Upload
sariyanti-palembang
View
145
Download
64
Embed Size (px)
Citation preview
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 89
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 89
I
iba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,
“Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik
Kelabang Sayuta, aku pun akan membuktikan pula bahwa
sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang lengkap seperti
katamu.”
Mendengar jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia
meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar. Namun katanya
kemudian, “Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo.
Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang
Widuri.”
“Hem...” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Kau
sedang mengarang sebuah cerita.”
“Bertanyalah kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu
menegaskan.
Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada
Endang Widuri. Kemudian ia berkata, “Ciri Pasingsingan hanya
melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain,
apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih
dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada
padaku.”
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya.
Sambil berteriak ia memaki-maki, “Setan, iblis, thethekan. Tetapi
akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,”
bantah Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi akik itu
sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada
Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek,
katanya, “Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan,
T
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 89
yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di
antara kita kini.”
“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Aku beri kau
waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri
urusanku.”
“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut
Pasingsingan di samping Mantingan, “Kalau kau yakin dapat
membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian,
maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu,
bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap
manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu
kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi.
Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia
melanjutkan, “Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu
untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura
Sarunggi. “Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik
daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita.
Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang
tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan
dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak
akan dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok. “Aku adalah
laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh.
Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya,
setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”
“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan, “Kita
masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan
mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita
berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa
tabir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 89
dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya
noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok
itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan
diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya
telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa
ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih
mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka
katanya, “Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari
hati ke hati?”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya,
“Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia.
Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita
memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-
hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam
kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan
kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata, “Persetan
dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami
dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia
berkata, “Sudahkah senjatamu itu siap?”
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat.
Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti
dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia
masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain
mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta
kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam
dadanya berteriak nyaring, “Hai Umbaran, yang berdiri di
hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan
Anggara.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 89
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah
letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura
Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat
pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang
yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata
Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan
oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa
Pening.
Pasingsingan, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain.
Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah
yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat
terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari
ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan
yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah
didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada
masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya,
namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah
Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya
ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu.
Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-
getaran di jantungnya, “Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang
telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan
hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram
sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian
wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir pada ibu pertiwi.
Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan
mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-
dalam. Gumamnya, “Senjata bukanlah alat terakhir untuk
menemukan kesepakatan.”
“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi, “Kita
berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama
dalam satu naungan langit yang luas ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 89
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih
mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping
Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, “Tidak adakah jalan
lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang
menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri
di pihak Pasingsingan yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami
menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”
“Tunggu....” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba
untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik
lantang Sura Sarunggi. “Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah
siapkah kau?”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak
kalah lantangnya, “Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi
kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku
elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
“Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai
guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka
kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan
diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu. “Kepada-
Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas
hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat
kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-
lereng bukit. “Hai, langit yang muram, angin yang kencang.
Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.” Sura Sarunggi
menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan.
Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran
melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya
Pasingsingan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 89
Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan
garangnya. Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui
kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun
Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-
abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati
panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-
remang. Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian
yang dahsyat. Sura Sarunggi,
iblis dari Rawa Pening itu
bertempur seperti angin topan.
Ia meloncat-loncat dengan
dahsyatnya mengelilingi lawan-
nya, dan menyerangnya dari
segenap penjuru. Namun
Pasingsingan itupun tidak
membiarkan dirinya tersekat
dalam lingkaran cemeti
lawannya. Dengan tangkasnya
ia melontarkan dirinya, sekali-
kali memotong serangan
lawannya. Dan bahkan kadang-
kadang ia tegak menghadapi
topan seperti bukit Telamaya
yang tak tergoyahkan oleh
angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang
perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu
mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian
sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata
mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar
seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan
berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan
keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 89
kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila
Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran,
serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah
berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya,
maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin
menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
Jaka Soka tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan
hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung
Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih
mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah memper-
siapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat
dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia
menggeram dengan marahnya, “Lihatlah betapa orang yang berani
menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti
Sura Sarunggi.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih
berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan
seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan
segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi
semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata, “Hai
orang yang sombong, yang berani mengaku bernama
Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”
“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,
“Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata
Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi jangan terlalu lama
mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 89
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat
kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-
benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak, “Jangan
mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
“Umbaran....” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak
suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar nama itu,
darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-
tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang
diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila
orang menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu
tiba-tiba ia menjadi bingung. Dalam kebingungan itulah ia
berteriak, “Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku,
Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,
“Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih
ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-
tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap dari
percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah
ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya.
Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-
bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata, “Jangan marah
Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih
mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita
yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”
“Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras. “Sayang,
bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu
menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga
terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan
kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau
memilih jalanmu sendiri.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 89
“Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo, “Apakah kau selama
ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih
dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita
kepadamu?”
“Tidak, Umbaran,” jawab orang itu. “Aku merasa, betapa
kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk
mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalah-
an-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan
sukmaku.”
“Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang.
Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya” kata
guru Lawa Ijo.
“Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa
depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan
orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.” Meskipun kata-
kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru
Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang
sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh
nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah
menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia
berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
“Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau
menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan mengorbankan
orang lain pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan
kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?”
“Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping
Mantingan. “Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
“Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang
melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran yang
bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana
perempuan itu? Mana…?”
“Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 89
“Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo.
“Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan
kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi.
Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati....”
“Cukup!” potong orang itu keras-keras. Namun kemudian ia
menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan
diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk
memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan
lawannya ia berkata, “Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara,
penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab.
Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik
seperguruannya yang sedang bertempur. Mereka berputar-putar
dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang
sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan
senjata masing-masing. Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak
mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya
menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung
cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke
mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti
mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah
manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat.
Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis, sedang
Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi
menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur dengan
gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya.
Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah
beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 89
benar Pasingsingan…? “Tidak mungkin!” Pertanyaan itu
dibantahnya sendiri.
Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-
ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa
dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang
bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya
supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan
yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura
Sarunggi dan Anggara.
“Jangan membeku seperti batu,” tegur Umbaran, “Sekarang
apa katamu?”
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke
arah Umbaran, jawabnya, “Marilah kita lupakan masa lampau.
Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”
“Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan
mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua
binasa.” Umbaran meneruskan, “Jangan mimpi aku berlutut di
bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua
kalinya.”
“Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak.
Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka
karena perempuan, kini terungkap kembali.
“Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali
akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut
Umbaran.
“Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah
kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang
kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite.
“Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang
terkutuk.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 89
“Kau iri hati” kata Umbaran.
“Tidak,” jawab Radite, “Aku mempunyai kepentingan sendiri.
Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi
karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan
kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari
persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis
Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu
sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.”
“Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab
Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite.
Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu
adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya, karena itu
setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia
kehilangan kesabaran.
“Umbaran....” kata Radite dengan lantang, “Kesabaran
seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”
Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar
akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan lain. Sura
Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih
berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi
berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat. Ia tidak
segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya.
Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-
raguannya itulah ia masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-
masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang
dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
“Setan,” desis Pasingsingan, “Mereka datang.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 89
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar
kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena itu,
ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo
menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan kejernihan
dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu
mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa
Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia
menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun tak ada kesempatan
pula.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya
sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher
Radite. Radite terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu.
Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu
mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi
Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat
berbuat lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua
Pasingsingan itupun telah bertempur pula. Masing-masing
memegang pisau belati panjang di tangannya. Umbaran dan Radite
adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru
yang sama. Karena itu mereka pun bertempur dengan ilmu yang
sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami
beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar,
keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran
yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran
telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka.
Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka
yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-
nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang
bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 89
ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut.
Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang
dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap
bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu,
terdengar Umbaran berteriak, “Kalau kau masih belum mampu
melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap
keluar dari halaman ini dengan ragamu.”
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya
dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga
bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah
terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar
pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang
bernama Umbaran itu akan banyak menimbulkan bencana. Kalau
benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap
Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya
untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri
sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu. Dengan landasan
kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya,
beserta kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas
kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk
Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan
mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain.
Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan bencana.
Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah.
Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia
menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak
kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan
Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri
keris-keris itu kembali.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 89
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit.
Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran.
Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun
Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki
kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya
Umbaran berguru lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh. Tetapi
karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya,
maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu
yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang
sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorang pun yang
menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin
memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada
pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka.
Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan
dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan
celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia
berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang
baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan
tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api
baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka
Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian
menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di
antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang
dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak
peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan
mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan.
Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya
bekerja bersama-sama, namun mereka samasekali tak memiliki
kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur pada
kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya
tidak berlaku.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 89
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin
topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya perjalanan
itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali
ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar
giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka
Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal,
bahwa ia terlambat.
Di belakangnya berpacu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu
menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada
mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan
hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
memacu kuda mereka dengan darah yang bergolak.
Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam
di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup
pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah
mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka
semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha
Kuasa melindungi mereka dari bencana.
Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman
ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak
memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak
begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian
terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-
orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati
kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat
memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka
akan semakin habis.
Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-
nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, “Terus ke rumahmu,
Arya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 89
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda
itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.
“Api,” jawab Arya.
Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara
Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, “Itu adalah suatu
cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu.”
Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan
cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya.
Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang
sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan.
Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada
merekapun semakin berdebar-debar pula.
Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan
keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya, “Bagaimana
dengan api itu paman?”
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat
dibelakangnya, “Jangan perdulikan,” jawabnya “mereka hanya
ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah
tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah
berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”
“Ya,” sahut Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang
sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.
II
Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka
semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah
yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-
mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi
guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 89
Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat
sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta.
Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang
mencurigakan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang
telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari Arya Salaka.
Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka
halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan
penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia
langsung melampaui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas
kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.
“Arya!” teriak Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar tak mampu
menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu
masuk ke halaman.
Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura
Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite.
Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka.
Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia sadar
sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka
akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam
kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus
bertindak cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan
untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang
Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu,
kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun
kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh
salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan,
meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu
harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung
memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah,
kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 89
pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya
Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang
kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk mengelak.
Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-
kilat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan
kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga
mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras, “Arya,
bungkukkan badanmu.”
Arya Salaka telah kehilangan keseimbangan perhitungannya.
Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan. Ia mencoba
membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu telah
dekat sekali. Tetapi tak sempat dilihatnya adalah sambaran pisau
yang kedua. Pisau belati panjang yang seakan-akan mengejar
pisau yang pertama. Pisau inipun tak kalah cepatnya, meluncur
dari arah yang lebih rendah dari pisau yang pertama, sehingga
kedua pisau itupun seperti kilat di langit yang sambar menyambar.
Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Demikianlah pisau
itu pun tak terlepas dari pengaruh tangan Nya.
Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh Pasingsingan
yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda serta lebih
rendah dari arah pisau yang pertama, berhasil mengenai pisau
yang pertama. Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-
pisau itu. Sehingga dengan demikian, selisih arah yang hanya
setebal jari mengukit arah yang pertama, telah menyelamatkan
Arya Salaka. Meskipun ia belum berhasil merapatkan tubuhnya
sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya.
Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar dan terbawa oleh
pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya Salaka
berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit bibirnya. Maut
serasa telah hinggap diujung rambutnya. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terpekik kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju,
namun kemudian mereka melihat Arya Salaka masih duduk di atas
punggung kudanya yang meluncur cepat di halaman itu, yang
kemudian melingkar memutar di samping gandok.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 89
“Bagaimana kau Arya?” teriak Mahesa Jenar.
Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur. Dadanya
berdebar cepat dan jantungnya seperti berdentang-dentang.
Namun ia sempat menjawab terbata-bata, “Baik paman.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang.
Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka ditegangkan
kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di halaman. Dalam
remang-remang cahaya obor di pendapa, mereka melihat
Mantingan, Wilis, Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu
kelompok hampir berhimpitan dengan kaku, di pendapa mereka
melihat Wanamerta duduk lemas seperti orang yang kehilangan
akal, sedang Sendang Parapat pun duduk bersandar tiang.
Tangannya memegang senjatanya, namun senjata itu terkulai di
lantai. Sedang beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah,
dan mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan
bergerak. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menjadi
semakin terkejut ketika mereka melihat dua lingkaran
pertempuran. Dan hampir-hampir dada mereka meledak ketika
mereka melihat tiga orang yang memakai jubah abu-abu dan
bertopeng kasar.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi,” gumam Mahesa
Jenar.
Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya berkerut-kerut.
Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan membabi buta,
ketika ia tidak berhasil membunuh Arya Salaka. Pada saat itu, ia
telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-
anak yang dapat dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa
loncatan ia telah berhasil menahan Pasingsingan yang menghantui
Demak pada saat itu.
Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh pekik kecil. Widuri tiba-
tiba berhasil menguasai kesadarannya, ketika dilihatnya ayahnya
memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju. Mula-mula ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 89
seperti melihat malaikat hadir di halaman itu. Maka ketika ayahnya
berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya,
“Ayah,” panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang,
Widuri bersembunyi di balik sayap-sayap induknya. Kebo Kanigara
pun menjadi terharu karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan
perhatiannya kepada keadaan sekelilingnya, namun dipeluknya
anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun menjadi bertambah
tenang, sebab mereka masih dapat mengharap perlindungan dari
orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah ketegangan yang
mencekik leher orang-orang di halaman itu menjadi semakin
terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan
karena mereka cemas dan takut bahwa mereka akan terbunuh,
namun mereka cemas dan takut bahwa mereka tidak dapat
mempertahankan pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena
itulah kini mereka yakin bahwa Banyubiru akan dapat
diselamatkan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih berdiri tegak tak
bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang beredar
dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa
Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis berdesirlah
hatinya. Rara Wilis kemudian menundukkan wajahnya, namun
hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu, Mahesa Jenar dapat
melihat ketegangan yang selama itu mencekam hatinya.
Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-
lahan, “Widuri, apakah yang terjadi? Bukankah kalian selamat?”
Widuri tidak senakal dan semanja biasanya. Kini benar-benar
ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia menjawab perlahan-
lahan, “Tiga hantu bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi,
yang datang bersama salah seorang dari hantu-hantu itu.”
Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah yang
harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun bersyukur kepada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 89
Yang Maha Agung bahwa anak serta sahabat-sahabatnya telah
diselamatkan.
Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah memiliki beberapa
pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara. Ia telah
mengenal lebih dalam mengenai Pasingsingan. Karena itu cepat
otaknya bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang
dihadapinya. Teringatlah ia kepada ketiga murid Pasingsingan
yang bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Teringatlah ia
kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba di
Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa Jenar segera mengetahui
bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara mereka adalah
Radite dan Anggara, sedang yang lain adalah Umbaran. Mahesa
Jenar juga memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura
Sarunggi itu adalah salah seorang dari kedua petani dari Pundak
Pungkur itu, sedang yang bertempur di antara dua orang yang
berpakaian mirip itu adalah Umbaran melawan salah seorang
saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara
keduanya yang bernama Radite dan yang manakah yang
Umbaran?
Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo
Kanigara, “Kakang, ingatkah Kakang kepada dua orang petani di
Pudak Pungkuran?”
“Ya,” sahut Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun mulai
merayap kepada kedua orang petani itu. Karena itu, pertanyaan
Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu kepastian
tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.
“Tuhan Maha Besar,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mereka
datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah seorang dari
mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat diselamatkan.”
“Ya,” jawab Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau belati
panjang yang berwarna kuning terbang ke arah Arya Salaka. Baik
Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat salah seorang dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 89
mereka berjongkok. Orang itulah yang telah menolong Arya dari
usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang
itulah pasti salah seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika
kemudian keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang
riuh, maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang manakah di
antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena itu mereka
tidak dapat segera berbuat sesuatu, sebelum memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan sebaik-baiknya.
Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia yakin
bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan pekerjaan
mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan Pasingsingan tak
mampu melawan kedua orang itu pula, sedangkan pada saat itu
Radite dan Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus
dari perguruan Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak
dengan leluasa tanpa pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-
takut bahwa mereka akan dikenal, sebab agaknya kehadiran
mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan mereka, adalah
karena Radite dan Anggara telah menemukan suatu cara
pemecahan.
Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari kudanya. Kini
jantungnya telah tidak berdentang-dentang lagi. Ia berdiri tidak
jauh dari gurunya, sambil memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak
mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan
bertopeng. Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.
Pertempuran di halaman itu semakin sengit, Sura Sarunggi
mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara benar-
benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat sendiri apa
yang telah dialami oleh Sima Rodra dan Nagapasa. Kedua orang
itu pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-
tiba ada setan, gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang
berjubah itu benar-benar mengacaukan rencana. Kalau tak ada
mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran ketika
didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi sekarang tak ada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 89
kesempatan untuk meninggalkan halaman itu. Tetapi justru karena
itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai nama yang
besar di antara mereka, yang tahu akibat-akibat dari
perbuatannya, menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-
ledak seperti guruh di langit. Menyambar, melingkar, mematuk
mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak saja dari
muka atau dari samping, tetapi ujungnya tiba-tiba dapat mematuk
pula dari arah punggung lawannya. Untunglah yang melawannya
adalah Anggara yang memiliki kelincahan melampaui ujung cemeti
itu. Setiap kali ia meloncat-loncat menghindari dari ujung senjata
lawannya itu, selincah sikatan menyambar belalang di rerumputan.
Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan, seolah-
olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan pisau yang
bergerak bersama-sama.
Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan apa
yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada dibenaknya adalah
bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang telah
berani merusak rencananya itu. Sesudah itu, apakah ia harus
mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan
bernasib baik, tidaklah menjadi soal baginya.
Demikianlah pertempuran antara Sura Sarunggi dengan
Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan. Ketika
Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun
segera memusatkan segela kemampuannya. Sehingga lambat
laun, tampaklah bahwa petani miskin dari Pudak Pungkuran itu
dapat mendesak lawannya. Sambil menggeram marah, Sura
Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala kesaktiannya. Namun
ternyata Anggara memiliki beberapa kelebihan daripadanya.
Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain daripada
melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan. Ilmu yang
luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah
ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya keampuhan yang
nggegirisi. Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan
lawannya menjadi nyeri dan panas, seperti tersentuh oleh ulat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 89
yang paling berbahaya berlipat seperti tersentuh oleh bisa ulat
yang paling berbahaya berlipat seribu. Dengan berteriak nyaring,
Sura Sarunggi melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya
dengan tangannya yang mengembang. Sedang tangannya yang
lain masih juga mempermainkan cambuknya yang meledak-ledak
mengerikan.
Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya, segara
mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah
melepaskan ilmu terakhirnya. Karena itu, iapun melontar mundur
beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sebab, sudah pasti,
untuk melawan ilmu sakti itu, ia pun harus mempergunakan
rangkapan pula.
Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar seperti Ular
Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya. Ia
melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan
loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia menyerang
dengan telapak tangannya. Disusul dengan ledakan cambuknya
memecah desir angin malam.
Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan lain. Dalam
sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan
rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama dengan
kakak seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu yang
diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah ampuhnya, yang
dinamai Naga Angkasa. Tiba-tiba Anggara dalam pakaian
Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor
burung garuda. Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang
selalu bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia
menanti lawannya menyerangnya kembali.
Demikianlah kedua orang itu bertempur dalam tingkatan
terakhir. Sura Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini
tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau Alas Kobar, tetapi ia lebih
senang melawan ilmunya dengan ilmu gerak pula. Namun Naga
Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 89
mempengaruhi kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas
Alas Kobar, namun pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga
dengan demikian, terasa bahwa ilmunya sendiri, Uler Kilan menjadi
susut daya kemampuannya. Meskipun demikian, Sura Sarunggi
bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore. Berpuluh-puluh tahun
ia menekuni ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu itu sampai tapis.
Dengan demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah
sengit.
Namun kembali kepada sumber kekuatan, yang kasat mata
maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun setan dan iblis
berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun
akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang akan menang. Dan akan
mulailah kerajaan Sorga yang abadi.
Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang
dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang dinamainya
Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang kasar dan bengis
itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk dan luar biasa. Apalagi
kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang
lain, yang disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya
dengan keringatnya, sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian
Anggara terpaksa untuk kedua kalinya melepaskan ilmunya yang
lain, ilmu yang benar-benar diterima dari gurunya secara murni,
Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan lawannya dari
pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar akan memancar ke
segala arah, sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak untuk
membebaskan orang-orang lain dari pengaruhnya.
Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun benar-
benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak mengerti
kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak mau berpikir
lebih banyak lagi. Ketika terasa udara panas menyerangnya, iapun
segera membentengi diri, untuk membebaskan panas yang
melibatnya. Namun dengan demikian, terasa bahwa ilmunya
menjadi semakin susut. Kemampuannya tidak sedahsyat mula-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 89
mula. Naga Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar
menjadikannya cemas.
Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai kesempatan untuk
melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus mengurai
segenap kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah
putus asa, dan bertempurlah ia membabi buta.
Dalam keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura Sarunggi
benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika Anggara menyerang-
nya dengan dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri dengan
melenting tinggi. Uler Kilan itu benar-benar telah membe-
baskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya
dengan cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu
gerak Naga Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura
Sarunggi. Direnggutkannya cambuk itu kuat-kuat, namun Sura
Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya. Memang hal itu telah
diperhitungkan oleh Anggara. Dengan demikian, karena Anggara
merasa bahwa Naga Angkasa dapat melampaui, setidak-tidaknya
menyamai kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu.
Sura Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu
telah menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur maju, pada
saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati
panjangnya bergerak dengan cepatnya menyambar leher
lawannya. Tetapi Sura Sarunggi tak mau mati. Dengan gerak
naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya dan membung-
kukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi
untuk kedua kalinya Anggara menyerang dengan tangannya
mengenai tengkuk lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar
mengagumkan. Meskipun saat itu Sura Sarunggi dalam lambaran
ilmunya, namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan tangan
Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang menghantam
dari langit.
Demikianlah maka pertempuran itu sampai pada akhirnya.
Sura Sarunggi, seorang yang selama ini menjadi tempat
berlindung beberapa orang dari golongan hitam di Rawa Pening,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 89
dan yang telah melahirkan dua orang kakak-beradik Uling Putih
dan Uling Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak
dapat menghindarkan diri dari terkaman maut. Karena pukulan
tangan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka
terdengar gemeretak tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan
melenting tinggi, kemudian ia
terjatuh beberapa langkah dari
lawannya. Meskipun demikian
ia masih berusaha berdiri dan
dengan mata yang merah
menyala-nyala ia mengumpat
dalam bahasa kasar, “Setan
belang, iblis laknat. Terkutuklah
kau oleh jin dan peri....”
Kemudian Sura Sarunggi
kehilangan segenap kekuat-
annya. Ia tak dapat meng-
umpat-umpat lagi, bahkan
akhirnya ia terhuyung-huyung
dan kemudian jatuh diam. Maut
telah merenggutnya dari kehi-
dupannya yang penuh dengan
noda-noda hitam.
Suaranya yang kasar dan keras itu telah mempengaruhi
suasana di halaman itu. Semua orang menoleh kepadanya. Agak
jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu berdiri
tegak. Beberapa langkah di hadapannya terkapar lawannya.
Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa itu seperti
peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang
mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan perasaan
yang kosong, setelah hatinya terampas oleh ketegangan yang
terus-menerus. Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam
dada mereka. Ketika melihat Sura Sarunggi jatuh tersungkur,
menyalalah kelegaan di dada mereka. Sedang Rara Wilis dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 89
Endang Widuri kini telah benar-benar menjadi tenang. Mereka
telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat
meyakinkan diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan
yang datang bersama hantu Rawa Pening itu pasti akan dapat
dikalahkan. Kehadiran Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat
menjadi kunci penyelesaian apabila kedua orang berjubah yang
lain tak mampu memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua
orang bertopeng yang tak mereka kenal itu, akhirnya akan
mengambil alih perbuatan-perbuatan kedua orang yang lain itu.
Apalagi kemudian mereka melihat bahwa salah seorang dari dua
orang yang mengguncangkan hati mereka telah dapat dikalahkan.
Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya
mendengar sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu loncatan
panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping untuk mendapat
waktu melihat apa yang terjadi atas Sura Sarunggi. Lawannya pun
tidak melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur di
tanah, untuk kemudian tidak bangun kembali.
Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya bergulung-
gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian terdengarlah
ia berteriak putus asa, “Ayo, majulah bersama-sama. Radite,
Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Bersama-sama mati
pulalah Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri.
Inilah Umbaran, tak akan mundur setapak.” Suaranya
menggelegar seperti suara guruh yang mengumandang di lembah
yang berawa itu. Namun di balik suara yang garang itu, terasa
betapa kecemasan dan keputusasaan menguasainya.
Anggara masih berdiri di tempatnya, namun ia telah memutar
tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak seperti
patung, dan Radite yang langsung berhadapan dengan Umbaran
itupun belum juga bergerak. Bahkan kemudian terdengar Radite
itu berkata, “Umbaran, Anggara terpaksa membunuhnya.”
“Persetan dengan Sura Sarunggi,” jawab Umbaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 89
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur dengan
Umbaran adalah Radite. Dan kini mereka telah dapat
membedakan, yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran.
Meskipun demikian, mereka tak akan mengganggu dua orang yang
kakak-beradik seperguruan itu menyelesaikan masalah mereka.
“Umbaran....” kata Radite, “Pergunakanlah saat-saat terakhir
ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan menjadi
lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian
bertobatlah.”
“Kenapa aku harus bertobat?” teriak Pasingsingan, “Aku telah
menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan, yang telah
membentuk diriku menjadi seorang yang bercita-cita. Aku sadar
dan tahu akibat-akibat dari perjuanganku. Aku tahu bahwa suatu
kali aku harus memilih, mukyi atau mati”
”Hem” Radite mengeluh, “jangan begitu. Tak ada di dunia ini
manusia yang bebas dari kesalahan. Kau, aku, Anggara, Anakmas
Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun memiliki dosa
masing-masing. Karena itu terhadap orang yang telah bertobat,
tak seharusnya dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun
bernoda. Kami akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita.
Hanya orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak
menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke
dalam lingkungan kebenaran. Dan orang yang demikian itu tidak
ada di dunia ini. Karena itu apabila kau benar-benar bertobat,
pasrah diri dengan tulus dan jujur, tak akan ada orang yang
mendendammu.”
“Bah!” jawab Umbaran, “Akan kau pikat aku dengan mulutmu.
Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan membujuk dan
menikam aku dari belakang.”
“Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh
senjata,” sahut Radite, “Tetapi ditentukan oleh caranya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 89
menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta atas
sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.”
“Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah
kita mulai,” kata Umbaran dengan lantang. “Aku telah bertekad
untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki kuda.
Kalau kau akan berbuat demikian atasku, ayolah, majulah
bersama-sama.”
“Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran....” kata
Radite, “Maka dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami tahu
bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa dan bertentangan
dengan perikemanusiaan. Dan dengan demikian, tak akan ada
bedanya, siapakah yang dapat menikmati cinta abadi, dan
manakah yang masih hidup dalam kegelapan.”
Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu
tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar mengumandang.
Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia tahu,
bahwa tidak akan ada gunanya. Tetapi ia tertawa karena berbagai
perasaan bergulat di dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan
putus asa. Pada saat yang demikian, seakan-akan berdatangan
kenangan masa lampaunya. Sejak masa kanak-kanaknya yang
kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia
adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam tak
pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh
kawan bermainnya hanya karena uang seduwit, apalagi dalam
persoalan-persoalan yang lebih besar. Sebagai lazimnya penjudi,
ayahnya adalah seorang yang mabuk pada nafsu-nafsu
keduniawian yang lain, makan, minum tuak dan perempuan.
Meskipun ayahnya tidak termasuk dalam lingkungan penjahat,
namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis
daripada para penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati.
Dengan sedih ia berusaha hidup dan menghidupi anaknya,
Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan itupun hanyut dalam
arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang dan
menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 89
kepada suaminya dan kesulitan yang disandangnya. Laki-laki
datang dengan berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu.
Maka berulang kalilah hal yang demikian itu terjadi. Laki-laki itu
datang untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya.
Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya sebagai
anak-anak yang memerlukan cinta kasih orang tuanya. Ayahnya
sibuk dengan dadu dan warna-warna di meja judi, sedang ibunya
sibuk melayani laki-laki yang datang mengisi kekosongan hatinya
selama itu.
Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi yang kelam.
Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci laki-laki yang
datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci kepada
ayahnya yang hampir menguras habis segala kekayaan dan harta
benda yang pernah dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya.
Akhirnya ia menerima keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya.
Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia
menganggap bahwa saat yang pendek dalam dunia ini harus
diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa menghiraukan masa-
masa mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi yang
akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia. Pada
saat manusia harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan
peristiwa yang bagaimanapun kecil dan gelapnya. Sebab
pengadilan Tuhan mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat,
meskipun hanya setetes darah yang pernah ditumpahkan,
selembar rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri.
Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang pernah
memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak seorangpun
yang pernah bercerita kepadanya tentang kehadiran nabi-nabi di
dunia.
Umbaran tak pernah mendengar semuanya itu. Ketika
akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras batu.
Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun nafsunya
yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya sejak kanak-kanaknya,
telah mendesak cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 89
Sehingga kemudian ia telah bertekad untuk menutup pintu
serapat-rapatnya dari segenap pekabaran tentang kerajaan Allah
yang Abadi. Kalau terasa padanya, adanya kekuatan-kekuatan di
luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia, maka ia mencoba
untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada pohon-
pohon beringin tua, pada relung-relung goa. Kepada kerajaan
setan, ia mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-
kekuatan ajaib. Namun kekuatan-kekuatan yang dilambari oleh
kekuatan hitam, yang arahnyapun untuk membuat malapetaka
dan bencana bagi umat manusia.
Karena itulah ketika hatinya menjadi gelap, maka gelaplah
seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang dapat
memberinya arah. Ketika ia harus berhadapan dengan Radite
itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi suatu jurang yang
dalam dan kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke
dalamnya. Ia tidak tahu apakah di dalamnya akan dijumpainya
istana gading yang indah, atau di sana akan dijumpainya kandang
serigala lapar yang siap untuk menyobek-nyobek kulit dagingnya.
Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah kuyup di tengah-tengah
arus sungai yang deras. Tak ada jalan kembali.
Dengan tanpa berkata sepatah kata pun, akhirnya Umbaran
membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya. Ketika
kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar
dari benaknya, suara tertawanya pun menjadi surut, dan akhirnya
terdiam. Demikian mulutnya terkatup, dengan serta merta
direnggutnya topeng yang selama ini menutupi wajah aslinya. Dan
tampaklah wajah tampan seorang yang telah melampaui setengah
abad. Matanya yang bulat bersinar-sinar penuh nafsu, hidungnya
yang mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram topeng itu
dibantingnya, dan terdengarlah ia berkata, “Radite, tak ada artinya
lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran berhadapan
dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.”
Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati
melihat kekerasan hati Umbaran. Namun perlahan-lahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 89
tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya,
“Marilah kita tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita
orang-orang aneh yang hanya mengalutkan orang lain yang
melihat kita. Marilah kita kembali kepada diri kita, manusia yang
kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan
diri kita untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran,
berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-
persoalan lain pun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun
akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan dicapainya
selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”
Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar
mengerikan, katanya, “Jangan mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”
Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya
kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu kemarahan ia
mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang
kehilangan akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan
menjadi semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya
mampu berpikir, “Marilah kita mati bersama-sama.”
III
Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk
mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan kembali.
Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau
seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka
pintu seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan
kejahatan. Pada saat ia menyerahkan ciri-ciri kekhususan
Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun
pada saat itu, ia samasekali tidak menduga, bahwa saudara
seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang
bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di
dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.
Demikianlah pertempuran itu kembali berlangsung dengan
sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti gelombang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 89
laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada
di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung
rajawali, yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara,
menghindari ancaman gelombang yang bagaimanapun dah-
syatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang
tajam dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak
seorang pun yang berani mencampuri pertempuran itu. Apalagi
Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari
tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju
ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah
pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung.
Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat
itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan pertempuran
itu dengan tegang pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya
adalah persoalan yang samasekali berbeda dengan persoalan yang
sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak
bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka
berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena
mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk menuju ke
singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur dengan nafsu yang
meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal
surut, maka Radite bertempur dengan harapan untuk mengurangi
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan
kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran. Radite sendiri
samasekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua
para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana
Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah haknya. Setiap orang
yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton
padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa,
maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan
kehancuran, apabila mereka tidak segera menyadari
kesalahannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 89
Demikianlah pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa
gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-
luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka.
Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan mereka
melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka
telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan
mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka
samasekali tak mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar
maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu
hanya akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih
mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan
ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang meskipun
sekejap.
Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari
lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaran-sambaran tatit di
langit yang kadang-kadang menyobek gelap malam menjadi
semakin sering, dan guruh pun menggelegar tak henti-
hentinya. Sesaat kemudian, meledaklah petir di udara, yang
kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari
langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di
genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh
mereka yang dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan
yang seperti tertuang dari langit yang pecah itu samasekali tak
mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir bandang
tak mereka dengar, sebab perhatian mereka sedang terpaku pada
pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang
bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian
bergerak dari tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk
berteduh. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati titik
pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya sedang
mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air yang sama.
Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap
mengalirkan air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran
yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 89
telah mengalirkan air yang keruh. Anggara pun kemudian telah
melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan
topeng lagi. Ia samasekali tak merasa perlu mempergunakannya.
Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air
hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang memekakkan
telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh
kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi
semakin liar dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk
melayaninya habis-habisan. Meskipun sekali-kali timbul juga
penyesalan di hatinya. Seandainya, ya seandainya dirinya pada
saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah menjadikannya seolah-
olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas
Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah terjadi. Yang
harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah
berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat.
Terngiang kembali kata adik seperguruannya, “Kakang, agaknya
Kakang telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan
yang ganas dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan
menjadi sangat berat.” Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan
Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah ilmunya
dengan segala macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah
kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan
dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram.
Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya. Selama
ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran
bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami
ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin. Meskipun mereka
menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan para sakti,
namun firasat mereka tetap menuntut untuk menjagai
kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih
harus menampakkan diri.
Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh
Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun dengan
tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 89
itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran lambat laun harus
merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.
Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari.
Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu. Mereka
adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka
adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui
kesaktian golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil
membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan sejak di
Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut
yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru saja
membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.
Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia
merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja dan
seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang
sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar
dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau
mendengarkan panggilan terakhir dari saudara seperguruannya
itu.
Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin terdesak.
Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia setapak demi
setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk
menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat
hujan yang tercurah dari langit, namun Radite tak ubahnya seperti
batu karang yang tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin
yang bagaimanapun kencangnya.
Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-angsur
gelap malam menjadi berkurang. Api di ujung kota telah lama
padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di
atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.
Lamat-lamat namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi.
Sesaat kemudian terdengarlah suara riuh di luar halaman.
Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir orang-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 89
orang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan
banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala daerahnya.
Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan yang
berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah gelisah.
Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar
sangat menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama
semakin dekat.
Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari
pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang sejadi-jadinya.
Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah
maka Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas
Kobar.
Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi
lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara setidak-
tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri.
Dengan demikian, udara yang panas kembali menyala di
halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati tempat-
tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya
Salaka.
Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu.
Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan
yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar tubuh
mereka di antara air hujan yang dingin.
Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia
melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan batinnya untuk
melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula, seperti apa
yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Alas
Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka,
kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah
disalurkan oleh kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di
dalam dada mereka, yang getaran demi getaran merayap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 89
sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh. Namun
mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian,
sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap
tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan
sekitarnya. Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki
kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan
kekuatan ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti
pancaran aji Alas Kobar itu sendiri.
Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas.
Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam
perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia
menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orang-
orang yang berdiri di halaman itu. Karena itu, dalam saat yang
pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain.
Ia harus mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar
halaman itu. Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran
pada saat yang pendek. Pada saat itu pulalah maka terpencarlah
ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari bandingnya.
Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di langit, Radite
menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil
memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian
dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf tertinggi dari ilmunya
Naga Angkasa.
Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran
kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah
menentukan segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat
telah menghantam dadanya. Sambaran aji Naga Angkasa.
Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu
terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh
sambil berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak
kembali. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung.
Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak
mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian Umbaran itu roboh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 89
kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah
dari langit.
Namun Umbaran tidak mau
mengerti akan keadaannya.
Dengan sekuat tenaga ia
berusaha untuk berdiri. Tetapi
karena kemampuannya terba-
tas, maka ia hanya dapat
berguling-guling dan meronta-
ronta di atas tanah yang becek
penuh lumpur.
Tergetarlah setiap hati
yang melihat peristiwa itu.
Melihat Umbaran yang sama-
sekali tidak ikhlas menerima
kenyataan pada dirinya.
Radite yang berdiri bebe-
rapa langkah darinya, berdiri
tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat maju,
namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan
oleh air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati
Radite berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian
dengan hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar
oleh nafsunya itu. Katanya, “Umbaran, tenanglah.”
Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri.
Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan dadanya
menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu
ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas tangannya.
Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya
menyentak-nyentak. Sekali lagi terdengar Radite berkata,
“Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 89
“Setan!” terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya
memancar merah seperti mata harimau. “Kau kira bahwa kau
dapat mengalahkan aku?”
“Tidak, Umbaran,” jawab Radite, “Aku tidak dapat
mengalahkan kau.”
“Kalau begitu....” kata Umbaran tersengkal-sengkal, “Kalau
begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf
kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki
kuda.”
“Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite.
Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi
kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia
menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun
orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba
meludahi muka Radite. Radite terkejut. Itu adalah suatu
penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas dalam-
dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan lengan
bajunya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian
melangkah mendekati Radite yang berjongkok di samping
Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan.
Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula.
Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang
Endang Widuri memalingkan wajahnya. Mereka tidak sampai hati
untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu.
Kemudian terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-
putus, “Kalian mau mengeroyok aku?”
“Tidak, tidak… Umbaran,” jawab Anggara. “Ayo majulah
bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu.
Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 89
Meskipun kulit kalian berlapis baja dan nyawa kalian berangkap
lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.”
“Tidak, Umbaran....” sahut Radite, “Aku dan Anggara adalah
saudaramu seperguruan.”
“Hem....” Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin
cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta mulutnya.
Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan
benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran keluruhan budi
yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya samasekali
tak mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah
menyulitkannya. Karena Umbaran lah maka Radite menjadi
seorang yang merasa rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik
bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul dengan
orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban
tugas-tugas kemanusiaan.
Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit.
Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai oleh
suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman berdirilah
laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki
halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka
melihat halaman Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang
mendirikan bulu roma. Mereka masih sempat melihat dua orang
berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang darinya
terbanting jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa
orang laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju,
pemimpin laskar itu berteriak, “Berdiri di tempatmu!”
Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu
hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat
kemudian kembali perhatiannya beralih kepada Umbaran.
“Paman....” bisik Kebo Kanigara kepada Radite, “Bukankah
lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 89
Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar
Umbaran berteriak, “Apa? Apa yang akan kalian lakuan. Menipu
aku lalu menusuk dari belakang?”
“Tidak, tidak Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat. “Marilah
kita naik ke pendapa.”
“Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon
pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang
pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh
tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat
kandel dari kraton.” Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia
benar-benar telah mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi
semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan,
meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.
“Umbaran....” bisik Radite, “Berdoalah, supaya maksudmu
tercapai.”
“Ha…?” jawab Umbaran, “Kelinci yang bodoh. Hanya orang
yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.”
“Tuhan menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula, “Kalau
kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa
yang kau kehendaki.”
Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah,
dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan terengah-engah.
Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air hujan yang
jatuh di mulutnya.
Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-kadang ia
masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari kekuasaan
maut yang sudah merabanya.
“Di mana Lawa Ijo…?” Tiba-tiba Umbaran berteriak.
“Lawa Ijo telah meninggalkan kau,” jawab Radite.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 89
“Mati…?” teriak Umbaran. “Sura Sarunggi…?”
“Orang itu mati pula,” jawab Radite seterusnya.
“Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak
akan mati. Aku akan merajai Nusantara.” Umbaran masih
mengigau.
“Berdoalah,” bisik Radite.
“Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya
Umbaran yang semakin payah.
“Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan
Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada kerajaan yang
kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak mengenal dendam dan
benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan” jawab Radite.
“Aku akan menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam
desahan nafas yang semakin lambat.
“Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai
nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit dilakukan di dunia ini.
Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Jauh lebih sulit
daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-
juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya” bisik
Radite.
Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata,
“Aku akan berdoa.”
“Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di
dalam daerah kerajaan-Nya,” desak Radite.
Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-
gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi tenang. Ia
tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan
berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia untuk
mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 89
demikian juga orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak
tahu apa yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka
mengharap agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya.
Terdengarlah Radite berbisik, “Mudah-mudahan ia berdoa.”
Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran.
Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di tangan Radite itu
kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya yang
selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan jelek.
Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad
ia tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-lonjak.
Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya, telah
memancar dengan ungkapan yang mengerikan.
Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta
membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa ia telah
ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan
oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi ia tidak
tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam,
sehitam malam yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun
yang tahu, bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya
mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai
muridnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan
sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di timur telah
merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai disingkirkan.
Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya.
Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati.
Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam kegelapan. Tetapi
ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah
pelukan tangan Yang Maha Pengasih.
Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin itu ke
pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di atas tikar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 89
pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan,
Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas dari
suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya. Mereka kemudian
bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di
belakang mereka yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite,
Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka
yang melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin laskarnya
yang akan memberikan laporan kepadanya.
“Terima kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai.
“Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan.
Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap jalan masuk. Rawat
kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke perkemahanmu.”
Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu, kembali
ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun demikian
senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab
setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.
Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding
halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke pendapa,
dan duduk di belakang gurunya.
Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan cahaya
terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang terletak di
lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai memancarkan
cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit
perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari
pegunungan.
Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada
gurunya, “Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis
pertempuran di Pangrantunan?”
Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab,
“Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu
berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik
kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut perhitunganku, tokoh-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 89
tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian besar lenyap,
Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan Umbaran telah tak ada
lagi. Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka.”
Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikian juga Kebo
Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan
kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi. Sehingga terloncat
dari mulut Endang Widuri, “Paman, Jaka Soka tadi malam telah
datang menjemput Bibi.” Agaknya gadis itu telah mulai dengan
kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi lebih tenang
dan tidak menegangkan hati.
“Ah....” desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi,
sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja.
Tetapi Radite dan Anggara masih dalam keadaan seperti
semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni
mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-
masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak
pernah mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun
terasa bahwa mereka bersama-sama telah meneguk air dari
sumber yang sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka,
bahwa tak seorang manusia pun yang sempurna. Pasingsingan
sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir
dan batin. Namun ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil
daan kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia
yang pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka
Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu
berkhianat. Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau,
noda itu akan terpercik kepada saudara-saudara seperguruannya,
Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya
pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya
menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya
dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti
ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab belumlah pasti bahwa orang lain
akan mampu membunuhnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 89
Melihat mereka, Radite dan Anggara masih tenggelam dalam
kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri sambil
menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa
itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar
Mahesa Jenar berkata, “Arya, suruhlah beberapa orang merawat
mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di
tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-
nodanya.”
Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang di
gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah meskipun
mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka
yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada
mereka, Arya memerintahkan untuk memanggil beberapa orang
lain, untuk bersama-sama menyelenggarakan penguburan mayat
Sura Sarunggi dan kawan-kawannya.
Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite
berkata, “Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan,
biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.”
Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-
angguk kecil ia bertanya, “Kenapa mesti di bawa ke Pudak
Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan
penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”
“Anakmas....” sahut Radite, “Umbaran adalah saudara
seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas segala-
galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku
dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru
datang bertanya kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti,
guru pasti sudah mendengar berita tentang kematian
Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk
menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh
Pasingsingan pula.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 89
“Kalau demikian....” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada
Paman.”
“Terimakasih Anakmas,” jawab Radite, “Mudah-mudahan
dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada
perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.”
“Paman....” jawab Mahesa Jenar, “Setiap orang akan
mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang bersalah,
juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran,
manusia yang bernama Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah
menerima hukumannya.”
Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali
Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan beberapa
orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara
kembali ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.
Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka
Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya, “Anakmas,
barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas
kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting daripada menemui aku di
sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran
dengan mayat Umbaran.”
Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera
merekapun berangkat beserta beberapa orang yang menyertainya
mengusung Umbaran.
“Lain kali aku datang lagi,” kata Radite, “Dalam kesempatan
yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan
bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi orang tua itu pasti tak akan mengenal aku, sebab yang
dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek itu.”
“Baiklah Eyang,” sahut Arya Salaka, “Aku akan sampaikan
kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal
akan menemuinya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 89
Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan
Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah timur.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain
mengantar mereka sampai beberapa langkah ke luar alun-alun
Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan,
maka mereka kembali ke pendapa duduk melingkar di atas tikar
pandan.
Mantingan menceritakan apa yang dilihatnya, sejak awal
sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang,
muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian
Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua
orang yang menyerupai Pasingsingan pula.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan
cerita itu dengan hati yang berdebar-debar. Akhirnya mereka
mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan
orang-orang yang berada di pendapa itu.
IV
Sehari itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu
mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana masih ada Ki Ageng
Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan laskar
yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah condong dan
panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan,
mereka baru akan berangkat ke Pangrantunan.
Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang Widuri
seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang selalu
mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
pun merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan
mereka yang masih dibayangi oleh kecemasan itu duduk sendiri
dengan gelisah. Widuri, seperti anak-anak yang takut ditinggal
pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya ke mana ayahnya pergi.
Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat
merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 89
dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil
tertawa ia berkata, “Widuri, kenapa kau membayangi aku terus-
menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?”
“Ah....” Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih
terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya
semalam.
“Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna
hijau seperti yang kau impi-impikan?” tanya ayahnya pula.
“Ah....” Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang
manja justru ia berkata, “Tentu. Tentu ayah menyembunyikan kain
sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup membelikan buat
aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.”
Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri
pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu membeli kain sutera
berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka
mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya
suatu janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan
tegalannya di Banyubiru seperti masa-masa lampau, maka
hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera berwarna hijau.
Meskipun ia tidak tahu, apakah Widuri akan menerimanya,
seandainya ia nanti memberikannya.
“Gila!” hatinya membantah sendiri, “Kenapa aku ribut-ribut
tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang kita
sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?”
“Apa salahnya…?” Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan
yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk melenyapkan
perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang duduk di
hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang
berpakaian mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah
mengenal mereka dengan baik.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 89
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. “Ya, aku telah mengenal
mereka” jawab Mahesa Jenar. “Mereka adalah saudara-saudara
seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya
bernama Umbaran.” Seterusnya Mahesa Jenar menceritakan
beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri yang
mendengar segera berlari-lari ikut serta mendengarkan cerita itu.
Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang
Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.
“Mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” desis Arya
Salaka, ”Mereka berhasil mengalahkan dan bahkan membunuh
Sura Sarunggi dan Pasingsingan”
”Ya, merekaadalah orang-orang yang luar biasa, yang selama
ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka menyembunyikan
diri mereka di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran,
ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu
kesalahan.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam
hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang bernama
Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu tak
dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan
kemudian ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga
Kebo Kanigara berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian
Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa setidak-tidaknya
gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan
Anggara. Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum
mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-benar
pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara pernah bertempur melawan Radite dan
Anggara pada saat mereka mencoba untuk menemukan jawaban
tentang Pasingsingan sepuh di Pudak Pungkuran. Pada saat itu
ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan masing-
masing.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 89
Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru.
Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali
ke Pangrantunan. Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi,
sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat
mereka hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan
oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar
ingin melihat apa yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo
Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam
rombongan itu. Karena kemudian Rara Wilis tak mempunyai kawan
lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut
serta di dalam rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng
Pandan Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan
dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga yang
masih ada.
Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta beserta Sendang
Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka mendapat
pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke
Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka
Soka tak akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak
memiliki kekuatan lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya
pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang
berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut.
Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan datang.
Agaknya orang bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah
kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan Sabuk Inten.
Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya
kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan
dengan leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Sementara itu golongan hitam telah kehilangan
pemimpin-pemimpin mereka.
“Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari....” kata Mahesa Jenar
kemudian, “Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 89
memerlukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah
mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan apa-apa.”
Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik.
Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat.
Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka
bahwa cahaya yang cerah telah mulai memancar di atas tanah
perdikan Banyubiru. Awan yang kelam perlahan-lahan hanyut
dibawa oleh angin yang berhembus tak henti-hentinya. Mantingan
jadi teringat pada cerita-cerita pewayangan yang sering
dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar
putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya
kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah
pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke
punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda, sedang Widuri
karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan setiap
laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas
punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang
berbahaya. Tetapi ia tertawa saja apabila ayahnya
memperingatkannya.
Demikianlah maka setelah sekali lagi mereka mohon diri
kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta beserta
Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-
kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir
sampai di muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudanya,
sehingga kuda itupun berhenti.
“Ada apa Arya?” tanya gurunya, dan semua mata pun
memandang ke arahnya.
“Pisau,” jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang
tumbuh di samping regol.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 89
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah
pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning
kemilau.
“Kyai Suluh,” desis Mahesa Jenar, “Ambillah Arya.”
Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia
memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian diambilnya
kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama lain,
sehingga Arya tak mampu membedakannya.
“Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah”
jawabnya.
“Cobalah Arya” pinta Kebo Kanigara.
Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan
pun kemudian berdiri pula di samping Kebo Kanigara. Sebagai
seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai batu-batuan
dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga perasaannya
yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran
yang memancar dari besi-besi aji. Kanigara pun agaknya memiliki
pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata, “Inilah
yang asli.”
Mantingan mengangguk. “Kakang benar. Aku juga menyangka
demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun
keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip
dengan aslinya.”
“Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan
yang luar biasa.” Kanigara meneruskan, “Pengaruhnya atas
ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang,
pengaruh itu pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku
kagum akan ketabahan hati serta keberanian Umbaran, namun
aku menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 89
Tak seorang pun yang menyahut. Semua membenarkan kata-
kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan yang
tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
“Mahesa Jenar....” kata Kebo Kanigara, “Siapakah yang berhak
menerima pisau-pisau ini?”
“Paman Radite dan Anggara,” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka tak memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara,
“Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di
halaman Banyubiru. Bukankan maksudnya untuk menyerahkan
pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar. “Setidak-tidaknya
pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan,
biarlah keduanya dikembalikan.”
“Baiklah,” kata Kebo Kanigara, “Agaknya Arya Salaka yang
wajib menyimpannya.”
Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua
langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah kehitam-
hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan,
di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan.
Namun dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta
kejujuran dan penderitaan murni. Anak yang hidup di tengah-
tengah badai kesulitan dan penderitaan itu benar-benar memiliki
kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas.
Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut
bergembira, segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu
adalah pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya,
meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk
seterusnya.
“Arya...” terdengar Kebo Kanigara meneruskan, “Simpanlah
pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan
serta keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 89
yang telah terjadi dapatlah menjadi peringatan bagimu. Umbaran
telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam
perjalanannya yang sesat.”
Dada Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan
dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh dari tangan
Kebo Kanigara, yang berkata
pula, “Kau telah memiliki salah
satu dari kebesaran-
kebesaran yang pernah
dimiliki oleh Pasingsingan.”
“Aku akan selalu
mengingatnya, Paman” jawab
Arya Salaka. “Apa yang telah
terjadi dengan Umbaran.”
Tiba-tiba terdengar Widuri
menyela, “Ayah, aku juga
punya cincin yang bermata
merah menyala.”
Kebo Kaniara menoleh
kepada putrinya, “Apakah
itu?”
Widuri menunjukkan jarinya yang dilingkari oleh sebuah cincin
yang bermata merah menyala.
“Kelabang Sayuta....” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Widuri, “Lawa Ijo menamakannya demikian.”
“Dari manakah kau mendapat cincin itu?” tanya ayahnya.
“Lawa Ijo,” sahut Widuri. Kemudian ia pun menceritakan
tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang mati dan
tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 89
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun
mendengarkan cerita itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo telah
menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban
keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan
sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain mereka masih ada
lagi berpuluh-puluh, malahan beratus-ratus orang yang menjadi
korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan dengan sahabat-
sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam
rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang
sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang
baik diperlukan penilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak
masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan
tempat mereka menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.
Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan
bergumam, “Takdir telah menentukan atas kedua pusaka itu.”
Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang
bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak meneruskan
kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan
Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata
yang terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan,
sehingga dengan demikian Mantingan sendiri agak menyesal
karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa
Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai
Wanamerta berkata perlahan-lahan, “Kami orang-orang tua hanya
berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”
Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka maksudkan.
Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka bahwa
Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan
orang-orang dari golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah,
Kebo Kanigara berpikir, “Apakah kedua pusaka, yang masing-
masing berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan menjadi
perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 89
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata
apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat kepada
perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian
kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan
itu.
Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di
pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih menggenggam
tombak Banyubiru. Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di
bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak
memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya
untuk menyimpan pusaka itu.
Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk dapat
menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu. Seperti juga
Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai
pengaruh yang jelas kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat
mempengaruhi keuletan dan keterampilan berpikir.
Demikianlah rombongan itu berjalan dengan kecepatan
sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam,
kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang menjajarinya. Di
belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Mereka kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan
mereka yang terberat sudah selesai. Golongan hitam telah 8 dari
10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling
membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki
Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan
untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali kepada
kesadaran diri atas segala ketamakan dan keserakahannya.
Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan
kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di sebelah barat.
Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke
wajah langit dan ke wajah bumi. Daun-daun yang hijau menjadi
semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 89
semakin pudar. Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun
hijau di lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik
pegunungan.
Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu.
Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung lagi. Bintang-bintang
berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain. Awan yang
kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian seakan-
akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu
kemudian menjadi semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung
di langit yang luas.
Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka
takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat malam mereka
membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat. Kini
mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di
samping perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus
menempuh perjalanan di hujan yang dingin.
Beberapa saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang
menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak Pamingit
atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari
semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak
seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan.
Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar
terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-
orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar
Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu?
Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari
desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka
berhenti.
“Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 89
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan
seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-
orang Pamingit atau Banyubiru…?”
“Entahlah,” jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang
dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping
perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan.
Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga
ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda
datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju.
Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan
tombak yang tunduk.
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-
orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah
seorang dari mereka.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan
pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan
dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut, “Mahesa Jenar
bersama Arya Salaka dan rombongan.”
“O.....” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin
tunduk.
“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,” jawab orang itu, “Kami mendapat tugas untuk
menanti kedatangan Tuan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 89
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia
memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas
untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk
pasukan,” jawab orang itu. Namun nampaknya orang itu
sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mendapat kesan yang baik.
Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti
orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang
semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi
memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di
muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata,
“Silahkan Tuan-tuan.”
Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu,
Wulungan. Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan
tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari
kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu,
duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.
“Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan.
“Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu,
ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki
Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan
tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki
Ageng Sora Dipayana sendiri.”
“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa
Jenar, kemudian ia bertanya, “Kami terkejut ketika kami melihat
daerah ini sedemikian sepi.”
“Semuanya sudah selesai,” jawab Wulungan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 89
“Selesai…?” ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan
hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka
menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju
ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang
pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka
meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa
mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas.
Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya, “Jadi aku
sudah terlambat?”
“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.
”Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu
bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu,”
jawab Widuri.
“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya, “Kau akan ngeri melihat
pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang
mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan
Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum,
Mahesa Jenar pun tersenyum. “Tetapi bukankah kau masih utuh?”
sambung ayahnya.
Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat
berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah, Tuan-tuan....” Wulungan memecah kesepian,
“Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 89
Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan
tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.”
“Siapakah tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten,”
jawab Wulungan.
Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat.
Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi
udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas
itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di
luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di
halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya
laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan
tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk
dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka
sedang merebus jagung.
Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur
jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di
pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu
telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja
seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa.
Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang
mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun
lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa
itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang
yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka
mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.
Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama
menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang
Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 89
Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar
terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun
didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit
itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi.
Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara
itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan
seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan
mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran
mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun
menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya
dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya,
gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-
lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu
pula. Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula
mengikutinya.
Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia
mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu
akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang
itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin
dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu
hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan
berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar
dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka.
Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang
mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau
menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan
pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang
menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat
tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki
bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 89
orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia
memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia
menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun
dada Arya Salaka berdesir pula. Di hadapannya kini berdiri
seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng
kulit kayu kasar.
“Pasingsingan,” desis Arya.
Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya,
“Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-
tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan
kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain.
Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu
yang sangat sederhana.
“Siapa kau?” tanya Arya Salaka.
“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut
mega” jawabnya.
“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja
menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.
“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Arya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya, maka
ia pun menjawab dengan jujur, “Ya, aku Arya Salaka.”
Orang itu tertawa. “Jadi kaulah yang mengaku anak kepala
daerah perdikan Banyubiru?”
“Kenapa kau sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka.
“Aku tidak akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan
kepala daerah perdikan Banyubiru.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 89
Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati.
Katanya “Di mana ayahmu sekarang?”
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka.
Karena itu ia menjawab, “Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?”
“Ikut aku,” kata orang itu.
“Lalu…?” sela Arya.
“Jangan bertanya,” jawab orang itu.
“Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan”
kata Arya.
“Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang
itu pula.
Arya masih mencoba menyabarkan diri, meskipun hatinya
bergelora. Meskipun demikian ia menjawab, ”Jangan memaksa”
”Jawab pertanyaanku. Mau atau tidak?” berkata ora itu pula.
“Tidak,” jawab Arya tegas.
“Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan.
Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi mayat”
kata orang itu.
Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia dari
golongan hitam atau dari golongan lain yang tak menyukainya.
Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai
satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru?
Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama.
Sebab orang itu membentaknya, “Bersiaplah!”
Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur
dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun telah
bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan
bahkan dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 89
Demikianlah maka segera terjadi perkelahian di antara mereka.
Arya Salaka mula-mula masih meragukan lawannya. Namun ketika
lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak
mempunyai pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat
tenaganya.
Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak
bergerak, namun serangan-serangannya yang datang tak ubahnya
seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun
berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan
cepat dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap
serangan yang datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang
seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang
demi gelombang.
Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin seru.
Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk mengalahkan
lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap,
tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti
seekor gajah yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya.
Demikianlah pertempuran itu berjalan semakin sengit. Arya
Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat
mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu
waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan kanan jalan.
Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya
seorang. Ia pasti mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus
selalu waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat
muncul dan menyerangnya bersama-sama.
V
Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang
yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi curiga.
Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar
kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang
berkata, “Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 89
persembunyianmu. Kalau kalian akan bertempur bersama-sama,
majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.”
Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang
bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata dengan
marah, ia pun menyahut, “Jangan sombong, kau kira bahwa di
dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama Arya
Salaka…?”
“Aku tak berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur.
“Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil
kesempatan yang licik.”
“Aku bukan betina,” kata orang bertopeng sederhana itu.
Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras. Seperti
angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi
bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun
telah kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah
memuncak. Arya tidak tahu dengan siapa ia berhadapan, namun
agaknya lawannya benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi
korban dalam persoalan yang gelap.
Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama. Namun
tak seorang pun yang tampak akan dapat memenangkan
perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap
tenaga yang mereka miliki, namun perlawanan merekapun
menjadi semakin bertambah sengit.
Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh pada
lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal gerak-gerak yang
demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi
yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya
mendesak terus, lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan
tata gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga
akhirnya lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 89
mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya
dimilikinya.
Arya Salaka mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan
lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan tangannya di bawah
dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar
sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya. Serangan-
serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan
yang mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung
jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah
leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku
dalam jarak-jarak yang pendek. Kaki Arya pun dengan lincahnya
bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di
tanah seperti tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-
kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung.
Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun
kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat.
Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan
lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu menyambar
dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya
meloncat maju. Dengan kaki yang lain, orang bertopeng itu
menyapu kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat
sehingga Arya tak sempat mengelak. Karena sapuan itu, Aya
kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup
terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya dengan
baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.
Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan
menyambar dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia hanya
sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan pukulan
lawannya, namun wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit
seperti menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut.
Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya
ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau menjadi sasaran
terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali lagi Arya
meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 89
tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar
lawannya mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke
arah dada. Sekali lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan Arya
mengejarnya terus.
Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan berbahaya.
Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian
perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba
dari orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar.
Meskipun demikian Arya tak dapat dikalahkan dengan segera.
Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya
dalam keseimbangan yang setingkat.
Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia mengingatnya.
Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu pernah dirasakan
di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian mirip
dengan ilmu saudara sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu
Sawung Sariti? Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu,
dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan
berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung
Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang kehitam-
hitaman, sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya
dengan jelas.
Meskipun dapat masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung Sariti
menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka demikian.
Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu. Ketika ia teringat
pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini eyangnya
yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti
itu diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar
itu. Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa?
Apakah pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin. “Tidak,”
hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”
Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun
pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang, namun ia
tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 89
tidak setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi
sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya
hanyalah pamannya dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan
pengawal Sawung Sariti yang berwajah bengis dan bernama
Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu
sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa orang
itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu
mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu. Apakah
Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur.
Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-
kesalahan sendiri.
“Siapa…? Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala
Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang bersembunyi
di balik pagar.
Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor orang-
orang Pamingit yang bertugas menunggunya di Pangarantunan
sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu
mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di
pondok penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah
orang Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam
yang gelap itu. Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka
sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat
mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan
yang merapat di pagar bambu yang telah rusak. Pikirannya yang
cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti akan menghadang
orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin
dekat. Arya Salaka menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu
tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu
mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia
mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah
jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi,
sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.
Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang
menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 89
hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai
nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak, “Hai,
siapa yang membawa obor itu?”
“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat.
Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa
memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang
yang membawa obor, “Ada apa di situ?”
“Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus. Obor
itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar
orang di balik pagar berdesis, “Curang. Kau tidak memberi
kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?” tanya Arya.
“Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat
obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian
tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang
membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan,
Arya berkata, “Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak
tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah
kalian?”
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi
serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya
menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun
datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing.
Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap.
Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia
mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 89
inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa
melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia
berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya
Salaka yang muda itu.
Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk
membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing.
Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar
yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya
bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap
waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat
yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan
dengan laki-laki yang tinggi hati?
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur
sambil berteka-teki.
Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia
bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan
Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai,
ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika
ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang
nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata, “Ki Sanak, ada
bahaya di jalan ini.”
Laskar itu pun bertanya, “Dari mana kau tahu?”
“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar
seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. “Marilah kita bawa
Kakang Wulungan.”
“Ayolah,” jawab yang pertama.
Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain
menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan
berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 89
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,
“Apa yang terjadi?”
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah....” sahut Mahesa Jenar, “Kami juga mendengar
seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan, “Kau
tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau
perlukan kami.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi.
Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati
keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa
orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil
merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar
mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-
hal yang tak mereka kehendaki.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat
yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan
desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar
bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih
kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-
baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun
lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada
nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak
orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus
berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping keme-
nangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus
memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila
orang-orang di balik pagar itu datang membantu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 89
Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang
di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam.
Seorang, lalu disusul seorang lagi.
Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum
pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat,
yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya
mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka. “Setidak-tidaknya
mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya, “Kalau demikian aku akan
mengalami kesulitan untuk melawannya.”
Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-
wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus
bertempur pula. Karena itu ia samasekali tidak mendapat kesan
apa-apa mengenai wajah kedua orang itu.
Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari
lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir. “Ki
Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah
kalian dan apakah maksud kalian?”
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, “Tutup mulutmu.”
“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya
meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu.
“Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah
itu akan aku miliki,” jawab orang bertopeng itu.
“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur.
Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan
dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang
membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
“Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu,”
bentak orang bertopeng itu. Sedang dalam pada itu kedua kawan-
kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 89
Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun
yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar
akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela
dirinya mati-matian. Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh
Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun
iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk
tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya
dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya.
Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan
menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda. Adiknya licin
dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula.
Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika
dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai
pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua
orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak
lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya
samasekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu
mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap
tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia
melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala
daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut
saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat
dimengertinya. Ketiga orang itu samasekali tak mengejarnya.
Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak, “Arya, jangan.
Jangan.”
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia
mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh
perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa
mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke
sisi telapak tangan kanannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 89
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar
suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran
di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada
menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya,
diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya
yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya
untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di
dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor
kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.
Arya Salaka melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di
bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di sampingnya. Mereka
adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya samasekali
tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia
bertempur melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan
perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk pundaknya sambil berkata,
“Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.”
Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut.
Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah
pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak
seperti patung.
Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya, yang
seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini. Dirasanya dalam
malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya
yang mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar
menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan
yang menyenangkan.
Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya.
Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur
melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu
pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang
yang tak berarti apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 89
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya, siapakah
lawanmu itu?”
“Aku tidak tahu, Paman,” jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh
kepada orang bertopeng kulit kayu yang sederhana itu, yang
seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika kayu yang
dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada kepalanya
dengan tali dan ikat kepalanya.
“Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk
melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ya, aku mengenal Paman,” jawab Arya.
“Nah, ilmu siapakah itu?” desak gurunya.
“Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan,” jawab Arya.
“Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki
ilmu itu.”
Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan
Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab, namum
kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, “Ada dua, Paman.
Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.”
“Siapakah di antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat orang
bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki sampai
kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya
dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu.
Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua orang
kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar
di tepi jalan. Akhirnya Arya menebak saja sekenanya. “Paman,
orang itu bukan adi Sawung Sariti.”
“Jadi…?” desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap
menjawab, “Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 89
“Apakah kau pasti?” tanya Mahesa Jenar.
Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa
bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun juga bertubuh
tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak berbeda.
Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Agaknya kau tidak pasti Arya.”
Arya mengangguk.
“Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu
keturunan dari Pangrantunan?”
Terdengar orang bertopeng itu menggeram.
“Tak ada,” jawab Arya.
Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar
dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang
itu, “Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat
akan melekat di leher kalian.”
“Hem....” kedua orang itupun menggeram.
“Arya...” kata Mahesa Jenar, „Adakah kau pernah menerima
dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?”
Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-
kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata gerak dari
perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab,
“Pernah, Paman.”
“Siapakah yang memberimu pelajaran?”
Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang
memiliki ilmu itu, jawabnya, “Ada orang yang memiliki ilmu itu,
Paman, tetapi....” kata-kata Arya terputus. Orang itu adalah
ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya
kata-kata ayahnya pada saat ia meninggalkannya di hadapan
laskar Banyubiru yang siap dalam gelar Dirada. Katanya pada saat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 89
itu, “Arya, aku akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan
akan kembali.”
Tiba-Tiba tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah
sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja tangannya bergerak
merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak dapat lagi
menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya,
berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki
ilmu perguruan Pangrantunan.”
Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara
runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali, dan
jantungnya bergelora seperti akan meledak.
Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir
berteriak, “Ayah!”
“Ya,” jawab orang ber-
topeng itu, “Aku adalah
ayahmu.”
Sesaat Arya mengamat-
amati wajah itu. Meskipun di
dalam gelapnya malam, namun
wajah ayahnya telah tercetak di
dalam hatinya. Sehingga, de-
ngan segera ia dapat mengenal
kembali, meskipun hanya garis
lekuk-lekuk wajah itu. Hampir
tak ada perubahan sejak kira-
kira lima enam-tahun yang
lampau. Karena itu tiba-tiba
darahnya seperti melonjak-
lonjak. Dan tanpa sesadarnya
Arya melompat maju, menja-
tuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar. “Ayah,
betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 89
Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan
tidak mengandung nada permusuhan, “Kau masih mengenal aku
dengan baik bukan, Arya?”
Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-
kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya segera
tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar
keluar hanyalah sepatah kata, “Ya.”
Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian
anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia memandang
kepada Mahesa Jenar, “Hampir aku tak percaya, bahwa anak inilah
yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang lampau.”
Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju.
Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh Gajah
Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu
dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa
tangan itu gemetar.
Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir
bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan yang
sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-
saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu berdiri di hadapannya.
Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang
berdiri merapat pagar. “Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?”
Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya
menjawab, “Permainanmu ternyata lebih baik daripada permainan
Kakang Gajah Sora, Kakang.”
Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, “Hampir aku tidak tahan
bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan main.
Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya
menjadi semakin bingung.”
Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang
bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir. Keduanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 89
ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit
yang datang dari Demak.
Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut
oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu diperkenalkan
pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah
mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan
dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.
“Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah
Sora” ajak Mahesa Jenar, “Barangkali Kakang Gajah Sora dapat
menceritakan sesuatu kepada kami, suatu cerita yang menarik.”
Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah
kedua prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal
Gajah Sora. Namun ia berkata, “Mari Adi Gajah Alit dan Adi
Paningron. Aku mempersilahkan kalian.”
Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata
Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit itupun
mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, “Marilah, aku pun tidak
tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-
besar.”
“Tidak Adi,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi barangkali Adi tidak
biasa digigit nyamuk.”
“Ah....” desis Gajah Alit, “Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi
juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?”
Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar
sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak.
Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika
mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih
berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di
dalam gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa Jenar, segera iapun
melangkah menyambutnya, “Apakah yang terjadi?” ia bertanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 89
“Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa
Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya meneruskan,
“Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?”
Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka rumah
itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah Sora itupun
dapat dilihatnya.
Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang, meskipun
agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya. Kumisnya
lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora. Tiba-
tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat
sambil berkata, “Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan
Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki
Ageng.”
“Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini,
Wulungan?” tanya Gajah Sora.
“Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup segar
meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada perubahan
sejak aku melihat untuk yang terakhir kali” jawab Wulungan.
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian merekapun
melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di bale-bale
besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah siap
merebus air dan jagung muda.
Sambil menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa
Jenar, “Kedatangan Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan kami.
Apalagi bersama-sama dengan Kakang, ikut serta adi Gajah Alit
dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?”
Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali wajahnya beredar
di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah Arya Salaka.
Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, “Adi Mahesa Jenar. Anakku
ini benar-benar mengejutkan hatiku. Sebelum aku bercerita,
seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 89
Adi. Agaknya Adi Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku,
mengasuh anak nakal ini, bahkan melampaui harapan yang aku
khayalkan tentang dirinya.”
Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, “Bukanlah aku yang telah
menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga dirinya,
tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya
merupakan modal yang tak ternilai harganya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan
ayah serta gurunya sedang menilai dirinya.
“Modal yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan
berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya,” jawab Gajah
Sora pula. Kemudian ia meneruskan, “Aku pernah bertempur
dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi betapa
dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian
terpisah dari Adi lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku
mencoba untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu
keturunan dari Pengging, aku merasa bahwa seakan-akan aku
mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya Salaka benar-
benar telah memiliki ilmu seperti yang Adi miliki pada saat itu. Dan
ternyata bahwa Arya telah benar-benar mencerminkan Adi Mahesa
Jenar sewaktu adi bertempur di Gunung Tidar itu.”
Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia
mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat
anaknya.
Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar,
bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di Gunung Tidar
melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan
aji pemungkasnya, Sasra Birawa. Pada saat itu Gajah Sora tidak
dapat berbuat lain daripada menyelamatkan dirinya dengan aji
andalan perguruan Pangrantunan, Lebur Saketi.
Mahesa Jenar menjadi geli sendiri mengenangkan peristiwa
itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 89
sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan disapu angin.
Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak saja pernah berbenturan di
atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun
kedua aji itupun pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing
dilontarkan oleh Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari Pengging,
melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti, yang memiliki ilmu
keturunan dari Pangrantunan. Tetapi benturan itu samasekali
bukan karena salahpaham, namun benar-benar karena kemarahan
yang tak tertahankan. Kesengajaan karena nafsu kedengkian,
ketamakan dan keserakahan.
Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh
suara Gajah Sora. “Adi, mungkin Arya Salaka tidak akan menjadi
anak seperti sekarang ini, seandainya aku sendiri yang
mengasuhnya.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia
tidak menjawab.
Kemudian Gajah Sora meneruskan, “Selain kekagumanku atas
kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun menjadi
heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tentu saja
kami menjadi gembira atas pertemuan ini.”
“Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini?”
sela Gajah Alit sambil tersenyum.
Mahesa Jenarpun tertawa. “Ya,” jawabnya, “Kenapa kalian
datang pula?”
“Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada kami,
Kakang,” kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron tersenyum.
Memang ia tidak begitu banyak berbicara. Ia lebih senang
mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada berbicara sendiri.
Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang gemuk
ini. Karena itu ia pun menjawab, “Agaknya kau bertugas mengawal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 89
Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah Sora akan
melarikan diri seandainya Kakang mendapat kesempatan sehari
dua hari menengok tanah perdikannya?”
Gajah Alit tertawa. Jawabnya, “Tidak, aku tidak bertugas
mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas menangkap
Kakang Mahesa Jenar.”
“Kalau begitu,” sahut Mahesa Jenar, “Aku akan membantumu.”
Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya
Salaka pun tertawa pula.
“Nah, bagaimanakah yang sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar
kemudian.