View
294
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
i
AKAD NIKAH DENGAN TEKNOLOGI BARU
MAKALAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah
“Masail Fiqhiyyah”
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I.
Di Susun Oleh :
FUAD HASAN
NIM 201321042
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL-HIDAYAH BOGOR-INDONESIA
2016
JL. Raya Dramaga Km 6, Gg. Radar Baru, Kel. Margajaya, Kec. Bogor Barat
Kab. Bogor Jawa Barat Telp./ Fax : (0251)-8625187
i
KATA PENGANTAR
Maha Suci bagi Alloh subhanahu wata‟ala dan segala puji hanya milik-
Nya. Penggenggam segala sesuatu yang telah memberikan kemudahan kepada
hamba-hamba-Nya dalam melakukan segala aktifitas. Sholawat serta Salam
semoga dilimpahkan selalu kepada sebaik-baiknya manusia yaitu Nabi
Muhammad shalallahu „alaihi wasalam kepada para sahabatnya, keluarganya,
tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan para umatnya yang tetap berpegang teguh memegang
risalahnya.
Alhamdulillah berkat Rahmat dan Hidayah Alloh subhanahu wata‟ala,
kami dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah ini sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan serta sebagai syarat untuk memenuhi nilai mata kuliah
“MASAIL FIQHIYYAH” semester lima, STAI AL-HIDAYAH BOGOR.
Kami menyadari pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun.
Semoga segala partisipasi dan bantuan dari semua pihak dalam
penyusunan makalah ini menjadi amal ibadah di sisi Alloh dan mendapat balasan
yang tak terhingga.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya
dan umumnya bagi seluruh mahasiswa.
Bogor, Maret 2016
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI………. . ....................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang …………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN . .............................................................................. 3
A. Untuk Mengetahui Tentang Akad Nikah ..................................... 3
B. Keabsahan Hukum Ijab Kabul Dalam Perkawinan Melalui
Teknologi Baru………………………………………………….. 6
C. Analisis Hukum Akad Dengan Teknologi Baru ……………….. 9
D. Pandangan Masyarakat Akad Nikah Lewat Telepon Menurut
Islam ……………………………………………………………. 11
BAB III PENUTUP ..... …………………………………………………………13
A. Kesimpulan .. ............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 15
[1]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya
sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang
sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan
perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad
(pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan
calon mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum
Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan
juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta
membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh
karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang
pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah
sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan
yang ditetapkan agama.
[2]
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang yang tertulis diatas dapat kita
mengetahui apa saja yang akan dibahas dalam pembahasan ini dibawah ini
diantaranya :
a. Untuk Mengetahui Pengertian Tentang Akad Nikah Dengan Teknologi
Baru
b. Keabsahan Suatu Hukum Ijab Qabul Dalam Perkawinan Melalui
Teknologi Baru
c. Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Baru
d. Pandangan Masyarakat Akad Nikah Lewat Telepon Menurut Islam
C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah Ini Untuk :
a. Mengetahui apa saja yang dibahas dalam pernikahan dengan teknologi
baru.
b. Untuk mengetahui hukum-hukum diperbolehkan atau tidak dalam
pernikahan dengan teknologi baru.
[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad Nikah
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan istri)
menikmati pihak satunya1. Secara etimologi nikah berasal dari kata “Nakaha-
Yankihu” berarti mengawini dan menggauli, bermakna juga “dhomma wa jama’a”
berarti menghubungkan atau menghimpun, dan dalam perkataan arab bermakna
“al-wath-u” berarti bersetubuh. Sedangkan secara terminologi nikah berarti
melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan maksud untuk mendapatkan
kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta manfaat-manfaat
yang lain yang ada hubungan dengan berbagai kemaslahatan dilaksanakan nikah.
Dalam hukum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah
adalah dua istilah yang terdiri dari lafadzh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa
(lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau dan
juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut Al-
Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan
adanya ijab dan Kabul. Sedangkan nikah menurut Kamal Muchtar dalam
pemakian bahasa sehari-hari, perkataan “nikah” dalam arti sebenarnanya jarang
sekali dipakai pada saaat ini.
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan mahram. Faedah yang terbesar dalam pernikahan yang
sejati dalam Islam adalah bermaksud untuk kemaslahatan dalam rumah tangga
dan keturunan, juga untk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu, syariat Islam
mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga kemaslahatan pernikahan2.
1 Abu Bakr Jabir Al- jazairi, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta Darul Falah), hal.
574 2 Sulaiman Rasdi, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012), hal. 374-375
[4]
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar
pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali
perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya.
Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح(menikahkan) atau تزويج
(mengawinkan). Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara
majazi bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shohih.
Dari pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa
rumusan pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau
perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan”. Yang
diikuti dengan pengucapan ijab qabul antara wali dan calon mempelai laki-laki,
dengan jelas dengan tidak terselang oleh pekerjaan lainnya3.
Pada bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh
mengartikan “nikah” menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti
kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang
Imam Asy-syafi’imemakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Adapun rukun dari nikah itu sendiri secara umum terdiri dari :
1). Adanya mempelai laki-laki
2). Adanya mempelai wanita
3). Adanya wali dari pihak mempelai wanita
4). Adanya dua orang saksi dan
5). Adanya akad nikah ( ijab kabul ).
3 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), Hal 200-201
[5]
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan
menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru
nikah.
Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاحatau تزويج
(aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya
kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang
mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian
nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena
sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan
orang lain.
Dimana dari masing-masing rukun itu sendiri terdapat syarat-syarat yang
harus dipenuhi demi sahnya perkawinan, syarat-syarat tersebut tersebut yaitu :
1). Kedua mempelai haruslah dari keluarga yang berbeda, maksudnya
bukan dari adanya nasab (Keturunan), ataupun dari anak sesusuan, serta tidak ada
paksaan serta nyata,
2). Untuk wali dan dua orang saksi haruslah orang Islam, baligh, merdeka
dan haruslah laki-laki serta adil4
Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali
fuqoha Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat,
tidak keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan
dan saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad
nikah itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun
yang mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua orang saksi,
semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pent : Kamaludin A. Marzuki (Bandung : PT,Al Ma;arif , 1987),
Cet, 1, Hal, 355-357.
[6]
Selain itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul
suara yang bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad
nikah. Untuk mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah
barang tentu harus dilihat dahulu:
a. Antara kedua belah pihak terlibat dalam pembicaraan terlebih dahulu
harus mengenal sebelumnya.
b. Apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji konteks
pembicaraan kedua belah pihak untuk keaslian suara5.
Keabsahan Hukum Ijab Qabul Perkawinan Melalui Teknologi Baru
Perkawinan melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon
maupun video teleconference, dipandang memenuhi syarat-syarat perkawinan
menurut hukum-hukum Islam. Permasalahan yang akan muncul apabila
membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain
oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam melaksanakan
akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab lalu diikuti dengan
qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda dan ijab qobul harus
diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan qobul terucap
dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin pria dengan wali
nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan dilakukan
apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkeseimbanagan
waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah atau tidaknya
suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga Indonesia yang
bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu
Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan, tetapi hanya
sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia.
Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak
diatur dalam Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka
yang hendak melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara
5 Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2008), 92
[7]
keseimbangan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2
(dua) golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
a. Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali,
menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu dalam satu majelis. Menurut
golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul
yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan
keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya
untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara
redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya
kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya
kesatuaan majelis.
Satu majelis yang artinya oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan
dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini dikeluarkan
oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat
bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami
satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para
pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari pendapat ini,
Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut
dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-
pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan
sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah
tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan
dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet,
teleconference.
Sedangkan menurut yang shohih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari
Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik
ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka
beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah
pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya
melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh
saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang
ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada
[8]
seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika
demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang
diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan
pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-
saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi,
namun pernikahan wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang
mewajibkan adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut:
- Aqil Baligh
- Merdeka
- Islam
- Dapat Mendengar dan Melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas
bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua
komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-
pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para
pihak, namun tidak mendengar suara Ijab Qobulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang
dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik
para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya
persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya
mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu
Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara
langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa
seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya
prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan
suatu keyakinan dalam hati saksi. Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu
Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara
para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan.
Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada
satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar.
Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu
[9]
adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar
suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan. Dari
pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang hadir
dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi
kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference
memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya
diperbolehkan dan sah
b. Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan
“berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak
dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi
dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi
peryaratan perkawinan.
B. Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Baru
Perkawinan melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut
disebabkan akad nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun
dan syarat sah perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam
satu majelis secara fisik menurut ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki
seperti dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu
tajlibultaishiiro” kesukaran itu dapat menarik kemudahan6. Nikah melalui telepon
pun dapat diartikan juga sebagai suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab
qoabulnya melalui telepon, jadi antara mempelai laki-laki dan memepelai wanita,
wali dan saksi itu tidak bertatapan. Tetapi sebelum mengkaji lebih dalam
mengenai hukum dari nikah yang dilakukan lewat telepon, penulis akan
mengangkat sebuah kasus pernikahan melelui telepon, antara Rita Sri Mutiara
Dewi yang berasal dari jl. Cibeureum, cimahi dengan wiriadi sutisno yang berasal
dai amerika Serikat. Dimana perkawinan mereka dilakukan melalui Internet
dengan hanya memandang lewat screen.
6 Ridho Rokamah, al-qowa‟id al-Fiqhiyah (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2010), 47.
[10]
Dari kasus tersebut penulis ingin mengemukakan beberapa hal pernikahan
yang dilakuka melalui telepon, setidaknya ada beberapa pendapat yang
mengomentari masalah tersebut, diantaranya :
a. Membolehkan, para ulama yang membolehkan nikah yang akadnya lewat
telepon mengatakan bahwa nikah yang seperti ini sudah digambarkan pada masa
Rasululloh shalallohu a‟alaihi wasallam, hal ini sebagimana digamnbarkan dalam
hadits : Artinya “ Bahwasanya ummu Habibah adalah Istri Ubaidillah bin jatsy,
Ubaidillah meninggal dinegeri Habasyah maka raja Habasyah (Semoga Alloh
memberi rahmat padanya) menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi, Shalallohu
„alaihi wasallam, ia bayarkan mahrnya sebesar 4000 dirham, lalu ia kirimkan umu
Habibah kepada Nabi Shalallohu „alaihi wasallam, bersama surah Bil bin
Hasanah lalu Nabi Shalallohu „alaihi wasallam menerimanya (HR.Abu Daud dan
Nasa’i).
Dalam hadits tersebut para ulama yang mengemukakan diperbolehkannya
nikah tanpa adanya pertemuan antara kedua mempelai itu berpendapat bahwa
menikahkan seorang wanita kepada laki-laki tanpa keduanya itu boleh-boleh saja,
asal keduanya sama-sama suka, bahkan menurut mereka (Ulama) model
pernikahan seperti jauh lebih aman asal sudah saling mengenal watak dan
kepribadian masing-masing sebelumnya.
b. Tidak membolehkan, kebanyakan ulama bahwa pernikahan melalui telepon
itu tidak sah disebabkan karena factor ketidak jelasan dari para mempelai baik
mempelai lelaki maupun dari pihak mempelai wanita, hal ini disebabkan karena
dapat memungkinkan adanya unsur penipuan, sebab suara yang didengar lewat
telepon dapat dipalsukan artinya hal ini dapat menyebabkan adanya ketidak
jelasan dalam perkawinan itu sendiri. Padahal dalam sebuah perkawinan diantara
syarat dari kedua mempelai adalah adanya kejelasan dari mempelai itu sendiri.
Pelaksanaan akad via telepon tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh
lelah atau untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas,
sebab hal itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh
agama. Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya
[11]
sebab-sebab khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya
dalam keadaan terpaksa dimana masing-masing tinggal berjauhan yang tidak
mungkin untuk bertemu dalam satu majelis7.
C. Pandangan Masyarakat Akad Nikah Lewat Telepon Menurut Islam
Masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup di suatu wilayah
yang memiliki aturan atau norma yang mengatur hubungan satu sama lain. Pola
hubungan antar individu dalam masyarakat tersebut pada dasarnya memiliki nilai-
nilai yang di akui bersama dan di abadikan dalam norma dan aturan yang pada
umumnya tidak diverbalkan8.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan
untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-
undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan
masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula
pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia
melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya
mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon
dengan bantuan mikropon, disini pun terdapat pula pandangan dari beberapa
ulama tentang menikah lewat telepon, karena nikah lewat telepon itu tidak sah dan
dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau
kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-
syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’
sebagai berikut :
a. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan
tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
االصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa
aturan sendiri).
7 Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual, 93
8 Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung Rafika Aditama, 2009), Hal.
33
[12]
b. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung
sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami
istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Artinya, Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian
yang kuat”. (QS. Nissa’: 21)
c. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya
penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida‟), dan dapat pula menimbulkan
keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan
syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan
hadist Nabi atau kaidah fiqih.
- “Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain”.
- Hadits Nabi Shalallohu a‟alaihi wasallam“Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan
engkau”.
- “Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik
(mencari) maslahah”.
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas
dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi
perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun
pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari
rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan
Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali
Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan.
Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan
kepada halayak umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-
rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya
pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan
menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via
telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan istri)
menikmati pihak satunya. Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul,
merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari
pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau
wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya
melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح(menikahkan) atau
Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan .(mengawinkan)تزويج
secara majazi bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shohih. Adapun
Keabsahan Hukum Ijab Qabul Perkawinan Melalui Teknologi Maju, terdapat dua
golongan a). Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan
Hambali, menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu dalam satu majelis.
Menurut golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab
dan qobul yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang
memisahkan keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena
tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara
redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya
kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya
kesatuaan majelis, b). Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki,
menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak
menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah
sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis
tidak menjadi peryaratan perkawinan. Dan Analisis tentang Hukum Akad Nikah
Teknologi Maju, a). Membolehkan, para ulama yang membolehkan nikah yang
akadnya lewat telepon mengatakan bahwa nikah yang seperti ini sudah
digambarkan pada masa Rasululloh shalallohu a‟alaihi wasallam, hal ini
sebagimana digamnbarkan dalam hadits : Artinya “ Bahwasanya ummu Habibah
adalah Istri Ubaidillah bin jatsy, Ubaidillah meninggal dinegeri Habasyah maka
raja Habasyah (Semoga Alloh memberi rahmat padanya) menikahkan Ummu
Habibah kepada Nabi, Shalallohu „alaihi wasallam, ia bayarkan mahrnya sebesar
[14]
4000 dirham, lalu ia kirimkan umu Habibah kepada Nabi Shalallohu „alaihi
wasallam, bersama surah Bil bin Hasanah lalu Nabi Shalallohu „alaihi wasallam
menerimanya (HR.Abu Daud dan Nasa’i).
b). Tidak membolehkan, kebanyakan ulama bahwa pernikahan melalui telepon
itu tidak sah disebabkan karena factor ketidak jelasan dari para mempelai baik
mempelai lelaki maupun dari pihak mempelai wanita, hal ini disebabkan
karena dapat memungkinkan adanya unsur penipuan, sebab suara yang
didengar lewat telepon dapat dipalsukan artinya hal ini dapat menyebabkan
adanya ketidak jelasan dalam perkawinan itu sendiri.
[15]
DAFTAR PUSTAKA
- Rokamah, Ridho. Al-qowa‟id al-fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2010.
- Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
- Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia,
2001.
- Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta:
Darul Falah, 2001.
- Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.
- Latif, Abdul. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung:
Refika Aditama, 2009.
Recommended