Upload
duongminh
View
325
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH
RAMAH DISABILITAS”
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
No 19 Tahun 2002 TENTANG HAK CIPTA
PASAL 72
KETENTUAN PIDANA SANGSI PELANGGARAN
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu Ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah, atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah.
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU
INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS”
Diselenggarakan Oleh: Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)
Bekerjasama dengan Direktorat PPK-LK, PLB UNY, PLB UM dan PLB UNS
Diterbitkan oleh:
Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS” Editor : Sukinah, M.Pd 1 (satu) jilid; A4 ,,,,,Hal ISBN : 978-602-51896-0-9 Hak Cipta ©2017 pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin mesin fotokopi, tanpa ijin sah dari penerbit Percetakan : Limpatpat media Penyusun : Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) Layout : Dewi Barotuttaqiyah, S.Pd Desain Sampul : Yuli Syafii Setyawan, ST Diterbitkan Oleh : Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI)
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Isi diluar tanggung jawab Penerbit dan Percetaan
KATA PENGANTAR Seminar nasional ini diselenggarakan oleh Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia
(APPKhI) bekerjasama dengan Direktorat PPK-LK, Jurusan PLB FIP UNY dan Jurusan PLB FIP UNS,
mengambil tema “PENDIDIKAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PERLUASAN AKSES DAN PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH RAMAH DISABILITAS”.
Prosiding ini diproses dari kumpulan makalah utama dan pendamping, yang disajikan
berdasarkan fakta dan pemahaman serta masalah-masalah aktual dengan topik Seminar: Pendidikan
Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, Autis, ADD/ADHD, Berkesulitan Belajar, Tunaganda,
Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa, Pendidikan Inklusif, dan Perlindungan anak. Diharapkan
prosiding ini bermanfaat bagi pembaca, stakeholder, peserta dan penulis naskah.
Akhirnya dengan selesainya seminar nasional ini, kami atas nama seluruh panitia
penyelenggara mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi mengikuti seminar secara aktif terutama kepada yang terhormat:
1. Direktur Pembinaan PK-LK Dikdas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2. Dirjen Belmawa Kemenristek Dikti,
3. Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI),
4. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta,
5. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, dan
6. Semua peserta
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, terimakasih dan salam sejahtera untuk semua.
Ketua panitia,
DAFTAR ISI
Kata pengantar .............................................................................................................................. iv
Daftar isi ........................................................................................................................................ v
Pembelajaran Braille Permulaan Bagi Tunanetra Di Slb A Fajar Harapan .................................... 1 Oleh Utomo; Mirnawati
Peningkatan Kemampuan Mendeteksi Jarak Objek Melalui Alat U-Qoserlin .............................. 7 Bagi Penyandang Hambatan Penglihatan Oleh Marlina; Siti Qoniah
Kompetensi Guru Pendidikan Khusus Dalam Seting Sekolah Dasar Penyelenggara .................... 13 Pendidikan Inklusif Oleh Dewi Ratih Rapisa
Pembelajaran Matematika Dalam Setting Pendidikan ................................................................. 22 Inklusif Di Sdn Pasar Lama 3 Banjarmasin Oleh Imam Yuwono; Eviani Damastuti
Stimulasi Perkembangan Anak Tunagrahita Ringan ...................................................................... 31 Melalui Ragam Permainan Tradisional Banjar Oleh Murniyanti Ismail
Asesmen Mengemas Produk Pertanian ..........................................................................................41 Oleh Emay Mastiani
Mengaitkan Inisiatif Sdgs (Sustainable Development Goals) ....................................................... 48 Dengan Sheltered Workshops Berbasis Desa: Difabel Berdaya Di Era Kekinian Oleh Dwitya Sobat Ady Dharma
Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus ..................................................................................... 64 Oleh Isti Rusdiyani
Peran Gpk Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Berkebutuhan Khusus ....................... 75 Pada Sekolah Dasar Inkulsif Di Kota Malang (Studi Deskriptif Di Sd Negeri Kebonsari 1,2 Dan 3) Oleh Wiwik Dwi Hastuti; Endro Wahyuno
Program Pull Out Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ....................................................................... 82 Di Sekolah Inklusi “X” Kota Yogyakarta Oleh Mita Apriyani; Sunardi; Nadya Muniroh
Peningkatan Kemampuan Motorik Kasar Anak Autis Melalui Permainan Bola Bocce .................. 89 Oleh Diajeng Tyas Pinru Phytanza
Pengembangan Media Pembelajaran “Flash Card” Dalam Meningkatkan ................................... 96 Pembendahaaraan Kosa Kata Anak Tunarungu Di Sd Luar Biasa Tuna Rungu Wicara Kota Malang Oleh Agusti Mardikaningsih
Efektivitas Pembuatan Lukisan Plastik Timbul Terhadap Kemampuan ........................................... 103 Motorik Halus Anak Hambatan Intelektual Kategori Sedang Di Slb Erha Semarang Oleh Istiqomah
Pendidikan Inklusi Bagi Anak Gifted ............................................................................................... 114 Oleh Patricia Lestari Taslim
Meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode ................ 120 Global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas ii (penelitian tindakan kelas di SLB BC cempaka putih) Oleh Indina Tarjiah; Isti Haryani
Keterlibatan orangtua dalam tahab awal proses pembelajaran .................................................... 126 Braille untuk anak tunanetra Oleh Ade Koentiatri, Rahmawati Herlina, Ishartiwi
Model Pelatihan Baca Tulis Braille Bagi Guru Di Sekolah Inklusi .................................................... 133 Oleh Muhammad Faris Darussalam, Ishartiwi
Learning Development For Slb Teacher Municipality Bandung .....................................................139 In Improving Mentally Disabled Child’s Vocational Skill Oleh Lilis Suwandari
Membangun karakter sosial emosional ........................................................................................... 148 Calon guru sekolah luar biasa melalui portofolio elektronik Oleh Sinta Yuni Susilawati1*,Umi syafiul Ummah21*, Henry Praherdhiono3*,
Rizq Fajar Pradipta4*
Kajian evaluasi inplementasi pendidikan inklusif di indonesia ....................................................... 168 Oleh Munawir Yusiuf, Erma Kumalasari, Mahardika Supratiwi
Arsy Anggrellanggi
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 1
PEMBELAJARAN BRAILLE PERMULAAN BAGI TUNANETRA DI SLB A FAJAR
HARAPAN
Utomo; Mirnawati
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
e-mail: [email protected]
Abstract: This research aims to understand and describe the learning of Braille reading and
writing the beginning for blind children. This research is done by using qualitative approach.
The type of qualitative research used is descriptive research. The respondents in this research
are the class teachers and the blind students. Data collection techniques used interviews,
observation and documentation. Data analysis techniques use reduction, presentation, and
conclusions. The results showed that learning to read and write the beginning braille using
media in the form of braille alphabet boards used in practicing paleness as pre-braille subjects.
The process of learning implementation begins with memorize alphabet a-z after it introduced
the bronchial alphabet point on students with visual impairment using braille alphabet board
then the child poured into the paper using the reglet on the paper while memorize the point on
each alphabet written. Keywords: learning braille introduction, blind students.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Membaca dan menulis Braille
merupakan salah satu sarana bagi para
penyandang tunanetra buta untuk
memperoleh informasi dan
berkomunikasi dengan orang lain yang
menggunakan dria taktual. Dengan
demikian kepekaan dria taktual
merupakan tuntutan dalam memiliki
kecakapan membaca dan menulis
Braille. Padahal kepekaan dria taktual
bukan merupakan hal yang otomatis
bagi para penyandang tunanetra, tetapi
perlu adanya latihan dan atau
pembelajaran bagi yang bersangkutan.
Membaca dan menulis Braille
permulaan sebagai dasar kecakapan
membaca dan menulis Braille bagi
penyandang tunanetra, perlu diajarkan
di sekolah-sekolah khusus maupun di
sekolah reguler. Keterampilan
membaca dan menulis permulaan harus
segera di kuasai oleh siswa tunanetra
karena keterampilan ini secara langsung
berkaitan dengan seluruh proses
kegiatan belajar mengajar di sekolah
sangat ditentukan oleh penguasaan
kemampuan membaca dan menulis
mereka. Siswa tunanetra yang tidak
mampu membaca dan menulis akan
mengalami kesulitan dalam mengikuti
kegiatan pembelajran untuk semua
mata pelajaran. Siswa tunanetra akan
mengalami kesulitan dalam menangkap
dan memahami informasi yang
disajikan dalam berbagai buku
pelajaran, buku-buku bahan penunjang
dan sumber-sumber belajar tertulis
yang lain. Akibatnya kemajuan
belajarnya juga lamban jika
dibandingkan dengan teman-temannya
yang tidak mengalami kesulitan dalam
membaca dan menulis Braille.
Penguasaan membaca dan
menulis Braille permulaan bagi anak
tunanetra juga dipengaruhi oleh
keaktifan dan kreativitas guru yang
mengajar, dengan kata lain guru
memegang peranan yang strategis
dalam pembelajaran membaca dan
menulis Braille siswa tunanetra.
Peranan strategis tersebutt menyangkut
peran guru sebagai fasilitator,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 2
motivator, sumber belajar, dan
organisasi dalam proses pembelajaran.
Namun demikian apakah para guru
telah melakukan pembelajaran
membaca dan menulis Braille
permulaan dengan tepat, sehingga anak
tunanetra memperoleh pembelajaran
yang berarti atau sebaliknya para guru
mengabaikan asas-asas mengajar
membaca dan menulis Braille
permulaan, sehingga anak tunanetra
tidak cakap membaca dan menulis
Braille.
Sementara itu kondisi obyektif
di lapangan menunjukkan bahwa masih
banyak anak tunanetra yang telah
menduduki sekolah lanjutan, belum
terampil membaca dan menulis Braille.
Oleh karena itu perlu diteliti bagaimana
guru memberikan pembelajaran
membaca dan menulis braille
permulaaan pada sekolah khusus atau
Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Dengan
demikian akan dapat dideskripsikan
tentang pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan bagi anak
tunanetra di Sekolah Luar Biasa
Tunanetra. Berdasarkan permasalahan
di atas, penelitian ini bertujuan untuk
memahami dan mendeskripsikan
pembelajaran membaca dan menulis
Braille permulaan bagi anak-anak
tunanetra.
2. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, penelitian ini di
fokuskan pada pelaksanaan
pembelajaran membaca dan menulis
Braille permulaan pada anak tunanetra
kategori totally blind dan low vision
yang tidak lagi mampu membaca
tulisan awas walaupun telah
menggunakan alat bantu.
3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pelaksanaan pembelajaran
membaca dan menulis Braille
permulaan pada anak tunanetra di SLB
Fajar Harapan?
4. Sub Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana guru melakukan
identifikasi dan asesmen membaca
dan menulis Braille?
b. Bagaimana guru mengajarkan pra-
braille bagi tunanetra?
c. Bagaimana guru menyusun rencana
dalam pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan pada
anak tunanetra di SLB Fajar
Harapan?
d. Bagaimana pelaksanaan
pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan pada
anak tunanetra di SLB Fajar
Harapan?
e. Kendala apa saja yang dihadapi oleh
guru dan anak dalam membaca dan
menulis Braille permulaan di SLB
Fajar Harapan?
f. Upaya apa saja yang dilakukan
untuk mengatasi kendala dalam
pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan pada
anak tunanetra di SLB Fajar
Harapan.
5. Tujuan Penelitian
Setiap aktivitas senantiasa tidak bisa
lepas dari tujuan yang ingin di capai,
begitupun dengan penelitian ini.
a. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis
tentang pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan pada
anak tunanetra di SLB Fajar
Harapan.
b. Tujuan Khusus
Secara spesifik, penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap data
lapangan yang berkaitan dengan
aspek-aspek sebagai berikut:
1) Hal-hal yang dibuat guru dalam
rencana pembelajaran membaca
dan menulis Braille permulaan
pada anak tunanetra di SLB
Fajar harapan.
2) Proses pembelajaran membaca
dan menulis Braille permulaan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 3
pada anak tunanetra di SLB
Fajar Harapan.
3) Kendala yang dihadapi oleh
guru dan anak tunanetra dalam
pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan di
SLB Fajar Harapan.
4) Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala dalam
pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan di
SLB Fajar Harapan.
6. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan
member manfaat sebagai berikut:
a. Sebagai masukan bagi guru tentang
arti penting layanan individu dalam
batas-batas tertentu dalam upaya
mendorong keberhasilan siswa
tunanetra dalam membaca dan
menulis Braille permulaan.
b. Meningkatkan pemahaman anak
tunanetra tentang isi bacaan pada
saat mereka mengikuti pengajaran
membaca dan menulis Braille
permulaan sehingga dapat
mencapai prestasi belajar yang
diharapkan.
METODE
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif.
Adapun jenis penelitian kualitatif yang
digunakan adalah penelitian deskriptif.
Penelitian ini akan mendeskripsikan
kegiatan pembelajaran Braille
permulaan pada siswa tunanetra di SLB
Fajar Harapan.
2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini
adalah segala bentuk informasi baik
berupa ucapan, ataupun tindakan dari
responden terkait pembelajaran Braille
permulaan pada anak tunanetra di SLB
Fajar Harapan. Responden dalam
penelitian ini adalah guru kelas dan
siswa tunanetra itu sendiri.
3. Teknik Pengumpula Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Instrumen utama dalam
penelitian ini adalah panduan
wawancara sedangkan instrumen
tambahan adalah panduan observasi
4. Teknik Analisis Data
Proses analisis data terjadi
secara simultan dan bolak balik yang
artinya dalam proses analisis data
dimulai sejak pengumpulan data sampai
analisis data itu sendiri. Proses analisis
data dapat digambarkan sebagai
berikut:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Pelaksanaan Identifikasi Asesmen
Membaca dan Menulis Braille
Permulaan
Identifikasi dilakukan saat
penerimaan klien di Pusat Sosial Bina
Netra, klien yang kemudian ditemukan
masih berada dalam rentang usia
sekolah maka selanjutnya di alihkan ke
SLB Fajar Harapan untuk mendapatkan
pendidikan dan pembelajaran.
Kaitannya dengan pelaksanaan
identifikasi dan asesmen membaca dan
menulis braille permulaan, guru hanya
mendata apakah anak sebelumnya
sudah bersekolah atau belum, sudah
pernah mendapatkan pembelajaran
Reduksi
Data
Pengumpulan Data
Instrumen
Memajang Data
Prediksi/Penafsiran
Data
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 4
braille atau belum. Informasi yang
diperoleh tersebut selanjutnya dijadikan
bahan masukan untuk melaksanakan
pembelajaran membaca dan menulis
braille permulaan.
2. Pembelajaran Pra Braille
Pembelajaran Pra Braille di
SLB-A Fajar Harapan dilaksanakan
sebelum pembelajaran membaca
menulis braille permulaan hanya saja
belum dilaksanakan secara
komprehensif. Dalam hal ini anak yang
sama sekali belum pernah belajar braille
hanya dilatih meraba permukaan untuk
sensitifitas jemari anak. Adapun untuk
anak tunanetra yang telah mendapatkan
pembelajaran braille sebelum
bersekolah di SLB –A Fajar Harapan
tidak lagi diberikan pembelajaran Pra
Braille.
3. Penyusunan Rencana Pembelajaran
Guru di SLB-A Fajar Harapan
Martapura melaksanakan pembelajaran
Braille permulaan tanpa menyusun
rencana pembelajaran secara
administratif hal ini terjadi karena guru
yang mengajarkan Braille permulaan
saat ini tidak merasa berkewajiban
menyusun rencana pembelajaran
berhubung beliau hanya merupakan
guru bantu yang diperbantukan dari
yayasan.
4. Pelaksanaan Pembelajaran
Membaca dan Menulis Braille
Permulaan
Pembelajaran membaca dan
menulis Braille permulaan di SLB-A
Fajar Harapan tidak terpisah satu sama
lain melainkan saling beriringan.
Adapun tahapan dalam membaca dan
menulis braille permulaan sebagai
berikut:
a. Menghafal abjad awas A-Z. Dalam
hal ini siswa dikenallkan abjad awas
A-Z dengan menghafalkan secara
urut.
b. Mengenalkan titik abjad braille.
Setelah siswa mengahafal abjad
awas secara urut maka selanjutnya
adalah mengenalkan titik abjad
braille dengan menggunakan media
papan abjad braille.
c. Menghafalkan titik abjad braille.
Dengan menggunakan media papan
abjad braille siswa sembari
mengahafalkan titik setiap abjad
braille secara lisan. Misalnya A=titik
1, B=titik 1-2, C=titik 1-3-4,.. dst.
d. Mengenalkan konsep braille baca
dan braille tulis. Konsep membaca
braille berbeda dengan konsep
menulis braille. Menulis braille
dilakukan dari arah kanan ke kiri.
Sedangkan membaca braille sama
halnya dengan membaca awas yaitu
dilakukan dari arah kiri ke kanan.
Untuk dapat membaca braille maka
kertas hasil tulisan braille harus
dibalik terlebih dahulu.
e. Menulis menggunakan reglet. siswa
diajarkan dan dilatih menulis braille
menggunakan reglet dari arah kanan
ke kiri. Pembelajaran menulis ini di
mulai dari menuliskan huruf, setelah
mahir dalam penulisan huruf
kemudian dilanjutkan pada
penulisan suu kata, kata, samapai
pada kalimat sederhana.
f. Membalikkan kertas tulisan braille.
Setelah anak menulis braille
menggunakan reglet pada kertas
maka selanjutnya adalah melatih/
mengajarkan anak bagaimana
membalikkan kertas yang benar.
Siswa selalu diingatkan agar tidak
membolak-balikkan kertas tulisan
braille karena dapat menyulitkan
siswa dalam membalikkan kertas.
Agar anak mudah dalam membaca
tulisan braille pada kertas, maka
dalam hal ini teknik membalikkan
kertas yang diajarkan oleh guru yaitu
membalikkan dari arah kiri ke kanan.
g. Membaca tulisan. Setelah siswa
membalikkan kertas tulisan braille
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 5
maka selanjutnya anak membaca
tulisan braille dengan meraba titik-
titik timbul pada kertas
menggunakan ujung jari. Apa yang
ditulis maka itulah yang dibaca,
maka dalam hal membaca secara
otomatis juga dimulai dari membaca
huruf kemudian suku kata, kata, dan
kalimat sederhana.
5. Kendala dalam Pembelajaran
Membaca dan Menulis Braille
Permulaan Kegiatan pembelajaran di kelas
tidak lepas dari kendala-kendala yang
sering ditemui, begitupun dengan
pembelajaran membaca dan menulis
braille permulaan di SLB-A Fajar
Harapan. Adapun kendala yang ditemui
oleh guru bantu yang membelajarkan
membaca dan menulis Braille
permulaan pada siswa tunanetra di
SLB-A Fajar Harapan terlebih pada
siswa yang malas ke sekolah sehingga
tidak terjadi pembelajaran yang
menyebabkan butuh waktu yang lama
untuk membelajarkan satu materi pada
siswa. Disisi lain siswa yang sulit dalam
kosentrasi juga menjadi kendala bagi
guru dalam mengajarkan membaca dan
menulis braille permulaan.
Pembahasan
Pada umumnya pembelajaran
membaca dan menulis Braille permulaan
menggunakan media berupa papan abjad
braille yang digunakan dalam melatih
perabaan pada siswa tunanetra yang
sebelumnya sama sekali belum pernah
mendapatkan pembelajaran braille.
Pembelajaran membaca dan menulis braille
permulaan diawali dengan mengahapal
abjad a-z setelah itu mengenalkan titik
abjad braille pada siswa tunanetra
menggunakan papan abjad braille
kemudian anak menuangkannya kedalam
tulisan menggunakan reglet pada kertas
sambil menghapalkan titik pada setiap
abjad yang ditulis. Arif (2016) Pengenalan
dan penajaman bahasa tulis akan sangat
mudah dilakukan jika seorang siswa dapat
mahir membaca dan menulis braille.
Pengalaman membaca seorang siswa juga
akan semakin kaya. Berbagai pembelajaran
seperti bahasa asing, pembacaan ayat suci,
dan berbagai pengetahuan lain akan relatif
mudah difahamkan pada siswa dengan
mempergunakan media braille.
KESIMPULAN Pembelajaran membaca dan
menulis braille permulaan di SLB-A
Fajar Harapan dilaksanakan oleh guru
yang diperbantukan dari panti atau
yayasan, tidak ada pembuatan
perencanaan pemebelajaran secara
tertulis yang tertuang dalam bentuk
silabus atau RPP. Pembelajaran
membaca dan menulis Braille
permulaan dilaksanakan berdasarkan
pengalaman guru. Pada umumnya
pembelajaran membaca dan menulis
Braille permulaan menggunakan media
berupa papan abjad braille yang
digunakan dalam melatih perabaan
pada siswa tunanetra yang sebelumnya
sama sekali belum pernah mendapatkan
pembelajaran braille. Pembelajaran
membaca dan menulis braille
permulaan diawali dengan mengahapal
abjad a-z setelah itu mengenalkan titik
abjad braille pada siswa tunanetra
menggunakan papan abjad braille
kemudian anak menuangkannya
kedalam tulisan menggunakan reglet
pada kertas sambil menghapalkan titik
pada setiap abjad yang ditulis, karena
susunan titik pada braille baca dan
braille tulis berbeda maka siswa
diajarkan membalikkan kertas hasil
tulisan reglet agar tidak terbolak balik
yang dapat menyebabkan anak
kesulitan dalam membaca.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 6
DAFTARPUSTAKA
Abbas, Saleh. (2006). Pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar. Jakarta.
Departemen Pendidikan Indonesia.
Anitah, Sri. W dkk. (2007). Strategi
Pembelajaran di SD. Jakarta:
Rineka Cipta.
Barrage, N. 1983. Handicapped and
visually impairment. Texas. Texas
American Company.
Daneman, M. (1988). How Reading Braille
Is Both like and Unlike Reading
Print. Memory and Cognition,
November 1998, 497-504.
Efendi, Mohammad (2009) Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Fitzsimmons, M.K. Beginning Reading.
The Eric Clearinghouse on
Disabilities and Gifted Education
(Eric Ec). Eric/osep Digest #E565,
February 1998
Foulke, E. (1982). Reading Braille.
In W. Schiff & E. Foulke (Eds.),
Tactual Perception: a Sourcebook.
New York: Cambridge University
Press.
Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. (1998).
Exceptional Children : An
Introduction to special education (5
th Ed). New Jersey: Prentice-Hall
Inc.
Hallahan, D.P., Kauffman, J.M. & Pullen,
P.C. (2009). Exceptional Learners
An Introduction to Special
Education. New York: Pearson.
Lowenfelt. Berthold. (1995). Emotional
Growth, The International Journal
For Education Of The Blind. Frank
Fort Avenue. Louis Ville
Kentucky.
Nolan, Y.c. & Kederis, J.c. (1969).
Perceptual Factors in Braille Word
Recognition (Research Series No.
20). New York: American Foundation for
the Blind.
Olson, M.R. & Mangold, S. (1981).
Guidelines and Games for Teaching
Efficient Braille Reading. New
York: American Foundation for the
Blind.
Rudiyati, Sari. (2002). Pendidikan Anak
Tunanetra. Pendidikan Luar Biasa
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta.
Simon, C. & Huertas, J.A.(1998). How
Blind Readers Perceive and Gather
Information Written in Braille.
American Foundation for the Blind.
Journal of Visual Impairment and
Blindness. May 1998, 322-330.
Tampubolon, DP. (1987). Kemampuan
Membaca: Teknik Membaca Efektif
dan Efisien. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. (1984). Membaca
Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur.
(2008). Menulis. Bandung:
Angkasa.
Tarsidi, Didi. (2007). Model Konseling
Rehabilitatif. Bandung: SPS
Universitas Pendidikan Indonesia.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 7
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENDETEKSI JARAK OBJEK
MELALUI ALAT U-QOSERLIN
PADA PENYANDANG HAMBATAN PENGLIHATAN
Marlina & Siti Qoniah
Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang
[email protected] Abstract: This article discusses the improvement of the ability of the person of visually impaired
in detecting object distance through the use of U-Qoserlin tools. This research used R & D
method and continued with experiment. The subject of development experts consists of electrical
engineering experts, orientation and mobility experts, and educational experts. The subject of
the experiment consisted of five (5) the person of visually impaired. The results of the study
show that (1) U-Qoserlin tools are practical, feasible, useful and provide technological insights
for the person of visually impaired; (2) the results of the data with the Mann Whitney test
obtained the results of the smallest Uhit value is 9, and Utab at a significant level of 95% and α =
0.05 for n = 6 that is 5. Thus, U-Qoserlin tool effective in improving the ability to detect solid
object spacing for the person of visually impaired. The implications of this study are that there
should be a test of the effectiveness of U-Qoserlin on the number of the person of visually
impaired more. Keywords: U-Qoserlin tools, object distance detector, the person of visually impaired
PENDAHULUAN
Mata adalah anugerah terindah yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Melalui mata manusia dapat menikmati dan
memahami segala apa yang terjadi di dunia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia pada
survei yang dilakukan pada tahun 2010,
diperkirakan ada 285.389 juta orang di
dunia yang mengalami hambatan
penglihatan. Masalah utama mereka adalah
orientasi dan mobilitas dalam lingkungan
yang tidak mereka kenal. Banyak upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan mobilitas mereka, misalnya
dengan menggunakan teknologi. Banyak
orang dengan gangguan penglihatan serius
menjadi ragu bepergian secara mandiri.
Oleh karena itu, mereka perlu
menggunakan berbagai alat untuk membantu
mobilitas mereka. Hal ini merupakan salah
satu teknik orientasi dan mobilitas yang
membantu orang-orang dengan gangguan
penglihatan untuk bergerak secara mandiri
dengan memanfaatkan sisa indra yang masih
berfungsi. Cara lain yang digunakan untuk
membantu mobilitas penyandang hambatan
penglihatan adalah menggunakan anjing
penuntun (guide dogs) yang dilatih secara
khusus untuk membantu penyandang
hambatan penglihatan dalam bergerak
dengan menavigasi rintangan yang ada
disekitarnya. Namun, cara ini memiliki
keterbatasan seperti sulit memahami arah
gerak anjing dan biaya menggunakan anjing
terlatih ini sangat mahal. Disamping itu, ada
juga penggunaan tongkat putih dengan ujung
tongkat berwarna merah. Tongkat putih
merupakan alat mekanis sederhana yang
digunakan untuk mendeteksi hambatan statis
di lapangan, permukaan, lubang dan
permukaan yang tidak rata melalui umpan
balik gaya taktil yang sederhana. Alat ini
ringan, mudah dibawa, namun jangkauannya
terbatas pada ukuran dan tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi hambatan
dinamis (Pooja Sharma, dkk, 2014). Jika
penyandang hambatan penglihatan tidak
berkonsentrasi penuh maka dapat
membahayakan mereka dalam kegiatan
hidup sehari-hari.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 8
Hasil penelitian kepada beberapa
penyandang hambatan penglihatan yang
dilakukan Qoniah (2016), mereka
mengharapkan adanya alat yang sederhana
yang bisa mendeteksi objek disekitar dan
membantunya dalam kegiatan sehari-hari.
Tongkat putih yang mereka gunakan masih
memiliki kendala dan kejanggalan jika
menyeberang jalan, kendaraan banyak yang
melintas dengan kecepatan tinggi. Mereka
mengharapkan jika di ciptakan alat
pendeteksi objek bagi penyandang hambatan
penglihatan akan memudahkan mereka
dalam melakukan kegiatan sehari-hari, yakni
mudah dibawa kemana-mana, sederhana dan
praktis.
Banyak penelitian yang dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan mobilitas
penyandang hambatan penglihatan yang
mengandalkan pemrosesan sinyal dan
teknologi sensor. Seperti yang dilakukan
Subandi (2009) juga menciptakan alat bantu
mobilitas untuk penyandang hambatan
penglihatan berbasis eletronika, penelitian ini
menghasilkan alat yang mampu mendeteksi
objek hingga jarak maksimal 200 cm. Rahayu
(2010) juga membuat perancangan dan
petunjuk arah serta deteksi jarak benda untuk
penyandang hambatan penglihatan berbasis
mikrokontroler. Penelitian ini menghasilkan
alat yang dapat mendeteksi keberadaan benda
di depan penyandang hambatan penglihatan
dengan output suara berbasis mikrokontroler
serta petunjuk arah mata angin bagi
penyandang hambatan penglihatan.
Tandiongan, dkk (2017) membuat alat
berbasis microcontroller berbasis Arduino
Uno. Alat ini memberikan informasi berupa
estimasi jarak suatu halangan dengan
pengguna dalam bentuk informasi suara dan
getaran, sensor ultrasonic HC-SR04
digunakan sebagai pendeteksi halangan,
informasi berupa suara digunakan modul
mp3 player Catalaex, Indikator halangan
berupa getaran digunakan cell motor
vibrator. Dwiono, dkk (2014) membuat alat
bantu berupa tongkat, informasi yang
diterima pemakai adalah berupa getaran-
getaran yang diterima oleh syaraf-syaraf pada
tangan. Alat ini menggunakan sistem
mikrokontroler yang dilengkapi dengan
sensor jarak, RFID reader, voice database
serta RF wireless link, sehingga diharapkan
dapat diwujudkan alat bantu navigasi
penyandang tuna netra yang efektif serta
mudah dioperasikan, karena informasi yang
diberikan adalah berupa informasi suara
berupa nama tempat dan jarak. Aktanto
(2016) mendesain sebuah alat berupa
Electronic Travel Aids (ETA) yang dapat
mendeteksi halangan pada 3 bagian tubuh
sekaligus yaitu bagian kepala, dada dan kaki.
ETA ini berbasis Mikrokontroler
ATMEGA32 dan menggunakan sensor
ultrasonik HC-SR04. Multi Ultrasonik
Electronic Tavel Aids ini digunakan sebagai
alat pemandu bagi penderita tuna netra.
Berdasarkan beberapa penelitian yang
telah dilakukan tersebut, maka perlu
dikembangkan alat yang lebih praktis dan
simple bernama alat U-Qoserlin yang mampu
mendeteksi objek dengan pengaturan alat
yang divariasikan sesuai dengan jarak dan
terdapat komponen mikrokontroler Atmega8,
sensor ultrasonic type SRF05, buzzer dan
menggunakan baterai. Proses perancangan
alat U-Qoserlin melibatkan alumni
mahasiswa Jurusan Teknik Elektronika
Universitas Negeri Padang. Alat ini
dirancang untuk membantu penyandang
hambatan penglihatan mengetahui kondisi
dan situasi lingkungan, serta jarak objek
dengan menggunakan alat berbasis
elektronik. Adapun tujuan dari artikel ini
adalah: (1) untuk mengetahui tingkat
kepraktisan, kegunaan, dan kelayakan alat U-
Qoserlin yang telah dikembangkan; dan (2)
untuk mengetahui efektivitas alat U-Qoserlin
dalam meningkatkan kemampuan
mendeteksi objek pada penyandang
hambatan penglihatan.
METODE
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan R&D.
Prosedur pengembangan mengacu pada
Sugiyono (2014:298). Hasil akhir dari R&D
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 9
adalah diperoleh alat U-Qoserlin yang
praktis, berguna, dan layak digunakan oleh
penyandang hambatan penglihatan.
Selanjutnya dilakukan eksperimen semu
untuk mengetahui efektifivitas alat U-
Qoserlin dalam mendeteksi jarak objek pada
penyandang hambatan penglihatan.
Subjek Penelitian Ada dua subjek yang dilibatkan, yaitu
subjek ahli dan subjek pengembangan.
Subjek ahli terdiri dari tiga yaitu ahli teknik
(dosen Jurusan Teknik Elektro), ahli
orientasi dan mobilitas (dosen Jurusan
Pendidikan Luar Biasa) dan ahli pendidikan
(dosen Jurusan Teknologi Pendidikan)
untuk menguji praktikalitas, kegunaan, dan
kelayakan alat U-Qoserlin. Ketiga subjek
ini ditetapkan melalui pertimbangan
keahlian dan kualifikasi akademik.
Sedangkan subjek pengembangan terdiri
dari penyandang hambatan penglihatan di
SLB N 2 Padang 2 orang, yaitu 1 laki-laki
dan 1 perempuan, SLB Wacana Asih 2
orang yaitu 2 orang laki-laki, dan 1 orang
laki-laki di SLB Gema Insani. Kriteria
penentuan subjek pengembangan adalah
berdasarkan pertimbangan mengalami
hambatan penglihatan total dan sudah
pernah menggunakan tongkat putih.
Seting, Peralatan, dan Pengukuran Pada tahap pengembangan, penelitian
dilakukan di laboratorium Jurusan
Pendidikan Luar Biasa, sedangkan tahap
pengujian efektivitas alat U-Qoserlin
dilakukan di SLB. Validasi alat U-Qoserlin
dilakukan dengan cara FGD (Focus Group
Discussion), para ahli diminta untuk
memberikan penilaian dan saran terhadap
rancangan alat U-Qoserlin. Validasi ahli
menggunakan angket dengan skala Likert
(antara lain validasi kepraktisan, validasi
kegunaan, dan validasi kelayakan). Hasil
validasi ahli dijadikan sebagai dasar
penyempurnaan alat U-Qoserlin. Pada tahap
eksperimen, dilakukan dengan pengukuran
awal (pretest) dengan menggunakan tongkat
putih, dilanjutkan dengan meminta kelima
subjek pengembangan menggunakan alat U-
Qoserlin dalam melakukan mobilitas,
kemudian dilakukan postest. Ada tiga aspek
yang diukur yaitu kepraktisan, kemampuan
mendeteksi benda di sekitar, dan kemampuan
mendeteksi lingkungan. Selengkapnya
disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Angket Validasi Kepraktisan,
Kegunaan, dan Kelayakan Alat U-Qoserlin
Aspek Kepraktisan Penilaian
SP P KP
1. Tingkat kemenarikkan desain alat untuk
pendeteksi jarak objek
2. Berat produk jika dibawa oleh penyandang
hambatan penglihatan
3. Tingkat kemudahan dalam penggunaan dan
pengoperasionalan
4. Produk berbentuk persegi panjang, nyaman
dalam genggaman
5. Simple dan praktis dibawa bagi pengguna
6. Simple dan praktis jika disimpan di saku,
tas, kotak pensil
7. Produk dapat dicas jika notifikasi sudah
mulai lemah
Aspek Kegunaan Penilaian
SB B KB
1. Ketepatan mengidentifikasi jarak objek
padat lebih dari 1 meter
2. Kemampuan mendeteksi lubang, selokan/
bandar
3. Dapat memberikan notifikasi pada
penyandang hambatan penglihatan jika ada
gundukkan tanah/ tanggul di jalan
4. Membantu mendeteksi jarak objek di tempat
keramaian seperti: di sekolah/ kampus,
ruangan, pasar, stasiun, tempat wisata
5. Kemampuan produk mendeteksi objek padat
di lingkungan baru
Aspek Kelayakan Penilaian
SB B KB
1. Jika pengguna mengarahkan produk ke arah
objek yang tiba-tiba dapat membahayakan
pengguna
2. Membantu penyandang hambatan
penglihatan di jalan yang becek, jalan
berlubang-lubang
3. Kemampuan mendeteksi jarak kendaraan
dengan penyandang hambatan penglihatan
di jalan
4. Mendeteksi objek padat yang menggantung
5. Kemampuan produk memudahkan
penyandang hambatan penglihatan aktivitas
naik turun tangga
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Hasil penelitian pada tahap pertama
yaitu pengembangan alat U-Qoserlin. Alat ini
memiliki beberapa komponen berikut:
1. Mikrokontroller atau pengendali mikro
adalah sebuah komputer kecil (special
purpose computers) di dalam sebuah
IC/chip mikrokontroler terdapat CPU,
memori, timer, saluran komunikasi
serial dan pararel, port input, dan ADC.
Mikrokontroler digunakan untuk
pengendali yang mengatur semua
proses.
2. Sensor Ultrasonik, adalah sebuah alat
listrik yang mempunyai fungsi sebagai
sensor yang bekerja berdasarkan prinsip
pantulan dari sebuah gelombang suara
untuk mendeteksi keberadaan dari suatu
benda atau objek tertentu yang ada di
depannya. Sensor ultrasonik terdiri dari
rangkaian pemancar ultrasonik yang
disebut transmitter dan rangkaian
penerima ultrasonik yang disebut
receiver.
3. Buzzer, adalah sebuah komponen
elektronika yang berfungsi untuk
mengubah getaran listrik menjadi
getaran suara. Prinsip kerja buzzer
hampir sama dengan loud speaker.
Proses pengembangan Alat U-
Qoserlin selanjutnya divalidasi oleh ahli
untuk memperoleh kepraktisan, kegunaan,
dan kelayakan. Adapun proses validasi
disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Alat U-Qoserlin Setelah Revisi
Setelah dilakukan revisi Alat U-
Qoserlin, maka diperoleh spesifikasi dari
Alat U-Qoserlin yang dikembangkan, yaitu:
(1) bentuk persegi panjang; (2) panjang 7,5
cm, lebar 5 cm, tebal 2,6 cm; (3) terdapat
tombol on berwarna putih dan diberi tulisan
braille untuk ditekan pada saat aktivitas
orientasi dan mobilitas; (4) mempunyai 2
sensor ultrasonik; (5) mengeluarkan suara
notifikasi yang cukup keras; dan (6)
menggunakan baterai.
Sedangkan prinsip kerja Alat U-
Qoserlin adalah: (1) pengguna
menghidupkan alat dengan cara menekan
tombol on sekali maka alat akan hidup
selama pengguna menggunakannya; (2) alat
akan berbunyi satu ketukan lambat jika jarak
objek padat dengan pengguna lebih dari 1
meter; (3) jika pengguna mendekati objek
padat dengan jarak lebih dari 1 meter maka
suara notifikasi berbunyi satu ketukan
Aspek yang Direvisi
Revisi Validator Tindak Lanjut
Kepraktisan
Alat U-Qoserlin
1. Desain kurang praktis
karena ukuran terlalu tebal dan sulit jika di
simpan disaku
2. Letak tombol sebaiknya disesuaikan
Disain dipertipis,
diperkecil ukuran dan tombol notifikasi
disesuaikan
Kegunaan Alat U-
Qoserlin
1. Prinsip kerja alat belum jelas
2. Notifikasi alat belum
tepat 3. Prinsip kerja alat
belum jelas
membedakan dan mendeteksi objek
1. Prinsip kerja dibuat secara ringkas dalam
buku pedoman
2. Notifikasi menggunakan tombol
dan huruf braille
3. Dibedakan variasi bunyi sesuai jarak
objek padat
Kelayakan Alat U-
Qoserlin
Alat U-Qoserlin sebaiknya dikhususkan untuk satu
objek
Spesifikasi alat hanya untuk mendekteksi benda
padat
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 11
pertama pembuka; (4) jika pengguna semakin
dekat dengan objek padat diiringi dengan dua
ketukan dengan bunyi yang cepat; (5) jika
alat tidak memberikan notifikasi suara (tanpa
suara) maka artinya pengguna tidak berada di
dekat objek padat.
Hasil penelitian tahap kedua yaitu
ujicoba Alat U-Qoserlin kepada penyandang
hambatan penglihatan yang dilakukan di SLB
N 2 Padang, SLB Wacana Asih Padang, dan
SLB Gema Insani Padang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa diperoleh nilai Uhit
sebesar 7,5 sebagai nilai U yang terkecil yaitu
dengan Utab pada taraf signifikan 95% dan
α=0,05 untuk n=5 yaitu 2. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa alat U-Qoserlin
mampu meningkatkan kemampuan
mendeteksi jarak objek padat pada
penyandang hambatan penglihatan.
Pembahasan
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa Alat U-Qoserlin memiliki nilai
kepraktisan, kegunaan, dan kelayakan
untuk dipakai oleh penyandang hambatan
penglihatan. Setelah dilakukan uji coba
kepada penyandang hambatan penglihatan
diperoleh hasil bahwa Alat U-Qoserlin
mampu meningkatkan kemampuan
mendeteksi jarak objek padat. Hal ini
karena mempunyai desain yang praktis dan
menarik, sebagai alat bantu orientasi dan
mobilitas yang terfokus untuk pendeteksi
jarak objek, memiliki kejelasan pedoman
penggunaan, terdapat tulisan braille pada
alat untuk memudahkan pengguna,
kemudahan dalam mengoperasikan alat,
ringan dan mudah disimpan di saku, dan
meningkatkan rasa percaya diri pengguna.
Setiap produk yang dibuat tentu
memiliki kelebihan dan kelemahan. Bagi
generasi muda yang kreatif, kritis, dan
inovatif yaitu memperbaiki kekurangan
sesuai dengan perkembangan zaman agar
lebih nyaman digunakan. Begitu pula
dengan produk yang peneliti kembangkan
selain kualitas yang dimiliki alat U-
Qoserlin, terdapat pula kelemahan dari
produk yang dikembangkan yaitu: (1)
belum mampu mendeteksi selokan/ bandar;
(2) belum mampu mendeteksi permukaan
yang licin; (3) hanya bisa mendeteksi jarak
objek yang telah diprogramkan; (4) belum
mampu mendeteksi medan jalan disekitar.
Hasil refleksi yang diperoleh melalui
wawancara pada panyandang hambatan
penglihatan mengenai alat bantu mobilitas
pada tongkat manual yaitu tidak berbasis
elektronik, kurang praktis dalam penggunaan
dan mengurangi rasa percaya diri bagi
penyandang hambatan penglihatan. Hasil
penelitian pengembangan dari uji coba alat
U-Qoserlin telah dideskripsikan kualitas dan
kelemahan tersendiri bagi alat U-Qoserlin.
Setelah dilakukan uji coba pemakaian kepada
penyandang hambatan penglihatan di tiga
sekolah SLB N 2 Padang, SLB Wacana Asih
dan SLB Gema Insani produk yang peneliti
kembangkan bisa diterima dengan baik dan
membantu orientasi dan mobilitas.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari
temuan penelitian ini, adalah berdasarkan
tahapan pengembangan dan tahap revisi
produk yakni perbaikan produk sesuai saran
dari para validator ahli terkait, bahwa alat U-
Qoserlin sudah praktis karena mempunyai
desain yang portable, berguna dan layak bagi
penyandang hambatan penglihatan, mampu
mendeteksi jarak objek padat, serta
menambah wawasan penyandang hambatan
penglihatan tentang alat bantu mobilitas
berbasis elektronik. Oleh karena itu,
disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan perangkat yang berbeda,
lebih efektif dan efesien dalam segala kondisi
dan situasi bagi penyandang hambatan
penglihatan.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih yang mendalam ditujukan
kepada:
1. Yudi dan Delvi yang telah membantu
mendesain dan merakit alat pendeteksi
jarak objek bagi penyandang hambatan
penglihatan.
2. Subjek pengembangan validator ahli
bidang teknik (Asnil, S.Pd., M.T),
validator ahli bidang orientasi dan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 12
mobilitas (Drs. Ganda Sumekar) serta
validator ahli teknologi pendidikan (Dr.
Irdamurni, M.Pd) yang sudi untuk
menvalidasi produk pendeteksi jarak
objek.
DAFTAR PUSTAKA
Aktanto, M. (2016). Multi Ultrasonic
Electronic Travel Aids (MU-ETA)
sebagai Alat Bantu Penunjuk Jalan
bagi Tuna Netra. Biosains, 18(2).
Dwiono, W., Posma, S. N., & Gunawan, A.
(2014). Embedded System
Application for Blind People
Navigation Tool. Indonesian
Journal of Electrical Engineering
and Computer Science, 12(8), 6083-
6087.
Purnomo, B. (2017). Rancang Bangun
Tongkat Ultrasonik untuk
Penyandang Tuna Netra Berbasis
Arduino Uno. Jurnal Teknik, 6(1).
Qoniah, S. (2016). Pengembangan Alat U-
Qoserlin Yuqon Sensor for the
Blind untuk Pendeteksi Jarak Objek
(Research and Development).
Skripsi Tidak Diterbitkan. Padang:
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Padang.
Rahayu, T. M. (2010). Perancangan dan
Pembuatan Penunjuk Arah serta
Deteksi Jarak Benda untuk
Tunanetra dengan Output Suara
Berbasis Mikrokontroler. Jurnal
Neutrino, 3(1).
Saputra, A., S. Endrian., F. N. Imron.
(2015). Tongkat Pemandu
Tunanetra Menggunakan Sensor
Ultrasonik Berbasis Mikro
kontroler Arduino.
http://news. palcomtech.com/wp-
content/uploads/downloads/2015/1
2/Jurnal_Aris_Endrian_Imron_Ton
gkat Pemandu Tuna netra
Menggunaan Sensor Ultrasonik
Berbasis Mikrokontroler Arduino.
pdf. Diakses 26 Juni 2017.
Sharma, P., SL, M. S., & Chatterji, S. (2014).
Design of Microcontroller Based
Virtual Eye for the Blind.
International Journal of Scientific
Research Engineering & Technology
(IJSRET), 3(8).
Subandi. (2009). Alat Bantu Mobilitas untuk
Tunanetra Berbasis Elektronik.
Jurnal Teknologi, 2(1).
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Tangdiongan, R. C., Allo, E. K., & Sompie,
S. R. (2017). Rancang Bangun Alat
Bantu Mobilitas Penderita Tunanetra
Berbasis Microcontroller Arduino
Uno. E-Journal Teknik Elektro dan
Komputer, 6(2), 79-86.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 13
KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN KHUSUS DALAM SETING SEKOLAH
DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF
Dewi Ratih Rapisa
Pendidikan Luar Biasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
e-mail: [email protected]
Abstract:
Professional Competences of Special Education Teacher contained in The Regulation Of
The Minister Of National Education Number 32 Year 2008 about Academic Qualification
and Special Education Teacher Competence Standard gives implications that the special
education teacher should have readiness and skills to be the profession as a competent
Special Education Teacher. The implementation of special education service in segregation
setting surely different with inclusive education. This matter will be a big challenge if the
Special Education Teachers still confused to run the main tasks and their authorities. This
research contained how the Special Education Teacher’s competence in primary school with
inclusive education setting. This research use qualitative approach with analytic descriptive
type. Data collection technique on the study was interview and documentation study. The
result shows that substantion competence must be owned and needed within inclusive school
setting of the special education teacher in the learning process to support the inclusive school
system. Keywords: Special Education Teacher, inclusive education
PENDAHULUAN
Pada saat sekarang ini pola pelayanan
pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan adalah
pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan khusus
yang mensyaratkan anak berkebutuhan
khusus (ABK) belajar di sekolah terdekat di
kelas reguler bersama teman-teman
seusianya.
Di dalam penelitian Utin (2006)
mengemukakan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu pendidikan inklusif,
bahwa : “Upaya untuk meningkatkan
pelayanan dan mutu pendidikan serta
tanggung jawab bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolah reguler, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi antara lain :
kurikulum, sarana-prasarana, tenaga
kependidikan dana, manajemen,
lingkungan, dan kegiatan belajar-belajar-
mengajar. Dari faktor-faktor tersebut pada
jenjang sekolah dasar, peranan tenaga
kependidikan, khususnya guru merupakan
faktor yang paling menentukan.”
Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun
2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru
Pendidikan Khusus pasal 1 antara lain
dijelaskan bahwa, (1) guru pendidikan
khusus adalah tenaga professional, dan (2)
guru pendidikan khusus adalah tenaga
pendidik yang memenuhi kualifikasi
akademik, kompetensi dan sertifikasi bagi
peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, sosial dan
atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa
pada satuan pendidikan khusus, satuan
pendidikan umum, dan atau satuan
pendidikan kejuruan.
Selaras dalam penelitian Dede
Nurmayanti (2007) yang mengemukakan
bahwa : “Kebijakan pemerintah berkenaan
dengan adanya GPK merupakan dukungan
strategis dalam penyelenggaraan layanan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 14
pendidikan inklusif. Dikatakan strategis
karena peran GPK terasa sangat
dibutuhkan, terutama di sekolah-sekolah
yang menyelenggarakan pendidikan
inklusif.”
Sistem penyelenggaraan layanan
pendidikan khusus dalam seting segresasi
tentu berbeda dengan pendidikan inklusif.
Hal ini tentu akan menjadi tantangan yang
cukup berat jika para calon GPK tidak
berusaha untuk meningkatkan
kompetensinya secara independen.
Sehingga, ketika dihadapkan untuk
menjawab tantangan di lapangan, maka
sebagian besar guru pendidikan khusus ini
cenderung menjadi ‘gagap’ dalam
menjalankan tugas pokok dan
wewenangnya sebagai GPK yang
profesional.
Berdasarkan masalah yang terjadi di
lapangan tersebut, untuk itulah peneliti
tertarik untuk melakukan eksplorasi
mengenai kompetensi GPK yang
seharusnya dimiliki dan dibutuhkan dalam
seting sekolah inklusif, sehingga masalah
dapat diselesaikan dengan jelas.
Untuk itulah, maka penelitian ini
dilakukan dengan harapan dapat
memberikan gambaran kondisi objektif
mengenai tugas pokok dan wewenang GPK
dalam seting sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif, sehingga dapat
memformulasikan kompetensi GPK dalam
seting sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif, dengan merujuk pada
kondisi objektif mengenai tugas pokok dan
wewenang GPK dalam seting sekolah
inklusif.
METODE Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, dengan metode
deskriptif-analitik, yaitu dengan data yang
diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil
wawancara, hasil pemotretan, analisis
dokumen, catatan lapangan, disusun
peneliti di lokasi penelitian, tidak
dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.
Peneliti segera melakukan analisis data
dengan memperkaya informasi, mencari
hubungan, membandingkan, menemukan
pola atas dasar data aslinya (tidak
ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil
analisis data berupa pemaparan mengenai
situasi yang diteliti yang disajikan dalam
bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan
data pada umumnya menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu
fenomena terjadi.
Menurut Keirl dan Miller dalam
Moleong (1991) yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan
pada manusia pada kawasannya sendiri,
dan berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasanya dan
peristilahannya.
Lokasi yang diambil dalam
penelitian ini adalah sekolah dasar (SD)
yang berada di kota Bandung, diantaranya
adalah SD A dan SD B. Pertimbangan yang
diambil bahwa SD tersebut telah memiliki
komitmen untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif dan memiliki GPK
sebagai salah satu sistem dukungannya.
Ada pun yang menjadi informan yang
diperlukan dalam penelitian ini antara lain
yaitu Guru Pendidikan Khusus, Guru
Reguler, Guru Pendamping, Kepala
Sekolah dan Orang Tua.
Pada tahap penelitian ini dapat
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap I
Eksploasi, Tahap II Menyusun Draft
Formulasi Kompetensi Guru Pendidikan
Khusus dalam seting Sekolah Dasar
Penyelenggara Pendidikan Inklusif dan
Tahap III Validasi menggunakan metode
studi Delphie. Metode Studi Delphi adalah
suatu cara untuk mendapatkan consensus
diantara para pakar melalui pendekatan
intuitif.
Analisis data dalam penelitian
kualitatif kali ini menggunakan metode
analisis data induktif, yaitu berangkat dari
kenyataan khusus-konkrit-empirik untuk
memperoleh sesuatu yang umum dan
abstrak. Analisis data dilakukan untuk
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 15
dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Berikut ini akan diuraikan secara
detail hasil penelitian sesuai dengan
pertanyaan penelitian :
1. Kondisi Objektif Tugas Pokok Guru
Pendidikan Khusus dalam seting
Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusif
a. Tugas Pokok GPK dalam Melakukan
Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran
merupakan suatu prosedur kegiatan yang
direncanakan peserta didik secara
sistematika dalam hubungannya dengan
proses belajar mengajar atau pembelajaran
bagi peserta didik berkebutuhan khusus dan
menjadi acuan bagi guru untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Berikut ini
merupakan deskripsi mengenai kegiatan
perencanaan pembelajaran yang telah
dilakukan oleh GPK di sekolahnya masing-
masing.
Tabel 1. Tugas Pokok GPK dalam
Melakukan Perencanaan Pembelajaran
N
o Indikator
Deskripsi
SD A SD B
1. Kemampuan melakukan
Identifikasi
GPK melakukan identifikasi pada
kegiatan awal
yang akan menentukan atau
menetapkan
identitas (ciri-ciri
atau keadaan
khusus) calon peserta didik.
Kegiatan
identifikasi berkolaborasi
dengan psikolog
sekolah dan GR. Dalam kegiatan
ini akan diperoleh
data identitas peserta didik yang
teridentifikasi
berkebutuhan khusus untuk
diasesmen lebih
lanjut, sehingga
peserta didik yang
teridentifikasi
Secara umum sasaran
identifikasi
adalah seluruh peserta didik
pada saat proses
penerimaan
peserta didik
baru akan masuk ke SD
baik pada
masuk kelas 1 SD atau peserta
didik pindahan
dan peserta didik yang
selama proses
pembelajaran berlangsung.
Dalam hal ini,
GPK hanya berkolaborasi
dengan GR saja,
namun peran
GPK jauh lebih
kompleks dalam
berkebutuhan
khusus akan mendapatkan
pelayanan
pendidikan yang bersifat khusus.
mengidentifikas
i mencakup identitas
perserta didik,
riwayat kehamilan,
riwayat
kelahiran, riwayat penyakit
perserta didik,
riwayat perkembangan
perserta didik,
profil psikologis serta hasil
pemeriksaan
kesehatan perserta didik
dan sebagainya.
2. Kemampuan
melakukan Asesmen
GPK
mengumpulkan informasi yang
akan
dipergunakan untuk membuat
program pembelajaran
yang disesuaikan
dengan hambatan,
kemampuan dan
kebutuhan belajar peserta
didik. Untuk
melakukan asesmen GPK
menggunakan alat
asesmen yang sudah baku
(asesmen formal)
atau alat asesmen buatan sendiri
(asesmen
informal). Dalam asesmen informal,
GPK
mengembangkan alat asesmen
sendiri. Alat
asesmen ini disesuaikan
dengan
kurikulum.
GPK
melakukan asesmen sesuai
dengan aspek
yang akan diasesmen
dalam waktu dan di tempat
tertentu. Waktu
yang digunakan dalam
melakukan
asesmen disesuaikan
dengan alat
yang dikembangkan
serta
disesuaikan dengan
kemampuan
peserta didik dalam
memusatkan
perhatian sesuai usianya. Dalam
pelaksanaan
asesmen, GPK berusaha
menciptakan
ruangan atau tempat asesmen
yang kondusif.
Tempat asesmen telah
dikondisikan
untuk meminimalisir
hal-hal yang
dapat mengganggu
perhatian
peserta didik sehingga
tempat asesmen
itu menjadi nyaman dan
menimbulkan
rasa nyaman bagi peserta
didik.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 16
3. Kemampuan
membuat Perencanaan
Program
Pembelajaran
Berdasarkan data
hasil asesmen, GPK
mengembangkan
progran intervensi, yang
di dalamnya
mencakup antara lain tujuan,
pendekatan dan
prosedur, lingkup materi dan
evaluasi. Program
intervensi ini dikemas dalam
bentuk Program
Pembelajaran Individual
(Individualized
Educational program). PPI
terdokumentasika
n dengan cukup baik.
Dalam membuat
perencanaan program
pembelajaran,
GPK menetapkan
bidang-bidang
atau aspek problema belajar
yang akan
ditangani, menetapkan
pendekatan
pembelajaran yang akan
dipilih termasuk
rencana pengorganisasia
n peserta didik,
dan menyusun Program
Pembelajaran
Individual (PPI). Namun, GPK
belum memiliki
sistem dokumentasi
yang cukup
baik.
b. Tugas Pokok GPK dalam
Melaksanakan Pembelajaran
Berikut ini merupakan deskripsi
mengenai kegiatan pelaksanaan
pembelajaran yang telah dilakukan oleh
GPK di sekolahnya masing-masing.
Tabel 2. Tugas Pokok GPK dalam
Melaksanakan Pembelajaran
No Indikator Deskripsi
SD A SD B
1. Kemampuan
Mengelola
Proses Pembelajaran
Dalam
pengelolaan kelas,
GPK yang menentukan
penempatan kelas
peserta didik yang
sudah diasesmen.
GPK menentukan
ruang kelas sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Selanjutnya, GPK pula yang
menentukan cara
pengorganisasian peserta didik agar
setiap peserta
didik dapat terlihat secara
aktif dalam
kegiatan belajar mengajar, baik itu
secara individual,
berpasangan
dengan temannya,
Belum
ditemukan
sistem yang efektif untuk
melakukan
kolaborasi
antara GPK,
GR dan GR
dalam melakukan
modifikasi
kurikulum. Situasi
tersebut
menjadi berdampak
negatif
terhadap peserta didik
berkebutuhan
khusus ketika jumlah GP
terbatas
sehingga fokus
layanan berada
dalam kelompok
kecil, dan atau klasikal. Di dalam
kelas terdapat
peserta didik dengan
kemampuan
beragam, GPK berkerjasama
dengan GR dan
GP untuk berupaya
menciptakan
stategi pembelajaran dan
materi yang cocok
yang dapat mengakomodasi
semua
keberagaman tersebut.
pada guru
reguler/kelas dengan
penerimaan dan
penguasaan ketrampilan
mengajar
peserta didik yang beragam
masih
bervariasi.
c. Tugas Pokok GPK dalam melakukan
Evaluasi Pembelajaran
Berikut ini evaluasi pembelajaran
dideskripsikan berdasarkan 3 indikator
yang tampak di lapangan, yaitu : 1)
Evaluasi proses, 2) Evaluasi akhir, dan 3)
Evaluasi kinerja GP. Berikut ini merupakan
deskripsi mengenai kegiatan evaluasi
pembelajaran yang telah dilakukan oleh
GPK di sekolahnya masing-masing.
Tabel 3. Tugas Pokok GPK dalam
melakukan Evaluasi Pembelajaran
No Indikator Deskripsi
SD A SD B
1. Evaluasi Proses
Belajar
Kolaborasi antara GPK, GR dan GP
sudah melakukan
berbagai strategi penilaian dalam
program
pembelajaran untuk menyediakan
berbagai jenis
informasi tentang hasil belajar peserta
didik. Semua guru
sudah mempertimbangkan
berbagai kebutuhan
khusus peserta didik.
GPK sudah mengembangkan
dan
menyediakan sistem
pencatatan yang
bervariasi dalam pengamatan
kegiatan belajar
peserta didik. Hal ini dilakukan
berkerjasama
dengan GP yang mencatat laporan
perkembangan
harian. Selama proses
pembelajaran,
penilaian kelas dapat dilakukan
dengan cara tertulis, lisan,
produk
portofolio, unjuk kerja, proyek dan
tingkah laku,
namun dengan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 17
tetap
menyesuaikan kondisi peserta
didik tersebut.
2. Evaluasi
Akhir
GPK berkerjasama
dengan GR dalam menentukan konten
soal tes formatif
GPK
berkerjasama dengan GP
dalam
menentukan konten soal tes
formatif
3. Evaluasi Kinerja
GP
GPK sebagai koordinator dan
berwenang untuk
manajemen pengelolaan sumber
daya GP. Ada
pertemuan rutin
sebulan sekali
untuk melakukan
konsolidasi bersama GP.
Adapun agenda
yang ada dalam pertemuan tersebut,
biasanya sharing
moment dan case conference disertai
strategi penanganan
peserta didik yang berkebutuhan
khusus.
Keterlibatkan GP masing-masing
bertanggung
jawab terhadap peserta didik
yang
membutuhkan
layanan
individual. GP
selalu berkoordinasi
dengan GPK dan
melaporkan setiap
perkembangan
anak.
2. Kondisi Objektif Wewenang Guru
Pendidikan Khusus dalam Sistem
Dukungan pada seting Sekolah Dasar
Penyelenggara Pendidikan Inklusif
a. Wewenang GPK dalam memberikan
Dukungan terhadap Peserta Didik
Berikut ini merupakan deskripsi
mengenai kewenangan GPK sebagai salah
satu sistem dukungan terhadap peserta
didik di sekolahnya masing-masing.
Tabel 4. Kompetensi GPK dalam
memberikan Dukungan terhadap
Peserta Didik
No Indikator Deskripsi
SD A SD B
1. Kurikulum Modifikasi kurikulum disusun
berdasarkan
layanan konsultasi yang telah
dilakukan GPK.
Namun kurikulum tersebut masih
harus diketahui dan
disetujui dengan penanggungjawab
bagian kurikulum
di sekolah.
GPK memiliki hak prerogatif
untuk menyusun
kurikulum yang adaptif dan
akomodatif bagi
peserta didik yang
berkebutuhan
khusus.
2. Sarana
Prasarana
Kondisi
infrastruktur sekolah belum
cukup adaptif bagi
peserta didik yang memiliki hambatan
fisik. Namun, GPK
dapat mengakomodasi
terfasilitasinya
sarana prasarana sebagai bentuk
kompensasinya.
Contoh, kursi roda dapat diakomodasi
dengan kursi yang
memiliki roda yang cukup aksesibel
untuk mobilitas
peserta didik tersebut.
GPK belum
dapat mengadvokasi
isu aksesibilitas
karena belum sesuai dengan
kebutuhan
lapangan. Namun
demikian, GPK
telah membantu tersedianya
ruangan khusus
untuk layanan individual dan
media
pembelajaran yang
disesuaikan
dengan program pembelajaran.
b. Wewenang GPK dalam memberikan
Dukungan terhadap Guru
Berikut ini merupakan deskripsi
mengenai kewenangan GPK sebagai salah
satu sistem dukungan terhadap guru di
sekolahnya masing-masing.
Tabel 5. Kompetensi GPK dalam
memberikan Dukungan terhadap Guru
No Indikator Deskripsi
SD A SD B
1. Pengembangan Sumber Daya
Manusia
GPK memfasilitasi
terselenggaranya
case conference dalam rangka
membahas
masalah peserta didik. Selain itu,
GPK dapat
memberikan rekomendasi
kepada KS untuk
melakukan studi banding ke
sekolah inklusif lainnya
khususnya ke
layanan semacam unit
stimulasi anak.
GPK secara berkala dan
bergilir
membagi kesempatan
kepada GP
untuk mengikuti
kegiatan-
kegiatan yang dapat
meningkatkan
kompetensi. GPK memiliki
kebijaksanaan untuk
memberikan
fleksibilitas jam kerja bagi
GP yang
sedang melanjutkan
pendidikan.
2. Pengembangan
Program Pembelajaran
GPK
berkolaborasi dengan GR dan
GP dalam
mengembangkan kurikulum
peserta didik
berkebutuhan khusus. Dalam
kondisi tertentu,
GPK
membantu dalam
pengelolaan
kelas, seperti menentukan
jenis
pendampingan, posisi duduk,
dan kurikulum
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 18
GPK dapat
menjadi staff substitute ketika
GR atau pun GP
berhalangan tugas.
modifikasi.
Selain itu, GPK memfasilitasi
parent support
groups untuk mendukung
kemajuan
perkembangan belajar peserta
didik.
3. Formulasi Kompetensi Guru
Pendidikan Khusus dalam seting
Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusif
Berdasarkan data dari hasil penelitian
mengenai kondisi objektif tugas pokok dan
wewenang GPK tersebut, bahwa
kompetensi yang substansi dibutuhkan dan
sebaiknya dimiliki GPK dalam seting
sekolah dasar penyelenggara pendidikan
inklusif yaitu ada pada domain kompetensi
dalam pembelajaran dan kompetensi dalam
sistem dukungan sekolah inklusif. Oleh
karena itu, maka dapat diformulasikan
kompetensi guru pendidikan khusus dalam
seting sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif, sebagai berikut.
Tabel 6. Formulasi Kompetensi Guru
Pendidikan Khusus dalam seting
Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusif
Domain Sub Domain
A. Kompetensi GPK dalam
Pembelajaran
1. Mampu membuat Perencanaan, yang terdiri dari:
a. Mampu melakukan
Identifikasi
b. Mampu melakukan Asesmen
c. Mampu membuat
Perencanaan Program Pembelajaran
2. Mampu melakukan
Pelaksanaan, yang terdiri dari:
a. Mampu melakukan Pengelolaan Proses
Pembelajaran
b. Mampu melakukan
Evaluasi, yang terdiri dari:
c. Mampu melakukan
Evaluasi Proses belajar
d. Mampu melakukan Evaluasi Akhir
e. Mampu melakukan
Evaluasi Kinerja Guru Pendamping
B. Kompetensi GPK
dalam Sistem
1. Mampu memberikan Dukungan
terhadap Peserta Didik
Dukungan
Sekolah Inklusif
Berkebutuhan Khusus, yang
terdiri dari:
a. Mampu memberi
dukungan dalam hal Kurikulum
b. Mampu memberi
dukungan dalam hal Sarana dan Prasarana
2. Mampu memberikan Dukungan
terhadap Guru, tang terdiri dari:
a. Mampu memberi dukungan dalam hal
Pengembangan Sumber
Daya Manusia
b. Mampu memberi
dukungan dalam hal
Pengembangan Program
Pembelajaran
3. Mampu memberikan Dukungan
kepada Sekolah dalam Membangun Sistem, yang
terdiri dari:
a. Mampu memberikan
masukan
b. Mampu membangun
jaringan
c. Mampu mengakomodasi kebutuhan sekolah
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dideskripsikan tersebut, kemudian
diinterpretasikan dan diberi makna dengan
cara menafsirkan dan mengadakan
keterkaitan konteks, kajian pustaka dan
membangun konsep pemahaman-
pemahaman baru.
Pada substansinya, eksistensi GPK
dalam sekolah reguler adalah membantu
GR untuk dapat menciptakan pembelajaran
yang inklusif. Pernyataan ini cukup
beralasan, karena sekolah reguler dapat
memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada semua peserta didik untuk belajar
bersama kepada semua keberagaman
peserta didik termasuk didal mnya ABK.
Disamping itu, GPK mempunyai
pengalaman dalam menghadapi
keberagaman anak.
Befring (Johnsen dan Skjorten :
2003) mengemukakan bahwa secara
spesifik, GPK dilatih untuk berasumsi
bahwa setiap individu mempunyai
karakteristik yang unik yang membutuhkan
bantuan tertentu dalam proses
pembelajarannya. Peran dari GPK dalam
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 19
sekolah reguler adalah memberikan
kesempatan pada ABK untuk
memaksimalkan potensi yang dimilikinya,
membantu GR agar dapat menciptakan
pembelajaran yang inklusif dan berusaha
untuk mengurangi permasalahan dalam
belajar. Upaya yang dapat dilakukan oleh
GPK dapat memberikan intervensi kepada
ABK, sehingga peserta didik mampu
mengatasi hambatan dalam belajar.
Kehadiran GPK di sekolah tentunya
mempunyai tidak bermaksud
mengintervensi semua otoritas GR, namun
sebatas memberikan dukungan jika
diperlukan dalam membantu hambatan dan
kesulitannya baik GR maupun ABK.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh U.S Office of Special
Education Program (2001) dalam Arif
(2005) ditemukan bahwa keberhasilan GR
dalam menangani ABK tidak terlepas dari
dukungan dan dukungan GPK.
1) Kondisi Objektif Tugas Pokok Guru
Pendidikan Khusus dalam
Pembelajaran pada seting Sekolah
Dasar Penyelenggara Pendidikan
Inklusif
Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) menyatakan standar
proses merupakan salah satu SNP untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah
yang mencakup: 1) Perencanaan proses
pembelajaran, 2) Pelaksanaan proses
pembelajaran, 3) Penilaian hasil
pembelajaran, 4) dan pengawasan proses
pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti membuat konklusi bahwa dalam
domain kompetensi GPK dalam
pembelajaran mencakup sub domain, yaitu
: 1) Kompetensi dalam membuat
perencanaan pembelajaran, 2) Kompetensi
dalam melaksanakan pembelajaran, dan 3)
Kompetensi dalam melakukan evaluasi.
2. Kondisi Objektif Wewenang Guru
Pendidikan Khusus dalam seting
Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusif
Bern (1997) dalam Budiyanto
(2005) menyebut bahwa pendidikan
inklusif merupakan filosofi pendidikan
yaitu bagian dari keseluruhan. Artinya
kita merupakan bagian dari keseluruhan
dari sistem yang ada sehingga tidak
ada alasan untuk memisah-misahkan,
apalagi mengisolasi salah satu bagian
dari keseluruhan sistem tersebut.
Sedangkan Stainback dan Stainback
(1990) menyebutkan bahwa sekolah
inklusi merupakan sekolah yang
menampung semua peserta didik di
kelas yang sama dengan layanan
pendidikan yang disesuaikan
kemampuan dan kebutuhan peserta
didik. Dengan demikian, maka sekolah
juga harus merupakan tempat setiap
anak diterima menjadi bagian dari kelas
serta saling membantu dengan guru dan
teman sebayanya agar kebutuhan
individualnya terpenuhi.
3. Formulasi Kompetensi Guru
Pendidikan Khusus dalam seting
Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusif
a. Kompetensi GPK dalam Pembelajaran
Pada umumnya ada beberapa cara
yang dapat dipakai dalam kelas umum
untuk mendukung proses pembelajaran
bagi ABK (Benor, 1997; Special Education
Service, 2006), seperti:
1) Memberikan guru khusus pada anak
sesuai kebutuhannya, misalnya terapis
okupasi untuk anak dengan gangguan
sensori motorik, atau guru piano untuk
anak berbakat musik.
2) Pembetulan kesalahan dengan segera
setelah kesalahan terlihat (diadakanya
pembelajaran remedial agar anak
paham dan mapu melanjutkan kemateri
selanjutnya).
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 20
3) Mengadaptasi, memodifikasi, atau
memberikan materi/kurikulum khusus,
sesuai dengan kemampuan anak.
4) Mengajarkan strategi yang efektif
dalam pembelajaran, seperti membuat
jembatan keledai, membuat
pembelajaran untuk menghafal.
Penambahan waktu atau
mengurangi jumlah soal yang akurat dalam
melakukan penilaian seperti dari waktu 1
jam bisa digunakan untuk mengerjakan 10
soal kita kurangi menjadi 5 soal untuk anak
ABK. Pentingnya komunikasi antara GP,
OT, GR dan KS dalam semua tindakan
yang akan dilakukan oleh GP untuk
mengembangkan pembelajaran dan
kemampuan peserta didik dalam belajar dan
sosialisasi. Jangan sampai GP bertindak
tanpa mengkomunikasikan terlebih dahulu
dan hanya mementingkan keperluan
pribadinya saja. Karena semua tindakan GP
akan menjadi gambaran dari kinerja dan
mempengaruhi kemampuan peserta didik.
b. Kompetensi dalam Sistem Dukungan
Sekolah Inklusif
Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa :
“ (…) Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta
didik yang berkelainan atau peserta didik
yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa
satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah”.
Kemudian pada Pasal 441 Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, menyebutkan
bahwa : “Setiap satuan pendidikan yang
melaksanakan pendidikan inklusif harus
memiliki tenaga kependidikan yang
mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan
kebutuhan khusus”.
Pernyataan tersebut di atas telah
menunjukkan kesungguhan upaya
pemerintah dalam mengimplementasikan
pendidikan inklusif yang perlu
ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan
dan pedoman-pedoman teknik serta
serangkaian kegiatan yang dapat
mendukung implementasi pendidikan
inklusif.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Tugas pokok GPK dalam seting SD
penyelenggara pendidikan inklusif,
substansinya dalam domain kompetensi
pembelajaran.
2. Wewenang GPK dalam seting SD
penyelenggara pendidikan inklusif,
substansinya dalam domain kompetensi
sistem dukungan sekolah inklusif.
Kedua domain kompetensi tersebut
merupakan kompetensi yang substansi
dibutuhkan dan seharusnya dimiliki GPK
dalam eksistensinya di seting sekolah
inklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi. (1999). Kerangka Konseptual
Mutu Pendidikan dan Pembinaan
Kemampuan Profesional Guru.
Jakarta: Candimas Metropole.
Befring, Edvard,2001, The Enrichment
Perspective: A Special Educational
Approach to an Inclusive
School.Article in Johnsen, Berit H.
& Skjørten, Miriam, D. (ed).
Education-Special Needs
Education: An Introduction. Oslo,
Unipub.
Budiyanto,2005, Pengantar Pendidikan
Inklusif Berbasis Budaya
Lokal,Jakarta : Depdiknas
Dede Nurmayanti. (2007). Peran Guru
Pendamping Khusus dalam
Memberikan Layanan Pendidikan
terhadap Siswa Berkebutuhan
Khusus di Sekolah Reguler. Skirpsi
Sarjana pada Pendidikan Luar Biasa
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 21
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung : tidak diterbitkan.
Direktorat PLB. (2004), Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu/Inklusi, Buku 4,
Pengadaan dan Pembinaan Tenaga
Kependidikan, Jakarta, Direktorat
Pendidikan Luar Biasa Dirjen
Dikdasmen.
Lexy J Moleong. (1991). Metode Penelitian
Kualitatif.: edisi revisi. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Majmudin. (2003). Kompetensi Pedagogik
Guru Indonesia [OnLine]. Tersedia:
Www.Google/Kompetensi/Kompet
ensi Pedagogik Guru Indonesia.
com [29 Mei 2012].
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru Pendidikan
Khusus.
Stainback,W. & Sianback, S. (1990).
Support Networks for Inclusive
Schooling: Independent Integrated
Education. Baltimore: Paul H.
Brooks.
Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe.
(1993). Competence at Work:
Model for Superrior Performance.
John Willy & Son, Inc: New York,
USA.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Utin Kurnaedi. (2006). Peranan Guru
Pembimbing Khusus di Sekolah
Dasar Berbasis Inklusif (Penelitian
Deskriptif tentang Peran Guru
Pembimbing Khusus di Sekolah
Dasar Berbasis Inklusif di Jawa
Barat). Tesis Program Pasca Sarjana
Program Studi Pendidikan
Kebutuhan Khusus FIP UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 22
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM SETTING PENDIDIKAN
INKLUSIF DI SDN PASAR LAMA 3 BANJARMASIN Imam Yuwono; Eviani Damastuti
Pendidikan Luar Biasa, Universitas Lambung Mangkurat
Email : [email protected]
ABSTRACT: The purpose of the study describes the mathematics learning in the inclusive
class setting in SDN Pasar Lama 3 Banjarmasin. The approach used in this research is
qualitative approach. Data collection techniques in this study are interviews, observation, and
documentation. The results (1) the assessment before the planning of mathematics learning has
not been done. (2) Implementation of Mathematics Learning, (a) The method used varies
according to the condition of the child with special needs; (b) the media is made by the special
counselor himself (c) the concepts of mathematics modified by special counselor. The process
of learning mathematics to children with special needs begins by explaining in advance the
material, then special counselor provide examples (d) providing assistance to children with
special needs by providing learning media. (3) The evaluation not only uses written tests but
also uses such as assignment and action tests.
Keyword: setting inclusive, learning mathematics
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
aspek dalam kehidupan yang memegang
peranan penting dalam meningkatkan
kualitas, harkat dan martabat manusia.
Dengan kata lain pendidikan berupaya
memanusiakan manusia karena dengan
pendidikan manusia dapat mengembangkan
dirinya serta perubahan ke arah yang lebih
baik. Pendidikan formal dimulai dari
jenjang sekolah dasar (SD), pada jenjang SD
siswa harus menguasai beberapa mata
pelajaran agar siswa tidak mengalami
kesulitan pada kelas dan jenjang berikutnya.
Matematika salah satu mata
pelajaran yang sangat penting dikuasai dan
perlu diajarkan kepada para siswa di jenjang
sekolah dasar. Menurut Cockroft yang
dikutip oleh Abdurahman (1999: 253)
bahwa matematika perlu diajarkan kepada
siswa karena: (1) selalu digunakan dalam
segala segi kehidupan, (2) semua bidang
memerlukan ketrampilan matematika yang
seuai. (3) merupakan sarana komunikasi
yang kuat, singkat dan jelas, (4) dapat
digunakan untuk menyajikan informasi
dalam berbagai cara, (5) meningkatkan
kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan
kesadaran keruangan, dan (6) memberikan
kepuasan terhadap usaha memecahkan
masalah yang menantang. Sedangkan
Cornelius seperti yang dikutip
Abdurrahman (1995: 253) mengemukakan
lima alasan perlunya belajar matematika
karena matematika merupakan : (1)sarana
berpikir yang jelas dan logis, (2)sarana
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 23
untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, (3)sarana mengenal
pola-pola hubungan dan generalisasi
pengalaman, (4)sarana untuk
mengembangkan kreatifitas, dan (5)sarana
untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya.
Pada jenjang sekolah dasar mata
pelajaran matematika yang diajarkan terdiri
dari tiga cabang yaitu aritmatika, aljabar,
dan geometri, tetapi pada kelas satu dan
kelas dua pembelajaran matematika banyak
ditekankan pada cabang aritmatika, cabang
aljabar dan geometri hanya digunakan untuk
mendukung pemahaman tentang aritmatika.
Menurut Naga (1980:1) aritmatika atau
berhitung adalah cabang matematika yang
berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan
bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan
mereka terutama menyangkut penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Secara singkat aritmatika atau berhitung
adalah pengetahuan tentang bilangan.
Asumsi-asumsi umum sering kali
menyebutkan matematika merupakan mata
pelajaran yang sangat sulit. Menurut
Abdurrahman (1999:252) matematika
merupakan bidang studi yang dianggap
paling sulit oleh siswa baik siswa yang tidak
berkesulitan belajar dan lebih-lebih bagi
siswa yang berkesulitan belajar. Kenyataan
seperti ini dalam kalangan masyarakat luas
dianggap sebagai hal yang wajar, padahal
seharusnya permasalahan ini merupakan
keadaan yang serius sehingga perlu adanya
solusi atas permasalahan tersebut.
Menyadari pentingnya permasalahan
tersebut, peneliti merasa tergugah untuk
mengangkat permaslahan pembelajaran
matematika dalam setting sekolah inklusif
yang didalamnya terdapat siswa yang
diduga berkesulitan belajar matematika.
Penelitian ini dilakukan pada kelas
satu Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3 di
Kota Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan
pada kelas satu SD dengan asumsi pada
kelas satu inilah penekanan pembelajaran
matematika sangat diperlukan, terutama
tentang pemahaman konsep-konsep dasar
matematika, sehingga siswa tidak
mengalami kesulitan-kesulitan di kelas
selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Pendekatan ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan
kualitatif ini dianggap sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti karena ingin
menggambarkan kondisi obyektif dan dalam
setting yang natural, dan diharapkan dengan
pendekatan kualitatif ini peneliti dapat
menyelami permasalahan pembelajaran
matematika secara mendalam dan
meyeluruh dengan menggunakan teknik
wawancara ataupun observasi yang
melibatkan peneliti sebagai instrumen inti di
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 24
lapangan. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah wawancara, observasi,
dan dokumentasi. Teknik Analisis daata
penelitian menggunakan model analisisi
interaktif Miles dan Huberman.
Triangulasi yang digunakan dalam
penelitian sebagai berikut: triangulasi
sumber yaitu menggali kebenaran informasi
tertentu melalui berbagai sumber
memperoleh data. Pengumpulan dan
pengecekan data dilakukan kepada guru
pendamping khusus kelas 1, guru kelas 1
dan kepala SDN Pasar Lama 3 Banjarmasin.
Triangulasi metode dalam penelitian ini
dilakukan dengan mengecek data mengenai
kemampuan peran dan tugas guru
pendamping yang diperoleh melalui metode
wawancara, observasi dan dokumentasi.
Triangulasi waktu adalah pengumpulan data
yang dilakukan pada waktu dan kesempatan
yang berbeda.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Perencanaan Pembelajaran
Matematika dalam setting kelas
inklusif
Hasil temuan di SDN Pasar
Lama 3 karena sekolah yang baru 1
tahun menyelenggarakan program
inklusi, oleh karena itu pelaksanaan
asesmen sebelum perencanaan
pembelajaran matematika pada ABK
belum dilakukan. Namun sudah terjalin
komunikasi antara guru kelas dan GPK
terkait perencanaan bahan atau materi
pembelajaran matematika bagi ABK.
Dalam perencanan proses
pembelajaran, terutama pembelajaran
matematika dalam setting kelas inklusif
seharusnya memperhatikan
karakteristik siswa, hal ini sejalan
dengan pendapat Nana Sudjana (2007 :
57) mengemukakan bahwa dalam
pembelajaran mempunyai faktor-faktor
yang harus diperhatikan meliputi faktor
manusia (fasilitator dan warga belajar),
faktor tujuan pembelajaran, faktor
bahan ajar, faktor waktu belajar, faktor
sarana serta alat bantu pembelajaran.
ABK dengan kemampuan
intelektual di bawah rata-rata, dalam
batas-batas tertentu masih
dimungkinkan dapat mengikuti
kurikulum standar sekolah umum
meskipun harus dengan penyesuaian-
penyesuaian. Namun berdasarkan
observasi dan studi dokumentasi dalam
perencanaan pembelajaran matematika
bagi ABK di SD N Pasar Lama 3 masih
terdapat hal-hal yang belum
dimodifikasi dan harus terus dilakukan
pembenahan, yaitu (1) sekolah belum
melakukan modifikasi Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) untuk
ABK, sehingga masih sama dengan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 25
anak reguler, (2) Sekolah belum
melakukan modifikasi Kompetensi Inti
(KI), Kompetensi Dasar (KD) untuk
ABK.
Kemampuan ABK yang
memiliki kesulitan belajar matematika
(diskalkulia) tidak bisa disamakan
dalam proses pembelajaran dengan
anak reguler, karena mereka memiliki
hambatan atau kesulitan-kesulitan
dalam bidang tertentu. Sejalan dengan
pendapat Lerner (1981: 35), ada
beberapa karakteristik anak
berkesulitan belajar matematika, yaitu:
adanya gangguan dalam hubungan
keruangan, abnormalitas persepsi
visual, asosiasi visual motor,
perseverasi, kesulitan mengenal dan
memahami simbol, gangguan
penghayatan tubuh, kesulitan dalam
bahasa dan membaca.
2. Pelaksanaan Pembelajaran
Matematika dalam setting kelas
inklusif
a. Metode Pembelajaran Matematika
dalam Setting Kelas Inklusif
Hasil temuan di lapangan
menunjukkan metode pembelajaran
matematika untuk mengajar ABK di SD
N Pasar Lama 3 mengunakan metode
ceramah, demonstrasi dan pemberian
tugas. Metode yang digunakan dalam
pembelajaran matematika ini bervariasi
disesuaikan dengan kondisi ABK agar
dapat menarik perhatian dan mood
ABK sehingga ABK dapat dengan
mudah mengikuti dan menrima
pembelajaran matematika, sehingga
terjadi interaksi antara GPK dan ABK.
Sejalan dengan pendapat Nana Sudjana,
(2007 : 76) menyatakan bahwa metode
mengajar adalah cara yang
dipergunakan guru dalam menyediakan
hubungan siswa pada saat
berlangsungnya pembelajaran.
Penggunaan metode pembelajaran
matematika dalam setting kelas inklusif
ini menuntut guru GPK kreatif dan
aktif. Namun metode yang sering
digunakan guru saat ini menggunakan
metode ceramah. Metode ceramah yang
digunakan GPK yakni dengan
menjelaskan materi secara individual
kepada ABK. Sedikit berbeda dengan
pendapat Sukardi (2008 : 47) metode
ceramah adalah sebuah bentuk interaksi
belajar mengajar yang di lakukan
melalui penjelasan dan penuturan
secara lisan dan guru terhadap
sekelompok. Menurut pendapat sukardi
tersebut metode ceramah digunakan
secara klasikal, namun dalam proses
pembelajaran matematika pada ABK
dengan metode ceramah secara
individual.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 26
b. Media Pembelajaran Matematika
dalam Setting Kelas Inklusif
Hasil temuan menunjukkan
penggunaan media dalam pembelajaran
matematika di setting kelas inklusif
dalam rangka memberikan layanan
pembelajaran pada ABK menuntut
kreativitas dari GPK. Media
pembelajaran matematika dapat dibuat
oleh GPK sendiri atau dengan
memanfaatkan benda kongkrit yang
terdapat di lingkungan sekitar seperti
kelereng, gambar-gambar, dan lain-
lain.
GPK di SD N Pasar Lama 3
sudah menerapkan teori media
pembelajaran, karena GPK
menyediakan media pembelajaran
matematika sesuai dengan kebutuhan
ABK. Selain itu GPK juga sudah
memanfaatkan benda-benda kongkrit
atau benda yang berada disekitar untuk
mengajar ABK sehingga proses
pembelajaran dapat berjalan sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Sejalan
dengan pendapat R. Ibrahim dan Nana
Syaodih (1996), media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyampaikan pesan
atau isi pelajaran, merangsang pikiran,
perasaan, perhatian, dan kemampuan
siswa sehingga dapat mendorong proses
belajar mengajar.
c. Tahapan Mengajarkan Konsep-
Konsep Matematika Pembelajaran
Matematika dalam Setting Kelas
Inklusif
Hasil temuan menunjukkan
tahapan mengajarkan konsep-konsep
matematika dalam setting kelas inklusif
yaitu langkah awal yang dilakukan guru
kelas, mengkomunikasikan bahan ajar
dengan GPK. Selanjutlah GPK lah
menyusun bahan ajar disesuaikan
dengan kemampuan ABK. GPK yang
bertugas memodifikasi bahan ajar bagi
ABK, misalnya memodifikasi bahasa
yang lebih mudah dipahami oleh ABK.
Hal ini dikarenakan kemampuan ABK
dalam menyerap pelajaran matematika
tidak sama dengan siswa reguler. Sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh
Holm (2003: 9) bahwa setiap anak
mempunyai proses dalam pemahaman
matematika, dan pemahaman konsep
harus diajarkan sesuai level yang
dipahami anak. Adapun level tersebut
antara lain: level kongkrit, level semi-
kongkrit, level semi-abstrak, level
abstrak.
Proses pembelajaran
matematika di SD N Pasar lama 3, di
kelas I masuk pada materi
mengelompokkan, mengurutkan dan
membedakan sampai tahap mengenal
angka. Dalam proses pembelajaran
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 27
matematika GPK menjelaskan terlebih
dahulu materi kepada ABK, kemudian
GPK memberikan contoh, kemudian
ABK disuruh untuk menyelesaikan
soal. Siswa kelas I memang harus
diajarkan konsep dasar matematika
sebelum masuk dalam materi
pembelajaran matematika tingkat
selanjutnya atau kelas yang lebih tinggi.
Apalagi jika yang diajar adalah ABK,
sebelum konsep dasar dikuasai jangan
beralih ke materi selanjutnya, dalam
memberikan materi pun harus sedikit
demi sedikit menyesuaikan kemampuan
anak dalam menangkap materi
pelajaran. Sesuai dengna teori yang
diungkapkan Holm (2003: 8) bahwa
Anak harus memahami beberapa
konsep dasar sebelum mereka mulai
belajar bilangan, konsep-konsep
tersebut dapat dikelompokkan menjadi
empat kelompok utama, yaitu : (1)
konsep kuantitas; (2) konsep urutan; (3)
konsep relasi; dan (4) konsep bentuk.
Belajar matematika kita perlu
mengejar target yang dipaksakan,
sehingga siswa mengalami kemajuan
yang pesat, tetapi memiliki tingkat
pemahaman yang kurang. Dalam
belajar matematika biarlah kemajuan
itu dicapai agak sedikit lambat
disesuaikan dengan kemampuan anak
tetapi memiliki pemahaman konsep
yang komprehensif sehingga siswa
tidak mengalami kesulitan dikelas
selanjutnya.
d. Pemberian Bantuan Kepada Siswa
Kesulitan Belajar Matematika
dalam Setting Kelas Inklusif
Hasil temuan menunjukkan
pemberian bantuan kepada ABK dalam
pembelajaran matematika merupakan
tugas GPK dengan menyediakan media
pembelajaran yang dapat
mempermudah ABK dalam menerima
dan menyerap pembelajaran
matematika. Misalnya agar membantu
ABK dalam memahami materi bentuk
biasanya GPK memodifikasi angka
dengan menggunakan gambar, bentuk
bangun datar atau buah buahan agar
mudah dipahami ABK. Sudah menjadi
tugas dan kewajiban GPK dalam
memberikan layanan pembelajaran
kepada ABK. Bentuk layanan yang
diberikan kepada ABK harus
dilaksanakan secara individual.
Sebenarnya tugas dalam memberikan
bimbingan kepada siswa, tidak hanya
kewajiban GPK tetapi semua guru harus
memiliki kecakapan tersebut. Sesuai
dengan pendapat Winarno Surahmad
(1996:61) bahwa terdapat empat
kecakapan serta pengetahuan dasar
yang harus dimiliki guru yaitu : (1)
Guru harus mengenal setiap murid yang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 28
dipercayakan kepadanya baik mengenai
sifat, kebutuhan, minat, pribadi, serta
aspirasi dari setiap murid tersebut. (2)
Guru harus memiliki kecapakan
memberikan bimbingan disamping
bimbingan yang berpusat pada
kecakapan intelektual, guru perlu
memiliki pengetahuan tentang
perkembangan setiap anak didiknya
baik perkembangan emosi, minat,
kecakapan khusus, maupun prestasi
skolastik, fisik, dan sosial sehingga
guru dapat membangun sebuah rencana
atas dasar pengetahuan itu akan
membuat siswa benar-benar mengalami
pendidikan yang menyeluruh dan
integral. (3) Guru harus memiliki dasar
pengetahuan yang luas tentang tujuan
pendidikan di Indonesia pada
umumnya. Pengetahuan itu akan
memberikan arah pada perkembangan
muridnya sehingga akan memudahkan
guru memahami kebutuhan murid-
muridnya. (4) Guru harus memiliki
kebutuhan yang bulat dan baru
mengenai ilmu yang dipelajarinya, agar
apa yang dikerjakan bermanfaat dalam
tujuan hidup yang nyata bagi
masyarakat atau individu, sebab
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta akibatnya dalam hidup
manusia cepat sekali usang diganti
dengan yang baru.
3. Evaluasi Pembelajaran Matematika
dalam Setting Kelas Inklusif
Hasil temuan menunjukkan
evaluasi pembelajaran matematika
dalam setting kelas inklusif tidak hanya
menggunakan tes tertulis namun juga
menggunakan bentuk tes lain seperti
penugasan, tes perbuatan, dan lain-lain.
Tes perbuatan misalnya anak disuruh
maju ke depan satu-satu atau bahkan
per-kelompok untuk menyelesaikan
soal. Soal berkaitan dengan materi yang
disampaikan sebelumnya, soal evaluasi
yang dilaksanakan antara anak reguler
dan ABK dengan tingkat
kesulitan/bentuk soal yang berbeda
misalnya bentuk soalnya menggunakan
gambar bangun datar atau buah-buahan
dan ABK menggunakan alat bantu
seperti benda konkrit. Modifikasi soal
matematika menyesuaikan dengan
kemampuan ABK.
Evaluasi merupakan aspek
penting dalam pembelajaran, karena
dengan evaluasi guru dapat mengetahui
keberhasilan dalam pembelajaran.
Sesuai dengan teori yang dimukakan
Oemar Hamalik (2003:63) evaluasi
merupakan aspek penting dalam proses
belajar mengajar yang berguna untuk
mengukur dan menilai seberapa jauh
tujuan instruksional telah tercapai atau
hingga mana mendapat kemajuan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 29
belajar siswa dan bagaimana tingkat
keberhasilan sesuai tujuan instruksional
tersebut. Evaluasi pembelajaran pada
ABK, bukan membandingkan siswa
satu dengan siswa yang lain, tetapi
membandingkan kemampuan awal
dengan kemampuan akhir setiap siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pembelajaran matematika
dalam setting inklusi di Sekolah Dasar
Negeri Pasar Lama 3, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembelajaran
matematika dalam setting inklusi di
Sekolah Dasar Negeri Pasar Lama 3 masih
kurang sesuai dengan sistem/aturan dalam
mejalankan program inklusif, karena
belum adanya asesmen sebelum proses
pembelajaran matematika dan belum
adanya Program Pembelajaran Individual
(PPI).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi
Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta :
Dirjen Dikti.
Ahmad Rohani. H.M dan Abu Ahmadi.
1991. Pengelolaan Pengajaran.
Jakarta:Rineka Cipta.
Alisuf, Sabri M. (1995). Psikologi
Pendidikan. Jakarta. Pedoman Ilmu
Jaya
Arif S Sadiman. 2003. Media Pendidikan.
Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Azhar Arsyad. 2004. Media Pembelajaran.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bintarto dan Surastopo Hadisumarmo.
1982. Metode Analisa
Geografi. Jakarta: Lembaga
Penelitian Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial.
Dimyati & Mudjiono (2002). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta dan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimyati, Mudjiono.2002. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Ghony, M. Djunaidi. & Fauzan Almanshur.
(2014). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA.
Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian
Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Holm, M. (2003). Dysmathematics, Konsep
Bilangan dan Kuantitas. Hand Out.
Norwegia: Departemant of Special
Need Education University of Oslo.
Ibrahim R dan Nana Syaodih.
1993. Perencanaan Pengajaran.
Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya.Sukardi
Johnsen. B. H & Skjorten. M. D. (2003).
Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sebuah Pengantar. Bandung:
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Moh Nazir. (2011). Metode Penelitian.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati.
1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan
Belajar Mengajar. Bandung. PT.
Remaja Rosdakarya.
Moleong. L. J. (2004). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Naga. S, Dali (1980). Berhitung, Sejarah,
dan Perkembangannya. Jakarta
: Gramedia.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 30
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai.
2007. Teknologi Pengajaran.
Bandung: Sinar Baru Algesindo
Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Bumi
Aksara.Soetomo
Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Kencana
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sumadi, Suryabrata. 1987. Metode
Penelitian. Jakarta: Rajawali.
W. Lerner, Janet.1998. Learning
Disabilities: Theories, Diagnosis, And
Teaching Strategies. Boston:
Houghton Miffin Company.
Weiner, IB. (2003). Handbook of
Psychology. Vol 7 : Educational
Psychology. New Jersey: John Wiley
& Sons
Widyastono, H. (1998). Siswa Sekolah
Dasar Yang Berkesulitan Belajar
Umum Dan Penanganan Kesulitan
Belajar Membaca. [Online]. Tersedia:
http://www.
Depdiknas.go.id/jurnal/33/editorial33
.htm. [29 Desember 2005].
Winarno Surakhmad. (1996). Pengantar
Interaksi Mengajar_Belajar (Dasar
dan Teknik Metodologi Mengajar).
Bandung: Tarsito.sungkono
Yin, R.K. (2003). Studi Kasus (Desain dan
Metode). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 31
STIMULASI PERKEMBANGAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
MELALUI RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL BANJAR
Murniyanti Ismail
Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin
Abstract:
The word of children is playing. Through playing, the potentials of children’s intelligence can
develop optimally through a natural way. For children with special needs, playing is also a way
to liberate themselves from disadvantages and pressure complex, that certainly inhibit various
aspects of child development. One type of children with special needs is the children with
mental retardation (Tunagrahita). Tunagrahita is a child who has mental retardation with an IQ
below the average of children in general. With this deficiency, children with mental retardation
have the obstacles in various various aspeds of development, including the development of
language, social, and physical motor. The classification of children with mental retardation is
divided into three levels, such as mild, moderate and severe. Now days, activites of playing
developed into the the play therapy as a’response to give intervention of the various problems
which faced by the children in their development process. This paper use the library research
method to reveal the stimulation of the children with mild of mental reterdation’s development
through Banjar traditional games. The result of this paper is traditional games can help children
with mild mental retardation to improving their intelligence, especially the language, social,
and physical motor aspect
Keywords: Developmental stimulation, children with mild of mental reterdation’s, Banjar
traditional games.
PENDAHULUAN
Maraknya perkembangan permainan
modern semakin menggeser keberadaan
permainan tradisional, anak-anak lebih
menyukai permainan modern seperti play
staysion (PS), game online,
Sebagaimana kita ketahui, keaneka
ragaman suku bangsa, tradisi dan budaya
memiliki keaneka ragaman corak dan ciri
yang unik/khas menjadikan suatu kekayaan
budaya dalam wadah negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai kebudayaan
nasional. Seperti juga daerah – daerah lain
di Indonesia Kalimantan Selatan
merupakan salah satu wilayah Nusantara
yang kaya akan khazanah seni dan budaya
tapi dengan semakin majunya zaman, saat
ini semakin berkurang orang-orang yang
mengetahui peristiwa-peristiwa masa
lampau serta memahami makna dari setiap
lambang dalam peristiwa adat dan budaya
atau berbagai ucapan dan cerita , termasuk
permainan tradisional anak di dalamnya,
lalu timbul pertanyaan bagaimana dengan
generasi berikutnya? Apakah mungkin
mereka akan mengenal, memahami dan
memiliki nilai-nilai kearifan lokal jati diri
mereka, ketika para generasi dewasa
kurang atau bahkan tidak berusaha
memperkenalkannya, dan mewariskannya
dengan sungguh-sungguh?
Seperti kita semua ketahui dalam
permainan tradisional mengajarkan banyak
nilai baik , antara lain melatih anak untuk
bersosialisasi atau mengenal orang-orang di
lingkungannya, anak-anak juga belajar
kerja sama sebagai tim, mendukung teman,
kreatif , mengetahui kelemahan diri, siap
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 32
untuk kalah atau menang, gigih untuk
mencapai target, mengenal serta dapat
memanfaatkan dengan baik benda-benda
yang ada di alam sekitar . Untuk kesehatan,
melatih fisik anak sehingga anak lebih
sehat, daya tangkapnya lebih tinggi, lebih
gesit, dan selalu ceria. Nilai edukasinya
juga banyak, selain bermanfaat untuk
melatih fisik anak agar lebih kuat, juga
dapat mengasah kemampuan bersosialisasi,
bekerja sama dan mentaati aturan, sesuatu
yang tidak ditemukan pada permainan
modern yang mungkin dapat membuat
cerdas tapi cenderung membentuk watak
individualistis.
Bagi anak-anak, menurut para ahli,
bermain memiliki fungsi dan manfaat yang
sangat penting. Bagi mereka, bermain
bukan hanya menjadi kesenangan tetapi
juga suatu kebutuhan yang mau tidak mau
harus terpenuhi. Jika tidak, menurut (Conny
R. Semiawan dalam Musfiroh, 2005 :1) ada
satu tahapan perkembangan yang berfungsi
kurang baik yang akan terlihat kelak jika si
anak sudah menjadi remaja. Maka tidak
berlebihan jika Catron dan Allen dalam
Musfiroh, 20015:1) mengatakan bahwa
bermain merupakan wahana yang
memungkinkan anak-anak berkembang
optimal. Bermain secara langsung
mempengaruhi seluruh wilayah dan aspek
perkembangan anak. Kegiatan bermain
memungkinkan anak belajar tentang diri
mereka sendiri, orang lain, dan
lingkungannya. Dalam kegiatan bermain,
anak bebas untuk berimajinasi,
bereksplorasi, dan mencipta sesuatu.
Menurut Somantri (2012: 103)
Tunagrahita adalah istilah yang dipakai
untuk menyebutkan anak yang memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata
anak pada umumnya. Dalam istilah asing
digunakan istilah mentally retarded, mental
retardation, mental defective, mental
deficiency dan lain-lain, istilah-istilah
tersebut sebenarnya memiliki arti yang
sama yang menjelaskan bahwa anak
tunagrahita memiliki kecerdasan di bawah
rata-rata ditandai oleh keterbatasan
inteligensi dan ketidak cakapan dalam
interaksi sosial. Menurut The American
Association on Mental Defiency (AAMD),
seseorang dikategorikan tunagrahita
apabila kecerdasannya secara umum di
bawah rata- rata dan mengalami kesulitan
penyesuaian sosial dalam setiap fase
perkembangannya (Hallahan dan
Kauffman dalam Efendi, 2008: 89).
Permainan tradisional bagi anak
berkebutuhan khusus dalam hal ini anak
tunagrahita ringan banyak mengandung
nilai-nilai pendidikan yang dapat
menumbuhkan dan mengembangkan
berbagai aspek perkembangan anak. Nilai-
nilai pendidikan dalam permainan
tradisional tersebut terkandung dalam
permainan melalui gerak, syair lagu,
mengenal alam dan sebagainya. seperti juga
permainan tradisional nusantara permainan
tradisional anak Banjar juga banyak
mengandung unsur rasa senang, dimana
rasa senang dapat mewujudkan suatu
kesempatan yang baik menuju kemajuan
aspek perkembangan bagi anak tunagrahita
ringan . Beberapa penelitian yang telah
dilakukan menjelaskan manfaat permainan
tradisional bagi anak berkebutuhan khusus
tunagrahita. Penelitian oleh Sari (2015)
tentang permainan engklek menemukan
bahwa ketika kotak-kotak dalam permainan
engklek tersebut diberi angka, maka terjadi
peningkatan pengenalan angka bagi anak
tunagrahita sedang. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Alfiza dkk. (2014)
membahas permainan lompat tali. Hasilnya
menunjukkan bahwa dengan bermain
lompat tali dapat melatih kemampuan
melompat anak tunagrahita menjadi lebih
baik.
Karena itu menjadi tugas orang tua
atau orang dewasa dan pihak sekolah agar
dapat menciptakan lingkungan bermain
yang edukatif bagi anak tunagrahita ringan
agar mereka dapat mengembangkan potensi
yang mereka punya secara optimal.
Rangsangan yang diberikan kepada anak
tunagrahita ringan tentunya harus sesuai
dengan perkembangan dan kemampuan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 33
mereka. Tahap perkembangan ini dapat
ditinjau dari berbagai aspek seperti
kognitif, bahasa, emosi, sosial, fisik. Proses
penyampaiannya pun harus sesuai dengan
dunia anak, yaitu dengan bermain.
Banyak cara pembelajaran yang dapat
digunakan dalam menstimulus
perkembangan anak tunagrahita ringan
salah satunya adalah dengan menggunakan
permainan tradisional
METODE
Kajian ini mempergunakan Studi
kepustakaan. Pendekatan konsep dan teori
dilakukan dengan merujuk dari berbagai
sumber seperti referensi umum dan khusus,
buku-buku pedoman, buku petunjuk,
laporan-laporan penelitian, tesis, jurnal
ilmiah , dan bahan-bahan khusus lain yang
memiliki korelasi dengan tema kajian ini .
Uraian serta gagasan yang didapat dari
semua sumber digabungkan dalam satu
susunan kerangka berpikir. kajian ini masih
dalam tahap proses analisis dan belum
melakukan penelitian.
PERMAINAN TRADISIONAL
1. Pengertian Permainan Tradisional
Menurut Direktorat Nilai Budaya
permainan tradisional anak adalah proses
melakukan kegiatan yang menyenangkan
hati anak dengan mempergunakan alat
sederhana sesuai dengan keadaan dan
merupakan hasil penggalian budaya
setempat menurut gagasan dan ajaran turun
temurun dari nenek moyang. Permainan
Tradisional atau biasa disebut dengan
permainan rakyat adalah hasil dari
penggalian budaya lokal yang di dalamnya
banyak terkandung nilai-nilai pendidikan
dan nilai budaya serta dapat menyenangkan
hati yang memainkannya. Permainan
tradisional sebagai satu di antara unsur
kebudayaan bangsa banyak tersebar di
berbagai penjuru nusantara.
Namun dewasa ini keberadaanya
sudah berangsur-angsur mengalami
kepunahan.Terutama bagi mereka yang saat
ini tinggal di perkotaan, bahkan beberapa di
antaranya sudah tidak dapat dikenali lagi
oleh masyarakat di mana permainan
tradisional itu berada. Beberapa jenis
permainan tradisional ada pula yang masih
dapat bertahan, itu pun disebabkan karena
para pelaku permainan tradisional tersebut
berada jauh dari jangkauan permainan
modern yang lebih menggutamakan alat-
alat canggih.
.
2. Karakteristi Permainan Tradisional
Pada dasarnya permainan tradisional
lebih banyak memberikan kesempatan
kepada pelaku untuk bermain secara
berkelompok/ permainan tradisional
setidaknya dilakukan minimal oleh dua
orang, dengan menggunakan alat-alat yang
sederhana, mudah dicari, menggunakan
bahan-bahan yang ada di sekitar serta
mencerminkan kepribadian bangsa sendiri.
Permainan tradisional banyak
memiliki nilai-nilai yang positif yang dapat
dikembangkan. Nilai-nilai yang terkandung
dalam permainan tradisional dapat ditelaah
dari sudut penggunaan bahasa,
senandung/nyanyian , aktifitas fisik, dan
aktifitas psikis. Permainan tradisional
memiliki unsur senang yang dapat
membantu anak belajar berdasarkan
kesadaran sendiri tanpa dipaksa. Anak
yang memiliki masalah penyesuaian sosial
cenderung berprilaku ambivalent terhadap
aturan dan perintah orang dewasa, sehingga
memerlukan pendekatan yang dapat
diterima, contohnya melalui parmainan
yang memiliki unsur senang sehingga anak
dapat melakukan kegiatan dengan sukarela
tanpa paksaan.
Permainan tradisional dapat
membantu siswa dalam menjalin relasi
sosial yang baik dengan teman sebaya (peer
group) maupun dengan teman yang usianya
lebih muda atau lebih tua. Permainan
tradisional juga dapat digunakan untuk
melatih siswa dalam mengatasi konflik dan
belajar memecahkan masalah yang sedang
dihadapi.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 34
ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
DAN PERKEMBANGANNYA
Tumbuh kembang anak memiliki
pengertian dua hal yang berbeda tetapi
saling berkaitan dan sulit dipisahkan.
Pertumbuhan (growth) memiliki pengertian
yang berkaitan dengan masalah ukuran,
jumlah, dan dimensi tingkat sel , organ
maupun individu yang dapat diukur dengan
ukuran berat (gram, pound, kilogram),
ukuran panjang (cm, meter), umur tulang
dan keseimbangan metabolik.
Perkembangan ( development) adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam pola yang teratur dan
dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan dan belajar. Termasuk di
dalamnya adalah perkembangan
intelektual, sosial, emosi dan tingkah laku
sebagai hasil dari interaksi anak dengan
linkungannya. Pada anak tunagrahita,
pertumbuhan dan perkembangannya
mengalami kemunduran.
Anak tunagrahita adalah anak yang
kecerdasannya berada dibawah rata – rata
teman seusianya yang ditandai oleh ketidak
mampuan untuk belajar dan menyesuaikan
diri dalam interaksi sosial (perilaku mal
adaptif). Anak tunagrahita atau dikenal juga
dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya sukar untuk
mengikuti program pendidikan disekolah
biasa secara klasikal, oleh karena itu anak
terbelakang mental membutuhkan
pelayanan pendidikan secara khusus, yakni
disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Penyesuaian perilaku maksudnya saat
ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah
hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu
dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya .
Terjadi pada masa perkembangan sampai
usia 18 tahun.
Menurut beberapa ahli ada tiga
klasifikasi anak tunagrahita yang salah
satunya adalah anak tunagrahita ringan.
Kondisi fisik anak tunagrahita ringan pada
umumnya tidak berbeda dengan
kebanyakan anak lainnya, memiliki tingkat
IQ berkisar antara 50-70. Meskipun anak
tunagrahita ringan memiliki keterbatasan
pada segi kecerdasannya. Mereka masih
bisa belajar membaca, menulis dan
berhitung bersama dengan anak-anak
seusianya dengan menerapkan fleksibilitas
kurikulum. Seringkali anak tunagrahita
ringan tidak dapat diidentifikasi hingga
memasuki usia sekolah, ketika anak
mengalami kesulitan dalam mengikuti
pelajaran.
Anak tunagrahita ringan juga dapat
menjadi tenaga kerja semi skilled seperti
pekerjaan laundry, peternakan, pekerjaan
rumahtangga, bahkan jika dibimbing
dengan baik dapat bekerja di pabrik –
pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun
demikian,mereka kurang mampu
melakukan penyesuaian sosial secara
independen.
1. Perkembangan Kognitif Anak
Tunagrahita
Menurut (Suppes dalam somantri
2012:110) bahwa kognisi merupakan
bidang yang luas yang meliputi semua
keterampilan akademik yang berhubungan
dengan wilayah persepsi. Sedangkan
menurut (Messen, Conger, dan Kagan
dalam somantri 2012:110) menjelaskan
bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari
lima proses, yaitu :(1) persepsi, (2) memori,
(3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5)
penalaran. Proses-prose itu meliputi
sejumlah unit terdiri dari skema, gambaran,
simbol konsep, serta kaidah-kaidah. Para
peneliti dibidang ini tertarik pada
perubahan urutan proses kognitif yang
dihubungkan dengan usia dan pengalaman .
Dalam hal kecepatan belajar, anak
tunagrahita ringan berbeda dengan anak
pada umumnya walau tidak terlalu jauh.
Untuk mencapai kriteria-kriteria yang
dicapai anak pada umumnya, anak
tunagrahita ringan memerlukan
pengulangan tentang bahan tersebut. Anak
tunagrahita juga sulit menangkap informasi
yang kompleks, tugas-tugas yang diberikan
sebaiknya dimulai dari yang sederhana dan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 35
diberikan tahap demi tahap.
2. Perkembangan Bahasa Anak
Tunagrahita
Kemampuan bahasa pada anak-anak
diperoleh dengan sangat menakjubkan
melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat
belajar bahasa apa saja yang mereka dengar
sehari-hari dari lingkungan dengan cepat.
cara kedua, bahasa apapun memiliki
kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-
kalimat dari bahasa yang mereka dengar
dan mereka ucapkan, dan belum pernah
mereka dengar sebelumnya. Hal ini berarti
anak-anak belajar bahasa tidak sekedar dari
meniru ucapan yang mereka dengar saja ,
tetapi anak-anak juga harus belajar konsep
gramatikal yang abstrak dalam
menghubungkan kata-kata menjadi
kalimat.
Perkembangan bahasa erat kaitannya
dengan perkembangan kognitif, sehingga
perkembangan bahasa akan sejalan dengan
perkembangan kognitif anak . Pada
kenyataanya, anak tunagrahita ringan
mengalami hambatan dalam perkembangan
kognitifnya sehingga perkembangan
bahasanya pun menjadi ikut terhambat .
Hambatan tersebut ditunjukkan dengan
tidak seiramanya antara perkembangan
bahasa dengan usia lahir anak (cronologis
age), tetapi lebih seirama dengan usia
mentalnya (mental age).
Mereka bukannya mengalami
kerusakan artikulasi akan tetapi pusat
pengolahan (perbendaharaan kata yang
kurang berfungsi sebagaimana mestinya).
Karena itu mereka membutuhkan kata –
kata konkrit dan sering didengarnya,
mereka juga kurang dapat mempergunakan
kalimat majemuk lebih banyak
mempergunakan kalimat tunggal
3. Perkembangan Fisik Anak
Tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan pada
anak tunagrahita ada yang tertinggal jauh
oleh anak pada umumnya . Ada pula yang
sama atau hampir menyamai anak pada
umumnya. Di antara fungsi-fungsi yang
menyamai atau hampir menyamai anak
pada umumnya adalah fungsi jasmani dan
motorik.
Perkembangan jasmani dan motorik
anak tunagrahita tidak secepat
perkembangan anak pada umumnya
sebagaimana banyak ditulis orang.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa
tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita
yang memiliki MA (mental age) 2 tahun
sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori
kurang sekali. Sedang anak pada umumnya
pada usia yang sama ada dalam kategori
kurang. Dengan demikian tingkat
kesegaran jasmani anak tunagrahita
setingkat lebih rendah dibandingkan
dengan anak pada umumnya pada umur
yang sama.
Ketrampilan gerak fundamental
sangat penting untuk meningkatkan
kualitas hidup anak tunagrahita. Anak
normal dapat belajar keterampilan gerak-
gerak fundamental secara instingtif pada
saat bermain, sementara anak tunagrahita
perlu dilatih secara khusus. Karena itu
penting bagi guru untuk memprogramkan
latihan-latihan gerak fundamental dalam
pendidikan anak tunagrahita.
4. Perkembangan Sosial Emosional
Anak Tunagrahita
Dalam perkembangan sosial anak-
anak tunagrahita cenderung senang
bermain dengan anak-anak yang lebih
muda usianya dan juga dengan anak-anak
yang sama usia mentalnya dari pada usia
kronologisnya. Anak tunagrahita
cenderung menarik diri, acuh tak acuh dan
mudah bingung. Tidak jarang dari mereka
mudah dipengaruhi sebab mereka tidak
dapat memikirkan akibat tindakannya.
Untuk kategori anak tunagrahita sedang dan
berat ketergantungan mereka terhadap
orang tua dan orang dewasa disekelilingnya
sangat besar , tidak mampu memikul
tanggung jawab sosial dengan bijaksana,
sehingga anak-anak tunagrahita sedang dan
berat harus selalu dalam pengawasan dan
bimbingan.
Pada anak tunagrahita ringan
kemampuan bersosialisasi ini akan lebih
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 36
berkembang apabila mereka memperoleh
lingkungan yang mendukung keberadaan
mereka. Maksudnya mereka tidak hanya
menjadi kelompok minoritas dari anggota
atau dihilangkan karena mereka dianggap
tidak mampu.
Selain itu anak tunagrahita kurang
mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,
membedakan antara yang baik dan yang
buruk, dan membedakan yang benar
dengan yang salah. Ini semua karena
kemampuannya yang terbatas, sehingga
anak tunagrahita tidak dapat
membayangkan terlebih dahulu
konsekuensi dari sesuatu perbuatan.
Salah satu pembelajaran yang
menarik untuk anak salah satunya dengan
bermain, tidak terkecuali juga dengan anak
tunagrahita. Melalui kegiatan bermain anak
bisa mencapai perkembangan fisik,
intelektual, emosi dan sosial.
Perkembangan secara fisik dapat dilihat
saat bermain. Perkembangan intelektual
bisa dilihat dari kemampuan anak
mengunakan atau memanfaatkan
lingkungannya. Perkembangan emosi dapat
dilihat ketika anak merasa senang, marah,
merasakan dalam posisi menang dan kalah.
Perkembangan sosial anak dapat dilihat dari
interaksi dengan teman sebaya, menolong,
antri dalam menunggu permainan dan
memperhatikan kepentingan orang lain.
Seiring perkembangan zaman, jenis
permainan yang ada pun semakin beragam.
RAGAM PERMAINAN TRADISIONAL
BANJAR
Kalimantan Selatan adalah salah satu
provinsi di Indonesia yang terletak di pulau
Kalimantan dengan ibu kotanya
Banjarmasin serta memiliki etnis terbesar
yaitu suku Banjar, seperti juga dengan
daerah-daerah lainnya yang ada di
Indonesia, Kalimantan Selatan ( Banjar )
juga memiliki beragam jenis budaya yang
bersifat tradisional yang diwariskan kepada
generasi penerus yang salah satunya adalah
permainan tradisional. Penulis belum
menemukan data berapa banyak permainan
tradisional Banjar yang ada karena
terbatasnya buku-buku yang berisikan
tentang permainan tradisional Banjar.
Beberapa permainan tradisional yang
masih ada dan si mainkan di Kalimantan
Selatan :
1. Bahasinan
Tidak jelas diketahui asal mula kata
bahasinan. Tapi mungkin dari kata seru
“siin” yang diserukan pada saat pemainnya
memenangkan permainan tersebut.
Permainan ini biasanya dimainkan oleh
anak laki-laki dan perempuan berkelompok
dengan jumlah pemain paling sedikit tiga
orang atau lebih jika dimainkan beregu,
dalam permainan bahasinan tidak
diperlukan alat permainan. Di beberapa
daerah dikenal dengan nama galaasin,
gobag sodor dan masih banyak lagi. Secara
sederhana permainan bahasinan tidak
memerlukan alat hanya membuat garis
ditanah sebagai pembatas tempat bermain,
jumlah garis dapat disesuaikan dengan
jumlah pemain .
Adapun cara bermain bahasinan sama
seperti permainan nusantara pada
umumnya permainan bahasinan dimulai
dengan melakukan “humpimpah” atau
“basiun” untuk menentukan siapa yang
yang menjadi “jaga” dan siapa yang
menjadi “pasang. Jika permainan dilakukan
secara individu dan dimainkan oleh tiga
orang setelah mereka melakukan
humpimpah atau basiun , satu orang anak
yang menjadi jaga dan dua anak menjadi
pasang. Anak yang menjadi jaga akan
berdiri digaris tengah sambil
membentangkan kedua tangannya untuk
dapat menyentuh atau menangkap anak
yang menjadi pasang. Oleh karenan itu
anak yang menjadi pasang akan berusaha
membuat siasat memancing berlari ke garis
kiri dan kanan agar dapat melewati anak
yang menjadi jaga .
Jika kedua anak yang menjadi pasang
dapat melewati anak yang menjadi jaga,
maka anak yang menjadi jaga harus segera
membalikkan badan untuk kembali
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 37
menghadang dua anak yang menjadi
pasang. Apabila salah satu atau kedua anak
yang menjadi pasang dapat melewati
kembali anak yang menjadi jaga maka
mereka anak berseru “siiiiiin!! sebagai
tanda pernyataan menang. Akan tetapi jika
salah satu dari mereka dapat ditangkap atau
disentuh badan atau tangannya maka salah
satu anak yang menjadi pasang harus
mengganti kedudukan anak yang menjadi
jaga. Permainan akan berhenti pada saat
mereka merasa lelah
2. Bakalikir
Sebagai ciri dari permainan
tradisional Banjar. Permainan Bakalikir
diambil dari kata dasar “kalikir” dan
ditambahkan awalan “ba”. Kalikir dalam
bahasa Banjar berarti kelereng, yang
didaerah lain dikenal juga dengan nama
permainan gundu, kaleci, neker dan lain-
lain. Permainan bakalikir kebanyak
dimainkan oleh anak laki-laki dan
dimainkan di halaman sebaiknya di tanah
yang datar dan kering. Jumlah pemain
dalam permainan bakalikir paling sedikit
dua orang, semakin banyak jumlah pemain
maka permainan akan semakin seru.
Cara bermain bakalikir sangat
mudah, pertama-tama pemain membuat
gambar lingkaran berdiameter lebih kurang
30 cm. Jika dimainkan di atas tanah kering
, lingkaran dapat dibuat mempergunakan
ranting pohon, lidi, atau tongkat. Sementara
itu jika bermain di atas ubin, semen, atau
aspal lingkaran dapat dibuat
mempergunakan kapur, dilanjutkan dengan
membuat garis start yang berjarak 1 meter
dari lingkaran atau sesuai dengan usia dan
kemampuan anak. Langkah selanjutnya
semua pemain meletakkan “kalikir”
miliknya di dalam lingkaran (kurang lebih
5 butir kalikir) dan berdiri dibelakang garis
start . Secara bergiliran anak-anak
melemparkan sebutir “kalikir” kearah
lingkaran. Anak yang kalikirnya paling
jauh dapat main lebih dulu. Dilanjutkan
dengan pemain yang “kalikir”nya terjauh
kedua dan seterusnya.
Pemain harus menukun (membidik)
kalikir yang di dalam lingkaran. Kalikir
yang keluar dari lingkaran karena terkena
bidikan menjadi miliknya. Begitu
seterusnya pemain bergantian membidikan
kalikir yang berada di dalam lingkaran
sampai kalikir habis. Anak yang
mengumpulkan kalikir paling banyak
keluar sebagai pemenangnya.
3. Badaku
Permainan Badaku berasal dari kata
dasar “daku” dengan tambahan awalan kata
“ba” sebagai ciri bahasa Banjar yang berarti
melakukan permainan dengan
mempergunakan alat yang disebut
“padakuan” Permainan tradisional ini
identik dengan permainan anak perempuan
karena permainan ini lebih banyak
dimainkan oleh anak perempuan.
Peralatan yang digunakan dalam
permainan terdiri atas dua macam, yaitu
badaku yang disebut padakuan , dibuat dari
sepotong kayu dengan ukaran panjang lebih
kurang 60 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 5 cm,
pada permukaan papan tersebut diberi dua
lubang sejajar sebanyak tujuh atau sembilan
yang umum dipakai biasanya tujuh lubang.
Ujung kiri dan kanan diberi lubang yang
lebih besar yang disebut “rumah”.
Perlengkapan lainnya adalah “anak daku”
yang terdiri dari batu kerikil, kulit sihi, atau
biji sawu. Jumlah anak daku disesuaikan
dengan banyaknya lubang yang dibuat, jika
lubang yang dibuat ada 7 maka anak daku
berjumlah 2x7x7 total “anak daku”
sebanyak 98 biji dan seterusnya.
Adapun cara bermain badaku, kedua
pemain pertama mengambil “anak daku”
dari salah satu lubang miliknya, “anak
daku” diletakkan satu persatu kearah kanan
lubang miliknya sampai habis termasuk
lubang milik lawan, jika melewati lubang
besar miliknya pemain meletakan satu
“anak daku”. Namun jika melewati lubang
besar milik lawan pemain tidak boleh
meletakkan “anak daku” di dalamnya.
Pemain dapat terus bermain mengambil
“anak daku” baik pada lubang miliknya
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 38
atau lubang milik lawan, tapi jika “anak
daku jatuh pada lubang kosong baik
miliknya atau milik lawan maka permainan
dilanjutkan oleh pihak lawan. Jika “anak
daku” jatuh di lubang miliknya, pemain
dapat mengambil “anak daku” yang ada di
dalam lubang milik lawan yang berada di
seberang lubang kosong tersebut.
Permainan biasanya akan berhenti
jika salah satu dari pemain sudah memiliki
“anak daku” paling banyak atau sampai
pihak lawan “gundul” atau sudah tidak
memiliki satupun “anak daku”.
4. Bacukcuk Bimbi
Tidak jelas asal usul kata cukcuk
bimbi . dari literature yang ditemukan
permainan Cuk-cuk bimbi bermula dari
sebuah pantun banjar, yang kemudian
dilagukan untuk dijadikan sebuah
permainan bagi anak-anak masyarakat
Banjar. Cuk-cuk bimbi merupakan jenis
pantun anak-anak. Keunikan ini diluar
struktur pantun pada umumnya. Hal itu,
terlihat pada setiap barisnya terdapat sajak
yang dapat dilagukan.
Permainan cukcuk bimbi biasanya
dimainkan oleh anak perempuan usia SD
sampai remaja dengan jumlah pemain
paling sedikit tiga orang sampai lima orang.
Kadang-kadang permainan ini juga
dimainkan oleh anak laki-laki dengan
mengambil tempat di halaman rumah. Alat
yang dipakai dalam permainan ini hanya
sepotong kertas yang dilipat-lipat seukuran
1 cm yang akan digenggam oleh seorang
pemain.
Setelah melakukan “basiun”
permainan itu dilakukan dengan memilih
salah satu pemain yang “jadi” kemudian
pemain itu telungkup dan dikelilingi
dengan pemain lainnya sambil menaruh
telapak tangan di atas pemain yang
bertelungkup tadi. Telapak tangan dibuka
menghadap ke atas kemudian di atasnya
ditaruh kertas yang digulung kecil lalu
kemudian dijalankan dari satu telapak
tangan ke telapak tangan lainnya hingga
lagu selesai sambil menyanyikan lagu
sebagai berikut:
Cuk-cuk bimbi
Bimbi tuan sarunai
Tacucuk takulibi
Muhanya kaya panai
(Sagincul liu - liu, sagincul liu - liu)
. Setelah lagu selesai, semua pemain
memutar-mutarkan kedua tangan mereka
sambil mengucapkan kalimat “sagincu liu-
liu sagincu liu liu, sagincu liu liu”. Dan
pemain yang “jadi” harus menebak di
manakah kertas kecil itu berada. Jika
tebakan anak yang “jadi” tersebut benar
maka anak yang memegang kertas tersebut
mengantikan , tapi jika tebakan anak yang
men “jadi” itu salah maka anak tersebut
tetap men”jadi” .
5. Ba-i-intingan
Nama permainan Ba-i-intingan
diambil dari kata dasar “intingan, dengan
tambahan awalan “ba” (bahasa Banjar)
dengan proses pengulangan suku kata awal
“i” yang berarti melompat dengan satu kaki,
di pulau Jawa dikenal dengan kata
“engklek” permainan ini biasanya
dimainkan oleh anak laki-laki dan
perempuan di sekolah dasar . Permainan ba-
i-intingan hanya memerlukan alat bermain
berupa batu kerikil yang berukuran ibu jari
dan membuat garis lingkaran sebesar
lingkaran piring sebagai garis start dan
finish yang jaraknya berkisar dua hingga
tiga meter atau disesuaikan dengan
kemampuan anak. Proses permain dimulai
dengan semua pemain meletakkan batu
kerikil dilingkaran finish miliknya.
Masing-masing pemain berdiri di samping
lingkaran start miliknya. Setelah aba-aba
diserukan 1,2,3 semua pemain berlari
menuju lingkaran finish milik mereka untuk
mengambil batu kerikil dan membawa batu
kerikil tersebut menuju lingkaran start
sambil “bainting”. Setelah sampai
lingkaran start pemain harus meletakkan
batu kerikil yang dibawanya. Permainan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 39
dilakukan sampai batu kerikil setiap pemain
sudah diletakkan di garis start miliknya.
Pemain yang tidak bainting atau berlari
dengan satu kaki dan tidak dapat
meletakkan semua batu kerikil miliknya ke
lingkarat start dinyatakan kalah.
ANALISIS RAGAM PERMAINAN
TRADISIONAL BANJAR TERHADAP
PERKEMBANGAN ANAK
TUNAGRAHITA RINGAN
Dari lima jenis ragam permainan
tradisional Banjar yang telah dipaparkan di
atas ada beberapa dampak positif yang
dapat ditimbulkan dari permainan
tradisional terhadap perkembangan anak
tunagrahita ringan.
Pertama anak mendapat kegembiraan
dan hiburan, dalam bermain permainan
tradisional suasana gembira akan didapat
oleh anak. Kegembiraan atau emosi positif
sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang
anak, kehidupan anak yang dipenuhi
suasana gembira dan bahagia sangat
bermanfaat untuk kesehatan fisik dan
mental.
Kedua, pada beberapa permainan
tradisional tidak jarang anak harus berlari,
melompat, meloncat, membidik,
membungkuk dan lain-lain. Gerakan-
gerakan tersebut tentunya dapat
menstimulasi perkembangan fisik anak,
baik kemampuan motorik harul maupun
motorik kasar anak
Ketiga, walau kecerdasan anak
tunagrahita berada di bawah rata-rata anak
pada umumnya melalui permainan
tradisional dapat menstimulasi
perkembangan kecerdasan mereka. Karena
dalam bermain dan mengeksplorasi
lingkungan sekitar, anak secara tidak
langsung dapat belajar tentang bentuk,
warna, suara dan lain-lain
Keempat, dalam permainan
tradisional jumlah pemain biasanya lebih
dari dua orang, hal ini menstimulasi anak
untuk belajar bersosialisasi dengan teman-
teman sepermainan, dari interaksi tersebut
anak belajar rasa empati, toleransi,
kejujuran, kesabaran.
Kelima, seperti yang telah
disampaikan hampir pada setiap permainan
tradisional permainan dilakukan beberapa
anak (beregu) ketika anak bermain beregu
tentunya anak akan melakukan komunikasi
secara tidak langsung kosakata anak akan
bertambah. Perkembangan bahasa anak
juga akan terstimulasi pada saat permainan
mempergunakan syair lagi seperti pada
permainan bacukcukbimbi.
KESIMPULAN Kajian ini menunjukan bahwa
permainan tradisional Banjar seperti :
Bahasinan, Bakalikir, Badaku, Bacukcuk
bimbi, dan Baiintingan memiliki dampak
positif terhadap perkembangan anak
tunagrahita ringan . Diantaranya adalah
perkembangan fisik motorik,
perkembangan bahasa, perkembangan
sosial emosional Dalam melakukan
stimulasi sebaiknya orang tua dan guru
jangan sampai memaksakan melebihi batas
kemampuan anak. Biarkan anak
melakukannya secara bertahap serta
berikan kesempatan kepada anak berlatih
secara berulang-ulang.
DAFTAR PUSTAKA
Achroni, Keen. 2012 Mengoptimalkan
Tumbuh Kembang Anak Melalui
Permainan Tradisional.Yogjakarta
: Javalitera
Alfiza, Y., Martias, Z., Fatmawati. (2014).
Meningkatkan keterampilan
melompat melalui permainan
tradisional lompat tali bagi anak
tunagrahita ringan kelas II di SDLB
35 Painan. E-JUPEKhu, 3 (1), 299-
307.
Direktorat Nilai dan Budaya, 2000
Keterampilan Strategi dan
Persaingan (Jakarta : Departemen
Kebudayaan Dan Pariwisata
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 40
Delphie, B. 2007. Pembelajaran Anak
Tunagrahita. Bandung: PT Refika
Aditama
Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar
Psokopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Hasanah I.Nor & Pratiwi H. (2016).
Pengembangan Anak Melalui
Permainan Tradisional.Yogyakarta
: Aswaja Presindo
Sari, S. (2015). Efektivitas permainan
engklek untuk mengenal bilangan
bagi anak tunagrahita sedang X
DIII C1 SLB C Payakumbuh. E-
JUPEKhu. (4) 1. 162-173. Diakses
dari
Http://Ejournal.Unp.Ac.Id/Index.P
hp/Jupekhu/
Article/Download/4632/3671.
Seman, Syamsiar. 2014. Permainan
Tradisional Orang Banjar.
Banjarmasi : Lembaga pengkajian
dan PelestarianBudaya Banjar,
Kalimantan Selatan.
Somantri, Sutjihati. 2012. Psikologi Anak
Luar Biasa, Bandung: PT. Refika
Aditama .
Tadkiroatun Musfiroh. 2005. Bermain
Sambil Belajar dan Mengasah
Kecerdasan . Jakarta : Depdiknas
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 41
ABSTRACT
PACKAGING AGRICULTURAL PRODUCTS ASSESSMENT
Emay Mastiani, Special Education, Universitas Islam Nusantara (Uninus),
Assessment is needed before learning for mentally disabled learners. Assessment rationales are
needed to determine their abilities, difficulties, and learning needs. Assessment implementation
may use non-formal assessment instrument because formal instruments are rarely used. This
study develops an assessment instrument for pack agricultural products to be used in vocational
learning. Preparation of the assessment based on learning needs that is adjusted to the condition
and learners characteristics mild mentally disabled also the needs of work’s field. The purpose
of this assessment is as a guide that teachers can use in choosing the language that will be given
to the students at school. This research method is using qualitative descriptive method. The
research method used qualitative descriptive method, data acquisition through observation,
interview, and documentation study. As the steps taken in preparing the assessment instruments
are as follows: 1) determining the scope/skill to be assessed, 2) determining the behavior to be
assessed, 3) preparing the grid, 4) the development of assessment instrument items, and 5)
Student Worksheet (LKS). The results of the assessment, some of the learners have ability to
pack some agricultural products, such as packing beans, oyster mushrooms, cabbage, and
tomatoes, these evidences are validated by the work providers. This study shows that mild
mentally disabled learners can master one of the skills that can be their life provision in the
community, with adjustable work training to the conditions and characteristics of mild mentally
disabled.
Keywords: Assessment, Packaging, Agricultural Products
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 42
ABSTRAK
ASESMEN MENGEMAS PRODUK PERTANIAN
Emay Mastiani, Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Islam Nusantara (Uninus),
Asesmen sangat diperlukan sebelum pembelajaran dilaksanakan bagi peserta didik tunagrahita.
Alasan asesmen diperlukan guna mengetahui kemampuan, kesulitan, dan kebutuhan belajar.
Dalam pelaksanaan asesmen dapat menggunakan instrumen asesmen nonformal hal ini
dikarenakan instrumen asesmen formal jarang didapatkan. Penelitian ini menyusun instrumen
asesmen mengemas produk pertanian yang akan digunakan dalam pembelajaran keterampilan
kerja. Penyusunan asesmen berdasarkan pada kebutuhan pembelajaran keterampilan yang
disesuiakan dengan kondisi dan karakteristik peserta didik tunagrahita ringan serta kebutuhan
dunia kerja. Tujuan penyusunan asesmen ini adalah sebagai panduan yang dapat digunakan
oleh guru keterampilan dalam memilih keterampilan yang akan diberikan pada peserta didik di
sekolah. Metode Penelitian yang digunakan metode deskriptif kualitatif, perolehan data
melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan dalam menyusun instrumen asesmen sebagai berikut: 1) menentukan
lingkup/keterampilan yang akan diaseskan, 2) menetapkan perilaku yang akan diases, 3)
menyusun kisi-kisi, 4) mengembangkan butir-butir instrumen asesmen, dan 5) membuat
Lembar Kerja Siswa (LKS). Hasil penelitian sebagian peserta didik tunagrahita memiliki
kemampuan dalam mengemas beberapa produk pertanian, seperti mengemas buncis, jamur
tiram, kol (kubis), dan tomat, hal ini dibuktikan dengan hasil validasi dari penyedia pekerjaan.
Kesimpulan peserta didik tunagrahita ringan dapat menguasai salah satu keterampilan kerja
yang menjadi bekal hidup di masyarakat, dengan catatan keterampilan kerja disesuaikan
dengan kondisi dan karakteristik dari tunagrahita ringan.
Kata Kunci: Asesmen, Mengemas, Produk Pertanian
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 43
A. Pendahuluan
Pendidikan keterampilan sangat
dibutuhkan oleh anak tunagrahita ringan
guna membekali anak tunagrahita pada saat
setelah lulus SMALB. Pembelajan
keterampilan yang diberikan kepada
peserta didik tentunya harus disesuikan
dengan kondisi dan karakteristik peserta
didik serta kebutuhan dunia kerja. Hal
tersebut sangat beralasan karena 1) apabila
keterampilan kerja yang diberikan tidak
sesuai dengan kondisi dan karakteristik
tunagrahita, maka keterampilan tersebut
tidak akan dikuasai dengan baik, 2) apabila
keterampilan kerja yang diajarkan tidak
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, maka
mereka lulusan SMALB akan menganggur
sedangkan tujuan dibekali keterampilan
agar mereka dapat bekerja.
Guna mendapatkan keterampilan
yang sesuai dengan yang telah disebutkan
di atas, maka dibutuhkan instrumen
asesmen yang dapat mengungkap apa yang
ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu;
1) kesesuaian/kesiapan fisik dari anak
tunagrahita untuk dapat menguasai
keterampilan kerja yang akan diberikan, 2)
ketersediaan pekerjaan atau peluang
pekerjaan di masyarakat yang sesuai
dengan kondisi dan karakteristik anak
tunagrahita, 3) kesediaan pemilik home
industry untuk menerima pekerja anak
tunagrahita, 4) pihak sekolah memiliki
kerjasama dengan penyedia pekerjaan
(home industry)
Adapun langkah-langkah dalam
menyusun instrumen asesmen dilakukan
beberapa tahap agar hasil asesmen sesuai
dengan yang diharapkan. Soendari &
Mulyati (2010:17) mengemukan ada
beberapa langkah yang ditempuh dalam
memilih dan menetapkan perilaku yang
akan diaseskan, yaitu:
1) Pilihlah salah satu komponen yang
diprioritaskan dari semua
komponen/bidang/aspek/ yang
akan diaseskan. Buatlah batasan
secara konseptual tentang wilayah
yang akan diases dan urutkan
komponen-komponen/sub
komponen-sub komponen yang
berada pada wilayah aspek
tersebut
2) Tentukan subjek yang akan diases
3) Tetapkan tujuan dilakukannya
asesmen
4)Tentukan teknik yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan
asesmen
Pendapat lain tentang langkah-
langkah menyusun instrumen asesmen
Menurut Rochyadi & Alimin (2005)
“beberapa langkah yang harus
dilakukan yaitu: 1) menetapkan aspek
dan ruang lingkup yang akan diases
2) memilih komponen mana yang
akan diases 3) menyusun kisi-kisi
instrumen asesmen, dan 4)
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 44
mengembangkan butir-butir asesmen
berdasarkan kisi-kisi yang telah
dibuat”.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan
sekolah belum memiliki instrumen asesmen
keterampilan kerja yang dapat membantu
guru dalam menetapkan atau memilih jenis
keterampilan yang sesuai dengan anak
tunagrahita ringan, sekolah penyusunan
program pembelajaran keterampilan yang
diberikan kepada siswa tidak berdasarkan
hasil asesmen.
B. Metode Penelitian
Memilih metode penelitian yang tepat
untuk sebuah penelitian merupakan
langkah penting yang harus dilakukan oleh
seorang peneliti karena metode penelitian
merupakan panduan bagi peneliti yang di
dalamnya mengungkapkan tentang urutan-
urutan bagaimana penelitian dilakukan.
Seperti dikemukakan oleh Surahkmad
(2010:122) bahwa:
“Metode merupakan cara utama yang
digunakan untuk mencapai tujuan,
dengan demikian segala hal kegiatan
yang disadari dan menghendaki
tercapainya tujuan memerlukan cara
atau metode”.
Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan secara sistematis fakta
dan karakteristik objek dan subjek
penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat
Moleong (2011:6) yang menyatakan
bahwa:
“Metode deskriptif adalah penelitian
yang bertujuan mendeskripsikan atau
menjelaskan sesuatu hal seperti apa
adanya. Metode ini dilakukan untuk
mengungkap peristiwa atau gambaran
atas fenomena yang terjadi pada masa
sekarang”.
Dalam pelaksanaanya, penelitian
dilakukan melalui pendekatan kualitatif.
Bogdan dan Taylor yang dalam Moleong
(2011:4) bahwa:
“Metode penelitian kualitatif sebagai
prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati, pendekatan ini diarahkan
pada latar dan individu tersebut secara
holistik (utuh)”.
Peneliti berupaya mengungkapkan
fenomena-fenomena yang terjadi di
lapangan apa adanya Data tersebut berupa
deskripsi kata-kata bukan angka. Dengan
pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang sebanyak-
banyaknya mengenai instrumen asesmen
keterampilan kerja.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui, observasi,
wawancara, dan teknik dokumentasi.
Mengenai teknik observasi Moleong
(2011:174) mengemukakan: “Pengamatan
memungkinkan peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 45
pengetahuan proporsional maupun
pengetahuan yang diperoleh dari data”.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan
terhadap anak tunagrahita berkaitan dengan
kondisi fisik yang dapat menunjang
kemampuan dalam menguasai
keterampilan kerja. Wawancara dilakukan
terhadap guru dan penyedia pekerjaan
(home industry). Wawancara yang
dilakukan terhadap guru, guna mengungkap
apakan penyusunan program pembelajaran
keterampilan kerja yang telah dilakukan
guru dalam menyusun program tersebut
sudah berdasarkan asesmen atau belum.
Wawancara terhadap penyedia pekerjaan
adalah berkaitan dengan ketersediaan
pekerjaan bagi anak tunagrahita. Studi
dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui apakah instrumen
asesmen keterampilan kerja sudah tersedia
atau belum di sekolah guna keperluan
pembelajaran keterampilan kerja.
C. Hasil dan Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penyusunan instrumen asesmen
keterampilan kerja adalah; a. instrumen
asesmen dapat dijadikan panduan untuk
memilih keterampilan kerja yang sesuai
dengan kondisi dan karakteristik anak
tunagrahita ringan serta kesempatan kerja
yang tersedia, b. hasil asesmen yang telah
diperoleh dapat dijadikan acuan untuk
menyusun program keterampilan kerja
yang akan diberikan kepada siswa sehingga
siswa tunagrahita dapat menguasai
keterampilan yang diajarkan karena
program yang diberikan sesuai dengan
kondisi siswa.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Kesesuaian/kesiapan fisik dari anak
Tunagrahita untuk dapat menguasai
keterampilan kerja yang akan
diberikan, Hasil asesmen menggambarkan
bahwa anak tunagrahita ringan kelas XII
memenuhi syarat untuk mengikuti
pembelajaran keterampilan kerja yang telah
ditetapkan berdasarkan keterampilan kerja
yang tersedia dan peluang pekerjaan yaitu
me, adapun hasil angemas produk
ASESMEN
JENIS
KETERAMPILAN
KESESUAIAN FISIK
KETERAMPILAN KERJA
YANG SESUAI UNTUK ANAK
TUNAGRAHITA RINGAN
PELUANG PEKERJAAN DAN
KESEDIAAN HOME
INDUSTRY MENERIMA
PEKERJA TUNAGRAHITA
RINGAN
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 46
pertanian, hasil sesmen sebagai berikut: a)
Fisik: anak memiliki kondisi fisik normal
hampir tidak terlihat perbedaan dengan
anak lainnya, seperti; postur tubuh yang
proporsional, gerak tubuh lentur, motorik
halus dan motorik kasar baik, cara berjalan
tidak kaku, mampu berjalan dari rumah
sampai sekolah kurang lebih 1km, posisi
duduk tegap, mampu memegang benda
baik yang kecil maupun besar, mampu
mengangkat benda/beban hingga kurang
dari 10 kg. b) kemampuan akademik: anak
mampu mengikuti instruksi dari guru ketika
pembelajaran di kelas berlangsung; c)
kemampuan sosial: anak mampu
memahami pergantian siang dan malam,
mampu melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan kebutuhan dirinya sendiri seperti;
mandi, mencuci rambut, mencuci tangan,
mengosok gigi, buang air besar dan
membersihkannya, buang air kecil dan
membersihkannya, memakai baju baik
seragam sekolah maupun baju sehari-hari,
menyisir rambut, memakai bedak untuk
perempuan, memakai sepatu bertali, dan
anak mampu bersosialisasi baik di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan
tempat tinggal anak; dan d) pekerjaan: anak
memiliki ketertarikan terhadap
keterampilan kerja yang diajarkan hal ini
dibuktikan dengan antusias dari anak ketika
pembelajaran berlangsung.
2. Ketersediaan pekerjaan atau peluang
pekerjaan di masyarakat yang sesuai
dengan kondisi dan karakteristik anak
tunagrahita, pemilihan jenis
keterampilan kerja yang sesuai dengan
kondisi dan karakteristik anak tunagrahita
memegang peranan yang sangat penting,
hasil penelitian diperoleh jenis pekerjaan
yang sesuai dengan kondisi dan
karakteristik anak dan disesuiakan dengan
peluang pekerjaan yang tersedia di
srekitar tempat tinggal siswa, yaitu
mengemas produk pertanian seperti;
mengemas sayuran menggunakan plastik
kedap udara dan menggunakan sterefom,
dimana sayuran yang sudah dikemas
tersebut untuk didistribusikan ke
supermarket. Proses mengemas produk
pertanian di daerah Lembang dilakukan di
industri rumahan yang terletak di sekitar
tempat tinggal siswa, proses pengemasan
dilakukan di rumah tempat tinggal. Proses
mengemas produk pertanian ini
memerlukan tenaga kerja padat karya dan
proses pengemasan dikerjakan secara
manual, jadi dapat menyerap tenaga kerja.
3. Kesediaan pemilik home industry
untuk menerima pekerja anak
tunagrahita, hasil penelitian diperleh data
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 47
melalui wawancara bahwa pada dasarnya
pemilik home industry bersedia menerima
pekerja tunagrahita, akan tetapi
diberlakukan ketentuan khusus bagi pekerja
tunagrahiya yaitu; upah di bawah para
pekerja pada umumnya, ketepatan waktu
menyelesaikan pekerjaan tidak menjadi
syarat mutlak, lama bekerja disesuaikan
dengan kemampuan anak tunagrahita, serta
jumlah pekerjaan yang diselesaikan sesuai
dengan kemampuan anak tunagrahita
ringan.
D. Kesimpulan
Secara umum anak tunagrahita ringan
memiliki kemampuan untuk dapat
menguasai keterampilan kerja atau fisik
mereka memenuhi syarat untuk
mengerjakan pekerjaan yang memerlukan
kegiatan fisik, selain itu keterampilan kerja
yang akan diberikan di sekolah harus
disesuaikan dengan kemampuan mereka
memahami perintah (kaitannya dengan
kecerdasa), keterampilan kerja yang
diberikan sesuai dengan kesempatan kerja
yang tersedia di lingkungan dekat dengan
tempat tinggal siswa sehingga siswa dapat
bekerja tidak terkendala oleh jarak, dan
pihak sekolah memiliki kerjasama dengan
penyedia pekerjaan agar anak tunagrahita
lulusan SMALB memiliki pekerjaan.
E. Daftar Pustaka
Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik Anak
Tunagrahita. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Astati. (2001). Persiapan Pekerjaan
Penyandang Tunagrahita. Bandung
: CV. Pendawa.
Astati. (2002). Mengenal Anak
Tunagrahita dan Pendidikannya
(makalah pengayaan). Jakarta :
Depdiknas.
Astati dan Lis Mulyati. (2010). Pendidikan
Anak Tunagrahita. Cetakan
Pertama. Bandung: CV. Catur
Karya Mandiri.
Depdiknas. (2011). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Kirk dan Gallegher. (1986). Educating
Exceptional Chilldren.
Dialihbahasakan oleh Moh. Amin
dan I.G. Kusumah. DNIKS. Jakarta
Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soendari, T & Euis Nani M. (2010).
Asesmen Dalam Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus. Cetakan
Pertama. Bandung: CV. Catur
Karya Mandiri.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 48
Mengaitkan Inisiatif SDGs (Sustainable Development Goals) dengan Sheltered Workshops Berbasis Desa: Difabel Berdaya di Era Kekinian
Dwitya Sobat Ady Dharma
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Tulisan ini merupakan respon positif terhadap diberlakukannya SDGs (Sustainable
Development Goals) di awal tahun 2016. Ide penulisan ini diawali dengan semangat kebaruan
dalam mengkaitkan inisiatif SDGs dengan sheltered workshops untuk penyandang disabilitas.
Merespon tentang inisiatif tersebut, penyandang disabilitas sebagai salah satu unsur di
masyarakat juga merupakan elemen penunjang keberhasilan SDGs dalam level daerah. Salah
satu keniscayaan yang menjadi harapan, penyandang harus berdaya, memiliki daya saing,
berpengetahuan, dan dapat menerapkan keseimbangan hidup sesuai dengan nilai-nilai SDGs
yang terbingkai dalam sheltered workshops berbasis masyarakat. tulisan ini berisi sumbang
saran mewujudkan sheltered workshops berwawasan SDGs sebagai ajang promosi
mewujudkan kesejahteraan difabel di tingkat desa.
Kata kunci: SDGs (Sustainable Development Goals), Sheltered Workshops, Difabel
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 49
A. Pendahuluan
SDGs merupakan semangat baru yang
sangat strategis untuk dapat mengangkat
kesejahteraan difabel karena berfokus pada
pengembangan manusia yang dimulai dari
level terkecil yaitu pemerintah daerah.
Keberhasilan tujuan pembangunan
berkelanjutan ini tidak dapat dipisahkan
dari peranan penting pemerintah daerah
karena lebih dekat dengan warga, memiliki
wewenang, dana, dan dapat melakukan
berbagia inovasi yang diimplementasikan
dalam kebijakan-kebijakan daerah. Tujuan
ini semakin memberi harapan bagi difabel
karena ada banyak tujuan yang
memfokuskan diri bagi pengembangan
kaum marjinal yang saling berkolaborasi,
misalnya saja pengentasan kemiskinan,
pendidikan yang merata dan berkualitas,
pengentasan kelaparan, maupun
pembangunan ekonomi, industri dan
infrastruktur. Harapan akan kesejahteraan
yang semakin mapan ini adalah wajar
terjadi namun akan menjadi impian belaka
jikalau tidak disambut dengan aksi nyata.
Dari pengalaman era MDGs (2000–
2015), Indonesia belum berhasil
mengangkat kesejahteraan difabel
dikarenakan pemerintah daerah tidak aktif
dalam pelaksanaan MDGs.1 Melihat
kenyataan, usaha-usaha yang dilakukan
oleh pegiat difabel dalam memandirikan
dan meningkatkan daya saing difabel
dihadang oleh kendala besar. Pemerintah
daerah dan LSM masih berjalan sendiri-
sendiri, adanya kesenjangan yang belum
teratasi, kurangnya kepedulian masyarakat,
dan minimnya partisipasi difabel dari
1 Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs untuk
Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan
Pemangku Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid. H. 9 2 UNDP Indonesia. (2015). Konvergensi Agenda
Pembangunan Nawa Cita, RPJMN, dan SDGs.
Jakarta: UNDP Indonesia. H. 4. 3 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota
yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di
tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah
berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana
publikasi BPS2, penduduk terkaya
mengambil lebih dari 48% total presentase
pengeluaran rumah tangga, sementara 40%
penduduk termiskin hanya 17%. Ini
merupakan suatu perubahan signifikan dari
posisi pada awal reformasi yang disebutkan
di atas yakni 45% bagi kelompok kaya dan
19% dari kelompok miskin. Lebih jauh lagi,
secara spasial tiga pulau paling dinamis
(Sumatera, Jawa, dan Bali) mengambil 83%
keseluruhan PDRB pada tahun 2014.
Selain tingginya ketimpangan,
problem partisipasi juga menjadi salah satu
kendala tidak efektifnya program
pembangunan. Penyebabnya ruang
partisipasi yang dibangun cenderung
formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya
wahana partisipasi masyarakat yang diakui
pemerintah hanyalah forum musyawarah
rencana pembangunan (musrenbang).
Sekilas forum ini cukup partisipatif karena
masyarakat diberikan hak untuk
mengusulkan program/kegiatan sekaligus
kritik, saran dan masukan terhadap kinerja
pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat
formalitas dan palsu karena usulan, kritik
dan saran masyarakat akhirnya diamputasi
ketika proses penganggaran memasuki
internal elit karena di dalam forum tersebut
semuanya sudah bersifat tertutup sehingga
tidak bisa diikuti bahkan dihadiri
masyarakat secara langsung.3 Data yang
diperoleh, tingkat partisipasi difabel dalam
dunia kerja pun rendah. Berdasarkan
penelitian LPEM Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia pada akhir
2016, estimasi jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia mencapai 12,15%
ketika memasuki tahapan lebih tinggi. Lihat Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local
Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
Dikutip dari Sucipto, yeni (2013). Akuntabilitas dan
Partisipasi Salah Satu Kegagalan Target MDGs,
Rendahnya Derajat Transparansi. Diunduh dari
http://yennysucipto.blogspot.co.id/2013/01/oleh-
yenny-sucipto-menyoal-berbagai.html pada tanggal
8 Juni 2017.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 50
dari populasi atau hampir 30 juta jiwa. Dari
30 juta tersebut, hanya 51,12% penyandang
disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar
kerja. Jumlah tersebut sangat rendah jika
dibandingkan dengan pekerja non-difabel
yang mencapai 70,40%. Bahkan hanya
20,27% penyandang disabilitas kategori
berat yang bekerja.4
Merespon fakta-fakta di atas,
penyelenggara pendidikan bagi
penyandang disabilitas mulai
memperkenalkan batu loncatan yang
membantu siswanya untuk lebih terbiasa
dengan dunia kerja yang secara istilah
disebut sheltered workshops (bengkel kerja
terlindung). Sheltered workshops ini
merupakan harapan baru bagi difabel,
namun pengembangan yang dilakukan oleh
banyak institusi masih memiliki banyak
tantangan. Salah satu kendala yang sering
terjadi adalah minimnya ragam mata
pencaharian dan tidak adanya keberlanjutan
sehingga apa yang dilatih dalam bengkel
kerja tidak laku di masyarakat. Bagi
lembaga yang belum melaksanakan jejaring
atau menindaklanjuti vokasional yang
disediakan lembaga, kadang-kadang
berimplikasi kurang relevansinya antara
keterampilan yang dipelajari oleh lembaga
dengan kegiatan yang dilakukan setelah
menjadi alumni (Mumpuniarti, 2014: 98)5.
Hal ini akan berdampak banyak perusahaan
yang hanya mau menerima pegawai normal
secara fisik karena menganggap
penyandang disabilitas kurang mendukung
tercapainya target secara finansial. Dengan
stigma negatif tersebut, penyandang
disabilitas akan kesulitan dalam
4 Data dilansir dari Haniy, Sakinah Ummu (2016).
Mengapa Partisipasi Penyandang Disabilitas
dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh dari
http://www.rappler.com/indonesia/berita/155758-
sebab-solusi-partisipasi-penyandang-disabilitas-
tenaga-kerja pada tanggal 9 Juni 2017. 5 Mumpuniarti, dkk (2014). Efektivitas Program
Pasca Sekolah bagi Kemandirian Penyandang
Disabilitas Intelektual. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan Luar Biasa UNY.
Volume 1, No. 2. Desember 2014.
berpartisipasi aktif sehingga menimbulkan
masalah secara sosial dan personal seperti
perasaan tidak berdaya dan tidak berharga
di masyarakat.
Sheltered workshops berwawasan
SDGs menjadi penting dilakukan karena
memiliki berbagai karakteristik yang dapat
menjembatani antara dunia kerja dengan
program-program vokasi yang dilakukan di
sekolah-sekolah dan memiliki paradigma
keberlanjutan. Sheltered workshops ini
mempunyai karakteristik yang bersesuaian
dengan layanan transisi yang dikemukakan
oleh Individuals with Disabilities Act
(IDEA)6, bersifat global, dan bersifat saling
mendukung pada nilai-nilai SDGs sehingga
keberhasilan bisa lebih mudah diraih. SDGs
ini memiliki 17 point, yaitu (1) menghapus
kemiskinan, (2) mengakhiri kelaparan, (3)
kesehatan dan kesejahteraan, (4) kualitas
pendidikan yang baik, (5) kesetaraan
gender, (6) air bersih dan sanitasi, (7) akses
ke energi yang terjangkau, (8) pertumbuhan
ekonomi, (9) inovasi dan infrastrukstur,
(10) mengurangi ketimpangan, (11)
pembangunan berkelanjutan, (12)
konsumsi dan produksi berkelanjutan, (13)
mencegah dampak perubahan iklim, (14)
menjaga sumber daya laut, (15) menjaga
ekosistem darat, (16) perdamaian dan
keadilan, dan (17) revitalisasi kemitraan
global (Infid, 2015). Meskipun terdiri dari
17 point, tetapi pada dasarnya SDGs terbagi
menjadi tiga pilar utama, yaitu
pembangunan manusia, pembangunan
ekonomi sosial, dan pembangunan
lingkungan.
6 Best practice transitions services correlate with
enhanced community living outcomes. Layanan itu
meliputi (1) pengetahuan tentang hubungan filosofi
pendidikan dan pilihan hidup yang tersedia, (2)
perkembangan dari kemampuan self-determination,
(3) ketersediaan partisipasi masyarakat dan
keterampilan membangunnya, (4) fleksibel,
komprehensif, dan hubungan natar lembaga yang
mendukung layanan.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 51
Tuntutan di era kekinian yang
menuntut difabel berdaya merupakan
sebuah keharusan. Difabel sebagai salah
satu bagian dari masyarakat juga
mendapatkan tanggung jawab untuk ikut
serta menyukseskan SDGs dalam lingkup
global yang dimulai dari ranah desa.
Penyandang disabilitas sangat
membutuhkan ruang untuk berdaya,
berkarya, dan berkreasi sehingga dapat
lebih prestatif di era kekinian. Tulisan ini
berupaya menjabarkan sumbang saran
mewujudkan sheltered workshops
berwawasan SDGs untuk mempromosikan
kesejahteraan difabel yang berkelanjutan.
B. Difabel Berdaya di Era Kekinian
1. Memahami Makna Disabilitas:
Persepsi dan Makna
Membaca kisah sejarah penyandang
disabilitas di masa lampau seperti
membuka kisah-kisah kelam. Sebelum
Islam datang, difabel di jazirah Arab
merupakan kaum yang dikucilkan dalam
pergaulan, tidak boleh makan bersama,
hak-hak sipilnya dipasung, dan dikurung.
Sparta membolehkan pembunuhan bayi-
bayi difabel (infanticade). Alasannya
sederhana, orang-orang difabel
berseberangan, dan akan menghalangi
penciptaan negara yang kuat dan sempurna.
Masyarakat Roma pun demikian.
Masyarakat mendambakan pentingnya
kebebasan individu, kebebasan militer, dan
seni perang yang menjadi penyokong
kekokohan Roma. Pembunuhan dan
penghanyutan di Sungai Tiber bayi yang
sakit-sakitan, lemah dan difabel disahkan
oleh negara. Orang-orang kerdil (midget)
dan orang buta sering digunakan sebagai
permainan untuk bertarung dengan
7 Vardit Rispler. (2010). Difabilitas Dalam Hukum
Islam (Disability in Islamic Laws). Israel: The
University of Haifa. h. 3. 8 Amin Abdullah. (2010). Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) dan Difabel (Different Ability). Suka
News Edisi VII No. 32/ Maret-April , h. 22.
perempuan atau hewan hingga menjadi
tertawaan banyak orang (Thohari, 2007:
107).
Dalam terminologi Arab, kita akan
sering menemukan label hambatan-
hambatan dari kecatatan yang lebih
spesifik, misalnya a’ma (buta), asamm
(tuli), abkam atau akhras (bisu), a’raj
(pincang), majnun (gila), dan khunta
(berkelamin ganda).7 Menurut Amin
Abdullah (2010) istilah kecatatan ini
sebelumnya lebih dikenal dengan disable
(ketidakmampuan), tapi kemudian
disempurnakan menjadi difabel (different
ability).8 Menurut Kirk (2008: 37)9
seseorang hanya dianggap difabel apabila
memiliki kebutuhan khusus untuk
menyesuaikan program pendidikan dan
sosial. Konotasi difabel menawarkan
penilaian yang lebih bijak, karena
menempatkan orang yang memiliki
hambatan sementara maupun permanen
dalam menjalankan keseharian mereka
dalam perspektif luas dan luwes.
Setidaknya mereka tidak dianggap sebagai
orang yang tidak berguna dan menerima
stereotipe negatif selama hidupnya.
Penggunaan istilah difabel juga mengajak
kita memahami adanya keberagaman dan
menghargai tingkat kemampuan antara satu
orang dan lainnya (Tobroni, 2015: 342).
Konvensi International Hak-Hak
Penyandang Cacat dan Protokol Opsional
Terhadap Konvensi (Resolusi PBB 61/106
13 Desember 2006), mendefinisikan bahwa
Penyandang cacat adalah setiap orang yang
tidak mampu menjamin oleh dirinya
sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan
individual normal dan/atau kehidupan
sosial, sebagai hasil dari kecatatan mereka,
baik yang bersifat bawaan maupun tidak,
dalam hal kemampuan fisik atau
9 Dalam Jamila Muhammad. (2008). Special
Education for Special Children. Jakarta: Penerbit
Hikmah. h. 37.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 52
mentalnya. Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (CRPD)
mendefinisikan disabilitas sebagai hasil
interaksi antara penyandang ketunaan
dengan hambatan sikap dan hambatan
lingkungan yang menghambat partisipasi
mereka secara penuh dan efektif dengan
orang-orang lain di dalam masyarakat atas
dasar kesetaraan. Pengertian dari CRPD
tersebut mengindikasikan bahwa disabilitas
bukan merupakan suatu hambatan bagi
orang-orang yang memiliki kelainan fisik
untuk melakukan berbagai aktifitas seperti
layaknya orang normal. Hanya saja mereka
memiliki cara yang berbeda dalam
melakukan aktifitas tersebut (Saputro,
2015: 4).10
Menurut UU RI No. 8 Tahun 2016
tentang penyandang disabilitas,
penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/ atau sensorik
dalam waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak. Difabel menurut
kebutuhannya dapat dibedakan menjadi
lima kategori, yaitu individu dengan
hambatan komunikasi, interaksi dan bahasa
(HKIB); individu dengan hambatan
persepsi, motorik, dan mobilitas (HPMM);
individu dengan hambatan emosi dan
perilaku (HEP); individu dengan hambatan
kecerdasan dan akademik (HKA); dan
individu dengan bakat istimewa dan cerdas
istimewa (CI&BI). Banyak sebutan dan
istilah yang digunakan untuk
mengategorikan difabel. Istilah ini
digunakan untuk membantu dalam
pengumpulan informasi dan membuat
persiapan akses kebutuhan.11 Informasi
10 Sulistyo, Saputro, dkk (2015). Analisis Kebijakan
Pemberdayaan dan Perlindungan Sosial
Penyandang Disabilitas. Jakarta: Deputi Bidang
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan
Perlindungan Sosial. H. 20.
yang jelas tentang kebutuhan ini akan
membantu dalam pemantauan lingkungan
untuk memastikan keadaan lingkungan
sesuai dengan keadaan penyandang cacat.
Hal ini penting karena tanpa disadari
masyarakat cenderung memandang difabel
dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial
yang menyangkut partisipasi dan
penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi.
Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan
bahwa kelainan sering dipandang dari
ketidakmampuan (disability) dan
merupakan akibat dari suatu yang
ditentukan masyarakat.12 Padahal, difabel
yang menjalani proses sosial terpisah
dengan masyarakat akan mengalami
ketidakseimbangan yang dapat dilihat
dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan
diri. Ketidakseimbangan ini akan terlihat
dari kesejahteraan difabel yang kurang dari
segi fisiologis, psikologis, dan sosial.
Kecacatan yang dialami difabel
berdampak langsung pada kondisi
emosional penderita yang bervariasi
tergantung pada derajat kecacatan, waktu
terjadinya kecacatan, derajat keterbatasan
dalam beraktivitas, sikap orang di
sekitarnya, dan sikap dari penyandang cacat
itu sendiri. Reaksi emosional ini akan
bertambah buruk manakala penyandang
cacat tidak mampu melaksanakan fungsi-
fungsi sosial di masyarakat, seperti
ketidakberdayaan ekonomi, keterbatasan
dalam bersosialisasi, dan menurunnya
peran sosial. Akibat kondisi yang demikian,
sangat diperlukan rehabilitasi sosial yang
mengarah pada terbangunnya kesejahteraan
sosial penyandang cacat agar hambatan-
hambatan yang dialami tidak menyebabkan
tergantung dari belas kasihan.
11 Ibid, h. 38. 12 Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi
dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional. h.16.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 53
Data yang diperoleh13, penyandang
cacat di Indonesia berjumlah 1,48 juta
(0,7% dari total penduduk Indonesia) dan
jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-
18 tahun) ada 21,42% dari seluruh
penyandang cacat. Jumlah ini pun akan
semakin bertambah ketika dijumlahkan
dengan seluruh propinsi yang ada di
Indonesia. Berdasar analisa deskriptif
PMKS-BPS dan Depsos14, jumlah
penyandang cacat pada tahun 2020
mencapai 1.830.800. Dari analisis tersebut,
terjadi kenaikan yang cukup signifikan
jumlah penyandang disabilitas dari waktu
kewaktu. Tahun 2003,jumlah penyandang
disabilitas hanya mencapai 0,69% dari
jumlah penduduk, kemudian pada tahun
2006 ternyata meningkat menjadi 1,38%
dan kemudian menurun pada tahun 2009
yaitu sebanyak 0,92% dan kembali naik
pada tahun 2012 yaitu sejumlah 2,45%.
Terdapat dua asumsi yang menilai mengapa
jumlah penyandang disabilitas meningkat
tajam, yang pertama adalah karena
pendataan yang belum akurat sehingga
pada tahun 2003 belum semua penyandang
disabilitas terdata dengan baik. Asumsi
yang kedua menyatakan bahwa karena
banyaknya makan dan polusi udara
menyebabkan banyak janin yang
terkontaminasi yang menyebabkan
terjadinya cacat bawaan (Saputro, 2015: 9).
Terlepas dari kedua asumsi tersebut, angka
penyandang disabilitas tersebut relatif besar
dan semuanya belum bisa tertangani
dengan baik.
Berdasar data, 39,97% penduduk
Indonesia berada pada posisi kecacatan satu
jenis, yang kemudian bertambah menjadi
beberapa kecacatan jenis yang lain. Yaitu
13 Data Susenas 2008, Program Direktorat
Pembinaan SLB Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus. Makalah
pendamping dalam Seminar “Hari Cacat
Internasional” tanggal 4 Desember 2008. 14 Sensus tahun 2000 , Program Direktorat
Pembinaan SLB Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus. Makalah
gangguan dalam penglihatan sebagai jenis
kecacatan tertinggi yaitu 29,63%, diikuti
dengan gangguan atau kesulitan dalam
berjalan atau naik tangga sebanyak 10,26%,
gangguan dalam mendengar 7,87%,
gangguan dalam mengingat dan
berkonsentrasi sebanyak 6,70 % dan
gangguan terendah adalah dalam
berkomunikasi sebanyak 2,74% dan
gangguan dalam mengurus diri sendiri
sebanyak 2,83% (Saputro, 2015: 10). Dari
data-data yang dikemukakan, sebetulnya
Indonesia tidak memiliki data yang pasti
terkait jumlah penyandang disabilitas. Hal
itu terlihat dari tidak adanya
kesinkronisasian antara data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) yang sudah berbasis
Internasional dengan data kementerian/
lembaga terkait masalah sosial15. Perbedaan
data tersebut memang belum diverifikasi
kepastiannya, tetapi yang sering terlupakan
adalah tidak jarang keluarga penyandang
disabilitas sering menyembunyikan
anggotanya yang difabel untuk
menghindari rasa malu atau menganggap
orang difabel sebagai aib bagi keluarga
sehingga luput dari sensus. Ketika
pemerintah kurang memberikan ruang
berkarya bagi difabel, maka tidak dapat
dipungkiri ketika difabel tumbuh dewasa
akan menjadi beban karena tidak dapat
bersaing. Difabel akan dianggap sebagai
manusia pinggiran yang mempunyai harkat
martabat rendah. Penyandang cacat sangat
membutuhkan ruang untuk berkarya dan
wadah eksistensi diri sejak dini yang
didukung oleh birokrasi dan peran serta
pendamping dalam Seminar “Hari Cacat
Internasional” tanggal 4 Desember 2008. 15 Data penyandang Disabilitas tidak Singkron
(2015). Diunduh dari
http://www.harianterbit.com/hanterhumaniora/read/
2015/06/30/33803/87/40/Data-Penyandang-
Disabilitas-di-Indonesia-Tidak-Sinkron.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 54
masyarakat yang saling terintegrasi
(Dharma, 2016)16.
2. Kesejahteraan Penyandang
Disabilitas: Antara Harapan dan
Realita
Kesejahteraan adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangan
dengan wajar, baik rohani, jasmani,
maupun sosial.17 Dalam kerangka difabel,
kesejahteraan ini berarti penyandang cacat
memperoleh perlindungan pemenuhan
(rohani, jasmani, sosial) dan pemajuan hak
serta martabat.18 Untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial difabel, dapat
dilakukan dengan pendekatan yang bersifat
pembinaan dan pengembangan
kesejahteraan sosial yang secara dini dapat
diakses melalui pendidikan yang dilengkapi
dengan fasilitas yang dapat
mengakomodasi kebutuhan dan
hambatannya. Undang-undang No. 8 tahun
2016 dan didukung dengan peraturan
pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang
upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang disabilitas mengamanatkan,
bahwa pemerintah dan masyarakat
berkewajiban melakukan upaya
kesejahteraan sosial dengan
menyelenggarakan rehabilitasi sosial orang
dengan disabilitas, sehingga dapat memiliki
keterampilan kerja sesuai bakat dan
kemampuannya.19
16
Dwitya Sobat Ady Dharma. (2015).Pendidikan
Pra-Vokasional yang Berkelanjutan untuk
Kemandirian Difabel di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Anthology Permitha: Galeri Essay
Mahasiswa Indonesia di Thailand, Desember 2015. 17 Sri Moerdiani. Ibid. h. 18. 18 Konsep ini sesuai dengan isi Konvensi tentang
Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat
Penyandang Cacat (Convention on the Protection
and Promotion of the Rights and Dignity of Person
with Disabilities) tanggal 30 Maret 2007. Lebih
dari 70 negara menandatangani konvensi tersebut. 19 Tjahcoyo, Bambang (2017). Manejemen
Pelatihan Vokasional bagi Penyandang Disabilitas
Sejarah mencatat bahwa peradaban
Islam telah memelopori lahirnya sistem
tulisan bagi kaum tunanetra. Sayangnya,
terobosan penting yang diciptakan ilmuwan
Muslim di abad ke-13 M, Al Amidi, seakan
lenyap ditelan zaman.20 Sejak zaman
keemasan Islam, diskursus pendidikan
inklusi bagi difabel sudah dilakukan oleh
Rasulullah saat itu21. Keinginan tersebut
berawal dari pemikiran bahwa pendidikan
akan membawa perubahan sosial yang
dapat membentuk masyarakat yang madani.
Secara umum terdapat dua penjelasan besar
terhadap perubahan sosial. Pertama, adanya
keyakinan bahwa perubahan sosial
merupakan proses seleksi alam yang
berkembang secara linier dan progresif dari
tahap satu ke tahap yang lain. Kedua,
perubahan sosial itu akan berlangsung
dengan baik dan menjamin semua
kepentingan masyarakat jika ada intervensi,
dengan demikian terjadi perkembangan
linier dan progresif.22 Meskipun kedua
pendapat tersebut akan berujung pada titik
yang sama yaitu perkembangan ke arah
yang lebih baik, perubahan sosial yang
mendapat intervensi akan berkembang
secara lebih terkontrol. Intervensi tersebut
salah satunya dapat dilakukan dengan
lingkungan yang inklusif dan menjadi
bagian dari pola dinamisasi masyarakat.
Pendidikan bagi difabel yang dikenal
saat ini memang pendidikan dalam
paradigma yang sempit dan eksklusif
Daksa. Jurnal Manajemen dan Supervisi
Pendidikan Volume 2, no 1 Maret 2017, hlm. 23. 20 Republika Online. (2006). Peradaban Islam
Pelopor Sistem Penulisan bagi Tunanetra.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-
islam/khazanah/08/10/06/7328-peradaban-islam-
pelopor-sistem-penulisan-bagi-tunanetra. diunduh
tanggal 6 Januari 2016. 21 Quraish Shihab. (2009). Tafsir Al-Mishbah.
Jakarta: Lentera Hati. h. 69. 22 Susetiawan. (2010). Kesejahteraan Masyarakat
yang Terpasung: Ketidakberdayaan Para Pihak
Melawan Konstruksi Neoloberalisme. Jurnal
Inovasi, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah. h.101.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 55
sehingga tidak efektif dalam menunjang
kesejahteraan difabel. Padahal, pendidikan
bukanlah semata-mata pengajaran di
sekolah khusus yang terpisah dalam ikatan
moral masyarakat (moral obligations)
sebagai nilai kehidupan. Pendidikan terkait
dengan seluruh aspek kehidupan yang
diharapkan mampu membentuk karakter
peserta didik melalui proses sosial dan
budaya. Menurut Tilaar (2004: 65),
pendidikan adalah proses humanisasi dan
proses hominisasi seseorang dalam
kehidupan keluarga, masyarakat yang
berbudaya kini dan masa depan. Berpijak
dari pemikiran tersebut, kebudayaan
(lingkungan sosial) dan pendidikan
mempunyai hubungan timbal balik.
Lingkungan belajar yang merengkuh aspek
kehidupan ini oleh Ki Hajar Dewantara
disebut Tri Pusat Pendidikan (informal,
formal, dan nonformal), kesatuan
lingkungan belajar yang saling terintegrasi
dan berhubungan. Pada masa kenabian,
sistem pendidikan sudah sangat sedemikian
maju yang saling terintegrasi dari rumah,
lingkungan, dan pusat-pusat keagamaan,
misalnya dar al-arqam, masjid, suffah, dan
kuttab.23
Sebagai pusat kegiatan dan
pendidikan, masjid di masa kenabian dapat
dijadikan contoh sebagai masjid yang
antidikriminasi. Masjid diperuntukkan bagi
siapa saja, tidak peduli dengan status sosial,
kesempurnaan fisik, garis keturunan,
23 Muhammad Syafii Antonio. (2009). Muhammad
Saw The Super Leader Super Manager. Jakarta:
Tazkia Publising. H. 196. 24 Amr Ibnul Jamuh adalah ipar dari Abdullah bin
Amr bin Haram, karena menjadi suami dari saudara
perempuan Hindun binti Amar. Ibnul Jamuh
merupakan tokoh penduduk Madinah dan
pemimpin Bani Salamah. 25
Asrul Abdullah. (2013). Ibnu Mas’ud Rujukan
Penghapal Al-Qur’an Pemilik Kaki Terberat.
Diakses dari http://mirajnews.com/2013/11/ibnu-
mas-ud-rujukan-penghapal-al-qur-an-pemilik-kaki-
terberat.html pada tanggal 8 Januari 2016. 26 As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M.
Julaibib Radhiallahuanhu (Ia Memilih Jihad dan
maupun kekayaan. Islam pun mencatat
sebuah hadist yang sangat menghargai
difabel, Diriwayatkan dari Ibnu Umar,
Rasulullah memiliki dua orang muadzin,
yakni Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang
tunanetra (HR. Muslim). Difabel lain yang
bisa dijadikan contoh adalah Amr Ibnul
Jamuh24 yang cacat kakinya namun
menyebarkan agama Islam di kalangan
penduduk Madinah, Abdullah bin Mas’ud
yang memiliki kaki kecil dan pendek
namun oleh Rasulullah dinilai lebih berat
dibanding Gunung Uhud25, dan Julaibib
yang kerdil, hitam, memiliki kaki pecah-
pecah namun adalah seorang ahli syurga26.
Rentang panjang sejarah Indonesia
pun mencatatkan nama-nama tokoh yang
dengan segala keterbatasannya mampu
menduduki posisi penting. Sebut saja
Abdurrahman Wahid yang mampu menjadi
presiden RI meskipun indera
penglihatannya tidak berfungsi dengan baik
saat menjabat. Dalam dunia pewayangan
pun kita mengenal Raden Destarata yang
buta27, Pandu yang berwajah pucat aneh,
Arjuna yang berjari enam, juga Abiyasa
yang memiliki anak buta dan tunadaksa28.
Selain itu, kisah Punokawan yang
diciptakan oleh Sunan Kalijaga merupakan
sosok difabel, yaitu Gareng (naala qarin)
yang pincang, Petruk (faruq) yang bodoh,
Bagong (bagha) yang gendut dan bermulut
Syahid). Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, diakses
dari https://almanhaj.or.id/3797-julaibib-
radhiyallahu-anhu-ia-memilih-berjihad-dan-
merindukan-syahid.html. 27
Saharudin Daming. (2016). Komparasi Nilai
Penguatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Lex
Posterior dan Lege Priori. Jurnal HAM Vol. XIII.
Tahun 2016. H. 86. 28 Ferdi Arifin. (2014). Ajaran Moral Resi Bisma
dalam Pewayangan. Jantra Jurnal Sejarah dan
Budaya Volume 9, nomor 2, Desember 2014.
Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
H. 100.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 56
lebar, dan Semar (simaar) yang bungkuk.29
Disabilitas dalam sosok Punokawan tidak
membuat mereka terhina, bahkan mereka
lebih dihormati oleh Pandawa Lima karena
Punokawan memiliki kesaktian dan dekat
dengan dewa.
Melihat kadaan fisik sebagai sesuatu
yang tidak menurunkan derajat seseorang,
maka stigma yang muncul adalah perilaku
positif dari masyarakat ketika penyandang
disabilitas dapat berprestasi di lingkungan
yang inklusif. Peran serta masyarakat
berpengaruh besar pada munculnya
kesadaran untuk menghargai dan
memberikan hak yang sama bagi difabel.
Kesadaran ini akan membangun atmosfer
positif sekaligus menghilangkan
diskriminatif sehingga menciptakan
kesejahteraan secara lahir dan batin. Inklusi
ini sejalan dengan perubahan pandangan
dunia modern terhadap difabel dimana
sekarang tidak lagi dianggap orang cacat
dan perlu disantuni, tetapi sebagai individu-
individu yang mandiri, dapat melakukan
keputusan sendiri dan memiliki hak untuk
mendapatkan hak-hak sipilnya.30
Keberhasilan dari pendidikan inklusi
memang harus melibatkan berbagai aspek,
termasuk pelatihan guru, perencanaan
untuk pengembangan, penggunaan
akreditasi, pengadaan sarana yang praktis,
metode pembelajaran, dan motivasi.
Keberhasilan ini juga akan berbanding
lurus dengan penormalan difabel dalam
masyarakat. Thomas dan Pierson (1996)31
mendefinisikan normalisasi sebagai konsep
yang memberi penekanan terhadap
29
Sunan Kalijaga menciptakan punakawan sebagai
sarana menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Semar diperkirakan berasal dari bahasa Arab,
yaitu simaar atau ismarun yang berarti paku.
Gareng berasal dari kata naala qarin yang artinya
memperoleh banyak kawan. Petruk dari
kata faruk yang artinya tinggalkan yang jelek.
Barong berasal dari kata bagha yang artinya
pertimbangan makna dan rasa antara yang baik dan
buruk serta yang benar dan salah. Bagong berasal
dari kata baqa’ yang berarti kekal. Lebih lengkap
keinginan individu difabel untuk hidup
dengan cara hidup yang hampir sama
dengan anak normal. Penormalan ini bukan
bertujuan untuk menjadikan difabel normal
atau memberi perawatan. Penormalan ini
berkaitan dengan cara perlakuan, baik
dalam memanggil dan berbicara, aktivitas
yang mudah diakses, kehidupan sosial,
maupun perlakuan yang antidiskriminasi.
C. Sheltered Workshops Berwawasan
SDGs (Sustainable Development
Goals)
Sebanyak 17 Tujuan Pembangunan
Perkelanjutan (SDGs) dan 169 target yang
diumumkan menunjukkan skala dan ambisi
dari agenda universal yang baru. Butir-butir
tersebut dibangun berdasarkan Tujuan
Pembangunan Millenium (MDGs) dan
melengkapi apa yang belum sempat
tercapai. Butiran tersebut juga menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan untuk
mencapai kesetaraan gender,
pemberdayaan perempuan, baik tua
maupun muda (Kutesa, 2015). Tujuan
tersebut seluruhnya terintegrasi dan tidak
dapat dipisahkan, juga menyeimbangkan
tiga dimensi pembangunan berkelanjutan:
ekonomi, sosial dan lingkungan. Sifat
saling berhubungan dan terintegrasi dari
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) adalah sangat penting dalam
memastikan bahwa maksud dari agenda
baru ini dapat terealisasi, terutama untuk
pemberdayaan penyandang disabilitas yang
memang menjadi salah satu kelompok yang
dapat dibaca di artikel Semar dalam Misi Agama
Islam : Wayang Kulit dalam perspektif Religi
karangan Febri Hermawan. Diakses di
https://febrihermawan.wordpress.com/2012/10/30/s
emar-dalam-misi-agama-islam-wayang-kulit-
dalam-perspektif-religi/ 30 Menggugat Perpektif Normalisme dan Keadilan
bagi Difabel. Komunitas, Volume II No. 1-April
2010, h. 4. 31 Jamila Muhammad. (2008). Special Education
for Special Children. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Hlm. 207.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 57
mendapatkan perhatian di dalam inisiatif
SDGs.
Membuat peta dampak sangat penting
untuk menentukan pemahaman, posisi
sheltered workshops, dan point SDGs yang
menjadi prioritas. Dari dampak yang
tertinggi tersebut, identifikasi satu atau
lebih indikator yang paling mencerminkan
hubungan antara sheltered wokshops
dengan point SDGs tersebut. Sheltered
workshops yang dibuat adalah bengkel
kerja nyata yang ditujukan bagi kaum
difabel agar dapat bekerja dalam satu tim
dan dapat berinteraksi dengan nondifabel.
Sheltered workshops mempunyai peranan
untuk menyediakan tempat bagi kaum
difabel agar dapat bekerja sebagai tim
dengan kaum difabel lain tidak terkecuali
nondifabel agar dapat terwujud kesetaraan
dalam dunia kerja, meningkatkan
produktifitas dan kemandirian kaum difabel
melalui kerja nyata dan penjualan langsung
dan berinteraksi dengan pembeli baik kaum
difabel sendiri maupun nondifabel,
mengadakan kerjasama dengan perusahaan
dan instansi yang berhubungan dengan
dunia kerja agar kaum difabel dapat
terserap dalam bidang pekerjaan yang lebih
luas (Bahar, 2016: 3).
Dalam kaitannya dengan
pengernbangan keterampilan vokasional
untuk penyandang ketunaan ini, (Suparno,
2009: 15) menyarankan adanya beberapa
program awal yang harus dilakukan, yaitu
(a) mernberikan pelatihan dan bimbingan
untuk mengembangkan kebiasaan-
kebiasaan positive, sikap, dan nilai-nilai
kerja dalam kehidupan sehari-hari, (b)
memberikan latihan dan bimbingan untuk
rnenjalin dan mempertahankan hubungan
dalam keluarga, masyarakat, dan
lingkungan kerja, (c) memberikan latihan
dan bimbingan penyadaran akan alternatif
pekerjaan, (d) memberikan latihan yang
32 UNGC (2015). SDG Compass The Guide for
Business Action on the SDGs. Diunduh dari
http://sdgcompass.org/wp-
berorientasi pada dunia kerja yang realistik,
sebagai produsen dan sebagai konsumen,
dan (e) memberikan latihan kerja secara
nyata dalam kehidupan sehar-hari.
Pengernbangan keterarnpilan vokasional
harus dimulai dengan hal-hal yang paling
sederhana dan konkret. Hal tersebut penting
dilakukan, terutama untuk menyesuaikan
dengan kondisi kelainan masing-masing
individu.
1. Prinsip Sheltered Worskhops
berwawasan SDG
Hal pertama yang harus
diperhatikan dalam mengkaitkan
SDGs dengan inisiatif sheltered
workshops adalah pemahaman
tentang konsep keberlanjutan
(sustainable) yang kemudian
diejawantahkan ke dalam
program-program kerja yang
bersifat lokal. Sheltered
workshops yang bernuansa
keberlanjutan harus dibangun
dengan memperhatikan empat
aspek penting yaitu aspek sosial,
aspek ekonomi, aspek lingkungan,
dan tata kelola (kemitraan). Aspek
sosial (human development)
meliputi, pemerataan, kesehatan,
pendidikan, keamanan,
perumahan, dan kependudukan.
Aspek ekonomi (green economy)
meliputi struktur ekonomi dan
pola konsumsi serta produksi.
Aspek lingkungan meliputi tanah,
atmosfer, pesisi, laut, air bersih,
dan keanekaragaman hayati. Tata
kelola meliputi kerangka
kelembagaan (lembaga,
keterhubungan, dan rules) dan
kapasitas (lembaga dan SDM).
UNGC (SDGs Compass, 2015:
14)32 menyebutkan bahwa ada
model yang lebih sederhana dalam
content/uploads/2015/12/019104_SDG_Compass_
Guide_2015.pdf pada tanggal 12 Juni 2017.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 58
pengimplementasian SDG, yaitu
memperhatikan aspek input,
aktivitas, output, outcomes, dan
dampak dari kegiatan.
Kriteria pokok untuk
menyusun Rencana Aksi
(Renaksi) SDGs daerah ada dua
yaitu: (a) keadilan substantif, yaitu
sejauh mana prioritas dan program
mampu menjawab kebutuhan
warga sebagaimana ditetapkan
oleh dokumen SDGs dengan 17
Tujuan dan 169 Sasaran SDGs; (b)
keadilan prosedural, yaitu sejauh
mana warga dan para pemangku
kepentingan terlibat dalam
penyusunan rencana aksi, bukan
hanya tokoh masyarakat dan
mereka yang berpengaruh.
Artinya, dokumen Renaksi SDGs
perlu disusun secara terbuka,
konsultatif dan partisipatif,
termasuk melibatkan kaum
perempuan, kelompok minoritas,
dan kaum marjinal. SDGs adalah
milik dan tanggung jawab semua
pihak, bukan hanya pemerintah
pusat dan kelompok masyarakat
sipil semata. Pemerintah
kabupaten dan kota merupakan
ujung tombak realisasi SDGs.
Tanpa peran aktif, maka SDGs
hanya akan gagal atau tercapai
sepertiganya (Infid, 2015: 55).
2. Kurikulum Vokasi bagi
Penyandang Disabilitas
Kurikulum vokasi yang
berkelanjutan bagi penyandang
disabilitas sangat bergantung pada
jenis hambatan yang dialami.
Mengetahui derajat disabilitas
sangat penting untuk menentukan
treatmen sekaligus sebagai sarana
pijakan awal menentukan
indikator keberhasilan.
Pembahasan derajat disabilitas ini
dapat digabungkan dengan jenis
disabilitas yang dialami agar
program yang dirancang dapat
bernilai guna dan berkelanjutan.
Jenis dan kriteria penyandang
disabilitas, apabila dibedakan
berdasarkan derajat kecacatan
maka kaum disabilitas dibedakan
menjadi (Saputro, 2015: 38)
a. Derajat 1 : mampu
melaksanakan aktifitas atau
mempertahankan sikap
dengan kesulitan.
b. Derajat 2 : mampu
melaksanakan kegiatan atau
mempertahankan sikap
dengan bantuan alat bantu.
c. Derajat 3 : dalam
melaksanakan aktifitas,
sebagian memerlukan
bantuan orang lain dengan
atau tanpa alat bantu
d. Derajat 4 : dalam
melaksanakan aktifitas
tergantung penuh terhadap
pengawasan orang lain
e. Derajat 5 : tidak mampu
melakukan aktifitas tanpa
bantuan penuh orang lain
dan tersedianya lingkungan
khusus.
f. Derajat 6 : tidak mampu
penuh melaksanakan
kegiatan sehari-hari
meskipun dibantu penuh
orang lain.
3. Langkah Strategis yang
Partisipatif
Spirit UU No. 6 tahun 2014
tentang desa, terutama yang
disebutkan pada pasal 3 tentang asas
partisipasi dan kesetaraan dalam
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 59
pembangunan desa, menjadi sebuah
momentum pemerintah desa untuk
membuka akses seluas-luasnya bagi
seluruh kelompok untuk terlibat
dalam merumuskan kebijakan
pembangunan desa (Syaifudin,
2017: 123). Pemerintah desa juga
harus merespon perkembangan
jumlah penyandang disabilitas yang
semakin tahun semakin banyak dan
parahnya disabilitas merupakan
salah satu pihak yang rentan dalam
pertumbuhan ekonomi. Banyaknya
penyandang disabilitas yang kurang
mampu bersaing di era kekinian ini
lebih disebabkan karena
permasalahan struktural yang ada di
lingkungan. Perlu adanya langkah
strategis yang berpusat pada desa
yang dapat dilakukan untuk
memperluas akses penyandang
disabilitas agar berdaya.
Langkah pemecahan strategis
dapat dilakukan dengan menyentuh
tiga dimensi, yaitu secara
individual, kultural, dan struktural.
Secara individual, dapat dilakukan
dengan pemahaman akan kekuatan
diri, kelemahan diri, dan tantangan
dengan cara pelatihan dan
pendekatan personal. Pelatihan
dikatakan kontekstual dengan
penyandang disabilitas apabila
sesuai dengan karakteristiknya.
Penerapan pendekatan personal
dilakukan dengan cara mengaitkan
konten training dengan situasi dunia
nyata untuk membuat hubungan
antara pengetahuan dengan
kehidupan sehari-hari. Proses
memahamkan makna konten yang
dipelajari dengan cara
menghubungkannya dengan
33 Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi
dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional. h.16.
konteks kehidupan dan lingkungan
sekitarnya.
Training ini akan dibuat
menjadi kegiatan yang
menyenangkan, yang dapat
membuat penyandang disabilitas
berpikir logis dan mampu
mengeluarkan ide-idenya dalam
menyelesaikan permasalahan yang
diberikan. Tutor harus mampu
mengembangkan organisasi
instruksional termasuk di dalamnya
kemampuan menyelidiki sumber
belajar dan seleksi untuk penerapan
instruksional, di samping
penguasaan konten. Konten yang
diajarkan dapat berupa pendidikan
kewirausahaan yang berisi
kumpulan pengetahuan yang terkait
dengan upaya pemahaman diri
bahwa setiap orang harus berkreasi,
berdaya, dan bermakna bagi diri
sendiri dan lingkungan.
Dalam konteks kultural,
eksistensi penyandang disabilitas
yang semakin tenggelam dalam
program kerja tidak hanya dilihat
semata-mata dari keadaan
penyandang disabilitas itu sendiri.
Kondisi penyandang disabilitas
yang semakin terpuruk ini justru
lebih disebabkan oleh faktor
eksternal. Tanpa disadari
masyarakat cenderung memandang
difabel dari segi negatif sehingga
kebutuhan sosial yang terkait
partisipasi dan penerimaan sosial
menjadi tidak terpenuhi. Meyerson
(1980) dalam Sri Moerdiani (1995:
16) menyebutkan bahwa kelainan
sering dipandang dari
ketidakmampuan (disability) dan
merupakan akibat dari suatu yang
ditentukan masyarakat.33 Padahal,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 60
difabel yang menjalani proses sosial
terpisah dengan masyarakat akan
mengalami ketidakseimbangan
yang dapat dilihat dalam
kegagalannya memenuhi kebutuhan
secara fisiologis, psikologis
maupun sosial. Oleh karena itu,
memperluas akses aktualisasi
prestasi penyandang disabilitas hal
yang mutlak dilakukan.
Dalam dimensi struktural,
masyarakat harus aktif dalam
advokasi kebijakan publik yang
tidak berpihak pada penyandang
tunanetra. Apalagi permasalahan
kecacatan kini tak lagi dipandang
dalam dimensi kesehatan, namun
lebih ditekankan pada dimensi
sosial. Hal ini diperjelas dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
dan Keputusan Mensos Nomor
82/HUK/2005 tentang Tugas dan
Tata Kerja Departemen Sosial yang
menyatakan bahwa titik tekan
penanganan permasalahan
disabilitas di Indonesia
diselenggarakan oleh Kementerian
Sosial RI. Akibatnya, program-
program yang bersifat
pemberdayaan menjadi menarik
untuk dikembangkan, seperti
pemulihan ekonomi, pembangunan
sarana umum yang aksesibel bagi
penyandang disabiltas, maupun
rapat kebijakan publik yang
merangkul semua untuk ikut
berpartisipasi aktif dalam
pengambilan keputusan.
konsekuensinya, keterlibatan
penyandang tunanetra dalam sektor
pembangunan publik bukan hanya
sebagai penerima pasif dari manfaat
pembangunan melainkan sebagai
pelaku aktif dari pembangunan.
Implementasi UU Desa yang
diharapkan mampu mempercepat
terwujudnya pembangunan desa
yang inklusif dan berkeadilan bagi
kelompok penyandang disabilitas,
perlu dirumuskan langkah-langkah
strategis yang perlu dibangun secara
sinergis, yaitu (1) memastikan
proses atau siklus pembangunan
desa harus melibatkan difabel, (2)
memastikan adanya program dan
anggaran bagi difabel di desa baik
secara inklusif dan khusus, (3)
mendorong keterwakilan difabel di
ruang publik (RT, RW, BPD,
Perangkat Desa), (4) keterlibatan
kelompok difabel dalam
mengontrol pembangunan, (5)
mewujudkan layanan publik yang
aksesibel bagi difabel di tingkat
desa baik fisik dan non-fisik, (6)
mendorong kesadaran kritis difabel
di tingkat basis melalui organisasi
atau kumpulan, (7) mendorong
keterlibatan organisasi difabel
dalam melakukan advokasi,
edukasi, dan pendampingan di
tingkat basis (Syaifudin, 2017:
126).
Rekomendasi ini
menggambarkan wacana yang
holistik sehingga dapat
menyelesaikan persoalan secara
utuh dan mendasar. Harapan dari
semua ini adalah terciptanya situasi
sosial yang tak lagi memandang
penyandang disabilitas dari
ketidaberdayaannya. Oleh karena
itu adalah keniscayaan bagi kita
untuk menggandeng seluruh elemen
masyarakat dalam proses
membangun tatanan yang lebih baik
karena hasil terbaik selalu dari hasil
kerja kolektif.
D. Kesimpulan
Untuk dapat menciptakan
sheltered workshops berwawasan SDGs,
diperlukan pemahaman tentang
keberlanjutan, pemahaman tentang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 61
keadaan penyandang disabilitas, dan
sinergi dari berbagai elemen. Sheltered
workshops yang dirancang dengan
nuansa SDGs akan memberikan dampak
positif bagi penyandang disabilitas,
seperti kesejahteraan yang
berkelanjutan. Implementasi sheltered
workshops dapat dilakukan dengan
menentukan langkah strategis yang
menyentuh tiga dimensi, yaitu secara
individual, kultural, dan struktural.
Sheltered workshops berwawasan SDGs
ini merupakan salah satu inisiatif yang
menarik sehingga diharapkan
penyandang disabilitas dapat berdaya
dan dapat menjadi salah satu faktor yang
ikut menyukseskan keberhasilan SDGs
selama 15 tahun ke depan.
.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Majalah
Abdullah, Amin. (2010). Perguruan Tinggi
Agama (PTAI) dan Difabel (Different
Ability). Suka News Edisi VII No. 32/
Maret-April.
Antonio, Muhammad Syafii. (2009).
Muhammad Saw The Super Leader
Super Manager. Jakarta: Tazkia
Publising
Arifin, Ferdi. (2014). Ajaran Moral Resi
Bisma dalam Pewayangan. Jantra
Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 9,
nomor 2, Desember 2014. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bahar, Syamsuddin. (2016). Sheltered
Workshop di Surakarta. Publikasi
Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Daming, Saharudin. (2016). Komparasi
Nilai Penguatan Hak Penyandang
Disabilitas dalam Lex Posterior dan
Lege Priori. Jurnal HAM Vol. XIII.
Tahun 2016.
Dharma, Dwitya Sobat Ady.
(2015).Pendidikan Pra-Vokasional
yang Berkelanjutan untuk
Kemandirian Difabel di Era
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Anthology Permitha: Galeri Essay
Mahasiswa Indonesia di Thailand,
Desember 2015.
Dikdasmen Depdiknas. (2003). Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas
No. 380/C.C6/MN/2003.
Dirjen Pendidikan Luar Biasa. (2009).
Informasi Pendidikan Inklusi.
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
. (2008).
Program Direktorat Pembinaan SLB
Tahun 2008 Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Hermanto. (2010). Revitalisasi Peran
Lembaga Pendidikan dalam
Mewujudkan Hak Difabel. Makalah
disampaikan dalam Diskusi Publik
Bertemakan “Menggugat Perspektif
’Normalisme’ dan Keadilan bagi
Difabel” tanggal 8 April 2010.
Hoelman, dkk. (2015). Panduan SDGs
untuk Pemerintah Daerah (Kota dan
Kabupaten) dan Pemangku
Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid.
Kutesa, Sam K (2015). Dokumen Hasil
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta: Infid
Majalah Komunitas. (2010). Menggugat
Perpektif Normalisme dan Keadilan
bagi Difabel. Volume II No. 1-April
2010.
Muhammad, Jamila. (2008). Special
Education for Special Children.
Jakarta: Penerbit Hikmah.
Moerdiani, Sri. (1995). Dasar-Dasar
Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial.
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Mumpuniarti, dkk. (2014). Efektifitas
Program Pasca Sekolah bagi
Kemandirian Penyandang
Disabilitas Intelektual. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan Luar Biasa Universitas
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 62
Negeri Malang Volume 1 Nomor 2
Desember 2014.
Mustafa, Asy-Syaikh Fuhaim. (2004).
Manhaj Pendidikan Anak Muslim.
Jakarta: Mustaqim.
Rispler, Vardit. (2010). Disabilitas Dalam
Hukum Islam (Disability in Islamic
Laws). Israel: The University of
Haifa.
Saputro, Sulistyo dkk. (2015). Analisis
Kebijakan Pemberdayaan dan
Perlindungan Sosial Penyandang
Disabilitas. Jakarta: Deputi Bidang
Kooordinasi Penanggulangan
Kemiskinan dan Perlindungan Sosial.
Suparno. (2009). Pengembangan
Keteranilan Vokasional Produktif
bagi Penyandang Tunarungu Pasca
Sekolah melalui Model Sheltered
Workshop Berbasis Masyarakat.
Jurnal Pendidikan Khusus
Pendidikan Luar Biasa Universitas
Negeri Yogyakarta vol 5 no 2
November 2009.
Sutarto (2014). Critical Issues and
Challanges of Vocational Education
Quality Development in Indonesia.
Makalah disampaikan pada
International Congress for School
Effectiveness and Improvement
(ICSEI). Yogyakarta, 2-7 Januari
2014.
Susetiawan. (2010). Kesejahteraan
Masyarakat yang Terpasung:
Ketidakberdayaan Para Pihak
Melawan Konstruksi
Neoloberalisme. Jurnal Inovasi,
Edisi Khusus Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah.
Syaifudin, Muhammad. (2015).
Implementasi Undang-Undang Desa
dan Hak Difabel. Solo: PPRBM.
Thohari, Slamet (2007). Menimbang
Difabelisme sebagai kritik Sosial.
Mozaik Jurnal Ilmu Humaniora Vol
2 No 2 Desember 2007.
Tobroni, Faiq. (2015). Urgensi Proses
Peradilan Afirmatif bagi Perempuan
Difabel Korban Pemerkosaan. Jurnal
Yudisial vol. 8 no. 3 Desember
2015.
Tjahcoyo, Bambang (2017). Manejemen
Pelatihan Vokasional bagi
Penyandang Disabilitas Daksa.
Jurnal Manajemen dan Supervisi
Pendidikan Volume 2, no 1 Maret
2017.
UNDP . (2015). Konvergensi Agenda
Pembangunan Nawa Cita, RPJMN,
dan SDGs. Jakarta: UNDP Indonesia
Widiarto, Nova. (2007) Paradigma Baru
Pendidikan Luar Biasa, makalah
dalam seminar Seminar Nasional
dalam rangka memperingati Hari
Penyandang Cacat Internasional
dengan tema “Pendidikan Khusus vs
Pendidikan Layanan Khusus.”
Tanggal 8 Desember 2007.
Internet
Abdullah, Asrul. (2013). Ibnu Mas’ud
Rujukan Penghapal Al-Qur’an
Pemilik Kaki Terberat. Diakses dari
http://mirajnews.com/2013/11/ibnu-
mas-ud-rujukan-penghapal-al-qur-
an-pemilik-kaki-terberat.html pada
tanggal 8 Januari 2016.
Haniy, Sakinah Ummu (2016). Mengapa
Partisipasi Penyandang Disabilitas
dalam Bursa Kerja Minim? Diunduh
dari
http://www.rappler.com/indonesia/be
rita/155758-sebab-solusi-partisipasi-
penyandang-disabilitas-tenaga-kerja
pada tanggal 9 Juni 2017.
Hermawan, Febri. (2012). Semar dalam
Misi Agama Islam : Wayang Kulit
dalam perspektif Religi. Diakses di
https://febrihermawan.wordpress.co
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 63
m/2012/10/30/semar-dalam-misi-
agama-islam-wayang-kulit-dalam-
perspektif-religi/ tanggal 8 Januari
2016.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2009).
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Indonesia No 70 tahun
2009. Diunduh dari
http://www.kopertis12.or.id/wp-
content/uploads/2013/07/Permen-
No.-70-2009-tentang-pendidiian-
inklusif-memiliki-kelainan-
kecerdasan.pdf pada tanggal 7
Januari 2017.
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XII/1429H/2008M. Julaibib
Radhiallahuanhu (Ia Memilih Jihad
dan Syahid). Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, diakses
dari https://almanhaj.or.id/3797-
julaibib-radhiyallahu-anhu-ia-
memilih-berjihad-dan-merindukan-
syahid.html. pada tanggal 2 Januari
2016.
Republika Online. (2006). Peradaban
Islam Pelopor Sistem Penulisan bagi
Tunanetra.
http://www.republika.co.id/berita/en
siklopedia-
islam/khazanah/08/10/06/7328-
peradaban-islam-pelopor-sistem-
penulisan-bagi-tunanetra. diunduh
tanggal 6 Januari 2016.
Sucipto, Yeni (2013). Akuntabilitas dan
Partisipasi Salah Satu Kegagalan
Target MDGs, Rendahnya Derajat
Transparansi. Diunduh dari
http://yennysucipto.blogspot.co.id/20
13/01/oleh-yenny-sucipto-menyoal-
berbagai.html pada tanggal 8 Juni
2017.
UNGC (2015). SDG Compass The Guide
for Business Action on the SDGs.
Diunduh dari
http://sdgcompass.org/wp
content/uploads/2015/12/019104_SD
G_Compass_Guide_2015.pdf pada
tanggal 12 Juni 2017.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 64
PERLINDUNGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Isti Rusdiyani
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan Serang Banten
Email: [email protected]
ABSTRACT
Children with special needs are children who are experiencing limitations or
extraordinary, whether physical, mental, intellectual, social or emotional that is in the process
of growth or development with other children of his age.
Problems that often occur in children with special needs that relate to various issues
including: Children with special needs in government policy, Convention on the Rights of
Persons with Disabilities , Socio-Cultural, Legal Protection for children with special needs
and education for children with special needs.
In social life they have the same rights as other children. But there are still often
differences in the treatment of children with special needs. While the government has arranged
matters relating to children with special needs in the form of legislation, to accommodate
children with special needs, but not yet implemented properly, then reinforcement is needed
for protection from many things among others through Parents, Society and Government.
Keywords: Protection, Children with Special Needs
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 65
PENDAHULUAN
Anak adalah amanah dari Allah
SWT yang darus dijaga dan diperlakukan
dengan sebaik mungkin. Anak merupakan
generasi penerus keluarga, penerus bangsa
dan penerus peradaban.Anak juga
merupakan harapan bagi orang tua,
sehingga orang tua diharapkan dapat
mempersiapakan anaknya sebaik mungkin
untuk masa depannya. Kata-kata bijak
harapan orang tua adalah We may not be
able to prepare the future for our children,
but we can at least prepare our children for
the future (Franklin D. Roosevelf). Kita
mungkin tidak dapat menyiapkan masa
depan untuk anak kita, tetapi setidaknya
kita bisa menyiapkan anak kita untuk masa
depan.
Saat ini, pembangunan SDM di
Indonesia memiliki hambatan yang sangat
mendasar, antara lain sekitar 10% anak usia
dini mengalami stunting (keterhambatan),
mengalami disabilitas fisik dan disabilitas
intelektual, dan adanya anak-anak yang
mengalami hambatan tumbuh kembang
karena hambatan fisik, mental, motorik,
dan sensoris. Anak berkebutuhan khusus
tersebut dinilai masih rentan mendapatkan
kekerasan dan perlakuan yang salah, karena
itu, penanganan anak berkebutuhan khusus
memerlukan keberpihakan kultural dan
struktural dari berbagai pihak baik
orangtua, masyarakat, dan pemerintah.
Kalau tidak dipecahkan bersama,
hambatan-hambatan tersebut akan
menimbulkan masalah pengembangan
Sumber Daya Manusia, oleh sebab itu anak
usia dini harus sedini mungkin
mendapatkan layanan pendidikan dan
perlindungan yang memadahi.
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak Berkebutuhan Khusus adalah
anak yang mengalami keterbatasan atau
keluarbiasaan, baik fisik, mental
intelektual, sosial maupun emosional yang
berpengaruh secara signifikan dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang
seusianya (Pranawati, Rita, 2015). Anak
Berkebutuhan Khusus disebut sebagai anak
penyandang Disabilitas.
Berdasarkan dari data yang
terhimpun dari berbagai sumber dinyatakan
bahwa: (1) 15% dari penduduk dunia
adalah penyandang disabilitas; (2)
Penyandang disabilitas lebih rentan
terhadapkemiskinan; (3) penyandang
disabilitas perempuan lebih rentan
dibanding laki-laki: (4) Penyandang
disabilitas sering terkucil dari pendidikan,
pelatihan kejuruan dan peluang kerja: (5)
lebih dari 90% anak disabilitas di negara
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 66
berkembang tidak bersekolah (Pranawati,
Rita, 2015).
Adapun yang tegolong Anak
berkebutuhan Khusus dibagi dalam
beberapatipeKebutuhan Khusus antara lain:
1. Tunanetra
Menurut Kaufman & Hallahan
(1986) yang dimaksud tunanetra
adalah individu yang memiliki
lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60
setelah dikoreksi atau tidak lagi
memiliki penglihatan
2. Tunarungu
Suatu keadaan individu-individu
yang pendengarannya cacat dan
kalau mengutarakan buah pikiran
atau pendapat dengan bicara atau
bunyi lain menyesuaikan dengan
frekuensi dan intensitasnya
(Moores,1991 dalam Kaufman &
Hallahan, 2006)
3. Tunagrahita
Dalam bahasa inggris anak
tunagrahita disebut mentally
retarded atau mentally retardation
adalah ketidakmampuan
memecahkan persoalan disebabkan
kecerdasan kurang berkembang
serta kemampuan adaptasi perilaku
terhambat. Definisi Anak
Tunagrahita“Anak dengan
keterbelakangan mental mengacu
pada adanya keterbatasan dalam
perkembangan fungsional (Delphie,
Bandi, 2005: 61-62)
4. Tunadaksa
Menurut White House Conference
(dalamSomantri, S, 2007: 121)
menyatakan bahwa tunadaksa
berarti suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan
bentuk atau hambatan pada tulang,
otot, atau sendi dalamfungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh penyakit atau
kecelakaan, atau dapat juga
disebabkan oleh pembawaan sejak
lahir
5. Tunalaras
Individu yang mengalami
hambatan dalam mengendalikan
emosi dan kontrol sosial. Individu
tunalaras biasanya menunjukkan
perilaku menyimpang yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan
yang berlaku disekitarnya
(Mudjito, 2013:30)
6. Kesulitan belajar
Kesulitan belajar atau learning
disabilities yang biasa disebut
istilah learning disorder
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 67
ataulearning dificulty adalah suatu
kelainan yang membuat individu
bersangkutan sulit untuk melakukan
kegiatan secara efektif (Jamaris,
Martini, 2013:3). Senada dengan
pendapat Abdurrahman, Mulyono
(2009:6) menyatakan bahwa
kesulitan belajar adalah suatu
gangguan dalam satu atau lebih dari
proses psikologis dasar yang
mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa ujaran atau
tulisan.
KOMITMEN PEMERINTAH DAN
DUNIA TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Langkah perlindungan khusus
diperlukan karena anak merupakan
individu yang belum matang baik secara
fisik, mental, maupun sosial dan kondisi
rentan terhadap tindak eksploitasi,
kekerasan dan penelantaran. Anak
Berkebutuhan Khusus Secara Yuridis
diakomodir melalui berbagai komitmen,
baik secara Nasional dan secara
Internasional
1. Komitmen Nasional
Hak-hak anak yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus berdasarkan
landasan Yuridis Formal melalui
berbagai peraturan perundangan yang
tergambar sebagai berikut:
Gambar 1. Landasan Yuridis anak
berkebutuhan khusus (Didaptasi dari
www.membumikanpendidikan.com/hak-
hak-yang-dimiliki-anak-
berkebutuhan.html)
Penjelasan dari perundangan tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945
(Amandemen)
Pasal 31ayat (1) Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikandan ayat
(2): Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
b. UU No. 20 tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam dalam
rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 68
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 5 Ayat: (1): Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu
ayat (2): Warga negara yang mempunyai
kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus
ayat (3) : Warga negara di daerah
terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus
ayat (4) : Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 32 ayat (1): Pendidikan khusus
merupakan merupakan pendidikan bagi
peserta peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Ayat (2): Pendidikan layanan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana
alam, bencana sosial, dan tidak mampu
dari segi ekonomi.
c. UU No. 23 tahun tahun 2002 tentang
Perlindungan Perlindungan Anak
Pasal 48Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar
minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak.
Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga,
dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50 Pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 48 diarahkan
pada :
(1) Pengembangan sikap dan
kemampuan kepribadian anak,
bakat, kemampuan mental dan
fisik sampai mencapai potensi
mereka yang optimal.
(2) Pengembangan penghormatan
atas hak asasi manusia dan
kebebasan asasi;
(3) Pengembangan rasa hormat
terhadap orang tua, identitas
budaya, bahasa dan nilai-
nilainya sendiri, nilai-nilai
nasional dimana anak bertempat
tinggal, dari mana anak berasal,
dan peradabanperadaban yang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 69
berbeda-beda dari peradaban
sendiri;
(4) Persiapan anak untuk kehidupan
yang bertanggungjawab; dan
(5) Pengembangan rasa hormat dan
cinta terhadap lingkungan
hidup.
Pasal 51Anak yang menyandang
cacat fisik dan/atau mental
diberikan kesempatan yang
samadan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa.
Pasal 52Anak yang memiliki
keunggulan diberikan kesempatan
dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan khusus.
Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab
untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan
cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari keluarga
kurang mampu, anak terlantar,
dan anak yang bertempat
tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban
pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
termasuk pula mendorong
masyarakat untuk berperan
aktif.
d. UU No. 4 1997 tentang Penyandang
Cacat.
Pasal (5 ) :Setiap penyandang cacat
mempunyai dan kesempatan yang
sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
e. Deklarasi Bandung (Nasional)
Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif 8-14 Agustus 2004.
(1) Menjamin setiap anak
berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya
mendapatkan kesempatan akses
dalam segala aspek kehidupan,
baik dalam bidang pendidikan,
kesehatan sosial, kesejahteraan,
keamanan, maupun bidang
lainnya, sehingga menjadi
generasi generasi penerus yang
handal.
(2) Menjamin setiap anak
berkelainan dan anak anak
berkebutuhan berkebutuhan
khusus lainnya lainnya sebagai
individu yang bermartabat,
untuk mendapatkan perlakuan
yang manusiawi, pendidikan
yang bermutu dan sesuai
dengan potensi dan kebutuhan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 70
masyarakat, tanpa perlakuan
diskriminatif yang merugikan
eksistensi kehidupannya baik
secara fisik, psikologis,
ekonomis, sosiologis, hukum,
politis maupun kultural
f. Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak juga telah
menerbitkan Peraturan tentang
Kebijakan Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus. Berkaitan
dengan komitmen tersebut telah
diterbitkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2011, tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
(Convention On The Rigths Of
Person With Disabilities)
g. Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 10
Tahun 2011 tentang Kebijakan
Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus.
2. Komitmen Internasional
a. Convention on The Right The Child tahun
1989 (Pemenuhan Hak Dasar Anak)
(1) Hak untuk Hidup, Kelangsungan
Hidup & Perkembangan Anak
(2) Kepentingan Yang Terbaik Untuk
Anak
(3) Partisipasi/ Penghargaan Terhadap
Pendapat Anak
(4) Non Diskriminasi
b. Deklarasi Dakkar (2000): Education
For All (Pendidikan Untuk Semua)
Butir 1: memperluas & memperbaiki
secara keseluruhan perawatan dan
pendidikan anak usia dini terutama bagi
anak-anak yang sangat rawan dan
kurang beruntung
c. A World Fit For Chlidren – 2002
(Menciptakan Dunia yang layak bagi
Anak)
(1) menempatkan anak sebagai
pertimbangan pertama untuk
kepentingan terbaik anak
(2) memperhatikan tumbuh kembang
anak sebagai dasar utama
pengembangan manusia
(3) memberikan kesempatan
pendidikan yang sama untuk setiap
anak
Berbagai peraturan perundangan
yang telah disusun tersebut merupakan
upaya pemerintah untuk memberikan
perlindungan dan pelayanan terhadap anak
berkebutuhan khusus. Secara umum, hal
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 71
berkebutuhan khusus tersebut untuk dapat
hidup, tumbuh dan berkembang, serta
berinteraksi sosial di lingkungan keluarga
dan masyarakat sesuai dengan minat dan
potensi yang dimiliki.
BERBAGAI PERMASLAHAN PADA
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Peraturan tentang yang berkaitan
dengan Disabilitas sudah dibuat namun
masih ada beberapa permasalahan yang
muncul dan implementasinya.
Permasalahan yang timbul pada anak
berkebutuhan khusus dapat ditinjau dari
berbagai berbagai aspek antara lain:
1. Anak Berkebutuhan Khusus
dalam kebijakan pemerintah
a. Masalah Anak Berkebutuhan
Khusus merupakan masalah
yang jarang mendapatkan
perhatian dari pemerintah dan
masyarakat
b. Peraturan tentang Disabilitas
bagus namun
Implementasinya
lemah/kurang
c. Terdiskriminasi
d. Aksesibilitas kurang
memadahi baik dari segi
publik maupun pendidikan
e. Pembangunan belum
integratif dan inklusif
2. Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
(Convention On The Rigths Of
Person With Disabilities)
a. Tujuannya memajukan,
melindungi, dan menjamin
kesamaan hak dan kebebasan
yang mendasar bagi semua
penyandang disabilitas, serta
penghormatan terhadap
martabat, terhadap
penyandang disabilitas
sebagai bagian yang tidak
terpisahkan (inherent dignity)
b. Persamaan dan non
diskriminasi penyandang
disabilitas perempuan dan
anak, peningkatan dan
kesadaran, aksesibilitas,
situasi beresiko dan darurat,
hak mobilitas alat bantu
gerak, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan dan kesempatan
kerja, rekreasi dan olah raga,
akses peradilan, hidup
mandiri dan keterlibatan
dalam masyarakat.
3. Sosial Budaya
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 72
a. Norma sosial disabilitas,
belas kasihan,
ketidakmampuan dan
abnormalitas, tidak mandiri,
tidak produktif dan tidak
berguna
b. Stigma: Penyandang Masalah
Kesejakteraan Sosial (PMKS)
c. Adamya klasifikasi sosial
masyarakat sehingga
membuat disabilitas sulit
mengakses pendidikan,
perumahan, transportasi,
layanan kesehatan, dan
kehidupan keluarga dengan
disabilitas
d. Hambatan komunikasi
4. Orang Tua Anak Berkebutuhan
Khusus
a. Sudut pandang orang tua
terhadap masalah disabilitas
anaknya: malu, terkejut,
menyangkal, stress dan
bertahap mulai menerima
b. Dukungen sosial diterima
oleh orang tua dari keluarga
besar, tetangga dan
masyarakat, dan kelompok
pendukung seperti tenaga
kesehatan, pendidikan dan
komunitas orang tua ABK
c. Orang tua dengan ABK sesuai
dengan strata sosial/level
akan meluangkan waktu lebih
banyak dengan anaknya
5. Perlindungan hukum bagi Anak
Berkebutuhan Khusus
a. Konvensi Mengenai Hak-
Hak Penyandang Disabilitas
yang bisa diwujudkan
melalui Undang-undang lalu
lintas, Kesehatan,
Ketenagakerjaan dan
Bangunan
b. Belum ada peraturan
penanganan anak disabilitas
korban kekerasan pada
sektor domestik dan publik
c. Kebijakan integratif untuk
penanganan korban
disabilitas
6. Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus
a. Pelatihan vokasional
rehabilitasi sosial sangat
terbatas dan dan tidak
inklusif
b. Jumlah sekolah Khusus
(SKh) masih sedikit
dibanding sekolah biasa
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 73
c. Ketidaksesuaian praktik
pendidikan inklusif secara
standar
d. Konsen pemerintah untuk
guru dengan pendidikan
khusus untuk berkarir di
pendidikan inklusi masih
lemah
e. Hanya Anak Berkebutuhan
Khusus miskin yang butuh
bantuan pemerintah
f. Belum ada harmonisasi
antara undang-undang dan
peraturan daerah
PENGUATAN PERLINDUNGAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Bersadarkan padaberbagai kenyataan
di lapangan tentang anak berkebutuhan
khusus maka diperlukan penguatan untuk
perlindungan dari berbagai hal antara lain
melalui :
a. Orang Tua: mengkondisikan anak dan
memfasilitasi perkembangan anak
b. Masyarakat: penerimaan terhadap
Anak berkebutuhan khusus,
mengedukasi masyarakat,
menghilangkan budaya membully,
melayani anak Anak Berkebutuhan
Khusus dan melindungi anak Anak
Berkebutuhan Khusus
c. Pemerintah: penguatan
perlindungan anak Anak
Berkebutuhan Khusus dari
sisiperundangan (konstitusi),
praktek dan pelayanan.
Setiap anak memerlukan
pendampingan dan perlindungan dalam
masa tumbuh kembangnya, terlebih anak
berkebutuhan khusus. Bagi mereka,
pendampingan dan perlindungan memiliki
makna yang sangat berarti. Oleh karena itu
pengetahuan dan kapasitas pendamping
anak berkebutuhan khusus menjadi faktor
penting yang menjadi kunci dalam
penanganan anak berkebutuhan khusus.
Kesiapan para orangtua dalam menghadapi
anak berkebutuhan khusus akan memberi
dampak yang signifikan dalam merawat,
memelihara, mendidik, dan memunculkan
potensi yang dimiliki setiap anak
berkebutuhan khusus, ditambah dukungan
dari masyarakat dan pemerintah dalam
menyediakan lingkungan dan fasilitas yang
ramah terhadap anak berkebutuhan khusus.
PENUTUP
Dengan memperhatikan
karakteristik anak berkebutuhan khusus
yang memiliki hak yang sama dengan orang
normal pada umumnya dan sudah ada
peraturan untuk mengakomodir anak
berkebutuhan khusus, maka diharapakan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 74
dukungan dari berbagai pihak seperti orang
tua, masyarakat dan pemerintah untuk
dapat mengawal agar implementasi
peraturan yang sudah dibuat dapat
terlaksana dengan baik untuk memberikan
perlindungan kepada anak berkebutuhan
khusus dalam menjalani kehidupanyang
mandiri dan bisa bersama-sama dengan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan
Bagi Anak Bekesulitan
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Delphie, Bandi. 2005. Pembelajaran Anak
Tunagrahita. Bandung: Refika
Aditama.
Hallahan, D.P., & Kauffman, J. 1986.
Introduction Special Education Third
Edition. Printice Hall.
_________________ 2006. Exceptional
Children: Introduction to
Exceptional Children. New
York:Prentice Hall.
Jamaris, Martini. 2013. Kesulitan Belajar
Perspektif, Assessmen dan
Penangglangannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mudjito, A.K. 2013. Pendidikan Inklusif.
Jakarta: Kemendikbud Dirjen
Pendas.
Nugraha, Ali. 2012. Program Pelibatan
Orang Tua Dan Masyarakatat.
Tangerang selatan: Universitas
Terbuka.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Kebijakan Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus.
Pranawati, Rita. 2015. Perlindungan Anak
Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
www.kpai.go.id
Somantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Undang-undang Dasar 1945. Amandemen.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Perlindungan Anak.
Undang-undang No. 4 1997 tentang
Penyandang Cacat.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011,
tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas (Convention On The
Rigths Of Persons With Disabilities).
www.membumikanpendidikan.com/hak-
hak-yang-dimiliki-anak-
berkebutuhan.html.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 75
Peran GPK dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Berkebutuhan Khusus pada
Sekolah Dasar Inkulsif di Kota Malang (studi Deskriptif di SD Negeri Kebonsari
1,2 dan 3)
Wiwik Dwi Hastuti, Endro Wahyuno, Esni Tri Aswari
Jurusan PLB-FIP-UM
Email: [email protected]
Abstrak
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Peran guru pendidik
khusus (GPK) di SD inklusif selain mendampingi siswa pada kelas reguler, juga berperan pada
kegiatan penerimaan peserta didik baru (PPDB) berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. PPDB
di sekolah inklusif merupakan kegiatan penting dari sebuah proses pendidikan bagi ABK di
sekolah inklusif. Proses PPDB pada ABK tentunya berbeda dengan system penerimaan peserta
didik baru yang reguler. Perbedaaan PPDB tersebut terfokus pada kegiatan sebelum, saat dan
sesudah PPDB.
Kata kunci: GPK, PPDB, SD Inklusif
Abstract Inclusive education is a system of education that provides opportunities for all learners who have abnormalities and
have the potential of intelligence and / or a special talent to follow education or learning in an educational
environment together with learners in general. The role of special education teachers (GPK) in inclusive primary
schools in addition to assisting students in regular classes, also contributes to the exclusion of new-born learners
(PPDB) with special needs in inclusive schools. PPDB in inclusive schools is an important activity of an education
process for crew in inclusive schools. The process of (PPDB) on Childern with special need is different from the
regular system of acceptance of new learners. The difference between (PPDB) is focused on activities before, during
and after PPDB.
Keywords : GPK, PPDB, Inclusive primary School
Pendahuluan
Pendidikan inklusif merupakan salah
satu program pendidikan yang inovatif dan
strategis untuk memperluas akses
pendidikan bagi semua anak berkebutuhan
khusus termasuk anak penyandang cacat.
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu
bentuk reformasi pendidikan yang
menekankan sikap anti diskriminasi,
perjuangan persamaan hak dan kesempatan,
keadilan, dan perluasan akses pendidikan
bagi semua, peningkatan mutu pendidikan,
upaya strategis dalam menuntaskan wajib
belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap
masyarakat terhadap anak berkebutuhan
khusus. Dalam konteks pendidikan luar biasa
di Indonesia, pendidikan inklusi bukanlah
satu-satunya cara mendidik disabled children
dengan maksud untuk mengantikan pendidi
kan segregasi. Melainkan, suatu alternative,
pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan
baru disamping pendidikan segregasi yang
sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 76
dikarenakan setting pendidikan khusus atau
pendidikan luar biasa di Indonesia menganut
pendekatan “Multi-track Approach”. Hanya
saja eksistensi Sekolah Luar Biasa yang
seharusnya mampu berperan sebagai Pusat
Sumber dalam mendukung inklusi, belum
diberdayakan secara maksimal.
Setiap lembaga pendidikan pada
tahun ajaran baru menerima murid baru.
Sistem penerimaan siswa baru berbeda- beda
antara lembaga satu dengan yang lainya, hal
ini juga berlaku pada sekolah Sekolah Dasar
(SD) inklusif. Pada Sd inklusif menerima
siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus
sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan
oleh lembaga tersebut.
Di Indonesia, siswa berkebutuhan
khusus seperti siswa sekolah reguler adalah
warga negara Indonesia yang mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan Pengakuan bahwa ABK
mempunyai hak yang sama dalam
menempuh pendidikan didukung oleh
Nurhidayat (2008), disebutkan bahwa
pendidikan adalah hak asasi manusia yang
paling mendasar (basic human right).
Pemerataan pendidikan ini juga
mendapatkan dukungan dari dunia, hal ini
diperkuat dalam The World Education
Forum 2000 di Dakar, yang ditegaskan
kembali perlunya memberikan perhatian
terhadap anak berkelainan melalui
pendidikan inklusif, yaitu pendidikan yang
melayani semua anak termasuk anak-anak
yang memerlukan pendidikan khusus. Di
Indonesia, dalam rangka "Mewujudkan
Pendidikan Inklusif" ini telah dideklarasikan
di Kota Bandung oleh peserta Lokakarya
Nasional tentang Pendidikan Inklusif pada
tanggal 8 - 14 Agustus 2004 ( Sri Muji
Rahayu, 2014
Dari uraian di atas dapat dijelaskan
bahwa semua warga negara berhak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, tidak
terkecuali bagi warga negara yang
berkebutuhan khusus. Selain hal tersebut di
atas, memberi kesempatan anak
berkebutuhan khusus bersekolah di SD
inklusi, menjelaskan, akan mewujudkan
tercapainya btujuan wajib belajar 9 tahun
yang pada akhirnya akan menghambat
pembangunan di segala bidang.
Proses penerimaan di SD Inklusi
berbeda dengan SD reguler, proses
penerimaan siswa baru di SD Negeri
Percobaan 1 Malang yang berkebutuhan
khusus calon siswa baru di SD Negeri,
terdiri dari lima tahap yaitu: pertama
pengumuman pendaftaran masuk calon
siswa baru, kedua tahap pendaftaran calon
siswa baru, ketiga tes, tahap keempat
pengumuman hasil tes, dan tahap kelima
pendaftaran ulang bagi siswa yang lolos
seleksi (Nurhidayat, 2008: 46)
Pada saat penerimaan siswa baru , SD
Inklusif biasanya dibentuk tim PPDB,
dengan melibatkan GPK. GPK
bekerjasama dengan tim PPDB untuk proses
penerimaan ABK, proses yang dilakukan
yaitu sebelum penerimaan, saat penerimaan
dan setelah penerimaan (Sri Mudji Rahayu,
2014: 18).
Peran GPK pada saat penerimaan
peserta didik berkebutuhan khusus yang
meliputi peran GPK sebelum penerimaan
yaitu: 1) sosialisasi, 2) edukasi ke
masyarakat, 3) promosi, 4) kolaborasi (Sri
Mudji Rahayu, 2014:26). Sosialisasi PPDB
yaitu kegiatan memperkenalkan system
penerimaan peserta didik baru ke
masyarakat sekitar sekolah. Hal tersebut
dilakukan dengan pemasangan spanduk,
mengedarkan leaflate, mengirim surat ke
kelurahan setempat, dan lain-lain. Tujuan
sosialisasi tersebut untuk
mengkomunikasikan program sekolah atao
layanan sekolah sehingga masyarakat
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 77
mempercayakan putranya untuk bersekolah
di sekolah tersebut.
Edukasi masyarakat yaitu suatu cara
yang digunakan oleh pihak sekolah,
perangkat desa atau lembaga yang
berwenang untuk memberikan ilmu
pengetahuan yang sedang berkembang agar
perkembangan ilmu pengetahuan pada
masyarakat maju berkelanjutan
(Wirajuniarta, R. (2010). Promosi PPDB
dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk
menjaring peserta didik sesuai dengan
criteria yang ditetapkan oleh lembaga
pendidikan tersebut. Tugas GPK sebelum PPDB
selanjutnya yaitu menjalin kolaborasi,
maksudnya GPK menjalin kolabnorasi
dengan panitia PPDB dan Kepala Sekolah.
Hal ini dimaksudkan agar terwujud system
penerimaan peserta didik baru baik reguler
maupun anak berkebutuhan khusus yang utuh
dan menyeluruh. PPDB tetap tanggung
jawab panitia, dan bukan hanya tugas dari
GPK saja. Hal ini untuk mengantisipasi
permasalahan pada saat PPDB , sehingga
dapat dicarikan solusi dengan bijaksana.
Peran GPK pada saat PPDB
berkebutuhan khusus yaitu 1) detreksi dini,
2) pengambilan keputusan terhadap hasil
deteksi dini, dan 3) penempatan anak
berdasarkan hasil deteksi dini (Sri Mudji
Rahayu, 2014: 19). Deteksi dini pada saat
PPDB yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
GPK untuk memperoleh data yang
selengkap-lengkapnya tentang peserta didik
yang berkebutuhan khusus. Kegiatan tersebut
dilakukan dengan cara observasi sikap dan
prilaku anak, dan tes sederhana untuk
memperoleh data tentang kemampuan
kognitif anak. Setelah deteksi dini pada anak
berkebutuhan khusus dilakukan selanjutnya
adalah tahap pengambilan keputusan
terhadap hasil deteksi dini. Keputusan
tersebut berdasarkan hasil deteksi dini, bawa
ABK akan diterima dengan tindak lanjut,
ABK diterima, atau ABK tidak diterima
sebagai peserta didik baru di sekolah
tersebut. Setelah pengambilan keputusan
bahwa ABK duterima atau tidak diterima,
maka saatnya GPK menempatkan ABK di
kelas yang sesuai dengan hasil deteksi dini.
ABK ditempatkan di kelas reguler, atau kelas
pullout atau kelas sumber
Peran GPK setelah PPDB yaitu
melaksanakan monitoring terhadap
perkembangan kognitif, afektif dan
psikomotorik ABK yang diterima di sekolah
tersebut. Monitorik dilakukan setiap tiga
buulan sekali. Tujuan monitoring adalah
untuk memperoleh data selengkap-
lengkapnya ABK yang baru diterima pada
proses PPDB, kemudian dilaporkan kepada
Kepala sekolah, dan pemberitahuan kepada
orang tua ABK.
Berdasarkan kondisi tersebut,
peneliti bermaksud mengkaji lebih
mendalam dengan melakukan penelitian
berkenaan dengan peran guru pendidik
khusus (GPK) dalam penerimaan peserta
didik baru (PPDB) berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif. PPDB di sekolah inklusif
merupakan kegiatan penting dari sebuah
proses pendidikan bagi ABK di sekolah
inklusif. Proses PPDB pada ABK tentunya
berbeda PPDB pada siswa reguler
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini sebagai
berikut:1) Mendeskripsikan peran GPK
sebelum penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, 2)
Mendeskripsikan peran GPK pada saat
penerimaan peserta didik berkebutuhan
khusus di sekolah penyelenggara inklusif, 3)
Mendeskripsikan peran GPK setelah
penerimaan peserta didik berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif.
Manfaat Penelitian
Secara garis besar, terdapat dua manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 78
penelitian ini yaitu: 1) Manfaat Teoritis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah ilmu pendidikan khususnya
mengenai peran guru pembimbing khusus
(GPK) dalam penerimaan peserta didik baru
berkebutuhan klhusus di sekolah inklusif”.
Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan
yang lebih mendalam, 2) manfaat praktis,
hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan oleh para praktisi pendidikan
sebagai perluasan pengetahuan, dasar
pertimbangan, arahan dan perbaikan
berkenaan dengan peran guru pembimbing
khusus (GPK) dalam penerimaan peserta
didik berkebutuhan khusus pada sekolah
inklusif” bagi kepala Sekolah, GPK, dan
Dinas Pendidikan.
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian, pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dengan strategi srudi
kasus. Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang memiliki pandangan
naturalistik yaitu penelitiannya yang
dilakukan berdasarkan kondisi alamiah
(natural setting), rill dan tidak dibuat-buat
(Sugiyono, 2011)., 2) Lokasi Dan Informan
Penelitian, penelitian ini dilaksanakan di
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi.
Sekolah Dasar di Kecamatan Sukun, yaitu
SD Kebonsari 1,2 dan 3
Instrumen Dan Teknik Pengumpulan
Data Penelitian, instrumen utama yaitu
peneliti itu sendiri. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk
memperoleh data mengenai peran GPK
dalam PPDB yaitu: 1) observasi dan 2)
angket. Teknik Analisis Data Penelitian
Analisis data dalam penenelitian dilakukan :
1) reduksi data, 2) Display data, 3) Display
data, dan 4) reduksi data.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil angket dan
dokumentasi di SD Inklusif kebonsari 1, 2
dan 3, peran GPK pada pelaksanaan PPDB
diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1)
Peran GPK sebelum penerimaan peserta
didik berkebutuhan khusus : (a) Sosialisasi:
GPK menyampaikan kepada masyarakat
bahwa pendidikan inklusif adalah langka
strategis yang memberikan perhatian kepada
siswa yang memiliki berkebutuhan khusus
untuk mendapat pendidikan sekolah umum
atau regular, menyampaikan tujuan dan
program akademik untuk ABK sebagai
layanan pendidikan untuk semua,. (b)
Edukasi Masyarakat, GPK belum ada yang
memberikan ilmu tentang layanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus
terhadap masyarakat (warga di kelurahaan
Kebonsari dan orangtua murid siswa
reguler), (c) Promosi , menyampaikan
informasi kepada masyarakat tentang visi
misi dan tujuan sekolah inklusif., tidak ada
bukti fisik (surat, baner, atau leaflate), (d)
kolaborasi : GPK bekerjasama dengan
panitia PPDB.
2) Peran GPK pada saat penerimaan
peserta didik baru berkebutuhan khusus : a)
Deteksi dini : (a) mengidentifikasi anak
dengan berkebutuhan khusus dimaksudkan
merupakan suatu usaha seseorang (orangtua
atau guru) untuk mengetahui apakah anak
mengalami kelainan (tingkah laku) dalam
pertumbuhan dan perkembangannya
dibandingkan dengan anak sesuainya, (b)
motorik anak dengan proses kembang
kemampuan gerak anak dan memberikan
contoh kepada peserta didik untuk
melakukan gerakan tubuh yang
menggunakan otot-otot atau seluruh anggota
tubuh. Motorik berkembang sejalan dengan
kematangan syaraf otot., (c) seorang guru
harus berperan sebagai psikolog yang dapat
mendidik anak dan membimbing anak,
memberikan motivasi kepada peserta didik,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 79
serta memberikan solusi yang tuntas dalam
menyelesaikan masalah anak didik dengan
memperhatikan karakter dan kejiwaan
peserta didiknya (mengenal dan memahami
peserta didik dapat dilakukan dengan cara
memperhatikan dan menganalisa tutur kata
(cara bicara), sikap dan perilaku atau
perbuatan anak), (d) Pengambilan keputusan
hasil deteksi dini : pengambilan keputusan
kepada peserta didik didasarkan pada
kemampuan awal anak, disepakati oleh orang
tua, guru regular, dan Kepala Sekolah, Pada
ABK ada beberapa anjuran berdasarkan
kondisi anak, tindak lanjut kepada anak
(diterima atau tidaknya anak kita harus
melihat fasilitas yang dapat menompang
keberhasilan pendidikan ABK, dan Guru
pendamping khusus), Keadaan yang
berkenaan dengan kemampuan awal peserta
didik, Kondisi peserta didik juga senantiasa
dapat mengalami perubahan, perubahan
keadaan siswa yang ada pada siswa baik
sebelum pelajaran dimulai, pada saat
pelajaran hingga paska pelajaran,
Penempatan peserta didik baru berdasarkan
hasil keputusan tindak lanjut deteksi dini,
Peserta didik mampu memahami
pembelajaran regular atau ABK belajar
bersama anak-anak normal sepanjang hari di
kelas regular dengan menggunakan
kurikulum yang sama, ditempatkan dikelas
model pullout adalah ruang sumber untuk
belajar dengan guru pendamping khusus,
memberikan lembar observasi untuk
memberikan nilai kepada peserta didik. 3) Peran GPK setelah penerimaan
peserta didik baru berkebutuhan khusus, a)
mengamati proses kembang anak untuk
mengetahui secara langsung yang mengalami
gangguan, b) untuk mengetahui
karakterisktik anak, c) untuk mengetahui
kanadala yang dihadapi guru dalam mengajar
, d) merefleksi pelaksanaan kegiatan
pembelajaran tentang pentingnya
penggunaan strategi dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas agar proses
pembelajaran yang dilakukan
Triangulasi
Triangulasi dilakukan dengan kepada
sekolah Sd Kebonsari 1, 2 dan 3, Berdasarkan
dengan Kepala SD Kebonsari 1,2 dan 3, baha
penerimaan siswa baru anak berkebutuhan
khusus di sekolah SD Inklusif (Sd kebonsari
1, 2 dan 3), bahwa sekolah tersebut
membentuk team PPDB. GPK menjadi
anggota tim PPDB yang khusus melayani
ABK sebagai calon murid baru. GPK
bertanggung jawab pada ketua tim PPDB dan
Kepala Sekolah.
Pembahasan
Di Indonesia keberadaan anak
berkebutuhan khusus di lindungi oleh
Undang-Undang. Kepedulian masyarakat
terhadap keberadaan Abk juga sudah tidak
diragukan lagi. Para orang tua murid begitu
antusias untuk mendukung para putranya
untuk memperoleh penidikan yang layak,
baik di Sekolah Luar Biasa maupun di SD
Inklusi. Hal tersebut Peserta didik
berkebutuhan khusus memiliki hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan, seperti
anak seusianya. Hal tersebut sependapat
dengan isi dari Human Right (Nurhidayat
(2008) bahwa ABK mempunyai hak yang
sama dalam menempuh pendidikan.
Pendidikan inklusif merupakan solusi
praktis bagi anak berkebutuhan khusus dalam
mengembangkan kemampuan kognitif,
afektif dan social. Untuk itu lembaga
pendidikan di setiap wilayah tidak terkecuali
di kota Malang sudah selayaknya memberi
kesempatan pada peserta didik berkebutuhan
khusus setiap wilayah menerima pesrta didik
berkebutuhan khusus untuk menjadi
siswanya. Hal tersebut sesuai dengan
program pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan kota Inklusif. Perwujudan kota
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 80
inklusif seriring dengan hasil lokakarya di
Bandung Sri Muji Rahayu (2014) setiap kota,
mewujudkan pendidikan inklusif" ini telah
dideklarasikan di Kota Bandung oleh peserta
Lokakarya Nasional tentang Pendidikan
Inklusif.
Proses yang tidak bisa ditinggalkan
oleh lembaga pendidikan adalah proses
penerimaan pendidik baru (PPDB). Tahapan
PPDB di sekolah inklusif terdiri dari tiga
tahap yaitu: pertama pengumuman
pendaftaran masuk calon siswa baru, kedua
tahap pendaftaran calon siswa baru, ketiga
tes, tahap keempat pengumuman hasil tes,
dan tahap kelima pendaftaran ulang bagi
siswa yang lolos seleksi (Nurhidayat, 2008:
46). Pendapat yang tidak jauh berbeda
dikemukakan oleh Sri Muji Rahayu, (2014),
PPDB di sd inklusif ada tiga tahap yaitu, 1)
tahap sebelum PPDB, tahap saat PPDB , dan
3) tahap setelah PPDB.
Peran GPK pada saat penerimaan
peserta didik berkebutuhan khusus yang
meliputi peran GPK sebelum penerimaan
yaitu: 1) sosialisasi, 2) edukasi ke
masyarakat, 3) promosi, 4) kolaborasi (Sri
Mudji Rahayu, 2014:26). Peran GPK
sebelum PPDB, telah melaksanakan tahap
tersebut namun belum utuh menyeluruh,
karena bukti fisik sebagai pendukung
kegiatan tersebut belum didukung : 1) belum
ada surat pemberitahuan PPDB kepada
kelurahan setempat dengan tembusan RT dan
RW, dan 2) belum ada bukti fisik surat tugas
dari Kepala Sekolah untuk edukasi kepada
masyarakat disertai makalah yang telah
disampaikan.
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini yaitu: 1)
Peran GPK sebelum penerimaan peserta
didik baru berkebutuhan khusus: belum mean
ini yaitu lakukankolaborasi dengan panitia
PPDB, dan belum melakukan promosi,
sosialisasi, dan edukasi yang berbasis bukti
fisik, namun hanya dalam bentuk lisan dan
sesuai dengan kebutuhan, 2) Pada saat
penerimaan siswa baru berkebutuhan khusus,
GPK berperan dalam deteksi dini, dan
pengambilan keputusan terhadap
penempatan anak berkolaborasi dengan guru
kelas, dilaporkan kepada kepala sekolah dan
disepakati oleh orang tua murid, 3) Setelah
penerimaan murid baru, GPK berperan dalam
keginatan monitoring dan evalusi, yang
dilakukan dengan observasi dan tes untuk
mengetahui perkembangan kemampuan
ABK di bidang kognitif, afektif dan .
Saran
Sesuai dengan kesimpulan penelitian
ini saran yang diusulkan, yaitu: 1)
hemdaknya ada pemberitahuan PPDB secara
resmi, kepada desa setempat atau dinas
pendidikan, 2) siapkan perangkat yang
digunakan utk PPDB bagi anak berkebutuhan
khusus, 3) dokumenkan perangkat ppdb, dan
data awal peserta didik berkebutuhan khusus.
Kepustakan
Direktorat Pembinaan SLB .(2009).
Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PSLB
Direktorat Pembinaan SLB. (2009).
Pendidikan Inklusi Bagi Peserta
Didik Yang Memiliki Kelainan, dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan
Bakat Istimewa. Jakarta: Dirjen PSLB
Nurhidayat. 2008. Manajemen Pendidikan
Inklusif: Tinjauan Khusus Pada
Sistem Penerimaan Siswa Baru,
Manajemen Pengajaran Kelas Inklusif,
dan Model Pendidikan Studi Kasus Di
SD Negeri Percobaan 1 Kota Malang,
FIP: UM
Sri Muji Rahayu (2014), Memenuhi hak Anak
Berkebutuhan Khusus Usia Dini
melalui Pendidikan Inklusif (online),
Tersedia:
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 81
https://slbpamardiputra.wordpress.co
m/tag/pendidikan-inklusif/
Wirajuniarta, R. (2010). Pendidikan Inklusif.
[Online]. Tersedia:
http://rendywirajuniarta.blogspot.com/2
010/10/pendidikan-inklusi.html.[3
April, 2011].
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 82
PROGRAM PULL OUT BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SEKOLAH INKLUSI “X” KOTA YOGYAKARTA
Mita Apriyanti
Sunardi
Nadya Muniroh
Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstract: Salah satu model yang digunakan adalah model pull-out, yaitu siswa berkebutuhan
khusus dipindahkan ke ruang khusus untuk mendapatkan pelajaran tertentu dan didampingi
guru khusus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan program pulled-out yang
diterapkan di salah satu sekolah inklusi di Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Seluruh data dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif analitik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa program pulled out dilakukan kepada siswa yang memiliki
jarak kemampuan akademik yang jauh dari teman-teman di kelasnya. Pulled-out dilakukan
hanya pada materi-materi pembelajaran tertentu. Siswa diberikan materi sesuai kebutuhan
belajarnya. Model pulled-out memberikan dampak positif bagi siswa berkebutuhan khusus.
Mereka mendapatkan layanan belajar individual untuk memahami materi yang diajarkan sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu rujukan dalam pengembangan praktek-praktek pembelajaran di sekolah inklusi yang
seharusnya bisa mengakomodasi kebutuhan belajar semua siswa.
Katakunci: program pull-out, siswa berkebutuhan khusus, sekolah inklusi
PENDAHULUAN Pendidikan Inklusif merupakan
pendidikan yang diperoleh anak mencakup
pendidikan di rumah, masyarakat, sistem
nonformal dan informal yang dilandasi
anggapan bahwa semua anak dapat belajar
dengan melalui modifikasi struktur, sistem
dan metodologi pendidikan agar mampu
memenuhi kebutuhan semua anak sehingga
mereka mampu mengakui dan menghargai
berbagai perbedaan pada diri anak seperti
usia, jender, etnik, bahasa, dan kecacatan
yang berjalan melalui proses dinamis yang
senantiasa berkembang sesuai dengan
budaya dan konteksnya (Stubbs, 2002).
Mereka yang terlibat dalam upaya inklusi
memahami bahwa ruang kelas menjadi
semakin beragam dan bahwa tugas guru
adalah untuk mengatur instruksi yang
memberi manfaat bagi semua siswa -
walaupun berbagai siswa dapat memperoleh
manfaat yang berbeda (Rogers, 1993).
Modifikasi pembelajaran dibutuhkan untuk
mengakomodasi kebutuhan belajar siswa
yang beragam.
Salah satu strategi pembelajaran
yang diterapkan di sekolah inklusi adalah
model inklusi pull out di mana para siswa
berkebutuhan khusus belajar bersama-sama
dengan siswa pada umumnya di kelas
reguler, namun dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus,
memungkinkan tumbuhnya rasa saling
menolong di antara para siswa, sehingga
dapat tercipta lingkungan sekolah yang
kondusif. (Sunarno, 2012). Terdapat tiga
tingkatan dalam pelaksanaan program pull
out yang biasanya dilakukan oleh sekolah:
1. Siswa mengikuti pembelajaran di
ruang sumber dengan porsi 21%-
60% dari keseluruhan kegiatan
pembelajaran yang diikuti di
sekolah.
2. Siswa mengikuti pembelajaran
dalam kelas yang terpisah dengan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 83
porsi kegiatan sebesar lebih dari
60% dalam sehhari.
3. Siswa mengikuti kegiatan
pembelajaran di lokasi yang berbeda
dari sekolah misalnya tempat
tinggal, rumah sakit atau, dengan
porsi kehadiran siswa sebesar lebih
dari 50%. (McLeskey et al,1999)
Filosofi di balik program pull-out adalah
bagi siswa penyandang cacat untuk
menerima pengajaran khusus atau intensif
sesuai kebutuhan belajar yang telah
teridentifikasi dan dilakukan dalam
lingkungan kelompok kecil dengan guru
yang terlatih khusus. Reintegrasi siswa ke
dalam kelas pendidikan umum dilakukan
ketika siswa mencapai kemampuan untuk
tampil secara independen adalah tujuan dari
jenis program ini (Zigmond & Baker, 1996;
Richmond, 2011)
Pemilihan program pull out
didasarkan pada penemuan bahwa biasanya
kebutuhan belajar khusus siswa tidak bisa
terakomodasi dalam setting kelas umum
atau setting kelas inklusi penuh. (Rea,
2012). Program pull-out memungkinkan
rasio guru-murid yang lebih kecil dan
fleksibilitas dalam pemilihan materi
pembelajaran, tujuan pembelajaran,strategi
pembelajaran, penjadwalan ujian, dan
penugasan nilai. Program pull out
memungkinkan siswa untuk belajar konten
yang berbeda dengan cara yang berbeda dan
pada jadwal yang berbeda (Zigmond, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Richmond (2011)
mengungkapkan bahwa siswa berkesulitan
belajar yang mendapatkan program pull-out
menghasilkan keuntungan yang jauh lebih
signifikan daripada model kelas inklusi
penuh dan model kelompok atau cluster
dalam belajar mengidentifikasi huruf-kata.
Hal ini berdasarkan alasan bahwa program
pull out menyediakan lingkungan belajar
yang tenang dan kondusif bagi siswa
berkesulitan belajar dalam belajar membaca.
Selain itu, sebagian besar guru menemukan
program pull out bermanfaat karena mereka
menambahkan beberapa metode
pembelajaran yang terfokus untuk siswa
dengan kesulitan belajar. Gagasan ini
mendukung penelitian yang secara
akademis, bahwa beberapa siswa dengan
kesulitan belajar memilih program pull out
karena mereka merasa percaya diri saat
belajar di lingkungan yang kondusif. .
(Fernandez & Hynes, 2016)
Program pull out dapat menjadi
salah satu pilihan dalam penempatan bagi
siswa berkebutuhan khusus yang
menyediakannya rangkaian layanan yang
tersedia bagi setiap siswa berkebutuhan
khusus. Beberapa siswa penyandang cacat
yang ditempatkan di kelas pendidikan
umum hanya menunjukkan sedikit
kemajuan dalam membaca meskipun
banyak pelatihan dan pengembangan
profesional yang telah dilakukan oleh guru.
(Hurt, 2012). Secara keseluruhan, guru kelas
umum merasa program penarikan itu
penting karena memberikan keterampilan
yang tidak bisa mereka ajarkan di kelas.
(Fernandez & Hynes, 2016). Guru harus
pandai membuat strategi yang hal itu
berhubungan dengan strategi individu dalam
hal pemusatan perhatian, pemecahan
masalah dan lain-lain. Karena
perkembangan peserta didik yang memiliki
kekhususan,baik kekhususan dalam aspek
fisik, emosional dan lain sebagainya itu
berbeda dengan anak normal, murid yang
beragam karakteristiknya juga beragam
kebutuhannya sangat mengharuskan adanya
perhatian dan peran dari berbagai pihak.
Salah satunya perhatian dan peran dari guru
sebagai tenaga pendidik yang langsung
berhubungan dengan siswa.(Aisyah, 2015)
Pada penelitian ini akan dijabarkan
mengenai pelaksanaan program pull out di
salah satu sekolah inklusi di Yogyakarta.
Pelaksanaan pull out di sekolah ini dirasa
peneliti cukup unik karena program pull out
di sekolah ini dilaksanakan secara cluster
dan memiliki dampak yang cukup positif
bagi siswa berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan juga direncanakan dengan baik
dengan melakukan koordinasi antara Guru
Pendamping Khusus dan guru kelas serta
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 84
adanya program individual yang dibuat oleh
Guru Pendamping Khusus.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Peneliti
memotret kondisi faktual di lapangan
tentang pelaksanaan program pull out di
salah satu sekolah dasar inklusi di Kota
Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan selama
tiga bulan dengan melakukan wawancara
kepada beberapa pihak yaitu guru kelas,
guru pendamping khusus, orang tua dan
siswa berkebutuhan kkhusus serta siswa
reguler. Observasi dilakukan untuk
mengamati perlaksanaan progrma pull out di
ruang sumber serta proses pemebelajaran di
kelas besar. Studi dokumentasi dilakukan
untuk menelaah program indi vidual yang
telah dibuat oleh guru pendamping khusus
dan hasil kerja siswa.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pelaksanaan program pull out di
sekolah dilaksanakan untuk semua jenjang
kelas. Jumlah siswa yang melaksanakan
program pull out tidak ditentukan sesuai
dengan rekomendasi dari wali kelas atau
hasil asesmen pada anak yang dilakukan
oleh guru pendamping khusus. Berikut
adalah gambara dari plekasanaan program
pulled out yag dilakasanakan di sekolah
1. Landasan Pemilihan Program
Pelaksanaan program pull out di
sekolah dilakukan berdasarkan beberapa
pertimbangan yaitu (a) jumlah anak
berkebutuhan khusus yang lebih dari 5
pada setiap kelas, (b) terdapat jarak
kemampuan yang cukup jauh yang
dikuasai oleh anak berkebutuhan khusus
dengan anak pada umumnya berdasarkan
hasil asesmen terhadap beberapa anak
berkebutuhan khusus di kelas. (c)
program pull out membuat siswa
berkebutuhan khusus menjadi lebih fokus
dalam belajar dan mengejar
ketertinggalan dalam menguasai
pembelajaran. Keputusan untuk
melasanakan program pull out diambil
berdasarkan keputusan bersama antara
guru kelas dengan guru pendamping
khusus. Koordinasi antara guru kelas
dengan guru pendamping khusus terjadi
pada saat akhir pembelajaran atau saat
proses pembelajaran berlangsung. Guru
kelas dan GPK berdiskusi mengenai
siswa yang dinilai mengalami
keterlambatan dalam memahami materi
soal dan kemampuan yang dimiliki masih
berada dibawah rata-rata teman
sekelasnya. Program pull out dipilih
karena dianggap efektif dalam
menangani permasalahan belajar siswa
berkebutuhan khusus yang beragam.
Guru pendamping khusus bisa
menangani lebih dalam permasalahan
belajar yang dimiliki siswa berkebutuhan
khusus secara indivual. Siswa juga bisa
diberikan berbagai strategi belajar yang
sesuai dengan kebutuhan belajar yang
dimiliki.
Kepala sekolah sepenuhnya
mendukung pelaksanaan program ini
karena memiliki anggapan bahwa
program ini dapat memberikan
keuntungan yang lebih bagi siswa
berkebutuhan khusus maupun siswa pada
umumnya . Kepala sekolah juga
berpendapat bahwa program ini mampu
meningkatan kerjasama yang bagi antara
guru kelas dan guru pendamping khusus.
Sehingga, secara sekaligus permasalahan
yang dihadapi guru di kelas dan
permasalahan belajar siswa bisa
tertangani secara optimal.
2. Penentuan Siswa dalam Program Pulled
out
Siswa yang mengikuti program ini
terlebih dahulu menjalani asesmen yang
dilakukan oleh guru pendamping khusus.
Asesmen dilaksanakan dengan
mendalami data siswa tentang hasil
belajar pada materi yang diajarkan,
informasi yang disampaikan oleh guru
kelas dan observasi yang dilakukan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 85
selama mendampingi siswa belajar di
kelas reguler. Setelah mengumpulkan
dan mengolah informasi tersebut.
Selanjutnya guru pendamping khusus
akan berdiskusi dengan guru kelas
mengenai waktu pelaksanaan program
pull out kepada siswa yang
bersangkutan.Kolaborasi Guru
Pendamping Khusus dan Guru Kelas
berjalan dengan baik. Komunikasi selalu
dilakukan oleh GPK dengan guru kelas
mengenai materi yang dipelajari di kelas
dan di ruang sumber terhadap siswa yang
menjalani program pull out. Proses
koordinasi pembelajaran ini
membutuhkan fleksibilitas, keterampilan
interpersonal yang kuat, komunikasi
yang lancar, dan pengalaman
memberikan instruksi intensif dan
individual. Hal ini juga membutuhkan
pengetahuan tentang kurikulum dan
keterampilan dalam menyesuaikan dan
mengadaptasi kurikulum utama menjadi
kurikulum individual (Casto, 2012).
Jumlah siswa yang diikutkan pull out
dalam satu kels bergantung dari hasil
asesmen jika terdapat lebih dari satu
siswa yang memiliki hambatan belajar
yang sama maka akan diterapkan sistem
cluster pull out. Kelompok siswa yang
terdiri dari 3-4 orang bisa langsung
diikutkan dalam satu sesi pogram. Misal
terdapat 6 siswa di keas VI yang memiliki
hambatan matematika. Berdasarkan
hasil asesmen oleh psikolog keenam
siswa dinyatakan mengalami hambatan
intelektual. Maka keenam siswa ini pada
mata pelajaran matematika, bahasa
Indonesia, dan IPA menjalani program
pull out. Keputusan ini diambil
berdasaran hasil asesmen akademik yang
dilakukan oleh guru pendamping khusus
dan didukung data hasil asesmen oleh
psikolog. Keenam siswa ini mengikuti
program pull out dan dibuatkan materi
secara individual oleh guru pendamping
khusus. Siswa yang mengikuti program
pull out merupakan siswa-siswa yang
mengalami beberapa hambatan belajar
maupun hambatan perilaku di kelas.
Misalnya di kelas II terdapat 3 siswa yang
menunjukkan perilaku mengganggu dan
sulit dikondisikan oleh guru, maka ketiga
tersebut juga pada pembelajaran tertentu
ditarik ke ruang sumber untuk belajar
secara terpisah dengan Guru Pendamping
Khusus. . Terdapat beberapa kriteria
dalam menentukan siswa yang mengikuti
program pull out yaitu siswa yang
membutuhkan (a) instruksi pembelajaran
yang intensif dalam keterampilan
akademis dasar karena kemampuan
akademisnya yang jauh melampaui
tingkat kelas di mana tempatnya belajar,
(b) instruksi eksplisit dalam
mengendalikan perilaku atau berinteraksi
dengan teman sebaya dan orang dewasa,
atau (c) untuk belajar sesuatu Itu tidak
biasa diajarkan kepada orang lain.
(Zigmond, 2003)
3. Pelaksanaan Program Pull out
Program pull out dilaksanakan di
ruangan sumber data disebut ruang
inklusi. Ruangan ini merupakan ruang
khusus untuk melaksanakan program-
program inklusi di sekolah. Di ruang
sumber guru pendamping khusus
memberikan pembelajaran khusus
kepada siswa-siswa. Di setiap harinya
selalu ada siswa yang menjalani program
pull out dari berbagai kelas. Waktu yang
ditetapkan pada siswa yang mengikuti
program pull out masih belum terjadwal.
Ada siswa yangmengikuti program pull
out 3 sampai 4 kali seminggu pada mata
pelajaran tertentu. Sebagai besar siswa
menjalani program pull out ada mata
pelajaran membaca dan berhitung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
siswa yang mengikuti program pull out,
mereka mengaku bahwa mereka lebih
senang mengikuti program pull out
karena mereka bisa mendapatkan
pembelajaran atau soal yang bisa
dikerjakan. Selain itu, mereka merasa
lebih diperhatikan oleh guru dan tidak
merasa terganggu dengan kondisi kelas
yang gaduh atau ramai. Hasil ini
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 86
konsisten dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Klingner,
et.al (1998) bahwa dari 32 siswa
berkebutuhan khusus yang diteliti
menyatakan bahwa sebagian besar lebih
menyukai program pull out karena siswa
merasa lebih mampu belajar di kelas pull
out dan bisa mendapatkan materi
pembelajaran yang sesuai dengan
kemampuan belajarnya.
Beberapa siswa dari kelas rendah
umumnya mengalami ketertinggalan
yang cukup jauh dalam kemampuan
membaca. Di kelas tinggi umumnya
siswa mengalami ketertinggalan pada
mata pelajaran matematika. Pada
beberapa siswa yang hambatan
belajarnya hampir sama maka guru
menerapkan sistem kelompok. Program
pull out dilaksanakan bersamaan dengan
jam mata pelajaran yang belajarnya. Pada
saat pelajaran di kelas besar dimulai,
maka siswa ditarik ke ruang sumber
untuk melakukan pembelajaran. Saat
guru pendamping khusus akan
membelajarkan satu siswa atau satu
kelompok siswa dari kelas yang sama.
Guru sebelumnya telah membuat
program bagi siswa yang menjalani pull
out. Program ini dibuat sesuai dengan
kebutuhan belajar mereka. Strategi yang
digunakan guru dalam membelajarkan
siswa juga biasanya berbeda dari guru
kelas. Guru pendamping khusus biasanya
menggunakan varian strategi yang
berbeda dari guru kelas. Misalnya dalam
membaca guru pendamping khusus bisa
menerapkan teknik belajar membaca
yang berbeda dari guru kelas.
4. Program Pembelajaran Individual
Program individual ini dibuat oleh
guru berdasar hasil asesmen siswa. Guru
pendamping khusus mengembangan
program ini pada siswa yang sering
mengikuti program pull out. Tidak semua
siswa berkebutuhan khusus diberikan
program individual secara lengkap.
Program individual di sekolah ini
dibuatkan pada beberapa siswa yang
mempunyai jadwal rutin dalam
mengikuti program pull out. Hal ini agar
kebutuhan belajar siswa bisa terpenuhi,
tepat sasaran dan terukur. Program
pembelajaran individual dibuat mengacu
pada kurikulum yang ada sesuai kelas
anak dan diselaraskan dengan hasil
asesmen anak. Materi yang
dikembangkan mengacu pada kebutuhan
belajar diselaraskan dengan kurikulum
yang dijalankan oleh guru kelas. Program
ini dikembangkan bersama guru kelas
agar materi yang dipelajari anak bisa
sejalan dengan tujuan pemebelajaran di
kelas utama. Evaluasi juga dilakukan
oleh guru pendamping khusus dalam
program pull out. Hasil evaluasi belajar
anak nantinya diserahkan kepada guru
kelas dan menjadi pertimbangan dalam
penentuan nilai akhir anak. Di akhir
semester guru pendamping khusus
membuat suatu bentuk evaluasi deskriptif
dan rekomendasi terhadap kemampuan
anak berkebutuhan khusus di setiap
kelas.
5. Dampak Program Pulled Out
Berdasarkan hasil yang diperoleh di
lapangan, maka program pull out ini
terbukti efektif dalam meningkatkan
kemampuan belajar siswa. Program pull
out bisa menjembatani siswa dalam
memahami materi pembelajaran.
Program ini juga menghindarkan siswa
dari rasa frustasi akibat ketertinggalan
yang di alami di kelas melalui program
pull out ini dapat diketahui kelemahan
dan kelebihan siswa secara lebih
mendalam. Hal ini dapat terlihat dari
siswa kelas I, II, dan III yang belum
mampu membaca. Di kelas pull out,
mereka diajarkan keterampilan membaca
secara individual, dan hasilnya siswa
menunjukkan peningkatan dalam
kemampuan membaca. Peningkatan
kemampuan membaca ini sangat
berpengaruh ketika siswa kembali
mengikuti pembelajaran bersama di kelas
reguler. secara psikologis mereka merasa
mampu mengikuti materi bersama dan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 87
menjawab pertanyaan dengan mandiri.
Walaupun terdapat kekhawatiran bahwa
program pull out mampu memisahkan
anak dari lingkungan sosialnya di kelas,
namun secara akademik siswa yang
mengikuti program pull out mengalami
peningkatan dalam kemampuan
membaca dan memahami materi
pembelajaran. (Karin et.al, 2012). Setiap
siswa harus mendapatkan apa yang
dibutuhkan untuk mencapai sukses di
sekolah, apakah itu dengan mengikuti
program pull-out, kelas inklusi penuh,
atau perpaduan keduanya. Sekolah
seharusnya bisa menyediakan rangkaian
layanan lengkap karena hal ini
merupakan prinsip dasar dalam
pendidikan khusus. (Marston, 1996)
KESIMPULAN
Program pulled out dilakukan kepada siswa
yang memiliki jarak kemampuan akademik
yang jauh dari teman-teman di kelasnya atau
yang memiliki permasalah perilaku di kelas.
Siswa yang mengikuti program pull out
sebelumnya telah menjalani asesmen oleh
guru kelas dan guru pendamping khusus.
Pulled-out dilakukan hanya pada materi-
materi pembelajaran tertentu. Siswa akan
ditarik ke ruang sumber pada jam pelajaran
tertentu untuk mendapatkan pembelajaran
secara individual. Siswa diberikan materi
dan program khusus di ruang sumber oleh
guru pendamping khusus. Model pulled-out
memberikan dampak positif bagi siswa
berkebutuhan khusus. Mereka mendapatkan
layanan belajar individual untuk memahami
materi yang diajarkan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan belajarnya.
Siswa terbukti mengalami peningkatan
secara akademis ketika mengikuti program
pull out.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Dewi. (2015). Dampak Pola
Pembelajaran Sekolah Inklusi
Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus. Gema Wiralodra Vol.VII.
No.1 Juni 2015.
Casto, Susan. (2012). Academic Outcomes
for Students with Learning
Disabilities in an Inclusive
Mathematics Classroom. Diakses
pada tanggal 30 Oktober 2017 dari
www.researchgate.com.
Fernandez, Naomi., Hynes, James W.
(2016). The Efficacy of Pullout
Programs in Elementary Schools:
Making it Work. The Journal of
Multidisciplinary Graduate Research
2016, Volume 2, Article 3, pp. 32- 47.
Gunarhadi, et.al. (2016). The Effect of
Cluster-Based Instruction On
Mathematic Achievement In Inclusive
Schools. International Journal of
Special Education Vol 31, No: 1,
2016.
http://eprints.ums.ac.id/24262/14/AR
TIKEL_PUBLIKASI.pdf
Hurt, James Matthew, "A Comparison of
Inclusion and Pullout Programs on
Student Achievement for Students
with Disabilities" (2012). Electronic
Theses and Dissertations. Paper
1487. http://dc.etsu.edu/etd/1487.
Karin, Hannes. (2012). Don't Pull Me Out!?
Preliminary Findings Of A
Systematic Review Of Qualitative
Evidence On Experiences Of Pupils
With Special Educational Needs In
Inclusive Education. Procedia -
Social and Behavioral Sciences 69 (
2012 ) 1709 – 1713
Klingner, et.al. (1998). Inclusion or Pull-
Out: Which Do Students Prefer?
Journal of Learning Disabilities
volume 31, Number 2, March/April
1998, Pages 148-158.
Marston, Douglas. (1996). A Comparison of
Inclusion Only, Pull-Out Only, And
Combined Service Models For
Students With Mild Disabilities. The
Journal of Special Education
Volume 30/No. 2 Page 121-132.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 88
McLeskey, J., Henry, D., & Axelrod, M.I.
(1999). Inclusion of students with
learning disabilities: An examination
of data from reports to congress.
Exceptional Children, 66(1), 55-66.
Rea, Patricia J., McLaughlin, Virginia L.,
Walther-Thomas, Chriss. (2002).
Outcomes for Students With
Learning Disabilities in Inclusive
and Pullout Programs. Journal of
Exceptional Children Vol. 68, No.2
pp. 203-223.
Richmond, Aaron S. (2009). One School
District’s Examination of Least
Restrictive Environments: The
Effectiveness of Pull-out and
Inclusion Instruction. Journal of
The Researcher, 21(1), 53-66.
Rogers, J. (1993). The inclusion revolution.
Phi Delta Kappa Research Bulletin,
11(4), 1-6.
Stubbs, Sue. (2002). Pendidikan Inklusif :
Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber.
Bandung: Jurusan Pendidikan Luar
Biasa UPI.
Sunarno. (2012). Pengelolaan Pembelajaran
Inklusi Di Sekolah Dasar (Studi
Situs Di Kecamatan Selo
Kabupaten Boyolali). Artikel
Publikasi Ilmiah Program Studi
Manajemen Pendidikan Program
Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Diakses dari
Zigmond, Naomi. (2003). Where Should
Students with Disabilities Receive
Special Education Services? : Is
One Place Better Than Another?
The Journal Of Special Education
Vol. 37/No. 3/2003/PP. 193–199.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 89
PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK KASAR ANAK AUTIS MELALUI
PERMAINAN BOLA BOCCE
Diajeng Tyas Pinru Phytanza
Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Lampung
e-mail: [email protected] Abstract:
This study aims to determine the impact of bocce ball game on the gross motor skill of children
with autism. This study uses classroom action research ( CAR), which is conducted in two
cycles. The subjects in this study were autistic students who sat in class 1 elementary level .
Techniques of data collection using observation and gross motor skills tests . Data analysis
techniques used in this study used quantitative description with percentage . The results showed
that the game of bocce ball can improve the gross motor skills of students with autism. This is
shown by the percentage of achievement on tests of gross motor skills exercise results obtained
by the subjects in the second cycle and achieve compliance with defined indicators of success
in the study was 65 % . Percentage of subjects obtaining gross motor skills by 73.33 % .
Keywords : gross motor skill, autism children, bocce game
PENDAHULUAN
Perkembangan anak berkebutuhan
khusus yang sekarang sedang menjadi
perhatian di Indonesia bahkan di dunia
adalah anak autis. Karena autisme
merupakan suatu gangguan yang banyak
muncul baru-baru ini dan
perkembangannya sangat pesat di
Indonesia. Secara umum, kemampuan
akademik dan non akademik pada anak
autis mengalami keterlambatan meskipun
ada beberapa yang mengalami kemampuan
di atas rata-rata anak normal.
Keterlambatan tersebut di sebabkan karena
kurang optimalnya perkembangan fungsi
otak sehingga mempengaruhi
perkembangan aspek lainnya seperti
intelegensi, motorik, sosial dan emosi.
Anak autis mengalami keterlambatan dan
gangguan baik dalam aspek kognitif, sosial
maupun perilaku sehingga sekolah khusus
berfungsi untuk memberikan layanan
pendidikan sesuai dengan kebutuhan siswa
agar dapat hidup dan berkembang di dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat.
Menurut Triantoro Safaria (2005: 2)
autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan pervasif yang secara
menyeluruh mengganggu fungsi kognitif,
emosi,dan psikomotorik anak. Dilihat dari
istilah ilmiah kedokteran, psikiatri, dan
psikologi anak dengan gangguan autisme
merupakan seseorang yang termasuk dalam
gangguan pervasif (pervasive
developmental disorder) yang ditandai
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 90
dengan distorsi perkembangan fungsi
psikologis dasar majemuk yang meliputi
perkembangan keterampilan sosial dan
berbahasa seperti perhatian, persepsi, daya
nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan
motorik (Triantoro Safaria 2005: 1).
Prasetyono (2008: 28) juga menambahkan
beberapa perilaku berkekurangan (deficit)
dari anak autis antara lain kesiapan belajar,
motorik kasar, motorik halus, imitasi
nonverbal, imitasi verbal, pembicaraan
sederhana yang berguna, identifikasi dan
labelling, konsep umum dan hubungan,
identifikasi fungsi benda, pemahaman
kalimat, mengikuti perintah serta tidak
mampu bekerja mandiri dalam suatu tugas.
Dari beberapa kekurangan yang dimiliki
anak autis,kemampuan yang ditingkatkan
dalam rangka mengembangkan
kemampuan kemandiriannya adalah
motorik kasar.
Kemampuan motorik kasar
merupakan kemampuan beraktifitas
menggunakan otot-otot besar yang
termasuk kemampuan motorik gerak dasar.
Kemampuan motorik kasar anak perlu
dilatih karena kemampuan motorik kasar
berpengaruh terhadap tingkat kemampuan
motorik halus yang tujuan akhirnya adalah
dapat meningkatkan aspek kehidupan anak.
Menurut Hembing Wijayakusuma (2004:
24) pada anak autis gerakan motorik
terkadang mengalami gangguan karena
sensitivitas indra yang juga terganggu.
Anak autis menganggap bahwa segala
sesuatu yang ditujukan kepadanya
merupakan hal buruk yang perlu mereka
hindari. Sehingga mereka cenderung
enggan melakukan berbagai aktifitas
bermain secara normal yang memerlukan
keterampilan dan koordinasi motorik yang
baik.
Berdasarkan hasil observasi dan
diskusi dengan guru kelas dasar 1 di SLB
Insan Mandiri didapatkan informasi
mengenai adanya permasalahan
kemampuan dan perkembangan motorik
kasar yang terjadi pada peserta didik.
Berdasarkan dari informasi tersebut maka
dilakukan observasi dan observer
menemukan beberapa fakta mengenai
keterlambatan pada kemampuan motorik
anak yang dapat dilihat pada saat di dalam
kelas anak belum mampu mengikuti materi
akademik dikarenakan kondisi kelemasan
yang berlebihan pada otot-otot tangan anak,
sehingga ketika memegang pensil posisi
tangan anak masih belum kuat dan selalu
ditempelkan dengan meja,jika diangkat
maka akan jatuh lagi ke atas meja tersebut.
Setelah dilakukan observasi lebih lanjut,
ternyata anak juga belum mampu
melakukan gerakan motorik kasar seperti
memegang benda, menggerakkan tangan ke
depan, mengangkat tangan ke atas.
Beberapa informasi diperoleh mengenai
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 91
penyebab anak mengalami keterlambatan
dalam aspek motorik kasar antara lain
faktor usia ibu pada saat melahirkan,
kurangnya pemahaman orangtua akan
perkembangan anak, kurangnya pemberian
latihan untuk motorik kasar. Sedangkan
dari aspek pendidikan dapat dilihat
penyebabnya yaitu anak baru masuk dunia
pendidikan.
Dalam dunia pendidikan,
ketidakmampuan anak sangat berpengaruh
terhadap kegiatan pembelajaran lainnya
seperti latihan menulis, binadiri, serta
latihan pembelajaran akademik lainnya.
Pemilihan materi dan metode latihan yang
tepat diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan motorik kasar anak autis agar
berkembang secara optimal. Selama ini
cara guru dalam mengembangkan
kemampuan motorik kasar mereka sudah
cukup baik yaitu dengan selalu mengajak
berjalan-jalan, memegang dan melempar
bola. Namun cara tersebut dirasa kurang
efektif karena waktu yang diberikan singkat
dan banyak variasi kegiatan dalam waktu
tersebut sehingga anak tidak mampu
mengembangkan kemampuan mereka
secara optimal.
Berdasarkan permasalahan di atas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan
peningkatan kemampuan motorik kasar
anak melalui permainan bola bocce.
Permainan Bola Bocce dipilih karena dalam
rangkaian permainan Bola bocce banyak
mengandung materi latihan yang berkaitan
dengan pengembangan motorik kasar yaitu
memegang bola, melempar bola,
menggelindingkan bola serta
menggerakkan otot lengan untuk
mengayunkan bola. Selain itu, media bola
digunakan karena anak suka dengan bola.
Bola Bocce merupakan sebuah permainan
bola yang terdiri dari 8 bola besar dan satu
bola kecil yang disebut pallina dengan
tujuan menggulingkan bola besar sedekat
mungkin dengan pallina (Sumardi, 2009:1).
Cara kerja dalam permainan bola bocce
adalah dengan melemparkan bola bocce ke
arah sedekat mungkin dengan pallina yaitu
bola kecil yang dijadikan sebagai patokan
lemparan.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: “bagaimana
proses pelaksanaan permainan bola bocce
untuk meningkatkan kemampuan motorik
kasar pada anak autis kelas 1 SDLB di SLB
Insan Mandiri?”. Tujuan Penelitian ini
adalah untuk mengetahui proses
pelaksanaan permainan bola bocce untuk
meningkatkan kemampuan motorik kasar
pada anak autis kelas 1 SDLB di SLB Insan
Mandiri.
METODE
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 92
tindakan kelas dengan menggunakan dua
siklus. Siklus pertama terdiri dari 3
pertemuan dan siklus kedua terdiri dari dua
pertemuan.
Tindakan dikatakan berhasil apabila
skor yang diperoleh anak mencapai kriteria
keberhasilan yaitu 65 %. Nilai tersebut
diperoleh dari nilai skor yang diperoleh
siswa kemudian dibagi dengan total skor
dikalikan seratus persen. Nilai kriteria ini
didasarkan dari kesepakatan antara
observer dengan guru karena pemberian
nilai disekolah hanya menggunakan
deskripsi bukan angka.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada
semester II, selama kurang lebih 1 bulan
dimulai sejak 1 Juni sampai 28 Juni 2013.
Penelitian ini dilakukan diluar
ruangan,dihalaman SLB Insan Mandiri
yang beralamat di Jalan Raya Pathuk-
Dlingo Km 10 Dusun Temuwuh Dlingo,
Kabupaten Bantul Provinsi DIY.
Subyek Penelitian
Penentuan subyek dalam penelitian
ini dilakukan dengan teknik purposive
sample, yaitu mengambil subyek yang
didasarkan atas dasar tujuan tertentu
(Suharsimi Arikunto, 2006:139). Dalam
penelitian ini dasar pertimbangan yang
dilakukan adalah berdasarkan karakteristik
yang dibutuhkan dalam penelitian. Subyek
dalam penelitian ini adalah siswa autis di
SLB Insan Mandiri yang berjumlah satu
anak.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua
siklus. Siklus pertama terdiri dari tiga
pertemuan dan siklus kedua terdiri dari lima
pertemuan. Setiap siklus terdiri dari empat
komponen yaitu perencanaan. Tindakan,
pengamatan dan refleksi. Tahap pertama,
perencanaan diawali dengan observasi
terhadap siswa untuk mengetahui tingkat
kemampuan motorik kasar siswa,
kemudian mengadakan kolaborasi dengan
guru untuk menentukan nilai kriteria
minimal, menyusun RPP, lembar observasi
serta menyiapkan media yang akan
digunakan.
Tahap kedua, melaksanakan tindakan
penelitian yaitu proses pemberian latihan
motorik kasar melalui permainan bala
bocce. Tahap ketiga melakukan
pengamatan terhadap kinerja siswa dan
guru selama proses latihan. Tahap keempat
yaitu melakukan refleksi terhadap semua
item yang terdapat pada instrumen
penelitian dan berdiskusi mengenai hasil
dan evaluasi program berikutnya.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan tes, dan observasi. Tes
digunakan untuk mengukur peningkatan
kemampuan motorik kasar anak selama
proses latihan. Observasi dilakukan untuk
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 93
mengetahui kinerja siswa dan guru dalam
proses pembelajaran menggunakan
permainan bola bocce.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tes unjuk kerja dan
panduan observasi. Hasil tes digunakan
untuk mengukur peningkatan kemampuan
motorik kasar selama proses pembelajaran.
Panduan observasi digunakan untuk
mengukur kinerja siswa selama proses
pembelajaran menggunakan permainan
bola bocce.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan deskriptif kuantitatif dengan
persentase yaitu data hasil penelitian
disajikan dalam bentuk angka dan
dibandingkan. Perbandingan ini diperoleh
dari hasil pretest, posttest I dan posttest II.
Kemudian hasil perbandingan tersebut
dianalisa seberapa besar peningkatannya
dalam bentuk presentase dan diagram
batang kemudian dilanjutkan dengan
mendeskripsikannya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Peningkatan kemampuan motorik
kasar dapat diketahui dengan cara melihat
hasil nila tes kemampuan motorik kasar
yang dilakukan pada saat pretest, posttest I
dan posttest II. Hasil tes kemampuan
motorik kasar anak autis pada saat pretest,
posttest I dan posttest II, sebagai berikut :
Tabel 1. Kemampuan Motorik Kasar Siswa
Autis Kelas 1 pada saat pretest, posttest I
dan posttest II.
Berdasarkan hasil diatas,
menunjukkan bahwa anak autis dalam tes
kemampuan awal motorik kasar
mendapatkan skor 6 dengan persentase
sebesar 40 %, pada siklus I mendapat skor
8 dengan persentase 53,33 % dan pada
siklus II meningkat dengan nilai skor 11
dan persentase menjadi 73,33 %. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik
berikut :
Gambar 1. Grafik Peningkatan
Kemampuan Motorik Kasar siswa Autis
pada saat Pretest, Posttest I dan Posttest II
40%
53,33%
73,33%
0%
20%
40%
60%
80%
SR
Peningkatan Kemampuan
Motorik Kasar
HistogramPeningkatanKemampuanMotorik KasarSiswa AutisKelas 1melaluiPermainanBola Bocce
N
o
Pretes
t Pottest I Posttest II
1. Skor 6 8 11
2. Persentase
pencapaian
40 % 53,33 % 73,33 %
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 94
Berdasarkan data diatas maka dapat
disimpulkan bahwa kemampuan motorik
kasar siswa autis mengalami peningkatan
melalui permainan bola bocce. SR mampu
melaksanakan tahap-tahap kegiatan yang
diberikan meskipun dengan sedikit atau
banyak bantuan dari guru.
Pembahasan
Subyek dalam penelitian ini yaitu
anak autis. Anak autis merupakan
seseorang yang termasuk dalam gangguan
pervasif (pervasive developmental
disorder) yang ditandai dengan distorsi
perkembangan fungsi psikologis dasar
majemuk yang meliputi perkembangan
keterampilan sosial dan berbahasa seperti
perhatian, persepsi, daya nilai terhadap
realitas, dan gerakan-gerakan motorik, hal
ini dikemukakan oleh Triantoro Safaria
(2005: 1).
Subyek dalam penelitian ini
mengalami keterlambatan dalam
kemampuan motoriknya baik motorik kasar
mau[un motorik halus. Tetapi hal yang
mendasar adalah dari motorik kasarnya
sehingga motorik halus juga mengalami
keterlambatan perkembangan. Ketika anak
mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas,
anak terlihat mengalami kekakuan pada
saat memegang pensil dan posisi tangan
anak sulit untuk digerakkan.
Tindakan dalam penelitian ini berupa
penerapan permainan bola bocce untuk
meningkatkan kemampuan motorik kasar
anak autis di SLB Insan Mandiri Dlingo.
Tindakan ini dilaksanakan dalam dua
siklus. Setelah dilakukan tes kemampuan
awal, anak diberikan tindakan siklus I dan
siklus II berupa kemampuan memegang
bola bocce, kemampuan mengayunkan
tangan kebelakang, melempar bola bocce,
menggelindingkan bola bocce dan
memposisikan tubuh dengan benar.
Penggunaan bola bocce dipilih dalam
penelitian ini karena memiliki beberapa
kelebihan dalam meningkatkan
kemampuan motorik kasar.
Nilai tes kemampuan awal motorik
kasar mendapatkan skor 6 dengan
persentase sebesar 40 % dengan kategori
kurang, pada siklus I mendapat skor 8
dengan persentase 53,33 % dalam kategori
cukup dan pada siklus II meningkat dengan
nilai skor 11 dan persentase menjadi 73,33
% termasuk dalam kategori baik.
Berdasarkan nilai pencapaian yang
diperoleh anak dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa penerapan permainan
bola bocce dapat meningkatkan
kemampuan motorik kasar anak autis di
SLB Insan Mandiri Dlingo.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
permainan bola bocce dapat meningkatkan
kemampuan motorik kasar anak autis di
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 95
SLB Insan Mandiri Dlingo peningkatan
tersebut dapat dilihat dari hasil tes
kemampuan motorik kasar yang dilakukan
pada saat pretest, posttest I dan posttest II.
Peningkatan ini juga dapat dibuktikan
dengan adanya peningkatan perolehan skor
yang didapatkan oleh anak sehingga
mencapai kriteria kemampuan minimal.
Diharapkan permainan bola bocce
dapat diterapkan menjadi salah satu media
dalam melatih kemampuan motorik kasar
anak autis disekolah sehingga siswa tidak
merasa jenih dengan kegiatan pembelajaran
yang hanya dilakukan dikelas.
DAFTAR PUSTAKA
Hembing Wijayakusuma. (2004).
Psikoterapi Anak Autisma: teknik
bermain kreatif non verbal verbal
terapi khusus untuk autisma. Jakarta:
Pustaka Populer Obor.
Prasetyono. (2008). Serba-serbi Anak
Autis. Yogyakarta: Diva Press.
Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur
Penelitian:Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumardi. (2009). Buku Panduan Cabang
olahraga Bocce Special Olympics.
Jakarta: Pengurus Pusat special
Olympics Indonesia.
Triantoro Safaria. (2005). Autism
Pemahaman Baru untuk Hidup
Bermakna Bagi Orangtua.
Yogyakarta: Graha Ilmu
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 96
Pengembangan Media Pembelajaran “Flash Card” Dalam Meningkatkan Pembendaharaan
Kosa Kata Anak Tuna Rungu Di Sd Luar Biasa Tuna Rungu Wicara Kota Malang
Agusti Mardikaningsih, MPd (IKIP Budi Utomo Malang)
Dimas Arif Dewantoro (PLB-FIP-UM)
Abstrak
Teknologi berkembang secara cepat begitu juga dengan media pembelajaran yang saat
ini semakin beragam. Media pembelajaran memiliki fungsi sebagai penyalur guru kepada anak
ketika menyampaikan isi materi pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan untuk
anak berkebutuhan khusus (tuna rungu) harus sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan
perkembangan anak pada umumnya. Dilihat secara fisik, anak tunarungu terlihat sama dengan
anak normal lainnya. Perbedaan anak tunarungu dengan anak normal terlihat pada kemampuan
mendengarnya. Anak tunarungu kehilangan kemampuan mendengarnya yang menyebabkan
keterlambatan dalam perkembangan bahasanya.
Mengacu pada masalah yang muncul dari penelitian di atas, peneliti mengembangkan
sebuah media pembelajaran yang dapat membantu anak untuk lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran kognitif. Media pembelajaran yang dikembangkan lebih difokuskan untuk
mengembangkan aspek kognitif anak, tetapi juga tidak meninggalkan aspek yang lainnya.
Media “Flash Card” dapat dibuat mudah oleh guru, dikemas secara menarik, efektif dan efisien
sesuai dengan perkembanga teknologi yang ada. Media dapat disesuaikan dengan karakteristik
dan kebutuhan anak serta dapat disesuaikan dengan tema kegiatan yang akan dilaksanakan,
sehingga diharapakan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif media pembelajaran yang
dapat mengembangkan aspek kognitif anak tuna rungu secara optimal.
Penelitian pengembangan ini menggunakan Model ADDIE. Model ADDIE adalah
model system pembelajaran bersifat umum dan merupakan salah satu model dalam
pengembangan produk, penerapan model ADDIE dalam desain pembelajaran memfasilitasi
lingkungan belajar yang disesuaikan dengan masalah yang ada. Setiap tahapan dalam model
ADDIE terdapat evaluasi, sehingga setiap tahapan akan berpengaruh terhadap tahapan
selanjutnya. Terdapat 5 tahapan dalam model ADDIE: Analyze (Analisis), Design (Desain),
Development (Pengembangan), Imlementation (Implementasi) dan Evaluation (Evaluasi)
Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan kepada ahli materi, ahli media dapat
disimpulkan bahwa pengembangan media pembelajaran “Flash Card” memiliki hasil dari:(1)
Ahli materi (96,2%) dengan kriteria valid/ layak, (2) Ahli media (95%) dengan kriteria valid/
layak Dan hasil tes kemampuan awal, diketahui subjekA memperoleh nilai 20 dan subjekB
memperoleh nilai 40. Pada hasil setelah penggunaan media pembelajaran “Flash Card”,
diketahui subjekA memperoleh nilai 53 dan subjekB memperoleh nilai 70. Sedangkan pada
hasil tes berikutnya, diketahui subjekA memperoleh nilai 77 dan subjekB memperoleh nilai 83.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan media flashcard dapat meningkatkan
penguasaan kosakata siswa tunarungu siswa kelas Dasar
Kata Kunci : Media Pembelajaran Flash Card, Tuna Rungu
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 97
Abstract
The development of technology it is so fas ,altough with the media learning that so diverse
now. Media learning has the fuction as like teaxher connector to the students when conveying
the learning subject. Media learning that used for the deaf students should according to the
development of characteristic and necessary in general. Looked by phisic, the deaf looks like
same with the normal students. The difference of the deaf students with normal students looked
in the hearing skills. The deaf students lost of the hearing who induce the improvement of
language late.
According to the problem that appear in this research above, researcher improving a learning
media who can help the deaf students in the cognitif learning process. Media learning improved
more focused to improving cognitif aspect of the students, But also did not leaving the other
aspect. "Flash card" media can used by teacher easily, with interesting packed, efective and
evisien appropriate with the development of media that there. Media accorded to with the
characteristic and necessary of students along with can accorded with the theme of activity who
will done, So that expected can be the one of media learning alternative that can used to
improve the cognitive aspect of the deaf students optimaly.
This improvent research using the ADDIE model. ADDIE model is the model system of
learning generally and one of model in product development, the immplementation of ADDIE
model in learning design to facilate learning area that according to the problem that there. In
every step of the ADDIE model there the evaluation, so that in every step will influenced to
the next step. There five step in the ADDIE model : Analyze (analisis), design (desain),
development ( pengembangan), implementation (implementasi) and Evaluation ( evaluasi)
Based on the trial that did by subject exerpets, media experts can conclude that the development
of "flash card" media learning
Keywords: Flash card, deaf
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 98
Pendahuluan
Teknologi berkembang secara cepat
begitu juga dengan media pembelajaran
yang saat ini semakin beragam. Media
pembelajaran memiliki fungsi sebagai
penyalur guru kepada anak ketika
menyampaikan isi materi pembelajaran.
Menurut Kustiawan (2012:02) bahwa
media pembelajaran merupakan segala
sesuatu yang digunakan oleh guru untuk
menyampaikan materi pelajaran kepada
murid, sehingga murid tertarik minat dan
perhatiannya, terangsang pikiran dan
perasaannya pada kegiatan belajar dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Media pembelajaran yang
digunakan untuk anak berkebutuhan khusus
(tuna rungu) harus sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan perkembangan
anak pada umumnya. Media pembelajaran
yang digunakan haruslah bersifat
komunikatif, aman saat digunakan, menarik
minat anak untuk belajar, menumbuhkan
rasa ingin tahu anak, mampu menyalurkan
materi yang akan disampaikan oleh guru,
meningkatkan daya kreativitas anak, dan
dapat mengembangkan aspek kemampuan
anak secara optimal dan, tidak
meninggalkan unsur bermain bagi anak.
Dilihat secara fisik, anak tunarungu
terlihat sama dengan anak normal lainnya.
Perbedaan anak tunarungu dengan anak
normal terlihat pada kemampuan
mendengarnya. Anak tunarungu kehilangan
kemampuan mendengarnya yang
menyebabkan keterlambatan dalam
perkembangan bahasanya. Kehilangan
kemampuan mendengar tersebut juga
berpengaruh dalam menerima dan
menangkap informasi dari luar baik lisan
maupun tertulis. Kondisi tersebut juga 2
mempengaruhi penguasaan kosakata yang
dimiliki oleh anak tunarungu. Hasil
penelitian Lewton dan Mackey dalam Edja
Sadjaah (2005:5) menunjukkan bahwa
keterbelakangan atau hambatan
perkembangan kognisi anak tuli ada
hubungannya dengan kemiskinan bahasa,
oleh karena kurangnya pemerolehan
informasi, menjadikan data abstraksi dan
imajinasinya mengalami hambatan.
Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi
untuk dapat berinteraksi dengan sesama.
Dengan adanya komunikasi dengan orang
lain, bahasa diharapkan dapat membantu
manusia untuk mengemukakan gagasan,
pikiran, perasaan, dan pendapat dari
masing-masing individu. Setiap individu
harus memiliki banyak kosakata agar
mampu mengemukakan gagasan, pikiran,
perasaan, dan pendapat yang baik dan
benar. Pemerolehan kosakata anak
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 99
diperoleh dari lingkungan sekitar baik itu
melalui indra penglihatan maupun indra
pendengaran. Akan tetapi, anak tunarungu
hanya memperoleh kosakata melalui indra
penglihatan saja. Hal tersebut
menyebabkan anak tunarungu kurang
dalam penerimaan kosakata
Mengacu pada masalah yang
muncul dari penelitian di atas, peneliti
mengembangkan sebuah media
pembelajaran yang dapat membantu anak
untuk lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran kognitif. Media pembelajaran
yang dikembangkan lebih difokuskan untuk
mengembangkan aspek kognitif anak,
tetapi juga tidak meninggalkan aspek yang
lainnya. Media “Flash Card” dapat dibuat
mudah oleh guru, dikemas secara menarik,
efektif dan efisien sesuai dengan
perkembanga teknologi yang ada. Media
dapat disesuaikan dengan karakteristik dan
kebutuhan anak serta dapat disesuaikan
dengan tema kegiatan yang akan
dilaksanakan, sehingga diharapakan dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif
media pembelajaran yang dapat
mengembangkan aspek kognitif anak tuna
rungu secara optimal.
Kelebihan media pembelajaran
“Flash Card” dibanding dengan media
pembelajaran flash card pada umumnya
yaitu: (1) dapat mengembangkan aspek
perkembangan kognitif melalui media yang
dapat menarik minat anak, (2) selain dapat
mengembangkan aspek kognitif,
media flash cardpintar juga dapat
mengembangkan aspek sosial emosional,
bahasa, nilai agama moral, fisik motorik,
(3) media pembelajaran flash cardpintar
dapat disesuaikan dengan perkembangan
dan kebutuhan anak serta dapat disesuaikan
dengan tema pembelajaran, (4) didesain
sedemikian rupa sehingga menarik, efisien
dan efektif dalam penggunaannya.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pengembangan
media pembelajaran “Flash Card”?
2. Bagaimana proses pembelajaran dalam
meningkatkan penguasaan kosakata
anak tunarungu kelas menggunakan
media flashcard?
Tujuan
1. Untuk mengetahui proses
pengembangan media pembelajaran
“Flash Card”
2. Untuk mengetahui proses
pembelajaran dalam meningkatkan
penguasaan kosakata anak tunarungu
kelas menggunakan media flashcard
Manfaat Penelitian
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 100
1. Bagi siswa, dapat dijadikan sebagai
bahan pembelajaran yang dapat
digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman kosakata
2. Bagi guru, dapat menjadi salah satu
alternatif media pembelajaran dalam
meningkatkan kosa kata anak tuna
rungu
3. Bagi sekolah, sebagai sarana
pengembangan, pengetahuan dan
penerapan alternatif media
pembelajaran
Metode
Penelitian pengembangan ini menggunakan
Model ADDIE. Model ADDIE adalah
model system pembelajaran bersifat umum
dan merupakan salah satu model dalam
pengembangan produk, penerapan model
ADDIE dalam desain pembelajaran
memfasilitasi lingkungan belajar yang
disesuaikan dengan masalah yang ada.
Setiap tahapan dalam model ADDIE
terdapat evaluasi, sehingga setiap tahapan
akan berpengaruh terhadap tahapan
selanjutnya. Terdapat 5 tahapan dalam
model ADDIE:
1. Analyze (Analisis)
Untuk menghasilkan Media
Pembelajaran “Flash Card” yang baik
maka diperlukan analisis. antara lain;
1) menentukan tujuan yang akan
dicapai, 3) menganalisis kemampuan
dan karakteristik pendidik dan peserta
didik. 4) mengidentifikasi
sumber/bahan yang telah tersedia
2. Design (Desain)
Langkah penting dalam desain adalah
bagaimana seseorang merancang
desain Media Pembelajaran “Flash
Card” yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran
3. Develop (Pengembangan)
Merupakan tahapan produksi dimana
segala sesuatu yang telah dibuat dalam
tahapan desain menjadi nyata.
4. Implement(Implementasi)
Pada tahap ini Media Pembelajaran
“Flash Card” sudah siap untuk
digunakan dalam proses belajar
mengajar. Kegiatan yang dilakukan
adalah mempersiapkan guru dan siswa
dalam menggunakan media. Tujuan
dari implementasi dalam tahapan
ADDIE adalah membimbing pebelajar
untuk mencapai tujuan pebelajar,
5. Evaluate (Evaluasi)
Konsep penting dari tahapan evaluasi
model ADDIE adalah bagaimana
seorang perancang pembelajaran
mampu melakukan evaluasi
keseluruhan model dari tahap awal
sampai akhir. Kegiatan evaluasi
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 101
setidaknya mampu menjawab
pertannyaan sebagai berikut:
bagaimana sikap peserta didik terhadap
kegiatan pembelajaran, bagaimana
peningkatan kompetensi dalam diri
pembelajar dan keuntungan apa yang
dirasakan oleh pengajar setelah
menggunakan Media Pembelajaran
“Flash Card dalam proses belajar
mengajar
Gbr1. Model Pengembangan ADDIE
Gbr2. Evaluasi Tahapan dalam
Model ADDIE
(Steven J. McGriff 2000:9)
Telah disebutkan sebelumnya
bahwa keistimewaan dari Model ADDIE
adalah setiap fase tahapan terdapat proses
evaluasi. 1) Evaluasi Formatif berfungsi
untuk menentukan kemajuan dalam setiap
tahapan, menyiapkan umpan balik yang
akan dilakukan pada tahap berikutnya.
Evaluasi Formatif berupa observasi,
wawancara, validasi dll. 2) Evaluasi
Sumatif berfungsi sebagai penentuan
pencapaian terakhir dari setiap tahapan
Hasil
Berdasarkan uji coba yang telah
dilakukan kepada ahli materi, ahli media
dapat disimpulkan bahwa pengembangan
media pembelajaran “Flash Card” memiliki
hasil dari:(1) Ahli materi (96,2%) dengan
kriteria valid/ layak, (2) Ahli media (95%)
dengan kriteria valid/ layak Dan hasil tes
kemampuan awal, diketahui subjekA
memperoleh nilai 20 dan subjekB
memperoleh nilai 40. Pada hasil setelah
penggunaan media pembelajaran “Flash
Card”, diketahui subjekA memperoleh nilai
53 dan subjekB memperoleh nilai 70.
Sedangkan pada hasil tes berikutnya,
diketahui subjekA memperoleh nilai 77 dan
subjekB memperoleh nilai 83. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan
media flashcard dapat meningkatkan
penguasaan kosakata siswa tunarungu
siswa kelas Dasar
Saran
Analyze
Design
Develop
Implement
Evaluate
Formative
Evaluate
Summative
Evaluate
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 102
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi
guru Guru dapat menggunakan media
flashcard dalam pembelajaran di kelas
untuk membelajarkan kosakata pada siswa
tuna rungu karena media flashcard dapat
menarik minat dan daya ingat siswa dalam
mengenal kosakata. 2. Bagi Sekolah
Sekolah dapat menyediakan media
flashcard sehingga dapat digunakan siswa
untuk pembelajaran dalam mempelajari
kosakata baru.
Daftar Pustaka
A Edward Blackhurst, dkk. (1981). An
Introduction To Special Education.
Canada: Little, Brown & Company.
Ahmad Wasita. (2012). Seluk-beluk
Tunarungu & Tunanetra.
Yogyakarta: Javalitera.
Arief Sadiman, dkk. (2011). Media
Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Darmiyati Zuchdi. (1990). Strategi
Meningkatkan Kemampuan
Membaca Peningkatan Pemahaman
Bacaan. Yogyakarta: FPBS IKIP.
Dina Indriana. (2011). ragam Alat Bantu
Media Pengajaran. Yogyakarta: Diva
Press.
Djoko Saryono dan Soedjito. (2011). Seni
Terampil Menulis Kosakata Bahasa
Indonesia. Malang: Aditya Media
Publishing.
Edja Sadjaah. (2005). Pendidikan Bahasa
Bagi Anak Gangguan Pendengaran
dalam Keluarga. Jakarta : Depdiknas.
Sutjihati Soemantri. (2012). Psikologi
Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 103
Efektivitas Pembuatan Lukisan Plastik Timbul Terhadap Kemampuan Motorik Halus
Anak Hambatan Intelektual Kategori Sedang di SLB ERHA Semarang
Istiqomah
Pendidikan Luar Biasa/ Universitas Negeri Yogyakarta
e-mail: [email protected]
Abstract:
This research aimed to determine the effectiveness of making plastic painting embossed
“Lupit” to the fine motor skills of moderate intelctual disabilities children in SLB ERHA
Semarang. The research used quasi experiment which was One-Group Pre-test and Post-test
design. The techniques to collect the data were test, observation and documentation. The data
analyzing used sign test. In the table X. The significance level of 0.05 showed the equal to 0
(zero), so thw result of Xt ≥ X = ((ᾱ 0.500) ≥ 0. Therefore, the significance existed and Ho was
rejected. It’s means making plastic painting embossed effective to improve the fine motor skills
of moderate intellectual disabilitity children in SLB ERHA Semarang.
Keyword: Fine motor skills, Intelectual disabilities, Plastic painting embossed
PENDAHULUAN
Hambatan intelektual ditandakan
dengan keterbatasan yang signifikan dalam
fungsi inteketual maupun dalam perilaku
adaptif seperti adaptif konseptual, sosial
dan praktis (Hallahan, 2009: 147). Pendapat
lain mengatakan bahwa hambatan
intelektual adalah individu yang mengalami
keterbelakangan mental dengan ditunjukan
fungsi kecerdasan dibawah rata-rata dan
ketidak mampuan dalam penyesuaian
perilaku (Mumpuniarti, 2000: 26). Anak
hambatan intelektual diklasifikasikan
menjadi beberapa tingkatan diantaranya
adalah hambatan intelekrual kategori
ringan dengan IQ 50-70, hambatan
intelektual kategori sedang IQ 30-50 dan
hambatan intelektual kategori berat IQ <30.
Berdasarkan kemampaun intelektual yang
dimiliki oleh anak dengan hambatan
intelektual kategori sedang akan
berpengaruh terhadap berbagai aspek
diantaranya adalah kemampuan perilaku
dan motorik halus. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Sunardi dan Sunaryo
(2007:122) yang menjelaskan bahwa
semakin berat hambatan intelektual anak
semakin berat defisiensi keterampilan
motoriknya terutama motorik halus,
sehingga perlu dimaksimalakan dengan
pembelajaran khusus dan latihan yang
disesuaikan dengan kemampuan anak.
Motorik halus merupakan gerakan-
gerakan kecil pada alat anggota tubuh dan
berhubungan dengan otot-otot halus.
Menurut Rahyubi Heri, (2012: 25) motorik
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 105
halus merupakan keterampilan yang
memerlukan kemampuan untuk
mengkoordinasikan otot-otot kecil dalam
melakukan suatu aktivitas. Perkembangan
motorik halus melibatkan otot-otot kecil
dan melakukan gerak-gerak seperti meraih,
memegang, melambai dan menulis (Linda
L Dunlap, 2009: 186). Permasalah motorik
juga dialami oleh beberapa anak hambatan
intelektual kategori sedang yang ditandai
dengan adanya ketidak mampuan dalam
mengelola otorik halus berupa gerakan-
gerakan halus pada jari-jari tangan. Hal ini
ditegaskan oleh Sujarwanto (2005: 90)
yang menyatakan bahwa perasalahan
motorik ditunjukan dengan ketidak
mampuan dalam mengelola kemampuan
motorik halus yang berupa gerakan-
gerakan halus pada gerak jari-jari.
Kemampuan motorik halus pada anak
hambatan intelektual kategori sedang lebih
rendah jika dibandingkan dengan anak
normal pada umumnya yang seusianya.
Pendapat tersebut didukung oleh Kral dan
Stein (dalam Sutjihati Sumantri, 1996: 88)
bahwa “Secara umum penampilan anak
hambatan intelektual kurang memadai
hampir pada semua tes kecakapan motorik
jika dibandingkan dengan anak normal
yang memiliki cronology age relatif sama.
perbedaan yang mencolok pada koordinasi
gerak yang kompleks dan pemahaman”
Gerakan-gerakan motorik halus tersebut
dapat berupa gerakan jari-jari atau
keterampilan jari. Adapun unsur-unsur
dalam motorik halus diantaranya yaitu: 1)
Kecermatan, 2) Kelenturan, 3) Ketepatan,
dan 4) Kehalusan gerak. Tujuan dari
mengembangkan keterampilan motorik
halus khususnya jari tangan adalah untuk
mendukung berbagai aktivitas dan
kariernya.
Anak hambatan intelektual kategori
sedang yang mengalami defisiensi motorik
dapat dikembangkan kemampuannya
seperti melalui pelatihan motorik halus
pada jari-jari. Tahapan untuk pelatihan
pada dapat menggunakan tahapan
keterampilan belajar yaitu belajar mencoba
dan ralat (Trial and error), meniru, dan
pelatihan (Hurlock, 1978: 158). Anak
hambatan intelektual dalam pembelajaran
dan pelatihan motorik halus memerlukan
waktu lebih banyak jika dibandingkan
dengan anak pada umumnya dengan
bimbingan guru atau orangtua
(Mumpuniarti, 2000: 62). Pengajaran
motorik halus pada anak perlu
menggunakan koordinasi salah satu
caranya adalah mengunakan lukisan platik
timbul.
Teknik lukisan timbul menurut
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 106
Sukimin dan Sutandur (2008: 60) dapat
dibuat dengan cara memahat atau
membentuk, menempel, memijit benda-
benda tertentu hingga membentuk suatu
yang dinginkan kemudian di tempelkan
pada suatu bidang. Pembuatan lukisan
plastik timbul merupakan salah satu teknik
meningkatkan motorik halus jari tangan
anak dengan bahan dasar kertas dan plastik
bekas.
Berdasarkan observasi di SLB ERHA
Semarang terdapat beberapa anak
hambatan intelektual kategori sedang yang
mengalami hambatan motorik halus.
Hambatan tersebut terlihat dari hasil
tempelan yang masih keluar dari garis dan
tidak sesuai dengan tempatnya. Begitu pula
dalam kegiatan mewarnai beberapa anak
hambatan intelekual sedang mengalami
kesulitan dalam memegang pensil sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan garis dan
bidang yang akan di warnai. Ketika
dilakukan tes merangkai manik-manik anak
tidak dapat menjimpit manik-manik yang
ukurannya kecil dan memasukkanya dalam
benang atau lidi. Hasil dokumentasi yang
dialakukan dengan melihat buku tugas anak
terlihat jika dalam menebalkan huruf masih
keluar dari garis.
Permasalahan motorik halus anak
hambatan intelektual kategori sedang dapat
diakomodasi dalam pembelajaran, salah
satunya melalui pembuatan lukisan plastik
timbul. Lukisan plastik timbul merupakan
pembuatan lukisan dengan menggunakan
kertas dan plastik yang sudah tidak
terpakai. Pembuatan lukisan plastik timbul
memiliki keunggulan yaitu dalam proses
pembuatannya dimulai dari tahapan
sederhana ke konkrit. Tahapannya yaitu
menyobek kertas menjadi ukuran kecil,
meremas kertas menjadi bubur kertas,
memeras kertas, mancampurkannya dengan
berbagai adonan tambahan, membuat pola
dengan menebalkan garis, dan
menempelkan adonan kertas pada bidang
triplek. Setelah kering dilanjutkan dengan
memberikan lem dan menempelkan
potongan plastik di atas bubur kertas sesuai
dengan tempatnya.
Oleh karena itu pembuatan lukisan
platik timbul diasumsikan mampu
meningkatkan kemampuan motorik halus
anak hambatan intelektual kategori sedang
di SLB ERHA Semarang.
METODE
Jenis penelitian
Penelitian ini penulis menggunakan
jenis penelitian Quasi Experiment. Variavel
bebas dalam penelitian ini adalah
pembuatan lukisan plastik timbul dan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 107
variabel terikatnya adalah kemampuan
motorik halus pada anak hambatan
intektual kategori sedang. Subjek penelitian
akan dilihat kemampuan motorik halusnya
sebelum diberi intervensi dan setelah
diberikan intervensi dengan pembuatan
lukisan plastik timbul.
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah one grup pre-
test pos-test desaign, yaitu penelitian
dilakukan sebelum dan sesudah subjek
diberikan perlakuan:
Pre-Test (O1) Post-Test (O2)
X = Pembuatan lukisan plastik
timbul
Keterangan:
= arah perubahan kemampuan
motorik
= Treatment
Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan di Sekolah
Luar Biasa ERHA yang beralamat di
Karajan Lor RT 05 RW 03, Kec. Pabelan,
Kab. Semarang. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Juli - September
2017.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah anak
hambatan intelektual kategori sedang di
SLB ERHA berjumlah 5 anak yakni 3 laku-
laki dan 2 perempuan, dengan masalah
kemampuan motorik halus.
Prosedur
Prosedur penelitian ini sebagai berikut
1) Tes awal (Pretest)
Peneliti memberikan tes awal berkaitan
dengan keterampilan motorik halus
anak hambatan intelektual kategori
sedang di SLB ERHA Semarang tanpa
diberi perlakukan. Peneliti menghitung
hasil pretest untuk menentukan kondisi
awal. Jumlah tes sebanyak 22 butir
dengan bentuk tes.
2) Perlakuan (treatment)
Peneliti memberikan perlakuan
terhadap subjek. Perlakuan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembuatan lukisan plastik timbul di
SLB ERHA Semarang. Tahapan
pembuatan lukisan plastik meliputi,
menyobek kertas menjadi ukuran kecil,
meremas kertas menjadi bubur kertas,
memeras kertas, mancampurkannya
dengan berbagai adonan tambahan,
membuat pola dengan menebalkan
Kemampuan
motorik halus
anak hambatan
intelektual
kategori sedang
Kemampuan
motorik halus
anak hambatan
intelektual
kategori sedang
O1 - x - O2
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 108
garis, dan menempelkannya pada
bidang triplek. Menempelkannya
potongan plastik di atas bubur kertas
sesuai dengan tempatnya. Perlakukan
diberikan setelah dilakukan pretest.
Jumlah perlakuan sebanyak 10 kali
dengan durasi masing-masing
pertemuan 60 menit.
3) Tes akhir (Postest)
Postest dilakuakan setelah subjek
diberi perlakuan sebanyak 10 kali.
Peneliti memberikan tes sebanyak 22
butir dengan bentuk tes tindakan. Skor
hasil postest di jumlahkan dan dihitung
untuk menentukan hasil data setelah
diberikan perlakuan.
4) Membandingkan hasil pretest dan pos
test untuk melihat selisih atau pengaruh
yang di timbulkan.
5) Menetapkan taraf efektifitas dengan
menggunakan pengujian statistik non-
parametrik uji-t.
Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini adalah tes dan observasi. Tes
berupa tes kemampuan motorik halus anak
yang digunakan untuk mengukur
pencapaian sebelum di berikan perlakuan
pembuatan lukisan plastik timbul da setelah
pemberian perlakuan. Teknik observasi
untuk melihat perilaku anak selama
pemberian perlakuan dan pengamatan
mengenai aktivitas peserta didik.
Instrumen yang digunakan pada tes
dan observasi adalah check list. Check
list/daftar cek merupakan pedoman
observasi yang berisikan daftar dari semua
aspek yang akan diamati. Instrumen ini
dikembangkan dari pendapat Dini P. Daeng
Sari (1996: 721) yang menyatakan
kemampuan motorik halus melibatkan
aktifitas otot-otot kecil atau halus, gerakan
ini menuntut koordinasi mata dan tangan
serta pengendalian gerakan yang
memungkinkan untuk melakukan ketetapan
dan kecermatan dalam gerakannya. Dengan
demikian, kisi-kisi penilaian keterampilan
motorik halus yang diamati pada anak
hambatan intelektual kategori adalah
ketepatan, kerapian dan kelenturan jari-jari.
Teknik analisis data
Teknik analisis data pada penelitian
ini mengunakan perbandingan skor antara
pretest dan postest. Langkah-langkah
analisis yang dilakukan adalah (Sugiyono,
2010: 225).
1. Mecari nilai tes awal
Mencari nilai tes awal dilakukan dari
skor tes yang di lakukan anak, kemudian
di jumlahkan.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 109
2. Mencari nilai tes akhir
Nilai tes akhir didapat dari nilai tes yang
dilakukan setelah diberi perlakukan
kemudian di jumlahkan dari skor tes.
3. Menghitung perbedaan rerata dengan
uji-t.
Perbedaan rerata didapatkan dari
membandingkan hasil pretest dan
postest. Selanjutnya menghitung
perbedaan skor dengan tes tanda untuk
menentukan perbedaan antara skor
pretest postest dan efektivitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian menunjukan adanya
hasil perbedaan antara petest dan postest pada
masing-masing subjek setelah pemberian
treatment. Berdasarkan data hasil pretest pada
subjek BM 39 dan hasil postest 45. Subjek
ISA perolehan skor pretest 42 dan perolehan
skor postest 49. Subjek I perolehan skor
pretest 43 dan perolehan skor postest 51.
Subjek MU perolehan skor pretest 34 dan
skor postest 40. Subjek SP perolehan skor
pretest 38 dan skor postest 43. Pada masing-
masing subjek mengalami peningkatan
setelah diberikan perlakuan pembuatan
lukisan plastik timbul. Perbandingan skor
kemampuan motorik halus pretest dan postest
pada masing-masing individu dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan hasil
pretest dan postest
Subjek Hasil
Pretest
(A)
Postest
(I)
BM 39 45
ISA 42 49
I 43 51
MU 34 40
SP 38 43
Jumlah 196 228
Rerata 39,2 45,6
Selanjutnya hasil dari tabel disajikan dalam
bentuk grafik.
Gambar 1. Grafik skor pretest dan prostest
subjek
Hasil dari rata-rata pretest
kemampuan motorik halus pada anak
hambatan intelektual kategori sedang
sebesar 39,2 dan rata-rata hasil postest
sebanyak 45,6. Perolahan skor pretest
menunjukan perolehan skor rata-rata lebih
rendah dari skor rata-rata postest yaitu
mengalami peningkatan rata-rata sebesar
6,4. Perolehan skor rata-rata tersebut
menunjukan bahwa keterampilan motorik
halus anak lebih baik jika dibandingkan
dengan kondisi awal sebelum mendapat
0
20
40
60BM ISA I
MU SP
Pretest
Postes
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 110
perlakukan berupa pembuatan lukisan
plastik timbul.
Perbandingan rata-rata hasil
observasi dan tes keterampilan motorik
halus anak terdiri kondisi awal dan akhir.
Perbandingan rata-rata keterampilan
motorik halus anak hambatan intelektual
ketegori sedang pada saat pretest dan
postest dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Grafik rerata pretest
dan postest
\\
Perhitungan rata-rata hasil tes
kemampuan motorik halus pada anak
hambatan intelektual kategori sedang
menggunakan tes tanda.
Tabel 2. Hasil analisis menggunakan tes
tanda
Subjek Arah
Perbedaan
Arah
Perbedaan
Tanda
Pre
tes
(A)
Postes
(I)
BM 39 45 I ≥ A +
ISA 42 49 I ≥ A +
I 43 51 I ≥ A +
MU 34 40 I ≥ A +
SP 38 43 I ≥ A +
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai x = 0, dilihat dari arah
perubahan yang menunjukkan negativ.
Harga N = 5. Sedangkan D = 5 yang
menunjukkan jumlah subjek yang
mengalam perubahan. Dari tabel tersebut,
jumlah Xt dengan jumlah N= 5 dan x = 0
adalah sebesar 0.031 sebagai Xt hitungnya,
sehingga didapat hasil Xt = 0.031.
Persyaratan hipotesis diterima
apabila Xt ≤ X tabel. Pada X tabel pada
taraf signifikansi sebesar 0.05
menunjukkan hasil 0 (nol), sehingga
didapat hasil Xt ≥ X = (ᾱ 0.500) ≥ 0.
Kesimpulannya terjadi signifikasi dan Ho
ditolak. Sehingga pembuatan lukisan
plastik timbul efektif meningkatkan
kemampuan motorik halus bagi anak
hambatan intelektual sedang di SLB
ERHA Semarang.
Pembahasan
Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian quasi eksperimen dengan
langkah-langkah : 1) mencarai skor pretest
dan postest pada masing-masing subjek, 2)
mencari skor rerata pretest dan postest, 3)
menghitung rerata dengan uji-t Hasil yang
diperoleh menggunakan lembar observasi
dan tes berupa chek list (√). Lebar chek list
digunakan untuk memudahkan dalam
20
40
60 Reratapretest
Reratapostest
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 111
melakukan observasi dan tes pada
kemampuan motorik halus anak hambatan
intelektual kategori sedang dengan
dilakukan penyususnan lembar chek list di
awal.
Hasil penelitian setelah dilakuakan
sebanyak 10 kali menunjukan perolahan
skor rata-rata pretest rata-rata lebih rendah
dari skor rata-rata postest yaitu mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 6,4.
Pengujuan menggunakan tes tanda
persyaratan hipotesis diterima apabila Xt ≤
X tabel. Pada X tabel pada taraf
signifikansi sebesar 0.05 menunjukkan
hasil 0.031, sehingga didapat hasil Xt ≥ X =
(ᾱ 0.500) ≥ 0.031 sehingga Ho ditolak.
Sehingga pembuatan lukisan plastik timbul
efektif meningkatkan kemampuan motorik
halus bagi anak hambatan intelektual
sedang di SLB ERHA Semarang.
Keefektivan ini didukung oleh
beberapa hal. Pertama, pembuatan lukisan
platik timbul pelatihan disesuaikan dengan
perkembangan kemampuan anak.
pemberian trial and error yang dilakukan
dengan memusatkan perhatian, menuru
sesuai dengan arahan, melakukan sendiri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock
(1978:158) bahwa anak belajar
keterampilan melalui tahapan mencoba dan
ralat (trial and error), meniru dan
pelatihan. Melalui kegiatan trial and error
anak akan lebih bersemangat dan tidak di
paksakan dalam pelaksanaanya.
Kedua, dukungan orangtua dan guru.
Selama diberi perlakuan anak didukung dan
didampingi oleh guru. Pendampingan dari
guru akan membuat anak hambatan
intelektual kategori sedang lebih
termotivasi untuk menyelesaikan tugas-
tugasnya dan merasa ada yang
meperhatikannya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Mumpuniarti (2000: 62)
bahwa anak hambatan intelektual kategori
sedang perlu diberi banyak kesempatan
latihan untuk mengembangkan kemampuan
motorik halusnya dengan bimbingan dan
pendampingan guru atau orang tua.
Ketiga, Proses pembuatan lukisan
platik timbul dari yang sederhana menuju
kompleks. Tahapannya yaitu menyobek
kertas menjadi ukuran kecil, meremas
kertas menjadi bubur kertas, memeras
kertas, mancampurkannya dengan berbagai
adonan tambahan, membuat pola dengan
menebalkan garis, dan menempelkan
adonan kertas pada bidang triplek. Setelah
kering dilanjutkan dengan memberikan lem
dan menempelkan potongan plastik di atas
bubur kertas sesuai dengan tempatnya.
Tahapan yang dimuali dari yang sederhana
membuat anak mudah untuk mengikutinya.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 112
Oleh karena itu apabila keterampilan
pembuatan lukisan plastik dilatihkan secara
terus menerus akan meningkatkan
kemampuan motorik halus anak hambatan
intelektual kategori sedang. Hal tersebut
sependapat dengan Mumpuniarti, (2000:
62) anak hambatan intelektual dalam
pembelajaran dan pelatihan motorik halus
memerlukan waktu lebih banyak jika
dibandingkan dengan anak pada umumnya.
Keadaan tersebut membuktikan bahwa
kegiatan pembuatan lukisan platik timbul
efektif untuk meningkatkan kemampaun
motorik halus pada anak hambatan
intelektual kategori sedang di SLB ERHA
Semarang.
KESIMPULAN
Pembuatan lukisan plstik timbul
efektiv untuk meningkatkan kemampuan
motorik halus anak hambatan intelektual
kategori sedang di SLB ERHA Semarang.
Hal tersebut terbukti dari rerata pretes dan
postes dan dianalisis dengan statistik non-
parametrik tes tanda dengan hasil
persyaratan hipotesis diterima apabila Xt ≤
X tabel. Pada X tabel pada taraf signifikansi
sebesar 0.05 menunjukkan hasil 0.031,
sehingga didapat hasil Xt ≥ X = (ᾱ 0.500) ≥
0.031. Peningkatan motorik halus pada
anak hambatan intelektual kategori sedang
didukung oleh beberapa hal. Pertama,
pelatihan pembuatan lukisan platik timbul
disesuaikan dengan perkembangan
kemampuan anak. Pemberian trial and
error yang dilakukan dengan memusatkan
perhatian, menuru sesuai dengan arahan,
melakukan sendiri. Kedua, adanya
pendampingan dan dukungan guru maupun
orangtua, dan ketiga, proses pembuatn
dilakukan dari tahapan yang sederhana
menuju komplek.
Saran
Harapnnya pembuatan lukisan plastik
timbul ini menjadi salah satu alternatif
media pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan motorik halus pada anak
hambatan intelektual kategori sedang di
berbagai jenjang sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Dini P. Daeng Sari. (1996). Metode
Mengajar di Taman Kanak-Kanak.
Jakarta: Depdikbud.
Hallahan,D.P., Kauffman, J.M. & Pullen,
P.C. (2009) Exceptional Learners
and Introduction to Special
Education. New York: Person.
Hurlock, Elisabeth B. (1978).
Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta:
Erlangga.
Linda L. Dunlap. (2009). An Introduction to
Early Chilhood Special Education:
Birth to Age Five. Amerika: Person.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 113
Mumpuniarti. (2000). Pengertian Anak
Tunagrahita (Kajian dari Segi
Pendiidkan Sosial-Psikologi dan
Tindak Lanjut Usia Dewasa).
Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Rahyubi, Heri. (2012). Teori-teori Belajar
dan Aplikasi Pembelajaran Motorik.
Bandung: Nusa Media.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Sujarwanto. (2005). Pengembangan
Kreativitas Senirupa Anak TK.
Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Sukimin. A.W dan Sutandur. E. (2008).
Terampil Berkarya Seni Rupa 3.
Solo: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
Sunardi & Sunaryo. (2007). Intervensi Dini
anak Berkebutuhan Khusus -:
Departemen Pendidikan Nasional
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Ketenagakerjaan.
T. Sutjihati Soemantri. (1996). Psikologi
Anak Luar Biasa. Jakarta:
Depdikbud.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 114
PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK GIFTED
Patricia Lestari Taslim1, a) and Nur Azizah2, b)
1Postgraduate Program for Education of Special Needs, Universitas Negeri Yogyakarta
2 Lecturer at Postgraduate for Education of Special Needs, Universitas Negeri Yogyakarta a)[email protected]
b)[email protected] Abstract: Base on Salamanca statement, which gives attention to the character difference and the students'
learning needs, inclusive education is very appropriate in the education system in Indonesia which has the motto
of bhinneka single ika. Differences in abilities possessed by children with special needs, including gifted children,
through the inclusive education system. But in practice, the inclusion education system has not run optimally,
causing problems in providing services to meet student learning needs, especially for gifted children. Need to
improve the understanding of gifted children and inclusive education system in order to improve the provision of
educational services according to the needs of students.
Keywords: inclusive education, gifted children
PENDAHULUAN
Keberagaman suku bangsa dan
bahasa yang menjadi kekayaan bangsa
Indonesia adalah sebuah kebanggaan yang
harus dilestarikan. Kebiasaan untuk tidak
membeda-bedakan satu sama lain adalah
menjadi sebuah kebiasaan positif yang
harus ditanamkan sejak dini baik melalui
pola asuh orang tua dalam keluarga,
maupun melalui sistem pendidikan di
sekolah melalui para guru kelas, guru
pendamping khusus, maupun guru bidang
studi.
Dalam menjalankan proses
pendidikan, sekolah, keluarga, dan
masyarakat, hendaknya bekerja sama dan
bersinergi dalam membentuk kepribadian
anak didik sebagai calon generasi penerus
bangsa. Sistem pendidikan yang dapat
memfasilitasi kerjasama yang baik antara
berbagai pihak dalam sistem pendidikan
adalah sistem pendidikan inklusi
(Dağlioğlu & Suveren, 2013: 444–446).
Peran orangtua menjadi bagian yang
penting dalam proses pendidikan yang
menerapkan sistem inklusi karena
dibutuhkan kerja sama orangtua dalam
menjalankan pendidikan secara utuh
(Vantassel-baska et al., 2017: 234).
Pelaksanaan pendidikan inklusi
menghargai setiap individu dengan segala
keunikan dan perbedaan yang ada,
termasuk segala kelebihan dan kekurangan
yang ada. Hal inilah yang mendasari
lahirnya Salamanca Statement pada tahun
1994 yang kemudian berlanjut dengan
munculnya deklarasi Education For All
tahun 2000.
Indonesia sebagai salah satu negara
yang turut mendukung kedua kesepakatan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 115
tersebut, bahkan sangat mendukung dengan
diselenggarakannya kegiatan tentang
inklusi di Bukit Tinggi pada tahun 2005
yang ingin menghilangkan adanya berbagai
hal yang bersifat diskriminasi karena
perbedaan gender, disabilitas, ras, etnik,
bahasa, minoritas, dan lain sebagainya. Hal
ini hendaknya menjadi landasan yang kuat
bagi para akademisi, tidak terkecuali guru,
untuk menjunjung tinggi terselenggaranya
sistem pendidikan yang inklusi.
Anak didik dalam sistem
pendidikan inklusi, hendaknya
diperkenalkan untuk belajar berdampingan
dalam keberagaman. Hal ini sesungguhnya
bukanlah hal yang baru bagi bangsa
Indonesia yang memiliki semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi seringkali
perbedaan digunakan untuk membedakan,
sehingga anak didik tidak dibiasakan untuk
belajar bersama dalam perbedaan dan
saling menghargai.
Sangat tragis terjadi dalam dunia
pendidikan bahwa upaya membedakan
dilakukan bukan hanya oleh anak didik,
tetapi juga oleh guru. Sebagai seorang
pendidik, seharusnya guru dapat menerima
setiap anak didik dengan segala perbedaan
yang ada, dan memberikan kesempatan
pada setiap anak didik untuk berkembang
dan belajar sesuai dengan potensi yang ada
dalam diri anak didik masing-masing secara
optimal. Dengan demikian tidak ada lagi
seorang anak didik pun yang tertinggal di
belakang.
Konsep inilah yang seharunya
dijunjung tinggi dalam melakukan proses
pembelajaran di kelas pada sekolah inklusi
dengan menyesuaikan materi pelajaran
yang diberikan pada kemampuan setiap
anak didik, sehingga landasan pendidikan
untuk semua dapat diusung dengan baik.
Hal ini perlu diperhatikan terutama pada
penyelenggaraan sekolah inklusi yang
menerima anak didik dengan berbagai
kemampuan dan potensi yang berbeda-
beda.
Dalam sekolah inklusi, bukan hanya
guru yang bertanggungjawab dalam proses
pendidikan. Tetapi disadari dan diyakini
bahwa anak didik belajar dari setiap
individu yang berelasi dengannya, baik itu
dari pergaulan bersama teman-temannya,
juga dalam kegiatan pembelajaran bersama
di dalam kelas. Tetapi pendidikan inklusi
sama sekali tidak dapat mengabaikan
pentingnya keterlibatan orangtua dalam
penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu,
sekolah bersama guru kelas, guru bidang
studi, guru pendamping khusus, orangtua
dan para ahli, seharusnya bergandengan
tangan untuk membantu anak didik belajar
dan berkembang sesuai dengan
keterbatasan dan potensi yang
dimiliki.(Takala, Pirttimaa, & Törmänen,
2009: 162–164)
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 116
Sebagai sekolah inklusi, anak didik
di sekolah tersebut, pasti memiliki berbagai
latar belakang dan kemampuan yang
berbeda-beda. Sangat mungkin ada di
antara anak didik terdapat pula beberapa
anak berkebutuhan khusus, tanpa kecuali
anak gifted. Adalah tugas guru untuk dapat
memfasilitasi kebutuhan belajar anak
didiknya yang beragam, mulai dari yang
lambat belajar, hingga yang memiliki
potensi unggul. Kecenderungan guru untuk
memperhatikan anak didik secara
menyeluruh, harus dilakukan dengan tidak
mengabaikan anak didik yang
membutuhkan pendidikan khusus, atau
layanan khusus.
Salah satu anak berkebutuhan
khusus yang terdapat di sekolah inklusi
adalah anak gifted. Yang dimaksud dengan
anak gifted adalah anak yang memiliki skor
IQ di atas 130 pada skala wesler atau 140
pada skala binnet, memiliki kreativitas
tinggi, dan juga memiliki komitmen yang
tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab
yang dimiliki atau diberikan. Hal ini sesuai
dengan pemahaman tentang anak gifted
yang disampaikan melalui Three Rings of
Renzulli Yang kemudian disempurnakan
oleh Monk melalui teorinya yang dikenal
dengan Triadic Renzulli-Monk (Manning,
2006: 64–68).
Berdasarkan hasil penelitian terkait
jumlah anak gifted, dapat kita asumsikan
bahwa paling sedikit terdapat dua sampai
lima persen anak didik dalam sebuah
sekolah merupakan anak gifted (Bélanger
& Gagné, 2006: 132). Namun jumlahnya
yang sedikit, seharusnya tidak menjadi
alasan untuk mengabaikan kebutuhan
belajar mereka yang berbeda, melalinkan
difasilitasi dalam sistem pendidikan
inklusi.
Hal inilah yang menjadikan
pemaparan dalam paper ini menjadi penting
untuk diteliti dan dipelajari.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metoda studi kasus yang
dilakukan pada enam kasus anak yang
sudah terdeteksi gifted dalam komunitas
PSGGC Jogja. Dari 35 orang tua yang
berada di komunitas PSGGC, dilakukan
penelusuran 3 kasus dengan pertimbangan
kasus yang terjadi pada dua anak gifted
tersebut terjadi di sekolah inklusi di
Yogyakarta. Ketiga anak gifted dalam
penelitian ini sudah teridentifikasi dan
dinyatakan sebagai anak gifted oleh
psikolog.
Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara mendalam dan
dokumentasi percakapan daring selama
bulan Februari 2017 sampai dengan
Oktober 2017.
HASIL DAN PEMBAHASAN
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 117
Hasil
Pada tiga anak gifted yang diteliti,
terdapat tiga kasus yang berbeda.
Anak yang pertama (A) melalui data
hasil test psikolog dinyatakan sebagai anak
gifted underachiever. Memiliki IQ 147
pada skala Wesler, dengan masalah pada
perkembangan motorik halus dan memiliki
hambatan dalam menulis. A mampu
menjawab setiap pertanyaan guru secara
lisan dengan sangat baik, tetapi mengalami
kesulitan ketika diminta menuliskan
jawaban tersebut di buku atau di kertas.
Guru memahami kesulitan A, tetapi karena
masalah tersebut, pihak sekolah
memutuskan bahwa A tidak dapat naik
kelas. Akibatnya, A marah dan putus
sekolah.
Pada kasus yang kedua (B) melalui
data hasil test psikolog, dinyatakan sebagai
anak gifted learner. Memiliki IQ 166 pada
skala Binnet, dengan masalah pada kontrol
emosi. Di sekolah, B masuk dalam kelas
akselerasi. B mampu mengikuti pelajaran
dengan baik di kelas, tetapi tidak mampu
mengontrol emosi setiap kali ada kejadian
di kelas yang menurut B melanggar aturan.
B selalu berusaha untuk menegur
temannya. Dalam sebuah peristiwa, karena
kejadian serupa, berakibat pada
pertengkaran di kelas saat istirahat dan B
kehilangan kontrol emosinya sehingga
memporak-porandakan meja kursi di kelas.
Atas kejadian tersebut, B sempat
mendapatkan intimidasi akan dikeluarkan
dari sekolah. Kejadian ini sampai harus
diselesaikan dengan melibatkan pihak
kediga sebagai penengah.
Pada kasus yang ketiga (C) melalui
dta hasil test psikolog, dinyatakan sebagai
anak gifted harmoni. Memiliki IQ 146 pada
skala wesler. Anak sering merasa jenuh
dengan pembelajaran di kelas yang terasa
sangat lambat dan membosankan bagi C.
Setelah lulus SD, C akhirnya tidak mau
sekolah dan memilih belajar di rumah.
Untuk keperluan ijazah, C menempuhnya
dengan mengikuti program kejar paket pada
jenjang pendidikan berikutnya. Saat ingin
menempuh kejar paket c (setara SMA)
sempat mengalami hambatan, yaitu tidak
boleh mengikuti ujian dengan alasan usia C
dan usia ijazah sebelumnya yang belum
memenuhi syarat untuk mengikuti ujian
setara SMA. Kasus ini pun akhirnya
diselesaikan dengan bantuan LBH
Yogyakarta dan dikawal sampai selesai
ujian.
Pembahasan
Dari hasil wawancara, observasi
dan dokumentasi diperoleh kesimpulan
bahwa guru dan sistem pendidikan yang
ada, belum mampu melaksanakan sistem
pendidikan inklusi secara utuh. Kebutuhan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 118
belajar anak gifted dengan potensi yang
berbeda dari anak didik lainnya di kelas,
belum terfasilitasi secara optimal sehingga
mengakibatkan anak putus sekolah,
mendapat intimidasi untuk dikeluarkan dari
sekolah, dan terancam untuk tidak dapat
mengikuti ujian akhir.
KESIMPULAN
Pelaksanaan pendidikan inklusi di
Indonesia masih belum berjalan secara
optimal. Sistem pendidikan inklusi, bila
dijalankan dengan baik, sangat
memungkinkan untuk memfasilitasi
kemampuan belajar anak didik yang
berbeda-beda mulai dari yang lambat
belajar sampai anak gifted dengan potensi
istimewanya. Fakta di lapangan
menunjukkan masih banyak sekolah yang
belum mampu memberikan pendidikan
bagi anak didik di sekolah inklusi. Padahal
jelas dinyatakan dalam salamanca
statement tahun 1994, deklarasi education
for all tahun 2000, dan penyelenggaraan
pendidikan inklusi tahun 2005, bahwa
pendidikan hendaknya diberikan pada
setiap anak didik sesuai dengan
keterbatasan, potensi, serta perbedaan yang
ada.
Untuk itu perlu lebih digalakkan
sosialisasi tentang sekolah inklusi sebagai
sebuah sistem yang sangat dibutuhkan dan
sangat baik untuk diterapkan dalam sistem
pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Bélanger, J., & Gagné, F. (2006).
Estimating the size of the
gifted/talented population from
multiple identification criteria.
Journal for the Education of the
Gifted, 30(2), 131–163.
Dağlioğlu, H. E., & Suveren, S. (2013). The
Role of Teacher and Family Opinions
in Identifying Gifted Kindergarten
Children and the Consistence of These
Views with Children’ s Actual
Performance. Educational Sciences:
Theory & Practice, 13(1), 444–453.
Education For All Declaration,
http://unesdoc.unesco.org/images/002
3/002312/231288e.pdf
Manning, S. (2006). Recognizing Gifted
Students : A Practical Guide for
Recognizing Gifted Students,
8958(September), 64–68.
https://doi.org/10.1080/00228958.200
6.10516435
Salamanca Statement, 1994
http://www.unesco.org/education/pdf/
SALAMA_E.PDF
Takala, M., Pirttimaa, R., & Törmänen, M.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 119
(2009). Inclusive special education:
the role of special education teachers
in Finlandb jsp_432 162..172. British
Journal of Special Education, 36(3),
162–173.
Vantassel-baska, J., Educators, F.,
Interaction, T., Database, S.-, Parents,
F., Potential, H., … Heather, Y.
(2017). The Role of Parents in Helping
Gifted Children with Learning
Problems, 1–3.
National Report on the provision of
inclusive quality primary and
secondary education Sub‐regional
Workshop on “Building inclusive
education system to respond to the
diverse needs of disabled children”
http://www.ibe.unesco.org/fileadmin/
user_upload/Inclusive_Education/Rep
orts/jakarta_09/indonesia_inclusion_0
9.pdf
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 120
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS TEGAK BERSAMBUNG MELALUI PENGGUNAAN METODE GLOBAL INTUITIF PADA PESERTA
DIDIK TUNARUNGU KELAS II ( Penelitian Tindakan Kelas di SLB BC Cempaka Putih )
Indina Tarjiah dan Isti Haryani ([email protected])
Program Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus, yang setiap siklusnya terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian adalah peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih yang berjumlah enam peserta didik. Fokus penelitian adalah peningkatan keterampilan menulis tegak bersambung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen tes berupa lembar instrumen keterampilan menulis tegak bersambung. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan metode global intuitif dapat meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu. Persentase rata-rata hasil keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu sebelum diberikan tindakan yaitu 46,16%. Setelah diberikan tindakan pada siklus I diperoleh rata-rata persentase yaitu 58%. Pada siklus II terjadi peningkatan persentase perolehan skor pada keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu yaitu 71,5%. Penelitian ini berhasil memberikan peningkatan persentase keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih.
Kata kunci: Tulisan Tegak Bersambung, Metode Global Intuitif, Tunarungu
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 121
1. Pendahuluan Menulis merupakan bagian dari aspek
keterampilan berbahasa. Menulis adalah suatu kegiatan atau aktivitas dari seorang penulis untuk menyampaikan suatu gagasan secara tidak langsung kepada orang lain. Pada dasarnya menulis menuntut banyak pengalaman dan banyak latihan terpimpin. Menulis merupakan kegiatan dalam mengorganisasikan keterampilan motorik halus dan motorik kasar, disamping itu juga menulis melibatkan beberapa aspek keterampilan berbahasa yang lainnya seperti menyimak, berbicara, dan membaca. Dari tiga aspek tersebut menulis merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keterampilan menulis merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik Sekolah Dasar sejak dini, karena keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang mendasar bagi peserta didik. karena keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang mendasar bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD). Menulis permulaan di kelas rendah terdiri atas menulis dengan huruf lepas dan huruf tegak bersambung. Keterampilan menulis huruf tegak bersambung dipelajari di kelas I dan II kemudian dilanjutkan dikelas III. Kegiatan menulis tegak bersambung dapat melatih kemampuan berpikir dan motorik halus peserta didik.
Kegiatan menulis tegak bersambung akan merangsang kerja otak, terutama otak kanan peserta didik yang merupakan tempat mengatur berbagai macam seni dan estetika. Kemampuan otak peserta didik usia SD terutama peserta didik kelas awal sedang berkembang dengan sangat baik, sehingga pembelajaran menulis tegak bersambung secara tidak langsung akan mengajarkan prinsip ketelitian, keindahan dan keterbacaan secara utuh pada peserta didik terutama peserta didik berkebutuhan khusus yakni peserta didik tunarungu.
Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang tidak mudah bagi peserta didik tunarungu. Proses tersebut membutuhkan
daya konsentrasi, koordinasi lengan dan jari, serta memori. Peserta didik tunarungu juga harus berusaha mencocokkan bunyi dan tulisan berupa simbol-simbol yang dibaca.
Hasil observasi dan diskusi dengan pendidik kelas dua yang dilakukan oleh peneliti di SLB BC Cempaka Putih, peserta didik tunarungu yang duduk dibangku kelas II B SLB BC Cempaka Putih memiliki kemampuan menulis yang rendah. Kenyataannya peserta didik tunarungu tersebut telah mampu menulis huruf A-Z, bahkan merangkainya menjadi sebuah kata. Akan tetapi, dalam proses menulisnya membutuhkan waktu yang cukup lama, untuk menulis kalimat pendek yang terdiri dari 4 kata menghabiskan waktu ±2 menit. Jika dlihat dari kesesuaian ukuran huruf dalam tulisan, ukuran huruf berbeda-beda satu sama lain, sering sekali ditemukan huruf yang masih terpisah-pisah dalam setiap kata dan peserta didik belum memahami penempatan huruf kapital. Di samping itu, dilihat dari kerapian tulisan, tulisan peserta didik masih belum rapi, sebagai contoh menulis nama sendiri, terkadang huruf pertama ditulis di atas garis namun untuk huruf ke dua dan ketiga biasanya tepat atau dibawah garis barisan,masih minimnya kemampuan peserta didik dalam mengatur kesejajaran dan kualitas barisan dalam sebuah tulisan.
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas II pada saat dilakukan pengamatan oleh peneliti, terlihat guru sangat memaksimalkan tulisan cetak sebagai tulisan yang digunakan dalam proses pembelajaran serta metode yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis belum variatif. Guru tidak berinisiatif mengembangkan metode lain yang lebih menarik dan interaktif. Pada umumnya penggunaan tulisan dalam proses pembelajaran bagi peserta didik tunarungu sangatlah penting, karena melalui tulisanlah kemampuan bahasanya akan berkembang. Namun untuk saat ini penggunaan tulisan cetak dan metode pembelajaran yang kurang variatif belum mampu memaksimalkan keterampilan menulis peserta didik tunarungu dengan cukup baik,sehingga diperlukan alternatif
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 122
penggunaan metode pembelajaran serta penggunaan tulisan lain yang dapat meningkatkan keterampilan menulis untuk peserta didik tunarungu.
Setelah peneliti membaca beberapa literatur yang menyebutkan bahwa, penggunaan tulisan tegak bersambung dapat meningkatkan keterampilan menulis pada peserta didik tunarungu, mengingat tulisan tersebut bermanfaat terhadap perkembangan otak peserta didik tersebut. Melalui pembelajaran menulis tegak bersambung peserta dapat melatih kemampuan berpikir serta motorik halusnya. Tulisan tegak bersambung memiliki makna bahwa pada tiap partikel huruf tidak akan berdiri sendiri dalam sebuah kata, akan tetapi tiap partikel huruf akan di hubungkan dengan partikel huruf lain yang akan membentuk sebuah kata dengan tulisan yang indah, rapi dan mudah dibaca oleh orang lain.
Literatur lain mengatakan bahwa, dalam proses pembelajaran menulis tegak bersambung diperlukan metode pembelajaran yang efektif, variatif dan menarik yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. Jika peserta didik sudah tertarik dalam pembelajaran, maka keterampilan menulis peserta didik dalam menulis tegak bersambung akan meningkat. Metode pembelajaran yang sesuai mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menulis tegak bersambung. Metode tersebut antara lain metode global intuitif. Berbeda dengan metode pembelajaran lain, metode tersebut merupakan metode pembelajaran yang melibatkan peserta didik tunarungu untuk mempelajari keterampilan menulis dan membaca secara utuh (global) tanpa terputus serta memaknai sebuah tulisan melalui intuisi bahasa yang dimiliki.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengupayakan perbaikan kualitas pembelajaran menulis dengan menerapkan metode global intuitif untuk meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik Tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Berdasarkan identifikasi penelitian, penelitian ini dibatasi pada:
Meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif. Subjek penelitian adalah peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih. Partikel huruf yang digunakan untuk menulis tegak bersambung adalah 5 huruf vokal (a,i,u,e, o) dan 7 huruf konsonan (b,c,d,h,m,n,s).
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah berdasarkan pembatasan masalah di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih?”
2. Dasar Teori
2.1. Pengertian Menulis Tegak Bersambung
Menulis tegak bersambung merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan tulisan dengan huruf yang saling bersambung satu sama lain yang dilakukan tanpa mengangkat alat tulis
2.2. Pengertian Metode Global Intuitif
Metode Global Intuitif merupakan metode yang melihat segala sesuatu sebagai keseluruhan dengan melalui pemahaman yang tepat.
2.3. Pengertian Tunarungu
Tunarungu adalah hilangnya kemampuan mendengar seseorang baik sebagian maupun seluruhnya sehingga seseorang tersebut kurang dapat merasakan, mendengarkan, serta memahami suara. Hal ini disebabkan oleh rusaknya fungsi pendengaran baik dari penyakit maupun faktor kecelakaan, sehingga memerlukan pelayanan khusus.
3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini,peneliti menggunakan metode penelitian tindakan kelas (Clasroom Action Research) dengan desain model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart dimana dalam model penelitian ini terdiri dari dua siklus dan pada tahapan tindakan dan pengamatan dijadikan sebagai satu
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 123
kesatuan. Adapun desain model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart seperti pada gambar 3.1.
Gambar 3.1.Model Spiral Kemmis dan Mc. Taggart
Subjek pada penelitian ini adalah
peserta didik tunarungu di kelas II SLB BC Cempaka Putih yang berjumlah enam peserta didik yang diantaranya 3 peserta didik laki-laki dan 3 peserta didik perempuan. Peserta didik ini mengalami hambatan dalam kegiatan keterampilan menulis.
Penelian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus, siklus I terdiri dari enam kali pertemuan dan siklus II terdiri dari 5 kali pertemuan. Di setiap pertemuan diberikan waktu 45 menit. Sebelum penelitian dilaksanakan peneliti melakukan observasi, melakukan asesmen, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menyiapkan media realia sebagai sarana penunjang proses pembelajaran
3.1 Instrumen Pengumpulan Data dan
Penelitian a. Definisi Konseptual
Keterampilan menulis tegak bersambung merupakan keterampilan yang diperoleh peserta didik setelah melalui kegiatan belajar dalam keterampilan menulis tegak bersambung yang meliputi keterampilan mencoret yang menghubungkan titik-titik menjadi garis, keterampilan pengulangan linear, keterampilan menulis random melalui kegiatan menyalin tulisan dan menulis label/nama.
b. Definisi Operasional
Keterampilan menulis tegak bersambung peserta didik tunarungu kelas
II adalah skor yang diperoleh setelah mengerjakan soal tes menulis tegak bersambung yaitu materi yang berhubungan dengan, 1) keterampilan mencoret yaitu menghubungkan titik-titik menjadi garis, terdiri dari : a) garis lengkung, b) garis berkelok,c) garis zigzag, 2) Keterampilan pengulangan linear yaitu membuat garis yang terdiri dari, a) garis lengkung, b) garis zigzag, dan 3) Keterampilan menulis random, 4) keterampilan menulis label/nama melalui kegiatan menyalin tulisan menggunakan 5 huruf vokal a, i, u, e, o dan 7 huruf konsonan b, c , d, h, m, n, s tegak bersambung.
Tabel 3.1 Kisi-kisi instrumen keterampilan menulis
tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih
No
Variabel
Aspek
Indikator
Butir Instrumen
Jmlh
1. Keterampilan Menulis Menulis Tegak Bersambung
Keterampilan mencoret
Menghubungkan titik-titik menjadi garis.
1, 2, 3 3
Keterampilan pengulangan linear
Membuat garis
3, 4, 5 3
Keterampilan menulis random dan label /nama
Menulis huruf vokal
6, 7, 8, 9
4
Menulis huruf konsonan.
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17
8
Jumlah 18 18
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 124
4. Hasil dan Pembahasan
Setelah menyelesaikan semua tahapan dalam pemberian tindakan, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data proses dan tindakan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif berupa hasil pengamatan, wawancara, dan dokumentasi saat melakukan kegiatan pembelajaran dengan media realia. Sedangkan analisis data kuantitatiif diperoleh melalui tes tertulis pada tes keterampilan awal, serta pada tes di akhir siklus 1& 2.
Tes keterampilan awal diberikan kepada ke enam peserta didik. Tes keterampilan awal dilakukan pada hari Rabu, tanggal 08 Februari 2017, pukul 08.15 WIB, selama empat puluh menit. Hasil tes keterampilan awal dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1.
Data Hasil Tes Keterampilan Awal
Berdasarkan hasil tes keterampilan awal
yang telah dilakukan peserta didik, peneliti melihat dari keenam peserta didik tidak ada yang mendapat nilai di atas KKM yaitu 65. Peneliti menyimpulkan bahwa keterampilan menulis peserta didik masih rendah. Hal tersebut menjadi dasar untuk dilaksanakannya penelitian tindakan kelas dengan melalui tulisan tegak bersambung dengan menggunakan metode global intuitif. Penggunaan metode global intuitif ini diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan hasil belajar menulis dengan pokok bahasan kegiatan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB Cempaka Putih. Peneliti menetapkan target keberhasilan sebesar 65% dalam dua siklus.
Tindakan tes diberikan kepada keenam peserta didik dikelas II yang dilakukan pada
hari Jumat, tanggal 10 Februari 2017, pukul 08.50 WIB, selama empat puluh lima menit dengan jumlah soal sepuluh buah sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat. Hasil tes siklus I dan persentase keterampilan awal dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2
Perbandingan Penguasaan antara Keterampilan Awal dan Setelah Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus pertama yang telah dilakukan peserta didik, tiga dari enam peserta didik sudah mencapai target yang diharapkan peneliti dan sisanya belum mencapai target yang diharapkan peneliti. Nilai rata-rata persentase peningkatan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung menggunakan metode global intuitif adalah 58%, dan belum mencapai target yang diharapkan peneliti yaitu 65% sehingga masih perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Tes diberikan kepada keenam peserta didik yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 14 Maret 2017, pukul 08.15 WIB, selama empat puluh lima menit dengan jumlah soal sepuluh buah sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat.Hasil analisis data tes siklus II dan persentase keterampilan awal, siklus I, dan siklus II dapat dilihat pada tabel 4.3.
No Nama Peserta Didik
Nilai Yang
Diperoleh
Persentase Tingkat
Keterampilan
1. NA 46 46%
2. RA 35 35%
3. AD 38 38%
4. KY 50 50%
5. WA 58 58%
6. MZ 50 50%
Rata-rata 277/6 46,16%
No
Nama
Penguasaan KA
Setelah Tindakan Siklus I
Peningkatan Nilai
1. NA
46 48 2
2. RA 35 44 9
3. AD
38 67 29
4.
KY 50 50
Belum ada
peningkatan
5. WA
58 66 8
6. MZ
50 72 22
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 125
Tabel 4.3
Berdasarkan hasil tes akhir siklus kedua yang telah dilakukan peserta didik, seluruh peserta didik sudah mencapai target yang diharapkan peneliti. Nilai rata-rata persentase peningkatan hasil belajar menulis tegak bersambung dengan menggunakan metode global intuitif adalah 71,5%, dan sudah mencapai target yang diharapkan peneliti yaitu 65% sehingga penelitian dihentikan pada siklus kedua.
Berdasarkan pelaksanaan pemberian tindakan yang telah dilakukan di siklus I dan siklus II, maka penggunaan metode global intuitif terhadap peningkatan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II di SLB BC Cempaka Putih telah berhasil dan mencapai target yang telah ditetapkan oleh peneliti. Hasil tes pemahaman peserta didik dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Persentase Hasil Tes Kemampuan Awal, Tes
Siklus I, dan Tes Siklus II
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan adanya perubahan pada hasil belajar menulis tegak bersambung melalui penggunaan metode global intuitif pada peserta didik tunarungu kelas II yang dilaksanakan di SLB BC Cempaka Putih.
Dengan demikian penggunaan metode global intuitif dalam meningkatkan hasil belajar keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu kelas II SLB BC Cempaka Putih dinyatakan berhasil.
Dengan meningkatkan keterampilan menulis tegak bersambung pada peserta didik tunarungu ini, selain memiliki manfaat yang besar dalam merangsang kerja otak peserta didik untuk menjadi lebih kreatif, tulisan tegak bersambung juga dapat melatih peserta didik tunarungu agar mampu menghasilkan tulisan yang lebih indah, rapi dan terbaca secara utuh.
Peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan pembelajaran menulis tegak bersambung dapat dilanjutkan pada tahap menulis tegak bersambung melalui latihan terbimbing dengan tetap menyesuaikan tingkat kebutuhan peserta didik dalam pembelajaran yang diberikan Daftar Pustaka Bunawan Lani & Susilawati Cicilia. 2000.
Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.
Haenudin. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus tunarungu. Bandung: Luxima.
Murniati Hetty. 2012. Belajar Cepat Menulis Huruf Tegak Bersambung untuk Sekolah Dasar Kelas 2. Magelang: CV. Tidar Ilmu.
No Nama Peserta Didik
Nilai Yang
Diperoleh
KKM Keterangan
1. NA 67
65 Tuntas
2. RA 66 65 Tuntas
3. AD 71 65 Tuntas
4. KY 75 65 Tuntas
5. WA 75 65 Tuntas
6. MZ 75 65 Tuntas
Rata-rata 429/6 71,5% Meningkat,
sudah memenuhi KKM
No Nama PD
Nilai KA
Nilai Siklus I
Nilai Siklus II
1. NA 46 48 67
2. RA 35 44 66
3. AD 38 67 71
4. KY 50 50 75
5. WA 58 66 75
6. MZ 50 72 75
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 126
Keterlibatan Orangtua Dalam Tahap Awal Proses Pembelajaran Braille
Untuk Anak Tunanetra
Ade Koentiatri1, Rahmawati Herlina2, Ishartiwi3
Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
This article discusses the involvement of parents in the development of the visually
impaired child of the visually impaired. The learning process in schools for the blind children
can not be separated from the sensitivity ability of taktual sensitivity to facilitate in learning to
read and write braille. Development of the senses can be done taktual since children of the
blind early age. Taktual sensitivity can be optimized through planned programs with school
teams, families and communities. The role of parents begins through communication with the
teacher for the needs that can be done at home. The second role is related to the development
of learning programs to stimulate the taktual senses. The third role as a supervisor to assess the
development of the sense of taktual based on full performance. Parental involvement can
strengthen relationships with children so as to foster motivation to learn. There needs to be
positive support and open attitude between the school and parents to create, implement and
assess the development program of the taktual senses in the blind child.
Keywords: blind, taktual senses, parents
Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu upaya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan dilakukan untuk membuat
perubahan yang baik kepada siswanya.
Termasuk untuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus, tentunya pendidikan
yang akan diberikan kepada mereka harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
yang mereka alami. Pendidikan sejatinya
digunakan untuk menunjang
perkembangan aspek kognitif, emosi,
psikomotor dan keterampilan hidup yang
dimiliki anak berkebutuhan khusus agar
menjadi lebih terarah. Sehingga siswa perlu
belajar secara optimal untuk menunjang
kebutuhannya, salah satunya yaitu dengan
menempatkan anak di sekolah khusus.
Sekolah khusus (SLB) adalah sekolah yang
sengaja diperuntukkan untuk anak-anak
dengan kebutuhan khusus.
Salah satu jenis anak berkebutuhan
khusus adalah anak tunanetra, menurut
Depdikbud dalam Sari Rudiyati (2002)
Anak Tunanetra adalah seseorang yang
rusak matanya atau luka matanya atau tidak
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 127
memiliki mata yang berarti buta atau
kurang dalam penglihatannya. Dampak dari
kondisi tersebut, siswa tunaetra, mengalami
kesulitan dalam menerima informasi, untuk
itu siswa tunanetra menggunakan indra
yang lain untuk memperoleh informasi.
Sedangkan menurut Daniel P. Hallahan,
James M. Kauffman, dan Paige C. Pullen
(2009: 380), mengemukakan “Legally
blind is a person who has visual acuity of
20/200 or less in the better eye even with
correction (e.g., eyeglasses) or has a field
of vision so narrow that its widest diameter
subtends an angular distance no greater
than 20 degrees”. Anak tunanetra
merupakan seseorang yang mengalami
ketidakmampuan pada indra penglihatan,
sehingga mereka memiliki hambatan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari. Seperti
dalam mobilitas, sosialisasi dengan
lingkungan disekitarnya dan proses
pembelajarannya. Meskipun mengalami
hambatan dalam proses pembelajarannya
namun hal tersebut tidak berpengaruh
terhadap intelegensi anak tunanetra. (Juang
Sunanto 2005: 184).
Perbedaan antara anak tunanetra
dengan anak pada umumnya ialah dalam
hal penerimaan informasi yang anak
dapatkan dari luar dan cara anak
mempresepsikan suatu konsep. Hal ini
seringkali terjadi bagi anak yang tunanetra
sejak lahir. Selain itu dalam melakukan
aktivitas sehari-hari anak tunanetra
mengalami hambatan sesuai dengan tingkat
ketunanetraannya. Salah satu masalah yang
sering terjadi pada anak tunanetra usia dini,
yaitu anak tunanetra mengalami kesulitan
membaca huruf braille permulaan, terutama
dalam mengingat titik-titik pada huruf
braille. Hal ini terjadi karena di sekolah
khusus maupun disekolah umum anak tidak
diberikan tes kepekaan indra taktual atau
anak tidak diberikan program untuk
meningkatkan kepekaan indra taktualnya.
Jika ditinjau lebih jauh, hampir
semua pembelajaran disekolah bagi anak
tunanetra tidak lepas dari kemampuan
kepekaan indra taktual yang dimiliki.
Sehingga, sangat perlu untuk meningkatkan
kepekaan indera tactual anak tunanetra
sejak dini sebelum anak masuk usia
sekolah. Hal ini nantinya untuk
memudahkan anak dalam pembelajaran
terkait dengan kode-kode huruf braille.
Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai
upaya pengenalan kode-kode braille pada
anak tunanetra usia dini. Salah satunya
berupa keterlibatan orangtua untuk
meningkatkanindra taktual sebagai dasar
dalam upaya guru dan orangtua dalam
mengenalkan kode-kode braille.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 128
Selain mendapat pelatihan indra
taktual disekolah pada anak tunanetra
diperlukan latihan lanjutan dan kerjasama
antara pihak sekolah dengan pihak
orangtua. Dimana dalam proses pelibatan
orangtua dalam pembelajaran pelatihan
indra taktual untuk pra membaca braille
merupakan hal yang sangat penting,
sehingga pembelajaran di sekolah juga
dapat dilakukan secara berkelanjutan di
rumah. “Dukungan dan peran keluarga
sangat penting terlebih untuk anak
berkebutuhan khusus”. (Hallahan dan
Kauffman, 1988).
Pembahasan
Tunanetra merupakan salah satu
bagian dari anak berkebutuhan khusus yang
memiliki kelainan pada indra sensory, yaitu
penglihatan. Pengertian tunanetra secara
paedagogis adalah “Anak yang mengalami
gangguan daya penglihatannya, berupa
kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan
walaupun sudah diberi pertolongan dengan
alat-alat bantu khusus masih tetap
memerlukan pelayanan pendidikan
khusus.” (Direktorat PLB, 2004:5).
Anak tunanetra mengalami
keterbatasan dalam penglihatan, dimana
keterbatasan ini menjadi faktor penghambat
bagi mereka untuk dapat menguasai
komponen dasar pendidikan tersebut. Pada
umumnya yang digunakan sebagai patokan
apakah seorang anak termasuk tunanetra
atau tidak ialah berdasarkan tingkat
ketajaman penglihatannya (Sutjihati,2006).
Dari pernyataan diatas dapat
ditegaskan bahwa tunanetra adalah anak
yang memiliki keterbatasan dalam
penglihatan sehingga memiliki kesulitan
dalam membaca awas maupun melakukan
kegiatan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan
anak membutuhkan alat bantu untuk
memperluas ruang geraknya, selain itu
kebutuhan anak dalam hal perabaan sangat
penting sehingga indra taktualnya perlu
ditingkatkan.
Ketidakmampuan anak tunanetra
dalam melihat, mengakibatkan indra-indra
lain yang dimiliki anak tunanetra menjadi
lebih peka. Salah satunya adalah indera
taktualnya. Adanya indra taktual ini dapat
membantu anak tunanetra untuk
mengumpulkan informasi tentang
lingkungan dan untuk melakukan tugas
sehari-hari. Melalui indra taktual seperti
sentuhan atau rabaan akan memberikan
informasi untuk tunanetra mengenai
karakteristik objek, seperti bentuk, ukuran,
dan tekstur. Namun tunanetra masih belum
dapat mengetahui aspek fungsional objek
yang dirabanya, seperti penggunaan objek
sebagai alat bantu dikarenakan hilangnya
kemampuan melihatnya.
Dalam proses akademik anak,
kemampuan indra taktual akan sangat
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 129
berguna dalam proses membaca huruf
Braille. Penggunaan huruf braille juga akan
berdampak pada kelancaran proses
pembelajaran yang ada disekolah.
Sayangnya, tidak jarang anak tunanetra
awal mengalami kesulitan dalam mengenal
huruf braille. Bukan hanya karena sulitnya
memahami simbol-simbol braille, tetapi
faktor lain yang membuat anak sulit
memahami braille adalah kurang tingginya
sensitivitas indra taktual anak.
Salah satu program pendidikan
yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan indera taktual yang dimiliki
oleh anak yaitu dengan melibatkan anggota
keluarga dirumah, terutama orangtua.
Program peningkatan indera taktual anak
tunanetra yang di rancang antara anak
dengan orang tua akan membuat kegiatan
belajar menjadi lebih bermakna. Hal ini
akan berdampak positif bagi anak dan
lembaga pendidikan dimana anak tersebut
menempuh pendidikan. Secara tidak
langsung, program dengan orangtua akan
membuat lembaga pendidikan memperoleh
keuntungan.
Menurut Morrison (1988:321)
terkait dengan keterlibatan orang tua
terbagi menjadi tiga bagian, pertama yaitu
kerjasama orangtua dengan guru sebagai
penolong dalam komunitas, kedua
merupakan proses yang berkembang
melampaui waktu perencanaan yang
intensional dan usaha dari setiap anggota
tim, dan ketiga sebagai proses orangtua dan
guru dalam bekerja, belajar dan
berpartisipasi dalam menentukan
keputusan. Dari pendapat tersebut,
Keterlibatan orang tua dalam proses
pendidikan dapat berkembang dengan
adanya kerjasama dan berbagi pendapat
dalam membuat keputusan terhadap
terhadap kegiatan pendidikan.
Keterlibatan orangtua dalam
pendidikan anak dapat memberikan
pengaruh yang kuat terhadap sikap anak
dalam pembelajaran yang diajarkan di
sekolah. Semakin orangtua menunjukkan
sikap positif terhadap materi pembelajaran
yang diajarkan di sekolah, maka semakin
baik anak akan mendapatkan ilmu yang
disampaikan oleh Guru. Hal tersebut juga
sejalan dengan pendapat Hornby (2005)
yang menyebutkan bahwa orangtua bisa
berkontribusi melalui berbagai informasi
dengan guru di sekolah agar kepekaan
indera taktual pada anak dapat diketahui
dengan baik.
Program pembelajaran yang
dibentuk oleh guru dan orang tua untuk
anak dapat diberikan sebelum anak
mempelajari huruf-huruf braille. Kegiatan
ini dapat diberikan ketika anak masih
berada di usia dini. Sehingga, kepekaan
taktual anak akan meningkat. Karena faktor
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 130
penentu seseorang dapat dengan mudah
mempelajari braille bukan hanya karena
seseorang tersebut mampu menghafalnya,
tetapi karena memiliki sensitivitas yang
tinggi terhadap indra taktualnya.
Pembelajaran untuk meningkatkan
kepekaan indera taktual bagi tunanetra
dengan keterlibatan orangtua dapat ditinjau
dari pendapat Hornby (2005) yang
menyebutkan ada lima tahapan dalam
memberikan pembelajaran bersama
orangtua, yang pertama yaitu orangtua aktif
memberikan informasi kepada pihak
sekolah mengenai perkembangan anaknya.
Kedua, orangtua membantu anak untuk
mengerjakan PR di rumah. Ketiga, orangtua
menerapkan kembali kebiasaan-kebiasaan
di sekolah untuk dilakukan di rumah.
Keempat, orangtua kadang-kadang saja
mengulang kembali materi pembelajaraan
di sekolah dan kelima orang tua
memberikan kegaitan yang dianjurkan oleh
pihak sekolah untuk memperbaiki
kekurangan anak.
Pada tahapan satu, disebutkan
bahwa orangtua harus aktif memberikan
informasi pada pihak sekolah mengenai
perkembangan anak. Informasi tersebut
dapat berisi tentang kelebihan dan
kekurangan anak, serta apa yang perlu
diperbaiki untuk mengatasi kekurangan
anak. Jika kaitannya dengan kemampuan
taktual anak, orang tua dapat memberikan
gambaran seputar kepekaan yang dimiliki
anak, benda-benda yang bisa dan tidak bisa
anak bedakan dengan indera perabaanya
tersebut.
Selanjutnya untuk tahapan yang
kedua, orangtua membantu anak untuk
mengerjakan PR di rumah. Melalui PR
tersebut secara tidak langsung orangtua
juga mendapatkan informasi tentang
perkembangan anak di sekolah. Informasi
tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan
diskusi dengan guru.
Ketiga, orangtua menerapkan
kembali kebiasaan-kebiasaan di sekolah
untuk dilakukan di rumah. Orang tua
memberikan kegiatan secara aktif terkait
dengan latihan-latihan sederhana untuk
meningkatkan indera taktual anak.
Contohnya, anak diajak untuk mengenal
benda-benda di lingkungan rumahnya.
Anak akan menemukan tekstur benda yang
berbeda-beda. Melalui benda yang ia
temukan itulah yang akan menjadi obyek
pembelajaran anak.
Keempat, orangtua menerapkan
kembali kebiasaan-kebiasaan di sekolah
untuk dilakukan di rumah. Guru di sekolah
akan memberikan pembelajaran tekait
dengan kepekaan indera taktual.
Kelima orang tua memberikan
kegiatan yang dianjurkan oleh pihak
sekolah untuk memperbaiki kekurangan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 131
anak. Ketika di sekolah didapati anak
belum mampu untuk diajak mempelajari
braille, artinya orang tua perlu memberikan
aktivitas tambahan untuk meningkatkan
indera taktualnya.
Faktor Keterlibatan Orang Tua
Sangat penting bagi orangtua yang
memiliki anak tunanetra untuk memberikan
tempat belajar yang nyaman bagi mereka,
karena mereka percaya bahwa orangtua
harus memahami peran mereka bukan saja
untuk pendidikan tetapi juga dalam
kehidupan anak.
Memberikan kegiatan
pembelajaraan di rumah dapat membantu
anak berkembang tanpa paksaan, Orangtua
juga yakin bahwa keterlibatan mereka akan
memberikan pengaruh positif bagi anak.
Karena orangtua memahami potensi yang
dimiliki oleh anak dan dapat memberikan
fasilitas yang sesuai untuk meningkatkan
kepekaan indra taktual anak. Orang tua juga
berperan penting untuk proses
pembelajaran anak disekolah agar dapat
saling terkait antara pembelajaran di rumah
dan juga di sekolah.
Dampak keterlibatan orangtua
Dampak yang diberikan jika
orangtua berperan dalam pembelajaran
anak maka secara otomatis pembelajaran
akan mudah untuk diterima oleh anak,
fasilitas untuk pembelajaran anak juga lebih
mudah untuk didapatkan, orangtua secara
tidak langsung juga mendapatkan
pengetahuan dan dapat berbagi
pengetahuan kepada anak. Selain itu,
keterlibatan orang tua dalam pembelajaran
dapat mempererat hubungan orangtua
dengan anak.
Kesimpulan
Dalam proses akademik anak,
Kemampuan indra taktual akan sangat
berguna dalam proses membaca huruf
Braille. Penggunaan huruf braille juga akan
berdampak pada kelancaran proses
pembelajaran. Program peningkatan indera
taktual anak tunanetra yang di rancang
antara anak dengan orang tua akan
membuat kegiatan belajar menjadi lebih
bermakna. Pembelajaran untuk
meningkatkan kepekaan indera taktual bagi
tunanetra dengan keterlibatan orangtua
dapat membantu anak berkembang tanpa
paksaan. Orangtua juga yakin bahwa
keterlibatan mereka akan memberikan
pengaruh positif bagi anak. Karena
orangtua memahami potensi yang dimiliki
oleh anak dan dapat memberikan fasilitas
yang sesuai untuk meningkatkan kepekaan
indra taktual anak. Orang tua juga berperan
penting untuk proses pembelajaran anak
disekolah agar dapat saling terkait antara
pembelajaran di rumah dan juga di sekolah.
Selain itu, keterlibatan orang tua dalam
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 132
pembelajaran dapat mempererat hubungan
orangtua dengan anak.
Daftar Pustaka
Hallahan, Kauffman. (2009). Exceptional
Learners an introduction to Special
Education eleventh edition. USA:
PEARSON
Juang, Sunanto. (2005). Mengembangkan
Potensi Anak Berkelainan penglihatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat PLB. (2004). Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu/Inklusi Mengenal Pendidikan
Terpadu. Jakarta: Depdiknas.
Sutjihati Somantri, 2006, Psikologi Anak
Luar Biasa, Bandung, PT. Refika Aditama.
Hornby, G. (2005). Improving parental
involvement. London: Continuum.
Morisson, George S. (1988). Early
Childhood Education Today. Fourth
Edition. Columbus: Merrill Publishing
Company.
Morrison, George S. (1988). Education and
Development of Infants, Toddlers, and
Preschoolers. London: Scott,
Foresman,and Company.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 133
Model Pelatihan Baca Tulis Braille Bagi Guru di Sekolah Inklusi
Muhammad Faris Darussalam1, Ishartiwi2
Abstrak
This article discusses the importance of braille reading and writing training for teachers in
inclusive schools. Inclusion schools are the type of school that is friendly to all characteristics
of students including students with special needs. Therefore, teachers assigned to inclusion
schools should have the competence to teach all types of students who are studying in such
schools such as blind children. Blind children have different ways with other children in
teaching and learning activities. They need different teachers' abilities to explain the material
so that blind students can grasp the concept of the material they are studying. Literacy and how
to write a blind child is different so that inclusion teachers should be able to master the ability
to read and write braille in order to launch teaching and learning activities of students with
special needs, especially students with visual impairment.
Keyword: braille, inclusion, visual impairment
Pendahuluan
World Health Organization (WHO)
memperkirakan jumlah anak berkebutuhan
khusus di Indonesia 7-10% dari total
jumlah anak. Data tahun 2003, mencatat
bahwa terdapat 679.048 anak mengalami
kebutuhan khusus atau sekitar 21,42% dari
seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Tercatat jumlah anak berkebutuhan khusus
di Indonesia mencapai 10 anak dari 100
anak, hal tersebut menunjukkan bahwa
10% populasi anak-anak adalah anak
berkebutuhan khusus yang harus
mendapatkan pelayanan, baik pelayanan
kesehatan maupun pelayanan pendidikan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Begitu
banyaknya jumlah anak berekutuhan
khusus sehingga diperlukan tidak hanya
sekolah lua biasa yang menampung anak
berkebutuhan khusus tetapi juga sekolah
reguler atau model inklusi pada umumnya.
Menurut PERMEN Pendidikan nomor
70 tahun 2009, yang dimaksud dengan
pendidikan inklusif adalah suatu sistem
pendidikan yang memungkinkan peserta
didik dengan hambatan tertentu dan
memiliki potensi dan bakat istimewa yang
dapat dikembangkan untuk mengikuti
proses pembelajaran secara bersama-sama
dengan peserta didik reguler. .
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 134
Konsep pendidikan inklusi
diciptakan dengan maksud sebagai solusi
dari perlakuan diskriminatif dalam layanan
pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan
khusus. Pendidikan inklusif memiliki
prinsip bahwa selama anak berkebutuhan
khusus masih memungkinkan untuk
mengikuti pembelajaran secara reguler
maka anak didik tersebut diusahakan untuk
belajar bersama- sama dengan siswa reguler
yang lain tanpa memandang perbedaan dan
memberikan akomodasi/ modifikasi pada
kebutuhan khususnya sehingga kesulitan
dapat tertangani. (Ni’matuzahroh:2015)
Pelayanan pendidikan yang terjadi di
Indonesia masih mengalami hambatan. ,
seperti halnya kurangnya pengetahuan guru
tentang anak berkebutuhan khusus,
minimnya keterampilan guru dalam
menangani ABK dan sikap guru terhadap
ABK yang dilihat masih memandang
sebelah mata.
Ketidakmampuan guru di sekolah
inklusi yang masih terjadi dalam
pelaksanaan di lapangan seperti contoh
guru belum bisa membaca dan menulis
braille. Ketidakmampuan ini berlanjut pada
kurang lengkap dan kurang terintegrasinya
pengetahuan yang diterima oleh siswa
tunanetra seperti dalam menulis huruf
braille dan kaidah penulisan pada masing-
masing mata pelajaran yang berbeda.
Hal ini disebabkan karena basis
guru pada mulanya memang guru reguler
dan belum mengenal lebih dalam tentang
pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus, khususnya tunanetra, belum
memahami karakteristik belajarnya,
termasuk tulisan yang digunakan.
Pembahasan
a. Braille
Tulisan braille adalah sistem penulisan
yang mengandalkan titik-titik timbul pada
suatu bidang. Cara membaca kode braille
dengan menggunakan indera perabaan
(taktual) dari arah kiri ke kanan.
Huruf braille di dasarkan pada pola
enam titik timbul dengn posisi tiga titik
vertikal dan dua titik horizontal. Titik-titik
tersebut diberi nomor tetap 1, 2, 3, 4, 5, 6
pada posisi sebagai berikut:
1) Susunan titik huruf Braille cara baca.
Untuk keperluan mambaca, titik timbul
(positif) yang dibaca. Cara membaca
seperti pada umumnya yaitu dari kiri ke
kanan. Titik satu pada penulisan Braille
terdapat pada titik sebelah kiri atas. Posisi
titik-titik di atas adalah posisi huruf Braille
terdiri dari satu atau kombinasi beberapa
titik tersebut. Dengan bantuan nomor dari
setiap titik, maka suatu huruf dapat
dinyatakan dengan menyebutkan nomor
dari titik-titiknya.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 135
2) Susunan titik huruf Braille cara tulis.
Untuk menulis, prinsip kerjanya berbeda
dengan mambaca. Cara menulis huruf
Braille tidak seperti pada umumnya yaitu
dimulai dari kanan ke kiri, biasanya sering
disebut dengan menulis secara negatif
(membuattitik cekung). Jadi menulis
Braille secara negatif dan menghasilkan
tulisan secara timbul positif di sebaliknya.
Titik satu pada penulisan Braille terdapat
pada titik sebelah kanan atas. Posisi titik-
titik di atas adalah posisi huruf Braille yang
ditulis dari kanan ke kiri. Huruf Braille
terdiri dari satu atau kombinasi beberapa
titik tersebut. Bantuan dengan nomor dari
setiap titik, maka suatu huruf dapat
dinyatakan dengan menyebutkan nomor
dari titik-titiknya.
Dengan mempergunakan huruf
Braille seorang tunantera tidak membaca
tetapi juga dapat menuliskan apa yang
dipikir serta kemudian membacanya
kembali.
Kompetensi guru inklusi (braille)
Guru adalah seorang pendidik yang
bertugas untuk mengajar, mendidik,
membimbing, mengarahkan, melatih, dan
mengevaluasi peserta didik mulai dari usia
dini sampai ke perguruan tinggi. Guru
sebagai ujung tobak pendidikan yang
dianggap pandai dan berwawasan, sehingga
guru dapat memberikan ilmu yang
bermanfaat dengan menididik anak tanpa
membeda-bedakan (Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005).
Guru harus memiliki pengetahuan
yang lebih banyak tentang anak
berkebutuhan khusus, memiliki sikap
penerimaan yang baik dan memiliki
keterampilan dalam mengajar sehingga
semua anak dapat menerima pelajaran yang
diberikan.
Kompetensi guru adalah
kemampuan melakukan tugas mengajar dan
mendidik yang diperoleh melalui
pendidikan dan latihan yang di dalamnya
terdapat pengetahuan, sikap penerimaan,
keterampilan dan nilai-nilai yang ditujukan
dalam mengajar. (Sahertian: 1994,
Suparlan, 2006 dan Mulyasa, 2007). Hal
tersebut juga harus dimiliki oleh guru-guru
disekolah inklusi, sehingga dalam
menangani anak berkebutuhan khusus
dengan berbagai keistimewaan, guru-guru
memiliki kemampuan yang cukup
memadai. Tamansyah (2009)
menambahkan bahwa kompetensi guru
sekolah inklusi adalah memahami maksud
dan tujuan pendidikan inklusi yang
diberlakukan, terampil dalam mengenali
karakteristik anak, melaksanakan asesmen,
diagnosis dan evaluasi pendidikan.
Sedangkan guru-guru di sekolah inklusi
tidak semua berlatar belakang dari
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 136
pendidikan luar biasa, banyak guru reguler
yang diminta untuk mengajar anak
berkebutuhan khusus. Oleh karena
itu,masih banyak guru sekolah inklusi yang
belum paham akan kondisi dan keberadaan
anak berkebutuhan khusus yang ada di
sekolah.
Di dalam kompetensi guru
tunanetra, disebutkan bahwa guru mampu
menerapkan bidang-bidang pengembangan
program yang meliputi: Dasar-dasar
Tulisan Braille, Orientasi dan Mobilitas,
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan
Irama, Bina Diri, Bina Gerak, Bina Pribadi
dan Sosial dan Bina Potensi Kecerdasan
dan Bakat Istimewa.
Oleh karena itu, untuk mengajarkan
mata pelajaran bagi siswa dengan hambatan
penglihatan setidaknya guru inklusi
menguasai baca tulis braille meliputi huruf,
simbol-simbol baca, simbol-simbol angka,
dan kaidah-kaidah penulisannya serta
orientasi mobilitas jika diperlukan.
Implementasi dari konsep
pendidikan inklusi di lapangan sering kali
tidak sesuai/ tidak ideal dengan teori yang
ada. Berdasarkan hasil observasi Temi
Damayanti, et. al (2017), selama proses
pembelajaran telah menemukan bahwa
masih ada guru yang menyamakan metode
pengajaran kepada seluruh siswa, meski
mereka juga menghadapi siswa
berkebutuhan khusus yang memerlukan
metode yang diterapkan secara individual.
Alasan mengapa masih
menggunakan metode yang sama kepada
seluruh siswa dikarenakan guru tidak
mengetahui cara atau metode yang tepat
dalam menangani siswa dengan kondisi
yang berbeda dari umumnya di kelasnya
tidak terkecuali anak dengan hambatan
penglihatan. Anak dengan hambatan
penglihatan diajarkan dengan cara yang
biasa dan cenderung abstrak. Anak
mungkin akan mengaku paham jika
ditanya oleh guru tetapi pada kenyataannya
anak belum memahami apa yang dijelaskan
oleh guru tersebut.
Oleh karena itu, guru-guru di
sekolah inklusi perlu untuk diberikan
pelatihan (in-service training) tentang
membaca dan menulis huruf braille.
Program in-service training adalah
suatu usaha pelatihan atau pembinaan yang
memberi kesempatan kepada seseorang
yang mendapat tugas jabatan tertentu dalam
hal tersebut ialah guru, untuk mendapat
pengembangan kinerja. in-service training
juga bisa dikatakan sebagai suatu program
sekaligus metode pelatihan dan pendidikan
dalam jabatan yang dilaksanakan dengan
cara langsung bekerja di tempat untuk
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 137
belajar dan meniru suatu pekerjaan dibawah
bimbingan seorang pengawas.
Istilah lain yang juga dipergunakan
ialah Upgrading atau penataran dan in-
service education yang pada dasarnya
mempunyai maksud yang sama. in-service
training diberikan kepada guru-guru yang
dipandang perlu meningkatkan
ketrampilan/ pengetahuannya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang pendidikan. Jadi dalam
hal ini, in service training dapat diartikan
sebagai usaha meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan guru dalam bidang tertentu
sesuai dengan tugasnya, agar dapat
meningkatkan kinerja dan
mempertahankan profesionalismenya
dalam melakukan tugas-tugas tersebut.
2. Tujuan in-service training
In-service (dalam jabatan) atau
latihan-latihan semasa berdinas,
dimaksudkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan secara kontinu
pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan dan
sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga
kependidikan lainnya guna mengefektifkan
dan mengefesiensikan pekerjaan/
jabatannya.
Program pendidikan dan latihan
tersebut dapat diselenggarakan secara
formal oleh pemerintah, berupa penataran-
penataran atau loka karya baik secara lisan
atau tertulis, dapat pula diselenggarakan
secara informal oleh yang berkepentingan
baik secara individual, maupun secara
berkelompok.
Secara umum, tujuan kegiatan in-service
training adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan produktivitas kerja
b. Meningkatkan efisiensi
c. Mengurangi terjadinya berbagai
kerusakan
d. Mengurangi tingkat kesalahan dalam
mengajar
e. Meningkatkan pelayanan yang lebih
baik, dalam hal ini pelayanan pendidikan
f. Meningkatkan moral karyawan
g. Memberikan kesempatan bagi
peningkatan karir
h. Meningkatkan kemampuan manajer
mengambil keputusan
i. Meningkatkan kepemimpinan seseorang
menjadi lebih baik
j. Meningkatkan balas jasa (kompensasi)
3. pelaksanaan in-service training
menggunakan model Pengembangan
Pribadi Guru. Menurut Roger Neil (1986)
perbaikan suatu kualitas organisasi sangat
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 138
bergantung pada perubahan dalam diri
individu masing-masing, setelah itu,
mungkin beberapa bentuk dari guru in-
service training lebih kondusif. Sehingga
proses perbaikan dalam metode ini
menggunakan pendekatan secara individual
agar kemajuan dari masing-masing guru
tersebut dapat terpantau. Masing-masing
guru diberikan suatu materi yang sesuai
dengan yang belum dikuasainya kemudian
secara individual akan dipantau
perkembangan kompetensi guru tersebut.
Penutup
Kesimpulan
in-service training baca-tulis braille
untuk guru-guru inklusi digunakan untuk
meningkatkan kompetensi guru dalam
bidang baca tulis braille dalam rangka
untuk mengatasi permasalahan kurangnya
kompetensi guru dalam membaca dan
menulis braille.
Saran
Perlunya mengadakan in-service training
bagi guru inklusi secepatnya.
Daftar Pustaka:
Direktorat Bina Kesehatan Anak.
(2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan
Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi
petugas kesehatan. Kementrian Kesehatan
RI: Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat.
Ni’matuzahroh. 2015. Analisis
Kesiapan Guru dalam Pengelolaan Kelas
Inklusi. ISBN: 978-979-796-324-8
Sunanto, J. (2005). Mengembangkan
Potensi Anak Berkelainan Penglihatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga
Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan
Tinggi.
A. Sahertian, Piet. 1994. Profil
Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi
Offset.
Suparlan. (2006). Guru Sebagai
Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing
E.Mulyasa. (2007).Standar
Kompetensi dan Sertifikasi Guru.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Damayanti, dkk.2017.Kompetensi
Guru dalam Proses Pembelajaran Inklusi
Pada Guru Sd Negeri Kota Bandung. Volume
3, No.1. SCHEMA - Journal of
Psychological Research
Tarmansyah, 2007, Inklusi
Pendidikan Untuk Semua, Jakarta :
Depdiknas.
Roger Neil (1986) Current Models
and Approaches to In‐service Teacher
Education. British Journal of In-Service
Education,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 139
ABSTRAK
Lilis.Suwandari, (2017), Pengembangan Pembelajaran Bagi Guru SLB Kotamadya
Bandung Dalam Meningkatkan Kemampuan Vokasional Anak Tunagrahita
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan kemampuan dalam pembelajaran
vokasional bagi anak tunagrahita belum optimal dan kurang efektifnya penyelenggaraan
kelompok pelatihan vokasional yang diselenggarakan oleh beberapa yayasan
penyelenggara pendidikan tunagrahita di kota Bandung. Berdasarkan pada keadaan
tersebut penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh gambaran tentang kondisi obyektif
pembelajaran vokasional bagi anak tunagrahita 2) Konsep dan teori yang dijadikan acuan
dalam pelaksanaan penelitian ini, meliputi: hakekat pembelajaran vokasional yang ada di
SLB, hakekat vokasional, dan pendidikan vokasional tunagrahita ringan. Kenyataan di
lapangan bahwa tidak semua penyandang berkebutuan khusus dapat mengenyam
pendidikan formal melalui Sekolah Luar Biasa karena berbagai kendala seperti jarak
sekolah yang jauh dari tempat tinggal, keterbatasan biaya, kasadaran orang tua penyandang
berkebutuhan khusus yang masih rendah, kepedulian masyarakat terhadap penyandang
berkebutuhan khusus yang masih sangat rendah pula dan juga bagi mereka yang bersekolah
merasakan ketidakseimbangan antara program kurikulum dengan kebutuhan belajar
penyandang tunagrahita yang disertai keterbatasan-keterbatasan mereka maka hasil
pendidikan formal dirasakan belum cukup bagi mereka untuk bekal meraih
kemandiriannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan
metode penelitian dan pengembangan, yang berlokasi di 6 SLB di kota Bandung. Data yang
diperoleh melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, semiloka dan diskusi
dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan: keberadaan pembelajaran
vokasional belum optimal, artinya dalam prencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut belum
sesuai dengan kebutuhan penyandang tunagrahita ringan. Oleh karena itu diperlukan
pelayanan pendidikan yang lebih fleksibel, berdiversifikasi, dan lebih berorientasi pada
pendidikan kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional yang dapat diakses
sepanjang hidupnya. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah pengembangan vokasional
bagi anak tunagrahita dan dapat mengantarkan anak tunagrahita memperoleh pekerjaan
sebagai bekal hidupnya. Pandangan masyarakat yang menganggap kehadiran tunagrahita
hanya menjadi beban berubah bahwa penyandang tunagrahita memiliki potensi yang patut
dikembangkan sehingga mereka hidup mandiri.
Kata Kunci: Pengembangan pelatihan, Vokasional, Anak Tunagrahita.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 140
ABSTRACK
Lilis.Suwandari, (2017), Learning Development for SLB Teacher Municipality Bandung in
Improving Mentally Disabled Child’s Vocational Skill
This research is motivated by the problems and abilities in learning vocational for Mentally
Disabled children who have not optimal yet and the ineffectiveness of organizing
vocational training groups organized by several foundations of Mentally Disabled’s
education provider in Bandung City. Based on the circumstances, the purpose of this
research are: 1) acquired a picture of the objective conditions of vocational learning for
Mentally Disabled children 2) concepts and theories used as a reference in the
implementation of this research, including: the nature of vocational learning existing in
SLB, vocational essence, and vocational education of lightweight disabilities. The reality
of the field that not all people with special needs can receive formal education through SLB
because of various obstacles such as long distance of school that far from home, limited
fee, awareness of special needs’ parents is still low, low public awarness of special needs,
and also for them who attend school that feels imbalance between curriculum program with
learning needs of Mentally Disabled that accompanied by their limitations then the result
of formal education felt not enough for them to be ready to reach their independence. This
research is using qualitative and quantitative approaches with research and development
methods, that located in group 18 in Bandung. Data that obtained through observation,
interview, study documentation, semiloka, and the discussion analyzed by qualitative. The
result of research indicate: the exixtence of vocational learning that have not optimal yet,
it means in planning, implementation, and follow-up is not suitable with the needs of light
mentally disabled. Therefore, education flexible service is required, diversify, and more
oriented to education skill including vocational skills that could be accessed throughout his
life. Recommendation of research result are vocational development for mentally disabled
children and could deliver mentally disabled child to reach job as stock of his life. Public
vision that considers presence of mentally disabled is only burden could be change to
mentally disabled has potential that have to be developed so they could live independent.
Key words: training development, vocational, mentally disabled child
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 141
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN
BAGI GURU SLB KOTAMADYA
BANDUNG DALAM
MENINGKATKAN KEMAMPUAN
VOKASIONAL ANAK
TUNAGRAHITA
A. PENDAHULUAN
Pembelajaran Vokasional adalah
proses dalam menyiapkan siswa agar
memiliki kompetensi berupa
kecakapan hidup untuk hidup mandiri
di masyarakat. Pendidikan vokasional
bagi anak tunagrahita ringan sangat
ditentukan oleh sejauh mana program
pelatihan dilakukan, dan kemampuan
guru dalam melaksanakan
pembelajaran vokasional. Oleh karena
itu perlu untuk dirumuskan dan dikaji
untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan guru dalam pelaksanaan
pembelajaran vokasional.
Dengan berdasarkan hasil kajian
maka akan dijadikan sebagai bahan
untuk reorientasi program dan
perbaikan dalam mutu layanan,
sehingga pembelajaran bagi anak
tunagrahita dapat ditingkatkan dan
menghasilkan siswa yang mampu
menghidupi dirinya sendiri.
Pendidikan merupakan sub sistem dari
supra sistem kehidupan yang berperan
dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa, tentunya mempunyai peran
yang sangat berarti dalam
pembentukan sumber daya manusia.
Berdasarkan tujuan tersebut,
sekolah sebagai tempat untuk
berlangsungnya proses pendidikan
mempunyai tangggung jawab untuk
memberikan pendidikan semaksimal
mungkin sehingga anak-anak luar
biasa dapat memiliki kompetensi baik
kompetensi personal, sosial maupun
teknis yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka harus
mampu untuk memenuhi kebutuhan
dirinya, mampu untuk bergaul dengan
masyarakat, dapat memiliki
keterampilan, sehingga mereka dapat
memiliki kecakapan untuk hidup di
masyarakat. Dengan terbentuknya
kecakapan hidup akan tumbuh
kemandirian sehingga anak luar biasa
tidak lagi menjadi individu yang
memiliki ketergantungan kepada orang
lain tetapi mereka dapat hidup mandiri
mampu hidup dalam kehidupan.
Dengan berbekal kecakapan
hidup maka akan menuju kemandirian
dan kita yakin bahwa dengan
kemandirian maka anak luar biasa akan
dapat mengurangi ketergantungannya
kepada orang lain. Jadi dengan
pendidikan dapat mengurangi
ketergantungan dan menumbuhkan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 142
kemandirian baik secara personal,
sosial dan vokasional.
1. Kemampuan guru dalam
pengembangan pembelajaran
vokasional
2. Kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran
vokasional dan mampu
mengembangkan keterampilan
itu sendiri
3. Relevansi pengembangan
keterampilan vokasional dengan
tuntutan/kebutuhan lingkungan.
Pengembangan pembelajaran
Vokasional bagi anak
tunagrahita harus senantiasa
relevan dengan kebutuhan anak
serta kebutuhan lingkungan,
sehingga apapun yang mereka
dapatkan dari bangku sekolah
dapat berguna untuk
memecahkan berbagai masalah
dalam kehidupan, dan
keterampilan tersebut disebut
kecakapan hidup.
B. METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian
tentunya yang sangat penting perlu
untuk dipertimbangkan adalah
metodologi penelitian, di mana dengan
mempergunakan metodologi penelitian
yang tepat dan sesuai dengan
problematika penelitian, maka akan
dapat mengungkap dan mengolah data
dengan secara maksimal. maka peneliti
menggunakan metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif.
Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
a. Teknik studi dokumentasi
Teknik studi dokumentasi
adalah teknik telah dokumen
yang digunakan untuk
memperoleh sejumlah data
dan informasi yang berkenaan
dengan pengembangan
pembelajaran Vokasioanal.
Substansi yang dijadikan
bahan kajian dari studi
dokumentasi adalah
menyangkut berbagai
dokumen baik buku
kurikulum, bukti fisik
mengajar guru, arsip sekolah
maupun catatan lapangan
(field note).
b. Teknik Wawancara
Teknik wawancara
dipergunakan untuk menggali
informasi secara akurat dan
informasi sebanyak-
banyaknya yang berupa
pendapat, pikiran,
pengetahuan, orang-orang
yang terlibat dalam
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 143
pengembangan pembelajaran
vokasional. Teknik
wawancara ini dianggap akan
lebih efektif mengingat
dengan wawancara, kita dapat
menggali berbagai informasi
dengan lebih fleksibel.
c. Teknik Observasi
Teknik observasi digunakan
untuk memperoleh sejumlah
data tentang konteks nyata
dari pengelolaan program
Vokasional (Spesific Life
Skill) Pasca sekolah. Teknik
observasi ini bertujuan untuk
mengetahui berbagai aktivitas
langsung yang akan
memberikan gambaran data
untuk kepentingan penelitian.
C. HASIL PEMBAHASAN
a. Mengembangkan potensi peserta
didik agar memiliki pengetahuan,
sikap keterampilan dalam berbagai
bentuk kreatifitas, dan seni budaya
baik di lingkungan sekolah
maupun di masyarakat.
b. Memupuk rasa kebersamaan dan
langkah dalam mencapai prestasi.
c. Mengembangkan wawasan yang
luas dalam menciptakan
lingkungan yang kondusif.
Memberikan kesempatan yang
sama untuk sejajar di masyarakat.
Kepala sekolah dalam membuat
program pembelajaran vokasional
(spesific life skill) mengacu kepada
program yang sudah dilakukan
tahun-tahun sebelumnya baik
dalam sistem pembelajaran
maupun dalam jenis rumpun
pilihan yang diambil. Selain itu,
program pembelajaran vokasional
disusun tidak berdasarkan hasil
kajian serta analisis lingkungan
dan dibuat tidak berdasarkan hasil
rumusan dengan guru dan warga
sekolah lainnya termasuk dengan
yayasan jadi hanya dibuat oleh
kepala sekolah sendiri.
Dalam temuan ini peneliti
membagi menjadi tujuh katagori yaitu:
a. Perencanaan
Dalam merencanakan program
vokasional, kepala sekolah
melakukan manajeman komponen
sekolah yaitu kurikulum, sarana-
prasarana, ketenagaan dan
pendanaan.
b. Kurikulum
Dari hasil temuan menunjukkan
bahwa kepala sekolah dalam
merencanakan program
vokasional mengacu kepada
kurikulum SLB tahun 2006, dan
program ini merupakan program
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 144
rutin yang diselenggarakan dari
tahun ke tahun. Program
vokasional yang diambil sebagai
program pilihan adalah Kerumah
tanggaan dengan mengambil
rumpun busana dan paket
keterampilan yang dipilih adalah
tata busana.
Pemahaman kepala sekolah
terhadap kurikulum SLB belum
secara detail hal ini menunjukkan
bahwa penguasaan materi program
vokasional masih berkisar kepada
hasil keterampilannya saja
sedangkan berdasarkan studi
dokumentasi dalam kurikulum
seharusnya disertai dengan
berbagai aspek kepribadian secara
holistik yang harus dikembangkan
melalui program vokasional.
c. Sarana Prasarana
Perencanaan dalam penyiapan
sarana prasarana dilakukan dengan
mengupayakan bantuan dari
berbagai pihak baik dari
pemerintah maupun donatur
lainnya. Sarana prasarana masih
memberdayakan apa yang ada.
Dan berdasarkan pengamatan
penulis sarana prasarana yang ada
sangat terbatas jumlahnya yaitu
berupa empat buah mesin jahit,
mesin obras dan mesin potong
masing-masing satu buah serta
beberapa peralatan jahit lainnya
yang tidak memadai bila
dibandingkan dengan jumlah
murid yang ada.
d. Ketenagaan
Tenaga guru yang berkualifikasi
untuk mengajar program
vokasional masih belum ada dan
kepala sekolah tidak
mengupayakan dari luar karena
dengan pertimbangan dana.
Sedangkan untuk mengatasi
kekurangan guru pada program
keterampilan ini diupayakan
tenaga instruktur dari alumni SLB
itu sendiri. Hal ini menunjukkan
perkembangan yang bagus di
mana peserta didik lebih disiplin
dan termotivasi, karena dalam
komunikasinya lebih mudah untuk
dipahami.
Berdasarkan studi dokumentasi
ternyata guru-guru di SLB-C
jumlahnya sangat terbatas dan bila
dibandingkan dengan rombel yang
ada, kepala sekolah harus
mengajar untuk mengatasi guru
yang tidak hadir. Selain tugasnya
sebagai guru yang diwajibkan
untuk mengajar selama 6 jam, juga
harus menginval ketika guru tidak
hadir dan ditambah lagi dengan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 145
tugas tambahan sebagai kepala
sekolah yang harus memimpin
empat jenjang sekolah sekaligus.
Selain itu untuk peningkatan mutu
guru program vokasional telah
dilakukan penataran dan pelatihan
yang diselenggarakan oleh Balai
Pelatihan Guru SLB, namun
kepala sekolah merasakan hal itu
masih belum cukup, perlu ada
penataran lebih lanjut.
e. Pendanaan
Pendanaan untuk kegiatan
program vokasional, kepala
sekolah mengupayakan dari
bantuan imbal swadaya dan dana
pengembangan program BBE dan
Life Skill dari pemerintah serta dari
donatur lainnya.
f. Pelaksanaan
Berdasarkan temuan di lapangan
bahwa dalam pelaksanaan
Program Vokasional, kepala
sekolah memberikan tanggung
jawab penuh kepada guru untuk
berperan dalam pembelajaran.
Namun dalam kebijakan
pengembangan dan pelaporan
adalah tanggung jawab kepala
sekolah. Implementasi visi sekolah
dalam program vokasional tidak
jelas, tidak tertuang dalam
kegiatan pembelajaran.
Pelaksanaan program cenderung
monoton tidak tampak berbagai
kegiatan inovatif dan kreatif.
Inovasi yang mengarah kepada
pengembangan model dan sistem
pembelajaran tidak tampak. .
g. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan
merupakan bentuk pengembangan
dan evaluasi di mana dalam
pelaksanaan program perlu
mendapat pembinaan agar
program vokasional dapat terarah
sesuai dengan tujuan. Begitu juga
dalam pengawasan tentunya akan
melibatkan kegiatan monitoring
dan evaluasi. Kegiatan ini sangat
penting karena dengan
mengadakan pembinaan dan
pengawasan pengelolaan program
diharapkan lebih efektif dan
efisien.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 146
D. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian
bahwa model pelatihan keterampilan
vokasional bagi penyandang
tunagrahita ringan dapat dikatakan
efektif dalam meningkatkan
kemampuan kerja, seperti
pengetahuan, keterampilan.
Bervariasinya tingkat pendidikan guru
dengan bobot dan tantangan tugas yang
sama dilapangan diperlukan strategi
dan program pembinaan guru,
sehingga dengan kualifikasi yang
belum standar dapat tetap menjalankan
tugas-tugas untuk menghasilkan mutu
pendidikan yang standar.
Dari hasil temuan penelitian
terdapat data bahwa: Kepala sekolah
sudah melakukan kerja sama hanya
dengan orang tua murid namun itu
dilakukan dengan tidak formal, artinya
tidak direncanakan dan dirumuskan
secara formal dan akhirnya kembali
orang tua hanya sebagai outsider pasif.
Dalam upaya melibatkan
masyarakat, kepala sekolah terkesan
masih menunggu dan tidak jemput
bola, artinya kepala sekolah tidak
khusus membuat jalinan kerjasama
apalagi melakukan kemitraan atau
MOU.
Berdasarkan temuan data hasil
penelitian ditemukan bahwa dalam
memasarkan tamatan kepala sekolah
belum membuat perencanaan dan
tindakan yang dirancang secara formal.
Kepala sekolah masih beranggapan
bahwa tugas sekolah hanya meluluskan
tamatan sehingga penyaluran lulusan
adalah kegiatan pasca sekolah.
”Memasarkan tamatan” hanya
dilakukan dari mulut ke mulut saja.
Selain itu bagi tamatan yang akan
bekerja, pihak sekolah hanya
memberikan surat keterangan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju
indonesia yang lebih ramah disabilitas 147
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (1993). Manajemen
Pengajaran secara Manusiawi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Abdurrahman, M. (1999). Pendidikan Bagi
Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Depdikbud. (1994). Kepmendikbud No.
0126/U/1994/Tgl. 19 Mei 1994
tentang Kurikulum Pendidikan Luar
Biasa. Jakarta.
_________. (1996). Himpunan Peraturan
tentang Pendidikan Dasar.
Dikdasmen. Jakarta.
_________. (1998). Kepmendikbud No.
0126/U/1994/Tgl. 19 Mei 1994
tentang Program Pilihan di
SLTPLB dan SMLB. Jakarta.
Depsos. (1994). Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Penyandang Cacat.
Jakarta.
Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences :
The Theory in Practice. Basic
Books, A Division of Harper
Collins Publishers.
Himpunan Peraturan Tentang Pendidikan
Dasar. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Direktorat Pendidikan
Dasar 1996/1997.
Howard and Orlandsky. (1980).
Exceptional Children. Ohio: A Bell
& Howell Company, 42316.
Hunger, J. David and Wheelen, Thomas L.
(2001). Manajemen Strategis.
Yogyakarta: Andi.
Meadow. (1980). Deafness and Child
Development. London : Edward
Arnold Ltd.Mulyana, D. (2001).
Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
_________. (2001). Manajemen Berbasis
Sekolah dan Kepemimpinan
Mandiri Kepala Sekolah. Bandung:
Sarana Panca Karya Nusa.
Suparman dan Dudi. (2003). Pendidikan
Karakter Mandiri dan
Kewirausahaan. Bandung:
Angkasa.
___________. (2004). Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) : Pembaharuan Pendidikan
dalam Undang-undang Sisdiknas
2003. Bandung: Cipta Cekas
Grafika.
Syaodih, N. (2001). Pengembangan
Kurikulum : Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosda
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
2003 beserta Penjelasannya.
Bandung: Wahana Anak Bangsa.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 148
MEMBANGUN KARAKTER SOSIAL EMOSIONAL
CALON GURU SEKOLAH LUAR BIASA MELALUI PORTOFOLIO ELEKTRONIK
Sinta Yuni Susilawati1*,Umi syafiul Ummah21*, Henry Praherdhiono3*,
Rizq Fajar Pradipta4* Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Tanggung jawab utama untuk perubahan guru bertumpu pada program persiapan bagi calon guru di pendidikan
tinggi (Lombardi dan Hunka , 2001). Calon guru di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Malang
memiliki keberagaman dimensi yang komplek. Sehingga memerlukan konten pembelajaran sosial dan
emosional yang mampu mengakuisisi seluruh potensi calon guru dengan efektif dalam rangka memberikan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenali dan mengelola emosi,
mengembangkan kepedulian orang lain, membuat bertanggung jawab keputusan, membangun hubungan, dan
penanganan situasi akademik yang memiliki sikap positif.. Penerapan teknologi SVOD dalam belajar dan
pembelajaran dapat dikategorikan sebagai media portofolio yang simpel dan realistis.
Kata Kunci: calon guru, SVOD, potofolio, sosial, emosional
PENDAHULUAN
Anak-anak, remaja, hingga
manusia dewasa di seluruh dunia pada usia
yang sama masuk ke kelas kelas yang
sesuai dengan usianya masing-masing
dengan kondisi berbeda dan beragam
(Karangwa, Miles, & Lewis, 2010; Mowat,
2010; Schirmer & Casbon, 1995).
Keberagaman tersebut berupa kemampuan
dan tantangan belajar, latar belakang
pengetahuan, budaya, bahasa, pengalaman,
sosial bahkan ekonomi. Pebelajar
memaknai belajar dan pembelajaran
dengan beragam. Secara sosial, pebelajar
tidak hanya memaknai belajar dan
pembelajaran sebagai aktivitas yang
melibatkan diri sendiri saja, melainkan
aktivitas dalam masyarakat yang beragam
seperti berinteraksi dengan guru-guru
ketika di sekolah, berinteraksi dengan
rekan-rekan kerja ketika di perusahaan dan
bermuara membawa nilai-nilai dan ajaran
ke keluarga mereka. Studi terhadap
pengelolaan emosional oleh pebelajar
secara global telah dilakukan. Secara umum
perkembangan emosional pebelajar
mengarah pada tingkat yang sangat tinggi
dari kekerasan di sekolah, bullying, putus
sekolah, bunuh diri remaja, dan perilaku
negatif lainnya (Kawabata, Crick &
Hamaguchi, 2010; Liang, Flisher, &
Lombard, 2007; McCombs, 2004; Zins &
Elias, 2006). Perilaku tersebut sebenarnya
hanya sebuah cara jalan pintas bagi
pebelajar yang tidak mampu menerima
keberagaman sosial dan kurangnya
kesejahteraan emosional. Kondisi tersebut
dibuktikan dengan peningkatan tingkat
depresi, penyakit emosi berlebihan terkait
dengan ekspresi tidak tersalurkan,
ketakutan dan keputusasaan (Cluver,
Bowes, & Gardner, 2010; Hymel,
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 159
Schonert-Reichl, & Miller, 2006; Modrcin-
McCarthy & Dalton, 1996). Hal ini
mempertegas bahwa, temuan dari sejumlah
investigasi penelitian terbaru menunjukkan
bahwa sekolah dan kampus adalah salah
satu konteks sosialisasi yang paling efektif
dalam budaya kita, dan di antara yang
paling berpengaruh dalam membimbing
pembelajaran sosial dan emosional
(Schonert-Reichl, Smith, &Zaidman-Zait,
2006) pembelajaran sosial dan emosional
anak-anak dapat dipupuk melalui kelas dan
upaya intervensi di kelas (Durlak &
Weissberg, 2007; Graczyk, dkk,
2000; Greenberg, Domitrovich, &
Bumbarger, 2001).
Pembelajaran sosial dan
emosional merupakan proses akuisisi yang
efektif dalam memberikan pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang diperlukan
untuk mengenali dan mengelola emosi,
mengembangkan kepedulian orang lain,
membuat bertanggung jawab keputusan,
membangun hubungan yang positif, dan
penanganan situasi akademik yang
memiliki sikap positif (Zins & Elias, 2006,
hal. 1). Pembelajaran sosial dan emosional
memiliki efek positif pada banyak aspek
perkembangan anak, termasuk prestasi
akademik, fisik, mental, dan kesehatan
emosional, perilaku positif terhadap
keberagaman sosial. (Zins & Elias,
2006). Namun, perdebatan terus muncul di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia
penyelenggara Pendidikan Luar Biasa
termasuk di Universitas Negeri Malang
adalah sejauh mana jurusan atau program
studi dapat atau harus diminta untuk
mencurahkan waktu dalam pembelajaran
sosial dan emosional. Walaupun semuanya
menyadari bahwa calon guru pendidikan
luar biasa sangat rentan dengan beban
sosial dan emosional. Sikap positif secara
soasial dan kemampuan mengelola
emosional calon guru Luar Biasa
merupakan faktor penentu dan melandasi
keseluruhan keilmuan yang diperoleh
selama pembelajaran hingga kelak pada
saat mengimplementasikan keilmuan.
Perdebatan yang muncul di tingkat
akademisi adalah pengakuan terhadap
hubungan antara perkembangan sosial dan
emosional dengan keberhasilan akademis
serta implementasi keilmuan di
masyarakat. Perlu disadari bahwa
memperkuat sikap positif mahasiswa dan
mengelola emosi mahasiswa dalam sebuah
komunitas (calon guru di Pendidikan Luar
Biasa) akan meningkatkan motivasi dan
aspirasi akademik, sehingga memiliki efek
besar pada prestasi akademik
(Brock, Nishida, Chiong, Grimm , &
Rimm-Kaufamn, 2008; Zins et al., 2004),
Berbagai kajian telah
mengerucut pada tanggung jawab utama
untuk perubahan guru bertumpu pada
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 160
program persiapan bagi calon guru di
pendidikan tinggi (Lombardi dan Hunka ,
2001). Namun demikian banyak
dokumentasi stabilitas keyakinan calon
guru dan penolakan terhadap
perubahan. Literatur pada umumnya
menunjukkan bahwa pendidik atau calon
guru belum sukses dalam
mempengaruhi keyakinan dan sikap yang
membentuk watak dan menginformasikan
kemampuan diri (Renzaglia , Hutchins, dan
Lee, 1997). Bahkan,Renzaglia dan
koleganya memaparkan ketidak siapan
calon guru secara emosional adalah
ketidaksiapan calon pendidik guru dalam
pendidikan luar biasa sehingga membuat
dampak pada keyakinan dan sikap calon
guru tentang sekolah luar biasa dalam
konteks mengajar, belajar, pembelajaran
dan pebelajar yang menyandang
disabilitas ( Renzaglia , Hutchins , dan Lee,
1997, hal. 360).
Pembelajaran bagi calon guru
di pendidikan luar biasa adalah usaha untuk
membawa pebelajar luar biasa berpindah
dari margin menuju inti yang membantu
pebelajar memahami disabilitas
(keluarbiasaan) sebagai hanya fenomena
sosial (winzer.2002) . Hal ini akan
membawa sikap sosial bagaimana
memaknai disabilitas diciptakan dan
diabadikan oleh masyarakat, memaknai
secara sosial, dan bagaimana orang
menafsirkan disabilitas. Portofolio bagi
calon guru digunakan sebagai salah satu
alat untuk memberikan titik acuan untuk
membantu siswa mempelajari disabilitas
pada cara-cara baru melalui analisis
terhadap persepsi sosial yang
berlaku. Untuk merekonstruksi pandangan
secara sosial, asumsi dan keyakinan tentang
disabilitas secara umum ditantang melalui
analisis penggambaran, Calon guru di
pendidikan luar biasa harus mampu
merefleksi diri, dan memperkaya membaca
dan mengakses sumber belajar. Hingga
pada akhirnya calon guru pada pendidikan
luar biasa memiliki sikap positif secara
sosial dan emosional yang baik yang
melandasi seluruh ketrampilan yang
dikuasainya. Hasil penelitian dan kajian
menunjukkan bahwa penggunaan
portofolio merupakan salah satu praktek
menjanjikan bahwa dapat berfungsi untuk
memodifikasi keyakinan sehingga calon
guru di pendidikan luar biasa akan menjadi
lebih responsif dan akomodatif.
Video self-modeling (VSM)
adalah jenis intervensi dikelas yang telah
dikembangkan untuk membantu pebelajar
dalam melihat diri mereka sukses dalam
berbagai domain (Schmidt & Raacke.
2013). Pada calon guru pendidikan luar
biasa, perlu dikenalkan modifikasi
teknologi VSM yang berupa Self Video On
Demand (SVOD). Secara umum SVOD
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 161
merupakan bentuk aktualisasi diri bagi
calon guru agar mampu melihat
perkembangan diri sendiri selama belajar
dalam sebuah pembelajaran. Banyak
penelitian yang menggunggulkan teknologi
Self Video (Video Diri). Penelitian
umumnya dilakukan kepada pebelajar yang
memiliki disabilitas dan belum dilakukan
bagi pebelajar yang memiliki identitas
sebagai calon guru bagi siswa yang
memiliki disabilitas. Salah satu penelitian
video diri adalah penelitian yang dilakukan
oleh Schmidt & Raacke pada tahun 2013
untuk menganalisis efek dari self video
pada pebelajar yang memiliki disabilitas.
Penelitian tersebut memiliki fokus khusus
pada peningkatan perilaku belajar dan
keterlibatan dalam pembelajaran. Hasil
menunjukkan bahwa terdapat perubahan
perilaku anak yang memiliki disabilitas
mengalami peningkatan secara signifikan
dengan pebelajar lain yang diberlakukan
sebagai kontrol hari. Perubahan tersebut
berupa meningkatnya kemampuan belajar
dan pembelajaran. SVOD merupakan
teknologi yang memodidifikasi VSM untuk
anak yang memiliki disabiltas yang
dijadikan perangkat asesmen portofolio
bagi calon guru pada pendidikan luar biasa.
Tentunya calon guru pada pendidikan luar
bias secara emosioanl memiliki kedekatan
dengan pebelajar yang memiliki disabilitas.
Secara khusus calon guru harus memiliki
pengalaman belajar dalam penggunaan
teknologi self video untuk kebutuhan
belajar dan pembelajaran. Secara umum
calon guru akan mampu melihat
perkembangan diri sendiri secara
portofolio, sehingga calon guru memiliki
sikap positif dalam menyalurkan dan
mengekspresikan emosional serta sebagai
cara berbagi kemampuan melalui wahana
SVOD.
Penerapan teknologi SVOD dalam
belajar dan pembelajaran dapat
dikategorikan sebagai kegiatan akademik
yang simpel dan realistis. SVOD tidak
membutuhkan perangkat perekam video
sekelas broadcast poket maupun
professional. SVOD haya membutuhkan
software dan hardware minimalis.
Gambaran umum SVOD yang diterapkan
dalam tulisan ini merupakan teknologi
presentasi mandiri yang hanya berbantuan
personal computer yang memiliki system
operasi tertentu. SVOD juga merupakan
produk akhir dari software yang memiliki
kemampuan dan spesifikasi perangkat
perekam layar monitor dikomputer.
Kemudahan yang diberikan oleh software
SVOD adalah Calon guru pendidikan luar
biasa tidak perlu menggunakan kamera
khusus dan perangkat editing video khusus
dalam mengembangkan portofolio. Calon
guru pendidikan luar biasa hanya perlu
menyiapkan sikap sosial berbagi dan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 162
mengkspresikan emosi seakan ingin orang
lain melihat portofolio yang dikembangkan
calon guru pada layar pada personal
komputer masing-masing. Calon guru
pendidikan luar biasa hannya perlu
mengaktifkan webcam, mikrofon internal
pada computer. Kemudahan SVOD
adalah kemampuan untuk menambahkan
file teks untuk captioning dan berbagi video
audiens lainnya. Video dapat disimpan
dalam format MP4, AVI, FLV atau dan
kemudian upload ke web space.
METODE
a. Analisis
Mahasiswa pada Jurusan
Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri
Malang telah memiliki pengetahuan dasar-
dasar menggunakan komputer.
Kemampuan secara teknis berupa
penggunaan software aplikasi dan hardware
komputer cukup bervariatif. Mahasiswa
umumnya telah mampu memanfaatkan
komputer sebagai media tertentu yang
dapat digunakan dalam pembelajaran
secara off-line maupun on-line. Mahasiswa
memiliki literasi yang baik terhadap
pembuatan video diri untuk aplikasi media
sosial. Literasi terhadap perkembangan di
bidang Teknologi Informasi cukup
memadai dan kemampuan
mengkomunikasikan cukup baik, namun
literasi terhadap sumber-sumber belajar
seperti jurnal, penelitian, paper dll masih
sangat minim. Indikatornya adalah
kepemilikan komputer dan penggunaan
laboratorium internet dijurusan
menunjukkan peningkatan penggunaan
yang sangat pesat untuk mengakses media
sosial. Namun file-file yang ada dalam
komputer mahasiswa maupun komputer
laboratorium kurang menunjang
pendidikan mereka.
Mahasiswa merupakan pebelajar
perlu mengkonstruksi kemampuan mereka
sendiri secara aktif. Akses on-line dengan
kecepatan yang terbatas membuat calon
mahasiswa pendidikan luar biasa kesulitan
memperoleh informasi berbentuk video.
Sehingga memerlukan video yang
dikembangkan secara mandiri dengan yang
memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilan tambahan dari web-web di
Internet non-video dalam rangka
menunjang kelancaran dalam penyelesaian
tugas-tugasnya. Secara umum terdapat
kecenderungan membuka media sosial
yang berlebihan, memiliki perilaku
ketergantungan terhadap bahan ajar dosen,
serta perilaku tidak nyaman dan cenderung
ketakutan yang berlebihan terhadap
kegiatan evaluasi jika dilakukan dengan
pengawasan dosen. Ketergantungan dan
Ketakutan mahasiswa secara kualitatif
masih sulit untuk diungkapkan latar
belakangnya.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 163
Adapun Pola ketergantungan dari
calon-pebelajar tersebut cukup
menghawatirkan. Hal ini terlihat dalam
perilaku mahasiswa sebagai berikut 1)
Ketergantungan terhadap kehadiran sosok
dosen. 2)Ketergantungan terhadap Bahan
Ajar dosen. 3) Ketergantungan terhadap
cara berfikir dan berekspresi dosen. 4)
Ketergantungan terhadap batas akhir
penjadwalan.
Konteks pengembangan adalah
membangun sistem yang dapat membantu
pelaksanaan pembelajaran bagi pebelajar di
lingkungan Universitas Negeri Malang.
Kegiatan belajar dan pembelajaran bagi
pebelajar di Universitas Negeri Malang
telah menerima karakteristik lingkungan
belajar off-line (pertemuan kelas,
konsultasi personal, diskusi tentang
permasalahan khusus dll) dan dengan
karakteristik lingkungan belajar on-line
(forum pembelajaran umum, forum
kelompok, diskusi umum, diskusi
kelompok, ruang dokumen material
pembelajaran, presentasi tayang tunda, dll).
Sehingga perlu dikembangkan sebuah
model sistem cyberwellnes terhadap
pengelolaan akses internet bagi pebelajar
b. Prosedur Perkuliahan dengan
SVOD sebagai portofolio
Pengembangan prosedur
pertemuan awal dari sistem atau untuk
materi yang baru. Pada perkuliahan awal
biasanya dosen belum mengetahui
penguasaan mahasiswa atas substansi mata
kuliah. Model ini efisien dari segi waktu
pelaksanaannya, tetapi waktu interaksi
antara mahasiswa dengan mahasiswa atau
dengan dosen menjadi sedikit. Model
terdiri atas lima langkah, yaitu penyajian
materi oleh dosen, diskusi kelompok,
pemberian tes/kuis, pelaksanaan silang
tanya untuk meningkatkan kemampuan,
dan pemantapan oleh dosen.
Gambar SVOD pada perkuliahan tahap
awal oleh dosen
Pengembangan prosedur
perkuliahan inti menjadikan setiap
mahasiswa terlibat secara aktif. Masing-
masing beraktualisasi melalui interaksi,
keterlibatan, dan pemeranan diatur secara
bersama antara dosen dan mahasiswa.
Pengembangan prosedur
perkuliahan tahap akhir menekankan
tanggung jawab pembelajaran pada
mahasiswa yang diwujudkan dalam bentuk
portofolio dengan memanfaatkan teknologi
SVOD. Model ini lebih menonjolkan
kemampuan individual atau kemampuan
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 164
bekerja dalam kelompok. Kekuatan
pengembangan terletak pada interaksi yang
tinggi, baik antara dosen dengan mahasiswa
maupun mahasiswa dengan mahasiswa.
Untuk mampu melakukan hal seperti itu,
mahasiswa dipastikan harus mempelajari
bagian-bagian sebelumnya melalui hal-hal
yang telah dilakukan dan terekam. Hasil
akhir portofolio mahasiswa tidak akan
maksimal jika mahasiswa tidak memiliki
kesiapan sikap sosial yang positif dan
pengeaturan emosional yang baik.
Gambar SVOD pada perkuliahan tahap
akhir oleh mahasiswa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil portofolio elektronik melalui
teknologi SVOD sebagai media
pembelajaran sosial dan emosional bagi
calon guru sekolah luar biasa yang
diimplementasikan pada matakuliah
Aplikasi Komputer di S1 Jurusan
Pendidikan Luar biasa Universitas Negeri
Malang mendapatkan respon yang positif,
sehingga layak untuk digunakan dalam
penelitian ke depan.
Calon guru dapat menggunakan
SVOD untuk merekam presentasi produk
matakuliah yang dikembangkan,
memberikan demonstrasi cara
mengembangkan produk, mampu dijadikan
wujud orientasi kehadiran dalam kelas,
dapat digunakan sebagai wahana bercerita
secara digital, dan bias dijadikan sarana
umpan balik pada tugas portofolio, dapat
menciptakan tugas yang mengharuskan
dengan penjelasan yang rinci. Beberapa
calon guru telah mengeksploitasi software
dan menyatakan bahwa dukungan teknis
bahwa SVOD memberikan cara yang
sangat efisien untuk menunjukkan
eksistensi penggembang dan sara berbagi
antar calon guru sekolah luar biasa,
sehingga secara kolaborasi mereka
menemukan bagaimana untuk
memecahkan masalah dan tugas matakuliah
aplikasi komputer.
SVOD dalam matakuliah aplikasi
computer sangat berguna untuk
memaparkan learning object, penyajian
kuliah dalam bentuk peta konsep serta
memberikan peluang umpan balik terhadap
pebelajar. SVOD berupa video yang
dikemas sedemikian rupa hingga semua
player mampu membuka dan dapat dibuat
dan dilihat kapan saja dan dimana saja oleh
baik oleh PC, tablet maupun Handphone
pengguna. Fleksibiltas yang diwarkan juga
sangat baik yaitu dapat disimpan di
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 165
Perangkat Keras secara offline maupun
online. Sehingga ada dan tidaknya jaringan
internet tetap memungkinkan
mahasiswa/calon guru sekolah luar biasa
tetap belajar atau yang memiliki koneksi
internet dan browser. Pebelajar dapat
melihat sajian pada waktu yang dipilih
sendiri atau nyaman bagi mereka, sehingga
media ini dapat juga digunakan dengan baik
dalam pembelajaran online dan
hybrid. Video dapat dilihat dan diulang
untuk referensi oleh calon guru, sehingga
hasil produk perkuliahan calon guru sangat
fleksibel. Secara umum, SVOD
menciptakan lingkungan yang lebih
menarik bagi calon guru sekolah luar biasa
baik secara online maupun off-line,
memberikan kuliah atau demonstrasi lebih
pribadi melalui copy file,
Salah satu keluhan yang mincul
pada SVOD adalah software tidak interaktif
yang memberikan fasilitas menyisipkan
kuis dan fitur interaktif
lainnya. Interaktivitas mungkin bisa
menjadi langkah berikutnya untuk alat
perekaman layar gratis. Konten
pembelajaran aplikasi computer pada
Jurusan Pendidikan Luar biasa dalam
SOVD memiliki potensi untuk menjadi
lebih kaya, lebih menarik, dan lebih mudah
diakses oleh semua pengguna dari kuliah
tatap muka atau dokumen teks sederhana
atau gambar.Karena kemudahan
penggunaan, SOVD tidak banya
membutuhkan ketrampilan khusus.
Simpulan
Konteks pembelajaran sosial dan
emosional pada portofolio dengan
teknologi SVOD adalah melihat,
membenahi dan berbagi sikap sosial dan
emosional calon guru di lingkungan
pendidikan luar biasa. Calon guru dapat
menggunakan SVOD untuk merekam
ceramah, memberikan demonstrasi, sebuah
orientasi kehadiran baik untuk kelas online
maupun offline, bercerita secara digital, dan
memberikan umpan balik pada tugas
pebelajar. Teknologi SVOD sangat
menarik untuk tujuan pembelajaran karena
sangat mudah digunakan dan menyediakan
cara yang paling mudah untuk
mengaktualisasikan diri dalam wujud
presentasi maupun tutorial melalui video
dan audio capture. SVOD juga memberikan
dukungan teknis Screencasting bagi calon
guru di lingkungan pendidikan luar biasa
dalam konteks pembelajaran yang
memberikan cara efisien untuk
menunjukkan kepada pengguna dan
pebelajar lain bagaimana cara untuk
memecahkan suatu masalah.
SVOD sangat berguna untuk
menunjukkan dan menjelaskan objek
belajar, penyajian kuliah atau pelajaran
singkat, atau memberikan umpan balik
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 166
karya calon guru. SVOD berupa video
tayang tunda yang fleksibel sehingga dapat
dibuat dan dilihat kapan saja dan dimana
saja oleh PC pengguna baik secara offline
maupun yang memiliki koneksi internet dan
browser. Pebelajar (calon guru) dan
pengempu matakuliah (dosen) dapat
melihat sajian pada waktu yang nyaman
bagi mereka, sehingga mereka bekerja
dengan baik dalam pembelajaran. Video
dapat dilihat dan diulang untuk referensi
oleh Pebelajar, sehingga mereka bekerja
dengan baik untuk menyajikan pelajaran
atau demonstrasi instruktif untuk pebelajar
lain. Secara umum, SVOD menciptakan
lingkungan yang lebih menarik bagi
Pebelajar yang bekerja secara online
maupun off-line, meningkatkan sikap sosial
berbagi pengalaman dan pengendalian
emosi melalui penyaluran dan ekspresi
bebas dalam mendemonstrasi kemampuan
pribadi melalui presentasi face-to-face
secara tayang tunda.
DAFTAR PUSTAKA
Brock, L. L., Nishida, T. K., Chiong, C.,
Grimm, K. J., & Rimm-Kaufamn,
S. E. (2008). Children's
perceptions of the classroom
environment and social and
academic performance: A
longitudinal analysis of the
contribution of the Responsive
Classroom approach. Journal of
School Psychology, Vol46,
Hal.129-149.
Cluver, L., Bowes, L, & Gardner, F.
(2010). Risk and protective factors
for bullying victimization among
AIDS-affected and vulnerable
children in South Africa. Child
Abuse & Neglect, 34, 793-803.
Durlak, J. A. & Weissberg, R. P. (2007).
The impact of after school
programs that promote personal
and social skills. Retrieved March
18th,
2008, http://www.casel.org/pub/ar
ticles.php
Graczyk. P. A., Weissberg, R. P., Payton, J.
W., Elias, M. J., Greenberg, M. T.,
& Zins, J. E. (2000). Criteria for
evaluating the quality of school-
based social and emotional
learning programs. In R. Bar-On &
J. D. Parker (Eds.), The handbook
of emotional intelligence: The
theory and practice of
development, evaluation,
education, and application--at
home, school, and in the
workplace (Hal. 391-410).
SanFrancisco: Jossey-Bass.
Greenberg, M. T. (2004). Current and
future challenges in school-based
prevention: The researcher
perspective. Prevention Science,
Vol 5, Hal 5-13.
Greenberg, M. T., Domitrovich, C., &
Bumbarger, B. (2001). The
prevention of mental disorders in
school aged children: Current state
of the field. Prevention &
Treatment, 4, Article 1a. Retrieved
February 13th, 2008,
from http://www.apa.org/psycarti
cles/
Hymel, S., Schonert-Reichl, K. A., &
Miller, L. D. (2006). Reading,
‘riting, and relationships:
Considering the social side of
education. Exceptionality
Education Canada, Vol16, Hal
149-192.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 167
Katz. j. porath. m. 2013. teaching to
diversity: creating compassionate
learning communities for diverse
elementary school students.
international journal of special
education
Karangwa, E., Miles, S., & Lewis, I.
(2010). Community-level
responses to disability and
education in Rwanda.
International Journal of Disability,
Development and Education, Vol
57, Hal. 267 — 278
Kawabata, Y., Crick, N. R., & Hamaguchi,
Y. (2010). The role of culture in
relational aggression:
Associations with social-
psychological adjustment
problems in Japanese and US
school-aged children.
International Journal of
Behavioral Development, Vol
34, Hal. 354-362.
Lombardi, T. P. and Hunka, N.
NJ.(2001).Preparing general
education teachers for inclusive
classrooms:Assessing the
process.Teacher Education and
Special Education, Vol 24, Hal.
183-197.
McCombs, B. L (2004). The learner-
centered psychological principles:
A framework for balancing
academic achievement and social-
emotional learning outcomes. In J.
E. Zins, R. P. Weissberg, M. C.
Wang, & H. J. Walberg
(Eds.), Building academic success
on social and emotional
learning (Hal. 23-39). New York:
Teachers College Press.
Modrcin-McCarthy, M.A., & Dalton, M.
M. (1996). Responding to healthy
people 2000: Depression in our
youth, common yet
misunderstood. Issues in
Comprehensive Pediatric Nursing,
Vol 19, Hal 275-290.
Mowat, J. G. (2010). Inclusion of pupils
perceived as experiencing social
and emotional behavioural
difficulties (SEBD): affordances
and constraints. International
Journal of Inclusive Education,
Vol 14, Hal. 631— 648.
Renzaglia, A., Hutchins, M., and Lee, S.
(1997) The impact of teacher
education on the beliefs, attitudes,
and dispositions
of preservice special
educators. Teacher Education and
Special Education, 20, 360, 377.
Schirmer, B. R., & Casbon, J.
(1995). Inclusion of children with
disabilities in elementary school
classrooms. Reading Teacher, Vol
49, Halaman 66 - 69.
Schonert-Reichel, K. A., Smith, V. &
Zaidman-Zait, A. (2006). Can an
infant be a catalyst for
change?Effectiveness of the
“Roots of Empathy” program in
fostering the social-emotional
development of primary grade
children. Manuscript submitted for
publication.
Winzer. M.A. (2002). portfolio use in
undergraduate special education.
international journal of special
education, vol 17, Vol.1.
Zins, J.E., & Elias, M.E. (2006). Social and
emotional learning. In G.G. Bear
& K.M. Minke (dkk.), Children's
Needs III, (hal 1-13). National
Association of School
Psychologists.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 168
KAJIAN EVALUASI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA
Munawir Yusuf, Erma Kumalasari, Mahardika Supratiwi, Arsy Anggrellanggi
Special Education Department, Faculty of Teacher Training and Education
Universitas Sebelas Maret, Solo Indonesia
Abstract: Pendidikan inklusif merupakan strategi efektif dalam menkampanyekan
pendidikan yang universal. Melalui pendidikan inklusif akses pendidikan bagi anak-anak
disabilitas semakin terbuka sehingga hak pendidikan bagi mereka semakin terpenuhi. Di
Indonesia pendidikan inklusif telah dikembangkan sejak tahun 2003. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengkaji implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan fokus pada
evaluasi kebijakan pendidikan inklusif. Responden penelitian adalah perangkat pelaksana
pendidikan inklusif di 16 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia yang terdiri dari unsur Dinas
Pendidikan yang menangani pendidikan inklusif, unsur Kelompok Kerja (Pokja) pendidikan
inklusif, Pengawas, Kepala Sekolah Inklusi, Kepala SLB, GPK, dan Guru SD. Pengumpulan
data dilakukan menggunakan instrumen (kuesioner), interviu, data dokumentasi, observasi
lapangan, dan seminar dengan mengundang ahli/pakar/praktisi/ pengambil kebijakan dalam
bidang pendidikan inklusif.
Hasil penelitian disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan pendidikan inklusif di tingkat
Pokja Kabupaten/Kota telah terlaksana dengan baik, dengan rerata capaian pelaksanaan
pada kategori baik (75,18%); (2) Pelaksanaan pendidikan inklusif di satuan pendidikan tingkat
dasar dan menengah terlaksana dengan cukup baik, dengan rerata capaian pelaksanaan pada
kategori Sedang (60,8%); (3) Implementasi kebijakan dan regulasi pendidikan inklusif di
daerah masih tergolong kurang karena masih memiliki beberapa hambatan, (4) Rekomendasi
dalam meningkatkan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia adalah dengan
dilaksanakan pelatihan bagi pelaku pendidikan inklusi, pemberian bantuan sarana dan
prasarana bagi siswa ABK, dilakukan perbaikan sistem regulasi atau penempatan tenaga kerja
pendidik, adanya kerjasama oleh pihak inklusif dengan instansi terkait, dan penambahan
jumlah GPK. Keywords: learning braille introduction, blind students.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isu tentang pendidikan inklusif telah
menjadi tema penting dalam peraturan
pendidikan di Indonesia. Tidak saja karena
isu tersebut merupakan bagian dari
‘international issues’ yang selalu
digelorakan oleh negara-negara maju agar
negara-negara berkembang ikut
meratifikasi berbagai konvensi dunia dalam
rangka mewujudkan hak pendidikan untuk
semua anak, akan tetapi juga semakin
disadari bahwa membangun pendidikan
yang luas dan bermutu, tidak mungkin
dilakukan secara diskriminatif hanya
mengutamakan mereka yang ‘normal’
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 169
dan/atau yang memiliki potensi di atas rata-
rata atau luar biasa.
Di negara-negara yang telah lama
menerapkan program pendidikan inklusif,
terutama di negara-negara maju,
pendidikan inklusif dimaknai secara lebih
luas dalam konteks kultur sekolah yang
menekankan pada bagaimana sekolah,
kelas, dan struktur kurikulum didesain
untuk semua anak dapat mengikuti
pembelajaran dan berkembang secara
optimal (Kugelmass, 2004). Dalam konteks
yang lebih luas, pendidikan inklusif dapat
dimaknai sebagai satu bentuk reformasi
pendidikan yang menekankan sikap anti
diskriminasi, perjuangan kesempatan hak,
keadilan dan perluasan akses pendidikan
bagi semua, peningkatan mutu pendidikan,
upaya strategis dalam penuntasan wajib
belajar 9 tahun, serta upaya mengubah
sikap masyarakat terhadap anak
berkebutuhan khusus (Sunaryo, 2009).
Dukungan terhadap Pendidikan
Inklusif di Indonesia, ditunjukkan dengan
adanya regulasi Permendiknas No. 70
Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
Bagi anak yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa. Selain itu agar pendidikan
inklusif diimplementasikan dalam setiap
jenjang pendidikan, regulasi yang
mendukung pendidikan inklusif adalah
Surat Edaran Direktorat Jenderal
Dikdasmen Depdiknas Nomor.
380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003:
”Setiap kabupaten/kota diwajibkan
menyelenggarakan dan mengembangkan
pendidikan inklusif di sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari ; SD,
SMP, SMA, SMK”.
Penelitian tentang pendidikan
inklusif di Indonesia juga telah banyak
dilakukan. Penelitian-penelitian terkait
dengan pendidikan inklusif dilakukan salah
satunya dengan tujuan untuk mengetahui
peta pelaksanaan pendidikan inklusif di
Indonesia guna menghasilkan sebuah
sistem penyelenggaraan pendidikan
inklusif berbasis riset yang didukung oleh
regulasi, norma, standar, prosedur, dan
kriteria (NSPK), guru yang kompeten dan
profesional, aksesibilitas lingkungan dan
fisik, serta tumbuhnya budaya inklusif
dalam pembelajaran di setiap sekolah. Hal
ini juga menjadi salah satu cara untuk
melakukan evaluasi terhadap penerapan
kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 8
tahun 2015 tentang tugas dan fungsi,
disebutkan pada pasal 452 bahwa
Direktorat Pembinaan PK-LK bertugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang
pembinaan pendidikan khusus dan layanan
khusus serta satuan pendidikan Indonesia di
luar negeri. Salah satu dari sepuluh program
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 170
prioritas yang dicanangkan oleh Direktorat
Pembinaan PK-LK adalah program
pendidikan inklusif. Program ini telah
dilaksanakan secara konsisten lebih dari 3
tahun dan tetap dilanjutkan untuk jangka
waktu minimal sampai dengan 2019 sejalan
dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dalam rangka peningkatan capaian
kinerja terhadap program tersebut, maka
perlu dilakukan evaluasi sehingga proses
perbaikan dapat terus dilakukan. Saai ini
sebanyak 23 propinsi dan 70
Kabupaten/Kota telah menyelenggarakan
gerakan pembudayaan pendidikan inklusif.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan
pendidikan inklusif perlu dilakukan untuk
memperoleh data hasil evaluasi dari
implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam
tujuannya mengkaji sejauh mana penerapan
kebijakan pendidikan inklusif, maka
dilakukan evaluasi terhadap implementasi
kebijakan pendidikan inklusi di seluruh
Indonesia.
METODE
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif
dengan empat hal yang dikaji yaitu: (1)
implementasi pendidikan inklusif di tingkat
Pokja Kabupaten/Kota, (2) implementasi
pendidikan inklusif di satuan pendidikan
tingkat dasar dan menengah, (3)
permasalahan dalam implementasi
pendidikan inklusif di daerah, dan (4)
rekomendasi untuk pengembangan
pendidikan inklusif di Indonesia.
Responden penelitian adalah
perangkat pelaksana pendidikan inklusif di
16 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTB,
Maluku) yang terdiri dari unsur Dinas
Pendidikan yang menangani pendidikan
inklusif, unsur Pokja pendidikan inklusif,
Pengawas, Kepala Sekolah, Kepala SLB,
GPK, dan Guru SD. Pengumpulan data
dilakukan menggunakan instrumen
(kuesioner) dan interviu untuk
mendapatkan evaluasi dengan menganalisis
kekuatan (strength), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), dan
ancaman (threats) mengenai pelaksanaan
program pendidikan inklusif di Indonesia
yang terwakili dari sampel penelitian. Data
dokumentasi dan observasi lapangan juga
digunakan untuk mendukung proses
pengumpulan data. Selain itu, juga
dilakukan seminar dengan mengundang
ahli/pakar/praktisi/pengambil kebijakan
dalam bidang pendidikan inklusif untuk
mempertajam analisis dan mendapat
masukan mengenai evaluasi kebijakan
program pendidikan inklusif.
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 171
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi pendidikan inklusif di
tingkat Pokja Kabupaten/Kota
Tabel 1. Rekapitulasi capaian program-
program implementasi pendidikan inklusif
di tingkat Pokja Kabupaten/Kota
Program
Rata-
rata
(%)
Program peningkatan kapasitas
SDM penyelenggara
pendidikan inklusif
73,2
Program kebijakan dan regulasi
terkait penyelenggaraan
pendidikan inklusif
70
Proram membangun kemitraan
melaui penguatan networking
dalam rangka menciptakan dan
kepedulian terhadap pendidikan
inklusif
75,4
program piloting penyelenggara
pendidikan inklusif
76,4
Program pusat data, informasi,
dan publikasi
69,8
Program penataan dan
penguatan sistem dukungan
pendidikan inklusif
71,9
Program dokumentasi dan
pelaporan
79,2
Program manajemen pokja
inklusi dan grand design
pengembangan pendidikan
inklusi
70,4
Program monitoring dan
evaluasi penyelengaraan
pendidikan inklusif
64,9
Program pencanangan program
sebagai
Provinsi/Kabupaten/Kota
inklusif
90,3
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui
bahwa program implementasi pendidikan
inklusif di tingkat Pokja Kabupaten/Kota
yang memiliki capaian tertinggi adalah
program pencanangan program sebagai
Provinsi/Kabupaten/Kota Inklusif (90,3%).
Sedangkan program yang memiliki capaian
terendah adalah program monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan pendidikan
inklusif (64,9%).
Di Indonesia pendidikan inklusif
telah dikembangkan luas di seluruh
provinsi sejak tahun 2003 setelah adanya
payung hukum dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ditegaskan bahwa pendidikan khusus bagi
peserta didik yang mengalam kelainan
fisik, mental, emosi dan sosial, serta mereka
yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa, dapat diselenggarakan
secara inklusif di sekolah umum dan/atau
berupa satuan pendidikan khusus. Kini
jumlah sekolah inklusi SD, SMP,
SMA/SMK telah mencapai lebih dari 3000
sekolah (Direktorat Pembinaan PKPLK,
dalam Yusuf, 2016).
Namun, kebijakan tersebut belum
dapat sepenuhnya terlaksana dengan baik
karena minimnya pelaksanaan monitoring
dan evaluasi implementasi pendidikan
inklusif di masing-masing daerah dengan
hasil 64,9%. Hal ini menyebabkan
implementasi yang seharusnya sudah dapat
terlaksana dengan baik dengan adanya
rekomendasi dari hasil evaluasi menjadi
hanya sekadarnya berdasarkan persepsi
tentang pendidikan inklusif dari masing-
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 172
masing sekolah pelaksana pendidikan
inklusif.
Implementasi pendidikan inklusif di
satuan pendidikan tingkat dasar dan
menengah
Tabel 2. Rekapitulasi Total Capaian
Sekolah Inklusi
Kriteria %
Sangat Kurang 0 0
Kurang 5 6
Sedang 33 40
Baik 43 53
Sangat Baik 1 1
Total 82 100%
Rata-rata
Capaian
60.8%
(Sedang)
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa
dari 82 sekolah inklusif, rata-rata memiliki
total capaian yang berada pada kategori
Sedang (60,8%).
Tabel 3. Rekapitulasi
Implementasi Pendidikan Inklusif
Aspek %
Kelembagaan 62
Kurikulum 71,7
Pembelajaran 53,1
Penilaian dan Kenaikan Kelas 60,9
Keiswaan 54,6
Sumber Daya Manusia 45,8
Sarana dan Prasarana 22,1
Peran Serta Masyarakat 50,8
Pembiayaan 45,4
Berdasarkan tabel 3, aspek
kurikulum merupakan aspek implementasi
pendidikan inklusif yang memiliki
rekapitulasi paling tinggi (71,1%).
Sedangkan aspek sarana dan prasarana
merupakan aspek yang memiliki
implementasi paling rendah (22,1%).
Terlaksananya pendidikan inklusif
dengan baik salah satunya dengan
terpenuhinya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan baik oleh pendidik maupun
peserta didik, khususnya siswa ABK.
Berdasarkan hasil tersebut, capaian
sekolah inklusi berada di tingkat sedang
(60,8%) yang berarti implementasi
pendidikan inklusif di sekolah belum
terlaksana dengan baik.
Meskipun kurikulum sekolah
inklusi yang dimiliki cukup baik (71,1%),
namun sarana dan prasarana yang
dibutuhkan oleh siswa ABK belum
mencukupi dalam tercapainya pendidikan
yang aksesibel. Salah satu kriteria sekolah
dalam melaksanakan pendidikan inklusif
adalah aksesibilitas yang memadahi bagi
siswa ABK, sedangkan hasil menunjukkan
sangat rendahnya sarana dan prasarana
(22,1%) sekolah inklusi. Maka hal ini juga
akan berdampak pada rendahnya
implementasi pendidikan inklusif.
Permasalahan dalam implementasi
pendidikan inklusif di daerah
Tabel 4. Hasil Focused Group
Discussion Kelompok 3
tentang Hambatan-Hambatan
yang Dihadapi oleh Sekolah
Inklusif
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 173
No. Permasalahan Frekuensi Persentase
1 Jumlah Guru Pendidikan
Khusus terbatas
11 10%
2 Aksesibilitas bagi ABK masih kurang
11 10%
3 Prasarana yang tidak
memadai
10 9%
4 Kurangnya pendanaan untuk siswa ABK
8 7%
5 Paradigma buruk masyarakat,
guru, dan orang tua tentang
keberadaan ABK di sekolah reguler
7 6%
6 Guru tidak memiliki latar
belakang GPK
5 5%
7 Sulit mendapatkan tenaga kerja yang berlatar belakang
GPK
5 5%
8 Ketersediaan ruang khusus bagi ABK masih kurang
5 5%
9 Belum ada kurikulum khusus
inklusi
5 5%
10 Orang tua malu dengan kondisi anak yang mengalami
keterbelakangan
4 4%
11 Kurangnya informasi
orangtua dan masyarakat tentang sekolah inklusi
4 4%
12 Kompetensi guru dalam
menangani ABK masih kurang
4 4%
13 Guru GPK kesulitan
mengurus sertifikasi
4 4%
14 Pemahaman orangtua dan masyarakat tentang ABK
masih rendah
3 3%
15 Tidak ada ujian akhir khusus bagi ABK
3 3%
16 Ijazah ABK yang berbeda
dari siswa lain
3 3%
17 Sekolah tidak mau menerima siswa ABK
3 3%
18 Kurangnya kesadaran orang
tua ABK untuk
menyekolahkan anak
2 2%
19 Jarak rumah dan sekolah
terlalu jauh
2 2%
20 Sekolah reguler belum
memahami tentang pendidikan inklusi
2 2%
21 Diskriminasi pada siswa
ABK oleh siswa, guru, dan
sekolah
2 2%
22 Sekolah belum berani
menyatakan anak didik yang mengalami lamban belajar
dan kesukaran belajar kalau
anak itu ABK karena tidak ada dokter psikolog.
2 2%
23 Tidak ada bimbingan teknis
bagi guru yang menangani
ABK
1 1%
24 Dukungan dari warga sekolah
belum maksimal
1 1%
25 Orangtua tidak mampu
menyekolahkan ABK
1 1%
26 Sekolah belum memasukan
inklusi di rkas
1 1%
27 Keikutsertaan guru dalam
kegiatan yang berkaitan
1 1%
pendidikan inklusif masih
kurang
28 Guru GPK merasa tidak dihargai
1 1%
Jumlah 111 100%
Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui
bahwa hambatan yang paling banyak
dihadapi oleh sekolah inklusif menurut
pernyataan para stakeholder dari 16
Kabupaten/Kota adalah aksesibilitas
sekolah bagi anak berkebutuhan khusus
(10%), jumlah guru pendidikan khusus
yang terbatas (10%), prasarana yang tidak
memadai (9%), kurangnya pendanaan
untuk siswa ABK (7%), dan paradigma
buruk masyarakat, guru, dan orang tua
tentang keberadaan ABK di sekolah
reguler (6%).
Aksesibilitas kembali menjadi
hambatan yang cukup besar bagi sekolah
yang melaksanakan pendidikan inklusif.
Aksesibilitas merupakan sarana dan
prasarana yang utama dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif, salah satunya adalah
dengan penyediaan guru yang kompeten.
Sesuai Permendiknas RI Nomor 70 tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif
ditegaskan bahwa setiap sekolah inklusi
sekurang-kurangnya disediakan seorang
guru pembimbing khusus (special
education teacher). Pemerintah
Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam
penyediaan GPK di sekolah inklusi.
Selain itu, pemerintah daerah perlu
melaksanakan sosialisasi tentang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 174
pendidikan inklusif, tidak hanya bagi
sekolah pelaksana, namun lebih luas lagi
bagi masyarakat dan orangtua siswa non-
ABK, sehingga stigma negatif tentang
ABK dapat semakin berkurang dan
implementasi pendidikan inklusif akan
semakin mendapat dukungan dari
masyarakat.
Rekomendasi untuk Pengembangan
Pendidikan Inklusif di Indonesia
Tabel 5. Hasil Focused Group
Discussion Kelompok 6 tentang
Rekomendasi untuk Pengembangan
Inklusif di Indonesia No Kategori Frekuensi Persentase
1. Bantuan sarana dan
prasarana bagi siswa
ABK
8 10%
2. Beasiswa bagi siswa
ABK
2 2,4%
3. Pelatihan bagi pelaku
pendidikan inklusi
13 16%
4. Regulasi atau aturan
penempatan tenaga
pendidik
6 7%
5. Sosialisasi tentang
ABK kepada
masyarakat
3 4%
6. Sosialisasi tentang
pendidikan inklusi
kepada masyarakat
3 4%
7. Melakukan
kerjasama antara
pendidikan inklusif
dengan pihak terkait
6 7%
8. Bantuan dana dari
pemerintah
5 6%
9. Pemberian
kesejahteraan GPK
2 2,4%
10. Pengadaan GPK 6 7%
11. Mendatangkan guru
kunjung pendidikan
1 1%
12. Penambahan shadow
teacher
2 2,4%
13. Orang tua percaya
diri memiliki anak
berkebutuhan khusus
1 1%
14. Siswa ABK dapat
diterima
keberadaannya
2 2,4%
15. Siswa ABK
memperoleh
pelayanan
pendidikan sesuai
kebutuhan
1 1%
16. Peningkatan
kapasitas sekolah
2 2,4%
17. Asesemen pada ABK
dilakukan oleh
Psikolog PLB
1 1%
18. Pedoman umum
penyelenggaraan
pendidikan inklusi
3 4%
19. Evaluasi program
pendidikan inklusi
2 2,4%
20. Pusat sumber inklusi 3 4%
21. Pembentukan forum
komunikasi orang tua
ABK
1 1%
22. Pendataan ABK 2 2,4%
23. Penyelenggaraan
ujian akhir sekolah
khusus siswa ABK
1 1%
24. Penyelenggaraan
anggaran kegiatan
pendidikan inklusi
3 4%
25. Sertifikasi bagi GPK 3 4%
Jumlah 78 100%
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui
bahwa masukan atau rekomendasi yang
banyak diberikan oleh para stakeholder
adalah dilaksanakan pelatihan bagi pelaku
pendidikan inklusi (16%), pemberian
bantuan sarana dan prasarana bagi siswa
ABK (10%), dilakukan perbaikan sistem
regulasi atau penempatan tenaga kerja
pendidik (7%), Adanya kerjasama yang
dilakukan oleh pihak inklusif dengan
instansi terkait (7%), dan pengadaan GPK
(7%).
Sesuai dengan Permenpan dan RB
nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan
fungsional guru dan angka kreditnya, di
Indonesia hanya dikenal ada 3 jenis guru
yaitu guru kelas, guru mapel dan guru
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 175
bimbingan konseling. Istilah guru
pembimbing khusus (GPK) tidak masuk
dalam numenklatur guru yang diakui di
Kemenpan dan RB, tetapi hanya diakui
sebagai tugas tambahan. Dengan demikian
homebase GPK secara formal harus ada
dalam salah satu jenis guru yang diakui
yaitu guru kelas, atau guru mapel atau guru
BK. Hal ini penting karena jumlah GPK
yang ada saat ini belum mencukupi
meskipun mereka secara resmi diangkat
oleh pejabat pemerintah, baik Kepala
Sekolah, Dinas atau Bupati/Walikota
setempat. Dengan tugas tambahan tersebut,
maka guru yang bukan berlatar belakang
PLB harus mendapat pelatihan ke-PLB-an
agar pelaksanaan pendidikan inklusif di
sekolah dapat berjalan dengan baik
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa: (1) Pelaksanaan
pendidikan inklusif di tingkat Pokja
Kabupaten/ Kota telah terlaksana dengan
baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
rata-rata capaian pelaksanaan yang
termasuk dalam kategori baik yaitu
75,18%. (2) Pelaksanaan pendidikan
inklusif di satuan pendidikan tingkat dasar
dan menengah cukup terlaksana dengan
baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
rata-rata capaian pelaksanaan yang berada
pada kategori Sedang (60,8%), (3)
Implementasi kebijakan dan regulasi
pendidikan inklusif di daerah masih
tergolong kurang. Hal tersebut ditunjukkan
dengan implementasi kebijakan dan
regulasi pendidikan inklusi di daerah yang
masih memiliki beberapa hambatan, (4)
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk
meningkatkan pelaksanaan program
inklusif di Indonesia adalah dilaksanakan
pelatihan bagi pelaku pendidikan inklusif,
pemberian bantuan sarana dan prasarana
bagi siswa ABK, dilakukan perbaikan
sistem regulasi atau penempatan tenaga
kerja pendidik, adanya kerjasama yang
dilakukan oleh pihak inklusif dengan
instansi terkait, dan penambahan SDM
GPK di masing-masing daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pembinaan PK-LK. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Kugelmass, Judi W. (2004), The Inclusive
School : Sustaining Equity and
Standards, Teacher College Press,
Teacher College, Columbia
University New York and London.
Permendikbud Nomor 8 tahun 2015 tentang
tugas dan fungsi.
Permendiknas No. 70 th 2009 tentang
Pendidikan Inklusif Bagi anak yang
memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa.
Permenpan dan RB Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2009 tentang
pendidikan khusus dalam perspektif perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan menuju indonesia
yang lebih ramah disabilitas 176
Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya.
Sunardi; Yusuf, Munawir; Gunarhadi;
Priono (2010), The Implementation
of Inclusive Education in Indonesia,
Research Report International
Collaborative Research Grant
Funded by World Class University
Project DIPA Sebelas Maret
University.
Sunaryo, (2009), Manajemen Pendidikan
Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan
Implementasinya dalam Perspektif
Pendidikan Luar Biasa), Jurusan
PLB FIP UPI Bandung.
Surat Edaran Direktorat jenderal
Dikdasmen Depdiknas Nomor.
380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003
tentang pelaksanaan dan
pengembangan sekolah inklusi di
daerah.
Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Yusuf, Munawir (2011), The Development
of School Management Model-
Based on Inclusive Education in
Elementary School, Paper on Final
Seminar of the Participants of
Sandwich, PAR and Bermutu
Program, Ohio State University,
Desember, 1, 2011.
Yusuf, Munawir (2016), Memperkokoh
Eksistensi Guru Pembimbing
Khusus di Sekolah Inklusi, Makalah
disampaikan dalam Seminar
Nasional , FIP UNESA, Surabaya
tanggal 30 Januari 2016.
Yusuf, Munawir dan Indianto, R. (2009),
Kajian Tentang Implementasi
Pendidikan Inklusif Sebagai
Alternatif Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus Di
Kabupaten Boyolali, Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Universitas
Sebelas Maret.
Yusuf, Munawir, (2014), Pengembangan
Model Manajemen Pendidikan
Inklusif, Disertasi, UNNES
Semarang, 2014.
Yusuf, Munawir, Choiri, Salim; Sugini;
Rejeki, Dewi Sri (2015),
Pengembangan Model Bahan
Pembelajaran Utama (BPU)
Pendidikan Inklusif dan
Perlindungan Anak, Lapaoran
Penelitian, LPPM UNS.
Yusuf, Munawir; Sunardi, Priyono, (2014),
Pengembangan Model
Pemberdayaan Kepala Sekolah,
Guru Kelas, Guru Pembimbing
Khusus dan Komite Sekolah dalam
rangka Pendidikan Inklusif yang
Ramah terhadap Semua Anak,
Laporan Penelitian, LPPM UNS.