52
ガチョウはアヒルのえさをよこどりする Anne-Ruth Wertheim ジャワ島日本軍抑留所での子ども時代 Anne-Ruth Wertheim Masa Kanak-kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek

ガチョウはアヒルのえさをよこどりする Angsa Merampas Roti … · Bahwa akan selalu ada orang-orang yang mempertahankan integritas pribadi mereka, dan menunjukkan

  • Upload
    dodat

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ガチョウはアヒルのえさをよこどりする

Anne-Ruth Wertheim

ジャワ島日本軍抑留所での子ども時代

Anne-Ruth Wertheim

Masa Kanak-kanakkudi Kamp Tahanan Jepangdi Jawa

Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek

Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek

Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek

Masa Kanan-kanakkudi Kamp Tahanan Jepangdi Jawa

Penulis: Anne-Ruth WertheimPenerjemah: Hersri SetiawanPenyunting: Pratiwi UtamiPerancang Grafis: Teguh Prastowo

Illustrator: Permainan Angsa digambar oleh Hetty Wertheim-Gijse Weenink. Gambaran anak-anak oleh Marijke, Anne-Ruth, dan Hugo Wertheim.

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang © 2008, Anne-Ruth Wertheim – GalangpressDilarang mengutip dengan cara apapun,Tanpa persetujuan dari penerbit.

Penerbit terjemahan ini dimungkinkan berkat bantuan NLPVF – Nederlands Literair Produktie- en Vertalingsfonds (Yayasan Penerbitan dan Penerjemahan Sastra Belanda).

Diterbitkan oleh:Penerbit Galangpress (anggota IKAPI)Jln. Anggrek No.3/34 Baciro Baru, Yogyakarta 55225Tlp. (0274) 554985 Fax. (0274) 554986e-mail:[email protected]__________________________________________________

Perpustakaan Nasional RI:Katalog Dalam Terbitan (KDT)Wertheim. Anne-Ruth,.

Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek, Penerbit:Galangpress, Yogyakarta; Cet. I, 2008,260x190 mm; 48 hlm

ISBN: 978-979-24-9910-0__________________________________________________

Dicetak oleh:Percetakan GalangpressJln. Anggrek No. 3/34 Baciro Baru, Yogyakarta 55255Tlp. (0274) 554985 Fax: (0274) 554985

Distributor tunggal:PT Buku KitaJln. Kelapa Hijau No.22, RT 006/RW 03Kel. Jagakarsa, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620Tlp. (021) 7888 1850 Fax. (021) 7888 1860

untuk cucu-cucuku

MayteMilanLucienJonasRamonRozenn

Anne-Ruth Wertheim

Masa Kanak-kanakkudi Kamp Tahanan Jepangdi Jawa

Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek

Prakata

Kami simpan semuanya menjadi satu. Permainan-angsa, Si Badut, dan Joni Lelet, label-label kayu dengan nomor-nomor tahanan, dan buku-kecil dengan gambar-gambar di dalamnya. Alangkah indahnya! Kumpulan kenang-kenangan kehidupan kami di dalam kamp interniran Jepang di Jawa. Kita bisa melihat pada permainan-angsa dan boneka-boneka dari kain-kainan itu! Betapa sering kami bermain dengan semuanya itu. Tentu saja ini baru menjadi terlihat jelas kemudian, sesudah lebih dari dua tahun, kami akhirnya diijinkan pergi meninggalkan kamp. Lalu selama hampir limapuluh tahun kemudian , benda-benda kenangan itu ada di atas lemari-pakaian orangtua kami, tersimpan dalam satu kopor, supaya lebih mudah semuanya dibawa ke sana ke mari.

Tahun itu 1988. Tahun ketika mama meninggal. Mama inilah yang telah membuatkan permainan-angsa untuk kami, ketika kami masih di dalam kamp. Ia membuatnya dari kertas-karton sebuah dos tua. Ini sebuah permainan sangat tua, dengan dadu, gambar-gambar angsa, sumur, penjara, dan Maut. Tapi sekarang semuanya itu kelihatan seperti sungguh-sungguh ada di dalam kamp. Karena papan permainan-angsa tampak mulai rusak, mama memperbaikinya dengan sesobek kain tua, yang dijahit sangat rapi di seluruh pinggirannya.

5

6

Mama tidak hanya pandai menggambar bagus. Ia juga ingin supaya kami pun pandai menggambar. Ia menyuruh kakak-perempuanku, Marijke, adikku laki-laki Hugo dan aku sendiri, menggambar sketsa tentang apa saja yang kami lihat di sekeliling kami di dalam kamp. Di balik gambar itu kami harus menuliskan tanggal dan apa yang kami gambar, lalu mama memberinya bersampul. Orang-orang di luar kamp kelak supaya tahu, apa yang pernah terjadi pada kami di sini. Semua orang bisa menulis sejarah dan memang harus melakukannya. Sebab, jika tidak, orang-orang dari generasi berikut akan bisa melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang, sehingga memungkinkan orang melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap orang-orang lain sesamanya.

Aku mendapat ide untuk tidak membiarkan benda-benda kenangan ini sebagai peringatan, bahwa kenangan buruk semacam itu bisa terjadi lagi, bahwa perang dan kekerasan rasial bisa timbul kembali pada setiap saat. Tapi sementara itu juga untuk memperlihatkan, bahwa tidak semua orang merosot akhlak menjadi binatang! Bahwa akan selalu ada orang-orang yang mempertahankan integritas pribadi mereka, dan menunjukkan solidaritas terhadap orang-orang sesama. Bahwasanya berlawan itu ada gunanya. Aku ingin menunjukkan, apa pun warna kulit orang, mereka harus hidup bersama-sama dalam kedamaian. Apakah mereka itu sawomatang seperti orang Indonesia, putih seperti kami, atau kuning seperti orang Jepang. Dan janganlah pernah lagi terjadi, bahwa orang dipaksa memilih pada golongan mana ia termasuk, dan tidak dimungkinkan untuk menjadi campuran. Seakan-akan campuran bukanlah manusia yang lengkap. Persis seperti aku ketika di dalam kamp interniran. Aku nyaris dipisahkan dari mama, karena aku separoh Yahudi, dan mama bukan Yahudi.

Namun aku menjadi ragu-ragu ketika melihat kembali benda-benda simpanan ini. Aku bertanya kepada temanku, Herrie van Borssum, yang mengalami peperangan di Eropa dan mengetahui tentang betapa penting, menceritakan pengalaman seseorang

7

pada orang lain. Ia membalik-balik buku-kecilku halaman demi halaman, mengamati gambar-gambarnya, menimang-nimang boneka-boneka kain yang telah usang itu, dan membaca sekali lagi puisi ulangtahun pada sehelai kartu dengan jarum kecil yang sudah karatan. Semuanya itu hanya minta agar dituliskan. Itu saja kata-kata temanku. Dan sambil menunjuk pada papan permainan-angsa: Di sinilah kisahmu!

Aku menulis ‘De gans eet het brood van de eenden op, mijn kindertijd in een Jappenkamp op Java’ (Angsa Merampas Roti Bebek-bebek, Masa Kanak-Kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa). Ia membuat diapositif (slide) dari tulisan itu, sehingga menjadi gambar hidup yang bersuara, yang digunakan dalam berbagai bentuk pendidikan dan pengajaran selama bertahun-tahun. Pada tahun 1994 tibalah saatnya untuk menjadikan tulisan itu sebuah buku. Sekarang buku tersebut oleh Hersri Setiawan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga akan bisa dibaca di negiri di mana semuanya itu telah terjadi.

Amsterdam, 2007Anne-Ruth Wertheim

8

9

Inilah papan permainan-angsa yang dibikin mama untuk kami, selagi kami di dalam kamp interniran Jepang. Bagus sekali! Apa saja ada di sana. Permainan-angsa yang benar harus kami tinggalkan, bersama semua barang-barang kami lainnya, di dalam rumah kami di atas kolam bebek. Kami hanya boleh membawa satu-dua kopor saja. Dan beberapa ransel kecil kami.

Aku tinggal di sebuah rumah yang bagus, bersama mama dan papaku, kakak perempuan, dan adikku laki-laki. Di sekeliling kolam itu tinggal banyak anak-anak, teman-temanku bermain setelah sekolah usai.

Terkadang kami memberi umpan roti pada bebek-bebek di kolam itu, dan tiba-tiba selalu ada seekor angsa yang besar datang. Ia menyambar roti yang sudah ada di depan hidung bebek-bebek itu. Lalu kami pun berteriak-teriak, bersama-sama menghalau angsa itu jauh-jauh.

Yang di kiri itu aku, adikku laki-laki di tengah, dan yang di kanan kakakku perempuan.

10

Pada malam hari di dalam kamp, kami biasanya bermain permainan-angsa. Diterangi oleh sinar sebuah bolalampu saja, yang tergantung pada langit-langit ruangan. Kami letakkan papan permainan-angsa itu di atas kopor, lalu kami duduk berjongkok mengelilinginya.

Kami masing-masing bergiliran melempar dadu. Berapa banyak kamu mendapat biji, sejauh itu kamu harus melangkah di papan permainan.

Akhirnya kamu akan sampai di rumah, di atas kolam bebek itu. Lalu kita kembali di rumah lagi. Berbagai macam peristiwa bisa terjadi di tengah perjalananmu itu

11

Aku orang yang tidak mau kalah. Aku benar-benar tidak suka jatuh ke dalam ‘sumur’. Tapi ketika dadu hendak membawa aku ke ‘penjara’, seketika itu aku menangis.

Dari umur delapan sampai sepuluh tahun aku dipenjara di kamp interniran Jepang di Jawa. Sangat lama jika sekarang aku mengingatnya kembali. Kenyataannya memang lebih dari dua tahun. Jika dipikir, memang benar-benar merebut sebagian besar dari masa kanak-kanakku.

Tetapi ketika aku masih di dalam kam waktu terasa cepat berlalu, di tengah segala kesibukan sehari-hari yang harus kita lakukan. Orang-orang tua selalu mengatakan: ‘Sekarang sudah sekian tahun dan sekian bulan, sejak kita ada di sini’. Lalu aku juga merenung: ‘Bagaimana kehidupan di luar kamp sana?’ Aku hampir tidak bisa mengingatnya lagi.

Aku juga sering melamun, kapan kita akan kembali bebas. Aku bayangkan, kita semua ada di atas sebuah truk yang besar, berjalan keluar melewati pintu gerbang, dan kemudian... aku tersesat entah di mana, aku tidak tahu. Tapi tiba di sesuatu tempat yang luar biasa besar dan indah, dengan cahaya terang dan kehangatan yang melimpah. Itu aku yakini benar.

12

Kamp dikelilingi pagar kawat berduri lapis dua yang tinggi serta dinding bambu, sehingga kita tidak bisa melihat keluar. Di sudut-sudut kamp ada menara tinggi, terbuat dari bambu, yang selalu dikawal para penjaga. Mereka bersenjata senapan-mesin, yang mengawasi kita sepanjang hari dan malam. Berjaga-jaga jika ada yang mau melarikan diri. Tapi aku tidak akan pernah mimpi melarikan diri. Apa yang akan kulakukan tanpa mama, kakak dan adikku?

Paling-paling aku hanya bisa mencari papa, yang dipenjara di kamp laki-laki. Tapi aku sudah hampir lupa, seperti apa wajah papa. Sudah terlalu lama rasanya, sejak aku melihatnya pada kali yang terakhir.

13

Di dalam kamp hampir sepanjang hari kami bermain-main. Hampir tidak pernah kami belajar. Orang-orang Jepang itu tidak akan mengijinkannya. Lagi pula hampir tidak ada pensil dan kertas sama sekali. Apa yang kita punya hanyalah apa yang kita bawa masuk kamp, dan semuanya itu tentu saja sudah segera habis.Untung mama menyimpan banyak kertas dan krayon di dalam kopor. Seandainya tidak, kami tidak mungkin bisa membuat buku kecil, dengan gambar-gambar segalanya seperti adanya. Akhirnya kami harus mewarnai dengan potongan pensil yang tinggal pendek sekali. Buku kecil ini sendiri juga kecil sekali.

Jatah itu begitu sedikit. Sehingga kami akan selalu melihat-lihat, apakah orang lain tidak mendapat jatah nasi lebih banyak.

Persis seperti bebek-bebek yang akan segera bertarung satu sama lain, ketika ada angsa datang hendak merebut remah-remah roti mereka.

Pada waktu makan, jatah makan kami ada dalam sebuah kuali besar, yang ditaruh di atas bangku di tengah-tengah ruangan. Kami harus berjalan dengan membawa mangkuk kami masing-masing. Lalu diberinya kami satu sendok nasi penuh, sedikit kuah sayuran dengan beberapa lembar dedaunan hijau mengambang.

14

Kami berempat hanya diberi sepotong kecil roti setiap hari, cukup satu iris untuk petanghari dan satu iris untuk pagihari, tanpa disertai apa-apa. Susah sekali menyimpan yang seiris itu begitu lama. Tapi mama selalu bilang ‘harus’. Sebab jika tidak, ‘kamu akan tambah merasa lapar pada hari berikutnya’. Terkadang roti itu sangat keras seperti kayu, dan terkadang sedikit empuk. Inilah yang paling enak. Mama selalu berusaha mencari yang empuk itu dengan meraba-rabanya. Tapi kepala blok melarangnya, karena katanya akan bisa membawa penyakit pada orang lain.

Ada banyak kelompok anak-anak, yang kamu boleh bergabung atau tidak bergabung. Tiap-tiap hari kami berpikir tentang jenis permainan baru. Di antara barak yang satu dan yang lain kita bisa bermain petak-umpet, atau berlari berkejaran di sekeliling barak-barak itu. Jarak di antara barak dan barak merupakan jalanan tanah yang kotor. Di atas tanah itu kita bisa membikin garis-garis untuk bermain jingkat.

Ada banyak penyakit di dalam kamp. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa ada yang mati. Maka kami selalu mendengar bunyi kentongan bambu dipukul. Bunyi itu terdengar sangat menyayat. Terutama jika kita tahu siapa yang meninggal itu. Tapi lama-lama kami hampir tidak lagi peduli. Kami terlalu asyik bermain-main.

15

Pada malam hari kita tidur di atas tempat tidur kayu. Kepala bersitentang tembok dan kaki di arah tengah ruangan. Masing-masing mendapat tempat selebar 50 cm. Kami berempat mendapat di sudut sekitar 2 x 2, atau 4 meter persegi. Tapi kami bikin seseronok mungkin, karena kami perindah dengan aneka benda yang masih ada pada kami.

Jika kami sudah naik ke tempat-tidur, katakanlah ini rumah di dalam rumah kami, kami langsung mengucap ‘ceklik’, menirukan bunyi seakan-akan seseorang mengunci pintu. Lalu kami akan merasa ‘di rumah’ sendiri, dan seakan-akan tidak peduli lagi pada 80 orang lain yang ada di dalam satu ruangan.

16

Aku tahu benar jalan-jalan di dalam kamp. Di sebelah sana ada toko, tempat kita kadang-kadang bisa membeli makanan. Di toko ini tinggal seorang ibu yang sangat menjengkelkan, dan seorang cewek yang berteman denganku. Jika masih mempunyai uang barang sedikit, terkadang kami membeli pisang atau pindakas satu sendok-teh. Lalu sambil berjalan pulang kita jilati pindakas itu, seolah-olah es-krim saja. Tapi toko ini terlalu cepat ditutup. Maka kami hanya akan bisa ke toko, jika dadu permainan-angsa akan membawa kami ke sana.

Apel itu sering kali berlangsung lama sekali, sebelum si Jepang Komandan Kamp datang memeriksa, kalau-kalau ada yang mangkir – atau sesungguhnya melarikan diri. Pembesar Jepang itu datang bersama Komandan Kamp yang orang Belanda, walaupun sejatinya hanya namanya saja komandan. Pada kenyataannya ia tidak kuasa apa-apa. Si Jepang itulah penguasanya.

Dua kali sehari diadakan apel di tanah lapang di tengah kamp. Kami harus berbaris dalam kelompok-kelompok dengan berbanjar lima-lima sampai sepuluh. Masing-masing kami mendapat nomor yang harus disematkan di baju, dan berdasar nomor itulah tempat kami dalam barisan.

17

Jika mereka berpapasan denganmu, kamu harus membungkukkan badan sesuai dengan ketentuan aturan. Mereka lalu meneriakkan aba-aba dengan gaya tentara, berturut-turut berbunyi: ‘kiotske – seikerei – naore – yasume – wakare’. Masing-masing artinya: ‘siap g’rak – hormat g’rak – selesai – istirahat di tempat g’rak – bubar jalan g’rak’.

Membungkuk merupakan sikap penghormatan terhadap orang Jepang. Bayangkanlah! Menghormat kepada orang-orang yang memenjarakanmu, dan membiarkanmu kelaparan! Masih juga kamu harus patuh, setiap hari, berulang dan berulang.

Karena itu, jika kamu tidak hati-hati, lambat-laun kamu tinggal menjadi nomor yang tersemat di bajumu itu.

Pada tanggal 4 September 1944 Komandan Kamp mengeluarkan perintah untuk kami semua. Barangsiapa yang berdarah Yahudi di tubuhnya, biarpun hanya setetes, harus melapor untuk dikirim ke kamp khusus.

Mama menjadi sangat ketakutan, karena kami mempunyai darah Yahudi. Orang mengira, hanya orang Jerman saja yang mengejar-ngejar orang Yahudi. Tapi ternyata orang Jepang itu juga menirukan mereka.

18

Sesudah perintah tentang Yahudi diumumkan, mama mengajak kami berunding, apa yang harus kami lakukan. Mama benar-benar memperlakukan kami sebagai anak-anak dewasa. Aku senang sekali! Sebelum perang hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Tapi Papa dan Mama sudah biasa mengajak bercakap-cakap panjang tentang soal-soal yang kami belum mengerti sama sekali.

Mama tidak bisa tidur sama sekali. Apa yang harus ia lakukan? Mama sendiri bukan Yahudi. Tapi papa kami Yahudi. Maka kami, anak-anak mereka, menjadi setengah-Yahudi. Jika mama melaporkan keadaan kami yang sebenarnya, maka kami menghadapi kemungkinan dipisahkan. Mama akan tetap tinggal dan kami, anak-anak, harus dikirim ke kamp khusus Yahudi. Apakah orang-orang Jepang itu begitu kejamnya? Mereka akan benar berbuat begitu? Anak-anak umur delapan, sembilan, dan sepuluh tahun akan direnggut dari ibu mereka? Jangan tanya lagi, pikir kami. Karena semua anak laki-laki, begitu sudah menginjak umur sepuluh tahun, mereka semua akan dikirim ke kamp khusus laki-laki. Anak-anak itu dianggap sudah matang seksual, sehingga sudah akan bisa menghamili perempuan, dan orang-orang Jepang tidak ingin hal itu terjadi.

Untunglah! Adikku laki-laki belum berumur sepuluh tahun!

19

Apakah mama akan merahasiakan kami sebagai setengah-Yahudi? Ini untung-untungan. Apa yang kemudian aka menimpa kami. Barangkali di kampnya sana papa juga merahasiakan? Tapi bagaimana seandainya papa telah melaporkannya? Jika demikian, barangkali Jepang sudah tahu. Atau, jika ada orang telah mengkhianati kami? Atau, jika mereka mengusutnya melalui nama-nama Yahudi?

Akhirnya Mama memutuskan, ia sendiri akan berpura-pura sebagai Yahudi juga. Sehingga kami semua ‘Yahudi penuh’, dan mama akan bersama kami dikirim ke kamp Yahudi. Dan memang begitulah yang kemudian terjadi.

Pagi-pagi buta kami diharuskan melapor ke penjaga kamp di pintu-gerbang. Kemudian kami dinaikkan truk, bersama dengan semua orang Yahudi lainnya.

Beruntunglah, di atas truk itu aku boleh berdiri di luar jajaran orang-orang dewasa. Sehingga pemandanganku tidak tertutup oleh tubuh-tubuh mereka.

Aku menggendong ransel di punggung, dengan segala rupa barang-barang milikku di dalamnya. Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri, apakah dua boneka bikinanku sendiri itu masih ada: Si Badut dan Si Joni Lelet.

20

Angin mengacak-acak rambutku. Wah, lucu rasanya! Alangkah indah dunia ini! Warna-warni itu! Pepohonan di sepanjang jalan berbunga-bunga. Orang-orang berkulit sawomatang. Orang-orang laki-laki dengan keranjang-keranjang makanan dipikul pada pundak mereka. Perempuan-perempuan menggendong bayi dengan selendang.

Tiba-tiba aku melihat Tante Gre, dengan topi lucu di kepalanya. Tante Gre selalu kuanggap sebagai tante kesayanganku. Tapi ia menghuni di kamp lain. Sekarang ia juga dikirim ke sini. Ternyata ia juga Yahudi!

Hari sudah gelap ketika kami sampai di kamp khusus. Kami harus antri di depan meja pendaftaran. Udara masih sangat panas. Aku merasa terlalu lelah, sehingga aku ingin duduk saja di lantai. Tapi tentu saja tidak diperbolehkan.

21

Sangat menegangkan, semua serba baru! Sebuah tempat tidur kayu baru, untuk kediaman kami yang baru, tetangga-tetangga baru, anak-anak baru untuk teman bermain. Di sini mereka membikin boneka-boneka untuk hiasan, dan di luar barak mereka sering melakukan kopstand. Dengan bersandar ke tembok, atau menjungkirkan tubuh tanpa bersandar di tanah-lapang. Aku juga bisa melakukannya tapi dengan bersandar tembok. Jika tanpa sandaran apa-apa, aku masih belum bisa. Aku menjadi kesal terhadap diriku sendiri!

Keadaan kakus di kamp buruk sekali. Sekedar lubang di tanah dengan di sebelah-menyebelahnya diberi alas untuk kaki, dan tembok sekeliling sangat rendah. Hingga dengan mudah kita bisa melihat keluar melalui atas tembok itu. Kita selalu harus berjalan sepanjang deretan kakus dan kakus, mencari yang batu alas-kakinya tidak terkena tinja. Tapi seringkali tidak berhasil menemukannya.

Hampir tidak pernah ada air untuk membasuh kaki. Sudah teramat sangat lama kita tidak pernah lagi bersepatu. Tapi aku sudah belajar bagaimana membersihkan kaki, dengan apa saja yang kutemukan di jalan pulang dari kakus. Dengan begitu kaki sedikit-banyak akan bersih, sebelum kembali naik ke atas tempat tidur. Nah, bersihlah sudah ...

Di sini kami juga bermain diefje-met-verlos. Tapi teman-teman kerap kali mengubah aturan bermain. Sehingga kami saling bertengkar karenanya, dan biasanya berakhir dengan perkelahian. Karena itu ada bermacam-macam aturan main, termasuk aturan-main untuk perkelahian itu sendiri.

_______________________________________1) Permainan anak-anak, semacam “Ula Banyu” (Ular Air); dimainkan dua kelompok yang berla-wanan, berdiri memanjang ke belakang, anak yang di belakang berpegangan pinggang anak yang di depan-nya; masing-masing kelompok berusaha merangkap pemain yang di ekor; jika tertangkap ia di-‘gelan-dang’ masuk ke ‘kurungan’ (catatan HS, penj.)

22

Hampir tidak ada buku satu pun di dalam kamp. Tapi kami saling tukar-menukar buku yang kami punyai. Aku masih lambat dalam membaca. Boleh dibilang aku belum bersekolah. Tapi aku tahu di luar-kepala banyak karya. Misalnya, “Musimpanas di Padang-pertanian” (Een zomer op Heide-hoeve), sebuah kisah tentang cinta dan semacamnya. “Si Bocah Sirkus” (Het circuskind), kisah yang sangat sentimental, sehingga mengundang tangis yang indah.

Jika air datang kami mandi dus. Anak-anak kecil dengan ibu mereka mendapat giliran pertama, anak-anak yang lebih besar mandi sendiri, kemudian cewek-cewek, dan yang terakhir perempuan-perempuan dewasa dan ibu-ibu. Kami suka mengintip mereka, lalu membikinnya dalam gambar. Aku harap mereka tidak risau dengan buahdada mereka yang tipis menggelantung.

Semua orang dewasa yang kamu temui di sini orang-orang perempuan. Tentu saja jika kita tidak masukkan orang-orang Jepang dan Indonesia. Sementara orang ada yang sok-kuasa atau suka ribut, seperti tetangga tempat tidur kami di barak. Tapi ada juga beberapa orang yang ramah-tamah, seperti misalnya Tante Gre dan ibunya Naomi. Aku suka ngerumpi soal ini-itu dengan sobat-sobatku sesama cewek. Kami saling menuturkan segala macam kisah.

Mama sama seperti aku. Terkadang ia duduk-duduk beralas kopor dan ngobrol bersama teman-temannya di depan barak. Lalu mereka membaca buku bersama-sama, dan mempercakapkan tentang buku yang mereka baca itu.

2323

Kami juga mempunyai sebuah album dengan foto-foto keluarga. Kadang-kadang mama suka bercerita tentang tempo doeloe.

Jika kamu memikirkan tentang bagaimana keadaan masa lalu, di luar kamp, maka kamu tidak bisa tidak akan melamun tentang hari-esok, tentang kapan kamu akan bebas kembali. Aku pun menjadi makin tidak sabar.

24

Kami tidak mempunyai cukup pakaian lagi. Hampir tiap-tiap hari aku ke sana-sini memakai rok kecil dari sobekan bendera Belanda, bagian yang berwarna merah. Kakakku mempunyai rok berwarna biru, dan adikku satu celana pendek berwarna putih. Kapan saja kami bertiga berdiri berjejer: merah-putih-biru, Orang-orang seketika serentak tertawa, karena dengan diam-diam mereka melihat, Merah-Putih-Biru telah kami kibarkan.

Kami mencuci pakaian di kamar cuci, lalu menggantung cucian kami di rak-jemuran dari kayu. Di sini kami bersama-sama anak-anak dewasa saja, sehingga tidak terjadi keributan. Tapi tentu saja terkadang terjadi juga keributan, yaitu jika ada anak yang tidak mau ikut bekerja bersama. Ada sementara orang yang mengerjakan cucian orang yang sakit, atau yang sudah terlalu lemah akibat kelaparan. Terkadang bahkan ada orang yang sama sekali tidak dikenal, tapi mau melakukan pekerjaan ini. Jika kamu melihat seorang perempuan yang pucat pasi, bertubuh sangat kurus, dan kelihatan letih, kamu tentu akan mau mencucikan untuk orang itu.

25

Segala rupa benda bisa kita dapati di sini. Maka pada suatu hari aku menemukan jarum kecil ini. Sungguh mujur aku. Karena tidak lama kemudian adalah hari ulang tahun Mama!

Di pinggir kamp ada timbunan sampah. Pecahan-pecahan gelas dan segala macam benda-benda tajam lainnya berserakan di sekitar sini. Tapi telapak kaki kami sekarang sudah menjadi kapalan sangat keras, sehingga kami bisa lewat dengan melompatinya saja.

Suatu hari adikku tiba-tiba saja tidak mau makan. Hal pertama yang terpikir padaku ialah, bolehkah aku menghabiskan nasinya? Ia sangat sakit ketika itu, dan harus menginap di rumahsakit kamp. Rumahsakit itu tidak lebih dari ruangan dengan kasur-kasur digelar di lantai. Tidak ada obat-obatan. Aku sangat khawatir. Sehari sebelum ia jatuh sakit kami bermain permainan-angsa, dan ia berhenti di angka 58: ‘Maut’; ia memerlukan waktu sangat lama sebelum akhirnya dibolehkan pulang. Tapi baru beberapa minggu setelah pulang dari rumahsakit, ia sudah kembali menjadi segar-bugar. Kamu bisa menghitung tulang-tulang iganya lebih gampang dari sebelumnya. Tapi tiap kali kami bergulat, ia masih saja bisa mengalahkan aku!

26

Kadang-kadang aku berjalan ke sana-sini di dalam kamp. Melihat-lihat dapur, ketika mereka sedang masak. Di situ aku berpura-pura seakan-akan sudah makan. Suatu ketika aku melihat seorang ibu mengambil satu kepal nasi, dan menyembunyikannya di dadanya. Ketika dilihatnya aku berdiri di sana, ia melihat sekeliling dengan gugup. Tapi aku diamkan saja.

Kami duduk di lantai, dan ia duduk di atas bangku kecil di depan kami semua. Di sampingnya papan permainan-angsa, untuk berjaga-jaga jika si Jepang datang. Lalu kami pura-pura sedang bermain. Untungnya kita akan selalu mendengar mereka dari kejauhan, karena setiap orang tentu akan seketika berteriak: “kiotske! ... seikerei!”

Karena tidak ada sekolah yang benar, Mama mencari bermacam-macam cara untuk mengajar kami. Daftar angka perkalian, alfabet, dan jam untuk alat kami belajar menghitung waktu.Tapi suatu ketika sesama tawanan yang sudah dewasa menyelenggarakan semacam sekolah. Aku ketika itu diajar oleh Nona Kagenaar.

27

Kadang-kadang aku berbaring terlentang di bawah rak jemuran, dan memandang jauh ke langit biru. Di penjara orang tidak mempunyai cakrawala. Lucu! Barang ke mana orang memandang akan tertumbuk pada tembok-tembok dan benda-benda lainnya. Hanya jika kita melihat ke atas bisalah kita memandang sejauh-jauh kita bisa. Ke sanalah kita akan melihat pada kemerdekaan.

Aku lalu terbayang pada semua orang yang merdeka, di mana saja di seluruh dunia, dan aku menjadi sangat marah terhadap mereka itu. Mengapa mereka membiarkan kami membusuk di sini, di dalam kamp jahanam hampir tanpa makan dan semua-mua kotor belaka? Mengapa mereka tidak melompat ke kapal atau pesawat terbang untuk membebaskan kami?

Kelak, ketika aku sudah dewasa, dan selama masih ada orang di dalam penjara di mana saja di dunia, aku berpikir, tidak akan aku berhenti sebelum mereka semua dibebaskan.

Aku menulis di atas pecahan batutulis, yang kutemukan di timbunan sampah. Untuk gerip kugunakan sekeping kecil batutulis juga. Dengan alat-alat itu aku bisa menulis sebaik-baiknya. Maka jika ibuguru mengatakan pekerjaanku tidak rapi, aku selalu menangkis: “Sukar sekali menulis rapi dengan kepingan sekecil ini.” Mendengar kata-kataku, ia tidak bisa lain kecuali tersenyum.

28

Di sini kamu melihat gambar aku sedang membersihkan serambi. Kakakku dan aku termasuk dalam satu regu korve, bersama empat cewek dari kamp bagian bukan-Yahudi. Kemudian kami harus bekerja korve di kebun-sayur kamp, mengurus tanaman sayuran, membersihkan kebun, dan menyiangi tanaman.

Ada sementara orang bodoh, lewat serambi yang baru saja kami bersihkan. Jadi kami harus mulai membersihkannya lagi dan lagi. Suatu hari salah seorang cewek itu berkata: “Biar itu dikerjakan anak-anak Yahudi!” Aku sangat marah, lari mengadu ke mama. Hanya sesudah banyak cincong, kami dibolehkan korve lagi bersama kelompok anak-anak Yahudi saja.

Sebelum perang menjadi Orang Yahudi tidak banyak artinya bagiku. Begitu juga menjadi Orang Putih. Kami Orang Putih adalah tuan di Indonesia. Karena itu tentu saja aku tidak perlu risau pada warna kulitku.

29

Seluruh kamp dijaga oleh tentara Indonesia. Serdadu-serdadu itu berjaga di menara bambu di sudut-sudut kamp, dengan senjata yang siap tembak. Mereka di bawah komando Jepang, dan diperlakukan hampir sama buruk seperti kami para tawanan. Hanya saja mereka diberi makan lebih baik.

Tapi setelah Jepang datang, poster dipasang di mana-mana, di seluruh penjuru kota. Di antara poster-poster itu ada yang memperingatkan penduduk, agar mereka waspada terhadap mata-mata musuh. Tapi juga ada poster bergambar wajah kulitputih dan matabiru, dan kata-kata yang tertulis di bawahnya berbunyi: “Seperti inilah wajah musuh.” Tentu saja kami yang mereka maksudkan. Dengan begitu mereka berusaha menjadikan bangsa Indonesia antek-antek mereka, untuk membantu menangkapi dan menggiring kami ke kamp-kamp.

Ketika kami sedang korve di kebun sayur, selalu ada pengawal bersenjata mengawasi kami. Kepadaku mama mengatakan agar jangan menghiraukan mereka, dan jangan merasa tidak tenang pula karenanya. Paling tidak sayur-sayuran itu memberi vitamin untuk kita. Tapi sampai sekarang pun aku masih membenci pekerjaan menyiang.

30

Tapi jika ada kesempatan mereka pun pasti akan melarikan diri, kembali ke desa dan keluarga mereka. Tapi sungguh tidak gampang untuk itu. Karena kepala mereka dicukur gundul dan hanya berpakaian seragam khaki. Sehingga oleh karenanya mereka kelihatan sangat mencolok

Pergantian serdadu-kawal dilakukan beberapa kali dalam waktu satu hari. Maka kita akan melihat serdadu yang diganti dan serdadu pengganrtinya turun-naik tangga menara jaga yang tinggi itu. Dalam waktu pergantian yang pendek itu mereka, yang ada di antara dua lapis pagar kamp, tidak terlihat oleh si Jepang, dan yang di belakang pagar kamp itulah tempat kami ditahan. Karena itu di sana menjadi tempat berlangsungnya perdagangan terang-terangan antara serdadu-serdadu Indonesia dengan kami. Mereka memberikan jatah makan mereka kepada kami, dan kami memberi mereka pakaian bekas kami. Dengan pakaian itu mereka mempunyai kemungkinan melarikan diri. Bahkan celana-piyama perempuan yang dipakai dengan kaki tergulung pun, akan jauh lebih baik daripada seragam khaki mereka itu!

Perdagangan natura seperti itu tentu saja sangat terlarang. Si Jepang akan sangat marah apabila sampai mengetahuinya, dan hukuman yang mereka jatuhkan juga sangat kejam. Umumnya kami tidak mempunyai nyali untuk melakukannya, bahkan andaikata kami terlalu lapar sekalipun.

31

Orang Yahudi Timur paling berani dalam hal berdagang ini. Tapi ini akan membahayakan bagi seluruh kamp. Jepang sering menghukum seluruh kamp, sebagai akibat perbuatan hanya satu orang atau anak-anak. Begitulah cara mereka menindas kami.

Sebenarnya orang-orang Yahudi Timur itu menjadi bahan cerita tersendiri.Mereka sangat menutup diri, sehingga kami tidak pernah bermain dengan mereka itu. Kami suka bergunjing tentang mereka, karena tabiat mereka yang aneh dan suka mencuri. Jika ada orang yang merasa kehilangan sesuatu, segera saja orang-orang Yahudi Timur itu yang dipersalahkan. Maka kami suka memaki mereka, dan sebaliknya juga mereka terhadap kami. Jujur saja, aku harus mengakui, kami telah mendiskriminasikan mereka.

Aneh, kami sendiri didiskriminasikan. Tapi, sebaliknya, kami pun berbuat sama terhadap orang lain. Atau, apakah itu wajar-wajar saja?

Bagaimanapun juga Jepang membuat segalanya yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Dalam membagi jatah makan, mereka mulai dari kamp yang bukan Yahudi. Baru giliran kamp kami, dan akhirnya kamp Yahudi Timur. Dengan cara begitu Jepang membikin kami iri terhadap mereka yang bukan Yahudi. Karena kadang-kadang jatah makan lalu tidak mencukupi untuk kami semua.

32

Tapi jika mereka menjatuhkan hukuman, kejadiannya berjalan sebaliknya. Mereka mulai dari kamp Yahudi Timur, lalu kamp kami, dan akhirnya kamp bukan Yahudi..Angsa memecah-belah persatuan bebek-bebek untuk bisa menguasainya!

33

Seperti yang pernah terjadi pada apel hukuman. Selama tujuh jam kami harus berdiri di bawah curahan sinar terik matahari, tanpa diberi minum apalagi makan. Beberapa orang serdadu kawal Indonesia melarikan diri, tapi mereka tertangkap. Celana piyama digantung di tiang, dan Jepang itu berteriak-teriak mencari tahu: “Celana siapa ini, nyonya-nyonya?” Mereka hendak menangkap orang yang telah menukarkan piyamanya dengan makanan, dan kemudian tentu saja hendak menghukum orang itu. Tapi mula-mula semua tutup-mulut. Lalu si Jepang mengeluarkan dari barak orang-orang tua, dan kemudian juga orang-orang yang sakit. Mereka pun diharuskan berdiri di bawah terik matahari.

Ketika masih belum ada seorang pun mengucap sepatah kata, mereka sudah mencambuki pelarian-pelarian Indonesia itu tepat di depan kami. Mama tidak ingin kami melihatnya, maka didorongnya kami di belakang ibu-ibu yang lain. Sehingga aku tidak melihat apa-apa, selain kaki-kaki saja di sekelilingku. Tapi aku mendengar suara teriakan orang-orang Indonesia itu.

Akhirnya salah seorang pelarian menunjuk seseorang. Non Lies namanya. Ia seorang cewek Yahudi Timur. Pelarian itu menambahkan kata-katanya: ”Kasihan Non Lies!”

Non Lies dibawa pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Lihatlah! Di depan sana kamu melihat seorang jururawat, dengan logo palang-merah pada pecinya.

34

Hari berikut kami bermain-main di halaman antara barak-barak, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu apa pun. Tapi aku tidak bisa melupakannya, dan selalu bermimpi buruk tentangnya. Berulang kali aku menceritakannya pada Mama, dan berulang kali pula Mama menenangkan aku. Semoga Non Lies memang baik-baik saja, meskipun ia harus dihukum dulu. Dan semoga perang pun tidak berlangsung lebih lama lagi.

35

Aku senang, karena aku bisa berbicara tentang semua itu dengan mama. Mama tidak mengatakan aku harus melupakannya. Tapi sebaliknyalah, justru mama mengatakan agar aku tidak melupakannya.

Ia berkata: “Juga jika kita nanti sudah bebas kembali, akan selalu ada angsa-angsa yang akan merampas roti dari bebek-bebek. Maka kita harus melawan mereka itu!”

36

Sepanjang tahun-tahun itu aku hampir tidak pernah bersekolah. Tapi kupikir sama sekali tidak masalah. Kita juga bisa belajar dari pengalaman, yang barangkali malahan lebih baik. Asal saja kita bisa membicarakan pengalaman itu dengan orang-orang lain.

Nah, begitulah pengalamanku selama di dalam kamp interniran Jepang di Pulau Jawa. Aku telah menceritakannya seperti yang senyatanya telah terjadi, seperti yang pernah kurasakan, yang selalu kupikirkan dan yang juga selalu kupercakapkan. ***

37

38

Epilog

39

Aku pernah digolongkan sebagai minoritas. Hampir semua orang di sekelilingku berkulit berwarna sedangkan aku berkulit putih. Tanpa diberi kesempatan memilih di pihakku, begitu saja aku sudah termasuk golongan itu. Aku temukan ternyata betapa dekat jarak antara pemberian etiket golongan dengan kekerasan golongan.

Dari aku berumur tujuh sampai sepuluh tahun, Perang Dunia II mengamuk di kawasan Pasifik. Jepang merebut negeri demi negeri, dalam kerjasama erat dengan Jerman yang berbuat sama terhadap benua Eropa. Awal 1942 Jepang menyerbu Indonesia, negeri tempat aku tinggal bersama orangtua, kakak perempuan dan adik laki-laki. Kami ditangkap dan dipenjara selama bertahun-tahun. Tentang ini kuceritakan kemudian kepada cucu-cucuku. Di sekolah-sekolah kuperlihatkan slide-slide dan kuperdengarkan kaset-kaset De gans eet brood van de eenden op, mijn kindertijd in een Japenkamp op Java (Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek, masa kanak-kanakku di kamp interniran Jepang di Jawa). Di layarputih kuproyeksikan sketsa-sketsa yang kami buat di dalam kamp. Bagaimana kami ‘berdiam’ di atas dipan kayu yang besar dan bermain di antara barak-barak, menara-menara penjagaan dan pintu gerbang kamp yang memisahkan kami dari kemerdekaan. Engkau juga akan melihat papan permainan-angsa yang dibikin ibu untuk kami, dengan menggunakan kertas karton dari sebuah dos tua. Pada slide permainan-angsa itu juga ada sumur, penjara dan Maut, yang semuanya itu benar-benar seperti ada di dalam kamp.

Sementara duduk dan melihat, kamu mendengar suara musik, lalu sedikit demi sedikit dan sepotong demi sepotong kamu akan mendengar ceritaku. Seperti yang terjadi baru-baru ini di ruang kelas cucuku perempuan yang berumur sepuluh tahun. Kemudian sesudah selesai anak-anak duduk memandangi ruangan tanpa sepatah kata. Sampai akhirnya kutanyakan, siapa yang ingin bertanya tentang apa saja yang ingin mereka ketahui. Lalu aku dihujani seribusatu pertanyaan: mengapa orang Belanda ditahan dan orang Indonesia tidak ditahan,

Jatidiri?

Kita Semua ‘Kombi’ Alias ‘Gado-Gado’!

Kamu merasa Belanda atau Maroko?

Yahudi atau Non Yahudi?

40

apakah aku masih sering mimpi buruk, apakah ayahku sudah kembali selamat, apakah Jepang seperti juga Jerman membenci orang-orang Yahudi. Anak-anak bisa mengisi kemampuan daya imajinasi mereka dengan pengalaman-pengalamanku. Mengisi bidang tidak tahu menahu yang luas. Pada masa perang tentara berbuat sangat kejam terhadap orang lain, dan akan lebih terasa ringan jika mereka tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi. Pilot yang menjatuhkan bom atas Hiroshima, pilot kamikaze Jepang, orang Jerman yang memainkan peranan dalam mesin holokaus, orang Inggris yang mengembomi kota-kota di Jerman, orang Amerika yang menghujani desa-desa Vietnam dan penduduk kota Irak dengan bom. Akankah mereka melakukan semuanya itu, andaikata mereka bisa membayangkan sosok-sosok manusia, wajah mereka dan suara mereka yang menjadi sasaran?

Di dalam kamp interniran Jepang itu aku bersama orang-orang Belanda lainnya, yang tinggal di negeri bekas jajahan Belanda yang sekarang bernama Indonesia. Kamilah yang ketika itu berkuasa di sana, walaupun jumlah kami hanya beberapa ratus-ribu saja dan bangsa Indonesia berjuta-juta. Semuanya itu berlangsung sampai ketika Jepang datang dan berbuat apa saja ,sebagaimana biasanya perbuatan pasukan pendudukan: melucuti kekuasaan kami, dan mengambil-alihkannya ke tangan sendiri.

Ibuku, kakak-perempuan dan adik laki-lakiku ditempatkan di kamp perempuan, di barak-barak yang dipadati dengan terlalu banyak orang, yang sangat menderita kelaparan dan berbau amis, tidak tersedia cukup air dan tidak ada obat-obatan. Hampir setiap hari ada orang mati, seringkali anak-anak. Penguasa Jepang suka menghukum kami dengan keji, sementara itu semua orang di dalam kamp diperintahkannya menonton. Namun demikian, anehnya, hampir tidak ada tawanan Belanda satu orang pun yang melarikan diri. Memang tidak mudah dengan kamp dikelilingi pagar kawat berduri, dijaga senapan mesin yang siap menyalak, dan wajib

41

apel dua kali dalam satu hari. Tapi selain itu, juga terutama karena kulit kami yang putih. Inilah yang akan membuat kami seketika ketahuan.

Ada beberapa anak kulit-berwarna duduk di kelas cucuku, termasuk cucuku sendiri, tapi selebihnya adalah anak-anak berkulit putih. “Hei, kulitmu kok putih!?!” Pikiran semacam ini sama sekali di luar imajinasi mereka.

Di luar kamp semua orang berkulit sawomatang, seperti orang-orang Indonesia, atau berkulit kuning seperti orang-orang Jepang itu. Namun, bukankah orang kulit putih saja yang ditahan? Dan agaknya tidak akan ada orang Indonesia yang bersedia membantu orang Belanda yang melarikan diri, oleh karena sebelum Jepang datang kamilah yang berkuasa atas mereka itu. Memang barangkali tidak sebagai penguasa yang kejam, namun pastilah tidak selalu terlalu baik-hati.

Sebelum perang warnakulit tidak punya arti apa pun bagiku. Aku melihat anak-anak teman-temanku bersekolah berkulit putih, dan pembantu-pembantu kami semuanya berkulit sawomatang. Tapi hanya sejak sesudah di dalam kamp aku menjadi sadar, bahwa bukan hanya kawat berduri dan senapan mesin yang mengerangkeng kami di sana, tapi juga karena warna kulit kami yang putih. Aku tanyakan kepada anak-anak, apakah mereka tahu kelompok-kelompok bangsa lain yang menjadi sasaran tindak kekerasan? Ya, orang-orang kulit-hitam di bawah politik Apartheid. Juga tentu saja Anne Frank, dan orang-orang Yahudi yang diberi tanda bintang kuning, yang tujuannya sama saja. Pembicaraan lalu beralih. Tidak lagi sekedar minta keterangan, tapi lebih banyak berkisah tentang kehidupan mereka sendiri. Maka demikianlah. Warna kulit bisa membawa kesulitan, apa pun bentuk kesulitan itu. Seorang anak laki-laki berkulit berwarna menceritakan, orang selalu bertanya kepadanya dari mana ia berasal. “Ketika aku katakan, aku dari Amsterdam, mereka terus bertanya dan bertanya!”

42

Terdengar suara tepuk-tangan dari semua penjuru kelas. Tanda setuju pada anak itu. Dan anak itu pun menjawab mereka dengan tersenyum malu.

Di Belanda, dalam suasana yang memburuk, orang menjadi semakin kurangajar ketika mereka bertanya pada orang kulit berwarna. Entah itu di jalan, di dalam bus, di toko-toko, atau di ruang-ruang tunggu. Si putih mayoritas bagaimanapun tampaknya ingin mengelak, bahwa mereka menganggap-sepi terhadap sesama warganegaranya yang berwarna . Tapi mereka harus bisa membayangkan, bagaimanakah rasanya jika orang selalu disapa atas dasar sifat-sifatnya yang kasatmata. Sebaliknya, meriwayatkan tentang asal-usul sendiri pun akan bisa berarti membedakan. Tapi sekarang, ketika minoritas berwarna dikambing-hitamkan untuk banyak masalah sosial, maka pertanyaan-pertanyaan yang bermaksud baik pun bisa ditangkap sebagai tuntutan pertanggungjawaban. Pengalamanku di dalam kamp menyebabkan aku menjadi sangat peka terhadap bahaya, yang mengancam orang-orang yang diidentifikasi sebagai termasuk golongan tertentu. Apakah identifikasi itu disebabkan oleh cirri-ciri kelahirannya, ataukah karena agama atau cirri-ciri lain yang mereka pilih sendiri. Tindak kekerasan bukan sekedar jatuh dari langit seperti bom yang menimpa orang-orang tak berdosa. Tapi juga dilakukan di atas bumi, baik secara orang per orang maupun secara berkelompok-kelompok. Selalu bisa dilihat sejarah terjadinya pembentukan kelompok-kelompok yang berangsur-angsur kehilangan sifat-sifat kemanusiaan mereka dan berubah menjadi sasaran. Kita harus terus berusaha keras mengisi dayabayang kita.

Seorang anak perempuan muda tentang kakeknya yang setengah Maluku, tapi lebih suka mengingkari kenyataan itu. Ia tidak pernah duduk di bawah sinar matahari, dan sebisa mungkin bertingkah seperti Belanda. Jika ada orang yang mengatakan sesuatu tentang dirinya, ia selalu berkata: “Aku Belanda tulen!”

43

Orang-orang kulit berwarna sering ditanya tentang asal-usul mereka. Anda merasa sebagai Belanda atau Maroko? Dalam wawancara-wawancara lalu menjadi pertanyaan baku. Para pemain sepakbola yang berasal dari luar negeri biasa ditanya, apakah mereka benar-benar mau bermain untuk tim Oranye di Piala Dunia. Aku mempunyai cucu-cucu dengan ayah berasal dari negara lain. Tentang cucu yang aku bicarakan ini bisa dilihat, dan dengan membandingkan nama mereka dengan anak-anak lain. Mereka pun selalu harus memilih antara negeri Belanda atau negeri ayah mereka.

Sekitar pertengahan waktu ketika kami di kamp, Jepang memisahkan tawanan yang Yahudi dari yang bukan Yahudi. Terdengar desas-desus tentang apa yang dilakukan Jerman terhadap Yahudi di Eropa, tapi Yahudi di benua Asia yang jauh ini agaknya mereka selamat. Jepang memerintahkan kepada siapa saja yang berdarah Yahudi, meski hanya setetes, harus dipindah ke kamp khusus. Mama menjadi cemas karenanya. Ia sendiri bukan Yahudi, tapi ayah kami Yahudi, sehingga kami menjadi setengah-Yahudi. Kami tahu, menurut hukum Yahud hanya anak-anak dari ibu Yahudi maka mereka pun Yahudi. Tapi Jepang tidak mau peduli tentang itu.

Mama tidak bisa tidur malam itu. Karena, jika dia mendaftarkan kami sebagai Yahudi, kami pasti akan diambil. Ini juga akan terjadi terhadap semua anak laki-laki jika mereka sudah berumur sepuluh tahun ke atas. Aku sering melihat ibu-ibu yang berlari-lari di belakang truk dengan putus-asa pada mata mereka, sementara anak-anak berusaha berlagak sebagai anak-anak yang kuat. Untunglah adikku masih belum sepuluh tahun.

Lalu, apakah kami akan merahasiakan darah kami yang setengah Yahudi? Tapi bagaimana jika Jepang mengetahui, atau ada orang yang mengkhianati kami? Wertheim ialah nama Yahudi. Kami pasti akan mendapat hukuman mengerikan jika tidak menuruti perintah Jepang itu. Apakah Papa telah mencatatkan dirinya

44

sebagai Yahudi, dan dengan begitu Jepang telah mengetahuinya? Akhirnya Mama memutuskan berpura-pura sebagai Yahudi. Dengan demikian kami bertiga dan juga Mama akan pergi bersama kami ke kamp Yahudi.

Suatu hari, pagi-pagi sekali, kami harus datang ke gerbang kamp. Kemudian bersama dengan semua tawanan Yahudi kami dinaikkan ke sebuah truk. Kamp Yahudi yang kami tuju lebih buruk lagi keadaannya, makan lebih sedikit, lebih banyak penyakit, dan lebih banyak siksaan. Jepang mengikuti contoh sekutunya di Eropa, Jerman, memisahkan tawanan Yahudi dari tawanan lain-lainnya. Tapi tidak seperti di Eropa, di sini tidak dengan maksud untuk membasmi kami. Tidak di semua kamp tawanan Jepang, Yahudi disendirikan. Di kamp Papa Yahudi memang disendirikan, tapi Papa memperkirakan ia bisa menyembunyikan ke-Yahudi-annya. Karena laki-laki bisa menanggung resiko lebih berat daripada perempuan dan anak-anak. Sementara itu hampir seluruh keluarga kami dari pihak ayah telah dibunuh oleh Jerman di Eropa. Opa-omaku yang Yahudi telah bunuh-diri pada hari ketika Belanda kapitulasi.

Keputusan mama yang harus diambil sesungguhnya keputusan yang tidak manusiawi. Ia menghadapi resiko kehilangan anak-anaknya atau dihukum dengan kejam. Keputusannya merupakan keputusan yang inventif. Tapi kamp Yahudi lebih buruk keadaannya, dan di sana banyak orang mati karena kelaparan, maka masalah keadaan yang lebih buruk atau lebih baik sesungguhnya berarti masalah hidup atau mati.

Dipaksa menentukan pilihan yang ‘rasis’ seperti itu menyebabkan aku memikirkannya di sepanjang hidupku. Agar tetap utuh kami harus memilih antara Yahudi atau bukan-Yahudi. Padahal aku merasa, aku termasuk di dalam kedua-duanya itu: Yahudi dan sekaligus bukan-Yahudi. Lagi pula kupikir semua orang harus berhak untuk menjadi setengah-ini dan setengah-itu. Tidak hanya secara turun-temurun, tapi juga secara adat-istiadat. Selama sepuluh tahun pertama

45

umurku, aku hidup di Indonesia yang tropis. Aku mengirup aroma, warna, bentuk, suara dan demikian juga cara orang di sana berinteraksi. Aroma itu masih membawa aku kembali ke ingatan-ingatan masalalu, aku masih mempunyai kesukaan pada pola-pola dan warna-warna batik tertentu, dan tidak satu orang pun bisa mengosongkan kepalaku dari suara kokok ayam-jantan kampung, yang sama sekali berbeda dari ayam-jantan di pekarangan petani Belanda. Semuanya itu hal-hal yang tidak aku miliki bersama dengan orang-orang yang menjadi dewasa di Negeri Belanda. Ketika sejak sesudah perang aku hidup di sini, anak-anak sekelasku tertawa pada setiap hal yang berbeda yang kulakukan. Maka dari sudut kebudayaan pun aku tidak utuh. Di dalam jatidiriku aku gabungan dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda.

Sungguh memalukan melihat, bahwa sesudah mengalami begitu banyak peperangan dan kekerasan rasial, masih begitu banyak saja orang-orang yang menempatkan diri sendiri dan orang lain dalam kelompok-kelompok yang, biasanya tanpa sengaja, membantu menciptakan kekerasan baru. Jelas mereka itu tidak mempunyai mimpi untuk melihat, bahwa ruh kemanusiaan yang indah dan banyak-segi tidak bisa dibagi-bagi dalam kepingan-kepingan. Maka tentu saja hendaknya juga tidak digolong-golongkan atas dasar kepingan-kepingan semacam itu.

Banyak para imigran dan anak-anak mereka, serta anak-anak dari anak mereka itu, merupakan keturunan campuran, setengah ini, seperempat atau bahkan seperdelapan itu.Dan mereka yang secara turun-temurun utuh itu pun, biasanya merupakan gabungan dari berbagai-bagai kebudayaan di dalam pribadi mereka. Kebudayaan-kebudayaan itu sendiri, termasuk kebudayaan Belanda, juga mempunyai banyak segi. Dalam keadaan umat manusia yang dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok ini, jatidiri gabungan dibuat menjadi sesuatu yang mencurigakan, dan mempunyai konotasi keengganan menjadi bagian dari masyarakat. Tepat seperti seharusnya kami di dalam kamp interniran Jepang, orang harus selalu membaca gelagat dan memperhatikan

46

setiap patah kata yang mereka ucapkan, dan bahkan setiap hal yang mereka lakukan sekecil-kecilnya pun. Memperlihatkan kecintaan pada negeri kelahiran bisa berakibat dikucilkan. Tapi sebaliknya meleburkan diri sama sekali bisa berarti kehilangan harga-diri. Oleh keadaannya yang campuran, imigran tidak boleh menjadi ‘keutuhan’. Oleh karena itu cucuku tidak mau menjadi setengah, tapi sebaliknya ia juga tidak mau menjadi ganda. Kamu ini kombinasi, kataku, kamu mau menjadi kombi? Ia memandangi aku sambil tersenyum gembira.

Selama beribu-ribu tahun orang bermigrasi ke segenap penjuru dunia, atau tinggal di negeri-negeri lain sepanjang sebagian masa hidup mereka. Oleh karena itu dewasa ini sangat banyak penduduk dunia yang merupakan orang-orang campuran genetik dan kultural. Globalisasi lebih lanjut hanya berarti semakin menjadi campuran. Ini luarbiasa indah! Semakin tipis atau kurang tampak garis penanda pengelompokan, semakin sempit kesempatan bagi timbulnya rasialisme atau kekerasan-kekerasan lain terhadap kelompok-kelompok masyarakat.

Marilah masing-masing menjalin jatidirinya sendiri-sendiri. Biarkanlah lahir jatidiri-jatidiri yang terdiri lebih daripada darah dan kebudayaan yang selalu ditekan-tekankan. Suatu pembawaan atau sesuatu yang berkembang selama kehidupan seseorang: laki-laki, perempuan, kekasih, anak, cucu, orangtua, pengasuh, opa-oma, saudara perempuan, saudara laki-laki, keturunan, warna kulit, pilihan seksual, perhatian, bakat, keterampilan, kerja, kepekaan, keyakinan, beragama atau tidak beragama, latar-belakang, gayahidup, nafsu … setiap orang mempunyai jatidiri kombinasi.

Kita semua adalah kombi!

Artikel ini terbit di Belanda, di harian De Volkskrant, Het Betoog pada 4 Februari 2006.

47

48

Tentang Penulis

Anne-Ruth Wertheim seorang wartawan dan pengarang De gans eet het brood van de eenden op, mijn kindertijd in een Jappenkamp op Java (Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek, Masa Kanak-Kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa). Ia mela-kukan penelitian tentang rasisme dalam pendidikan di kalangan anak dewasa, dan memperkenalkan konsep-konsep tentang rasisme eksploitasi atau rasisme kolonial (penghinaan atau perendahan martabat) dan rasisme kompetisi (iri dan curiga).http://www.anne-ruthwertheim

Anne-Ruth Wertheim

Angsa merampas roti bebek-bebek.

Masa Kanak-kanakkudi Kamp Tahanan Jepangdi Jawa

“Angsa merampas roti bebek-bebek”, sebuah cerita bergambar yang pedih namun tajam, ditulis seorang gadis kecil yang dipenjarakan, dari umur 8 sampai 10 tahun, di berbagai kamp-kamp interniran Jepang di Jawa. Ia ditahan bersama ibunya, kakak perempuannya dan adik laki-lakinya. Ketiga-tiga anak ini membuat gambar-gambar sketsa tentang kehidupan sehari-hari di dalam kamp. Sedangkan ibu mereka membikinkan sebuah papan permainan-angsa untuk mereka itu: isyarat vitalitas dalam keadaan yang mengerikan.

Anne-Ruth Wertheim, seorang dari tiga anak yang membuat sketsa-sketsa ini, melibatkan juga anak-anak dan yang orang dewasa pada kejadian-kejadian di masa kanak-kanaknya yang dahsyat itu. Maka begitulah ia seperti seorang dewasa, yang kembali lagi menjadi anak-anak dari hari kemarin. Dengan gayanya yang sederhana ia memberi kesaksian, hampir secara sambil-lalu saja, tentang keuletan dan panjang-akal orang-orang yang ada di dalam kesulitan yang luarbiasa itu.

Hidup seorang gadis jaman kolonial yang lampau telah dijungkir-balikkan, sehingga ia pun bertanya pada diri sendiri tentang berbagai hal yang janggal. Sebelum perang keluarganya termasuk golongan atas ‘orang putih’, yang menetapkan hukum bagi orang Indonesia yang ‘sawomatang’. Sekarang ia ditahan karena warna kulitnya yang putih, dan lebih dari itu Jepang membikin garis pemisah antara Yahudi dan bukan Yahudi. Ia bersama kakak dan adiknya adalah anak-anak setengah-Yahudi, dan ini menghadapkan ibu mereka kepada satu pilihan yang tidak manusiawi.

“Angsa merampas roti bebek-bebek” berkisah tentang apa yang terjadi di dalam kamp. Melalui sketsa-sketsa dan vinyet-vinyet lembut, menceritakan kisah seperti manik-manik pada tali untaiannya.