22
Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Media Three-Sector Partnership Dalam Penanggulangan Kemiskinan ** Oleh: Eva Hany Fanida, SAP., M.AP Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] Muhammad Farid Ma’ruf, S.Sos., M.AP Staf Pengajar Prodi D3 Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected] Abstrak Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah program yang mengimplementasikan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas. Saat ini CSR telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini didedikasikan untuk membuka diskusi dan menyebarkan wacana CSR agar dipahami oleh lebih banyak lagi pihak politisi, masyarakat sipil, perusahaan maupun pemerintah. Tujuannya adalah agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya penanggulangan masalah kemiskinan. Namun, upaya besar untuk percepatan menanggulangi kemiskinan hanya mungkin berhasil secara berkelanjutan jika tercipta partisipasi aktif dan usaha sungguh-sungguh dari tiga unsur, yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak akan disalahgunakan hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan corporate greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka. Keyword: Corporate Social Responsibility, Three-Sector Partnership, kemiskinan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Konsep Three-Sector Partnership Secara historik, embrio CSR terkait erat dengan kritik para pemerhati lingkungan tentang degradasi lingkungan karena aktivitas perusahaan. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan **Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Artikel andalas evafarid

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Artikel andalas evafarid

Corporate Social Responsibility (CSR)Sebagai Media Three-Sector Partnership Dalam Penanggulangan Kemiskinan **

Oleh:Eva Hany Fanida, SAP., M.AP

Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected]

Muhammad Farid Ma’ruf, S.Sos., M.AP Staf Pengajar Prodi D3 Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email:

[email protected]

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah program yang mengimplementasikan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas. Saat ini CSR telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini didedikasikan untuk membuka diskusi dan menyebarkan wacana CSR agar dipahami oleh lebih banyak lagi pihak politisi, masyarakat sipil, perusahaan maupun pemerintah. Tujuannya adalah agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya penanggulangan masalah kemiskinan. Namun, upaya besar untuk percepatan menanggulangi kemiskinan hanya mungkin berhasil secara berkelanjutan jika tercipta partisipasi aktif dan usaha sungguh-sungguh dari tiga unsur, yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak akan disalahgunakan hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan corporate greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka.

Keyword: Corporate Social Responsibility, Three-Sector Partnership, kemiskinan

Corporate Social Responsibility (CSR) dan Konsep Three-Sector Partnership

Secara historik, embrio CSR terkait erat dengan kritik para pemerhati lingkungan tentang

degradasi lingkungan karena aktivitas perusahaan. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan

demi akumulasi laba dan kapital sektor bisnis telah memicu terjadinya berbagai bentuk problem

publik seperti krisis lingkungan, sosial, pangan dan energi. Tantangan masalah publik di era

inilah yang menjadikan posisi dan peran sektor bisnis menjadi semakin penting. Terlebih

dalam isu pemanasan global, korporasi multinasional menjadi pihak yang dituding mempunyai

2 Staf Pengajar Prodi D3 Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected]

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 2: Artikel andalas evafarid

andil atas kerusakan lingkungan di negara sedang berkembang. Tidak heran bila sasaran kegiatan

CSR banyak yang diarahkan pada kegiatan pelestarian dan pemeliharan lingkungan

alam.

Hal ini sesuai dengan Commission of the European Communities (2001) yang merumuskan CSR

sebagai konsep yang menempatkan perusahaan untuk mengintegrasikan faktor sosial dan

lingkungan sebagai bagian penting dalam kegiatan bisnis dan juga interaksinya dengan

stakeholders lain yang berbasis voluntary.

Di sisi lain, dengan lahirnya era globalisasi, pihak yang tumbang benar-benar menjadi

lebih miskin dan makin terjebak dalam kubangan utang. Dunia ketiga yang dahulu memiliki

harapan, kini sontak sebagian besar set back. Maka pada 24 Agustus hingga 4 September 2002

digelar World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan.

Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan

di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada

pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup yang lebih baik dan peningkatan

perekonomian.

Sebagai resultasi dari kesepakatan WSSD, dibutuhkan three-sector partnership yakni

kemitraan antara pemerintah, sektor swasta (perusahaan) dan masyarakat atau Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM). Melalui CSR, perusahaan tidak lagi hanya berpijak pada single bottom line,

yakni hanya konsen pada kondisi keuangan saja, akan tetapi juga harus mengembangkan triple

bottom line. Konsep TBL dicetuskan oleh John Elkington (1998) yang memaparkan tiga tujuan

yang sama-sama penting untuk dicapai oleh perusahaan, yakni economic prosperity,

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 3: Artikel andalas evafarid

environmental quality, dan social justice. Dalam perkembangnnya, usaha mencapai ketiga tujuan

tersebut disimbolkan melalui profit, people, dan planet (3P).

Berkembangnya konsep triple bottom line seperti telah disebut di atas, menandai

berakhirnya dominasi ekonomi dalam tata kelola perusahaan. Ekonomi penting, namun ekonomi

semata tidak cukup bagi perusahaan (sektor swasta) yang ingin mencapai sukses dalam waktu

yang lama. Perusahaan perlu menempatkan aspek sosial dan lingkungan sejajar dengan aspek

ekonomi. Laba dan ekonomi tak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan juga

harus berpikir dan bertindak guna tingkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya.

Hal tersebut pun ditegaskan oleh Forum Ekonomi Dunia melalui Global Governance

Initiative yang menggelar World Business Council for Sustainability Development di New York

pada 2005. Salah satu deklarasi penting dari forum tersebut adalah disepakatinya CSR menjadi

wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan tujuan utama

Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan di

dunia pada tahun 2015. Para pelaku dan pemerhati CSR meyakini bahwa proses pembangunan

berkelanjutan secara utuh dimulai dengan adanya koordinasi yang baik antara pemerintah,

swasta, dan masyarakat secara keseluruhan (Sampurna, 2006). Penanggulangan kemiskinan

sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan pun juga harus dilaksanakan dalam kerangka

kerjasama multi stakeholders. Namun demikian, membangun skema kerjasama bukan persoalan

mudah. Perbedaan persepsi peran dan tanggung jawab diantara stakeholders ini merupakan

permasalahan fundamental untuk membangun kerjasama. Mainstream yang muncul saat ini lebih

menempatkan sektor swasta sebagai penanggung jawab tunggal untuk mencapai keberhasilan

CSR, sehingga ia akan menjadi kambing hitam jika terjadi kegagalan dalam CSR.

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 4: Artikel andalas evafarid

Memang benar adanya bahwa secara hukum positif Indonesia maupun etika bisnis,

perusahaan (sektor swasta) memikul tanggung jawab untuk melaksanakan CSR. Hal ini

didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)

khususnya pasal 74 (ayat 1) yang menyebutkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya

di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan atau yang lebih dikenal dengan CSR. Namun, CSR merupakan kegiatan

kompleks yang memiliki keterkaitan erat dengan pihak-pihak di luar

perusahaan/perseroan/sektor swasta. Desain program yang bagus dan jumlah dana yang besar

tidak menjadi jaminan keberhasilan program CSR. Partisipasi pemerintah dan masyarakat/LSM

merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan CSR.

Gambar 1

Hubungan antar Sektor

Dalam konteks Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, hadirnya CSR dalam

dunia bisnis dilegalkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor 236

Tahun 2002 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam PKBL, ada dua

program pokok yang menjadi tanggung jawab perusahaan, yakni program kemitaan dan program

bina lingkungan. Melalui kebijakan ini, diharapkan ada keselarasan antara perkembangan

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 5: Artikel andalas evafarid

perusahaan dan meluasnya kebermanfaatan bagi masyarakat serta terciptanya keseimbangan

lingkungan.

Dinamika CSR Indonesia semakin kuat seiring dengan perubahan yang terjadi di dunia

pada umumnya. Angin reformasi telah menyebabkan perubahan atmosfer relasi antara

masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Titik inilah yang menjadi momentum meningkatnya

peran aktif perusahaan dalam pembangunan masyarakat. Dalam politik desentralisasi,

perusahaan menjadi partner pemerintah dalam berbagai usaha meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

CSR sebagai Pilar Program Penanggulangan Kemiskinan

Tahun 2006 merupakan momen kebangkitan CSR di Indoensia. Berbagai kegiatan telah

digelar untuk mendiskusikan CSR dari sisi konsep hingga implementasinya. Salah satunya

adalah konferensi dan pameran CSR Indonesia. Event yang mengangkat tema “Implementasi

CSR untuk Penanggulangan Kemiskinan” ini dapat dikatakan sebagai embrio kerjasama antar

stakeholders untuk meningkatkan kebermanfaatan CSR. Forum yang digagas Community Forum

for Community Development (CFCD) dan Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini

semakin menempatkan CSR sebagai partner pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan.

Kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah pelik dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2004-2009 berfluktuasi dari

tahun ketahun. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70

juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan

persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun

2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis,

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 6: Artikel andalas evafarid

yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75

persen) pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama

Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode

tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya

penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan

banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Meski demikian, pada periode Maret 2007-

Maret 2008 telah terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup

signifikan, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta (15,42 persen)

pada tahun 2008. Tren ini berlanjut pada periode 2009-2010, dimana jumlah penduduk miskin

(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia

pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan

penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen).

Gambar 3

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah,

Tahun 2004-2010

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 7: Artikel andalas evafarid

Sumber: Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010

Masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan angka-angka ekonomi, tetapi juga

melibatkan aspek-aspek sosial lainnya. Dalam bahasa lain, kemiskinan merupakan masalah

multideimensional yang tidak mungkin diselesaikan pemerintah tanpa bekerjasama dengan pihak

lain, salah satunya sektor swasta. Menempatkan sektor swasta sebagai partner dalam

penanggulangan kemiskinan tidaklah berlebihan. Hasil survei Pirac pada tahun 2002

menunjukkan bahwa alokasi dana CSR mencapai Rp 115 miliar. Lebih jauh lagi, bardasarkan

keterangan Deputi VII Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kemenko Kesra, Sujana

Royat, potensi dana CSR yang dapat digunakan untuk menekan angka kemiskinan per tahun per

tahun mencapai Rp 20 triliun. Dana ini berasal dari 700 perusahaan swasata, selain dari Badan

Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan, perolehan dana CSR oleh Corporate Forum for

Community Development (CFCD) adalah sebesar Rp 7,8 triliun dari lingkungan BUMN dan Rp

4,1 triliun dari sekitar 200 perusahaan swasta (Kompas, 22 Oktober 2010). Jumlah tersebut

cukup potensial sebagai “driver” program-program penanggulangan kemiskinan.

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 8: Artikel andalas evafarid

Namun demikian, bagaimana membangun skema kerjasama antara pemerintah dan sektor

swasta yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dan Non-Government Organization

(NGO) atau LSM masih menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Pekerjaan rumah yang pokok

terkait dengan penentuan fungsi dan peran yang jelas dari masing-masing pihak. Tanpa adanya

deskripsi fungsi dan peran yang jelas tersebut, niscaya integrasi antara pemerintah, masyarakat

dan sektor swasta untuk menjadikan CSR sebagai driver untuk penanggulangan kemiskinan

tidak akan optimal.

Peran dan Fungsi Masing-Masing Stakeholders dalam Implementasi CSR

1. Pemerintah

Dalam implementasi CSR, pemerintah harus berubah ke arah pemerintah yang memberdayakan

semua kalangan (the enabling government) dengan memperbanyak peluang dibandingkan

restriksi. Secara rinci Dollar dan Collier (2001) mengklasifikasikan empat peran sektor publik

dalam CSR, yaitu: mandating , facilitating, partnering, dan endorsing.

a. Mandating

Untuk menjalankan peran “mandating”, pemerintah harus merumuskan standar minimal

kinerja bisnis yang tertuang dalam kerangka hukum, misalnya menetapkan aturan nilai batas

emisi untuk instalasi industri tertentu, atau menetapkan persyaratan agar faktor-faktor

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 9: Artikel andalas evafarid

tertentu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh direktur

perusahaan.

b. Facilitating

Peran “facilitating” diwujudkan dalam bentuk pemerintah menumbuhkan kondisi,

memfasilitasi, atau memberi insentif agar perusahaan mau melaksanakan agendan CSR atau

ikut terlibat dalam program perbaikan sosial dan lingkungan. Peran pemerintah disini adalah

sebagai katalisator atau pemberi dukungan (supporting role), misalnya dengan melahirkan

kebijakan insentif fiskal dalam bentuk pengurangan pajak (tax deduction) terhadap

perusahaan untuk menyukseskan program CSR. Adapun peran katalis lainnya dapat

diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan dana bagi riset, penyebaran informasi serta

melakukan berbagai pelatihan atau capacity building bagi masyarakat.

c. Partnering

Adapun peran “partnership“ merupakan peran penting dalam agenda CSR. Kemitraan

strategis menjadi sarana berbagi skills dan input dari sektor 9ublic, privat dan masyarakat

sipil dalam mengatasi problem 9ublic dan lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini,

pemerintah dapat menjalankan peran sebagai partisipan, penyelenggara konferensi

(convenor), ataupun fasilitator, misalnya penyediaan infrastruktur 9ublic yang memadai

seperti jalan raya. Dengan adanya infrastruktur 9ublic yang mendukung maka biaya

produksi dapat ditekan semaksimal mungkin demi mendukung kinerja keuangan perusahaan

sehingga mampu berkontribusi positif bagi program CSR.

d. Endorsing

Peran yang terakhir adalah peran memberi dukungan politik dan pengesahan (endorsement)

atau legitimasi terhadap CSR. Peran pengesahan dapat mengambil berbagai bentuk, dapat

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 10: Artikel andalas evafarid

melalui dokumen kebijakan, praktek manajemen sektor 10ublic, penghargaan terhadap

perusahaan yang menjalankan CSR, misalnya menyelenggarakan acara CSR Award.

Keempat peran sektor publik di atas dirangkum dalam tabel berikut.

Gambar 3

Public Sector Support for Greater Corporate Social Responsibility

Mandating Command and control legislation

Regulators and inspectorates

Legal and fiscal penalties and rewards

Facilitating Enabling legislation Creating incentives Building capacityFunding support Raising awarness Stimulating markets

Partnering Combining resources Stakeholder engagement DialogueEndorsing Political support Publicity and praise

Sumber: Dollar dan Collier, 2001.

Peran pemerintah menjadi semakin signifikan ketika ada pemahaman yang keliru

terhadap CSR. Saat ini banyak perusahaan dan masyarakat yang menganggap bahwa yang

dimaksud CSR adalah segala kagiatan perusahaan yang sifatnya charity atau memberi cuma-

cuma, padahal yang dimaksud CSR adalah bagaimana sebuah perusahaan membangun core

bisnisnya yang pro poor. Misalnya, bagaimana kita mendorong sebuah perusahaan agar

membuat produk yang harganya terjangkau oleh orang miskin, sehingga baik perusahaan

maupun masyarakat sama-sama mendapat keuntungan.

2. Sektor Swasta

Ibarat kehidupan masyarakat, CSR adalah hajatannya perusahaan. Sebagai pihak yang

memiliki hajatan, perusahaan wajib mengalokasikan anggaran untuk membeli bahan-bahan

makanan yang akan disajikan. Bahan makanan sebanyak apapun tidak mungkin menjadi

makanan siap saji tanpa diolah terlebih dahulu. Dalam terminologyirelasi sosial, ada istilah

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 11: Artikel andalas evafarid

rewang. Rewang adalah kegiatan untuk membantu proses hajatan. Masyarakat tidak akan

melakukan rewang jika tidak tahu akan ada hajatan. Logika tersebut dapat digunakan oleh

perusahaan dalam mengimplementasikan kegiatan CSR. Perusahaan harus membuka diri dan

menyosialisasikan kegiatan CSR sehingga memungkinkan pihak lain untuk rewang

menyusekseskan program CSR. Strategi membuka diri dapat dilakukan melalui pelbagai cara,

salah satunya dengan mengintegrasikan CSR ke dalam program pemerintah. Dengan strategi

tersebut, pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya untuk mendukung program CSR

tersebut.

Dari ilustrasi di atas, kiranya bisa dipahami bahwa perusahaan dapat memposisikan

sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk

investasi sosial, menyosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan

kebijakan pemerintah dan masyarakat.

3. Masyarakat/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

“Putting last people at the first” merupakan istilah yang tepat untuk memposisikan

masyarakat dalam kegiatan CSR. Masyarakat adalah last people yang penting untuk ditempatkan

di garda depan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan bahkan juga evaluasi CSR. Keterlibatan

masyarakat yang utuh, mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi merupakan prasyarat

program berkelanjutan. Pemahaman inilah yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam program CSR. Adanya ruang partisipasi yang tinggi akan memunculkan

sense of belonging, dan tanggung jawab untuk menyukseskan program-program CSR. Disisi lain,

juga terdapat LSM sebagai bagian dari sektor masyarakat yang memiliki keahlian penting dalam

implementasi CSR. Hal ini dapat diwujudkan dengan memfasilitasi masyarakat, memberi

advokasi, edukasi, dan juga mengembangkan model-model kemitraan untuk mendukung CSR.

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 12: Artikel andalas evafarid

Program Green Belt PT Semen Gresik Sebagai Wujud Nyata Three-Sector Partnership

PT Semen Gresik pun menyadari akan adanya konsekuensi yang harus dipikul sebagai

akibat dari pemanfaatan sumber daya alam yang diperlukan sebagai bahan baku produksi.

Setelah mengambil dari alam, maka PT Semen Gresik berkewajiban mengembalikan agar alam

tetap nyaman, bahkan mungkin menjadi lebih nyaman. Inilah salah satu alasan kuat bagi

Perseroan saat merancang program Green belt (Sabuk Hijau). Penerapan konsep green belt

digagas oleh PT Semen Gresik pabrik Tuban - Jawa Timur karena kegagalan reboisasi

konvensional yang dilakukan sejak 1994. Banyak pohon berbagai jenis yang ditanam oleh

perusahaan di sepanjang jalan masuk maupun di sekitar pabrik ditebang oleh warga sekitar.

Kurang lebih 90% pohon lindung yang ditanam hilang sejak pabrik Tuban beroperasi pada tahun

1994. Kegagalan reboisasi konvensional ini akibat dari program bersifat top down sehingga

tanpa adanya keterlibatan peran masyarakat. Program green belt merupakan menifestasi program

yang bersifat bottom up dengan melibatkan secara langsung masyarakat di kawasan pabrik PT

Semen Gresik di Tuban.

Program green belt PT Semen Gresik mulai dilaksanakan pada tahun 2003 merupakan

salah satu program bina lingkungan yang untuk menciptakan keharmonisan perusahaan dengan

masyarakat sekitar. Selain itu, program bina lingkungan PT Semen Gresik bertujuan untuk

memelihara lingkungan hidup, membantu meningktkan kualitas dan kesejahteraan hidup

masyarakat di sekitar pabrik. Program sabuk hijau merupakan implementasi dari program bina

lingkungan PT Semen Gresik yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 dengan pengelolaan

lahan pertanian di sekitar lokasi tambang batu kapur dan tanah liat milik perusahaan sebagai

lahan sabuk hijau. Pelaksanaan program green belt tersebut didasarkan pada kesejahteraan

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 13: Artikel andalas evafarid

masyarakat desa di sekitar pabrik. Dengan adanya program sabuk hijau oleh PT Semen Gresik

ini dapat memberdayakan masyarakat sekitar dengan meningkatkan aspek sosial, ekonomi,

teknis dan sumber daya manusia. Lokasi green belt berada di sekitar lokasi pabrik dan lokasi

penambangan membentuk lingkaran sabuk hujau dengan tanaman penghijauan dan pertanian.

Setelah adanya program ini, PT Semen Gresik tidak akan melakukan penambangan di area green

belt.

Dalam pelaksanaan program green belt, PT Semen Gresik bekerjasama dengan KIPPK

(Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan) Kabupaten Tuban dalam proses

penyuluhan, monitoring dan evaluasi. Terdapat lima desa di Kecamatan Kerek dan Merakurak,

Kabupaten Tuban yang masuk kawasan green belt, yakni Desa Karanglo, Desa Pongpongan,

Desa Temandang, Desa Sumberarum, dan Desa Mliwang. Jumlah petani penggarap di lahan

green belt ini mencapai 148–248 petani terdiri dari 10 kelompok tani yang terbagi atas 8

kelompok di area penambangan batu kapur dan 2 kelompok tani di area penambangan tanah liat.

Luas area green belt mencapai 40 hektar di sekitar pabrik bekas lahan tambang. Program ini

didukung sepenuhnya oleh PT Semen Gresik mulai dari penyediaan lahan gratis, penyediaan

bibit tanaman (jagung, jarak kepyar, mahoni, manga, dan nangka) hingga teknis. Dengan adanya

program green belt, setiap kelompok tani mendapatkan penghasilan bersih kurang lebih 15-25

juta rupiah setiap panen dalam jangka waktu panen tiga bulan sekali. Dengan adanya sistem

bottom up ini, dapat mewujudkan program yang berkelanjutan dengan partisipasi masyarakat

yang bekerjasama dan dukungan dari pihak perusahaan dan pemerintah setempat.

Keberhasilan program lingkungan oleh PT Semen Gresik ini dibuktikan dengan adanya

pengharagaan Proper Hijau dari Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2009. Proper

(Program Penilaian Peringkat Pengelolaan Lingkungan) hujau merupakan penghargaan untuk

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 14: Artikel andalas evafarid

mengukur tingkat ketaatan perusahaan berdasarkan peraturan yang berlaku yang terbagi atas

tujuh kategori, yaitu emas, hijau, biru, merah, merah minus, dan hitam.

Sementara itu, tanah bekas penambangan, baik di Gresik maupun di Tuban dimanfaatkan

sebagai telaga buatan, seperti yang tampak di Desa Ngipik. Telaga Ngipik adalah bekas

kubangan besar yang kini merupakan telaga wisata. Suasana di telaga wisata ini sangat nyaman,

terlebih setelah pohon-pohon rimbun menaungi segenap sisinya. Udara yang sejuk karena

banyaknya pepohonan menciptakan suasana tenteram di hati. Tidak hanya itu, adanya area tanah

liat yang cukup luas di wilayah bekas penambangan juga dimanfaatkan untuk pembudidayaan

ikan air tawar sistem jala apung atau keramba. Budidaya ikan keramba di Kecamatan Merakurak,

Kabupaten Tuban ini telah menghasilkan panen beberapa kali yang hasilnya dinikmati oleh

penduduk setempat.

Daftar Pustaka

Akadun. 2007. Administrasi Perusahaan Negara. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010

Dollar, D and P. Collier. 2001. Globalization, Growth and Proverty: Building an Inclusive World Economy. New York: United Nations.

Elkington, John. 1998. Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21 Century Business. Philadelphia: New Society.

Keputusan Menteri BUMN No. 236 Tahun 2002 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

Kompas, 22 Oktober 2010. Dana CSR Mampu Tekan Angka Kemiskinan.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Sampurna, Muhammad.Endro. 2007. Pertanyaan Besar Bagi Penyelenggara Industri Global.-http://www.csrindonesia.com/pubtulisan.php.

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012

Page 15: Artikel andalas evafarid

Soemanto, Bakdi. 2007. Sustainable Corporation: Implikasi Hubungan Harmonis Prusahaan dan Masyarakat. Gresik: PT Semen Gresik (Persero). Tbk.

Syakhroza, Akhmad. Corporate Governance: sejarah dan Perkembangan, Teori, Model, dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Taschereau, Suzanne and Jose Edgardo L. Campos. Governance Innovations: Lessons From Experience: Building Government-Citizen-Business Partnerships. Ottawa: Institute on Governance.

United Nations: Departement of Economics and Social Affairs. 2003. Citizens, Business and Governments: Dialogue and Partnerships for Development and Democracy. New York

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

World Bank. 2002. The Role of Public Sector in CSR - http://www.leidykla.eu/fileadmin/ Ekonomika/ 86/55-67.pdf

.

**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012