89
 PERBANDINGAN EFEK PREVENTIF PARECOXIB 40 mg INTRAVENA DAN GABAPENTIN 300 mg PERORAL TERHADAP KEBUTUHAN MORFIN PASCABEDAH PADA OPERASI ORTOPEDI ANGGOTA GERAK BAWAH DENGAN ANESTESI SPINAL  COMPARISON OF THE PREVENTIVE EFFECT OF INTRA VENOUS PARECOXIB 40MG AND GABAPENTIN 300MG PER-ORAL ON POST-OPERATIVE MORPHINE DEMAND IN ORTHOPAEDIC LOWER LIMB SURGERY UNDER SPINAL ANESTHESIA BERNARD TAUFAN SOEHAEMY PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BIDANG ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

--bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 1/89

 

PERBANDINGAN EFEK PREVENTIF PARECOXIB 40 mgINTRAVENA DAN GABAPENTIN 300 mg PERORALTERHADAP KEBUTUHAN MORFIN PASCABEDAH

PADA OPERASI ORTOPEDI ANGGOTA GERAKBAWAH DENGAN ANESTESI SPINAL 

COMPARISON OF THE PREVENTIVE EFFECT OF INTRAVENOUS PARECOXIB 40MG AND GABAPENTIN 300MGPER-ORAL ON POST-OPERATIVE MORPHINE DEMAND

IN ORTHOPAEDIC LOWER LIMB SURGERYUNDER SPINAL ANESTHESIA

BERNARD TAUFAN SOEHAEMY

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS IBIDANG ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2014

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 2/89

 

PERBANDINGAN EFEK PREVENTIF PARECOXIB 40 mgINTRAVENA DAN GABAPENTIN 300 mg PERORAL

TERHADAP KEBUTUHAN MORFIN PASCABEDAHPADA OPERASI ORTOPEDI ANGGOTA GERAK

BAWAH DENGAN ANESTESI SPINAL 

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis

Bidang Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif

Disusun dan diajukan oleh

BERNARD TAUFAN SOEHAEMY 

kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS IBIDANG ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2014

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 3/89

 

PERBANDINGAN EFEK PREVENTIF PARECOXIB 40 mgINTRAVENA DAN GABAPENTIN 300 mg PERORAL

TERHADAP KEBUTUHAN MORFIN PASCABEDAHPADA OPERASI ORTOPEDI ANGGOTA GERAK

BAWAH DENGAN ANESTESI SPINAL 

Disusun dan diajukan oleh :

BERNARD TAUFAN SOEHAEMY

Nomor Pokok: C113208119

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 29 Maret 2014

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Prof.dr.Husni Tanra,PhD,Sp.An-KIC-KMN Dr.dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV

Ketua Anggota 

Ketua TKP-PPDS DekanFakultas Kedokteran Unhas Fakultas Kedokteran Unhas

Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K) Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam,Sp.BS 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 4/89

 

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Bernard Taufan Soehaemy

Nomor Pokok : C113208119

Program Studi : Bidang Ilmu Anestesi dan Terapi

Intensif

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi

tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, 2 April 2014

Yang menyatakan,

Bernard Taufan Soehaemy

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 5/89

v

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selesainya

tesis. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan Magister dan Spesialis pada Bagian Ilmu

 Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

Karya tulis ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa

bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis

menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang

telah membimbing, memberi dorongan motivasi dan memberikan bantuan

moril dan materi. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat penulis

haturkan kepada:

1. Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, Sp.An-KIC-KMN selaku pembimbing

kami yang senantiasa memberi masukkan dan bimbingan dalam

menyelesaikan karya ini.

2. DR. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV selaku pembimbing kami yang

senantiasa memberi masukkan dan bimbingan dalam menyelesaikan

karya ini.

3. Kepala Bagian dan Ketua Program Studi Ilmu Anestesi, Perawatan

Intensif dan Manajemen Nyeri FK UNHAS beserta seluruh konsulen

lainnya yang telah membimbing dan mendukung penulis selama studi.

4. Rektor Universitas Hasanuddin, Ketua PPDS I dan Dekan Fakultas

Kedokteran yang telah memberi kesempatan pada kami untuk

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 6/89

vi

mengikuti Pendidikan Program Dokter Spesialis I Ilmu Anestesi,

Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

5. Direktur RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan seluruh

direktur rumah sakit jejaring yang telah memberi segala fasilitas dalam

melakukan praktek anestesi, perawatan intensif dan manajemen nyeri.

6. Semua sejawat residen PPDS Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang

selama ini memberi dukungan dan bantuan yang ikhlas terhadap

penelitian ini.

7. Kepada Bapak dan Ibu penulis, (Alm) Y. Soehaemy dan Johanti serta

saudara-saudara, penulis haturkan segala hormat dan terima kasih

atas segala kasih sayang, dukungan, dan doa-doanya yang tulus dan

tanpa henti.

8. Istriku tercinta Ikadona Logos Kaukaba, S.Far.,Apt. dan kedua anakku

tersayang Javi dan Ghani atas kesabaran, pengertian dan dukungan

selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Kepada Bapak dan Ibu mertua, H. Suyono, SE, MM. Dan Hj.

Sudyantatik, S.Pd, MMPd., penulis haturkan segala hormat dan terima

kasih atas segala kasih sayang, dukungan, dan doa-doanya yang

tulus dan tiada henti.

Saya sangat menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari

kesempurnaan baik isi maupun bahasanya, sehingga kritik dan saran

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 7/89

vii

yang membangun sangat saya harapkan demi perbaikan selanjutnya.

 Akhir kata saya mohon maaf atas segala kesalahan dan

kekhilafan, baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja selama

menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah swt senantiasa memberikan

berkah dan rahmat yang berlimpah bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Makassar, April 2014

Penulis

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 8/89

viii

ABSTRAK

BERNARD TAUFAN SOEHAEMY. Perbandingan efek preventif

Parecoxib 40 mg intravena dan Gabapentin 300 mg peroral terhadap

kebutuhab morfin pascabedah pada operasi ortopedi anggota gerak

bawah dengan anestesi spinal.(dibimbing oleh A. Husni Tanra, Syafri K.

 Arif.)

Penelitian ini bertujuan: Memberikan lebih banyak pilihan antinosisepsi

yang mempunyai efek samping minimal dan mengurangi kebutuhan morfin

pascabedah.

Metode: Penelitian ini dilakukan pada 46 pasien ASA PS klas 1 dan 2

yang terbagi dalam 2 kelompok dengan uji klinik tersamar ganda. Grup G

mendapatkan Gabapentin per-oral 30 menit sebelum SAB dan 12 jam

setelah pemberian pertama dan grup P mendapatkan Parecoxib intravena

sesaat setelah SAB dan 12 jam setelah pemberian pertama. Variabel

yang diukur adalah : total kebutuhan morfin, waktu yang dibutuhkan untuk

rescue morfin dan efek samping.

Hasil: Preventive Parecoxib menurunkan tingkat kebutuhan morfin jika

dibandingkan dengan Gabapentin (p<0,05) dan juga mempunyai jangka

waktu rescue analgesik morfin lebih panjang. (p<0,05). Tidak ada

perbedaan yang bermakna terhadap efek samping yang timbul (mual dan

somnolen).

Kesimpulan: Preventive Parecoxib 40 mg intravena lebih mengurangi

kebutuhan morfin pascabedah dan mempunyai jangka waktu rescue

morfin yang lebih panjang dibandingkan dengan preventive Gabapentin300 mg per-oral.

Kata kunci: Parecoxib, Gabapentin, kebutuhan morfin, operaso ortopedi,

Subaraknoid Blok.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 9/89

ix

ABSTRACT

BERNARD TAUFAN SOEHAEMY. Comparison of the preventive effect ofintra venous parecoxib 40mg and gabapentin 300mg per-oral on post-operative morfine demand in orthopaedic lower limb surgery under spinalanesthesia (supervised by A. Husni Tanra, Syafri K. Arif.)

This research aimed to give more options of anti nociception wich have

less side effects and can reduce the smaller rescue of opioid in

postoperative pain management.

Methods: 46 ASA 1 and 2 patients were randomly assigned divided into 2

group with double blind clinical trial. Group G were recieve Gabapentin

300mg per-oral 30 minutes before SAB and 12h after first administration

and Group P were receive intravenous Parecoxib 40mg shortly after SAB

and 12h after first administration. We measured the main outcome

variable: The time it takes to get first rescue morphine by PCA, total

morphine consumption and side effects.

Result: Perioperative Parecoxib significanly reduce morphine demand

compared with Gabapentin. Parecoxib also requires a longer time to get

rescue morphine. There is no significant different in side effect of both

group.

Conclusions: Parecoxib significanly had lower morphine demand and

longer time to get rescue after surgery compared with gabapentin.

Keyword : parecoxib, gabapentin, morphine consumption, orthopaedic

surgery, subaraknoid blok.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 10/89

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN iii

PRAKATA v

 ABSTRAK viii

 ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR SINGKATAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

 A. Latar belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C.Tujuan penelitian 4

D. Manfaat Penelitian 5

E. Hipotesis 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

 A. Nyeri 7

B. Mekanisme Nyeri akut (Pascabedah) 9

C. Plastisitas Susunan Saraf 11

D. Sensitisasi Perifer 11

E. Sensitisasi Sentral 12

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 11/89

xi

F. Pengelolaan Nyeri Pascabedah 12

G. Farmakologi 15

H. Kerangka Teori 23

BAB III KERANGKA KONSEP 25

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 27

 A. Desain Penelitian 27

B. Tempat dan Waktu Penelitian 27

C. Populasi Penelitian 27

D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 27

E. Perkiraan Besar Sampel 28

F. Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Dropout 28

G. Ijin Penelitian dan Ethical Clearance 30

H. Cara Kerja 30

I. Alur Penelitian 34

J. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel 34

K. Definisi Operasional 37

L. Kriteria Obyektif 39

M. Pengolahan dan Analisis Data 39

N. Personalia Penelitian 40

N. Alur Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN 41

 A. Karakteristik Sampel 42

B. Tekanan Darah 43

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 12/89

xii

C. Laju Jantung 45

D. Kebutuhan Analgesik Morfin Pascabedah 46

E. Efek Samping 49

BAB VI PEMBAHASAN 51

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 65

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 13/89

xiii

DAFTAR TABEL

nomor Halaman

1. Rekomendasi untuk penanganan nyeri pasca operasitulang dan sendi

24

2. Perbandingan sebaran umur, berat badan dan lamaoperasi pada kedua kelompok

42

3. Perbandingan sebaran jenis kelamin dan ASA PSpada kedua kelompok 42

4. Perbandingan rerata tekanan darah sistolik padakedua kelompok

43

5 Perbandingan rerata tekanan darah diastolik padakedua kelompok

44

6. Perbandingan laju jantung pada kedua kelompok 45

7. Perbandingan waktu yang dibutuhkan untuk rescuepada kedua kelompok

46

8. Perbandingan kebutuhan morfin via PCA pada keduakelompok

47

9. Perbandingan jumlah rescue morfin pada keduakelompok

48

10. Perbandingan frekuensi mual dan somnolen padakedua kelompok

49

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 14/89

xiv

DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

1. Biosintesis Prostaglandin 16

2. Struktur kimia Parecoxib 17

3. Struktur kimia Morphine 23

4. Perbandingan rerata tekanan sistolik pada kedua

kelompok

43

5. Perbandingan rerata tekanan darah diastolik padakedua kelompok

44

6. Perbandingan laju jantung pada kedua kelompok 45

7. Perbandingan waktu yang dibutuhkan untuk rescuepada kedua kelompok

46

8. Perbandingan kebutuhan morfin via PCA pada kedua

kelompok

47

9. Perbandingan jumlah rescue morfin pada keduakelompok

48

10. Perbandingan frekuensi mual dan somnolen padakedua kelompok

49

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 15/89

xv

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Persetujuan sebelum persiapan dimulai 65

2. Lembar pengumpulan data 67

3. Lembar pengamatan 70

4. Adverse event form 71

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 16/89

xvi

DAFTAR SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan keterangan

Mg Milligram

PCA Patient Controlled Analgesia

COX-2 Cyclooxygenase-2

IV Intravena

IASP International Association for the Study ofPain

 AINS Anti Inflamasi non Steroid

PG Prostaglandin

PGHS Prostaglandin Endoperoksida Synthesis

IM Intramuscular

VAS Visual Analog Scale

WMD Weighted Mean Difference

PDPH Post Dural Puncture Headache

SAB Sub Arachnoid Block

PONV Post Operative Nausea and Vomiting

L3-4 Lumbal 3-4

L4-5 Lumbal 4-5

 ASA American Society of Anesthesiologist

PS Physican Status

M3G Morphine-3-glucoronide

M6G Morphine-6-glucoronide

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 17/89

xvii

RR Relative risk

CI Confidence interval

NMDA N-Methyl D Aspartic Acid

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 18/89

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pengobatan nyeri merupakan subspesialis dari anestesiologi,

neurologi, psikiatrik, juga sebagai pengobatan fisik dan rehabilitasi. Bidang

ini fokus kepada penanganan pasien dengan kedua nyeri akut dan kronis

yang diakibatkan dari fisiologi, struktural dan patologi psikologikal.1 

Kontrol nyeri pasca operasi merupakan fokus utama dari ahli bedah

Ortopedi. Kontrol nyeri yang baik tidak hanya menimbulkan rasa nyaman

untuk pasien, tetapi pasien bisa nyaman bergerak, lama rehabilitasi lebih

cepat, kepuasan pasien baik dan lebih awal keluar dari rumah sakit.1,2 

Nyeri dan infeksi adalah dua hasil yang paling tidak diinginkan

pasca operasi. Telah ada banyak kemajuan yang ditemukan untuk

mengatasi nyeri selama operasi dan setelah operasi menggunakan

analgetik opioid. Analgetik juga diberikan sebelum dilakukannya operasi

untuk mengurangi rasa nyeri dan ketidak nyamanan pasien yang disebut

preventif analgesia. Preemptif analgesia didefinisikan sebagai terapi

antinociceptive untuk mencegah proses perubahan aferen input yang

dapat meningkatkan nyeri pasca operasi.3,4 

Pasien controlled analgesia (PCA) dengan opioid sekarang adalah

metode yang efektif untuk mengatasi nyeri pasca operasi. Bisa digunakan

melalui intravena atau subcutan dengan hasil yang baik. Efek samping

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 19/89

2

dari opioid PCA antara lain adalah mual, muntah, sedasi dan pruritus.5 

 Analgetik sangat diperlukan setelah pasien menjalani pembedahan,

karena banyak efek yang merugikan bila pasien masih merasa nyeri

pasca pembedahan. Nyeri pasca pembedahan dapat menyebabkan

respon segmental dan supra-segmental refleks yang dapat berefek pada

sistem pernafasan, kardiovascular, pencernaan, genitourinaria dan neuro-

endokrin. Untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan banyak teknik dan

 jenis obat yang dapat digunakan.6,7 

Sampai saat ini belum didapatkan satu jenis obat yang dapat

memblok nyeri secara sempurna. Opioid masih merupakan yang utama

dalam penanganan nyeri, tetapi kita sering dihadapkan pada situasi

dimana opioid sebagai obat tunggal tidak adekuat. Oleh sebab itu

dikembangkan konsep multi modal analgesia yang dapat meningkatkan

kualitas analgesia dan mengurangi efek samping dengan menggunakan

dua atau lebih obat yang mekanisme dan tempat kerja berbeda. Selain

sebagai analgetik, opioid juga mempunyai efek samping yang tidak

diinginkan seperti mengantuk, depresi nafas , mual, muntah, hipotensi,

bradikardi, gatal ,dan menekan fungsi usus yang berhubungan dengan

dosis. Strategi penanganan termasuk kombinasi pilihan anestesi seperti

teknik regional anestesi dengan analgesia non opioid telah

memperlihatkan perbaikan analgesia, mobilisasi dini, mengurangi efek

samping opioid pasca operasi.8,9,10 

Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor telah terbukti mengatasi nyeri

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 20/89

3

secara signifikan, termasuk nyeri akut perioperatif. Opioid mempunyai

efek samping yang banyak. COX-s inhibitor (coxib) saja, dapat meredakan

nyeri pasca bedah ‘yang ringan dan mengurangi dapat mengurangi dosis

opioid yang diperlukan untuk mengatasi nyeri pasca bedah yang sedang

sampai berat.11,12 

Gabapentin, obat antiepileptik yang diperkenalkan tahun 1993,

awalnya dilaporkan efektif dalam menangani nyeri neuropati dimana

efeknya terutama oleh ikatan pada alpha2-delta(α2δ) subunit dari calcium

channel pada sistem saraf pusat. Beberapa penelitian pada hewan coba

ditemukan adanya efek gabapentin pada neuropati, yaitu dapat

mengurangi hiperalgesia dan allodinia. Penelitian pertama yang

memperlihatkan efek gabapentin pada nyeri pascabedah diperkenalkan

oleh Dirks dkk pada tahun 2002. Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien

yang menjalani operasi mastektomi radikal. Hasil ini menunjukkan bahwa

gabapentin secara signifikan mengurangi konsumsi morfin dan nyeri

selama pergerakan.12,13 

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas maka didapat rumusan masalah sebagai

berikut : apakah pemberian preventif parecoxib 40 mg intra vena dan

gabapentin 300 mg per oral menurunkan kebutuhan morphine via PCA

pada operasi orthopedi anggota gerak bawah dengan anestesi spinal.

C. Tujuan penelitian

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 21/89

4

  Tujuan umum

Membandingkan efek pemberian preventif parecoxib 40 mg intra vena

dan gabapentin 300 mg per oral terhadap kebutuhan morphine via

PCA pasca operasi orthopedi anggota gerak bawah dengan anestesi

spinal.

  Tujuan khusus

1. Menilai kebutuhan morphine via PCA yang menerima parecoxib

40 mg IV pada jam ke 0, 4, 8, 12, 16, 20 dan 24.

2. Menilai kebutuhan morphine via PCA yang menerima gabapentin

300 mg per oral pada jam ke 0, 4, 8, 12, 16, 20 dan 24.

3. Membandingkan jumlah total kebutuhan morphine via PCA pasca

operasi pada pasien yang menerima parecoxib 40 mg IV dengan

yang menerima gabapentin 300 mg per oral pada jam ke 0, 4, 8,

12, 16, 20 dan 24.

4. Menilai waktu yang dibutuhkan sampai mendapatkan rescue

morphine via PCA pada kedua kelompok.

5. Membandingkan waktu yang dibutuhkan sampai mendapatkan

rescue morphine via PCA pada kedua kelompok.

6. Menilai frekuensi mual dan muntah pasca operasi pada pasien

yang menerima morphine via PCA pada kedua kelompok.

7. Membandingkan frekuensi mual dan muntah pasca operasi pada

kedua kelompok.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 22/89

5

8. Menghitung jumlah rescue morphine via PCA yang diterima pada

kedua kelompok.

9. Membandingkan jumlah rescue morphine via PCA yang diterima

pada kedua kelompok.

D. Hipotesis penelitian

Pemberian preventif Parecoxib 40 mg prainsisi dan 12 jam

kemudian lebih mengurangi kebutuhan pemakaian morphine melalui PCA

pasca bedah operasi ekstremitas anggota gerak bawah dengan anestesi

spinal dibandingkan dengan pemberian gabapentin 300 mg per oral dan

12 jam kemudian.

E. Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang perbandingan efek pemberian

preventif parecoxib 40 mg intravena dan gabapentin 300 mg per oral

terhadap kebutuhan morphine melalui PCA memberikan efek

analgesia pasca operasi orthopedi anggota gerak bawah dengan

anestesi SAB.

2. Dapat diaplikasikan secara klinis sebagai modalitas alternatif (obat

analgetik alternatif lain) dalam penanganan nyeri pasca bedah.

3. Dapat dijadikan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya tentang

efek pemberian parecoxib IV dan gabapentin per oral terhadap jumlah

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 23/89

6

kebutuhan morphine melalui PCA dalam penanganan nyeri pasca

operasi.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 24/89

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

International Association for the Study of Pain  (IASP) tahun 1979,

menerjemah istilah Nyeri sebagai “suatu pengalaman inderawi dan emosional

yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan

atau yang berpotensi rusak atau yang diterjemahkan seperti itu”.

Dari definisi ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 14,15 

1. Nyeri selalu subyektif dan tidak dapat diukur secara langsung,

2. Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan

pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata

( pain with nociception),

3. Perasaan yang sama juga dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan

yang nyata ( pain without nociception).

Trauma jaringan pascabedah dan nyeri yang ditimbulkan

menyebabkan respon endokrin yang kemudian berlanjut dengan peningkatan

sekresi kortisol, katekolamin dan hormon stress lainnya. Takikardi, hipertensi,

penurunan aliran darah regional, penurunan respon imunitas, hiperglikemi,

lipolisis dan negative nitrogen balance dapat terjadi sebagai akibat respon ini

dan juga akan disertai dengan perubahan metabolik. Respon stress

memegang peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas pascabedah.15,16 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 25/89

8

Segera setelah terjadi kerusakan jaringan, ujung saraf sensorik seketika

terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel dan mediator inflamasi yang

memicu aktifitas nosiseptif. Inflamatory soup  ini mencakup prostaglandin,

proton, serotonin, histamin, bradikinin, purin, sitokin, eicosanoids dan

neuropeptida yang bekerja pada reseptor spesifik pada saraf sensorik dan

 juga memiliki interaksi yang penting. Awal kerusakan dan inflamasi

menyebabkan serabut C dan A-δ mengalami perubahan yang disebut

sensitisasi, peningkatan aktivitas nosiseptor yang normalnya “tenang “ dan

perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membran. Jika inflamasi tidak

berkepanjangan, fungsi saraf akan segera kembali normal. Peningkatan

intensitas dan durasi, menyebabkan peningkatan growth factors  dan sitokin

oleh sel-sel setempat, monosit dan sel-sel vaskuler dan akan memasuki badan

sel sensorik secara transport aksonal retrograde. Hal ini kemudian

menimbulkan banyak perubahan pada fungsi neuronal yang teridentifikasi

pada tiap subgrup akson primer. Selain itu terjadi pelepasan substansi P oleh

serabut A-β yang normalnya sangat sedikit bahkan tidak ada dan peningkatan

ekspresi reseptor α2-adrenergik.14,15,16 

Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik terhadap

tubuh yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Pertama, selama

pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang

menghasilkan suatu stimulus noksius. Kedua, pascabedah, terjadi respon

inflamasi pada jaringan tersebut yang bertanggung jawab terhadap munculnya

stimulus noksius. Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 26/89

9

akan menyebabkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer,

terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan pada

tingkat sentral terjadi peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlihat

dalam transmisi nyeri. Akibat perubahan sensitisasi ini maka dalam klinik, nyeri

pascabedah ditandai dengan gejala hiperalgesia artinya suatu stimulus

noksius lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri kini terasa nyeri dan

 prolonged pain artinya nyeri menetap walaupun stimulus sudah dihentikan.16,17 

Sensitisasi yang terjadi pascabedah selain akan membuat

penderitaaan juga merupakan sumber stress pascabedah yang berimplikasi

terhadap teraktifasinya saraf otonom simpatis dengan segala akibat yang pada

gilirannya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu

pengelolaan nyeri pascabedah seyogyanya ditujukan kearah pencegahan atau

meminimalkan terjadinya kedua proses sensitisasi tersebut.17 

B. Mekanisme Nyeri Akut (Pascabedah)

Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya

kerusakan jaringan yang nyata (actual tissue damage). Prototipe nyeri

akut adalah nyeri pascabedah. Antara kerusakan jaringan (sumber

rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi, terdapat suatu

rangkaian proses elektrofisiologis yang disebut “nosiseptif”. Terdapat 4

proses yang terjadi pada nosiseptif:18 

1.  Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 27/89

10

Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau kimia.

Proses transduksi ini dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non

steroid (AINS).

2.  Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi

pada proses transduksi melalui serabut A-δ bermielin dan serabut C

tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini dapat

dihambat oleh obat anestetik lokal.

3.  Proses modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik

endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk

di medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin, serotonin,

noradrenalin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu posterior

medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan

tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen

tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan, motivasi,

status emosional dan kultyr seseorang. Proses modulasi inilah yang

menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan sangat

ditentukan oleh makna atau arti suatu impuls nyeri.

4.  Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses

transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan

suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 28/89

11

C. Plastisitas Susunan Saraf

Dalam keadaan normal maka rangsang kuat akan dirasakan

sebagai nyeri, sebaliknya rangsang lemah dirasakan sebagai bukan nyeri.

Rangsang kuat akan dihantarkan oleh kecil yaitu A-δ yang bermielin atau

serabut C yang tidak bermielin. Sedangkan rangsang lemah dihantarkan

oleh serabut besar yaitu A-β yang bermielin.18,19 

 Akan tetapi bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang

lemah pada daerah perlukaaan, yang dalam keadaan normal tidak

menimbulkan nyeri sekarang menjadi nyeri, keadaan ini disebut sebagai

allodinia (hyperalgesia primer). Selain itu rangsang kuat pada daerah

sekitar luka yang tampak normal, dirasakan sebagai sebagai nyeri yang

lebih hebat dan berlangsung lebih lama walaupun rangsang sudah

dihentikan, keadaan ini disebut sebagai hiperalgesia sekunder. Hal ini

menunjukan bahwa dalam keadaan terdapat kerusakan jaringan maka

terjadi pula perubahan sifat saraf. Kemampuan saraf untuk merubah sifat,

disebut sebagai palstisistas susunan saraf. Plastisitas ini dapat terjadi

karena tiap terjadi kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti

pula dengan sensitisasi baik di perifer maupun di sentral.

18,19

 

D. Sensitisasi Perifer  

Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepaskannya sejumlah

substansi nyeri berupa ion K+, H+, serotonin, bradikinin, histamin,

prostaglandin dan lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 29/89

12

dilepaskannya substansi P dari ujung serabut A-δ dan serabut C yang

disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor

terjadi reaksi positif feedback   artinya makin banyak nosiseptor yang

dibangkitkan, diikuti peningkatan sensitivitas nosiseptor itu.18,19 

Peningkatan jumlah maupun peningkatan sensitivitas nosiseptor ini

menyebabkan proses transduksi makin meningkat pula. Meningkatnya

proses transduksi menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer pada

daerah kerusakan jaringan. Selain itu terlepasnya substansi nyeri juga

akan mensensitisasi nosiseptor disekitarnya, yang akan menyebabkan

terjadinya hiperalgesia sekunder.20 

Kerusakan jaringan khususnya jaringan lemak akan menyebabkan

terlepasnya asam arakhidonat, yang dengan bantuan enzim

cyclooxygenase, akan diubah menjadi prostaglandin, yang merupakan

salah satu substansi nyeri. Obat-obat analgetik anti inflamasi nonsteroid

pada umumnya merupakan antagonis enzim cyclooxygenase. Dengan

cara menghambat pembentukan prostaglandin inilah, suatu obat analgetik

anti inflamasi nonsteroid (AINS) menekan proses sensitisasi perifer,

menekan proses transduksi yang akhirnya dapat mengurangi rasa

nyeri.20,21 

E. Sensitisasi Sentral 

Suatu impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior menyebabkan

sensitisasi sentral. Impuls nyeri yang berkepanjangan di kornu posterior

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 30/89

13

akan menyebabkan depolarisasi yang berkepanjangan (hiperdepolarisasi),

dan inilah yang menyebabkan hipersensitivitas kornu posterior yang

kemudian disebut sebagai sensitisasi sentral. Bila terjadi sensitisasi

sentral maka suatu rangsang lemah yang dihantarkan oleh serabut saraf

 A-β dapat menimbulkan nyeri, yang disebut sebagai allodinia.18,19,20 

Hiperpolarisasi terjadi akibat aktifasi dari reseptor N methyl-D-

 Aspartic Acid (NMDA) oleh transmitter glutamat. Bila terjadi aktifasi dari

reseptor NMDA ini maka ion Na+ dan Ca2+ akan influks yang merupakan

awal dari depolarisasi. Hiperpolarisasi ini dapat ditekan dengan opioid,

karena opioid adalah antagonis dari reseptor NMDA.18,19,20 

F. Pengelolaan Nyeri Pasca Bedah

 Atas dasar teori plastisitas susunan saraf tersebut maka prinsip

dasar penatalaksanaan nyeri pascabedah (akut) harus ditujukan untuk

mencegah sensitisasi primer dan sentral. Hal ini hanya mungkin dapat

dicapai jika kita dapat mengobati nyeri sebelum terjadi (to treat the pain

before it occurs). Pentingnya sensitisasi perifer dan sentral dalam proses

nosisepsi ini mendorong munculnya konsep preventif analgesia pada

pasien yang akan menjalani pembedahan. Konsep pengelolaan nyeri ini

dilakukan dengan pemberian analgetik yang telah mencapai dosis efektif

sebelum terjadi trauma pembedahan. Konsep ini dapat dilakukan dengan

infiltrasi anestesi lokal pada daerah insisi, blokade saraf sentral,

pemberian dosis efektif opiat, AINS atau ketamin. Beberapa studi pada

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 31/89

14

manusia melaporkan bahwa pemberiaan preventif analgesia dapat

menurunkan kebutuhan analgetik pascabedah secara bermakna

walaupun ada beberapa studi yang gagal.18,19,20 

Namun jika sudah terjadi sensitisasi perifer dapat ditekan dengan

pemberian obat analgetik antiinflamasi non steroid (AINS) yang akan

menghambat produksi prostaglandin di daerah perlukaan, sedangkan

sensitisasi sentral dapat dihambat dengan pemberian opioid. Opioid masih

tetap menjadi modalitas utama dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah

sedang hingga berat. Titrasi dosis opioid secara bermakna akan

mengurangi nyeri pada saat istirahat, namun saat bergerak atau

beraktifitas nyeri akan terasa lebih berat. Ketakutan terhadap efek

samping opioid, biasanya diikuti ketakutan untuk menaikkan dosis opioid

untuk penanganan nyeri yang timbul, sehingga analgesia pascabedah

menjadi kurang optimal pada sebagian besar pasien. Multimodal

analgesia dengan menggunakan dua atau lebih analgesik atau modalitas

yang bekerja melalui mekanisme yang berbeda memberikan analgesia

yang lebih baik dan dapat menurunkan efek samping. Konsep inilah yang

dikenal dengan istilah analgesia balans, yaitu metode pengelolaan nyeri

pascabedah yang bersifat multimodal. 19,20,21 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 32/89

15

G. Farmakologi

1. Parecoxib

NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti

inflamasi non steroid (AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi

sebagai anti inflamasi, analgetik dan antipiretik. NSAID merupakan obat

yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi.

Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan

dalam efek terapi maupun efek samping. Obat golongan NSAID

dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid, karena ada obat

golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat

golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding NSAID,

yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam arakhidonat melalui

penghambatan terhadap enzim fosfolipase. Hal ini dapat dilihat di gambar

1.22,23 

Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan

ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs).

Contoh obatnya antara lain: aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen,

naproksen, asam mefenamat, piroksikam, diklofenak, indometasin.

24,25

 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 33/89

16

Gambar 1. Biosintesis prostaglandin

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan

atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel

mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia.

Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan peran

terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun

kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklo

oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang pertama

adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam arakhidonat

menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif

peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu

PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin

dan tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses

inflamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.26

 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 34/89

17

Gambar 2. Struktur kimia Parecoxib

Parecoxib merupakan inhibitor COX-2 spesifik yang hanya tersedia

dalam sediaan parenteral. Untuk penanganan nyeri pasca pembedahan

parecoxib 40 mg diberikan 1 jam sebelum pembedahan dan ditambahkan

40 mg setelah pembedahan jika diperlukan. Dosis dapat ditingkatkan

menjadi 80 mg pada pasien tertentu. Parecoxib merupakan prodrug yang

diubah pada tubuh menjadi valdecoxib.25,26 

Setelah pemberian IV atau IM parecoxib diubah menjadi valdecoxib

oleh hidrolisis enzimatik di hati. Konsentrasi puncak valdecoxib di serum

tercapai setelah 30 menit pemberin secara IV dan 1 jam setelah

pemberian IM injeksi. Pada pengalaman klinik efek analgetik pertama

terlihat setelah 7-13 menit, secara klinik sangat berarti terlihat setelah 23-

29 menit dan efek puncak dalam 2 jam setelah pemberian 40 mg IV atau

IM.25,26 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 35/89

18

Valdecoxib dimetabolisme secara luas di hati dengan banyak cara,

termasuk cytochrome p450 3A4 dan 2C9 isoenzyme. Kurang dari 5%

valdecoxib yang tidak berubah, dikeluarkan lewat urine. Sekitar 70% dari

dosis dikeluarkan lewat urine sebagai metabolit yang tidak aktif. Waktu

paruh eliminasi valdecoxib sekitar 8 jam. Dosis penyesuaian

direkomendasikan pada pasien tua dengan berat badan kurang dari 50 kg

dan pasien dengan gangguan hati moderat. Tidak ada dosis penyesuaian

pada pasien dengan gangguan ginjal, walaupun selama penggunaan

harus menjadi perhatian.24,25,26 

Kejadian ulkus lambung masih ditemukan setelah pemberian

parecoxib walaupun sangat kecil bila dibandingkan dengan ketorolak.

Parecoxib sedikit atau tidak berefek pada agregasi platelet dibanding

ketorolak. Bleeding time meningkat bervariasi tetapi tidak bermakna bila

dibandingkan dengan ketorolak. Efek samping yang lain adalah

perubahan tekanan darah, nyeri punggung, edema perifer, dispepsia,

insomnia, anemia pascabedah, gangguan pernafasan, pruritus dan

oliguria. Efek tadi dilaporkan dengan insiden kurang dari 1%.24,25,26 

Parecoxib dikontraindikasikan pada pasien dengan perdarahan

gastrointestinal aktif atau ulkus peptik, gangguan hati berat. Sebagai

tambahan, pada pembedahan coronary artery bypass graft dan gagal

ginjal. 24,25,26 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 36/89

19

2. Gabapentin

Gabapentin, asam 1-(aminomethyl)cyclohexaneacetic dengan

formula molekul C9H17NO2  dan berat molekul 171,24. Gabapentin pada

awalnya dibuat sebagai zat GABA-mimetik. Berat molekulnya 171,4 dan

bermuatan tinggi pada pH fisiologis, berperan sebagai ion zwitter dengan

dua nilai pKa 3,68 dan 10,70. Walaupun gabapentin stabil pada suhu

ruangan, terjadi sedikit pembentukan laktam pada larutan aqueous, dan

hal ini minimal pada pH 6.27,28 

Gabapentin diperkenalkan sebagai suatu obat antiepileptik pada

tahun 1993. Saat ini telah digunakan luas untuk terapi nyeri neuropati

pada pasien-pasien dengan polineuropati diabetik, neuralgia postherpetik,

dan neuralgia secara umum. Mekanisme kerja gabapentin dimediasi oleh

ikatan dengan α2-δ subunit pada presinaps voltage-gated calcium

channel.  Gabapentin mungkin menghasilkan antinosisepsi dengan

menghambat influx kalsium melalui calcium channel, dan kemudian

menghambat pelepasan neurotransmitter eksitatori (mis. Substansi P,

calcitonin gene-related peptide) dari serabut nervus afferent pada jalur

nyeri.

 27,28

 

Peningkatan jumlah studi ataupun penelitian gabapentin untuk

nyeri menunjukkan bahwa gabapentin efektif untuk penanganan nyeri

pasca operasi. Sampai saat 2007-2008, paling tidak ada empat meta-

analisis tentang gabapentin untuk penanganan pasca-operatif yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari beberapa studi yang ada.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 37/89

20

Dari meta-analisis tersebut menunjukkan bahwa gabapentin mempunyai

potensi dalam memperbaiki skor nyeri ataupun dalam hal jumlah

penggunaan morfin. 27,28 

Dari salah satu meta-analisis yang ada menunjukkan bahwa

gabpentin secara bermakna dapat berfungsi sebagai ”opioid sparing

effect” dan meningkatkan skor nyeri dalam waktu 24 jam pertama pasca

operasi histerektomi abdominalis dan pembedahan tulang belakang.

Meta-analisis ini dilakukan dengan cara mengumpulkan studi-studi yang

ada tentang gabapentin dari sumber secara online. Studi yang

dikumpulkan adalah studi dengan disain acak tersamar ganda. Analisis

secara kulaitatif dalam hal efektivitas pasca operatif dinailai berdasarkan

konsumsi analgesik dan skor nyeri antara kedua kelompok. Sedangkan

analisis kuantitatif dinilai dari penggabungan data dari prosedur yang

mirip, dengan menghitung weighted mean difference (WMD) dari

kumulatif kebutuhan opioid dalam waktu 24 jam, dan WMD berdasarkan

skor nyeri (VAS – Visual Analog Score) pada 6 jam pertama (awal) dan

pada 24 jam pasca operasi (akhir) di antara kedua kelompok penelitian.

Efek samping seperti mual, muntah, pusing, dan efek ngantuk

dikumpulkan untuk menilai ataupun besar risiko relatifnya (RR). 27,28 

Dari sebanyak 23 uji klinis yang dinilai memenuhi persyaratan,

dengan jumlah responden yang tercakup dalam studi tersebut mencapai

1.259 pasien. 12 dari 16 studi dengan data kebutuhan opioid post-

operatif, yang dilaporkan konsumsi opioid dalam 24 jam pertama pasca

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 38/89

21

operasi dilaporkan secara bermakna dapat diturunkan dengan gabapentin.

 Analisis kuantitatif terhadap lima studi histerektomi abdominal

menunjukkan secara bermakna gabapentin mampu menurunkan

kebutuhan morfin (WMD – 13 mg, 95% confidence interval (CI) -19 sampai

-8 mg), dan skor nyeri (awal) pada saat istirahat sebesar (WMD – 11

mm on the VAS, 95% CI -12 to -2 mm), selama kegiatan (WMD -8 mm on

the VAS; 95% CI -13 to -3 mm), dan hal ini menunjukkan keuntungan dari

pemberian gabapentin. Sedangkan dari studi-studi pembedahan tulang

belakang (4 studi), analisis menunjukkan penurunan yang bermakna

dalam konsumsi morfin (WMD dari - 31 mg (95% CI - 53 sampai -10 mg)

dan skor nyeri, awal (WMD - 17 mm pada VAS; 95% CI –31 ke -3 mm)

dan akhir (WMD -12 mm pada VAS; 95% CI -23 dengan -1 mm) yang

 juga menguntungkan pengobatan gabapentin. Keluhan mual dari pasien

dengan histerektomi abdominal juga diperbaiki dengan pemberian

gabapentin (RR 0,7; 95% CI 0,5 menjadi 0,9). Sedangkan efek samping

lainnya tidak terpengaruh. 27,28 

Dari data tersebut menunjukkan bahwa gabapentin mempunyai

potensi dalam hal menurunkan kebutuhan morfin, skor nyeri serta

menurunkan efek samping keluhan mual dan muntah pada pasien pasca

histerktomi abdominal maupun pembedahan spinal. Karena sensitisasi

sentral dapat berhubungan dengan terjadinya beberapa manifestasi nyeri

pascabedah dini, seperti juga pada transisi menjadi nyeri kronis, obat

yang mempunyai efek anti-hiperalgesia dapat menekan kedua fase nyeri.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 39/89

22

Dengan mempertimbangkan efek anti-hiperalgesia oleh gabapentin,

terutama kemampuannya untuk mempengaruhi proses nosiseptif secara

selektif pada sensitisasi sentral, maka penggunaannya pada periode

perioperatif dapat disarankan. 27,28 

3. Morphine

Morfin berasal dari perkataan “Morpheus” yaitu dewa mimpi dalam

mitologi Yunani. Morfin merupakan suatu kata yang tidak asing dalam

dunia kedokteran. Dalam dunia kedokteran morfin merupakan analgesik

narkotik yang biasa digunakan dalam operasi dan biasanya digunakan

pada tentara di medan perang yang terkena tembakan pistol ataupun

terkena tusukan benda tajam yang dengan terpaksa dalam keadaan

darurat digunakan untuk menahan rasa sakit yang sangat berat.29,30 

Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama

mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat.

 Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi, euforia, physical

dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai

agonis reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.

Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-

glucuronide dan morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat,

M6G tampak memiliki efek analgesia lebih potensial ketimbang morfin

sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak sebagai analgesia.

Perihal signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 40/89

23

suatu dosis morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi. 29,30 

Gambar 3. Struktur kimia Morphine

Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan,

intravena, maupun epidural. Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin

menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif pada otot. Oleh karena

itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila di kalangan

militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat

tersebut. 29,30 

Potensi analgesik yang kuat, akhirnya membuat morfin menjadi

cara untuk mengatasi kasus nyeri parah di rumah sakit. Misalnya saja,

mengatasi nyeri pasca bedah, nyeri karena trauma, mengurangi nyeri

parah kronik misalnya pada penderita kanker dan batu ginjal serta nyeri

punggung. Di samping itu, morfin juga digunakan sebagai adjuvan pada

anestesi umum. Morfin adalah alkaloid analgesik yang sangat kuat dan

merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium. Penggunaan

morfin harus disesuaikan dengan dosis dan frekuensi yang tepat.

Penyalahgunaan morfin akan berakibat pada ketagihan yang bisa

menimbulkan masalah social dan ekonomi. 29,30 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 41/89

24

Tabel 1. Rekomendasi untuk penanganan nyeri pasca operasi tulang dan

sendi.5

 

Dikutip dari:

Herkowitz HN. Et al ., Pain management the orthopaedic surgeon’s perspective. OREF-

 AOA Pain Management Initiative. The Oversight Committe. Nov 2007; www.oref.org 

Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk

menghilangkan sakit. Efek samping morfin antara lain adalah penurunan

kesadaran, euforia (rasa inilah yang sering dicari oleh penyalahguna

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 42/89

25

morfin), rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi

rasa lapar, merangsang batuk, dan menyebabkan konstipasi. Morfin

menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien

morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk. 29,30 

H. Kerangka teori

BAB III

KERANGKA KONSEP

Parecoxib

morphine

 

Dosis total morphine

 pasca bedah menurun

Gabapentin 

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 43/89

26

BAB III

METODE PENELITIAN

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

GABAPENTIN

300MG

TOTAL

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 44/89

27

A. Desain penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah uji klinis acak

tersamar ganda (randomized double blind clinical trial). 

B. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar dan

 jejaring, dari bulan September 2013 sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

C. Populasi penelitian

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien dewasa yang

menjalani operasi orthopedi anggota gerak bawah dengan anastesi SAB

di RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar. 

D. Sampel dan cara pengambilan sampel

Sampel penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi

dan setuju untuk ikut dalam penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara

acak dari semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

E. Perkiraan besar sampel

Perkiraan besar sampel untuk setiap kelompok diperkirakan

dengan menggunakan rumus estimasi beda dua mean dibawah ini:

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 45/89

28

2

21

PI2n

 

 

 

 

 

Ket :

n : perkiraan besar sampel   : 0,20

PI : Power Indeks (nilai Z + Z) = 2,80   : 0,84

  : Standar deviasi kebutuhan morfin (6 mg)

1 - 2  : Perbedaan kebutuhan morfin yang ingin diteliti (5 mg)

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas

diperoleh sampel minimal untuk setiap kelompok adalah 23 pasien. Dari

perhitungan diatas jumlah total sampel adalah 46, ditambah 10% untuk

kemungkinan drop out maka seluruh sampel yang digunakan adalah 50

pasien yang terbagi atas 2 kelompok.

F. Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Drop Out  

1. Kriteria Inklusi

a. Setuju ikut serta dalam penelitian dan menandatangani surat

persetujuan penelitian.

b. Usia 20 – 60 tahun.

c. BB : 40 – 70 kg.

d. PS. ASA I – II.

e. Jenis operasi orthopedi anggota gerak bawah

f. anestesi SAB.

g. Mampu memahami penjelasan tentang penggunaan  patient-

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 46/89

29

controlled analgesia (PCA).

h. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat.

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

b. Pasien dengan riwayat penyakit serebrovaskuler.

c. Pasien dengan gangguan fungsi hepar.

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

e. Pasien dengan riwayat toleransi atau adiksi opioid.

f. Pasien dengan riwayat adiksi alkohol (alkoholisme).

g. Pasien dengan riwayat alergi terhadap obat-obatan yang digunakan

dalam penelitian ini.

h. Pasien dengan riwayat asma.

3. Kriteria pengunduran diri/dropout  

a. Lama operasi lebih dari 2 jam

b. Anestesi spinal tidak bekerja

c. Terjadi PDPH ( post-dural puncture headache)

d. Pasien memerlukan pembedahan ulang selama waktu

pengamatan.

G. Ijin penelitian dan Ethical Clearance (Kelaikan Etik)

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan

kelayakan etik (ethical clearance) dari komisi Etik Penelitian Biomedis

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 47/89

30

pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua

penderita yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan

dan menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian

secara sukarela. Bila karena suatu alasan, penderita berhak

mengundurkan diri dari penelitian ini.

H. Cara kerja

1. Alokasi Subyek

Pada saat kunjungan praoperasi, pasien diberikan penjelasan

tentang cara penggunaan PCA. Penderita yang akan menjalani operasi

orthopedi anggota gerak bawah dengan anastesi SAB dan masuk kriteria

inklusi dilakukan pemeriksaan tekanan darah, denyut jantung (nadi),

frekuensi pernafasan.

a. Kelompok P (Parecoxib)  diberikan Parecoxib (Dynastat®) 40mg

bolus intravena sesaat sesudah dilakukan SAB dan 12 jam pasca

pemberian obat pertama.

b. Kelompok G (Gabapentin)  diberikan Gabapentin (Neurontin®)

300mg peroral 30 menit sebelum dilakukan SAB dan 12 jam pasca

pemberian obat pertama.

2. Cara Penelitian

a. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur operasi

elektif orthopedi yang berlaku. Pada saat kunjungan praoperasi,

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 48/89

31

pasien diberikan penjelasan tentang penggunaan alat  patient-

controlled analgesia (PCA).

b. Saat pasien tiba dikamar operasi, seluruh alat pemantauan rutih

seperti EKG, tekanan darah non invasif, pulse oxymetry  dan stetoskop

prekordial dipasang. Dilakukan pengukuran dan pencatatan

hemodinamik (tekanan darah sistolik, diastolik, arteri rerata dan laju

 jantung) basal (T0).

c. Pasien kemudian menerima infus cairan Ringer Laktat 500ml melalui

kateter intravena 18G dan tranfusi set untuk prosedur loading  cairan

sebelum anestesi spinal.

d. Secara acak sederhana, pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu

kelompok Gabapentin dan kelompok Parecoxib. Pada kelompok

Gabapentin diberikan Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 30

menit sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal (blok subaraknoid)

sesuai dengan prosedur standar dengan menggunakan jarum spinal

(Spinocain®) no. 25G dan agen bupivakain 0,5% hiperbarik sebanyak

3 ml (15mg), sedangkan pada kelompok Parecoxib diberikan

Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena sesaat sesudah dilakukan

tindakan anestesi spinal.

e. Selama operasi berlangsung diberikan O2  2 liter/menit via nasal

canula.

f. Jika terjadi bradikardi (laju jantung < 50 kali/menit), maka dilakukan

pemberian atropin sulfat 0,5 mgIV.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 49/89

32

g. Jika terjadi hipotensi (tekanan arteri rerata ≤ 65 mmHg), maka

dilakukan pemberian ephedrin 5-10 mgIV.

h. Jika terjadi PONV (perioperative nausea and vomiting)  diberikan

ondansetron 4 mgIV.

i. Pada akhir operasi (ditandai dengan selesainya jahitan kulit terakhir),

dimulai penghitungan jangka waktu untuk kebutuhan analgesik

pascabedah pertama selama 24 jam pascabedah pada kedua

kelompok. Pasien ditransfer ke PACU.

 j. Pengamatan dimulai di PACU dengan mengamati jangka waktu

antara akhir operasi (seperti tertulis di poin i) dengan pemberian

analgesik pertama atas perimintaan pasien. Analgesik pertama yang

diberikan adalah loading dose  morfin 2 mg melalui alat PCA

(Perfusor ®  Space, B.Braun Melsungen AG). Selanjutnya alat PCA

diatur dengan bolus dose 1mg dan lock-out interval  7 menit.

k. Pengamatan dilakukan di ruang perawatan dengan menilai jumlah

konsumsi morfin pada 4, 8, 12, 16, 20 dan 24 jam serta menghitung

konsumsi morfin melalui alat PCA dalam 24 jam pascabedah.

l. Pada kelompok Gabapentin, 12 jam setelah pemberian Gabapentin

pertama (30 menit sebelum spinal/T0) diberikan Gabapentin lagi

karena dinilai efek preventifnya demikian juga dengan kelompok

Parecoxib.

m. Dilakukan juga pengamatan terhadap timbulnya efek samping yang

berhubungan dengan pemberian dengan Gabapentin dan Parecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 50/89

33

(PONV dan somnolence) serta tekanan darah dan laju jantung pada 4,

8, 12, 16, 20 dan 24 jam pascabedah. Jika terjadi PONV diberikan

ondansetron 4 mgIV. Jika terjadi pruritus pada penggunaan morfin

diberikan difenhidramin 12,5-25 mg intravena. Jika terjadi PDPH maka

diberikan analgesik parasetamol 1 gr intravena, tirah baring, hidrasi

dan pasien dikeluarkan dari prosedur penelitian.

I. ALUR PENELITIAN

PASIEN YANG MEMENUHI

KRITERIA PENELITIAN

Anestesi SAB dengan

Buvipacaine 0,5%

KELOMPOK

PARECOXIB

KELOMPOK

GABAPENTIN

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 51/89

34

J. Identifikasi dan klasifikasi variable

1. Identifikasi variabel

Berdasarkan hipotesis yang dibangun maka didapatkan

variabel-variabel yaitu :

a. Trauma pembedahan

b. Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 30 menit sebelum spinal

dan Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 12 jam setelah

pemberian pertama.

ANALISA DATA &

PELAPORAN

PENGAMATAN &

PENGUMPULAN DATA

PEMBEDAHAN

ORTHOPEDI ekstremitas

KESIMPULAN

VAS ≥ 4 BERIKAN

MORPHINE 2mg (bolus)PARECOXIB 40MG IV

SESAAT SESUDAH SAB

(T=0)

Atas permintaan pasien

MORPHINE 2mg (bolus)

PENGAMATAN &

PENGUMPULAN DATA

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 52/89

35

c. Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena sesaat sesudah spinal

dan Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena 12 jam setelah

pemberian pertama.

d. Umur.

e. ASA PS.

f. Lama operasi.

g. Jangka waktu pemberian morfin pertama pascabedah.

h. Konsumsi morfin pasca bedah.

i. Timbulnya efek samping PONV dan somnolence.

 j. Tekanan darah.

k. Laju jantung.

2. Klasifikasi variabel

a. Berdasarkan jenis variabel

1) Variabel kategorikal :

a) Veriabel nominal : Gabapentin (Neurontin®) 300mg

peroral 30 menit sebelum spinal dan Gabapentin

(Neurontin®) 300 mg peroral 12 jam setelah pemberian

pertama dan Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena

sesaat sesudah spinal dan Parecoxib (Dynastat®) 40mg

intravena 12 jam setelah pemberian pertama.

b) Variabel ordinal : ASA PS

2) Variabel numerik

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 53/89

36

Variabel rasio : umur, tekanan darah, laju jantung, lama

operasi, jangka waktu pemberian pertama morfin pasca bedah

dan konsumsi morfin pasca bedah.

b. Berdasarkan peran/fungsi variabel

1) Variabel bebas

  Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 30 menit

sebelum spinal dan Gabapentin (Neurontin®) 300 mg

peroral 12 jam setelah pemberian pertama.

  Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena sesaat sesudah

spinal dan Parecoxib (Dynastat®) 40 mg intravena 12 jam

setelah pemberian pertama.

2) Variabel tergantung

  Jangka waktu pemberian morfin pascabedah.

  Konsumsi morfin pascabedah.

3) Variabel antara

  Trauma pembedahan.

4) Variabel kendali

  Umur.

  ASA PS.

  Lama operasi.

K. Definisi operasional

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 54/89

37

1. Karakteristik penderita adalah data pribadi dari pasien, seperti jenis

kelamin, umur, pendidikan dan berat badan.

2. Operasi orthopedi ekstremitas bawah adalah operasi orthopedi yang

melibatkan tulang panjang yang termasuk dalam regio ekstremitas

bawah (os femur, os tibia dan os fibula).

3. Kelompok Gabapentin adalah kelompok yang mendapatkan

Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 30 menit sebelum spinal dan

Gabapentin (Neurontin®) 300 mg peroral 12 jam setelah pemberian

pertama.

4. Kelompok Parecoxib adalah kelompok yang mendapatkan Parecoxib

(Dynastat®) 40 mg intravena sesaat sesudah spinal dan Parecoxib

(Dynastat®) 40 mg intravena 12 jam setelah pemberian pertama.

5. Anestesi spinal adalah tindakan anestesi dengan cara menginsersi

 jarum spinal no. 25G kedalam ruang subaraknoid columna vertebralis

melalui interspace L3-4  atau L4-5  lalu menyuntikkan anestetik lokal

bupivakain 0,5% hiperbarik sebanyak 3 ml (15 mg).

6. Umur pasien dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum

dalam status pasien yang dikonfirmasikan dengan pasien.

7. ASA PS adalah penilaian status fisik pasien untuk menilai resiko

anestesi dan pembedahan berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh

 American Society of Anesthesiologist  (ASA).

8. Lama operasi adalah jangka waktu yang dihitung mulai dari saat insisi

kulit pertama hingga selesainya jahitan kulit terakhir.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 55/89

38

9. Tanda vital :

a. Tekanan darah sistolik dan diastolik adalah hasil pengukuran

dengan menggunakan monitor tekanan darah non invasif.

b. Laju jantung adalah hasil pengukuran laju jantung dengan

menggunakan monitor pulse oxymetri. 

10. Kebutuhan analgesik morfin pascabedah dijabarkan sebagai jangka

waktu pemberian pertama morfin pascabedah dan konsumsi morfin

pascabedah :

a. Jangka waktu pemberian pertama morfin pasca bedah adalah

 jangka waktu yang dihitung mulai dari akhir operasi (ditandai

dengan selesainya jahitan kulit terakhir) hingga saat pemberian

morfin loading dose 2 mg atas permintaan pasien.

b. Konsumsi morfin pascabedah adalah jumlah morfin yang

dibutuhkan oleh pasien sebagai analgesik pascabedah yang

diberikan melalui alan  patien-controlled analgesia (PCA Perfusor ® 

Space, B.Braun Melsungen AG) yang dinilai dalam periode 24 jam

pascabedah.

c. PONV ( perioperative nausea and vomiting ) adalah timbulnya

gejala mual dan muntah pada periode pascabedah.

d. Somnolence adalah suatu kondisi dimana saat seseorang tampak

mengantuk dan kesadaran dapat pulih langsung bila dirangsang.

L. Kriteria Obyektif

1. Umur pasien dinyatakan dalam satuan tahun.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 56/89

39

2. ASA PS : (1) Sehat, tidak ditemukan masalah medis.

(2) Menderita penyakit sistemik ringan.

(3) Menderita penyakit sistemik berat, namun tidak

mengakibatkan berkurangnya kapasitas hidup.

(4) Menderita penyakit sistemik yang berat dan dapat

mengancam nyawa.

(5) Morbid, tidak memiliki harapan hidup dalam 24 jam.

(6) Cangkok organ.

3. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan mmHg.

4. Laju jantung dinyatakan dalam satuan kali permenit.

5. Lama operasi dinyatakan dalam satuan menit.

6. Jangka waktu pemberian pertama morfin pascabedah dinyatakan

dalam satuan menit.

7. Konsumsi morfin pascabedah dinyatakan dalam satuan mg/24 jam.

8. PONV dinyatakan dalam skala 0 (tidak ada) dan 1 (ada).

9. Somnolen dinyatakan dalam skala 0 (tidak ada) dan 1 (ada).

M. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah dengan menggunakan program SPSS

17 for Windows. Hasil pengolahan data ditampilkan dalam bentuk tabel,

grafik dan narasi. Analisis statistik yang digunakan adalah uji t untuk

variabel numerik, uji chi-square untuk variabel nominal dan uji Mann-

Whitney U  untuk variabel ordinal dan variabel dengan distribusi data yang

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 57/89

40

tidak normal. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 5%, artinya bila

 p<0,05   maka perbedaan tersebut dinyatakan bermakna secara statistik,

dengan interval kepercayaan 95%.

N. Personalia Penelitian

Pelaksana : dr. Bernard Taufan Soehaemy

Pembimbing materi : Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD., SpAn.-KIC,KMN

Pembimbing statistik : Dr. dr. Arifin Seweng, MPH

Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Ilmu Anestesi FK-UNHAS

BAB V

HASIL PENELITIAN

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 58/89

41

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dari bulan September

2013 sampai bulan November 2013 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar dan jejaring dan diperoleh 50 pasien yang bersedia mengikuti

penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. 50 pasien tersebut kemudian

dibagi dalam 2 kelompok secara acak agar variasi individu terbagi secara

merata pada kedua kelompok. Semua pasien menjalani operasi

ekstremitas bawah dengan anestesi spinal. Pada kelompok Parecoxib

diberikan Parecoxib (Dynastat®) 40 mg bolus intravena sesaat sesudah

dilakukan SAB dan 12 jam pasca pemberian obat pertama, sedangkan

pada kelompok Gabapentin diberikan Gabapentin (Neurontin®) 300 mg

per oral 30 menit sebelum dilakukan SAB dan 12 jam pasca pemberian

obat pertama. Dari 48 pasien yang dikutkan dalam penelitian ini sebanyak

4 pasien dikeluarkan (drop-out) dari penelitian ini karena lama operasi

lebih dari 2 jam; sehingga total ada 46 pasien yang menjalani prosedur

penelitian ini, 23 pasien pada kelompok Gabapentin dan 23 pasien pada

kelompok Parecoxib.

A. Karakteristik Sampel

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 59/89

42

Karakteristik sampel kedua kelompok antara lain berupa umur, jenis

kelamin, tinggi badan, ASA PS, lama operasi. Hasil uji homogenitas

antara kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. 

Tabel 2. Perbandingan sebaran umur, berat badan dan lama operasipada kedua kelompok

Waktu

Kelompok Gabapentin (n= 23)

Kelompok Parecoxib (n= 23)  p

Mean SD Mean SD

Umur 41.74 13.73 42.22 13.49 0.826

Berat badan 55.26 8.21 53.26 6.14 0.578

Lama operasi 100.00 27.18 102.83 19.93 0.762

Uji Mann-whitney U test, p < 0,05 dinyatakan bermakna

Tabel 3. Perbandingan sebaran jenis kelamin dan ASA PS pada keduakelompok

WaktuKelompok Gabapentin Kelompok Parecoxib

 pn % N %

Jenis kelamin (L/P) 13 / 10 56,5 / 43,5 14 / 9 60,9 / 39,1 1,000

 ASA PS (1/2) 7 / 16 30,4 / 69,6 4 / 19 17,4 / 82,6 0,491

Uji Chi square, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

Dari tabel 2 dan 3 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan perbedaan

yang bermakna dari data demografi pada kedua kelompok penelitian.

Sehingga karakteristik dari sampel penelitian dinyatakan homogen.

B. Tekanan darah

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 60/89

43

Tabel 4. Perbandingan rerata tekanan darah sistolik pada kedua kelompok

WaktuKelompok Gabapentin Kelompok Parecoxib

PMean SD Mean SD

T0 126.52 8.32 123.48 6.47 0.239

T4 123.04 5.59 120.00 5.22 0.062

T8 122.17 5.18 123.04 7.03 0.989

T12 122.39 5.19 122.17 6.00 0.654

T16 125.22 5.93 123.91 7.22 0.264

T20 123.91 4.99 122.61 5.41 0.255

T24 125.00 5.00 123.48 4.87 0.286

Uji t - test, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

Berdasarkan tabel 4, tidak terdapat perbedaan yang bermakna

pada tekanan darah sistolik pada kedua kelompok dimana pada semua

waktu pengukuran didapatkan nilai p>0,05.

Gambar 4. Perbandingan rerata tekanan darah sistolikpada kedua kelompok

Tabel 5. Perbandingan rerata tekanan darah diastolik pada keduakelompok

126,52 

123,04

122,17  122,39

125,22 

123,91

125 

123,48 

120 

123,04

122,17 

123,91

122,61

123,48 

116

118

120

122

124

126

128

T0 T4 T8 T12 T16 T20 T24

   T   D  s   i  s   t  o   l   i   k   (  m  m   H  g   )

Waktu

Gabapentin

Parecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 61/89

44

Waktu

Kelompok Gabapentin(n = 23)

Kelompok Parecoxib (n= 23) P

Mean SD Mean SD

T0 79.57 3.67 77.82 4.22 0.146

T4 79.13 4.17 78.26 3.88 0.186

T8 78.69 3.44 77.82 5.99 0.910

T12 79.83 0.83 78.70 4.58 0.521

T16 78.70 4.58 79.13 4.17 0.572

T20 80.00 0.00 78.70 4.58 0.153

T24 78.26 5.76 79.57 2.09 0.521

Uji t - test, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

Hasil pengamatan variasi tekanan darah diastolik pada tabel 5

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rerata tekanan darah diastolik

yang bermakna secara statistik diantara kedua kelompok pada setiap

waktu pengamatan didapatkan nilai p>0,05. 

Gambar 5. Perbandingan rerata tekanan darah diastolik padakedua kelompok

C. Laju Jantung

Tabel 6. Perbandingan laju jantung pada kedua kelompok

79,57 

79,13

78,69

79,83

78,7 

80 

78,26 

77,82 

78,26 

77,82 

78,7 

79,13

78,7 

79,57 

76

77

78

79

80

81

T0 T4 T8 T12 T16 T20 T24

   T   D   d   i  a  s   t  o   l   i   k   (  m  m   H  g   )

Waktu

Gabapentin

Parecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 62/89

45

Waktu

Kelompok Gabapentin (n= 23)

Kelompok Parecoxib (n= 23)  p

Mean SD Mean SD

T0 80.87 5.56 80.69 2.60 0.198

T4 79.87 5.77 79.22 4.50 0.323

T8 80.43 4.26 77.30 15.51 0.587

T12 78.87 3.85 80.26 2.58 0.226

T16 80.04 5.68 80.91 3.65 0.851

T20 79.96 5.64 80.78 3.61 0.991

T24 79.74 5.47 80.09 2.29 0.546

Uji Mann-whitney U test, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

Gambar 6. Perbandingan laju jantung pada kedua kelompok

Berdasarkan tabel 6, tidak terdapat perbedaan bermakna pada laju

 jantung pada kelompok Parecoxib dan kelompok Gabapentin dimana

semua waktu pengukuran didapatkan nilai p>0,05 .

D. Kebutuhan Analgetik Morfin Pascabedah

Pada penelitian ini untuk mengetahui kebutuhan analgetik,

80,87 

79,87 

80,43

78,87 

80,04 79,96 79,74

80,69

79,22 

77,3

80,26 

80,91 80,78 

80,09

75

76

77

78

79

80

81

82

T0 T4 T8 T12 T16 T20 T24

   L  a   j  u   j  a  n   t  u  n  g   (   X   /  m  e  n   i   t   )

Waktu

GabapentinParecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 63/89

 

dilakukan pengu

pascabedah yang

selesainya jahitan

dose 2 mg atas p

waktu pengamatan

dengan mengguna

tabel 7,8 dan 9.

Tabel 7. PerbandinKelompo

 

Variabel

Waktu rescue

*Uji Mann-whitney U t

Gambar 7. P

Hasil analis

morfin pertama (

0

50

100

150

200

   W  a   k   t  u   (  m  e  n   i   t   )

  uran jangka waktu pemberian m

dihitung mulai dari akhir operasi (di

kulit terakhir) hingga saat pemberian

ermintaan pasien, jumlah morfin yang

dan total rescue  morfin pascabedah

kan alat PCA. Hasil analisis statistik da

gan waktu yang dibutuhkan untuk rescu

elompok Gabapentin Kelompok Parec

Mean SD Mean

46.65 16.40 163.26 3

  est, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

rbandingan waktu yang dibutuhkan untpada kedua kelompok

statistik menunjukkan bahwa jangka w

ang identik dengan waktu rescue  a

Gabapentin Parecoxib

46,65 

163,26 

46

rfin pertama

andai dengan

morfin loading

digunakan tiap

elama 24 jam

at dilihat pada

pada kedua

xib p

D

.08 0.000

k rescue

ktu pemberian

algesik) lebih

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 64/89

 

panjang pada ke

Gabapentin, dan p

Tabel 8. Perbandin

Waktu

Kelom

Mea

T0 0.00

T4 3.26

T8 3.35

T12 3.30

T16 3.00

T20 2.65

T24 1.39

 *Uji Mann-whitney U t

 

Gambar 8. Pe

Hasil analis

pada rentang wa

banyak dibanding

bermakna secara s

0

1

2

3

4

T0

0 0 

   M  o  r   f   i  n   (  m  g   )

  lompok Parecoxib dibandingkan den

rbedaan ini bermakna secara statistik ( p

gan kebutuhan morfin via PCA pada ked

pok Gabapentin(n = 23)

Kelompok Parecoxi(n = 23)

SD Mean SD

0.00 0.00 0.0

  1.18 1.09 1.2

  1.07 2.57 1.1

  0.76 1.83 0.6

  0.85 1.30 0.8

  0.77 1.26 0.9

  1.37 0.43 0.7

st, p < 0,05 dinyatakan bermakna

rbandingan kebutuhan morfin via PCA pkelompok

statistik menunjukkan bahwa jumlah ke

tu pengamatan pada kelompok Gab

an dengan kelompok Parecoxib, dan

tatistik ( p<0,05 ).

T4 T8 T12 T16 T20 T24

3,26  3,35  3,3

3

2,65 

1,39

1,09

2,57 

1,83

1,3 1,26 

0,43

Waktu

47

an kelompok

<0,05 ).

ua kelompok 

P

1.000

0.305

0.000

0.003

0.000

0.000

0.014

da kedua

utuhan morfin

apenting lebih

perbedaan ini

Gabapentin

Parecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 65/89

 

Tabel 9. Perbandin

Variabel

Kel

Jumlah rescue

*Uji Mann-whitney U t

  Gambar 9. Perb

Hasil analis

dalam 24 jam pa

menggunakan mo

perbedaan ini berm

E. Efek Samping

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

   M  o  r   f   i  n   (  m  g   )

gan jumlah rescue morfin pada kedua ke

ompok Gabapentin (n =23)

Kelompok Pareco= 23)

Mean SD Mean

16.96 2.93 8.48 1

  est, p < 0,05 dinyatakan bermakna 

andingan jumlah rescue morfin pada ked

statistik menunjukkan bahwa jumlah

scabedah pada kelompok Gabapentin

fin dibandingkan dengan kelompok

akna secara statistik ( p<0,05 ).

Gabapentin Parecoxib

16,96 

8,48 

48

lompok 

ib (n

 p

D

.78 0.000

ua kelompok

rescue  morfin

lebih banyak

arecoxib, dan

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 66/89

 

Tabel 10. Perbandikelompo

 

Variabel

Mual (Ya/Tidak)

Somnolen (Ya/Tidak)

Uji Chi square, p < 0,0

Gambar 1

 

Hasil penga

ada perbedaan kej

somnolen didapat

dinyatakan tidak be

0

5

10

15

20

25

  n   (  o  r  a  n  g   )

ngan frekuensi mual dan somnolen pada

Kelompok Gabapentin Kelompok Par 

n % n

2 / 21 8.7 / 91.3 3 / 20

3 / 20 13.0 / 86.9 0 / 23 15

dinyatakan bermakna

0. Perbandingan frekuensi mual dan sokedua kelompok 

atan PONV pada tabel 10 menunjukk

adian PONV disetiap waktu pengamata

pada kelompok Gabapentin sebanyak

rmakna secara statistik.

ual Tidak mual Somnolen Tidak somnolen

21

16 

3

20 

23

49

kedua

ecoxibP

%

3 / 87 1.000

.2 / 84.8 0.491

nolen pada

n bahwa tidak

n dan kejadian

3 kasus dan

Gabapentin

Parecoxib

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 67/89

50

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Karakteristik sampel

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 68/89

51

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kebutuhan morfin

pascabedah pada kelompok yang mendapatkan preventif gabapentin 300

mg peroral dan parecoxib 40 mg intravena. Penelitian dilakukan terhadap

46 pasien yang menjalani pembedahan orthopedi ekstremitas bawah

dengan menggunakan anestesi subaraknoid blok (SAB) diinstalasi bedah

pusat RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya. Penelitian dilakukan

terhadap 46 pasien yang bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi

kriteri inklusi. Kemudian dari 46 pasien tersebut dibagi dalam 2 kelompok

secara acak agar variasi individu terbagi merata pada kedua kelompok.

Kelompok tersebut adalah kelompok yang mendapatkan Gabapentin dan

kelompok yang mendapatkan parecoxib.

Kategori umur dalam penelitian ini dibatasi dari umur 18 sampai 60

tahun. Kelompok Gabapentin memiliki rerata umur 41,74±13,73 tahun

sedangkan kelompok Parecoxib memiliki rerata umur 42,22±13,49 tahun.

Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik rerata umur diantara

kedua kelompok dengan nilai p=0,826 (p>0,05).

Berat badan dapat dilihat bahwa kelompok Gabapentin memiliki

rentang 55,26±8,21 kg dan kelompok Parecoxib memiliki rentang

53,26±6,14 kg. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata berat

badan pada kedua kelompok dengan nilai p=0,578 ( p>0,05 ).

Lama operasi didapatkan nilai rerata untuk kelompok Gabapentin

100,00±27,18 menit dan kelompok Parecoxib 102,83±19,93 menit. Dari

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 69/89

52

hasil analisa statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara

kedua kelompok dengan nilai p=0,762 ( p>0,05 ).

Jenis kelamin pada penelitian ini memiliki jumlah pasien laki-laki

yang lebih banyak. Pada kelompok Gabapentin terdiri atas 13 pasien laki-

laki dan 10 pasien perempuan sedangkan kelompok Parecoxib terdiri atas

14 pasien laki-laki dan 9 pasien perempuan. Pada perbandingan sebaran

 jenis kelamin pada kedua kelompok menurut hasil analisa statistik tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai  p=1,000 ( p>0,05 ).

Dengan demikian kedua kelompok memiliki jenis kelamin yang homogen.

Penelitian ini membatasi pasien pada status ASA PS kategori 1 dan

2. Pada kelompok Gabapentin terdiri atas 7 pasien yang termasuk ASA

PS kelas 1 dan 16 pasien yang termasuk ASA PS kelas 2 sedangkan

kelompok parecoxib terdiri atas 4 pasien yang termasuk ASA PS kelas 1

dan 19 pasien yang termasuk ASA PS kelas 2. Pada perbandingan

sebaran ASA PS pada kedua kelompok menurut hasil analisa statistik

tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai  p=0,491

( p>0,05 ). Dengan demikian kedua kelompok mempunyai sebaran ASA PS

yang homogen.

Karakteristik sampel penelitian antara kedua kelompok dalam

penelitian ini dinilai homogen serta tidak bermakna secara statistik.

Karakteristik sampel diuji menggunakan Mann-Whitney untuk data

parametrik berupa umur, berat badan dan lama operasi. Sedangkan data

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 70/89

53

non parametrik seperti jenis kelamin dan ASA PS dianalisa menggunakan

Chi-square test. 

B. Tekanan darah

Penilaian respon hemodinamik pada penelitian ini yaitu tekanan

darah dan laju jantung, pada kedua kelompok dimana menunjukkan tidak

adanya gejolak hemodinamik yang signifikan. Tabel dan grafik tersebut

menunjukkan dari mulai pengukuran nilai basal kemudian dengan rentang

waktu 4 jam hingga mencapai 24 jam pasca pemberian obat (Gabapentin

atau Parecoxib) tidak menunjukkan gejolak hemodinamik yang signifikan.

Berdasarkan tabel 4 dan 5 yang diuji menggunakan uji Mann-

Whitney U-test   tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan

darah sistolik dan diastolik pada kedua kelompok, dimana pada semua

waktu pengukuran didapatkan nilai  p>0,05   yang menyatakan tidak

terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

C. Laju jantung

Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata basal laju jantung pada

saat pemberian obat preventif Gabapentin 300mg peroral dan pemberian

Parecoxib 40mg intravena hingga 24 jam kemudian dengan interval waktu

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 71/89

54

pengamatan 4 jam tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.

Berdasarkan tabel 6 laju jantung diuji menggunakan uji Mann-Whitney U-

test   tidak mendapatkan perbedaan yang bermakna pada kedua

kelompok, dimana pada semua waktu pengukuran didapatkan nilai

 p>0,05 .

D. Kebutuhan analgesik morfin pasca bedah

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran jangka waktu pemberian

morfin pertama pascabedah yang dihitung mulai dari akhir operasi

(ditandai dengan selesainya jahitan kulit terakhir) hingga saat pemberian

morfin loading dose 2 mg atas permintaan pasien. Hasil analisa statistik

menunjukkan bahwa jangka waktu pemberian morfin pertama (yang

identik dengan waktu rescue  analgesik) lebih panjang pada kelompok

Parecoxib dibandingkan dengan kelompok , dan perbedaan ini bermakna

secara statistik dengan p=000 ( p<0,05 ).

Waktu pemberian morfin pertama pada kelompok Gabapentin pada

kisaran 46,65±16,40 menit, sedangkan pada kelompok Parecoxib

163,26±33,08 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi

Gabapentin plasma tidak mencapai level yang optimal pada periode

pascabedah, maka diperlukan peningkatan dosis untuk mencapai level

terapeutik. Parikh dkk (2013) meneliti tentang penggunaan dosis

Gabapentin 600 mg peroral mengurangi nyeri pascabedah dan kebutuhan

analgesik pada operasi abdomen dengan anestesi umum, yang dilakukan

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 72/89

55

secara randomized double blind study  pada 60 pasien yang terbagi dalam

2 kelompok yaitu Gabapentin 600 mg dan placebo. Didapatkan hasil

Gabapentin 600 mg peroral mengurangi nyeri pascabedah dan

menurunkan kebutuhan analgesik Tramadol pada operasi abdomen.28 

Sedangkan Montazeri dkk (2007) melakukan penelitian tentang

penggunaan preemptif gabapentin 300 mg peroral pada operasi ortopedi

ekstremitas bawah dengan anestesi umum. Penelitian dilakukan secara

double blind   pada 70 pasien ASA PS 1 dan 2 yang terbagi dalam 2

kelompok yaitu Gabapentin 300 mg dan placebo. Didapatkan hasil bahwa

preemptif Gabapentin 300 mg peroral dapat menurunkan nyeri

pascabedah dan menurunkan rescue analgesik morfin (total kebutuhan

morfin 24 jam adalah 15,43±2,54 mg) .31 

Mekanisme kerja Gabapentin dimediasi oleh ikatan dengan α2δ sub

unit pada voltage-gated calcium channel . Gabapentin mungkin

menghasilkan nosisepsi dengan menghambat influks kalsium melalui

calcium channel dan kemudian menghambat pelepasan neurotransmitter

eksitatori (mis. Substansi P, Calcium gene related-peptide) dari serabut

nervus afferent pada jalur nyeri. Dengan mempertimbangkan efek

antihiperalgesia dan anti alllodinia oleh Gabapentin, terutama

kemampuannya untuk mempengaruhi proses nosisepsi secara selektif

pada sensitisasi sentral, maka penggunaannya pada periode perioperatif

dapat disarankan.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 73/89

56

Peningkatan jumlah studi ataupun penelitian Gabapentin untuk

nyeri menunjukkan bahwa Gabapentin efektif untuk penanganan nyeri

pascabedah. Sampai saat 2007-2008, paling tidak ada empat meta

analisis tentang Gabapentin untuk penanganan pasca bedah yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari beberapa studi yang ada.

Dari meta-analisis tersebut menunjukkan bahwa Gabapentin mempunyai

potensi dalam memperbaiki skor nyeri ataupun dalam hal jumlah

penggunaan morfin. Dari salah satu meta-analisis yang ada menunjukkan

sparing effect   dan mengurangi skor nyeri dalam waktu 24 jam pertama

pascabedah histerektomi abdominalis dan pembedahan tulang belakang.

Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan jumlah kebutuhan

morfin menurut interval waktu 4 jam hingga 24 jam pasca pemberian obat

pertama(T0). Pada 0 hingga 4 jam pasca pemberian obat tidak terdapat

perbedaan kebutuhan morfin yang bermakna secara statistik ( p>0,05 ).

Terdapat perbedaan kebutuhan morfin yang bermakna pada waktu

pengamatan 8,12,16 dan 20 jam. Dapat disimpulkan bahwa pada kedua

kelompok pengamatan memerlukan konsumsi morfin, dimana pada

kelompok Gabapentin memerlukan jumlah rescue morfin yang lebih besar

daripada kelompok Parecoxib (tabel 8).

Perbandingan jumlah total kebutuhan morfin pada kelompok

Gabapentin dan Parecoxib mempunyai perbedaan yang bermakna secara

statistik  p=0,000 ( p<0,05 ). Dimana rata-rata konsumsi morfin pada

kelompok Gabapentin 16,96±2,93 mg dan pada kelompok Parecoxib rata-

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 74/89

57

rata konsumsi morfin 8,48±1,78 mg.(tabel 9) Dapat disimpulkan bahwa

kelompok Gabapentin lebih banyak dalam penggunaan kebutuhan morfin

dibandingkan pada kelompok Parecoxib.

Bhattacharya dkk (2005) meneliti secara double bli nd tentang

penggunaan Parecoxib intravena mempunyai opioid sparing effect pada

operasi ginekologik dengan SAB, yang dilakukan pada 100 pasien ASA

PS 1 dan 2, yang terbagi dalam 2 kelompok Parecoxib 40 mg intravena

dan placebo. Diperoleh kesimpulan pemberian Parecoxib secara

signifikan menurunkan skor nyeri dan kebutuhan analgesik opioid (Petidin

90,5 mg/24 jam) dengan efek samping minimal.32 

Rimaz dkk (2012) dengan menggunakan metode randomized

double blind , meneliti tentang efek Gabapentin dan konsumsi morfin dan

nyeri pascabedah debridement luka bakar yang dilakukan pada 50 pasien

yang terbagi atas 2 kelompok yaitu Gabapentin 1200 mg peroral dosis

tunggal dan placebo. Diperoleh kesimpulan bahwa konsumsi morfin

berkurang secara signifikan pada kelompok Gabapentin dibandingkan

placebo (33,8±18 mg).33 

E. Efek samping

Efek samping yang ditemukan pada penelitian ini adalah mual dan

somnolen. Pada kelompok Gabapentin ditemukan 2 kasus mual dan pada

kelompok Parecoxib 3 pasien, namun hal ini tidak berbeda bermakna

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 75/89

58

secara statistik  p=1,000 ( p>0,05 ). Hal ini sesuai dengan salah satu

keunggulan Parecoxib yang aman bagi saluran cerna. Sedangkan pada

kelompok Gabapentin ditemukan kasus somnolen sebanyak 3 pasien dan

ini tidak berbeda bermakna secara statistik p=0,491.(p<0,05). Somnolen

adalah keadaan dimana pasien selalu ingin tidur tetapi mudah

dibangunkan, hal ini sesuai dengan efek samping pemberiaan Gabapentin

yaitu somnolen, dizzines  dan ataksia. Hal ini juga ditemukan pada

beberapa penelitian tentang Gabapentin tetapi hasilnya juga tidak

bermakna secara statistik, misalnya pada penelitian Bartholdy dkk (2006)

tentang efek Gabapentin terhadap kebutuhan morfin dan skor nyeri pada

operasi laparoskopi sterilisasi.30 

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 76/89

59

1. Pemberian preventif Parecoxib 40 mg iv lebih mengurangi kebutuhan

pemakaian morfin pascabedah ekstremitas anggota gerak bawah

dengan anestesi spinal dibandingkan dengan preventif Gabapentin

300 mg p.o

2. Jangka waktu rescue analgesik morfin lebih panjang pada preventif

Parecoxib 40 mg bila dibandingkan dengan Gabapentin 300 mg per-

oral.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan obat-obat

anti nosisepsi lain yang pemberiannya secara per-oral untuk

mengetahui opioid sparing effect.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan Gabapentin

peroral dengan dosis yang lebih ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 77/89

60

1.  Herkowitz HN. Et al ., Pain management the orthopaedic surgeon’s

perspective. OREF-AOA Pain Management Initiative. The Oversight

Committe. Nov 2007; www.oref.org 

2.  Mumm, Jesse A., Preemptive non-steroidal anti-inflammatory drugs for

orthopedic surgery (2010). School of Physician Assistant Studies.

Paper 225. 

3.  Tanra AH. Pengelolaan nyeri pasca bedah, Kumpulan makalah PIB XI

IDSAI Medan, 2002 : 413.

4.  Tanra, A.H. Analgesia Balans, Suatu Pendekatan Multimodal pada

pengelolaan nyeri pasca bedah, Makalah KONAS I Indonesian Pain

Society, Makassar, 2002.

5.  Hopkins D et al. Comparison of tramadol and morphine via

subcutaneous PCA following major orthopaedic surgery. Can J

 Anaesth 1998; 45 (5): 435-42.

6.  Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Melzack R, Wall

PD, editors. Handbook of pain management a clinical companion to

wall and melzack’s textbook of pain. London: Churcill Livingstone;

2003, p 13-30

7.  Salermo A,Herman R. Efficacy and safety of steroid use for

postoperative pain relief. J Bone and joint surg. 2006;88:1361- 1372.

8.  Benner G J, Cliffor j, Woolf. Mechanisms of Chronic Pain. in

 Anesthesiology.The Mc Graw-Hill Companies Inc.2008;2007-17.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 78/89

61

9.  Hubbard FC, Naumann TM, Traylor L, Dhadda S. Parecoxib sodium

has opioid-sparing effects in patients undergoing total knee

arthroplasty under spinal anaesthesia. Br. J. Anaesth. 2003; 90 (2):

166-72.

10.  Nag A, Smith G, Davidson AC. Analgesic effects of parecoxib

following total abdominal histerectomy. Br. J. Anaesth. 2003; 90:746-9

11.  White PF. The rule of non opioid analgetic techniques in the

management of pain after ambulatory surgery. Anaesth Analg. 2002;

94: 577-85

12.  Gupta. Et al., Original article: Clinical evaluation of intra venous

Gabapentin versus parecoxib for postoperative analgesia after general

anesthesia. Anesthesia: Essays and Researches; 6(1); Jan-Jun 2013.

13.  Padi SS, Jain N. K, Singh S,.Kulkarni SK. Pharmacological profile of

parecoxib : a novel, potent injectable selective cyclooxygenase-2

inhibitor. Eur J Pharmacol. 2004; 491: 69-76.

14. The American Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain

Management. Practice guidelines for acut pain management in the

perioperative setting. Anesthesiology. 2004; 100: 1573-81.

15.  Bajaj P, Ballary CC, Dongre NA, Baliga VP, Desai A. Role of

parecoxib in preemptive analgesia comparison of the efficacy and

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 79/89

62

safety of pre and postoperative parecoxib in patients undergoing

general surgery. J Indian Med Assoc. 2004; 102: 272-78.

16.  Tanra, A.H. Nyeri Akut : mekanisme dan pengelolannya, Kumpulan

makalah PERDOSSI Makassar, 2002.

17.  Ashburn MA, Ready LB. Postoperative pain in Bonica’s Management

of Pain 3rd ed, Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC (Eds).

Lippincott Williams & Wilkins. New York. 2001: 67-72

18.  Byers MR, Bonica JJ. Peripheral pain mechanisms and nociceptor

plasticity in Bonica’s Management of Pain 3rd  ed, Loeser JD, Butler

SH, Chapman CR, Turk DC (Eds). Lippincott Williams & Wilkins. New

York. 2001: 28-35

19.  Tanra AH. Nyeri Pasca Bedah Implikasi Sensitisasi Perifer dan

sentral, Simposium Pengelolaan Nyeri, Jakarta, 2004.

20.  Morgan EM, Mikhail MS, Murray MJ. Pain management. In: Morgan

GE, editor. Clinical anesthesiology. 4th  ed. New York: McGraw-Hill.

2006. p. 598-69.

21.  Kawahito Y. Clinical implication of cyclooxygenase-2 inhibitor. Inflamm

Reg. 2007; 27: 552-557.

22.  Kissin I. Pain medicine preemptive analgesia at the crossroad. Anesth

 Analg 2005; 100: 754-6.

23.  Stoelting RK, Cyclooxygenase-2 Inhibitors and Nonspesific non

steroidal Antiinflamatory Drugs. In: Stoelting RK, Hiller SC, editors.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 80/89

63

Pharmacology & physiology in anesthetic practice. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2006, p. 276-88.

24.  Kissin I. Pain medicine preventif analgesia at the crossroad. Anesth

 Analg 2005; 100: 754-6

25.  Mao J, Chen LL. Gabapentin in pain management. Anesth Analg

2000; 91: 680-7.

26.  Golembiewski JA. Postoperative pain management: Is there a role for

gabapentin or pregabalin?. J PeriAnesthesia Nursing 2007; 22: 136-8

27.  Turan A, et al. Gabapentin: sebagai alternatif dari cyclooxygenase-2

inhibitor untuk penanganan nyeri perioperatif. Anesth Analg 2006;

102: 175-81.

28.  Parikh HG, Dash SK, Upasani CB. Study of the effect of oral

gabapentin used as preemptive analgesia to attenuate post-operative

pain in patients undergoing abdominal surgery under general

anesthesia. Saudi J Anesth 2010 Sept; 4(3) : 137-41.

29.  Van Elstrate AC et al. The median effective dose of preemptive

gabapentin on postoperative morphine consumption after posterior

lumbal spinal fusion. Anesth Analg. 2008 Jan ; 106(1): 305-8.

30. Bartholdy J, Hilsted KL, Hjorstoe NC, Engbaek J, Dahl JB. Reseach

article : Effect of gabapentin on morphine demand and pain after

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 81/89

64

laparoscopic sterilization using filshie chips. A double blind

randomized clinical trial. BMC Anesth 2006; 6:12.

31.  Montazeri K, Kashefi P, Honarmand A. Pre-emptive gabapentin

significantly reduces postoperative pain and morphine demand

following lower extremity orthopaedic surgery. Singapore Med J 2007;

48(8):748-751.

32.  Bhattacharya d, Mandak MC, Ghosh S, Deyroy S. Intravenous

parecoxib sodium has opioid sparing effect in patients undergoing

major gynaecological surgery under spinal abaesthesia. Indian J

 Anaesth. 2005; 49(2):122-126.

33.  Rimaz S, Alavi CE, Sedighinejad A, Tolouie M, Kavoosi S,

Kouchakinejad L. Effect of gabapentin on morphine consumption and

pain after surgical debridement of burn wounds. A double-blind

randomized clinical trial study. Arch Trauma Res. 2012; 1(1):38-43.

Lampiran 1

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 82/89

65

PERSETUJUAN SEBELUM PERSIAPAN DIMULAI

“PERBANDINGAN EFEK PREVENTIF PARECOXIB 40 mg INTRAVENA

DAN GABAPENTIN 300 mg PERORAL TERHADAP KEBUTUHAN

MORFIN PASCABEDAH PADA OPERASI ORTOPEDI ANGGOTA

GERAK BAWAH DENGAN ANESTESI SPINAL”

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama/Umur :

 A l a m a t :

No. Rekam Medis :

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya telah mendapatkan

penjelasan dan kesempatan bertanya hal-hal yang belum saya mengerti

tentang penelitian ini. Penjelasan tersebut meliputi manfaat dan

keuntungan serta efek samping dari obat yang akan saya dapatkan

selama penelitian ini dan saya mengerti atas hal tersebut.

Setelah mendapat penjelasan tersebut, dengan ini saya menyatakan

secara sukarela ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak

mengundurkan diri bila ada alasan sehubungan dengan kesehatan saya.

Demikian pula jika terjadi ketidaksesuaian, saya akan menelaah kembali

untuk mencari jalan keluar yang terbaik tentang ketidaksesuaian tersebut.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan

penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 83/89

66

Makassar,........................2013

Saksi, Tanda Tangan Yang Menyatakan,

1. ………………………..... ……………..

2. …………………………. …………….. (……………………….)

Penanggung Jawab Medik, Penanggung Jawab Penelitian,

Prof. Dr. A. Husni Tanra, Ph.D Sp.An KIC dr. Bernard Taufan S

Telp. 0816251597 Telp. 08123020750

Jl. Serigala 179 Makassar

Lampiran 2

LEMBAR PENGUMPULAN DATA

Tanggal : .................... RM : ...............

No. Urut : ...................

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 84/89

67

I. Identitas

Nama / Umur : .......................(inisial) /

............ tahun

Jenis Kelamin : L / P

BB / TB : .................. Kg / ................. Cm

II. Anamnesis

Riwayat penyakit sebelumnya :

  ....................................................................

Riwayat anestesi sebelumnya :

  ....................................................................

III. Pemeriksaan Fisis

Tanda vital :

TD : .................... mmHg N : ...............

x/menit

P : .................... x/menit S : ...............

0

C

VAS : ....................

Kepala :

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 85/89

68

Leher :

Thoraks :

 Abdomen :

Ekstremitas :

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : darah dan urine rutin, kimia darah

Pemeriksaan lain: .......................................................

V. Diagnosis

..............................................................................................................

............ 

VI. Kesimpulan

Operasi : .......................................

 ASA PS : .......................................

Teknik anestesi :.......................................

VII. Perianastesi

TD : ................. mmHg N : ............ x/menit P : ...........

x/menit

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 86/89

69

Mulai anestesi : Jam ................. WITA

Mulai operasi : Jam ................. WITA

Selesai operasi : Jam ................. WITA

VIII. Teknik

1. Kelompok Parecoxib (Dynastat®)

Diberikan preventif Parecoxib 40 mg intravena sesaat sesudah

SAB

2. Kelompok Gabapentin (Neurontin®)

30 menit sebelum SAB diberikan preventif Gabapentin 300 mg

per-oral.

Lampiran 3

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 87/89

70

Lampiran 4

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 88/89

71

ADVERSE EVENT FORM

Identitas

Nama (Inisial) / Umur: …………………………./………… tahun

No. MR : …………………….

Diagnosis : ................................................................................

 Adverse event

No. Gejala Berat Ringan Tidak Ada

1 Hipotensi

2 Bradikardi

3 PDPH

4. PONV

5. Delirium

6. Pruritus

Penanganan adverse event

No. Gejala Penanganan

1 HipotensiPemberian efedrin intravena, pemberian

bolus koloid

2 Bradikardi Sulfat atropin

3 PDPH Parasetamol 1gr IV, tirah baring, hidrasi

4 PONV Ondansetron 4 mg IV

7/24/2019 --bernardtau-4577-1-14dr.b-ygabapenon.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/-bernardtau-4577-1-14drb-ygabapenonpdf 89/89

72

5 Delirium Midazolam 2 mg IV

6 Pruritus Difenhidramin 12,5-25 mg IV

Peneliti,

dr. Bernard Taufan S