View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis.
TB paru merupakan penyakit infeksi saluran napas bagian bawah yang masih sangat banyak dijumpai
di Indonesia. Basil M. tuberculosis tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas
(droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranke). 1
Infeksi primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih
lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan dengan pengobatan. Namun tidak semua
penyakit TB sembuh dengan pengobatan. Hal ini disebabkan pengobatan dari TB paru yang belum
terlaksana dengan baik sehingga dapat pula menyebabkan terjadinya resistensi terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). 1
Di antara resistensi obat TB, multidrug-resistant (MDR)-TB merupakan penyakit dengan
resistensi M. tuberculosis untuk isoniazid (INH) dan rifampisin (RIF), dua obat lini pertama anti-TB.
Extensively drug-resistant (XDR)-TB merupakan sub kelompok MDR-TB dengan basil tambahan
yang resisten terhadap segala jenis fluroquinolone dan setidaknya salah satu dari tiga suntikan,
kanamisin (KM), amikasin (PM) dan kapreomisin (CM). 2
Pentingnya XDR-TB pertama kali dilaporkan pada awal tahun 2006 dan kemudian
dipublikasikan secara luas pada tahun yang sama ketika sebuah epidemi yang sangat fatal terjadi di
Afrika Selatan. XDR-TB membawa prognosis yang sangat buruk, dengan kegagalan pengobatan dan
tingkat kematian yang sangat tinggi. Pada Oktober 2006, WHO Global Task Force TB-XDR
menyerukan tanggapan internasional terhadap krisis XDR-TB. Menurut WHO, telah diperkirakan
bahwa sekitar 500.000 MDR-TB dan 40.000 kasus XDR-TB muncul setiap tahun di seluruh dunia.2
1
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 DEFINISI RESISTENSI OBAT TB
Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010 Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-
RSUD Dr. Soetomo : 3
Mono-resistance, yaitu kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama.
Poly-resistance, yaitu kekebalan terhadap lebih dari satu OAT lini pertama, tapi
tidak resisten terhadap INH dan Rifampisin secara bersama-sama.
Multidrug-resistance (MDR), yaitu kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
dan rifampicin. Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan
rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain.
Extensive drug-resistance (XDR), yaitu selain MDR-TB, juga terjadi kekebalan
terhadap salah satu obat golongan florokuinolon sebagai OAT lini kedua
(kapreomisin, amikasin dan kanamisin).
Totally drug resistance, yaitu resistensi total ini dikenal dengan istilah super XDR-
TB, yaitu didefinisikan dengan kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT
lini pertama (INH, rifampisin, etambutol, streptomisin, pirazinamid) dan OAT lini
kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin, florokuinolon, tionamid, PAS).
Menurut WHO dalam Multidrugs and Extensively Drug Resistant Tuberculosis 2010 Global
Report on Surveillance and Response : 4
Multidrug-resitant TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai tuberculosis yang disebabkan
kuman strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten paling sedikit terhadap
isoniazid dan rifampisin.
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) didefinisikan sebagai MDR-TB ditambah
resistensi terhadap golongan floroquinolone dan paling sedikit satu obat injeksi lini
kedua (amikasin, kanamisin dan kapreomisin).
2
II.2 EPIDEMIOLOGI
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India.
Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000,
dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun
1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB
menempati ranking nomor 1 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. 5
Pada Januari 2010, 58 negara telah melaporkan kepada WHO setidaknya terdapat 1 kasus
XDR-TB. Di tahun 2008, 963 kasus XDR-TB dilaporkan pada WHO secara global dari 33 negara
dibandingkan dengan 772 kasus dari 28 negara di tahun 2007. Banyak kasus XDR-TB diyakini tidak
pernah terdiagnosa dihubungkan dengan lemahnya kapasitas laboratorium untuk menguji resistensi
terhadap obat lini kedua. Dari 27 negara yang tinggi MDR-TB, hanya 2 (Estonia dan Latvia) yang
rutin menguji kasus MDR-TB untuk kerentanan obat lini kedua. 11 negara belum melaporkan kasus
XDR-TB, dikarenakan kurangnya kapasitas laboratorium dibandingkan ketiadaan strain XDR-TB.4
Dulu, MDR-TB juga dimulai dengan hanya terjadi di Uni Soviet saja, sekarang didunia ada
425.000 kasus baru MDR setahunnya, termasuk di Indonesia. Sekarang XDR-TB baru ada di
beberapa negara, kita tidak tahu bagaimana perkembangannya kelak, apakah akan masuk negara kita
juga atau tidak. Juga dilaporkan ada kuman M. tuberculosis strain Beijing yang ternyata mudah MDR-
TB, dan mungkin juga mudah terjadi XDR-TB.4
II.3 PENYEBAB RESISTENSI OBAT TB
Penyebab resistensi obat TB atau drug-resistant TB (DR-TB) secara umum dapat dibagi
menjadi 3 faktor, yaitu faktor kuman, program dan manusia itu sendiri. Pada perspektif kuman, DR-
TB terjadi oleh karena adanya mutasi genetik yang menimbulkan obat tidak efektif melawan kuman
yang mengalami mutasi. Dari Perspektif program, DR-TB terjadi karena terapi yang tidak adekuat.6
Pada awalnya, resistensi obat TB dapat terjadi oleh karena kesalahan manusia yaitu meliputi
kesalahan dalam penatalaksanaan kasus, manajemen logistik, dan peresepan obat. Beberapa kesalahan
manusia yang sering terjadi terjadi antara lain ialah: 6
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan TB
Pemberian obat yang tidak adekuat (tidak teratur, dosis kurang, waktu yang tidak tepat).
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya dilakukan tidak dengan baik sehingga
mengganggu bioavaibilitas obat.
Penyediaan obat yang tidak teratur.
3
Pengetahuan penderita yang minimal tentang penyakit TB akibat tidak ada/kurangnya KIE
dari provider terhadap penderita tersebut.4
Jadi terdapat 3 faktor utama penyebab terjadinya pengobatan TB yang tidak adekuat yang pada
akhirnya memudahkan terjadinya kasus resistensi obat TB, yaitu: 3
1. Faktor penyedia sarana dan prasarana kesehatan
2. Faktor obat
3. Faktor pasien sendiri
Penyebab terapi OAT tidak adekuat 3
Penyelenggara kesehatan
(Regimen yang tidak adekuat)
Obat
(ketersediaan dan kualitas
yang tidak adekuat)
Pasien
(konsumsi obat yang tidak
adekuat)
Pedoman yang tidak sesuai
Tidak adanya pedoman
Pelatihan yang kurang
Tidak
adanya pengawasan pengo
batan
Kualitas yang buruk
Ketersediaan beberapa
obat yang kurang
Penyimpanan
yang buruk
Kesalahan
dosis/kombinasi
Kepatuhan
yang buruk
Kurangnya informasi
Kurangnya biaya
Kekurangan
transportasi
Efek samping obat
Hambatan sosial
malabsorbsi
II.4 MEKANISME RESISTENSI OBAT TB
Antimikroba membutuhkan suasana optimal saat bakteri bereplikasi sehingga pada keadaan
inaktif terdapat resistensi. Organisme dalam keadaan resisten ini tidak dapat dibasmi dengan
antimikroba namun jika berkembang biak menjadi peka. Penyebab resistensi obat secara umum bisa
dibedakan secara genetik dan non genetik. Secara genetik resistensi dibagi menjadi resistensi
kromosomal dan ekstrakromosomal. Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi spontan dalam
lokus yang mengontrol kepekaan terhadap obat yang diberikan. Resistensi ekstrakromosomal
berhubungan dengan plasmid. Gen plasmid dapat mengontrol pembentukan enzim yang mampu
merusak antimikroba. Mekanisme berbagai OAT diterangkan secara singkat sebagai berikut : 6
4
A. Rifampisin
Rifampisin memiliki efek bakterisid kuat saat bakteri aktif membelah maupun saat tidak aktif.
Rifampisin bekerja secara spesifik mengikat subunit enzim RNA polimerase menyebabkan
hambatan pada proses transkipsi. Mekanisme resistensi terhadap rifampisin didasari terjadinya mutasi
spesifik gen rpo ( penyandi unit enzim RNA polimerase) sehingga terjadi perubahan konformasi
protein sub unit menurunkan afinitas ikatan rifampisin terhadap enzim polimerase. Resistensi ini
terjadi pada 1 dalam 107 – 108 populasi dan saat ini ditemukan pada lebih 95% isolat klinis
Mycobacterium tuberculosis. Data di Inggris menyebutkan lebih 90% resistensi tehadap rifampisin
disertai resistensi INH. Mutasi umumnya terjadi pada high level resistance (Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) > 32µg/ml) dan umumnya berhubungan dengan resistensi terhadap semua
golongan rifampisin (rifampin, rifapentin dan rifabutin).6
B. Isoniazid
Obat ini merupakan OAT lini yang mulai diperkenalkan tahun 1952 dan merupakan OAT
utama karena memiliki efek bakterisid yang kuat. Isoniazid dapat masuk ke dalam sel M.Tuberculosis
dengan MIC 0,02 ± 0,2 µg/ml. Zhang dkk berhasil mengkloning gen Kat G dari M.Tuberculosis dan
memperlihatkan bahwa mutasi pada Kat Gakan menimbulkan resistensi terhadap INH. Delesi gen Kat
G terjadi pada 2 dari 8 isolat klinis M.Tuberculosis. Resistensi terhadap INH juga dipengaruhi oleh
gen lain yaitu InhA, kasa A, ndh dan ahpc serta banyak gen lain. Mutasi InhA terdapat pada 15-34%
strain dengan low level MIC (0,2-1µg/ml) dan juga berhubungan dengan resistensi terhadap
etambutol dan etionamid.6
C. Pirazinamid
Pirazinamid aktif hanya terhadap M.Tb dan M. africanum. Mekanisme kerja pirazinamid
belum sepenuhnya dimengerti. Pirazinamid memasuki M.Tb dengan cara difusi pasif, diubah menjadi
pyrazinoic acid oleh enzim pirazinamidase kemudian dieksresi dengan efek pump lemah. Protonated
pyrazinoic acid kemudian diabsorpsi ke dalam basil pada kondisi asam dan terjadi akumulasi karena
ekskresi tidak efisien menyebabkan kerusakan sel basil. Resistensi terhadap pirazinamid berhubungan
dengan mutasi gen pncA (penyandi enzim piramidase yang menghidrolisis pirazinamid menjadi
bentuk aktif).6
D. Etambutol
Obat ini menghambat arabinogalaktan, polisakarida penting dinding sel mikobakterium. Mutasi paling
sering terjadi pada kodon 306 dari Emb (penyandi arabinoyltransferase) meskipun hal ini juga terjadi
5
pada residu asam amino Asp3 28, Gly 406 dan Glu 49. Penelitian di Rusia menunjukkan bahwa
mutasi Emb 406 tidak hanya terdeteksi pada 48,3% strain resisten namun juga pada 31,2% strain
sensitif. Meskipun telah banyak ditemukan gen baru yang berhubungan dengan resistensi terhadap
etambutol namun 24% diantaranya tidak didapatkan mutasi. Diperlukan penelitian genetik dan
biokimia lebih lanjut untuk konfirmasi berbagai gen lain yang mungkin terlibat.6
E. Streptomisin
Obat injeksi utama OAT adalah streptomisin dan pilihan selanjutnya adalah kanamisin dan
amikasin. Mekanisme kerja ketiganya adalah dengan mengganggu proses translasi sehingga terjadi
gangguan sintesis protein yang berakhir dengan kematian organisme. Streptomisin berkaitan langsung
dengan proses pembentukan protein tetapi juga berefek pada kerusakan membran sel, inhibisi pada
proses respirasi sel serta merangsang pembentukan RNA. Streptomisin dapat menyebabkan miscoding
kode genetik. Tempat kerja streptomisin DNA pada ribosom subunit S12 terutama protein ribosom
12S dan 16S rRNA.6
F. Florokuinolon
Florokuinolon generasi akhir yaitu gafloksasin dan moksifloksasin mempunyai aktivitas
invitro dan invivo yang baik terhadap M.Tb. Aktivitas awalnya tidak berbeda bermakna dengan INH
dan secara keseluruhan aktivitas dapat menyamai rifampisin. Beberapa penelitian melaporkan
fklorokuinolon tidak memiliki efek letal sebagai OAT dan lebih efektif bila dikombinasi dengan OAT
lain. Target kerja florokuinolon pada enzim yang berperan untuk masih topologi DNA yaitu DNA
topoisomerase terutama gyrase. Resistensi sering terjadi akibat mutasi pada gen gyr A, gyr B yaitu
penyandi DNA gyrase subunit A dan B serta gen ifr A.6
II.5 PENULARAN
XDR-TB dapat ditularkan melalui bakteri yang disebarkan oleh orang yang sudah terkena
resistensi obat. Jalan kedua perkembangan MDR atau XDR-TB adalah dari pasien sendiri yang
berkembang menjadi resisten. Hal ini dapat terjadi pada putus obat OAT atau pengobatan tidak
terkontrol. Ditemukan juga apabila program kontrol TB tidak dikelola dengan baik, contohnya saat
pasien tidak didukung untuk mendapatkan pengobatan yang tuntas, penyedia sarana kesehatan
memberi pengobatan yang salah, dosis yang salah atau periode pengobatan yang terlalu singkat,
ketersediaan obat yang terbatas, atau kualitas obat yang buruk.7
6
Tidak ada perbedaan penyebaran XDR-TB dengan bentuk TB yang lain. Penyebaran bakteri
TB bergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah dan konsentrasi orang terinfeksi hidup di lingkungan
yang sama dengan terdapatnya orang yang beresiko terkena TB (misalnya orang dengan HIV-AIDS).7
Resiko penyebaran kuman TB meningkat dimana terdapat konsentrasi bakteri TB yang tinggi,
misalnya di lingkungan tertutup dan padat, rumah sakit, atau penjara. Resiko akan lebih tinggi dengan
ventilasi yang buruk. 7
II.6 DIAGNOSIS
Diagnosis XDR-TB sangat tergantung pada akses pasien untuk perawatan layanan kesehatan.
Jika bakteri TB ditemukan di dalam dahak, diagnosis TB dapat ditentukan dalam satu atau dua hari,
namun penemuan bakteri ini tidak akan mampu membedakan antara yang peka dan yang resistaen
terhadap obat TB. 7
Diagnosis XDR-TB ditegakkan dengan uji sensitivitas obat atau drug susceptibility testing
(DST), bukan sekedar berdasarkan gambaran foto toraks dan adanya faktor resiko yang ada pada
seseorang. Untuk mengevaluasi resistensi obat, dibutuhkan bakteri untuk dibudidayakan dan diuji di
laboratorium yang sesuai. Diagnosis akhir dengan cara ini untuk TB, dan terutama untuk XDR-TB,
dibutuhkan waktu 6 sampai 16 minggu. 7
Diagnosis TB-XDR adalah salah satu hal yang paling bermasalah dari penelitiannya.
Rekomendasi WHO untuk lini kedua DST adalah meminta untuk pengujian satu fluorokuinolon dan
ketiga obat suntikan.8
II.7 PENATALAKSANAAN
Resistensi terhadap OAT merupakan masalah besar dalam penanggulangan TB saat ini.
Pemberian OAT yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci keberhasilan
mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
yang kemudian dikembangkan menjadi DOTS-plus merupakan salah satu upaya penting dalam
menjamin keteraturan berobat dan menanggulangi masalah resistensi M.tuberculosis terhadap OAT.
Saat ini belum terdapat rekomendasi rejimen OAT yang direkomendasikan untuk kasus XDR-TB.6
Rekomendasi strategi penatalaksanaan XDR-TB berdasarkan pedoman WHO adalah: 6
1. Memperkuat penatalaksanaan dasar TB untuk mencegah resistensi.
7
2. Menjamin diagnosis dan pengobatan yang tepat untuk kasus resistensi OAT untuk mencapai
penyembuhan dan mencegah penularan strain resisten.
3. Meningkatkan kolaborasi antara program kontrol TB dan HIV supaya didapatkan program
pencegahan dan dan pengobatan yang tepat untuk kasus ko-infeksi TB dan HIV.
4. Meningkatkan infrastuktur laboratorium supaya didapatkan deteksi dan penatalaksanaan
kasus resisten yang lebih baik.
Berdasarkan protokol standar jika seorang pasien resisten terhadap semua OAT kecuali hanya 2
atau 3 OAT yang relatif lemah maka direkomendasikan tindakan bedah.Tindakan bedah tidak bisa
dilakukan pada pasien keadaan tertentu seperti pasien dengan fungsi paru yang buruk atau kavitas
yang sangat besar. Keadaan problematik seperti ini belum memiliki solusi yang efektif sampai saat
ini. The WHO Global Task Force for XDR-TB di Jenewa 9-10 Oktober 2006 merumuskan 7 butir
rekomendasi pencegahan dan kontrol XDR-TB sebagai berikut: 6
1. Pencegahan XDR-TB dengan memperkuat kontrol dasar terhadap TB dan HIV. Strategi baru
dan perencanaan global stop TB sangat penting sebagai pedoman intervensi utama ini.
2. Peningkatan penatalaksanaan terhadap pasien suspek XDR-TB dengan memperbanyak
fasilitas laboratorium yang memadai, termasuk uji sensitivitas OAT yang cepat untuk
mendeteksi strain MDR-TB baik di area prevalensi HIV tinggi maupun rendah.
3. Memperkuat penatalaksanaan XDR-TB dan rancangan pengobatan HIV positif dan negatif.
Intervensi ini akan didasarkan atas penerapan protokol baru WHO untuk kasus TB resisten
dengan OAT lini kedua yang adekuat dan pendekatan dan pengawasan individual.
4. Standarisasi definisi XDR-TB dan diharapkan penggunaan definisi baru secara global akan
meningkatkan validasi data dan perbandingannya.
5. Peningkatan kontrol dan proteksi terhadap infeksi HIV. Intervensi ini dicapai
melalui pencegahan penularan MDR-TB terutama pasien positif HIV terutama pada
daerah prevalensi HIV tinggi.
6. Pelaksanaan surveillance XDR-TB segera sehingga dibutuhkan laboratorium rujukan nasional
dan internasional untuk mencapai terselenggaranya survei global secepatnya mulai awal 2007.
7. Inisiasi aktivitas advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial karena hal yang sangat penting
adalah meningkatkan informasi dan kewaspadaan terhadap TB khususnya XDR-TB.
8
BAB III
KESIMPULAN
9
TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Dunia termasuk Indonesia. Sebuah kategori baru telah diusulkan, resistan terhadap obat
TB secara ekstensif (XDR-TB) didefinisikan sebagai MDR (resistensi paling tidak terhadap INH dan
RMP) dalam kombinasi dengan resistensi terhadap Fluoroquinolones dan sedikitnya salah satu dari
agen injeksi lini kedua.
Penyebab resistensi obat TB atau drug-resistant TB (DR-TB) secara umum dapat terbagi
menjadi 3 faktor, yaitu yang pertama faktor kuman, kedua klinis dan ketiga program. Mekanisme
resistensi obat secara umum bisa dibedakan secara genetik dan non genetik. Secara genetik resistensi
dibagi menjadi resistensi kromosomal dan ekstrakromosomal. Resistensi kromosomal terjadi akibat
mutasi spontan dalam lokus yang mengontrol kepekaan terhadap obat yang diberikan. Resistensi
ekstrakromosomal berhubungan dengan plasmid. Gen plasmid dapat mengontrol pembentukan enzim
yang mampu merusak antimikroba.
XDR-TB dapat ditularkan melalui bakteri yang disebarkan oleh orang yang sudah terkena
resistensi obat. Jalan kedua perkembangan XDR-TB adalah dari pasien sendiri yang berkembang
menjadi resisten. Diagnosis XDR-TB ditegakkan dengan uji sensitiviti obat atau drug susceptibility
testing (DST), bukan sekedar berdasarkan gambaran foto toraks dan adanya faktor resiko yang ada
pada seseorang. Saat ini belum terdapat rekomendasi rejimen OAT yang direkomendasikan
untuk kasus XDR-TB
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Infeksi. Dalam : Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press, 1989 ; 13-7.
2. Tam MC, Yew WW, Yuen YK. Treatment of Multidrug-Resistant and Extensively Drug-
Resistant Tuberculosis: Current Status and Future Prospects. [Online]. 2009. [cited 2011
November 20]. Available from URL : http://www.medscape.com/
3. Soedarsono. Multidrug-Resistant (MDR)-TB. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair - RSUD Dr.Soetomo : 2010 :27-36.
4. World Health Organization, Multidrug and extensively drug-resistant TB (M/XDR-TB) . The
WHO global report on surveillance and response. Genewa, World Health Organization, 2010.
5. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 2006 ; 988-9
6. Viska, Oke. Extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB). Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Vol. 5. Jakarta : PPDS I Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK
UI - R.S. Persahabatan : 2007.
7. Stop TB partnership, World Health Organization. Extensively drug-resistant tuberculosis
(XDR-TB). World TB Day. 2007.
8. Sotgiu G, Ferrara G, Matteelli A, et al. Epidemiology and clinical management of XDR-TB :
a systematic review by TBNET. European Respiratory Journal. 2009
9. Price AS, Standrige PM. Tuberkulosis Paru. Price AS, Wilson ML. Dalam : Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 852-3
10. IDM RSUD DR. Slamet – FK Yarsi. Hemoptoe. [Online]. 2009. [cited 2011 November 20].
Available from URL : http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/01/hemoptoe/
11
Recommended