Upload
yoza-fitriadi
View
407
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Shikamaru Hiden, Chapter 1
Sejak kapan aku berhenti mengatakan semua hal itu merepotkan?
Pikiran itu terlintas di kepala Shikamaru saat ia sibuk memandang langit biru. Meskipun
angin berhembus tidak begitu kencang, awan-awan tipis berlarian mengejar satu sama lain
melewati garis pandang Shikamaru. Bentuknya yang kacau menyerupai keadaan
Shikamaru saat itu. Kemudian ia menertawakan pikirannya sendiri.
Bagaimanapun juga, sebenarnya ia sedang sibuk.
Dua tahun setelah Perang Dunia Shinobi ke-4, dunia akhirnya mulai mengembalikan
kestabilannya. Aliansi Kage yang terbentuk saat perang pecah berlanjut hingga saat ini dan
dunia shinobi telah berubah drastis dibanding sebelumnya.
Aliansi awalnya terbentuk dengan anggota 5 Desa Besar Ninja, namun seusai perang,
negara-negara kecil lainnya mulai mendeklarasikan partisipasinya dalam aliansi.
Organisasi yang berawal dari sebuah aliansi telah berkembang menjadi Persatuan Shinobi,
yang melibatkan setiap shinobi dari negara yang berpartisipasi.
Kontrak yang telah disetujui oleh desa-desa yang mengakui keberadaan aliansi telah
dibawa menjadi Persatuan Shinobi. Setiap desa yang berpartisipasi di Persatuan Shinobi
memiliki perwakilanshinobi yang ditugaskan untuk berdiskusi ataupun bernegosiasi
dengan Negara lainnya. Dengan cara ini, keseimbangan kerja antar desa dapat terjamin,
perbedaan antar desa dapat dipersatukan dan dunia shinobi dapat mencapai perdamaian.
“Haa…”
Helaan nafas Shikamaru menguap di udara. Punggungnya terasa kaku karena berbaring di
lantai yang dingin, dan jika ia tetap berbaring seperti ini, maka kemungkinan besar ia akan
terserang pilek. Tapi ia memiliki alasan untuk tetap berbaring.
Tumpukan pekerjaan menunggunya.
Begitu menumpuk dan itu sangat tidak lucu.
Shikamaru berniat untuk beristirahat sebentar sehingga ia mengizinkan dirinya untuk
bermalas-malasan sore ini. Ia menyadari, tepat saat ia bangkit dari berbaringnya nanti,
pikirannya akan kembali tersita oleh pekerjaan. Dan ketika hal itu terjadi, Shikamaru tahu
ia tidak akan mendapat kesempatan untuk beristirahat seperti ini lagi.
Karena itu, ia menolak untuk bergerak dan mengabaikan rasa dingin dari lantai yang
begitu menusuk, bersikeras untuk beristirahat selama yang ia bisa. Hingga seseorang
menemukannya, Shikamaru tak berniat untuk bergerak seinchi pun dari tempatnya ini.
‘Tempat ini’ adalah atap dari kediaman Hokage.
Kalian bisa melihat wajah-wajah Hokage dari generasi ke generasi terpahat di bukit paralel
yang mengitari tempat dimana Shikamaru berbaring.
Dari kiri ke kanan, terdapat pahatan wajah Hokage pertama, Hashirama, kemudian
adiknya, Tobirama, setelah itu Hokage Ketiga yang gugur saat Orochimaru menyerang
Konoha, yaitu Hiruzen, dan “Konoha no Kiroi Senko”, Namikaze Minato. Hokage kelima,
salah seorang dari Tiga Sannin Legendaris selain Jiraiya dan Orochimaru, yaitu Tsunade.
Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi Hokage.
Kemudian wajah seorang pria yang kini menjabat sebagai Hokage terpahat disamping
wajah Tsunade.
Sepasang mata yang terlihat sayu tampak di antara rambut keperakannya, begitu pula
dengan batang hidungnya, sedangkan bagian wajah lainnya tersembunyi dibalik sebuah
masker.
Hokage adalah simbol dari Konoha, sebuah jabatan yang tidak dapat diduduki kecuali kau
telah diakui oleh setiap shinobi di desa, meskipun wajah dari simbol yang seharusnya
terukir sebagai penghormatan di bukit itu setengahnya tersembunyi dibalik sebuah
masker…
Hatake Kakashi.
Merupakan nama pria yang kini menjabat sebagai Hokage.
Guru dari duo yang memimpin menuju kemenangan dalam perang lalu. Tak seorangpun di
dunia ninja yang tak mengetahui namanya. Shikamaru yang mengenal pria itu dan kedua
muridnya secara personal, merasa mereka bukanlah orang-orang yang memiliki
kepribadian seperti ‘bintang jatuh’. Begitu banyak penggemar yang mengidolakan dan
mengidam-idamkan mereka bertiga, menyebut mereka sebagai “pahlawan yang
melegenda”, namun kenyataannya tak satupun dari mereka yang cocok disebut “legenda”.
Kakashi, seorang pria yang mampu menyelesaikan segala hal walau dalam keadaan krisis,
akan kembali memerankan kehidupan sehari-harinya: pria dewasa yang tidak
menampakkan kelebihan apapun, yang tampak tidak berhasrat melakukan apapun.
Dua pahlawan lainnya memiliki masalah yang serupa. Yang satu bukan main bodohnya dan
yang satu lagi bukan main keras kepalanya. Ini semua karena dunia tidak mengetahui sisi
lain mereka sehingga dunia menyebutnya sebagai ‘legenda’.
“Lalu apa yang telah kulakukan..?”
Kalimat itu keluar dari mulut Shikamaru tanpa terpikir olehnya.
Ia sendiri merupakan tipe orang yang sama sekali tidak mendekati kata pahlawan. Ia pun
tidak pernah berharap untuk menjadi salah satunya.
Jika kalian menganggap bahwa ia ingin menjadi ninja yang menjalani latihan keras
untuk meningkatkan kemampuan ninjutsunya, maka kalian salah. Ia tak pernah berpikir
untuk mempelajari ninjutsu medis ataupun menjadi ahli di pasukan garis depan. Jika kalian
mengatakan bahwa ia ingin menjadi seseorang yang berpangkat tinggi sebagai pemecah
kode atau dalam operasi medis, kalian juga salah.
Menjadi seorang yang biasa-biasa saja…
Itu merupakan impian Shikamaru.
Ia ingin menjadi ninja yang biasa saja dan memiliki pekerjaan yang biasa, menikahi wanita
yang biasa-biasa saja, memiliki anak yang biasa-biasa saja, dan setelah itu menikmati hari
tua yang biasa-biasa saja.
Kemudian semua hal itu akan berakhir suatu saat.
Adakah hal yang lebih menyenangkan dari rencana hidupnya?
Ia rasa tidak.
Di hari yang cerah, berbaring dan memandang langit, melihat awan melayang yang
membawa pergi pikirannya. Saat hari hujan, ada bidak-bidak shogi yang menemaninya, itu
sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tertekan karena ekspektasi dari orang-orang. Tidak
ada rasa stres.
Bukankah itu adalah kehidupan yang indah?
“Haaaa…”
Itu merupakan tarikan nafas yang dalam dari perutnya.
Ba*****n yang disebut “kenyataan” merupakan lawan yang tangguh.
Jika yang kau lawan adalah manusia, maka akan datang hari dimana kau akan
menang melawannya. Meskipun mereka kuat seolah tuhan, mereka pasti memiliki
kelemahan. Lawan dalam perang yang lalu adalah seseorang yang sangat kuat, semua
shinobi memfokuskan kekuatan mereka, bekerja sama, dan menang melawan musuh.
Bukankah begitu?
Kau pasti akan menang melawan musuh di hadapanmu.
Walaupun begitu…
“Kenyataan” adalah musuh tak berwujud yang tak akan—tak akan pernah terkalahkan.
Meskipun Shikamaru terus berharap dan menginginkan yang sebaliknya, kenyataan tanpa
ampun menyeretnya ke dalam takdir yang tidak ia inginkan. Shikamaru, seorang yang
sangat berharap untuk menjadi biasa-biasa saja, kini merupakan seseorang yang sangat
dibutuhkan dan diandalkan dalam Persekutuan Shinobi.
Ia dibebani oleh tugas yang banyak. Semua misi dari Daimyo dan warga setiap negara
harus diklasifikasikan dari peringkat A hingga D, setiap karakteristik desa harus
diperhitungkan untuk menentukan mana yang paling cocok untuk ditugaskan—kemudian
sebagai ketua dari Persatuan Shinobi, konsultasi 5 Kage. Mereka menggunakan Shikamaru
untuk segala hal, hingga menjadi partner shogi dari Tsuchikage yang sudah tua.
“Konoha no Shikamaru” dari Persekutuan Shinobi.
Demikian julukan yang diberikan pada Shikamaru.
Meskipun ia tak ingin menonjolkan diri, meskipun ia tak ingin sukses dalam hal apapun,
meskipun ia terus dan terus melawan hal tersebut, orang-orang sekitarnya terus
memaksanya sehingga hal tersebut menjadikannya setingkat di atas yang lainnya.
Kesalahan pertamanya terletak pada ujian promosi Chuunin.
Ujian Chunin, yang diikuti oleh desa ninja dari 5 negara besar termasuk genin dari negara-
negara kecil, berlangsung di tengah kekacauan yang dibuat Orochimaru dan menewaskan
Hokage Ketiga. Karena beberapa alasan, Shikamaru dipromosikan sebagai Chuunin.
Diantara seluruh peserta, hanya ia satu-satunya yang menjadi Chuunin,
Situasi tersebut merupakan situasi dimana Shikamaru ingin berteriak “apa yang telah
kaulakukan??!” pada dirinya lebih dari yang seharusnya.
Kesalahan fatal yang ia perbuat adalah pada babak dimana para genin dipasangkan
untuk bertarung satu lawan satu. Jurus kagemanenya sukses mengejutkan lawannya,
seorang kunoichi galak yang membawa sebuah kipas yang tak terkira besarnya yang
mampu meniupkan angin yang sangat kencang. Namun pada akhirnya, Shikamaru sendiri
memilih menyerah.
Pengorbanan ini yang membuat Shikamaru sangat dihargai.
Menjadi Chuunin, termasuk memimpin anak buah, merupakan hal yang
membutuhkan kemampuan untuk menganalisa keadaan dengan tepat. Para penguji
menyetujui pilihan Shikamaru untuk menyerah, dan memberikannya nilai yang paling
tinggi.
Hal itu merupakan hasil yang paling tidak dikehendaki.
Ia sama sekali tidak tertarik mengikuti ujian tersebut, gurunya lah, Sarutobi Asuma,
yang memaksanya untuk mengikuti ujian tersebut. Ia tidak pernah berniat untuk mengikuti
evaluasi apapun, tidak berhasrat sama sekali. Namun kenyataan tetap menuntun
Shikamaru menjadi Chuunin, dan semua orang di desa memandangnya dengan cara yang
berbeda.
Dan sejak saat itu, hidupnya mulai keluar dari jalur yang ia harapkan.
Ketika Sasuke meninggalkan desa, Shikamaru ditugaskan sebagai pemimpin dari tim
yang beranggotakan teman-teman sekelasnya untuk membawa kembali Sasuke. Setelah itu,
ia diberikan misi yang berbeda dari teman-temannya. Ia menolak dan memprotes, namun
kenyataan justru membawa Shikamaru ke tingkat yang lebih dan lebih lagi.
Sejak Perang Dunia Shinobi ke-4… Dua tahun telah berlalu.
Shikamaru telah berusia 19 tahun. Usia dimana ia tak bisa lagi disebut anak-anak.
Ia berpikir bagaimana seharusnya kau bersyukur ketika orang-orang mengharapkan hal-
hal yang hebat darimu. Bukankah menjadi seseorang yang diandalkan merupakan
pencapaian yang hebat? Jawabannya tidak perlu disebutkan. Salah satu contoh adalah
temannya sendiri, Naruto, dan bagaimana keinginannya yang kuat untuk menjadi
seseorang yang dapat diandalkan telah mengubahnya menjadi seorang pahlawan desa—
tidak, bahkan pahlawan dunia ninja.
Shikamaru sangat tahu bahwa manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan satu
sama lain. Itulah mengapa ia tak memiliki rasa benci seperti “andai kau tidak pernah ada”
pada orang-orang disekitarnya. Tak peduli seberapa besar penolakan yang diajukan
Shikamaru, ia tak pernah dibuang dari dalam misi.
Sudah 19 tahun sejak ia dilahirkan ke dunia, sudah banyak hal dan permasalahan yang ia
hadapi.
Kelompok yang berniat untuk mengambil alih dunia, “Akatsuki”, telah membunuh
gurunya, Asuma. Kekasih Asuma, Kurenai, saat itu tengah mengandung anak Asuma. Anak
itu sekarang telah berusia dua tahun. Namanya adalah Mirai.
Menjadi guru dari Mirai…adalah sebuah janji yang ia harus penuhi.
Ayah Shikamaru, Shikaku, ditugaskan menjadi pengatur strategi utama di Perang Dunia
Shinobi ke-4. Akibat Obito menggunakan kekuatan penghancur dari Juubi untuk
menghancurkan Markas Besar Aliansi, ayahnya gugur bersama dengan ayah Ino, Inoichi.
Bahkan kini, kalimat terakhir ayahnya dan Inoichi masih berdenging jelas di telinga
Shikamaru.
[Kami akan selalu bersamamu, jangan lupakan itu!]
Menjadi pria yang hebat seperti ayahnya…juga merupakan janji yang ia buat kepada pria
yang membantu membawanya ke dunia ini.
Dan juga…
Naruto.
Pahlawan shinobi yang sangat percaya bahwa dirinya mampu menjadi Hokage, yang sama
sekali tidak pernah meragukan fakta yang dihadapinya.
Dalam pertarungan melawan Juubi, Shikamaru berada di ambang kematian. Ketika ia
sedang berusaha diselamatkan oleh Sakura, terlintas pikiran di kepalanya :
Tidak ada yang pantas menjadi penasehatnya selain diriku!
Jika Naruto menjadi Hokage, maka Shikamaru akan menjadi tangan kanannya. Itulah
mimpinya.
Ia sudah memiliki banyak sekali kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan ia tak
mau menghitungnya. Tidak salah lagi, itu semua karena adanya dorongan yang terus
membuatnya maju. Menjadi seseorang yang dibutuhkan adalah hal yang baik, dan ia
seharusnya bersyukur atas opini semua orang terhadapnya yang membuatnya dapat hidup
seperti sekarang ini.
Ia seharusnya bersyukur, namun…
Kadang ia merasa lelah.
Shikamaru yang sebenarnya bukanlah Shikamaru yang semua orang kira. Ia yang
sebenarnya adalah seorang pria yang selalu berpikir bahwa semua hal itu merepotkan,
yang mengharapkan kehidupan yang biasa saja. Tipe pria yang dapat ditemukan dimana
saja. Dan semakin besar ekspektasi orang terhadapnya, semakin ia ingin melarikan diri. Itu
adalah kebenaran dibalik seorang Nara Shikamaru.
Dulu, teman-temannya sangat mengerti betapa ia merupakan seseorang yang selalu
mengeluh, betapa ia terlalu malas untuk menyelesaikan apapun.
Sejak kapan mereka mulai keliru memahaminya?
Sejak kapan ia berhenti mengatakan semua hal itu merepotkan?
Secara logis, kedua hal itu dimulai pada waktu yang hampir bersamaan.
“Sejak kapan…?”
Saat ia memandangi awan, sebuah galur tertangkap pandangan Shikamaru. Matanya
menyipit agar dapat melihat jelas benda apa yang baru saja ia lihat.
Seekor elang mendekat ke garis pandangnya…
Elang tersebut terbang ke arah barat, dimana sebagian dari langit mulai berwarna merah
mudaterang karena matahari terbenam. Elang tersebut mengepakkan sayapnya dan
perlahan bergerak mengitar. Shikamaru berada di tengah kitaran elang tersebut. Bukan—
lebih tepatnya elang tersebut bergerak mengitari kediaman Hokage.
Shikamaru bukan hanya terduduk, ia berdiri tepat di atas kakinya.
Pikirannya yang melayang kembali fokus, matanya mengunci ke arah elang itu, tidak
melepaskan pandangannya sedikitpun
Hitam pekat…
Elang itu berwarna hitam pekat, seperti dilukis dengan tinta.
Tidak—elang itu benar-benar dilukis menggunakan tinta.
Choujuu Giga…
Jurus Sai…
Sai adalah pria yang bergabung dengan Naruto dan Sakura di Tim 7 sebagai pengganti
Sasuke. Keahliannya adalah jurus Choujuu Giga, melukis hewan menggunakan tinta dan
membuat mereka hidup dan bergerak.
Elang yang terbang di atas kepala Shikamaru pasti dari Sai…
“Akhirnya datang juga…”
Sesuai pandangan Shikamaru, elang itu berhenti bergerak mengitar dan mulai menurun.
Shikamaru bergegas menuju tangga. Disaat ia mencapai ujung tangga, ia akan berada di
kantor Hokage. Elang tersebut pasti menuju ke sana.
Saat Shikamaru mencapai tangga, elang tersebut menghilang di sisi belakang kediaman
Hokage, kemudian tampak bayangan wajah seseorang. Shikamaru segera menuruni tangga
menuju lorong kantor Hokage.
Ia membuka pintu tanpa perlu mengetuknya.
“Oh, Shikamaru”
Kakashi berbicara, berdiri dibalik meja yang berisi tumpukan buku dan dokumen,
membaca sebuah gulungan.
“Apakah elang dari Sai baru saja…?”
“Ya, itu benar”
Kakashi membalikkan gulungan ke arah Shikamaru agar ia dapat membacanya.
Shikamaru memandang kertas putih berisi tulisan dan kata-kata yang berantakan itu.
Pesan itu tampak seperti ditulis dengan terburu-buru.
“Situasinya lebih buruk dari yang kita kira”.
Tatapan Kakashi bertemu tatapan Shikamaru saat ia mulai bicara. Tatapan matanya jauh
lebih serius dari yang Shikamaru takutkan. Bahkan suara samar-samar yang biasanya
digunakan Hokage sekarang berubah menjadi lebih muram. Sikap Kakashi memberikannya
firasat yang sangat buruk.
Mata Shikamaru mengikuti tulisan yang terdapat dalam gulungan. Ketika sebagian besar
pesan Sai ditulis dengan tulisan yang sangat kecil dan halus menggunakan kuas tipis,
kalimat terakhir ditulis dengan besar, tebal dan kasar:
“AKU TIDAK MENGENAL SIAPA LAGI DIRIKU”
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 2
Kepada Hokage Keenam,
Tidak ada waktu lagi, jadi aku persingkat saja.
Investigasi yang kami lakukan atas dasar kekhawatiran anda telah selesai kami
lakukan sesuai tingkat yang anda spesifikasikan. Namun tak ada satupun dari 10 rekanku
yang kembali, dan aku hanya tinggal sendiri.
Aku tak tau apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Namun tak salah lagi, musuh
sudah menyadari keberadaan kami.
Aku akan langsung masuk ke pokok permasalahan.
Konflik internal di negara ini sudah jauh, sangat jauh lebih buruk dari yang anda
perkirakan. Jika kita membiarkan keadaan seperti ini, maka Persatuan Shinobi akan berada
dalam bahaya. Tidak, pada kenyataannya, aku percaya bahwa sudut pandang dunia akan
berubah.
Ada seorang pria yang membentuk negara ini.
Namanya adalah Gengo.
Negara ini ada karena Gengo, dan Gengo ada karena negara ini.
Tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa seluruh negara ini ada untuk
kepentingan Gengo.
‘Peningkatan‘. Itu adalah kata yang paling cocok untuk menggambarkan Gengo.
Gengo akan menjadi seseorang yang akan mengubah dunia.
Aku tak yakin apakah aku tak ingin dunia untuk berubah.
Makhluk yang disebut Shinobi tidak benar-benar dikaruniai anugrah, iya kan?
Karena kita menanggung beban, maka kita adalah shinobi.
Tapi apakah itu benar-benar merupakan hal yang baik?
Tuan Hokage.
Tidak, Kakashi-san.
AKU TIDAK MENGENAL SIAPA DIRIKU LAGI
Shikamaru mendongakkan kepalanya setelah membaca pesan dari Sai,
menghembuskan nafas kecil.
Kakashi duduk di meja kerjanya, sikunya menopang pada permukaan meja. Ia mengenakan
topi yang harus digunakan seluruh Hokage dalam setiap pertemuan resmi. Topi itu tampak
membebani rambutnya yang telah memanjang beberapa tahun belakangan ini. Setiap
bagian wajah di bawah hidungnya tersembunyi dibalik maskernya seperti biasa.
Ia menopang rahangnya dengan kedua tangan, menunggu reaksi Shikamaru dalam diam.
“Apa yang kau pikirkan?” ia bertanya dengan suara yang sangat jelas.
Tidak ada orang lain selain mereka di dalam kantor Hokage.
“Aku berpikir… Kenapa Sai lebih memilih untuk mengirimkan pesannya daripada
kembali kesini?”
“Itu adalah hal yang perlu dipertanyakan.”
Kakashi melepaskan topangan dagunya, bersandar sambil berpikir. Mendongak ke
arah langit-langit, ia menghembuskan nafas yang lebih besar dan keras dari yang
dilakukan Shikamaru sebelumnya.
“Dan tampaknya, jika dilihat dari pesan itu, semua anggota tim kecuali Sai telah jatuh
ke tangan musuh dan dibunuh, benar kah?”
“Tampaknya seperti itu.”
“Sai memimpin tim beranggotakan sepuluh Anbu paling terlatih. Aku pikir tidak
mungkin satupun dari mereka melakukan ha; konyol yang akan mengekspos keberadaan
mereka terhadap musuh. Jadi tampaknya musuh juga sangat ahli dan terlatih.”
“Ya…” sambil berbicara, Kakashi memutar kursinya perlahan. Ia memutar kursinya
sekali, sehingga Shikamaru menghadap bagian belakang kursinya, sebelum kemudian
berbalik lagi. Kakashi adalah pria yang selalu menurunkan bahunya meskipun dalam
keadaan yang paling serius.
Normalnya, ketika seseorang dihadapi situasi seperti ini, tubuhnya akan
membeku bersama dengan pikirannya. Kakashi memiliki maksud untuk
tampak tenang agar pikirannya tidak membeku. Ia telah belajar untuk menjaga pergerakan
tubuhnya selama bertahun-tahun menjadi shinobi yang sudah melihat begitu banyak
kejadian mengejutkan dan pembunuhan yang mengerikan.
Shikamaru melihat ke arah Kakashi dengan ekspresi gelisah di wajahnya. Ia
membuka mulutnya untuk berbicara.
“Saat Sai menyadari bahwa ia telah kehilangan seluruh rekannya, hanya ada satu hal yang
dapat ia lakukan.”
“Melarikan diri, bukan?” kata Kakashi, masih memandang langit-langit.
“Ya.”
Kakashi mengangguk kepada jawaban Shikamaru. Meskipun ia harusnya melihat langsung
ke arah Shikamaru, ia masih juga memandang ke arah langit-langit.
“Dan ia lebih memilih pesan seperti ini daripada kembali ke desa untuk memberi
laporan langsung kepadamu, Tuan Ho-“
“Berapa kali aku bilang padamu kalau Kakashi-san saja sudah
cukup?” ucap Kakashi, akhirnya menatap ke arah Shikamaru. “Sejak kapan kau menjadi
sangat kaku? Akan lebih baik jika kau bersikap santai seperti biasa.”
“Aku takkan menetap menjadi anak-anak selamanya.”
“Bahkan sekarang, Naruto tetap bersikap seperti anak-anak.”
“Naruto adalah Naruto.”
“Oh, begitu ya…”
Entah mengapa tatapan sedih tampak di mata Kakashi. Ia membentangkan gulungan Sai
di mejanya, membaca ulang pesan itu.
Sai dapat mengubah tulisannya menjadi makhluk yang dilukis menggunakan
tinta dan mengirimnya ke tempat yang jauh, dimana makhluk tinta itu dapat berubah
kembali menjadi tulisan jika berkontak dengan gulungan kosong. Elang yang Shikamaru
lihat di atap tadi adalah bentukan makhluk tinta dari tulisan Sai yang ia lihat sekarang.
“Situasinya jauh lebih buruk yang aku kira, huh…”
“Kedengarannya masuk akal jika kita katakan bahwa shinobi yang menghilang saat
perang, begitu pula yang menghilang belakangan ini, ada di negara itu.”
“Tampaknya itu adalah yang Sai maksud.”
“Negara Shijima…” (Negeri Sunyi).
Seluruh masalah menjadi semakin besar sejak dua tahun lalu..
Banyak nyawa yang terenggut selama Perang Dunia Shinobi yang dimulai oleh
Uchiha Madara dan Uchiha Obito. Dihadapi dengan kekuatan yang mengerikan di luar dari
kategori manusia, shinobi dari Lima Negara Besar Ninja mengumpulkan kekuatan mereka
dan berjuang bersama. Akhirnya, orang yang memanipulasi Madara, Ootsutsuki Kaguya,
dapat dikalahkan dan perang berakhir.
Saat seluruh desa memasuki periode pemulihan kedamaian dari perang,
mengumpulkan detail dan menentukan siapa yang terbunuh dan siapa yang hilang dalam
pertempuran adalah hal yang penting. Perang yang lalu merupakan pertempuran yang
sengit yang bahkan dapat menghancurkan tanah benua. Jika jenazah korban perang dapat
ditemukan, maka itu dapat disebut sebagai keajaiban.
Dibanding dengan jumlah shinobi yang telah diketahui gugur dalam perang, jumlah
shinobi yang tidak diketahui keadaannya jauh lebih besar.
Kelima Negara Besar Shinobi telah kehilangan kurang lebih 10,000 shinobi…
10,000 shinobi merupakan korban Perang Dunia Ninja ke-4.
Musuh-musuh mereka telah dilenyapkan dari muka bumi. Banyak yang mengatakan
bahwa sebuah keberuntungan yang sangat besar bagi mereka untuk dapat mengakhiri
perang dengan ‘jumlah kehilangan yang hanya sejumlah ini’.
Tapi bukan begitu cara Shikamaru memandang masalah ini.
Bahkan kehilangan satu orang bisa dianggap sebagai kehilangan yang terlalu besar.
Pada perang yang lalu, ia telah kehilangan temannya, Hyuuga Neji. Shikamaru tidak
berpikir bahwa rasa sakit dari kehilangan Neji hanyalah satu dari sepuluh ribu. Rasa sakit
yang sama seperti kehilangan Hyuuga Neji pasti juga dirasakan pada setiap korban yang
lain.
Pada kematian seseorang, ada sebuah emosi yang kau tak bisa pisahkan dari dirimu
dengan hanya menyebut mereka sebagai “sebuah pengorbanan”.
Karena alasan itu…
Karena alasan itu perang harus tak boleh terjadi lagi.
“Aku bertanya-tanya berapa banyak jumlah shinobi yang menghilang ke Negeri
Sunyi..” Kakashi menggumamkan pertanyaan yang sama yang melintas di pikiran
Shikamaru.
Tepat seperti yang Kakashi katakan. Diantara seluruh shinobi yang hilang dalam
perang, pasti ada sebagian kecil yang masih hidup namun berada di luar jangkauan.
Markas Besar Persatuan Shinobi yang pertama kali menyadarinya.
Sejak Markas Besar yang menangani permintaan untuk pertolongan dan
semacamnya, mereka lah yang pertama kali menyadari berbagai keadaan. Salah
satu masalah mulai muncul sekitar satu tahun lalu.
Permintaan pengiriman shinobi merosot tajam.
Sejak Lima Negara Besar Ninja memutuskan untuk membentuk Persatuan, jarang
sekali terjadi perseteruan antar Daimyo di luar Negara kekuasaannya. Sehingga
sangatlah wajar jika permintaan untuk misi berbahaya seperti misi peringkat A atau
peringkat B menurun.
Walaupun begitu, permasalahan belum selesai disini.
Bahkan permintaan misi yang relatif mudah seperti peringkat C dan peringkat D
juga merosot.
Shikamaru sudah mendengar masalah ini lebih dulu karena ia juga memiliki jabatan
di markas besar. Namun sepertinya tak ada yang dapat mereka lakukan untuk
mengatasi penurunan permintaan misi. Persatuan Shinobi menyatakan bahwa hal itu
adalah perubahan singkat seiring waktu, dan menutup permasalahan ini.
Bagaimana pun, ada seorang pria yang menyatakan bahwa ia mampu
menyelesaikan masalah penurunan permintaan misi, begitu pula dengan salah satu
masalah yang muncul sejak akhir perang.
Pria itu adalah Kakashi.
Masalah lain yang berniat Kakashi selesaikan adalah : kasus hilangnya para ninja dari
Lima Negara Besar Ninja yang terjadi selama satu tahun belakangan.
Sejak sekitar satu tahun lalu, setiap desa kehilangan seorang ninja setiap bulannya.
Itu artinya sudah 12 ninja yang hilang dari setiap desa hingga saat ini. Kelima desa
memiliki total 60 shinobi yang hilang. Terlebih lagi, mereka adalah shinobi pria yang masih
muda dan lajang.
Meninggalkan desa adalah sebuah kejahatan yang serius. Tentu saja, setiap desa
mengirim orang-orangnya untuk mengejar para pembelot tersebut, namun, tak satupun
yang ditemukan.
“Aku rasa aku telah melakukan hal yang salah dengan meminta Sai untuk
melanjutkan investigasinya ketika ia meminta mundur.” Ucap Kakashi. “Aku harusnya
menariknya kembali dan mempersiapkan mentalnya sebelum mengirimnya ke Negeri
Sunyi.”
“Menyesali hal itu sekarang tak akan mengubah apapun.”
“Itu benar.”
Sai, yang dikirim untuk melakukan investigasi kasus hilangnya para ninja, telah
mengirimkan pemberitahuan bahwa ia menemukan hal yang mencurigakan sekitar satu
bulan lalu. Kakashi yang percaya bahwa hilangnya para ninja dan kasus penurunan misi
saling berhubungan, memerintahkan Sai untuk meneruskan investigasinya dan
mengirimkannya Anbu sebagai back up.
Kecurigaan yang Sai temukan adalah Negeri Sunyi.
Negeri Sunyi dapat ditemukan jauh di sebelah barat benua yang berseberangan
dengan Lima Negara Besar Shinobi dan negara-negara disekitar mereka.
Negeri itu adalah negara yang belum pernah memiliki kontak dengan desa-desa shinobi—
atau dengan negara asing lainnya. Itulah mengapa negara itu disebut “Negeri Sunyi”
oleh pihak luar. Informasi yang diketahui tentang negara itu adalah bahwa negara
itu merupakan negara dengan samurai yang menjaga warganya agar tetap berada
pada jalurnya, dan seorang Daimyo yang menguasai dan mengatur para samurai. Walapun
begitu, informasi lainnya masih merupakan misteri.
Dan bukan hanya itu saja permasalahan mereka. Ada juga masalah shinobi Konoha
yang hilang saat perang.
Negeri Sunyi mengumpulkan shinobi yang hilang dalam pertempuran begitu juga
dengan shinobi yang meninggalkan desa…
Untuk alasan apa?
Kakashi dapat melihat alasannya dengan jelas begitu pula dengan jawaban atas
kasus penurunan permintaan misi di Persatuan Shinobi.
“Menurutmu apa yang terjadi pada Sai?” Kakashi bertanya.
“Ia masih hidup.”
“Baiklah, aku setuju dengan itu.” Bagian bawah masker Kakashi bergerak seakan
ia tersenyum. “Ketika kau melihat pujiannya yang obsesif terhadap ‘Gengo’ pada pesannya
ini…” Kakashi menyentuh tulisan yang halus dan rapi pada pesan Sai.
Mengetahui apa yang ia pikirkan, Shikamaru tetap berbicara.
“Ini bukan hal yang ingin kupercaya, tapi kita tidak dapat menghilangkan
kemungkinan bahwa Sai telah ditangkap oleh pria yang disebut Gengo ini.”
“Bagaimanapun, Sai begitu murni…”
“Jika Sai masih hidup, kita tak mungkin tidak menyelamatkannya.”
“Itu benar…” mata kiri Kakashi yang memiliki luka tampak menggelap
karena keputusasaan.
Shikamaru dapat mengatakan dengan tepat apa yang Kakashi akan katakan tanpa
perlu mendengarnya dengan jelas.
Situasi ini memiliki skala yang lebih besar dan lebih penting daripada
sekedar menyelamatkan seorang rekan.
Shikamaru sendiri yang memaksa dirinya untuk mengeluarkan kata-kata tersebut.
“Jika konflik internal Negeri Sunyi benar-benar seperti apa yang Sai laporkan, jika
kejadian aneh terjadi di wilayah yang kau perkirakan, maka kita harus mengambil langkah
sesegera mungkin.”
“Aku tahu itu.”
Shikamaru tak berhenti bicara.
“Sudah dua tahun sejak perang berakhir. Seluruh desa akhirnya telah
mencapai kestabilannya, namun status negara keseluruhan masih terhitung setengah dari
kekuatan yang seharusnya.”
“Kita tidak mungkin dapat mencegah perang yang mungkin terjadi.”
“Tepat sekali.”
Kakashi menghembuskan nafas lagi, kemudian berdiri dari kursinya. Ia
melangkah mengitari mejanya yang terdapat tumpukan gulungan dan buku dan berdiri di
sebelah Shikamaru.
“Tampaknya kau memiliki kesimpulan yang sama denganku.” Ucap Kakashi.
“Ya.”
“Kalau begitu apakah kau mengerti apa yang aku pikirkan?”
“Kau ingin pergi dan melakukannya sendirian, iya kan?”
Kakashi memiliki banyak pengalaman selama masa mudanya sebagai Anbu. Ia yang paling
menonjol diantara para Anbu, yang memiliki keahlian dalam misi keji, sebagai
seorang prajurit yang kapabel.
Shikamaru dapat membaca pikiran itu dari wajahnya, kemudian menghembuskan
nafasnya.
“Tuan Hokage, aku sangat mengerti perasaanmu, tapi kau juga harusnya tau kalau apa
yang kau inginkan itu tidak akan terjadi.”
“Heh. Kecepatan pemikiranmu itu hampir secepat jurus Minato-sensei, kau tahu itu?”
Shikamaru memberikan tatapan yang panjang sebagai jawabannya. Kakashi
melanjutkan pembicaraannya untuk menghadapi keheningan Shikamaru.
“Ngomong-ngomong, menurut apa yang dikatakan Sai, pemimpin dibalik negara itu
adalah seorang pria yang disebut Gengo.”
“Ya.”
“Selama kita dapat melakukan sesuatu terhadapnya, maka tidak akan ada masalah
yang lebih jauh.”
“Itu seperti yang aku pikirkan.”
“Kalau begitu…”
Dengan meletakkan tangannya di tengah punggungnya dan melakukan peregangan
layaknya pria tua, Kakashi berkata, “Menurutmu siapa yang harus dikirim?”
“Aku akan pergi.”
“Huh?” mata Kakashi melebar. “Kau adalah perwakilan Konoha. Kau juga memiliki banyak
tugas di Persatuan Shinobi. Kau tidak perlu pergi untuk misi
pembunuhan pada saat seperti ini.”
Pembunuhan…
Kakashi akhirnya merealisasikan hal itu dalam bentuk kata-kata. Pemikiran yang sedari
tadi berada di kepala mereka kini telah dikeluarkan.
Jika Persatuan Shinobi dan Negeri Sunyi akhirnya berperang, maka persatuan yang
telah memakan waktu lama untuk pembentukannya akan terganggu, dan kemungkinan
akan pecah. Semua negara masih dalam keadaan lelah meskipun berada dalam masa
pemulihan—tak ada seorangpun yang menginginkan perang.
Jika pesan dari Sai dapat dipercaya, maka membunuh ‘Gengo’ akan menjadi jalan yang palin
cepat dan efektif untuk menghentikan Negeri Sunyi yang berusaha
mengganggu perdamaian dunia yang sulit untuk dicapai.
“Kita harus menjaga ruang lingkup pihak yang tahu akan masalah ini agar menjadi
sekecil mungkin.” Ucap Shikamaru.
“Namun kuberitahu kau, untuk melakukan misi ini…”
“Salah satu dari temanku telah ditangkap. Tolong izinkan aku pergi.”
Kakashi berhenti berbicara ketika ia melihat kebulatan tekad Shikamaru.
Seperti yang Kakashi katakan, tidak ada hal yang membuat Shikamaru perlu
melaksanakan misi ini. Akan lebih baik jika mencari orang lain yang lebih kapabel dan
mempercayakan hal ini pada mereka.
Namun, Shikamaru sendiri yang mengajukan dirinya.
Ia pun tak mengerti mengapa ia melakukannya.
Tapi ia tak bisa hanya tinggal diam.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 3
–
“Dan dengan ini, pertemuan bulan ini berakhir. Apakah ada yang ingin bertanya?”
Shikamaru memejamkan matanya saat mendengar suara yang terdengar tidak puas
pada pertemuan ini. Pria berkacamata yang berbicara adalah Chojuro, shinobi dari
Kirigakure. Shikamaru mengenalnya saat perang, ia merupakan salah satu bodyguard
Mizukage.
“Jika tidak ada yang ingin bertanya, kalau begitu, Shikamaru-san…” Chojuro
berbicara dengan nada permohonan dari tempat ia duduk, disebelah Shikamaru.
Shikamaru membuka mata kanannya untuk melihat ke arah Chojuro, kemudian
perlahan membuka keduanya.
Sepuluh shinobi duduk mengitari meja yang berbentuk lingkaran; baik pria maupun
wanita, semuanya rata-rata seusia dengan Shikamaru.
Mereka berada di Negeri Besi (Tetsu no Kuni); Markas Besar Persatuan Shinobi.
Negara ini memiliki sejumlah besar samurai yang kuat, karena itu mereka tidak
membutuhkan seorang shinobi pun. Sebelum perang, kelima Kage dari Lima Desa Besar
Tersembunyi mengadakan pertemuan di negara ini, dan sekarang, negara ini menjadi
Markas Besar Persatuan Shinobi. Markas Besar Persatuan Shinobi telah ditetapkan di
Negara Besi, tempat dimana aliansi pertama kali dibentuk.
Seluruh desa terkemuka dari kelima Negara Besar Shinobi menugaskan beberapa
shinobinya untuk mengadakan pertemuan di markas besar, dan—tak peduli siang ataupun
malam—melanjutkan kerja keras mereka demi perluasan dunia ninja secara keseluruhan.
Pertemuan ini dipenuhi oleh orang-orang yang menopang beban era dunia shinobi
yang selanjutnya. Tempat ini merupakan tempat dimana masa depan Shinobi
didiskusikan. Shinobi yang dikirim untuk pertemuan ini merupakan shinobi yang
berkapabel di desanya, yang dipertimbangkan sebagai kandidat Kage ataupun jabatan
lainnya. Diantara mereka, Shikamaru dan Chojuro adalah yang paling muda.
Selain Shikamaru dan Chojuro, yang memimpin rapat, ada juga Temari dari Sunagakure,
dan Omoi dari Kumogakure.
Shikamaru ditugaskan sebagai pimpinan dari pertemuan shinobi ini. Tentu saja, ia
tidak mengajukan dirinya. Ini merupakan hasil rekomendasi dari semua orang.
“Shikamaru-san?” suara Chojuro terdengar seperti khawatir akan keheningan
Shikamaru yang berkepanjangan.
Shikamaru berdeham, melihat kearah seluruh anggota, membuka mulutnya untuk bicara.
“Saya yakin bahwa kita tidak memiliki topik baru untuk dibicarakan pada pertemuan
ini. Saya berharap pertemuan-pertemuan berikutnya dapat berjalan singkat seperti ini.
Dengan begitu, sampai bertemu lagi bulan depan.”
Seusai menutup pertemuan itu, Shikamaru segera melangkahkan kakinya, mengumpulkan
semua gulungan dan dokumen yang tersebar sepanjang meja, melipat dan menggulungnya,
kemudian bersiap untuk meninggalkan ruangan
Karena bingung akan sikap pemimpinnya yang dingin, anggota lainnya bersiap
meninggalkan ruangan dengan segera. Semua orang keluar ruangan menuju dua lorong di
kanan dan di kiri.
Meskipun begitu banyak shinobi yang berjalan di lorong dengan gelisah, tak satupun
suara langkah mereka yang terdengar. Bagaimanapun juga mereka adalah shinobi. Suara
langkah orang lain pasti dapat terdengar, namun tidak dengan suara langkah shinobi. Itu
merupakan hal yang paling mendasar dari hal-hal dasar yang diajarkan di akademi ninja.
“Oi.” Sebuah suara memanggilnya dari belakang.
Shikamaru mendecakkan lidahnya dengan gelisah. Saat ini, pemilik suara itu adalah
orang yang paling tidak ingin ia ajak bicara.
Ia terus melangkah seolah tak mendengar panggilan itu.
“Tunggu, Shikamaru!”
Suara itu terasa seperti menghantamnya dari belakang.
“Ada apa?” Shikamaru menolehkan kepalanya untuk sekedar melihat wanita di
belakangnya dari balik bahunya.
Temari dari Suna. Rambutnya kini lebih pendek dibanding dua tahun lalu, dan
sekarang diikat dua pada bagian kanan dan kiri. Wajahnya tampak seperti orang dewasa,
matanya tampak lebih teduh dibanding dulu.
Ia lebih tua dari Shikamaru. Daripada mengatakan bahwa ia terlihat seperti orang
dewasa, akan lebih tepat jika dikatakan bahwa ia telah tumbuh menjadi orang dewasa
yang menawan.
“Ada apa dengamu?” Tanyanya.
Matanya tampak seperti lebih sayu dibanding dulu.
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Kau bersikap aneh belakangan ini.” Temari mengulurkan tangannya yang ramping
untuk menggapai pundak Shikamaru, memutarnya agar menghadap ke arahnya.
Merepotkan…
Kata yang hampir keluar dari tenggorokannya itu kembali ia telan dengan penuh
ketakutan.
“Seperti sikapmu yang dingin pada pertemuan tadi.” Ia berkata, “Kau membuat
keputusan tanpa mengungkapkan sepatah kata atau memberikan penjelasan, itu membuat
semua orang gugup, atmosfir berubah menjadi tegang.”
“Oh ya?”
“Kau bahkan tidak menyadarinya…?” Mata Temari sedikit melebar. “Apa ada yang salah?”
“Tidak ada…”
“Ada hal yang tak ingin kau beritahukan padaku, benarkah itu?”
Tatapan Temari seperti terluka.
Sejak perang usai, terhitung sudah dua tahun Shikamaru telah bekerja sama dengan
Temari. Temari merupakan partner yang baik dan pengertian. Mereka berdua berbagi
perasaan yang sama, yaitu tidak ingin seluruh shinobi yang telah dipersatukan terpisah
kembali, begitu juga dengan niat mereka untuk bekerja sama dan membangun Persatuan
Shinobi sebaik mungkin.
Jika kalian melihat ikatan yang kuat antara Naruto, yang bertekad untuk menjadi Hokage
Konoha, dan Gaara, Kazekage Suna, maka dapat dikatakan dengan mudah bahwa ikatan
antara Suna dan Konoha merupakan yang terkuat diantara desa lainnya. Begitu juga
dengan kekuatan eksternal seperti dalam pekerjaan, maka wajar jika Shikamaru dan
Temari telah mencapai tahap dimana mereka memberikan dukungan yang terbesar satu
sama lain di Persatuan Shinobi.
“Sesuatu sedang terjadi di Konoha, kan?”
Temari sudah membuat tebakan yang tepat. Namun, ia melewatkan satu hal
kecil. Situasinya tidak terjadi di Konoha, meskipun situasinya mempengaruhi seluruh
shinobi Konoha. Teori Temari setengahnya benar, setengahnya salah.
Jika ada suatu hal yang tak mengubah hidup shinobi, maka itu adalah ketika segala hal
yang telah melewati perbatasan desamu, harus segera didiskusikan dengan desa lainnya.
Ini merupakan aturan dasar Persatuan Shinobi. Langkah yang diambil oleh Shikamaru dan
Kakashi jelas-jelas merupakan sebuah pelanggaran.
Namun, walaupun terdapat peraturan tak langsung tersebut, Shikamaru masih tak
berniat untuk mengatakan hal itu pada Temari. Sebuah langkah yang tidak bijak untuk
melibatkan seluruh Persatuan ke dalam urusan Negeri Sunyi.
Konoha akan menangani masalah ini sendiri…
Ia sendiri yang akan menanganinya.
“Kau tak bisa mengandalkanku dalam hal apapun?”
“Tidak.”
Nada Shikamaru yang tajam membuat mata Temari meredup.
“Jadi seperti itu…”
Sebuah tinju melayang tepat setelahnya.
Selang sedetik, wajah Temari yang menampakkan ekspresi tersinggung berubah
menjadi kemarahan besar. Tak ada waktu lagi untuk menghindarinya. Bahkan sebelum
Shikamaru menyadari apa yang sedang terjadi, tubuhnya sudah melayang ke arah lain.
Tubuhnya terguling di lantai lorong sebelum akhirnya terduduk. Ia
terdiam kemudian menggerakkan tangannya untuk menyentuh pipinya yang
memerah dan terasa pedih menyengat.
Temari menatapnya dengan menampakkan ekspresi kemarahan di wajahnya.
“Aku tak percaya bahwa aku salah menilaimu selama ini!” Ia berteriak dengan
penuh amarah, kata-katanya seolah berubah menjadi angin yang menghantam wajah
Shikamaru.
“Aku- aku minta maaf…”
Permintaan maaf itu meluncur tanpa disadari.
Dulu sewaktu ayahnya baru pulang saat matahari terbit, ibunya memaki ayahnya di
depan pintu masuk. Entah bagaimana, Shikamaru menemukan dirinya dimaki dengan
makian yang serupa oleh Temari.
Temari melangkah melewati Shikamaru dengan langkah yang besar dan cepat,
kemudian menghilang dibalik punggungnya.
Sudut matanya tampak sedikit basah…
*
“Kau sudah berhenti makan.”
Suara itu merupakan suara Chouji yang duduk di depannya, kedua pipinya
menggembung terisi makanan. Ino duduk disebelahnya.
Mereka berada di Yakiniku Q.
Dua tahun setelah perang, kedua temannya sudah tumbuh dewasa. Chouji masih
tetap gemuk seperti biasanya, namun matanya menampakkan perawakan yang maskulin,
dan kini ia memiliki jenggot. Rambut Ino tumbuh panjang dan lebih panjang
lagi, ia membiarkan poninya yang panjang terurai, tampak lebih dewasa daripada
sebelumnya.
“Apa kau makan sesuatu sebelum kemari?” Chouji membuka mulutnya untuk
melahap daging lagi, mengunyahnya dan kemudian menelannya.
“Shikamaru dan aku sudah berhenti tumbuh sejak lama, jadi kami tidak makan
secara berlebihan sepertimu, Chouji.”
“Hey!” Mata Chouji membelalak karena marah.
Shikamaru tertawa lepas. Rasa tenang menyelimuti hatinya. Rasanya sudah lama.
“Aku sengaja datang untuk makan siang bersama kalian, jadi untuk apa aku makan sebelum
kemari?” Shikamaru mengarahkan sumpitnya menuju potongan daging yang hampir
gosong.
Sepasang sumpit lainnya menghadang sumpit Shikamaru.
“Hey, tadi aku yang memanggang potongan daging itu!” Protes Chouji.
“Baiklah, baiklah.”
Mereka telah melalui saat-saat seperti ini berkali-kali sebelumnya. Shikamaru
melepaskan potongan daging itu, menuju daging potongan daging di sebelahnya. Ia melirik
ke arah Ino, yang mengangguk memberikan persetujuan.
“Sudah lama sejak terakhir kali kau mengajak kami keluar, Shikamaru.” Ucap Ino.
“Iya,” Chouji menimpali, “Belakangan, aku sangat jarang bertemu denganmu
kecuali jika kita mengatur waktu seperti ini.”
“Shikamaru punya banyak pekerjaan di Persatuan Shinobi dan ia juga membantu Hokage.
Dia sangat sibuk, Chouji, tidak bisa terlalu sering pergi bersama kita.”
“Aku mengerti, tapi…” Chouji meletakkan kedua tangannya di atas meja,
pipinya menggembung karena merengut.
Ketika sebagian dari diri Shikamaru merasa senang karena mereka menyadari
ketidakhadirannya, sebagian lainnya merasa kesepian, seperti ada jarak yang memisahkan
mereka dengan dirinya.
Jika ia ingin menjadi orang dewasa, maka ia harus berhenti berpikir seperti anak-
anak. Mereka sudah lama lulus dari Akademi. Semua hal tidak sama lagi seperti dulu saat
ia bisa bermain bersama teman-temannya hingga menjelang malam.
Sama seperti Shikamaru yang dibanjiri dengan pekerjaan dari organisasi dan tanggung
jawabnya pada Konoha, Ino dan Chouji yang telah berjuang pada perang yang lalu, menjadi
Chuunin yang hebat dan dapat diandalkan. Disaat mereka mengatakan ini semua
karena Shikamaru yang sangat sibuk, sebenarnya mereka juga memiliki waktu bebas
yang sama sedikitnya.
Dan juga, mereka datang untuk bertemu dengan Shikamaru tanpa mengeluh,
karena Shikamaru berkata bahwa ia ingin menemui mereka.
Mereka adalah teman yang paling lama dan paling dekat dengannya.
“Ada apa?” Ino bertanya saat ia melihat sumpit Shikamaru mengambang di udara,
tak bergerak.
“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin bertemu kalian sebentar.” Shikamaru
memasukkan potongan kecil daging ke mulutnya.
“Ah, oke.”
Ino tidak bertanya apa-apa lagi setelah itu. Chouji melanjutkan menikmati
kegiatan memenuhi mulutnya dengan daging.
Lalu, ketiganya mulai mengobrol. Obrolan ringan dan konyol.
Cinta abadi Chouji pada makanan.
Kisah cinta Ino, seperti biasanya.
Kemudian, mengenang Asuma…
Shikamaru dapat merasakan jarak yang memisahkannya dengan teman-
temannya berkurang. Rasanya seperti kembali ke waktu pertama kali Asuma membawa
mereka kesini.
Pada masa itu, hidupnya penuh dengan keluhan tentang semua hal yang ‘merepotkan’…
Ketika melihat Chouji dan Ino yang sudah tumbuh dewasa. Shikamaru menyadari betapa
mereka tak akan bisa kembali ke masa-masa itu.
–
Shikamaru pulang ke rumah sendirian.
Hingga penghujung hari, ia tak mampu memberitahukan mereka.
Ia awalnya berpikir jika ia akan pergi ke Negeri Sunyi, maka ia akan mengajak
mereka berdua. Ia bermaksud mengajak mereka makan untuk mebicarakan hal tersebut.
Tapi saat melihat senyum di wajah mereka, entah bagaimana ia tak mampu berkata
apapun.
Jalan ia ia tempuh merupakan jalan yang gelap.
Demi Konoha, demi Persatuan Shinobi, demi kehidupan setiap shinobi, seseorang
harus dibunuh.
Dalam keadaan ini, kemenangan tak dapat diraih dengan cara yang wajar, dan karena
itu, pria itu harus dibunuh secara diam-diam.
Pembunuhan.
Pembunuhan bukanlah hal yang baru untuk shinobi. Seiring dengan waktu, cepat
atau lambat kau akan menyadari bahwa hal itu merupakan hal yang biasa di dunia ini.
Namun, tetap saja…
Adalah hal yang baik untuk memperkecil jumlah orang yang harus melakukan
pekerjaan kotor tersebut. Ia tak sampai hati untuk membawa serta Chouji dan Ino ke
jalan penuh kegelapan ini.
“Jadi, sepertinya Anbu…”
Shikamaru mendongak ke arah langit malam, dan tak satupun bintang yang tampak.
Bersambung…
General Links:
Shikamaru Hiden, Chapter 4
–
Shikamaru sedang berasa di ruangan Kakashi. Hokage Keenam itu dikelilingi oleh
segunungdokumen seperti biasanya. Ia menandatangani dokumen-dokumen itu secepat
kilat seakan hanya menunggu waktu hingga ia melemah karena kelelahan
Jendela sepanjang ruangan itu dibiarkan terbuka, dan kalian dapat melihat jalanan
di sepanjang Konoha. Desa itu tampak bersinar dibawah teriknya matahari pagi,
semuanya dibalut dalam atmosfirlembut yang menenangkan.
“Aku sudah membuatmu menunggu.” Ucap Kakashi sembari merapikan seberkas dokumen
di mejanya. “Ada urusan apa kau datang kemari?”
“Negeri Sunyi.”
“Ah, itu ya…”
Shikamaru masih belum menyelesaikan laporannya tentang pertemuan Persatuan
Shinobi yang lalu. Tidak ada hal yang terlalu penting dalam laporan itu, jadi ia
meninggalkannya.
“Semuanya berjalan seperti biasa di Persatuan Shinobi. Organisasi itu terdiri dari orang-
orang yang berkapabel, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Kau adalah salah satu dari orang-orang yang berkapabel itu.”
Apakah itu benar? Apakah ia benar-benar merupakan orang yang pantas untuk
mewakili Konoha?
“Apa kau benar-benar berniat untuk pergi?” Tanya Kakashi.
“Ya.”
Kakashi menghembuskan nafas yang besar karena jawaban itu.
“Apa kau benar-benar harus pergi?”
“Sai sudah tertangkap. Desa kita sudah kehilangan shinobi dengan jumlah yang besar,
baik mereka yang hilang saat perang maupun yang hilang setelahnya. Apakah mereka
pergi dengan keinginan sendiri atau mereka ditangkap oleh Gengo adalah hal yang harus
kita verifikasi.
“Tekadmu sudah sangat bulat, huh.”
Shikamaru mengangguk dalam diam.
Kakashi memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia kembali melihat ke arah
Shikamaru.
“Aku mengerti. Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Menurutmu siapa yang akan
kau bawa? Kau tidak berencana pergi sendiri, kan?”
“Bisakah kau menyiapkan dua Anbu untukku?”
“Huh…” Kakashi menopang dagunya dengan satu tangan, sikunya berada di atas
meja. Matanya menampakkan ekspresi serius. “Kenapa tidak Ino dan Chouji?”
“Kombinasi InoShikaChou dapat digunakan untuk serangan diam-diam, namun aku
rasa tidak cocok digunakan dalam misi ini.”
“Karena ini misi pembunuhan, kan?”
“Terlebih lagi, penyelinapan adalah hal penting dalam misi ini. Aku butuh orang yang dapat
menyembunyikan chakra.”
“Hmm…”
Kakashi memejamkan matanya dan berpikir. Ia memikirkan permintaan Shikamaru
danmencocokkannya dengan beberapa rencana di kepalanya.
“Yang melakukan serangan untuk membunuh bukan kau, kan?”.
“Aku berniat menggunakan jurusku untuk mengunci target.”
“Kalau begitu kau membutuhkan seseorang yang akan melakukan serangan
untuk membunuh.” Kakashi menyimpulkannya terlebih dahulu. Ia mengerti apa yang
Shikamaru pikirkan.
Dua orang Anbu…
Satu orang yang dapat memanipulasi chakra dan menyembunyikan keberadaan
mereka. Satu orang lagi memiliki jurus yang dapat digunakan sebagai serangan untuk
membunuh.
“Aku tahu orang-orang yang cocok.” Ucap Kakashi.
“Terima kasih.”
“Aku akan mengaturnya.”
“Apa kau tidak punya hal lain yang ingin dibicarakan mengenai tugasku?” Tanya
Shikamaru.
“Tidak ada tugasmu yang lain yang lebih mendesak dari masalah ini” Ucap Kakashi, dan
saat itu kaudapat merasakan bahwa ia benar-benar merupakan seorang Hokage.
Ia memperhitungkan berbagai permasalahan penting dengan tenang, dan
membuat keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dengan cepat dan tegas . Karena
kemampuannya lah shinobi dapat bekerja dibawahnya tanpa khawatir dan memberikan
segalanya untuk desa. Shikamaru berpikir mereka mungkin tak akan bisa melakukan
apapun tanpanya.
Ia tak pernah berpikir seperti ‘aku ingin menjadi Hokage’. Akan tetapi, bohong
jika mengatakan bahwa iya tidak merasa sedikitpun termotivasi untuk tumbuh. Di depan
pria seperti Kakashi, Shikamaru masihlah muda dan belum berpengalaman, tak
bisa dibandingkan dengannya, dan itu membuatnya frustasi.
“Aku akan memerintahkan mereka untuk segera kembali. Kau bisa menunggu sedikit
lebih lama, kan?”
“Tolong lakukan secepat mungkin.”
“Aku mengerti.” Kakashi tersenyum dibalik maskernya dan berdiri. Ia
membelakangi Shikamaru, menerawang ke arah pintu.
“Kau tidak perlu terlalu membebani dirimu sendiri, kau tahu kan.” Gumam Kakashi.
Shikamaru tak menjawab.
Membebani dirinya sendiri…
Mungkin bisa dibilang begitu.
Di satu sisi yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, Shikamaru entah bagaimana,
berakhir dengan memikul banyak—begitu banyak beban.
Meskipun ia mengatakan bahwa semua hal itu merepotkan, entah bagaimana ia
akhirnya bertingkahtidak seperti dirinya, dan memikul begitu banyak hal. Meskipun semua
beban ini menjadi terlalu berat untuk dipikulnya, ia pun tak bisa membiarkannya begitu
saja.
Shikamaru sebenarnya juga takut.
Ia merasa bahwa ia bisa menyingkirkan segalanya, dan kehilangan dirinya
dalam prosesnya. Ia bisa kembali menjadi seseorang yang selalu mengatakan semua hal
itu merepotkan. Jika iamenyingkirkan semua kewajiban dan bebannya untuk
sesaat, bukankah besar kemungkinan bahwa ia tak akan mengambilnya lagi?
Dan ketika hal itu terjadi, maka apakah itu merupakan keadaan dimana tak ada lagi yang
membutuhkannya?
Pikiran itu sendiri sebenarnya sangatlah menakutkan.
“Aku ingin memberitahumu apa yang kupikirkan sekarang.” Kakashi mengangkat
tangan kirinya ke udara, membiarkan sekelibat petir muncul. “Saat ini, aku sangat ingin
mengabaikan semua kewajibanku sebagai ke Hokage dan pergi ke Negeri Sunyi.”
Shikamaru dapat mendengar jelas jeritan frustasi dari hati Kakashi: bagaimana seorang
pria ingin mengabaikan segalanya untuk pergi dan membunuh Gengo dengan kedua
tangannya.
Tapi tanggung jawabnya sebagai Hokage tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.
“Sejujurnya,” Ucap Kakashi “Aku merasa…adalah hal yang tidak pantas bagiku
untuk membebanimu dengan hal ini.”
“Naruto dan aku, dan semua teman-teman sebaya kami, sudah menempati posisi
dengan berbagai beban dan tanggung jawab. Kau tak perlu memikulnya sendirian.”
“Apa memang begitu…”
Petir ditangan Kakashi lenyap tanpa menjadi apa-apa.
“Shikamaru.” Kakashi melirik ke arah pemuda berklan Nara itu. “Aku terkadang berpikir
apasebenarnya arti menjadi dewasa.”
“Tolong jangan tanyakan padaku jawabannya.” Shikamaru menghela nafas.
–
“Aku akan datang lagi.” Shikamaru berbicara pada batu nisan. Berpaling sejenak,
matanya terpaku pada nama yang terukir pada batu itu: Nara Shikaku.
Secara natural, ia ingin mengunjungi makam ayahnya setelah pertemuannya dengan
Kakashi usai.
Apa artinya menjadi orang dewasa? Ia merasa seperti akan menemukan jawaban
dari pertanyaan Kakashi disini.
Pada Perang Dunia Shinobi ke-4, ayahnya bersama kelima Kage berada di markas besar
aliansi.Setelah kelima Kage berangkat ke garis depan pertarungan
karena parahnya keadaan perang, ayah Ino dan ayah Shikamaru ditugaskan untuk
memberi arahan kepada seluruh pasukan.
Kemudian, Obito telah membangkitkan Juubi dan membuatnya meluncurkan Bijuudama-
nya untuk membuat kekacauan diantara pasukan aliansi. Saat serangan yang mematikan
itu mendekat, waktuterakhir Shikaku dihabiskan untuk berpikir dan mengatur strategi
selanjutnya untuk pasukan aliansi.
Ia telah menjadi seorang Shinobi hingga akhir hidupnya.
Tidak…
Kenyataannya adalah, hingga akhir hidupnya, Shikaku telah menjadi seorang ayah.
Meskipun yang mengetahui kebenaran itu hanya Shikamaru, putranya.
Sebenarnya apa arti menjadi orang dewasa?
Shikamaru memikirkan hal itu sesaat.
Setelah memberikan salam perpisahan pada makam ayahnya, kaki Shikamaru melangkah
ke makam yang selanjutnya ingin ia kunjungi.
Makam gurunya.
Sarutobi Asuma…
Ia adalah seorang pria yang telah meninggalkan kehidupan elit yang ia
sandang sebagai darah daging Hokage Ketiga, dan lebih memilih untuk berjaga di garis
depan.
Setelah Shikamaru lulus dari akademi, dibawah didikan Asuma–lah ia dibesarkan
sebagai shinobi seperti sekarang ini. Bersama Ino dan Chouji, ketiganya terus-menerus
mengikuti jejak Asuma,berjuang dalam berbagai misi.
Asuma, yang melewati berbagai keadaan krisis dengan rokok di mulutnya dan sikapnya
yang santai, telah menjadi inspirasi bagi Shikamaru.
Dan kini, Asuma tak dapat ditemukan lagi di dunia ini.
Ia gugur dalam pertarungan melawan kelompok ‘Akatsuki’ yang berencana untuk
menguasai dunia.
Ia mati demi menjaga agar Shikamaru tetap hidup…
Asuma sudah mengetahui bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menang melawan
kemampuan yang tak seperti manusia dari anggota Akatsuki yang mereka hadapi, dan
gugur karena mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi Shikamaru dan rekannya yang
lain.
Ia juga telah menghabiskan waktu terakhirnya untuk memikirkan orang lain.
Shikamaru belum menemukan sesuatu yang membuatnya mempertaruhkan
nyawanya demimelindunginya.
Tentu saja, semua orang di desa ini dan semua temannya sangat berharga untuknya.
Namunperasaan itu berbeda dengan rasa ingin melindungi yang ditunjukkan oleh ayahnya
dan Asuma.
Mungkin itu artinya Shikamaru belum menjadi orang dewasa.
Awalnya ia berpikir bahwa kata ‘dewasa’ yang ambigu mengacu pada seorang
anak yang karena suatu hal terjebak dalam tubuhnya sendiri.
Dalam kasus itu, bahkan Kakashi pun hatinya masih seperti anak-anak.
Namun Kakashi telah memiliki sesuatu yang membuatnya akan menukarkan
nyawanya untuk melindunginya.
‘Untuk seorang Hokage, setiap orang di desa adalah anaknya’. Itu adalah kata-kata dari
Ayah Asuma, Hiruzen, Hokage Ketiga.
Mungkin ketika Kakashi memilih untuk menjadi Hokage, maka ia telah menjadi
orang dewasa.
Ia tidak lagi yakin tentang hal itu…
“Shika niichan!”
Shikamaru tersadar dari lamunannya karena suara riang yang mencapai telinganya.
Seorang balita montok yang terhuyung-huyung menuju ke arahnya. Berayun ke kiri
dan kanan menggunakan kaki kecilnya yang kikuk, ia berjalan ke arah Shikamaru
selangkah demi selangkah.
“Mirai.” Shikamaru memanggil namanya, suaranya secara natural berubah menjadi
ceria dan penuh perasaan. Rasa tegangnya melunak, dan bibirnya bergerak membentuk
senyuman.
“Gyaa!” Mirai kemudian menuju ke tempat ia berdiri, dan memeluk kakinya dengan
tanganpendeknya yang kecil. “Shika niichan!”
Balita itu menatapnya dengan matanya yang cerah, wajah mungilnya tersenyum
lebar. Senyum balita itu seperti matahari, dan Shikamaru dapat merasakan hatinya yang
beku mencair karena kehangatannya.
“Sudah lama ya, Shikamaru.”
“Kurenai-sensei.” Shikamaru memberi salam kepada wanita berambut gelap
yang merupakan ibu dari Mirai.
“Aku bukan seorang sensei lagi, berhenti memanggilku seperti itu.” Katanya sambil
tertawa.
Sarutobi Kurenai…
Sebenarnya, ia merupakan seorang jounin pemimpin seperti Kakashi dan Asuma,
yang bertanggung jawab untuk memimpin tim yang beranggotakan beberapa teman
sekelas Shikamaru. Namun sekarang ia adalah seorang ibu yang
mengabdikan seluruh waktunya untuk merawat anaknya.
“Kau datang untuk mengunjungi makam Asuma?” Tanyanya.
“Iya.”
“Dan makam ayahmu?”
“Aku baru saja mengunjunginya.”
Sembari mendengar pembicaraan mereka dan masih memeluk kaki Shikamaru,
Mirai tersenyum dan mengangkat kepalanya.
“Shika niichan! Bertemu ayah!”
Meskipun balita itu baru bisa menggunakan kalimat yang terputus-putus, ia
memiliki keinginan yang besar untuk mengungkapkan apa yang ia ingin katakan. Saat
melihat ke arah Mirai, hati Shikamaru menghangat.
Untuk menjadi guru dari anak ini…
Adalah janji yang ia buat pada Asuma dan Kurenai.
“Aku tahu, kau kesini untuk bertemu ayahmu, huh?” Shikamaru berjongkok agar ia
dapat berbicara dengannya, mata bertemu mata.
Mirai mengangguk senang karena merasa dimengerti.
“Wah, hebat sekali, Mirai.” Ucap Shikamaru, menepuk kepala Mirai dengan lembut.
Rasa lembut dari rambut balita yang masih halus itu menjalar di lengannya hingga
mencapai hatinya, berubah menjadi rasa tenang yang menyeruak ke dalam perasaannya.
“Cepatlah besar, oke?”
“Mm.”
“Kau benar-benar menyayangi Shikamaru niichan-mu, huh Mirai?” Ucap Kurenai.
Mirai mengangguk dengan antusias hingga ia hampir terjungkal ke depan, dan
Shikamarumenggapai untuk menangkapnya dengan kedua tangan.
Demi anak ini, dia benar-benar tak boleh pergi hanya untuk mati…
“Betul sekali!”
Mirai mengatakan kalimat itu pada waktu yang tepat, seolah ia dapat membaca
perasaan Shikamaru.
“Baiklah, terima kasih telah menyukaiku.”
Shikamaru menggendong Mirai dan mengangkatnya ke udara. Anak perempuan berusia
dua tahun itu tertawa girang. Shikamaru berpikir pada dirinya sendiri sekali lagi, lebih kuat
dari sebelumnya.
Aku benar-benar tidak boleh mati.
Bersambung…
General Links:
Shikamaru Hiden, Chapter 5
–
Berdiri di depan Shikamaru, dua wajah baru berwarna putih: kucing dan kera.
Tentu saja, kedua wajah hewan itu hanyalah topeng, dan dari leher ke bawah
berbentuk manusia. Mereka menggunakan seragam hitam pekat yang melekat pada
kulitnya, begitu juga jaket pelindungKonoha yang baru didesain ulang.
Jaket pelindung yang lama memiliki saku di kedua sisinya pada bagian dada agar shinobi
dapat menyimpan gulungan atau peralatan ninja, namun desain yang baru sudah tidak
menggunakannya lagi dan membuatnya lebih sederhana. Ini merupakan efek samping dari
era perdamaian yang telahterwujud setelah perang berakhir.
Dimana terlukis mata di topeng kedua Anbu tersebut, terdapat lubang seperti goa yang
dalam dan gelap. Pada kedua topeng itu terlukis mulut yang tipis, melengkung dari pipi ke
pipi. Pada topeng kucing terlukis garis tipis berwarna merah di bawah matanya. Pada
topeng kera terlukis alis merah tebal yang membuatnya terlihat seperti sedang marah.
Kedua Anbu itu mengaitkan tangannya dibalik punggungnya, dan celah mata pada topeng
mereka membuat Shikamaru merasa sedang diawasi.
“Ini mereka berdua, aku rasa mereka bisa melakukan segala yang kau harapkan.”
Ucap Kakashi dari tempat ia duduk di balik mejanya.
Dari tempat Shikamaru berdiri, Anbu bertopeng kucing berada di kanan, dan yang
bertopeng kera berada di kiri. Kedua Anbu itu memiliki berbedaan tinggi yang sangat jauh.
Si Kera 176 cm, sedikit lebih tinggi dari Shikamaru, sedangkat Si Kucing tingginya hanya
sepundak Shikamaru.
Jadi, yang bertopeng kera adalah pria, dan yang bertopeng kucing adalah wanita…
Meskipun tanpa perbedaan tinggi, struktur tubuh mereka sangatlah jelas.
“Kalian berdua, lepaskan topeng kalian.” Instruksi Kakashi.
Tangan kedua Anbu itu terangkat mencapai topeng mereka sesuai perintah
Kakashi, perlahan menurunkannya untuk memperlihatkan wajah mereka yang sebenarnya.
Memang sebuah ciri khas seorang Anbu untuk memakai topeng dengan wajah hewan.
Karena mereka biasanya berurusan dengan misi gelap sepeti pembunuhan atau
menyebabkan kekacauan di negara luar, mereka tidak mau membiarkan orang lain
mengetahui identitas mereka. Bahkan masyarakat Konoha sendiri tidak mengetahui siapa
yang merupakan Anbu, siapa yang tidak.
‘Orang-orang yang datang dan pergi dari desa tanpa memakan apapun adalah Anbu.’
Banyak sekali beredar rumor dan spekulasi seperti itu.
“Pria ini adalah Rou, and anak perempuan ini adalah Soku.”
Kedua Anbu itu membungkuk memberi salam pada Shikamaru saat
Kakashi memperkenalkan mereka.
“Memiliki perempuan yang sangat muda di Anbu…“
“Tidak terpikirkan, kan?” Soku memotong gumaman Shikamaru. “Tapi di dunia
Shinobi, kemampuan adalah segalanya, dan aku memasuki Anbu dengan membuktikan
nilai dari kemampuanku, kau tahu.”
“Dia benar.” Kakashi setuju dengan Soku.
Shikamaru tak bisa memungkiri keterkejutannya. Soku masih sangat muda. Ia paling
tidak lebih muda 5 atau 6 tahun dari Shikamaru, dan pasti baru saja lulus dari akademi.
Ia memiliki pipi kemerahan yang chubby, namun juga memiliki bibir tipis membentuk
rengutan yang memancarkan tekad. Alis tipisnya melengkung dan matanya memancarkan
kepercayaan diri.
Sesuatu darinya membuat Shikamaru merasa seperti inilah bentuk Temari saat kanak-
kanak.
“Hinoko diakui kemampuannya dan direkrut ke Anbu ketika ia baru saja lulus dari
Akademi. Meskipun usianya baru 14 tahun, ia telah menyelesaikan misi dengan jumlah
besar.” Ucap Kakashi. “Ia sangat diandalkan dalam Anbu”
“Tidak baik menilai kemampuan seseorang hanya dari penampilannya saja, kau tahu.” Ucap
Soku, menggembungkan pipinya sedikit. “Dan Tuan Hokage, aku terus-menerus
memberitahumu untuk tidak memanggilku dengan nama asli, kau tahu.”
“Hinoko… Nama yang sangat bag-”
Dalam sekejap, Soku telah hilang dari pandangan Shikamaru dan sebelum ia menyadarinya,
sebuah jari dengan sinar oranye berchakra ditekankan ke arah dahinya.
“Aku benci dipanggil dengan nama asliku, kau tahu. Jadi berhati-hatilah,
jangan menggunakannya.”
Shikamaru dapat merasakan sejenis percikan muncul dari ujung telunjuk Soku. Tampak
seperti versi kecil dari raikiri Kakashi.
Chakra meletup dari ujung jari Soku…
“Berhenti sekarang juga, Soku.”
Pria yang berbicara adalah pria yang membawa topeng kera. Kakashi memperkenalkannya
sebagai Rou. Ia memiliki alis yang tebal, rahang yang kuat dan tegas, kelopak mata segaris
yang menatap kearah Soku menunjukkan ketidaksetujuannya.
“Aku harus memperjelas hal ini dari awal, kau tahu.” Soku membalas. “Aku tidak terima
dipandang rendah sebagai anak kecil, kau tahu.”
“Salahku. Aku akan berhati-hati kedepannya.” Shikamaru memberikan permintamaafan
sederhana. Tidak perlu memperburuk situasi, dan ia tidak punya waktu untuk berurusan
dengan emosi gadis muda itu.
Soku mengalihkan pandangannya dari Rou dan kembali ke Shikamaru.
“Selama kau mengerti, kau tahu.” Ia berbalik dan kembali ke tempatnya, mengembalikan
posisinya ke posisi yang sama dengan tangan dibalik punggungnya.
“Rou dapat dengan bebas memanipulasi kualitas dan kuantitas chakra; baik miliknya
sendiri atau milik siapapun yang ia jadikan target dan kenali.” Ucap Kakashi, Rou
memberikan anggukan kecil.
“Apa itu berarti kau juga bisa meningkatkan chakra?” Tanya Shikamaru.
“Pertanyaan yang pintar.” Komentar Kakashi.
“Chakra yang dapat kuubah hanyalah chakra yang dirasakan oleh orang lain.” Ucap Rou.
“Untuk menjelaskannya, jika saya meningkatkan chakra anda, Shikamaru-dono, saya tak
akan bisa mengubah potensi pertempuran pada akhirnya. Chakra anda hanya akan tampak
lebih besar dalam persepsi orang lain. Dengan kata lain, jurus saya tidak akan efisien untuk
mengelabui jika subjek dari manipulasi chakra tidak berpartisipasi dalam pengelabuan.”
Rou memiliki gaya bicara yang sangat kuno, dan ditambah dengan penampilannya yang
berperawakan besar, tampak lebih seperti samurai daripada ninja.
Shikamaru memberikan pria itu anggukan untuk menunjukkan bahwa ia mengerti
akanpenjelasannya, dan membuka mulutnya untuk berbicara lagi.
“Saat kau mengatakan bahwa kau dapat mengubah kuantitas chakra yang dirasakan,
apakah itu berarti kau dapat menghapusnya juga?”
Bagaimanapun caramu melihatnya, Rou jelas terlihat berada di usia empat puluhan.
Iapaling tidak berusia dua puluh tahun lebih tua dari Shikamaru.
“Itu pasti mungkin. Saya dapat membuat chakra dari target manapun menghilang seperti
yang anda telah deskripsikan, sementara anda dapat melacak mereka, Shikamaru-dono.”
Dengan cara bicara pria itu yang kuno, Shikamaru setengah mengira kata ‘mengikuti jejak’
daripada ‘melacak’, dan merasa sedikit ragu dengan kata modern yang tidak teratur
“Aku rasa jurusnya sangat cocok untuk tugas ini, menurutmu bagimana?” Tanya Kakashi.
“Itu akan bekerja. Dan si kecil?” Shikamaru bertanya, mengalihkan pandangannya ke
arahSoku.
Alis gadis itu berkedut karena dipanggil ‘Si Kecil’. Anak itu tampaknya tak menyadari
bahwa ia masih anak-anak. Shikamaru belum yakin apakah hal yang bagus atau tidak
kegunaan gadis itu dalam misi.
“Sebuah demostrasi akan bagus, bukankah begitu?” Ucap Kakashi pada Soku.
Gadis itu mengangguk dan berbalik. Iya merentangkan tangan kirinya sehingga menghadap
ke jendela yang terbuka sepanjang ruangan Kakashi. Pada arah yang ia tunjuk, Shikamaru
dapat melihat burung walet sedang terbang di luar.
“Jurusku adalah jarum chakra, kau tahu…” Soku bergumam, dan sebuah kilat chakra
oranye meletup dari jari telunjuknya.
Saat itu, burung wallet yang dikejutkan oleh suara keras dengan cepat menukik untuk
bersembunyi di balik pilar di luar.
Jika Soku menembakkan chakranya pada saat seperti ini, tak mungkin ia dapat mengenai
target. Chakranya akan mengenai pilar dan hanya meninggalkan goresan di pilar itu.
Tapi…
Tak ada satupun goresan di pilar itu, dan dari luar walet itu mengeluarkan suara yang
tajam dan melengking.
Shikamaru segera mengarah ke jendela. Mengeluarkan dan memutar lehernya, matanya
mencari-cari dimana burung walet yang terbang tadi, dan menemukan burung itu di tanah.
Jelas-jelas terlihat mati.
“Aku tidak ingin kau salah paham, kau tahu. Aku menentang pembunuhan tanpa arti.” Soku
berbicara dibelakangnya.
Ketika ia berbicara, Shikamaru memandang ke arah walet yang kembali seperti biasa,
menggoyang kakinya dan bangkit. Kemudian, terbang kembali, bahkan lebih tinggi dari
sebelumnya.
“Aku membuat chakraku berevitalisasi ketika menembus target barusan, jadi burung walet
itu mungkin merasa lebih berenergi dari sebelumnya, kau tahu.”
“Bagaimana kau bisa melewati pilar itu?” Tanya Shikamaru, melepaskan tangannya
dari ambang jendela dan berbalik menghadap Soku.
Anak perempuan itu mengeluarkan tawa, menjulurkan lidahnya sebagai ejekan yang
kekanak-kanakan.
“Sekali aku telah membidik targetku, tak peduli ia berada dalam pandanganku atau
tidak, jarum chakraku akan mengikutinya kemanapun, kau tahu. Jarumku tidak akan
berhenti dari jalurnya hingga ia mengenai targetnya.”
Jadi.
Jurus Rou dapat menghilangkan keberadaan chakra mereka, dan membuat mereka dapat
menyusup tanpa terdeteksi. Saat mereka mencapai keberadaan Gengo, Shikamaru akan
menggunakan kagemane-nya untuk menahannya. Dan serangan mematikan akan
dilontarkan dengan mudah oleh jarum chakra Soku.
Semuanya akan baik-baik saja..
Mereka benar-benar dapat melakukannya…
“Bolehkah aku bertanya satu hal?”
“Tentu saja, kau tahu.” Soku memberikan senyumnya yang penuh kepercayaan diri.
“Bisakah kau berhenti menambahkan kata ‘kau tahu’ pada setiap akhir kalimatmu?”
*
Mereka datang.
Para musuh.
Ninja Oto.
Suruhan Orochimaru.
Tidak, tunggu…
Sejak kapan aku dikejar?
Aku yang seharusnya mengejar seseorang.
Seseorang yang harus diselamatkan.
Uchiha Sasuke.
Teman sekelas yang mampu melakukan segala hal dengan sempurna, yang
memiliki kepribadian buruk.
…Tapi ia merupakan seorang kawan. Ia tentu saja harus diselamatkan.
Aku memimpin sebuah tim untuk pertama kali. Kegagalan bukanlah pilihan.
Teman-temanku…
Teman-temanku telah dikalahkan, satu per satu.
Chouji.
Kiba.
Neji.
Dan kemudian Naruto…
Kami dikelilingi oleh ninja Oto yang mencemooh.
Aku minta maaf…
Aku minta maaf, semuanya.
Lain kali, aku tak akan gagal.
Jadi aku mohon- aku mohon jangan mati.
“AKU MOHON!”
Shikamaru terbangun karena jeritan keputus asaannya, menyibakkan selimutnya
dengan panik. Seluruh tubuhnya di basahi oleh keringat.
Ia baru saja bermimpi…
Itu adalah misi pertamanya sebagai Chuunin: untuk membawa kembali missing-nin
Uchiha Sasuke yang meninggalkan desa pimpinan Orochimaru.
Rekannya adalah beberapa teman sekelasnya dan Neji. Mereka berkurang, satu per
satu, dalam pengejaran Sasuke. Shikamaru telah memutuskan untuk mempercayakan
segalanya pada Naruto dan bertarung melawan ninja Oto.
Dan hasil dari keputusan itu adalah Sasuke meninggalkan desa, dan seluruh
temannya mengalami luka parah.
Sebagai Chuunin, sebagai pemimpin, misi pertamanya berakhir dengan kegagalan yang
membuatnya putus asa.
Shikamaru mengusap keringat di dahinya, dan perlahan mengambil nafas dalam-dalam.
Kenapa ia bermimpi seperti itu?
Hingga kini, ia tak pernah melihat kejadian itu dalam mimpi.
Walaupun begitu, kenyataannya luka dari peristiwa itu masih melekat di hatinya.
Shikamaru menganggap misi pencarian Sasuke merupakan aib terbesarnya, dan tak pernah
gagal memikirkan hal itu kapanpun ia menilai dirinya sendiri.
Ia tidak akan pernah lagi tersudut seperti waktu itu…
Mimpi hanyalah manifestasi dari alam bawah sadarmu.
Lalu, apakah aku sedang tersudut sekarang?
“Tidak apa-apa… Tidak apa-apa, Shikamaru…”
Meskipun bukan seperti dirinya untuk mencoba menenangkan diri sendiri, kata-kata itu
keluar dari mulut Shikamaru sebelum ia mampu menghentikannya. Hatinya masih
terpukul, darah menderu ke gendang telinganya seperti lonceng peringatan.
Tampaknya ia tak dapat tidur lagi malam ini.
Mereka akan segera berangkat saat matahari terbit.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 6
–
Sekumpulan anak laki-laki berusia sepuluh tahun menyeberangi jalan, tertawa dengan
keceriaanyang tampak tak berakhir. Tak jauh di belakang mereka, seorang pria berwajah
muram sedang terburu-buru menuju suatu tempat.
Anak-anak itu mungkin menuju Akademi, sedangkan pria itu mungkin akan pergi bekerja.
Di pinggir jalan, ada sebuah toko yang menjual lauk pauk pada pagi hari, bagian depan toko
dikelilingi oleh para ibu rumah tangga yang sedang bergosip dengan berbagai gestur.
Itu adalah pemandangan pagi seperti biasa.
Pagi yang damai ini, Shikamaru melangkah sepanjang jalan utama yang dimulai dari
gerbang depan Konoha yang terbuka lebar dan terus ke arah Kediaman Hokage. Jalan itu
berakhir dibalik kediaman itu, yaitu pada Monumen Hokage dimana wajah seluruh
generasi Hokage terpahat di sebuah bukit.
Tujuan Shikamaru adalah yang terakhir. Ia punya urusan disana.
Biasanya, ketika shinobi menerima misi di luar desa, mereka meninggalkan Konoha melalui
gerbang utama. Tidak ada peraturan tertentu yang mengatakan hal tersebut, tapi itu adalah
sebuah tradisi.
Para Anbu merupakan pengecualian. Mereka berurusan dengan misi yang sangat rahasia,
sehingga untuk menyembunyikan keberangkatan mereka dari warga Konoha, mereka telah
diatur untuk pergi melalui gerbang yang berada pada bukit di balik Kediaman Hokage.
Gerbang itu adalah tujuan Shikamaru. Misi kali ini dirahasiakan dari semua orang di desa.
Satu-satunya yang mengetahui hanya Kakashi, seorang shinobi yang sulit diatur, dan tentu
saja, Shikamaru sendiri, begitu juga Rou dan Soku yang menemaninya.
Ia menyerahkan urusan untuk menutupi ketidakhadirannya di desa pada Kakashi. Jika ada
yang bertanya tentang keberadaannya, mereka akan diberitahu bahwa Shikamaru ada
urusan mengenai Persatuan Shinobi di luar batas desa.
Skenario idealnya adalah dengan menyelinap keluar desa tanpa ada yang menyadari
kepergiannya, dan kembali sebelum ada yang menyadari ketidakhadirannya.
“Hm?” Saat Shikamaru dengan cepat menuju ke gerbang belakang, ia menyadari pria
berambut pirang berada dalam jarak pandangnya.
Si pirang juga menyadari keberadaannya.
“Yoo, pasti itu Shikamaru! Kenapa kau terburu-buru?”
Kau tak akan percaya bahwa keduanya sesusia, dengan seringai kekanak-kanakannya yang
menyala saat ia menghampiri temannya. Pipinya memiliki tiga garis seperti kumis kucing
pada tiap sisinya, dan matanya yang biru tampak bebas dari keraguan dan kebimbangan.
“Itu yang seharusnya kutanyakan padamu. Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini, Naruto?”
Uzumaki Naruto.
Ia adalah seorang pahlawan yang telah menunjukkan jalan untuk mengakhiri perang besar
yang lalu pada semua orang, putra dari Hokage keempat. Kyuubi telah disegel dalam
tubuhnya saat iya baru lahir, dan ia tumbuh dengan menghadapi berbagai prasangka dari
orang sekitarnya, ia tak pernah bimbang akan cita-citanya untuk menjadi Hokage, dan
tetap menjalani jalan hidupnya. Seperti itulah Naruto.
Saat ini, ia adalah kandidat terkuat yang akan menjadi Hokage setelah Kakashi.
“Aku tidak bisa tidur semalam,” ucap Naruto, “Jadi saat aku terbangun pagi ini, aku
langsung pergi ke Ichiraku Ramen, dan sekarang aku menuju kembali ke rumah.”
“Kau pergi ke toko itu sepagi ini?”
“Belakangan ini, mereka buka 24 jam setiap hari.” Naruto tampak sangat senang akan hal
itu.
“Bukan, maksudku, kau makan ramen sepagi ini…”
“Aku selalu baik-baik saja kalau makan ramen, tidak peduli pagi atau siang atau malam!”
“Hey, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.”
“Setengah dari tubuhku mungkin terbuat dari ramen.” Ucap Naruto serius, membusungkan
dadanya dengan bangga.
Shikamaru menghela nafas.
“Kau sekarang dikenal sebagai pahlawan yang mengakhiri perang, cobalah untuk menjaga
tubuhmu.”
“Pahlawan adalah pahlawan, dan ramen adalah ramen!”
“…Pemikiran yang tidak masuk akal.”
“Hahaha.” Naruto tertawa, malu-malu menggosokkan jari ke batang hidungnya.
Kebiasaan itu tidak berubah sejak di Akademi. Naruto selalu menjalani hidupnya dengan
pandangan yang lurus dan murni. Karena pandangan itulah ia mampu mengubah
sekitarnya- bahkan mengubah Shikamaru.
Naruto, yang dianggap sebagai kutukan bagi desa, menjaga hatinya yang murni dan
perlahan membuat banyak dan lebih banyak lagi teman yang berada sisinya.
Pada akhirnya, Naruto dapat menyelamatkan temannya Uchiha Sasuke yang telah jatuh
dalam kegelapan, penuh dengan kebencian terhadap dunia.
Menyelamatkannya bukanlah hal yang mudah.
Tidak…
Sebenarnya, itu merupakan hal yang tak dapat dilakukan oleh siapapun selain Naruto.
Mimpi yang selalu Naruto genggam erat-erat sejak ia kecil hanya satu: untuk menjadi
Hokage.
Ia tak pernah memiliki saudara yang memberinya dukungan, dan satu-satunya cara agar ia
mendapatkan perhatian dari orang lain adalah dengan leluconnya yang berulang-ulang,
namun ia tetap bersikeras bahwa ia akan menjadi Hokage suatu saat nanti.
Awalnya, tak ada yang percaya Naruto dapat melakukannya. Namun sekarang, tak ada
satupun orang di desa ini yang berpikir bahwa orang lain selain Naruto yang akan menjadi
Hokage selanjutnya.
Naruto adalah matahari.
Ia memiliki cahaya terang benderang dalam dirinya yang tak pernah redup, terus
berkobar. Karena begitu terangnya ia bersinar maka ia menjadi matahari. Semua yang
melihat semangatnya itu membuka hati mereka untuknya, dan menjadi temannya.
Hingga kini, dan hingga akhir nanti, Shikamaru merasa bahwa Naruto akan terus berjalan
kedepan tanpa keraguan dari cahayanya.
Dan itulah yang harus terjadi. Suatu hari, Naruto akan menjadi Hokage, memperoleh
kepercayaan desa lebih banyak lagi, dan terus bersinar, lebih terang dan lebih terang lagi.
Demi cahaya itu, hal seperti matahari tidak perlu mengetahui tentang kegelapan dunia.
Hingga kini, Naruto melancarkan perang melawan orang-orang yang hatinya telah
dipengaruhi oleh kegelapan yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tak pernah berbelok.
‘Tak peduli sejauh apa seseorang tenggelam dalam kegelapan, bagian dari dirinya akan
merindukan cahaya.’
Naruto bertarung karena ia benar-benar mempercayai hal itu. Shikamaru telah melihatnya
mengubah hati musuh-musuhnya dengan prinsip yang sama berkali-kali.
Tak peduli seberapa besar kegelapan mengelilinginya, Naruto tak pernah kehilangan
cahayanya.
Karena itu Naruto tak benar-benar tahu arti sebenarnya dari ‘kegelapan’.
Selalu ada kegelapan di hati manusia. Berpikir bahwa kau dapat menyelamatkan semua
orang adalah prinsip yang mustahil.
Tak peduli seberapa dahsyat kau mecoba untuk menyelamatkan orang-orang dan
menuntun mereka menuju cahaya, akan selalu ada mereka yang tergelincir, terus terjatuh
ke dalam kegelapan. Begitulah kehidupan di dunia.
Namun Naruto tak berpikir seperti itu. Tak peduli seberapa membuat putus asanya
keadaan, ia tak akan menyerah untuk menyelamatkan semua orang dari takdir itu.
Seperti itulah Naruto.
Dan Shikamaru tak ingin ia berubah.
Naruto merupakan orang harus tetap menjadi murni dan polos, menjadi matahari yang
bersinar.
Semakin terang cahaya bersinar, semakin gelap bayangan berkembang.
Namun selama ada seseorang yang memikul beban kegelapan itu, maka semua akan baik-
baik saja.
Shikamaru berpikir bahwa menjadi ‘seseorang’ itu adalah tugasnya.
Bukankah wajar bagi seorang pengguna jurus bayangan untuk memikul beban dari
kegelapan?
Naruto akan menjadi Hokage, dan Shikamaru akan mendukungnya sebagai tangan
kanannya. Itu adalah mimpi Shikamaru; untuk berada di sisi Naruto dan menghalau semua
kegelapan yang akan mengganggu cahayanya.
Saat pikiran itu muncul di kepala Shikamaru, tiba-tiba ia memahami dirinya sendiri.
Mengapa ia begitu keras kepala mengajukan diri untuk pergi ke Negeri Sunyi?
Tentu saja, itu semua demi Naruto.
Jika Negeri Sunyi terus berkembang lebih kuat, maka Naruto akan berakhir menderita.
Negeri Sunyi akan menjadi penghalang besar baginya.
Itulah mengapa Shikamaru ingin pergi dan menghancurkannya sejak awal.
Bagimanapun, ia telah memutuskan untuk menanggung semua kegelapan yang mencoba
mengganggu cahaya Naruto. Termasuk berhadapan dengan penghalangnya di masa depan.
“Jadi apa yang kau lakukan?” Tanya naruto, memecah lamunan Shikamaru.
“Aku berjalan-jalan.”
“Sepagi ini?”
“Naruto,” Shikamaru tak berekspresi. “Aku berjalan-jalan seperti ini sama sekali tidak
seaneh kau yang memakan ramen sepagi ini.”
“Baiklah, itu benar.”
Keduanya tertawa.
“Apa kau sedang libur?” Tanya Shikamaru.
“Tentu saja tidak. Karena seseorang terus memberikanku misi yang merepotkan, aku tak
punya hari libur dalam setengah tahun ini, kau tahu. Aku akan pergi melaksanakan misi
siang nanti.”
‘Seseorang’ itu tentu saja, Shikamaru.
“Itu adalah misi-misi yang kupilih demi kepentinganmu, jadi berhenti mengeluh.”
“Tapi aku masih ingin istirahat sebentaaaaar saja.”
“Kau diawasi sebagai kandidat Hokage selanjutnya. Terlalu penting waktu yang kau
gunakan untuk istirahat. Lebih bersadar dirilah, Naruto.”
“Aku mengerti… tapi hanya satu-“
“Tidak ada tapi-tapian” Ucap Shikamaru, seperti memarahi anak kecil. “Semua orang di
desa menyetujuimu. Tapi karena mereka setuju maka kau harus melaksanakan misi yang
lebih banyak lagi, jadi orang-orang akan berpikir ‘aah, apa yang akan kami lakukan jika
Naruto tidak disini’. Sudah dua tahun sejak perang berakhir, kau tak dapat berpikir naïf
bahwa persetujuan semua orang akan terjamin dengan tindakanmu waktu itu.”
“Baiklah, baiklah…” Naruto sedikit cemberut sebelum melakukan peregangan. “Perutku
penuh, jadi kupikir aku akan pulang dan tidur sebentar.”
Shikamaru menyipitkan mata ke arahnya. “Jangan tidur terlalu lama.”
“Tidak akan” Naruto tertawa karena wajah seriusnya, dan kembali berjalan.
“Oi, Naruto.” Shikamaru memanggilnya.
“Apa?” Naruto berbalik.
“Kau adalah pria yang akan menjadi Hokage. Jangan lupakan itu.”
“Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku,” janji Naruto. “Itulah jalan ninjaku.”
“Tak akan menarik kata-katamu.” Shikamaru berhenti sejenak. “Juga jalan ninjaku.”
“Yeah.” Naruto mengangkat tangan kanannya dan melambai, kemudian berbalik untuk
kembali berjalan.
Setelah melihat punggungnya sebentar, Shikamaru berbalik untuk menjalani jalannya juga.
“Aku pasti akan menjadikanmu Hokage.”
Shikamaru sudah sejak lama memutuskan bahwa ia takkan menarik kembali kata-kata itu.
–
“Aku membuat kalian menunggu, huh.”
Shikamaru menujukan kalimat itu pada Rou dan Soku.
Misi kali ini melibatkan penyusupan ke sebuah negara dan juga membunuh target. Itu
bukanlah hal yang dapat dilakukan sepenuhnya dibawah radar. Itulah mengapa mereka
berdua tidak menggunakan topengnya.
“Kita memiliki beberapa objek misi.” Ucap Shikamaru. “Memeriksa situasi di Negeri Sunyi.
Mencari Sai dan 10 Anbu yang hilang kontak. Namun prioritas utamanya adalah
membunuh pria bernama Gengo.”
Keduanya mengangguk dalam diam.
Kakashi tidak datang untuk melihat mereka pergi. Hanya ketiga shinobi itu yang berada di
dekat gerbang belakang yang tertutup. Gerbang itu tersembunyi diantara pepohonan di
dasar bukit. Daripada terlihat cerah, gerbang itu lebih terlihat lembab dan suram.
“Ah baiklah, karena kita akan menjalani misi pembunuhan, maka kita harus memastikan
tidak ada pemantauan…” Lubang hidung Rou melebar saat menekankan kata ‘pemantauan’.
Shikamaru menatapnya, bingung dengan apa yang dimaksud.
“Leluconmu sangat terasa datar, kau tahu.” Soku memberitahu Rou.
Pria itu tampak kebingungan, keringat mengalir di dahinya karena malu.
“Dia mencoba untuk membuat lelucon, kau tahu.” Soku menjelaskan pada Shikamaru
dengan ekspresi ‘aku minta maaf soal ini’ di wajahnya. “Kau tadi bicara tentang memeriksa
situasi, dan karena memeriksa memiliki arti yang sejenis dengan memantau, ia membuat
lelucon tentang pembunuhan yang kita lakukan agar tidak terpantau, karena ini
merupakan rahasia… Pada dasarnya, pria tua ini cenderung membuat lelucon seperti itu,
baik sekarang maupun nanti, jadi ada baiknya untuk berhati-hati, kau tahu.”
Shikamaru menelan keinginannya untuk membuat balasan yang jenaka, dan berdehamn
mencoba untuk mengembalikan suasana yang serius.
“Ketika kita melewati gerbang, kita langsung berlari, oke?”
“Kami sudah tahu itu, kau tahu.” Soku menjawab dengan riang.
Rou, yang wajahnya memerah karena malu, juga memberi anggukan.
“Baiklah kalau begitu, ayo.”
Dan dengan itu, ketiganya mendorong dan membuka gerbang belakang.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 7
–
Temari berdiri di belakang Gaara, melihat rambut crimson-nya yang bergoyang tertiup
angin. Saat melihatnya, ia berpikir pada dirinya betapa adiknya telah tumbuh menjadi
orang yang hebat.
Mereka berdiri di atas sebuah bukit, melihat pemandangan indah Suna dari atas. Orang-
orang di desa menyebutnya “tempat membaca angin” karena angin tak pernah
berhenti berhembus di atas sini, sepanjang tahun. Temari tahu bahwa hanya Gaara lah
yang datang kemari untuk menikmati pemandangan desa meskipun angin berhembus
kencang.
“Apa kau membutuhkan sesuatu, nee-san?” Tanya Gaara. Ia menolehkan kepalanya
untuk melihat Temari, dan Temari dapat melihat huruf kanji Ai yang berarti ‘Cinta’ tertato
di dahinya.
Beberapa tahun lalu, siapapun yang mendengar nama “Gaara”, akan bergidik
ketakutan. Tapi lihatlah adik kecilnya sekarang. Ia merupakan pemimpin Suna,
dan menjadi orang yang berpengaruh dalam aliansi yang mempersatukan seluruh shinobi.
Gaara telah menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan di Dunia Shinobi.
Itu semua berkat Naruto.
Gaara memiliki bijuu dalam tubuhnya sejak lahir, sepanjang masa kecilnya. Ia
dulu meyakini satu hal: “mencintai diri sendiri” dan menjadikan seluruh dunia musuhnya,
tak membiarkan seseorang pun mendekatinya. Gaara yang dulu tak pernah membiarkan
kakak perempuannya, Temari, atau kakak laki-lakinya, Kankurou, mendekati apalagi
memasuki hatinya. Meskipun ia tak menyatakan hal itu terang-terangan, seluruh tubuhnya,
sikapnya saat kehilangan dirinya, yang bergolak haus akan darah, semua yang ia lakukan
men–transmisi-kan kata-kata itu dengan jelas.
Naruto adalah satu-satunya yang mampu menggapai Gaara.
Naruto tak bisa mengabaikan Gaara begitu saja, bukan saat ia merupakan jinchuuriki yang
hidup dengan kehidupan yang sama sepertinya. Setelah bertukar serangan dalam
pertempuran yang melewati batas manusia normal, keduanya perlahan memahami satu
sama lain. Saat bijuu dalam tubuh Gaara dikeluarkan oleh Akatsuki dan ia berada
pada ambang kematian, Naruto memompakan chakranya sebanyak mungkin pada
Gaara, tanpa ragu sedikitpun. Gaara telah menganggapnya sebagai ‘teman’.
Gaara telah berubah sejak ia bertemu Naruto, sifat Gaara yang dingin lenyap. Cara
ia berbicara dan memperlakukan Temari dan Kankurou berubah. Sikapnya pada desa
berubah. Perasaannya kepada semua orang di desa berubah.
Dan pada akhirnya, Gaara diakui oleh semua orang.
Temari sangat berterima kasih pada Naruto karena hal itu. Ia berpikir bahwa desa
Konohamerupakan desa yang menyenangkan. Penduduk desa mereka
memiliki kebanggaan yang besarsebagai shinobi, dan sebagian besar dari mereka
merupakan orang-orang yang berpikir logis.
Tiba-tiba, wajah pria itu melintas di pikirannya. Ada rasa sakit yang menyengat dada
Temari, dan dengan kesal ia mendecakkan lidahnya.
“Apa ada masalah, neesan?”
“Eh? Tidak…”
Gaara menatap ke arahnya, memandang dengan khawatir. Temari dapat
merasakankekhawatirannya yang besar, dan ia mengalihkan pandangan darinya.
Di desa Suna air selalu kering. Karena berada di tengah-tengah gurun, desa itu tak pernah
dituruni hujan. Pasir selalu bercampur dengan angin.
“Ada butiran debu yang masuk ke mataku, itu saja.”
“Itu hal yang langka.” Gaara berkata dengan lembut. “Hal itu tak biasa terjadi
padamu,neesan.”
“I- iya, benar…”
Orang-orang yang terlahir di Suna secara alami beradaptasi dengan pasir dan
anginnya, mereka terbiasa menghadapi hal tersebut. Meskipun saat badai pasir, tak
seorang ninja Suna pun yang matanya akan terasa perih karena pasir.
Kalimat Temari tentang ‘butiran debu memasuki matanya’ jelas-jelas adalah
sebuah kebohongan dan alasan.
“Shikamaru…” Gaara tiba-tiba menyebukan nama pria itu, dan Temari sedang lengah
sehingga ia tak dapat menahan dirinya yang menjadi kaku.
Meskipun tubuh kakaknya menjadi kaku layaknya sedang menghadapi musuh, Gaara tak
mengatakan apapun tentang sikap tubuhnya yang tiba-tiba itu, dan berbicara seolah tak
terjadi apa-apa.
“Aku merasa belakangan ini ia bersikap aneh. Terakhir aku melihatnya di Markas
Besar, tampaknya hatinya tak berada dalam tindakannya. Aku merasa ia bekerja terlalu
keras.”
“Kau berpikir begitu juga, huh.” Ucap Temari.
Gaara mengangguk. “Dulu aku tak peduli terhadap orang lain, namun sekarang aku sangat
berhati-hati dalam memperhatikan penampilan dan sikap orang lain. Mungkin karena
itulah aku peka terhadap pergerakan hati seseorang.”
Tentu saja, adik laki-lakinya pada dasarnya adalah orang yang sangat serius. Sekali ia
yakin bahwa ia harus melakukan sesuatu, ia akan melakukannya dengan bersungguh-
sungguh. Itu semua karena ia telah membuka hati sepenuhnya terhadap orang lain.”
Bukanlah hal yang mengejutkan jika adiknya dapat menyadari berubahan kecil dari sikap
Shikamaru ketika ia sangat berhati-hati dalam membaca sikap orang lain.
“Ia menyembunyikan sesuatu.”
“Mm…” Temari bersuara tanda setuju.
“Ia merupakan orang yang paling serius memikirkan seluruh masa depan Persatuan
dan shinobi dari yang lain.” Ucap Gaara. “Aku yakin ia tak akan melakukan hal
yang membahayakan Persatuan.”
Gaara merujuk pada fakta bahwa setiap desa yang berpartisipasi dalam Persatuan
Shinobi memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap masalah baik di luar maupun di
dalam yurisdiksi mereka. Ia juga merujuk pada fakta bahwa ia dan Temari menyadari
Shikamaru enggan melaporkan situasi yang terjadi di Konoha. Situasi apapun
yang membuatnya bertindak seperti itu adalah situasi yang tampaknya mempengaruhi
seluruh desa shinobi.
“Apa kau tau apa yang kira-kira ia sembunyikan, neesan?”
“Aku harap aku tahu.”
Wajar jika Gaara bertanya padanya. Temari adalah orang yang paling sering bekerja
sama dengan Shikamaru dalam Persatuan Shinobi.
“Bukannya aku tak memiliki pemikiran tentang hal itu…” Ucap Temari. “Hanya saja aku tak
yakinapakah aku benar.”
Gaara mengangguk, mendengar dalam diam.
“Ia sedang serius menyelidiki shinobi yang hilang dalam perang, dan kasus missing-nin
yang baru-baru ini terjadi.”
Setelah Temari menjawab, Gaara mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah desa
lagi. Sebuah alur muncul diantara alisnya.
Ia sedang berpikir.
Angin tiba-tiba berhembus. Butiran pasir menggores dahi mereka, rasa sakit yang terasa
familiar.
“Mari kita tanyakan pada Naruto.” Gaara bergumam. “Bersediakah kau, neesan?”
“Baiklah.” Temari terkejut dengan betapa cemasnya suara yang ia dengar.
“Tentu saja, kau juga harus bertanya pada Kakashi, tapi ia pasti akan enggan menjawab,
jadi pertama-tama tanyakan pada Naruto tentang Shikamaru.” Ucap Gaara, “Jika ternyata
Shikamaru sedang berada dalam situasi berbaya, maka kita paling tidak harus mencoba
menyelamatkannya dengan segala kekuatan yang kita miliki. Jika kau
merasa membutuhkan shinobi Suna, bawalah mereka sebanyak yang kau butuhkan.”
“…Shikamaru adalah shinobi dari Konoha, kau tahu?”
“Kita sudah lama melewati era dimana kita mempedulikan tentang ‘Shinobi Suna’
atau ‘Shinobi Konoha’. Ia adalah pria yang penting dalam Persatuan shinobi. Wajar jika kita
harus membantunya.”
“…Terima kasih.”
“Ini bukan sesuatu yang perlu kau terima kasihkan padaku, neesan.”
Setetes air mata yang berhasil lolos mengalir di pipi Temari. Menyekanya dengan tak sabar,
ia melihat ke arah adiknya dengan seringai yang lebar.
“Entah kenapa, hari ini butiran pasir terus-menerus masuk ke mataku.”
*
“Hey Sakura-chan, apa kau mendengar?” Naruto bertanya dengan kesal, menyandarkan
sikunya pada tumpukan buku yang menumpuk setinggi dadanya. Ia sedang berbicara pada
punggung Sakura saat ia sedang bergegas menelusuri rak buku yang memanjang menutupi
dinding.
“Kau tahu, Sai tidak tampak di sekitar kita sudah sebulan lebih, dan Shikamaru tiba-
tiba berubah menjadi sangat dingin dan kaku terhadapku. Hey, apa kau pikir
dia menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Aku tidak tahu!”
Suara jengkel Sakura membuat Naruto mengerenyit.
“Bagaimana dengan misimu?”
“Sudah berakhir hari ini.”
“Kalau begitu cepatlah pergi ke Ichiraku, makan ramen, pulang, dan tidur!”
“Apaaaaaa, tapi sudah lama kau tidak ke Kediaman Hokage. Akhirnya kau muncul
juga… Kau bersikap sangat dingin sebagai anggota tim 7.”
Sakura berbalik dengan marah menghadap ke arah temannya yang memasang wajah
cemberut.
“Sekarang aku sedang kewalahan bekerja dengan Nona Tsunade dalam mengembangkan
sebuah sistem untuk jutsu medis, begitu juga bekerja dalam struktur sistem Persatuan
Shinobi. Aku harus mempelajari dokumen yang tersisa dari Nona Tsunade ketika ia masih
menjabat sebagai Hokage! Aku tidak punya waktu! Aku tidak bisa mendengarkan gosipmu!
Mengerti?”
Terengah, ia berbalik menghadap rak-rak buku.
“Lagipula, belakangan ini kau sering keluar dengan Hinata, kan? Bukankah lebih baik
kau pergi dan mengobrol dengannya yang mau mendengarkanmu daripada
menggangguku?”
“Apa? Kau cemburu?”
Sakura berbalik dengan ekspresi marah, memberikan tinjunya ke kepala Naruto.
“Tentu saja tidak! Aku memutuskan untuk menunggu Sasuke-kun, kau tahu!”
“I- iya nyonya…” Naruto menjawab. Tiba-tiba matanya menunjukkan keseriusan,
dan Sakura yang menyadari, memperhatikan apa yang dikatakannya.
“Tapi belakangan ini, kau tahu, aku punya perasaan yang sangat buruk.”
“Apa Kyuubi membuat kehebohan?”
Kyuubi masih berada dalam tubuh Naruto. Dan juga terdapat sebagian kekuatan dari 8
bijuu di dalam tubuhnya. Maka dari itu, kau bisa mengatakan bahwa ia merupakan pilar
dari kekuatan Juubi.Dalam perang lalu, Obito telah menjadi pilar dari Juubi dan
memperoleh chakra yang menyaingi Rikudou Sennin. Naruto yang telah mengambil bijuu
ke dalam tubuhnya, memiliki sebagian kekuatan Sage hingga kini. ‘Perasaan buruk’-nya
berbeda dengan manusia normal, dan Sakura juga mengetahui hal itu.
“Apa kau tidak merasa salah menilai?”
“Kau jahat, tidak percaya sama sekali dengan penilaianku…” Naruto bergumam,
menjatuhkan dirinya ke lantai merajuk.
“Karena sudah sepantasnya kau khawatir, makanya tidak ada yang bisa kau lakukan. Baik
Saimaupun Shikamaru mereka adalah shinobi yang hebat. Meskipun mereka
akhirnya menghadapi situasi dimana mereka membutuhkanmu, mereka akan memintanya.
Dan jika tidak, maka Hokage akan memintamu untuk menyelamatkan mereka.”
“Ehhh, aku tak yakin Kakashi-sensei tahu kapan saat itu tiba.”
“Kau jauh lebih buruk dari dia!” Sakura meledak, menendang tulang keringnya. Naruto
menggerakkan kakinya, berusaha menjaga jarak.
“Berhenti membicarakan hal yang tak bisa kau bantu, dan konsentrasilah pada misimu.
Itulah yang Sai dan Shikamaru inginkan darimu. Terutama Shikamaru. Ia bekerja keras
dalam Persatuan shinobi dan desa agar kau dapat menjadi Hokage! Jangan biarkan semua
itu menjadi sia-sia.”
“Aku tau mereka melakukan itu untukku… tapi itulah mengapa aku khawatir, kau tahu.”
Sakura menghelas nafas.
“Kuatkan dirimu. Mereka adalah teman-teman yang mempercayaimu selama ini, mereka
tak akan mati sia-sia.”
“Jangan berkata hal yang menakutkan tentang kematian!”
“Oh, demi apapun! Aku berkata satu hal kau sedih, aku berkata hal lain kau masih sedih!
Kausangat menyusahkan-ttebayo!” Sakura menggunakan frase yang biasa digunakan
Naruto padanya. “Pulanglah dan tidur!”
Sakura melempar Naruto keluar ruangan.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 8
–
Negeri Sunyi
Tim Shikamaru berlari selama tiga hari tak peduli siang atapun malam, sebelum
mereka akhirnya tiba di Negeri Sunyi.
Negeri Sunyi merupakan Negara yang relatif kecil, terletak menghadap bagian barat
kontinen. Sebagian besar dari negara itu dikelilingi oleh pegunungan dan hutan, dan
dataran utamanya dihiasi oleh tanah lapang. Tak ada satupun kota di dataran itu yang
luasnya mendekati kota manapun di Negara Api. Negeri Sunyi akan lebih terasa seperti
pedesaan yang sederhana bahkan bagi tiga pendiri Konoha.
Ibukota negara itu, Desa Tirai, terletak hampir di tengah-tengah Negara. Sejak mereka
menyelinap masuk dari batas negara, Shikamaru dan timnya secara konstan berlari
melewati bukit dan lembah. Saat mereka mencapai Desa Tirai, terhitung sudah empat hari
sejak mereka meninggalkan Konoha.
Meskipun negara itu merupakan negara yang miskin, ibukotanya masih memiliki
kemegahan layaknya kota besar. Ketika seluruh desa di negara itu memiliki rumah dengan
atap jerami, rumah terkecil di ibukota itu beratap genting. Terdapat banyak bangunan yang
dibuat menggunakan beton bertulang, dan jalanan yang bersih dan tertata rapi. Jalanan
yang tersebar di desa memiliki bentuk yang sama seperti jaring laba-laba, meluas
melingkar dari tengah kota. Ruang-ruang kecil dipisahkan oleh jalan, rumah, dan
apartemen yang berbaris berdampingan.
Sebuah bangunan yang sangat besar didirikan di tengah kota. Jika dilihat dari kejauhan,
bangunan ini merupakan satu-satunya yang mecolok diantara bangunan lain. Gedung itu
tingginya sekitar 10 lantai, dengan atap berwarna crimson, dan di tepi kiri dan kanan atap
terdapat dua patung singa berwarna emas.
“Ahh, ini pasti merupakan istana negara yang kita cari.”
“Tidak perlu terdengar begitu puas karena menyatakan hal yang sudah jelas, kau tahu.”
Shikamaru setengah mengawasi istana itu, setengah mendengarkan pembicaraan Rou
dan Soku saat mereka melewati jalan utama.
Tentu saja, mereka telah mengganti jaket pelindung Konoha mereka.
Sebagaimana budaya setiap negara yang berbeda, begitu pula dengan pakaian. Rou dan
Soku menyarankan agar mereka sebaiknya mendapatkan pakaian lokal sehingga mereka
tak tampak mencolok selama penyusupan, dan Shikamaru menurut karena pengalaman
mereka sebagai Anbu. Sepanjang jalan kota itu, mereka akan berhenti di mansion yang
tampak dimiliki oleh orang yang sangat kaya yang dapat mereka temukan dan
mendapatkan pakaian untuk mereka bertiga.
Pakaian yang dipakai orang-orang di Negeri Sunyi sangat sederhana, tanpa pola-pola
tertentu. Atasannya merupakan jubah uwagi**, yang menutupi sekitar dada dan diikat
menggunakan sabuk kain. Dari pinggang ke bawah menggunakan hakama** yang
lebar, dengan bagian bawah celanamereka dimasukkan ke dalam sepatu boot
bertali yang tingginya sebetis.
Warna pakaiannya juga tampak aneh seperti desainnya. Semua orang yang berjalan di Desa
Tirai itu menggunakan warna hitam atau coklat atau abu-abu. Bahkan pertokoan di
sepanjang jalan itu tidak memiliki lampu penerangan atau papan neon, iklan-iklan mereka
tampak membosankan dan suram.
Tak ada satupun hal yang tampak terang dapat ditemukan di seluruh kota itu.
“Apakah anda menyadarinya, Shikamaru-dono?” Rou bertanya dari posisinya di depan.
Shikamaru berdesakan di antara dua Anbu. Rou berjaga di bagian depan.
Pertanyaan pria itu sangat samar. Ia tidak merincikan apa yang seharusnya Shikamaru
telah sadari, jadi tidak ada cara untuk menjawabnya.
“Kita belum melihat satupun pelayan Daimyou.” Rou menjelaskan.
“Itu benar.” Shikamaru menyetujuinya.
Sembari berbincang, mereka menuju ke arah istana. Tidak ada maksud untuk
melaksanakan operasi itu sekarang, namun hanya mengikuti orang-orang sekitar yang
berjalan menuju bangunan terbesar itu. Shikamaru tentu saja tidak berkeinginan untuk
terburu-buru atau gegabah dan mempertaruhkan misi menjadi lebih buruk.
“Semua orang yang kita lihat di jalan sejauh ini adalah penduduk Negara. Sangat aneh jika
kita tak melihat satupun pelayan.”
Pengamatan Rou tepat sasaran.
Pemimpin-pemimpin negara di kontinen mereka, tanpa pengecualian, selalu merupakan
Daimyou. Persatuan antara Dunia Shinobi berjalan dengan baik, namun shinobi sama sekali
tak pernah berada dalam kepemimpinan politik. Dan Daimyou selalu tinggal di ibukota
Negara mereka, dengan tempat tinggal mereka yang dibanjiri oleh petugas yang melayani
mereka.
Pelayan-pelayan itu membedakan diri mereka dengan penduduk lainnya dengan bangga,
dari pakaian mereka yang berwarna-warni hingga perilaku mereka yang sombong dan
arogan. Mereka selalu sibuk di kota dimana Daimyou mereka tinggal, berkelana di daerah
sekitar untuknya.
Dan lagi, mereka tidak mendapati seorang pelayan pun.
“Kemungkinan disini memang tidak terdapat Daimyou.” Gumam Soku.
Itu mungkin merupakan keadaannya. Negara kecil terkadang memiliki keadaan dimana
penduduk menampakkan seolah-olah terdapat Daimyou, namun sebenarnya mereka
mengurus masalah mereka sendiri.
Tapi negara ini berbeda. Shikamaru sangat yakin akan hal itu.
Ia berbalik ke arah Soku, matanya melirik istana yang baru saja mereka lewati di belakang
mereka.
“Pesan Sai menyebutkan dengan jelas bahwa negara ini dikontrol oleh pria
bernama Gengo.”
“Tapi kemungkinan ia bukan seorang Daimyou, kau tahu.”
“Kau mendapatkan intinya.” Saat Shikamaru mengatakan hal itu, pandangannya jatuh ke
arah seorang pria yang berjalan di depan kelompoknya.
Ia mengenakan jubah hitam panjang dan memiliki mata yang tajam. Pakaiannya mencolok
diantarahakama dan uwagi yang digunakan oleh penduduk lainnya.
Desainnya mengingatkan Shikamaru pada jubah Akatsuki, meskipun pada pakaian pria ini
tak terdapat gambar awan merah, atau kerah tinggi yang menutupi mulutnya. Tak terdapat
lapisan ataupun pengikat ditengahnya, hanya ada lima buah kancing besar berwarna silver.
“Lihat pria di depan kita? Kita sudah melihat beberapa orang lainnya
berpakaian sepertinya. Apakau merasa teringat akan sesuatu saat melihat mereka?” Tanya
Shikamaru.
“Saya juga menyadarinya, Shikamaru-dono.”
“Bukankah seseorang normalnya menunggu sesaat daripada langsung menyetujui
sesuatu…?”Tanya Soku.
“Pakaian itu.
.
.bagaimanapun pakaian itu menjadi target.” Rou membuat satu lagi lelucon buruknya.
“Kami ingin kau diam, kau tahu.” Soku mengerang.
Mengabaikan gurauan mereka, Shikamaru lanjut berbicara.
“Rou, bagaimana dengan pria di sebelah sana? Apa kau tidak merasa ia terlihat familiar?”
Setelah Shikamaru berbicara, ia menolehkan kepalanya sedikit ke arah rumah teh di
jalanan yang ramai itu.
Rou menoleh untuk melihat ke arah yang Shikamaru maksud.
“Itu…Itu tidak mungkin…”
“Eh? Ada apa? Aku tak mengerti apa yang kalian sibuk bicarakan daritadi, kau tahu…”
“Jadi aku benar.” Shikamaru berkata dengan muram. “Aku terus merasa bahwa wajah
orang itu terlihat familiar.”
Ia dan Rou melihat ke arah pria yang menduduki bangku panjang di depan rumah teh dan
sedang meminum teh. Ia juga menggunakan jubah panjang yang mencolok.
Saat mereka melihatnya, pria itu memanggil pemilik rumah teh, dan penjaga toko segera
keluar dari dalam rumah teh itu, membungkuk berkali-kali dan memuji-muji serta
meminta maaf kepada pria itu.
Tingkah seperti itulah yang biasa dilakukan penduduk kepada pelayan Daimyou.
“Dia seharusnya merupakan Anbu,” ucap Rou terhenyak. “Namanya adalah Minoichi.”
“Pria itu…”
“Seharusnya merupakan yang hilang saat perang, kan?” Tebak Soku, menyelesaikan
kalimat Shikamaru.
Ketiga dari mereka terus berjalan melewati rumah teh, berhati-hati agar pemantauan
mereka terhadap Minoichi tidak disadari.
“Akan lebih cepat jika kita mengetahui kejadian ini lebih dulu, iya kan?” Ucap Shikamaru.
Rasanya seperti ada kembang api yang muncul dari dalam hati Shikamaru. Bibirnya
melengkungkan senyum.
–
“Kau tak akan bisa bergerak lagi.” Shikamaru berujar pada pria yang tersentak ketakutan di
depannya.
Mereka berada di lorong sempit diantara dua bangunan beton. Shikamaru sengaja memilih
tempat ini karena tempat ini bukan merupakan hotspot, sehingga terabaikan meskipun
pada tengah hari.
Rou dan Soku mengawasi ujung lorong yang terbuka ke arah jalan. Mereka menyatu
dengan bayangan sesuai dengan yang diharapkan dari pengalaman mereka sebagai Anbu,
tetap diam tak bergerak dan berkonsentrasi penuh pada tugas mereka.
Sebuah bayangan yang bahkan lebih gelap dan dalam dibanding bayangan lorong sempit
itu memanjang dari kaki Shikamaru. Bayangan itu merayap sepanjang lorong seperti ular
berwarna hitam pekat hingga menggapai sekitar tubuh pria yang ada di depannya. Sulur
bayangan itu berubah menjadi tangan-tangan gelap yang melingkari leher tawanannya
dengan erat.
Kage Kubi Shibari no Jutsu…
Klan Nara, keluarga Shikamaru, telah menjadi pengguna jurus bayangan dari generasi ke
generasi. Kage Kubi Shibari no Jutsu membuatmu dapat menggunakan bayanganmu untuk
menghentikan gerakan lawan. Bayangan Klan Nara berwujud fisik. Jurus mereka tak hanya
berhenti sampai mengikat lawan dengan bayangan- mereka juga dapat menggunakannya
untuk membuat kerusakan fisik.
“Untuk sekedar kau tahu.” Ucap Shikamaru datar. “Aku dapat dengan mudah
menghancurkanlehermu menggunakan bayanganku.”
“B- bagaimana…Ke- kenapa kau…br*****k…”
“Kau tak mengenalku?” Shikamaru bertanya pada Anbu itu. “Aku mengenalmu, Minoichi-
san.”
“A- aku tak kenal nama itu”
“Jangan pura-pura bodoh. Kau sebenarnya merupakan shinobi Konoha, kan?”
“A- aku tak tahu soal itu.”
Bayangan Shikamaru bergerak ke arah leher pria itu, sebuah tangan gelap semakin erat
mencengkram mengitari jakun Minoichi.
“Ugh…” Ia mengerang kesakitan.
“Kau terlahir di Konoha.” Ucap Shikamaru. “Kau pasti pernah mendengar tentang
jurus Klan Nara, bukan? Dan apa yang dapat jurus itu lakukan…”
Jika kau meneruskan hal ini, aku akan mencekikmu hingga mati.
Itu merupakan ancaman yang dibuat Shikamaru.
“Jadi kenapa kau, seorang Shinobi Konoha, berada ditempat ini, menggunakan
pakaian seperti itu?”
“A- aku bukan seorang shinobi lagi.” Minoichi berbicara dengan suara parau. “Aku adalah…
Kakusha(Yang Tercerahkan).”
“Yang Tercerahkan? Apa yang kau maksud dengan hal itu?”
“O-orang-orang lamban seperti kalian yang hidup di…dunia Shinobi yang tak pernah
berubah…tak akan pernah mengerti apa tujuan mulia kami.”
“Lihatlah ocehanmu. Aku bertanya siapa yang dimaksud ‘Yang Tercerahkan’ itu.”
Shikamaru sedikit menguatkan cengkraman jari-jari bayangannya pada sekitar leher pria
itu.
“Geugh…” Minoichi mengerang.
“Aku tak masalah dengan mencekikmu jika kau meneruskan hal ini.” Bahkan Shikamaru
merasa mual dengan kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri.
Hatinya diselimuti oleh kegelapan…
“Kau tak akan mengert- eugh!”
Shikamaru mengeratkan cengkraman bayangannya dengan kuat pada jakun Minoichi yang
naik turun.
“Jika kau teruskan omong kosong ini, aku akan benar-benar membunuhmu.”
Pupil Shikamaru melebar membuat matanya menggelap segelap bayangannya.
“A- aku…mengerti…”
“Bukankah yang seharusnya adalah ‘aku mengerti, tuan’?” ***
“Aku…mengerti…tuan…”
Shikamaru melemahkan cengkraman bayangannya, dan Minoichi langsung terbatuk dan
tergugup, air mata muncul di matanya.
“Sekarang, kau harus menjawabku. Siapa sebenarnya kau ‘Yang Tercerahkan’? Apa yang
dilakukan oleh orang-orang yang merupakan shinobi dengan berkumpul di daerah ini?”
Melihat ekspresi bengis di wajah Shikamaru, Minoichi menarik nafas dalam-dalam dan
mulai berbicara.
“Kami ‘Yang Tercerahkan’ menguasai negara ini. Tak ada lagi Daimyou rendahan di sekitar
sini. Gelar ‘Yang Tercerahkan’ didapatkan jika kalian merupakan shinobi yang telah
membuka mata kalian terhadap tujuan mulia Dengo-sama. Tujuan kami adalah
menciptakan revolusi yang sebenarnya di dunia ini bersama dengan Gengo-sama. Apapun
yang sampah seperti kalian susun atau rencanakan tidaklah berarti baginya. Apapun yang
kau dengar dariku tak akan membuatmu mengerti tentang kebenaran negara ini…!”
Minoichi mulai tertawa, membuka rahangnya untuk menggigit lidahnya dengan maksud
bunuh diri.
“Berhenti!”
Sesaat, Shikamaru yakin bahwa Minoichi sudah mati, merosot ke samping, karena
menggigit lidahnya. Namun kemudian, otaknya menangkap sesuatu.
Dalam sekejap, sesuatu telah melayang dan menusuk sisi leher Minoichi…
“Aku menggunakan jarum chakra yang melumpuhkannya, jadi ia tak akan bisa bergerak
selama tiga hari, kau tahu.”
Soku yang berbicara. Ia sudah berdiri di sebelahnya tanpa Shikamaru sadari.
“Feh, ‘Yang Tercerahkan’…itu terdengar arogan dan menjengkelkan, kau tahu.” Ucap Soku,
melihat ke arah Minoichi yang sudah tergeletak.
Wajah mantan shinobi itu terlihat mengganggu dalam tidurnya yang damai.
*** Agak sedikit membingungkan. Pada dasarnya, Minoichi menggunakan kata
‘Aku mengerti’ dengan bahasa yang kasual, namun Shikamaru memerintahkannya
untuk menggunakan bahasa yang sopan. Menambahkan kata ‘Tuan’ adalah arti yang
paling mendekati.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 9
–Negeri Sunyi
–
Shikamaru sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa menggigil yang menjalari
tulang belakangnya karena duduk di lantai yang keras dan dingin.
Disana tidak terdapat jendela. Dindingnya, langit-langitnya, semuanya terbuat dari beton.
Ia, Rou, dan Soku duduk membentuk lingkaran di ruangan yang seluruhnya berwarna abu-
abu.
Ketiga dari mereka mengenakan jubah panjang Kakusha. Semuanya hasil curian, tentu saja.
Bahkan ruangan dimana mereka berada bukanlah milik mereka. Pemiliknya merupakan
seorang Kakusha yang dikurung dalam lemari di ruangan sebelah, pingsan karena Jarum
Chakra yang melumpuhkan, milik Soku.
Tentu saja, mereka tak lupa melakukan interogasi di tengah aksi pencurian mereka. Hasil
dari semua pertanyaan mereka yang berulang-ulang menghasilkan informasi yang cukup
banyak.
“Tampaknya kesimpulan awal Shikamaru-dono benar.” Rou memulai pembicaraan.
“Negara ini jelas-jelas terlihat seperti dikuasai oleh karakter Gengo dan kharismanya yang
kuat serta menakutkan.”
Shikamaru mau tak mau harus setuju dengan Rou tentang kharisma Gengo. Mereka harus
memancing seorang Kakusha pria yang lain untuk mendapatkan jubah yang panjang untuk
Roku, dan seorang Kakusha wanita untuk jubah Soku. Dihitung dengan Minoichi, maka
secara keseluruhan sudah tiga Kakusha yang mereka interogasi.
Tiga orang Kakusha, dan ada satu hal yang tak berubah dari setiap keadaan yang mereka
pantau, yakni keyakinan yang tak tergoyahkan pada Gengo.
Keyakinan yang para Kakusha miliki terhadap Gengo sangatlah berbeda dari kepercayaan
yang shinobi Konoha berikan pada Hokage, atau Naruto.
Manusia merasakan cinta dan penghormatan terhadap manusia lain. Itu lah, menurut
Shikamaru, hubungan antara shinobi Konoha dan pemimpin mereka. Manusia
menghormati manusia lainnya.
Namun cara mereka memperlakukan Gengo berbeda. Mereka berbicara tentangnya
menggunakan ketakutan dan penghormatan yang sama dengan yang seseorang tujukan
pada dewa yang hidup. Mereka yakin bahwa sementara mereka adalah manusia, wujud
Gengo merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Itu merupakan sebuah keyakinan yang tak
tergoyahkan dan menggelisahkan.
Pria macam apa yang mampu membuat orang-orang begitu memujanya?
Shikamaru sedikit menyadari bahwa dari dalam hatinya, ia sendiri merasa penasaran
denganjawabannya.
“Baiklah, sudah dikatakan sejak awal bahwa semua ini akan berakhir jika kita mengakhiri
Gengo, kau tahu.” Ujar Soku blak-blakan. “Itulah mengapa pria tua ini dan aku yang
diperintahkan. Jika kasusnya tidak seperti ini, maka kami tidak dibutuhkan. Meskipun aku
lebih menyukai jika keadaannya bukan seperti itu, kau tahu.”
Meskipun komentarnya sedikit tidak sopan, masukan Soku berhubungan dengan
pembicaraan mereka.
“Sepertinya pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah menjadi sebuah kepercayaan
(sejenis pandangan religius).” Ucap Rou.
“Aku juga merasa begitu, kau tahu.” Soku mengangguk. “Sesuatu pasti telah terjadi pada
mereka hingga mereka begitu terikat dengannya.”
“Apa yang kau maksud dengan ‘sesuatu’, Hinoko?”
“Shikamaru-san! Aku sudah bilang jangan sebut namaku!” Soku duduk menahan amarah,
jari telunjuknya menunjuk wajah Shikamaru, dari ujungnya keluar chakra oranye. “Jika kau
memanggilku dengan namaku lagi, aku benar-benar akan menghantammu!”
Ia begitu marah, ia bahkan tak menambahkan “kau tahu” di akhir kalimatnya.
“Kenapa kau tidak menyukainya? Itu adalah nama yang menarik…” * [Translator’s Note:
Hinoko berarti percikan api/bunga api.]
“Itulah mengapa aku tidak menyukainya!” Chakra Soku meraung lebih jelas karena
emosinya. “Nama yang keren seperti Gourai [petir yang menderu] atau Shippu [badai yang
kencang]atau Kimidare [hujan di musim panas] akan jauh lebih baik!”
Tak peduli seberapa kapabelnya dia, di dalamnya Soku masihlah seorang anak berusia 14
tahun. Kalimatnya yang menggunakan kata nama yang ‘keren’ sangat di luar dugaan,
Shikamaru berusaha keras untuk tidak tertawa.
Dia pasti salah menangkap ekspresi tegang Shikamaru sebagai ekspresi penyesalan, karena
chakra yang yang keluar dari ujung jarinya tiba-tiba lenyap.
“Maaf,” ucap Shikamaru, mengontrol kembali dirinya. “Aku tak tahu kau membenci
namamu sampai seperti itu. Aku akan berhati-hati untuk tidak menggunakannya.”
“Se- selama kau mengerti…” Soku terlihat malu karena ledakan amarahnya, menunduk ke
arah lantai.
Di depan mereka terdapat peta Desa Tirai yang terbentang di lantai. Juga diperoleh dari
pemilik ruangan itu.
“Saya katakan, bentuk kota ini seperti jaring laba-laba.” Ucap Rou bersedekap, berpikir.
Shikamaru menunduk untuk mempelajari peta itu. Pandangannya jatuh pada gambar
istana besar yang berada di tengah kota. Tulisan di sebelahnya menunjukkan ‘Istana
Tahanan yang Mengambang’. [Translator’s Note: ‘Mengambang’ yang dimaksud adalah
‘terkatung-katung’ atau ‘tidak jelas nasibnya’]
“Tahanan yang Mengambang…” Shikamaru bergumam pada dirinya sendiri.
“Itu merupakan istilah yang menghina.” Rou menjelaskan menggunakan pengetahuan
kunonya. “Digunakan untuk tahanan perang, atau orang-orang tak beradab di dekat
perbatasan ibukota.”
“Menghina, huh…” Pikiran Shikamaru berputar saat ia bergumam dengan keras. “Apakah
Gengo yang menamainya? Atau apakah istana itu telah dinamai seperti itu jauh sebelum ia
menjadi pemiliknya?”
“Negeri Sunyi selalu menghindari kontak dengan negara lain, dan sebagai konsekuensinya,
bahkan kami Anbu Konoha tak memiliki informasi mengenai istana ini.”
Shikamaru entah bagaimana merasa bahwa Gengo-lah yang menamai istana itu. Itu hanya
merupakan intuisi yang samar, jadi ia tak mengatakan apapun tentang hal itu.
“Kenapa menamai istanamu sendiri dengan nama yang menghina seperti itu…”
“Apakah nama itu memiliki maksud seperti ini? ‘Saat Lima Negara Besar dan negara-negara
kecil lainnya mengklaim tanah mereka di kontinen ini, kami orang-orang yang tak beradab
dipaksa untuk hidup di pinggiran.’ Mereka menghina diri mereka sendiri.” Ucap Rou.
“Itu pasti merupakan hal yang dimaksud.” Shikamaru berkomentar, tenggelam dalam
pikirannya.
“Itu bodoh, kau tahu.” Soku menyela dengan cemoohan. Ia diam saja sedari tadi,
mendengarkan pembicaraan mereka, namun tampak begitu marah hingga ia tak dapat
menghentikan dirinya dari berbicara. “Menghina dirimu sendiri, menyatakan dirimu
adalah sampah, kegilaan seperti apa itu? Dan pria sinting serta pesimistis ini mencoba
untuk mengubah dunia shinobi? Konyol.”
Ia lupa menambahkan kata ‘kau tahu’ lagi.
Shikamaru menyadari, Soku benar-benar marah terhadap orang-orang di negara ini
karenamemberikan nama yang mencela diri mereka sendiri.
“Mungkin dengan menghina diri mereka sendirilah mereka menemukan keberanian untuk
menunjukkan taring mereka dan melawan seluruh dunia.”
Jawaban Soku terhadap penjelasan Shikamaru adalah dengan berpaling karena muak. Ia
(Shikamaru) lanjut berbicara.
“Pembalasan dendam muncul karena kebencian terhadap lawanmu. Dan kebencian tak
akan pernah muncul dalam diri seseorang jika mereka tidak memulai perkelahian atau
memprovokasi pihak lain.”
“Kalau begitu, Shikamaru-dono, apakah menurut anda seluruh orang di negara ini
membenci negara-negara lain di kontinen ini?”
“Itu merupakan ide yang konyol, kau tahu.” Soku memotong, masih memanas. “Seluruh
Kakusha yang menjalankan/memimpin negara ini merupakan mantan shinobi dari negara
lain, bukankah begitu?”
Soku benar. Fakta menjadi jelas pada waktu interogasi mereka terhadap ketiga Kakusha.
Setiap Kakusha yang terlibat dalam pemerintahan negara ini, awalnya merupakan shinobi
dari negara lain. Sebagian dari mereka merupakan shinobi yang hilang dalam perang, dan
sisanya merupakan mereka yang menjadi missing-nin selama setahun terakhir, namun
mereka semua merupakan penguasa yang berpengaruh, yang bertanggung jawab pada
Gengo.
Mereka telah mempelajari bahwa awalnya negara ini juga memiliki Daimyou. Orang yang
mengusir Daimyou, membangkitkan para Kakusha, dan mengubah negara dari akarnya,
tentu saja tak lain adalah Gengo.
Akan menjadi kesimpulan yang tepat jika mengatakan bahwa seluruh Negeri Sunyi
dipimpin oleh shinobi.
“Jika mereka membenci negara lain,” Soku melanjutkan, “Maka itu artinya mereka juga
membenci desa mereka. Itu bukan hal yang benar.”
Konsep itu tampak asing baginya.
“Ada juga shinobi yang seperti itu.” Ucap Shikamaru hati-hati, menjelaskan dengan nada
yang tenang. “Kelompok yang menyebabkan perang besar lalu, ‘Akatsuki’, hampir semua
anggotanya merupakan missing-nin. Mereka adalah kelompok dengan kemampuan luar
biasa yang membenci dunia shinobi.”
Kau akan menemukan dirimu terjebak dalam situasi buruk, dan kegelapan mulai menjelma.
Bukanlah hal yang mengejutkan jika semua kemarahan dan kebencian membuatmu
memberontak di negaramu sendiri. Kau akan menyalahkan desamu karena
ketidakberuntungan dan penderitaanmu, mengatakan bahwa itu bukan salahmu, namun
merupakan salah dari struktur negaramu- tidak, struktur dunia inilah yang harus
dipersalahkan.
Karena melalui pemikiran itulah anggota Akatsuki atau Kakusha terlahir.
“Namun, saya katakan, jika ini benar…” Rou berbicara, dan Soku serta Shikamaru terdiam.
“Jika ini benar, dan para Kakusha merasakan ketidakpuasan terhadap keadaan dunia
shinobi yang sekarang…”
Rou melirik Shikamaru, yang mengangguk menyuruhnya melanjutkan.
“Dan mereka datang ke negara ini dengan rasa tidak puas itu… Namun, baiklah, apa yang
mereka lakukan disini sama sekali tak berbeda dengan apa yang telah terjadi di dunia
shinobi, bukankah begitu?”
Rou merujuk pada bagaimana para Kakusha mendapatkan penghidupan. Negeri Sunyi
membuka rute pesan yang unik untuk bisnis/usaha, dan menerima permintaan misi dari
seluruh bagian kontinen. Lebih lagi, standar harga mereka lebih murah dibanding (standar
harga) Persatuan Shinobi. Ketika negara-negara besar dan kuat seperti Lima Negara Besar
tidak terlalu peduli tentang penurunan harga dibanding kredibilitas, hal itu merupakan
suatu keringanan untuk negara-negara kecil di sekitar kontinen yang memiliki sedikit
simpanan..
Tak heran jika permintaan misi kepada Persatuan Shinobi merosot tajam.
Tepat seperti yang Rou katakan. Shinobi yang memiliki kebencian terhadap dunia shinobi
akan melarikan diri ke Negeri Sunyi- hanya untuk terus menerima permintaan misi
layaknya yang dilakukan shinobi.
“Sebuah ‘revolusi yang sesungguhnya’…” Gumam Soku penuh pemikiran.
Ketika Rou dan Shikamaru melihat ke arahnya, gadis itu terlihat gugup.
“Itu yang Minoichi katakan. ‘Tujuan kami adalah untuk menciptakan sebuah revolusi yang
sesungguhnya di dunia ini bersama dengan Gengo-sama,’ dan semuanya…”
“Menurutmu mereka menerima permintaan misi demi mencapai tujuan itu?” Tanya
Shikamaru.
Soku mengangguk.
“Nah, kalau begitu…pria Gengo itu merupakan ancaman yang harus dilenyapkan.”Gumam
Rou.
“Kita telah diberkahi dengan kesempatan yang bagus, kau tahu.” Ucap Soku, menunjuk
alun-alun di depan ‘Istana Tahanan yang Mengambang’.
“Alun-alun itu disediakan sebagai tempat pidato… Itu merupakan tempat yang cocok untuk
pembunuhan, iya kan?” Rou tertawa, dan melihat Shikamaru dengan gembira.
Pria yang selalu tampak tulus dan sederhana kini membicarakan tentang pembunuhan
berdarah dingin dengan senyum di wajahnya. Shikamaru baru saja menyadari, dalam
hatinya, bahwa Rou benar-benar merupakan bagian dari Anbu.
“Untuk menyimpulkan apa yang telah kita diskusikan: Rou, kau akan menggunakan
jurusmu untuk membantu kita membaur di keramaian alun-alun. Aku akan menggunakan
bayanganku untuk mencapai dan menahan Gengo. Soku, kau akan ditempatkan di atap
terdekat, memantau dari atas.** Saat kau melihat Gengo menjadi kaku, kau harus segera
melayangkan Jarum Chakramu.”
Mereka berdua mengangguk dengan senyuman yang tidak biasa atas perintahnya, seolah
mereka telah menunggu-nunggu saat itu tiba.
“Kami mengandalkanmu, Hinoko.”
“Berapa kali aku sudah katakan untuk tidak memanggilku begitu?!” Soku bangkit dan
berdiri, memanas karena kemarahan.
“…Empat puluh kali.” Bisik Rou.
“Huh?” Soku melotot ke arah seniornya, mulutnya terbuka karena marah.
“Nama Shikamaru-dono memiliki ‘shi’ untuk ‘4’ dan ‘maru’ untuk ‘0’, jadi…empat
puluh.”ujar Rou tanpa perlawanan.
Soku geram.
“Permainan kata-kata lagi!” Ia melangkah maju, “Dan yang itu buruk! Lalu apa yang terjadi
pada ‘ka’?!”
Rou segera bangkit dan –meskipun berusia 40 tahun, secara signifikan lebih besar daripada
juniornya yang pemarah, dan merupakan seorang Anbu- dengan cepat bersembunyi di
belakang Shikamaru, meringkuk dari kemarahan remaja berusia 14 tahun.
Tentu saja, ia melakukan tindakan tersebut untuk membuat tertawa, namun itu tak
membuat Shikamaru berhenti merasa malu akan sikap mereka berdua.
“Apakah semua akan benar-benar baik-baik saja besok…?” Ia menghela nafas.
Kedua Anbu berdiri tegak, kalimat yang meyakinkan keluar dari mulut mereka.
“Semua akan baik-baik saja, kau tahu!”
“Tak ada yang perlu terlalu anda khawatirkan, Tuan!
Melihat mereka, Shikamaru mengehela nafasnya lagi.
[Translator’s Note]
* Mengingatkan lagi, Kakusha = Yang Tercerahkan
** Pengamatan dari atas yang dimaksud adalah istilah Bird’s Eye View
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 10
–Negeri Sunyi
–
Begitu banyak orang yang berkumpul di alun-alun depan istana hingga Shikamaru tak akan
terkejut jika mereka merupakan seluruh populasi kota.
Bukan hanya para Kakusha dengan jubah hitam panjangnya. Pria dan wanita, laki-laki dan
perempuan, segala umur dan golongan berkumpul dalam sebuah kerumunan besar yang
kacau, menunggu kemunculan pemimpin mereka.
Mereka semua memasang ekspresi antusias dan penuh minat yang sama di wajah mereka,
mata mereka berapi-api dengan kesetiaan. Suara mereka bercampur, menggumamkan
pujian dan pengagungan sembari mereka menunggu. Setelah dipertimbangkan, Shikamaru
menganggap mereka berisik dan menjengkelkan.
Terjebak di tengah kerumunan yang menggila, dan terlebih lagi di dalam jubah, Shikamaru
dapat merasakan kulitnya mulai licin karena keringat.
Rou berada di sebelahnya. Soku mengintai dari atas atap gedung beton di seberang istana
itu.
Jurus Rou telah menyamarkan chakra Shikamaru agar terlihat seperti chakra pemilik jubah
yang digunakannya. Baik kualitas maupun kuantitas, semua sama persis dengan Kakusha
itu. Rou, tentu saja, melakukan hal yang sama pada chakranya dan Kakusha yang
sebelumnya menggunakan jubahnya.
Tentu saja, mereka juga menyamarkan wajah mereka. Sekali lagi, itu merupakan hasil dari
ketrampilan Rou. Tak peduli seberapa baik mereka menyembunyikan chakra, jika pasukan
musuh memiliki seseorang dengan mata yang tajam dan merupakan pengingat wajah yang
baik, mereka akan diketahui dalam sekejap. Kemampuan Rou telah menjamin mereka
tersembunyi lebih dari cukup, baik chakra maupun kemungkinan mereka dapat terlihat.
Meskipun jika wajah mereka diperiksa, tidak mungkin akan ditemukan perbedaan antara
mereka dengan Kakusha yang sebenarnya.
Terlebih lagi, Shikamaru dan Rou tersembunyi diantara kerumunan besar.
Semuanya telah dipersiapkan agar musuh tidak akan menemukan cara untuk melihat
keberadaan mereka.
“Untuk sekarang, ayo kita menuju tempat itu.” Gumam Rou dengan suara pelan. Ia hanya
sedikit menggerakkan mulutnya saat berbicara, matanya tak pernah lepas dari podium di
depan kerumunan itu. Podium itu sedikit lebih tinggi dari tanah, dengan tangga kayu di
sisinya. Tidak terdapat apa-apa di podium itu, tak satupun mikrofon ataupun penjaga.
Kerumunan itu berdesak-desakan ke depan, cukup dekat bagi mereka untuk
menyentuhnya.
“Saya katakan, apakah Gengo benar-benar akan muncul?” Rou bergumam ragu.
Tidak salah jika ia merasa ragu. Untuk seorang pemimpin negara, berdiri di podium tanpa
penjagaan merupakan hal yang sangat berbahaya. Jika Gengo muncul, maka itu sama
dengan mengatakan bahwa dia tak memiliki sedikitpun kecurigaan terhadap siapapun
yang dapat membahayakan jiwanya.
“Untuk sekarang, lebih baik kita mencoba mendekat dan menunggu. Jika Gengo tidak
muncul, maka kita akan mundur secara diam-diam.”
“Dimengerti.”
Mereka hanya perlu mencapai jarak dimana kagemane Shikamaru dapat menggapai pria di
podium itu. Jika Shikamaru dapat menghentikan pergerakan Gengo, maka Jarum Chakra
Soku yang akan melanjutan sisanya.
“Jika dia hanya akan munc-”
Gumaman Rou terpotong oleh sorak sorai dari depan kerumunan terdekat dari podium itu.
Teriakan gembira muncul dan menyebar seperti gelombang tidal di alun-alun. Bersamaan
dengan Shikamaru yang mendorong untuk membuat jalannya ke depan, semua orang
bersorak kencang hingga gendang telinganya terasa ingin pecah.
Seorang pria muncul di podium itu.
Dia mengenakan jubah hitam panjang yang sama dengan para Kakusha, namun diselimuti
oleh ornamen yang penuh warna, begitu pula dengan sabuk perak besar. Lebih lagi, lengan
jubahnya dibordir dengan ular perak di sekeliling pergelangannya.
Rambutnya berwarna biru indigo gelap. Dia memiliki rahang yang kuat, perawakan
maskulin, dan posturnya jelas dan tegap. Dia melihat dengan tenang ke arah kerumunan
yang bersorak menggunakan matanya yang jernih dan tampak cerdas. Ada sedikit jejak
jerami pada rahangnya. Dia tampak berusia sekitar 30 tahun.
“Pria itu kemungkinan besar adalah Gengo, iya kan?” Gumam Rou, berhenti berjalan
sesaat.
Shikamaru terus berjalan tanpa memberikan jawaban. Ia merasakan keyakinan yang kuat
bahwa pria itu pastilah Gengo.
Perlahan, pria itu mengangkat tangan kanannya ke udara. Seketika, sorak-sorai menjadi
diam. Gengo memejamkan matanya merasa puas karena reaksi itu, sebuah senyum kecil
tersungging di wajahnya. Ia menarik nafas dalam, kemudian membuka matanya dan mulai
berbicara.
“Pertama-tama, aku ingin menyatakan rasa terima kasihku kepada kalian yang telah
berkumpul disini.”
Suaranya dalam dan berat, menenangkan untuk didengar. Suara itu memiliki sesuatu yang
misterius yang membuatmu merasa mendengarnya bukan hanya dengan telingamu, tapi
dengan seluruh tubuhmu. Shikamaru merasakan perasaan yang mengganggu dan membuat
gelisah dalam dadanya, seolah suara pria itu menggores hatinya.
Mata Rou bertemu mata Shikamaru kemudian perlahan mereka mendekati podium. Sudah
jelas bahwa ia juga merasakan sensasi tak nyaman yang sama. Langkah kedua shinobi itu
menjadi seimbang, menjaga agar pergerakan mereka tetap lambat, halus dan senyap.
Gengo membungkuk kecil kepada kerumunan untuk menyampaikan rasa terima kasihnya,
dan kemudian mulai berbicara lagi.
“Sudah sepuluh tahun sejak aku datang untuk berdiri di podium ini. Kita telah memperoleh
banyak orang yang mengikuti cara berpikir kita, dan negara kita telah mulai makmur.
Namun, belum ada satupun keinginan kita yang telah terwujud.”
Semua orang mendengarkan dengan penuh keheningan. Saat kata-kata pria itu terhenti,
sebuah atmosfir aneh berubah menjadi kesunyian dari kerumunan, seolah setiap inchi dari
alun-alun itu berada dalam pengaruhnya.
“Aku memiliki sebuah pertanyaan untuk kalian seluruh rakyat Negeri Sunyi!”
Suara Gengo yang tadinya tenang dan teratur kini mengeras dengan amarah yang
menggelora. Kata-katanya yang diteriakkan tampak berasal dari dalam jiwanya.
“Negara ini dulu dikuasai oleh Daimyou, dan kini negara ini… Dunia seperti apa yang
menurut kalian lebih baik? Siapa yang lebih baik memimpin dunia ini?”
“GENGO-SAMA!”
Para penduduk meneriakkan persetujuan mereka, suara mereka menggema melintasi alun-
alun layaknya gelombang tidal.
“Tidak salah lagi, pria itu adalah Gengo.” Gumam Rou.
Shikamaru mengangguk dalam diam, berbalik ke arah podium. Mereka hampir tiba disana,
beberapa meter lagi menuju jarak yang memungkinkan kagemane Shikamaru mencapai
dan mengikat targetnya.
Seluruh misi akan ditentukan dalam satu waktu…
Gengo mengangkat tangan kanannya, dan kerumunan kembali terdiam.
“Aku telah menerima jawaban kalian. Hari-hari dimana kita dipimpin oleh Daimyou yang
melihat kekuatan, kebijaksanaan, dan kita, para shinobi, sebagai hal yang tak penting- hari-
hari yang kelam itu telah lama berlalu! Rakyatku, kalian kini dapat menemukan kedamaian.
Kami para Kakusha akan melindungi kalian selamanya, dengan kekuatan dan hidup kami.
Karena semua itu adalah yang kami, para Kakusha, inginkan.”
Semua orang tampak dimabukkan dengan kata-kata itu. Mereka diombang-ambingkan oleh
emosi. Beberapa bahkan menangis.
Sejujurnya Shikamaru tidak merasa semua yang Gengo telah katakan merupakan hal yang
terlalu penting. Tak peduli bagaimana ia memutarbalikkan kata-kata di kepalanya, itu tidak
tampak seperti pidato yang terlalu bagus. Akan tetapi, ia telah mengetahui bahwa suara
Gengo memiliki kekuatan yang misterius di dalamnya. Pria itu memiliki kekuatan yang
membuatmu mendengarkan suaranya tak peduli apa yang ia katakan.
“Negeri Sunyi kita berada di daerah yang sangat terpinggir di kontinen ini. Sejarah kita
adalah orang asing, tertindas dan ditindas. Leluhur kita tidak memutuskan kontak dengan
dunia luar untuk memutuskan pertukaran kita dengan orang lain. Itu untuk melindungi
milik kita. Selama kita tetap berada di luar kontak dunia luar, kita akan tetap lemah. Namun
kini, semua telah berakhir.”
Suara Gengo meninggi, sangat marah.
“Orang yang seharusnya memimpin negara ini bukanlah Daimyou, tapi kita, yang memiliki
kekuatan shinobi! Itulah keadilan yang sebenarnya. Karena perjuangan shinobi lah para
penduduk terlindungi. Kehadiran shinobi yang memiliki kekuatan di atas manusia biasa
selalu ditemukan di seluruh dunia. Dan malah, kita dipimpin oleh Daimyou, yang egois,
memikirkan diri sendiri, sementara mereka menghancurkan shinobi dan rakyat di bawah
kaki mereka! Lihatlah negara ini. Sudah 10 tahun sejak aku melenyapkan Daimyou.
Lihatlah kemakmuran yang telah diraih Negara ini!” Dada Gengo dipenuhi oleh rasa
bangga.
“Hampir sampai.” Gumam Shikamaru.
Hanya beberapa langkah lagi, dan Gengo akan berada dalam jarak kagemane-nya.
“Aku akan melenyapkan Daimyou dari dunia ini, dan menciptakan dunia yang baru untuk
kita. Mengapa shinobi tidak diakui dan dihormati? Kita yang memiliki kekuatan yang lebih
besar dari Daimyou. Kita memiliki kekuatan yang lebih besar daripada manusia lain!
Mengapa kita, yang melampaui yang lain, terus tertindas? Bukankah ciri khas kita jauh
lebih hebat daripada orang lain? Karena Daimyou takut akan era shinobi, maka mereka
mendiskriminasi kita, mengasingkan kita, dan membuat kita berada dalam pengaruh
mereka! Rakyat dan shinobi adalah sama, kita merupakan korban dari keegoisan para
Daimyou!”
Mereka semakin dekat dengan Gengo. Dari jarak ini, hampir tampak seperti ada percikan
biru keluar dari mata pria yang berapi-api itu.
“Revolusi…”
Sedikit lagi hingga mereka mencapainya. Sedikit lagi.
Pria yang berdiri di depan mata mereka hampir dapat dipastikan adalah Gengo, dan
mereka dapat dengan mudah mendekatinya tanpa disadari- begitu mudah hingga
Shikamaru merasa bosan.
Ia memikirkan kemungkinan bahwa ini adalah jebakan.
Namun tidak mungkin musuh menyadari keberadaan mereka, dan mereka tak boleh
melewatkan kesempatan ini.
“Akatsuki pernah berdiri dengan niat untuk mengubah dunia ini. Namun mereka
dihancurkan. Mereka dihancurkan oleh dunia shinobi yang tetap tak berubah dari waktu ke
waktu, tak ada hari ini yang lebih baik dari kemarin, dengan shinobi yang masih dikuasai
dan didiskriminasi. Namun Akatsuki hidup dalam nama mereka…mereka adalah fajar.
Mereka merupakan tanda bahwa pagi yang cerah akan tiba. Dengar, kalian yang memiliki
mentari pagilah yang akan bangkit dari kegelapan yang sunyi.”
Gengo perlahan mengangkat kedua tangannya, seolah ia sedang menyambut dewa dari
surga.
“Sinar mentari pertama saat fajar di era yang baru ini, akan bersinar dari Negeri Sunyi
kita!”
Para penduduk bersorak, suara teriakan mereka menutupi segala sesuatu yang lain.
Inilah kesempatan mereka.
Shikamaru membebaskan bayangannya. Sebuah sulur merayap melewati kerumunan
seperti ular berwarna hitam, merayap ke atas podium dan berhenti di kaki Gengo.
Begitu ular bayangan itu menangkap dan menahan Gengo, pergerakannya akan dapat
dihentikan, dan jarum chakra Soku akan menyelesaikan urusannya.
Semuanya akan baik-baik saja jika berjalan sesuai rencananya.
Hanya saja kagemane-nya…
Tak dapat menggapai Gengo.
“Ap-!”
Dia seharusnya telah berada dalam jaraknya. Dia berada dalam jaraknya! Kenapa
bayangannya tak dapat mencapai-
“Ada tikus yang menyelinap di sana.” Pandangan Gengo perlahan mengarah tepat ke mata
Shikamaru.
“Dia menyadari keberadaan kita, Tuan-!” Jerit Rou.
Beberapa bayangan melompat keluar dari belakang Gengo dan melayang ke arah Rou,
menahannya.
Shikamaru segera mencoba untuk menggapai Gengo dengan bayangannya sekali lagi.
“Tak ada gunanya.” Gengo berkata tanpa perasaan.
Bayangan Shikamaru, sesuatu yang sangat akrab dengannya seperti tangan dan kakinya
sendiri, berubah menjadi layang-layang yang terputus dari benangnya. Sulurnya sama
sekali tak mengenai sasaran, berputar-putar melingkar, bergerak sia-sia di tanah.
Baiklah kalau begitu…
Shikamaru melompat ke atas podium, mengeluarkan kunai dari balik jubahnya. Jika
rencana itu telah gagal, maka ia akan menyerang dan melakukannya sendiri.
Gengo tak bergerak untuk lari dari Shikamaru. Sebuah senyum tipis melengkung di
wajahnya.
Shikamaru berlari ke arahnya, melemparkan kunai ke arah leher pria itu dengan penuh
perhitungan.
Seseorang datang ke arah Shikamaru dari sisi podium, menendang perutnya dengan keras.
Ia terguling ke sisi benda kayu itu sebagai dampaknya, dan dengan cepat duduk di atas satu
lutut, kunainya telah siap.
Dia menatap.
“Kau- apa yang kau…?”
Seorang pria berdiri diantara Gengo dan Shikamaru. Ia memiliki kulit abu-abu pucat. Mata
yang sayu, dengan emosi yang tak terbaca. Mulut yang lurus dan jujur.
“Apa yang kau lakukan…?”
Tak salah lagi.
Shikamaru memanggil nama pria itu.
“…Sai.”
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 11
–Negeri Sunyi
–
Sai memegang sebuah kuas dengan satu tangan, dan sebuah gulungan di tangan lainnya,
menggambar dengan berapi-api. Setiap kali ia mengangkat kuasnya dari gulungan, seekor
harimau tinta akan menjadi nyata dan menyerang Shikamaru.
Usaha Shikamaru untuk menangkis serangan mereka berakhir dengan ia terguling dari
podium ke dalam kerumunan.
Ia tak punya waktu untuk hanya mengkhawatirkan Sai. Pikiran Shikamaru benar-benar
kacau.
Mengapa jurusnya tak bekerja?
Mengapa penyamaran mereka bisa terungkap?
Apa Soku baik-baik saja?
Shikamaru menghindari serangan demi serangan dari dalam kerumunan. Dari sudut
matanya, ia dapat melihat beberapa Kakusha menahan Rou. Pria itu terus berusaha
memberontak, tapi tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri dari pria-pria itu
sekaligus.
Bagian pipi Shikamaru yang tergores makhluk tinta Sai terasa tersengat.
Topeng resin yang Rou kenakan pada Shikamaru untuk menyamarkan wajahnya mulai
terkelupas.
“Sebentar lagi, topeng itu akan hancur seluruhnya, jadi aku rasa kau akan merasa lebih
nyaman.” Ucap Sai dengan senyum lugunya.
Kuasnya tak berhenti bergerak. Harimau tinta demi harimau tinta menjadi nyata,
mengepung Shikamaru.
“Kenapa kau melakukan ini…”
“Baru saja,” Sai menyadari, “Kau mengatakan hal yang memberi kesan kau mengenalku.”
Shikamaru tak memberitahu Sai bahwa ialah yang ada dibalik topeng itu. Ia tak bisa untuk
memulainya.
Kau takkan menyebutkan namamu jika kau beresiko ditangkap dan namamu akan dilacak
hingga ke desamu. Tak akan. Itu merupakan peraturan ketat Shinobi.
Di belakang para Kakusha yang bergerombol menuju ke arahnya, Shikamaru dapat melihat
Gengo masih berdiri dengan tenang di atas podium. Ia tetap bersedekap dan terus melihat
pergulatan Shikamaru.
Andai ia berhasil menangkapnya sekali lagi…
Shikamaru melompat ke atas salah satu harimau tinta yang mengepungnya, menusuknya
dengan kunainya dan melompat turun dengan gerakan yang mulus. Ia berlari segera
setelah mendarat di tanah, membebaskan diri dari kepungan makhluk itu. Dari sudut
matanya, ia menangkap sekilas harimau itu menghilang menjadi percikan tinta.
Ada begitu banyak Kakusha menghadangnya, ia bahkan tak dapat menghitungnya.
“Apa ini akan bekerja?” Shikamaru bergumam pada dirinya sendiri, membuat segel jutsu
dengan tangannya.
Sulur gelap yang tak terhitung jumlahnya memanjang dari bayangannya di segala arah.
Kagenui-nya, teknik jahitan bayangan, menggunakan sulur bayangannya untuk menyerang
dan mengikat lawannya seperti jarum dan benang. Karena Shikamaru dapat menciptakan
jarum bayangan dalam jumlah besar, jurus itu menjadi jurus yang cocok digunakan untuk
menghadapi beberapa lawan.
Shikamaru membidik ke arah harimau-harimau itu dan para Kakusha. Sulur-sulur
bayangan berbentuk jarum itu memanjang tanpa kendala. Yang sulur-sulur itu butuhkan
hanyalah dorongan yang kuat untuk membidik dan keluar dari tanah.
“Ayo!” Shikamaru meneriakkan kata itu layaknya jeritan perang. Sulur-sulur itu perlahan
bangkit dari tanah, membesar dan bersiap untuk menyambar –
“Hentikan tindakan tak bergunamu itu.” Gengo memanggil dari atas podium. Saat suara itu
terdengar, sulur-sulur bayangan Shikamaru dengan cepat kembali ke tanah, dan berubah
menjadi bayangan biasa.
“Ap- Apa yang kau lakukan?” Shikamaru berteriak marah pada Gengo karena kegagalannya.
Kenapa suara itu mempengaruhi bayangannya?
Sebenarnya dia itu apa?
“Hm? Aku yakin aku mengenal jurus itu…”
Sai yang berkomentar. Ia sekarang berdiri di depan Shikamaru, menghadangnya.
“Sai, jangan kau berani…”
“Tindakan tak berartimu itu tak enak untuk dipandang.” Ucap Sai tenang, kuasnya dengan
cepat menari di atas gulungan di tangannya. Harimau yang keluar dari gulungannya kali ini
berwarna hitam putih- dan jauh, jauh lebih besar dari yang lain.
“Kau akan merasakannya dulu, dan mengerti, sesegera mungkin.” Ujar Sai, menunjuk
kuasnya ke arah Shikamaru. Harimau hitam putih yang sangat besar menangkapnya
sebagai sinyal, dan membuat langkah besar ke arah Shikamaru.
“Kau k***at…” Gumam Shikamaru, mengeluarkan kunai dan menatap harimau itu,
menyiapkan dirinya untuk pertarungan.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menghantam kaki kanannya. Detik ketika ia menyadarinya,
sesuatu lainnya menghantam kaki kirinya, dan tepat saat Shikamaru menyadari para
Kakusha melompat ke arahnya, semua sudah terlambat.
Ia membentur tanah dengan wajah terlebih dahulu, beberapa Kakusha mendudukinya dan
menahannya.
“Untuk berpikir bahwa seseorang yang jeli sepertimu tak menyadari harimau itu hanyalah
sebuah pengalihan…pikiranmu pasti benar-benar sedang kacau.” Komentar Sai, menunduk
melihat Shikamaru yang mati-matian mencoba bernapas dibawah tubuh orang-orang yang
menahannya.
Pandangan Shikamaru yang terhambat menangkap bayangan seorang pria mendekat dari
belakang Sai.
Gengo.
“Lepaskan topengnya.” Gengo memerintahkan para Kakusha.
Sebuah jari menyelinap ke bagian retakan yang disebabkan oleh kuku harimau itu, dan
mengupas topeng Shikamaru dalam satu gerakan.
“Lihat, ternyata ini Shikamaru-san.” Ucap Sai.
“Jadi ini Si Jenius dari Konohagakure, Nara Shikamaru, huh…” Suara Gengo terdengar
seperti seorang kolektor yang menemukan benda yang telah lama dicarinya.
Shikamaru mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah sepasang mata biru yang
berbinar mencurigakan. Tatapan Gengo tak lepas darinya beberapa saat.
Shikamaru tersenyum sinis. “Hanya untuk kau tahu,” ucapnya, “Jika kau tidak
melepaskanku sekarang, hal yang sangat mengerikan akan terjadi nanti.”
“Aku tak memiliki rasa takut. Kau akan hidup dengan baik bersamaku.”
Kata-kata Gengo yang meyakinkan itu diikuti dengan rasa sakit yang tajam pada leher
Shikamaru, dan ia kehilangan kesadaran.
*
Ini merupakan kegelapan yang sebenarnya.
Tak ada cahaya atau apapun itu, Shikamaru bahkan tak dapat melihat tangannya yang
berada seinchi dari wajahnya.
Dalam kegelapan seperti inilah ia duduk dan tenggelam dalam pikirannya.
Ia tak yakin sudah berapa hari berlalu. Dinilai dari berapa kali mereka memberinya makan,
dan keadaan perutnya, paling tidak sudah lima hari.
Bagaimana semua bisa berubah seperti ini?
Tak peduli berapa kali Shikamaru memutar-balikkan kejadian itu di kepalanya, ia tak dapat
menemukan jawabannya.
Bukan hanya masalah Sai.
Ia memanjangkan bayangannya menuju ke arah podium dimana Gengo berdiri. Namun
bayangannya tak mampu menjerat kakinya, kehilangan pandangan dari targetnya.
Dan Gengo telah mengetahui keberadaan Shikamaru dan yang lainnya. Ia menyebut
mereka ‘tikus’. Semua ini terjadi meskipun mereka telah menyembunyikan chakra dengan
sempurna.
Rasanya seperti terdapat sebuah penghalang di sekitar pria itu yang membuat semua jutsu
mereka tak berguna saat mereka mencapai jarak tertentu darinya.
Apakah Gengo benar-benar bisa mematahkan jutsu?
Shikamaru tak dapat mengatakannya. Tapi tak salah lagi, sesuatu telah mengganggu jutsu
Shikamaru dan Rou.
Bayangan Shikamaru tak dapat mencapai Gengo. Juga saat ia mencoba menggunakan
kagenui-nya melawan monster harimau Sai, bayangannya tiba-tiba tersendat dan
kehilangan kekuatan.
Kesimpulan yang paling sesuai adalah bahwa baik Gengo atau pengaruh dari sekitar Gengo
telah melemahkan potensi kagemane-nya.
Mengikuti rentetan pemikiran tersebut, terdapat kemungkinan yang besar bahwa jutsu
Rou mengalami efek yang sama dan dilunturkan. Kemudian, jejak chakra Shikamaru sendiri
kemungkinan telah menyeruak dari penyamarannya, memungkinkan Gengo untuk
menyadari keberadaannya.
Itulah teori yang yang ia yakini saat ini.
Jutsu tak bekerja terhadap Gengo…
Tapi kenapa?
Shikamaru tak memiliki waktu untuk mengumpulkan informasi yang cukup untuk
memahami kebenaran dibalik fenomena ini. Ia tak mendapatkan kesempatan untuk
menginvestigasi apapun, walau sedikit, jadi tentu saja tak ada yang dapat ia lakukan.
Tak memiliki apa-apa untuk melakukan sesuatu, tak mampu memikirkan penyebabnya,
membuatnya jengkel.
Ia kehilangan akal…
“Geugh! Urghh!”
Dari suatu tempat dibalik kegelapan itu, erangan kesakitan Rou mencapai telinga
Shikamaru. Jeritan Soku juga datang dari balik kegelapan itu. Mereka berdua terdengar
seperti sedang mengalami penyiksaan. Ia hanya mendengar suara mereka dalam erangan
dan rintihan.
Untuk beberapa alasan, Shikamaru sama sekali tak disiksa.
“Maafkan aku…” Ia bergumam, melihat ke arah suara Rou yang kesakitan, meskipun
diragukan apakah pria itu mendengar.
Inilah hasil dari tindakan Shikamaru yang gegabah.
Bukankah akan menjadi lebih baik jika ia sedikit menginvestigasi Gengo sebelum
bertindak?
Begitu banyak rencana lain yang ia bisa lakukan …
Shikamaru memberikan tinjunya membabi-buta dalam kegelapan, meninju lantai batu yang
dingin di bawahnya. Ia meninju lagi dan lagi…
“Apa kau masih hidup?”
Suara Gengo menuju ke arah Shikamaru dari kegelapan.
“Atau kau sudah mati?” Suaranya yang seperti penculik itu membuat nada seolah ia
khawatir karena tak ada jawaban.
Chakra Shikamaru sudah habis, namun ia tak mati, dan ia tau Gengo sangat menyadari akan
hal itu. Menanyakan pertanyaan yang telah ia ketahui jawabannya merupakan hal yang tak
lebih dari sebuah sindiran.
“Aku lihat kau menghabiskan seluruh makananmu.”
Shikamaru memakan semua yang mereka berikan padanya. Tentu saja, hanya setelah
memeriksa apakah itu diracuni atau tidak. Kemampuan untuk merasakan keberadaan
berbagai racun hanya dengan satu jilatan merupakan salah satu fondasi dasar dari shinobi.
Shikamaru makan karena ia belum menyerah.
Selama ia masih hidup, masih ada celah yang dapat menjadi kesempatan untuk melarikan
diri. Jika tubuhnya tak dapat bergerak sesuai keinginannya saat kesempatan itu tiba, ia
akan mati.
Tak ada shinobi yang menyerahkan harapan hidupnya. Untuk terus bertahan tak peduli
apapun yang terjadi, untuk terus melaksanakan kewajibanmu tak peduli apa yang terjadi,
itu adalah shinobi yang sebenarnya.
Kita adalah Shinobi karena kita bertahan.**
Itulah mengapa Shikamaru harus yakin bahwah Rou dan Soku juga belum menyerah.
“Apa kau sudah lebih tenang, setelah menghabiskan berhari-hari dalam kegelapan seperti
ini?” Tanya Gengo. “Apa kau merasa mendengar perkataanku?”
“Sayang sekali,” ucap Shikamaru, “Kegelapan merupakan teman yang sangat dekat
denganku.”
“Kau orang yang menarik.” Gengo tertawa. “Aku akan datang lagi.”
Pria itu menghilang secepat suara itu datang.
“ARRGGGGGHHHHHHHHHHHH!”
Rou mulai menjerit lagi.
** Pada bagian ini, dalam Bahasa Inggris tertulis ‘We are Shinobi because we endure’.
‘Endure’ sendiri bisa diartikan sebagai ‘menanggung’ ataupun ‘bertahan’.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 12
–Negeri Sunyi
–
Kantor Hokage di kampung halamannya tak dapat dibandingkan dengan luas ruangan yang
sangat besar ini.
Shikamaru dipaksa bersimpuh di tengah karpet berwarna crimson pekat yang terbentang
dari pintu masuk ganda yang megah menghadap interior ruangan.
Kedua tangannya diborgol di belakang punggungnya. Dua Kakusha berdiri di sampingnya
sehingga ia tak mendapatkan ide apapun untuk berdiri dan membuat kekacauan. Baiklah,
mereka adalah shinobi, jadi mereka akan sadar saat Shikamaru melakukan hal yang
mencurigakan.
Rou dan Soku berada dibelakangnya. Tangan mereka juga terborgol di belakang punggung
mereka, dan para penjaga disamping mereka. Perbedaannya hanyalah wajah mereka
dipenuhi oleh luka dan lebam, bukti yang kuat dari penyiksaan yang mereka alami.
Dihitung dari jumlah makanan dan kondisi perutnya, sudah 10 hari sejak mereka
ditangkap.
Selama itu, Shikamaru tak pernah sekalipun disiksa. Gengo mengunjunginya berkali-kali,
tinggal sebentar untuk membicarakan hal tak penting, kemudian pergi. Dia selalu
mengatakan hal bodoh dan tak penting seperti ‘aku rasa aku harus berpidato hari ini’ atau
‘apa yang harus dimakan saat makan siang?’.
“Tundukkan kepalamu.” Kakusha di sisi kanan Shikamaru memerintah, dan
menghempaskan kepalanya ke karpet.
“Mereka adalah tamu penting. Kau tak perlu memperlakukan mereka dengan kasar.” Suara
Gengo datang beberapa jarak dari Shikamaru.
Saat ia mengatakan hal tersebut, Kakusha itu segera melepaskan kepala Shikamaru, berdiri
tegak, sangat malu karena dimarahi.
“Bawahanku sudah berlaku kasar.” Ucap Gengo. “Tolong, angkat kepalamu.”
Shikamaru telah lebih dulu mengangkat wajahnya sebelum diizinkan. Tangga marmer
berawal dimana karpet crimson itu berakhir di depannya. Di paling atas tangga tersebut,
terdapat lantai luas dengan sebuah patung naga yang tinggi megah dan sebuah singgasana
terpahat disana.
Gengo duduk disana, kaki yang satu berada di atas kaki yang lain. Siku kirinya berada di
atas sandaran lengan dan ia dengan santai menopang pipinya di telapak tangan kirinya.
Tatapan dingin, tenang, dan merendahkan yang diberikannya pada Shikamaru
membuktikan bahwa dirinyalah penguasa negara itu.
“Bawa mereka mendekat.” Perintah Gengo.
Kakusha di sisi Shikamaru menarik tangan Shikamaru, menyeretnya untuk berdiri. Mereka
memburunya sepanjang karpet, hingga ia mencapai dasar tangga besar itu. Rou dan Soku
juga diseret dengan perlakukan yang sama.
“Sudahkah kau merasa sedikit ingin tahu mengenai kata-kataku sekarang?” Tanya Gengo.
“Maaf, tapi aku tidak tahu apa yang kau coba katakan.” Ucap Shikamaru.
Gengo mengeluarkan tawa kecil karena jawaban yang cepat dan tegas itu.
Terdapat para Kakusha yang berbaris ke samping di kedua sisi singgasananya. Mereka
semua menatap rendah Shikamaru dengan tatapan angkuh yang membuatnya menduga
bahwa mereka adalah penasihat Gengo atau orang-orang dekatnya. Shikamaru melihat
sosok Sai berada dalam barisan mereka, telah dihiasi dengan jubah hitam yang semua
Kakusha kenakan. Meskipun mereka seharusnya merupakan rekan, mata Sai menatap
rendah Shikamaru tanpa kegelisahan mapun keraguan. Mata Sai tak pernah begitu
ekspresif sebelumnya, namun juga tak pernah terlihat begitu hampa dan kosong seperti
sekarang.
“Seseorang secerdas dan seterkenal dirimu…” Ucap Gengo, “Aku rasa kau telah lebih dulu
mengetahui apa yang kuinginkan darimu.”
Tentu saja Shikamaru telah menyadari apa yang Gengo inginkan. Ia sudah menyadarinya
sejak lama, namun itu adalah gagasan yang konyol. Tak akan pernah terjadi. Jadi ia tetap
membungkam mulutnya, tak mau membuang-buang nafasnya untuk melakukan itu.
“Jadilah tangan kananku, Shikamaru. Jika itu kau, kau akan dapat membuat dunia baru
menjadi nyata bersamaku. Aku dapat melihat bahwa kau adalah pria yang pantas untuk
itu.”
“Aku menolak.”
Shikamaru dengan segera mengeluarkan jawabannya. Matanya bergolak dengan keinginan
membunuh saat ia melirik tajam ke arah Gengo.
Namun penguasa negara itu tampak tak terpengaruh sedikitpun. Ia dengan tenang
mempertemukan tatapannya dengan tatapan haus darah Shikamaru seolah itu tak lebih
dari sekedar angin lalu.
“Seseorang yang bereaksi pada rencanaku yang tiba-tiba dengan penuh kegembiraan dan
penerimaan bukanlah seseorang yang kuinginkan. Kau melakukannya dengan sangat baik,
Shikamaru.”
“Kau telah membuatku jengkel lebih dan lebih lagi dengan intonasimu yang terdengar
mengetahui segalanya, bertingkah seolah kau dapat melihat isi dari semua orang. Apa yang
kau dapat mengerti tentangku?”
Shikamaru tak benar-benar jengkel. Dia bukanlah tipe orang yang membiarkan sesuatu
seperti ini membuatnya marah dan kehilangan ketenangannya. Ia hanya bertindak seolah
tak sabar untuk bertarung untuk melihat reaksi lawannya. Hanya itu saja.
“Adalah hal yang tak mungkin bagi seseorang untuk benar-benar mengerti orang lain lain.”
Ucap Gengo. “Bukankah itu mengapa aku mengadakan percakapan denganmu? Bukan
melihat ke dalam dirimu. Aku sudah hidup sedikit lebih lama darimu, jadi aku dapat sedikit
merasakan emosimu. Jika itu entah bagaimana terdengar seperti sebuah nada yang arogan,
maka aku minta maaf.”
“Intonasi seperti itulah yang membuatku jengkel.”
“Aku mengerti…” Gengo memejamkan matanya dan tertawa seperti mencela diri sendiri.
Hening sesaat. Tatapan Gengo menerawang ke sekitar ruangan seperti sedang berpikir.
Dia dengan sengaja membuat kesempatan pada kemarahan Shikamaru untuk mereda…
Jika kau melihat situasi itu dari jauh, kau akan berpikir bahwa Gengo sengaja berhenti
sejenak untuk mengumpulkan pemikiran dan mempersiapkan pembicaraan yang lain.
Akan tetapi, kenyataannya adalah jika Gengo melanjutkan pembicaraannya dalam atmosfer
seperti ini maka kemarahan Shikamaru akan terus meluap hingga ia begitu marah dan
dengan keras kepala menolak untuk mendengar apapun. Gengo dengan sengaja
menciptakan jeda dalam pembicaraan mereka untuk menghindari kemungkinan itu.
Menciptakan jeda bagi kedua pihak untuk mengambil nafas dan menenangkan diri dapat
secara efektif mengubah atmosfer tegang di antara mereka. Bahkan jika Shikamaru
menyemburkan kalimat pedasnya, dengan tak adanya balasan dari Gengo, maka itu semua
hanya akan menjadi raungan tak berarti yang hanya akan membuatnya lebih marah.
Gengo sedang mendorong percakapan itu menuju ke arah yang ia inginkan.
Pria ini sudah banyak berlatih dalam bernegosiasi…
Akhirnya, setelah jeda yang panjang, mata Gengo kembali melihat Shikamaru.
“Hanya ada satu pertanyaan yang ku miliki untukmu, tapi apakah kau bersedia
memberikanku jawaban?”
“Apa?”
Shikamaru menyesali kata yang telah keluar dari mulutnya. Namun sudah terlambat untuk
menariknya kembali.
“Mengapa shinobi begitu tertindas dan tertekan?”
Tertindas? Shinobi?
Shikamaru tak mengerti apa maksud pria itu.
Kebisuannya mendorong Gengo untuk melanjutkan bicaranya, memperkuat pertanyaannya
dengan berbicara lagi.
“Desa-desa dimana para shinobi tinggal, tanpa terkecuali, selalu disebut sebagai ‘desa
tersembunyi’. Kenapa shinobi harus tetap tersembunyi? Di seluruh Negara di kontinen ini,
berapa banyak tanah yang shinobi bisa akui sebagai milik mereka? Kau akan menemukan
bahwa itu merupakan porsi yang sangat sedikit. Dan kenapa itu bisa terjadi? Karena ada
orang lain yang menguasai sebagian besar kontinen ini. Para Daimyou.”
Baiklah, dia tak salah. Desa shinobi memiliki nama yang selalu bertitel ‘desa tersembunyi’.
Sebagian besar kontinen ini memang diperintah oleh para Daimyou.
Lalu kenapa?
Jadi para Daimyou yang memerintah negara, jadi shinobi tinggal di desa-desa yang disebut
‘desa tersembunyi. Itu tak membuat shinobi tertindas.
Shikamaru bekerja di bagian paling penting dalam Persatuan Shinobi, jadi ia sedikit lebih
tahu tentang keadaan dunia dibanding yang lain. Para Daimyou, dan penduduk yang tinggal
di Negara yang mereka pimpin, mereka semua hidup di sisi shinobi dengan baik, hubungan
yang saling menguntungkan.
“Pikirkan tentang itu, Shikamaru. Kenapa shinobi ditindas oleh para Daimyou?”
“Kapan shinobi pernah ditindas oleh para Daimyou?”
“Bukan hanya para Daimyou. Kita telah ditindas oleh setiap orang yang bukan shinobi.”
Mata Gengo tampak seperti memancarkan api saat ia melihat Shikamaru. “Aku akan
menanyakanmu satu hal lagi.”
“Tadi kau mengatakan bahwa kau hanya akan menanyakan satu…”
“Aku bertanya lagi.” Gengo memotongnya dengan tajam. “Shinobi menyimpan kekuatan
yang berbeda dari manusia lain di dunia ini. Apa kau setuju?”
Chakra dan ninjutsu…
Baiklah, kau tak dapat memungkiri bahwa itu merupakan kemampuan yang jelas
membedakan shinobi dengan manusia biasa.
Shikamaru mengangguk dalam diam.
Gengo tampak puas, dan lanjut berbicara.
“Dan kekuatan yang shinobi miliki itu jauh melewati batas kemampuan manusia.”
Sekali lagi, Shikamaru mengangguk.
Perang Besar yang terjadi dua tahun lalu merupakan peperangan yang akan menentukan
nasib seluruh dunia. Jika Aliansi Shinobi saat itu dikalahkan, maka baik Shikamaru atapun
Gengo tak akan berbicara disini sekarang.
Baik itu Uchiha Madara, yang berencana untuk menarik semua manusia di muka bumi ke
dalam mimpi genjutsu, atau Uzumaki Naruto, yang telah membawa seluruh bijuu ke dalam
tubuhnya sehingga ia dapat mengakhiri perang, keduanya merupakan contoh utama dari
makhluk yang tak dapat lagi disebut sebagai ‘manusia’. Terdapat kemungkinan bahwa
dengan perkembangan dari era terakhir, shinobi akan memisahkan diri dari jalan
‘kemanusiaan’ bersamaan.
“Kenapa shinobi yang mampu melampaui manusia harus tinggal di desa ‘tersembunyi’?
Kenapa kita harus hidup dalam kehidupan seperti itu? Kenapa kita harus dipaksa untuk
bekerja demi penghidupan sebagai pesuruh Daimyou? Dalam Perang Besar dua tahun lalu,
siapa yang menyelamatkan dunia ini dari kehancuran? Bukan Daimyou. Bukan penduduk.”
Kekuatan suara Gengo meningkat, menekan Shikamaru dari segala arah.
“Bukankah shinobi yang menyelamatkan dunia ini?”
Kekuatan apa ini…?
Suara itu membuat jantungnya berdebar tak menentu di dalam dadanya.
Shikamaru merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan hingga detik ini : kegembiraan
yang meluap-luap.
Kenapa ia merasa seperti itu?
…Mungkin karena Gengo telah mengambil perasaan berbahay yang sama dengan yang
mengintai di sudut tersembunyi hati Shikamaru, dan dengan jelas menjadikannya dalam
bentuk kata-kata.
Dia benar…
Dua tahun lalu, shinobi telah menyelamatkan dunia.
“Begitu banyak shinobi bertempur dan mengorbankan nyawanya untuk melindungi dunia
ini, tapi berapa banyak para penduduk yang mengetahui fakta itu? Nama Uzumaki Naruto,
seseorang yang dipuja di seluruh dunia shinobi karena menjadi pahlawan yang mengakhiri
perang—bahkan tak dikenal oleh penduduk yang sulit dikendalikan itu! Uchiha Madara,
Uchiha Obito, Uchiha Sasuke, Hatake Kakashi, Lima Kage, Akatsuki, semua dari mereka,
bukankah suatu fakta bahwa tak ada orang di luar dunia shinobi yang pernah
membicarakan tentang mereka?”
Tepat seperti yang dikatakan Gengo. Tak peduli berapa banyak shinobi yang
mempertaruhkan jiwanya untuk melindungi dunia, takkan ada satupun penduduk yang
hidup di dunia luar yang pernah mendengar hal itu.
“Era perdamaian ini dibangun di atas tumpukan jasad shinobi, namun Daimyou datang dan
menduduki tanpa sedikitpun keraguan, terus dengan nyaman memimpin rakyat tanpa
berpikir sedikitpun tentang kita. Demi para baj****n itu, kita shinobi pergi bertempur
dalam Perang Besar. Kita menjadi tameng hidup untuk Daimyou dan penduduk. Dan
kemudian, balasannya?”
Tak ada yang berubah.
Baiklah, Shikamaru berpikir bahwa hal itu bukanlah alasan yang tak masuk akal.
Para musuh yang melawan aliansi shinobi selama perang, Uchiha Madara dan Ootsutsuki
Kaguya, telah berniat untuk menarik semua orang ke dalam sebuah genjutsu sehingga
mereka dapat menjadikan chakra semua orang sebagai baterai hidup.
Hasilnya adalah di tengah pertempuran sengit itu, semua penduduk dan Daimyo telah jatuh
ke dalam tidur yang nyenyak.
Namun tetap saja…
Faktanya adalah, bukan karena tak ada dari mereka yang tahu apa yang terjadi selama
Perang Besar. Mereka hanya tidak membicarakan tentang hal itu.
“Mengapa kita para shinobi yang memiliki kekuatan besar dipaksa untuk hidup di ‘desa
tersembunyi’, terus-menerus mengintai dari kegelapan saat menjalani kehidupan sehari-
hari kita?” Genggo berdiri dari singgasananya. “Apakah itu demi yang terbaik?”
Gengo mengambil satu langkah menuruni tangga. Kemudian melangkah lagi. Ia perlahan
turun, tak melepas pandangan Shikamaru, terus berbicara.
“Shikamaru. Pertanyaan selanjutnya merupakan pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan
padamu.”
Gengo mencapai dasar tangga, terus berjalan hingga ia berdiri tepat di depan mata
Shikamaru.
“Bukankah itu yang terbaik jika shinobi lah yang memimpin dunia ini?”
‘Kau salah.’
Shikamaru tak dapat menyebutkan kata itu. Tidak, ia bahkan sama sekali tak bisa
menjawab pertanyaan itu.
Ia sudah tidak tahu lagi mana yang benar.
‘Kita adalah shinobi karena kita menanggung beban.’
Tak peduli seberapa besar kekuatan yang kau miliki, kau melayani orang-orang secara tak
terlihat dan dari bayang-bayang. Itulah yang didefinisikan sebagai shinobi.
Walaupun begitu.
Kemungkinan yang tak terbatas berasal dari chakra dan ninjutsu yang digunakan oleh
shinobi. Jika shinobi benar-benar mengambil alih kekuasaan Daimyou seperti yang
dikatakan Gengo, dan jika mereka memerintah seluruh negara, bukankah dunia akan
membuat kemajuan yang begitu besar dibanding yang telah terjadi sekarang?
Manakah yang merupakan pilihan terbaik untuk semua orang?
Ia tak mampu memberikan jawaban.
“Dengan kekuatan shinobi, perlahan aku akan mengangkat negara ini.” Ucap Gengo. “Aku
akan menempatkan akhir yang indah dari era perang yang tak henti-hentinya ini. Dengan
kekuatan shinobi, itu semua dapat menjadi hal yang mungkin!”
Membunuh pria yang disebut Gengo… apakah itu merupakan jalan yang terbaik?
Shikamaru sudah tak terlalu yakin lagi.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 13
–Negeri Sunyi
–
Ia tak dapat menyangkal apa yang telah Gengo katakan…
Shikamaru merasa kebingungan akibat kondisi hatinya yang terguncang.
Ia jauh-jauh datang kemari untuk membunuh Gengo.
Ia sungguh percaya bahwa dia merupakan sebuah penghalang menuju jalan perdamaian
shinobi.
Karena ia mempercayai hal itulah maka Shikamaru menempuh jalan ini tanpa
memberitahu yang sebenarnya kepada satupun temannya.
Namun kini, saat Gengo berdiri di depan matanya, saat ia mendengarkan apa yang
dikatakannya, Shikamaru tak yakin apakah jalan berpikirnya adalah yang benar.
“Apakah kau pernah berpikir mengapa perang terus terulang tanpa henti di dunia ini?
Tanya Gengo.
Kenyataannya adalah Shikamaru tak pernah sekalipun memikirkan hal itu.
Dari awal terbentuknya kontinen ini, begitu banyak negara yang terus mengulang
pertempuran yang sama satu sama lain, lagi dan lagi, melewati pasang surut seperti yang
mereka lakukan.
Dan diantara jarak hubungan negara-negara itu, shinobi hadir dan menawarkan
kemampuan mereka dengan sejumlah harga, untuk mendapatkan persediaan. Dan
begitulah bagaimana hal terus berlanjut, sehingga kata ‘perang’ tak tampak berlaku.
Shikamaru selalu khawatir dengan permasalahan dari dunia shinobi sendiri. Tak seperti
Gengo, ia tak pernah mempertimbangkan seluruh dunia.
Pemikiran Shikamaru hanya selalu tentang bagaimana cara mengamankan masa depan
shinobi. Bagaimana cara mempertahakan hubungan yang damai antar desa. Seberapa
efektif Persatuan Shinobi dalam hal itu. Bagaimana cara menjadikan Naruto sebagai
Hokage. Bagaimana cara membangun fondasi yang kuat untuk generasinya.
Kekhawatiran Shikamaru tampak jauh lebih kecil dibanding dengan apa yang Gengo
khawatirkan. Fokusnya bukan hanya pada dunia shinobi, tapi seluruh dunia.
“Tidakkah kau berpikir bahwa pertempuran tak pernah berhenti karena Daimyou
memerintah segalanya, daripada shinobi? Karena orang-orang yang tak memiliki chakra
ataupun jutsu terus bertemu, setiap saat mereka berpapasan, maka perang ini tak akan
berakhir. Karena tak ada orang yang luar biasa di antara mereka, tak ada negara yang lebih
kuat dari yang lainnya, dan dengan demikian, tak ada satupun yang terus memantaunya.
Sehingga negara-negara terus berperang dan berdamai, lagi dan lagi, dan dunia penuh
peperangan ini akan terus berlanjut. Aku memberitahumu tentang sebuah jalan yang akan
meletakkan akhir dari semua itu. Dengan kekuatan shinobi, aku dan para Kakusha-ku akan
meraih apa yang tak pernah orang lain raih sebelumnya : penyatuan kontinen.”
“Penyatuan kontinen…” gumam Shikamaru.
Gengo memberikan anggukan puas pada ia saat menggemakan kata-katanya.
“Sejak awal, dunia ini selalu tentang ‘yang terkuatlah yang akan terus hidup’**. Cara hidup
seperti ini tak hanya ada untuk binatang. Bahkan binatang yang disebut manusia belum
bisa menyingkirkan diri mereka dari sana. Dalam kasus itu, bukankah yang pantas bagi
pemegang kekuatan yang sebenarnya, shinobi, memerintah sebagai yang terkuat, berada di
atas hirarki ini? Revolusi yang kubicarakan tepatnya adalah: untuk mengubah dunia yang
tak normal ini menjadi sebaik mungkin.”
Berpikir bahwa shinobi lah yang seharusnya mengontrol dunia …
…mungkin tidak salah.
“Shikamaru-dono.”
Suara Rou datang dari belakang. Shikamaru memutar kepalanya dan melirik ke arah pria
itu dari bahunya.
“Bukankah itu seperti yang Gengo-sama telah katakan?” Tanya Rou. “Mengapa shinobi
selalu dimanfaatkan oleh Daimyou? Saya adalah anggota Anbu. Saya telah melihat sisi
buruk Daimyou berkali-kali. Mereka berpikir bahwa kita tak lebih dari sekedar alat.
Sahabatku merupakan seorang pria yang digunakan sebagai alat dalam perang antara
Negara Api dan Negara Angin. Saat kedua negara itu mendeklarasikan gencatan senjata, dia
disingkirkan.” Setetes airmata mengalir dari mata Rou yang basah. “Sebuah penghalang.”
“…Aku juga berpikir begitu, kau tahu.”
Kali ini, sebuah bisikan lemah datang dari mulut Soku. Saat Shikamaru mengalihkan
pandangan ke arahnya, ia dapat melihat banyak luka lebam berwarna biru gelap mewarnai
wajah kecilnya. Meskipun dia masih anak-anak, Gengo tak segan-segan memberikan
perintah pada bawahannya untuk menyiksanya bersama Rou.
“Aku pikir apa yang Gengo katakan benar, kau tahu.”
“Hinoko…”
“Bukan hanya Daimyou, tapi juga semua penduduk yang tinggal di negara yang mereka
perintah, kau tahu.” Soku bahkan tak peduli bahwa Shikamaru memanggilnya dengan nama
asli, terus berbicara dengan penuh amarah. “Tak peduli seberapa baiknya kau pada
manusia biasa, saat mereka mendengar bahwa kau adalah shinobi, mereka akan
mengawasimu dengan sudut mata mereka. Tatapan di mata itu…mengerikan …
mencurigakan…menandai kita sebagai yang ‘berbeda’. Kenapa kita harus menumpahkan
darah, keringat, dan airmata untuk baj****n seperti mereka? A- Aku tak tahu kenapa, kau
tahu!”
Meskipun Gengo-lah yang telah memberikan perintah yang menghasilkan luka lebam di
kulitnya, Soku melihat pria itu dengan kekaguman, seolah telah benar-benar melupakan
kenyataan itu.
“Kau lihat? Bahkan teman-temanmu setuju denganku. Apa yang ingin kulakukan
merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi shinobi. Shikamaru, ikutlah denganku.
Bersama, bukankah kita bisa menghentikan era perang ini?”
Gengo mengulurkan tangannya.
Jika Shikamaru menerima uluran itu, ia takkan bisa kembali ke rumah.
Tidak, bukankah aneh jika berpikir untuk kembali?
Jika Gengo benar-benar menyatukan seluruh negara, maka itu termasuk dunia shinobi. Jika
itu terjadi, maka pasti Naruto, Chouji, Ino, semuanya, ia akan dapat bertemu mereka lagi.
Tidak, kenyataannya, ia sendiri dapat mengajak mereka, dan mereka dapat ikut
membangun dunia shinobi.
“Shikamaru. Jadilah orang kepercayaanku.”
Suara Gengo menekan tulang belakang Shikamaru.
“Aku…”
Shikamaru ingin menerima uluran itu.
Namun…
Ada sebagian diri Shikamaru yang mati-matian mencoba menghentikannya.
“Ikutlah denganku sekarang,” dorong Gengo.
“Ke- Ken…”
Sesuatu dengan kuat menyumbat tenggorokan Shikamaru. Shikamaru berusaha untuk
mendorong suaranya melalui sebuah gumpalan asing berduri, dan akhirnya
menyemburkan kata-kata itu:
“Kenapa aku harus menjadi bawahan dari seseorang sepertimu?”
“Oh? Untuk berpikir kau telah mendengarkan kata-kataku hingga saat ini, dan masih
menolak untuk mengerti. Kau pasti juga merupakan orang yang sangat keras kepala.”
Ada sesuatu yang tak beres.
Di suatu tempat dalam hati Shikamaru, masih ada sesuatu dalam dirinya yang tak
mempercayai Gengo. Sebagian dirinya mengatakan bahwa bukanlah ide yang bagus untuk
menyerahkan diri kepada pria ini. Tak ada kata-kata yang berasalasan atapun penjelasan.
Hanya sebagian dirinya tak bisa menahan ini. Sebuah perasaan buruk.
Setiap bagian dirinya yang lain benar-benar yakin bahwa Gengo memiliki gagasan yang
benar.
“Baiklah kalau begitu, kita akan melakukan ini…” Gengo mengangguk ke arah penjaga di
samping Shikamaru, dan kemudian berjalan kembali ke arah tangga.
Para Kakusha yang menjaga Shikamaru hingga kini membuka borgol yang menahan tangan
di belakang punggungnya. Hilangnya pembatas yang memaksanya meringkuk membuat
tubuhnya lemas dengan kelegaan. Dengan susah payah menahan dirinya agar tak terjatuh
ke lantai, ia menahan dirinya dengan tangan kanannya. Ia melihat ke arah Gengo.
Gengo berdiri di dasar tangga, hanya berjarak beberapa meter. Ia merentangkan tangannya
ke samping, membebaskan dadanya.
“Jika kau benar-benar tak bisa mempercayaiku, maka bunuhlah aku sekarang.”
“Mem- membunuhmu?” Suara Shikamaru bergetar.
“Tak ada alasan untuk tak mampu mencekikku hingga mati dengan jutsu manipulasi
bayanganmu itu. Gunakanlah. Mari kita lihat bagaimana kau membunuhku.”
Kenapa ia begitu yakin saat ia mengatakan pada Shikamaru untuk membunuhnya?
Perasaan gelisah dalam diri Shikamaru perlahan tumbuh.
Ada sesuatu yang hilang, di suatu tempat, ia tak bisa berpikir sebagaimana mestinya, ada
sesuatu yang ia lewatkan…
Shikamaru menempatkan tangannya yang gemetar di atas lantai.
Cahaya matahari bersinar melewati jendela besar di sisi ruangan itu. Cahaya yang bersinar
terang itu jatuh tepat pada tangan dan tubuh bagian atas Shikamaru, membuat bayangan
dengan jelas. Bayangan hitam pekat mulai sedikit bergetar. Getaran itu perlahan
meningkat, bayangannya beriak, kemudian bergetar dengan keras seperti mencoba
melepaskan diri dari bentuk aslinya.
“Ayo…” Shikamaru memerintah bayangannya dengan suara lemah. Bayangan yang beriak
itu berubah menjadi sulur panjang dan gelap yang menuju langsung ke arah Gengo.
“Sekarang, jangan berhenti, Shikamaru!”
Gengo memanggil, matanya menyala terang. Ia terdengar seperti menikmatinya.
Suaranya yang penuh dengan keyakinan menekan Shikamaru dari segala arah.
Banyangannya…
Terhenti.
Bayangan itu berhenti tepat di depan jari kaki Gengo. Tak peduli berapa besar keinginan
Shikamaru, bayangan itu takkan bergerak lebih jauh.
“Ada apa?” Tanya Gengo. “Kenapa kau tidak menggunakan bayanganmu?”
Mengapa bayangannya tak bergerak?
Sesuatu yang aneh, sesuatu yang janggal, sesuatu yang tak beres …
Pikir, pikir, pikir, pikir…
Berpikir, Shikamaru!
Mengapa kau tak menyadarinya?
Kepalanya terasa seperti akan meledak.
Rou dan Soku…
Perasaan di dalam dirinya ada karena mereka.
Rou dan Soku. Mereka berdua merupakan anggota Anbu yang berdedikasi, memiliki
kesetiaan yang besar bahkan di bawah paksaan… lalu kenapa mereka berdua menerima
kata-kata Gengo dengan cepat dan mudah?
Setelah mengalami penyiksaan dibawah perintah Gengo, kenapa mereka tak sama sekali
merasakan kebencian?
Untuk mengubah perasaan mereka menjadi rasa kagum dengan begitu mudah—
merupakan hal yang tak mungkin.
Pasti ada sebuah trik. Sebuah trik.
Satu kata dengan jelas muncul di pikiran Shikamaru.
Genjutsu…
Genjutsu lah yang memanipulasi pikiranmu dan dirimu ke dalam delusi. Rou dan Soku
tampak seperti berada dalam genjutsu.
Dalam kasus itu, maka apakah Shikamaru juga berada dalam genjutsu?
Itu merupakan kemungkinannya.
Tapi, genjutsu merupakan sebuah doujutsu, teknik yang berakar pada mata. Contoh
utamanya adalah Klan Uchiha dari Konoha, dan mata sharingan mereka yang spesial,
sebuah garis keturunan yang membuat mereka dapat menenggelamkan lawan mereka ke
dalam genjutsu
Kejadian di alun-alun itu. Saat itu, sesuatu melemahkan jutsu Rou dan menguak
keberadaan mereka pada Gengo. Hal itu tak mungkin merupakan doujutsu, karena hingga
Gengo berbicara dan memanggil mereka ‘tikus’, tak satupun yang melihat langsung mata
Gengo. Kontak mata dengan lawanmu merupakan syarat yang absolut dalam doujutsu. Tak
ada kemungkinan ia membuat kontak mata dengan mereka saat itu.
Lalu apa yang menghasilkan genjutsu pada Shikamaru dan yang lainnya?
Ia tak dapat berpikir. Pemikirannya melamban.
Saat kau terjebak dalam genjutsu, kau selalu membutuhkan seseorang untuk membantumu
keluar dari jutsu itu. Namun kedua rekannya sudah berada dalam genggaman Gengo.
Shikamaru merasa seperti berjalan melewati rawa yang dalam dan keruh, perlahan
tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Pada akhirnya, ia tahu bahwa kepalanya juga
akan tenggelam.
Sebentar lagi, ia akan benar-benar berada dibawah pengaruh Gengo.
“Aku benar-benar tidak bisa menahan ini…” Pikiran Shikamaru mulai tak berdaya.
Gengo memandangnya dengan tatapan kemenangan. Bahkan kini, bayangan Shikamaru
bergetar tak lebih beberapa inchi dari kaki pria itu.
“Tidakkah kau ingin menyerah sekarang?”
Suaranya begitu lembut dan menenangkan. Shikamaru dapat merasakan seluruh tubuhnya
meleleh karena kehangatan suara itu. Sisa-sisa kesadarannya mulai menurun…
Kemampuan genjutsu Gengo yang sebenarnya…
Jawaban samar-samar telah terbentuk dalam pikiran Shikamaru, namun sebelum hal itu
dapat menjadi wujud yang jelas, ia menghapusnya dengan keinginannya sendiri.
Ia sudah tak peduli lagi..
Translator’s Note:
**Teori ‘Survival of the fittest’ oleh Herbert Spencer & Charles Darwin
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 14
–Negeri Sunyi
“Ikutlah denganku sekarang, Shikamaru.”
Gengo mengulurkan tangannya.
Jika nanti Shikamaru meraih tangan itu, maka ia akan merasa nyaman.
Ia tak perlu memikirkan hal yang merepotkan lagi.
Shinobi akan memerintah dunia…bagaimanapun juga, begitulah yang seharusnya terjadi.
Jika nanti ia menerima uluran itu, semuanya akan kembali menjadi mudah.
Ia tak perlu bingung lagi…
“Ayo, kita berjalan bersama.” Suara Gengo terasa seperti menekan tulang belakang
Shikamaru.
Shikamaru perlahan mengangkat tangan kanannya, meraih telapak tangan besar yang
ditawarkan padanya dan menunggu untuk meraihnya.
Ujung jari-jari mereka akan segera bertemu-
Namun ada kegaduhan yang terjadi di belakangnya…
Tepat saat ia merasakannya, tubuh Shikamaru terhempas ke udara, terlonjak dan
mengarah ke langit-langit. Pandangannya dari atas memungkinkan dirinya melihat Gengo
masih di tempat yang sama, menahan dirinya melawan angin yang sangat kencang. Bahkan
para Kakusha yang berada di puncak tangga juga berusaha melawannya.
Akan tetapi, satu-satunya yang terhempas ke udara adalah Shikamaru.
Ia terhempas begitu tinggi, ia berakhir dengan menabrak langit-langit. Sesaat, seluruh
tubuhnya terasa nyeri sebagai dampaknya, dan kemudian yang Shikamaru tahu adalah
angin itu telah berhenti, dan ia terjatuh lagi ke bawah.
“Gah!”
Meskipun ia mengalami pendaratan yang relatif aman, punggung Shikamaru terhempas ke
tanah dengan sangat keras hingga nafasnya tersekat di tenggorokannya.
Ia telah diterbangkan jauh dari Gengo, hingga mencapai sisi lain ruangan itu.
“SHIKAMARU!”
Seseorang memanggil namanya dengan teriakan marah yang menggema sepanjang
ruangan itu.
Suara wanita…
Suara yang sangat familiar.
“Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini…?” Shikamaru bersandar untuk melihat ke
arah si pemilik suara.
Seorang wanita berdiri di pintu masuk ruangan itu, rambut pirangnya diikat dua di setiap
sisinya, dan pandangan tajam di matanya. Ia memegang kipas perang raksasa dengan
kedua tangannya, tak diragukan lagi bahwa benda itu merupakan sumber dari angin yang
menghempaskan Shikamaru ke udara.
Temari…..
“Apa yang kau lamunkan?!” Ia menuntut, “Bersikap berbeda hanya karena seseorang
mengatakan padamu untuk begitu, itu tidak seperti dirimu, iya kan? Kau adalah pria yang
kutandai di antara yang lain! Kuatkan dirimu, dasar bodoh! Ceramah dari pria merepotkan
itu harusnya tidak lebih dari sebuah omong kosong bagimu! Apa aku salah? Katakan
sesuatu! Shikamaru!”
Suara berat Gengo bukan apa-apa dibandingkan dengan raungan menggemuruh yang
bergema di telinga Shikamaru. Matanya seperti tertusuk.
“Ah…”
Kabut yang menyelubungi pikiran Shikamaru telah lenyap tanpa jejak. Ide-ide aneh yang
telah menjejali hatinya lenyap, hilang dari dadanya.
Itu merupakan perasaan yang sangat melegakan.
Shikamaru mengambil nafas dalam, dan perlahan mengeluarkannya.
Ia tak mampu melakukan apapun kecuali tersenyum.
Satu makian telah membuatnya keluar dari genjutsu…
“Ada apa denganmu, tiba-tiba muncul dan mengatakan semua itu?” Ia berkata pada temari,
mulai bangkit dan menggaruk tengkuknya.
“Hey, aku datang untuk menyeIamatkanmu, jadi lebih baik kau berterima kasih padaku
daripada menggerutu.” Ucap Temari, melipat kipasnya dan menghentakkannya ke tanah. Ia
bersandar disana, dadanya membusung bangga.
Beberapa shinobi membentuk barisan dibelakangnya. Mereka memiliki lambang
Sunagakure yang terukir di hitai-ate mereka.
“Bagaimapun, aku tidak bisa membiarkanmu mati begitu saja.” Ia menyeringai pada
Shikamaru.
Senyum Temari bagaikan terik matahari gurun pasir. Melenyapkan kegelapan di hati
Shikamaru.
Dalam pikirannya, ia mengulang sebuah frase khusus yang baru saja digunakan oleh
Temari.
‘Ceramah pria merepotkan itu’
“Merepotkan…huh.” Shikamaru mengalihkan pandangannya ke arah penjahat itu dengan
tanda tanya.
Gengo memberikan sinyal kepada para Kakusha yang menjadi kaku menghadapi bahaya di
puncak tangga. Segera setelah mereka melihat sinyalnya, para Kakusha mulai menuruni
tangga itu.
Seluruh shinobi Sunagakure mulai bergerak untuk berdiri diantara musuh dan Shikamaru.
Meskipun kaki para Kakusha menolak bergerak dari lantai untuk menghadapi serangan
musuh yang tiba-tiba, satu sinyal dari Gengo membuat mereka maju menghadapi musuh.
Dialah pria berkuasa yang memerintah istana dan Negara ini.
Suara logam melawan logam terdengar saat pertarungan itu dimulai.
Cukup aneh, Shikamaru merasa sangat tenang.
Ia mengambil satu langkah yang tenang ke depan.
Beberapa jarak di depannya, ia dapat melihat Genggo menegakkan bahunya dan
meningkatkan pertahanannya.
Dalam diam, dengan tenang, Shikamaru terus berjalan.
Saat ia melewati Rou dan Soku, Shikamaru secara singkat meletakkan tangannya di pundak
mereka.
“Sekarang semua baik-baik saja.” Ucapnya pada mereka, dan terus berjalan.
Saat tersisa satu langkah di antaranya dan Gengo, Shikamaru berhenti. Ia menaikkan
tatapan tajamnya pada pria itu.
Detik itu…Shikamaru menguap.
“Ahhhhh…”
Itu merupakan kuapan yang besar, ia dapat merasakan matanya berair, dan pandangannya
memburam.
“Oi.” Gengo menunjuk sesuatu di wajah Shikamaru.
“Hm?” Shikamaru menggunakan tangannya untuk menyeka sekitar mulutnya, dan
merasakan sesuatu merembes keluar dari lubang hidung kirinya. Darah.
Tanpa menyadarinya, ia mengalami pendarahan di hidungnya.
“Temari itu…” Ia bergumam. Ia pasti telah membenturkan hidungnya saat angin
menghempasnya hingga mencapai langit-langit.
“Maaf soal itu.” Ucap Shikamaru pada Gengo, memutar lehernya. “Sekarang, apa kau punya
sesuatu untuk dibicarakan?”
“Kulihat bala bantuanmu telah datang, namun-”
“Huh?” Shikamaru memotong kata-kata Gengo dengan suara terkejutnya yang keras.
“Bala bantuan? Dimana?”
Gengo menatapnya dengan melebarkan mata. Shikamaru menyadari seberapa gila kata-
katanya terdengar.
“Oh, kau membicarakan orang-orang di belakangku.” Ucapnya. “Nah, kau salah tangkap,
mereka bukan bala bantuan.”
“…Lalu kau sebut mereka apa?”
“Aku tak tahu. Mereka datang kesini dengan keinginan mereka sendiri, jadi …”
Gengo menatap Shikamaru dengan kebingungan yang lebih dan lebih lagi. Ia terlihat
terperangah karena perubahan sikap Shikamaru yang sangat tiba-tiba.
“Apapun kau menyebut mereka.” Ucap Gengo. “Saat kami menerima serangan mendadak
dari musuh-musuh ini, negaraku takkan ragu-”
“Pff.” Shikamaru tertawa tanpa berpikir.
Urat kemarahan mulai muncul di kening Gengo.
“Tidak akan ragu?” Tanya Shikamaru geli. “Apa kau yakin? Saat kondisi istanamu seperti
ini?”
“Jangan meremehkan pengikutku.” Ucap Gengo. “Mereka tak akan bisa dikalahkan oleh
shinobi setingkat kalian.”
“Yah, tentu, aku sangat berharap untuk melihatnya.”
“Sekarang, dengarkan, Shikamaru-”
“Tidak, aku rasa aku tidak akan.” Ucap Shikamaru terus terang, mengangkat telapak
tangannya. “Aku tahu jika aku dengan polos mendengarkan kata-katamu, aku akan
berakhir jatuh dalam genjutsumu.”
“…” Alis kanan Gengo berkedut dengan gerakan yang tak kentara.
“Terima kasih pada wanita itu, aku akhirnya terbangun.” Ucap Shikamaru. “Aku tidak akan
jatuh untuk kedua kalinya.”
“Naif…Kau naif, Shikamaru.”
“Kau memenuhi suaramu dengan chakra saat melakukan pidato panjangmu itu, dan
menenggelamkan lawanmu ke dalam genjutsu saat mereka mendengarnya, benarkah? Itu
merupakan jutsu yang sangat cocok untuk seorang maniak revolusi sepertimu.” Ucap
Shikamaru. “Aku berpikir panjang dan keras tentang hal itu. Alasan kenapa bayanganku
melemah waktu itu adalah karena aku telah dipengaruhi oleh genjutsu dari pidatomu itu,
huh?”
“Genjutsu? Omong kosong. Pidatoku menstimulasi, menginspirasi. Setiap kata yang
kukatakan padamu hingga kini sangatlah tulus. Dan setiap kata itu merupakan suatu
kebenaran. Shinobilah yang seharusnya memimpin dunia ini. Itulah kenyataan pentingnya.
Kaulah yang naïf untuk tak memahami kenyataan itu.”
Kata-kata Gengo begitu dipenuhi dengan chakra hingga membuat telinga Shikamaru
bergetar, tapi tak terlalu, karena ia menutup telinganya dengan telapak tangannya untuk
mempertahankan dirinya.
Ia benar-benar tak khawatir lagi.
Hati Shikamaru yang awalnya terganggu layaknya ombak badai, kini dengan anehnya
berubah menjadi tenang.
Tak peduli apa yang terjadi, ia sudah tak takut lagi.
Tidak, itu lebih seperti…
“Bagaimanapun, semua hal itu sangatlah merepotkan, huh?” Shikamaru mengeluarkan
kuapan lagi. “Aku berpikir, kenapa mata manusia menjadi berair saat mereka menguap?”
Gengo tak menjawab. Ia begitu tersuruk, ia tak mampu mengatakan apapun.
Shikamaru tak benar-benar berniat untuk membuatnya bingung dalam keheningan.
Ia tak memiliki strategi apapun.
Ia hanya percaya pada dirinya sendiri.
Makian Temari muncul di pikirannya …
‘Ceramah pria itu harusnya tidak lebih dari omong kosong bagimu!’
Dia benar. Shikamaru tak pernah menjadi seseorang yang memikirkan nasib seluruh dunia.
Ia hanya seorang pria yang menganggap semua hal itu merepotkan, dan menginginkan
kehidupan yang biasa-biasa saja.
Memikirkan tentang bagaimana tindakannya dapat mengubah dunia, bukankah itu sangat
merepotkan? Ia tak perlu membebani dirinya dengan pemikiran seperti itu …
Ia tak peduli. Gengo dapat terus berjalan dan mengubah dunia sesukanya.
–Tidak, tunggu sebentar.
Jika Gengo melakukan hal sesukanya, lalu apa yang akan terjadi pada Naruto dan yang
lainnya?
Apa yang akan terjadi pada Temari?
“Pada akhirnya,” Shikamaru menghela nafas, “Tampaknya giliranku yang tidak dapat
membiarkanmu melakukan hal sesukamu, atau itu akan menjadi sebuah masalah untuk
kedepannya.”
“Ke- Kemana ambisimu pergi?” Tanya Gengo. “Kau berpikir tentang mengubah dunia,
Shikamaru! Buka matamu!”
“Apa yang kau ocehkan?” Tanya Shikamaru. “Baru sekarang aku benar-benar terbangun.”
Shikamaru mengambil satu langkah lagi menuju Gengo, senyum terukir di bibirnya.
“Inilah diriku yang sebenarnya.”
Waktu bagi Shikamaru untuk bertarung telah tiba.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 15
–Shikamaru
Pertempuran sengit berlangsung di sekitar Shikamaru. Di tengah suara dentingan pisau
dan seruan pertempuran, ia memberikan tatapan tajamnya pada Gengo.
“Lalu apakah maksudmu kau tak peduli tentang penindasan shinobi?!” Teriak Gengo, urat
kemarahan muncul di pelipisnya.
Sikap pria yang angkuh, serba tahu sesaat lalu itu tak terlihat dimanapun. Apa itu karena
Shikamaru telah terlepas dari genjutsu? Tidak, itu tak mungkin alasannya. Gengo begitu
gelisah, tak ada satupun partikel ketenangan yang tersisa dalam dirinya.
“Apa yang membuatmu kehilangan akalmu?” Tanya Shikamaru.
“Ap-apa?”
“Yah, kau terlihat sangat putus asa dan itu sangat menyedihkan.”
“Siapa yang…” Suara Gengo melemah menjadi gumaman tak terkontrol. Suaranya
terdengar seperti erangan kesakitan yang melewati gertakan giginya. “Dengar, kita adalah
shinobi yang memiliki kekuatan yang tak dimiliki manusia, itu adalah hal yang ditakuti oleh
manusia biasa. Ketakutan berubah menjadi diskriminasi yang berujung pada penindasan.
Dalam keadaan ini, shinobi perlahan akan terus dan terus menderita.”
“Kau tahu, aku…” Shikamaru memiringkan kepalanya ke kiri, menderakkan lehernya. Ia
terus mengawasi Gengo. “Aku rasa akan lebih baik jika konsep ‘shinobi’ tidak lagi ada.”
“Ap-apa yang kau katakan?!”
“Ada apa dengan reaksi itu? Bukankah kau sudah menyerah untuk menjadi shinobi?”
“…” Lagi, Gengo bergumam tak jelas pada dirinya sendiri. Ia terlihat begitu konyol sehingga
mulut Shikamaru bergerak tersenyum.
“Shinobi akhirnya telah bersatu menjadi sebuah aliansi.” Shikamaru melanjutkan. “Selama
Persatuan Shinobi terus berjalan seperti ini, maka secepatnya, semua peperangan akan
berakhir.”
“J-jangan berbicara seakan itu merupakan hal mudah…”
“Kau tidak akan tahu jika kau tidak pernah mencoba.”
Tangan Gengo bergerak ke belakang punggungnya, seperti sedang meraih sesuatu…
Sebuah kunai.
Shikamaru yang sebelumnya merasa tenang hingga saat ini, kini menjadi tegang. Ia
kehilangan semua senjatanya saat dipenjarakan Gengo. Ia tak memiliki apapun untuk
mempertahankan dirinya-
“Shikamaru!” Teriak Temari.
Ia berbalik ke arah suara Temari. Ia melihat sesuatu melayang di udara dan menuju ke
arahnya. Saat benda itu mendekat ke jangkauan tangannya, Shikamaru menggapai dan
menangkapnya dengan tangan kanannya.
Kunai…
Ia mendengar suara tawa Temari, senang karena ia berhasil menangkapnya.
Semua ini terjadi secepat satu kedipan mata.
Saat Shikamaru berbalik setelah menangkap kunai untuk menghadapi lawannya, Gengo
telah melompat ke arahnya.
Shikamaru juga menerjangnya.
Kunai mereka beradu di udara, percikan api muncul sebagai dampaknya. Keduanya
menegangkan pergelangan mereka dan mencoba untuk menangkis serangan lawannya.
“Bukankah karena adanya pertarungan di dunia ini maka orang-orang seperti kita menjadi
shinobi?” Komentar Shikamaru.
“Anak kurang ajar…” Suara Gengo berubah kasar.
Dengan kecepatan yang sama, keduanya melompat ke belakang untuk membuat jarak di
antara mereka.
Mereka mendarat pada jarak yang sama saat mereka mulai bertarung, menjaga pegangan
erat pada kunai mereka dan sikap siap di tubuh mereka, menatap tajam satu sama lain.
Kaki Shikamaru menyentak ke tanah saat ia bergerak untuk menerjang lawannya lagi.
Ia mengayunkan kunainya dengan hasrat haus darah ke arah kepala Gengo.
Namun, hasrat mereka sama. Kunai Gengo juga melayang ke arah wajahnya.
Shikamaru menyentakkan kepala untuk menghindarinya, namun ia masih dapat
merasakan kunai itu melukai pipinya dalam bentuk garis lurus yang jelas, melihat darah
memancar dalam bentuk percikan berwarna crimson.
Matanya juga dapat melihat luka yang berdarah di pipi Gengo.
Lengan kiri Shikamaru bergerak, dan menangkap pergelangan kanan Gengo–yang
memegang kunai- dengan cengkraman yang kuat. Akan menjadi situasi yang lebih baik jika
Gengo tak melakukan hal yang sama. Mereka berdua terkunci, keduanya menggunakan
tangan mereka yang tak memegang senjata untuk menahan pergelangan mereka yang
bersenjata.
“Langkah pertama untuk mengakhiri peperangan itu…adalah Persatuan Shinobi.” Gertak
Shikamaru. “Pertama-tama shinobi harus bersatu. Kemudian ruang lingkup kami akan
meluas untuk merangkul Daimyou dan juga para penduduk. Selama dunia kita bersatu,
maka orang-orang tak perlu lagi menjadi shinobi. Meskipun jika tidak terjadi di
kehidupanku, maka hal itu akan terjadi di kehidupan anak-anakku, atau di kehidupan cucu-
cucuku…suatu hari nanti, shinobi tidak akan ada lagi.”
“Tidaklah mudah di dunia ini untuk mengubah impian menjadi nyata.” Ucap Gengo.
“Bukankah rencanamu juga merupakan sebuah impian?”
Sudut mulut Gengo terangkat membentuk lengkungan kaku yang aneh. Penampakan di
wajahnya terlalu jahat untuk disebut sebagai senyuman.
“Sudah kukatakan sebelumnya,” Ucap Shikamaru. “Kau takkan bisa menenggelamkanku ke
dalam genjutsu.”
“Baiklah, kalau begitu dengarkan, Shikamaru”. Ucap Gengo, “Sesuatu yang disebut ‘impian’
hanya akan bernilai jika kemungkinan untuk menjadikannya nyata tinggi. Impian yang kau
katakan tadi adalah hal yang mustahil seperti menangkap awan. Perbedaan antara
impianmu dan impianku bagaikan langit dan bumi.”
“Kau ini bodoh ya?” Ujar Shikamaru.
“Pecundang yang sebenarnya adalah dia yang tak menyadari kebodohannya.”
“Yeah, dan itulah mengapa aku menyebutmu bodoh.”
Sebuah senyum yang tidak kentara bergetar di sudut mulut Gengo.
Tiba-tiba, Gengo menggerakkan lengan kirinya, dengan ganas memutar pergelangan kanan
Shikamaru di sekitar sendinya. Pergelangannya merasakan sakit yang teramat sangat.
Pergelangan Shikamaru terkunci, dan cengkramannya pada lengan Gengo melemah. Gengo
mengarahkan kunainya ke leher Shikamaru, menyeretnya lebih dekat dan lebih dekat lagi.
Ia tak punya waktu lagi untuk menghindarinya.
Shikamaru memutar tubuhnya ke arah yang sama dengan arah Gengo memutar
pergelangannya, dan menghentakkan tanah dengan kakinya. Lengan kanan Gengo yang
bersenjata memutar ke arah yang berlawanan dengan lompatan Shikamaru, dan ia mampu
menghindari kunai itu. Di udara, Shikamaru menggunakan kakinya untuk memberi
tendangan yang keras pada puncak kepala Gengo.
Tangan Gengo melepas pergelangan Shikamaru sehingga ia dapat melindungi kepalanya
dengan lengannya. Shikamaru memberikan tendangan kuat lainnya ke arah lengan Gengo
kali ini, dan mendengar suara berderak dari tulang di dalamnya.
Itu tak berakhir disini.
Shikamaru mendarat di tanah dan menggunakan kesempatannya, mengayunkan kaki yang
satunya memutar dan menendang Gengo tepat di sampingnya.
Gengo terhuyung mundur satu langkah.
Shikamaru masih belum berhenti. Ia menggerakkan kaki kirinya dan dalam satu tendangan
mulus, menyapu kaki Gengo dari bawah.
Shishi Rendan milik Uchiha Sasuke, Uzumaki Naruto Rendan milik Naruto. Serangan
Shikamaru meniru gerakan itu.
Ia melakukannya dengan baik, jika mengatakan pada dirinya sendiri.
Gengo terjatuh ke tanah.
Shikamaru dengan cepat berada di atasnya, menahannya ke bawah sambil menekankan
kunai ke tenggorokannya. Jika Gengo bergerak sedikit saja, maka Shikamaru akan
membunuhnya tanpa ragu.
“Ke-kenapa kata-kataku tak mempengaruhi pikiranmu?” Gengo tersedak.
“Hey, kau tahu bahwa genjutsu hanya bekerja jika terdapat titik lemah pada hati
seseorang.”
“Sejak wanita itu muncul.” Sembur Gengo, “Perubahan sikapmu yang mendadak telah
menunjukkan bahwa hatimu penuh dengan kelemahan, iya kan?!”
“Kau benar-benar orang bodoh, huh…” Shikamaru menghela nafas, sebelum tersenyum.
“Hatiku penuh dengan titik lemah. Tidak…tidak ada yang lain kecuali titik lemah. Justru
karena aku mempunyai semua kelemahan itu, tak ada satupun tempat yang bisa kau
susupi. Lagipula, seseorang berpikiran tertutup sepertimu mungkin tidak akan mengerti
maksudku.”
“H-hal seperti itu…tak mungkin…”
“Kau harus menerimanya, dengan keadaan seperti ini. Kata-katamu tidak akan
mempengaruhiku lagi.”
Keringat dingin mengalir di kening Gengo.
“Sejujurnya, aku tidak ingin melakukan hal seperti ini.” Ucap Shikamaru, lebih berbicara
pada dirinya sendiri daripada Gengo. “Aku lebih menyukai untuk hidup dalam kehidupan
yang normal. Tapi…”
Selalu ada perasaan menyesal tentang hidupnya yang sedikit menjalar di sudut hati
Shikamaru…
Namun kini, perasaan itu hilang sepenuhnya.
Ia telah membuat keputusannya.
“Tampaknya aku bukan seseorang yang bisa hidup dalam kehidupan seperti itu.”
‘Orang-orang membutuhkanku, jadi aku tak punya pilihan selain melakukan ini.’
Shikamaru telah jatuh ke dalam kondisinya yang sekarang karena setelah bertahun-tahun,
perasaannya tentang ‘tak memiliki pilihan’ telah berkembang lebih besar dan lebih besar
lagi. Semua hal mulai berjalan tak sesuai di dalam hatinya. Ia terus mempertahankan
sikapnya yang menyalahkan orang lain karena kehidupan yang dijalaninya, dan menjadi
setengah hati serta tidak puas dengan semuanya.
Ia telah membuat kesalahan yang serius.
Karena orang yang akan mulai mengemasi mimpinya…tak lain adalah diri Shikamaru
sendiri.
Mimpinya, untuk hidup biasa-biasa saja, takkan pernah terwujud.
Tapi ia tak masalah dengan itu.
Bagaimanapun, ia telah menemukan sebuah mimpi yang baru…
“Aku akan menghabiskan seluruh hidupku untuk membangun dunia sehingga orang-orang
dapat menjalani kehidupannya. Sehingga orang-orang yang mengatakan bahwa mereka
ingin hidup dengan nyaman dapat melakukannya selama mungkin.” Ucap Shikamaru. “Aku
akan menghentikan perang, dan mempersatukan seluruh negara. Dan aku akan membuat
tempat untuk mereka, orang-orang biasa yang tak memiliki mimpi lain selain menjalani
kehidupan yang normal dan sederhana.”
Seorang pria biasa akan melindungi kebahagiaan yang orang-orang temukan dari hidup
dalam kehidupan yang biasa.
Itu merupakan mimpi yang cocok untuknya, dan Shikamaru merasa puas dengan itu.
Demi mewujudkan mimpinya, ia akan menjadikan Naruto Hokage dan ia akan menjadi
guru dari Mirai, dan jika hasil dari mimpinya itu adalah menjadi shinobi yang baik, yang tak
akan mempermalukan ayahnya atau Asuma, maka ia akan bahagia dengan itu.
Hingga kini, Shikamaru merasakan prioritasnya terbalik. Ia merasakan tekanan dari dunia
luar, dan membatasi dirinya, menjalani kehidupannya dengan pemikiran yang konstan agar
tak menjadi hal yang memalukan. Itulah mengapa ia memaksa dirinya bekerja keras,
memaksakan dirinya hingga lelah.
Namun dunia tak seharusnya mengatakan padamu apa yang seharusnya menjadi
mimpimu. Mimpimu sendirilah yang seharusnya dapat meraih dan menghubungkannya
dengan dunia.
“Aku akhirnya telah menyingkirkan keraguanku.” Ucap Shikamaru
“Lalu kenapa (jika kau telah menyingkirkannya)?” Suara yang lirih datang dari
belakangnya.
Hasrat membunuh.
Shikamaru melompat dari Gengo, dan hampir terkena cakar harimau yang mengayun
menuju kepalanya.
Seekor harimau tinta…
“Aku tidak akan membiarkanmu membunuh Gengo-sama hanya untuk sebuah impian
pemalas.“ Ucap Sai, berdiri di depan Shikamaru dengan kuas dan gulungan di tangannya.
“Sai…”
“Gengo-sama! Cepat, paksakan kehendakmu kepada para shinobi Sunagakure bodoh itu.”
“Baiklah.” Gengo mengangguk, dengan cepat berlari menaiki tangga menuju singgasana. Ia
mengangkat kedua tangannya. “Dengar, semuanya!”
Ia sedang mempersiapkan pidatonya yang memuat chakra.
“Seolah aku akan membiarkanmu!” Shikamaru berlari menuju tangga, namun Sai
mengahadang jalannya.
“Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu tindakan Gengo-sama!” Kuas sai bergerak di
atas gulungannya dengan kecepatan kilat, dan harimau tinta lainnya menjadi nyata. “Ayo!”
Harimau yang baru begitu juga harimau yang telah menyerang kepala Shikamaru sesaat
tadi, keduanya melompat menyerangnya.
Gengo berbicara dengan suara keras diatas podium. Jika Shikamaru tak menghentikannya,
maka ia akan menenggelamkan seluruh shinobi Sunagakure ke dalam genjutsu dan
membekukan gerakan mereka di tempat.
Tiba-tiba, Shikamaru mendapatkan ide.
“Dengar, Temari!” Meskipun ia tak mengetahui dimana posisi pasti Temari, ia tetap
memanggilnya. “Pria itu menenggelamkan orang-orang ke dalam genjutsu dengan kata-
katanya! Tenggelamkan suaranya dengan anginmu!”
“Dimengerti!” Jawaban keras Temari terdengar dari jarak yang sangat dekat.
Setelah itu, angin topan demi angin topan muncul, angin yang sangat kencang menerjang
bebas di sepanjang ruangan itu. Kata-kata Gengo sepenuhnya ditelan oleh angin kencang
Temari.
Saat menghindari serangan dari harimau-harimau Sai, Shikamaru melirik ke arah
singgasana di puncak tangga. Gengo telah menyadari bahwa kata-katanya tidak akan
berefek jika mereka tak mendengarnya, dan kini mencoba untuk melarikan diri.
“Sialan…” Shikamaru mencoba berlari menaiki tangga, namun harimau tinta Sai
menghadang jalannya.
“Aku tidak akan membiarkanmu lewat.”
“Sai, sudah cukup! Sadarlah!”
“Orang yang seharusnya ‘sadar’ adalah kau dan yang lainnya.”
Tak ada gunanya, Sai terjebak sepenuhnya dalam cengkraman genjutsu Gengo.
Tiba-tiba, salah satu angin topan yang menyebabkan kekacauan di sekitar ruangan itu
menerjang dari belakang Shikamaru, dan harimau tinta Sai hancur menjadi kabut tinta
hitam.
Temari melompat ke tengah Shikamaru dan Sai.
“Serahkan padaku, kejar si br*****k itu!” Perintahnya.
“Temari…..”
“Kau bisa berterima kasih padaku nanti, cepat pergi!”
“Baiklah.” Ucap Shikamaru, dan mulai berlari menaiki tangga.
“Berhenti disana, Shikamaru!” Teriak Sai.
“Oh, kau tidak bisa.” Ucap Temari, dan membuka kipas perangnya. “Lawanmu adalah aku.”
Shikamaru hanya mengizinkan dirinya menoleh ke arah mereka berdua satu kali, sebelum
memfokusan dirinya kembali untuk berlari menaiki tangga.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 16
–Shikamaru
Dalam waktu sepersekian detik, Temari mengizinkan dirinya untuk merasa lega. Ia
mencapai Shikamaru tepat pada waktunya.
Setelah percakapan dengan Gaara waktu itu, Temari segera menuju Konoha dan bertanya
pada Naruto. Ninja berambut pirang itu tak memiliki satupun jawaban untuknya.
Namun, sama seperti Temari, Naruto merasakan perasaan aneh yang mengatakan ada
sesuatu yang tak beres mengenai Shikamaru. Ino dan Chouji juga berunding, dan saat
perasaan samar itu menguat menjadi kepastian, Naruto membawa Temari bersamanya
untuk pergi dan memaksa Kakashi memberikan jawabannya.
Pidato Naruto yang mengerikan dan blak-blakan mengganggu Kakashi di satu sisi,
sedangkan Temari meminta untuk membawa bala bantuan dari Suna di sisi lain. Dan
akhirnya, ia menyerah.
Dibawah perjanjian bahwa mereka tak akan memperburuk situasinya, shinobi Sunagakure
diizinkan untuk bergerak.
Temari telah membuat perencanaan sebelumnya dengan desanya, sehingga bala
bantuannya dapat segera berangkat jika dibutuhkan. Segera setelah mendapatkan izin
Kakashi, Temari mengirimkan pesan ke desanya, dan segera berangkat menuju Negeri
Sunyi. Dalam perjalanan ia bertemu kelompok shinobi Sunagakure yang dipimpin oleh
Gaara.
Saat mereka tiba di negara itu, mereka mulai mencari orang-orang yang berguna untuk
diinterogasi.
Hingga saat ini, sudah 10 hari sejak Shikamaru berangkat menuju Negeri Sunyi. Temari
kehilangan akal karena terburu-buru, dan interogasinya berjalan lebih buruk. Tak lama,
seorang pria yang menyebut dirinya ‘Yang Tercerahkan’ tak sengaja menyebutkan bahwa
shinobi dari Konohagakure telah di tahan di istana negara itu.
Segera setelah ia mengetahuinya, semuanya berjalan dengan mudah.
Mereka menyusup ke dalam istana dengan perisai pasir yang diciptakan Gaara. Temari
memimpin armada kecilnya menuruni koridor, menjatuhkan para penjaga sebelum mereka
dapat mengirim alarm peringatan, dan perlahan menyelinap menuju aula utama. Semua
berlangsung pada waktu yang tepat, tepat saat Shikamaru hampir menyerahkan
kesetiannya pada Gengo.
Pada detik Temari melihat Shikamaru seperti dipengaruhi ucapan Gengo tentang shinobi
yang memimpin dunia, ia kehilangan seluruh kontrol dirinya.
Shikamaru bukan jenis pria yang akan tergoyahkan oleh sampah seperti itu!
Saat Temari men-summon anginnya untuk menerbangkan pintu aula itu dan menyerbu ke
dalam, tubuhnya tak sedang diperintah olehnya. Ia dipenuhi oleh kemarahan yang murni.
Mendengar bahwa itu hanya merupakan genjutsu telah membuatnya merasa lega…
Setelah terbangun, Shikamaru kembali menjadi pria yang dikenalnya. Ia menghadapi Gengo
dengan hidung yang berdarah dan mata malasnya, dan hanya melihatnya sudah cukup
membuat Temari merasa semuanya hingga saat ini tidak sia-sia.
“Kau tidak seharusnya begitu pelupa disaat seperti ini.”
Seorang shinobi Konoha yang mengatakannya, dengan senyum kaku di wajahnya. Kuas
yang tergenggam di tangannya telah mengidupkan harimau serta serigala yang tak
terhitung jumlahnya hingga detik ini. Saat ini, ia men-summon seekor harimau putih yang
menyeramkan. Diantara semua hewan tinta yang telah di-summon-nya, yang satu ini
terlihat paling ganas.
Jika ia mengingatnya dengan benar, pria ini bernama Sai…
Teman satu tim Naruto dan Sakura.
“Pelupa? Aku tidak melakukan serangan yang sama berkali-kali.” Temari bergumam pelan,
dan mengayunkan kipas perangnya, seluruh tubuhnya memutar mengikuti gerakannya.
Angin dari kipasnya berubah menjadi seekor musang bersabit: Kamatari. Ia (Kamatari)
memutar dan menggerakkan tubuhnya mengikuti arah angin, menerjang ke arah harimau
itu dan menyayat lehernya dengan sabitnya. Harimau Sai kembali menjadi tinta tak
bernyawa, jatuh ke tanah.
“Sungguh mengagumkan bagaimana kau tidak memiliki sedikitpun keraguan.” Komentar
Sai.
Temari berbalik ke arah suara itu datang.
Menghilang!
Kapan dia menghilang, dan kemana?
Ia bahkan tak memiliki waktu untuk mengikuti gerakan Sai dengan matanya…
“Shinobi yang dapat melihat ke dalam Jutsu Teleportasi Tinta**…tak pernah ada.”
Sai telah berteleportasi tepat dibelakangnya.
Ia pasti akan bergerak untuk menikamnya.
Temari tak akan bisa berbalik tepat pada waktunya.
Kiri atau kanan?
“Oh, sial!”
Ia harus berspekulasi.
Diam-diam berharap pisau itu tak mengikutinya, Temari menggeser tubuhnya ke kanan.
Cakar harimau mengayun ke arahnya, menggores alis kirinya.
“Terlalu naif.” Suara Sai yang dingin cukup bagi udara dingin untuk menjalar ke tulang
belakang Temari.
Kapan dia berteleportasi ke depannya?
“Sial!”
Temari mengayunkan kipasnya ke samping tubuhnya sebagai perisai. Kipasnya telah
diciptakan agar susunannya cukup kuat untuk menangkis pisau besi. Ia sepenuhnya
terlindungi dari senjata seperti kunai.
Namun…
“Guh!”
Temari terjatuh tepat dimana ia berdiri, nyeri yang tajam menembus melewati perutnya.
“Manipulasi chakra… Itu merupakan keahlianku.” Ucap Sai dengan suara yang hampa dan
tak bersalah. Kunai yang dipegangnya telah menembus langsung kipas perang Temari dan
mencapai perutnya.
Ada sesuatu yang samar-samar melingkar disekitar senjata itu, seperti kabut.
Chakra.
Ia mengelilingi kunainya dengan chakra yang sangat tebal hingga kau dapat melihatnya.
Kekuatan dan ketajaman pisau itu pasti telah meningkat sepuluh kali lipat…
“Tak peduli seberapa keras kalian melawan, tak satupun dari kalian yang dapat
menandingi Gengo-sama.” Ucap Sai. “Pada akhirnya, kami para Kakusha lah yang akan
mengendalikan dunia ini.”
“Apa itu…benar-benar yang kau inginkan?”
“Ya.” Sai membiarkan sebuah senyum menghiasi wajahnya. Ia tak tampak seperti berada
dalam genjutsu. Keyakinan yang tak tergoyahkan pada Gengo tergambar dengan jelas di
wajah Sai.
Namun…
“Baiklah, lalu…” Ucap Temari susah payah. “Kenapa kau menangis?”
Setetes air mata lolos dari mata kanan Sai tak luput dari pengamatan Temari.
Di dalam hatinya, Sai berada dalam pertentangan.
“Aku tidak menangis.” Sai menggertak, dan mencengkram kunainya lebih erat, bersiap
untuk serangan akhir.
Temari menahan nafasnya.
“KUATKAN DIRIMU DAN BANGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNNNNNNNNNN!”
Tiba-tiba, Sai terlempar oleh serangan seorang kunoichi. Ia terhempas dari pandangan
Temari seluruhnya, kunai yang menusuknya bergemerincing di lantai.
“Apa kau baik-baik saja?” Kunoichi itu bertanya sembari membantu posisi Temari yang
tumbang.
“Sa…Sakura?”
“Bertahanlah, jangan bicara sekarang.” Ucap Sakura. “Aku akan menutup luka di perutmu.”
Chakra mengelilingi tangan kunoichi itu saat ia menekan lembut luka terbuka Temari.
Gelombang chakra yang hangat itu dengan lembut menyelimuti perutnya.
“Tunggu…Sai?”
“Tidak apa-apa, pasukan kami yang menanganinya.”
“Eh?” Temari mengalihkan pandangan ke arah Sai yang sedang terlempar.
Seseorang menahan Sai di tempat dimana ia dilempar oleh Sakura.
Raksasa…
Tak salah lagi. Pria raksasa itu adalah sahabat Shikamaru.
“Chouji!” Seorang kunoichi berambut panjang berteriak di belakangnya. “Tetap tahan dia
seperti itu!”
“Shikamaru dalam bahaya, tapi shinobi Konoha tidak bergerak untuk membantunya.”
Sakura meniru komentar seorang penduduk sambil menyembuhkan perut Temari. “Akan
terasa begitu menyakitkan jika keadaannya berubah seperti itu, jadi …”
Ada dua shinobi berdiri di belakang Sakura, keduanya dipenuhi luka. Yang satu merupakan
pria paruh baya dengan wajah menakutkan. Yang satunya lagi merupakan perempuan yang
bertahun-tahun lebih muda dari Temari.
Temari mengeratkan giginya melawan rasa sakit karena lukanya, dan kembali berbicara
pada Sakura.
“Dia berada…dibawah genjutsu …”
“Tenang saja,” Sakura meyakinkannya, “Kami sudah mendengarnya dari mereka berdua.”
Kedua shinobi di belakangnya mengangguk menegaskan kata-katanya.
“Baiklah! Semuanya sudah siap!” Kunoichi berambut panjang berteriak pada Chouji,
menyatukan telapak tangannya.
Sai berusaha memberontak dibawah tubuh raksasa Chouji, wajahnya penuh hasrat ingin
membunuh. Ia menggeram mengeratkan giginya, cahaya bersinar pada gigi taringnya.
“Ninpou – Shintenshin no Jutsu!” Kunoichi berambut panjang itu berteriak.
“Selama jutsu Ino bekerja, semuanya akan baik-baik saja.” Gumam Sakura.
Chouji membebaskan Sai, mundur.
Sai bangkit.
Semua itu terjadi seketika.
Seperti kilatan petir, getaran keras memasuki tubuh Sai, dan ia berhenti bergerak. Di
hadapannya, dalam satu garis simetris, tubuh Ino juga menjadi kaku.
“Ahh, sudah. Sudah tidak apa-apa sekarang.” Sakura perlahan menyingkirkan tangannya.
Rasa sakit di perut Temari sudah menghilang sepenuhnya.
*
Ino menyelam dalam kegelapan. Lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Ia masih belum menemukan Sai.
Tak peduli seberapa dalam ia terus menyelam, semua yang mengelilinginya adalah tinta
hitam yang pekat.
Bagaimanapun, ini adalah Sai. Pada dasarnya ia tak sepenuhnya menyadari siapa dirinya
yang sebenarnya. Ia tak akan mudah ditemukan.
Namun Ino akan menyelamatkannya tak peduli apapun yang terjadi…
Karena jika Ino tak dapat menyelamatkan Sai, maka kedatangannya kesini akan menjadi
sia-sia.
Ia dengan susah payah terus berusaha keras melewati lapisan-lapisan hati Sai.
Shintenshin no Jutsu dapat membuatmu mampu bergerak dalam tubuh seseorang sesuai
keinginanmu sendiri, dan caranya adalah dengan memberikan pengaruhmu dari dalam hati
orang tersebut. Saat ujian chuunin. Ino telah menyadari hal ini dengan jelas ketika ia dan
Sakura berjuang untuk mengontrol hati yang terlemah.
Saat di Konoha, ia membaca pesan Sai, melihat tulisan tangannya yang berantakan dan
kacau, dengan rasa sedih ia tak dapat berharap untuk menggenggamnya. Saat itu, Ino
merasakaan penderitaan Sai hingga terasa menyakitkan.
Saat itu, Ino belum mengetahui tentang Gengo atau genjutsunya atau yang lainnya, namun
ia telah bertekad pada dirinya bahwa ia harus pergi. Tentu saja, ia juga ingin
menyelamatkan Shikamaru, namun yang memicu Ino untuk bergerak adalah pesan Sai
yang tampak menderita.
Sai, yang selalu mengkhawatirkan kekosongan hatinya sendiri, merasakan penderitaan
lebih dari yang lain di bawah genjutsu Gengo. Tak ada yang dapat menyelamatkan Sai dari
sana selain Ino.
Dan itulah mengapa ia bertekad untuk terus menyelam, tak peduli seberapa dalam ia harus
pergi.
Ketika kau menyelam jauh ke dalam hati seseorang, hal pertama yang mungkin terjadi
adalah kehadiranmu sendiri yang mulai menjadi kabur.
Hal terakhir yang mungkin terjadi adalah kesadaranmu akan sepenuhnya hilang di
kedalaman itu. Ketika hal itu terjadi, maka tak akan ada jalan untuk kembali.
Itu merupakan resiko besar yang harus Ino ambil untuk menyelamatkan Sai.
…Ia ingin berbicara dengannya lebih banyak lagi.
Sai, yang selalu memberikan senyuman yang menunjukkan rasa kesepiannya, Ino ingin
mengenalnya lebih dan lebih lagi.
Tak mungkin ia meninggalkan Sai di tempat yang penuh kegelapan seperti ini.
Sesaat kemudian, Ino mulai merasakan sesuatu yang hangat datang dari kegelapan. Sebuah
cahaya yang redup…
Ia melewati sekumpulan chakra. Gabungan dari chakra banyak orang…
Naruto.
Sakura.
Yamato.
Kakashi.
Semua shinobi Konoha ada disana.
Rasanya seperti kobaran api di tengah badai salju.
Ino menyelam sedikit lagi, matanya mengintip ke dalam kekusutan itu, mencari-cari di
antara chakra semua orang.
Disanalah dia…
Seseorang yang meringkuk di tengah kehangatan semua orang adalah Sai.
“Sai!” Ino mati-matian menggapainya. “Disini!”
Sai melihat ke atas ke arah suara Ino. Kedua matanya merah dan bengkak karena menangis.
“Ayo.” Ucap Ino. “Kita keluar dari sini bersama-sama.”
“Kau…”
Ino menggapainya, tangannya akhirnya mendarat di pundak Sai, kuat dan meyakinkan.
“Ayo.” Ucapnya.
Tepat pada saat itu, Sai tersenyum.
Ino tak pernah melihatnya tersenyum setulus ini sebelumnya.
*
Ino menarik nafas berat dan dalam, seperti baru saja menembus permukaan samudra yang
sangat dalam. Ia menghirup udara sebanyak mungkin, tubuhnya benar-benar
membutuhkan oksigen.
Kegelapan telah ia tinggalkan di belakangnya, dan kini yang tampak adalah luapan cahaya.
Sakura dan Chouji berdiri menjaga mereka. Ino duduk di hadapan Sai yang sedang tertidur.
“Bagaimana, Ino?”
Meskipun ia mendengar pertanyaan Chouji, ia terlalu lelah untuk menjawab
Kepala Sai berada di dekat lutut Ino. Perlahan, ia membuka matanya.
Sebelum Ino menyadari siapa yang pertama kali menggapai, mereka telah
menggenggamkan tangan mereka.
“Sai.”
“Kau…” Sai bergumam linglung, mengeratkan genggamannya. “Kau yang…”
“Kau bisa berhenti khawatir sekarang.” Airmata mulai mengalir dari mata Ino.
“Terima kasih, nona cantik.”
“Bodoh…”
Keduanya tersenyum lembut satu sama lain.
[Translator’s Note]:
**Sejenis Shunshin no Jutsu
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 17
–Shikamaru
Shikamaru berlari menaiki tangga spiral yang sangat, sangat panjang. Matanya terus tertuju
pada figur yang berlari di depannya: Gengo. Seluruh Kakusha-nya masih bertarung di
bawah aula sana, dan pria yang mereka hormati seperti dewa sedang mencoba melarikan
dirinya sendiri.
Tangga spiral itu terasa aneh dan menyesakkan untuk mereka, dengan dinding batu yang
menutupi sisi-sisinya. Kau terus berlari menaikinya, dan menaikinya, dan menaikinya, dan
secepatnya kau akan merasa pusing.
“Bagaimana jika kau mengakhiri ini semua dan menyerah sekarang?” Shikamaru balik
bertanya pada Gengo. Tanpa mengharapkan jawaban.
Beberapa jarak di depan Gengo, terdapat sebuah pintu besi. Itu merupakan pintu yang
tampak sederhana dan berbentuk aneh, tanpa hiasan ataupun dekorasi. Gengo terus
berlari, mencapai dan membuka pintu yang tampak berat itu dengan menariknya tanpa
ragu-ragu. Shikamaru hanya menangkap sekilas kegelapan dari dalam ruangan itu sebelum
Gengo menghilang ke dalamnya. Pintu tertutup.
Tangan Shikamaru menggapai pintu yang tertutup itu dan pintu itu berderit terbuka
karena sentuhannya.
Pasti ada mekanisme tertentu.
Shikamaru membuka pintu itu.
Itu tak ada hubungannya dengan rencana maupun strategi.
Ia tak memiliki pilihan lain selain terus berjalan.
Apa yang terdapat di dalam ruangan itu adalah kegelapan yang sebenarnya. Hanya ada satu
wujud yang berada dalam keheningan yang gelap itu. Satu orang.
Tiba-tiba, pintu terbanting tertutup di belakang Shikamaru.
Karena Gengo berada di dalam ruangan itu bersamanya kemungkinan ada seseorang yang
menutup pintu itu- atau, itu merupakan sebuah trik yang dirancang oleh Gengo.
“Jadi kau masuk dengan sendirinya tanpa keraguan. Tolong katakan padaku bahwa itu
bukanlah tindakan yang terlalu berani.” Suara Gengo datang. “Kau sadar, kau tak akan bisa
melihat atau menangkapku dalam kegelapan seperti ini.”
“Klan Nara telah memiliki kemampuan manipulasi bayangan dari generasi ke generasi.”
Ucap Shikamaru. “Kegelapan adalah yang melahirkan bayangan. Dengan begitu, kau bisa
mengatakan bahwa kegelapan merupakan induk dari bayangan. Untuk seseorang sepertiku
yang hidup berdampingan dengan bayangan, kegelapan di ruangan ini tidak berbeda
dengan rangkulan ibuku. Sejak saat kau berada di ruangan ini, kau sudah tertangkap.”
Shikamaru setengah berbohong.
Benar jika dia telah terbiasa dengan kegelapan. Namun, hanya karena kau merasa nyaman
dalam gelap, bukan berarti kau memiliki penglihatan dalam gelap (night vision). Shikamaru
hanya sedikit lebih peka terhadap sesuatu dalam gelap dibanding shinobi yang lain. Hanya
itu saja.
“Menghibur…” Gengo kembali, suaranya penuh dengan kepercayaan diri. “Kau benar-benar
pria yang menarik. Sayang sekali aku harus membunuhmu disini.”
Hening…
Shikamaru dan Gengo sama-sama diam, keduanya mencoba berkonsentrasi pada insting
mereka untuk menentukan lokasi yang tepat dari lawannya.
“Aku sebenarnya adalah shinobi dari Kirigakure.”
Gengo yang memecah kesunyian. Ia terus berbicara. ”Apa kau tahu pria yang dipanggil
Momochi Zabuza?”
Dia tahu. Saat mereka masih genin, Naruto sering menyebutkan nama itu. Momochi Zabuza
adalah ninja terampil yang dilawan oleh tim Naruto dalam sebuah misi.
Gengo melanjutkan. “Saat Zabuza mulai berusaha melakukan kudeta di Kirigakure,
impiannya adalah untuk mewujudkan dunia idealku.”
Untuk shinobi yang memerintah dunia …
“Seorang pengkhianat memberitahukannya pada desa, kudeta itu terkuak. Zabuza menjadi
seorang missing-nin. Saat itu, diriku yang masih muda adalah salah satu dari pengikutnya
yang ikut diasingkan. Namun kemudian Zabuza, yang membutuhkan emas untuk
mewujudkan impiannya, dengan sukarela bergabung dengan seorang pengusaha kaya,
mafia palsu, dan mengambil misi-misi keji. Zabuza mengatakan bahwa kami mengotori
tangan kami untuk mencapai impian itu, hanya untuk satu tujuan, namun banyak yang
meninggalkannya. Aku juga merupakan salah satu yang meninggalkannya. Hampir sepuluh
tahun sejak saat itu. Aku akhirnya memperoleh negara ini. Dan baru sekarang…”
Suara Gengo bergetar penuh emosi.
“Baru sekarang ambisiku mulai terwujud! Dan tapi, hal seperti ini terjadi karena ulahmu,
kau anak ba*****n …!”
Telinga Shikamaru menangkap sesuatu menghentak ke tanah.
Terdengar seperti Gengo mengeluarkan sesuatu yang terbuat dari logam, seperti sebuah
kunai.
Ia tak dapat melihat dengan matanya. Ia harus bergantung pada instingnya.
Namun Shikamaru tak dapat menangkap informasi yang lebih banyak lagi selain fakta
bahwa Gengo sedang menuju ke arahnya.
“Zabuza meninggalkan jalan itu! Dia terlalu gegabah untuk mewujudkan impiannya, dan
mengotori tangannya! Tapi aku berbeda! Setelah jalan panjang yang penuh perjuangan, aku
akhirnya menguasai jutsuku! Aku membuat puasaran yang meningkatkan semangat orang-
orang, dan mengambil alih negara ini. Dan pusaran itu akan meluas, ke seluruh kontinen
ini, setiap negara yang ada!” Teriak Gengo.
Terdengar suara bising dibalik teriakan Gengo. Suara mendesing, memotong ditengah
kekosongan…
Sebuah pisau. Dan terasa sangat besar. Sebuah sabit? Tidak, lebih tipis dari itu. Sesuatu
seperti tombak atau pedang yang panjang.
Posisi Gengo terasa sudah sangat dekat. Shikamaru dapat merasakan benda itu memotong
di tengah kekosongan dan menuju lehernya-!
Ia merosot ke lantai merunduk dari serangan itu. Shikamaru merasakan hembusan angin
yang tajam memotong sepanjang jalur pedang Gengo, menyayat udara di atasnya.
“Kau menghindarinya dengan baik. Tapi jangan pikir aku akan membiarkanmu!” Teriak
Gengo, dan hembusan angin itu berubah arah lagi.
Shikamaru berguling, duduk dengan satu lutut yang tegak, dan ia dapat merasakan pedang
yang panjang mengayun di suatu tempat di atas kepalanya.
Ia mencoba menerka keberadaan Gengo di kegelapan. Ia menerka panjang pedang dari
suara yang dihasilkan saat pedang itu menyayat udara, berusaha mengukur panjang dari
ujung ke pegangannya. Dibalik sumbu dari ayunan itu, disanalah Gengo.
Shikamaru tak dapat menggunakan bayangannya di kegelapan seperti ini. Mustahil
mengikat Gengo dengan ninjutsunya.
Tak ada yang bisa dilakukan selain menggunakan tubuhnya.
Shikamaru payah dalam taijutsu, ia sudah tak mempunyai senjata lagi. Ia menggerutu pada
dirinya sendiri, jika keadaannya akan jadi seperti ini, dia seharusnya akan melakukan yang
lebih baik jika belajar taijutsu dari Lee.
“Heh…”
Shikamaru mengeluarkan tawa singkatnya, merasa puas karena cara berpikirnya yang
biasa telah kembali.
Ayunan pedang Gengo menyapu ujung rambut Shikamaru.
“!”
Menggunakan seluruh konsentrasinya, Shikamaru berguling ke posisi yang ia kalkulasikan
kemungkinan Gengo akan berada di sana.
Pedang yang panjang akan kehilangan keuntungannya saat kau berada pada jarak yang
terlalu dekat, jika kau ingin melucuti senjata lawanmu, daripada menghindar, akan jauh
lebih efektif jika kau bergerak mendekati lawanmu.
Jika kau melarikan diri untuk menyelawatkan nyawamu, maka kau akan mati. Namun jika
kau menghadapi kemungkinanmu untuk mati, maka kau akan hidup…
Itu adalah strategi yang sangat mendasar dalam perang.
Shikamaru mendengar pedang panjang Gengo mengenai lantai di belakangnya. Ia telah
berhenti berguling untuk berjongkok, tepat di depan posisi yang ia prediksikan, dan
sekarang mendorong kakinya, meluncur dengan kencang.
“Kena kau!” Shikamaru mendengus saat ia merasakan kepalanya berbenturan dengan
tubuh Gengo.
Gengo memekik terkejut dan terjatuh meringkuk. Shikamaru menginjak lutut Gengo yang
tertekuk dengan kaki kanannya untuk mendorong, dan menghantam wajah Gengo dengan
lutut kirinya.
Ia melakukannya. Ia sukses mengkalkulasi keberadaan Gengo dengan tepat, hanya dengan
menggunakan suara dan kekuatan insting sebagai petunjuk pergerakannya.
“Gah-”
Namun meskipun Gengo telah menerima serangan yang hebat, ia belum roboh. Gengo
menggunakan seluruh kekuatannya untuk menghentikan tubuhnya agar tak jatuh ke tanah,
melimbungkan tubuhnya ke depan. Ia telah melepaskan pedangnya, dan menjangkau sisi
Shikamaru dengan tangannya.
Shikamaru terlempar dengan kuat, terlempar ke udara dan mendarat dengan rasa nyeri
yang tajam di tulang belakangnya.
Tepat saat Shikamaru memperhatikan keadaan sekitarnya yang sangat gelap, ia merasakan
Gengo telah bangkit berdiri lagi. Terdengar suara gemerincing, seperti besi yang
menggores lantai batu itu.
Suara itu kemungkinan besar Gengo mengambil kembali pedangnya.
Seluruh bagian tubuh Shikamaru terasa kebas. Ia mengerjap beberapa kali, tak dapat
menggerakkan tubuhnya secepat yang ia inginkan.
“Di Kirigakure, karena tradisi Tujuh Shinobi Pemegang Pedang, setiap penduduk dituntut
untuk menguasai teknik pedang sejak mereka masih kanak-kanak.” Ucap Gengo,
mengayunkan pedang panjangnya.
Targetnya adalah Shikamaru, masih tergeletak tak berdaya di lantai.
Ia hanya memiliki satu cara untuk mempertahankan dirinya.
Dan itu merupakan ide yang bodoh.
Itu merupakan gerakan yang Shikamaru tak pernah impikan untuk melakukannya.
Tapi ia tak punya pilihan lain untuk menghindari serangan itu.
“Oh, sialan!” Shikamaru mengerang dan mengangkat kedua tangannya. Telapak tangannya
menengadah ke udara, menunggu untuk mencoba menangkap pedang tajam di tengah
lintasan yang ia perkirakan.
Shikamaru merasakan besi yang dingin terselip di antara telapak tangannya.
…ia benar-benar menangkap pedang itu.
“T-tampaknya aku entah bagaimana berhasil menangkapnya…” Ucap Shikamaru pada
dirinya sendiri.
“Mustahil,” Gengo tergagap, tercengang.
Tidak semustahil itu, karena hal itu terjadi. Pada akhirnya, telapak tangan Shikamaru telah
menangkap pedang Gengo dengan kuat.
“Baiklah,” komentar Shikamaru, “Aku rasa kau dapat menyebut ini sebagai Ninpou (Teknik
Ninja)—’Benar-Benar Mencoba Untuk Menangkap Pedang dengan Tangan Kosong’.”
“Apa ejekanmu tak ada akhirnya?” Suara Gengo terdengar sangat marah.
Pedang Gengo bergetar di antara telapak tangan Shikamaru saat Gengo meningkatkan
kekuatannya, mencoba untuk mendorongnya ke bawah.
Dalam keadaan ini, semuanya bergantung pada kekuatan otot. Batas kekuatan antara
Shikamaru, yang terbaring di lantai dengan kedua tangannya terangkat, dan Gengo, yang
berdiri dengan sikap sempurna pemegang pedang di atasnya, sangat jauh berbeda. Gengo
mendapatkan keuntungan.
Pedang panjang itu perlahan terdorong ke bawah.
“Aku akan membunuhmu disini, kau anak ba*****n.” Gertak Gengo, “Dan kemudian aku
akan membuat para ba*****n di aula itu mengikuti idealku. Dan aku akan melanjutkan jalan
menuju ambisiku.”
“Oi, oi, sejak kapan kau begitu bermulut kotor?” Tanya Shikamaru. “Seseorang yang bahkan
tidak menyadari topeng kesopanannya sudah terlepas, tidak mungkin mereka menguasai
dunia, iya kan?”
“Lihatlah situasi kau berada dan perhatikan apa yang kau katakan, kau ba*****n bodoh.
Kau adalah orang tolol yang tak bisa berharap untuk memahami potensi orang lain.”
“Sekarang, aku berpikir,” Shikamaru merenung. “Siapa yang meminta si tolol ini menjadi
orang kepercayaannya?
“Banyak bicara. Kau tak punya apa-apa selain omong kosong.” Kekuatan Gengo pada
pedang itu meningkat.
Lengan Shikamaru bergetar karena mencoba untuk menahan pedang itu. Peluh hangat
berkumpul di dahinya. Ia mendekati batasnya.
Dia telah dipojokkan.
Dan malah, Shikamaru tetap tersenyum.
“Terkadang,” ucapnya pada Gengo, “Ada beberapa hal yang kuat karena mereka kosong.”
“Aku tak berminat untuk melanjutkan omong kosong ini.”. Ucap Gengo. “Dalam waktu yang
sangat singkat, kau akan mati.”
Pedang itu seinchi demi seinchi mendekati dahi Shikamaru.
“Awan. Aku suka memandang awan.”
“Diam.”
“Awan tidak akan pernah tertangkap, bahkan jika seseorang mencoba menangkapnya,
karena selama ada angin, mereka akan tertiup. Mereka adalah sesuatu yang licik, tidak
berisi wujud apapun.”
Shikamaru merasakan mata pedang yang dingin itu menyentuh dahinya. Meskipun begitu,
ia masih terus berbicara.
“Namun bahkan sesuatu yang kosong dan licik itu memiliki kegunaan. Mereka bisa
membasahi tanah dengan hujan. Mereka dapat menyambar benda-benda dengan petir.”
“Jadi apa peduliku?” Tanya Gengo.
“Jadi, aku memberitahumu bahwa hal yang salah untuk terus berpikir bahwa kau harus
penuh dengan wujud untuk menjadi sesuatu yang berharga. Meskipun jika didalamnya kau
merasa kosong… Meskipun jika kau tak memiliki hati yang tak tergoyahkan. Selama kau
memiliki tekad untuk tidak menjadi orang yang jahat, maka kau akan baik-baik saja. Tapi
kau bahkan tak tahu itu. B******n bodoh sepertimu yang selalu berpikir bahwa setiap
orang harus menjadi yang kau inginkan, kau tidak akan mengerti yang kumaksud meskipun
jika kau mati, iya kan?”
Pedang itu kini telah menyayat kulit dahi Shikamaru, dan darah yang hangat mulai
mengalir.
Justru karena ia masih terus berbicara meskipun berada dalam situasi berbahaya maka
kata-kata Shikamaru menangkap perhatian Gengo.
Gengo teralihkan oleh rasa ingin tahu seorang manusia, dan saat ia berkonsentrasi pada
kata-kata Shikamaru, genggaman pada pedangnya melonggar.
Itulah kesempatan yang telah ditunggu-tunggu oleh Shikamaru.
Tetap dalam posisi terbaring di lantai, ia menyapukan kakinya dengan keras ke arah
dimana kaki Gengo berada.
Gengo tersandung, dan pedangnya meluncur ke bawah. Shikamaru menggerakkan
kepalanya searah dengan daya dorong pedang itu, dan pedang itu meluncur melewati dahi
Shikamaru tanpa menyayat kulitnya lebih dalam, terpelanting ke lantai. Shikamaru
berguling dari bawah kaki Gengo, bangkit berdiri.
Ia sudah tak lagi terpojokkan.
Shikamaru mengizinkan dirinya untuk menghembuskan nafas kecil, sebelum ia berbalik
dan menerjang ke arah Gengo, kemudian mengarahkan kaki kanannya ke tempat yang ia
prediksi wajah Gengo berada.
Shikamaru merasakan tendangannya mendarat pada sesuatu yang tebal dan lunak,
kemungkinan besar hidung Gengo.
Gengo terhuyung ke belakang.
Segera setelah mendarat dari tendangan udaranya, ia melompat sekali lagi, membuat jarak
di antaranya dan pedang panjang itu.
“Jadi, bagaimana rasanya?” Tanya Shikamaru, “Sudah merasakan genjutsu dari kata-
kataku?”
“Jangan meremehkanku, bocah nakal…”
“Oi, oi, jadi aku sudah berubah dari ‘ba*****n’ menjadi ‘bocah nakal’ sekarang?” Saat
Shikamaru berbicara, ia mendengar suara deritan di belakangnya, seperti logam yang
ditarik dengan logam.
Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi oleh cahaya yang menyilaukan.
“Apa kau baik-baik saja, Shikamaru?!” Suara Chouji.
Shikamaru melihat dari balik bahunya. Dari garis pandangnya, ia dapat melihat teman-
temannya berdiri di pintu masuk ruangan itu.
Disana ada Chouji dan Ino dan Sakura, dan Roku dan Sou, yang tampak telah terlepas dari
genjutsu.
Dan tentu saja, disana ada Temari.
Sambil berpikir mengenai apa yang terjadi pada Sai, Shikamaru mengalihkan
pandangannya pada Gengo sekali lagi.
“Persiapkan jutsu-mu, Ino!” Teriaknya.
Dibelakangnya, Shikamaru membuat sinyal dengan tangannya yang ia tahu Ino akan
mengerti. Tim 10 telah bekerjasama selama bertahun-tahun. Komunikasi mereka sangat
sempurna.
“Mengerti!” Balas Ino.
“Hingga aku memberi sinyal, jangan ada yang membuat pergerakan apapun untuk ikut
terlibat.” Ucap Shikamaru.
Darah yang mengalir dari dahinya menghalangi penglihatannya. Iya menggunakan telapak
tangan untuk mengusapnya, dan menggapai bagian dalam rompinya untuk mengambil
hitai-ate Konoha-nya yang tersimpan dengan aman di dalam pakaiannya. Ia mengikatnya
dengan kuat di sekitar dahinya. Ia tak terlalu khawatir tentang seberapa efektif benda itu
dalam menghentikan pendarahannya.
“Apakah kau bertingkah terlalu tenang?” Gengo geram, mengayunkan pedangnya di udara
dengan matanya yang merah. “Shikamaru!”
Jari Shikamaru bergerak cepat membuat segel tangan.
Bayangannya mulai memanjang dari kakinya, menuju ke arah Gengo.
“Aku bukan orang tolol yang akan tertangkap oleh trik murahanmu,” ucap Gengo,
melompat menjauh sebelum bayangan Shikamaru dapat mencapai kakinya.
Gengo mendarat dan menerjang Shikamaru tanpa jeda, pedangnya terayun dengan kilat
untuk memotongnya.
Shikamaru terbelah menjadi dua dari dahi ke bawah.
Namun tubuhnya kehilangan warnanya, menjadi hitam, dan kemudian menghilang.
“Itu hanya kagebunshin.” Geram Gengo.
Di belakangnya, Shikamaru menuju ke arahnya dengan kunai di tangannya.
Kunai itu memotong melewati tengkuk Gengo.
Gengo menghindari serangan itu dengan sangat brilian, contoh yang baik dari pembawaan
teknik pedang Kirigakure. Saat Gengo menghindar, ia menggeser tubuhnya, menekuk
lututnya dan mengayunkan pedangnya secara horizontal.
Perut Shikamaru tertembus.
Namun Shikamaru yang ini juga kehilangan warnanya. Kagebunshin yang lain.
“Kau anak kurang ajar…” Geram Gengo.
“Persiapan selesai!” Panggil Ino.
“Baiklah.”
Rencana Shikamaru juga telah selesai. Bagian terbesar dari rencana itu bergantung pada
kesuksesan aplikasi jutsu Ino.
Ino berdiri beberapa jarak dari Gengo, kedua tangannya terangkat, telapak tangan terbuka.
Kedua ibu jari dan telunjuknya dipertemukan untuk membuat formasi seperti segitiga, dan
ia membidik tepat ke arah Gengo.
“Ninpou, shintenshin no jutsu.”
Gengo segera melompat ke sisi lain, menghindari bidikan Ino. Melihatnya menghindar, Ino
tersenyum pada diri sendiri.
Dan dia menggeser telapak tangannya, hanya sedikit, untuk mengarah ke target yang
sebenarnya: Shikamaru.
Tubuh Shikamaru mengkaku.
Ia tahu Ino telah memasuki pikirannya.
Jutsu itu hanya berlangsung sekejap. Dalam hitungan satu tarikan nafas, dan mungkin
ditambah satu hembusan nafas, jutsu itu sudah terlepas.
“Rou, Soku,” Ino memanggil mereka berdua segera setelah ia melepas jutsunya.
Semuanya berjalan sesuai rencana…
Shintenshin jutsu yang dapat memasuki hati seseorang juga mampu melakukan satu hal
lagi: berbagi informasi.
Shikamaru mengambil keuntungan itu.
Rencana yang ia rancang dengan hati-hati di kepalanya telah ditransmisikan pada Ino. Dan
Ino mentransmisikannya pada Rou dan Soku.
Shikamaru telah memutuskan untuk mengalahkan ba*****n ini dengan Rou dan Soku.
Mereka bertiga akan melakukannya bersama.
“Ayo!” Shikamaru memanggil mereka berdua.
Rou dan Soku mengangguk.
Shikamaru berlari ke arah Gengo, sedangkan Rou dan Soku berlari ke arah ujung ruangan
yang berlawanan, berhenti kemudian menghadap satu sama lain dari posisi pararel
mereka.
“Apapun yang kalian lakukan, semuanya tidak berguna.” Ucap Gengo.
“Oh ayolah.” Ucap Shikamaru. “Ini merupakan pertarungan terakhir kita, jadi nikmati saja.”
Kunai dan pedang beradu di udara. Terdapat perbedaan yang besar antara massa kedua
senjata mereka.
Shikamaru terdorong mundur karena kekuatan pedang Gengo, terjatuh ke lantai.
Pedang Gengo menuju ke arahnya, menyayat dadanya.
Namun itu merupakan kagebunshin yang lain.
“Berapa lama kau ingin terus bermain?!” Gengo geram, ludah tersembur dari mulutnya.
Shikamaru menyerang Gengo dari atas, menargetkan kepalanya. Gengo mengayunkan
pedangnya lagi ke arahnya. Itu hanyalah bunshin yang lain.
Dan yang lainnya.
Dan yang lainnya, yang lainnya, yang lainnya, yang lainnya, yang lainnya, yang lainnya…
Pedang Gengo telah membelah dua Shikamaru berkali-kali. Namun tak peduli bagaimana ia
menyayat dan mengayun dan membabi-buta, setiap Shikamaru yg diserangnya hanyalah
kagebunshin, menghilang seketika setelah mereka terluka.
“Dimana kau bersembunyi, Shikamaru?!”
Shikamaru sudah lama menghilang dari pandangan Gengo.
Tidak, Shikamaru yang sebenarnya, faktanya, berdiri tepat di belakangnya. Tanpa disadari
Gengo.
“Skakmat.” Gumam Shikamaru.
Gengo menghentakkan kepalanya melihat dari pundaknya, wajahnya kehilangan warnanya
(memucat).
Bagaimanapun, ia sudah terlambat.
Bayangan Shikamaru telah merayap dari kakinya dan menghubungkannya dengan tubuh
Gengo.
Shikamaru telah membuat kagebunshin yang tak terhitung jumlahnya, dan kemudian jutsu
Rou membuat penampilan mereka tampak memiliki chakra yang sangat tebal dan padat.
Pikiran Gengo secara natural mulai menangkap chakra bunshin itu, dan kemudian, setelah
menyerang bunshin demi bunshin, ia secara tak sadar mulai mencari, menghalangi indra
lain untuk mengawasi jejak chakra yang spesifik itu.
Dan kemudian Shikamaru yang sebenarnya jejak chakranya telah dihapus oleh jutsu Rou,
dan diam-diam menyelinap ke belakang Gengo.
Gengo telah diserang tepat dari titik butanya. Hingga Shikamaru telah menguncinya dengan
bayangan, pria itu tak sama sekali menyadari apa yang sedang terjadi.
“SHIKAMARU, KAU B*****AAAAAAAAAAAAAAAAAN!” Teriak Gengo, memutar kepalanya
memuntahkan kalimat pedasnya pada Shikamaru. Saat menjerit dan kemarahannya
memuncak, lidahnya mengeluarkan cairan crimson pekat di dalam mulutnya.
“Hinoko.” Shikamaru memanggil dengan tenang.
“Aghhhh!” Saat ia mengumpulkan chakranya di jari telunjuknya, gadis itu menjerit hingga
hampir memecahkan gendang telinga Shikamaru. “Aku terus mengatakan padamu untuk
tidak menyebut namaku kau tahuuuuuuuuuuuuu!”
Mata Shikamaru dengan jelas menangkap cahaya oranye dari kilat chakra Soku melayang
ke arah Gengo dan melewati lidahnya.
“Ga- gaaah?” Gengo membuat suara nafas yang kering.
“Dia baru saja memotong aliran chakra ke lidahmu.” Ucap Shikamaru. “Mulai sekarang, kau
terjebak dalam tubuh yang tidak akan membiarkanmu mengeluarkan sepatah kata apapun
lagi.”
Airmata mengalir dari mata Gengo.
“Aku pasti akan menciptakan dunia tanpa perang, jadi kau harus memaafkanku karena
merenggut impianmu.” Ucap Shikamaru, dan memberi sinyal pada Rou.
Rou, yang tetap tegar setelah mengalami penyiksaan dan genjutsu, datang berlari dengan
segera.
“Tahan dia, dan kawal dia ke Markas Persatuan Shinobi.”
“Dimengerti, Tuan.” Rou mengangguk, matanya bersinar penuh rasa kagum.
Shikamaru menggaruk batang hidung menggunakan telunjuknya, mencoba untuk
mengabaikan rasa malunya.
Rou melingkari tangan Gengo dengan berlapis-lapis borgol logam dan segel—borgol
khusus yang digunakan oleh Anbu. Shikamaru menarik bayangannya dari Gengo. Pria itu
telah ditahan sepenuhnya.
Shikamaru tiba-tiba menyadari bahwa Soku juga sudah berdiri di belakang Rou.
“Misi sudah selesai, huh.” Ucap Shikamaru. “Tidak berjalan begitu mulus, tapi…”
Shikamaru tersenyum pada keduanya, dan wajah Rou dan Soku yang kusut seperti ingin
menangis saat mereka mengangguk.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 18
–Shikamaru
Setelah menahan Gengo, Shikamaru dan rekan-rekannya menuruni tangga spiral untuk
menemukan bahwa pertarungan antara para Kakusha dan shinobi lainnya telah berakhir.
Tampaknya setelah Soku memotong aliran chakranya ke lidah Gengo, genjutsu yang
mengabuti pikiran para Kakusha juga sudah terlepas, dan itu merupakan hal yang sangat
membantu untuk mengakhiri pertarungan.
Meskipun pertarungan antara para Kakusha dan shinobi berlangsung sengit, tak ada
kerusakan yang terlalu besar seperti yang dipikirkan. Selain beberapa orang yang luka
berat, hampir semuanya melalui pertarungan itu dengan luka ringan. Kau dapat
mengatakan bahwa itu merupakan keajaiban karena tak ada yang terbunuh, namun itu
semua berkat para shinobi Sunagakure yang mematuhi perintah Gaara-“Jangan membunuh
kecuali memang dibutuhkan.”- saat mereka menyerbu aula itu.
Saat penasihat Gengo menyadari mereka telah dikalahkan dan ditahan, bahu mereka
merosot dan keinginan mereka bertarung telah hilang sepenuhnya. Mereka telah sadar dari
mimpi ambisius mereka, dan kini mereka tampak sangat putus asa.
Saat Shikamaru dan yang lainnya tiba di aula itu, shinobi Konohagakure dan Sunagakure
yang lain sudah menangani para Kakusha dengan baik, menahan mereka dan memberikan
pertolongan pertama pada yang lainnya.
“Sai!”
Shikamaru memanggil saat ia melihat shinobi itu duduk di antara orang banyak, menerima
pertolongan pertama dari shinobi yang lain.
“Shikamaru…” Sai duduk tegak, menatap ke arahnya dengan wajah hampa.
Ino telah memberitahu Shikamaru apa yang terjadi pada Sai saat mereka menuruni tangga.
Mungkin karena Sai telah dikeluarkan dari genjutsu berkekuatan besar, mata shinobi itu
masih tampak kosong, seperti sebagian dari dirinya masih terombang-ambing.
“Aku sungguh minta maaf.” Gumam Sai.
“Jangan khawatirkan itu.” Ucap Shikamaru ramah, berjongkok di sebelahnya dan
meletakkan tangannya di pundak Sai. “Semua sudah berlalu.”
Di balik pakaian hitam yang dikenakan Sai, Shikamaru dapat merasakan pundak shinobi itu
sedikit bergetar.
Tak ada airmata yang mengalir dari matanya. Namun Sai masih menangis dalam hatinya.
“Aku menyedihkan.” Gumam Sai.
“Kau berada di bawah pengaruh kata-kata pria itu.” Ucap Shikamaru. “Bahkan aku terjebak
di dalamnya. Kau tidak perlu merasa bersalah.”
“Tapi…”
“Jangan biarkan hal itu terlalu mengganggumu. Kemampuan untuk terus berjalan dengan
hati yang ringan tidak peduli apa yang terjadi adalah salah satu dari sifat-sifat terbaikmu.”
“Terima kasih, Shikamaru.” Setetes airmata lolos dari mata kanan Sai, mengalir ke pipinya.
“Saat kita kembali ke Konoha, ambil lah beberapa hari untuk libur. Aku akan bicara pada
Kakashi-san.”
“Terima kasih …” Saat Sai mengatakan itu, Ino muncul di samping Sai.
“Jaga dia baik-baik.” Ucap Shikamaru pada Ino, bangkit berdiri.
Ino memberikan anggukan dalam, matanya mengarah pada Sai. Ia berlutut di sebelahnya
tepat setelah Shikamaru pergi.
Baru saja Shikamaru mengeluarkan helaan nafas kecil karena semua telah berakhir, suara
seorang pria terdengar, meledak-ledak penuh amarah.
“SHI! KA! MA! RUUUUUUUUUUUUU!”
Oh ya, ia benar-benar melupakan pria itu …
Menggaruk tengkuknya, Shikamaru menolehkan kepalanya untuk melihat ke arah pemilik
suara itu.
Malah yang ia lihat adalah sebuah tinju yang melayang ke wajahnya.
Tubuh Shikamaru terlempar ke belakang, berguling di tanah. Pandangannya berubah-ubah
dari lantai ke atap ke lantai ke atap.
Enam kali…
Otaknya dengan tenang menghitung berapa kali ia berguling akibat tinju yang sangat kuat
itu. Tubuh Shikamaru akhirnya berhenti berguling dengan posisi telungkup.
Ia duduk di lantai, matanya menangkap pria pirang yang dengan cepat menuju ke arahnya.
Shikamaru menggunakan tangan dan lututnya untuk bangkit, namun selanjutnya yang ia
tahu, seorang pria menaiki punggungnya seperti kuda, menarik bagian belakang kerahnya.
Leher Shikamaru tersentak ke atas dan ke bawah, sebuah makian yang tak jelas maksudnya
meledak ke telinganya.
“KAU – KENAPA – BERITAHU AKU – SEMUA KAU LAKUKAN SENDIRI – SELALU SEPERTI
INI – MEMBUAT SEMUA ORANG – SANGAT KHAWATIR – BAHKAN AKU –
GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH – DASAR ORANG BODOH!”
“Aku benar-benar minta maaf, Naruto.” Shikamaru bicara pada pria di punggungnya.
“Kau benar-benar bodoh!!” Naruto mengulang kemarahannya.
Kata-kata yang Naruto teriakkan terputus-putus dan tak bisa ditangkap oleh pendengaran
Shikamaru, perasaannya menyebabkan kalimat yang disemburkannya tidak terstruktur,
namun Shikamaru sangat mengerti seluruh kekhawatiran Naruto padanya terkumpul
dalam kata-kata kasarnya. Karena Naruto memiliki kobaran api dalam dirinya maka dia
pantas menjadi pemimpin dari desa tersembunyi Negara Api, Konoha.
“Bukankah kau bilang kau akan menjadi penasihatku, huh?” Gumam Naruto.
Si pirang itu tampaknya sudah menjadi agak sedikit tenang setelah permintaan maaf
Shikamaru dilontarkan, dan ia telah memastikan bahwa Shikamaru baik-baik saja.
“Mulai sekarang negara ini akan baik-baik saja.” Ucap Naruto sungguh-sungguh. Sakura
telah berada di samping mereka tanpa Shikamaru sadari.
“Karena para Kakusha yang menguasai negara ini merupakan shinobi, tidak ada satupun
penduduk yang tidak mengetahui bahwa Naruto adalah pahlawan dari Perang Dunia
Shinobi yang lalu.” Ucap Sakura. “Tidak akan ada yang meributkan kejadian ini sekali
mereka melihat Naruto di sini. Dan karena genjutsu Gengo sudah dipatahkan, semua hal
akan berakhir secepatnya.”
Pengaruh Naruto di seluruh dunia shinobi tak terukur kuatnya. Seperti yang Sakura
katakan. Tak ada yang berani menentang pahlawan yang telah menyelamatkan dunia.
“Hey, mulai sekarang,” ucap Naruto tegas, “Jika sesuatu terjadi, katakan padaku terlebih
dahulu.”
“Aa.” Shikamaru memejamkan matanya dan mengangguk.
Naruto melepaskan bagian belakang kerah Shikamaru dan berdiri.
“Ayo.” Naruto mengulurkan tangannya.
Shikamaru meraih ulurannya dalam diam.
Naruto menariknya dalam satu gerakan mulus yang kuat, dan Shikamaru langsung bangkit
berdiri. Shikamaru iri dengan bagaimana Naruto begitu polos dan jujur. Dan ia berpikir
bahwa demi Naruto, ia juga harus mencoba dan menjadi lebih jujur lagi.
“Ini yang terakhir kalinya…”
“Huh?” Naruto menolehkan kepalanya ke arah Shikamaru.
“Ini yang terakhir kalinya aku menyimpan rahasia dan bertingkah seperti anak-anak.”
“Aa.”
“Bagaimanapun, setelah ini aku akan menghabiskan seluruh waktuku untuk mengurusi
seorang anak kecil.” Ucap Shikamaru, meninju kecil dada Naruto.
“Hey, siapa yang kau sebut anak kecil?”
“Menurutmu siapa?”
Keduanya melihat satu sama lain, dan tawa mereka meledak.
Agar Rou, Soku, dan Sai segera menerima perawatan medis, telah diputuskan bahwa
urusan mereka yang paling utama adalah kembali ke Konoha. Naruto, Sakura dan yang
lainnya tetap tinggal di Negeri Sunyi untuk membereskan semua urusan disana. Shikamaru
tak khawatir meninggalkan Naruto. Dengan Gengo yang telah tertangkap, ia yakin bahwa
semua akan berjalan baik-baik saja.
Shinobi dari Sunagakure berniat melakukan hal yang sama, meninggalkan sebagian
pasukan mereka disana dan sisanya berangkat menuju Suna. Baik pasukan Sunagakure dan
Konohagakure keduanya akan menuju ke arah yang berbeda untuk pulang.
“Kali ini, aku benar-benar berhutang padamu.” Ucap Shikamaru pada Gaara, saat mereka
berdiri di gerbang Desa Tirai.
Shinobi Sunagakure yang akan pulang berbaris di belakang Gaara. Seluruh shinobi yang
dibesarkan di gurun tersembunyi Suna itu memiliki roman kuat dan tangguh yang sama.
Semua dari mereka melihat Shikamaru dengan senyum. Hal kecil seperti itulah yang
membuatmu merasakan bahwa dunia shinobi benar-benar mulai bersatu.
“Jangan khawatirkan itu.” Jawab Gaara. “Kau adalah orang yang kehadirannya sangat
penting di Persatuan Shinobi, baik sekarang maupun di masa depan. Kau tak perlu
menggunakan kata-kata formal seperti ‘berhutang’ untuk pekerjaan seperti ini. Bukankah
wajar jika seseorang pergi menyelamatkan rekannya?”
Gaara menyilangkan tangannya sambil berbicara. Ia tak pernah bicara begitu banyak
seperti ini. Bertahun-tahun lalu, Gaara merupakan seseorang yang wajahnya tak terbaca,
tanpa ekspresi; orang yang haus darah dan berbahaya.
Namun kini, shinobi Sunagakure melihat Gaara dengan senyum penuh kasih sayang.
Di belakang Shikamaru, ada Sai, Rou dan Soku. Chouji dan Ino juga. Begitu pula shinobi
Konohagakure lainnya. Mereka semua juga diam, mendengar percakapan Gaara dan
Shikamaru penuh perhatian.
“Tapi aku benar-benar merasa lega…” Gumam Gaara serius pada Shikamaru. “Jika saja
kakakku tidak merasa sangat cemas, kita semua akan berakhir dengan kehilangan orang
yang sangat penting.”
Temari sedang berdiri di sebelah Gaara, pandangannya mengarah ke titik di atas kepala
mereka. Ia bersikap seperti mengabaikan percakapan itu. Shikamaru menebak bahwa dia
mencoba menyembunyikan rasa malunya, tapi dia tak seharusnya menjadi begitu tak
peduli akan hal itu.
“Jangan khawatir soal Gengo.” Ucap Gaara. “Kami akan mengantarkannya ke Markas
Persatuan Shinobi dalam perjalanan pulang.”
“Kami terus menerima pertolongan kalian bahkan dalam setiap hal kecil…”
“Aku terus memberitahumu untuk tidak usaha bicara begitu formal.” Ucap Gaara. Kazekage
yang memiliki cinta dan kesetiaan pada desanya itu kemudian mengulurkan tangannya
pada Shikamaru.
“Baiklah kalau begitu, kita akan bertemu lagi di Markas Persatuan Shinobi.” Ucap
Shikamaru, dan menjabat tangan Gaara. Ia memberikan jabat tangan yang erat dan kuat.
Gaara juga memberikan jabat tangan yang sama kuatnya.
“Sampai bertemu nanti.”
“Aa.”
Gaara melepaskan jabat tangannya, mengalihkan pandangannya pada pasukannya.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya, dan shinobi Sunagakure bersorak menjawabnya.
Temari membalikkan badannya untuk berjalan pulang, dan tiba-tiba suara Shikamaru
memanggilnya.
“Oi.”
Gaara tampak hampir sama terkejutnya dengan Shikamaru sendiri.
Langkah Temari terhenti. Seluruh shinobi Sunagakure tampak akan menghentikan
langkahnya juga, namun Gaara membuat gestur yang memerintahkan mereka untuk terus
berjalan dan shinobi Sunagakure mematuhinya, keluar dari gerbang desa itu menuju jalan
utama. Gaara mengikuti, melihat Shikamaru dari balik pundaknya satu kali sebelum pergi.
Hanya Temari yang tinggal.
Di suatu tempat di belakang Shikamaru, ia dapat mendengar samar-samar Soku berteriak
‘kyaa!’.
Shikamaru mengabaikannya, dan melangkah mendekati Temari.
“Ada apa?” Tanya Temari masam.
Matanya selalu memiliki kekuatan yang mengejutkan…
Shikamaru merasa seperti akan kehilangan keberaniannya, dan menarik nafas dalam untuk
mencoba menenangkan dirinya. Ia mencoba untuk mengeluarkan apa yang ada di
pikirannya dari mulutnya.
“Hari ini…”
Tak ada gunanya. Kata-kata itu tak keluar.
“Apa?” Temari dengan kesal mendesaknya untuk cepat. Bahkan kini, tubuhnya sedikit
condong ke arah gerbang untuk mengikuti kemana adik lelakinya pergi.
“Terima kasih, untuk hari ini.”
“Hmph.” Temari mendengus, dan Shikamaru lanjut berbicara.
“Lain kali, bagaimana dengan makan bersama?”
“Apa kau mengajakku kencan?” Tanya Temari datar.
Penampakan di matanya begitu serius sekarang. Tak tampak sedikitpun rasa gugup dari
sikapnya, tak ada yang ia coba banggakan dari dirinya.
Kenapa aku mengajak wanita sejenis ini untuk pergi makan?
Shikamaru bertanya pada dirinya sendiri.
“Ah, yah, semacam itu.” Jawabannya datang dari suatu tempat di bawah kesadaran
Shikamaru.
Ia tak bisa melakukan apapun kecuali mengajaknya.
Tidak..dia memanggilnya dan membuatnya berhenti karena dia ingin mengajaknya.
Shikamaru merasa kebingungan bagaimana cara berurusan dengan perasaan yang ia
sendiri tak mengerti.
“Aku mengerti.” Ucap Temari berpikir. “Kencan ya, huh…”
Hampir seperti saat ia berada dalam perundingan perang, membicarakan persiapan untuk
menghadapi musuh yang sangat kuat.
Temari memegang dagu, mulai berpikir serius tentang hal itu.
“Kau tidak mau?” Seru Shikamaru tanpa sadar.
Temari menatap lekat-lekat wajah Shikamaru sesaat. Kemudian melepaskan tangan dari
dagunya, dan meletakkan tangannya di pinggul.
“Merepotkan.”
Senyum lebar Temari yang berseri-seri setelah mengatakan hal itu merupakan sesuatu
yang luar biasa berharga bagi Shikamaru.
Bersambung…
Shikamaru Hiden, Chapter 19
–Akhir
Sudah seminggu sejak Shikamaru meninggalkan Negeri Sunyi. Kakashi memerintahkannya
untuk beristirahat dan memulihkan diri dari kelelahan setelah ia ditawan dan bertarung
dengan Gengo.
Luka di dahinya telah disembuhkan oleh Sakura dengan segera, jadi Shikamaru tidak perlu
dirawat. Kondisi hatinya juga sudah terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum
perjalanannya ke Negeri Sunyi. Ia tak benar-benar membutuhkan liburan, namun Kakashi
bersikeras, dan ia memenuhinya.
Chouji dan Ino berangkat menjalani misi yang berbeda segera setelah mereka kembali ke
Konoha. Naruto dan Sakura masih menyelesaikan beberapa urusan di Negeri Sunyi. Tentu
saja, Shikamaru mengunjungi Mirai di rumah Kurenai-sensei, namun ia berada disana
hanya beberapa jam.
Waktunya ia habiskan sendirian. Ia tak perlu melakukan apapun.
Sepanjang minggu, tak ada yang mengganggunya.
Pertama kalinya sejak sekian lama, Shikamaru menjalani kehidupan yang tenang dan
damai, hari demi hari.
Terkadang, ia duduk di depan papan shougi, dan bermain melawan dirinya sendiri selama
berjam-jam. Di hari lain, ia keluar saat matahari terbit dan mendaki bukit, berbaring di
puncaknya dan memandang awan hingga langit memerah karena matahari terbenam.
Shikamaru sangat menikmati hari-harinya.
Ia bercermin pada dirinya, betapa ia telah berubah.
Jika itu adalah Shikamaru sebelum ia berangkat ke Negeri Sunyi, maka ia tidak akan tahan
menjalani satu minggu tanpa misi atau tugas dari Persatuan Shinobi. Ia akan benar-benar
kehilangan akalnya.
Ia akan terus berpikir ‘bagaimana jika sesuatu yang serius terjadi saat aku tidak ada’ atau
‘bagaimana jika seseorang membuat kesalahan dalam pekerjaan mereka dan tidak ada
yang menyadari’. Semua pemikiran konyol dan tak masuk akal. Ia tak akan bisa benar-
benar bersantai bahkan untuk satu haripun sebelum ia kembali bekerja.
Tapi sekarang, Shikamaru bisa bersantai selama mungkin. Sepanjang minggu ini, ia jarang
sekali memikirkan pekerjaan yang menunggunya di Persatuan Shinobi, atau misi-misi yang
menumpuk, pikirannya tentang itu semua hanya terlintas saat ia akan pergi tidur.
Rekan-rekannya pasti mampu menangani semuanya dengan baik. Ia kini bisa berpikir
seperti itu dan merasa lebih ringan.
Bukannya ia mengabaikan rasa tanggung jawabnya. Hanya saya, akhirnya ia mengizinkan
dirinya untuk bernafas lega dan menenangkan dirinya. Jika sesuatu terjadi dan Shikamaru
sangat dibutuhkan, maka Kakashi atau Temari pasti akan memberitahunya. Dan ketika saat
itu tiba, maka ia akan mengubah dirinya menjadi seorang yang sangat jenius, dan
mengerahkan seluruh kemampuannya membantu mereka. Tak ada gunanya jika ia berpikir
dengan penuh ketakutan tentang kapan ia akan kembali bekerja setiap detiknya.
Jika ia menaruh keyakinan pada kemampuan rekan-rekannya, maka ia akan dengan
nyaman beristirahat.
Shikamaru sudah begitu memojokkan dirinya sendiri hingga ia benar-benar melupakan
kenyataan itu.
Dalam minggu istirahatnya, Shikamaru berusaha memperbaiki dirinya sendiri. Ia dengan
keras mencoba untuk mengetahui mengapa ia begitu berbeda setelah perjalanannya ke
Negeri Sunyi, hingga itu membuat dirinya tak nyaman.
Ia menyadari begitu banyak teman yang dimilikinya. Dan ia juga menyadari bahwa ia
benar-benar mengabaikan kehadiran mereka. Ia melihat betapa ia tetap bersikeras untuk
memikul setiap beban dan tanggung jawab, semua karena pemikiran sempit, keangkuhan,
dan rasa bangga yang sepenuhnya salah karena menganggap mereka tak bisa menangani
berbagai hal tanpanya.
Seorang manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri. Tak ada yang begitu cerdas
dan hebat untuk menjalani kehidupan mereka sendiri. Itulah mengapa kau memiliki teman,
rekan, kawan.
Pemikiran seperti ‘aku akan memikul semuanya sendirian’ adalah hal yang benar-benar
salah.
Maka adalah hal yang pantas jika Shikamaru pergi ke Negeri Sunyi sehingga ia akhirnya
menyadari hal itu.
Ketika ia berada di Istana Tahanan Mengambang dan dipengaruhi oleh Gengo, Temari
datang dan menyadarkan Shikamaru sehingga ia bisa keluar dari genjutsu itu, begitu juga
dari semua keraguan yang menahannya.
Di tengah badai yang dibuat Temari, Shikamaru dapat menyadari dirinya yang sebenarnya.
Sejujurnya, Shikamaru merupakan orang yang tidak bertanggung jawab. Ia selalu
menganggap semua hal itu merepotkan, dan jika ia bisa memilih, ia akan memilih untuk
tidak melakukan apapun. Tidak apa-apa jika ia harus hidup sebagai orang bodoh, dan ia
akan bahagia menjalani hari-harinya sebagai pecundang tanpa memedulikan dunia ini.
Itulah Shikamaru yang sebenarnya.
Dan jujur, apakah itu tidak apa-apa?
Karena ia menerima sifatnya yang sebenarnya, dengan perilakunya yang cuek dan tak
bertanggung jawab, maka ia dapat membawa dirinya untuk menyelesaikan banyak hal.
Bagaimanapun, tidak ada orang sepertinya yang dapat mengerti apa yang dirasakan
penduduk biasa yang tak memiliki mimpi ataupun ambisi, dan hanya berharap untuk
menjalani kehidupan yang damai dan biasa-biasa saja.
Apa yang salah dengan berharap untuk menjalani kehidupan yang normal? Definisi dari
‘mimpi’ tak hanya terbatas pada sesuatu yang ambisius dan target yang tinggi.
Hidup di dunia yang penuh dengan peperangan, kehidupan normal adalah sesuatu yang
paling sulit diraih.
Dan itulah mengapa kehadiran Shikamaru memiliki makna.
Jika dunia menjadi damai, jika dunia dapat menjadi tempat dimana semua orang bisa hidup
dengan nyaman, maka tentu saja orang-orang yang menginginkan kehidupan normal dapat
melakukan hal itu, satu hari dalam satu waktu.
Namun sayang, Shikamaru terlahir di dunia yang penuh dengan peperangan. Itulah
mengapa ia harus menjalani kehidupannya dengan terburu-buru.
Jadi, demi mereka yang akan terlahir setelah ini, Shikamaru tentu saja harus mengakhiri
perselisihan di dunia ini.
Itu bukanlah impian yang penuh kesombongan dan keangkuhan seperti impian Gengo. Ia
tak memiliki maksud tertentu dibalik itu semua.
Dunia dimana semua orang bisa hidup dengan nyaman…
Jadi, jika seseorang yang ingin menciptakan dunia seperti itu memikul segala hal sendirian
dan bekerja tanpa henti, bukankah itu merupakan hal yang salah?
Ia akan bekerja keras dengan cara yang nyaman juga.
Sikap seperti itulah yang terbaik.
*
“Kau benar-benar bekerja keras.” Ucap Kakashi sembari merapikan tumpukan dokumen di
mejanya.
Shikamaru datang ke kantor Hokage untuk memberikan laporan mengenai Negeri Sunyi,
begitu pula karena ia telah kembali bekerja.
“Laporan Sakura mengenai kondisi terkini di Negeri Sunyi, begitu juga laporan akhir Ino
dan yang lainnya sudah memberikanku gambaran dasar mengenai apa yang telah terjadi.”
Ucap Kakashi. “Aku juga sudah mendengar semua cerita mengenai kerja kerasmu dari Rou
dan Soku di rumah sakit.”
“Kerja keras… Uh…” Shikamaru merasakan sudut alisnya berkedut karena malu.
Ia awalnya gagal menemukan kebenaran tentang genjutsu Gengo dan terperangkap di
dalamnya. Temari datang menyelamatkannya dan akhirnya ia tersadar, namun bahkan
setelah itu, ia terus menerima bantuan dari teman-temannya hingga akhir. Tak ada satupun
hal yang ia selesaikan sendiri.
“Tidak masalah jika kau tidak menulis laporan ini saat liburanmu…” Ucap Kakashi, melihat
ke tumpukan dokumen di tangannya. Keseluruhannya sekitar 50 lembar halaman.
Itu adalah laporan yang ditulis Shikamaru.
Saat ia tak ingin memikirkan tentang misi-misinya atau pekerjaannya di Persatuan Shinobi,
Negeri Sunyi merupakan hal yang lain. Menulis laporan seusai misi adalah dasar dari
shinobi. Itu adalah hal yang harus ia lakukan, baik saat libur maupun tidak. Disamping itu,
menulis laporan merupakan pekerjaan mudah yang bahkan tak menghabiskan waktu satu
jam dalam sehari.
“Tolong baca laporan itu.” Ucap Shikamaru.
Kakashi menghela nafasnya dan memindahkan dokumen itu ke mejanya, meletakkannya di
puncak gunung dokumen yang sudah ada sebelumnya. Tumpukan itu berayun sedikit, dan
setelah mengawasinya sebentar, Kakashi mengalihkan pandangannya pada Shikamaru.
“Kau adalah seseorang yang sangat dibutuhkan di Persatuan Shinobi.” Ucap Kakashi, “Jadi
cobalah untuk lebih memperhatikan dirimu sendiri…”
Seseorang yang sangat dibutuhkan, huh…
“Itu benar-benar merepotkan.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Shikamaru tanpa disadari. Kakashi memandangi ekspresi
wajah Shikamaru sesaat, kemudian tertawa.
“Aku rasa kau sudah baik-baik saja sekarang.” Ucap Kakashi riang.
“Yeah.” Shikamaru tersenyum.
“Kalau begitu sekarang…” Kakashi meletakkan satu tangan di belakang lehernya, memutar
lehernya. Tangannya yang lain membuka laci mejanya, dan mengeluarkan seberkas
dokumen. Ia memberikannya pada Shikamaru.
Shikamaru melihat berkas itu. Berkas itu distempel dengan cap merah yang
mengindikasikan misi peringkat B, dengan detail misi yang tertulis dengan jelas. Ia akan
mendampingi perwakilan Daimyou Negara Api, mengantarkan pesan istimewa untuk
Daimyou Negara Petir. Tugas untuk menjadi pengawal, lebih tepatnya.
Berkat Persatuan Shinobi dan kerjasama antar shinobi saat ini, keamanan publik dengan
cepat menguat. Bepergian antar dua negara kini bukanlah hal yang luar biasa seperti dulu.
Kenyataannya, perwakilan Daimyou dapat bepergian dengan aman hanya dengan
pengawal mereka. Shinobi hanya ditugaskan sebagai pengawal tambahan untuk hal-hal
yang tak terduga. Orang yang harus melakukan tugas itu tak harus Shikamaru. Itu
merupakan tugas yang semua orang di atas peringkat chuunin dapat lakukan.
“Itu merupakan misi yang terlalu sederhana bagimu, tapi…”
“Kakashi-san, bisakah kau berhenti sebentar?” Potong Shikamaru, mengangkat telapak
tangan kanannya.
“Sudah lama kau tidak memanggilku Kakashi-san,” Ucap Kakashi, memandang Shikamaru
dengan ekspresi agak terkejut di wajahnya. ”Mengejutkan untuk mendengarnya sekarang.”
“Bersikap kaku, memperhatikan cara bicaraku, dan mengubah-ubah perilakuku agar
menjadi ideal…” Shikamaru mengangkat bahu. “Aku sudah berhenti melakukan hal-hal
seperti itu.”
“Senang mendengarnya.” Kakashi mengangguk.
“Jadi, mengenai misi itu, bisakah kau memberikannya pada orang lain?”
“Kenapa?”
“A-ah, karena lusa itu…” Shikamaru mengalihkan pandangannya. Pipinya berubah
kemerahan.
Kakashi memandangnya lekat-lekat penuh rasa penasaran, menunggu kelanjutannya.
“…Aku ada kencan.”
“Pfff!” Kakashi mendengus tertawa.
Shikamaru memelototinya.
“Untuk berpikir bahwa kau menolak sebuah misi untuk berkencan itu sungguh
mengejutkan,” Kakashi terkikik, “Tapi tentu saja, kau kuizinkan! Pergilah berkencan.”
“Terima kasih.”
Kakashi bersandar, menyilangkan tangan dan memejamkan matanya. “Musim semi telah
datang padamu ya, Shikamaru.” Ucapnya, mengangguk berulang-ulang. “Yup, yup.”
Baiklah, aku menyerah pada impianku tentang kehidupan yang biasa-biasa saja.
Tapi demi kebaikan, setidaknya biarkan aku menikmati bagian yang menyenangkan ini
dalam hidupku dengan damai.
“Kalau begitu, aku pergi.” Shikamaru dengan cepat memunggungi Kakashi, melangkah
menuju pintu keluar.
“Shikamaru.” Panggil Kakashi agar ia berhenti. Kakashi telah berdiri sekarang. “Aku rasa,
jika aku bertanya pada dirimu yang sekarang, maka kau akan lebih mengerti daripada
sebelumnya. Apa aku boleh bertanya sekali lagi? Menurutmu apa arti menjadi dewasa?”
Shikamaru menerawang ke langit-langit, mengumpulkan pikirannya. Sebuah jawaban
muncul di kepalanya, dan ia membuka mulutnya untuk menjawab dengan penuh kejujuran.
“Menyerah pada suatu hal, dan menemukan hal lain yang lebih baik, lebih berharga…” Ucap
Shikamaru. “Perasaan seperti itu, iya kan? Meskipun aku tidak mengerti hal itu
sepenuhnya.”
“Menyerah pada suatu hal, dan menemukan hal yang lebih berharga, huh?” Ulang Kakashi.
“Yah, meskipun ada orang-orang seperti Naruto yang tidak pernah menyerah pada tujuan
hidupnya dan terus berusaha sejak kanak-kanak, kebanyakan orang biasanya menyerah
pada tujuan mereka karena tujuan itu tidak bisa mereka penuhi.” Ucap Shikamaru. “Namun
mereka terus menjalani kehidupan, dan, pada akhirnya, mereka menemukan hal yang
bahkan lebih berharga, dan hidup untuk memenuhi tujuan itu. Atau paling tidak, itulah
yang aku pikirkan.”
“Begitu ya…” Kakashi memejamkan matanya lagi, menyilangkan tangannya.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi.” Ucap Shikamaru, berbalik dan berjalan keluar. Dia terlalu
malu untuk berada disana lebih lama lagi.
Ia baru saja menutup pintu di belakangnya, suara ceria Kakashi terdengar sekali lagi.
“Aku harap kau menikmati kehidupanmu, Shikamaru.”
Meskipun ia tahu Kakashi tak akan mendengar, ia tetap menjawabnya.
“Terima kasih banyak.”
Semua orang terus menjalani kehidupanya, dan waktu terus berjalan, perlahan namun
pasti, seperti air mengalir…
Dia sangat mirip denganku, iya kan?
Putra kami baru saja terlahir, tapi dia menangis seolah telah melihat semua yang dunia
tawarkan padanya.
“Tidak apa-apa.” Ucapku padanya. “Suatu hari nanti, kau akan menyadari bahwa kau belum
mengetahui segalanya seperti yang kau kira. Dan ketika saat itu tiba, kau pasti akan
memiliki teman-teman yang akan selalu berjalan di sisimu.”
Bayi itu belum mengerti satu kata pun, tapi dia terus memandangku dengan matanya yang
lebar. Mata yang persis seperti ibunya, bercelah panjang dan berbentuk seperti almond.
“Aku sudah benar-benar tidak bisa mengatakan semuanya merepotkan mulai sekarang,
huh…” Ucapku.
“Kau bisa mengatakannya sedikit.” Ucap Temari padaku. “Jika nanti kau tampak tidak baik
dan akan berhenti berfungsi, maka aku akan turun tangan dan menerbangkanmu supaya
kau tersadar lagi. Jadi, tidak apa-apa.”
“Aa, kau benar. Kalau begitu…”
Kita harus memberinya nama apa?
“Hah…merepotkan.”
Selesai.