Media dan Agama

Preview:

DESCRIPTION

Materi Workshop Meliput Isu Keberagaman "Media dan Agama"

Citation preview

Workshop Jurnalis Kampus “Meliput Isu Keberagaman”

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)Bali, 19 - 21 November 2014

Pengalaman SayaMeliput Konflik Agama

Ilham KhoiriWartawan Kompas, Pengajar Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Multimedia Nusantara (UMN)

Washington DC, Amerika Serikat

Queensland, Australia

Bangka, Kepulauan Bangka Belitung

Kuala Lumpur, Malaysiatahun 2012

Ilham Khoiri (bersama wartawan dariMedia Indonesi dan Koran Sindo) ditahan Polis Diraja Malaysia, karenamenginvestigasi tewasnya 3 TKI asalNTB di Port Dicson, Negeri Sembilan, Malaysia, 9 Mei 2012

Agama sebagai ajaran mulia

Pada dasarnya semua agama membawa ajaran yang baik. Ada misi profetik (kenabian): membebaskanmanusia dari kegelapan, dan membawa manusiamenuju terang peradaban.

Karena itu, agama selalu diturunkan di tengahmasyarakat yang mundur (jahiliyah, bodoh) agar menjadi sarana pencerdasan publik.

Semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan: cinta, kasih-sayang, perdamaian, toleransiantarsesama manusia.

Ka’bah di Mekkah, Arab Saudi

Islam dari kata “aslama, yuslimu, islaaman” dari akar kata“salam” yang berarti: damai

Sapaan “Assalamu ‘alaikum”: keselamatan bagi andasekalian

Piagam Madinah: Nabi Muhammad menjamin keamanandan kedamaian bukan hanya untuk orang Muslim, tetapijuga untuk semua kelompok, seperti Yahudi, Nasrani, suku-suku, Anshor, dan Muhajirin.

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah(lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlahmereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Islam

Islam

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikankamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa danbersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisiAllah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi MahaMengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat [49]:13).

Para ulama menekankan: Islam itu didatangkansebagai “rahmatan lil alamin”, rahmat bagi seluruhalam semesta.

Jesus, lukisan Salvador Dali

The Last Supper, Leonardo da Vinci

Kristen (Protestan) dan Katolik

Matius 5:39: Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahatkepadamu, melainkan siapa pun yang menamparpipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.

Matius 5: 44: Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Matius 22: 39 Dan hukum yang kedua, yang samadengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusiaseperti dirimu sendiri.

Sang Buddha bermeditasi

Buddha

Dalam Dhammapada, Buddha bersabda:,“Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkanorang lain, akan merasakan kedamaian.”

“Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalamperang bukanlah penakluk sejati. Tetapi, seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja, yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.”

Empat faktor manusia: Metta (cinta), Karuna (kasihsayang), Mudita (bahagia) dan Upekkha (keseimbanganbatin). Jika smeua itu diterapkan dalam masyarakat, akan menciptakan kehidupan damai.

Tiga Dewa: Brahma (Sang Pencipta), Wisnu (Sang Pemelihara), Shiwa (Sang Pelebur)

Hindu

Kitab Suci Weda mengajarkan prinsip “Tat TwamAsi:” antara Anda dan saya adalah sama. Kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingindiperlakukan.

Catur Paramitha: ajaran tentang empat perilaku: - Maitri (memandang semua orang sebagaisahabat), - Karuna (mengasihi setiap orang), - Mudita (gembira dan menyenangkan orang lain), - Upeksa (menghargai orang lain).

Kong Hucu

Konghucu

Dalam bahasa China, Kong Fu Tze atau Konfusiusberasal dari “Ru Jiao,” yang berarti: agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur.

Ada ajaran tentang “Wen”, berati damai, ataukehidupan yang tentram, jauh dari perang.

Murid Kong Fu Tz, Xun Zi (326-233 SM): masyarakatditata dengan dasar moral, cinta kasih dan keadilan. Masyarakat wajib menaati tatanan moral yang dijadikan hukum formal. Siapa pun yang melanggar, dijatuhi hukuman.

Das Sein vs Das Sollen

Filsafat Jerman mengajarkan pemilahan antara:

- Das Sollen: harapan, cita-cita, apa yang seharusnya terjadi.- Das Sein: kenyataan, fakta yang ada dalamkehidupan sehari-hari

Hampir selalu ada jarak antara cita-cita (Das Sollen) dan fakta (Das Sein), antara apa yang seharusnya dan apa senyatanya

Agama: antara “Das Sein vs Das Sollen”

Agama sebagai ajaran adalah Das Sollen: cita-cita, apa yang seharusnya terjadi. Agama mengajarkankedamaian, cinta, kasih sayang, toleransiantarsesama manusia

Agama sebagai fakta sejarah adalah Das Sein: faktadalam kehidupan nyata . Berlangsung kebencian, kekerasan, bahkan perang atas nama agama.

Semua itu bisa kita buktikan dalam catatan sejarahperadaban manusia.

Perang Salib (ilustrasi)

Perang Salib (1)

Perang antara kelompok kekuasaan Kristen di Eropa dengankekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa pada abad ke-11 sampai abad ke-13 Masehi.

Tentara Kristen menggunakan “Salib” sebagai simbolagama. Tentara Islam dari Turki Utsmani pakai simbol“Bulan Sabit”.

Muncul perdebatan: apakah ini perang agama?

Tidak murni agama karena bermula dari perebutankekuasan di kawasan Jerussalem (Palestina-Israel sekarang) dan Bizantium (Konstantiopel di Tukri sekarang) untukkepentingan dominasi politik dan ekonomi. Tapi, mobilisasiserangan menggunakan sentimen agama.

Perang Salib (ilustrasi)

Perang Salib (2)

Tahun 1099, tentara Kristen merebut Yerusalem (BaitulMaqdis). Dome of the Rock disulap jadi gereja, sementaraMasjid al-Aqsha dijadikan kantor pusat Knight Templar’s (Ksatria Biarawan). Tahun 1187, Sholahudin al-Ayubimerebut kembali Jerussalem. Kaisar Jerman Freidrich II menguasai Jerussalem, tapi 10 tahun kemudian diambilalih tentara Muslim.

Perang berkecamuk dengan wilayah meluas danberlangsung dalam tujuh gelombang.

Ada keterlibatan Gereja Katolik dan kekhalifahan Islam diTurki Usmani.

Perang Salib (ilustrasi)

Perang Salib (3)

Perang baru benar-benar berakhir pada abad ke-16 M, ketika Eropa mengalami masa Renaissance (pencerahan) dan mulai membebaskan diri daridominasi gereja, dan bersikap lebih rasional.

Descrates: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Efek Perang Salib: menimbulkan kerusakan hebat, baikdi kalangan Muslim maupun Kristen.

Perang ini menjadi latar belakang konflik “laten” pertarungan antara Palestina versus Israel, sampaisekarang.

Bagaimana dengan Indonesia?

Konflik Agama di Indonesia

Konflik dengan latar belakang gesekan kelompok umatberagama sudah lama terjadi di Indonesia.

Pada masa Orde Lama, bangsa ini teralu sibuk denganperjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Tapi, benih konflik mulai muncu. Salah satunya, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) pimpinan SM Kartusoewirjo (tahun 1949).

Pada masa Orde Baru, konflik agama sempat meletup, tapi ditutup rapat oleh rezim otoriter pemerintahanPresiden Soeharto.

Refromasi 1998: mahasiswa menduduki gedung MPR

Konflik Agama setelah Reformasi 1998

Konflik agama mencuat, terutama setelah Refomasi1998. Reformasi mendorong keterbukaan demokrasi, kekebasan berekspresi bagi semua kelompok, termasukkelompok keagamaan radikal.

Indonesia rentan perpecahan, meletup gejolak didaerah-daerah.

Beberapa contoh: - Konflik Poso, Sulawesi Tengah- Konflik Ambon, Maluku - Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah- Serangan terhadap kelompok Syiah- Kasus-kasus lain

Konflik Poso tahun 1998

Konflik Poso

Meletup sejak Desember 1998, berlanjut sampai tahun2000.

Dipicu oleh pertikaian pemuda Kristen dan Muslim, jugaperebutan jabatan politik bupati-wakil bupati, yang kemudian melebar menjadi “perang agama”.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, jumlahnyaribuan. Kondisi makin runyam, saat aparat keamanan(kepolisian dan tentara) sulit bersikap netral, bahkan adaoknum-oknum yang ikut bermain.

Konflik mereda dengan Perjanjian Malino I, 20 Desember2001.

Konflik Ambon, Maluku, tahun 2000

Konflik Ambon

Bermula Januari 1999. Dipantik oleh pertikaianpemuda Muslim dan Kristen, perkelahian menjadimassal dengan melibatkan perkampungan Islam danKristen. Massa dimobilisasi dengan sentimen “perangagama.”

Kedua belah membuat milisi (kombatan), salingserang, membakar kampung, menjarah, bahkanmembunuh. Korban berjatuhan dari kedua belahpihak, diperkirakan sekitar 8.000 jiwa.

Konflik didamaikan lewat Perjanjian Malino II, 12 Februari 2002.

Pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, NTB (sudah tujuh tahun)

Serangan terhadap Ahmadiyah di NTB

Warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) tinggaldi Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, danKota Mataram. Mereka diserang sejak Oktober 1998, Juni2001, Septmber 2003, dan Oktober 2005.

Rentetan serangan mengakibatkan 9 orang tewas, 8 orang terluka, 9 orang alami gangguan jiwa, 379 terusirdari kampung halaman, 9 orang dipaksa bercerai, 3 perempuan keguguran, 61 siswa putus sekolah, 45 orangsulit dapat KTP.

Mereka mengungsi di Transito, Mataram, NTB. Hinggakini, 8 tahun, sebanyak 187 pengungsi bertahan didengan nasib tak menentu.

Serangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tahun 2011

Serangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik

Sekitar 1.000 orang menyerang kelompok Ahmadiyah diCikeusik, Pandeglang, Banten, 6 Februari 2011. Serangansekitar pukul 10.00 WIB, dan baru dapat diredam sekitarpukul 12.30 WIB.

Serangan menewaskan 3 orang jemaat Ahmadiyah, merusak rumah, mobil, dan motor. Pembunuhan terjadidi depan sejumlah polisi.

Komnas HAM: intel kepolisian sudah mendeteksi gejalaserangan dua hari sebelumnya, tetapi tidak seriusmencegahnya. Massa menggunakan tanda pita sehinggadisimpulkan ada kelompok yang mengorganisirnya.

Pengungsi Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, tahun 2012

Serangan terhadap Syiah di Sampang

Kelompok Syiah hidup di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, KecamatanKarangpenang, Sampang, Madura, Jawa Timur. Merekabeberapa kali diserang. Terakhir, 26 Agustus 2012.

Kekerasan itu menewaskan satu orang, melikai 10 orang, dan 46 rumah terbakar.

Kelompok Syiah di GOR Sampang, kemudiandipindahkan ke Rusun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur. 73 keluarga (173 jiwa) bertahan di pengungsian selamadua tahun lebih, tetapi nasibnya menggantung.

Pengungsi Syiahsaat “gowes kemanusiaan” dari Surabaya ke Jakarta, tahun2013

Mereka sempat diterimaPresiden Susilo BambangYudhoyono, di rumahnya diCikeas, Juli 2013, dan dijanjikandipulangkan ke kampunghalaman.

“Pak SBY bilang, insya Allah, bapak-bapak akan kembali kekampung lebaran nanti,” katapengungsi menirukan pesanpresiden. Nyatanya, sampai kini, mereka masih menjadipengungsi.

Ibadah dan unjuk rasa di depan Istana Negara di Jakarta, tiap hari Minggu

Kasus-kasus lain

- Penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmindi Bogor, Jawa Barat (berlangsung lima tahun),

- Hambatan untuk izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur (NTT) (tiga tahun).

- Penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan(HKBP) Filadelfia di Bekasi (dua tahun).

Catatan pelanggaran kebebasan beragama:

Laporan The Wahid Institute: Ada 121 peristiwa pada tahun 2009. Jumlah inimeningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa(2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnyasedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kianmenyebar.

Masih marak tindakan intoleransi, baik oleh aparatnegara atau kelompok masyarakat, dan kian menyebar disejumlah provinsi.

Bentuknya bermacam-macam: pelarangan rumah ibadah, kriminalisasi dan diskriminasi atas nama agama, serangan, dan pelarangan aliran yang diduga sesat.

Kenapa masih terjadi konflik agama? (1)

Negara belum sungguh-sungguh menjalankankonstitusi, yaitu UUD 1945 yang menjaminkebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiapwarga.

Alih-alih mencegah kekerasan, negara—yang diwakiliaparat kepolisian di lapangan—justru kerapmembiarkan konflik.

Dalam beberapa kasus, sikap pasif aparat bahkanturut menjadikan konflik lebih parah.

Kenapa masih terjadi konflik agama? (2)

Di ranah hukum di pengadilan, para hakim masihenggan menjatuhkan hukuman berat terhadap pelakukekerasan terhadap minoritas. Para jaksa dan hakim masih tertekan oleh intimidasi kelompok mayoritas.

Sebagian korban justru dikorbankan lagi dengan dijeratpasat penodaan agama dan dijatuhi hukuman penjara.

Pengadilan jadi sarana untuk mengintimidasi danmenebarkan kebencian.

Kenapa masih terjadi konflik agama? (3)

Pejabat negara yang berwenang menangani konflikjustru sering memihak mayoritas dan menyudutkanminoritas.

Sebagian kepala daerah lebih mengutamakankepentingan dukungan politik dari mayoritas ketimbangmelindungi semua masyarakat.

Situasi ini kian memberikan angin segar bagikelompok-kelompok intoleran untuk bersuara lebihvokal, dan tak segan melancarkan serangan terhadapkelompok minoritas yang berbeda pandangan.

Bagaimana media meliput konflik agama?

Apa saja tantangannya?

Bagaimana menjawab tantangan itu?

Perspektif apa yang perlu dikembangkan?

Modal apa saja yang harus dimiliki jurnalis?

Media massa

Media adalah sarana untuk memberitakan suatuinformasi kepada publik (massa).

Media berbentuk suratkabar, majalah, radio, televisi, film, dan sekarang media sosial (lewat internet).

UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebutkan:media berfungsi untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mengawasi (social control) terhadap perilaku publik danpenguasa.

Dalam kehidupan modern, media menjadi pilardemokrasi keempat setelah eksekutif, yudikatif, danlegislatif

Media dalam konflik agama

Dalam peristiwa konflik agama, media dituntut untukmemberitakan fakta sebenarnya secara berimbang, mencerdaskan masyarakat, dan mendorong resolusi konflik agar tercapai solusi dan perdamaian.

Media hendaknya mendorong resolusi konflik denganmenampilkan fakta-fakta sekaligus membuka peluang untukdialog, menemukan kepentingan bersama, dan membangun solusi.

Itu dimungkinkan karena media pada dasarnya mampumembangun opini atau meng-konstruksi realitas lewat “framing” (pembingkaian) peristiwa dengan sudut pandang tertentu.

Berita di media berpengaruh besar terhadap keberlanjutan konflik: media bisa mendorong solusi atau malah menjadi provokasi.

Tantangan peliputan (1)

Di lokasi konflik, pihak-pihak yang bertikai kerap sulitmenerima atau mencurigai orang luar, termasukwartawan yang sedang menginvestigasi kasus.

Dalam beberapa kasus, wartawan bahkan menjadikorban kekerasan, baik disengaja atau tidak.

Di kantor, kebijakan redaksi di media massa tidak selalumemuat semua hasil liputan tentang konflik beragama. Sering kali redaksi menemukan berbagai alasan untuktidak menerbitkan hasil liputan.

Tantangan peliputan (2)

Misal, berita atau feature dianggap terlalu sensitif, bahkan dikhawatirkan memicu konflik, kekhawatiranberlebihan terhadap kemungkinan intimidasi darikelompok mayoritas, atau tekanan dari pejabat.

Reaksi publik atas pemberitaan kerap sulit diukur, khususnya dari kelompok-kelompok intoleran. Merekatak segan mendatangi dan mengintimidasi kantormedia akibat pemberitaan yang dianggapmenguntungkan kelompok minoritas.

Ini menciptakan kecemasan kepada redaksi danjurnalis.

Sikap dalam peliputan

Jurnalis dituntut untuk selalu berhati-hati, independen, profesional, agar tidak terjebak kepada salah satu kelompokyang berkonflik dan tetap mengutamakan keamanan. Jikasalah menempatkan diri, wartawan bisa menjadi korbankekerasan juga.

Wartawan peliput/penulis kasus konflik perlu meyakinkankepada sidang redaksi, bahwa liputannya penting untukditerbitkan demi mendorong resolusi konflik.

Redaksi dan wartawan perlu mengantisipasi reaksi publik, terutama kelompok radikal. Meski sulit, kita perlu mengukurdampak pemberitaan, khususnya reaksi dari berbagai pihakyang bertikai.

Beberapa kesulitan (1)

Saat memberitakan isu agama, wartawan sulit bersikapobyektif karena terpengaruh atau bias agama yang diyakini.

Terkadang, sulit memenuhi tuntutan untukmenerapkan prinsip “covers both sides”, terutama saatkonflik bekecamuk keras.

Media mainstream cenderung tidak mau ambil risikountuk memberitakan konflik karena khawatirmemperluas konflik atau diserang kelompok yang berkepentingan. Ada juga pertimbangan untung-rugisecara komersial/iklan.

Beberapa kesulitan (2)

Wartawan kurang memiliki pengetahuan memadai soalagama, konflik, latar belakang, pihak-pihak terlibat, danmenentukan narasumber yang kredibel.

Wartawan terjebak dalam deskripsi kekerasan yang justru rentan menjadi provokasi alias memanas-manasikeadaan. Dampak psikologis dari pemberitaan kadangkurang diperhatikan.

Wartawan kurang kritis dalam menerima informasi, atau kurang gigih dalam meverifikasi data. Akibatnya, data yang diperoleh kabur, sepihak, bersifat desas-desus, sepotong-potong, bahkan bisa menyesatkan.

Beberapa kesulitan (3)

Media memiliki keterbatasan ruang penerbitan/penayanganberita. Wartawan terpaksa memilih informasi yang dianggap paling penting untuk ditampilkan. Berita menjadikurang utuh, tidak lengkap, menyapu permukaan saja, ataukehilangan konteks dengan latar belakang luas.

Di tengah persaingan ketat media, muncul godaan untuk

mengangkat (mem-”blow up”) unsur sensasi atau drama yang berlebihan atas peristiwa konflik.

Garis kebijakan redaksi kadang disetir oleh pemilikmedia/pemodal, dengan tendensi politik tertentu.

Beberapa kesulitan (4)

Media dan wartawan terjebak dalam labelisasi terhadapkelompok atau aliran tertentu yang belum tentu benar,

seperti “aliran sesat”, “kelompok sempalan”, “murtad,” “radikal”, atau “teroris” .

Media kadang kurang berkomitmen untuk memberikanruang kepada kelompok-kelompok minoritas, denganberbagai alasan.

Kesadaran wartawan akan pluralisme, toleransi, dialog, danpentingnya resolusi konflik masih kurang.

Perspektif media sebagai resolusi konflik (1)

Perlu disadari, bangunan kebangsaan Indonesia berdasarPancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika masih dalamproses menjadi. Selalu ada geliat, tarik-menarik, konflik, bahkan mungkin pertarungan sengit di antara berbagaikelompok berkepentingan.

Jurnalis harus selalu menyiagakan radar untukmenangkap adanya gangguan terhadap kehidupankeberagamaa, dan siap untuk turun tangan meliputnya.

Perspektif media sebagai resolusi konflik (2)

Meliput sebagai panggilan hati akan membuatwartawan bekerja sepenuh hati dan bersemangat.

Bagaimanapun, wartawan adalah bagian dariwarga negara yang bertanggung jawab untukberjuang membela dasar pendirian negara yang telah disepakati para pendiri bangsa, yaitukebebasan beragama dan keyakinan dan jaminannegara atas kebebasan itu.

Perspektif media sebagai resolusi konflik (3)

Saat meliput (baik di lapangan, pada tingkat wacana, atau pengambilan kebijakan), jurnalis harus bersikapprofesional, obyektif, dan independen. Wartawan mestimenangkap fakta secara utuh dari berbagai sudutpandang dan pihak-pihak yang terlibat.

Penting untuk memberikan ruang yang seimbang kepadakorban, pelaku serangan, aparat keamanan, danpemerintah. Lebih jauh, perlu juga sikap lebih berempatikepada para korban, yaitu kelompok-kelompok minoritasyang menjadi sasaran serangan. Dorong rehabilitasikorban.

Perspektif media sebagai resolusi konflik (4)

Jurnalis dituntut untuk memposisikan diri sebagai bagiandari usaha mencapai resolusi konflik. Tanpa harusmengurangi fakta-fakta di lapangan, laporan jurnalissepatutnya mendorong jalan keluar, dialog, perdamaian, perlindungan kepada korban, dan jaminan keamanandari aparat serta pemerintah.

Tanamkan optimisme, bahwa masih mungkin untukmewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dalamperbedaan.

Kenapa kita harus optimistis?

Ada beberapa modal untuk membangunkehidupan toleran di tengah kemajemukan diIndonesia.

- Kearifan lokal- Tokoh pluralis- Lembaga pemantau- Konstitusi- Pemimpin politik

Kearifan lokal

Di tengah berbagai masalah, masih ada komunitas masyarakatdi beberapa sudut di Nusantara yang memiliki tradisi toleransi. Mereka mempertahankan praktik kehidupan yang damai ditengah perbedaan agama, suku, kelompok, dan golongan.

Beberapa contoh:- Pegayaman, Singaraja, Bali,- Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah,- Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,- Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.

Pegayaman, Bali: hidup rukun dengan prinsip saudara Muslim, saudara Hindu

Pegayaman, Bali

Belitung, Kepulauan Bangka Belitung: tujuan pelarian orang-orang Thionghoa saat kerusahan Mei 1998

PesantrenPabelan, Magelang, Jawa Tengah

Pondok Gontor, Ponorogo, Jawa Timur

Jakarta:Istiqlal danKatedral yang berdiriberdampingan

Arsitek masjid:F Silaban, seorang Kristen

Tokoh dan lembaga pendorong toleransi

Kita memiliki tokoh-tokoh pluralis, baik yang sudahmeninggal atau yang masih hidup dan aktifmengkampanyekan toleransi.

Lembaga pemantau dan pegiat pluralisme di Jakarta yang memiliki jaringan hingga ke provinsi/kabupaten/kota, atau lembaga lokal di daerah-daerah.

Mereka memantau, membuat laporan tahunan, danmenggelar program-program pelatihan, kampanyetoleransi, atau terjun langsung mengadvokasi masyarakatyang sedang konflik.

Gus Dur“Tuhan tidak perludibela”

Cak Nur

Millata IbrohiimahanifaaMencari titiktemu agama-agama

Jalaluddin RakhmatMendorong agama madani; agama yang mendorongpenghargaan pada kemanusiaan

Djohan EffendiMembangun Kesadaram Pluralisme

Romo Magnis SusenoMembangun dialog antariman

Ahok“China eluhur saya, Indonesia tTanah Air saya”

Lurah Susan Jasmine“Yang penting, sayabekerja melayanimasyarakat”

Tokoh-tokoh lokal

Sejumlah tokoh masyarakat dan kepala daerah berjuangmengembangkan kesadaran pluralisme.

Misal: Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati WonosoboAbdul Kholiq Arif.

Aktivis lingkungan dan pemuka Islam di Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Hasanain Juaini.

Pastor Khatholik dan pejuang lingkungan di LerengMerapi, Magelang, Jawa Tengah, Romo VincentiusKirdjito.

Pancasila dan UUD 1945

Indonesia sebenarnya memiliki dasar negara, Pancasila, dankonsititusi UUD 1945, yang jelas-jelas berisi prinsip jaminankebebasan beragama.

Jika saja negara mengacu dan melaksanakan konstitusi itudengan sungguh-sungguh, niscaya kehidupan keberagaman kitabakal kian menjadi lebih baik. Kesadaran ini harus terusdidorong kepada peminpin nasional dan para kepala daerah.

Indonesia dibangun oleh beragam kelompok dan untukberagam kelompok pula. Semua warga negara, apapun suku, agama, golongan, atau kelompoknya, memiliki hak yang samauntuk beragama dan berkeyakinan dan negara wajibmelindunginya.

Joko Widodo mengusung Nawa Cita selama kampanye PemiluPresiden 2014 .

Butir ke-9 Nawa Cita menyebutkan, pemerintah akanmemperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosialIndonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikankebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

PDIP sebagai pemimpin koalisi partai pendukung pemerintahjuga memiliki ideologi kebangsaan yang menghargaikemajemukan.

Namun, seluruh masyarakat Indonesia, termasuk media, tetapperlu mengawal dan memastikan, bahwa komitmenmemperkuat kebhinnekaan itu benar-benar diwujudkan dalamkehidupan nyata.

Gaye Tuchman, dalam “Making News: A Study In the Construction of Reality” (1978), bilang: “Berita adalah jendeladunia.”

Jendela macam apa yang hendak kitabukakan untuk melongok konflik agama, itu tergantung “peliputan” wartawan dan“pemberitaan” redaksi media.

Recommended