan pribadi tanpa ada pemikiran tentang kesejahteraan rakyat,
seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Ijah: Lantas nabung apa?
Karjo: Ya, nabung uang!
Ijah: Uang? Mana mungkin sampeyan dapet uang. Dari mana uang-
uang itu sampeyan dapet?
Karjo: Dari narik becak! Lalu aku tabung.
Ijah: Untuk apa?
Karjo: Ya untuk persiapan membangun WC itu!
Ijah: Apa ada yang nggak lebih penting dari sebuah jamban?
Karjo: Ini sangat penting! Lebih penting dari yang terpenting!
Ijah: Bagaimana bisa?
Karjo: Sebentar lagi Pak RT habis masa jabatannya. Sebab, jamban yang
ia bangun sebentar lagi akan roboh. Maka aku mulai menabung
untuk membangun jamban.
Ijah: Sampeyan pengen jadi ketua RT toh? Lha kok lucu. Wong ngurus
anak-anak saja nggak becus kok mau-maunya ngurus orang
sekampung! Sampyean itu edan! (2012: 19)
Pada bagian tersebut, tokoh Karjo diperlihatkan terobsesi untuk menjadi
penguasa di kampung. Padahal menurut interaksi dengan istrinya, mereka bukanlah
keluarga yang berkecukupan. Uang dari hasil bekerka Karjo saja tidak cukup untuk
membiayai hidup mereka. Apalagi semenjak Karjo terobsesi membangun WC, istrinya
jadi kerepotan mengurusi rumah tangga bahkan ia mengira Karjo selingkuh. Perkataan
istrinya tentang kelayakan Karjo sebagai seorang Ketua RT telah menjelaskan bahwa
ia sama sekali tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Namun, Karjo tetap
bersikeras.
Di lain pihak, muncul pula tokoh yang sama seperti Karjo. Ia ingin menguasai
kampung tersebut dengan membangun WC. Namun, antara Karjo dan pihak lain ini
tidak saling mengetahui. Bahkan pihak baru tersebut, diperlihatkan lebih cerdik
daripada Karjo. Ia tak hanya menghamburkan uang milikinya, tetapi juga
memanfaatkan warga lain untuk mewujudkan mimpinya menjadi penguasa. Tentu saja,
niatnya yang sebenarnya tak dikatakan kepada orang lain.
Perempuan 1: Maksudku kita bikin WC umum dengan fasilitas yang serba
canggih dan tidak lagi mampu disaingi oleh siapa pun. Itu akan
segera menyelesaikan masalah. Ditambah lagi dengan fasilitas
gratis. Cuma-Cuma!
Perempuan 3: Modalnya?
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
64
Universitas Indonesia
Perempuan 1: Modal bersama dan sebagaian kita ambil dari kontribusi
kebersihan yang biasanya ditarik tiap pembayaran rekening
listrik. Juga dana arisan ibu-ibu kampung
………………………………………
Perempuan 1: Ya kami kaum perempan yang selama ini ditindas. Kaum yang
selam ii dilecehkan. Kkaum yang selalu tak masuk hitungan
dalam peta politik di negeri ini. kaum yang hanya pelengkap. Atas
nama HAM aku bersumpah akan aku tunjukan pada dunia,
perempuan tidaklah selemah itu, tidak serendah yang mereka
pikir, tidak sebodoh yang mereka kira. Kini saatnya para pria
membudak di bawah duli perempuan. (perempuan 1 berlalu,
perempuan 5 masuk lagi)
Perempuan 5: Sudah aku duga, dia wanita yang penuh dengan ambisi! Kenapa
tidak aku sadari sejak mula kalau pembangunan WC umum itu
akan berbuntut pada perebutan kuasa. (2012: 28-30)
Tokoh Perempuan 1, dalam kutipan di atas, memang memiliki maksud yang
lain dari tokoh Karjo. Tokoh Karjo menginginkan kekuasaan untuk kehidupan ekonomi
yang lebih baik, sedangkan tokoh Perempuan 1 ini menginginkan kekuasaan sebagai
pembuktian diri. Ada sedikit simpat bagi tokoh Perempuan 1 yang dianggap mencoba
untuk mengangkat posisi perempuan melalui kekuasaannya. Namun, jika dilihat lebih
mendalam, tujuan tersebut tak seluhur yang dibicarakannya. Dari dialognya, terlihat
lebih banyak penekanan pada ambisi pribadi tokoh Perempuan 1 daripada maksudnya
untuk membela perempuan. Tindakan tersebut dinilai dapat merusak keseimbangan
hidup antarmanusia.
Kekuasaan yang buruk, selain menimbulkan degradasi moral dan hilangnya
rasa kemanusiaan, juga memunculkan perpecahan di antara masyarakat. Dalam naskah
“Paralel ‘45”, perpecahan itu telah jelas dibuat dengan hadirnya tembok Paralel ’45.
Namun, perpecahan yang lebih besar, sebagai saudara setanah air, diungkapkan melalui
keputusan Pemimpin Barat untuk mengadakan usaha pemisahaan wilayah secara
hukum. Selama ini, wilayah Timur masih berada di bawah otoritas Barat. Dengan
adanya, putusan tersebut maka perpecahan menjadi sah. Harapan bagi pasangan Marni
dan Rasyid, serta seluruh masyarakat yang hidupnya terpisah semenjak munculnya
ketegangan politik tersebut, sudah sirna. Hilangnya harapan tersebut menimbulkan
reaksi keras dari masyarakat yang selama ini memperjuangkan keadilan bagi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
65
Universitas Indonesia
kehidupan mereka. Suasana menjadi semakin tegang dan terlihat adanya kemungkinan
kerusuhan besar. Hal tersebut nampak dalam bagian berikut ini.
Berita: Penolakan hasil pemilihan pemimpin di tahun 2045 masih
berlangsung hingga saat ini. sejumlah demo dan aksi kerusuhan
membuat republic ini mengalami krisis politik berkepanjangan.
Dampaknya, parallel 45 menjadi batas keras yang seakan
memisahkan sebuah republic seperti air dan api yang tidak akan
pernah bisa menyatu kembali.
Bambang: Saudara-saudara, Sudah terlalu sering kita melihat kematian di
perbatasan ini. Samapi kapanpun kitatuntut agar perbatasan ini
dihancurkan (…)
Hanif: Mari kita semua menolak segala aturan perbatasan terkutuk ini!
Mari kita semua menolak pemimpin bajingan itu! (…)
(Yang lain bersorak seolah setuju. Disisi barat tampak pula seorang pria
berwibawa.Timur tetap berdemo, statis, pemimpin barat masuk)
Pemimpin barat: Kalian harus berjaga lebih ketat. Semakin banyak warga timur
yang memanjat dinding ii, tanyanya semakin terancam wilayah
barat.
Malik: Turunkan pemimpin barat! Turunkan pemimpn barat! Dia itu
adalah musuh Negara!
Pemimpin barat:Ahh aku bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini,
padahal aku bisa membuat mereka jadi lebih sejahtera.
Dimas: Pembual! Sejak dulu dia itu pembual. Sampai kapanpun kami
akan terus menentang terpilihnya kau jadi pemimpin republic
ini. kami tau mana pemimmpin yang dan tidak! Kami ingin kau
hancurkan tembok ini, dan lawanlah kami kalau berani! (2013:
11-12)
Munculnya berita tentang usaha pemisahan diri yang dilakukan oleh Pemimpin
Barat memicu munculnya demonstrasi dari masyarakat, terutama di Timur. Mereka,
orang-orang Timur yang tidak menghendaki pemimpin tersebut, merasa sudah
waktunya rakyat untuk merebut kekuasaan kembali. Namun, Pemimpin Barat telah
bersiaga untuk memusnahkan siapa saja yang melawannya. Dari kutipan di atas,
ditemukan bahwa sifat-sifat pemimpin Barat ini menunjukkan adanya praktik politik
yang fasis. Ia menggunakan kekuataan militer untuk membungkam rakyat yang
memberontak. Namun, ia—secara pribadi—tidak berani untuk berkonfrontasi secara
langsung dengan masyarakat yang menolaknya. Tidak ditemukan adanya usaha untuk
menyatukan kembali wilayah tersebut oleh Pemimpin Barat. Ia disebutkan lebih
memilih untuk mempertahankan kekuasaannya daripada persatuan negaranya. Hal ini
memicu konflik di Timur dan keputusasaan di Barat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
66
Universitas Indonesia
Perpecahan juga terjadi dalam naskah “Pesta Sampah” yang diwakili oleh tokoh
Pulung. Setelah ia menerima tawaraan dari Pakdir, ia pun mengikuti perintah Pakdir
untuk bersalin diri. Pakdir memperlengkapinya dengan segala macam kebutuhan untuk
memperbaiki tampilan Pulung yang kumuh. Namun, dengan tampilan baru tersebut,
sifat Pulung ikut berubah. Mulung, kekasihnya, tak lagi melihat diri Pulung yang dulu
ia banggakan. Kekecewaan Mulung tidak ditanggapi dengan serius oleh tokoh Pulung,
seperti yanga ada dalam kutipan berikut ini.
Pakdir: Yang pertama, kalian harus dandan yang cakep!
Pulung: Ayo lung, kita mau didandani…
Mulung: Lung, aku ikut kamu bukan untuk seperti ini. aku tinggalkan
rumahku, hidupku untuk bersama kamu karena aku memilih kamu
sebagai orang yang memiliki sikap lebih. Aku percaya sama kamu.
Tapi kenapa kamu sekarang berubah? Kamu jadi sama dengan…
Pulung terpojok dengan pernyataan mulu
Pulung: Katanya kamu cinta! Kalau memang itu benar, kamu harus ikut
aku…
Mulung: Cinta…cinta…
Pulung: Ayo.
Mereka didandani
…………………………………………………………………………..
Di pusat kota, di tengah niaga, orang-orang belanja, narsis; memajang diri
membuat iri. Gedung-gedung bergerak., bayangan menari, keranjang penuh
diisi. Pulung mengira itu mutiara, silau kemudia ia berlari mengejarnya.
SPG menjual barang dan dirinya.
…………………………………………………………………………
Datang rombongan perusahaan pelacur keliling. Mulung diangkut . ia
dipaksa menjadi wanita peliharaan bayaran lelaki belang. (2011: 12-18)
Pada bagian yang diperlihatkan dalam kutipan di atas, tokoh Pulung sudah
menjadi boneka milik Pakdir. Ia dimabukkan oleh kemewahan yang selama ini tak
didapatnya. Ketika tokoh Mulung mengingatkan prinsip-prinsip kehidupannya dulu,
tokoh Pulung menunjukkan pembelaan diri. Ia tidak terima dikriitik oleh Mulung.
Seperti orang mabuk, Pulung tak lagi menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Ia
lupa pada idealismenya. Sementara tokoh Pulung sibuk dengan dunia barunya, tokoh
Mulung diangkut secara paksa oleh rombongan pelacur keliling. Namun, Mulung tak
dapat berbuat apa-apa. Semua orang di sana, semenjak hadirnya tokoh Pakdir, sudah
kehilangan hati nurani. Perbuatan menjual diri sudah sangat umum. Akhirnya, Pulung
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
67
Universitas Indonesia
dan Mulung berpisah. Tidak hanya itu, perpisahan dengan Mulung juga menandakan
perpisahan tokoh Pulung dengan idealisme kehidupannya yang dulu.
Bagian ini juga menunjukkan bahwa tokoh Mulung merupakan satu-satunya
orang yang masih menggunakan hati nurani untuk melihat keadaan. Kekayaan yang
ditawarkan Pakdir tidak mampu mengubah dirinya. Ia masih percaya dengan apa yang
selama ini ia pegang teguh. Hal tersebut diperlihatkan melalui adegan soliloqui tokoh
Mulung. Ia berbicara kepada dirinya sendiri tentang kesabaran dan ketekunan yang
akan membawa hasil lebih besar. Di antara kegemerlapan hidup di kota yang
dipromotori oleh tokoh Pakdir, adegan Mulung ini menjadi sumber harapan.
Kesederhanaannya tentang kualitas hidup manusia begitu menyentuh sampai membuat
dunia gemerlap Pakdir terasa tak berarti.
Seperti halnya naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Parmin dalam drama
“Parlemen WC” juga menjadi penawar dari perpecahan yang timbul akibat
keserakahan. Semua orang di kampung itu nampaknya telah tersihir dengan ambisi
untuk berkuasa. Namun, tokoh Parmin—yang tahu segala hal tentang politik di
kampung tersebut—digambarkan konsisten sebagai seorang rakyat kecil yang hidup
sesuai perannya. Ia tak terlihat ikut menginginkan jabatan sebagai Ketua RT. Padahal,
jika dicermati, tokoh Parmin sangat memiliki peluang untuk menjadi Ketua RT. Ia tahu
segala hal tentang politik WC tersebut dan pengguna setia WC. Ia pun sadar akan
hakikat WC tersebut bagi kehidupan di kampungnya. Dengan adanya tokoh Parmin
yang netral, keserakahan tokoh lain justru jadi lebih terasa. Sifat mereka sangat kontras
dengan tokoh Parmin.
Selain adanya tokoh yang memperlihatkan keserakahan dan ambisi untuk
menguasai, muncul pula tokoh Orang 1, 2, dan 3 yang apatis terhadap keadaan di
kampung tersebut. Sejak awal drama, mereka digambarkan ada di tiap tempat kejadian.
Kehadiran mereka juga memberi warna bagi kehidupan politik di kampung tersebut.
Di antara persaingan politik yang kotor, sikap dan pandangan mereka yang apatis
terlihat lebih mulia dibandingkan dengan mereka yang peduli. Sebenarnya, ketiga
tokoh ini digambarkan mengetahui banyak kebusukan yang terjadi seputar politik WC,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
68
Universitas Indonesia
tetapi mereka tidak mau melakukan apa pun. Keputusan untuk tidak bertindak itu pun
membuat perpecahan menjadi nyata di kampung tersebut.
Orang 3: Dan kamu pun akan turut andil membangunnya? Atau dengan kata
lain kamu akan memperalat kami sebagai batu loncatan agar kamu
jadi ketua RT? Tak usahlah yau! (genit)
Orang 1: Kami ini rombongan orang-orang apatis dengan hal-hal semacam
itu. Bagi kami perut terasa kenyang itu sudah cukup. Kami tidak
mau neko-neko.
………………………………………………………………………………
Orang 3: Sampeyan selalu saja mengkang hak kami. Itu hubungannya!
Parmin: Mengekang? Saya rasa justru kalian ini yang telah membuat
kericuhan di kampung ini. terutama dengan nyanyian-nyanyian itu.
Orang 2: Nyanyiann kami membuat ricuh? Bagaimana bisa?
Orang 3: Itu masih mending dari bau entut sampeyan yang selalu bikin
kisruh teangga.
Parmin: Nyanyian kalian itu berbau propaganda. Harus dibumihanguskan
sebelum didengar banyak orang!
Orang 2: O rupanya sampeyan merasa tersaingi. Lalu sampeyan berusaha
menghalangi kami. Begitu?
Orang 1: rupanya ada orang yang bermain politik di sini. Ada VOC gaya
baru di kampung ini! (tertawa)
Parmin: Saya tidak merasa tersaingi, dan saya juga tidak sedang bermain
politik. Saya hanya mengingatkan kalau nyanyian kalian itu bisa
mengganggu stabilitas kampung ini. (2012: 35-36)
Pada kutipan di atas, tokoh Orang 1,2, dan 3 mengaku tidak ada kepentingan
luhur, sebab bagi mereka hidup hanya sementara (“Parlemen WC”: 34). Mereka
menjadi semakin agresif menyerang warga lain karena melihat begitu banyak
kebusukan yang terjadi. Bahkan dengan tokoh Parmin—yang disebut sangat luhur dan
sederhana—mereka tidak menaruh rasa percaya. Padahal tokoh Parmin dengan tegas
menyatakan tak mau menjadi Ketua RT. Namun, pernyataan Parmin tersebut justru
dinilai memiliki suatu tendensi yang buruk.
Pada dasarnya, dari adegan tersebut, tokoh Parmin dan Orang 1,2, dan 3 berada
di posisi yang sama. Mereka tidak ingin ambil bagian dari politik WC yang kotor.
Namun, pandangan mereka berbeda. Parmin digambarkan masih memiliki kepedulian
terhadap sistem demokrasi yang diwakili oleh WC tersebut, sedangkan tokoh Orang-
Orang itu tidak lagi percaya pada apa pun.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
69
Universitas Indonesia
Kepedulian tokoh Parmin diwujudkan melalui usahanya mencegah tokoh
Pejabat untuk merubuhkan WC di kampung tersebut. Pada adegan yang
memperlihatkan kemunculan tokoh pejabat, digambarkan sifat dan karakter pejabat
yang sekotor air comberan. Mereka ingin merubuhkan WC agar mencegah bencana
yang disebabkan dari WC tersebut. Akan tetapi, Parmin menolak pendapat tersebut.
Sebagai seorang yang digambarkan optimis dan selalu berpikir positif, Parmin tidak
setuju jika WC yang berguna bagi orang banyak tersebut dijadikan alasan bencana.
Akhirnya, kedua belah pihak tersebut—Parmin dan para Pejabat—terlihat beradu
mulut. Sesuai dengan suasana yang dibawa sejak awal, sindiran dan kritik terhadap
sifat-sifat Pejabat yang lalim ini digambarkan dengan kelucuan. Adanya perumpamaan
yang sederhana, tetapi tepat sasaran, justru mengungkapkan keburukan tokoh Pejabat.
Di akhir debat mereka, terbukalah niat sebenarnya dari pembongkaran WC tersebut.
Ternyata, tokoh Pejabat 2 tidak ingin menghilangkan WC, tetapi merubuhkannya dan
membangun kembali supaya ia dapat berkuasa di sana (“Parlemen WC”: 38-45).
Kekuasaan yang timbul dari hubungan kompleks antara kebutuhan masyarakat
dan kepentingan individu telah mencapai puncaknya. Ketidakpercayaan, perpecahan,
serta rusaknya moral mencapai titik klimaks dengan munuclnya kerusuhan besar-
besaran. Masyarakat menolak adanya kekuasaan yang lalim mengatur hidup mereka.
Kealpaan pemimpin untuk membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, telah
menghilangkan harapan dan logika untuk memperjuangkan hidup dalam kedamaian.
Tindak anarkis dan konfrontasi langsung menjadi pilihan untuk merebut kembali apa
yang menjadi hak mereka.
Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, klimaks ditandai dengan keluarnya kabar
bahwa wilayah Barat telah menjadi sebuah negara yang sah dan terpisah dari Timur.
Timur tidak lagi memiliki kekuataan hukum apa pun dan tidak dijaga oleh siapa pun.
Segera setelah kabar itu keluar, kerusuhan di Timur terjadi. Bangsa lain pun segera
datang ke Timur untuk melakukan penjajahan karena tidak adanya lembaga sah yang
menanungi wilayah Timur. Hal ini berdampak besar terhadap tokoh Marni dan Rasyid.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
70
Universitas Indonesia
Adegan 6
Dimulai dengan suara sebuah berita menunjukkan kekacauan yang terjadi di
timur. Perpecahan timur dan barat sudah semakin parah. Bahkan barat
menyatakan wilayahnya berdiri sendiri. Kemudian lampu menyala, disana
ada Rasyid yang sedang berjalan menuju paralel ’45. Hari itu adalah hari ia
biasa bertemu Marni.
Munir: Hey sampai kapan kau mau begini. Dia bukan lagi warga republik
ini.
Rasyid: Tapi dia tetap istriku.
Munir: kau membahayakan nyawamu dan nyawa istrimu kalau kau t
etap kesini
(Rasyid semakin dekat dengan paralel. Hatinya seakan hancur mengetahui
berita yang terjadi di timur)
Rasyid: Marni, Ku dengar timur semakin kacau. Apa yang bisa kulakukan
untukmu. Kita benar-benar sudah tidak bisa bersatu lagi, ini sudah
hukum alam marni. Akupun tak tau kenapa kisah kita jadi serumit
ini. Tapi aku akan tetap mencintaimu, aku akan tetap terus kemari
mendengar suaramu. Apa kau juga akan melakukan hal yang sama
marni? (Tak terdengar suara siapapun di sana)
…………………………………………………….
Rasyid: Marni, jangan main-main. Aku benar-benar minta maaf… Marni,
kau disana kan? Marni… Marni… kau tidak datang? Marni
ucapkan satu kata saja… Marni! Kau benar-benar tidak datang?
Kenapa?
(transisi seakan Rasyid mengunjungi tembok itu setiap hari, tetapi Marni tak
pernah lagi datang)
Adegan 7
Suara berita menyuarakan kericuhan yang terjadi di timur, juga berita yang
memberitahu bahwa pemipin barat telah mendelegasikan kepada bangsa luar
kalau negaranya terpecah belah dan memutuskan untuk menjadi wilayah yang
berdiri sendiri. berita juga tersiar kalau timur kembali dijajah warga asing
karena tidak memiliki kekuatan hukum dan politik.
Spot rasyid dan marni, seolah mereka mendengar berita wilayah seberang.
Marni terlihat sangat terpukul dan tak berdaya karena timur terjajah. Rasyid
merasakan penderitaan marni ketika mendengar berita soal wilayah timur,
tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Suara berita itupun berhenti.
Marni: Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara tidak mencitai ku. Aku
matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu
untuk yang terakhir kali. (2013: 13-14)
Bagian yang dikutip tersbeut, menunjukkan bahwa titik balik dari masalah yang
dibicarakan dalam naskah drama “Paralel ‘45” diwakili oleh kisah Marni dan Rasyid
yang akhirnya tak dapat bertemu lagi. Rasyid, di wilayah Barat, lebih bebas untuk pergi
ke daerah perbatasan tersebut, sedangkan nasib Marni lebih tak menentu di wilayah
Timur. Rasyid tak lagi mendengar kabar Marni secara personal. Ia hanya tahu bahwa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
71
Universitas Indonesia
wilayah di Timur benar-benar hancur akibat pernyataan Pemimpin Barat. Nasib Marni
dan warga di Timur sudah tak lagi dapat diperjuangkan oleh saudara setanah air mereka
dulu di Barat. Rasa putus asa dan kekelaman menyelimuti bagian klimaks dalam drama
ini melalui dialog-dialog yang diucapkan oleh tokoh Rasyid. Suara berita yang
mengabarkan kekacauan menjadi latar, sementara, kesedihan Rasyid dituangkan
melalui gerak-gerik dan kata-kata yang memohon-mohon untuk dapat bertemu lagi
dengan istrinya. Hal tersebut membuat alur terasa mencekam sekaligus menyayat hati.
Kerusuhan yang disebabkan oleh WC dalam naskah drama “Parlemen WC”,
digambarkan terjadi karena adanya dua kelompok yang saling berkepentingan. Mereka
yang membutuhkan WC untuk merebut kekuasaan dan mereka yang menginginkan
WC tersebut untuk dihancurkan demi kesejahteraan bersama. Tokoh Parmin yang tidak
terlibat dalam dua kubu tersebut, tidak dapat melakukan tindakan apa pun untuk
mencegah perseteruaan. Massa dari masing-masing kubu telah menetapkan
pendiriannya dan menolak untuk bermusyawarah mengatasi konflik tersebut. Mereka
bahkan memanggil orang sakti untuk memecahkan masalah tersebut.
Orang 1: Lihatlah saudaraku. Mereka semua menjadi gila!
Orang 3: Ya! Gila pada seonggok jamban! (tertawa)
Orang 2: Ah, kalian masih saja buta! Lihatlah! Hukum adalah permainan,
barang dagangan yang begitu mudahnya diperjualbelikan dan
ditawar-tawarkan dengan harga obral besar (…)
Orang 1: (…) Tanyakan saja pada Parmin! Dia tahu segalanya.
Semuanya menengok ke arah Parmin yang kebingungan
Parmin: Tidak…saya tidak pernah tahu. Tapi jika kalian meminta sesuatu
yang aku tahu akan aku berikan. Mereka hanya kasut. Provokator.
Mereka wabah maut. Pagebluk!
Mbah Satimin: Jangan Ngger, jangan itu bahaya. Itu berarti kalian akan
menantang maut.
Orang 1: Tak peduli. Inilah yang sebenarnya kalian minta. Maka kami
penuhi. Dan tak akan ada pagebluk seperti yang kalian ributkan.
Bohong besar jika kalian harus terkungkung oleh ketakutan kalian.
Inilah kesesatan kalian, kecongkakan kampung ini, dan kedaulatan
kampung kalian. (…) Kalianlah saksi! Ya kalian saksi kebutaan
kalian sendiri!
(Orang 1, 2, dan 3 merusak WC yang menjadi monumen itu)
Semua menjadi chaos yang tak lagi mampu terbendung. Pagebluk itu pun
akhirnya datang tanpa menyisakan tawa sedikit pun. (2012: 48-50)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
72
Universitas Indonesia
Suasana santai dengan kelucuan para tokohnya, yang dibangun sejak awal,
berubah secara drastis pada bagian klimaks. Ketegangan muncul di antara dialog dan
lakuan para tokoh. Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang dengan polosnya berinteraksi,
mereka telah menunjukkan taring masing. Karjo dengan kepercayaan mistisnya
terhadap peruntungan WC tersebut. Tokoh Perempuan 1 digugat oleh tokoh Perempuan
lainnya karena mereka merasa telah ditipu oleh tokoh Perempuan 1 yang berambisi.
Tokoh Orang 1, 2, dan 3 menyebutkan satu persatu dosa orang-orang di kampung
tersebut. Mereka yang mengetahui segala kebusukan itu membukanya di hadapan
semua orang. Walaupun pada bagian sebelumnya mereka digambarkan berseteru
dengan tokoh Parmin, di bagian kutipan tersebut dapat dilihat bahwa mereka percaya
tokoh Parmin tahu mana yang buruk dan benar. Sayangnya, tokoh Parmin yang
memang digambarkan tidak memiliki kepentingan tertentu di sana, menjadi ciut
nyalinya dan takut jika sikapnya memperburuk keadaan. Oleh sebab itu, tokoh Orang
1, 2, dan 3 mengambil langkah keras untuk menunjukkan keserakahan atas kekuasaan
yang membelenggu mereka. Ketiga tokoh tersebut menghancurkan lambang kekuasaan
di perpecahan itu. Segera setelahnya, reaksi keras datang dari mereka yang memiliki
kepentingan atas nama kekuasaan, mereka yang membutuhkan WC, dan mereka yang
menjadi korban belaka. Kerusuhan antarsesama warga terjadi. Tak ada lagi rasa
persaudaraan yang dari awal kental terasa dalam naskah drama ini.
Kekacauan besar segera terjadi pula dalam naskah drama “Pesta Sampah”,
setelah semua manusia berubah menjadi boneka milik Pakdir. Dalam kutipan berikut
ini, peristiwa besar yang menyangkut nasib hidup rakyat dipertaruhkan di atas meja
judi oleh tokoh Pejabat. Ia—selama ini disebutkan—terlibat bisnis gelap dengan tokoh
Pakdir. Bisnis yang ia gunakan untuk meraup keuntungan pribadi dari aset negara.
Tukang kocok: pasang!
Pakdir: satu gedung!
Pejabat: lahan basah
Kartu dibagikan
Tukang kocok: kik
Pakdir: pabrik…
Pejabat: tambang minyak…
Kartu dibagikan
Pakdir: qiu pe’…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
73
Universitas Indonesia
Pejabat: qiu tujuh…
…………………………………………………………………………
Tukang kocok: pakdir menang. Pasang!
Pakdir: 80% saham dunia, berani?
Pejabat: semua asset…Negara!
Kartu dibagikan
Tukang kocok: kik…
Pakdir: qiu enam
Pejabat: jebot
Pakdir: aku memang beurntung… Pakdir! Masih berani… ayo main
terus, aku pasang anjing-anjingku semuanya
…………………………………………………………………………
Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus
Mempermainkan pejabat…pulung coba menutup mata
Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan music. Panggil para
penghibur sejati. Kita menuju kota besi
Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka
berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah. Kota
dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik syahdu
biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur. Pembununhan,
berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria. Perampasan, perjudian.
Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan krodit. Ditengah itu
semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang liar memenuhi
Seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya hampir pecah.
Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur.
Pulung: Aaaarrggh!!! (2011: 18—23)
Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset negara,
yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa ada
pertimbangan yang masak. Di atas meja judi—sebuah permainan yang cepat dan
membuat seseorang menjadi ketagihan—tokoh Pejabat menjual negara dan hartanya.
Sosok penguasa yang diperlihatkan drama itu tak memikirkan kepentingan umum.
Segera setelah kekalahannya, Pakdir mendapatkan hal yang diinginkannya. Ia
menguasai seluruh isi negeri itu. Ia tidak hanya mengadakan ekspansi kekuasaan atas
lahan dan sumber daya alam negara itu, tetapi juga mengeksploitasi manusia yang
tinggal di sana. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama.
Pada titik tersebut, tokoh Pulung sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia
telah menyerahkan dirinya, seperti juga tokoh Pejabat, untuk dikuasai oleh Pakdir.
Musik dan tari-tarian yang memeriahkan suasana membuat kesedihan tokoh Pulung
menjadi hal yang tragis. Terlebih, ketika tokoh Mulung muncul sebagai seorang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
74
Universitas Indonesia
pelacur. Hal tersebut menjadi pukulan keras bagi tokoh Pulung. Ia teringat kembali
dengan idealismenya di masa lalu.
Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini, yang juga menjadi bagian
peleraian dalam naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Pulung berbicara pada Pakdir.
Ia mengungkapkan nilai-nilai yang dipercayainya. Dalam pidatonya kepada tokoh
Pakdir, ia berharap pula orang-orang menjadi sadar bahwa mereka telah dikuasai oleh
uang. Kekuasaan kapitalisme mengalahkan kemanusiaan. Teknologi mematikan nurani
mereka (“Pesta Sampah”: 24). Alih-alih menjadi sadar, orang-orang di sekitar tempat
itu malah menertawakan ucapan Pulung. Mereka sudah tak lagi menjadi manusia yang
memiliki hati sehingga perkataan Pulung terdengar seperti bualan sia-sia. Tokoh Pakdir
dengan segera meringkus Pulung yang dianggap mengganggu ‘pesta’ tersebut. Tak
ada lagi tempat bagi Pulung di sana sebab semuanya telah digerakkan oleh kekuasaan
Pakdir yang menguntungkan dirinya sendiri.
Peleraian dalam naskah drama “Paralel ‘45” ditunjukkan dengan tindakan
tokoh Marni dan Rasyid. Mereka tak lagi mampu mengatasi ketidakadilan dan
kekacauan di wilayah masing-masing, terlebih lagi mengatasi jarak yang memisahkan
cinta mereka. Tak lama kemudian, dengan niat untuk bertemu satu sama lain yang
terakhir kalinya, mereka pun pergi ke tembok Paralel ’45. Namun, keadaan sudah tak
sama lagi seperti dulu. Tak ada lagi kompromi bagi siapa pun yang mendekat, seperti
yang terlihat pada bagian kutipan berikut ini.
Marni: Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku
matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu
untuk yang terakhir kali.
Rasyid: Marni, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku
matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu
untuk yang terakhir kali.
Adegan 8
Di barat dan timur masih dijaga oleh Herman, Munir, Widodo, dan penjaga
lain yang bertambah. Kemudian Marni dan Rasyid berlari ke arah paralel.
Semua penjaga meneriaki mereka, menodong senjata.
Herman: hey, jangan bertindak bodoh. Mau apa kau, menjauhlah. Kau bisa
mati. Menjauh atau ku tembak kau dan mati sebagai pengkhianat.
Ku bilang berhenti.
Munir: Mau apa kau? Hey, kali ini aku akan benar-benar menembakmu
kalau mendekat. Dinding itu berbahaya. Berhentiiii!!
(tapi Marni dan Rasyid tidak menghiraukannya, mereka terus berlari sampai
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
75
Universitas Indonesia
akhirnya mereka berhasil memanjat dinding paralel dan berhasil menyentuh
satu sama lain. Setelah baru saja bertemu di atas dinding, peluru panas
menembus tubuh mereka. (2013: 14-15)
Dengan kematian, Marni dan Rasyid menyimbolkan leraian dari masalah yang
pelik antara kekuasaan dan manusia. Tindakan yang memilih mati dapat berarti bahwa
mereka tak lagi menemukan alasan untuk hidup atau dapat pula mengisyaratkan bahwa
masalah kekuasaan yang sejak awal menjadi isu utama dalam drama ini, berujung
buntu. Dalam proses kematian Marni dan Rasyid, ada banyak hal—seputar masalah
yang sejak awal dibicarakan—terjadi. Masalah kemanusiaan yang muncul pada diri
Herman dan Munir—tentara masing-masing wilayah—yang dihadapkan pada pilihan
sulit. Bagi Marni dan Rasyid, lompatan mereka yang berujung tembakan, merupakan
terakhir kali mereka bertaruh atas nasib dan kepercayaan terhadap cinta. Mereka telah
diperingatkan oleh tentara kedua belah pihak. Peringatan tersebut menjadi semacam
wujud hati nurani Herman dan Munir yang terucapkan. Untuk yang terakhir kalinya,
mereka merasakan rasa kemanusiaan dalam diri mereka. Akan tetapi, bagi Marni dan
Rasyid, peringatan itu adalah sebuah tiket menuju kebebasan yang kekal.
Ketidakpedulian mereka menandakan bahwa mereka telah siap menghadapi risiko
terburuk sekali pun. Hal tersebut melerai segala konflik yang mungkin akan lebih parah
lagi terjadi karena kesewenang-wenangan penguasa.
Sementara itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, tidak ditemukan adanya
bagian peleraian masalah utama. Setelah kekacauan terjadi, kehancuran merupakan
akhir bagi riwayat kampung tersebut. Tak ada lagi hal yang dapat diceritakan sebab
semuanya telah musnah bersama dengan keserakahan dan kelaliman dari sihir
kekuasaan. Semua tokoh telah hilang dalam kekacauan yang sebelumnya terjadi hingga
tak bersisa sama sekali. Suasana akhir dalam drama tersebut terasa hampa sama seperti
keadaan kampung setelah kerusuhan. WC yang selama ini diibaratkan sebagai bentuk
kekuasaan dan pernah berdiri kokoh di kampung tersebut, kini terlihat mirip seperti
tempat sampah yang rusak. Fungsinya telah hilang bersama dengan esensinya yang
disalahgunakan oleh warga kampung tersebut (“Parlemen WC”: 50)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
76
Universitas Indonesia
Serupa dengan naskah drama “Parlemen WC”, kedua drama lainnya pun
berakhir dengan penyelesaian yang hampa. Tak ada lagi tanda kehidupan yang
ditunjukkan oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Herman berhasil menembak Marni dan tokoh
Munir berhasil menembak Rasyid (“Paralel ‘45”). Yang tersisa dari diri mereka,
digambarkan dengan sederhana melalui petunjuk pemanggungan, hanya tatapan nanar
pertanda hilangnya rasa kemanusiaan itu.
Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, panggung dinyatakan telah sepi dari
keramaian pesta binatang. Tokoh Pulung terlihat dibungkus plastik dengan ditemani
Mulung yang digambarkan hilang jiwanya. Sementara di kejauhan, tokoh Pakdir diarak
oleh orang banyak. Mereka berdua tak memberikan reaksi apa pun pada kejadian
tersebut. Melalui kalimat penutupnya, “Mereka ditelan cahaya gelap” (“Pesta
Sampah”: 25), drama ini berakhir tanpa adanya penegakan keadilan.
Ketiga drama ini berakhir tragis walaupun sebelumnya dibuka dengan
bermacam-macam suasana. Bahkan dua naskah—“Pesta Sampah” dan “Paralel ‘45”—
yang awalnya terlihat ceria, tak mampu memberikan akhir yang bahagia bagi tokoh-
tokohnya. Namun, melalui akhir yang tragis, kritik dan sindiran dalam ketiga drama ini
justru lebih terasa. Wajah buruk dari kekuasaan mampu digambarkan melalui
pembagian peristiwa yang bervariasi dalam alur. Selain itu, tak hanya menawarkan
hubungan vertikal antara manusia dan kekuasaan, ketiga drama ini juga
memperlihatkan bagaimana kekuasaan memakan habis mereka yang berkuasa.
Perkembangan alur dalam ketiga drama ini dapat dikatakan menyerupai sebuah
bentuk piramida. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar 1.2 di bawah ini. Grafik
tersebut menunjukkan bahwa perkembangan alur yang terjadi dalam ketiga drama ini
memiliki kemiripan antara yang satu dan lainnya. Hal itu dapat menandakan bahwa
dalam relasi antara manusia dan kekuasaan ditemukan sebuah pola yang sama. Pola
tersebut diwujudkan dari disharmoni hubungan manusia (rakyat) dan kekuasaan
(pemerintah, jabatan, atau pejabat). Disharmoni muncul sebagai akibat dari kesalahan
pemahaman atas konsep-konsep kekuasaan.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
77
Universitas Indonesia
Sebagai penanda perubahan alur, digunakan latar suasana untuk membedakan
antara peristiwa yang satu dan lainnya. Suasana pada bagian pemaparan membangun
keadaan yang ingin ditampilkan dalam naskah drama. Naskah drama “Paralel ‘45”
telah menempatkan ketegangan di bagian awal karena ingin memberikan rasa bahaya
dari situasi yang digambarkan. Dalam dua drama lainnya, suasana digambarkan lebih
santai dibandingkan dengan “Paralel ‘45”. Suasana dalam naskah drama “Parlemen
WC” dibuat lucu dengan tingkah komikal para tokohnya. Kelucuan tersebut
dipergunakan untuk memperlihatkan bentuk kekuasaan di dalam naskah drama ini,
yaitu sebuah WC. Sedang dalam naskah drama “Pesta Sampah”, ada suasana syahdu
di balik penderitaan yang diperlihatkan oleh para tokoh. Suasana ini sengaja dibangun
untuk memperlihatkan sifat dan karakter manusia yang ideal.
Pada dasarnya, drama ini memperlihatkan kondisi manusia dan kekuasaan yang
seringkali terjalin dengan penuh ketegangan, ambisi, dan kesewenang-wenangan.
Dengan memberikan akhir yang tragis, ketiga drama ini nampaknya berusaha
memberikan sebuah nasihat atau solusi untuk menyudahi kondisi seperti di dalam
naskah drama. Namun, nasihat ini tidak disampaikan secara eksplisit melainkan dengan
kesunyian dari bentuk kehancuran dan kematian rakyat di tangan penguasa.
Gambar 2.2
Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan
0
2
4
6
8
10
12
paparan perumitan klimaks peleraian penyelesaian
Parlemen WC Paralel 45 Pesta Sampah
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
78
Universitas Indonesia
2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat
Membicarakan mengenai manusia dan lingkungan sosialnya, sebenarnya
merupakan sebuah area pembahasan yang sangat luas. Ada banyak satuan kecil yang
membentuk sebuah lingkungan sosial. Dalam tiap satuan kecil tersebut terdapat
masalah. Masalah-masalah dari satuan-satuan tersebutlah yang banyak ditemukan
dalam ketiga drama ini. Masalah disfungsi suami istri dan perselingkuhan dalam
lingkup rumah tangga, masalah pengkhianatan dan rasa bersalah dalam kehidupan
bertetangga sampai pada pembentukan paradigma yang salah. Hal-hal tersebut saling
mengisi di dalam drama sehingga menimbulkan warna-warni tersendiri untuk masalah
ini.
Masalah-masalah tersebut ada yang sudah sering sekali dibahas13 dalam drama
lainnya, ada pula yang benar-benar baru. Hal-hal baru tersebut biasanya datang dari
perkembangan zaman. Misalnya, keadaan istri meninggalkan suami yang sebelumnya
dianggap suatu hal luar biasa, dalam drama ini sudah menjadi suatu hal yang biasa saja.
Ada juga penggambaran tindak kriminal yang identik dengan masyarakat kelas
menengah bawah. Pada lapisan masyarakat ini, hal tersebut sudah menjadi bagian dari
kehidupan mereka yang biasa. Keunikan-keunikan tersebut dibawa oleh tiap pengarang
ke dalam dramanya. Ada yang bernada menyindir, ada pula yang secara terang-
terangan berceramah tentang baik dan buruknya dalam situasi-situasi tersebut.
Dalam ketiga drama ini, lingkungan sosial yang diciptakan tentu berkiblat pada
kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, muncul pula kebiasaan dan
tradisi-tradisi dalam drama ini. Corak kedaerahan juga dimunculkan melalui identitas
tokoh atau cara tokoh membawakan dirinya. Pada intinya, drama-drama ini
memunculkan realitas kehidupan yang dapat dialami oleh siapa saja yang
membacanya.
13 Zen Hae menuliskan dalam artikel “Sejumlah Masalah dalam Naskah dan Lakon” bahwa potret
kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sudah berulang kali diangkat ke dalam naskah drama.
Mulai dari drama “Kapai-Kapai” karangan Arifin C. Noer, “Sobrat” karangan Arthur S. Nalan sampai
drama “Opera Kecoa” karangan Nano Riantiarno , masalah kemiskinan hadir dalam berbagai bentuk di
sepanjang masa. (Panggung: Majalah Festival Teater Jakarta, 2011: 18).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
79
Universitas Indonesia
2.3.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat
“Roman”
Roman dan Atun terpaksa meninggalkan anak mereka di desa karena harus
mencari uang di tempat ini. Roman yang buta bekerja sebagai tukang urut dan Atun
membuka usaha warung. Walaupun Roman buta dan mereka hidup dalam ekonomi
yang sulit, pasangan tersebut saling mencintai. Sampai suatu ketika, Roman diberitahu
oleh para tetangga tentang perubahan sikap Atun yang semakin suka berdandan. Oleh
karena itu Roman curiga dan cemburu pada seorang tetangga mereka yang baru saja
menduda, yaitu Bambang. Ternyata Bambang merupakan kekasih Atun yang dulu. Ia
dan Atun harus berpisah karena keluarga Atun berhutang budi pada keluarga Roman
sehingga Atun terpaksa menikah dengan Roman. Sampai suatu ketika, Roman yang
gelap mata, melabrak Bambang yang dicurigai tengah berselingkuh dengan istrinya.
Akhirnya, Roman kehilangan istrinya. Ia pun hidup semakin menderita tanpa istri
“Te(N)tangga(NG)”
Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakan barunya mendapati kejanggalan
dalam komunitas barunya. Suatu malam, ia melihat seorang laki-laki marah-marah,
seorang pelacur, seorang calon wisudawan gila, anak muda bergaya metal, dan Pak RT
yang ketus. Siangnya, ia mendapati orang-orang tersebut berubah 180 derajat menjadi
berbeda. Laki-laki yang marah tersebut ternyata adalah seorang bapak agen asuransi.
Yang semalam menjadi pelacur, ternyata adalah istri bapak tersebut dan bekerja
sebagai wanita karier sukses. Dua pemuda semalam ternyata adalah anak mereka, si
wisudawan adalah mahasiswa yang kerjanya demo dan anak metal ternyata seorang
anak muda rajin beribadah. Keanehan ini mengusik Risti sampai akhirnya ia
memutuskan sendiri melakukan suatu pembongkaran identitas. Ia akhirnya tahu bahwa
memang begitulah keadaan keluarga tersebut. Di siang hari yang tampak oleh semua
orang, mereka orang baik. Dan di malam yang gelap, mereka menunjukkan sisi lain
diri mereka.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
80
Universitas Indonesia
“Lima Pintu”
Ada lima pintu dalam sebuah kontrakan. Pintu pertama dihuni oleh suami-istri
pintu satu yang belum juga dikaruniai anak. Pintu dua dihuni oleh seorang janda dengan
dua orang anak gadis. Pintu tiga dihuni oleh suami-istri pintu tiga yang dikaruniai
seorang anak yang masih kecil. Pintu empat dihuni tiga gadis muda yang sudah bekerja.
Pintu lima merupakan ruangan dapur yang digunakan bersama. Setiap hari, suami pintu
satu dan pintu tiga berjaga di depan untuk melihat anak pertama ibu pintu dua berangkat
kerja. Hal itu kemudian disusul dengan kemarahan istri-istri mereka dan pertengkaran
kecil lainnya. Namun, setiap kali tukang sayur lewat, para istri seolah lupa dengan
suaminya dan langsung menyerbu si tukang sayur. Akibatnya , para suami mengamuk.
Ada juga kejadian lain, seperti pamer-pameran antara para istri perihal harta. Si kecil
yang terus menangis karena sakit, suami pintu tiga yang diusir, sampai pacar Lela yang
datang berkunjung. Suatu malam, Lela yang kalut karena terus dipersalahkan atas
polemik rumah tangga di sana, duduk sendirian di luar. Tiba-tiba ia disekap oleh
seorang pemuda asing dan dibawa paksa ke pintu lima. Paginya, kampung itu geger
karena Lela ditemukan telah meninggal. Dari surat yang ditinggalkan, diketahui bahwa
pelakunya adalah si tukang sayur yang cemburu melihat Lela dikunjungi lelaki lain
setelah Lela menolak cintanya.
2.3.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat
Berdasarkan sinopsis ketiga naskah drama yang berbicara tentang relasi
manusia dengan masyarakat, ditemukan ada banyak masalah seputar kehidupan
bertetangga. Beberapa masalah kecil, seperti ketidakharmonisan rumah tangga
antarpasangan dan kesulitan ekonomi masing-masing penghuni, menjadi kesulitan
untuk melihat inti dari masalah-masalah tersebut. Hal ini disebabkan oleh
keanekaragaman karakter tokoh yang menjadi fokus pembicaraan relasi manusia ini.
Namun, dengan merunutkan masalah-masalah turunan yang muncul, akan ditemukan
satu masalah utama tentang relasi manusia dan masyarakat di tiap drama. Perunutan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
81
Universitas Indonesia
masalah-masalah tersebut dapat dimasukkan ke dalam tiga bagian yang tergambar
dalam bagan berikut ini.
Peristiwa dalam ketiga naskah drama ini terbagi ke dalam tiga bagian besar.
Bagian luar melingkupi pemaparan masalah dan perumitan masalah yang berisi
peristiwa-peristiwa masalah tokoh utama dengan tetangga. Bagian tengah dari masalah
ini—yang melingkupi klimaks—merupakan bagian yang mengerucut ke hal yang
bersifat personal. Bagian terakhir dari pembagian peristiwa dalam ketiga naskah drama
ini, melingkupi peleraian dan penyelesaian masalah, yaitu bagian personal yang
memantul kembali ke luar. Pada bagian akhir tersebut, konflik yang dialami oleh tokoh
utama akan menjadi refleksi dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga naskah drama ini memiliki kesamaan cara untuk memaparkan masalah
utama yang dialami oleh para tokoh. Pemaparan dalam naskah drama “Lima Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman” memberikan gambaran tentang situasi masyarakat
Skema 2.1
Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia dengan Masyarakat
masalah yang dibawa dari
anggota masyarakat
lain
masalah personal
tokoh
masalah personal
tokoh dalam lingkup
masyarakat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
82
Universitas Indonesia
yang akan diangkat dalam alur drama. Bagian ini menunjukkan latar tempat dan
beberapa tokoh yang menonjol sehingga dapat dilihat bahwa drama-drama ini
menggunakan potret masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal tersebut nampak
dalam pemilihan tempat tinggal serta gaya berinteraksi para tokoh.
“Te(N)tangga(NG)”
Adegan 1
Setting adalah sebuah gang kecil yang hanya muat dilewati satu kendaraan.
Rumah yang saling berdempetan memperlihatkan kekerabatan
yang kuat antar penghuni gang tersebut. Kala itu malam hari dan
tampak seorang pria paruh baya yang sedang berdiri menatap ke
suatu rumah di ujung gang.
Amir: (berteriak marah) dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja
bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi
tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini
kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak
kampungan… dasar wanita keparat!!!
Seuara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga
memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah kontrakan
kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi. (2011: 1)
“Lima Pintu”
Bagian ke Satu
Rumah petak berderet. Lima buah pintu. Pintu paling kiri pasangan suami istri
yang lima tahun menikah, tapi belum memiliki anak. Pintu ketiganya juga
pasangan keluarga, memiliki satu anak yang masih bayi. Dan pintu atau tepatnya,
yang paling tengah menghuni antara pasangan pintu satu dan tiga seorang janda
dengan dua orang anak yang sudah cukup besar. Seorang (…) di pintu keempat,
tiga anak perempuan yang semuanya bekerja di sebuah pabrik. Rata-rata berusia
sekitar dua puluh tahun. Dan yang terakhir, atau pintu ke-lima, kontrakannya
masih kosong. (…) dan di areal paling pojok juga ada kamar mandi bersama.
Suara di pintu satu.
Istri pintu satu: Kang, buruan mandinya! Sudah jam tujuh nih. Nanti alasan
terlambat lagi. Dah dua hari gak masuk kerja, kan sayang gajimu
dipotong terus.
Suami pintu satu:Iya, sabar. Sebentar lagi juga selesai. Lagi beres-beres…
Istri pintu tiga: Yang antri banyak lho…
………………………………………………………………..
Seorang wanita dengan seragam sekolah keluar dari pintu dua.
Neneng: Maaa, aku berangkat! (berteriak)
Ibu pintu dua: Iya, hati-hati! (dari dalam rumah) (2013: 2-3)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
83
Universitas Indonesia
“Roman” Babak II
Terdengar sebuah lagu yang dinyanyikan oleh beberapa. Orang yang duduk
di bale didepan rumah Roman. Tampak, Ning sedang mencuci dan tanpa
menyadari sedang diperhatikan oleh salah seorang dari mereka. Tidak lama
kemudian Juned, suami Ning, keluar dari rumahnya.
…………………………………………………………………..
Kemudian Roman keluar dari rumahnya dan mendekati Ning
Roman: Juned punya simpanan lagi, Ning?
Ning: Kalau saya dengar dari teman-temannya di posko, memang begitu.
Tapi saya juga belum pernah mergokin, Mas.
Roman: Kamu percaya?
………………………………………………………………………….
Bambang datang membawa sebuah tas dan kardus. (2011: 1-6)
Pada tiga kutipan di atas, ditemukan gambaran tentang lingkungan tempat
tinggal mereka yang berdekatan satu sama lain. Kehidupan bertetangga yang erat
disebabkan oleh jarak yang dekat serta sifat-sifat dari masyarakatnya yang masih
membuka diri satu sama lain. Kedekatan tersebut, selain menimbulkan keakraban,
ternyata juga memicu konflik. Masalah satu rumah dapat diketahui oleh penghuni
rumah lain karena jarak yang dekat. Dari keinginan untuk membantu sampai berubah
menjadi sekadar ingin tahu pun menjadi mungkin terjadi di lingkungan seperti itu.
Masalah ekonomi juga menjadi penyebab kemampuan mereka mengusahakan lahan
tinggal yang layak. Tingkat ekonomi yang rendah menimbulkan pilihan area tempat
tinggal dan rumah pun menjadi sangat kecil jangkauannya. Mereka diperlihatkan
tinggal di daerah padat penduduk, gang, atau rumah kontrakan yang kumuh. Para
penghuni pun digambarkan tidak asli dari kota, tetapi ada yang merupakan pendatang
dari desa. Perbedaan asal usul ini juga menambah kerumitan dalam hubungan yang
terjalin di antara para tokoh. Walaupun demikian, tetap ada kedekatan yang hangat dan
akrab di antara mereka.
Perlu diperhatikan perbedaan antara pemaparan masalah dalam naskah drama
“Roman” dengan dua naskah drama lainnya. Naskah drama “Roman” tidak meletakkan
bagian pemaparan ini di adegan pertama. Adegan pertama justru dibuka dengan
kejadian yang terjadi sekarang, yaitu sebuah monolog tokoh Roman yang seolah
merahasiakan sesuatu. Alur kemudian mundur ke belakang untuk menjelaskan maksud
dari adegan tokoh Roman tersebut. Hal ini menandakan bahwa alur drama akan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
84
Universitas Indonesia
berfokus pada tokoh Roman sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin
mengarah pada rahasia tersebut. Selebihnya, cara dan suasana pemaparan dalam drama
ini sama dengan yang lainnya.
Untuk mencari tahu masalah utama dalam drama, dapat pula diperhatikan dari
pemilihan judulnya. Dari judul naskah drama “Te(N)tangga(NG)” dan “Lima Pintu”,
terdapat kesan bahwa masalah yang diangkat berhubungan dengan orang banyak. Hal
ini disebakan pada pemilihan kata yang bersifat komunal, tetangga dan lima pintu.
Judul “Te(N)tangga(NG)” dapat terbaca menjadi dua, ‘tentang gang’ dan ‘tetangga’,
keduanya-sama-sama merujuk kehidupan bersosial manusia. Judul drama “Lima
Pintu” memunculkan bayangan tentang bangunan berpintu banyak atau ruangan yang
dihuni oleh lebih dari satu orang. Oleh sebab itu, pernyataan kuantitas tersebut
mematahkan kemungkinan bahwa naskah ini berfokus pada satu orang saja. Untuk
naskah drama “Roman”, kata tersebut merujuk pada tokoh utama yang menjadi fokus
dalam drama. Seperti diungkapkan pada paragraf sebelumnya, bagian monolog Roman
mengindikasikan bahwa ia akan menjadi fokus utama dalam drama maka judul tersebut
memang berarti nama tokoh utama.
Masalah mulai muncul ketika satu persatu tokohnya terlibat dalam sebuah
interaksi yang intens. Karakter dari masing-masing tokoh diperlihatkan mulai nampak
melalui gerak-gerik, bahasa tubuh, serta deskripsi penampilan. Seperti dalam naskah
“Te(N)tangga(NG)”, tokoh Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakannya yang
baru, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran beberapa tokoh lain yang sangat mengganggu
ketenangan. Ia segera ke luar dari kamarnya dan melihat keributan yang terjadi di
lingkungan barunya tersebut. Risti digambarkan begitu terkejut ketika pertama kali
bertemu dengan tetangga-tetangga barunya yang berkepribadian sedikit ‘tak biasa’,
seperti dalam kutipan adegan berikut ini.
Amir: (berteriak marah) Dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja
bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi
tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini
kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak
kampungan… dasar wanita keparat!!!
Suara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga
memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah
kontrakan kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
85
Universitas Indonesia
………………………………………………………………………………
Tami: Taik juga ya lo.. panggil gue Tami.. trus ngomongnya pake gue elo
aja, gak usah saya.. kaya di kantor kelurahan aja pake saya-sayaan
segala…Kuliah apa kerja?
Risti: Kuliah..
Lalu terdengar suara ribut dari kejauhan. Risti pun mendengar dan sempat
memberikan tanda kepada Tami, namun Tami hanya diam saja. Lalu
beberapa saat kemudian datanglah seorang anak muda mengenakan pakaian
toga selayaknya orang yang baru diwisuda.
………………………………………………………………………………
Lalu Tami pun bergegas keluar panggung.
Risti: Kuliah di mana mas Ritus??
Ritus: Gak usah pake mas, gue bukan orang Jawa.. gue kuliah di UNJ
ambil Teknik Industri..
Belum selesai Ritus berbicara sudah ada seorang lelaki yang masuk ke dalam
panggung.
Ferry: Ahh tai nih nyokap.. masa orang mau ngeband aja gak boleh,
anaknya mau jadi musisi malah dilarang-larang.. tai
Risti semakin bingung melihat situasi yang terjadi di gang ini. (2011: 2-6)
Dari kutipan di atas, Risti digambarkan kebingungan menghadapi tetangga
barunya yang bersikap sedikit berbeda. Awalnya, ia dikejutkan dengan suara seorang
bapak memaki-maki, sampai mengancam untuk membunuh, kepada seseorang yang
tidak jelas siapa. Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita dewasa yang bekerja
sebagai pekerja seks komersial (PSK). Belum sempat Risti memahami apa yang
sebenarnya terjadi di lingkungan baru tersebut, muncul tokoh anak muda yang baru
diwisuda. Menurut keterangan dari tokoh Tami, pemuda bernama Ritus itu mengalami
gangguan jiwa. Setelah Ritus, muncul pemuda lain yang terobsesi menjadi anak band
tetapi digambarkan bergaya norak. Terjadilah adu mulut antara Ritus dan anak band
yang bernama Ferry sehingga berujung pada perkelahian. Risti yang belum dapat
memahami situasi tersebut, kesulitan untuk memisahkan mereka sampai akhirnya
tokoh Ketua RT datang. Mereka dibubarkan dari tempat tersebut oleh Ketua RT.
Maksud hati Risti ingin mengadukan hal yang dilihatnya kepada Pak Herri, reaksi Pak
Herri justru menambah kebingungan tokoh Risti.
Hal yang lebih mengejutkan dari peristiwa tersebut adalah ketika tokoh Risti
bertemu dengan keempat tetangga barunya tersebut di suatu siang. Mereka berubah
menjadi orang yang sama sekali berbeda. Tokoh bapak, yang bernama Amir, ternyata
adalah seorang agen asuransi. Ia sangat ramah kepada Risti. Perilakunya yang ramah
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
86
Universitas Indonesia
cenderung persuasif disebabkan oleh pekerjaannya sebagai seorang penjaja asuransi.
Lalu ada pula tokoh Tami, yang di malam sebelumnya digambarkan sebagai seorang
PSK, kini ia muncul dengan penampilan sebagai seorang wanita karier. Tuturnya
lembut dan sikapnya keibuan, sangat berbeda dari yang dilihatnya tempo hari. Tokoh
Ritus yang disebutkan gila, muncul sebagai seorang aktivis kampus yang memiliki
dedikasi tinggi terhadap reformasi. Muncul pula tokoh Ferri, anak band yang norak,
berubah menjadi seorang pemuda mesjid yang religius. Sifat dan perilaku mereka yang
berbeda di malam dan siang hari membuat tokoh Risti mengalami kepanikan. Pada
malam hari, sifat dan perilaku mereka berasosiasi dengan segala hal yang dianggap
buruk dan salah oleh masyarakat. Sementara itu, pada siang hari, mereka berubah
menjadi orang-orang yang normal dan mengerjakan kebaikan.
Tokoh Risti yang digambarkan masih duduk di bangku kuliah, merasa
terpanggil untuk memecahkan keanehan tersebut. Ia pun mengundang sahabatnya
untuk datang ke lingkungan barunya tersebut sehingga dapat menyaksikan peristiwa
yang luar biasa itu. Tidak ada tokoh lain yang percaya dengan apa yang dibicarakan
tokoh Risti. Selain itu, hanya Risti seorang yang melihat dualisme dalam diri tetangga-
tetangga barunya. Temannya, Dina, bahkan sama sekali tidak menemukan peristiwa
yang dikatakan Risti. Semenjak Dina menginap, keempat tokoh yang berkepribadian
ganda14 tersebut tidak muncul seperti biasanya. Hal ini menimbulkan kekalutan
sekaligus juga tantangan bagi jiwa muda Risti yang masih bergejolak dengan rasa ingin
tahu.
Masih dalam setting yang sama dengan waktu yang berbeda. Suasana malam
kembali terlihat di atas panggung. Tampak Risti bersama temannya Dina
sedang duduk di kamarnya. Mereka tampak membicarakan sesuatu.
Dina: Mana Ris? Udah tiga hari gue di kontrakan lu, kayaknya gak ada
yang aneh…
Risti: Tunggu aja Dina… biasanya keanehan itu terjadi tiap hari, tapi ini
gak tau kenapa sejak lo ada disni kok keanehan itu malah gak
ada… gue juga bingung..
Dina: Jangan ngada-ngada deh lo Ris (…)
14 Gangguan identitasi disosiatif yang timbul karena adanya kejadian pada masa lalu yang
mengakibatkan trauma pada penderita. Penderita gangguan penyakit kejiwaan ini biasanya memiliki
lebih dari satu kepribadian yang memegang kendali atas diri mereka.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
87
Universitas Indonesia
Risti: (memohon-mohon) sebentar lagi Din… Sebentar lagi… (melihat
ke arah jam) sebentar lagi seorang pria keluar dari gang itu sambil
marah-marah
Dina: (memotong) setelahnya seorang wanita berlagak seperti pelacur
murahan, lalu anak kulihan dan seterusnya anak metal… ya tapi
mana buktinya Ris? Uda jam berapa sekarang?? Lagian keadaan
kaya begitu kayaknya biasa deh,
…………………………………………………………………………..
Risti: (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gua apa tetangga itu
sih?? Gua masih waras kan? Masih waras kan??? (berteriak)
ahhhh…. Kenapa sih sama gue????!!! (sesekali memukul
kepalanya sendiri) normal… normal…normal…. Normal…
normal…. Ayo dong normal!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang
sakit!!! (menangis) gua normal… gue gak sakit… gue normal…
gak sakit…. (seperti tersadar akan sesuatu) ya… gua mesti cari tau
apa yang terjadi sama tetangga gue itu… gang itu…. Semua orang
yang ada di lingkungan ini… gua harus cari tahu…. (diam
memikirkan sesuatu) besok gue bongkar semuanya, gua mau
buktiin sama dina kalau yang gua ini benar…
Hal yang menarik dari kutipan di atas, selain fakta bahwa keempat tokoh itu
hanya muncul di hadapan Risti, adalah pernyataan Dina tentang penyimpangan
perilaku manusia di dalam masyarakat. Dina seolah-olah menegaskan bahwa
kriminalitas, prostitusi, dan fenomena sosial lain merupakan hal yang biasa terjadi di
dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Tidak ada yang aneh dengan keberadaan
orang-orang tersebut. Hal ini menarik, mengingat perilaku mereka pasti berbeda
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Perbedaan tersebut biasanya memaksa orang
yang menyimpang dari konvensi nilai sosial yang ada, seperti nilai-nilai yang melarang
adanya tindakan maksiat, untuk berubah atau justru secara langsung mengalami
alienasi dari kelompok sosialnya. Kenyataan yang disebutkan oleh Dina dapat berarti
dua hal, adanya pergeseran nilai sehinggal hal seperti itu menjadi biasa saja atau
lingkungan tempat tinggal masyarakat kelas menengah bawah memang identik dengan
hal seperti itu. Hal yang kedua mungkin terjadi, jika faktor ekonomi telah demikian
buruk menekan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan apa saja untuk bertahan
hidup. Namun, perilaku tersebut tidak terbawa dalam kehidupan bertetangga sehingga
dimaklumi saja oleh orang-orang sekitarnya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
88
Universitas Indonesia
Faktor ekonomi yang menentukan kualitas manusia dalam suatu kelas sosial
memang muncul dalam naskah-naskah drama ini. Hal ini disebabkan oleh pemilihan
potret masyarakat menengah ke bawah yang memiliki konsentrasi lebih besar dalam
hal ekonomi. Kesulitan ekonomi tersebut berdampak pula pada minimnya pendidikan
yang didapat. Faktor pendidikan tersebut mempengaruhi pemilihan bahasa, aktivitas,
serta perilaku para tokoh. Hal ini terlihat dalam pemaparan masalah naskah drama
“Lima Pintu” yang mengupas kehidupan bertetangga empat penghuni di kontrakan
tersebut.
Keempat penghuni kontrakan itu adalah keluarga kecil atau beberapa orang
yang secara ekonomi memang terbilang kurang. Penghuni pintu satu adalah suami istri
yang belum memiliki anak. Penghuni pintu dua adalah seorang janda yang telah
memiliki dua anak gadis, yaitu Lela dan Neneng. Penghuni pintu tiga adalah pasangan
suami istri dan bayinya. Penghuni pintu empat adalah tiga orang karyawati yang masih
muda. Selanjutnya, para tokoh ini akan disebut sesuai dengan status mereka dan nomer
kamar yang dihuni, misalnya Istri Pintu Satu.
Masalah di antara mereka mulai tercium ketika tokoh-tokoh ini mulai
mengeluarkan karakter mereka yang khas. Para istri digambarkan senang membangga-
banggakan apa yang tidak dimiliki oleh tetanggganya, seperti Istri Pintu Tiga
(selanjutnya disebut IPT) suka membanggakan anaknya kepada Istri Pintu Satu
(selanjutnya disebut IPS) yang belum memiliki anak. Akan tetapi, mereka akan
menjadi kompak ketika menghadapi suaminya masing-masing yang cuci mata dengan
anak Ibu Pintu Dua (selanjutnya disebut IPD), Lela. Para suami ini ditampilkan sebagai
laki-laki pekerja yang menafkahi keluarga, tetapi sering berada di bawah tekanan istri-
istri mereka yang galak. Para istri juga digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang
menunggu suaminya pulang sambil mengurus rumah sehingga jadi bosan dan sering
kali melakukan pekerjaan yang tidak berguna, seperti adu gengsi ke tetangga atau
marah kepada suami. Stereotip-stereotip itu muncul untuk menandakan adanya
masalah dalam relasi gender di dalam rumah tangga Suami Istri Pintu Satu dan Tiga.
Masalah seputar gender tersebut memang tidak secara spesifik disebutkan,
tetapi dapat ditangkap adanya tendensi untuk menyindir perilaku pasangan suami istri
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
89
Universitas Indonesia
yang tidak membagi perannya secara adil. Akibatnya, para istri—dalam naskah drama
ini—digambarkan sering merasa kecewa dan melampiaskannya lewat kemarahan.
Tokoh suami yang pusing menerima perlakuan istrinya, berubah menjadi laki-laki mata
keranjang. Namun, yang menarik, tokoh Suami tidak antusias menggoda penghuni
pintu empat—yang berisi karyawati muda—padahal mereka begitu giat menggoda
Lela. Jadi, para suami ini tidak sekadar main mata sembarangan dan asal tembak
perempuan mana saja, tetapi lebih terlihat memberi kekaguman pada Lela. Hanya saja,
melalui interaksi dengan istrinya yang kurang baik, perilaku mereka dianggap
berselingkuh. Padahal jika diperhatikan, ada pula adegan para istri yang terlalu ‘akrab’
dengan tukang sayur sehingga menyebabkan para suami marah.
Kemarahan para istri ini tidak sama dengan yang dialami para suami, yang
langsung memecahkan masalah dan berhenti di titik tersebut. Para istri yang marah
setiap kali suami mereka memperhatikan Lela, akhirnya menjadikan tokoh Lela
kambing hitam dari masalah-masalah lain yang timbul karena hubungan komunikasi
yang buruk. IPD yang berada di tengah mereka pun, mau tak mau mendengar
pembicaraan miring tentang anak gadisnya. Ada kemarahan yang dirasakannya, setiap
kali Lela dijadikan kambing hitam. Namun, tokoh IPD tidak berdaya menghadapi
tetangga-tetangganya. Melihat caranya bertutur dan bersikap, mungkin juga ia tidak
menyerang tetangganya yang menyalahkan Lela karena keengganannya untuk
memperuncing konflik. Lagipula, kemarahan para istri yang menyeret nama Lela,
terkadang dilakukan di dalam rumah sehingga IPD menjaga sikapnya.
Sementara dari pintu satu, suami pintu satu keluar dari kamarnya berbarengan
dengan suami pintu tiga. Yang keluar dari kamar mandi. Tidak lain mereka
berdua memang sengaja ingin melihat wajah dan tubuh Lela.
………………………………………………………………………….
Sementara istri pintu satu sedang berdiri dipintu sambil memegang piring
karena sedang sarapan. Dan istri pintu tiga menggendong bayi.
IPS: mau sarapan nasi uduk, apa sop pinggul baju merah!!
Suami pintu satu (SPS): nasi uduk…
IPS: Emang nasi uduk ada di sono (sambil menunjuk jalan yang dilalui
Lela)
IPS & IPT: Dasar laki-laki!!! Disuruh ambil air malah ngeliatin pantat orang!!!
Masuk ke rumah masing-masing. Tapi tak lama kemudian istri pintu satu dan
Tiga melongok lewat jendela berbarengan karena mendengar teriakan tukang
sayur.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
90
Universitas Indonesia
………………………………………………………………………….
IPS: kan disimpan di kulkas. Baru kemaren suami saya ngebeliin kulkas
baru. Dua pintu…
Tukang sayur (TS):oh sudah punya kulkas baru toh…
IPT: Kang! Uang saya seratus ribuan. Ada kembaliannya gak? Gak ada
uang kecil nih. (keluar) tuh liat aja, uangnya seratus ribuan semua,
suami saya baru ngambil uang di atm, kemaren dapet bonus dari
bosnya, kerjaan kelar sebelum waktunya, jadi dia kebagian
keuntungan. Lumayan, dua juta setengah. Yah, kalau buat beli
kulkas yang tiga pintu aja mah kebeli.
TS: Kenapa gak beli aja?
………………………………………………………………………
Saat istri pintu satu dan tiga masuk kerumah masing-masing, keluar suami
pintu satu dan dua. Keduanya sama-sama menatap ke arah tukang sayur.
Tukang sayur yang ditatap oleh kedua suami itu tampak kebingungan.
Koor suami: Aut!
TS: Maksudnya?
Koor suami: Aauuttt!!! (keduanya mengacungkan tangan) (2013: 3-7)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh para Istri bisa bekerja sama dengan
baik jika mereka berbagi musuh yang sama. Hal yang serupa ditemukan pada diri para
Suami yang terlihat kompak jika berbagi keadaan yang senasib. Para Suami bahkan
mengusir teman laki-laki Lela, yang datang di malam hari, dengan cara yang
tersembunyi. Perkataan mereka ketus sambil sesekali menasehati dengan tendensi
mengusir (lihat 2013: 9-10). Dari pemaparan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa
di balik kedekatan mereka—yang pada bagian awal digambarkan dengan ceria—ada
masalah yang tersimpan rapat. Masalah tersebut dapat meledak jadi besar, jika
pemicunya ditarik. Namun, di balik ketegangan itu, ada tokoh penghuni pintu empat
yang selalu tampil dengan ceria. Selain mencairkan suasana, mereka juga menjadi
pihak netral di antara ketegangan pintu satu, dua, dan tiga. Beberapa kali memang
diperlihatkan ada teguran dan sindiran dari penghuni pintu satu dan tiga kepada mereka
karena seringkali dirasa mengganggu ketenangan hunian. Namun, penghuni empat ini
tidak mengambil pusing teguran tersebut. Dengan santai, mereka mematuhi teguran itu.
Hal ini mungkin muncul karena usia muda mereka yang memiliki gaya hidup dan
pandangan berbeda—melalui tingkah laku—di rumah kontrakan tersebut.
Pemaparan masalah di dalam naskah drama “Roman” pun kurang lebih sama
dengan dua naskah drama yang lain. Drama dibuka dengan suasana kekerabatan antar
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
91
Universitas Indonesia
penghuni daerah pinggiran di kota yang hangat. Adanya konflik-konflik kecil menjadi
bahan pembicaraan yang berujung pada masalah utama tokoh Roman. Terlihat di
bagian awal, konflik rumah tangga tokoh Juned dan Ning yang berbicara seputar
keadaan ekonomi keluarga hingga ke masalah kesetiaan Juned. Tokoh Ning yang
digambarkan kesal dengan sikap suaminya yang genit, menumpahkan isi hatinya
kepada Roman. Dari sana timbul pembicaraan yang merembet pula ke masalah rumah
tangga Roman, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Bambang: Iya deh, mudah-mudahan saya cepat dapat jodoh lagi. (kepada
Roman) Mbak Atunnya ke mana, Mas?
Ning : Kok nanyain mbak Atun?
Bambang: Enggak! Cuma nanya aja. Biasanya kan ada di warung…
……………………………………………………
Ning: Saya heran sama si Bambang itu…
Roman: Kenapa?
Ning: Dia kan orang baru ngontrak di sini. Tapi, mungkin karena
memang supel, ya. Cepat akrab. Cepat banyak temannya, termasuk
sama mas Roman dan…
Roman: Dan siapa?
Ning: Mbak Atun…
…………………………………………………………
Ning: Sejak si Bambang tinggal disini, istri mas Roman berubah.
Roman: Berubah gimana?
Ning: Sekarang mbak Atun suka berdandan!
Roman: Kamu curiga sama istri saya?
Ning: Bukannya curiga mas…
Roman: Tapi hampir setiap hari semua orang membicarakan istri saya.
Memangnya Atun enggak boleh berdandan?
Ning: (…) Saya dan orang-orang di sini hanya heran melihat perubahan
mbak Atun. (2009: 6-10)
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana tokoh Ning dengan mudah
membicarakan orang lain. Ia bahkan membicarakan tokoh Atun kepada Roman, yang
adalah suami Atun, tanpa adanya pemikiran panjang akan baik dan buruknya hal yang
dikatakan. Terlihat dari tutur katanya bahwa ia merefleksikan kondisi rumah tangganya
ke dalam perubahan sikap Atun. Suaminya, Juned, yang genit berulang kali
dibandingkan dengan tokoh Atun. Seolah-olah perubahan Atun tersebut dilakukan
untuk orang lain. Ia juga memberikan penekanan pada perilaku tokoh Bambang, yang
menurutnya memiliki tendensi tertentu kepada tokoh Atun. Padahal sebelumnya, tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
92
Universitas Indonesia
Ning bersikap sangat ramah pada tokoh Bambang. Seolah-olah perkataan dan
tindakannya tidak keluar dari orang yang sama. Roman yang mendengar itu semua,
awalnya, membantah ucapan Ning. Namun, ketika tokoh Ning membanding-
bandingkannya dengan kenyataan rumah tangganya dan Juned, Roman mulai
mencerna perkataan Ning tersebut, “Roman hanya terdiam.” (2009: 10).
Ketika tokoh Atun datang, tokoh Ning langsung menghentikan
pembicaraannya dan menyapa tokoh Ning. Sapaannya sangat manis seolah
pembicaraan sebelumnya tidak pernah ada. Setelah Ning pergi, Atun dan Roman
terlihat membicarakan keadaan ekonomi mereka. Dijelaskan di sana bahwa Atun dan
Roman merantau ke kota untuk mencari nafkah bagi anak mereka di desa. Pembicaraan
tersebut kemudian berubah menjadi canggung ketika Roman tiba-tiba meminta maaf
pada Atun. Namun, hal yang mendorong permintaan maaf tersebut tidak dijelaskan
karena segera disela oleh kedatangan pelanggan Atun. Hal tersebut nampaknya
mempunyai kaitan dengan masa lalu mereka di desa, jauh sebelum menikah.
Dari interaksi Roman dan Atun, terlihat bahwa tokoh Roman memiliki
keengganan yang tidak biasa kepada istrinya. Ia memang digambarkan buta. Oleh
sebab itulah, ketika Atun sering berdandan, tokoh Ning mencurigai perubahan tersebut.
Mungkin karena ia menganggap bahwa perubahan Ning tidak mungkin untuk menarik
perhatian Roman. Selain dari interaksi dengan tokoh Atun, interaksi Roman dan tokoh
lain yang menyangkut masalah Atun pun menimbulkan reaksi yang serupa. Roman
tidak menampakkan banyak perlawanan, jika berurusan dengan istrinya. Ia seolah
menahan diri untuk tidak mencampuri kehidupan yang dipilih oleh Atun, sekali pun ia
sebenarnya berhak pula untuk menasihati Atun. Oleh sebab itulah, tokoh Roman
memilih untuk menyimpan rapat hal yang diucapkan oleh Ning.
Namun, pergunjingan Ning tentang Atun ternyata telah menjadi topik
pembicaraan di daerah tempat tinggal mereka. Tokoh Tarno, pelanggan pijat Roman,
juga mengutarakan hal yang serupa. Hal tersebut memaksa tokoh Roman untuk
berpikir ulang tentang perubahan yang dilakukan oleh istrinya. Tidak diketahui dengan
pasti tendensi orang-orang di sana dalam membicarakan tokoh Ning. Nampaknya,
bergunjing merupakan salah satu kebiasaan yang mereka lakukan untuk mengisi waktu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
93
Universitas Indonesia
Hal ini berkaitan pula dengan faktor ekonomi dan pendidikan yang disebutkan
sebelumnya. Akibat minimnya kedua hal tersebut, pilihan para tokoh dalam
beraktivitas pun menjadi lebih sedikit sehingga banyak hal sia-sia—seperti
membicarakan orang atau duduk di warung—ditemukan sebagai bagian dari kebiasaan
di sana. Namun, bagi tokoh Roman, bahan pergunjingan ini bukanlah hal sederhana.
Ada kemungkinan, hal ini berkaitan dengan masa lalu Roman yang belum terbukakan.
Karakter-karakter para tokoh yang saling bersinggungan memunculkan
masalah yang dibangun untuk menyampaikan gagasan utama dalam drama, tentang
relasi manusia dengan masyarakat. Masih dalam suasana hidup bertetangga yang dekat
satu sama lain, masalah-masalah tersebut semakin meruncing ketika tidak ada
kesadaran untuk menjaga perasaan antarsesama. Masalah bagi Risti—dalam naskah
drama “Te(N)tangga(NG)”—semakin rumit, ketika tokoh Tami menegurnya secara
kasar. Antara Tami yang berperan sebagai wanita karier dan bagian dirinya yang
bekerja sebagai PSK, keluar bersamaan ketika menegur Risti. Ia gusar mengetahui
tokoh Risti mencoba mengetahui identitasnya—serta ketiga tokoh lain—kepada para
penghuni di gang tersebut. Risti tidak berdaya menghadapi reaksi Tami yang tak
terduga ini.
Tami: (…) lo ngomong apaan sama orang-orang kampung??!!
Risti terkejut mendengar ucapan Tami. Dia hanya diam terbujur kaku.
Tami: (menarik baju Risti) Jawab!! Lo ngomong apa sama orang-orang
kampung??
Risti : (…) Memangnya salah gua menceritakan keresahan gua sama
orang-orang disini??
Tami: Salah! Lo gak tau siapa gue!! Lo gak tau kehidupan gue… lagipula
apa urusan lo sama hidup gue? Gua mau jadi apa kek, kerja apa
kek… bukan urusan lo juga kan?? Jadi anak bau kencur gak usah
sok tau deh…
Risti: Emang dasar aneh lo!! Gue berhak buat tau apa yang terjadi di
lingkungan gue… gue juga punya kepentingan…
Tami: Kepentingan lo bilang ??
Risti: Iya kepentingan !! kenapa emang ?? lo baru sadar kalau lo tuh aneh
sama sekeluarga lo ??!! iya ??
Tami diam. (2011: 16)
Nampak tokoh Tami tak dapat berkutik ketika Risti menyampaikan kenyataan
tentang keluarganya. Ternyata Risti telah menemukan satu fakta baru bahwa keempat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
94
Universitas Indonesia
orang yang berperilaku aneh tersebut adalah satu keluarga. Tami yang sebelumnya
keras kepada Risti tak mampu berkata-kata lagi. Terlihat dari kutipan di atas, sikap
Tami dan Risti, sama-sama mendahulukan kepentingan individu. Mereka tidak mau
saling memahami dan hidup berdampingan. Baik Risti yang merasa perlu mengetahui
kehidupan tetangganya, maupun Tami yang menolak sikap Risti yang dianggap
mencampuri masalah pribadinya, membuat keduanya terlibat dalam masalah yang
rumit.
Hal yang sama terjadi pula dalam naskah drama “Lima Pintu”. Tokoh IPD yang
selama ini menahan diri untuk tidak terlibat dalam cekcok tetangganya, tak dapat diam
lagi ketika akhirnya Lela disalahkan atas pertengkaran hebat Suami Istri Pintu Satu.
Padahal sebelumnya, Suami Istri Pintu Tiga baru saja ribut besar ketika anaknya sakit.
IPD nampak iba dan bersedia membantu IPT untuk membawa anak mereka ke klinik,
sementara suaminya pergi dari rumah. Namun, kebaikan hati IPD itu tak
mempengaruhi perilaku istri-istri yang suka menyalahkan Lela atas perilaku suami
mereka. Ketika Suami Istri Pintu Satu bertengkar, IPD mendengar Lela ikut terbawa
dalam masalah mereka bahkan sampai dieksploitasi secara verbal. Hal tersebut nampak
dalam kutipan berikut ini.
IPD: Mas. Mbak, ada apa sebenarnya ini? kok bawa –bawa anak saya.
Apa yang diperbuat anak saya, sampai mas dan mbak ribut
begini? Tolong dijelasin salahnya apa, biar saya peringatin dia
kalau emang dia berbuat kurang sopan disini!
Koor suami istri: Gak, gak ada apa-apa kok…
IPD: Tadi bawa-bawa nama anak saya kenapa? Sampe ngomongin
soal pantat segala! Emang pantatnya si Lela kenapa? Apa emang
gak suka keluarga saya tinggal disini. Mentang-mentang saya
gak punya apa-apa, setiap hari keluarga saya selalu disinggung
terus, anak saya gak pernah ngapa-ngapain disini, pagi kerja,
malam baru pulang, dan langsung tidur. Emang pernah
ngegodain suami Mba? Kalau ngomong jaga dong, jangan
nyingggung perasaan orang.
(Jendela pintu tiga terbuka, suami istri pintu tiga mengintip.)
Masing-masing aja urus keluarga sendiri. Mas juga sebagai
orang yang sudah beristri, jaga tuh mata, jangan ngelayap ke
mana-mana. Supaya istrinya setiap hari gak cemburu sama anak
orang. Selama ini saya diem aja, tiap kali nama anak saya
disebut-sebut terus kalau Mas dan Mbak lagi ribut. Tapi sabar
kan ada batasnya, lama-lama panas juga kuping saya
ngedengerinnya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
95
Universitas Indonesia
…………………………………………………..
Suami pintu satu (SPS): jangan saya terus dong yang disalahin!
IPS: Emang gitu kan Kang?!
SPS: Kamu juga begitu kalau ada tukang sayur!
IPD: Kalau dua-duanya gak mau disalahin, terus mau nyalahin siapa?
Si Lela, lagi?! Anak saya lagi yang dijadiin kambing hitam?
Enak saja! Mas sama Mbak introspeksi dong, lihat diri sendiri
beneran ga selama ini? (2013: 18—19)
Masalah di rumah kontrakan semakin runcing, manakala, IPD akhirnya
menyuarakan kekesalannya. Di awal kutipan, terlihat IPD masih berusaha menghadapi
pasangan suami istri ini secara baik-baik. Ia berusaha menyabarkan diri ketika
menyampaikan kekesalannya atas sikap tetanggannya tersebut. Namun, masalah tidak
kunjung selesai karena pasangan suami istri ini masih berkutat dengan urusan rumah
tangganya sendiri dan kehadiran IPD menambah buruk masalah mereka. Namun, dari
pihak suami istri ini tidak ada bentuk permintaan maaf kepada IPD. Padahal, IPD telah
menyampaikan maksud dan keresahannya selama ini kepada tetangganya tersebut.
Terlihat pula pasangan Suami Istri Pintu Tiga yang mencuri dengar pertengkaran
tersebut dari kamar mereka. Namun, mereka tidak keluar dan berusaha melakukan
sesuatu. Mereka hanya menjadi pendengar dari dalam kamar.
Perkataan IPD yang secara langsung menyoroti kesalahan Suami dan Istri—
secara personal—Pintu Satu, membuat mereka berbalik marah pada IPD. Namun,
segera IPD mengeluarkan jurus pamungkas dengan membawa perasaannya sebagai
orang tua. Dari sanalah terlihat bahwa pasangan ini membutuhkan kehadiran seorang
anak untuk mempererat rumah tangga mereka. Pasangan Suami Istri yang tadinya
nyaris bercerai , diselamatkan oleh perkataan IPD tentang kehadiran seorang anak.
Mereka jadi kembali membuka diri satu sama lain sehingga hubungan komunikasi
menjadi lancar. Namun, bagi IPD, masalahnya terkait Lela, belum juga ditanggapi
dengan baik oleh tetangganya. Tidak ada kata maaf atau terima kasih atas perbuatan
IPD kepada mereka. IPD hanya dapat menerima dengan sabar situasi tersebut.
Suasana di kontrakan tersebut, yang sebelumnya panas akibat pertengkaran
pasangan suami istri ini, berubah menjadi ceria kembali dengan berkumandangnya lagu
dangut “Mandul”. Lagu tersebut seolah dikumandangkan untuk menanggapi keadaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
96
Universitas Indonesia
pasangan suami istri yang tadi beradu mulut. Walaupun demikian, masalah di antara
penghuni rumah kontrakan tersebut—secara umum—belum dapat dikatakan selesai.
Hubungan di antara para penghuni berubah menjadi dingin, terutama sejak IPD
menyuarakan kekesalannya.
Dalam naskah drama “Roman”, perumitan masalah diperlihatkan melalui reaksi
Roman atas pergunjingan tetangganya tentang perubahan Atun. Ia akhirnya membuka
rahasia kelam yang menyelimuti rumah tangganya pada Tarno. Tarno berhasil
membuat Roman bicara setelah ia bercerita pula tentang keresahannya atas istrinya
yang tinggal jauh.
Roman: Saya takut istri saya tersinggung.
Tarno: Kok takut?
Roman: Dia sudah banyak berkorban.
Tarno: Maksud, Mas?
Roman: Kami berasal dari satu kampung yang sama. Orang tuanya
penggarap sawah milik orang tua saya. Saat puting beliung
datang, semuanya hancur, termasuk rumah orang tuanya Atun.
Sambil menunggu diperbaiki, mereka tinggal di rumah saya.
Tarno: Berarti dari kecil sudah kenal sama Mba Atun?
Roman: Iya. Atun sangat perhatian, bahkan setelah dia kembali ke
rumahnya. Saya merasa senang setiap kali dia datang. Kami
berteman sampai dewasa. Jujur, saya sangat menyukainya. Dan
itu tersimpan rapat.
Tarno: Kenapa?
Roman: Siapa mau berjodoh dengan orang buta? (2009: 16)
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa tokoh Roman menyimpan kerendahan
diri yang luar biasa atas kekurangannya. Ia bahkan merasa tidak pantas menjadi suami
Atun. Rasa sukanya pada Atun terbalas ketika orangtuanya dan orangtua Atun
menjodohkan mereka berdua. Namun, selama ini, Roman tetap merasa tidak percaya
diri, jika berhadapan dengan Atun. Itulah sebabnya, ia selalu menyangkal segala hal
yang dibicarakan orang tentang istrinya. Lagipula, menurut Roman, mereka telah
berkeluarga cukup lama dan dikaruniai buah cinta. Hal itu cukup bagi Roman.
Sayangnya, pembicaraan antara Tarno dan Roman, telah membuat kecurigaan
Roman menjadi tidak masuk akal. Ia tidak lagi berpikir sehat. Rasa rendah diri dan
takut kehilangan istrinya membuat ia menaruh curiga pada tokoh Bambang. Hal itulah
yang membuat perilaku Roman kepada Atun berubah. Padahal tokoh Atun disebutkan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
97
Universitas Indonesia
tidak tahu apa-apa. Ia baru saja pulang dari mencari rezeki bagi keluarganya. Tiba-tiba
Roman menuduh Bambang—yang kebetulan mampir—dan istrinya berbuat serong.
Hal tersebut memang tidak langsung diucapkan Roman di hadapan Bambang. Namun,
dari lakuannya, diketahui Roman menolak kehadiran Bambang di rumah itu.
Bambang: Ada apa Mas? Apa salah saya?
Atun: Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas
Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita.
…………………………………………………………………………
Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas?
Roman hanya diam.
Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah istri Mas
Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya
memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi
takdir yang harus saya jalani.
Roman: Jadi kamu menyesal?
Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita
akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar.
Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan
orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang
tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya
cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah
dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua
saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas
Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah
dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat.
Roman: Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya?
Atun: Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009:
20-22)
Selama ini tokoh Roman digambarkan menyimpan rasa tidak percaya dirinya
sendiri. Pada kutipan di atas, ia akhirnya berani menyatakan perasaan tersebut kepada
Atun. Namun, reaksi Atun membuat Roman menjadi semakin rendah diri. Ia merasa
bersalah telah membuat Atun meninggalkan hidupnya untuk menjadi istrinya.
Perkataan Roman ini keluar karena dipicu oleh rasa cemburu yang tidak beralasan. Ia
bahkan tidak tahu jenis hubungan antara istrinya dan Bambang. Hal yang ia bayangkan
atas hubungan Atun dan Bambang adalah hasil kumpulan pergunjingan tetangganya
yang tidak tahu-menahu kehidupan Roman. Untungnya, pertengkaran Roman dan Atun
dihentikan sejenak oleh panggilan dari Pak Haji. Roman pergi dengan rasa gusar dan
gelisah, sementara Atun, ia dibayangi-bayangi tuduhan Roman tentang Bambang.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
98
Universitas Indonesia
Atun dan Bambang sebenarnya tidak memiliki hubungan seperti yang
dituduhkan Roman. Memang, dari percakapan selanjutnya, Bambang diketahui sebagai
kekasih masa lalu Atun. Namun, dari percakapan mereka, jelas dikatakan bahwa
hubungan mereka selama ini hanya sebatas masa lalu, “Lalu Bambang mengungkapkan
perasaannya yang selama ini dia pendam” (2009: 24). Kutipan tersebut menekankan
bahwa, sebelum hari itu, Bambang tak pernah bicara kepada Atun tentang masa lalu
mereka dan perasaannya. Bagian ini juga membuktikan bahwa kabar yang didengar
dari para tetangga, tentang Atun dan Bambang, hanyalah isapan jempol belaka. Namun,
karena perkataan Roman, celah bagi Bambang untuk masuk dalam hidup Atun, terbuka
kembali. Di sanalah Bambang memanfaatkannya untuk menghadirkan kembali suasana
romantis dari kisah masa lalu mereka. Atun yang tengah mengalami kekecewaan—
ditambah lagi sebelumnya, kehidupan mereka bertambah sulit—merasa disegarkan
dengan perlakuan Bambang. Apalagi Bambang memberinya sebuah hadiah. Di tengah
kesulitan dan pergolakan masalah rumah tangganya, Atun jadi berpikir dua kali tentang
keputusannya untuk hidup dengan Roman.
Pada bagian tersebut, intervensi tetangga Roman mulai berdampak pada
kehidupan rumah tangga Atun dan Roman. Tanpa mereka ketahui, perkataan mereka
telah mendorong keluar sisi kelam diri Roman. Sisi kelam dari diri Roman telah
menghancurkan keikhlasan tokoh Atun untuk menerima perjodohannya dengan
Roman. Kini, masalah tersebut menjadi sangat rumit. Alur yang bergerak cepat dan
kata-kata penuh emosi antara Roman, Bambang, dan Atun membuat drama ini terasa
semakin gawat.
Intervensi dari bagian luar masalah telah mempengaruhi keadaan personal para
tokoh. Masalah yang semakin rumit tersebut mencapai titik balik ketika tokoh utama
diperlihatkan bergumul dengan pemikiran dan perasaannya. Dalam naskah
“Te(N)tangga(NG)”, konflik yang dialami Risti setelah Tami datang menegurnya
berubah menjadi panjang saat diketahui bahwa tetangganya tersebut mengalami
masalah dualisme identitas. Perilaku Risti telah mendorong perpecahan di dalam
keluarga tersebut. Ternyata mereka adalah sekumpulan orang yang kesulitan untuk
menentukan sikap dan identitasnya secara konsisten. Bahkan dalam suatu bagian,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
99
Universitas Indonesia
mereka digambarkan megnalami kerusakan hubungan komunikasi sebagai sebuah
keluarga.
Tami: (menghampiri Risti dan hendak memukulnya) ahhhh… lo masih
baru disini, banyak yang gak lo tau tentang gue, anak-anak gue dan
suami gue sekalipun!!!
Amir: (berteriak) Tami…biarkan dia bicara apa yang diinginkan… itu
haknya…
Tami: Hak Mas bilang?? Hak?? Lalu bagaimana dengan hak saya??
(menangis) hak saya sebagai seorang istri yang tidak pernah
diperlakukan selayaknya seorang istri pada umumnya Mas??
…………………………………………………………………………
Ferry: (menghampiri Ibu Tami) lho ibu Tami kenapa?? Jangan nangis
Bu… kalau ibu nangis saya bisa ikut nangis…nyebut Bu..
nyebut… pasti gara-gara tetangga yang baru itu!! (menghampiri
Risti) Eh anjing!! Lo apain ibu Tami sampe nangis kaya begitu??
Amir: (menahan tangis) bukan salahnya… saya yang salah. Saya yang
buat bu Tami menangis… maafkan saya… saya yang buat ibu
kalian menangis… saya!! Jangan kalian mencari kambing hitam
atas apa yang terjadi sama ibu kalian, sama keluarga kalian… saya
yang salah!!
Ritus: Pak Amir???!!! Jangan menangis…
Amir: (marah) berhenti memanggilku dengan sebutan Pak Amir!!
Panggil aku ayah!!! Aku ayah kalian, hentikan kepura-puraan
kalian selama ini… sudah cukup!! (berteriak) cukup… tidak ada
lagi rasa tidak peduli diantara anggota keluarga ini…
…………………………………………….
Risti: (merasa semakin bingung) sebenarnya apa sih yang terjadi sama
keluarga kalian ini?? Apa?? Kalian satu keluarga… terkadang
terlihat seperti keluarga yang harmonis, keluarga yang bahagia,..
tapi sering terlihat seperti bukan sebuah keluarga yang utuh..
Amir: Kami nyaman dengan keadaan yang kami jalani… kami senang
berada di posisi seperti ini… jadi apa salahnya kalau kami
menjalani apa yang kami senangi selama kami masih bisa
berbahagia… kami tetap tersenyum… (2011: 17-19)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa intervensi Risti telah membawa keluarga
tersebut pada keadaan yang tidak pernah berani mereka hadapi. Mereka dihadapkan
pada kenyataan bahwa mereka terikat hubungan darah. Sebagai sebuah keluarga,
mereka telah gagal mengelola hubungan intim itu. Hal ini disebabkan karena secara
individu pun, mereka mengalami gangguan kejiwaan. Fungsi mereka dalam
masyarakat berubah mengikuti tuntutan yang diinginkan oleh masyarakat. Tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
100
Universitas Indonesia
dijelaskan, karakter mana yang sebenarnya merupakan karakter asli mereka. Namun,
karena adanya tuntutan dari masyarakat, identitas mereka pun selalu berubah-ubah.
Puncak dari masalah tersebut adalah kepergian Ferry dari tempat itu. Di antara
semua tokoh, ia yang diperlihatkan mengalami kepanikan paling besar. Nampaknya, ia
belum dapat menerima kenyataan tersebut. Selain itu, terlihat dari sikap dan perkataan
tokoh Ferry bahwa ia memendam kekecewaan kepada anggota keluarganya yang lain.
Suasana yang sebelumnya tegang karena pertikaian antara tokoh Tami dan Risti,
berubah menjadi emosional. Kesedihan yang ditampakan oleh para tokoh bukanlah
kesedihan yang sama seperti ketika seseorang ditinggal mati keluarganya atau bentuk
kesedihan lain. Rasa sedih yang hadir di sini lebih mengarah pada rasa iba. Tokoh-
tokoh ini terlihat kebingungan untuk menanggapi situasi yang terjadi. Secara tidak
langsung, perilaku mereka seolah meneriakkan permohonan kepada siapa saja yang
dapat membantu mereka. Tokoh Risti yang awalnya terlihat seperti korban, sekarang
justru berbalik menjadi jahat karena perbuatannya pada keluarga tokoh Amir.
Dalam naskah drama “Lima Pintu”, titik balik masalah terjadi ketika tokoh Lela
duduk sendiri dan mencoba mencerna semua masalah yang dihadapinya di rumah
kontrakan tersebut. Sebelumnya, sikap dan perilaku tokoh Lela hanya dibahas melalui
percakapan tokoh lain. Kini, ia diperlihatkan menanggung semua beban itu seorang
diri. Ibunya, IPD, baru saja mengeluhkan rasa tidak nyamannya untuk tetap tinggal di
rumah kontrakan tersebut. Tokoh Lela pun baru saja ditinggal pergi teman laki-lakinya
yang tidak berani main ke rumah kontrakan tersebut akibat perlakuan para suami.
Digambarkan dalam situasi tersebut, masalah yang timbul dari kehidupan bertetangga
telah membuat kehidupan Lela—khususnya—menjadi sulit. Hal tersebut diwujudkan
melalui adegan berikut ini.
Lela: kenapa Lela terus sih Mak yang jadi sasaran. Apa salah Lela?
Makanya Lela udah gak betah tinggal disini Mak, pengen cepet-
cepet pindah aja dari tempat ini. Lela sakit, Mak ngedengernya.
Padahal Lela gak pernah macem-macem di depan mereka…
Ibu Pintu Dua: sabar aja, kalau uda waktunya, dan uang kita cukup buat pindah
ke tempat lain.
Lela: belum lagi Lela sebel ngeliat tukang sayur itu, setiap hari matanya
nyeremin kalau ngeliat Lela. Diem, tapi matanya nyorot terus…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
101
Universitas Indonesia
Lela takut Mak. Dia dulu pernah ngomong suka sama Lela, tapi
Lela tolak.
…………………………………………………………………………..
Ibu Pintu Dua: gimana lagi yah Lela, emak juga jadi bingung… mau pindah
belum cukup duitnya, uang yang kemaren dari kamu itu, untuk
bayaran si Eneng… sabar aja ya. Kita ngumpulin dikit-dikit. Ayu
kita masuk, uda malam sekali…
Lela: Emak tidur aja dulu. Lela mau ngadem.. Lagian belum ngantuk…
tadi sempet tidur di kerjaan.
Lela sangat menikmati musik yang didengarkannya lewat hp. Tanpa sadar
sosok bayangan mengintip dibalik tembok pintu kelima. Sosok dengan kain
sarung yang menutupi separuh tubuhnya, hanya sebaris mata yang tampak
terlihat. Malam semakin cepat memburu gejolak sosok dengan kain sarung.
Yang terus mengawasi Lela yang tak sadar dirinya sedang diperhatikan. Lela
mulai tampak mengantuk, ia mematikan ponselnya, dan beranjak ke kamar
mandi. Suara air terdengar memecah sunyi. Sosok dengan kain
sarung mengendap-endap dan mengintip di celah kamar mandi, saat Lela
keluar dari kamar mandi,sosok itu kembali bersembunyi. Dan tepat pada saat
Lela hendak melangkah menuju rumahnya, sosok itu langsung membekap
Lela. Lela gelagapan dan berusaha berontak, tapi bekapan sosok bersarung
itu semakin kuat, hingga Lela tidak berdaya, dan langsung diseret ke pintu
kelima. Pintu kelima tertutup dan rapat kembali.Sempat terdengar suara
benda terjatuh, dan membangunkan penghuni pintu ketiga. (2013: 24)
Dari kutipan di atas, ketegangan dihasilkan ketika tokoh Lela yang kalut tiba-
tiba disekap oleh seorang asing. Karena sibuk dengan isi kepalanya sendiri, Lela tidak
sadar bahwa ada orang yang mengawasinya. Dengan cepat, orang tersebut menarik
Lela. Sayang, usaha Lela untuk memberontak sia-sia. Nampaknya, orang ini telah
mengenal Lela sebelumnya sehingga ia telah memperhitungkan reaksi Lela. Terlihat
pula bahwa orang tersebut mengenal lingkungan rumah konrakan. Ia tahu bahwa pintu
kelima tidak berpenghuni. Kutipan di atas sebenarnya menunjukkan pula bahwa bunyi-
bunyian bising dari dapur (pintu kelima) sempat membangunkan penghuni pintu
ketiga. Namun, mereka memutuskan untuk melanjutkan tidur. Ketidakpedulian
terhadap lingkungan ini berakibat fatal.
Proses penyekapan Lela ini tidak hanya menimbulkan ketegangan, tetapi juga
praduga tentang pelaku. Selain itu, timbul rasa benci pada pelaku karena tokoh Lela
digambarkan sebagai orang yang baik, lurus, dan ramah kepada siapa saja. Simpati
yang sebelumnya terbangun dari masalah Lela dan ibunya pun membuat rasa dalam
adegan ini menjadi lebih kompleks. Tidak hanya takut, marah, benci, ingin tahu, dan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
102
Universitas Indonesia
tegang, tetapi juga ada kesadaran akan ketidakadilan yang seringkali disebabkan oleh
perbuatan sesama. Klimaks yang terjadi dalam waktu yang cukup singkat ini hadir
seperti pukulan keras di antara suasana yang sebelumnya haru dan melankolis. Adegan
ini dapat dikatakan tak terduga sama sekali.
Dalam naskah drama “Roman”, masalah antara Roman, Atun, dan Bambang
memuncak ketika Roman kembali dan tidak mendapati istrinya di rumah. Mengingat
kejadian terakhir sebelum ia pergi, Atun bimbang dengan ungkapan rasa cinta dari
Roman. Belum lagi tuduhan Roman terhadap Bambang yang diluruskan, membuat
Roman panik ketika tidak menemukan istrinya di rumah. Dengan perasaan yang
bercampur aduk, Roman mencari Atun.
Tarno: Kabur kali Mas
Roman: Kamu jangan becanda, No.
Tarno: Lagi pergi, Mas. Bilangnya sih, cuma sebentar.
Roman semakin gelisah dan semakin gelisah. Lalu Roman berjalan ke arah
Atun pergi. (…) Sambil memanggil-manggil Juned dan Tarno. Roman keluar
dengan membawa sebuah kaos.
Juned: Ada apa, Mas?
Tarno: Iya, Mas. Ada apa?
Roman: Si Atun…
Juned: Kenapa si Atun?
Roman: Si Atun… si Atun…
Narti: Mbak Atunnya kenapa, Mas?
Roman: Atun… Atun…
Ning: Iya, kenapa sama Mbak Atun?
Roman: Si Atun selingkuh sama Bambang!!!!
Berempat: Yang benar?!!
Roman: Benar! Saya sendiri yang ngegrebek di tempat si Bambang. Ini
buktinya!! Ini kaos Bambang yang saya tarik waktu dia mau lari
dan menabrak saya.
Juned: Ikut saya NO!
Tarno: Kita enggak nyalahin. Tapi kalau cuma dengar dari Mas Roman,
kita juga bingung
…………………………………………………………………………..
Roman: Mata saya memang buta. Tapi telinga dan perasaaan saya, tidak!
Dari mendengar suaranya, saya tahu orang itu lagi ngapain…
Tarno: Saya percaya. Tapi itu saja enggak cukup.
Ning: Betul Mas
Juned: Apalagi sekarang orangnya uda kabur.
Roman: Tapi kaosnya Bambang bisa jadi bukti. Kalau mereka enggak
berbuat laknat, kenapa harus lari? Kenapa musti kabur? Takut
sama saya? Enggak mungkin! Sudah. Sekarang. Anterin saya!
(2009: 28-37)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
103
Universitas Indonesia
Dalam kutipan tersebut, ditemukan Roman yang terserang kepanikan ketika
mendapati istrinya berada di rumah Bambang. Ia kembali membawa baju Bambang
yang tidak sengaja terobek. Sambil menunggu Roman, para tetangga yang sebelumnya
mempersuasi kecurigaan Roman terhadap Atun, tengah sibuk membicarakan masalah
keluarga Roman. Mereka dengan santai membandingkan masalah Roman dengan
kehidupan sendiri, seolah-olah mereka lebih baik daripada Roman. Ketika Roman
mengadukan temuannya tersebut, para tetangga laki-laki segera pergi mencari
Bambang. Roman yang kalut ditemani oleh Marni dan Ning. Sebentar kemudian, Tarno
dan Juned kembali dengan tangan kosong. Tidak hanya itu, mereka juga jadi
meragukan soal perselingkuhan Atun dan Bambang.
Keraguan mereka disebabkan oleh ketidakmampuan Roman melihat. Mereka
yang tadinya membicarakan tingkah Atun, kini berbalik menuduh bahwa Romanlah
yang salah. Konflik dalam diri Roman yang sudah memuncak akibat perlakuan istri
dan pergunjingan tetangganya, meledak. Ia tak dapat lagi menahan rasa rendah dirinya
akibat kebutaannya tersebut sehingga secara membabi buta menyerang para tetangga
dengan perkatannya. Namun, di bagian tersebut, para tetangga diperlihatkan tetap
meragukan Roman.
Dilihat kembali dari pemaparan masalah, para tetangga ini sebenarnya yang
memicu sisi kelam dalam diri Roman muncul. Mereka dengan santainya membicarakan
kecurigaan terhadap perubahan Atun di depan Roman. Roman yang tidak dapat melihat
itu, mengandalkan kemampuannya mendengar untuk mencoba mereka-reka peristiwa
yang sebenarnya.
Dalam diri tokoh Roman, telah tertanam suatu sikap yang selalu memojokkan
diri sendiri ketika masalah datang ke dalam rumah tangganya. Anggapan para tetangga
tersebut membuat Roman menjadi lebih rendah diri sehingga ketika berhadapan
dengan Atun, Roman tak mampu menguasai dirinya. Ia keluar menjadi pribadi yang
sama sekali berbeda dari yang di awal digambarkan. Perilaku tetangganya yang
sebelumnya mendorong Roman untuk curiga terhadap istrinya, tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
104
Universitas Indonesia
dipertanggungjawabkan sampai akhir. Mereka dengan mudah melupakan pergunjingan
yang menjadi sebab dari segala masalah tersebut.
Dalam kutipan tersebut, tidak dijelaskan secara nyata tentang peristiwa di
rumah Bambang. Diketahui dari perkataan Roman bahwa telah terjadi sesuatu. Namun,
memang sulit mempercayai hal yang dikatakannya, setelah melihat reaksi Roman yang
tidak rasional menanggapi pergunjingan tetangganya. Walaupun Roman berulang kali
mengatakan tentang kemampuannya untuk melihat melebihi kemampuan mata
manusia biasa, mereka tetapi sulit mempercayai kata-kata Roman. Oleh sebab itu,
ketika Roman meminta diantar ke kantor polisi untuk melaporkan hal tersebut, mereka
membujuk Roman untuk mengurungkan niatnya. Namun, bagi Roman, semuanya telah
meledak dan hancur berantakan. Ada sedikit penyesalan yang timbul dari lakuannya.
Roman tidak punya pillihan selain berusaha untuk menemukan kembali istrinya.
Bagian terakhir dari rangkaian peristiwa dalam ketiga drama ini adalah ketika
masalah mulai terlerai dan menemukan penyelesaiannya. Seperti yang diungkapkan
pada bagian awal, setelah masalah datang dari luar dan memuncak di dalam diri tiap
tokoh, masalah terlerai ketika memantul ke dalam kehidupan bermasyarakat (lapisan
luar, lihat bagan 2). Pada bagian ini, alur perlahan turun untuk menandakan pergantian
suasana dan masalah yang mengalir menuju ke titik penyelesaian.
Ditemukan beberapa cara dari ketiga naskah drama ini untuk menguraikan
bagian peleraian dan penyelesaian masalah. Naskah “Lima Pintu” dan “Roman”
menunjukkan situasi pascaklimaks dengan menggambarkan keadaan tokoh yang
mengenaskan. Penyelesaian masalah tidak secara jelas terfokus pada tokoh utama,
tetapi lebih mengacu pada masalah yang dihadapi secara umum di antara para
penghuni/tetangga. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Roman”
Ning: Jangan diingat-ingat terus atuh, Mas!
Roman: Kasihan mereka…
Ning: Iya Mas saya ngerti.
Roman: Saya harus bilang apa sama mereka?
Ning: Nggak tahu juga, ya. Mungkin ini ujian buat Mas Roman..
Roman: Tapi ini terlalu berat
Ning: Saya, Mas. Saya ke pasar dulu ya…
(Ning pergi. Roman hanya diam dan kembali sesenggukan.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
105
Universitas Indonesia
Roman: Tun…Atun…
(2009: 37—38)
“Lima Pintu”
IPD: Yah Tuhan, Lela!!! Tolong… tolong… ada pembunuhan…
Para penghuni pintu kontrakan semuanya terbangun, mereka mneuju ke arah
suara teriakan tadi. Rupanya telah terjadi pembunuhan terhadap lela anak ibu
pintu dua. Orang-orang makin ramai ke tempat terjadinya pembunuhan
tersebut. Ibu pintu dua dan adiknya lela menangis histeris. Tubuh lela dibawa
keluar., dibaringkan di teras rumahnya. Ibu lela memangku anaknya yang
sudah terbujur tak berdaya.
IPD: Ya Tuhan, siapa yang melakukan ini, tega-teganya membunuh
anak saya. Lela, salah apa kamu nak? Sampai teganya orang
melakukann ini. (2012: 25—26)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa masalah terlerai dengan ditemukannya
mayat Lela dan tokoh Roman yang ditinggal pergi istrinya. Bagi tokoh IPD dan Roman
sendiri, masalah memang tidak begitu saja selesai. Mereka masuk lagi ke dalam
masalah yang baru. Namun, jika diperhatikan, masalah utama dalam kehidupan
bersosial di dalam kedua naskah tersebut disebabkan oleh adanya tokoh Lela dan Atun.
Terlepas dari benar atau tidaknya mereka melakukan apa yang dituduhkan, keberadaan
mereka telah memicu timbulnya pergunjingan, masalah rumah, dan keharmonisan
hidup bertetangga. Setidaknya, dengan kematian Lela, tidak akan ada lagi pertengkaran
suami istri di rumah kontrakan tersebut. Tak ada pula beban untuk mendengarkan
anaknya menjadi kambing hitam di konflik rumah tangga orang lain. Bagi tetangga
Roman, dengan tidak adanya Atun, Ning dan Tarno tidak perlu merasa iri dengan
keharmonisan rumah tangga Roman sehingga mereka tak akan bergunjing lagi tentang
Atun.
Sebenarnya, melihat peleraian dan penyelesaian dari sudut pandang tersebut
terasa kejam. Namun, rasa itu mungkin yang ingin ditunjukkan melalui cerita dalam
kedua naskah drama ini. Semua orang selalu memiliki sudut pandang yang meletakkan
kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, walaupun akan menyebabkan
kericuhan. Ketika tokoh Ning dan Tarno mulai bergunjing, mereka tidak memikirkan
efek samping gunjingannya bagi tokoh Roman. Mereka membicarakannya seperti
membicarakan hal remeh-temeh, padahal dalam diri Roman ada rahasia yang kelam.
Keinginan mereka untuk membicarakan tentang Atun pun berangkat dari rasa tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
106
Universitas Indonesia
puas mereka terhadap kehidupan rumah tangga masing-masing. Ning, yang memiliki
suami genit, awalnya membuka pembicaraan tentang Atun karena merasa bahwa Atun
beruntung memiliki Roman yang berkelakuan lurus. Dari sana, ia memperluas
pembicaraan menjadi masalah kepercayaan, yang sebenarnya hanyalah pantulan
masalah dalam rumah tangganya. Begitu pula dengan Tarno yang memiliki istri bekerja
di lain kota. Peringatannya tentang kemungkinan istri berselingkuh, datang dari
kebutuhan dirinya untuk meyakinkan bahwa istrinya setia. Jadi, kedua tokoh ini, tidak
benar-benar peduli pada perubahan Atun. Mereka hanya melihat refleksi masalahnya
yang diasosiasikan dengan sikap Atun.
Dalam drama “Lima Pintu”, pelaku pembunuhann Lela adalah tukang sayur.
Terungkapnya pelaku pembunuhan ini menandakan bahwa dalam kehidupan
bertetangga, tidak ada lagi orang yang benar-benar dapat dipercaya. Jika seseorang
tidak mampu memisahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama maka
yang timbul adalah konflik seperti yang ditemukan dalam rumah kontrakan ini. Dengan
kematian, nama baik Lela pun ikut menjadi bersih kembali. Para tetangganya akan
melihatnya sebagai korban dan berhenti menyalahkan Lela atas masalah yang terjadi
dalam rumah tangga mereka.
SPS : (membaca surat) (…) tiba-tiba saja saya terpikir untuk
melakukannya. Apa yang saya lakukan mungkin karena perasaaan
saya yang sakit hati, karena Lela telah menolak cinta saya, dan
dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dirinya bersama
seorang lelaki. (…) meskipun saya setiap hari selalu digoda oleh
dua orang wanita yang keduanya sudah bersuami. Tetapi cinta saya
hanya untuk Lela!! Mas Juki dan Mas Jono, sampaikan salam saya
pada mereka. (…) saya sudah cukup mendapatkan kesucian Lela
meskipun tidak dengan rasa cinta darinya, dan saya merenggutnya
dengan paksaan. Saya minta maaf kepada semuanya!
Koor suami: Tukang sayur!!! Bangsaat!!!!!
Tangis keluarga Lela pecah, amarah para warga memuncak. Suami pintu dan
tiga keluar, bersama beberapa orang. Tangis tak berhenti. Caci maki Ibu Pintu
Dua pun terus terdengar. (2012: 26)
Peleraian dan penyelesaian masalah yang ditemukan dalam naskah drama
“Te(N)tangga(NG)” lebih berfokus kepada tokoh Risti. Tokoh Risti di sini merupakan
saksi atas masalah yang muncul dalam kehidupan bersosial, seperti yang dialami tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
107
Universitas Indonesia
Amir, Tami, Ferry, dan Ritus. Memang, ada pula masalah yang melibatkan tokoh Risti
di dalamnya, tetapi keempat tokoh tersebut adalah contoh bagaimana manusia
melakukan adaptasi untuk bertahan hidup. Tema adaptasi inilah yang hendak
disampaikan dalam bagian terakhir drama. Seperti yang tertulis pada tagline judul
drama, “…Kalauenggaksuka, enggakusahdiikutin, tinggalinaja..gampangkan..” (lihat
halaman sampul naskah drama), dualisme identitas keempat tokoh ini harus dapat
diterima oleh Risti. Apabila Risti merasa tidak dapat menerimanya maka ia tidak perlu
berusaha mengubahnya, walaupun mungkin pendapat Ristilah yang benar. Hal tersebut
diwujudkan dalam bagian yang dikutip berikut ini.
Risti: Mana nih Ferry? Harusnya dia uda nongol,,,
Amir: (dingin) Ferry sudah pergi…
Risti: Pergi? Maksudnya?? Tapi siklusnya kan…
Amir: Dia sudah pergi dari rumah… dia marah… dia lupa sama
ayahnya…ibunya bahkan kakaknya…
Risti: Dia pergi kemana?
Amir: Entahlah…
Risti: (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gue apa tetangga gue
sih? Gue masih waras kan? Masih waras??? (berteriak)
Ahhhhhh…. Kenapa sih sama gue???? (sesekali memukul
kepalanya sendiri) normal… normal… normal…. Normal…
normal… ayo dong normal!!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang
sakit!!!! (menangis) gua normal gua gak sakit… gue normal… gue
gak sakit… (seperti teringat sesuatu) ya… siklus ini harus terus
berjalan… seperti rantai makanan…. (2011: 22)
Setelah masalah mencapai klimaks—terungkapnya dualisme identitas keempat
tokoh, diikuti dengan kepergian Ferry—Risti mencoba untuk mengikuti aturan main di
tempat tersebut. Pada suatu malam ia datang dan merekonstruksi aktivitas tetangganya
tersebut. Namun, tokoh Ferry telah meninggalkan keluarga itu. Kepergiannya
menyadarkan semua tokoh yang ada bahwa mereka memiliki pilihan untuk
menentukan kehidupan dalam masyarakat. Mereka dapat mengikuti tuntutan konvensi
yang ada—tentang penampilan, pekerjaan, keadaan keluarga—atau pergi dan menjadi
diri sendiri, seperti tokoh Ferry. Nampaknya hal tersebut yang selama ini hilang dari
pengertian Risti. Ketika ia mencoba mengintervensi kehidupan tetangganya, ia tidak
sadar bahwa perlahan-lahan kepribadiannya pun berubah.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
108
Universitas Indonesia
Di titik itulah, tokoh Risti terlihat menyatukan kembali dirinya dan mulai
menata pemikiran yang logis untuk menghadapi situasi tersebut. Dari kejauhan muncul
tokoh Pak Herri dan Hansip menyerukan tagline drama ini, “Kalau tidak suka, ya tidak
usah diikutin, tinggalin aja.. gampang kan…” (2011: 23). Seruan tersebut menjadi
solusi yang ditawarkan kepada Risti sekaligus juga penyelesaian.
Jika diwujudkan dalam sebuah grafik maka perkembangan alur pada ketiga
drama ini akan terlihat seperti berikut ini.
Grafik di atas memberikan indikasi bahwa bangunan alur dalam ketiga drama
ini kurang lebih sama. Hal tersebut disebabkan oleh konflik yang hadir dalam ruang
lingkup yang sama, yaitu masyarakat. Adanya persamaan latar belakang tempat dan
para tokoh dalam ketiga drama ini, membuat alur terbanguan atas bagian-bagian yang
sama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam ketiga drama ini peristiwa
terbagi menjadi tiga tahapan (lihat Bagan 3). Tahapan ini mencakup daerah luar, dalam,
dan kembali lagi ke luar. Proses tersebut merupakan hasil dari relasi antara manusia
dan masyarakat.
02468
10121416
Lima Pintu Te(N)tangga(NG) Roman
Gambar 2.4
Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
109
Universitas Indonesia
Ketika tokoh dihadapkan pada sebuah lingkungan kehidupan bermasyarakat,
yang memiliki keragaman asal usul, maka konflik akan dimulai dari persinggungan
antara manusia dengan manusia lain sebagai bagian dari sebuah sistem masyarakat. Hal
tersebut didorong oleh adanya kebutuhan masing-masing individu untuk bertahan
hidup. Kepentingan tiap individu yang tidak disertai dengan pemahaman untuk hidup
berdampingan—seperti yang digambarkan dalam ketiga naskah drama—mendorong
timbulnya gesekan antarsatu individu dengan yang lain. Pada ketiga naskah drama ini,
terdapat satu tokoh yang dipilih untuk menyatakan akibat dari persinggungan
antarmasyarakat. Tokoh Lela (“Lima Pintu”, Risti (“TeNtanggaNG”), dan Roman
(“Roman”) merupakan perwakilan dari masyarakat—yang dalam masing-masing
drama—diberi ruang untuk memperlihatkan konflik personal yang dipicu oleh konflik
dalam bersosial.
Ketika konflik personal para tokoh mencapai titik klimaks dalam alur drama
maka secara individu para tokoh akan mencoba untuk menyelesaikannya. Namun,
konflik personal tokoh utama tidak dapat terelakkan dari ruang publik. Penyebab
munculnya konflik personal ini adalah keadaan di ruang publik, seperti tokoh Roman
yang bertengkar dengan istrinya karena pergunjingan tetangga atau tokoh Lela yang
menjadi korban fitnah tetangganya. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikannya, para
tokoh akan kembali lagi ke tengah masyarakat untuk meminta ‘pertanggungjawaban’
dalam menyelesaikan konflik. Namun, ketika para tokoh melakukan konfrontasi
dengan masyarakat, ditemukan bahwa masyarakat tersebut tidak dapat memberi
jawaban. Telah ditemukan adanya pergeseran nilai-nilai yang dianut sebagai sebuah
masyarakat komunal dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan oleh tiap individu,
seperti misalnya yang terjadi pada tokoh Risti. Ia berusaha memperbaiki kemunafikan
tetangganya dengan menyatakan kebenaran yang didasarkan pada integritas diri.
Namun, masyarakatnya tidak siap menerima idealisme yang dibawa Risti sehingga ia
pun harus mengalami keterasingan. Masyarakat dalam ketiga drama ini digambarkan
sebagai kumpulan manusia yang dipaksa untuk meleburkan sifat-sifat individu karena
kebutuhan untuk berbagi tempat tinggal. Padahal sebenarnya, mereka tidak siap untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat majemuk.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
110
Universitas Indonesia
2.4 Simpulan
Naskah-naskah drama tentang relasi manusia dengan dirinya sendiri, umumnya
berbicara tentang eksistensi manusia dalam dunia. Hal tersebut diwujdukan dalam hal-
hal yang tidak masuk dalam alur dan tokoh, untuk memperlihatkan nilai-nilai baru yang
mereka usung dan ketiadaan pola dalam eksistensi manusia. Namun, ketiga naskah
drama FTJ ini justru memperlihatkan hal yang sama sekali berlainan dari kebiasaan
drama-drama bertema eksistensial tersebut. Usaha penggambaran kondisi yang
berlawanan ini, penulis lihat, adalah bentuk dari keabsurdan dan cerminan manusia
masa kini yang terjebak pada alam bawah sadar mereka. Para tokoh yang ditunjukkan
bahagia dengan kepalsuan identitas mereka dalam sebuah kelompok adalah cerminan
ketiadaan diri yang otentik.
Naskah-naskah drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan
kekuasaan, menempatkan kekuasaan dalam gambaran yang abstrak. Kekuasaan dalam
drama-drama ini diwujudkan dalam benda-benda yang ditemui sehari-hari, yang telah
mengalami pergeseran makna. Hal tersebut menandakan adanya kritik terhadap
pengertian yang salah terhadap kekuasaan. Para tokoh digambarkan terlibat dengan
konsep kekuasaan itu sebagai oposisi atau sebagai orang yang berhasrat terhadapnya.
Dalam ketiga drama ini, kekuasaan menjadi semacam sihir yang membelenggu para
tokoh dalam keserakahan, keegoisan, dan kematian hati nurani, karena
menyalahartikan esensi dari kekuasaan. Kekuasaan dalam ketiga naskah drama ini
mengakibatkan kematian dan kehancuran secara fisik dan mental manusia.
Naskah drama yang mengangkat relasi manusia dengan masyarakat tersusun
atas banyak karakter, yang masing-masing karakter, memainkan peranan mereka dalam
proses bersosialisasi. Ketiga drama ini membagi peristiwa menjadi tiga bagian. Bagian
pertama adalah pemaparan dan perumitan masalah yang disebabkan kehidupan di
ruang publik. Bagian kedua adalah klimaks dari masalah yang melibatkan kehidupan
personal salah seorang tokohnya. Dan bagian yang terakhir, konflik personal tokoh
tersebut dibawa kembali ke ruang publik untuk diselesaikan secara kolektif. Namun,
dari hasil analisis alur, diperlihatkan bahwa publik hanya dapat memicu terjadinya
masalah, tetapi tidak mampu memberikan solusi atas masalah yang mereka mulai.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
111
Universitas Indonesia
Nampak pula dalam ketiga drama bahwa salah satu pemicu masalah di ruang publik
adalah adanya tuntutan terhadap hal-hal baik yang terjadi di antara sesama mereka.
Akan tetapi, tuntutan baik dan buruk dalam masyarakat, sudah tidak lagi relevan untuk
menjawab tantangan hidup yang makin sulit.
Secara umum, naskah-naskah ini memiliki persamaan masalah yang menjadi
benang merah di antaranya. Persamaan tersebut menyangkut kehidupan manusia di
kota dengan tuntutan manusia urban yang berada dalam kondisi sosial-politik tak sehat
sehingga menyebabkan mereka secara individu kehilangan identitasnya. Masalah
kemiskinan, ketidakadilan, dan pendidikan yang terbelakang dalam masyarakatnya,
masih menjadi suatu isu penting dalam tiap naskah drama. Melihat uraian masalah
dalam tiap drama yang ada maka dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang
dihadapi oleh manusia di dalam drama, berbicara tentang identfikasi diri (drama relasi
manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia dengan
kekuasaan), serta pola kehidupan masyarakat miskin kita (drama relasi manusia dengan
masyarakat). Hal-hal inilah yang menjadi masalah utama dalam naskah drama FTJ
2008-2013.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
112 Universitas Indonesia
BAB III
MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM DRAMA-DRAMA
FESTIVAL TEATER JAKARTA
Di balik gencarnya arus media massa yang muncul, jarak antara masyarakat dan
refleksi realitas-sosialnya semakin merenggang. Namun, melalui kesenian, manusia
diberikan ruang untuk membicarakan kehidupan yang terjadi secara langsung antara
pelaku dan penikmat. Salah satu bentuk kesenian yang memungkinkan terjadinya
interaksi langsung adalah drama15, baik dalam bentuk pemanggungan maupun teks.
Hal ini disampaikan oleh Afrizal Malna (201116) dalam ulasannya tentang Festival
Teater Jakarta (selanjutnya akan disebut FTJ). Naskah-naskah drama yang dihasilkan
pada FTJ—tidak hanya mendokumentasikan tetapi juga—membicarakan realitas
dengan nada mengkritik, menyindir, atau menasihati. Hal tersebut diperlukan,
mengingat sebuah karya sastra adalah salah satu alat untuk menjaga kualitas kehidupan
manusianya.
Bertolak dari teori mimesis Aristoteles17 yang melihat karya sastra sebagai
sebuah cerminan kenyataan maka pengarang—yang juga adalah bagian dari
masyarakat—dan karyanya berfungsi untuk menyampaikan tanggapan atas kenyataan.
Namun, mengingat karya tersebut merupakan rekonstruksi kenyataan dalam kehidupan
yang telah melalui proses kreatif pengarang, peristiwa dalam naskah dengan realitas
sosial tidak dapat sekadar dicari kesamaannya. Menanggapi hal tersebut, A. Teeuw
15 Afrizal Malna menulis kaleidoskop tentang FTJ tersebut dengan menggunakan kata ‘teater’. Namun,
untuk mengikuti kebutuhan penelitian ini maka penulis mengganti kata ‘teater’ dengan ‘drama’—yang
memiliki arti lebih luas dari kata teater—sebab dapat berarti di atas panggung maupun di dalam teks. 16 “Teater adalah kita, merupakan pernyataan yang memang melibatkan ruang dan waktu. Teaterlah yang
membuat jembatan antara waktu di sana dengan waktu di sini, antara ruang di sana dengan ruang di sini.
Cara yang paling dekat untuk melihat kehidupan sebuah kota, adalah menonton salah satu kelompok
teater yang hidup di kota itu. Juga sebaliknya, cara dekat untuk melihat pencapaian estetika teater, adalah
dengan membandingkan pertunjukan sebuah teater dengan perkembangan kota tempat teater itu berada”
(“Kaleidoskop Teataer 2011: Semua Aku dan Semua Kamu dari Kita” Afrizal Malna. 17 Aristoteles meneruskan gagasan yang sama dengan Plato tentang karya seni sebagai sebuah mimesis
kehidupan, tetapi di dalamnya teorinya ia menambahkan hal yang tidak diungkapkan oleh Plato. Hal
tersebut adalah proses kreatif yang menjadi sebuah karya tidak sekadar sebagai tiruan kehidupan tetapi
telah menjadi kenyataan baru bentukan pengarang. Hal inilah yang membedakan sudut pandang
Aristoteles dengan Plato. (diambil dari Pengantar Ilmu Sastra (1984) Luxemburg, Bal, dan Weststeijn
serta dari buku Apresiasi Kesusastraan (1991) Saini K.M. dan Jakob Sumardjo.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
113
Universitas Indonesia
(2003: 190) mengatakan bahwa unsur fiksi dalam karya justru memperlihatkan pada
pembaca, kelihaian pengarang dalam mengutarakan sebuah gagasan yang bertolak dari
kehidupan nyata.
Mengenai relasi antara karya sastra dengan masyarakatnya, hubungan di antara
keduanya bersifat saling mempengaruhi, seperti yang diungkapkan oleh A.Teeuw:
“hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung;
ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir
konvensi sosio-budaya, dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan
menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penfasiran kita
terhadap kenyataan. Hubungan ini memang merupakan interaksi, saling
mempengaruhi, atau kaitan dwiarah (…) Dunia nyata dan dunia rekaan selalu
saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Sudah tentu, secara
faktual kaitan antara kenyataan dan rekaan mungkin sangat berbeda-beda.” (hlm.
188-190)
Jadi, pengamatan tentang kecenderungan sosial yang muncul melalui naskah-
naskah drama FTJ ini, perlu dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Untuk itulah,
pada bagian dalam penulisan ini, hasil temuan dari analisis struktural yang telah
dilakukan sebelumnya, akan digunakan sebagai data untuk melihat adanya
keterpengaruhan dari realitas sosial yang ada dalam kehidupan.
3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama FTJ sebagai Hasil Perspektif Pengamatan
Relasi Manusia
Struktur naskah-naskah drama FTJ telah ditelusuri dengan menggunakan
perspektif relasi untuk mencari tahu masalah utama yang terekam di dalamnya. Pada
bagian kesimpulan analisis struktural, ditemukan masalah pokok dari naskah-naskah
drama ini, yaitu persoalan manusia yang menyangkut masalah identifikasi diri (relasi
dengan diri sendiri), sifat kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta
masyarakat miskin kota (relasi manusia dengan masyarakat). 18
Masalah identifikasi diri, yang ditemukan dalam tiga naskah drama tentang
relasi manusia dengan diri sendiri, muncul melalui keadaan jiwa para tokoh
18 Lihat bagian 2.4
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
114
Universitas Indonesia
protagonis19 yang gelisah. Identitas tokoh Bapak dan Kelima tokoh masyarakat
ditentukan oleh peran yang mereka jalani sehari-hari dalam sebuah dunia bentukan.
Tokoh Maman, Lukman, dan Saman menjalani kehidupan di ambang maut, dalam
sebuah penantian yang memberi mereka alasan untuk terus hidup. Kehidupan mereka
dikendalikan oleh tokoh antagonis dalam sebuah tempat yang menyerupai kurungan.
Dalam analisis struktural, tempat tersebut diwujudkan sebagai sebuah ruangan yang
mengungkung mereka. Tanpa sadar, ruang yang mengungkung itu telah menciptakan
suatu zona nyaman bagi para tokoh sehingga mereka tidak merasakan bahwa
kehidupan mereka terbelenggu. Namun, sebagai manusia yang memiliki akal budi,
mereka terus-menerus merasakan sebuah kegelisahan.
Dalam drama, kegelisahan tersebut diungkapkan dengan pernyataan para tokoh
tentang kehidupan mereka yang terasa datar. Kegelisahan ini tidak dapat diatasi karena
keterikatan mereka pada peran yang mengisi dunia tersebut. Namun, ketika zona
nyaman mereka ini diusik dari luar, kegelisahan mereka berubah menjadi sebuah
kesadaran yang mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan atas rutinitas tersebut.
Walaupun pada akhirnya para tokoh tidak dapat membebaskan diri dari belenggu
tersebut, mereka telah membuka ruang kesadaran mereka terhadap kepalsuan yang
dijalani.
Masalah identitas kebangsaan yang muncul dalam drama-drama tentang relasi
manusia dan kekuasaan20, ditemukan melalui kemarahan yang terpendam dalam diri
para tokoh, seperti Marni dan Rasyid (“Paralel ‘45”), Pulung (“Pesta Sampah”, dan
Parmin (“Parlemen WC”). Kemarahan tersebut diwujudkan melalui ekspresi diri yang
berbeda di tiap karya, seperti pemberontakan, ketidaktaatan, rasa syukur yang palsu,
serta keserakahan. Hal ini muncul karena adanya bentuk kekuasaan yang dianggap
gagal mengatur bagian-bagian dalam kehidupan sosial politik.
Munculnya eksploitasi terhadap kebebasan—karena tidak didukung oleh
kepiawaian penguasa dalam mengaturnya—memicu munculnya masalah kepentingan
19 tokoh Bapak (“Ruang Kehormatan”), tokoh Saman, Maman, dan Lukman (“Ruang Tunggu
Terakhir”), serta Kelima Tokoh Masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) 20 Naskah drama “Paralel ‘45”, “Pesta Sampah”, dan “Parlemen WC”.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
115
Universitas Indonesia
pribadi di tengah kepentingan publik. Penguasa yang merasa terancam dengan
perlakuan mereka, mempertahankan diri dengan cara mengeluarkan kebijakan yang
memaksa rakyatnya untuk tunduk. Kekuatan yang dimiliki oleh pengusa (disimbolkan
dalam drama sebagai tokoh pejabat) disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dengan
jalan mengeksploitasi fasilitas publik. Hal ini memicu perpecahan di antara
masyarakat.
Akibat dari sistem pemerintahan yang dianggap gagal menjalankan tugasnya
dan adanya ekspolitasi kebebasan publik, muncul tkoh-tokoh apatis pesimis yang tidak
percaya akan adanya keadilan sosial. Langkah mereka untuk mendapatkan keadilan
tersebut adalah dengan menghancurkan kekuasaan. Orang-orang yang masih
memegang teguh dan berharap pada demokrasi dalam kehidupan sosial politik justru
menjadi tumbal. Puncaknya adalah disintegrasi negara dan perpecahan di antara
masyarakat.
Masalah mengenai individualitas masyarakat kota yang muncul dalam drama-
drama tentang relasi manusia dengan masyarakat, seperti “Lima Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman”, merupakan efek domino21 dari kegagalan sebuah
sistem kekuasaan. Penguasa yang vakum melakukan tugasnya sebagai pemimpin
(seperti dalam tiga drama tentang relasi manusia dan kekuasaan), membuat mereka—
tokoh rakyat kecil dalam drama-drama relasi manusia dan masyarakat—terasing dari
perhatian pemerintah. Hal itu menimbulkan kehidupan di bawah garis kemiskinan,
penderitaan, dan terjadi kemerosotan nilai moral, seperti yang dialami oleh tokoh Ibu
Pintu Dua dan Lela (“Lima Pintu”), Roman dan Atun (“Roman”), serta Risti dan
Keluarga Pak Amir (“Te(N)tangga(NG)”). Mereka tidak merasa sebagai bagian dalam
keberlangsungan negara sehingga tidak ada usaha untuk mewujudkan kehidupan
bersosial yang harmonis. Sikap tersebut timbul dari degradasi nilai moral dan usaha
tiap individu untuk bertahan hidup.
21 Istilah yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, dalam Perang Dunia
II bagi kekalahan Perancis atas wilayah Vietnam ke tangan komunis. Hal ini akan berdampak ke seluruh
wilayah selatan Asia. Efek domino diberikan untuk menggambarkan suatu kejadian yang sifatnya
berantai, seperti anggapan Eisenhower mengenai komunis di Asia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
116
Universitas Indonesia
Di dalam kehidupan antarmasyarakat, terjadi proses pengasingan bagi mereka
yang tidak dapat mengikuti konvensi sosial yang ada, seperti yang dilakukan pada
tokoh Risti atau tokoh Atun. Kehidupan yang jauh dari harapan ideal, mendorong
beberapa tokoh untuk melakukan gangguan sosial di dalam kehidupan antarmasyarakat
sehingga timbul kecurigaan (“Roman), persaingan sosial (“Lima Pintu”), dan tindak
kriminal (“Te(N)tangga(NG)”) yang menjadi klimaks dalam drama-drama tersebut.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan gambaran secara umum hasil analisis
struktural yang telah dilakukan atas naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013.
Adanya kesamaan tempat dan kurun waktu penciptaan karya—Jakarta tahun 2000
hingga kini—memungkinkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi di antara
temuan pada karya dan realitas sosial di masa itu. Oleh sebab itu, persoalan yang telah
dijelaskan sebelumnya, harus diuraikan sesuai dengan kondisi zaman pada masanya.
Pemetaan hubungan22 masalah dalam karya dengan realitas sosial masa kini dapat
dilihat dalam bagan berikut ini.
22 Hubungan tersebut merupakan intisari dari pemikiran Sapardi tentang hubungan sosiologi dalam
karya, seperti yang dikutip berikut ini: “(…) menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan
situasi penciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya/ tema dan gaya
Skema 3.1
Persoalan dalam Naskah Drama FTJ dalam Konteks Realitas Soial
Perspektif
Pengamatan
Relasi
Manusia
KEKUASAAN
Rasa kesatuan sebagai
bangsa
DIRI SENDIRI
Identifikasi diri
MASYARAKAT
Pola masyarakat
miskin kota
Dunia dalam
Drama
REALITAS SOSIAL
pascarefromasi
Keterangan: : Keadaan sosial tahun 2000-
kini
: Dunia dalam karya drama
: temuan masalah
: menghasilkan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
117
Universitas Indonesia
Pada bagan di atas, ditunjukkan bahwa relasi manusia menghasilkan persoalan
yang membentuk kenyataan pada naskah drama. Gambaran dari kenyataan dalam
naskah drama berada di dalam realitas sosial. Hal ini menandakan bahwa gambaran
pada dunia dalam drama adalah juga bagian di dalam kenyataan yang ada, seperti yang
diungkapkan oleh Luxemburg (1984: 17) bahwa pengarang mengambil beberapa hal
dari unsur-unsur dalam kenyataan untuk menyusun suatu gambaran (karya) yang
mencipta ‘kodrat manusia yang langgeng’. Oleh sebab itu, temuan masalah dalam
naskah drama pun memiliki bagian yang beririsan dengan realitas sosial. Hubungan di
antara ketiganya bersifat saling mempengaruhi, seperti teori A. Teeuw tentang
hubungan karya dan kenyataan yang dibahas pada bagian awal bab ini.
Hasil dari relasi ketiganya inilah yang akan menjelaskan hubungan di antara
dunia dalam naskah dengan realitas sosial yang ada. Oleh sebab itulah, penguraian
masalah dalam karya-karya ini akan diawali dengan melihat temuan dalam naskah
drama yang beririsan pula dengan realitas sosial. Setelah itu, hasil uraian dari
penelusuran sosiologis atas kenyataan dalam drama akan dihubungkan satu sama lain
untuk melihat gambaran tentang peristiwa ‘aku’—manusia—pada masa kini (seperti
yang diungkapkan pada bagian pendahuluan).
3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah pada Naskah Drama FTJ dengan Realitas
Sosial
3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam Drama dan Realitas Sosial
Persoalan identifikasi diri yang ditemukan dalam naskah drama “Gagu Ngigau
Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”, disimbolkan
melalui tokoh-tokoh yang mengalami masalah kejiwaan atau korban bencana (lihat
bagian 2.1.2). Keadaan tersebut menempatkan mereka dalam posisi yang lemah
sehingga terbelenggu oleh kendali pihak lain. Pihak yang mengendalikan mereka ini—
atau ‘tuhan’ dalam dunia mereka—merupakan tokoh dengan posisi superior yang
bersifat antagonis di dalam drama. Namun, pada bagian pemaparan masalah, para
yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial
sifatnya.” (Sapardi Djoko Damono (2010) Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
118
Universitas Indonesia
tokoh belum diceritakan menyadari keadaan diri mereka yang terbelenggu.
Pengetahuan tentang keadaan diri yang tidak bebas ini tersimpan rapat dalam
keteraturan yang menghasilkan suatu rasa nyaman bagi para tokoh. Bagi mereka,
identitas diri adalah peranan yang diberikan oleh tokoh ‘tuhan’ dalam dunia yang
mereka geluti. Peran tersebut diciptakan sesuai dengan kebutuhan ‘tuhan’ atas diri
mereka. Seperti misalnya, tokoh ‘tuhan’ yang diwujudkan dalam peran dokter dalam
drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka menggunakan
kelima tokoh masyarakat dan tokoh Bapak untuk menjalankan penelitian. Oleh sebab
itu, tokoh-tokoh yang lemah secara kejiwaan dipaksa mengemban peran yang bukan
diri mereka sebenarnya.
Konsep penyamarataan peran manusia—atau sama saja dengan penghilangan
identitas— pernah dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru sehingga
memunculkan sebuah wajah masyarakat massa. Penyamarataan peran sesuai dengan
kebutuhan pembangunan yang dilakukan pada masa itu adalah dengan membuat mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai fokus utama dalam
pendidikan formal23. Hal ini dilakukan untuk menunjang kebijakan pemerintah yang
hendak memajukan bidang ekonomi industri. Meminjam istilah yang digunakan oleh
Saini K.M. (2004: 82), proses ini menjadikan manusia yang dicetak oleh lembaga
pendidikan formal sebagai sebuah ‘baut-baut yang cocok bagi mesin industri’.
Mereka tidak diberi kesempatan untuk mencari identitas diri—pada usia yang
muda dan seharusnya digunakan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya—melalui
pendidikan tentang sastra, seni, bahasa, atau filsafat yang mampu mengajarkan tata
nilai luhur. Mereka yang lahir dan dibesarkan dalam generasi ini, dikatakan oleh Saini
K.M., sebagai manusia yang mengalami dehumanisasi. Seperti juga para tokoh dalam
dua drama tersebut, “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka
23 Saini K.M. menuliskan tentang ideologi pembangunan yang dicanangkan oleh Orde Baru, pada
penggalan pertama kekuasaannya (tahun 1967), melalui pembentukan manusia sebagai bagian dari
economic animal. Pada penggalan kedua, ia mengatakan, bahwa manusia dicetak sebagai baut-baut yang
dipergunakan untuk memajukan sektor ekonomi industri. Salah satu jalan yang ditempuh oleh Orde Baru
adalah melalui rekayasa pendidikan formal. (diambil dari buku Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
119
Universitas Indonesia
dicetak sebagai produk massal yang berguna apabila menjalankan peran yang
diberikan.
Posisi para tokoh protagonis dalam dunia drama ini adalah sebagai obyek dari
kegiatan penelitian atau kegiatan lainnya (karena tokoh Man tidak diceritakan asal-
usulnya maka tidak diketahui dengan pasti motif dari janjinya tersebut). Sebagai obyek,
keberadaan diri para tokoh dikendalikan oleh esensi dari dirinya sebagai peran yang
dikehendaki dalam penelitian. Kondisi tersebut bertentangan dengan hal yang
diujarkan oleh kaum eksistensialis mengenai manusia. Seperti Sartre24, ia menyatakan
dengan tegas bahwa identitas diri manusia harus didapatkan melalui pilihannya sendiri
dan bukan berdasarkan apa yang disebut sebagai sifat alamiah manusia. Kondisi para
tokoh bertentangan dengan idealisme dari konsep eksistensialisme karena para tokoh
tidak memilih dirinya untuk menjadi hal tersebut, tetapi keberadaannya justru dihargai
melalui peran yang dimasukkan dalam dirinya.
Keadaan konkret dari peran yang menentukan identitas seseorang dan bukan
sebaliknya, ditemukan pada masa Orde Baru. Mereka yang tidak menjalankan atau
mengambil peran dalam rencana pembangunan ekonomi industri, akan tersingkirkan
atau dalam hal ini tidak berarti apa-apa dalam proses pembangunan. Hal itulah yang
banyak terjadi pada, khususnya, kaum agraris di daerah-daerah25. Oleh karena program
pemerintah yang memajukan sektor industri, mereka yang berada di sektor pertanian
semakin kesulitan untuk mengembangkan dirinya sehingga tersisih dari kepentingan
politik pemerintah. Sementara itu, untuk menyambung kehidupan, mereka terpaksa
mengisi bagian-bagian kosong dalam sektor industri dan meninggalkan diri mereka
sebagai petani.
Identitas palsu yang diemban oleh para tokoh, muncul melalui pernyataan tokoh
Bapak serta aktivitas profesi yang tidak nyata oleh kelima tokoh dalam naskah drama
24 “Satrre has expressed it by saying that man’s existence precedes his essence (pp. 438-9); we have not
been created for any purpose, neither by Godn or evolution nor anything else.” (Pemikiran Sartre tentang
eksistensialisme manusia ini diambil dari karya Leslie Stevenson (1987) Seven Theories of Human
Nature. “Sartre’s Theory of Man”: 93-94) 25 Diambil dari bahan ajar perkuliahan “Dampak Urabnisasi dan Kemiskinan” (2013) Almasdi Syahza
(pengajar mata kuliah Ekonomi Pembangunan di Universitas Riau).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
120
Universitas Indonesia
“Gagu Ngigau Galau Wagu”. Pernyataan tokoh Bapak26 ketika menjawab salam dari
tokoh Dokter Ivan mengungkapkan penolakannya terhadap peran yang dinyatakan
dalam dialog Dokter Ivan. Namun, secara tidak sadar, Bapak perlahan-lahan menerima
peran yang ditanamkan oleh Dokter Ivan melalui dialog-dialognya yang konsisten.
Pengetahuan yang masuk ke alam bawah sadar tokoh Bapak, pada akhirnya
membentuk identitas dirinya dalam ruangan tersebut. Dalam naskah drama “Gagu
Ngigau Galau Wagu”, yang diperlihatkan bukanlah proses obyektifikasi, tetapi hasil
dari proses tersebut. Hasil dari proses obyektifikasi—yang dalam drama tidak
diceritakan—menunjukkan bahwa para tokoh mampu mengidentifikasi dirinya sebagai
sesuatu, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menjalaninya. Kelima tokoh tersebut—
dalam bagian pemaparan masalah—tidak pernah sekalipun melakukan profesi yang
mereka akui.
Hal ini menunjukkan kesamaan dengan peran para petani di masa Orde Baru,
yang harus melakukan kerja di sektor industri demi mendapat bagian dalam dunia saat
itu. Namun, kerja mereka itu sifatnya tidak mewakili identitas mereka yang
sebenarnya. Identitas mereka sebagai petani telah digantikan dengan peran baru yang
memunculkan identitas semu, seperti yang dialami para tokoh. Hal seperti itu, masih
sering ditemukan dalam kehidupan manusia pascareformasi. Mereka, dengan
kebutuhan untuk bertahan hidup, dipaksa mengambil peran yang sebenarnya tidak
mencerminkan diri mereka, seperti pekerja yang beradaptasi dengan keadaan ekonomi
kapitalis. Hal ini menurut Goenawan Mohamad (2001: 1410) merupakan suatu proses
alienasi diri terhadap apa yang dikerjakan dan identitas si pekerja itu sendiri27. Baik
petani pada masa Orde Baru, maupun para buruh di masa ekonomi kapitalis kini,
keduanya sama-sama meleburkan dirinya dalam kerja yang menjadikan ia sebagai
obyek.
26 “Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya mempunyai seorang anak. Jangan kira
seorang anak, seirang istri pun saya tidak pernah punya.” (“Ruang Kehormatan”, tokoh Bapak 2012: 1) 27 Goenawan Mohammad menuliskan pemikiran Marx, pada catatan pinggir tanggal 27 Agustus 2000,
tentang terjemahan kata ‘bildung’ oleh Berman sebagai sebuah ‘subyektivitas’. Artinya, kapitalisme
meringkung itu dan membuat manusia ‘merasa dirinya hadir di luar kerjanya, dan kerjanya… berada di
luar diirnya’. Proses yang membuat manusia kehilangan martabatnya. (diambil dari buku Kata, Waktu:
Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001) Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
121
Universitas Indonesia
Pada masa Orde Baru, diadakan pula sebuah operasi yang dikenal dengan nama
Penembak Misterius. Ribuan orang yang diduga terkait jaringan Gabungan anak liar
(Gali) yang merupakan preman-preman dengan kekhasan bertato di sekujur tubuh,
dibunuh dengan mengenaskan tanpa proses pengadilan yang jelas. Mereka dibunuh
karena dianggap telah menimbulkan keresahan. Dan untuk mengatasi situasi yang
mengganggu keamanan, pemerintah ‘diam-diam’ mengadakan operasi penembakan
misterius. Komnas HAM28 telah menetapkan bahwa peristiwa ‘petrus’ merupakan
pelanggaran HAM berat yang ditemukan selama Orde Baru—di samping pelanggaran-
pelanggaran lainnya. Mereka yang ditembak dalam operasi ‘petrus’ diidentifikasi
dengan tato. Tidak jarang, mereka yang menjadi korban sebenarnya bukanlah
gabungan anak liar (Gali), tetapi hanya kebetulan memiliki tato di tubuhnya.
Identifikasi yang dilakukan semacam ini juga merupakan suatu bentuk dari
penyamarataan manusia. Mereka digolongkan menurut keadaan fisik atau ciri tertentu
tanpa melihat dulu identitas yang sebenarnya. Toni29, seorang warga yang tidak
bersalah, ditangkap karena kesalahan identifikasi. Namanya sama dengan orang yang
masuk daftar target ‘petrus’. Ia kemudian ditangkap dan diasingkan jauh dari
rumahnya. Proses ini tidak hanya salah dalam hal mengidentifikasi, tetapi juga telah
mencederai hal paling dasar dari eksistensi manusia, yaitu hidup. Mereka, para
penembak misterius ini, telah mengambil hak manusia untuk hidup dengan alasan
kestabilan keamanan nasional.
Sementara itu, pembahasan masalah dalam naskah drama “Ruang Tunggu
Terakhir”, lebih mengarah pada keadaan psikologis para tokoh yang muncul dari rasa
terbelenggu. Memang, dalam semua karya, terdapat pula gambaran dari keadaan
psikologis para tokoh. Namun, dalam analisis struktural terhadap drama “Ruang
Tunggu Terakhir”, ditemukan lebih banyak eksplorasi keadaan psikologis tokoh
daripada wujud-wujud dari pemahaman eksistensialisme. Tentu saja, keadaan
psikologis ini lahir dari pemahaman eksistensialisme yang ditemukan dalam tema
28 Diambil dari artikel berita “Ini Kisah Pelaku Petrus Orde Baru” (2012) Roffiudin. Diunduh dari
website www.tempo.com, pada tanggal 14 Juni 2014, pkl.04.15. 29 Diambil dari artikel berita “Kisah Mereka yang Lolos dari Petrus di Zaman Soeharto” (2013) Didi
Syafrudi. Diunduh dari website www.merdeka.com pada tanggal 14 Juni, pk.04.17
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
122
Universitas Indonesia
utama drama “Ruang Tunggu Terakhir”. Secara menyeluruh, keadaan psikologis tiga
tokoh utama dipengaruhi oleh tekanan yang menghimpit mereka dan menghilangkan
kemampuan akal sehat bekerja. Tekanan tersebut datang dari keadaan fisik mereka
yang terluka parah. Keadaan sakit yang digambarkan dengan sangat penuh derita
ditambah pula dengan harapan atas datangnya janji Man yang sebenarnya tak pasti,
membuat para tokoh terbelenggu oleh isi kepala yang terus berdengung lewat monolog
mereka, yang diceritakan dalam drama sebagai sebuah penyangkalan pada hal
mustahil. Diceritakan dalam drama (lihat 2.1.2: 12), tokoh Saman—yang pertama kali
muncul—adalah korban selamat dari tsunami. Kedua tokoh yang muncul
belakangan—Maman dan Lukman—pun merupakan korban bencana alam lain.
Maman adalah korban selamat tanah longsor dan Lukman adalah korban selamat dari
bencana lumpur. Dari kondisi tersebut, tak hanya fisik mereka yang lemah, tetapi
secara mental, mereka pun tak lagi punya gairah untuk hidup. Namun, dalam kondisi
yang begitu buruknya, para tokoh diceritakan tetap berusaha dengan segala cara untuk
dapat bertahan. Pada analisis pemaparan masalah disebutkan bahwa pertahanan diri
mereka datang dari harapan atas janji tokoh Man.
Kepercayaan para tokoh terhadap janji Man telah mengendalikan tingkah laku
mereka tanpa disadari. Janji Man untuk menemui para tokoh di ruang tersebut,
membuat mereka patuh menunggu. Hal ini diperlihatkan oleh tokoh Saman yang
menolak berpindah tempat ketika ia terluka parah. Dengan kesadaran30 para tokoh
terhadap Janji Man, mereka memutuskan untuk tinggal di tempat tersebut yang
merupakan titik temu yang dijanjikan Man. Namun, secara tidak sadar, tekanan
keadaan yang buruk itulah justru yang memampukan mereka untuk tetap percaya akan
janji Man dan—seperti yang dikatakan sebelumnya—merasuki diri serta
mengendalikan tingkah laku. Jadi, bukan karena janji Man semata yang membuat
30 “Nothing which a person does or says is really haphazard or accidental; everything can in principle be
traced to causes which are somehow in the person mind” (Freud’s Theory of man, Leslie Stevenson
d(1987) Seven Theories of Human Nature)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
123
Universitas Indonesia
mereka tinggal, tetapi justru penderitaan itu yang membuat mereka tinggal31 dan
percaya bahwa janji Man itu pasti terkabul—walaupun tidak ada kepastian tanda.
Tekanan dan penderitaan menghilangkan akal mereka akan adanya kehendak
bebas yang dimiliki oleh manusia, seperti yang diusung dalam semangat
eksistensialisme. Janji Man—sebagai satu-satunya harapan di tengah penderitaan—
membentuk suatu pola pada perilaku para tokoh, sama seperti tokoh Bapak atau kelima
tokoh utama masyarakat, sehingga mereka bertindak tidak berdasarkan apa yang
mereka kehendaki. Para tokoh tidak dapat mencari tempat lain yang bebas dari
ancaman para tentara bersepatu lars karena mereka terikat oleh janji Man. Belenggu
yang mengikat para tokoh ini adalah munculnya rasa keraguan, kecemasan, dan
ketakutan, tetapi mereka tidak—atau berkehendak—untuk mengatasinya, seperti yang
ditunjukkan oleh tokoh Saman berikut ini.
Saman: Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh!
Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu
kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan
jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan
banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah
longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi
aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera
langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh
hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan
sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon
kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu,
Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat
keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)
Perasaan semacam itu tidak hanya ditunjukkan oleh tokoh Saman, pada analisis
struktural karya drama, tokoh Maman dan Lukman pun dikemukakan mengalami hal
serupa. Sementara itu, pada dua naskah drama lainnya, para tokoh memang tidak
diperlihatkan melakukan soliloqui, seperti yang banyak ditemui pada naskah drama
“Ruang Tunggu Terakhir”. Adegan semacam ini ditunjukkan melalui interaksi kelima
31 Keadaan ini seperti yang diungkapkan oleh Gunter Grass bahwa “melankoli dan utopia adalah dua sisi
dari gobang yang sama? Harapan tentang hidup yang sempurna justru hanya hadir dalam kesedihan, dan
selalu ada yang sayu dalam tiap harapan bahwa yang mustahil akan datang.” (diambil dari buku Kata,
Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001). Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
124
Universitas Indonesia
tokoh masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) satu sama lain atau interaksi tokoh
Bapak dengan Dokter Ivan. Memunculkan perasaan dan pemikiran para tokoh dengan
cara yang dilakukan dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, memang terasa
lebih tajam dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, dalam penempatan yang tepat,
interaksi juga dapat memunculkan perasaan tersebut.
Konsistensi tokoh Bapak dalam mencecar Dokter Ivan dengan pertanyaan
seputar dirinya, sebenarnya adalah wujud dari pencarian identitas diri. Walaupun
pertanyaan dan reaksi tokoh Bapak seringkali sulit untuk diterangkan dengan logika,
tetapi bentuk kecemasan tersebut adalah pergolakan dirinya dengan keadaan yang ia
hadapi. Kondisi Bapak mengacu pada tiga konsentrasi utama dalam eksistensialisme
yang dikemukan oleh Sartre. Pertanyaan seputar ‘siapa dirinya?’ dan ‘apa tujuan dari
dirinya ada?’ mengarahkan tokoh Bapak menuju identifikasi diri secara individual
yang lepas dari perannya dalam ruang tersebut.
Tokoh Bapak dengan pertanyaan dan tokoh Dokter Ivan dengan reaksinya,
mungkin adalah sebuah perwujudan dari yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad
(2001: 1135) sebagai sebuah rekasi kekuasaan yang tak menginginkan manusia
mandiri. Bentuk superioritas itu, dikatakannya, takut akan segala daya yang diciptakan
pada kehidupan. Tokoh Bapak ini, seperti juga orang-orang di dalam ruang sidang yang
menunggu putusan hakim tentang kasus ‘Tempo’, ingin mendengar pertanyaannya
dijawab. Pertanyaan tokoh Bapak adalah hasil dari tekanan yang selama ini mencoba
membungkamnya. Seperti juga tokoh Bapak, dalam banyak peristiwa di masa Orde
Baru, masyarakat yang bertanya dibungkam. Tentang segala aturan yang
menyamaratakan keberadaan mereka dan menekan kebebasan, mereka—mahasiswa,
jurnalis, sastrawan, dan seniman—bertanya-tanya tentang arti dari semua itu. Dan
ketika putusan MA 32tentang majalah ‘Tempo’ yang dibredel keluar, mereka tidak lagi
peduli dengan hasilnya karena tahu bahwa belenggu itu belum dapat dibebaskan karena
memang tidak mau dilepaskan oleh sang pembelenggu.
32 Tempo dibredel pada tanggal 21 Juni 1994 dan keputusan tentang kasus tersebut keluar pada tanggal
16 Juni 1996. Sidang tersebut dipimpin oleh Soerjono di ruang Mochtar Kusumaatmadja, di Gedung
Mahkamah Agung. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001)
Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
125
Universitas Indonesia
Beberapa eksistensialis menggunakan rujukan kata Tuhan sebagai bentuk
belenggu yang paling absolut. Dalam drama “Ruang Kehormatan”, jenis
eksistensialisme yang ditunjukkan lebih mengarah pada jenis yang tidak mengakui
adanya Ketuhanan. Dengan munculnya Dokter Ivan sebagai wujud ‘tuhan’ dalam dunia
tersebut maka keinginan Bapak untuk bebas dari peran yang terberi itu sulit dicapai.
Adanya Tuhan, dalam pandangan kaum eksistensialis yang bersifat atheis, berarti
manusia selamanya harus berlaku sebagai tawanan33 yang bertindak sesuai dengan
perintahNya.
Konsep Tuhan sebagai belenggu dalam hidup manusia, juga muncul dalam
naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir. Pada awalnya, penulis melihat bahwa naskah
drama ini lebih condong berbicara tentang eksistensialisme yang bersifat theis. Hal ini
disebabkan oleh munculnya tokoh Man yang dicurigai serupa dengan gambaran Yesus,
Tuhan dalam wujud manusia (dalam bahasa Inggris, ‘man’ berarti manusia)34. Karena
kehadiran Tuhan itu, ketiga tokoh utama dapat terbebas dari kiamat dan menjalani
hidup baru di tanah yang dijanjikan.
Penghayatan ketiganya terhadap janji Man ini seolah mendengungkan ujaran
Kierkegaard (Hassan 1989: 33) mengenai “kedekatan pada Tuhan sebagai penghayatan
eksistensial karena Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif”. Namun,
ketika ditemukan bahwa kabar kematian Man justru mendorong mereka untuk
menentukan sendiri nasibnya—pergi dan mencari sendiri tanah yang baru—
membukakan kemungkinan sisi lain untuk melihat eksistensialisme dalam karya
tersebut. Dalam karya ini pun, eksistensialisme yang dibicarakan menggugat peran
Tuhan (atheis) dalam kehidupan manusia. Dengan kematian Tuhan (Man), telah
membuat manusia (Saman, Maman, dan Lukman) dapat menentukan sendiri caranya
untuk hidup. Oleh sebab itulah, pada akhirnya yang ditemukan dalam analisis
33 “prisoners they are to me, and marked men. He whom they call Redeemer has put them in fetters; in
fetters of false values and delusive words.” (Nietzsche dalam buku Berkenalan dengan Eksistensialisme
(1989), Fuad Hassan. 34 “But it is in the New Testament, in the life and work of Jesus, that we find the distinctively Christian
(rather than Jewish) idea of salvation. The central claim is that God was uniquely present in the particular
human being Jesus, and that God uses his life (…)” (Chritianity: God’s Salvation, Leslie Stevenson
(1987) Seven Theories of Human Nature)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
126
Universitas Indonesia
struktural, dua naskah lainnya tidak dapat menyatakan bahwa tokohnya telah bebas
karena tokoh ‘tuhan’ dalam dunia tersebut masih ada.
Satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh para tokoh untuk dapat
menemukan identitas diri yang sejati adalah dengan melakukan pilihan berdasarkan
kehendak bebasnya. Dengan melakukan pilihan, mereka telah membebaskan dirinya
dari proses penyamarataan (Hassan 2989: 35) yang telah menghilangkan identitas
individu sejati35. Proses penyamarataan tersebutlah yang telah menempatkan asal usul
kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” tidak menunjukkan
perbedaan ciri apapun (“Tidak ada keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol” lihat
bagian 2.1.2: 19-20). Tokoh-tokoh ini hanya dilihat sebagai bagian dari sebuah sistem
penelitian, seperti yang disampaikan pada awal pembicaraan bagian ini, sehingga tidak
diperlukan adanya mutu kualitatif perseorangan.
Dalam analisis (lihat bagian 2.1.2: 27-31) yang menunjukkan proses antara
klimaks dan peleraian, diperlihatkan bahwa para tokoh akhirnya memutuskan untuk
memilih keluar dari zona nyaman dalam kehiduapan di ruangan tersebut. Tokoh Bapak
diperlihatkan menuntut haknya untuk bebas dari ruangan tersebut. Kelima tokoh
masyarakat, yang diwakili oleh tokoh Pak Marman, angkat bicara atas keadaannya
selama ini. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman, akhirnya memutuskan untuk pergi
dari ruangan penantian mereka. Namun, dari ketiga naskah drama yang ada, hanya
dalam drama “Ruang Tunggu Terakhir”, tokoh-tokohnya dapat menjalani keputusan
yang diambilnya. Hal ini berkaitan dengan keterangan sebelumnya bahwa kematian
tokoh Man adalah pembebasan bagi para tokoh, sedangkan dalam dua drama lainnya,
para tokoh masih terikat di bawah kendali ‘tuhan’ mereka. Walaupun dapat dikatakan,
tokoh Saman, Maman, dan Lukman telah berhasil memilih kebebasannya, tetapi tidak
dijelaskan lebih lanjut mengenai sikap mereka atas kebebasan mereka tersebut. Apakah
tindakan mereka selanjutnya masih didasarkan pada tujuan mencapai tanah yang
35 Sartre dan Kierkegaard sama-sama mengemukakan bahwa pilihan adalah sebuah cara yang haru
ditempuh untuk menjalani penghayatan yang subyektif sehingga individualitas, kualitas perseorangan
dan ketunggalan pribadi dapat muncul (Fuad Hassan 1989: 34-35). Sartre menambahkan bahwa pilihan
tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan pengalamannya di masa lampau. Piilhan tersebut tidak
bersifat historis, tetapi momentum (Leslie Stevenson (1987: 95)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
127
Universitas Indonesia
dijanjikan? Jawaban itu tidak diberikan di dalam naskah drama. Ketiga naskah drama,
seperti yang disampaikan dalam bagian analisis, memberikan akhir sebagai awal yang
baru bagi para tokoh.
Uraian masalah dalam karya relasi manusia dengan dirinya sendiri—dilihat dari
sudut pandang eksistensialisme—belum menemukan titik terang, disebabkan oleh
adanya hubungan yang lebih luas dengan keadaan berbangsa (drama relasi manusia
dengan kekuasaan) serta jenis kekerabatan (drama relasi manusia dengan masyarakat),
dalam menentukan gambaran manusia secara menyeluruh. Hal yang ditemukan dalam
karya-karya ini merupakan titik tolak untuk melihat persoalan yang memiliki ruang
lingkup lebih luas (kekuasaan dan masyarakat) sebab relasi dalam karya ini merupakan
bagian inti dari manusia.
3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam Drama dan Realitas Sosial
Persoalaan kebangsaan yang muncul dalam naskah drama “Pesta Sampah”,
“Parlemen WC”, dan “Paralel ‘45”, merupakan hasil dari penelusuran relasi manusia
dengan konsep kekuasaan. Bagi para tokoh, kekuasaan merupakan sebuah konsep yang
maknanya telah dikorupsi oleh individu-individu yang tidak bertanggung jawab.
Kekuasaan dalam naskah drama ini dibedakan dari kepemimpinan. Tokoh atau simbol
yang berkuasa tidak menunjukkan adanya kapabilitas untuk mengatur, menjaga,
apalagi memimpin. Permainan kepentingan muncul dalam semua karya drama,
terutama naskah drama “Pesta Sampah”. Dalam bagian analisis struktural, “Pesta
Sampah” telah memperlihatkan bahwa setiap tokohnya memiliki kepentingan pribadi,
mulai dari memenuhi kebutuhan primer hidup sampai memuaskan nafsu. Tokoh seperti
Rombeng dan Polong pun—sahabat seprofesi Pulung—memiliki kepentingan untuk
bebas dari derita kemiskinan maka dari itu mereka meninggalkan Pulung.
Di dalam naskah drama “Parlemen WC”, permainan kepentingan ini sangat
jelas terlihat dalam usaha beberapa tokoh untuk merebut kekuasaan di kampung itu.
Hal tersebut dapat dilihat pada analisis struktural (bagian 2.2.2) yang menunjukkan
tokoh Karjo yang ingin membangun WC demi kepentingannya untuk memperbaiki
keadaan ekonomi keluarga dan tokoh Perempuan 1 yang berambisi membawa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
128
Universitas Indonesia
kepentingan kelompok. Dalam karya ini, kepentingan para tokoh tidak dapat
dikendalikan karena absennya sosok pemimpin yang mengatur kehidupan politik
mereka. Sementara itu, di dalam naskah drama “Paralel ‘45”, kemunculan tokoh
pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya, justru menjadi penyebab dari
kekacauan kehidupan berbangsa di wilayah Timur dan Barat.
Apabila kejadian dalam naskah drama ini dilihat dari ruang dan waktu
penciptaannya—Jakarta, tahun 2000-an—maka proses politik yang terjadi di negara
ini, dapat dipertimbangkan sebagai dasar perumusan masalah utama dalam naskah
drama. Secara umum, ketiga drama ini mempersoalkan kesewenang-wenangan dari
bentuk kekuasaan dalam kaitannya dengan hidup berbangsa. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, hal ini muncul karena tidak adanya sosok pemimpin yang mengatur dan
menjaga keharmonisan hidup berbangsa (Kartodirdjo 1984: vi). Masalah kepentingan
yang muncul, seperti dalam naskah drama “Pesta Sampah” atau “Parlemen WC”,
merupakan indikasi kebobrokan sistem pemerintahan dalam relasi antara pemimpin
dan yang dipimpin.36 Apabila hal ini dijelaskan melalui keadaan sosial politik di
Indonesia maka perlulah diuraikan tentang kebangsaan di masa kini, yaitu masa
transisi37 dari pemerintah Orde baru menuju bentuk pemerintahan anti-Orde Baru.
Pemerintahan anti-Orde Baru ini mengusung semangat demokrasi yang membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi publik dalam pemerintahan38. Munculnya
tokoh seperti Parmin adalah wujud dari sikap positif terhadap gerakan reformasi
pemerintahan tersebut. Pada bagian pemaparan masalah, ditemukan pemikiran dan
sikap Parmin yang menjunjung tinggi kebebasan beraspirasi di dalam WC umum—
36 Sistem sosial kolektif yang dianut oleh bangsa ini melahirkan interaksi antara pemimpin dengan yang
dipimpin. Untuk memolakan perilaku yang sama dalam suatu kaidah berbangsa maka peran pemimpin
diharapkan dapat mempengerahu dan mengarahkan pada tujuan koketif berdasarkan nilai tertentu
(Kartodirdjo (1984) Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial) 37 Diambil dari tulisan Henk Schulte Nordholt “Renegotiating Boundaries: Acces, Agency, and Identity
in Post-Soeharto Indonesia” yang mencatat perkembangan Indonesia setelah krisis moneter dan politik
tahun 1997 dan 1998 yang memasuki fase transisi dari kekuasaan otoriter oleh pemerintah yang absolut
menuju sistem pemerintahan dengan demokrasi yang baru. Proses ini ditandai dengan peningkatan
otonomi daerah dan usaha membuat pemerintahan yang lebih transparan bagi publik. (Bijdragen tot de
Taal--, en Volkenkunde, Vol. 159, No.4 (2003) h.550) 38 “Recently the proces of decentralization in Indonesia has been equated with a proces of
democratization amd the rise of civil society.” (lihat Nordholt 2003: 551)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
129
Universitas Indonesia
yang merupakan simbol kekuasaan pemerintahan kampungnya. Keadaan tokoh Parmin
tersebut merupakan antitesis dari situasi sosial politik yang selama masa Orde Baru
mengalami sentralisasi kekuasaan (Kritik Sosial dalam Masaa Pembangunan 1999”
428). Publik—pada masa itu—tidak memiliki akses untuk berpendapat dalam
keputusan pemerintah. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru tumbang, kebebasan
berpendapat menjadi semacam pemicu semangat.
Namun, proses reformasi dengan segala bentuk kebebasannya, dilihat dengan
perspektif yang negatif, yaitu sebagai bentuk ketidakteraturan. Oleh sebab itu,
muncullah dalam naskah keadaan yang memperlihatkan tokoh-tokoh bersaing bebas
dan tidak sehat, seperti pada bagian perumitan masalah drama “Parlemen WC” atau
keberadaan tokoh Pakdir dalam drama “Pesta Sampah”. Hal tersebut dipicu oleh
eksploitasi manusia terhadap kondisi yang bebas dan—kembali lagi seperti yang
diucapkan sebelumnya—ketiadaan pemimpin yang menjaga keteraturan dari keadaan
yang bebas tersebut.
Dalam naskah drama “Pesta Sampah” dan “Parlemen WC”, ditemukan tokoh
pejabat (lihat bagian 2.2.2: 51-54) yang menyalahgunakan jabatannya demi
kepentingan pribadi. Tokoh pejabat dalam drama “Pesta Sampah”, diperlihatkan
berjudi dengan tokoh Pakdir sambil mempertaruhkan aset negara (lihat h.54-55).
Sementara itu, tokoh pejabat di dalam drama “Parlemen WC”, justru ingin
menghancurkan WC—yang adalah lambang kekuasaan demokrasi—untuk menguasai
kampung tersebut. Dua tindakan yang dilakukan dalam dua drama berbeda ini
merupakan simbol permainan kepentingan yang menyalahgunakan kekuasaan.
Hal ini menunjukkan bahwa warisan dari sistem politik yang didasarkan pada
birokratik otoriterien39—yang banyak terjadi di masa Orde Baru—masih belum dapat
benar-benar dihilangkan. Praktik birokrasi politik yang tertutup ini tidak hanya dibawa
39 “Sebagai suatu sistem politik birokratik otoriterien, demikian menurut apa yang kita pahami dari
mereka dan kita saksikan dari praktik politik Orde Baru selama ini, sistem politik Orde Baru sangat kuat
ditandai oleh konsentrasi kekuasaaan dan keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di (…) tangan
birokrat, kelompok militer dan kelompok wiraswastawan oligopolistik yang bersama-sama dengan
pemerintah bekerjsama dengan masyarakat bisnis internasional” (Nasikun, “Reformasi, Jalan Berliku
Menuju Transisi Demokrasi” di dalam buku Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) h.428-
429)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
130
Universitas Indonesia
oleh pemerintahan Orde Baru, tapi jauh sebelum itu, ditemukan pada masa kolonial.
Pada masa kolonial, pihak penjajah melakukan kerja sama dengan sejumlah tokoh
pribumi untuk menjalankan pemerintahan. Bentuk kerja sama tertutup ini, digunakan
untuk kepentingan kolonialisme di Nusantara sehingga masyarakat saat itu merasakan
penderitaan.
Di masa Orde Baru, praktik politik birokratik-otoriterien melibatkan pihak
militer dan kaum wiraswastawan (elite). Praktik politik tersebut menimbulkan banyak
kasus yang mengganggu kestabilan kehidupan rakyat, misalnya penyalahgunaan akses
dalam pemerintahan, salah satunya, dengan penyalahgunaan dana penyelenggaraan
pemerintah atau korupsi, seperti kasus korupsi Pertamina dan pembangunan Taman
Mini Indonesia Indah. Kasus korupsi Pertamina menyeruak ketika harga bahan bakar
minyak naik. Protes dari rakyat tentang kenaikan harga tersebut menuntun pada fakta
penyelewengan dana di perusahaan milik negara tersebut. 40.
Namun, protes terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan publik,
tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah karena menyangkut kepentingan pihak-pihak elit
dan asing. Hal inilah mungkin yang coba diilustrasikan dalam karya drama “Pesta
Sampah”, yaitu ketika tokoh Pejabat mengadakan kerja sama dengan pihak Pakdir.
Tokoh Pakdir ini dijelaskan dalam bagian analisis struktural sebagai seorang
pengusaha asing (lihat 2.2.2). Ia, dengan modal yang besar, mendapatkan akses dari
tokoh Pejabat untuk membangun industri dan teknologi yang mengubah kota menjadi
‘rimba beton’.
Apabila hal tersebut terus dilaksanakan maka masalah ketidakadilan sosial akan
semakin membesar. Ketidakadilan sosial ini akan mendorong publik semakin jauh dari
rasa percaya terhadap pemerintah, seperti yang dilihat pada perumitan masalah dalam
drama “Paralel ‘45”. Pada bagian analisis struktural, ditemukan bahwa bentuk
pemerintahan wilayah Timur dan Barat adalah demokrasi, dibuktikan dengan
40 Ibnu Sutowo, mantan Direktur Utama PN Pertamina menyangkal adanya tindak korupsi di dalam
Pertamina. Padahal team Pekuneg telah melaporkan adanya manipulasi dengan ekspor minyak mentah,
manipulasi harga, cara pemakaian keuangan oleh Dirut Pertamina tanpa pengawasan, pemesanan kapal
lewat broker Jepang, dan puluhan lagi contoh-contoh salah urus dan penyelewengan. (Dikutip dari harian
Indonesia Raya, 22 April dalam tulisan “Pura-pura Tak Mengerti, Jendral Ibnu?” Tulisan ini diambil
dari Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia (1999) Akhmad Zaini Akbar, h. 54-55.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
131
Universitas Indonesia
diselenggarakannya pemilihan umum. Namun, proses demokrasi di kedua wilayah—
yang dulunya merupakan satu negara—tidak berlangsung dengan baik. Akibat dari
penolakan wilayah Timur terhadap keputusan pemilu, pemimpin yang terpilih
mengasingkan Timur dari wilayah Barat. Ia pun membangun sebuah tembok pembatas
wilayah, yang selanjutnya disebut Paralel ’45.
Peristiwa berdirinya tembok Paralel ‘45 ini, selain dimaksudkan untuk menjaga
wibawa pemimpin negara, juga diharapkan dapat mengalahkan pemberontakan rakyat
yang menolak hasil pemilu. Di satu sisi, drama ini juga menampilkan dialog Pemimpin
Barat yang menunjukkan cita-citanya sebagai seorang kepala negara, “Ahh aku
bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini, padahal aku bisa membuat
mereka jadi lebih sejahtera” (Pemimpin Barat, 2013: 11-12). Dengan mimpinya
tersebut, ia memaksa rakyat tunduk pada otoritasnya.
Pada masa Orde Baru, ada berbagai macam cara pemerintah untuk mengekang
rakyat yang hendak melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Proyek yang
mendapat penolakan dari rakyat disebabkan oleh munculnya dugaan bahwa realisasi
proyek yang memakan banyak uang negara itu hanya untuk kepentingan perseorangan
atau tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dalam skema kritik sosial41 melalui pers selama
tahun 1966-1974 berikut ini.
Tabel 3.1
Kritik Sosial Melalui Pers dan Respon Negara
Tahun 1966-1974 Tema Kritik Reaksi Positif Negara Reaksi Negatif Negara Hasil
Berantas korupsi
(1967-1968)
Pembentukan TP dan
Task Force
Tuduhan Merongrong
Kewibawaan Negara
Tidak Sesuai dengan
Harapan Masyarakat-
penangkapan Korupsi
Kelas Teri.
Berantas Korupsi
(1969-1970)
Pembentukan Komisi 4
dan UU No. 3/1971
tentang PTPK
Tuduhan Merongrong
Kewibawaan Negara
Tidak Ada Hasil Nyata
Memorandum Pansus
DPR
Penangkapan, Penahanan
Mahasiswa dan
interograsi
wartawan/redaktur.
Gagal” Proyek TMII
Jalan terus
41 Tabel ini diambil dari Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999: 59) untuk memberikan
ilustrasi tentang ketidakacuhan pemerintah terhadap protes dari masyarakat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
132
Universitas Indonesia
Reaksi keras dari masyarakat terhadap bentuk kesewenangan-wenangan
pemerintah, memunculkan reaksi balik dari pemerintah yang memukul rakyat hingga
tak berkutik. Tindak mengabaikan sampai pada aksi keras, seperti penculikan atau
pencabutan izin terbit media massa, dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk
menahan intervensi publik dalam penyelenggaran pemerintah. Terjadi beberapa kali
kasus pencabutan surat izin terbit kepada surat kabar atau media massa yang
melakukan aksi ‘pemberotakan’ lewat berita. Salah satu kasus penutupan media massa
yang sempat mengguncangkan publik adalah pada tahun 1974. Tepatnya tanggal 22
Januari, Laksus Pangkopkamtibda mencabut surat izin terbit—dengan disusul
penarikan surat izin keesokan harinya oleh Departemen Penerangan—untuk enam
surat kabar, termasuk di antaranya surat kabar Indonesia Raya42. Beberapa tahun
kemudian, tepatnya 21 Juni 1994, majalah Tempo dibredel. Ketika kasusnya diajukan
ke Mahkamah Agung, pada tanggal 13 Juni 1996, Tempo dinyatakan kalah dalam
proses pengadilan tersebut. Para pendukung, mereka yang bekerja dan rakyat yang
mendukung, merasa marah dan kecewa dengan putusan hakim tersebut. Goenawan
Mohamad (2001: 1135-1136) pun mencatat bahwa hal yang paling tak pantas
sepanjang proses peradilan itu mungkin tertuju pada pola laku jaksa penutut umum,
Singgih, yang menyindir para pendukung Tempo dengan mengganti slogan majalah itu
untuk menanggapi putusan pengadilan, “Enak didengar dan perlu”.
Selain itu, adapula kasus peradilan yang dianggap sebagai sebuah pemaksaan
belaka tanpa unsur kebenaran di baliknya, ketika seorang pesuruh yang bekerja di
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Danang (19 tahun), dijatuhi hukuman penjara
selama 1 tahun 8 bulan.43 Ia dituduh membantu mengedarkan “Forum Wartawan
Independen” yang dianggap telah menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
42 Diambil dari tulisan Alex A. Rachim, “Apakah Ia Akan Ditangkap Begitu Turun di Kemayoran?”.
Alex adalah salah satu orang yang bekerja di harian Indonesia Raya, di bawah kepemimpinan Mochtar
Lubis. (diambil dari buku Mochtar Lubis: Wartawan Jihad (1992) Atmakusumah) 43 Goenawan Mohamad menuliskan kasus tentang Danang, pada tanggal 27 Agustus 1995 di Media
Indonesia. Pengadilan itu disebutnya liar karena mengabaikan pengakuan dari saksi yang membela
Danang. Danang Kukuh W. bekerja di AJI sebagai pengurus harian rumah tangga, bukan pada kegiatan
jurnalistik AJI. Seminggu setelahnya, dibuka kasus pengadilan dua wartawan, Taufik dan Item, yang
berujung pada putusan bersalah. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-
2001 (2001) Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
133
Universitas Indonesia
Majalah tersebut memuat sebuah tulisan tentang saham-saham yang dimiliki Menteri
Penerangan Harmoko di berbagai penerbitan. Tak masuk akal dan sungguh sebagai
sebuah langkap represi belaka, menghukum Danang yang tak memiliki sangkut paut
dengan isi maupun keberadaan tulisan tersebut. Sepekan kemudian, dua wartawan dari
majalah yang sama dijatuhi hukuman penjara selama 32 bulan.
Beberapa golongan orang menganggap bahwa penyaringan pendapat publik
dapat membawa suatu keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
sedikitnya intervensi, pemerintah dapat menyelenggarakan program-program yang
dirasanya baik. Program pembangunan ini bertujuan untuk menyejahterakan dan
mengangkat Indonesia ke mata dunia, tetapi nilai-nilai kebaikan itu sangat subyektif.
Baik bagi golongan tertentu, belum tentu baik bagi golongan yang lain. Seperti pada
drama “Paralel ‘45”, kehadiran tembok tersebut baik bagi kedaulatan pemerintah,
tetapi menyengsarakan rakyat yang diwakili oleh tokoh Marni dan Rasyid.
Namun, baik itu pembredelan surat kabar sampai pendirian tembok Paralel ’45
seperti dalam drama, tindakan yang menghentikan aspirasi rakyat sebenarnya adalah
sebuah tindakan yang takut terhadap daya kehidupan (Goenawan Mohamad 2001:
1135). Penguasa tahu bahwa daya yang lahir dari sebuah keadaan tertekan dapat keluar
dengan kekuatan yang luar biasa. Pertanyaan rakyat atas keadilan adalah sebuah
panggilan yang menakutkan bagi kekuasaan lalim, seperti yang ditunjukkan oleh sikap
tokoh Parmin dalam drama “Parlemen WC”. Kekhusyukannya dalam menghayati tiap
‘ritual buang hajat’ (lihat bagian 2.2.2) sebagai kesempatan menyuarakan aspirasinya,
tidak dapat mentolerir bentuk gangguan apa pun terhadap kegiatannya tersebut. Ia
bahkan sampai terlibat adu mulut dengan tokoh Orang 1, 2, dan 3. Dalam bagian
pemaparan masalah diperlihatkan tokoh Parmin dan teman-temannya berebut untuk
menyalurkan aspirasi di dalam WC tersebut. Dan kemarahan tokoh Parmin ketika
tokoh Pejabat datang hendak menghancurkan WC tersebut, menandakan bahwa
penyaluran aspirasi adalah salah satu dari hakikat hidup masyarakat sebagai bagian dari
pemerintahan.
Alasan pemersatu bagi bangsa yang terdiri atas berbagai macam etnis adalah
kesamaan pengalaman dan tekad untuk bersatu padu menuju sebuah keadaan yang baik
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
134
Universitas Indonesia
(Suseno 2003: 48). Hal tersebut menempatkan kepentingan masyarakat kolektif
sebagai suatu syarat utama untuk mengadakan pembangunan. Apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka akan muncul ketidakadilan sosial. Menurut Franz-Magnis
Suseno,44 situasi yang merugikan kepentingan publik—dengan membungkam,
membunuh, dan menyingkirkan rakyat dari program-program utama pemerintah—
dapat mengancam rasa kebangsaaan masyarakat pluralis ini.
Oleh sebab itu, ketika reformasi tiba dan Orde Baru berlalu, jaminan atas hak
asasi manusia, keadilan sosial, dan solidaritas masyarakat sebagai suatu kesatuan
adalah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah. Masa kelam selama Orde Baru
berkuasa, mau tak mau harus diakui telah menimbulkan dorongan bagi orang-orang
untuk memisahkan dirinya dari negara yang telah mengorbankan kepentingannya.
Sikap primordialisme ini akan membuat kesatuan sebagai bangsa terancam. Tidak
heran, jika pascareformasi, muncul banyak gerakan separatisme atau radikal yang
memisahkan diri dan kelompoknya dari masyarakat lain.
Kekhawatiran akan adanya perpecahan itulah yang ditangkap oleh “Paralel
‘45”. Dalam drama “Parlemen WC”, yang lebih ditunjukkan adalah keadaan masa
transisi--setelah Orde Baru tumbang—tentang kebebasan publik yang harus tetap
diatur sedemikian rupa agar primordialisme dapat dicegah. Dalam karya tersebut,
tokoh Perempuan 1 telah menunjukkan adanya usaha-usaha untuk membawa
kepentingan kelompoknya sebagai motif untuk menguasai kampung. Apabila
kepentingan tokoh 1 atau tokoh Pejabat terpenuhi maka makin dekatlah kampung
tersebut pada kehancuran. Pada bagian analisis peleraian masalah, kehancuran bentuk
kekuasaan, menyebabkan rakyat saling serang. Kekacauan terjadi sehingga
menghancurkan kampung tersebut.
Temuan masalah pada karya-karya drama ini mengarah pada situasi perpecahan
dan kekacauan yang terjadi di antara masyarakat. Banyak dari peristiwa di dalam
naskah yang menunjukkan bahwa kekuasan perlu dibenahi untuk menyejahterakan
44 Ia adalah guru besar Filsafat Sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakora, Jakarta dan dosen luar biasa
di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan ini diambil dari esai “Mencari Makna
Kebangsaan” yang ditulis pada tahun 1994 untuk sebuah harian (dari buku Mencari Makna Kebangsaan
(1998: 48) Frans Magnis-Suseno).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
135
Universitas Indonesia
kehidupan masyarakatnya. Namun, di dalam naskah tuntutan tersebut tidak juga
terwujud hingga akhir drama berlangsung. Oleh sebab itu, akhir dari drama-drama ini
berbicara tentang kehancuran (“Parlemen WC”), kematian (“Paralel ’45), dan
keterasingan (“Pesta Sampah”). Pertanyaannya, apakah hal tersebut menandakan
bahwa impian tentang kehidupan demokratis yang menyejahterakan rakyat memang
tidak terwujud atau belum terwujud?
Keadaan pada naskah drama ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekuasaan
masa Orde Baru memang begitu kuat mengakar bahkan hingga kini.45 Masalah yang
dihadapi oleh pemerintah masa kini adalah mengatasi masalah yang sifatnya serba
struktural. Oleh sebab itu, pemerintah masih terus mencoba mencari bentuk dari
kekuasaan yang paling ideal untuk menyembuhkan keadaan bangsa pasca-Orde Baru.
Ketika dulu Bung Karno menyuarakan tentang semangat nasionalisme, itu baik.
Namun, pada masa sesudahnya, kegemerlapan nasionalisme itu tak lagi dianggap
sesuai untuk menjawab perkembangan zaman yang datang. Sama halnya dengan
sekarang, ketakutan bahwa demokrasi telah membawa bentuk kehancuran yang baru,
dirasakan dalam konflik-konflik dalam drama “Parlemen WC” dan “Paralel ‘45”.
Keadaan yang diuraikan dalam bagian pemaparan masalah menunjukkan bahwa sistem
demokrasi yang menjamin partisipasi dari semua golongan dapat disertakan dalam
penyelenggaran pemerintahan, justru menimbulkan kekacauan.
Rakyat di Timur, dalam drama “Paralel ‘45” mengamuk ketika Pemimpin
Barat telah diputuskan sebagai pemimpin negara baru lewat pemungutan suara.
Pemungutan suara atau pemilihan umum seperti yang dirayakan bangsa ini sebagai
sebuah pesta demokrasi terbesar, diceritakan dalam drama tersebut, justru menjadi
senjata yang memecahbelah negara menjadi wilayah Timur dan Barat. Pada taraf
tersebut, pihak mana yang benar dan yang salah sudah tak lagi menjadi penting, sebab
dampaknya lebih besar dari proses demokrasi itu sendiri, yaitu persatuan sebagai
45 Bentuk pemerintahan yang dipusatkan pada satu titik menjadi ciri pemerintahan pada masa Orde Baru.
Hal ini mendapat pengaruh dari sistem kekuasaan kolonial selama berada di Indonesia. Oleh sebab itu,
negara tidak hanya berkewenangan untuk mengurusi perihal faktor pendukung pemerintah, tetapi juga
mengintervensi kehidupan masyarakatnya. (lihat Henk Schulte Nordholt (2003) “Renegotiating
boundaries: Access, agency and identity in post-Soeharto Indonesia”)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
136
Universitas Indonesia
sebuah negara. Sama halnya dengan di Indonesia, pada tahun 1999, ketika pemilu
pertama digelar setelah tiga dekade berada dalam pemilu rekayasa Orde Baru, rakyat
datang berduyun-duyun ke tempat pemilihan. Antusiasme mereka untuk ikut
merayakan proses demokrasi yang adil telah memicu tumbuhnya kepedulian untuk
menentukan nasib bangsa. Hal ini yang disebut oleh Goenawan Mohamad (2001: 1405)
sebagai pemulihan modal sosial.
Sebelumnya, rakyat telah dibuat tak simpati dengan segala hal yang berbau
pemerintahan. Bukan karena ketidakpedulian mereka pada bangsa ini, tetapi karena
penyingkiran yang dilakukan oleh politik elit zaman Orde Baru, telah berhasil
membuat mereka tak lagi merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Apatur negara yang
harusnya bertugas untuk melayani dan melindungi publik, dianggap lebih
mementingkan urusan pribadinya. Kerusuhan Mei 1998, menjadi titik balik yang
paling mengenaskan dari kehancuran modal sosial di tanah air. Goenawan Mohamad
(2001: 1404) mencatat bahwa untuk sebuah jaminan dan perlindungan keamanan,
rakyat harus membayar mahal kepada negara. Padahal mereka membayar pajak dan
telah melakukan bagiannya untuk mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah.
Tak ketinggalan pula, kemunculan individu maupun kelompok yang merasa
dirinya mampu untuk memikul beban sebagai kepala negara, kepala daerah, atau para
legislatif yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Timbul partai-partai baru yang
meramaikan pemilihan umum tersebut, setelah sebelumnya bursa pemilihan dikuasai
oleh satu partai milik Orde Baru.46 Dengan kebebasan yang diberikan, kelompok
maupun perseorangan maju dengan membawa pemikiran dan visi-misinya yang
bertujuan untuk mengembalikan harapan rakyat terhadap bangsa ini. Kemunculan
partai-partai dengan sifat dan pandangan politik yang bervariasi menunjukkan adanya
kemajuan dalam proses demokrasi di negara ini, seperti yang dilihat pada tabel berikut
ini.
46 Pemerintahan Habibie dianggap telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar pertama
pasca-Orde Baru. Pemilu pertama yang diadakan secara adil (lihat Greg Barton (2008) “Indonesia’s Year
of Living Normally: Taking the Long View of Indonesia’s Progress”)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
137
Universitas Indonesia
Tabel 3.2
Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 200947
Dari data yang ditunjukkan tabel tersebut, terlihat bahwa geliat demokrasi
semakin maju dengan tercatatnya peningkatan partai baru yang muncul. Kebebasan
dalam demokrasi, tidak hanya menjamin kebebasan bersuara, tetapi juga memberikan
kesempatan bagi siapa saja untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.
Termasuk juga, menjadi bagian dari penyelenggara negara, seperti legislatif dan
eksekutif. Hal ini yang nampak dalam drama “Parlemen WC”. Semua orang di
kampung Parmin dapat menjadi pemimpin, asalkan menjamin tempat mengeluarkan
aspirasi—atau WC umum—tetap dapat terjaga kelayakannya. Mereka dapat merebut
kekuasaan yang dipegang oleh orang lain, dengan cara memberikan fasilitas WC yang
lebih baik.
47 Data Komisi Pemilihan Umum, Jakarta (diambil dari makalah Marcus Mietzner (2010) “Indonesia
in 2009: Electoral Contestation and Economic Resilience”
Political Party
2004 2009
votes
(%)
Seats Votes (%)
Seats
PD
7.50 55 20.85 148
Golkar (Functional Groups) 21.58
129 14.45 106
PDIP (Indonesian Democratic
Party of Struggle)
18.53
109 14.03 94
PKS (Prosperous Justice Party) 7.34
45 7.88 94
PAN (National Mandate Party) 6.40
53 6.01 45
PPP (United Development Party) 8.15
58 6.01 45
PKB (National Awakening Party) 10.57
52 4.94 28
Gerindra (Great Indonesia
Movement)
- - 4.46 26
Hanura (People’s Conscience
Party)
- - 3.77 18
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
138
Universitas Indonesia
Kekuasaan yang diberikan pada rakyat ini, dalam drama “Parlemen WC”,
berujung pada penyalahgunaan kebebasan. Munculnya tokoh Perempuan 1 dan
Karjo—seperti yang telah disebutkan sebelumnya—menandakan bahwa masih ada
sisa-sisa dari ambisi yang dibawa karena mementingkan dirinya sendiri. Tujuan untuk
memiliki kekuasaan tidak didasarkan pada motivasi yang benar. Hal tersebut,
diumpamakan oleh Goenawan Mohamad (2001: 1398-1399) dengan kemunculan
orang-orang seperti Suta—tokoh yang diceritakan tak pernah lulus SMA—yang demi
pemerataan kekuasaan mendapat bagian menjadi pemimpin. Ia sama sekali tidak tahu
dengan hal-hal yang menyangkut kewajiban barunya, apalagi memiliki visi-misi
membangun bangsa. Hal seperti ini masih banyak dijumpai sekarang, dengan
maraknya para artis atau golongan olaharagawan yang terjun ke bursa pemilihan
legislatif. Mereka yang tidak memiliki kompetensi atau pengalaman, dimasukkan
dalam partai politik untuk meningkatkan suara pemilih. Dengan asumsi, mereka
sebagai public figure, dikenal luas oleh masyarakat dan akan membantu
memenangkann pemilu.
Hal seperti itu tentu memberikan sebuah pemerintahan yang sifatnya jangka
pendek dengan program-program yang tidak terjamin kesuksesannya. Namun, menurut
pengamatan De Tcqueville, itulah hebatnya sebuah sistem yang bernama demokrasi
(Goenawan Mohamad 2001: 1398). Dalam demokrasi, setiap orang tetap berhak untuk
mendapat kesempatan dan kekuatan yang sama. Proses belajar bersama adalah hal yang
dijunjung dalam demokrasi. Namun, sehebat apa pun sebuah ideologi atau sistem, pada
akhirnya kebutuhan zaman akan memberikan jawaban yang paling tepat tentang
relevansi penerapan nilai dari ideologi atau sistem tersebut.
Dalam drama-drama ini, demokrasi telah memberikan kekuatan pada publik
untuk bergerak bersama tanpa adanya kepemimpinan yang kuat. Seperti masalah dalam
drama “Parlemen WC”, semua warga mengamuk dan saling menghancurkan. Atau
pada drama “Pesta Sampah”, tokoh pejabat menyalahgunakan wewenang dan
membuka celah bagi nilai-nilai baru untuk merusak nilai-nilai kemanusiaan, seperti
yang terlihat dalam kutipan analisis struktural berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
139
Universitas Indonesia
Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus
Mempermainkan pejabat…Pulung coba menutup mata
Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan musik Panggil para penghibur
sejati. Kita menuju kota besi
(Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka
berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah.
Kota dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik
syahdu biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur.
Pembunuhan,berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria.
Perampasan, perjudian.Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan
krodit. Ditengah itu semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang
liar memenuhi seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya
hampir pecah.
Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur)
Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset
negara, yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi
tanpa ada pertimbangan yang masak. (…) Pakdir mendapatkan hal yang
diinginkannya. Ia menguasai seluruh isi negeri itu. Manusia-manusia dieksploitasi
dengan lebih lagi. Daerah tersebut sudah menjadi kebun manusia yang seperti
binatang. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama.
(lihat bagian 2.2.2: 55)
Celah yang dibuka oleh tokoh Pejabat pada drama “Pesta Sampah” adalah suatu
bentuk kerja sama dengan pihak asing dalam hal investasi. Investasi menjadi salah satu
tolak ukur kesehatan keadaan ekonomi bangsa. Keadaan ekonomi yang stabil membuat
para investor asing tertarik untuk menanamkan sahamnya di negara ini, seperti yang
terlihat pada peningkatan ekonomi tahun 2008.48 Mietzner (2009) juga mencatat bahwa
angkan penurunan kemiskinan serta pengangguran di tahun 2008 adalah prestasi
terbesar yang dicapai pasca-1998. Ditambah pula dengan keluarnya kebijakan
penurunan harga bahan bakar minyak, bebeapa bulan sebelum Pemilu 2009. Terlepas
dari kebutuhan politik Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu menjabat presiden periode
48 “otherwise have been an extraordinarily successful year for the Indonesian economy. Continuing
several years of strong growth, Indonesia's GDP expanded by a very healthy 6.4 per cent in the second
quarter of 2008. Investment grew 12.8 per cent in comparison to the previous year, with the transport
and communication sectors even recording growth rates of 39.9 per cent and 36.7 per cent, respectively.
Exports were also stronger than in 2007, increasing by 15.5 per cent in the first quarter and 16.1 per cent
in the second. Most importantly, there were clear indications that middle-income earners profited from
the overall expansion of the economy, with motorcycle sales growing by 44 per cent. In the same vein,
domestic car sales increased by around half to almost 300,000, making Indonesia the largest car market
in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in June and July 2008.” (Indonesia in 2008:
Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009: 116) Marcus Mietzner)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
140
Universitas Indonesia
2004/2009), prestasi di bidang ekonomi membuktikan adanya perkembangan yang
baik di tahun-tahun tersebut. Namun, pelaku investasi di negara ini, tidak hanya datang
dari pihak asing. Ada pula koperasi dan badan usaha milik negara (BUMN) yang
seharusnya mampu bersaing dengan para investor asing dalam dunia perekonomian.
Namun, pemerintahan SBY—seperti yang diungkapkan Mietzner (2009)—lebih
terkenal dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak asing,
seperti peningkatan sektor industri.
3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam Drama dan Realitas Sosial
Drama-drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat memiliki
persoalan yang berhubungan erat dengan masalah manusia dengan kekuasaan. Hal ini
disebabkan oleh keberadaan masyarakat sebagai salah satu komponen dalam
kehidupan berbangsa yang diatur oleh pemerintah. Seperti contoh di bagian
sebelumnya, pemerintahan SBY memfokuskan pembangunan ekonomi di sektor
industri. Kebijakan tersebut telah menghasilkan sebuah perubahan besar terhadap
hubung sistem masyarakatnya.
Kebijakan pemerintah SBY di bidang ekonomi industri dianggap mematikan
bidang-bidang lain, seperti pertanian. Akibat dari kebijakan tersebut, harga hasil tani
menurun dan para petani semakin sulit mempertahankan mutu panen mereka. Hal ini
menyebabkan, mereka—masyarakat agraris yang kebanyakan ditemukan di daerah
pinggiran (rural)—berduyun-duyun melakukan urbanisasi sebagai bentuk pertahanan
diri terhadap perubahan zaman. Ketika mereka tiba di kota, mereka tidak menyiapkan
diri untuk menghadapi tata nilai dan kebutuhan yang berbeda sama sekali dengan yang
biasa mereka temukan di desa. Masyarakat kota pun yang sebelumnya telah
menetapkan sejumlah konvensi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang ada,
harus melakukan semacam evaluasi ulang terhadap konvensi tersebut. Tujuan
dilakukannya evaluasi ulang adalah menyiasati kelompok masyarakat urban yang
jumlah begitu besar, untuk dapat hidup harmonis bersama mereka.
Gambaran tersebutlah yang ditemukan dalam ketiga drama tentang relasi
manusia dengan masyarakat. Drama-drama ini, “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
141
Universitas Indonesia
dan “Roman” mencoba mengangkat masalah tentang masyarakat kota yang terdiri atas
beranekaragam suku, bangsa, agama, dan budaya. Pada bagian penelusuran struktural
(lihat 2.3.2), ditemukan sebuah kesamaan yang diangkat oleh ketiga drama ini, yaitu
potret masyarakat kelas menengah bawah yang tinggal di daerah kumuh padat
penduduk, seperti di gang-gang atau rumah kontrakan. Dalam drama “Roman”,
diperlihatkan gambaran masyarakat yang melakukan urbanisasi untuk memperbaiki
nasib di kota. Tokoh utama dalam drama ini, Roman dan Atun, adalah sepasang suami
istri yang baru saja mengalami musibah di kampungnya. Mereka kehilangan rumah dan
tanah mereka karena tidak memiliki surat-surat. Oleh sebab itu, demi menafkahi
kehidupan keluarganya, Roman dan Atun pindah ke kota untuk mencari pekerjaan
(lihat bagian 2.3.2). Namun, kenyataan yang mereka temui di kota, berbanding terbalik
dengan harapan yang mereka bawa. Akhirnya, kehidupan mereka di kota pun tidak
memberikan pencerahan atas masalah ekonomi yang membelit keluarga Roman.
Dalam suatu bagian, mereka digambarkan kesulitan untuk menyambung hidup di kota
sehingga tidak mampu mengirim uang untuk anak mereka di kampung. Jalan satu-
satunya yang dapat mereka tempuh adalah dengan berutang, seperti yang dikutip
berikut ini.
Atun: Kapan kita mau ngirim uang buat anak kita di kampung?
Roman: Ada duit simpanan, enggak?
Atun: Kurang, Sudah dipakai buat belanja.
Roman: saya coba cari pinjaman lagi. Ngurut juga lagi sepi.
Atun: Jangan lama-lama. Memangnya mau pinjam siapa lagi?
Roman: Saya juga bingung mau pinjam sama siapa?
Atun: Coba pinjam sama pak Haji.
Roman: yang lama saja belum dibayar, mosok mau pinjem lagi?
Seandainya rumah kita dulu enggak dibongkar oleh pemiliknya,
hidup kita pasti tidak seperti sekarang… (2009: 10-11)
Keadaan yang dihadapi Roman muncul karena adanya daya tarik ekonomis
yang dimiliki oleh kehidupa kota (Saini K.M 2004: 104). Sebagai sebuah daerah yang
memiliki banyak pusat perbelanjaan, kegemerlapan cahaya yang tak pernah padam,
perkantoran, dan—khususnya Jakarta—sebagai pusat pemerintahan, kota seolah
memberikan janji akan kehidupan yang lebih baik. Menurut Saini K.M. (2004),
marginalisasi terhadap pertanian dengan fokus ekonomi di bidang industri merupakan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
142
Universitas Indonesia
salah satu faktor paling berpengaruh dalam pembentukan paradigma tentang kota.
Orang-orang seperti Roman, Atun, dan Bambang, datang ke kota untuk mencari
penghidupan yang layak bagi diri sendiri atau keluarga mereka di kampung. Namun,
mereka tak menyadari bahwa dengan segala kemajuan ekonomi dan hal lainnya, kota
juga merupakan sebuah tempat yang amat terbatas.
Mereka yang datang ke kota harus bersaing dengan mereka yang sudah lebih
dulu menghuni tempat tersebut. Belum lagi ditambah dengan masalah penyesuaian diri
terhadap kebutuhan hidup di kota, lebih rumit dibandingkan dengan di desa. Hal ini
membuat masyarakat desa yang pindah ke kota berakhir sebagai masyarakat miskin
kota, seperti yang muncul dalam drama “Roman” dan “Lima Pintu”. Persaingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup di kota yang melonjak naik, menimbulkan situasi Bellum
Omni contra Omnes (Perang antar semua melawan semua) dan Homo homini lupus
(Seseorang menjadi serigala bagi yang lain).49
Situasi ‘perang antar semua melawan semua’ dapat ditemukan dalam naskah
drama “Lima Pintu”. Dari judul naskah drama ini, sudah dapat dibayangkan kondisi
para tokoh yang harus berbagi sebuah ruang terbatas untuk digunakan bersama-sama.
Masalah-masalah pun timbul karena keterbatasan ruang yang mereka miliki untuk
menjalani kehidupan. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah ekonomi, rumah
tangga, dan perilaku antartetangga, menimbulkan sebuah tekanan besar dalam
kehidupan di rumah kontrakan tersebut. Situasi ‘perang antar semua melawan semua’
muncul ketika masalah rumah tangga suami istri pintu satu dan tiga, dengan sengaja,
mengikutsertakan anak Ibu Pintu Dua (lihat bagian 2.3.2 bagian perumitan masalah).
Awal masalahnya adalah kecemburuan para istri atas sikap suami mereka yang acuh
tak acuh dengan keluarga. Karena melihat rutinitas para suami yang memperhatikan
Lela tiap ia pergi kerja, para istri pun menyalahkan Lela—walaupun tidak secara
langsung mengatakan hal ini pada Lela—sebagai biang keladi ketidakharmonisan
rumah tangga mereka. Padahal, Lela digambarkan sebagai seorang gadis yang pergi
49 Keadaan ini muncul karena beban demografik yang melampaui batas. Hal ini bahkan menyerang kota
dengan keadaan pemerintahan yang sangat baik sekali pun karena pada dasarnya sifat kota memang
terbatas—baik secara wilayah maupun sumber daya. (diambil dari buku Krisis Identitas (2004) Saini
K.M.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
143
Universitas Indonesia
bekerja di pagi hari dan pulang malah hari karena menjadi tulang punggung
keluarganya.
Sikap para istri yang menyerang Lela, berbalik menjadi perlawanan para suami
yang menyerang para istri dengan tuduhan ‘bergenit-genit’ kepada tukang sayur.
Pertengkaran di antara suami istri pintu satu, berbalik menyerang keluarga Ibu Pintu
Dua dan memaksa Ibu Pintu Dua untuk menyerang balik pasangan tersebut demi
membela anaknya yang tidak bersalah. Adapula sikap para istri yang diam-diam saling
menyerang karena persaingan gengsi, seperti misalnya memamerkan barang mahal
atau Istri Pintu Tiga menyindir Istri Pintu Satu yang belum juga dikaruniai anak. Hal
tersebut menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tidak kondusif. Mereka nampak
akrab, tetapi sebenarnya saling menyimpan rasa curiga. Secara tidak langsung, kondisi
yang tidak kondusif tersebut menghambat produktivitas masyarakat, yang sebenarnya
lebih utama dilakukan untuk memperbaiki taraf hidup mereka.
Kemandekan masyarakat dalam kehidupan sosialnya, ditunjukkan secara lebih
ekstrim pada naskah drama “Te(N)tangga(NG)”. Risti, yang diceritakan baru pindah
ke gang tersebut, harus menghadapi tetangganya yang aneh. Tetangga barunya ini
memiliki kebiasaan untuk bertukar peran pada waktu siang dan malam hari. Pada waktu
siang, tetangganya hidup dengan pekerjaan dan tingkah laku yang normal. Namun,
pada malam hari, mereka berubah menjadi seorang pelacur, preman, anak muda gila,
dan anak muda alay50—kehidupan yang dianggap menyimpang dari standar
masyarakat. Kepribadian ganda yang dimiliki oleh tetangganya ini muncul akibat
adanya tekanan ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk tampil ‘sempurna’
sehingga mereka menanggulangi kekurangan mereka dengan memiliki dua
kepribadian. Walaupun tidak dijelaskan kepribadian mana yang sebenarnya adalah
milik mereka, tetapi dalam drama tersebut, diisyaratkan bahwa yang baik dan sesuai
norma tampil di siang hari dan yang menyimpang dari norma muncul di malam hari.
50 Alay adalah singkatan dari anak layangan. Istilah ini awalnya merujuk pada anak-anak berambut
merah karena terbakar matahari. Namun, mengalami pergeseran makna menjadi sebutan untuk mereka
yang bersifat urban, kampungan, atau norak.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
144
Universitas Indonesia
Sikap atau perilaku masyarakat seperti ini, menurut Saini K.M. (2004: 120)
ditimbulkan dari proses penanaman nilai-nilai yang tercerabut dari akarnya sehingga
perkembangan karakter mereka tidak normal. Adanya pergeseran nilai dari nilai
luhur—seperti kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kesucian—menjadi nilai-nilai
dasar yang mementingkan materi, seperti konsumtif, hedonisme, dan gengsi, telah
membuat masyarakat mampu melakukan hal-hal buruk untuk bertahan hidup. Hal-hal
yang buruk itu dapat berupa tindak kriminal, seperti mencuri, merampok, memalak,
bahkan membunuh, dapat pula berupa tindakan mengasingkan diri dengan kelompok
yang lain.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses dehumanisasi yang terjadi pada
masa Orde Baru—seperti yang telah diuraikan sebelumnya—pada satu generasi di
masa itu. Pendidikan yang mengesampingkan ajaran tentang bahasa, sastra, seni, dan
filsafat, mencetak manusia-manusia yang lebih mementingkan kepentingan individual
daripada menjaga kemasyarakatan yang terdiri atas berbagai macam suku, ras, dan
agama. Sebuah kota merupakan kesatuan yang terdiri atas berbagai macam latar
belakang, tujuan, dan kepentingan yang disatukan dalam sebuah konvensi sosial.
Konvensi inilah yang bertugas menjaga keharmonisan kehdiupan di antara begitu
banyaknya perbedaan.
Konvensi ini pulalah yang bertugas menjaga hubungan antara mayoritas dan
minoritas yang muncul di dalam masyarakat majemuk, seperti di kota. Kelompok
masyarakat mayoritas, umumnya berisi kekuatan yang lebih dominan menguasai suatu
daerah, seperti suku asli setempat atau penganut agama besar. Masalah suku dan agama
adalah salah satu pemicu konflik terbesar di Indonesia, khususnya Jakarta yang
menampung masyarakat dari berbagai macam daerah dan tradisi.
Pada tahun 2012, meletus konflik di Poso dan Lampung karena persoalan
agama. Konflik di Poso ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dan sampai saat ini
keadaan di sana belum dapat dikatakan stabil. Di tahun yang sama, tahun 2012, terjadi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
145
Universitas Indonesia
penyerangan ke beberapa masjid Ahmadiyah di daerah Bandung dan Tasikmalaya.51
Jemaat Ahmadiyah dianggap telah melakukan penyimpangan agama sehingga memicu
kemarahan umat Islam di berbagai tempat. Adapula konflik agama antara umat Islam
dan Kristen di daerah kepulauan Maluku, yang telah dimulai sejak tahun 1999 dan
masih berlanjut hingga kini. Di daerah Kalimantan Tengah, tepatnya di kota Sampit,
pernah terjadi perang etnis yang menelan korban jiwa. Tepatnya pada tanggal 18
Februari 2001, sejumlah penduduk asli Sampit menyerang penduduk pendatang dari
Madura. Puluhan rumah dibakar, puluhan toko dijarah, dan korban jiwa terus
berjatuhan, tercatat ada 20.000 orang Madura yang mengungsi di Kantor Pemerintah
Daerah dan DPRD Kotawaringin Timur.52
Konflik yang mendera beberapa daerah di Indonesia merupakan akumulasi dari
sejumlah konflik yang terjadi di antara masyarakat yang memiliki perbedaan latar
belakang. Misalnya di Jakarta, konflik dimulai dari tawuran antarpelajar sekolah A dan
sekolah B, berkembang menjadi kasus pembunuhan di luar arena tawuran akibat
dendam. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat bahwa para pelajar merupakan
generasi yang dipersiapkan untuk melanjutkan pemerintahan bangsa ini. Hal ini
kembali lagi melihat pada pergeseran nilai dan pendidikan yang telah diubah demi
mendukung kebijakan pemerintah. Dehumanisasi ini menjadi ancaman bagi
masyarakat plural di Indonesia.
Adanya generasi yang mengalami dehumanisasi dapat menyebabkan
masyarakat massal yang berkonotasi buruk. Masyarakat massal ini terbentuk karena
adanya nilai-nilai yang tidak berkembang secara sempurna, misalnya mereka dipaksa
pindah ke kota dan menghadapi tatanan nilai yang sama sekali baru (Saini K.M. 2004:
120-122). Untuk menghadapi proses adaptasi besar-besaran, belum lagi dengan adanya
gegar budaya yang sering terjadi ketika seseorang melakukan perpindahan daerah
tinggal, maka mereka pun menggabungkan diri dengan yang orang-orang yang berbagi
51 Diambil dari artikel “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Bandung” (26 Oktober 2012)
Hadi Suprapto dan Ita Lismawati F. Malau. http://nasional.news.viva.co.id/ Diunduh pada tanggal 16
Juni 2014 52 Diambil dari artikel “20.000 Pengungsi Terkurung di Sampit” (23 Februari 2001) diunduh dari
http://www.library.ohiou.edu/ pada tanggal 16 Juni 2014.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
146
Universitas Indonesia
kesamaan atau mudah diajak untuk ikut masuk dalam kelompok-kelompok radikal dan
semacamnya. Hal inilah kemudian yang membentuk peristiwa tawuran antarsesama
geng motor, tawuran pelajar, serta hooligan yang mengamuk seusai pertandingan atau
konser.
Konvensi sosial yang menentukan pola perilaku masyarakat menjadi suatu hal
penting dalam perkembangan konflik ketiga naskah drama ini. Konvensi ini merupakan
sebuah perjanjian bersama yang dipakai untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam
sebuah lingkungan. Munculnya semacam konvensi ini disebabkan oleh faktor
masyarakat yang bersifat kolektif. Konvensi ini baik, tetapi secara tidak langsung
menekan masyarakat untuk hidup dalam kesamaan-kesamaan. Mereka yang tidak
dapat mengikutinya, secara tidak langsung akan terasing dari pemetaan masyarakat.
Hal tersebut membuat kehidupan satu anggota masyarakat menjadi perhatian dari
anggota yang lain, seperti dalam naskah drama “Roamn”. Konflik bagi Roman muncul
ketika para tetangganya bergunjing atas perubahan Atun. Pergunjingan ini timbul
karena dorongan dari tingkah laku yang Atun yang berbeda. Apabila perubahan drastis
semacam itu terjadi pada tokoh lain, mungkin reaksi dari masyarakat tidak akan
menjadi serumit itu. Dengan mengingat bahwa tokoh Roman buta, perubahan cara
berdandan Atun menjadi keanehan di lingkungan tersebut. Dalam perumitan masalah,
dijelaskan bahwa kecurigaan masyarakat mendorong sikap posesif Roman pada
istrinya. Yang sebenarnya, sikap tersebut lahir dari gosip belaka dan tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Bambang: Ada apa mas? Apa salah saya?
Atun: Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas
Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita.
…………………………………………………………………………
Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas?
Roman hanya diam.
Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah isteri Mas
Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya
memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi
takdir yang harus saya jalani.
Roman: Jadi kamu menyesal?
Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita
akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar.
Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
147
Universitas Indonesia
orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang
tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya
cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah
dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua
saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas
Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah
dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat.
Roman: Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya?
Atun: Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009:
20-22)
Kecurigaan para tetangga yang tidak terbukti sampai pada sikap Roman yang
dianggap Atun tidak beralasan, memicu masalah lain yang selama ini tidak dibicarakan.
Kerelaan Atun untuk menikahi tokoh Roman yang memiliki keterbatasan jadi
mempengaruhi sikapnya sebagai istri. Bahkan lebih jauh lagi, kesulitan ekonomi yang
dialaminya bersama Roman menjadi kesempatan terbuka bagi tokoh Bambang untuk
mengulik kehidupan masa lalu mereka. Hal ini mejadi sebuah rangkaian yang rumit
dalam kehidupan rumah tangga Roman. Namun, bagi para tetangga, mereka hanya
perlu mengomentari perubahan Atun dan tidak peduli pada efek samping yang mereka
buat.
Nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat yang dikatakan Saini K.M. pada
bagian sebelumnya, terutama dalam lingkup masyarakat miskin kota, merupakan
penyebab munculnya konflik yang digambarkan dalam drama-drama ini. Keengganan
masyarakat untuk menyadari bahwa kota atau daerah tempat mereka tinggal
mengalami perubahan, dengan masuknya orang-orang baru yang membawa adat
istiadat masing-masing, menimbulkan sikap hidup bertetangga yang saling menyerang.
Mereka semua menginginkan bentuk ideal dari kebahagiaan, tetapi menolak kenyataan
bahwa kesempurnaan itu tidak mungkin ada (Goenawan Mohamad 2001: 1453).
Akibatnya, mereka tidak mau menyesuaikan diri dan memaksakan pandangan-
pandangan usang untuk digunakan dalam tata masyarakat yang selalu berubah.
Timbullah dari sana konflik yang dialami Roman, kebingungan tokoh Risti, dan
keributan antarsesama penghuni di rumah kontrakan.
Yang paling hebat dari semua konflik yang digambarkan adalah pembunuhan
tokoh Lela yang dilakukan oleh tokoh tukang sayur (lihat bagian 2.3.2). Tokoh yang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
148
Universitas Indonesia
sepanjang alur tidak diceritakan berinteraksi sedikit pun dengan tokoh Lela, hanya dari
dialog Lela saja diketahui bahwa ia sempat menyatakan cinta pada Lela, tiba-tiba
muncul sebagai ‘serigala yang menyerang sesama’.53 Tindakannya tersebut muncul
dari kekecewaan terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan idealnya. Ia
menolak untuk menerima dan menghargai bahwa tidak semua hal dapat berjalan sesuai
dengan harapannya. Tindakan tersebut tidak hanya melahirkan penderitaan bagi
keluarga Lela, tetapi juga menandakan suatu peradaban kota yang hancur karena
ketidaktaatan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup.
Kenyataan bahwa kota, khususnya di Jakarta, telah mengalami beban
demografik yang melampau batas sehingga pengaturan hidup bermasyarakat di
dalamnya tidak lagi kondusif. Dapat dikatakan bahwa pola masyarakat yang timbul
termasuk dalam jenis masyarakat yang tidak menghasilkan dan tidak aman.54 Hal ini
seharusnya dapat diantisipasi dengan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan
kota/daerah untuk melakukan pemerataan penduduk sehingga tidak ada lagi beban
sosial yang terlalu berat dipikul oleh satu daerah. Yang mengenaskan adalah kenyataan
bahwa pemerintah belum juga melakukan tindakan nyata untuk mengatasi beban
demografik dan sosial budaya yang menimpa kota-kota besar.
Pada tahun 2012, Departemen Keuangan melaporkan bahwa tiga departemen
yang tercatat paling banyak melakukan korupsi adalah Departemen Agama,
Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan (Saini K.M. 2004: 78).55 Ketiga
53 Homo homini lupus (seorang menjadi serigala bagi orang lain) adalah situasi yang dikatakan oleh
Saini K.M. muncul dalam kehidupan kota yang tidak lagi manusiawi dengan ambruknya kesadaran
hukum dan peradaban (diambil dari Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.) 54 John S. Nimpoeno (1980) mengklasifikasi persepsi sosial terhadap lingkungannya (Lihat Sapei Rusin,
“Penguatan Organisasi Rakyat: Upaya merebut Hak yang Terampas” (2003). Makalah ini disampaikan
dalam Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29
Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)
55 Penangkapan Mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama,
Ahmad Jauhari, didakwa atas tuduhan tindak korupsi dalam proyek pengadaan kitab suci Al-Quran.
(diambil dari artikel “Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi” (7 Januari 2014) diunduh dari
http://kpk.go.id/ pada tanggal 16 Juni 2014). Pada tahun yang sama, KPK menetapan Mantan Mentri
Agama sebagai tersangka atas tindak korupsi pengadaan barang dan jasa haji pada 2012-2013 di
Kementerian Agama. (diambil dari artikel “KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei
2014) diunduh dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/ pada tanggal 16 Juni 2014)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
149
Universitas Indonesia
departemen yang paling dibutuhkan oleh masyarakat saat ini—khususnya kota—untuk
memulihkan akar masalah dari konflik sosial yang ada.
3.3 Kecenderungan Masalah dalam Drama FTJ Ditinjau dari Keadaan Sosiologis
Benang merah antara keadaan dalam naskah drama dengan kenyataan sosial
yang mempengaruhinya adalah ruang lingkup penciptaan naskah-naskah drama, yaitu
FTJ. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, drama-drama ini diciptakan untuk
mengikuti festival teater yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Naskah-
naskah ini diciptaka pada masa pasca-Orde Baru, yaitu tahun 1999 hingga 2013, tetapi
baru diikutkan pada ajang FTJ mulai dari tahun 2008-2013.
Dari wawancara personal yang penulis lakukan, didapatkan informasi bahwa
hampir semua drama-drama ini diciptakan di Jakarta oleh pengarang yang berdomisili
di kota yang sama. Beberapa yang tidak diketahui tempat penciptaannya disebabkan
oleh kesulitan penulis menemukan pengarang drama tersebut. Dengan melihat bahwa
para pengarang drama-drama ini tinggal dan menghabiskan waktunya di Jakarta maka
ada kemungkinan bahwa drama-drama ini adalah hasil keterpengaruhan pengarang
terhadap kondisi dan peristiwa yang dialami di kota ini.
Hal tersebut berkaitan erat dengan platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’
yang digunakan dalam penyelenggaraan FTJ. Seperti yang telah disinggung pada
bagian pendahuluan, platform ini diharapkan dapat membawa FTJ, tidak hanya sebagai
sebuah perlombaan, tetapi juga salah satu peristiwa budaya. Oleh sebab itu, dengan
melihat waktu dan tempat penciptaan naskah-naskah drama ini, penulis beranggapan
bahwa gagasan pengarang merupakan perwujudan dari platform FTJ tentang lakuan
aku—manusia pada masa kini.
Aku dalam drama diwujdukan melalui para tokoh yang membawa sebuah
persoalan untuk dibicarakan. Sesuai dengan temuan yang dihasilkan pada bagian
analisis struktural, naskah-naskah drama FTJ telah menghasilkan tiga pokok
permasalahan manusia yang menyangkut identitas personal, identitas kebangsaan, dan
pola masyarakat yang ada.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
150
Universitas Indonesia
Dengan menjadikan tiga pokok permasalahan dalam tiap kategori naskah
drama, penulis merangkainya ke dalam sebuah peristiwa besar yang memperlihatkan
keadaan manusia di sebuah masa transisi, dari keadaan yang terbelenggu (sesuai
dengan hasil analisis struktural, pemaparan masalah dalam naskah drama “Gagu
Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”) menuju kebebasan untuk meraih
kehidupan yang bahagia.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, masalah fundamental yang dialami
manusia masa kini—dalam drama-drama FTJ—adalah tentang pencarian identitas.
Menemukan sebuah legitimasi diri mereka di dalam sebuah kelompok masyarakat yang
lebih luas adalah sebuah kegelisahan yang ditangkap dalam drama tentang relasi
manusia dengan dirinya sendiri. Namun, keadaan personal manusia mendapat banyak
pengaruh dari keadaan di luar dirinya, seperti pemerintahan yang memimpinnya dan
sistem masyarakat yang mengelilinginya. Keadaan pemerintahan dan sistem
masyarakat tidak hanya menentukan identitas diri masing-masing, tetapi juga
mendapat pengaruh dari setiap individu yang terlibat di dalamnya. Sehingga dapat
dikatakan, hubungan manusia (sebagai individu) dan lingkungan di luar dirinya
(bangsa dan masyarakat) adalah suatu bentuk hubungan yang saling mempengaruhi.
Dari penelusuran masalah utama dalam tiap drama dengan persoalan sosialnya,
ditemukan penjelasan tentang keadaan manusia pada masa kini. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masalah manusia kini berkaitan dengan warisan sosial-politik
Orde Baru. Kebijakan yang mengatur kehidupan manusia dalam konteks berbangsa
dan bernegara telah membawa pengaruh pada sikap dan pandangan manusia—terutama
manusia kota Jakarta. Walaupun pemerintahan Orde Baru telah berakhir sejak 16 tahun
yang lalu, manusia masa kini masih hidup di bawah bayang-bayang penguasan pada
masa itu. Hal inilah yang menyebabkan masa transisi Indonesia terbilang panjang.
Belum ada suatu bentuk kekuasaan baru yang mampu mengubah kehidupan manusia
masa kini, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Dilihat dari ruang lingkup terjadinya masalah ini maka penulis menyusunnya
ke dalam sebuah skema yang menjelaskan urutan masalah tersebut. Skema masalah-
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
151
Universitas Indonesia
masalah yang timbul mengenai ‘aku’—manusia—masa kini dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Perebutan kekuasaan dengan
motif kepentingan pribadi
Timbul kelompok-
kelompok massa
Jaminan kebebasan
(demokrasi)
Masyarakat tidak percaya
pada pemerintah
Optimisme dunia
ideal Mencari kebebasan
Disintegrasi
mengancam
Mencari pengakuan
Masyarakat saling
menyerang
Pergeseran nilai
Masyarakat miskin
bertambah miskin
Pemerintah sibuk
mempertahankan jabatan,
masyarakat diabaikan
Kebebasan
disalahgunakan Pemerintah gagal
menjawab masalah
KETERANGAN
Lapisan masalah manusia dengan diri sendiri
Lapisan masalah manusia dengan kekuasaan
Lapisan masalah manusia dengan masyarakat
Keadaan yang ditimbulkan dari masalah
manusia pada umumnya
Skema 3.2
Temuan Peristiwa dalam Drama melalui Penelusuran Sosiologis
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
152
Universitas Indonesia
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa awal mula dari masalah yang timbul
dalam drama adalah keinginan para tokoh untuk bebas. Hasil penelusuran struktural
telah memperlihatkan bahwa para tokoh telah hidup dalam sebuah pola, yang tidak
hanya mengatur tingkah laku mereka, tetapi juga menentukan identitas mereka, seperti
yang terjadi pada kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan
tokoh Bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”. Hal tersebut nampak dalam analisis
struktural naskah drama relasi manusia dengan dirinya sendiri, yang menunjukkan
adanya kegelisahan para tokoh menjalani rutinitas harian mereka. Ketika muncul
perubahan di dalam dunia mereka yang terpola, tumbuh harapan tentang kehidupan
yang ideal. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Gelap. Orang-orang muncul dan melangkah ke sudut melingkari tong. Orang-
orang menyalakan api dalam tong. Orang-orang dingin dan luka. Sembunyi.
Ekstase nyanyi menari-nari. Seorang membawa lilin menyala dan menjaganya
Nyala api. Orang-orang melingkar di tong api. Orang-orang di sudut. Nyala lilin,
rokok, mabuk dan kopi cangkir timah. Orang-orang luka sembunyi.
Tiba tembakan dan peringatan. Derap langkah lari dan derap sepatu lars cepat
dan melompat. Sorot senter-senter razia orang-orang pinggiran dan terlantar.
Mereka kocar-kacir menyelamatkan diri. Memburu dan diburu. Api dimatikan
dan gelap. Orang-orang menjauh dan hilang.
………………………………………………………………………………
Langit merah dan bulan purnama.
Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama.
Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana,
gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan
dipinggirkan yang terluka dan sembunyi.
Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit.
Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi.
Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang
dijanjikan.
Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini.
Semoga ! (2008: 34)
Menurut pengamatan penulis, para tokoh yang berada di fase menyambut
datangnya kebebasan dalam hidup mereka adalah sebuah rasa yang dihadirkan oleh
pengarang dalam menyusun peristiwa bangsa ini pascareformasi. Para pengarang, yang
berhasil diwawancarai, pernah merasakan hidup di bawah kekuasaan Orde Baru.
Mereka melihat dan mengalami masa-masa kebebasan sebagai individu dipenjarakan
di balik kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, menuntut
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
153
Universitas Indonesia
adanya kestabilan demi terwujudnya rencana pembangunan nasional. Kebebasan
individu dianggap sebagai sebuah celah yang dapat menggagalkan usaha tersebut. Oleh
sebab itu, muncullah berbagai peraturan dan hukum yang dibuat secara sepihak, seperti
pembatasan jumlah anak dan tugas perempuan dalam rumah tangga yang diatur dalam
Undang-Undang (Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan 1999: xiv). Masyarakat
dilepaskan dari partisipasi penyelenggaraan negara. Padahal masa Orde Baru
menjunjung tinggi ideologi Pancasila, yang di dalamnya berbicara tentang musyawarah
dan keadilan sosial. Secara tidak langsung, pemerintah Orde Baru telah menyimpang
dari ideologi yang ditanamkannya dengan melakukan praktik politik tertutup.
Kebebasan rakyat direnggut dengan cara-cara yang seolah menghargai adanya
kebebasan tersebut, seperti muncul istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ serta
‘stabilitas yang dinamis’.56 Hal ini dibuat untuk memberi batasan-batasan terhadap
kehendak rakyat melalui cara-cara yang seolah menertibkan kehidupan. Akan tetapi,
dalam masyarakat majemuk seperti yang ada di Indonesia, pemaksaan manusia untuk
menjadi seragam adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial. Salah satu yang
ketidakadilan sosial yang jelas terlihat pada masa Orde Baru adalah sikap pemerintah
dalam mengatur kebebasan berpendapat. Sejumlah media mengalami pencabutan izin
terbit karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah lewat tulisan-
tulisan yang bernada mengkritik atau memprotes. Kasus pembredelan media cetak—
seperti yang telah disebutkan sebelumnya—terjadi pada tahun 1974, enam surat
dihentikan secara paksa, dan tahun 1994 yang membawa majalah Tempo masuk ke
pengadilan.
Dalam pengadilan itu pun, tuduhan ‘menyebarkan kebencian’ atau tindak
subversif diputuskan secara tidak adil. Tuntutan seperti itu, ‘Haartzai Artikelen’
seharusnya ditempuh dengan pembuktian yang nyata bahwa pemerintah memang
mendapat pengaruh buruk dari pemberitaan atau pendapat-pendapat yang dikeluarkan
(Goenawan Mohamad 2001: 1130). Dalam beberapa sidang yang mengadili kasus
tentang tindakan penyebaran kebencian atau tindak penyerangan terhadap pemerintah
56 Diambil dari “Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) Moh. Mahfud MD, Edy Suandi H,
Suparman Marzuki & Eko Prasetyo.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
154
Universitas Indonesia
melalui berita, seperti Tempo, tidak melaksanaan penyelidikan yang lebih lanjut
tentang bukti-bukti yang ada. Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang menyimpang
dari istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ yang dikeluarkan oleh Soeharto. Kebebasan
pada masa itu haruslah sesuai dengan hal yang diinginkan oleh pemerintah.
Setelah mereka akhirnya lepas dari belenggu dunia yang lama, mereka pun
menjadi manusia baru yang memiliki kebebasan dalam bertindak. Mereka, sebagai
individu yang berasal dari bermacam-macam golongan, dipersatukan oleh semangat
untuk bersama-sama menemukan tanah baru yang menjadi simbol atas harapan untuk
hidup lebih baik (dapat dilihat naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”). Janji utopis
ini, selain menjadi perekat di antara mereka, juga menjadi dorongan kuat yang
membuat mereka terus berusaha mewujudkan impian tersebut.
Sebagai individu, mereka harus memimpin dirinya sendiri dalam memutuskan
pilihan. Akan tetapi, sebagai sebuah kelompok yang telah dipersatukan oleh tekad dan
tujuan yang sama, mereka membutuhkan sosok pemimpin dengan visi dan misi yang
sama. Kehadiran pemimpin ini berfungsi untuk mengarahkan langkah mereka dan
mengatur kebebasan yang telah menjadi hak perseorangan. Mengenai kebebasan untuk
berpartisipasi dalam jalannya suatu kepemimpinan, diperlihatkan dalam pemparan
masalah drama “Parlemen WC” yang diwujudkan ke dalam bentuk monolog tokoh
Parmin. Pada bagian analisis struktural, hal tersebut disampaikan sebagai wujud
deklarasi kebebasan yang dijunjung oleh pemimpin maupun mereka yang dipimpin,
seperti dikutip dalam bagian ini.
Parmin: (mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat
lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita
semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya.
Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding
untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang
bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa
dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan)
mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasa-
rasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau
orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat,
perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi
pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat
diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
155
Universitas Indonesia
perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke
arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)
Hal yang paling dominan dibicarakan dalam drama-drama ini adalah persoalan
kebebasan yang didapat setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Baik secara tersurat
maupun tersirat, harapan tentang kebebasan yang sempurna didengungkan terus-
menerus sehingga menjadi sihir di dalam drama. Melalui adegan Parmin dan Orang 1,
2, dan 3 yang dengan antusias memperdebatkan arti kebebasan dalam sebuah
pemerintahan, menunjukkan bahwa belenggu yang dititipkan oleh Orde Baru kepada
bangsa ini telah menjadi cerita horor yang harus dihilangkan dengan semangat
demokrasi. Demokrasi yang menjamin adanya kebebasan yang adil bagi setiap orang
adalah dasar dari keberanian masyarakat untuk melawan Orde Baru (Nordholt 2003:
550).
Harapan yang disampaikan tokoh Parmin dalam monolognya adalah tindak
lanjut dari kebebasan yang telah diraih. Ketika bangsa ini keluar dari sebuah kotak
pemerintahan Orde Baru, mereka mengalami masa transisi. Masa ini digunakan untuk
merehabilitasi kerusakan yang timbul dari pemerintahan sebelumnya, dari segi politik,
sosial, ekonomi, dan unsur-unsur pemerintahan lainnya. Seperti yang disebutkan dalam
bagian 3.2 bahwa salah satu upaya untuk membenahi kerusakan yang ditinggalkan oleh
Orde Baru adalah dengan mengadakan pesta demokrasi terbesar, pemilu, secara adil
dan jujur. Pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang, menetapkan Abdurrahman
Wahid sebagai presiden terpilih (Philip J. Vermonet 2014).
Dari pemerintahan Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono, saat ini, belum
ada satu pun yang dianggap mampu mencanangkan bentuk pemerintahan yang kuat
bagi masyarakat. Pada satu titik, kekewaan masyarakat terhadap ketiadaan perubahan
yang konkret atas gerakan reformasi menimbulkan eksploitasi terhadap kebebasan.
Kebebasan tersebut dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri
sendiri dari keadaan yang semakin sulit. Padahal, fungsi dari kebebasan tersebut adalah
menjamin adanya perwujudan keadilan bagi semua untuk mencapai tanah yang baru.
Dengan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakadilan masih terjadi, timbullah
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
156
Universitas Indonesia
keraguan pada sosok pemimpin, seperti yang diperlihatkan dalam naskah drama
“Paralel ‘45”. Rakyat Timur, yang dikatakan dalam bagian analisis struktural, menolak
adanya putusan pemilu tentang pemilihan Pemimpin Barat. Aksi protes tersebut
memang menjadi hak dari masyarakat. Namun, tokoh pemimpin merasa berhak pula
untuk menggunakan kekuasaannya dalam menertibkan tingkah pola para tokoh yang
memberontak. Oleh sebab itu, Pemimpin Barat mendirikan tembok Paralel ’45 untuk
menjaga kestabilan pemerintahan yang dipimpinnya. Namun, kebijakan yang
dirasanya baik ini, ternyata telah melukai nilai-nilai kemanusiaan.
Tokoh lain yang merasa haknya dirampas, menunjukkan reaksi keras. Reaksi
tersebut berupa aksi militan (seperti protes dan penghancuran lambang kekuasaan
sepertid dalam drama “Paralel ‘45” dan “Parlemen WC”, lihat bagian 2.2.2) atau
perebutan kekuasaan. Kekuasaan seolah telah menjadi sihir bagi para tokoh untuk
mengendalikan hidup mereka. Hal ini ditemukan pada tokoh Karjo dan Perempuan 1
dalam naskah drama “Parlemen WC”, yang berusaha merebut kekuasaan dengan motif
memenuhi kepentingan pribadinya. Adapula tokoh Pejabat--yang diperlihatkan dalam
drama “Pesta Sampah”—yang menjual aset dan kekayaan negara pada pengusaha asing
demi keuntungan pribadi. Adapula tokoh Pejabat dalam drama “Parlemen WC” yang
datang bukan untuk mengurus kekacauan sistem demokrasi di kampung Parmin, tetapi
untuk melihat kesempatan mereka menguasai kampung tersebut. Hal ini semakin
menyulut api di antara tokoh yang dipimpin dan tokoh yang memimpin.
Bagian inilah yang—dalam skema di atas—merupakan hasil dari
penyalahgunaan. Kebebasan yang muncul dalam drama, lebih tepat disebut sebagai
kekacauan sebab tidak lagi terarah pada tujuan awal yang mulia. Dalam sebuah seminar
pada tahun 2002 di Den Haag, Ben Mboi57 membandingkan masa transisi Indonesia
dengan tenggelamnya kapal Titanic yaitu Titanci sudah tenggelam dan Indonesia masih
terus tenggelam. Artinya, Titanic sudah mencapai titik akhir dari perubahan yang
dialaminya, sedangkan Indonesia masih terus bergerak menuju titik tersebut, tetapi
pergerakan itu menuju ke bawah. Indonesia masa kini masih berada di antara masa lalu
57 Mantan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengisi seminar Clingendael, pada bulan Juni
2002, di Den Haag. (lihat Henk Schulte Nordholt 2003: 551)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
157
Universitas Indonesia
dan masa depan yang semakin tak jelas arahnya karena keadaan pemerintahan yang
semakin kacau.
Dalam drama, kekacauan transisi Indonesia menuju negara yang maju,
diperlihatkan melalui sikap pemimpin yang tidak lagi mengatur dan mempedulikan
mereka yang dipimpin, tetapi sibuk mempertahankan wibabawanya (lihat skema 3.2).
Yang dipimpin tidak lagi peduli dengan keputusan pemimpin, sebab mereka hanya
melihat kekuasaan yang telah merugikan kehidupan. Sementara itu, para tokoh sebagai
individu semakin jauh dari keberhasilan untuk menemukan arti keberadaann dirinya
karena dimabukkan oleh keadaan yang bebas. Mereka tidak lagi bertanggung jawab
atas pilihannya tersebut. Seperti pada akhir naskah drama “Pesta Sampah”, manusia
dalam naskah-naskah drama ini, kini hanya dapat melihat bayangan tanah baru tersebut
semakin menjauh dan kemanusiaan mereka perlahan hilang. Masa transisi yang
ditangkap dalam naskah drama ini, berbicara tentang keputusasaan dan keluh kesah
panjang terhadap janji yang tidak kunjung terwujud.
Keputusasaan manusia menghadapi masa transisi yang panjang dan tak lagi
terang jalannya, ditunjukkan melalui dialog-dialog tokoh Pulung. Di tengah
keputusasaanya terhadap harapan dunia yang ideal, ia menjual dirinya pada tokoh
Pakdir dengan mengatasnamakan modernisasi. Tokoh Pulung ini mengingatkan pada
tokoh Garga yang ditulis oleh Brecht dalam drama “Di Belantara Kota-kota” (lihat
Goenawan Mohamad 2001: 1406). Prinsip-prinsip dan pandangan hidup yang
dipegang oleh Garga mirip dengan lakuan yang dimunculkan oleh Pulung. Pada
akhirnya, ketika dalam gelap datang sebuah sinar, keduanya tak langsung menarik diri
pada sinar tersebut, tetapi memantulkannya dengan pertanyaan yang keluar dari prinsip
yang dipegang teguh. Pertanyaannya kemudian, ketika tawaran atas sinar tersebut
diberikan secara cuma-cuma—tanpa syarat—apakah keduanya tetap mempertahankan
prinsipnya? Bagi Pulung, prinsip itu sudah mati ketika ia bertanya. Sebab di dalam
dirinya, keputusasaan lebih besar menguasai, dibandingkan dengan cinta yang katanya
mampu membuat ia bertahan
Beban inilah yang ditanggung oleh masyarakat—khususnya Jakarta—saat ini.
Sebelum muncul gerakan reformasi, mereka telah menderita dengan kemiskinan,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
158
Universitas Indonesia
ketidakadilan, dan kebodohan. Sekarang, setelah reformasi—yang menjanjikan diri
mereka pada dunia utopis—tiba, mereka justru bertambah miskin. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, kebijakan pemerintah SBY yang memperlihatkan hasil
peningkatan dalam bidang ekonomi, ternyata tidak dirasakan oleh semua orang. Hal ini
disebabkan karena peningkatan ekonomi tersebut tidak merata di semua sektor, hanya
sektor industri—terutama otomotif—yang mengalami peningkatan signifikan. Oleh
sebab itu, kenaikan harga bahan bakar minya (BBM) yang dilakukan atas dasar
peningkatan ekonomi masyarakat—dilihat dari tingkat penjualan mobil—yang
dianggap mampu, tetap saja dirasa sebagai kebijakan yang memiskinkan masyarakat
miskin.58
Seperti yang sebelumnya dikatakan bahwa masyarakat miskin yang tercermin
dalam naskah, pada khususnya merujuk pada masyarakat miskin kota Jakarta.
Kemiskinan merupakan masalah yang sudah banyak dibahas dalam karya sastra,
seperti “Opera Kecoa” (Riantiarno, 1985) dan “HAH” (Putu Wijaya, 1987) yang secara
khusus mengangkat masyarakat miskin kota. Kemiskinan di kota yang bertambah
buruk menjadi sebuah ironi, mengingat bahwa kota—khususnya Jakarta—merupakan
daerah yang lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Terutama kota Jakarta, yang
merupakan pusat pemerintahan, digunakan sebagai barometer kesuksesan pemerintah
dalam mengatur kehidupan masyarakat, tetapi justru memperlihatkan kemiskinan yang
bertambah buruk. Maka sulit rasanya membayangkan, kemiskinan di tempat lain yang
jauh dari akses pemerintahan.
Kemiskinan yang bertambah buruk di dalam sebuah masyarakat plural, seperti
di kota, membuat manusia di dalamnya harus bersaing dengan sesama anggota
masyarakat yang lain. Hal ini disebabkan oleh sumber daya kota yang sangat terbatas
maka istilah ‘siapa kuat, dia yang bertahan’ menjadi semacam semboyan manusia kota.
Akhirnya, nilai-nilai luhur yang terjalin dalam konvensi sosial—yang dikatakan
sebelumnya sebagai alat pemersatu masyarakat majemuk—menjadi hilang maknanya.
Tidak hanya itu, nilai-nilai tersebut tergantikan oleh nilai-nilai baru yang dibentuk pada
58 Lihat “Indonesia in 2008: Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009) h. 116. Marcus
Mietzner
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
159
Universitas Indonesia
masa pemerintahan Orde Baru dan nilai-nilai lain yang dibawa masuk oleh
perkembangan teknologi informasi. Saini K.M. (2004: 82-83) menyebutnya sebagai
dehumanisasi dengan mencetak manusia yang tidak berakhlak.
Nilai-nilai yang baru ini timbul dari adanya bentuk pemikiran adaptasi manusia
di masa modern. Hal-hal yang berbau modern, telah sejak lama dianggap sama dengan
usaha westernisasi atau segala hal yang merujuk pada nilai kebarat-baratan. Polemik
mengenai pemahaman ini telah berlangsung lama bahkan ditemui pula dalam karya-
karya sastra. Nilai-nilai masyarakat modern yang dianggap berisi hal-hal sekuler,
seperti individualisme dan materialisme (konsumtif, hedonis, dan prestise), telah
merusak nilai-nilai Timur yang sifatnya lebih spiritual. Namun, Sutan Takdir
Alisjahbana membantah pendapat tentang nilai-nilai dalam modernitas yang sifatnya
sekuler. Menurutnya, nilai-nilai tersebut memiliki sisi yang spiritual pula seperti halnya
nilai-nilai Timur. Masalah yang penting dalam polemik ini adalah memahami dulu
bahwa modernisme adalah suatu paham yang mengajak masyarakat menuju
pembaharuan dari masa yang sebelumnya. Oleh sebab itu, menurutnya tentang
anggapan pergeseran nilai di masa modern, harus dilihat dengan cermat. Modernisasi
harus dimulai dengan pikiran dan pendekatan yang rasional tentang pembangunan
bangsan menuju keadaan yang lebih baik, bukan untuk merusak hal yang baik (Mochtar
Lubis 1992: 453).
Sayangnya, bagi masyarakt di kota, yang kebanyakan datang dari daerah lain,
nilai-nilai baru yang ada di kota menjadi sebuah kejutan-budaya bagi mereka (Saini
K.M. 2004: 120). Saini K.M. memberikan contoh dengan menunjukkan bagaimana
seorang pemuda desa dengan latar belakang yang dekat dengan pesantren dan kegiatan
sehari-hari yang rutin, datang ke kota dan menemukan masyarakat yang dinamis—
dengan lampu jalan yang tak pernah padam, pakaian yang berbeda, pusat perbelanjaan,
dan lain-lain. Ia dipaksa secara alami untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Proses
adaptasi membuat nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya menjadi tidak sempurna.
Muncullah dalam drama tokoh-tokoh, seperti keluarga Pak Amir yang berusaha
beradaptasi sampai harus kehilangan jati diri yang sebenarnya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
160
Universitas Indonesia
Kehidupan yang bertambah miskin, pergesaran nilai, dan kebutuhan yang harus
segera dipenuhi membuat manusia dalam sebuah masyarakat tidak lagi mempedulikan
konvensi yang berlaku. Pada bagian sebelumnya, disebutkan bahwa manusia kota
mengalami sakit dan tidak menyadari hal tersebut sehingga timbullah situasi ‘semua
menyerang semua’. Rasa curiga, cemburu sosial, dan kejahatan mulai timbul dalam
masyarakat. Tak heran bila dalam drama ditemukan pula adanya sikap yang menuju ke
arah perpecahan di dalam masyarakat, misalnya drama “Lima Pintu”, “Parlemen WC”,
dan lain-lain.
Apabila sikap masyarakat yang mulai menjurus ke perpecahan ini tidak
ditanggulangi oleh pemerintah maka persatuan dan kesatuan sebagai bangsa akan
terkena imbasnya. Frans-Magniz Susesno (1998: 154) telah mengingatkan akan adanya
tantangan dari publik terkait isu perpecahan selepas Orde Baru. Gerakan
primordialisme ini timbul dari adanya eksklusivitas golongan orang tertentu di dalam
masyarakat. Hal ini, seperti yang disampaikan pada bagian sebelumnya, timbul dari
sikap radikal etnis atau agama tertentu yang mendominasi suatu daerah. Kebencian
yang ditanamkan melalui sikap mereka yang merugikan masyarakat dapat membuat
persatuan di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terancam. Tidak hanya,
kekecewaan rakyat terhadap keadaan selepas reformasi yang tak juga kunjung memberi
titik terang bagi individu dan masyarakat, akan mengarahkan mereka pada tindakan
separtisme, seperti yang terjadi pada Timor Timur.
Pada masa pemerintahan Habibie, langkahnya memberikan otonomi seluas-
luasnya bagi Timor Timur ternyata berujung pada pemisahan Timor Timur dari
Indonesia di tahun 1999. Dengan kebijakan luar negeri lain yang ia hasilkan, pamor
Habibie menuruh di mata masyarakat. Pada pemilu berikutnya, ia tidak lagi terpilih dan
digantikan oleh Abdurarhaman Wahid. Di masa pemerintahannya, gerakan separatisme
juga masih menjadi isu utama bagi pemerintah. Gerakan pemisahan diri seperti ini
muncul darinya adanya keengganan masyarakat untuk bersatu mengingat trauma yang
dihasilkan pada pemerintahaan sebelumnya.
Berdasarkan data dari Wahid Institut pada bulan Desember, 2008, peningkatan
jumlah kekerasan, intimidasi dan diskriminasi tercatat dari 197 menjadi 232 di tahun
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
161
Universitas Indonesia
2007. Kebanyakan dari kasus ini menyangkut masalah agama. Salah satu kasus
kekerasan terhadap kaum minoritas, dilakukan oleh FPI (Forum Pembela Islam)
kepada sejumlah pengikut Ahmadiyah sehingga menyebabkan 70 orang terluka. (lihat
Marcus Mietzner, 2008). Konflik terkait SARA (suku, agama, dan ras) juga masih
berkembang di beberapa daerah, seperti Poso, Nangroe Aceh Darussalam, dan
beberapa wilayah di Maluku.
Masalah primordialisme dan gerakan separatis di negara ini, memiliki
hubungan dengan keadaan sejarah bangsa. Bangsa ini tidak dipersatukan oleh
kesamaan masyarakat yang bernaung di dalamnya, tetapi justru bersatu dalam
perbedaan suku, agama, dan ras manusia yang ada. Hal yang mempersatukan bangsa
ini adalah kesamaan pengalaman (penjajahan) dan cita-cita yang dimiliki. Sejarah
mencatat bahwa Soekarno, sebagai pendiri bangsa, telah menggunakan Pancasila
sebagai dasar persatuan bangsa ini. Pancasila digunakan untuk memberikan
perlindungan dan keadilan bagi semua rakyat Indonesia tanpa mengenal perbedaan
suku, bangsa, dan agama. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada
kelompok atau ideologi mayoritas di dalam sebuah masyarakat majemuk. Untuk
menjaga agar keadaan sosial politik tetap berjalan sesuai koridor Pancasila maka
golongan yang mendominasi ini harus mau menyingkirkan pandangan dan sikap yang
hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya.
Usaha untuk mempertahankan persatuan yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru pada tahun 1975, telah mencederai kesepakatan yang dibuat berdasarkan
Pancasila. Dengan mengatasnamakan Pancasila, pemerintah Orde Baru mengeluarkan
larangan untuk menggunakan identitas etnis dan hal-hal yang berhubungan dengan
negara atau kebudayaan asal etnis tersebut.59 Penulisan nama Cina dan ekspresi
kebudayaannya dilarang oleh pemerintah dengan alasan menyatukan semua golongan
ke dalam satu identitas kebangsaan. Hal ini kemudian berkembang menjadi tindak
represi bagi masyarakat keturunan Cina yang ada di Indoensia.
59 “ A policy guideline urged those with Chinese names to change tmen to Indonesian-sounding ones.
These violations of basic human rights to equal treatement and cultural freedom have occurred within
the context of what has been termed ‘New Order accomodation’.” (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old
Societies and New States” (1994) h.38)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
162
Universitas Indonesia
Namun, pada tahun 1985, pemerintah telah mengesahkan sejumlah kelompok-
Islam yang kemudian menguasai pemetaan ideologi berdasarkan politis-Islam.60
Timbul beberapa peristiwa yang melibatkan kelompok-kelompok Islam tersebut dalam
perseteruan akibat adanya kekuataan yang dilegitimasi oleh pemerintah. Keputusan ini
bertentangan dengan kebijakan yang diatur pemerintah terhadap masyarakat Cina di
Indonesia. Pemberian hak-hak khusus bagi salah satu golongan merupakan tindakan
yang tak hanya mencederai kebebasan manusia lain, tetapi juga bertentangan dengan
Pancasila. Sentimen terhadap salah satu etnis serta dominasi dalam masyarakat
majemuk di Indonesia—seperti kasus FPI di atas—adalah akibat dari kebijakan yang
dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Penulis melihat bahwa drama-drama ini menyelipkan pula ketakutan dan
kecemasan mereka di balik kemeriahan demokrasi selepas masa Orde Baru. Bahkan
dapat dikatakan—dengan melihat faktor sosial yang telah diuraikan menurut peristiwa
dalam drama—ketakutan dan kecemasan justru lebih mendominasi di dalam drama
dibandingkan dengan kemeriahan pascareformasi. Drama-drama ini menangkap
keadaan pilu yang dihasilkan dari kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum juga
sampai pada cita-cita reformasi. Tiga kali kegagalan besar, yaitu Soekarno dengan
revolusinya, Soeharto dengan pembangunan ekonomi, dan reformasi yang menjunjung
tinggi demokrasi, ternyata belum dapat mengantarkan bangsa ini menuju suatu keadaan
ideal yang dicita-citakan pada masa kemerdekaan.61 Terbukti dengan sikap rakyat yang
tidak lagi percaya pada pemerintahan karena kebijakan-kebijakan yang memberikan
dampak buruk bagi masyarakat. Masyarakat masih mengeluhkan bahwa perubahan-
perubahan tersebut hanya mementingkan pihak tertentu dan belum bisa dirasakan
manfaat bagi rakyat banyak. Kekecewaan yang berubah menjadi perlawanan—dalam
bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan pada masa Orde Baru—tercermin melalui
sikap para tokoh menanggapi kekuasaan. Salah satu gejala yang muncul untuk
60 (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old Societies and New States” (1994) h.38-39). 61 Goenawan Mohamad mengutip puisi Chairil Anwar ‘kerja yang belum selesai, belum apa-apa’ untuk
menunjukkan apa yang disebutnya sebagai koreksi di tiap masa. Revolusi Soekarno yang beurjung pada
keambrukan ekonomi, kemacetan politik, dan konflik yang meledak menjadi pembantaian. Soeharto
dengan pembangunan ekonomi yang menghasilkan penindasan. Serta reformasi yang dibiarkannya
kosong. (lihat Kata, Waktu 2001: 1424)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
163
Universitas Indonesia
menunjukkan sikap ini, di beberapa drama, adalah dengan mempertanyakan identitas
yang menyangkut rasa kepemilikan atas bangsa ini—secara luas—juga sebagai
individu.
Pada akhirnya, drama-drama ini bertanya tentang identitas diri yang
berhubungan pula dengan identitas sebagai bangsa pada masa transisi pemerintahan.
Kuatnya pengaruh masa Orde Baru dalam kehidupan manusia masa kini masih terlihat
jelas dalam pandangan, sikap, dan situasi sosial yang ditemukan. Pertanyaan ini
disampaikan dalam suasana yang diliputi kegelisahan, akibat optimisme akan keadaan
dunia yang ideal, dan kekecewaan—akibat harapan yang tak kunjung menjadi nyata.
Sehingga penulis melihat, ada kebingungan yang terasa dari keanehan lakuan tokoh
dan dialog-dialog yang mengambang. Lakuan yang terasa canggung dapat dilihat
dalam bagian perumitan masalah drama “Pesta Sampah”, peristiwa lima tokoh
masyarakat dalam drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” yang tak menyelesaikan
pekerjaan hari itu, atau misteri perselingkuhan Atun dalam drama “Roman”. Adanya
dialog yang sengaja dibiarkan mengambang untuk menimbulkan satu kebingungan ke
kebingungan lainnya adalah pertanyaan kemanusiaan yang dilomtarkan para tentara
penjaga perbatasan dalam drama “Paralel ‘45”, kaum apatis di dalam drama “Parlemen
WC”, atau tokoh Risti yang tidak juga mengerti apa yang terjadi di gang tersebut dalam
drama “Te(N)tangga(NG)”.
Dari semua masalah yang dibicarakan—peristiwa dalam naskah dan kenyataan-
kenyataan yang mempengaruhi gagasan pengarang—ditemukan sebuah semangat yang
dapat mewakili zaman ini dalam salah satu judul naskah drama, yaitu “Gagu Ngigau
Galau Wagu”. Kata ‘gagu’, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti sulit
bicara. Kata ‘ngigau’ adalah bentuk nonformal dari kata mengigau, yang memiliki kata
dasar ‘igau’, yang memiliki arti berkata-kata tanpa sadar. Kata ‘galau’ berarti ramai
sekali atau tidak beraturan. Kata ‘wagu’ adalah kata yang diambil dari Bahasa Jawa,
yang berarti tidak lazim atau aneh. Kata ‘wagu’ memiliki kadar keanehan yang lebih
rendah ‘edan’ dalam penggunaan Bahasa Jawa. Apabila digabungkan maka akan
menjadi ‘susah bicara tapi bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
164
Universitas Indonesia
Suasana tersebutlah yang membedakan masalah pada naskah drama FTJ
periode ini dengan naskah-naskah drama pada masa yang lain. Depresi yang dialami
manusia dan kesulitan hidup yang diuraikan berbeda karena adanya pengaruh dari masa
keadaan politik pemerintahan sebelumnya dan ditambah dengan keadaan
pascareformasi. Hal tersebut memunculkan naskah drama yang sarat dengan
pertanyaan dan kebimbangan dalam mencapai tujuan hidup manusia yang ideal, yaitu
kebahagiaan.
3.4 Simpulan
Persoalan-persoalan dalam naskah drama FTJ dapat dirumuskan dalam tiga
bagian besar, yaitu identitas diri (relasi manusia dengan dirinya sendiri), identitas
kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta pola masyarakat yang ada
(identitas manusia dan masyarakatnya). Ketiga persoalan ini merupakan bagian dari
sebuah gagasan utama yang dihasilkan dari pemaparan pengarang terhadap kenyataan
yang dialaminya. Kenyataan tersebut menguraikan kondisi manusia masa kini melalui
kacamata masyarakat urban di Jakarta.
Pada intinya, kenyataan yang mempengaruhi terciptanya karya adalah masa
transisi Indonesia dari suatu bentuk pemerintahan yang teratur ke dalam sebuah bentuk
kebebasana yang dinamis. Perubahan ini dibawa oleh cita-cita reformasi untuk menuju
pada sebuah bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan memperlihatkan kemajuan
dalam segala bidang. Dalam naskah drama, situasi ini diwakili oleh drama “Ruang
Tunggu Terakhir”, yang menceritakan penantian para tokoh untuk sampai pada tanah
yang dijanjikan penyelamat mereka.
Di masa transisi yang panjang, drama-drama ini menangkap adanya
kegelisahan, kecemasan, kekecewaan, dan ketakutan yang dihadapi manusia masa kini.
Penyebab utamanya adalah bentuk kebebasan yang perlahan menimbulkan kekacauan
sehingga kondisi masyarakat tidak juga membaik. Janji-janji reformasi menjadi
semacam utopia yang semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Hal ini disebabkan
oleh munculnya jarak antara pemimpin dan yang dipimpin serta sistem yang merusak
nilai-nilai luhur masyarakat. Kota menjadi sebuah tempat yang menampung
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
165
Universitas Indonesia
kemiskinan dan penderitaan. Karena keterbatasan secara geografis dan demografik
maka kota menimbulkan masyarakat yang tidak sehat.
Tanpa disadari kebebasan yang mereka raih di masa reformasi, telah menjadi
belenggu baru yang membuat kehidupan terasa lebih berat. Masyarakat miskin semakin
miskin, rakyat tidak percaya pada pemimpin, dan munculnya perpecahan yang timbul
karena usaha untuk mempertahankan diri. Individualisme muncul di tengah masyarakat
majemuk dan mengubah pola kehidupan mereka.
Pada akhirnya, kerja keras reformasi belum selesai karena masih banyak
penyimpangan yang terjadi. Rakyat masih berteriak minta tolong pada pemimpin dan
pemimpin sibuk dengan urusan elit politiknya. Kekacauan ini berujung pada rasa
kebersamaan mereka sebagai sebuah bangsa dan kebutuhan untuk dapat diakui sebagai
sebuah individu dalam kelompok yang besar. Keadaan ini tercermin melalui judul
naskah drama , “Gagu Ngigau Galau Wagu”, yang berarto ‘susah bicara tetapi akhirnya
bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
166 Universitas Indonesia
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Festival Teater Jakarta adalah salah satu acara seni yang secara konsisten—
selama lebih dari empat dekade—memberikan wadah bagi para seniman, khususnya
para dramawan, untuk mengekspresikan kegelisahan dan pencarian diri yang sejati.
Sesuai dengan tujuan diselenggarakannya acara ini maka sejak bergabung kembali di
bawah penyelenggaraan Dewan Kesenian Jakarta, FTJ berusaha untuk mengarahkan
para dramawan untuk berbicara sesuai konteks zamannya. Tujuannya agar festival ini
tidak hanya dipandang sebagai perlombaan, tetapi juga telah menjadi sarana bagi
masyarakat kota menghayati hidup di tengah derasnya informasi instan dan teknologi.
Berita, dengan caranya, memberikan pengetahuan terhadap suatu peristiwa sedangkan
karya seni memberikan cara bagi manusia untuk memaknai peristiwa tersebut.
Berangkat dari hal itulah, penelitian atas naskah drama asli pada FTJ periode 2008-
2013 dilakukan. Penelitian ini menguraiakan gagasan utama para pengarang drama
yang dianggap memiliki keterpengaruhan dari realitas sosial ‘aku’—manusia.
Ada tiga jenis relasi yang dipergunakan oleh penulis untuk mengetahui masalah
utama ‘aku’—manusia—yaitu relasi manusia dengan dirinya sendiri, relasi manusia
dengan kekuasaan, dan relasi manusia dengan masyarakat. Ketiga jenis relasi ini
dianggap paling tepat untuk melihat masalah manusia, baik secara individu atau pun
sebagai sebuah kesatuan. Untuk drama yang berbicara tentang relasi manusia dan diri
sendiri, ada tiga drama yang diambil dari jumlah tujuh naskah, yaitu “Gagu Ngigau
Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”. Untuk drama
yang berbicara tentang relasi manusia dengan kekuasaan, ada tiga drama yang diambil
dari sembilan naskah drama, yaitu “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”, dan “Pesta Sampah”.
Relasi manusia dengan kekuasaan, diwakili oleh drama “Lima Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”.
Relasi ini digunakan dalam analisis struktural untuk mencari tahu masalah yang
yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Melalui unsur-unsur yang membangun drama,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
167
Universitas Indonesia
seperti alur, penokohan, suasana, dan aliran, penulis menemukan pokok permasalahan
di tiap relasi. Drama-drama dalam satu kategori relasi memperlihatkan adanya
kesamaan yang signifikan antara satu dan lainnya. Drama yang membicarakan tentang
manusia dan diri sendiri memperlihatkan kesamaan latar, yaitu sebuah ruang, yang
disulap menjadi kurungan tempat para tokoh tinggal. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh
dalam drama ini memiliki kesamaan keadaan jiwa yang tidak sehat sehingga dua di
antara drama yang lain menunjukkan bahwa latar ruang tersebut adalah bagian dari
sebuah rumah sakit jiwa. Temuan atas sebuah ruang dengan kondisi kejiwaan yang
tidak sehat dari tokoh-tokoh yang tinggal di dalamnya, menunjukkan adanya tekanan
dari rutinitas yang membelenggu mereka. Dalam drama ini, masalah terbesar yang
dihadapi para tokoh adalah kebebasan untuk mencari jati diri mereka.
Kesamaan unsur-unsur dalam tiga drama juga muncul dalam drama tentang
relasi manusia dan kekuasaan. Tiga drama tersebut, “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”,
dan “Pesta Sampah”, menunjukkan sebuah konsep kekuasaan tanpa merujuk pada
bentuk manusia. Ada konsep kekuasaan yang digambarkan melalui sebuah WC umum
yang dianggap sakral sebab dapat menjatuhkan atau menaikan pemimpin di kampung
tersebut. Ada pula kekuasaan yang ditampilkan kokoh, tetapi terasa dingin dan
membatasi, seperti tembok perbatasan wilayah dalam drama “Paralel ‘45”. Drama
“Pesta Sampah”, menunjukkan kekuasaan sebagai suatu daya yang menghilangkan
kemanusiaan di dalam kegemerlapan rimba industri. Pada intinya, drama-drama ini
mempermasalah tentang hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang tidak
kunjung membaik. Penyalahgunaan kebebasan yang digunakan oleh tokoh rakyat atau
pun pemimpinnya, dalam ketiga drama ini, berujung pada kehancuran.
Drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat, “Lima Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”, memperlihatkan potret kehidupan masyarakat
kelas menengah bawah. Dari peristiwa-peristiwa yang ada, menunjukkan bahwa
masalah utama masyarakat kelas sosial ini adalah pergumulan ekonomi. Masalah
kemiskinan adalah suatu tema yang sudah banyak dibicarakan bahkan dapat dikatakann
setiap masa memiliki contoh karya yang membicarakan masalah ini. Namun, masalah
kemiskinan yang dimunculkan dalam drama-drama ini, tidak hanya berfokus pada
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
168
Universitas Indonesia
kesulitan mendapatkan uang atau perjuangan untuk mendapatkan uang, tetapi efek
domino dari ekonomi yang buruk. Pergeseran nilai dalam kehidupan bertetangga dipicu
oleh adanya perhatian lebih kepada nilai-nilai dasar yang bersifat material, seperti
gengsi antartetangga, perilaku konsumtif, dan kepribadian ganda yang harus dilakukan
demi bertahan hidup. Hal ini dibicarakan dalam keadaan tempat tinggal yang padat,
bertumpuk, kumuh, dan tidak sehat. Sehingga masalah yang sebenarnya terjadi pada
tokoh utama, juga menjadi masalah bersama di dalam lingkungan tempat tinggal
tersebut.
Hasil analisis struktural yang dilakukan atas drama-drama FTJ menunjukkan
ada tiga masalah utama ‘aku’—manusia—yang meliputi masalah identifikasi diri
(drama relasi manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia
dengan kekuasaan), serta pola masyarakat di kota (relasi manusia dengan masyarakat).
Ketiga pokok persoalan ini adalah inti dari masalah tentang manusia yang terjadi di
dalam drama. Hal ini diperlihatkan melalui alur, tokoh, dan suasana yang membangun
tubuh drama. Tiga pokok masalah ini dipandang sebagai sebuah bentuk tanggapan
pengarang terhadap situasi di dalam kehidupan nyata..
Hasil penelusurann sosiologi terhadap masalah manusia dan identifikasi dirinya
menghasilkan sebuah temuan bahwa hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah
masa lalu bangsa Indonesia. Masa lalu yang paling dekat dengan waktu penciptaann
naskah drama ini adalah pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari tiga
dekade. Kekuasaan Orde Baru di Indonesia menyerupai keberadaan tokoh ‘tuhan’
dalam dunia para tokoh utama di dalam drama. Orde Baru seolah memberikan
keteraturan melalui kebijakan dan ideologinya, tetapi sebenarnya seperti juga rutinitas
yang dihadapi para tokoh, hal tersebut adalah belenggu bagi manusia pada masa itu.
Kenyamanan mereka hidup dalam kondisi teratur, mulai terusik ketika akan sehat
mengalahkan ketidaksadaran manusia. Adanya dorongan untuk mencari kebebasan
merupakan sebuah kerja panjang yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu, para
tokoh pun mulai mencari kebebasana ketika tekanan semakin kuat menghimpit dan
menimbulkan pemberontakan di dalam diri manusia. Hal yang sama terjadi pula
dengan manusia-manusia yang telah merasa bosan berada di bawah aturan-aturan Orde
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
169
Universitas Indonesia
Baru yang semakin terasa berat. Dengan kesadaran dan kehendak untuk bebas,
reformasi pun dilakukan.
Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa,
agama, dan ras, masyarakat Indoensia pernah disatukan di bawah tekad yang dilahirkan
atas kesamaan penderitaan. Pada masa Orde Baru, masyarakat sekali lagi berjuang
bersama melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Pascareformasi
terjadi, pemerintah yang baru memberlakukan demokrasi dalam pemerintahan dengan
membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Pemerintah pusat juga memberikan otonomi daerah yang ditujukan untuk pemerataan
kekuasaan. Namun, di antara euforia kebebasan manusia pasca-Orde Baru, timbul
masalah terkait hubungan antara pemerintah dan rakayat. Masalah inilah yang
ditemukan dalam drama-drama tentang relasi manusia dengan kekuasaan yang
membicarakan tentang identitas kebangsaan.
Ketika pemerintahan kembali berada di tangan rakyat dan kebebasan
berpendapat dijamin oleh negara, beberapa pihak mempergunakan hal tersebut demi
kepentingan pribadinya. Oleh sebab itu, muncul dalam drama polemik tentang
kekuasaan di kampung Parmin (dalam drama “Parlemen WC”) atau kerusuhan yang
memisahkan wilayah Timur dan Barat (dalam drama “Paralel ‘45”). Kebebasan
menjadi barang murah yang dapat digunakan oleh siapa saja demi mencapai ambisinya
masing-masing. Hal ini disebabkan pula oleh adanya kekecewaan terhadap
pemeriintahan pascareformasi yang tak kunjung memberikan bukti nyata terhadap
perubahan baik bagi masyarakat. Peningkatan ekonomi tidak merata bahkan prestasi
peningkatan investasi di negara, tidak dirasakan oleh rakyat. Kekecewaan inilah yang
dibicarakan dalam drama, seperti “Pesta Sampah”, yang menunjukkan amarah
terpendam dari rakyat kecil yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, muncullah Pulung yang
menjadi budak asing di tanahnya sendiri. Sementara itu, penguasa yang korup, lebih
suka bermain dengan pihak-pihak yang membawa keuntungan pribadi daripada
mengurus nasib rakyat seperti Parmin atau Pulung.
Dalam drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan masyarakat,
masalah utama yang timbul adalah beban kemiskinan masyarakat di kota sebagai akibat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
170
Universitas Indonesia
dari sistem pemerintahan yang gagal membawa perubahan. Otonomi daerah yang
diberlakukan oleh pemerintah pusat ternyata justru menjadikan kekuatan tidak merata.
Kota semakin padat dengan jumlah pendatang yang mencari penghidupan, sementara
itu desa dan daerah pinggiran lainnya makin ditinggalkan. Masyarakat miskin kota
nampak dalam kehidupan para tokoh, seperti di dalam drama “Lima Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”. Para tokoh hidup dalam suatu lingkungan yang
tidak hanya padat, tetapi juga terdiri atas berbagai macam latar belakang. Ada yang
pendatang dari daerah lain, ada pula yang memang berasal dari kota. Hal tersebut
diperlihatkan melalui dialog antartokoh. Namun, yang paling jelas terlihat adalah
perbedaan ini tidak lagi dapat direkatkan dengan konvensi sosial yang selama ini
menjaga keharmonisan di antara mereka. Hal tersebut disebabkan oleh begitu tingginya
ekspektasi sosial atas kehidupan yang ideal di kota. Ekspektasi tersebut berbanding
terbalik dengan keadaan yang ada sebab kota yang memang terbatas, telah mencapai
titik lebih dari beban demografik yang seharusnya ditanggung. Persaingan
antarmasyarakat menjadi tidak sehat dan menimbulkan sikap saling menyerang. Hal
ini adalah efek samping dari kegagalan pemerintah mengadakan kehidupan yang
dicita-citakan ketika reformasi dilakukan. Dengan tekanan yang begitu hebat, membuat
masyarakat yang majemuk ini berubah menjadi masyarakat dengan sikap
individualistis sehingga menimbulkan konflik di antara mereka.
Keadaan pascareformasi atau yang dikenal sebagai fase transisi ternyata
menimbulkan kekecewaan dan kekhawatiran manusia terhadap masa depan. Sebagai
langkah preventif, mereka mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan
bersama. Pandangan dan sikap yang seperti ini memiliki sumbangan dari masa
pemerintahan sebelumnya, yang telah melakukann dehumanisasi sebuah generasa pada
masanya. Pergeseran nilai dan ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara menyebabkan timbulnya gerakan primordialisme
di antara masyarakat Indonesia saat ini. Konflik agama dan etnis di beberapa daerah
masih berlangsung hingga kini. Kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari
bangsa Indonesia, juga masih ditemui di wilayah Aceh, Irian, dan Maluku.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
171
Universitas Indonesia
Pada akhrinya, pengarang merekam peristiwa dan masalah yang dihadpi oleh
manusia masa kini, khususnya di Jakarta. Drama-drama FTJ menampilkan kegelisahan
dan kekalutan manusia di masa transisi melalui tokoh-tokoh yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari. Masalah dan konflik yang mereka hadapi merupakan sebuah
bentuk dramatisasi dari kenyataan yang semakin mengarah ke situasi tersebut. Melalui
humor yang gelap dan kekacauan yang mendominasi, drama-drama ini hadir sebagai
bahan refleksi untuk melihat tantangan zaman yang dihadapi sebagai individu di dalam
masyarakat yang lebih luas, yaitu kesatuan Indonesia. Penulis menangkap bahwa hal
ini dilakukan para pengarang untuk mencegah timbulnya kehancuran yang mulai
terlihat dari sikap, penghayatan nilai, dan kondisi sosial politik bangsa ini. Sehingga
dapat dikatakan, ‘aku’—manusia—yang terekam di dalam drama-drama ini adalah
manusia yang gelisah dan khawatir menghadapi kesemerawutan serta tidak mampu
menjelaskan inti dari kelangsungan hidupnya.
4.2 Saran
Sebagai sebuah pembicaraan awal tentang drama-drama yang dihasilkan pada
masa kini, penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan yang ditemukan
dalam pembahasan. Kurangnya kesempatan untuk melakukan penelitian langsung
terhadap penyelenggaraan Festival Teater Jakarta, menjadi salah satu kekuarangan
dalam penelitian ini. Pembicaraan tentang manusia yang terekam dalam drama-drama
ini dapat berkembang secara luas apabila penelitian mengenai bentuk panggungnya
pun diikutsertakan menjadi salah satu tahapan penelitian. Bentuk teks yang
diterjemahkan ke dalam panggung, dapat memperlihatkan gambaran konkret dari
masalah yang diciptakan pada tahun terkait. Hal ini meliputi seluruh unsur
pemanggungan yang tertera dalam teks. Cara para peserta membicarakan isi teks drama
ke dalam panggung akan memperkaya sudut pandang dalam penelitian tentang
manusia.
Masalah tentang drama dan manusia masih terlalu luas untuk disimpulkan
melalui penelitian ini. Oleh karena sifat manusia yang dinamis maka kesempatan untuk
melihat persoalan dalam drama masa kini masih sangat terbuka. Hal lain yang dirasa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
172
Universitas Indonesia
dapat menambah kekuatan dalam penelitian tentang manusia masa kini dalam drama
adalah dengan membandingkan hasil temua dari naskah drama Festival Teataer Jakarta
dengan drama-drama lain yang dihasilkan pada periode yang sama di tempat yang
berbeda. Hal ini akan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang masalah yang ada
pada manusia masa kini. Apabila masalah yang ditemukan kurang lebih menunjukkan
kesamaan berarti ada sebuah fenomena yang terjadi secara nasional.
Pembicaraan mengenai drama masa kini sebagai sebuah produk peninggalan
Orde Baru, pun dapat dikembangkan menjadi sebuah topik tersendiri sehingga
pembahasannya lebih mendalam. Penelitian ini masih sangat kurang dalam
menjelaskan drama-drama yang dihasilkan pada masa Orde Baru. Drama-drama dari
masa tersebut dapat dibandingkan denga drama yang dibahas pada penelitian ini supaya
dapat ditemukan perbedaaan dan persamaan di dalamnya. Hal ini penting untuk
dilakukan karena dapat memberikan perenungan bagi manusia masa kini tentang hal-
hal yang baik dan buruk dalam kehidupan sebelumnya.
Pada akhirnya, harapan terbesar dari penelitian ini adalah terbukanya jalan bagi
apresiasi naskah drama, khususnya naskah-naskah yang dihasilkan pada masa kini.
Dengan memberikan tanggapan secara konsisten terhadap karya drama yang ada maka
akan meningkatkan pula kualitas dan kuantitas karya yang dihasilkan, khususnya
drama di Indonesia. Hal ini menjadi penting, mengingat sastra adalah perangkat
manusia untuk menghayati dan memberikan refleksi atas kehidupan yang mereka
jalani.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
173
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Achamad Syaeful. “Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008”
(2012). Disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya,
Universitas Indonesia.
Arsuka, Nirwan Ahmad. (2001). Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-
2001. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO.
Atmakusumah. (1992). Mochtar Lubis: Wartawan Jihad. Jakarta: Harian Kompas.
Damono, Sapardi Djoko . (2010). Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas (ed). Jakarta:
Editum.
____________ (ed). (2012). Drama Indonesia. Jakarta: Editum
Esslin, Martin (ed). (1968). The Theatre of the Absurd. England: a Pelican Book.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hardjana, Andre. (1981). Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hassan, Fuad. (1989). Berkenalan dengan Eksistensialisme (ed.4). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Jassin, H.B. (2013). Pujangga Baru (ed.3). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
K.M, Saini. (2004). Krisis Kebudayaan. Bandung: Kelir.
“KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei 2014) diunduh dari
http://www.bbc.co.uk / pada tanggal 16 Juni 2014.
Letwin, David, Joe Stockdale, dan Robin Stockdale. 2008. The Architecture of Drama:
Plot, Character, Theme, Genre, and Style. United Kingdom: The Scarecrow
Press, Inc.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Westsjein. (1981). Pengantar Ilmu
Sastra. (Dick Hartono, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
174
Universitas Indonesia
Mughis, Abdil. “Studi Indonesia Pasca-Soeharto: Dari Otoriterianisme Menuju
Demokratisasi”. Diunduh dari http://www.interseksi.org/publications/essays.
Pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 02.16.
Michelson. (1970). Man and His Urban Enviroment; A Sociological Approach. United
State of America: Addison-Wesley Publishing Company.
Mahfud, Moh., dkk (editor). (1990). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.2).
Yogyakarta: UII Press.
Mietzner, Marcus. (January/February 2010). Indonesia in 2009: Electoral Contestation
and Economic Resilience. Asian Survey, Vol. 50, 1, 185-194. Juni 4, 2014.
USA: University of California PressStable. http://www.jstor.org.
______________. (2009). Indonesia in 2008: Democratic Consolidation in Soeharto's
Shadow Southeast Asian Affairs, 105-123. Juni 4, 2014. Institute of Southeast
Asian Studies (ISEAS). http://www.jstor.org.
Mihardja, Achdiat K. (ed). (1998). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
____________.1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Nordholt, Henk Schulte. (2003). Renegotiating boundaries: Access, agency and
Identity in post-Soeharto Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 159, No. 4, h. 550-589. Juni 4, 2014. KITLV, Royal
Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean StudiesStable.
www.jstor.org.
Oemarjati, Boen S. (1971). Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung.
“Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi”. (7 Januari 2014). diunduh dari
http://www.kpk.go.id/. tanggal 16 Juni 2014.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metodi, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
175
Universitas Indonesia
Reaske, Christopher Russel. 1984. How To Analyze Drama. USA: Monarch Press.
Sastrowardoyo, Subagio. (1999). Sekilas Soal Sastra dan Budaya (ed. 3). Jakarta: Balai
Pustaka.
Schechner, Richard. (2004)s. Performance Theory. Taylor & Francis e-Library.
Scholes, Robert; Michael Silverman & Carl H. Klaus. (1978). Elements of Literature.
New York: Oxford University Press.
Stevenson, Leslie. (1987). Seven Theories of Human Nature. New York: Oxford
University Press.
Sumardjo, Jakob. (1997). Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI
PRESS.
_______________. (1982). Masyarakat dan Sastra Indonesia (ed. 2). Yogyakarta: Nur
Cahaya.
_____________& Saini K.M. (1991). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Suprapto, Hadi & Ita Lismawati. (2012). “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di
Bandung”. Diunduh dari http://nasional.news.viva.co.id/ , pada tanggal 16 Juni 2014.
Suseno, Franz-Magnis. (2003). Mencari Makna Kebangsaan (ed. 7). Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Teeuw, Andrias. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra (ed. 3). Jakarta: Pustaka Jaya.
Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia”. Diunduh dari
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi_politik_l
uar_negeri.html, pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 12.05.
Wellek, Rene & Austin Warren. (2010). Teori Kesusastraan (ed. 5). (Melani Budianta,
Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
176
Universitas Indonesia
Sajoo, Amyn B. (1994) Pluralism in ‘Old Societies and New States’. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Syahza, Almasdi. (2013). “Dampak Urbanisasi dan Kemiskinan”. Bahan Ajar Mata
Kuliah Ekonomi Pembangunan UNRI, Riau.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
177
Universitas Indonesia
Lampiran I : Artikel tentang Penyelenggaraan Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
178
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
179
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
180
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
181
Universitas Indonesia
Lampiran II : Ulasan Pertunjukan Drama-Drama Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
182
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran II
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
183
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran II
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
184
Universitas Indonesia
Lampiran III: Naskah Drama Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
185
Universitas Indonesia
Lanjutan lampiran III
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
186
Universitas Indonesia
Lanjutan Lampiran III
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
187
Universitas Indonesia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Recommended