View
216
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
BAB 16
RANCANGAN PENELITIAN NARATIF
Orang-orang hidup dengan kisah hidup mereka masing-masing. Mereka menceritakan
kisah-kisah mereka untuk berbagi dengan orang-orang linnya dan untuk menceritakan
kisah-kisah pribadi mereka berkenaan dengan apa yang dialaminya di dalam kelas di
sekolah, atau tentang isu-isu terkait dengan pendidikan, dan tentang seting-seting di mana
mereka bekerja. Apabila orang-orang bercerita tentang kisah-kisa mereka pada para
peneliti, mereka merasa didengarkan, dan informasi mereka tersebut membuat para
peneliti lebih dekat dengan praktek-praktek aktual pendidikan. Dengan demikian, kisah-
kisah yang dilaporkan dalam penelitian kualitatif naratif memperkaya kehidupan si
peneliti dan juga si partisipan. Bab ini mendefenisikan penelitian naratif,
mengidentifikasinya ketika ia digunakan, menilai karakteristik kuncinya, dan mengajukan
langkah-langkah dalam melaksanakan dan mengevaluasi rancangan ini.
Pada akhir bab ini, anda diharapkan akan mampu:
Mendeskripsikan tipe-tpe utama dari penelitian naratif.
Mendefenisikan apa yang yang dimaksudkan dengan menelusuri pengalaman-
pengalaman seseorang individu.
Mendeskripsikan tipe-tipe informasi yang digunakan dalam membangun kronologi
dari pengalaman-pengalaman seseorang individu.
Mengidentifikasi aspek-aspek dari sebuah “kisah” dan tipe-tipe data yang digunakan
untuk melaporkan :kisah tersebut.
Mendeskripsikan proses mengisahkan kembali di dalam sebuah penelitian naratif.
Mengidentifikasi penggunaan tema-tema di dalam sebuah penelitian naratif.
Mendefenisikan seting atau konteks yang terdapat di dalam sebuah penelitian naratif.
Mengidentifikasi strategi-strategi berkolaborasi dengan para partisipan di dalam
sebuah penelitian naratif.
Mengidentifikasi beberapa tipe isu yang boleh jadi muncul dalam mengumpulkan
kisah-kisah naratif.
Mendeskripsikan beberapa langkah dalam melaksanakan penelitian naratif.
Merinci kriteria dalam mengevaluasi sebuah penelitian naratif.
Maria memilih sebuah rancangan naratif untuk proyek penelitiannya yang mengkaji
kepemilikan senjata oleh para siswa sekolah menengah atas. Guru teman Maria, Millie,
memilki sebuah kisah yang ingin di ceritakan berkenaan dengan bagaimana ia menemukan
seorang siswa yang menyembunyikan sebuah senjata di dalam “locker”-nya. Maria
mengkaji masalah yang terkait dengan pertanyaan: “Apa sih kisah yang dimiliki seorang
guru yang menemukan seorang siswa menyembunyikan senjata di sekolah-nya?” Maria
mewawancarai Millie dan mendengarkan kisahnya pengalamannya dengan siswa tersebut,
dengan guru-guru lainnya, dan dengan kepala sekolahnya. Kisah tersebut termasuk ke
dalam sebuah kronologi sederhana mulai dari awal insiden sampai pada pembicaraan-
pembicaraan selanjutnya. Untuk membuat kisah tersebut seakurat mungkin, Maria
berkolaborasi dengan Millie dalam menuliskan kisah tersebut dan ia bersama-sama ambil
bahagian dalam penulisan laporan itu. Maria terlibat dalam sebuah penelitian naratif.
APAKAH PENELITIAN NARATIF ITU?
Istilah naratif berasal dari kata kerja (B.Inggeris) “to narrate” (menceritakan sebuah kisah
secara rinci)(Ehrlich, Flexner, Carruth, & Hawkins, 1980, halaman 442). Dalam
narrative reseach designs (rancangan penelitian naratif), peneliti mendeskripsikan
kehidupan para individu, mengumpulkan dan menceritakan kisah-kisah tentang kehidupan
orang-orang lain, dan menarasikan pengalaman-pengalaman individu (Connelly &
Candinin, 1990). Sebuah bentuk penelitian kualitatif yang berbeda, penelitian naratif
biasanya memfokuskan diri pada pengkajian tentang seseorang individu, mengumpulkan
data melalui pengumpulan kisah-kisah, melaporkan pengalaman-pengalaman individu, dan
mendiskusikan makna dari pengalaman-pengalaman para individu tersebut. Dengan
popularitas yang diperolehnya akhir-akhir ini, konferensi-konferensi penelitian tingkat
nasional telah menyediakan sesi-sesi dan makalah-makalah tentang penelitian naratif, dan
jurnal-jurnal pendidikan telah pula mempublikasikan kisah-kisah yang dilaporkan oleh
para guru, para siswa , dan para pendidik yang lain. Buku-buku baru juga telah tersedia di
penerbit-penerbit yang memberikan informasi penting tentang proses pelaksanaan bentuk
penelitian kualitatif ini.
Kapan Penelitian naratif Digunakan?
Anda menggunakan penelitian naratif apabila anda memiliki individu-individu yang
bersedia menceritakan kisah-kisahnya dan anda berkeinginan melaporkan kisah-kisah
mereka tersebut. Bagi para pendidik yang mencari pengalaman-pengalaman pribadi di
dalam seting sekolah yang aktual, penelitian naratif menawarkan pandangan-pandangan
yang yang praktis dan spesifik. Dengan melakukan penelitian naratif, para peneliti
membangun ikatan yang erat dengan para partisipan. Ini bisa membantu mengurangi
persepsi yang biasanya sama-sama dimiliki oleh para praktisi di lapangan bahwa
penelitian berbeda dari praktek dan hasilnya hampir-hampir tidak bisa secara langsung
diaplikasikan. Tambahan lagi, bagi para partisipan dalam sebuah penelitian, berbagi kisah
mereka boleh jadi membuat mereka merasa bahwa kisah-kisah mereka itu penting dan
bahwa mereka di dengar. Ketika mereka menceritakan sebuah kisah, kisah tersebut akan
membantu mereka memahami topik-topik yang perlu mereka proses (McEwan & Egan,
1995). Berkisah atau bercerita merupakan bahagian yang wajar dari kehidupan, dan para
individu semuanya memiliki kisah tentang pengalaman-pengalaman untuk diceritakan
pada orang-orang lain. Dengan cara ini, penelitian naratif menangkap bentuk-bentuk data
keseharian dan wajar yang memang tidak asing lagi bagi masing-masing individu.
Anda menggunakan penelitian naratif ketika kisah yang diceritakan pada anda
mengikuti suatu kronologi peristiwa. Penelitian naratif adalah sebuah penelitian kualitaif
yang berbentuk literer (sastra) dan erat kaitan dengan kesusasteraan, dan ia merupakan
pendekatan kualitatif di mana anda bisa menulis dalam bentuk yang persuasif dan
bernuansa sastra. Ia memfokuskan diri pada gambaran mikroanalitik – kisah-kisah
indvidu – ketimbang gambaran umum tentang norma-norma kultural, seperti halnya di
dalam penelitian etnografi, atau teori-teori abstrak, seperti halnya di dalam penelitian teori
grounded. Sebagai contoh dari gambaran yang mikroanalitik ini, perhatikan kasus Ibuk
Meyer, yang memiliki dua orang anak, masing-masing duduk di kelas 5 dan 6, menuliskan
kisah-kisah tentang kehidupan pribadinya. Antoni, yang berumur 9 tahun yang
menganggap dirinya sebagi penemu dan penulis, menuliskan penemuan-penemuannya di
dalam jurnal ilmiah dan menulis sebuah catatan yang berkesan tentang neneknya. Anita,
seorang wanita berumur 11 tahun, menulis tentang kenangan manis yang dia alami di
kolam renang, belajar memain bola sepak, dan bisa sukses dalam sesuatu hal (McCarthy,
1994).
Bagaimana Penelitian Naratif Berkembang?
Walaupun besar perhatian diberikan terhadap penelitian naratif, metodanya masih tetap
berkembang, dan jarag didiskusikan di dalam literatur (Errante, 2000). Hal ini menjurus
pada kurangnya kesepakatan terhadap bentuknya. “Penelitan naratif”, seperti yang
disebutkan oleh Riessman (1993), merangkul semua ilmu-ilmu kemanusiaan, sehingga
bentuk penelitian ini bukan merupakan miliknya sesuatu bidang ilmu. Para penulis dalam
bidang kesusasteraan, sejarah, antropologi, sosiologi, sosiolinguistik, dan pendidikan
semuanya menyatakan terkait dengan naratif dan telah mengembangkan prosedur-
prosedur khusus dalam bidang ilmunya. Seperti halnya seni dan ilmu pemotretan yang
dibicarakan baru-baru ini dalam ilmu-ilmu sosial, rancangan ini mencakup
menggambarkan potret-potret para individu dan mendokumentasikan suara-suara dan
visi-visi mereka dalam konteks sosial dan kultural (Lawrenca-Lightfoot & Davis, 1997).
Walaupun demikian, sebuah tinjauan komprehensif tentang rancangan penelitian ini
di dalam bidang pendidikan muncul pada tahun 1990. Pendidik D.J. Clandinin dan
Michael Connelly memberikan tinjauan pertama terhadap penelitian naratif di dalam
bidang pendidikan. Dalam artikel klasik dan informatif mereka itu, yang berjudul “Stories
of Experience and Narrative Inquiry.”, yang diterbitkan dalam Educational Researcher
(Connelly & Clandinin, 1990), mereka mengutip banyak sekali penerapan-penerapan
penelitian naratif dalama ilmu-ilmu sosial, mengelaborasi proses pengumpulan catatan-
catatan lapangan naratif, dan mendiskusikan penulisan dan sruktur dari sebuah penelitian
naratif. Aritkel ini memperluas pembicaraan mereka terdahulu tentang peneliian naratif
dalam konteks belajar dan mengajar di dalam kelas (Connelly Clandinin, 1998). Baru-baru
ini, kedua orang pengarang ini melemparkan gagasan mereka dalam sebuah buku berjudul
“Narrative Inquiry” (Clandinin & Connelly, 2000), yang secara terbuka mendukung “Apa
yang diperbuat oleh para peneliti naratif” (halaman 48).
Dalam bidang pendidikan, beberapa kecenderungan berpengaruh terhadap
perkembangan penelitian naratif. Cortazzi (1993) mengemukakan tiga faktor. Pertama,
pada saat terakhir ini terlihat adanya peningkatan pemberian penekanan pada refleksi oleh
guru. Kedua, lebih banyak penekanan diberikan pada pengetahuan guru –apa yang mereka
ketahui, bagaimana mereka berpikir, bagaimna mereka bertumbuh secara profesional, dan
bagaimana mereka membuat keputusan di dalam kelas. Ketiga, para pendidik
mengupayakan agar suara guru itu menjadi penting dengan jalan memberdayakan para
guru untuk berbicara tentang pengalaman-pengalaman mereka. Contoh, “Our own stories”
(Kisah kami sendiri), yang dilaporkan oleh Richard Meyer (1996), merupakan koleksi dari
kisah-kisah tentang para guru yang berbagi pengalaman mereka, apakah mereka sedang
duduk-duduk di ruang majelis guru, atau setelah sekolah bubar. McEwan dan Egan (1995)
memberikan beberapa koleksi dari kisah-kisah tentang para pendidik sebagai guru atau
pengembang kurikulum. Bagi para wanita pada umumnya, atau pun bagi para guru wanita,
kisah-kisah mereka kepada anak-anak, kepada anak-anak remaja wanita, atau kepada
teman sejawat wanita mereka sering memperlihatkan reportoire feminin dalam rangka
melayani audience wanita (Degh, 1995). Kisah-kisah ini telah mendorong penelitian-
peneitian pendidikan dengan menggunakan pendekatan naratif. Nyatanya, dalam bidang
pendidikan pada masa-masa terakhir ini, terutama kelompok yang tergabung dalam
AERA, telah melakukan diskusi-diskusi tentang penelitian naratif.
Sejumlah ilmuwan antar disiplin dalam ilmu sosial di luar bidang pendidikan telah
menerbitkan petunjuk prosedural tentang penulisan laporan penelitian naratif sebagai salah
satu bentuk penelitian kualitatif (misalnya lihat psikolog-psikolog Lieblich, Tuval
Mashiach, & Zilber, 1998; sosiolog Cortazzi, 1993; dan Riessman, 1993). Upaya-upaya
antar disiplin bidang ilmu yang ditujukan pada penelitian naratif juga telah terdorong oleh
seri penerbitan tahunan Narrative Study of Lives yang dimulai pada tahun 1993 (yakni
Josselson & Lieblich, 1993).
APA-APA SAJA TIPE RANCANGAN PENELITIAN NARATIF?
Penelitian naratif tampil dalam berbagai bentuk. Apabila anda berencana melakukan
penelitian naratif, anda perlu mempertimbangkan tipe penelitian naratif apa yang akan
anda lakukan. Penelitian naratif adalah sebuah kategori penelitian yang dalam prakteknya
serba mencakup (lihat Casey, 1995/1996), seperti diperlihatkan oleh Diagram 16.1. Bagi
individu-individu yang berencana melakukan penelitian naratif, perlu diketahui bahwa
masing-masing tipe naratif memberikan struktur tersendiri dan referensi yang siap
digunakan terkait dengan bagaimana melakukan proyek tersebut yang di lingkungan para
dosen, redaktur jurnal, dan penerbit buku sudah dikenal. Bagi mereka-mereka yang
membaca penelitian naratif, tidak perlu betul mengetahui tipe naratif yang digunakan dan
yang lebih penting adalah untuk mengenal karakteristik esensial dari masing-masing tipe.
Lima buah pertanyaan berikut akan membantu menentukan tipe penelitian naratif apa
yang anda gunakan.
Siapa yang menulis atau merekam kisah itu?
Untuk menentukan siapa yang menulis dan merekam kisah seseorang individu merupakan
aspek pembeda mendasar dari penelitian naratif. Biografi adalah sebuah bentuk penelitian
naratif yang di dalamnya si peneliti menulis dan merekam pengalaman-pengamalam hidup
seseorang. Biasanya, para peneliti mengembangkan biografi dari catatan-catatan dan arsif-
arsif (Angrosino, 1989), walaupun para peneliti juga menggunakan sumber-sumber
informasi lain, seperti wawancara dan foto. Di dalam sebuah otobigrafi, si individu yang
merupakan subjek dari penelitian menuliskan sendiri laporannya.Walaupun bukan
merupakan pendekatan yang populer, anda bisa menemukan laporan-laporan kisah
otobiografi dari para guru sebagai profesional (Connelly & Clandinin, 1990).
Berapa banyak pengalaman hidup yang diceritakan dan direkam?
Pertanyaan ini akan membawa kita pada aspek pembeda kedua dari tipe-tipe penelitian
naratif. Dalam antropologi, banyak sekali contoh dari kisah-kisah tentang keseluruhan
hidup seseorang. A life history (riwayat hidup) adalah sebuah kisah naratif tentang
keseluruhan pengalaman hidup seseorang. Para antropolog, misalnya, terlibat dalam
penelitian tentang riwayat hidup dalam rangka mengkaji kehidupan seseorang dalam
konteks kelompok yang berbudaya sama. Sering fokus penelitian itu mencakup titik-titik
balik atau peristiwa-peristiwa yang signifikan dalam kehidupan seseorang individu
(Amgrosino, 1989). Walaupun demikian, dalam bidang pendidikan, penelitian-penelitian
naratif biasanya tidak mencakup kisah dari keseluruhan kehiduan akan tetapi sebaliknya
terfokus pada sebuah episode atau peristiwa tunggal dalam kehidupan seseorang. A
personal experience story (kisah pengalaman pribadi seseorang) adalah sebuah bentuk
penelitian naratif tentang pengalaman pribadi seseorang yang ditemukan dalam sebuah
episode tunggal atau beberapa episode, situasi-situasi pribadi, atau cerita rakyat (Denzin,
1989). Clandinin dan Connelly (2000) memperluas kisah pengalaman pribadi seseorang
menjadi besifat pribadi dan sosial, dan menyatakan pendapat ini sebagai esensi dari
pengalaman-pengalaman yang dilaporkan tentang para guru dan pengajaran di sekolah-
sekolah.
Siapa yang menceritakan kisah ini
Pendekatan ketiga untuk mengidentifikasi tipe naratif ini adalah mengkaji secara cermat
siapa yang menceritakan kisah tersebut. Faktor ini terutama sekali relevan dalam bidang
pendidikan, di mana para pendidik atau pembelajar tertentu menjadi fokus dari banyak
sekali penelitian-penelitian naratif. Contoh, teachers’ story (kisah guru) adalah laporan
pribadi yang dibuat oleh para guru tentang pengalaman-pengalaman pribadi mereka dalam
mengajar di dalam kelas. Sebagai salah satu bentuk naratif yang populer dalam bidang
pendidikan, ia digunakan oleh para peneliti untuk melaporkan kisah-kisah guru guna
mengkaji kehidupan para guru sebagai seorang profesional dan mengkaji pembelajaran di
dalam kelas (misalnya Connelly & Candinin, 1988). Penelitian-penelitian naratif lainnya
memfokuskan diri pada para siswa di dalam kelas. Dalam cerita anaka-anak, para peneliti
narraitif menyuruh anak-anak di dalam kelas menyajikan secara lisan atau tertulis kisah-
kisah mereka berkaitan dengan pengalaman-pengalaman belajar mereka (Ollerenshaw,
1998). Banyak orang secara individual di dalam seting-seting pendidikan bisa
memberikan atau mengisahkan pengalaman-pengalaman mereka seperti para
administrator, para anggota dewan pendidikan, penjaga sekolah, para pekerja kafetaria
sekolah, dan personalia sekolah lainnya.
Apakah ada lensa-lensa teoritis yang digunakan?
Pertanyaan lain yang ikut membentuk karakter dari naratif adalah apakah dan sejauh
manakah si peneliti menggunakan lensa-lensa teoritis dalam mengembangkan sebuah
narasi. Theoretical lens (lensa teoritis) dalam penelitian naratif adalah acuan perspectif
atau ideologi yang memberikan struktur bagi pemberian advokasi kepada kelompok-
kelompok atau para individu dan penulisan laporan. Lensa ini boleh jadi digunakan dalam
rangka memberikan advokasi terhadap orang-orang Amerika Latin dengan menggunakan
testimonios, dengan jalan melaporkan kiasah-kisah para wanita dengan menggunakan
lensa feminis (misalnya Personal Narrative Group, 1989), atau melalui pengumpulan
kisah-kisah individu-individu yang termarginalkan. Dalam contoh-contoh ini, si peneliti
naratif dalam bidang pendidikan memberikan saluran guna menyuarakan suara-suara para
individu yang jarang didengar suaranya.
Bisakah bentuk-bentuk naratif itu digabungkan?
Dalam sebuah penelitian naratif, sah-sah saja beberapa unsur yang berbeda seperti yang
dicantumkan dalam daftar terdahulu dikombinasikan di dalam sebuah penelitian. Contoh,
sebuah penelitian naratif bisa jadi berbentuk biografi karena si peneliti menulis dan
melaporkan tentang seorang partisipan di dalam penelitiannya. Penelitian yang sama boleh
jadi difokuskan pada kajian tentang seorang pribadi guru. Ia boleh jadi terkait dengan
sebuah peristiwa dalam kehidupan seorang guru, seperti berhenti dari sebuah sekolah
(Huber & Whelan, 1999), yang menghasilkan kisah hidup secara parsial, atau naratif
pribadi. Sebagai tambahan, apabila individu tersebut adalah seorang wanita, si peneliti
bisa saja menggunakan sebuah lensa teoritis untuk mengkaji isu-isu terkait dengan power
and control (kekuasaan dan pengawasan) di sekolah. Ini akan menjadi naratif feminist.
Naratif yang dihasilkan dengan demikian menjadi sebuah kombinasi dari unsur-unsur
yang berbeda: biografi, kisah pribadi, kisah seorang guru, dan sebuah perspektif feminist.
Dengan adanya tipe-tipe penelitian naratif yang banyak itu, nah sekarang, tipe
penelitian naratif yang mana yang akan digunakan oleh Maria? Ketika dia
mengumpulkan kisah-kisah dari Millie berkenaan dengan perjumpaannya dengan siswa
dalam kisahnya itu, (a) apakah Maria atau Millie yang menuliskan kisah tersebut? (b)
Apakah Maria melaporkan keseluruhan hidup atau episode tertentu saja? (c) Siapa yang
menceritakan kisah itu kepada Maria? (d) Haruskan Maria memberikan advokasi
berkenaan dengan pengawasan senjata di sekolah melalui penelitian naratifnya ini?
Jawablah masing-masing pertanyaan ini dan pikirkanlah rasional dari masing-masing
jawaban tersebut. Apa sebutan dari pendekatan naratif yang digunakan Maria apabila ia
menuliskan hal ini dalam penelitiannya? Ia barangkali akan menggunakan pendekatan
naratif pribadi. Bagaimana pula anda menjawab masing-masing pertanyaan di atas
sehingga tercermin pendekatan ini?
APA-APA SAJA KARAKTERISTIK KUNCI DARI RANCANGAN NARATIF?
Walaupun bentuk-bentuk penelitian naratif itu relatif banyak, semua bentuk tersebut
memiliki beberapa karakteristik yang sama. Sebelum kita meninjau karakteristik kunci itu,
mari kita diskusikan dulu karakteristik tersebut secara umum dan mengaitkannya dengan
karakteristik kualitatif dari penelitian sebagaimana dibicarakan di bab 2.
Seperti terlihat dalam Tabel 16.1, para peneliti naratif menelusuri masalah penelitian
pendidikan dengan jalan memahami pengalaman-pengalaman seseorang individu. Seperti
halnya dengan kebanyakan penelitian kualitatif, tinjauan kepustakaan memegang peranan
minor, terutama dalam memberikan tuntunan terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian,
dan si peneliti memberikan penekanan terhadap pentingnya belajar dari para partisipan di
sebuah seting. Pembelajaran ini terjadi melalui kisah-kisah yang diceritakan oleh individu-
individu, seperti guru atau siswa. Kisah-kisah tersebut merupakan data dan si peneliti
umumnya mengumpulkannya melalui wawancara atau percakapan-percakapan informal.
Kisah-kisah ini, yang disebut field texts (teks lapangan)(Clandinin & Connelly, 2000),
menyediakan data-data mentah bagi para peneliti untuk dianalisis ketika mereka
menceritakan kembali kisah-kisah itu didasarkan pada unsur-unsur naratif, seperti problem
(masalah), characters (tokoh), setting, actions (perbuatan), dan resolution (penyelesaian)
(Ollerenshaw & Creswell, 2000). Dalam proses ini, para peneliti menarasikan kisah-kisah
itu dan sering mengidentifikasi tema-tema atau kategori-kategori yang mencuat. Dengan
demikian, analisis data kualitatif boleh jadi merupakan sebuah deskripsi dari kisah dan
tema yang mencuat dari data , seperti dibicarakan pada bab 9. Tambahan lagi, terhadap
kisah yang dibangun kembali, si peneliti sering menuliskannya dalam bentuk kronologi
peristiwa yang mendeskripsikan pengalaman-pengalaman seseorang pada masa lalu, saat
ini, dan masa yang akan datang yang diakomodasi dalam seting atau konteks tertentu. Dari
keseluruhan proses pengumpulan dan penganalisisan data, si peneliti berkolaborasi dengan
para partisipan dengan jalan mengecek kisah itu dan menegosiasikan makna dari data
base. Tambahan lagi, si peneliti boleh jadi menyematkan kisah pribadinya ke dalam
laporan akhir.
Tinjauan singkat tentang proses ini menggaris bawahi karakteristik-karakteristik
tertentu dari penelitian yang sering ditemukan dalam laporan-laporan penelitian naratif.
Seperti diperlihatkan oleh Diagram 16.2, tujuh karakteristik utama merupakan ciri dari
penelitian naratif:
Pengalaman-pengalaman pribadi
Kronologi dari pengalaman-pengalaman itu
Mengumpulkan kisah-kisah individu
Menceritakan kembali
Mengkode untuk mencari tema-tema
Konteks atau seting
Berkolaborasi dengan para partisipan
Pengalaman-pengalaman individu
Dalam penelitian naratif, si peneliti sering mengkaji seseorang individu. Para peneliti
naratif memfokuskan penelitiannya pada pengalaman-pengalaman dari satu atau lebih
individu. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap Stephanie, seorang guru sekolah
dasar, para peneliti (Connelly dan Clandini, 1988) mengumpulkan kisah-kisah terkait
dengan perencanaannya dalam mengajar dari hari ke hari. Walaupun jarang, para peneliti
boleh jadi meneliti lebih dari satu orang individu (McCarthey, 1994).
Disamping penelitian terhadap seseorag individu, si peneliti paling tertarik pada
penelusuran pengalaman-pengalaman individu tersebut. Bagi Clandinin dan Connelly
(2000), pengalaman-pengalaman dalam penelitian naratif tidak hanya bersifat pribadi,
yakni apa-apa yang dialami oleh seseorang, tapi juga bersifat sosial, yakni individu
berinteraksi dengan orang-orang lain. Pemberian fokus pada pengalaman ini berpijak
pada pemikiran filsafat John Jewey, yang menyatakan bahwa pengalaman individu itu
merupakan lensa utama dalam rangka memahami seseorang. Salah satu aspek dari
pemikiran Dewey itu adalah memandang pengalaman itu sebagai sesuatu yang
berkelanjutan (Clandinin & Connelly, 2000), dengan pengertian bahwa sesuatu
pengalaman akan berujung pada pengalaman lainnya. Dengan demikian, para peneliti
naratif memberikan fokus pada pemahaman tentang sejarah individu atau pengalaman-
pengalaman individu pada masa lalu dan bagaimana pengalaman tersebut memberikan
kontribusi terhadap pengalaman-pengalaman masa kini dan masa datang.
Kronologi pengalaman
Memahami masa lalu seseorang individu begitu juga masa sekarang dan masa datangnya
merupakan unsur kunci lainnya dalam penelitian naratif. Para peneliti naratif menganalisis
dan melaporkan sebuah kronologi dari pengalaman-pengalaman seseorang individu.
Apabila si peneliti memfokuskan pada pemahaman terhadap pengalaman-pengalaman ini,
informasi tentang masa lalu, masa kini dan masa datang para partisipan akan terpancing.
Chronology (kronologi) dalam rancangan naratif bermakna bahwa si peneliti
menganalisis dan melaporkan kehidupan seseorang individu dengan menggunakan urutan
waktu atau kronologi peristiwa. Cortazzi (1993) mengungkapkan bahwa kronologi dalam
penelitian naratif memberi penekanan pada urutan, yang membedakan penelitian naratif
dari tipe-tipe penelitian lainnya. Contoh, dalam sebuah penelitian tentang penggunaan
tekhnologi komputer oleh guru di dalam kelas, si peneliti akan memasukkan informasi
tentang pengenalan komputer, penggunaan komputer dewasa ini, dan tujuan serta aspirasi
pemanfaatan komputer di masa datang. Kisah yang dilaporkan oleh si peneliti itu akan
mencakup pembicaraan tentang urutan peristiwa-peristiwa terkait dengan guru dimaksud.
Pengumpulan kisah-kisah individu
Untuk bisa mengembangkan perspektif kronologis dari pengalaman-pengalaman individu,
si peneliti narratf minta si partisipan menceritakan sebuah kisah (kisah-kisah) tentang apa-
apa yang dialaminya. Para peneliti naratif memberi penekanan pada pengumpulan kisah-
kisah yang diceritakan kepada mereka oleh individu-individu atau dikumpulkan dari
berbagai ragam field texts (teks-teks lapangan). Kisah-kisah seperti ini bisa jadi muncul
selama percakapan kelompok (Huber & Whelan, 1999) atau dari wawancara satu lawan
satu. A story in narrative research (kisah dalam penelitian naratif) adalah penceritaan
secara lisan oleh orang pertama atau penceritaan kembali tentang seseorang individu.
Sering kisah kisah ini memiliki bahagian awal, pertengahan dan akhir. Sama dengan
unsur-unsur dasar seperti ditemukan pada novel-novel yang bagus, aspek-aspek ini
melibatkan adanya masalah, konflik, atau perjuangan; protogonis atau tokoh, dan urutan
peristiwa dengan penyebab (plot) yang pada akhirnya diakhiri oleh terselesaikannya
masalah dengan cara-cara tertentu (Carter, 1993). Dalam maknanya yang lebih luas, kisah
itu bisa mencakup unsur-unsur yang biasanya ditemui pada novel, seperti waktu, tempat,
plot dan scene (pentas)(Connelly & Clandinin, 1990). Dari perspektif kesastraan, urutan
tersebut boleh jadi merupakan pergerakan dari plot ketika kisah tersebut berlangsung,
adanya krisis atau titik balik, dan akhir (anti klimaks) atau denouuement. Para peneliti
naratif berharap bisa menangkap jalannya kisah ketika mereka menyimak para individu-
individu yang menceritakan kisahnya tersebut.
Para peneliti naratif mengumpulkan kisah-kisah dari beberapa sumber data. Field
texts (teks-teks lapangan) menyajikan informasi dari berbagai sumber yang dikumpulkan
oleh para peneliti dalam sebuah rancangan naratif. Sampai pada titik ini, contoh-contoh
telah memberikan ilustrasi tentang pengumpulan kisah-kisah dengan menggunakan media
diskusi, percakapan, atau wawancara antara seorang peneliti dan seorang individu.
Walaupun demikian, kisah-kisah itu bisa berupa otobiografi, melalui refleksi yang
dilakukan oleh si peneliti dan memadukan kisah tersebut dengan kisah-kisah orang
lainnya. Contoh, dalam contoh penelitian yang terdapat pada akhir bab ini, Huber dan
Whelan (1999) mendiskusikan bagaimana kisah-kisah mereka terkait dengan kisah-kisah
tentang Naomi, seorang guru sekolah menengah di pedesaan, ketika ia menceritakan
tentang keputusannya untuk berhenti dari jabatannya di sekolah tersebut. Sering peranan si
peneliti dalam proses penelitian menjadi sangat penting, di mana ia menemukan dirinya
dalam “ a nested set of stories” (sebuah rangkaian kisah yang saling terkait) (Clandinin &
Connelly, 2000, halaman 63). Jurnal adalah bentuk lain yang digunakan untuk
mengumpulkan kisah-kisah, seperti halnya catatan-catatan lapangan yang ditulis oleh si
peneliti atau si partisipan. Surat merupakan data yang bermanfaat. Surat-surat ini bisa jadi
ditulis bolak balik antara para partisipan, para peneliti, atau antara para peneliti dan
partisipan (Clandinin & Connelly, 2000). Kisah-kisah keluarga, foto-foto, kotak-kotak
kenangan, yakni kumpulan barang-barang yang menyimpan kenang-kenangan, adalah
bentuk-bentuk lain yang dapat digunakan guna pengumpulan kisah-kisah dalam penelitian
naratif.
Penceritaan kembali
Setelah seseorang individu menceritakan sebuah kisah tentang pengalaman-
pengalamannya, peneliti naratif menceritakan kembali kisah tersebut dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Mereka melakukan ini guna memberikan susunan dan
urutan terhadapnya. Restorying (penceritaan kembali) adalah proses di mana si peneliti
mengumpulkan kisah-kisah, menganalisisnya untuk mencari unsur-unsur dari kisah itu
(misalnya, waktu, tempat, plot, dan scene), dan kemudian menuliskan kembali kisah
tersebut atas dasar urutan secara kronologis. Ketika seorang individu menceritakan sebuah
kisah, urutan kronologis itu bisa jadi hilang atau mungkin tidak berurutan secara logis.
Dengan jalan menceritakan kembali kisah itu, si peneliti memperlihatkan kaitan sebab
akibat di antara pemikiran-pemikiran yang ada. Ada beberapa cara penceritaaan kembali
sebuah kisah.
Perhatikan transkrip yang diperlihatkan pada Tabel 16.2 dari sebuah proyek naratif
yang berkaitan dengan tingkah laku merokok remaja (Ollerenshaw & Creswell, 2000).
Tabel tersebut memperlihatkan proses penceritaan kembali data-data wawancara dengan
seorang siswa sekolah menengah yang berupaya berhenti merokok. Proses tersebut
mencakup tiga tahap:
Si peneliti melakukan wawancara dan mentraskripsikan percakapan tersebut dengan
menggunakan audio tape. Transkripsi wawancara tersebut diperlihatkan pada kolom
pertama sebagai data mentah.
Kemudian si peneliti naratif mentraskripsikan kembali data-data mentah tersebut
dengan jalan mengidentifikasi unsur-unsur kunci dari kisah tersebut. Ini
diperlihatkan pada kolom kedua. Kunci pada bahagan bawah tabel menyatakan
kode yang digunakan oleh si peneliti untuk mengidentifikasi seting (s), tokoh (c),
perbuatan (a), masalah (p), dan penyelesaian (r).
Akhirnya, si peneliti menceritakan kembali kisah siswa tersebut dengan jalan
menyusun kode-kode kunci dalam sebuah urutan. Urutan yang diperlihatkan dalam
tulisan tersebut adalah seting, tokoh, perbuatan, masalah, dan penyelesaian,
walaupun si peneliti lain boleh jadi melaporkan unsur-unsur tersebut dalam urutan
yang berbeda. Penceritaan kembali ini mulai dengan tempat (restauran McDonald),
tokoh (siswa), dan kemudian peristiwa (tingkah laku seperti “bergoyang-goyang”
dan “hyper”). Si peneliti menyusun kembali transkripsi itu dalam rangka
mengidentifikasi unsur-unsur dari kisah tersebut dan menceritakan kembali unsur-
unsur tersebut dalam urutan kegiatan yang logis.
Untuk mengidentifikasi secara jelas unsur-unsur ini, si peneliti boleh jadi menyusun
unsur-unsur itu ke dalam sebuah tabel yang sama dengan Tabel 16.3. Tabel ini
mendeskripsikan lima unsur yang digunakan dalam penceritaan kembali (Ollerenshaw,
1998). Seting adalah situasi khusus dari sebuah kisah, yang diilustrasikan oleh faktor-
faktor seperti waktu, lokasi, atau tahun. Si peneliti boleh jadi mendiskusikan tokoh-
tokoh dalam sebuah kisah sebagai model atau menggambarkan mereka melalui
kepribadian, tingkah laku, gaya dan pola-pola hidup mereka. Perbuatan adalah gerakan-
gerakan para individu di dalam sebuah kisah, seperti cara berpikir dan bertingkah laku
tertentu yang terjadi di dalam kisah tersebut. Masalah merupakan pertanyaan atau minat
yang timbul selama kisah tersebut atau fenomena yang perlu didiskripsikan atau
dijelaskan. Penyelesaian adalah hasil dari penanganan masalah: jawaban atas
pertanyaan atau kesimpulan yang diambil di dalam kisah tersebut. Ia bisa jadi
mencakup penjelasan tentang apa yang menyebabkan si tokoh berubah di dalam kisah
tersebut.
Unsur-unsur seting, tokoh, perbuatan, masalah, dan penyelesaian hanya
memberikan ilustrasi tentang sebuah contoh dari unsur-unsur yang dicari oleh si
peneliti naratif ketika ia menceritakan kembali pengalaman-pengalaman seorang
individu. Mereka bisa juga menggunakan unsur-unsur dari struktur narrative tiga
dimensi seperti yang dkemukakan oleh Clandinin dan Connelly (2000). Seperti
diperlihatkan dalam Tabel 16.4, tiga dimensi yang terdiri dari interaksi, kontinuitas, dan
situasi menciptakan ruang penelitian “metaforis”(halaman 50) yang mendefenisikan
penelitian naratif. Ketika para peneliti membangun kisah mereka (apakah kisah mereka
sendiri maupun kisah orang lain), mereka akan memasukkan infomasi seperti berikut:
Interaksi: interaksi pribadi yang didasarkan pada perasaan, harapan, reaksi, dan
disposisi (watak kepribadian) seseorang begitupun interaksi sosial yang mencakup
orang-orang lain dan maksud, tujuan, asumsi dan pandangan mereka.
Kontinuitas: pertimbangan akan masa lampau yang teringat, masa sekarang yang
terkait dengan pengelaman-pengalaman pada sebuah peristiwa; dan masa depan,
mengharap-harapkan pengalaman-pengalaman yang mungkin terjadi
Situaasi: Infomrasi tentang konteks, waktu, dan tempat dalam seting fisik, dengan
batas-batasnya, dan maksud, tujuan, dan pandangan yang berbeda dari si tokoh.
Mengkode untuk mencari tema-tema
Sebagaimana halnya dengan semua penelitian kualitatif, data bisa dipilah-pilah ke dalam
tema-tema (lihat Bab 9). Para peneliti naratif bisa mengkode data-data dari sebuah kisah
ke dalam tema-tema atau kategori-kategori. Identifikasi dari tema-tema ini
memperlihatkan kerumitan dari sebuah kisah dan membantu menambah wawasan kita
guna memahami pengalaman-pengalaman individu. Sebagaimana halnya dengan
penelitian kualitatif, sejumlah kecil tema, lima sampai tujuh, diidentifikasi oleh si peneliti.
Para peneliti memadukan tema-tema ini ke dalam tulisan-tulisan terkait dengan kisah-
kisah individu atau memasukkannya ke dalam bahagian khusus di dalam penelitian. Para
peneliti naratif biasanya menyajikan tema-tema ini setelah penceritaan kisah tersebut.
Konteks atau seting
Para peneliti naratif mendeskripsikan secara rinci seting atau konteks di mana individu
mengalami fenomena sentral. Dalam penceritaan kembali kisah partsipan dan penyebutan
tema-tema, para peneliti narrative memasukan rincian yang kaya tentang seting atau
konteks dari pengalaman-pengalaman si partisipan. Seting dalam penelitian naratif bisa
jadi teman, keluarga, tempat kerja, rumah, organiasi sosial, atau sekolah – tempat di mana
kisah secara fisik terjadi. Dalam beberapa penelitian naratif, kisah-kisah yang diceritakan
tentang seorang pendidik bisa secara aktual mulai dengan sebuah deskripsi tentang seting
atau konteks sebelum si peneliti naratif mengemukakan peristiwa-peristiwa atau
perbuatan-perbuatan yang terdapat di dalam kisah tersebut. Dalam kasus-kasus lain,
informasi tentang seting terpadu secara menyeluruh di dalam sebuah kisah.
Berkolaborasi dengan partisipan
Dalam keseluruhan proses penelitian, para peneliti naratif berkolaborasi dengan individu-
individu yang diteliti. Collaboration (kolaborasi) di dalam penelitian naratif bermakna
bahwa si peneliti secara aktif terlibat dengan partisipan dalam penelitian. Kolaborasi ini
bisa mencakup banyak langkah dalam proses penelitian, mulai dari merumuskan fenomena
sentral sampai pada menentukan tipe-tipe teks lapangan yang mana yang akan
memberikan informasi yang berguna atau sampai pada penulisan draft akhir dari kisah
yang diceritakan kembali tentang pengalaman seseorang individu. Kolaborasi mencakup
menegosiasikan hubungan-hubungan antara si peneliti dan partisipan untuk mengurangi
kesenjangan antara narrasi yang diceritakan dan narrasi yang dilaporkan (Clandinin
&Connelly, 2000). Ia bisa juga mencakup penjelasan tentang tujuan penelitian kepada
partisipan, menegosiasikan transisi antara pengumpulan data dan penulisan kisah, dan
menyusun cara-cara terbaik untuk berbaur dengan partisipan di dalam penelitian
(Clandinin & Connelly, 2000). Kolaborasi sering mempersyaratkan hubungan kerja yang
baik antara para guru peneliti, situasi yang ideal yang memakan waktu untuk
mengembangkan kisah yang secara timbal balik mencerahkan antara si peneliti dan guru
(Elbaz-luwisch, 1997).
APA SAJA ISU-ISU POTENSIAL DALAM MENGUMPULKAN KISAH
Ketika mengumpulkan kisah-kisah, para peneliti naratif perlu berhati-hati tentang kisah-
kisah yang dikumpulkan. Apakah kisahnya otentik? Partisipan bisa saja “memalsukan
data-data” (Connelly & Clandinin, 1990, halaman 10), dalam memberikan kisah tentang
Pollyanna dengan ending kisah ala Hollywood, di mana seorang cowok atau gadis yang
baik selalu menang. Distorsi terhadap data seperti ini bisa terjadi pada setiap penelitian
manapun, dan ia merupakan isu tertutama bagi para peneliti naratif karena mereka sangat
menghandalkan informasi yang dilaporkan sendiri oleh para partisipan. Pengumpulan
berbagai ragam teks-teks lapangan, triangulasi data dan pengecekan oleh para partsipan
(sebagaimana didiskusikan pada bab 9) bisa membantu menjamin bahwa data-data yang
dikumpulkan itu bagus.
Para partisipan boleh jadi tidak bisa menceritakan kisah yang ril. Ketidakbisaan ini
boleh jadi timbul karena pengalaman-pengalaman tersebut semata-mata menakutkan untuk
dilaporkan atau susah untuk diingat (misalnya korban-korban holocaust, korban-korban
bencana). Ini bisa juga terjadi ketika individu-individu takut akan sangsi-sangsi yang
diberikan kepada mereka jika mereka melaporkan kisah itu, seperti kasus-kasus kekerasan
seksual. Kisah sebenarnya bisa saja tidak muncul karena individu-individu semata-mata
tidak bisa mengingatnya – kisah terkubur terlalu dalam di dalam ketidaksadaran. Ini bisa
juga terjadi karena individu-individu mendasarkan kisah-kisah mereka pada peristiwa-
peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam, yang diingat mungkin apa-apa yang terjadi
sebelumnya yang berkemungkinan mengganggu peristiwa-peristiwa dan akhirnya
membuat-buat kejadian masa lalu tersebut (Lieblich et al., 1998). Walaupun distorsi
(gangguan), takut akan pembalasan dendam, dan ketidakbiaan menceritakan bisa jadi
mengganggu pencerita, peneliti naratif mengingatkan kita bahwa kisah adalah “kebenaran
dari pengalaman kita” (Riessman, 1993, halaman 22) dan bahwa kisah apapun yang
diceritakan memiliki unsur-unsur kebenaran di dalamnya.
Penceritaan kisah oleh partisipan juga menimbulkan isu tentang siapa yang empunya
kisah, dalam melaporkan kisah-kisah individu yang termaginalkan di dalam masyarakat
kita, para peneliti naratif memiliki resiko melaporkan kisah-kisah yang mereka sendiri
tidak memiliki izin untuk itu. Paling tidak, para peneliti naratif harus memiliki izin untuk
melaporkan kisah-kisah tersebut, dan memberitahukan pada individu-individu tentang
tujuan dan pemanfaatan kisah-kisah tersebut pada awal kegiatan proyek.
Sejalan dengan masalah potensial tentang kepemilikan kisah ini adalah isu tentang
apakah suara para partisipan hilang dalam laporan penelitian naratif. Contoh, apabila ada
penceritaan, berkemungkinan laporan penelitian memberikan refleksi terhadap kisah si
peneliti dan bukan kisah si partisipan. Dengan menggunakan sebanyak mungkin kutipan
dari para partisipan dan kalimat yang persis yang digunakan oleh partisipan, dan secara
cermat menyusun waktu dan tempat bagi kisah tersebut, boleh jadi akan bisa membantu
menghilangkan masalah tersebut. Isu yang terkait dengan ini adalah apakah si peneliti
mendapatkan sesuatu di dalam penelitian ini sedangkan partisipan sebalinya. Perhatian
yang cermat terhadap ketimbal- balikan antara peneliti dan partisipan, seperti menjadi
sukarelawan di dalam kelas atau memberikan hadiah terhadap partisipasi di dalam
penelitian, akan menyebabkan masing-masing pihak, si peneliti dan partisipan, merasa
mendapatkan sesuatu.
APA LANGKAH DALAM MELAKSANAKAN PENELITIAN NARATIF?
Apapun tipe atau bentuk penelitian narratifnya, para pendidik yang ingin melakukan
penelitian naratif melakukannya dengan langkah-langkah yang sama, seperti diperlihatkan
oleh Diagram 16.3. Tujuh langkah utama membentuk proses yang biasanya diikuti dalam
penelitian naratif. Visualisasi dari proses sebagai sebuah siklus memperlihatkan bahwa
semua langkah saling terkait satu sama lain dan tidak harus linear. Penggunaan anak panah
untuk memperlihatkan arah dari langkah-langkah tersebut hanyalah merupakan saran dan
yang tidak harus diikuti dalam proses dimaksud.
Langkah 1: Mengidentfikasi fenomena yang akan diteliti yang terkait dengan masalah pendidikan
Sebagaimana halnya dengan semua proyek penelitian, proses penelitian dimulai dari
pemokusan pada sebuah masalah yang ingin diteliti dan pengidentifikasian, yang di dalam
penelitian kualitatif, sebuah fenomena sentral untuk ditelusuri. Walaupun fenomena yang
menarik minat di dalam penelitian naratif itu adalah sebuah kisah (Connelly & Clandinin,
1990), anda perlu mengidentifikasi sebuah isu atau permasalahan. Contoh, isu bagi Huber
(1999), dalam penelitian naratifnya berkenaan dengn anak-anak di dalam kelas, yang
terdiri dari kisah-kisah tentang kesulitan-kesulitan yang ia dan calon guru di bawah
bimbingannya, Shaun, hadapi menangani berbagai kebutuhan para siswanya. Tercakup
dalam hal ini adalah anak-anak dan tidak termasuk anak-anak lain, dengan menggunakan
kata-kata kasar satu sama lain, dan secara konsisten menggunakan kemarahan dan agresi
menangani masalah. Ketika menelusuri isu-isu seperti ini, anda berupaya memahami
pengalaman-pengalaman sosial dan pribadi dari seseorang individu atau beberapa orang
individu di dalam seting pendidikan.
Langkah 2. Menyeleksi dengan sengaja seorang individu dari siapa anda bisa
mempelajari segala sesuatu tentang fenomena
Anda kemudian menemukan seorang individu atau beberapa orang individu yang bisa
memberikan pemahaman tentang fenomena. Partisipannya boleh jadi seseorang yang
khusus atau seseorang yang memang sudah kritis untuk diteliti karena ia telah mengalami
isu atau situasi spesifik. Penelitian tentang Naomi merupakan kasus yang kritis berkenaan
dengan isu konflik guru antara guru sekolah menengah khusus dan guru pengawas
berkenaan dengan penempatan siswa yang memerlukan layanan khsusus (Huber &
Whelan, 1999). Pilihan lain untuk sampel sebagaimana yang dibicarakan pada Bab 8 juga
tersedia. Walaupun banyak penelitian naratif mengkaji hanya seseorang individu anda bisa
meneliti beberapa orang individu dalam sebuah kegiatan penelitian masing-masing dengan
sebuah kisah yang berbeda yang bisa memiliki konflik atau mendukung satu sama lain.
Langkah 3. Mengumpulkan kisah dari individu
Tujuan anda adalah mengumpulkan teks-teks lapangan yang berisikan kisah tentang
pengalaman-pengalaman seorang individu. Barangkali cara yang paling baik
mengumpulkan kisah itu adalah meminta si individu menceritakan pengalaman-
pengalamannya melalui percakapan-percakapan pribadi dan wawancara. Anda bisa
mengumpulkan teks-teks lapangan yang lain seperti berikut:
Suruh individu tersebut merekam (mencatat) kisahnya dalam sebuah buku harian
Mengamati si individu dan membuat catatan-catatan lapangan
Mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan oleh orang lain
Mengumpulkan kisah-kisah tentang individu tersebut dari anggota-anggota keluarga
Mengumpulkan dokumen-dokumen seperti memo, atau surat menyurat resmi tentang si
individu
Dapatkan foto-foto, kotak-kotak kenangan, dan artifak-artifak pribadi/keluarga/sosial
yang lain
Rekam pengalaman-pengalaman hidup si individu, misalnya tarian, teater, musik, film,
kesenian, dan kesusasteraan; Clandinin, & Connelly, 2000).
Langkah 4. Menceritakan kembali kisah si individu
Selanjutnya tinjau ulang data-data yang berisikan kisah dan kemudian ceritakan kembali
kisah tersebut. Proses ini mencakup meneliti data-data mentah, mengidentifikasi unsur-
unsur dari sebuah kisah, mengurut atau menyusun unsur-unsur dari kisah tersebut, dan
kemudian menyajikan kisah yang sudah diceritakan kembali itu yang berisi pengalaman-
pengalaman si individu. Anda menggunakan teknik penceritaan kembali karena si
pendengar dan si pembaca akan memahami lebih baik kisah yang diceritakan oleh si
partisipan apabila anda mengurutnya dalam urutan yang logis.
Unsur-unsur apa yang anda identifikasi dalam data-data mentah untuk kisah anda itu?
Bagaimana anda menyusun unsur-unsur ini di dalam kisah anda? Para peneliti naratif
berbeda tentang unsur-unsur yang harus dipilih walaupun pada umumnya anda
mengutarakan unsur-unsur naratif yang ditemukan dalam analisis sebuah novel. Contoh,
waktu, tempat, plot, dan scene merupakan unsur-unsur utama yang diidentifikasi dalam
kisah oleh para peneliti (Connely dan Clandinin, 1990). Bila anda memfokuskan pada plot,
anda berkemungkinan mengidentifikasi peristiwa-peristiwa atau perbuatan-perbuatan,
mengorientasikan pendengar, menceritakan complicating action, mengevaluasi maknanya
dan mengakhiri perbuatan Cortazzi, 1993). Seorang peneliti lain berkemungkinan
menelaah kisah itu atas dasar setting, tokoh, perbuatan, masalah, dan penyelesaian
(Ollerenshaw & Creswell, 2000). Walaupun terdapat beberapa strategi analitik untuk
menyusun sebuah kisah, semua prosedur itu harus menyusun kisah itu untuk si pembaca
dan si pendengar dengan menggunakan unsur-unsur sastra.
Langkah 5. Berkolaborasi dengan partisipan-si penceria
Langkah ini merupakan sebuah langkah yang berinteraksi dengan langkah-langkah yang
lainnya dalam keseluruhan proses. Anda secara aktif berkolaborasi dengan partisipan
selama proses penelitian. Kolaborasi ini bisa mengambil beberapa bentuk seperti
menegosiasikan izin masuk ke situs dan izin bertemu dengan partisipan, bekerja secara
erat dengan partisipan untuk mendapatkan teks-teks lapangan yang dapat menangkap
pengalaman-pengalaman individu, dan menuliskan serta menceritakan kisah individu
tersebut dengan menggunakan kata-kata si peneliti itu sendiri.
Langkah 6. Tulis sebuah kisah tentang pengalaman-pengalaman si partisipan
Langkah utama dalam proses penelitian ini adalah penulisan dan penyajian pengalaman-
pengalaman individu oleh si peneliti. Walaupun tidak ada cara satu-satunya untuk menulis
laporan naratif, agaknya bermanfaat untuk mencantumkan beberapa aspek naratif.
Penceritaan kembali yang anda lakukan itu merupakan hal yang sentral dalam menuliskan
laporan naratif. Di samping itu anda juga mencantumkan analisis untuk memperjelas
tema-tema spesifik yang mencuat dalam kisah itu.
Biasanya, anda tidak memasukan bagian kesusastraan secara khusus; sebaliknya anda
memadukan kajian-kajian kesusastraan dan kajian-kajian penelitian tentang masalahnya ke
dalam sebuah bagian akhir dari penelitian. Karena para pembaca sering tidak terbiasa
dengan naratif, anda sebaiknya menulis sebuah bagian tentang pentingnya penelitian
naratif dan prosedur-prosedur yang tercakup di dalamnya sehingga anda bisa
menginformasikan kepada para pembaca tentang penelitian naratif. Sebagaimana halnya
dengan semua penelitian kualitatif anda “hadir” dalam laporan naratif, dan anda
menggunakan kata ganti orang pertama untuk mengacu kepada diri anda sendiri.
Langkah 7. Memvalidasi keakuratan laporan
Anda juga perlu memvalidasi keakurasian laporan naratif anda. Apabila memang ada
kolaborasi anda dengan partisipan, validasi ini bisa terjadi pada keseluruhan kegiatan
penelitian. Beberapa praktek validasi ini dibicarakan dalam Bab 9, seperti pengecekan
oleh anggota peneliti, triangulasi antara sesama sumber data, dan mencari bukti-bukti yang
menyanggah, merupakan hal-hal yang bermanfaat untuk menentukan akurasi dan
kredibilitas dari sebuah penelitian naratif.
BAGAIMANA ANDA MENGEVALUASI PENELITIAN NARATIF
Sebagai bentuk dari penelitian kualitatif, penelitian naratif harus konsisten dengan kriteria
penelitian kualitatif sebagaimana telah diidentifikasi pada Bab 10. Tambahan lagi ada
beberapa aspek naratif yang ketika orang membaca dan mengevaluasi sebuah penelitian
perlu dipertimbangkan. Gunakan pertanyaan-pertanyaan berikut dalam rangka
mengevaluasi laporan penelitian naratif baik oleh anda sendiri maupun oleh orang lain.
Apakah si peneliti memfokuskan pada pengalaman-pengalaman seseorang individu
Apakah ada sebuah fokus tentang seseorang individu atau beberapa orang individu
Apakah si peneliti mengumpulkan kisah tentang pengalaman-pengalaman seorang
individu
Apakah si peneliti menceritakan kembali kisah si partisipan
Dalam teknik penceritaan kembali, apakah suara partisipan dan atau suara si peneliti
“terdengar”
Apakah si peneliti mengidentifikasi tema-tema yang mencuat dari kisah itu
Apakah kisah mencakup informasi tentang tempat atau setting daripada individu
Apakah kisah itu memiliki urutan temporal atau waktu, urutan kronologis yang
mencakup waktu yang lalu, saat ini, dan yang akan datang
Apakah ada bukti si peneliti berkolaborasi dengan si partisipan
Apakah kisah itu dapat menjawab secara gamblang tujuan dan pertanyaan penelitian
MENERAPKAN APA YANG SUDAH ANDA PELAJARI:PENELITIAN NARATIF
Untuk dapat menerapkan gagasan-gagasan dalam bab ini, baca penelitian naratif pada
halaman 532 oleh Huber & Whelan (1999), perhatikan anotasi digaris pinggir yang
mengidentifikasi karakteristik penelitian kualitatif dan penelitian naratif. Tulisan ini
memiliki beberapa tingkat makna yang menarik dan pandangan-pandangan yang
bermanfaat bagi para pendidik ketika kita berbicara tentang isu-isu yang terdapat di tempat
kerja kependidikan. Sebagai sebuah rancangan naratif kisah yang secara jelas diceritakan
oleh Naomi dengan orang-orang, konteks, aliran peristiwa, dan denouement menandai
tulisan ini sebagai bacaan yang bermanfaat bagi mereka-mereka yang mempelajari
penelitian naratif. Sebagai sebuah penelitian kualitatif yang menangani isu-isu tentang
kekuasaan, marginalisasi, dan pelintasan batas, penelitian ini mengajukan kajian kualitatif
yang memberi penekanan pada emansipasi dan partisipasi dimana masalah-maasalah
berkaitan dengan agency, advokasi, ketidakberdayaan, dan marginalisasi memainkan
peranan sentral.
Ketika anda mengkaji penelitian ini cari bagian-bagian dalam proses penelitian:
Masalah penelitian dan penggunaan penelitian kualitatif
Penggunaan kajian pustaka
Rumusan tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian
Tipe-tipe dan prosedur pengumpulan data-data naratif
Tipe-tipe dan prosedur penganalisisan dan penginterpretasian data-data naratif
Struktur penulisan
Setelah anda membaca tulisan ini dan memperhatikan lokasi dan kualitas dari masing-
masing bagian (dengan menggunakan nomor paragrap), kemudian kembali ke analisis
dalam bagian berikutnya dan bandingkan analisis anda dengan analisis yang saya buat.
Masalah penelitian dan Penggunaan penelitian kualitatif
Lihat paragrap 03 dan keselurahn tulisan (artikel)
Dalam paragrap 03, si pengarang mengidentifikasi terjadinya kemungkinan salah
didik di sekolah ketika individu-individu berupaya memahami dan menolak (resisten)
situasi pada konteks sekolah mereka sendiri. Naomi mengalami kontradiksi, kesenjangan
dan “pendiaman” dalam pekerjaannya di sekolah.
Artikel ini memperlihatkan karakteristik dari penelitian kualitatif berikut :
Eksplorasi dan pemahaman tentang pengalaman-pengalaman seorang individu di
sekolah (paragraf 08 – 17)
Penggunaan kepustakaan secara minimal dan, apabila memang ada bahan
kepustakaan, itu pun terbatas pada landsape (latar belakang) sekolah bagi guru-
guru profesional (paragraf 02) atau penjelasan tentang pendekatan penelitian terkait
dengan penelitian naratif (paragraf 04).
Rumusan tujuan penelitian secara umum dan luas – membuat kisah si guru
difahami (paragraf 03)
Fokus pada pengalaman-pengalaman partisipan dengan jalan mengkaji si empunya
cerita/guru yang menjalani pengalaman-pengalaman tersebut (paragraf 03)
Pengumpulan data (yakni berbentuk kata-kata) dengan menggunakan prosedur-
prosedur yang melibatkan percakapan-percakapan dengan sekelompok guru yang
terdiri dari lima orang selama periode waktu 18 bulan (paragraf 04)
Meneliti hanya satu orang individu (paragraf 10)
Menganalis percakapan-percakapan dan kisah-kisah Naomi dengan jalan
mendeskripsikan atau menceritakan kembali kisahnya itu (paragraf 10 – 17)
Menginterpretasikan makna dari kisah Naomi dalam makna yang umum tentang
kekuatan resistensi (paragraf 52 – 56)
Menggunakan struktur pelaporan yang luwes dalam mengemukakan kisah Naomi
(paragraf 10 – 17) yang diikuti oleh tema-tema tentang pengajaran di dalam kelas
dan tema-tema yang terkait dengan pembatas)(paragraf 20 – 25)
Melaporkan dengan menggunakan gaya yang luwes dan personal di mana para
penulis mengidentifikasi bagaimana pandangan mereka sendiri berubah sebagai
hasil dari mendengarkan dan merefleksikan kisah Naomi (paragraf 55 – 56).
Penggunaan bahan kepustakaan (literatur)
Lihat paragraf 06, 52, dan 53 bahan
Seperti halnya dengan kebanyakan penelitian kualitatif, tinjauan kepustakaan
memegang peranan minor. Dalam penelitian ini, bahan kepustakaan yang digunakan
sedikit sekali, apabila ia muncul, ia sekedar mendokumentasikan kisah-kisah yang
diceritakan atas dasar latar belakang pengetahuan profesional (paragraf 05) atau terkait
dengan pendekatan-pendekatan yang melandasi penelitian naratif (paragraf 04).
Kebanyakan kepustakaan yang digunakan adalah kepustakaan yang terkait dengan
metodologi; yakni ia menginformasikan atau mendidik para pembaca tentang rancangan
penelitian naratif ketimbang tentang materi atau topik tentang guru-guru di sekolah. Bahan
kepustakaan seperti ini memberikan referensi, konsep, bahasa yang biasa digunakan di
dalam penelitian naratif. Disamping itu, tidak ada teori dari kepustakaan yang harus diuji,
sebuah pendekatan yang biasanya diterapkan oleh para peneliti kualitatif. Dengan
penggunaan kepustakaan yang minim seperti ini, para peneliti belajar dari dan menentukan
arah dari pengalaman-pengalaman Naomi.
Rumusan Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Lihat paragraf 03
Para peneliti menyatakan tujuan atau maksud dari penelitian semenjak awal,
paragraf 03. Mereka mendiskusikan bagaimana menarik makna dari sebuah kisah tentang
seorang guru. Paragraf ini sebenarnya membuat keringkasan dari keseluruhan kisah dan
menyatakan fenomena sentral terkait dengan salah didik yang merupakan fokus dari
penelitian ini. Tidak ada pertanyaan penelitian yang diungkapkan guna memberikan arah
terhadap penelitian secara khusus.
Tipe-tipe Prosedur Pengumpulan Data-data Naratif
Lihat paragraf 04
Sebagai sebuah penelitian kualitatif, tulisan ini melaporkan data-data berbentuk teks
– kata-kata Naomi, si guru. Walaupun demikian, para peneliti memberikan bukti yang
sangat minim tentang pengumpulan data mereka. Kita memang mengetahui bahwa kelima
guru terlibat dalam percakapan selama 18 bulan. Percakapan-percakapan ini direkam
dengan audiotape dan ditranskripsikan serta disajikan dalam bentuk data-data teks yang
digunakan dalam penelitian ini. Para peneliti tidak secara eksplisit mengidentifikasi teknik
pemilihan sampel, akan tetapi mengasumsikan bahwa sampelnya adalah sampel bertujuan.
Guru diantara lima wanita ini adalah peneliti dan penasehatnya dalam penelitian ini, dan si
peneliti sering merujuk pada kisah-kisah mereka sendiri dan juga kisah Naomi. Walaupun
kelima individu yang berpartisipasi dalam percakapan tentang kehidupan mereka sebagai
guru (paragraf 08), penelitian ini terfokus hanya pada satu orang individu, yakni Naomi,
yang terlihat sebagai co-peneliti (pembantu peneliti) dalam penelitian ini.
Tipe dan Prosedur dari Analisis dan Interpretasi Data-data Naratif
Lihat paragraf 08 – 17 untuk cerita yang diceritakan kembali
Lihat paragraf 18 – 51 untuk tema-tema
Lihat paragraf 52 – 56 untuk interpretasi
Pada tulisan tentang perekonstruksian pengalaman-pengalaman Naomi, kita
menemukan analisis tataran pertama dari kisahnya. Ini merupakan penceritaan kembali
kisah Naomi oleh para peneliti. Ia mencakup informasi kontekstual (pedesaan, latar
belakang sekolah menengah pertama/atas), tokoh (Brian, Alicia, dan Laura), peristiwa-
peristiwa khusus (ketegangan dalam hubungan , intoleransi, dan kebisuan) dan
penyelesaian atau denoument (berhenti dari sekolah). Setelah proses penceritaan kembali
ini, para peneliti mengidentifikasi tema-tema tentang latar belakang guru (di dalam ruang
kelas atau di luar ruang kelas) dan borders =pembatas (kepemilikan, negosiasi, rumah,
posisi/kekuasaan, kesamaan, konfrontasi, arogansi, penilaian, dan kebisuan). Dengan
demikian, analisis terdiri dari deskripsi tentang situasi Naomi (penceritaan kembali) dan
identifikasi tema-tema (pengalaman-pengalaman mengajar di kelas dan borders
(pembatas).
Para peneliti mengembangkan interpretasi yang lebih luas tentang kisah Naomi pada
bahagian akhir dari penelitian. Kami mengetahui kepeduliannya terhadap orang-orang lain
(paragraf 53) dan rasa keputusasaan para peneliti terhadap kisah Naomi tersebut (paragraf
54). Setelah refleksi selanjutnya (dan interpretasi), para peneliti menemukan kesan-kesan
Naomi yang tegas dari kisahnya itu. Para peneliti melihat resistensinya sebagai sebuah
sumber kekuatan yang dapat ia gunakan untuk membantu kehidupannnya dari perasaan
keterisolasian yang ia rasakan di sekolah (paragraf 56).
Struktur Penulisan Secara Menyeluruh
Dalam tulisan ini kita melihat adanya struktur penulisan kualitatif yang luwes tanpa
adanya tinjauan kepustakaan yang jelas kentara dan metoda diskusi yang terusun baik.
Penggunaan referensi oleh para peneliti dan komentar-komentar tentang penelitian naratif,
dari keseluruhan tulisan ini, menambah minat terhadap penelitian ini. Contoh, para peneliti
dari semenjak awal memberi penekanan pada pentingnya kisah bagi seorang individu
dalam memaknai hidupnya. Mereka memfokuskan diri pada pengalaman-pengalaman
individual dari seorang individu dan mereka melibatkan kolaborasi antara si peneliti dan si
partisipan. Dalam keseluruhan kisah, mereka menggaris bawahi konteks dari tempat
kerjanya Naomi dan penggunaan urutan waktu, sebagai diilustrasikan oleh penyajian kisah
secara kronologis. Penggunaan metoda dan rancangan penelitian yang mantap oleh si
peneliti menambah rumitnya penelitian ini. Walaupun suara Naomi sudah terdengar
melalui kutipan-kutipan langsung, penelitian ini memiliki banyak tataran makna dan
pemahaman bagi para peneliti naratif dan bagi mereka-mereka yang faham akan
pengalaman-pengalaman para guru di sekolah.
BUTIR-BUTIR PENTING DALAM BAB INI
Penelitian naratif muncul sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatif. Ia merupakan
salah satu pilihan untuk meneliti para guru, para siswa, para pendidik di seting-seting
kependidikan. Semua individu-individu ini memilki kisah tentang apa-apa yang mereka
alami. Para peneliti naratif mendeskripsikan kehidupan para individu, mengumpulkan dan
menceritakan kisah-kisah tentang kehidupan orang-orang, dan menuliskan narasi dari
pengalaman-pngalaman individu. Penelitian kualitatif ini memfokuskan diri pada
pengidentifikasian pengalaman-pengalaman seseorfang individu atau beberapa orang
individu dan pemahaman terhadap pengalaman-pengalaman masa lalunya, masa kininya
dan masa datanagnya.
Para peneliti naratif mengumpulkan kisah-kisah dari para individu dan
menceritakan kembali kisah-kisah para partisipan ke dalam sebuah kerangka seperti
sebuah kronologi yang terdiri dari tokoh, seting, masalah, perbuatan, dan penyelesaian dari
perbuatan-perbuatan tersebut. Tambahan lagi, para peneliti bisa jadi mengumpulkan teks-
teks lapangan dan dari teks-teks tersebut dibagunlah tema-tema atau kategori-kategori dan
mendeskripsikan, secara rinci, seting atau konteks di mana kisah itu terjadi. Dalam
keseluruhan proses penelitian, si peneliti memberi penekanan pada kolaborasi antara si
peneliti dan si partisipan.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian naratif adalah mengidentifikasi
sebuah masalah yang cocok untuk penelitian naratif dan memilih satu atau lebih partisipan
untuk diteliti. Para peneliti kemudian mengumpulkan kisah-kisah dari si partisipan tentang
pengalaman-pengalaman hidupnya dan menceritakan kembali kisah tersebut guna
membangun sebuah kronologi peristiwa yang bisa mencakup tokoh, seting, masalah,
perbuatan, dan resolusi (penyelesaian). Dalam keseluruhan proses ini, kolaborasi terjadi
dengan si partisipan, dan kisah yang disusun oleh si peneliti menceritakan pengalaman-
pengalaman si partisipan.
Recommended