View
3.340
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
1
IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN
TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN
TESIS
DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENYELESAIKAN
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KAJIAN HUKUM KESEHATAN
Oleh :Lalu M. Guntur Payasan WP, S.Kep.
NPM: 190910140501
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu modal seseorang untuk mencapai
kehidupan yang optimal, hak asasi, dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu
kesehatan masyarakat merupakan hal yang mutlak harus dijaga, diupayakan,
dan dipenuhi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.1
Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan
berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.
Pemeliharaan kesehatan individu merupakan suatu pelayanan di
bidang kedokteran yang melibatkan dokter dan pasien. Layaknya hubungan
antar manusia, maka di dalam hubungan pelayanan kedokteran selalu terdapat
kekurangan dan kelebihan, dalam arti ada keuntungan dan kerugian yang
timbul pada saat pelaksanaan dari pelayanan kedokteran tersebut. Apalagi
hubungan ini berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit bahkan sampai
menyelamatkan nyawa manusia, sehingga hubungan itu sifatnya sangat unik
karena ada ketergantungan pasien kepada dokter yang dalam hal ini adalah
1 Pasal 28 H Undang-undang Dasar 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.
1
3
“menyerahkan kepercayaan terhadap proses penyembuhan atau
penyelamatan”.
Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan
batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut
tertuang dalam prinsip moral profesi, dimana prinsip utamanya adalah
autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada
kebaikan pasien), nonmaleficence (tidak mencelakakan pasien), dan justice
(keadilan/meniadakan diskriminasi). sedangkan prinsip turunannya adalah
veracity (kebenaran), truhtfull (kepercayaan), information, fidality (kesetiaan),
privacy (kerahasian), dan confidentiality (menjaga kerahasiaan).2
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau
satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang
atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan
terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsure atau nilai
pengobatan. Secara yuridis perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara
dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk
melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.3
Oleh karena praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat pemberian
pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter
2 Safitri Hariyani, 2005. Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien, Diadit Media, Jakarta. hal. 33 Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya Bakti, cet. II Bandung, hal. 1
4
dan bukan merupakan hubungan bisnis semata yang berorientasi pada
keuntungan sepenuhnya.
Prestasi dari perjanjian terapeutik bukanlah hasil yang akan dicapai
(resultaatverbintenis), melainkan suatu upaya yang sungguh-sungguh
(inspanningverbintenis). Hubungan perjanjian semacam ini berikut dengan
tindakan medik yang tercakup didalamnya sudah merupakan bagian dari
hukum, maka harus dipertahankan melalui peraturan perundang-undangan dan
mengacu pada standar-standar tertentu yang sudah ditetapkan oleh lembaga
profesi.
Beberapa tahun belakangan profesi dokter banyak menghadapi
tuntutan hukum, tercatat 405 laporan masalah medis dari berbagai belahan
Indonesia yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan.
Sebanyak 73 kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian.4 Selama periode
1994-2004, kasus sengketa medis yang diadukan ke Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah
tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun dan rata-rata 6 kasus
per tahun serta 3 dokter yang diadukan per 1000 dokter yang ada di Jawa
Tengah.5
Beberapa konflik tersebut melibatkan sarana kesehatan baik itu
Puskesmas, Balai pengobatan, Klinik, dan Rumah Sakit. Kasus-kasus seperti
ini banyak sekali, namun kemunculan di media itu sedikit karena memang
4 Kompas, 9 Januari 2007, hal. 85 Hariadi R. 2005, Dasar-dasar etik kedokteran. Dalam : Darmadipura MS (editor). Kajian bioetik. Airlangga University Press, Surabaya. Hal. 15
5
kasus-kasus seperti ini tidak selalu terpublikasi dan sebenarnya dapat
diselesaikan melalui mediasi.
Sengketa dalam hubungan dokter dan pasien adalah suatu kondisi
dimana tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien mengenai
kerugian dalam pengobatan. Sengketa ini terjadi di bidang kedokteran, yang
secara umum berkaitan dengan kesehatan. Kerugian biasanya diderita pasien,
berupa cacat/luka bahkan meninggal dunia. Pada kenyataannya, upaya
penyelesaian sengketa yang dilakukan umumnya sering menjadi momok yang
menakutkan bagi kalangan dokter sedangkan kalangan pasien sering merasa
tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan milik
profesi kedokteran (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
ataupun Majelis Etik Kedokteran). Oleh karena itu diperlukan metode
penyelesaian sengketa yang ideal bagi kedua belah pihak dalam hal ini
“mediasi” pihak ketiga dapat menjadikan solusi yang tepat dalam menangani
sengketa baik itu oleh badan mediasi maupun oleh hakim di Pengadilan.6
Arifin Tumpa mengatakan bahwa “Penyelesaian sengketa medik tidak
melulu harus masuk dalam kategori tindak pidana. Namun hendaknya
diselesaikan dengan mediasi atau pemberian ganti rugi yang layak kepada si
korban”.7 Untuk itu mediasi merupakan alasan yang tepat dalam penyelesaian
sengketa medik antara dokter dan pasien.
6 Pasal 29 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.7 Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 opened: 20/12/2010
6
Menurut teori ada beberapa definisi mengenai mediasi, tapi secara
umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari proses alternative dispute
resulotion (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa.8 Pasal 1 ayat 7
PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memuat
definisi mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
Mediasi menggunakan Pendekatan win-win solution dengan proses
dan cara yang lebih sederhana dalam rangka memberikan akses keadilan yang
lebih memuaskan kepada kedua belah pihak dalam upaya menemukan
penyelesaian sengketa yang terbaik bagi kedua belah pihak.9
Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas
karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose. Kesepakatan
yang telah dikeluarkan menjadi “akta perdamaian” merupakan suatu
penyelesaian yang mengikat dan final. Mengikat karena setiap butir-butir yang
disepakati dalam akta perdamaian dapat dilaksanakan melalui proses eksekusi
(executable) jika salah satu pihak mengingkari. Sedangkan final berarti bahwa
dengan dikuatkannya kesepakatan dalam bentuk akta perdamaian telah
menutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak.10
8 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at: http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/20109 Yuti Witanto Darmono, 2010. Beberapa masalah dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan, Varia Peradilan, Jakarta. hal. 6810 Pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008 Tentang Mediasi yang berbunyi akta perdamaian adalah akta yang memuat isi perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut tidak tunduk pada upaya hukum biasa atau luar biasa.
7
Sebenarnya mediasi juga diatur dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg yang
berbunyi “pada hari yang ditentukan, apabila kedua belah pihak menghadap ke
Pengadilan dengan perantara keduanya maka hakim mencoba mendamaikan,”
artinya sebelum perkara diperiksa, maka hakim menganjurkan supaya para
pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Namun dengan syarat
perkara tersebut telah terdaftar dipengadilan sebagai gugatan.
Contoh Putusan Nomor 57/Pdt.G/2000/PN.Jak.SelPutusan mengenai gugatan Yang Young Joan terhadap Direksi Rumah Sakit Pondok Indah dan dr. Harry Purwanto, Sp.AKasus PosisiPenggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur 1 tahun. Yan Won Ha, berobat ke RS Pondok Indah dan ditangani oleh dr. Harry P. Menurut dokter, pasien mengalami diare dan dehidrasi sehingga perlu dirawat di RS. Menurut catatan medik, ketika dibawa ke rumah sakit, suhu badannya 37ºC dan tidak dalam keadaan kritis. Setelah pasien menjalani rawat inap, jam 13.15 WIB suhu badan pasien naik menjadi 39ºC, kenaikan suhu badan tersebut sudah diperkirakan oleh dokter sehingga perawat diberikan instruksi apabila suhu badan pasien meningkat diatas 39ºC perawat harus memberikan suntikan iv, Novalgin 05 CC, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan catatan kalau perlu. Namun instruksi tersebut diberikan pertelpon. Pada suhu badan pasien 39.2ºC, perawat memberikan suntikan-suntikan sesuai perintah dokter tetapi setelah itu pasien mengalami keadaan kritis dan baru diketahui perawat setalh 3,5 jam setelah pemberian suntikan. Dalam keadaan sesak nafas dan kritis, perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter sekaligus meminta petunjuk, dokter akhirnya memerintahkan agar pasien dimasukkan ke ruang ICU melalui telpon. Selama di ruang ICU dokternya tidak datang, padahal di ruang ICU tidak ada dokter anak sehingga pasien meninggal dunia jam 20.50 WIB. Oleh karena itu Penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian terapeutik yaitu tidak memenuhi standar profesi dokter dan standar perawatan RS yang mengakibatkan matinya pasien. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa antara mereka dengan jalan damai dan membuat perjanjian damai.11
Secara yuridis formal mediasi diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternatif
11 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 65
8
Penyelesaian Sengketa, Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement
Buitengewesten (Rbg), UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, UUNo. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi, namun dalam
pelaksanaannya mediasi belum banyak dilakukan dalam penyelesaian
sengketa medik, padahal mediasi merupakan cara yang sangat ampuh dan
cepat dalam penyelesaian sengketa medik. Sebagai perbandingan di bidang
perbankan dikenal Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) yang menjalankan
peran mediasi untuk sengketa-sengketa tertentu di bidang perbankan, LMP
tidak tunduk kepada Bank Indonesia, sedangkan di bidang kesehatan lembaga
mediasi ini belum ada.
Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengambil judul
penelitian “IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN
TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN”.
B. Pembatasan Masalah
9
Pelayanan kesehatan sarat teknologi, sarat sumber daya, sarat profesi,
sarat sarana prasarana, sehingga rawan terjadinya permasalahan yang akan
berlarut-larut jika melalui pengadilan dan lebih efektif melalui mediasi.
Penelitian ini dibatasi tentang sumber daya dan profesi dalam hal ini sumber
daya dan profesi tersebut adalah dokter.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dikemukakan
tiga rumusan masalah yang akan dijadikan pokok penelitian di dalam tesis ini,
yaitu :
1. Bagaimana implementasi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?
2. Bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di RSI Siti
Hajar, RSUD Praya dan PN Praya?
3. Bagaimanakah hambatan-hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam
pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?
D. Tujuan Penelitian
10
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dan solusinya dalam
pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, yaitu
a. Menambah wawasan pengetahuan dan ilmu hukum bidang kesehatan
khususnya tentang mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
b. Menjadi bahan penelitian hukum kesehatan berikutnya.
2. Manfaat praktis, yaitu :
a. Memberikan data informasi kepada berbagai pihak yang
berkepentingan, lembaga kesehatan, tenaga kesehatan, praktisi hukum
dan masyarakat, tentang hukum kesehatan khususnya mengenai
11
mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan
pasien
b. Memberikan bahan masukan untuk pembuatan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan;
F. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
secara umum sudah banyak yang meneliti, akan tetapi penelitian ini memiliki
kekhususan dimana dalam penelitian ini akan meninjau tentang implementasi
mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien, hal ini belum ada yang meneliti. Oleh
karena itu penelitian ini dapat dipercaya keasliannya.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan Dokter dan Pasien
1. Dokter
a. Definisi
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,
khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut
hukum dalam pelayanan kesehatan.12
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter
gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.13
b. Hak dan kewajiban dokter
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak:14
1) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
12 Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 1713 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2)14 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51
11
13
2) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
4) menerima imbalan jasa.
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban :15
1) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
2) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
4) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
5) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Pasien
15 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52
14
a. Definisi
Pasal 1 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran menjelaskan definisi pasien adalah setiap orang yang
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
b. Hak dan kewajiban pasien
Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
adalah :
1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4) Menolak tindakan medis; dan
5) Mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah:
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatanya
2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
dan
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
15
3. Hubungan dokter dengan pasien
Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan
penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang
bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan
vertikal tersebut adalah hubungan antara dokter dan pasien tidak lagi
sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaning verbintenis
antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan hukum ini tidak
menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari hubungan
hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-
hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.16
Tanpa disadari keadaan seperti di atas membawa perubahan pola
pikir sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal
menuju kearah pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya,
dimana kedudukan antar dokter dan pasien sama sederajat walau pun
peranan dokter lebih penting dari pada pasien. Bila antara dua pihak telah
disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah yang berupaya secara
optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak tercapai
karena dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses
komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan
upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut dilegalkan oleh
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai salah satu
16 Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang, hal. 29
16
upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul
(fisik / non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah dilaksanakan oleh
dokter.
Hubungan dokter pasien ini biasa disebut perjanjian terapeutik.
Hubungan terapeutik dalam dunia kedokteran merupakan hubungan yang
dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai kekeluargaan. Sofwan
Dahlan mengatakan, bahwa hubungan demikian telah ada sejak zaman
Priestly Medicine dan telah mapan. Hubungan yang mapan, ternyata
merupakan konsep yang tidak jelas, sehingga tidak memiliki sarana
sebagai upaya penyelesaian terhadap kasus yang muncul, termasuk
keputusannya tidak atau kurang memiliki kekuatan mengikat para pihak
(binding force).17
Upaya penyelesaian kasus atau konflik oleh lembaga profesi lebih
mencerminkan gambaran keterpihakan pada lembaga daripada pasien.
Kondisi seperti itu membuat para pihak yang merasa kurang diuntungkan,
menempuh hukum sebagai upaya penyelesaian kasus yang terjadi.18 Untuk
itu perlu ada upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan
pihak ketiga yang netral.
4. Aspek hukum hubungan dokter dan pasien
17 Soponyono, Edi, 2008. Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadilan), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 4918 Ibid, hal. 43
17
Aspek hukum hubungan dokter dan pasien ini diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:19
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat,
dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung
jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian,
yang dilandaskan teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.
Tanggung jawab disini bila kelalaian tersebut dapat dibuktikan adanya
kesalahan professional, misalnya dalam cara-cara pengobatan, maupun
diagnosa yang berdampak pada pasien.
Di Indonesia masalah pertanggungjawaban pidana seorang
dokter diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum
yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian. Pasal-
pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUHP mencakup
kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan. Sedangkan dasar
kealpaan/ kelalaian pasal 267 KUHP.20
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Tanggung jawab hukum dokter dalam persektif hukum perdata
karena adanya perjanjian yang terjadi. Ketentuan umum mengenai
bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
19 Soetrisno, 2010, Malpraktek Medis dan Mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 720 ibid hal. 23
18
sedangkan syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata.21
Soetrisno menyatakan dalam proses perdata yang menyangkut
gugatan seorang pasien terhadap dokter yang menanganinya, hampir
semua, kalau tidak dikatakan semuanya, adalah menyangkut ganti rugi.
Dasar hukum pertanggung jawaban medis adalah:22
1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)
Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak
memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian
atau kontrak.23
Contoh : Dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) Pasal 1243 KUHPerdata.
2) Perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad)
Tuntutan kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan
hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian. Hal ini berarti
untuk menuntut ganti rugi harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:24
a) Ada perbuatan melawan hukum
b) Ada kerugian
c) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian
21 Titik Triwulan T & Shita Febriani, 2010, Perlindungan hukum bagi pasien, Jakarta; Prestasi Pustaka, hal. 2222 Soetrisno, 2010, op.cit hal. 823 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 4324 Ibid, hal 44
19
d) Ada kesalahan
Contoh : Dokter telah melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripada dalam pergaulan dengan warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan Undang-undang).
3) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal
1366 KUHPerdata)25
Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan
melanggar hukum, dapat pula dituntut atas dasar lalai sehingga
menyebabkan kerugian.
4) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat
(3) KUHPerdata) 26
Sebagai penganggung jawab dalam Pasal 1367 KUHPerdata dokter
harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pasien baik
itu olehnya maupun oleh orang lain yang bekerja pada dokter
tersebut dan ikut melakukan tindakan, misalnya perawat/ bidan.
5) Zaakwarneming27
Dalam hal dokter menolong seseorang secara sukarela maka ia
harus melaksanakannya sampai selesai atau sampai pasien mampu
mengurus kepentingannya sendiri atau ada keluarga yang
mengambil alih urusan tersebut
25 ibid hal 4326 ibid hal 4327 Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG, Semarang. Tidak dipublikasikan
20
Jika dokter meninggalkan begitu saja dan mengakibatkan pasien
menderita kerugian maka ia dapat digugat berdasarkan pasal 1356
KUHPerdata
c. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Demikian pula bagi dokter sebagai pengemban profesi, maka ia
memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut.
Dalam perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang- undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :
1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
d. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dalam perspektif ini dokter dianggap sebagai pelaku usaha,
untuk itu menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
21
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku
5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan
6) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
7) Memberikan konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima dan dimamfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
e. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Kewajiban dokter diatur dalam Pasal 51 Undang-undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu ;
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya ; dan
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
22
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :
1) Standar ketrampilan
2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk
berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita
3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan
pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku
dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya
dengan dokter lainnya
4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat
catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,
alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
B. Sengketa Umum dan Sengketa Medik
Safitri Hariyani membagi sengketa menjadi 2 diantaranya:28
1. Sengketa umum
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”
dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya
perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi
keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan
28 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 7
23
arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari
sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam
perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik berkembang atau
berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau
pihak lain.29 Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.
Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.
2. Sengketa medik
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang
terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau
dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU
Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau
kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan
demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara
pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini
pasien dengan dokter.
Oleh Safitri Hariani kata medik diambilnya dari kamus Inggris-
Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily yaitu medical yang
29 Ibid hal. 7
24
secara umum berarti berhubungan dengan pengobatan. Hermin Hadiati
Koeswadji, mengartikan “medik” sebagai “kedokteran”. Hukum
kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “Medical Law”,
jadi menurut beliau arti medik itu adalah kedokteran.
Mengacu pada arti medik d iatas, definisi dari sengketa medik
adalah suatu kondisi dimana terjadi perselisihan dalam praktek kedokteran.
3. Dasar hukum sengketa medik
Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-
undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut
mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undang-undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara
pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 29
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengamanatkan
penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan mediasi.
25
C. Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
1. Pengertian Mediasi
Pasal 1 ayat (7) Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan menyatakan “mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
antara pihak dengan bantuan seorang mediator.
Literatur hukum, misalnya Black’s Law Dictionary dikatakan
bahwa mediasi dan mediator adalah:
Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to inpose a decision on the parties.
2. Karakteristik dan keunggulan mediasi
Menurut Soetrisno karakteristik dan keunggulan mediasi yaitu:30
a. Voluntary/ sukarela
b. Informal/ fleksibel
c. Interest based (dasar kepentingan)
d. Future looking (memandang kedepan)
e. Parties oriented
f. Parties control
Penyelesaian perdamaian melalui mediasi mengandung beberapa
keuntungan, diantaranya:31
a. Penyelesaian bersifat informal
b. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri
30 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 5131 M. Yahya Harahap, 2005, hal. 36
26
c. Jangka waktu pemelihan pendek
d. Biaya ringan
e. Aturan pembuktian tidak perlu
f. Proses penyelesaian bersifat konfodensial
g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
h. Komunikasi dan focus penyelesaian
i. Hasil yang ditinjau sama menang
j. Bebas emosi dan dendam
3. Jenis mediasi
Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:32
a. Di Pengadilan
Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat
dilakukan di pengadilan. Adapun prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi peradilan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap
pramediasi dan tahap mediasi.33
Tahap pramediasi dimulai dari saat hari pertama sidang yang
dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak
menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak
32 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, op. cit 33 ibid, hal. 53
27
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau
aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menunda proses persidangan
perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.34
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan
berikut: Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan; Advokat atau akademisi hukum; Profesi bukan hukum
yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok
sengketa; Hakim majelis pemeriksa perkara; Gabungan antara
mediator yang disebut di atas. Jika dalam sebuah proses mediasi
terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator
ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.35
Sebelum tahap mediasi dilaksanakan, terlebih dahulu diatur
mengenai batas waktu yakni; Setelah para pihak hadir pada hari sidang
pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih
mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan mediator bukan hakim. Para pihak segera menyampaikan
mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis
hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan
34 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 735 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 8
28
tugas. Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat
(1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator
yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan
mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah
menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih
mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang
sama untuk menjalankan fungsi mediator. Jika pada pengadilan yang
sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat,
maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat
yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi
mediator.36
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal memilih mediator, masing~masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis
hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir
36 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 11
29
masa 40 (empat puluh) hari. Jangka waktu proses mediasi tidak
termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika diperlukan dan atas
dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak
jauh dengan menggunakan alat komunikasi.37
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika
salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali
berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal
pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-
turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah
dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator
memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan
aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan
dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga
pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak
dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para
pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak
layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.38
Memperhatikan ketentuan di atas, ada dua kemungkinan dalam
proses mediasi yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal
mencapai kesepakatan.39
37 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 1338 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 1439 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 56
30
1) Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak
dengan bantuan mediator, maka mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak dan mediator. Jika dalam mediasi para pihak diwakili
oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
2) Apabila setelah batas waktu maksimal empat puluh hari kerja
sebagaimana atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam
Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal dan memberitahukan kepada hakim. Segera
setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
b. Di luar Pengadilan
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa
Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan
penyelesaian sengketa. PERMA No. 1 Tahun 2008 juga memuat
ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar
pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan
(3) PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur hukum untuk
akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan
perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara
mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen
kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh
31
mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang
dalam sengketa itu mengalami kerugian.40
4. Dasar hukum mediasi
Mediasi sebenarnya terdapat pada banyak peraturan perundang-
undangan, diantaranya:
a. HIR dan Rbg
Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama
melalui lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg).
Dimana hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang
berperkara sebelum perkaranya diperiksa.41
b. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai
berikut:
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
40 Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja Gravindo Persada, Jakarta. hal. 19341 Soetrisno, 2010, malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 52
32
Pasal 23 tersebut terdapat dua hal penting:42
1) Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif
penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang
disebut BPSK.
2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan
pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat
tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK
adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa
melalui badan pengadilan.
d. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam
ketentuan pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat
(3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai
kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan
dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para
pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.43
42 Widjaja Gunawan, 2001, op.cit hal 7343 Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada hal. 90
33
Namun UU ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian
dari mediasi secara jelas dan tegas.
e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara
penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat
dalam dua pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM.44 Namun tidak ada
aturan tegas semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi
oleh Komnas HAM.
f. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3)
dinyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.45 Dengan demikian
Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar
penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu
negosisasi, mediasi dan arbitrase.
g. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
44 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit hal. 6145 Ibid, hal. 57
34
Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan
terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan.
h. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi
Perbankan
Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi
perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan
bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah
oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.46
Apabila disinkronisasikan ke dunia kesehatan, sengketa antara
nasabah dan bank memiliki kemiripan dengan sengketa antara pasien
dengan dokter.
D. Perjanjian terapeutik
1. Pengertian
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa Perjanjian atau
kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji
kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya, perjanjian
itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling
mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara
46 Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Jakarta. Hal. 25
35
dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien
yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode
Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan
tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut :
“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
2. Jenis Perjanjian
Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu :47
47 Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 62
36
a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah
pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal
untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
b. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan
resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik atau perjanjian terapeutik termasuk dalam
inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin
menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah
melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan
pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan
penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar
profesi.
Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima
pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan
kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien,
maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien
yang tidak kooperatif merupakan bentuk contributory negligence yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter.
Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak,
baik pihak dokter ataupun pihak pasien.
37
Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan
dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut:48
1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.
Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional yang
pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan.
Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang
membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi dan
kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang
berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien,
sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan
kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban
membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah
diberikan dokter tersebut.
2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik profesional yang bercirikan
pemberian pertolongan.
3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
3. Sifat perjanjian terapeutik
48 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 145.
38
Sifat atau ciri khas dari perjanjian terapeutik sebagaimana
disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah :
a. Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan
pasien.
b. Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam
suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya
kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter
juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling
mejaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk
kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya,
dan pasienpun harus memberikan keterangan yang jelas tentang
penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas
dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai
kesembuhan yang diharapkannya.
c. Harapan ini juga dinyatakan sebagai “senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”. Mengingat kondisi
pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien
penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran
terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan
harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang
bersifat khusus yang membedakan perjanjian terapeutik ini berbeda
dengan perjanjian lain pada umumnya.
4. Dasar hukum perjanjian terapeutik
39
Perjanjian terapeutik diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan diantaranya:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Perjanjian terapeutik diatur secara tegas pada Pasal 1320, Pasal
1338 dan Pasal 1339 KHUPerdata yang mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian terapeutik.49
b. Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang Praktek Dokter dan Dokter
Gigi
Perjanjian terapeutik secara jelas terdapat juga dalam Pasal 13
yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan upaya maksimal dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
49 Liliana Tedjosaputro, 2010. Op.cit
40
A. Metode Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan
masalah di dalam penelitian ini dengan melakukan analisis terhadap data
sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan menganalisis
terhadap data dilapangan.50
Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini yakni menganalisis
mediasi sebagai altrnatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang
bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha
menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata
bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.51
Data sekunder yang diperoleh tersebut akan dijadikan dasar di dalam
memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai bagaimana mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik
antara dokter dan pasien. Atas dasar itulah, maka akan dilakukan analisis
secara sistematis, kritis dan konstruktif untuk membangun sebuah konsep baru
50 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.51 Azwar Saifuddin, 2004. Metode penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 23
39
41
di dalam upaya memberikan solusi penyelesaian sengketa perdata antara
dokter dan pasien.
C. Sumber Data
Jenis dan sumber data yang akan menjadi dasar analisis di dalam
penelitian yuridis normatif ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini
terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu:52
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan mediasi, di antaranya UU No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 23 c Peraturan Presiden RI No.
10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional, KUH Perdata, HIR/Rbg,
PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
2. Bahan Hukum Sekunder
52 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13
42
Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang berasal dari beberapa literatur dan tulisan
ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan terhadap permasalahan penelitian
ini antara lain : Buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil seminar, disertasi, dll.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan
maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang dapat berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan
sebagainya.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk dapat menghimpun beberapa data sekunder secara utuh dan
mendalam di atas, maka di dalam penelitian ini digunakan dua metode
pengumpulan data, yaitu :
1. Penelitian Kepustakaan dan Dokumenter (library and documentation
research). Dalam penelitian Kepustakaan dan Dokumentasi ini
dimaksudkan untuk menghimpun, mengidentifikasi dan menganalisa
terhadap berbagai sumber data sekunder, yang berasal dari beberapa
tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan maupun berbagai dokumen
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan (field research). Dalam metode pengumpulan data
melalui penelitian lapangan ini dipergunakan teknik wawancara yang
43
dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fakta di lapangan sebagai
tambahan dan penunjang dari data sekunder.
E. Metode Penyajian Data
Data penelitian yang telah terkumpul di olah dan disusun serta
disajikan secara menyeluruh. Data dari penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk deskripsi yang berupa uraian secara mendalam mengenai permasalahan
yang dibahas. Penyajian data dapat pula dalam bentuk tabel yang tersusun
secara sistematis. Data penelitian ini akan disajikan dalam bentuk : matrik,
tabel-tabel, dan uraian peristiwa.
F. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara normatif kualitatif.
Dalam analisa normatif diperlukan penyiapan data sekunder sebagai data
utama. Analisa ini cukup dengan melakukan interpretasi atas data sekunder
dengan cara mengupas data yang ada menurut teori, azas, sistem, doktrin,
dalil, dan konsepsi hukum yang terkandung dalam tinjauan pustaka. 53
Analisa Normatif Kualitatif
53 Aman Santoso, Metode penelitian hukum normatif dan sosiologis dengan analisa kualitatif,
Semarang : FH UNTAG, halaman 41.
Tinjauan PustakaData Sekunder
44
Analisis dengan interprestasi/pemaknaan data, tanpa perhitungan
statistik
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik
Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien
45
1. Hubungan dokter pasien dalam perjanjian terapeutik dan sengketa medik
a. Hubungan dokter pasien
Zaman dahulu, dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan
dianggap tahu segalanya (father know best) oleh pasien. Sehingga
melahirkan hubungan paternalistik. Pola hubungan ini identik dengan
pola hubungan vertikal dimana kedudukan antara pemeberi jasa
(dokter) dan penerima jasa (pasien) tidak sederajat. Oleh karena itu,
pasien menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter.54
Berkembang pesatnya sarana informasi melalui media,
kerahasian profesi dokter mulai terbuka dengan bertambahnya
pengetahuan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan, sehingga
berdampak pada bergesernya paradigma yang semula hubunan vertikal
menjadi hubungan horizontal.
Dewasa ini perubahan pola hubungan antara dokter dan pasien
disebabkan oleh tiga faktor dominan, yaitu:55
1) Meningkatnya jumlah permintaan pelayanan kesehatan
2) Berubahnya pola penyakit
3) Teknologi medik
Bila ditarik persamaan antara pola hubungan vertikal
paternalistik dan horizontal kontraktual adalah : sama-sama
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
54 Asfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 8955 Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum kedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 43
46
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin perjanjian
terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak
yaitu pihak pemberi layanan (medical providers) dan pihak penerima
layanan (medical recivers) dan ini harus dihormati para pihak. Tim
dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk
melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik terbaik menurut
pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien
atau keluarganya sebagai medical recivers mempunyai hak untuk
menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
Hubungan hukum yang dilahirkan dari hubungan layanan
hukum antara dokter dan pasien telah melahirkan aspek hukum
dibidang perdata : gugatan perdata disebabkan 3 (tiga) hal yaitu
wanprestasi, onrecht matige daad dan karena mengakibatkan kurang
hati-hati dan cermat dalam proses mengupayakan kesembuhan.
Hubungan ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi dokter
maupun pasien. Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, yang dalam Pasal 52 adalah :
1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4) Menolak tindakan medis; dan
47
5) Mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah :
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatanya
2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
dan
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
Demikian juga dokter sebagai pengemban profesi, memiliki hak
dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam
perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :
1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Pereturan Pemerintah.
Secara khusus hak – hak dokter dalam menjalankan praktik
kedokteran diatur dalam Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004
48
tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 yang mengatur bahwa seorang
dokter mempunyai hak :
1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
2) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarga ; dan
3) Menerima ibalan jasa.
Sedangkan kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51
Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
yaitu ;
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar
profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien ;
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ;
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya ; dan
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
49
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :
1) Standar ketrampilan
a) Ketrampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan
sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya.
Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderita
perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b) Ketrampilan umum meliputi penanggulangan terhadap
penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan
dokter Indonesia.
2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk
berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada
dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a) Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b) Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang
diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan
pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku
dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya
dengan dokter lainnya, yaitu :
a) Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.
50
b) Semua pasien diperlakukan sama.
c) Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara
menyeluruh.
d) Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara
menyeluruh.
e) Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
f) Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak
memberatkan pasien.
g) Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
h) Untuk pemeriksaan pasienwanita sebaiknya agar keluarganya
disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh
perawat, kecuali bila dokternya wanita.
i) Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang
praktek , melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.
4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat
catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,
alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
b. Perjanjian terapeutik
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan
kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan
keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam
51
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983
tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter
di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai
berikut :
“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
Dari hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik tersebut
timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik bagi pihak
pasien maupun pihak dokter. Suatu perjanjian dikatakan sah bila
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321
KUHPerdata yang berbunyi :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Sesuai pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara
yuridis keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh kesepakatan para
pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya kekhilafan,
paksaan ataupun penipuan. Sepakat ini merupakan persetujuan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak
mempunyai persesuaian kehendak yang dalam perjanjian terapeutik
sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokterpun
setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut
hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak
52
ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada
paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan
didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya Informed Consent atau
yang juga dikenal dengan istilah “Persetujuan Tindakan Medik”.
Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat
perikatan/perjanjian, diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan 1330
KUHPerdata sebagai berikut :
Pasal 1329 KUHPerdata: Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak
cakap.
Pasal 1330 KUHPerdata: Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh didalam pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Berdasarkan bunyi Pasal 1329 KUHPerdata di atas, maka secara
yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan
adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak
dilarang oleh undang-undang.
Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik
dapat meliputi berbagai macam golongan umur, dan berbagai jenis
53
pasien, yang terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak
cakap bertindak. Hal ini harus disadari oleh dokter sebagai salah satu
pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar
tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk
bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang
dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :56
1) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang
gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari
pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter
adalah pengampunya).
2) Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau
orangtuanya. Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 8
tentang persetujuan tindakan kedokteran ayat (2) adalah telah
berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang
berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian
terapeutik harus ditandatangani oleh orangtuanya atau walinya
yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, obyek yang diperjanjikan
terdiri dari mengenai ‘suatu hal tertentu’ dan harus ‘suatu sebab yang
halal atau diperbolehkan untuk diperjanjikan’. Dalam perjanjian
terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan atau sebagai
56 Anny Isfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 61.
54
obyek perjanjian adalah upaya penyembuhan terhadap penyakit yang
tidak dilarang undang-undang.
Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian,
yaitu :57
1) Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah
pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal
untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
2) Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan
resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang
diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis
atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan
kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan
pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien.
Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh
kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar
profesi.
Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima
pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk
mewujudkan kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan.
Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil
yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif merupakan bentuk
57Ibid.,hal. 62.
55
contributory negligence yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh
dokter.
Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para
pihak, baik pihak dokter ataupun pihak pasien.
Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan
dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut :58
1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.
Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional
yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian
pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik
yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi
dan kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang
medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang
dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak
mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang
dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter
atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik professional yang
bercirikan pemberian pertolongan.
3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan
58 Veronica Komalawati, 1999. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 145.
56
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Perjanjian terapeutik mempunyai ciri khas atau sifat yang berbeda
dengan perjanjian secara umum. Sifat atau ciri khas dari perjanjian
terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik
Kedokteran Indonesia adalah :
1) Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter
dengan pasien.
2) Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan
dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien
harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga
sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu
dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus
berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah
mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasienpun harus
memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada
dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi
perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang
diharapkannya.
3) Harapan ini juga dinyatakan sebagai ‘senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani’. Mengingat
kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis
57
atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional,
kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya
disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan
hubungan yang bersifat khusus yang membedakan perjanjian
terapeutik ini berbeda dengan perjanjian lain pada umumnya.
Di samping mempunyai sifat yang berbeda, perjanjian terapeutik
merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam
perjanjian terapeutikpun berlaku beberapa azas hukum yang
mendasari, yang menurut Veronica Komalawati disimpulkan sebagai
berikut :59
1) Azas Legalitas
Azas ini tersirat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan
sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan
yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya
dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan
telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, antara lain telah memiliki Surat
Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik.
2) Azas Keseimbangan
Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus
diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan
59 Ibid., hal 126.
58
masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual.
Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan
sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang
ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.
3) Azas Tepat Waktu
Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam
menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan
bahkan bias mengancam nyawa pasien itu sendiri.
4) Azas Itikad Baik
Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu
diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien.
Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan
pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh
kepada standar profesi.
5) Azas Kejujuran
Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian
informasi yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam
berkomunikasi, Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan
sangat membantu dalam dalam kesembuhan pasien. Kebenaran
informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk
mengetahui kebenaran.
6) Azas Kehati-hatian
59
Sebagai seorang professional di bidang medik, tindakan dokter
harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat
berakibat terancamnya jiwa pasien.
7) Azas keterbukaan
Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat
tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara
dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap
ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara
dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau
informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.
c. Sengketa medik
Sengketa medik muncul dari adanya ketidakpuasan pasien
sebagai penerima jasa layanan kesehatan atas palayanan yang
diberikan oleh dokter. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa
medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien
dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan
praktiknya. Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi: “setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannyadirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktiknya dapat mengadu secara
60
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, penyelesaian sengketa melalui
lembaga profesi tidak lagi begitu diminati pasien karena pada
prinsipnya pasien kurang percaya terhadap penyelesaian melalui
lembaga profesi, baik itu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia maupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.
Untuk itu perlu adanya suatu lembaga khusus untuk menangani
masalah ini.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat
dijadikan acuan sebagai badan yang mungkin masih ada kaitannya
dengan pelayanan kesehatan walaupun badan ini memiliki tugas yang
relatif luas. Sengketa konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya:
1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih
61
upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.
2) Gugatan atas Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh:
a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b) kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d
diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut mengenai
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit
62
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Selain mengatur tentang sengketa konsumen, Undang-undang
ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen di luar
Pengadilan. Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
dijumpai pada Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau
mengenai tindakan untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau
tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.
Kesepakatan dalam pasal di atas diselesaikan melalui suatu
badan yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yakni Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) yang dapat menjalankan tugas-tugasnya diatur
dalam Pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Tugas dan wewenang BPSK meliputi:
1) melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2) memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam Undangundang ini;
63
5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
6) melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-
undang ini;
9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada
huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
badan penyelesaian sengketa konsumen;
10) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen;
12) memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
13) menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
64
Penyelesaian sengketa medik menurut regulasi di Indoensia
dibagi menjadi dua jalan yakni: melalui lembaga profesi, dan hukum.
Penyelesaian sengketa medik melalui lembaga profesi di jalankan oleh
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), kedua badan
tersebut dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Adapun sanksi
jika terbukti dokter tersebut melakukan pelanggaran yaitu kewajiban
mengikuti pendidikan dan pencabutan ijin praktek baik untuk
sementara maupun untuk selamanya.
Penyelesaian sengketa dalam ranah hukum diantarannya:
peradilan umum, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dan melalui mediasi di luar pengadilan. Penyelesaian melalui peradilan
umum sengketa medik dapat dikategorikan menjadi peradilan pidana
dan perdata. Peradilan pidana maupun perdata mengharuskan salah
satu pihak melalukan tuntutan maupun gugatan ke pengadilan dan
keputusannya berupa penjara/ kurungan serta ganti rugi. Disamping itu
dalam ranah perdata terdapat mediasi para pihak yang mewajibkan
hakim untuk menawarkan mediasi dalam penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) pada prnsipnya sudah dituangkan dalam Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan tuntutan kepada
BPSK dan keputusan berupa ganti rugi.
65
Cara yang lain untuk menyelesaiakan sengketa medik ini juga
dapat dberupa mediasi di luar pengadilan yang dapat dilakukan oleh
suatu badan mediasi seperti Pusat Mediasi Nasional (PMN), Badan
mediasi Indonesia (BaMI) dan Indonesian Institute for Conflict
Transformation (IICT) serta mediator individual. dalam hal ini Putusan
akhir dari mediasi ini bersifat win-win solution. Hal tersebut seperti
gambar dibawah ini:
66
2. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa
Setelah terjadinya sengketa medik, ada beberapa pilihan yang dapat
digunakan sebagai penyelesaian, diantaranya adalah litigasi dan non
litigasi. Penyelesaian dengan litigasi memakan waktu lama dan biaya,
untuk itu dipakai non litigasi untuk menyelesaiakn sengketa medik.
Adapun penyelesaian dengan non litigasi dibedakan menjadi 5 (lima) cara
yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan albitrase.
67
Alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 Tentang alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu
contoh alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan untuk
menyelesaiakan sengketa medik adalah mediasi.
a. Pengertian mediasi
Beberapa pengertian mediasi adalah sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, berbunyi: “ mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan dengan bantuan seorang mediator.
2) Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang
tidak mempunyai kewenangan memutus.60
3) Garry Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan
masalah dimana pihak-pihak yang tidak memihak (impartial) dan
netral, bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh kesepakatan yang memuaskan.61
4) Christoper W. Moore menyatakan bahwa mediasi adalah intervensi
terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang
dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para
60 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 1261 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6
68
pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.62
5) Julien Riekert, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian
masalah melalui negosiasi dengan pihak ke tiga (mediator) yang
netral.63
6) Menurut peneliti mediasi adalah salah satu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa, dimana dipergunakan negosiasi para pihak
dengaan bantuan mediator dan merupakan alternatif penyelesaian
sengketa yang dapat digunakan baik didalam maupun diluar
pengadilan.
b. Keuntungan dan kelemahan mediasi
Yahya Harahap mengutarakan keuntungan substansial dan
psikologis mediasi yakni:
1) Penyelesaian bersifat informal
Pendekatan melalui nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua
belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal
term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral.
Menjauhkam doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan
persepsi yang saling menguntungkan.
2) Yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri
Penyelesaian tidak diarahkan kepada kemauan dan kehendak
hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri
62 Christoper W. Moore, 2003. The mediation process. Jossey-Bass A Wiley Imprint 3rd, hal. 1563 Julien Riekert, 2003. ADR in Australia Commercial Dispute: Quo Vadis, Kutipan dari bahan Alternative Dispute Resolution Training, FHUI-LRP-AUS Aid.
69
sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu
hal yang sebenarnya atas sengketa yang dipermasalahkan.
3) Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua
minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan
kerendahan hati dari para pihak, itu sebabnya disebut bersifat
speedy.
4) Biaya ringan
Boleh dikatakan tidak perlu biaya. Meskipun ada, sangat murah
atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan
atau arbitrase yang membutuhkan biaya mahal.
5) Tidak perlu aturan pembuktian
Tidak ada pertarungan yang sengit antar para pihak untuk saling
membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan
prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat
menjemukan seperti halnya proses arbitrase dan pengadilan.
6) Proses penyelesaian bersifat konfidensial
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian
benar-benar bersifat rahasia, penyelesaian tertutup untuk umum
yang tahu hanya mediator. Dengan demikian tetap terjaga nama
baik para pihak dalam pergaulan bermasyarakat.64 Jika dikaitkan
dengan masalah medik maka dokter sebagai salah satu pihak sudah
64 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 22
70
tentu nama baik merupakan hal yang paling utama mengingat
dokter menjual jasa pelayanan.
7) Hubungan para pihak bersifat kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani,
terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama. Masing-masing pihak
menjauhkan dendam dan permusuhan.
8) Komunikasi dan fokus penyelesaian
Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak. Komunikasi
tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan baik antara para pihak.
9) Hasil dituju sama-sama menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat
dikatakan sangat luhur yakni sama-sama menang (win-win
solution), dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah.
10) Bebas emosi dan dendam
Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap emosional
kearah suasana bebas emosi selama berlangsungnya mediasi,
dengan kata lain mediasi menghendaki rasa kekeluargaan dan
persaudaraan.
Adapun kelemahan mediasi menurut Takdir Rahmadi sebagai
berikut:65
65 Ibid, hal. 27
71
1) Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak
memiliki kemauan untuk menyelesaikan sengketa secara
konsensus.
2) Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memamfaatkan proses
mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian
sengketa.
3) Beberapa jenis mediasi mungkin tidak dapat dimediasi, terutama
kasus yang berkaitan dengan ideologis, dan nilai dasar yang tidak
memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi.
4) Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok
dalam sebuah sengketa adalah penentuan hak karena soal
penentuan hak haruslah diputuskan oleh hakim, sedangkan mediasi
lebih tepat digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait
kepentingan.
5) Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan
dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana.
Sebagai contoh dalam Pasal 85 ayat 2 Undang-undang No. 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menyatakan bahwa mediasi tidak dapat diterapkan untuk
penyelesaian tindak pidana lingkungan hidup. Larangan ini
didasarkan pada pembedaan kategoris hukum privat dengan hukum
pidana.
72
Hukum Pidana terdapat konsep mediasi penal atau dalam istilah
Inggris disebut “mediation in criminal cases”atau “mediation in
penal matters”. Kasus pidana pada prinsipnya tidak dapat
diselesaikan di luar pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Namun dalam prakteknya, sering juga kasus pidana diselesaikan di
luar pengadilan melalui berbagai “diskresi” aparat atau melalui
mekanisme perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di
masyarakat.66 Praktek penyelesaian pidana dalam hal ini tidak ada
landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus
yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun
melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Barda Nawawi, ADR hanya mungkin dilakukan dalam
perkara perdata, namun dalam KUHP terdapat pasal 14c dan pasal
82 yang mengatur denda damai hanya untuk pelanggaran, sebagai
contoh yakni pelanggaran lalu lintas. Di samping itu dalam
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM
menyatakan bahwa Komnas HAM dapat melakukan mediasi dalam
kasus pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat (7) berbunyi: “Komisi Hak
Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah
lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
66 Barda Nawawi A, 2007. Mediasi penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, disampaikan dalam Seminar Nasional: Pertanggungjawaban Hukum dalam Kontek Good Corporate Goverance, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta.
73
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi
manusia”. pengaturan tentang mediasi terdapat juga dalam Pasal 76
ayat (1) menyatakan Untuk mencapai tujuannya Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi tentang hakasasi manusia. Sebagai
tambahan pengaturan mediasi dalam Undang-undang ini juga
terdapat dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96.
c. Model proses mediasi
Karena kesulitan mendefinisikan mediasi, Boulle membagi model
proses mediasi menjadi empat model, diantaranya ialah settlement
mediation, fasilitatif mediation, therapeutik mediation dan evaluative
mediation.67
Jepang menggunakan mediasi evaluatif dan fasilitatif dalam praktik
mediasi yang dijalankan hakim yang disebut wakai. Model evaluatif
disebut dengan model yang terpusat pada opini hakim, fasilitatif
disebut dengan model yang terpusat pada negosiasi.68 Menurut Yoshiro
Kusano karena kedua model tersebut mempunyai kelemahan maka
keduanya digabung. Model gabungan ini, proses dialog para pihak
dibangun untuk mencari usulan-usulan penyelesaian sengketa dan
membahasnya. Tetapi hakim sebagai mediator juga dapat memberikan
penilaian atas usulan tersebut agar tidak menyimpang dengan hukum.
Model mediasi menurut Boulle sebagai berikut:
67 Laurence Boulle, 1996. Mediation: principles, process, and practice. Butterworths Australian, Hal 39-3068 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 37
74
75
76
1) Perbedaan antara mediasi dengan litigasi
Ada beberapa prinsip yang berlawanan antara litigasi dan mediasi,
yaitu:69
Litigasi Mediasi
Penegakan hak Akomodasi kepentingan
Mengklaim nilai Menciptakan nilai
Memaksa dan mengikat Sukarela dan kesepakatan
Akibat proses hukum Prosedur yang flesibel
Formal Informal
69 Ibid, hal.35
Concern about other’s outcomes
Problem solving
(win-win)
Yielding(lose-win)
Contending (win-lose)
Inaction(no win)
Compromise(win a bit-lose a bit)
Concern about own outcomes
77
Fokus saat ini Fokus kedepan
Permusuhan Bekerja sama
Umum dan akuntabel Khusus dan rahasia
Profesional Berbasis rekan
Berdasarkan fakta Berdasarkan hubungan
Berpusat pada tindakan Berpusat pada orang
Konsisten dan presidential Situasional dan individual
Menerapkan norma/ hukum Menciptakan norma/ hukum
Sumber: Laurence Boulle dalam Mediation: principles, process, practice.
2) Pendekatan negosiasi dalam mediasi
Boulle mendesain pendekatan negosiasi dalam proses mediasi:70
Gambar 2: pendekatan negosiasi dalam mediasi
70 Ibib, hal 47
Preliminaries, Mediator’s opening, Party presentations, Identifying areas of egreement, Defining and ordering issues
Negotiation an decision-making, separate meetings, final decisions, recording decisions, closing statement, termination
Preparatory matters
Post mediation activities
Problem-defining stages
Problem-solving stages
78
3. The mediation triangels71
Gambar 3: the mediation triangels
4. Mediasi dalam sistem hukum Indonesia
Di Indonesia pengaturan dan penggunaan mediasi sebagai salah
satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan (dalam konteks sengketa). Pada
bagian berikut akan diuraikan pengaturan dan penggunaan mediasi dalam
konteks sengketa, diantaranya:72
71 Ibid, hal. 9872 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 54
79
a. Mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber
daya alam
Mediasi diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan
tersebut terdapat pada Pasal 85 ayat (3) menyatakan “dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk membantu
menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup”. Dengan demikian
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara garis besar
penggunaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan
mediasi dalam hal ini bersifat sukarela.
b. Mediasi untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan produsen
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur penggunaan mediasi sebagai salah satu diantara
beberapa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, hal ini
tercermin dalam rumusan Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang antara lain mengatakan
“penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali
kerugian yang diderita konsumen”. Fungsi mediasi dijalankan melalui
80
Badan Penyelesaian Sengketa Komsumen (BPSK). Jenis mediasi
dalam Undang-undang ini adalah sukarela.
c. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hak azasi manusia
Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa
pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia selain
berada dalam wilayah hukum pidana, juga mengandung aspek
keperdataan sehingga Undang-undang ini memungkinkan menempuh
perdamaian. Namun tidak ada satupun pasal dalam Undang-undang
No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mewajibkan para
pihak untuk menempuh mediasi. pendekatan mediasi diatur pada Pasal
76 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (4) point a, bunyinya sebagai berikut:
Pasal 76 ayat (1) : untuk mencapai tujuannya Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Pasal 89 ayat (4) : untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
mediasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a) Perdamaian kedua belah pihak
d. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa hubungan industrial
Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan
Hubungan Industrial juga mengatur penggunaan mediasi sebagai salah
satu cara penyelesaian sengketa hubungan industrial. Mediasi diatur
dalam Pasal 1 butir 11, Pasal 1 butir 12, dan Pasal 4 ayat (4) Undang-
81
undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 1 butir 11 berbunyi “Mediasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral”. Pasal 1 butir 12 berbunyi “Mediator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”.
Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) mengatakan “Dalam hal para pihak tidak
menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan
kepada mediator”. Dari rumusan pasal tersebut diatas mediasi bersifat
wajib.
e. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis
82
Mediasi dalam bidang bisnis diatur dalam Undang-undang
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pengaturannya terdapat dalam pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu
proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang
dilakukan oleh pihak menurut Pasal 6 ayat (2). Menurut rumusan dari
pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli maupun seorang mediator. Namun Undang-
undang ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian mediasi
secara tegas dan jelas.
f. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa perbankan
Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa perbankan
tidak didasarkan pada Undang-undang namun didasarkan atas
kebijakan Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi
perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan
bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah
oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.
g. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa pertanahan
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 c Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional
83
yang antara lain mengatakan bahwa Deputi Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik pada BPN menyelenggarakan
fungsi pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa, masalah dan
konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya.
Ketentuan Pasal 23 c ini memperlihatkan kebijakan pemerintah untuk
menggunakan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa
pertanahan.
h. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa klaim asuransi
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi
Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Sosial Indonesia (AASI)
telah menyepakati untuk menggunakan mediasi sebagai upaya pertama
penyelesaian sengketa kalim asuransi antara perusahaan asuransi
dengan tertanggung atau pemegang polis. Penggunaan mediasi untuk
sengketa klaim asuransi juga tidak didasarkan pada ketentuan undang-
undang, tetapi didasarkan pada kebijakan asosiasi-asosiasi asurandi di
Indonesia. Penggunaan mediasi dalam hal ini bersifat sukarela atau
kesepakatn para pihak.
i. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa medik
Dalam konteks sengketa medik, mediasi diatur dalam Pasal 29
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
menyatakan “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
84
terlebih dahulu melalui mediasi”. jika dicermati Undang-undang ini
masih belum jelas karena belum ada jabaran atau penjelasan yang
menyebutkan kriteria kelalaian yang dapat diselesaikan dengan
mediasi (privat atau pidana).
5. Penyelesaian formal dan kekuatan hukum mediasi
a. Klasifikasi mediator, Syarat mediator dan Tipe mediator
1) Klasifikasi mediator
Klasifikasi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 2 dan Pasal
5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung, yang terdiri atas:73
a) Mediator dalam lingkup pengadilan
Menurut Pasal 1 butir 2, dilingkungan pengadilan
terdapat mediator yang disebut mediator di lingkungan sebuah
pengadilan. Oleh karena itu, disetiap pengadilan diharuskan
ada daftar mediator yang dituangkan dalam penetapan ketua
pengadilan. Dengan demikina, daftar mediator berisi panel
anggota mediator dalam penyelesaian sengketa. Selanjutnya
Pasal 5 mengatur tentang sertifikasi mediator.
Yang dapat ditetapkan sebagai mediator, menurut Pasal
8 ayat (1) “yang dapat dicantumkan sebagai mediator dalam
daftar mediator di pengadilan yaitu berasal dari kalangan
hakim, boleh juga dari kalangan yang bukan hakim, syarat
telah memiliki sertifika sebagai mediator”. Namun dalam Pasal
9 ayat (3) menyatakan jika dalam wilayah pengadilan yang
73 M. Yahya Harahap, 2009. Hukum Acara perdata. Sinar Grafika. Jakarta hal. 245
85
bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua
hakim pada pengadilan tersebut dapat ditempatkan dalam
daftar mediator. Jumlah mediator di setiap pengadilan juga
diatur dalam pasal 9 ayat (1), bahwa pada setiap pengadilan
memiliki sekurang-kurangnya lima orang mediator. Selain
mencantumkan nama mediator dalam daftar harus disertai
riwayat dan pengalaman kerja. Hal ini penting sebagai bahan
informasi bagi para pihak pada saat memilih mediator.
b) Mediator dalam lingkup di luar pengadilan
Selain mediator dalam lingkup pengadilan, PERMA
mengakui eksistensi mediator di luar lingkungan pengadilan.
Menurut pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (4), para pihak dapat
dan bebas menyepakati mediator, oleh karena itu tidak mutlak
harus memakain mediator di lingkungan pengadilan.
2) Syarat mediator
Syarat atau kualifikasi yang dianggap kompeten bertindak
melaksanakan fungsi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 6, Pasal 1
butir 11dan Pasal 5 PERMA No.1 Tahun 2008 yakni mediator
harus mempunyai sertifikasi yang terakrediatsi Mahkamah Agung.
3) Tipe mediator
Moore membagi mediator dalam 3 (tiga) tipologi yaitu:
a) Social network mediator yaitu mereka yang dipercayai oleh
pihak yang bertikai, untuk mempertahankan keserasian atau
86
hubunganbaik dalam komunitas dimana para pihak menjadi
bagian didalamnya.
b) Authoritatif mediator, yaitu dimana mediator mempunyai
posisi kuat, berpengaruh dan berpotensi untuk mempengaruhi
hasil akhir proses mediasi.
c) Independent mediator, yaitu mediator yang menjaga jarak
terhadap masalah maupun pihak yang bersengketa.
Dari ketiga tipe mediator tersebut diatas maka tipe
independent mediator adalah tipe mediator yang baik karena pada
dasarnya sifat mediator sendiri adalah netral.
b. Tahapan-tahapan dalam mediasi
Dalam proses mediasi, mediator akan melalui tahapan yang
sudah tentu akan mengikuti situasi dan kondisi pada keinginan klien,
penyelesaian yang dicapai, kepribadian mediator dan masalah yang
dihadapi. Di dalam praktik terdapat aktivitas khusus/ tahapan yang
berkaitan dengan proses mediasi, yaitu:
1) Soetrisno merincikan tahapan-tahapan mediasi sebagai berikut:74
a) Penciptaan forum
Pada awal mediasi, tahap penciptaam forum, mediator
memberitahukan kepada para pihak tentang sifat dan proses,
menetapkan aturan-aturan dasar, mengembangkan hubungan
baik dengan para pihak netral dan merundingkan kewenangan.
74 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 71
87
b) Merundingkan peran dan kewenangan
Terdapat banyak alasan mengapa para pihak tidak mampu
memperoleh kesepakatan. Hal lazim adalah para pihak
mengutamakn kepentingan sendiri. Jika pihak meminta bantuan
mediator, para pihak harus mengakui mediator dan tidak
mengintervensinya.
c) Rapat bersama dan pernyataan pendahuluan
Mediator pada umumnya membuka sidang mediasi dengan
memperkenalkan dirinya dan para pihak, kemudian membuat
pernyataan pendahuluan, menjelaskan proses mediasi,
perannya sebagai penengah, serta aturan-aturan bagi interaksi
para pihak.
d) Tahap informasi
Pada tahap ini, para pihak membagikan informasi baik antara
para pihak maupun dengan mediator dalam sidang bersama,
dan secara pribadi membagikan informasi kepada mediator
dalam sidang pribadi. Seandainya para pihak sepakat untuk
bermediasi, lalu mediator meminta masing-masing pihak untuk
mengemukakan fakta dan posisinya dalam sengketa.
e) Pertemuan (caucus)
Caucus dapat diartikan sebagai pertemuan terpisah para pihak
dengan mediator. Pertemuan ini betujuan untuk berunding,
memungkinkan komunikasi antar tim, untuk mengembangkan
88
informasi, menilai kembali posisi, meneliti pilihan-pilihan dan
memperoleh kesepakatan.
f) Pengendalian interaksi dan komunikasi para pihak
Perlu dicatat bahwa mediator mempertahankan kenetralan dan
keahliannya dalam menyelesaikan sengketa. Melalui tingkah
lakunya, mediator secara efektif menuntut hak untuk bertindak
sebagai pemimpin kegiatan, wasit prosedur, pelatih bagi para
pihak dan kadang-kadang sebagai pemain bebas yang sewaktu-
waktu bersekutu dengan salah satu pihak atua pihak lain demi
kepentingan semua.
g) Perumusan ulang sengketa
Tahap ini mediator mengungkapkan kembali informasi-
informasi tentang sengketa agar memungkinkan sengketa
tersebut dapat ditawar.
h) Tahap pemecahan sengketa
Tahap pemecahan masalah, mediator bekerja sama dengan para
pihak secara terpisah maupun bersama guna membantu mereka
menjelaskan isu atau persoalan, menyusun agenda untuk
mengidentifikasi masalah dan memikirkan serta mengevaluasi
pemecahan.
i) Identifikasi isu dan pemecahan
89
Tahap ini mediator menggunakan negosiasi sebagai panduan
yang bertujuan untuk bisa memberikan tawar-menawar
pemecahan, namun sebelumnya mediator menjelaskan masalah
umumnya kepada para pihak.
j) Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan, mediator bekerja sama dengan para
pihak untuk membantu mereka memilih penyelesaian yang
sama-sama dapat disetujui atau sekurang-kurangnya dapat
diterima terhadap masalah yang telah teridentifikasi.
2) Christoper W. Moore mengidentifikasi tahap-tahap proses mediasi
sebagai berikut:75
a) Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa
b) Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi
c) Mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang
sengketa
d) Menyusun rencana mediasi
e) Membangun kepercayaan dan kerjasama para pihak
f) Memulai proses mediasi
g) Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak
h) Merumuskan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa
i) Menganalisa pilihan-pilihan penyelesaian sengketa
j) Proses tawar menawar
k) Mencapai kesepakatan formal
75 Christoper W. Moore, 2003. Op.cit, hal. 85
90
3) Laurence Boulle
Laurence Boulle membagi tiga langkah/ tahapan dalam praktik
mediasi sebagai berikut:76
a) The present scenario, aktivitas dalam tahap ini antara lain
adalah menceritakan masalah, memusatkan dan perspektif baru.
b) The preferred scenario, aktivitas dalam tahap ini antara lain
adalah skenario baru, kritik, pendapat dan komitmen
c) Helping client act, aktivitas dalam tahap ini antara lain adalah
musyawarah dan memformulasikan penyelesaiannya.
4) Tahapan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008
Tentang Mediasi di Pengadilan
Tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1
Tahun 2008, tahap dalam PERMA ini dibagi menjadi tahap
pramediasi dan mediasi:
a) Tahap pramediasi
Tahap pramediasi diatur dalam pasal 7 sampai pasal 12
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang
Mediasi di Pengadilan, tahapan tersebut sebagai berikut:
(1) Kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum
Pada hari sidang yang telah. ditentukan yang
dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi. Ketidakhadiran pihak turut
tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim,
76 Laurence Boulle, 1996. Op.cit hal. 69
91
melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif
dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib
menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma
ini kepada para pihak yang bersengketa (Pasal 7)..
(2) Hak Para Pihak Memilih Mediator
Para pihak berhak memilih mediator di antara
pilihan-pilihan berikut:
(a) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan;
(b) Advokat atau akademisi hukum;
(c) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak
menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
(d) Hakim majelis pemeriksa perkara;
(e) Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a
dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir
c dan d.
92
Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari
satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan
dan disepakati oleh para mediator sendiri (Pasal 8).
(3) Daftar Mediator
Untuk memudahkan para pihak memilih mediator,
Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang
memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan
disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman
para mediator. Ketua pengadilan menempatkan nama-nama
hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator.
Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada
mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan
yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar
mediator. Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar
namanya ditempatkan dalam daftar ,mediator pada
pengadilan yang bersangkutan. Setelah memeriksa dan
memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan
menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. Ketua
Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui
daftar mediator. Ketua Pengadilan berwenang
mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator
berdasarkan alasanalasan objektif, antara lain, karena
93
mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah
penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku (Pasal
9).
(4) Honorarium mediator
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut
biaya. Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung
bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para
pihak (Pasal 10).
(5) Batas waktu pemilihan mediator
Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama,
hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul
akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Para
pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka
kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis hakim segera
memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.
Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud
ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat
memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib
menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator
kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima
pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih
94
mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim
bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada
pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan
pemeriksa perkara yang bersertifikat,maka hakim
pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang
ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan
fungsi mediator (Pasal 11).
(6) Menempuh mediasi dengan iktikad baik
Para pihakwajib menempuh proses mediasi dengan
iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur
dari prqses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi
dengan iktikad tidak baik (Pasal 12).
b) Tahap mediasi
Tahap mediasi diatur dalam Pasal 13 sampai dengan
Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008
Tentang Mediasi di Pengadilan.
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing
pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama
95
lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator,
masing~masing pihak dapat menyerahkan resume perkara
kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi
berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua
majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5)
dan (6). Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu
mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana
dimaksud dalam ayat 3: Jangka waktu proses mediasi tidak
termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika diperlukan
dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal
13).
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal
jika salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya
telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan
mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati
atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan
mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah
proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam
sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta
96
kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan
pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga
pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu
pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan
kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang
bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para
pihak tidak lengkap (Pasal 14).
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal
pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan
disepakati. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara
langsung berperan dalam proses mediasi. Apabila dianggap
perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Mediator wajib
mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian
yang terbaik bagi para pihak (Pasal 15).
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum,
mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau
pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan
pendapat di antara para pihak. Para pihak harus lebih dahulu
mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.
Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam
97
proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan (Pasal 16).
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian,
para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para
pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak
diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan
secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator
memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari
ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang
tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik,
Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari
sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan
kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam
bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki
kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula
pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan
perkara telah selesai (Pasal 17).
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh)
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para
98
pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena
sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib
menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal
dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah
menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang
berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim
pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan
putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada
hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 18).
Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan
dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara
yang bersangkutan atau perkara lain. Catatan mediator wajib
dimusnahkan. Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi
dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. Mediator
tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun
perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi
(Pasal 19).
99
5) Tahapan mediasi dalam Peraturan Bank Indonesia No
10/1/PBI/2008
Peraturan Bank Indonesia No 10/1/PBI/2008 tentang
Mediasi Perbankan juga mengatur tentang tahapan-tahapan
mediasi, yaitu pada Pasal 7 sampai Pasal 13 Peraturan Bank
Indonesia No 10/1/PBI/2008, antara tahapannya sebagai berikut:
Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi
perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau
Perwakilan Nasabah. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah
mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank
wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia (Pasal 7).
Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut: diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen
pendukung yang memadai; pernah diajukan upaya penyelesaiannya
oleh Nasabah kepada Bank; Sengketa yang diajukan tidak sedang
dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase
atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi
oleh lembaga Mediasi lainnya; Sengketa yang diajukan merupakan
Sengketa keperdataan; Sengketa yang diajukan belum pernah
diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank
Indonesia; dan pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60
100
(enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian
Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah (Pasal 8).
Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau
Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi
(agreement to mediate) yang memuat:
a) Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian Sengketa; dan
b) persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah
ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank
(Pasal 9).
Nasabah dan Bank dapat memberikan kuasa kepada pihak
lain dalam proses Mediasi. Pemberian kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat kuasa khusus yang
paling sedikit mencantumkan kewenangan penerima kuasa untuk
mengambil keputusan (Pasal 10).
Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan
ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah atau
Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi
(agreement to mediate) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1). Jangka waktu proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat
101
(1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja
berikutnya berdasarkan Kesepakatan Nasabah atau Perwakilan
Nasabah dan Bank (Pasal 11).
Kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah
dengan Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan
dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau
Perwakilan Nasabah dan Bank (Pasal 12).
Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa
perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan
dituangkan dalam Akta Kesepakatan (Pasal 13).
c. Syarat formil putusan perdamaian
Syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk pada ketentuan
Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga ketentuan lain terutama yang diatur
dalam BAB XVIII, Buku ketiga KUH Perdata (Pasal 1851-1864),
sehubungan dengan itu akan dibahas hal-hal sebagai berikut:77
1) Persetujuan perdamaian mengakhiri perkara
Syarat pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara
secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal.
Perdamaian harus membawa pihak terlepas dari sengketa.
2) Persetujuan perdamaian berbentuk tertulis
Syarat formil kedua yang digariskan Pasal 1851 KUH
Perdata, yakni mengenai bentuk persetujuan:
77 M. Yahya Harahap, 2009. Op.cit, hal. 275
102
a) Harus berbentuk akta tertulis, boleh dibawah tangan (ditanda
tangani para pihak) dan dapat juga berbentuk akta autentik.
b) Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan
c) Setiap persetujuan yang tidak tertulis dinyatakan tidak sah
3) Pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang
mempunyai kekuasaan
Syarat ini berkaitan dengan ketentuan perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 ke-2 jo Pasal 1330 KUH Perdata.
Meskipun Pasal 1320 KUH Perdata mempergunakan istilah tidak
cakap dan Pasal 1852 istilah tidak mempunyai kewenangan, yang
termasuk didalamnya tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas
sebagai personal standi in judicio.
4) Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan
perdamaian
Syarat formil lain yang ikut terlibat dalam persetujuan tidak boleh
kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang
tidak bertindak sebagai penggugat dan tergugat , mesti seluruhnya
ikut ambil bagian sebagai pihak dalam pihak perdamaian.
d. Kekuatan hukum putusan mediasi
Kesepakatan mediasi di sini diartikan sebagai kesepakatan yang
dicapai para pihak dengan bantuan mediator. Jikan ditelusuri aturan
perundangan yang mengatur mediasi tidak ditemukan ketentuan yang
mengatakan bahwa mediasi tidak memiliki kekuatan eksekutorial
103
seperti halnya putusan arbitrase.78 Sedangkan Soetrisno mengatakan
bahwa mediasi akan berkekuatan hukum tetap dan mengikat setelah
kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk akta perdamaian
(penyelesaian sengketa di luar pengadilan) dan dibuat putusan hakim.
Kesepakatan dengan akta perdamaian dibuat oleh notaris dan
merupakan akte autentik yakni akte yang mempunyai kekuatan
sempurna sehingga apabila ternyata salah satu pihak ingkar/
wanprestasi, maka pihak yang lainnya dapat meminta apa yang telah
diperjanjikan.79
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kekuatan hukum yang
melekat pada mediasi mempunyai kekuatan hukum tetap apabila sudah
ada akta perdamaian. Kekuatan ini disamakan dengan putusan tetap,
mempunyai kekuatan eksekutorial dan tidak dapat mengikat.80
B. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik
Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien di RSI Siti
Hajar, RSUD Praya dan Pengadilan Negeri Praya
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.81 Rumah sakit
merupakan tempat bertemunya dokter dan pasien atau merupakan tempat
78 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal.7679 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6680 M. Yahya Harahap, 2009. Op.cit, hal. 27981 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
104
perjanjian terapeutik dilaksanakan. Hubungan terapeutik antara dokter dan
pasien kadang kala tidak dapat memuaskan salah satu pihak terutama pasien,
hal ini akan menyebabkan adanya tuntutan/ sengketa medik. Akhir-akhir ini
ramai mencuat adanya sengketa medik dan penyelesaiannya kadang kala tidak
memuaskan para pihak seperti penyelesaian melalui lemabaga peradilan.
Penyelesaian sengketa di peradilan memakan waktu lama dan biaya mahal,
sehingga hampir sudah pasti pasien sebagai salah satu pihak merasa tidak
nyaman dan akan mengeluarkan biaya yang banyak sedangkan sengketa
medik menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan dokter karena sedikit
tidak mempengaruhi nama baik dan nama baik bagi dokter merupakan hal
yang sangat penting mengingat dokter menjual jasa layanan kesehatan. Untuk
itu diperlukan alternatif penyelesaian sengketa yang ideal, sama-sama
menguntungkan para pihak, dalam hal ini mediasi dapat menjadi salah satu
solusi penyelesaian yang ampuh.
Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik di
RSI Siti Hajar Mataram, RSUD Praya dan Pengadilan Negeri Praya di
Kabupaten Lombok Tengah. Peneliti telah mendapatkan data dari 3 (tiga)
sampel dari RSI Siti Hajar dan RSUD Praya diantaranya adalah direktur
rumah sakit, dokter spesialis bedah dan dokter spesialis kandungan sedangkan
di Pengadilan Negeri Praya Praya peneliti mengambil sampel pada seorang
hakim mediator. Data tersebut dapat disajikan sebagai berikut:
1. RSI Siti Hajar Mataram
Tabel 3.a. Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram
105
No. Sengketa medik Jumlah %1. Pernah 2 66,72. Tidak pernah 1 33,3
JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa pernah terjadi sengketa medik sebanyak
2 kali di RSI Siti Hajar Mataram.
Tabel 3.b Penyelesaian Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram
No. Penyelesaian Sengketa medik Jumlah %1. Negosiasi 1 502. Mediasi - -3. Lembaga Profesi - -4. Litigasi 1 50
JUMLAH 2 100Sumber: wawancara dengan dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa medik di RSI Siti
Hajar Mataram diselesaikan melalui negosiasi dan litigasi.
Tabel 3.c Penyelesaian Sengketa Medik dengan mediasi No. Sengketa medik Jumlah %1. Setuju 3 1002. Tidak Setuju 0 0
JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa semua responden setuju penyelesaian
sengketa medik dengan mediasi.
2. RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah
Tabel 3.d. Peristiwa Sengketa Medik di RSUD PrayaNo. Sengketa medik Jumlah %1. Pernah 2 100
106
2. Tidak pernah 1 0JUMLAH 3 100
Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa telah terjadi sengketa medik sebanyak 2
kali di RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah..
Tabel 3.e. Penyelesaian Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram
No. Penyelesaian Sengketa medik Jumlah %1. Negosiasi 2 1002. Mediasi - -3. Lembaga Profesi - -4. Litigasi - -
JUMLAH 2 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa medik di RSUD
Praya Kabupaten Lombok Tengah diselesaikan melalui negosiasi.
Tabel 3.f. Penyelesaian Sengketa Medik dengan mediasai
No. Sengketa medik Jumlah %1. Setuju 3 1002. Tidak Setuju 0 0
JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa responden setuju penyelesaian sengketa
medik dengan mediasi.
3. Pengadilan Negeri Praya Kabupaten Lombok Tengah
Hasil wawancara dengan seorang hakim mediator di Pengadilan
Negeri Praya didapatkan bahwa Pengadilan Negeri Praya Kabupaten
107
Lombok Tengah belum pernah menangani sengketa medik. Hakim
mediator tersebut setuju dilakukan mediasi dalam sengketa medik
sepanjang sengketa tersebut termasuk didalam ranah hukum perdata,
seandainya termasuk dalam ranah pidana responden belum berani
memberikan argumen karena masih abu-abunya regulasi yang mengatur
mediasi penal maupun tentang bunyi Pasal 29 Undang-undang No.36
tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun mengenai kasus tindakan tipirin
(tindak pidana ringan) dan delik aduan responden menyetujui
dilakukannya mediasi.
C. Kendala-kendala dan Solusi dalam Pelaksanaan Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik
Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik
bila memperhatikan peraturan perundang-undangan yang secara khusus yakni
Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
menyebutkan “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi”. Di bawah ini akan dibahas mengenai kendala dan solusi
dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik
dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, antara laian:
108
1. Kendala-kendala dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan
pasien dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kurangnya regulasi
Regulasi dalam pelaksanaan mediasi sebagai penyelesaian
sengketa medik kurang, hal tersebut ditunjukkan dengan belum
dilaksanakan mediasi. Belum dapat dilaksanakan karena dalam pasal
tersebut masih ada ketidakjelasan mengenai istilah “kelalaian” yang
dapat diselesaikan melalui mediasi, hukum acara dan siapa yang
berhak melakukan peran mediatornya.
b. Sengketa yang dilandasi konflik emosional
Sengketa yang dilandasi konflik emosional sehingga
menimbulkan lemahnya semangat dan antusias para pihak untuk
membentuk forum komunikasi, bahkan ada diantaranya secara terang-
terangan menyatakan tidak bersedia untuk menempuh perdamaian dan
memaksa untuk langsung menyelesaikan melalui proses di
pengadilan.82
c. Mediator bersertifikat masih kurang
Seuai dengan amanat PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa setiap Pengadilan harus memiliki sekurang-
kurangnya 5 (lima) mediator bersertifikat terakreditasi Mahkamah
Agung di wilayah Pengadilan yang bersangkutan. Hal ini ditunjang
82 Darmoko Yuti, 2010. Op.cit, hal.69
109
dengan hasil penelitian di Pengadilan Praya yang baru memiliki 2
(dua) orang hakim yang bersertifikat terakreditasi Mahkamah Agung.
d. Mediasi merupakan hal yang baru
Mediasi merupakan hal yang bisa dikatakan baru walaupun
sebenarnya pengaturan mediasi sudah diatur terlebih dahulu pada Pasal
130 HIR atau Pasal 154 Rbg namun pelaksanaan mediasi ini efektif
setelah terbitnya PERMA No. 2 Tahun 2003. Hal ini menyebabkan
kurang efektifnya proses mediasi yang menghasilkan perdamaian para
pihak, apalagi dalam lingkup hukum kesehatan mediasi merupakan
sebuah wacana yang mungkin belum akan maksimal. Hal ini didukung
hasil penelitian di PN Praya Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang tidak pernah menangani perkara mediasi dalam
sengketa medik sedangkan penelitian di RSI Siti Hajar Mataram dan
RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah juga belum menerapkan
penyelesaian sengketa medik dengan mediasi, namun di kedua rumah
sakit tersebut pernah mengalami sengketa medik dan penyelesaiannya
dengan negosiasi.
e. Kendala lain yang peneliti temukan di PN Praya dalam pelaksanaan
mediasi secara umum ialah sulitnya mediator untuk memberikan
pengertian dan pemahaman kepada pihak yang bersengketa untuk
menemukan titik temu/ solusi dalam permasalahan para pihak.
2. Solusi dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
110
Dari beberapa kendala diatas tentang pelaksanaan mediasi dalam
sengketa medik diperlukan solusi agar dalam pelaksanaan mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien dapat segera dilakukan demi menjalankan amanat Pasal
29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, solusi tersebut
dijabarkan sebagai berikut:
a. Kurangnya regulasi
Kurangnya regulasi dalam pernyelesaian sengketa medik
dengan mediasi dapat diatasi dengan penerbitan aturan turunan dari
Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Aturan turunan ini dapat berbentuk Peraturan pemerintah, peraturan
menteri dan sebagainya, yang memuat tentang kejelasan jenis
“kelalaian” yang dimaksud, hukum acara mediasi medik dan siapa
yang berhak menjadi mediator atau dengan pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan.
b. Sengketa yang dilandasi konflik emosional
Dalam hal ini mediator dituntut sebagai katalisator atau pencair
suasana, mediator harus mampu menciptakan suasana yang kondusif,
mampu menjadi leader dalam sidang mediasi. apabila tidak bisa berarti
perlu ada aturan yang tegas misalnya PERMA tersebut di ganti dengan
undang-undang yang kedudukannya lebih kuat.
c. Mediator bersertifikat masih kurang
111
Dalam melaksanakan suatu mediasi sudah sepantasnya diikuti
dengan penambahan mediator bersertifikat terakreditasi Mahkamah
Agung. Untuk itu Mahkamah Agung selaku leader dalam
pelaksaksanaan mediasi mengadakan suatu pelatihan-pelatihan kepada
setiap hakim untuk menambah mediator bersertifikasi di lingkungan
Pengadilan.
d. Mediasi merupakan hal yang baru
Untuk mengatasi hal ini, semua pihak diharapkan dapat
mensosialisasikan penggunaan mediasi dalam sengketa medik baik itu
oleh Kementerian Kesehatan dan Mahkamah Agung.
e. Sedangkan untuk mengatasi kendala mengenai kemampuan mediator
dalam memfasilitasi para pihak untuk berdamai adalah setiap mediator
dituntut peran aktifnya dengan bekal kemampuan dan keahliannya
sehingga dapat mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para
pihak mencapai suatu kesepakatan.
112
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien belum banyak dilaksanakan
baik itu di pengadilan maupun di luar pengadilan;
112
113
2. Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya
Kabupaten Lombok Tengah belum terlaksana;
3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan
pasien antara lain: kurangnya regulasi yang mengatur mediasi medik,
konflik yang sering terjadi sering merupakan konflik emosional, mediator
bersertifikasi masih kurang, mediasi masih merupakan hal baru dalam
dunia kesehatan dan kurangnya kemampuan mediator dalam penanganan
sengketa. Sedangkan solusinya antara lain ialah pemerintah diharapkan
membentuk aturan turunan terkait mediasi medik baik itu jenis kelalaian,
hukum acara dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Tenaga
Kesehatan, penambahan kemampuan mediator dengan mengadakan
pelatihan-pelatihan baik oleh Mahkamah Agung maupun lembaga mediasi
untuk memperoleh keahlian dan kemampuan menuntun para
pihak untuk mencapai kesepakatan, menambah mediator
bersertifikat dan sosialisasi penggunaan mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa medik baik oleh Kementerian Kesehatan dan
Mahkamah Agung.
B. Saran
114
1. Perlu dibentuk suatu Badan atau Lembaga Penyelesaian Sengketa
Kesehatan sebagai turunan dari Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan;
2. Demi kepastian hukum tentang mediasi di bidang medis, maka sebaiknya
pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 dikeluarkan aturan turunan dari undang-
undang tersebut, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Kesehatan yang berisi tentang mediasi medik, sanksi dan hukum acaranya;
3. Dalam hal tindak pidana mediasi penal dapat dilakukan dengan maksud
dan tujuan khusus, misalnya: penjara tidak penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Aman Santoso, 2010. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis Dengan Analisa Kualitatif, FH UNTAG, Semarang .
Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Christoper W. Moore, 2003. The mediation process, third edition. Jossey Bass. United State of America.
115
Darmoko Yuti, 2010. Beberapa permasalahan dalam PERMA No. 1 tahun 2008 tentang mediasi di pengadilan. Varia Peradilan. Jakarta.
Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hariyani, Safitri, 2005, Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien, Diadit Media, Jakarta.
Hermien Hadijati Koeswadji,1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
Laurence Boulle, 1996. Mediation principles, process, practice. Butterworths. Australia
Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG, Semarang. Tidak dipublikasikan
Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang,
M. Yahya Harahap, 2009. Hukum acara perdata, Sinar Grafika. Jakarta.
Soetrisno, 2010, Malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Soponyono, Edi, 2008, Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadila), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja Gravindo Persada, Jakarta
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya Bakti, cet. II Bandung.
Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Yuti Witanto Darmono, 2010, Beberapa masalah dalam perma nomor 1 tahun 2008 tentang mediasi dipengadilan, Varia Peradilan, Jakarta
116
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement Buitengewesten (Rbg)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144144
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140
Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153 144
Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6
Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan
Permenkes 512/MENKES/PER/IV/2007 Tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medik
117
Kamus/ Inseklopedia:
Black’s Law Dictionary, 7ed. St. Paul, Minnesota: West Publishing Company, 1999.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Internet:
Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 at: 20/12/2010
Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at: http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/2010
Recommended