150
i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Kebijakan Publik Disusun Oleh: LIES SETYAWATI NIM : S311010104 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

i

SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN

DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Kebijakan Publik

Disusun Oleh:

LIES SETYAWATI

NIM : S311010104

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

ii

SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN

DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

DISUSUN OLEH :

LIES SETYAWATI

NIM : S311010104

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Pembimbing I Prof. Dr. Hartiwingsih S.H., M.Hum ..................... ..................

NIP. 19570203 198503 2 00

2. Pembimbing II Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum ..................... ..................

NIP. 19641201 200501 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.

NIP. 19630209 198803 1 003

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

iv

PERNYATAAN

Nama : LIES SETYAWATI

NIM : S. 311010104

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Sinkronisasi

dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan

Hutan Pada Era Otonomi Daerah”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan

karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang

saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk membuktikan keaslian tesis, saya

memperbolehkan tesis ini diupload dalam website Program Paska Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Surakarta, Juni 2012

Yang membuat pernyataan,

LIES SETYAWATI

323

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis yang berjudul “Sinkronisasi dan

Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kegiatan Pertambangan di

Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah” ini dapat penulis selesaikan tepat pada

waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister program

studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tesis ini membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan

terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah serta upaya-

upaya yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan

tersebut.

Kemudian penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan, dorongan, baik bersifat materil maupun spiritual.

Ucapan terima kasih yang tulus dan dengan kerendahan hati penulis haturkan kepada

yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk kuliah pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana dan juga sebagai

dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan

izin dalam penelitian tesis dan juga sebagai tim penguji yang telah banyak

memberikan masukan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

vi

5. Bapak Burhanuddin Harahap, S.H., M.H., M.Si., Ph.D. sebagai Sekretaris Program

Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah memberikan kemudahan penulis dalam memberi izin penelitian

6. Bapak Dr. Hari Purwadi SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagai

Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pencerahan

dan masukan demi selesainya penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS., selaku tim penguji yang telah memberikan

banyak masukan terhadap penulisan tesis ini.

8. Bapak, ibu dan rekan-rekan di Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan,

Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, khususnya Bapak Eko Novi, S.Sos., M.Si,

Kepala Seksi Perambahan dan Kebakaran Hutan Wilayah II, yang telah membantu

penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait kegiatan pertambangan illegal

di kawasan hutan.

9. Bapak Dr. Budi Riyanto, SH, Ahli Perancang Peraturan Perundang-Undangan

Utama pada Kementerian Kehutanan, yang telah banyak memberikan inspirasi,

pencerahan, bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian tesis ini.

10. Bapak Krisna Rya., S.H.,M.H, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian

Kehutanan.

11. Bapak Supardi, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara,

Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.

12. Bapak Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum, Kasubag Bantuan Hukum II, dan Mas

Yudi Ariyanto, SH., MT, Kasubag Bantuan Hukum I, yang telah memberikan

motivasi, ide dan masukan dalam penulisan tesis ini.

13. Rekan-rekan Biro Hukum dan Organisasi, khususnya rekan-rekan staf di Bagian

Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara.

14. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

banyak membantu selama perkuliahan.

15. Kawan-kawan mahasiswa-i Program Studi Ilmu Hukum yang tak dapat penulis

sebut satu per satu.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

vii

16. Mama dan Almarhum Bapak tercinta buat limpahan kasih sayang, perhatian dan

kerja keras kalian yang membuat penulis dapat menempuh pendidikan sampai

program pascasarjana.

17. Oo terima kasih atas support dan kebersamaannya dalam mendengarkan keluh

kesah selama penulisan tesis ini.

18. Sahabatku Nana terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan yang menghibur

disela-sela penulisan tesis ini.

19. Adik-adikku Dudi dan Desi, serta ponakanku tercinta Muhamad Raihan, terima

kasih support dan kebersamaannya.

20. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga amal baik semua pihak mendapat balasan kebaikan yang berlipat dari

Alloh SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Amin.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING..................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................................. iii

PERNYATAAN .................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... v

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL.................................................................................................................. xi

ABSTRAK............................................................................................................................. xii

ABSTRACT........................................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................................... 19

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 19

D. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 19

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Kebijakan Publik...................................................................................... 21

B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik .................................................................. 24

C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan ................................... 29

1. Pengertian Perundang-Undangan......................................................................... 29

2. Norma Hukum Negara Republik Indonesi .......................................................... 32

3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan.... 40

D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam.............................................. 44

E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah ..................................................... 49

1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ....................................................... 49

2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........................................................ 58

F. Tinjauan Umum Tentang Perizinan ........................................................................... 66

1. Pengertian perizinan............................................................................................. 66

2. Tujuan Perizinan .................................................................................................. 68

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

ix

3. Unsur Perizinan.................................................................................................... 69

4. Bentuk dan Isi Izin ............................................................................................... 71

5. Syarat Sah Perizinan ............................................................................................ 73

G. Kerangka Berpikir...................................................................................................... 74

1. Bagan ................................................................................................................... 74

2. Penjelasan Bagan ................................................................................................. 74

H. Penelitian Yang Relevan………………………………………………………….... 77

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian........................................................................................................... 78

B. Sifat Penelitian ........................................................................................................... 79

C. Pendekatan Penelitian ................................................................................................ 79

D. Jenis dan Sumber Data ............................................................................................... 81

E. Teknik Pengumpulan Data......................................................................................... 83

F. Teknik Analisis Data.................................................................................................. 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .......................................................................................................... 85

1. Peraturan Perundang – Undangan Sektor Pertambangan Terkait

Pertambangan Di Kawasan Hutan ....................................................................... 85

2. Peraturan Perundang-Undangan Sektor Kehutanan Terkait Pertambangan Di

Kawasan Hutan .................................................................................................... 87

3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi Daerah Di

Sektor Pertambangan dan Kehutanan ................................................................. 89

B. Pembahasan

1. Sinkronisasi dan Sinergi Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur

Kegiatan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah ...... 100

2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Pertambangan Di Kawasan Hutan ...................................................................... 128

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

x

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................................................... 134

B. Implikasi..................................................................................................................... 136

C. Saran........................................................................................................................... 136

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 137

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

xi

DAFTAR TABEL

Tabel:

1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, serta Kabupaten dan/atau Kota Dalam Menerbitkan

IUP.

2. Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal

50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

3. Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU

Kehutanan

4. Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait

Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

xii

ABSTRAK

Lies Setyawati, S. 311010104. 2012. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah

Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengsinkronkan dan mengsinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (doctrinal) dengan menggunakan konsep hukum yang kedua yaitu hukum sebagai norma-norma positif_di dalam sistem perundang-undangan nasional. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik simpulan Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron namun belum sinergis, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga implementasinya belum terpadu satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengsinergiskan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan cara memadukan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan pertambangan agar lintas sektoral dan terpadu satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis menyarankan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, PP Minerba perlu mensyaratkan perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya aturan yang mengatur IUP di dalam kawasan hutan wajib mencantumkan klausul, untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.

Kata Kunci: Sinkronisasi, Pertambangan, Kehutanan dan Otonomi Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

xiii

ABSTRACT

Lies Setyawati, S.311010104. 2012. Synchronization and Synergy of RegulationsConcerned with The Mining Activity in Forest Area on The Era of Regional Autonomy.

Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta.

This research aims to determine the synchronization and synergy of the regulations that regulate mining activities in forest areas in the era of regional autonomy and to identify the efforts can be done to synchronize and synergy that regulations.

The type of the research is normative legal research (doctrinal) by using second law concept namely law as positive norm in the national legislation system. This research includes the type of research that is prescriptive normative law and applied by using statue and concept approachment. Types of data used are secondary data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data collection techniques used through library research and data collection through electronic media relating to the matter under research. Data analysis technique applied in this research is deductive logic, that conclude from a general case to the individual case involving by formulating the facts, seeking its causal relationships, and develop reasoning based on the cases.

Based on research results and discussion, it can be concluded that the laws and regulations of mining activities in forest areas in the era of regional autonomy has been synchronized, but not synergistic, because the regulations are still a sectoral so that its implementation has not been integrated among other. There for it’s necessary to do efforts to synergy such regulations by integrating vision and mission of mining and forestry sector as well as the improvement of regulations of mining and forestry sector in order to be cross sectoral and integrated among others.

Based on the abovementioned data, the author suggest legislation that regulates mining activities in forest areas in the era of regional autonomy should be cross-sectoral. Furthermore PP Minerba needs to require the need for coordination with the ministry of forestry in the issuance of the IUP that located in forest areas. Additionally the need of the rule to regulate IUP set in the forest area must include a clause, for mining activities in forest areas can only be started after the license to use the forest area from forestry minister.

Keyword: synchronization, mining, forestry and regional autonomy

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak

ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan

nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa

Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara

seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan

sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya

keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya

untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi

penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan

ozon.1

Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi

hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya

pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan

hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling

penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan

merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam

ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan,

maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut.

Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak

ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut.

Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan

misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim,

1 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal. 2

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

2

khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya

jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin

renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain

kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan

harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan

harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan.

Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda

sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang

telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di

Indonesia.

Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi)

terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie (VOC)

yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan

pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk

kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui

sistem tanam paksa cultuurstesel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan

menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet.2

Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan

terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh

penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan

tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan

penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman

pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428

hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.3 Setelah Indonesia merdeka,

eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an,

sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam

2 Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi di Indonesia, www.burung.org/download.php?id=569 , diakses pada tanggal 18 Mei 2011

3 Ibid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

3

pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas,

pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak

pembangunan daerah.4

Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek

ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan

pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber

daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan

tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang

signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan

pemasok devisa Negara terbesar setelah migas (minyak dan gas bumi).5

Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli

segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar

hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan

hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik

langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot

mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on

forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer

from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from

commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted

through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in

local hand. (Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan

hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar

hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk

kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai

komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan

komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati

4 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,

Cet. 1, 2010): hal. 1 5 Ibid, hal. 2

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

4

masyarakat sekitar hutan)6. Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu

masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan,

seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan

kerusakan hutan yang lebih parah lagi

Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi

ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di

wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat

mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan

Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan

untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan.7

Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan

terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya

penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara

nyata di Indonesia.8

Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari

Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan

Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar

dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan

antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau

sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9.

Sebuah badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) melansir

sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat

6 Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On

An Uneven Playing Field” , Journal of Suistainability Science, Vol. 2, No. 2, P-27 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,,

http://www.subhanagung.net/2011/03/eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011

8 Ibid.9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya

http://www.icel.or.id/penegakan-hukum-illegal-logging-permasalahan-dan-solusinya/ , diakses pada tanggal 8 Mei 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

5

di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87

juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap

hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United

Nation Environment Program (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007

mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke

belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan

nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50%

hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar

25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.10

Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius

bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan

hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan

yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan

hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara

tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai

dinamisator masyarakat11. Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi

oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian

negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman

kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam

menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional.

Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional

yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung

jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu

penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari,

10 Fitryani Yuliawati, op. cit.11 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (Yogyakarta: Center for Critical Social

Studies (CCSS), Cet. Pertama, 2003): hal. vii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

6

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan

dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam

rangka pemanfaatan hutan, yaitu:12

a. Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan

perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat

bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat

yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting

untuk melestarikan hutan.

b. Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni,

suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba

dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha.

c. Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu

prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan

hutan secara lestari dengan sistim silvikultur.

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi

negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus

segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur

dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan

hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang

untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus

menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau

penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu

perizinan oleh Menteri.

Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan

yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat

12 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan: Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan (Jakarta: Raja

Grafindo Perkasa, Cet.1, 1995): hal. 5

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

7

mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka

dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) diatur penggunaan

kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan

melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme

tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan

mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas

ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai

Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan.

Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat

diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu:

a. Religi;

b. Pertambangan;

c. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi

baru dan terbarukan;

d. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun

relay televisi;

e. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;

f. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi

umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;

g. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air,

dan saluran air bersih dan/atau air limbah;

h. Fasilitas umum;

i. Industri terkait kehutanan;

j. Pertahanan dan keamanan;

k. Prasarana penunjang keselamatan umum; atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

8

l. Penampungan sementara korban bencana alam.

Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi

yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan

kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi

hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi

daerah yang sesungguhnya.13

Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengamanatkan pelaksanaan

otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut

UU Pemerintahan Daerah).

Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional

pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945.

Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah

yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan

ketentuan sebagai berikut:

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).

3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).

5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).

13 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, Cet. 1, 2007): hal. 13

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

9

6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum

(Pasal 18 ayat 3).

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil

(Pasal 18 A ayat 2).14

Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi.

Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah :

1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)

2. Pembagian pendapatan (distribution of income)

3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).15

Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah

(daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung

oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara.

2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.

3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut

birokrasi pemerintahan.

4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.16

Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah

harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi

lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,

serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun

antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya),

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005): hal. 20.15 Ibid, hal. 83 16 Subadi, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Jakarta: Prestasi Pustaka,

2010): hal. 24

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

10

Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan

jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah.17 Dalam UU

Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan

daerah diatur dalam pasal 10 :

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan

sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan

pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah

didesentralisasikan

Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional

mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal (daerah).

17 Agus Dwiyanto,” Revisi UU 32/2004:Latar Belakang Dan Arah Perubahannya”, dalam Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto (eds.), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi daerah Di Indonesia (Yogyakarta: Gava Media, Cet.1, 2009): hal. 67

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

11

Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations

with highly centralized modes of forest governance, several countries in the

region are transferring some planning and implementations decisions to state

or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’

Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994,

Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001

are some of the national policies that provides opening for nurturing local

forest governance. (untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk

(terpusat), beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan

keputusan kepada pemerintah lokal (daerah), terutama yang berkenaan dengan

pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun

1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah

Indonesia Tahun 1999 dan UU Komune Kamboja Tahun 2001 membuka

peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal (daerah))18.

Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang

pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat

operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat

kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau

makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.19

UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam

pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 66 UU Kehutanan yang

menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan

sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.

18 Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on

The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”.International Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(2):96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011

19 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

12

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud

ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam

rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan

dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan

efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan

urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten.

Menurut Fisher20, pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan

bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di

desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian

kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan maupun

merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan

dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara

langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan

pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan

masyarakat setempat dari jerat kemiskinan.

Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta

masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan

yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan

manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam

mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan:21

The modern concept of multi-stakeholder forest management has

20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Cet.1, 2005): hal. 39 21 Mangala de Zoysa dan Makoto Inoue, “Forest Governance and Community Based Forest

Management In Sri Lanka : Past, Present and Future Perpectives”, Internationa Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(1):27-49. ISSN 1979-2611 , www.ijsf.org, diakses tanggal 17 Oktober 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

13

become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and generating income trough small forest based industries.(Konsep pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil).22

Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum

menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan

hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan

daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,

sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara

signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan:

As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many district/municipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly according to the terms of the licences anyway. (Sama seperti pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutan/pemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal

22 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

14

penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutan/pemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin)23.

Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber

daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah

lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di

Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau

bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya

dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,

juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.

Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di

Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya,

yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan

pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian

atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia

Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.

Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke

pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan

peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya

semangat pembaruan dan pembangunan nasional yang direncanakan

pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan

nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara

menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No.

23 Luke Lazarus Arnold, “Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do

with It?“, Law, Environment and Development Journal (2008), p. 75, http//www.lead-journal.org/content/08075.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

15

11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui

undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk

melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor

asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya.

Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam

pertambangan, namun bentuk-bentuk izin pengusahaan bahan galian

berdasarkan undang-undang ini masih terpusat (berada di tangan menteri).

Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian

pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian

antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian.

Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah,

peraturan perundang-undangan sektor pertambangan juga mengalami

perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). UU Minerba

telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena

sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan

termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah.

Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan

yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha

Pertambangan (IUP).

Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor

pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sektor-

sektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian

tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan

(WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha

Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan

bumi (Pasal 134 ayat (1) UU Minerba). Oleh karena itu peraturan sektor

pertambangan tidak dapat terlepas dari peraturan sektor pertanahan. Dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

16

apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan

kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait

(Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134

ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada

dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam

kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan

dengan sektor kehutanan.

Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan

konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan

potensial mendatangkan dan menjadi sumber pendapatan, sehingga

mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk

masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan masing-

masing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan

(wewenang) antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan

sektor kehutanan.24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan

administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan

daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di

daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal

kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan.

Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan.

Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan

yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk

kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan

dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi seluas-

luasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

24 I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT.

Alumni, Cet. 1, 2009): hal. 88

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

17

Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batu Bara (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba)

pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun

apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan

ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) UU

kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin

pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU

Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan

untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun

pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan

berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) yang merupakan

pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan

desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut

ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan

pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di

dalam kawasan hutan.

Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan

mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah

dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya disebut Ditjen PHKA) Kementerian

Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya

berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 31: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

18

tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini

Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang

pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan

hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang

beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan

kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA

Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja

terdapat sedikitnya 1.236 (seribu dua ratus tiga puluh enam) perusahaan

tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari

Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja

adalah seluas 6.946.301,95 (enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu

tiga ratus satu koma sembilan puluh lima) hektar.

Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para

perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan

PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja

mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat

kegiatan pertambangan illegal tersebut.

Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah

lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam

pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu

dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan

perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan perundang-

undangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan

izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah.

Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul:

“SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN

PADA ERA OTONOMI DAERAH”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 32: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

19

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di

atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu:

1. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan

pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron

dan sinergis satu dengan yang lainnya?

2. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan

perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam

kawasan hutan pada era otonomi daerah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-

undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan

pada era otonomi daerah

2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk

menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan

pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah

D. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat

khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran

bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai

penyelesaian sengketa hukum.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 33: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

20

2. Manfaat Praktis :

Sebagai masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara

khusus bagi Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan konflik

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebijakan

pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 34: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

21

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Kebijakan Publik

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang

dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi

tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena

masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara

di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya

akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut di definisikan.25

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert

eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat

didefinisikan sebagai “ hubungan suatu unit pemerintah dengan

lingkungannya.26 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan

kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.27 Sedangkan Carl J Frederick,

mendefinisikan kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan

yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan

tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya

mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang

diinginkan.28

25 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, ( Yogyakarta: Media Pressindo, Cet.

III, 2005): hal.1526 Ibid27 Ibid.28 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Kedua, 2001): hal.. 3

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 35: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

22

Amara Raksa Raya mengemukakan:29

“Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu:1. Indentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan

yang diinginkan.3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara

nyata dari taktik atau strategi.”

Menurut Thomas R Dye dalam Budi Winarno, “kebijakan publik adalah

apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.30 Senada

dengan pendapat Dye, Edwards III dan Sharkasky mengemukakan kebijakan

negara adalah “...is what goverment say and do, or not to do. It is the goals

purpose of goverment programs” (...adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau

tujuan program pemerintah).31

Pengertian Kebijakan menurut Kartasasmita, merupakan upaya untuk

memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakukan)

oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang menyebabkan atau yang

mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dari kebijakan negara tersebut.32

Menurut Amir Santoso:33

“kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori: Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua

29 Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara,

2000):hal. 17-18.30 Budi Winarno, op. cit., hal. 15. 31 Irfan Islamy, op. cit., hal. 1832 Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi

Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001): hal.18933 Amir Santoso, “Analisis Kebijaksanaan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3,

(Jakarta: Gramedia, 1993): hal..4-5.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 36: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

23

kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah ”serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian Keputusan dan tindakan”.

Berkaitan dengan definisi kebijakan publik, Anderson mengatakan

bahwa:34 “public policies are those policies developed by goverment bodies

and officials” (kebijakan negara adalah kebijakan kebijakan yang

dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut

Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:35

1. bahwa kebijakan negara itu mempunyai tujuan.2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat pemerintah.3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar

dilakukan oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.

4. bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, dan

5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.

Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan publik yang telah

diuraikan di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam tulisan ini

34 Irfan Islamy, op. cit., hal. 19. 35 Ibid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 37: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

24

adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-

pejabat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka

untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang

diinginkan.

B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik

Seperti telah diuraikan di atas “kebijakan publik adalah apapun yang

dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kebijakan publik itu

berupa sasaran atau tujuan program pemerintah. Untuk mencapai tujuan-tujuan

yang telah dipilih dan ditentukan tersebut sehingga dapat terwujud di dalam

masyarakat maka diperlukan beberapa sarana. Salah satu bentuk sarana yang

cukup memadai adalah hukum dengan berbagai macam bentuk peraturan

perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, “law effectively legitimates

policy”, atau dengan perkataan lain, “proper attention to the use of law in

public policy formulation and implementation requires an awarness of the

condition under which law is effective”.36 Dengan kata lain hukum merupakan

sarana untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hukum merupakan

serangkaian alat untuk merealisasi kebijaksanaan pemerintah.

Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas maka pembuatan

kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan

bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Immanuel Kant,

Negara hukum merupakan salah satu tujuan Negara, maksudnya:

Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan adalah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan Negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat

36 Jay A. Sigler dan Benjamin R Beede, The Legal Sources of Public Policy, (California: D.C.

Health and Company, Belmont, 1977): hal.5

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 38: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

25

dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan Negara itu sendiri. Baik Negara maupun perorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan yang lain sebagai sesamanya sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Sehingga Negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tidak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa.37

Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan

yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus

didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan

tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan

keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus

memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh

warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum

administrasi adalah “melindungi administrasi Negara itu sendiri”.38 Maksudnya,

kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan

hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap

kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pembatasan itu perlu dilakukan karena sekecil apapun kekuasaan yang

digenggam suatu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam

keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.39

Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya

bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang

bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya

penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka hukum dapat

37 Didid NazmiYunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992): hal.26. 38 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

(Bandung: Alumni, 1992): hal..6 39 Cornelis Lay, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian

Atas Lembaga Kepresidenan RI, (Yogyakarta: Pandega Media dengan BEM UGM, 1997) : hal. 12.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 39: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

26

dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis

hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan

memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.

2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi.

3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi

melawan kritik.

4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-

sumber daya.40

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum dapat

digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang

telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah

hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and

executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for

public policy”.41 Dengan demikian dasar bagi suatu pembuatan kebijakan

publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah harus didasarkan

pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini,

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ditentukan jenis dan hieraki

peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

40 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994): hal.

76-77. 41 Jay. A. Sigler, Beede and Rutgers, op. cit., hal. 4.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 40: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

27

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan

publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang

baik (general principle of goal of administration), Asas-asas ini meliputi:

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of

equality);

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);

6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of

competence);

7. Asas permainan yang layak (principles of fair play);

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition

of arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised

expectation);

10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of

undoing the consequences of an annulled decision);

11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of

protecting the personal way of life);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia);

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).42

Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum

pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik

42 Ateng Syafrudin, “Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian

Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), penyusun: Paulus Efendi Lotulung, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994): hal. 38-39.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 41: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

28

adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin

adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya,

kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan” dalam bentuk hukum,

karena sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman

dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas.

Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran

praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan

prinsip saling mengisi. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa

“sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka

produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula

sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum

tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik

tersebut”.43

Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat kita lihat dalam

prakteknya, dimana keduanya dalam penerapannya dapat saling melengkapi

sehingga baik hukum maupun kebijakan publik dalam penerapannya dapat

berjalan dengan lebih baik. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut dapat

dilihat dari tiga sektor kajian, yakni formulasi, implementasi dan evaluasi.

Dalam perbincangan hubungan hukum dan kebijakan publik dalam

konteks formulasi, sesungguhnya kita akan membahas bagaimana antara

pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik itu dapat saling

memperkuat satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan implementasi kita akan

berbicara tentang bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan

publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasil-hasil hukum dan

kebijakan publik di lapangan. Sedangkan pada konteks evaluasi kita akan

banyak membahas tentang bagaimana perbaikan kebijakan publik yang selama

43 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 42: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

29

ini berjalan dapat dievaluasi dengan baik dengan bantuan hukum sebagai

instrument penguat diterapkannya rekomendasi-rekomendasi evaluasi kebijakan

publik yang ada.44

C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan

1. Pengertian Perundang-Undangan

Belum ada kesepakatan para ahli mengenai pengertian perundang-

undangan. Ketidaksepakatan para ahli tersebut pada persoalan apakah

perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung

arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.

Menurut Fockema Andrea dalam Maria Farida, istilah “perundang-

undangan” (Legislation, wetgeving, atau Gezetzgebung) mempunyai dua

pengertian yang berbeda, yaitu:

a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses

membentuk peraturan Negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat

daerah.

b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan

hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di

tingkat Daerah.45

Lebih lanjut Maria Farida menyatakan, apabila kita membicarakan

Ilmu Perundang-Undangan, maka kita membahas pula proses

pembentukan/perbuatan membentuk peraturan-peraturan Negara, dan

sekaligus seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari

pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat maupun di

Daerah.46 Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagaimana

44 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik (Surabaya: Averroes Press,

Cet.1, 2002): hal. 39 45 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, Cet. Kelima, 1998): hal.3 46 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 43: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

30

tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2

adalah:”Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat

yang berwenang dan mengikat secara umum.”

Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan

istilah perundang-undangan berbeda dengan peraturan perundang-

undangan. Perundang-undangan menggambarkan proses dan teknik

penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan

istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan

jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan

Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk

menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis)

yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh

Pejabat atau Lembaga yang berwenang.47

Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan

Perundang undangan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. bersifat tertulis

2. mengikat umum

3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.48

Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang

dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab

dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya

untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula

aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan

oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja.

Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945,

47 http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perundang-undangan-di-indonesia/ , diakses

pada tanggal 5 November 201148 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 44: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

31

misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas

memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.49

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas

hukum merupakan unsur mutlak yang harus diperhatikan dalam

penyusunannya. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada

hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di

dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan

sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan

hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas

hukumnya. Asas hukum inilah yang memberikan makna etis kepada

peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.50

Suatu sistem hukum memiliki asas yang menjadi ukuran

keberadaan sistem hukum itu sendiri. Menurut Fuller, sistem hukum

haruslah mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk

menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem

hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sistem hukum

sama sekali. Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum

diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya “principles of

legality”, yaitu:

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang

dimaksud disini adalah ia tidak boleh hanya sekedar mengandung

keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang

demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk

menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut

berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi

49 Ibid50 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bhakti): hal. 47

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 45: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

32

waktu yang akan dating.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat

dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi

apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaan sehari-hari.51

2. Norma Hukum Negara Republik Indonesia

Istilah norma, yang berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam

bahasa Arab dan sering disebut dengan pedoman, patokan atau aturan

dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi

seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi,

inti norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.52

Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam

norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara

kita berperilaku atau bertindak. Di Negara kita, norma-norma yang masih

sangat dirasakan adalah norma-norma adat, norma-norma agama, norma-

norma moral dan norma-norma hukum Negara. Norma-norma hukum itu

dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga

yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat,

agama dan lainya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari

kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.

51 Ibid, hal. 5152 Maria Farida, op. cit, hal. 6

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 46: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

33

Di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and

State, Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem

norma yang statik (nomostatic) dan sistem norma yang dinamik

(nomodynamic).53

Statika sistem norma (nomostatic) adalah suatu sistem yang

melihat pada “isi” suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik

menjadi norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari

suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma

umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norma-norma yang

khusus dari segi “isi’nya.54

Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah suatu sistem

norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara

pembentukan atau penghapusannya. Menurut Hans Kelsen, norma itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis,

dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi, norma yang labih tinggi berlaku, bersumber, dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai

akhirnya ‘regressus’ ini berhenti yang tidak dapat ditelusuri lagi pada suatu

norma tertinggi yang yang disebut norma dasar (Grundnorm). Norma dasar

atau sering disebut Grundnorm, basis norm, atau fundamental norm ini

merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan

bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara

presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.55

Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem

norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk

dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang

53 Ibid, hal. 7 54 Ibid, hal. 8 55 Ibid, hal. 8

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 47: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

34

membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma

tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya.56

Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen

mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie),

dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang

lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan

fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).57 Norma dasar yang menjadi

gantungan norma-norma dibawahnya tersebut tidak dibentuk melainkan

ditetapkan telebih dahulu oleh masyarakat, sehingga dikatakan suatu norma

dasar pre-supposed.

Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh

seorang muridnya yng bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa

suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte

Rechtsantlitz). Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia

bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia

juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya

sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht)

yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu

tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila

norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-

norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.58

Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang

56 Ibid, hal. 9 57 Ibid, hal. 2558 Ibid, hal. 26

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 48: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

35

normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu

selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah

norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang

lebih tinggi. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang

tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di

bawahnya sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi

rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya.

Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen,

mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam

kaitannya suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul

Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan Teori Hans

Kelsen suatu norma hukum dari Negara mana pun selalu berlapis-lapis dan

berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan

bersumber pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,

berdasar, dan bersumber norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu

norma tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi Hans Nawiasky juga

berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,

norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans

Nawiasky mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu

menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental

Negara)

Kelompok II : Staatgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)

Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan

pelaksana dan aturan otonom)59 .

Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada

59 Ibid, hal. 27

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 49: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

36

dalam tata susunan norma hukum setiap Negara walaupun mempunyai

istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma norma hukum yang

berbeda dalam tiap kelompoknya.

Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi

dalam suatu Negara adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma

yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu

oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan suatu norma yang

menjadi 60tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.

Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang

merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar

suatu Negara (Staatvervassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat

hukum Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu

konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum

adanya konstitusi atau undang-undang dasar.61

Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara

(Staatgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum di bawah di bawah

norma fundamental Negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok

Negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan

merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga

masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder.62

Menurut Hans Nawiasky, suatu aturan dasar/pokok Negara dapat

dituangkan dalam suatu dokumen Negara yang disebut Staatvervassung

atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen Negara yang tersebar

yang disebut dengan istilah Staatgrundgesetz. Di dalam setiap aturan dasar

pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan

Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara

61 Ibid, hal. 28 62Ibid, hal. 30

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 50: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

37

lembaga-lembaga tinggi/tertinggi Negara serta diatur hubungan antara

Negara.63

Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan

dasar pokok Negara (Staatsgrundgesetz) adalah Formell Gesetz atau

diterjemahkan dengan undang-undang (‘formal’). Berbeda dengan

kelompok-kelompok norma di atasnya, yaitu norma dasar Negara dan

aturan dasar/pokok Negara, maka norma-norma dalam suatu undang-

undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci

serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma

hukum dalam undang-undang ini tidak saja hanya norma yang bersifat

tunggal, tetapi norma-norma hukum tersebut sudah dapat dilekati norma

sekunder disamping norma-norma primernya, sehingga suatu undang-

undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi,

baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.64

Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan

pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung).

Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturan-

peraturan yang terletak di bawah undang-undang, di mana peraturan

pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan

norma otonom bersumber dari kewenangan atribusi.65

Sistem norma hukum Indonesia pernah mengalami perubahan

hierarki susunan peraturan perundang-undangan. Hierarki susunan

peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini tercantum dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

No. 12 Tahun 2011 .

636363 Ibid64 Ibid, hal. 32 65 Ibid, hal. 35

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 51: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

38

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011,

pedoman hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia tercantum

dalam dua produk hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPR/MPRS). Pertama,

TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai

Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

RI. Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

Tata Urutan Peraturan Peundang-Undangan Indonesia menurut

TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden; dan

6. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti:

- Peraturan Menteri

- Instruksi Menteri

- Dan lain-lainnya

Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR

No. III/MPR/2000 , adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; dan

7. Peraturan Daerah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 52: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

39

Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut Undang-

Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011, adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa

atau nama lainnya.

Sistem norma hukum/hierarki perundang-undangan di Indonesia

merupakan pencerminan dari teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan

teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky. Hal ini terlihat dalam

sistem norma hukum Negara Republik Indonesia yang pernah diberlakukan

(TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR RI No. III/MPR/2000)

dan yang saat ini sedang berlaku (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004),

berada dalam suatu sistem hierarki/susunan yang berjenjang-jenjang,

berlapis-lapis, dan sekaligus berkelompok-kelompok.

Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan

berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma

hukum yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma hukum yang

lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma

fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu

Pancasila. Asasnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 53: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

40

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

Sistem norma hukum Indonesia menggaris bawahi bahwa

Pancasila merupakan norma hukum tertinggi atau sumber dari segala

sumber hukum negara. Jenjang di bawah Pancasila sekaligus menempati

puncak hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UUD

1945 sebagai aturan dasar Negara/aturan pokok Negara

(Staatsgrundgesetz). Namun sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibentuk, disamping

UUD 1945, TAP MPRS/MPR juga menjadi aturan dasar Negara/aturan

pokok Negara. Saat ini TAP MPRS/MPR tidak lagi termasuk dalam jenis

dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Norma hukum selanjutnya di bawah UUD 1945 adalah Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Formell

Gesszt), dan terakhir Peraturan Daerah masuk dalam kategori sebagai

peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung dan Autonome

Satzung).

3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-

undangan

Sering kita mendengar kata sinergi tanpa mengetahui arti kata

tersebut. Menurut kamus besar bahasa Indonesia sinergi mempunyai arti

kegiatan atau operasi gabungan.66 Kata yang sering disepadankan dengan

sinergi adalah integrated (terpadu). Khasanah bahasa kita kurang lebih

mempersamakan kedua istilah kata tersebut. Istilah “sinergi” kita adopsi

dari suatu pengertian dalam bisnis. Synergism diartikan sebagai “a

66 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, Edisi IV): hal. 1312

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 54: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

41

combination of known elements or fungctions that create a result greater

than the sum of the individual elements or functions”.67 Selain itu sinergi

mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan

keluaran lebih baik dan lebih besar.68 Apabila pengertian tersebut kita

alihkan ke dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, maka sinergi

merupakan keterpaduan antara peraturan perundang-undangan yang

mengatur satu sektor tertentu, dimana peraturan perundang-undangan

tersebut harus saling terkait (terintegrasi) satu dengan yang lain agar

pengaturan atas suatu sektor tertentu menjadi lebih baik dan efektif.

Langkah awal untuk mencapai sinergi/keterpaduan tersebut adalah melalui

sinkronisasi peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga tidak terjadi

konflik atau tumpang tindih norma antara peraturan perundang-undangan

yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyerasian berbagai

peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan perundangan-

undangan yang telah ada dan sedang disusun yang mengatur suatu sektor

tertentu.69 Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan

landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan

kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu

secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih,

inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya

dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi

67 http://pkbh.uad.ac.id/sinergi-fungsi-dan-peran-advokat-dikaitkan-dengan-uu-nomor-18-

tahun-2003-tentang-advokat-dalam-penegakan-hukum-sistem-peradilan-dalam-tataran-praktis, diakses pada tanggal 31 Mei 2012

68 http://sibosnetwork.wordpress.com/2007/02/12/kata-sinergy/, diakses pada tanggal 31 Mei 2012

69 http///www.penataanruang.net.ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4 , diakses pada tanggal 12 Januari 2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 55: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

42

semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun

horizontal.70

Sinkronisasi juga berkaitan dengan penentuan materi suatu

undang-undang, Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa:71

Materi muatan suatu peraturan perundang-undangan suatu Negara, dapat ditentukan atau tidak tergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan Negara yang menentukannya dan di Belanda soal-soal politiklah yang menentukan materi wet , karena itu tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Pensikronisasian suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang-undang, ditentukan oleh penentuan batas materi muatan undang-undang dimaksud.

Pembentukan suatu undang-undang apabila ditinjau dari aspek

subtansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari

suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah

hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-

aturan hukum.72 Lebih jauh aspek materil ini berkenaan dengan

pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek

formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-

undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman

terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan.73

Aspek materil dan aspek formal ini saling berhubungan secara

timbal balik dan dinamis. Aspek materil yang memuat jenis-jenis kaidah

memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak

70 Ibid71 A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan

Kebijakan (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1993): hal. 119 72 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

(Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2009): hal. 22273 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 56: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

43

direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat

diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif

dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.74 Demikian sebaliknya dimana

sebuah prodak perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek

formal/prosedural, yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-

undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna

serta respek untuk mendapat pengakuan yang memadai dari pihak yang

terkena dampak pengaturan aturan tersebut memerlukan landasan dan

legitimasi dari aspek materil/subtansial.75 Melalui proses sinkronisasi

materi muatan undang-undang akan tercapai harmonisasi peraturan

perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan

ganda dan pertentangan norma antar peraturan perundang-undangan

tersebut.

Sinkronisasi peraturan perundangan-undangan dapat dilakukan

dengan menggunakan bantuan asas-asas peraturan perundang-undangan.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, asas-asas umum

perundang-undangan terdiri dari:76

1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif)

2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis)

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih dahulu (lex posteriori derogate lex periori)

5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat6. Peraturan perundang-undangan merupakan sarana untuk

semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual

74 Ibid75 Ibid, hal. 223 76 Purnadi Purbacarak dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-Undangan dan

Yurispudensi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet.3): hal. 7-11

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 57: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

44

dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan

secara vertikal dan atau horizontal. Sinkronisasi Vertikal dapat

diselesaikan dengan asas hukum Lex Superiori derogate Lex Inferior

(peraturan/undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan

peraturan/undang-undang yang lebih rendah), sehingga sinkronisasi

vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk suatu sektor tertentu tidak bertentangan

antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau

hieraki perundang-undangan yang ada.77 Sedangkan sinkronisasi

horizontal dapat diselesaikan/ dibantu dengan menggunakan dua asas

hukum yaitu: Lex Posteriori derogate Lex Priori (Peraturan / undang-

undang baru mengenyampingkan peraturan / undang-undang lama) dan

Lex Speciali derogate Lex Generale (Peraturan / undang-undang yang

bersifat khusus mengenyampingkan Peraturan /undang-undang yang

bersifat umum).78 Dengan demikian sinkronisasi horizontal dilakukan

dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat

dan mengatur sektor yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga

harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu

diterapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.79

D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah sumber hukum tertinggi dalam

melakukan pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam di

Indonesia. Di dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan

77 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009): hal. 28 78 Ibid79 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 58: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

45

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33

ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan

alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan

“hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.80

Terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut di atas tidak pernah

ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh

Negara”. Namun satu hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh

Negara tidak sama dengan dimiliki oleh Negara. Kesepakatan ini

bertalian dengan dan atau suatu bentuk reaksi dari sistem atau konsep

domein yang dipergunakan pada masa kolonial Hindia Belanda.81

Konsep atau lebih dikenal asas domein, mengandung pengertian

kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu

memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat

kepemilikan (eigensdaad).82 Pengertian hak menguasai Negara ditemukan

dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), memberikan makan “hak

menguasai negara”, yaitu wewenang untuk:83

a. Mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan:

“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal

80 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet.1, 2010): hal.15

81 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2011): hal.123 82 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum

UII, 2004): hal. 23083 Ibid., hal. 231

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 59: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

46

sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat”.84

Berkaitan dengan itu, AP Parlindungan lebih lanjut menegaskan

bahwa: “Kesimpulan Pasal 1, 2, 3, 4, dan 9 UUPA, kesemuanya dalam

konteks dengan ketahanan nasional sebagaimana disebutkan oleh Pasal 2

ayat 4 UUPA: “Wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara

tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejateraan, dan

kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang

merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”85

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tujuan dari dikuasai

Negara baik menurut UUD 1945 maupun UUPA adalah untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban

Negara sebagai berikut:86

- Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat

(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat.

- Melindungi dan menjamin segala segala hak-hak rakyat yang

terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam

tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati

langsung oleh rakyat.

- Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan

84 AP Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Mandar Maju: Bandung, 1989): hal. 3

85 Ibid86 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD

1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://panmohamadfaiz.com/2006/10/08/penafsiran-konsep-penguasaan-negara/, diakses tanggal 25 Februari 2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 60: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

47

menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan

kehilangan hak nya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan

hak penguasaan Negara atas sumber daya alam yang sekaligus

memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, Negara hanya

melakukan pengurusan (bestuurdaad) dan pengolahan (beheersdaad),

tidak untuk melakukan eigensdaad.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-

022/PUUI/2003 penguasaan Negara berarti bahwa Negara berwenang

untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi pengelolaan dan

pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pengurusan,

pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dilakukan

berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi, yaitu:

1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat;

2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip:

a. Kebersamaan;

b. Efisiensi berkeadilan;

c. Berkelanjutan;

d. Berwawasan lingkungan;

e. Kemandirian;

f. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya

dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang

hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di

dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 61: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

48

memberi wewenang kepada pemerintah untuk:87

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan;

2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan

kawasan hutan;

3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

kehutanan.

Penguasaan itu tetap memperhatikan hak masyarakat Hukum adat,

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui kebenarannya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain itu, Pemerintah juga

mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain

untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun di luar sektor

kehutanan di dalam kawasan hutan.

Sama halnya dengan hutan, bahan galian tambang juga dikuasai

oleh Negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penguasaan Negara atas bahan galian tambang merupakan kewenangan

yang diberikan oleh hukum kepada Negara untuk mengurus, mengatur

dan mengawasi pengelolaan bahan galian sehingga di dalam pengusahaan

dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat.

Kedudukan Negara adalah sebagai pemilik bahan galian mengatur

peruntukan dan penggunaan bahan galian untuk kemakmuran masyarakat

sehingga Negara menguasai bahan galian. Tujuan penguasaan oleh

Negara (pemerintah) adalah agar kekayaan nasional tersebut

dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha,

sekalipun memiliki hak atas sesektor tanah di permukaan, tidak

87 Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 3, 2006): hal. 12

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 62: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

49

mempunyai hak menguasai ataupun memiliki bahan galian yang

terkandung di dalamnya.88

Penguasaan oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai

pemegang kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan adalah wewenang

yang diberikan Negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, baik terhadap bahan galian strategis,

vital maupun golongan C.89

E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah

a. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa

latin yaitu “de” = lepas dan “centerum” = pusat. Berdasarkan

peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat.

Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri;

nomos = undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri”

(zelfwetgeving).90 David M. Brock, menyatakan “autonomy may be

defined as the degree which one may make significant decisions

without the consent of others.” (otonomi dapat diartikan sebagai

suatu kondisi dimana seseorang dapat membuat keputusan tanpa

perlu persetujuan dari pihak lain)91

Sedangkan desentralisasi secara umum dapat dimaknai

sebagai wujud komitmen para penyelenggara pembangunan untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam

88 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Cet.5,

2010): hal. 10 89 Ibid.90 RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di

Indonesia, Binacipta, Bandung, hal. 1491 David M. Brock, “Autonomy of Individuals and Organizations: Toward a Strategy

Research Agenda” , International Journal of Business and Economics, 2003, Vol, 21, No.1, 53-57

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 63: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

50

merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan di

daerahnya masing-masing.

Menurut Smith92, “Decentralizations is usually defined as any

act by which central government formally cedes powers to actors and

institusions at lower level in political administrative and territoria

hierarchy”.(Desentralisasi seringkali diartikan sebagai tindakan

pemerintah pusat yang menyerahkan wewenangnya kepada institusi

atau pemerintah di bawahnya secara politik administrasi dan

territorial hiraki)

Dua istilah yang penting dalam konteks hubungan pemerintah

pusat dan daerah pasca reformasi adalah desentralisasi dan otonomi

daerah. Dua sektor tersebut (desentralisasi dan otonomi daerah)

merupakan konsep yang berbeda, namun saling berhubungan satu

dengan yang lainnya, bahkan merupakan dua konsep yang tidak

dapat dipisahkan.93

Desentralisasi dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme

penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan

antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal.94

Desentralisasi dapat juga diartikan sebagai mekanisme pengaturan

relasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur pemerintahan.95

Sementara Otonomi Daerah dalam konsepnya lebih merupakan

92 Jesse C. Ribot, “Waiting for Democracy The Politics of Choice in Natural Resource

Decentralizations”, World Research Institutes Report, Washington, DC, 200493 R. Siti Zuhro, dkk, Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya

(Yogyakarta: Ombak, 2010): hal. 10 94 Syaukani, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002): hal. xvii 95Syarif Hidayat, Desentralisasi: Tinjauan Literatur tentang Konsep Dasar, Pengalaman

Negara Lain dan Dinamika Kebijakan di Indonesia, dalam Susanto, Hari (Ed.), Otonomi Daerah Toeri dan Kenyataan Empiris (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004): hal.1

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 64: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

51

persoalan hak dan kewajiban daerah (Pemda dan masyarakat) dalam

proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.96

Pelaksanaan desentralisasi dan pemberian otonomi pada

daerah dalam konteks Indonesia pasca reformasi, harus tetap dilihat

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Secara struktural bukan berarti daerah sama sekali terlepas dari

pemerintah pusat, namun ada pembagian urusan dan kewenangan-

kewenangan yang asalnya merupakan kewenangan pemerintah pusat

yang kemudian dilimpahkan kepada daerah.97

Sebagai salah satu sendi Negara yang demokratis

(democratischerechtsstaat), desentralisasi merupakan pilihan yang

tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi

Negara dan bangsa sekarang dan di masa yang akan datang.98

Pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang

kompleks yang dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor

heterogenitas dan kekhasan daerah yang melingkunginya, seperti,

budaya, agama, adat-istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani

semuanya oleh pemerintah pusat merupakan hal yang tidak mungkin

karena adanya keterbatasan dan kekurangan di semua aspek dapat

diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah yang memang

memahami kekhasan daerah mereka masing-masing.

Desentralisasi mengandung makna adanya pengakuan dari

penentu kebijaksanaan pemerintahan Negara terhadap potensi dan

kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah-

daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan,

dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan

96 Ibid 97 R. Siti Zuhro, op. cit., hal.10 98 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD

dan Kepala Daerah (Bandung: PT. Alumni, Edisi Kedua, Cet.1, 2008): hal. 111

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 65: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

52

kewajiban masyarakat yang demokratis. Dalam ungkapan lain,

melaksanakan sistem desentralisasi adalah untuk menumbuhkan

kebiasaan yang baik dalam menyerap, merumuskan dan mengambil

keputusan memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam lingkup

daerah sendiri dengan memperhatikan dan mengindahkan

kepentingan yang sifatnya nasional baik berupa perencanaan maupun

pelaksanaan kebijaksanaan nasional.99

Salah satu bentuk desentralisasi adalah pelimpahan

kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagai

pihak yang paling mengerti dan mengenali aspirasi masyarakat di

daerah yang bersangkutan. Maka dari itu di Indonesia desentralisasi

menjadi lebih dikenal dengan otonomi daerah.100

Rondinelli, sebagaimana dikutip oleh Gustam Idris,

mengemukakan tiga bentuk desentralisasi:101

1. Dekonsentrasi (deconsentration), bersifat field (lapangan), dan local administration (integrated local administration and unintegrated administration).Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrasi antara departemen pusat di lapangan.Pada tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, namun pegawainya tetap departemen pusat. Pada integrated local administration, tenaga staf departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada pemda. Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan pemda berdiri sendiri mereka bertanggung jawab

99 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi Dan Desentralisasi Dalam

Pembangunan Daerah (Yogyakarta: Citra Media, Cet. 1, 2006): hal. 54 100 Subadi, op. cit, hal. 18 101 http://www.scribd.com/doc/53196793/27/Dikuasai-oleh-Negara-atau-Hak-Menguasai-

Negara, diakses tanggal 8 November 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 66: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

53

kepada departemen masing-masing. Koordinasi dilakukan secara informal.

2. Delegasi wewenang kepada badan semi otonommerupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung di bawah pemerintah pusat (BUMN di Indonesia)

3. Devolusi kepada pemerintahan daerahPemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintah pusat, wilayah jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan; unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum yang berwenang mengelola sumber daya.

4. Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi)

Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah.

Menurut teori center peripheral relationships, dalam

pendekatan formulasi wewenang pusat dan daerah, pusat adalah

bagian dari masyarakat yang wewenangnya di kontrol. Sedangkan

pinggiran atau daerah adalah lokasi dimana wewenang

digunakan/dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilai-

nilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and

beliefs). Pusat adalah sistem nilai karena di dukung oleh

kewenangan-kewenangan untuk berkuasa dari masyarakat. Sistem

nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti

melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang

dalam sistem nilai-nilai tersebut.102

102 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 67: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

54

R. Tresna103 menggolongkan desentralisasi menjadi

ambtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) dan staatskundige

decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan). Desentralisasi

ketatanegaraan dapat berupa “desentralisasi teritorial” dan

“desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi)

adalah pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka

kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. Desentralisasi

ketatanegaraan memberikan kekuasaan untuk mengatur bagi daerah

di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi

pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna, mengemukakan desentralisasi

dapat juga berbentuk “otonomi” dan “medibewind”. Otonomi

mengandung makna regeling dan bestuur, sedangkan medibewind

merupakan tugas pembantuan.104

Di Belanda, medibewind dipahamkan sebagai pembantu

penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah

yang tingkatnya lebih atas oleh alat perlengkapan pemerintahan

daerah yang tingkatannya lebih rendah. Urusan itu tidak beralih,

tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab

tetap kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan

pengaturannya berada pada sepenuhnya daerah yang memberi

bantuan.

Secara konstitusional norma-norma dasar penyelenggaraan

desentralisasi dan otonomi daerah diatur dalam beberapa Pasal yaitu,

Pasal 18 ayat (2), (4), (5), (6), dan 18 A ayat, (1), (2) amandemen

kedua UUD 1945. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut

guna mewujudkan komitmen otonomi daerah maka diterbitkannya

103 Ibid104 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 68: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

55

lah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Di dalam konstitusi tersebut, ada dua nilai dasar dalam

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di daerah, yaitu nilai unitaris

dan desentralisasi teritorial. Nilai unitaris artinya tidak akan ada

kesatuan pemerintah lain di dalam Negara RI yang bersifat Negara.

Sedangkan nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi

daerah.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut,

penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan

dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelengaraan

desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan

daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan

mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.105

Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan

atau pengakuan atas urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan

dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ada dua tujuan

utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu

tujuan politik dan tujuan administrasi. Tujuan politik akan

memposisikan Pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik

bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan

105Made Suwandi, 2002, Makalah Konsep Dasar Otonomi Daerah Indonesia Dalam Upaya

Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien, Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, hal. 1.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 69: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

56

berkonstribusi pada pendidikan publik secara nasional untuk

mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan

administratif akan memposisikan Pemerintah daerah sebagai unit

pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan

pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.106

Berdasarkan tujuan politis dan administratif tersebut, maka

tujuan dari keberadaan pemerintah daerah adalah mensejahterakan

masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif,

efisien dan ekonomis dan melalui cara-cara yang demokratis. Peran

pusat dalam kerangka otonomi daerah akan bersifat menentukan

kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol

dan pemberdayaan sehingga daerah dapat melaksanakan otonominya

secara optimal. Sedangkan peran daerah lebih banyak bersifat

pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dalam melaksanakan

otonominya daerah berwenang membuat kebijakan daerah. Kebijakan

yang diambil daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang

diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundangan yang lebih tinggi.107

Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional

pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B,

UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor

pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut

tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut:

1. prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal

18 ayat 2).

2. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).

106 Ibid, hal. 5.107 Ibid, hal., 7.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 70: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

57

3. prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).

4. prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).

5. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang

bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).

6. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan

umum (Pasal 18 ayat 3).

7. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras

dan adil (Pasal 18 A ayat 2).108

Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi

otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud

adalah :

1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)

2. Pembagian pendapatan (distribution of income)

3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).109

Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah

daerah (daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah serta suksesnya

pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor,

antara lain:

1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi

Negara.

2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.

3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga

menyangkut birokrasi pemerintahan.

4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.110

108 Ni’matul Huda, op. cit. hal. 20.109 Ibid,.hal. 83 110 Subadi, op. cit., hal. 24

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 71: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

58

Dengan adanya pemberian keleluasaan kepala daerah, maka

daerah harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan

demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan

yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah,

sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

b. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah

Dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip

otonomi daerah menggunakan prinsip otnomi seluas-luasnya dan

prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dalam

penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi

yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang

menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat

kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran

serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada

peningkatan kesejahteraan rakyat.

Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa

urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi kekhasan

daerah. Otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang

dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan

dan maksud pemberian otonomi, yakni memberdayakan daerah dan

meningkatkan kesejahteraan.

Lebih lanjut dalam penjelasan umum UU Pemerintahan

Daerah dijelaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 72: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

59

mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah

dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan

pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan-urusan

pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan

pemerintah.

Dalam pembagian ini, yang disebut urusan pemerintahan,

ada yang menjadi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

pemerintah dan ada urusan pemerintahan yang bersifat concurrent,

yang dalam penanganannya dalam bagian atau sektor tertentu dapat

dilaksanakan bersama antara pemerintah dan daerah.

Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan

pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 :

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan

Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 73: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

60

f. agama.

Berdasarkan Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah tersebut

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yang

sepenuhnya tetap meliputi kewenangan yang menyangkut poliik

luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan

agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

sepenuhnya tetap ini, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri

atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada

perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat

menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan

desa (Pasal 10 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah).

Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah

diatur mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent.

Urusan pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan

pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Untuk

melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent

tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat berbentuk (1)

menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian kepada

Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan

kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang

bersifat concurrent dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,

akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian

hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar tingkat pemerintah.

Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian

urusan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang

ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 74: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

61

Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan

pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila

regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional

menjadi kewenangan pemerintah.

Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian

urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat

pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah

pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari

urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas

penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada

masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian

urusan pemerintahan-pemerintahan dengan mempertimbangkan

tersedianya sumber daya untuk mendapatkan ketetapan, kepastian,

dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan

bagian urusan.

Berdasarkan kriteria ini, maka urusan yang menjadi

kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan

pelayanan dasar, sedang urusan pilihan adalah urusan pemerintahan

terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.111

Terkait urusan pemerintahan yang bersifat concurrent,

dalam Pasal 2 ayat (4) PP 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (untuk

selanjutnya disebut PP Pembagian Urusan Pemerintahan)

disebutkan urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama antar

111 Lili Romli, op.cit., hal. 24

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 75: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

62

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, terdiri dari sektor urusan

pemerintahan yang meliputi:

a. Pendidikan;

b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum;

d. Perumahan;

e. Penataan ruang;

f. Perencanaan pembangunan;

g. Perhubungan;

h. Lingkungan hidup;

i. Pertanahan;

j. Kependudukan dan catatan sipil;

k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. Sosial;

n. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;

o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p. Penanaman modal;

q. Kebudayaan dan pariwisata;

r. Kepemudaan dan olah raga;

s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan

daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;

v. Statistik;

w. Kearsipan;

x. Pepustakaan;

y. Komunikasi dan informatika;

z. Pertanian dan ketahanan pangan;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 76: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

63

aa. Kehutanan

bb. Energi dan sumber daya mineral

cc. Kelautan dan perikanan;

dd. Perdagangan; dan

ee. Perindustrian.

Ketiga puluh satu sektor urusan pemerintahan tersebut di

atas dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam lampiran PP

Pembagian Urusan Pemerintahan tersebut.

Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah urusan wajib

pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah sebanyak

16 urusan pemerintahan. Ke-16 urusan pemerintahan itu berlaku

baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota,

sedangkan yang membedakannya adalah skala berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi seperti disebutkan di

atas.112 Oleh karena itu, baik urusan pemerintahan provinsi maupun

urusan pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas urusan:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat;

4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan sektor kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial;

7. Penanggulangan masalah sosial;

8. Pelayanan sektor ketenagakerjaan;

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;

112 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 77: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

64

10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan;

12. Pelayanan kependudukan dn catatan sipil;

13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;;

14. Pelayanan administrasi penanaman modal;

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar;

16. Dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan wajib daerah

sebagaimana tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7

ayat (2) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, urusan wajib tersebut

meliputi:

a. Pendidikan;

b. Kesehatan;

c. Lingkungan hidup;

d. Pekerjaan umum;

e. Penataan ruang;

f. Perencanaan pembangunan

g. Perumahan;

h. Kepemudaan dan olahraga;

i. Penanaman modal;

j. Koperasi dan usaha kecil dan menengah

k. Kependudukan dan catatan sipil;

l. Ketenagakerjaan;

m. Ketahanan pangan;

n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

p. Perhubungan;

q. Komunikasi dan informatika;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 78: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

65

r. Pertanahan;

s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan

daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;

v. Sosial;

w. Kebudayaan;

x. Statistik;

y. Kearsipan; dan

z. perpustakaan

Selain urusan wajib tersebut, pemerintah daerah (provinsi

dan kabupaten/kota) selain menyelenggarakan urusan wajib juga

dapat melaksanakan urusan pilihan. UU pemerintahan daerah tidak

menyebutkan secara eksplisit apa saja yang menjadi urusan pilihan

tersebut. Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintahan

Daerah hanya menyebutkan kriteria yang menjadi urusan pilihan

tersebut adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan

berpotensi untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang

bersangkutan.

Jenis urusan pilihan itu baru disebutkan secara eksplisit ada

pada penjelasan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU

Pemerintaha Daerah jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan

Pemerintahan, urusan pilihan tersebut meliputi:

a. kelautan dan perikanan;

b. pertanian;

c. kehutanan;

d. energi dan sumber daya mineral;

e. pariwisata;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 79: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

66

f. industri;

g. perdagangan; dan

h. ketransmigrasian.

Berdasarkan pembagian urusan tersebut, pemerintah pusat

dan daerah pada hakikatnya mempunyai fungsi yang sama dan

hanya dibedakan oleh cakupan kekuasaan dan kewenangan masing-

masing, maka sudah semestinya pola hubungan pemerintah pusat

dan daerah bersifat saling melengkapi dan saling ketergantungan.

Artinya, pemerintah pusat tidak berfungsi tanpa adanya pemerintah

daerah, begitu pula sebaliknya, karena kedua tingkat pemerintahan

mengemban fungsi secara saling melengkapi. Dengan demikian

maka legitimasi pemerintah pusat ditentukan oleh keberadaan dan

kepercayaan pemerintah daerah, sebaliknya pemerintah daerah

membutuhkan justifikasi pusat bagi penyelenggaraan pemerintahan

secara mandiri dan otonom.113

F. Tinjauan Umum tentang Perizinan

1. Pengertian Perizinan

Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai

perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya

memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah

dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Pengertian

izin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pernyataan

mengabulkan atau persetujuan membolehkan. Sedangkan perizinan berarti

hal pemberian izin.

113 Ibid., hal. 159

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 80: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

67

Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan

dalam hukum administrasi. Pemerintah Menggunakan izin sebagai sarana

yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya. Apabila ada sesuatu

yang dilarang dilakukan, maka dengan dikeluarkannya izin, penguasa

memperkenankan orang yang memohon izin untuk melakukan tindaka

yang sebelumnya dilarang tersebut.

Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya

tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya

asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal

konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan

perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).114 Izin (vergunning)

adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau

peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari

ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.115 Bagir

Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan

dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara

umum dilarang.116

Izin tidak sama dengan pembiaran. Kalau ada suatu aktifitas dari

anggota masyarakat yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku, tetapi ternyata tidak dilakukan penindakan oleh

aparatur yang berwenang, pembiaran seperti itu bukan berarti dizinkan.

114 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Suarabaya: Pustaka Tinta Mas, 1998):

hal. 187.115 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik (Jakarta: Sinar Grafika,

Cet. 1, 2010): hal. 168 116 Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Peraturan Penyelenggaraan Hak

Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar 1945, Makalah, tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 8.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 81: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

68

Untuk dapat dikatakan izin harus ada keputusan yang konstitutif dari

aparatur yang berwenang menerbitkan izin.117

Berdasarkan pemaparan mengenai definisi izin oleh para ahli di

atas, maka terdapat kemiripan pendapat diantara mereka. Izin berkaitan

dengan suatu larangan bertindak dari penguasa, namun larangan tersebut

dapat disimpangi dengan adanya perkenan dari alat perlengkapan

administrasi negara yang berwenang melalui suatu persetujuan yang

memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu dari pihak pemohon izin.

Obyek dari pada perbuatan tersebut dilakukan di bawah pengawasan alat

kelengkapan negara.

Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan

fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah

terhadap kegiatan-kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan

dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuotan

dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau

diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang

bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.118 Dengan

memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk

melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi

memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya

pengawasan.119

2. Tujuan Perizinan

Izin bertujuan untuk mengendalikan kegiatan masyarakat.

Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan atau

tindakan tertentu yang saling berhubungan, larangan ini dimaksudkan

117 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan ( Jakarta: Grasindo, 2009): hal. 8

118 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan…, op. cit, hal.168 119 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 82: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

69

secara mutlak namun untuk dapat bertindak dan mengeluarkan izin,

khususnya dengan menghubungkan peraturan-peraturan pada izin itu.120

Tujuan Perizinan antara lain adalah:121

a. Keinginan mengarahkan/mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu

(misalnya izin bangunan).

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (misalnya izin lingkungan).

c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (misalnya izin tebang,

izin membongkar pada monumen-monumen).

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit jumlahnya (izin penghuni

di daerah padat penduduk).

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitsnya

(izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus

memenuhi syarat-syarat tertentu).

3. Unsur-unsur Perizinan

Beberapa unsur yang termuat di dalam perizinan, antara lain:

a. Instrumen Yuridis

Tugas kewenangan pemerintah dalam negara hukum modern adalah

menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tidak kalah

pentingnya juga adalah mengupayakan kesejahteraan umum

(bestuurzorg).122 Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga

ketertiban dan keamanan merupakan tugas penting dalam sebuah

negara hukum. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, pemerintah

diberikan wewenang dalam sektor pengaturan. Melalui fungsi

pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi

120 M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Negara, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Pers) : hal. 125

121 N.M Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon, (Srabaya: Yuridika, 1993): hal. 4-5

122 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006): hal 211

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 83: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

70

peristiwa individual dan konkret yang dituangkan dalam bentuk

ketetapan (beschikking). Sesuai dengan sifatnya, ketetapan ini

merupakan ujung tombak dari instrument hukum dalam

menyelenggarakan pemerintahan.

b. Peraturan Perundang-undangan

Pemerintah dalam memperoleh wewenang untuk mengeluarkan izin

adalah ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar dalam perizinan tersebut. Akan tetapi dalam

penerapannya, menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah

dalam sektor izin itu bersifat deskresionare power atau berupa

kewenangan bebas, dalam arti pemerintah diberi kewenangan untuk

mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan

dengan izin tersebut, misalnya tentang:123

1) Kondisi-kondisi yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan

kepada pemohon.

2) Hal mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.

3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemerian atau

penolakan permohonan izin dikaitkan dengan pembatasan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Prosedur yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan

sesudah serta pada saat ketetapan izin diberikan baik penerimaan

ataupun penolakannya.

c. Organ Pemerintah

Organ pemerintah adalah instansi yang berwenang menjalankan urusan

pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut

Sjahran Basah, dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelenggaraan

pemerintahan dapat diketahui mulai dari adminitrasi negara tertinggi

123 Ibid, hal. 213

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 84: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

71

hingga yang terendah berwenang memberikan izin.124 Sedangkan

menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, “keputusan yang

memberikan izin harus diambil dari organ yang berwenang”.125

d. Peristiwa konkret

Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang

digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan

individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu

tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu.126

e. Prosedur dan Persyaratan

Permohonan izin harus menempuh prosedur yang telah ditetapkan oleh

pemerintah, sebagai pihak pemberi izin. Selain untuk menempuh

prosedur yang telah ditetapkan pemerintah, pemohon izin harus

memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan secara sepihak

oleh pemerintah tersebut sebagai pemberi izin. Meskipun penentuan

prosedur dan persyaratan secara sepihak oleh pemerintah, tidak

dibenarkan pemerintah membuat dan menentukan dengan

kehendaknya sendiri secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar izin tersebut.

4. Bentuk dan Isi Izin

Izin termasuk dalam kategori ketetapan (beschikking). Ketetapan

dirumuskan sebagai perbuatan hukum administrasi negara sepihak yang

dilakukan oleh pejabat atau instansi negara yang berwenang khusus untuk

itu, dituangkan dalam bentuk tertulis berupa surat keputusan atau surat

edara yang ditujukan kepada subyek yang bersangkutan (pemohon izin).

124 Ibid125 Ibid, hal, 214.126 Ibid, hal. 215-216.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 85: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

72

Secara umum, izin memuat hal-hal sebagai berikut:127

a. Organ yang berwenang

Dalam izin dinyatakan siapa yang berwenang memberikannya.

Biasanya, terdapat pada kepala surat dan penanda tangannya. Pada

umumnya, dalam sistem perizinan pembuat peraturan akan menunjuk

organ yang berwenang.

b. Subyek yang dialamatkan

Izin ditujukan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu subyek hukum

yang terdiri dari perorangan maupun badan hukum. Ketetapan yang

memuat izin akan dialamatkan kepada pihak pemohon izin tersebut. Izin

diterbitkan setelah pemohon mengajukan permohonan dan tellah

memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang telah disebutkan.

c. Diktum

Diktum berupa uraian alasan izin tersebut diberikan dan akibat-akibat

hukum yang lahir sesudahnya demi mewujudkan kepastian hukum.

d. Ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat

Dalam keputusan izin terdapat ketentuan-ketentuan, pembatasan-

pembatasan dan syarat-syarat sebagaimana dengan keputusan lainnya.

Ketentuan adalah kewajiban-kewajiban yang dapat dikaitkan pada

keputusan yang menguntungkan apabila kewajiban tersebut dilanggar

menimbulkan suatu pelanggaran. Pembatsan-pembatasan digunakan

untuk membatasi waktu, tempat atau dengan cara lain seperti pada izin

lingkungan yang dapat berlaku sampai pada jangka wamtu tertentu.

Syarta-syarat dalam izin berupa syarat penghapusan dan syarat

penangguhan dimana untuk mengantisipasi peristiwa yang terjadi di

kemudian hari yang tidak pasti.

e. Pemberian alasan (konsiderans)

127 N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, op. cit, hal 11-15.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 86: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

73

Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan

undang-undang yang diterapkan, pertimbang-pertimbangan hukum,

serta penetapan fakta-fakta sebagai acuan oleh organ yang berwenang

terhadap aturan yang relevan. Dalam keadaan tertentu, organ yang

berwenang dapat menggunakan data yang diperoleh dari pihak pemohon

izin, selain menggunakan data yang diperoleh dari para ahli atau biro

konsultan.

f. Pemberitahuan tambahan

Pemberitahuan tambahan adalah sejenis pertimbangan yang berlebihan,

yang pada dasarnya terlepas dari dictum selaku inti ketetapan dan

memuat tentang pengenaan sanksi akibat dari pelanggaran ketentuan

yang termuat dalam izin atau peraturan perundangan tentang perizinan

apabila dilanggar.

5. Syarat Sah Perizinan

Perizinan adalah merupakan suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh

pemerintah.Agar suatu ketetapan menjadi sah, maka harus memenuhi

beberapa persyaratan, yaitu:

a. Ketetapan harus dibuat oleh organ yang mempunyai kekuasaan untuk

itu.

b. Ketetapan tidak boleh mempunyai kekurangan yuridis.

c. Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan di dalam peraturan

yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan

cara membuat ketetapan itu, bilamana caranya ditetapkan dalam

peraturan tersebut.

d. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi tujuan dasarnya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 87: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

74

G. Kerangka Berpikir

1. Bagan

Untuk memudahkan alur pemikiran tesis ini disusun dengan bentuk

bagan sebagai berikut:

2. Penjelasan Bagan

Dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945

diletakan dasar konstitusional tentang hubungan antara pemerintah pusat

dan daerah. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah

PASAL 18 ayat (2), 18A ayat (2) DAN PASAL 33 UUD 1945

UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN

DAERAH

OTONOMI SELUAS-LUASNYA

KEWENANGAN PENGELOLAAN

PASAL 38 AYAT (3) jo PASAL 50 AYAT (3) HURUF G UU

NO 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEWENANGAN MENHUT MEMBERIKAN IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

UNTUK KEPERLUAN PERTAMBANGAN

KEWENANGAN PENGELOLAAN HUTAN

KESESUAIAN

UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 88: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

75

hubungan pemerintah pusat dan daerah, diantaranya mengenai pembagian

urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat

dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas:

a. Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat

b. Urusan yang dibagi antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan,

yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari

urusan wajib dan urusan pilihan.

Adapun pembagian kewenangan untuk menyelesaikan urusan-

urusan pemerintahan di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauh

mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai wewenang

untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan.

Pembagian wewenang tersebut di atas, secara umum diatur dalam

UU Pemerintahan Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut juga

diatur dalam UU sektoral, namun pengaturan tersebut sering kali

menimbulkan berbagai macam persoalan karena kurang tepat dalam

pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Terjadi tumpang tindih dan tarik-menarik kewenangan, termasuk dalam

masalah pengelolaan hutan dan pertambangan.

Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah

merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 ayat 2 dan 18 A ayat 2 UUD

1945. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah

untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pasal 10 ayat (1) UU

Pemerintahan Daerah menyebutkan, “Pemerintahan daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan

menjadi urusan Pemerintah”. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (3) UU

Pemerintahan Daerah disebutkan, “Urusan pemerintahan yang menjadi

urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 89: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

76

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional; dan

f. Agama.”

Dengan kata lain urusan pemerintahan selain sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, menjadi

kewenangan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam,

khususnya pengelolaan sumber daya hutan.

Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk

kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, dengan kata

lain terdapat kewenangan Menteri Kehutanan untuk mengatur pengelolaan

kawasan hutan jo Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan yang

mengatur desentralisasi bidang kehutanan. Demikian hal nya dengan Pasal

18 dan 18A amandenen kedua UUD 1945, yang diejawantahkan dalam UU

Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, juga mensyarakatkan

desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, termasuk desentralisasi dalam pengelolaan kawasan hutan.

Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat permasalahan pokok

bagaimana mensinkronkan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat

dan daerah dalam hal pengelolaan kawasan hutan termasuk dalam

kewenangan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk keperluan

pertambangan pada era otonomi daerah. Untuk itu menarik untuk dikaji

kesesuaian Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g jo Pasal 66 ayat

(1), (2), dan (3) UU Kehutanan dengan Pasal 18 ayat (2) dan 18A ayat (2)

amandenem kedua UUD1945 sebagaimana diejawantahkan UU

Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, serta kesesuaian dengan UU

Minerba.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 90: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

77

H. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penulisan tesis ini antara lain:

1. Penelitian yang berjudul Peranan Dinas Pertambangan dalam Pengelolaan

Batu Bara terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten

Pasir Kalimantan Timur oleh Yusuf (Tesis Program Pascasarjana

Universitas Gajah Mada). Penelitian ini membahas implementasi kebijakan

otonomi daerah di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur terkait peranan Dinas

Pertambangan dalam pengelolaan tambang batu bara dalam rangka

meningkatkan pendapatan asli daerah.

2. Penelitian yang berjudul Pemberdayaan Hukum Pertambangan dalam

Rangka Meningkatkan Pendapatan Daerah Studi Kasus Kabupaten Sanggau

oleh Karmindanu (Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

Penelitian ini membahas arah kebijakan pengelolaan pertambangan dalam

rangka otonomi daerah di Kabupaten Sanggau dan sinkronisasi arah

kebijakan pemerintahan dalam meningkatkan pendapatan daerah dari sektor

pertambangan.

Kedua penelitian tesis di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian

yang dilakukan penulis dalam hal obyek penelitian, yaitu kebijakan pengelolaan

pertambangan dalam rangka otonomi daerah. Namun, terdapat perbedaan fokus

penelitian antara kedua penelitian tesis tersebut dengan penelitian penulis.

Kedua penelitian tersebut di atas membahas kebijakan pengelolaan

pertambangan pada era otonomi daerah secara general, sedangkan penulis

memfokuskan pada kebijkakan pengelolaan pertambangan pada era otonomi

daerah khusus untuk kegiatan pertambangan yang berada di kawasan hutan.

Selain itu kedua penelitian di atas merupakan penelitian empiris yang

membahas implementasi kebijakan pertambangan pada era otonomi daerah dan

pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan daerah, dengan mengambil

lokasi penelitian di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan Kabupaten Pasir

Kalimantan Timur. Sedangkan penelitian penulis merupakan penelitian hukum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 91: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

78

normatif (doktrinal) yang membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan

perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan

pada era otonomi daerah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 92: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

79

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Menurut Setiono, metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu

pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu

yang akan dicari.128 Di dalam penelitian hukum, metode yang digunakan

tergantung pada konsep apa yang akan digunakan. Berdasarkan pandangan

Soetandyo Wignjosoebroto dalam Setiono, mengemukakan ada 5 (lima) konsep

hukum yaitu :

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal.

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan

hukum nasional.

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan

tersistematisasi sebagai judge made law.

4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai

variabel sosial empirik.

5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial

sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.129

Berdasarkan pengertian di atas, penulis menggunakan konsep hukum

yang kedua, yaitu hukum sebagai norma-norma positif di dalam sistem

perundang-undangan hukum nasional.

Menurut Soerjono Soekanto dan Srimamudji penelitian hukum

normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara meneliti

bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka, penelitian ini disebut juga

128 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu

Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005, hal.19 129 Ibid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 93: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

80

penelitian hukum kepustakaan. Untuk memahami adanya hubungan antara ilmu

hukum dengan hukum positif perlu ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan

horizontal.130 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk dalam jenis

penelitian hukum normatif yang dalam hal ini tentang sinkronisasi vertikal

yaitu analisis Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

ditinjau dari Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 66 ayat (1), (2), dan

(3) UU Kehutanan ditinjau dari Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dan sinkronisasi

horizontal antara UU Kehutanan, UU Pemerintahan Daerah serta UU Minerba,

terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan di dalam

kawasan hutan.

B. Sifat Penelitian

Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif

dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum ini

dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai

preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.131

Dalam penelitian ini penulis akan mengemukakan argumentasi dan

konsep baru sebagai preskripsi dari masalah kegiatan pertambangan di dalam

kawasan hutan pada era otonomi daerah.

C. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif khususnya:

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

130 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. Kelima, 2010): hal. 13

131 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2010): hal.35

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 94: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

81

Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis,

pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti

untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-

undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan

Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.132 Dalam

penelitian hukum ini, terkait masalah kegiatan pertambangan dalam

kawasan hutan pada era otonomi daerah, penulis akan melakukan

sinkronisasi horizontal antara UU Pemerintahan Daerah, UU Kehutanan

dan UU Minerba. Dan terkait masalah konflik kewenangan dalam

penerbitan izin kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era

otonomi daerah penulis akan melakukan sinkronisasi vertikal antara Pasal

38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan dengan Pasal 18

ayat (2) dan 18 A ayat (2) UUD 1945. Untuk itu peneliti harus melihat

hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai

berikut:133

- Comprehencive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya

terkait antara satu dengan yang lain secara logis. All-inclusive bahwa

kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung

permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan

hukum.

- Sistematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierakis.

b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

132 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.93133 Johny Ibrahim , Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:

Banyumedia, 2010), hal. 303

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 95: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

82

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.134 Dalam penelitian

hukum ini penulis akan meneliti konsep kewenangan, perizinan dan

desentralisasi. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti akan merujuk prinsip-

prinsip hukum terkait konsep kewenangan, perizinan dan desentralisasi

yang dikemukakan oleh para ahli hukum dan yang tertuang dalam doktrin-

doktrin hukum.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini berupa data

sekunder, yaitu data atau informasi berupa himpunan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran,

majalah jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan topik penelitian.

Mengacu pendapat Soerjono Soekanto dalam Setiono135 dalam

menggunakan data sekunder di sektor hukum ditinjau dari kekuatan

mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), terdiri dari (1) bahan hukum

primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penelitian, (2) bahan hukum sekunder, yaitu

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan (3) bahan

hukum tertier, atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Sedangkan menurut Peter Mahmud136, sumber-sumber penelitian hukum

dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan

hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

134 Ibid, hal. 95 135 Setiono, op. cit, hal. 19136 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.141

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 96: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

83

Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan.

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber-sumber

penelitian yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkkait

dengan penelitian ini, antara lain:

- Undang-undang Dasar 1945

- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

- Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan

- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

- Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

b. Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari buku-buku literatur tentang kebijakan,

otonomi daerah, teori perundang-undangan ataupun literatur lain yang

terkait dengan penulisan tesis.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 97: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

84

c. Bahan Hukum Tertier, terdiri dari kamus hukum dan kamus besar Bahasa

Indonesia.

E. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian hukum

normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan

pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah dengan cara

pengumpulan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi

kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data

dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat

catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-

hal lain yang diteliti berhubungan dengan masalah yang diteliti.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian hukum ini analisis menggunakan logika deduksi, yaitu

menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat

individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta

mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus. Analisis dilakukan

dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, kemudian dilakukan

analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dengan melakukan

penafsiran perundang-undangan, untuk kemudian ditarik kesimpulan dari hasil

analisis tersebut.

Dalam penelitian hukum ini peraturan perundang-undangan yang

penulis inventarisasi terdiri dari:

a. Undang-undang Dasar 1945

b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

d. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 98: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

85

Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2011

e. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan

Hutan

g. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

i. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah

beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa kesamaan anasir-anasir,

atau bertujuan untuk mencapai objek yang sama, bahwa diantara peraturan

hukum ternyata terdapat hubungan antara satu dengan yang lain. Suatu

peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Setiap peraturan hukum mempunyai

tempat dalam suatu lapangan hukum tertentu, hal ini sebagai konsekuensi

adanya interdependesi antara masing-masing gejala sosial dan bahwa hukum

merupakan suatu gejala sosial.137

137 Purwoatmodjo Sihombing, Pengantar Ilmu Hukum (Surakarta: Sebelas Maret University

Press, 1997): hal.171

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 99: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

86

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Peraturan Perundang-undangan Sektor Pertambangan Terkait

Pertambangan di Kawasan Hutan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai Negara dan

diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana

diketahui bahwa salah satu sumber daya alam yang terkandung di dalam

bumi selain minyak dan gas bumi juga terdapat mineral dan batubara yang

merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan artinya apabila sumber

daya alam tersebut telah diusahakan/tambang sumber daya alam tersebut

tidak ada lagi/habis. Oleh karena itu pengelolaan/pengusahaan dimaksud

harus diteliti dieksplorasi baik kualitas maupun kuantitas serta

pemasarannya dan harus diperhatikan lingkungan dari pertambangan

apakah akan menimbulkan bahaya atau tidak, hal ini dilakukan agar dapat

memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

sebagaimana dikehendaki Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas.

Pada saat ini pengelolaan/pengusahaan pertambangan baru dapat

dilakukan apabila kegiatan tersebut dinilai layak teknis, layak ekonomi dan

layak lingkungan. Mengenai layak teknis dan layak ekonomi dilakukan

instansi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan layak

lingkungan dilakukan oleh instansi Lingkungan Hidup. Di sisi lain kegiatan

pertambangan harus pula mendapat izin Menteri Kehutanan apabila

wilayah kerja pertambangan tersebut berada di dalam kawasan hutan, kalau

belum mendapat izin pinjam pakai baik untuk penelitian atau

pertambangan berdasarkan UU Kehutanan, maka kegiatan tersebut

merupakan tindak pidana (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 100: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

87

38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan). Kesimpulannya

walaupun sudah mendapat kegiatan pertambangan tapi belum mendapat

izin pinjam pakai kawasan dari kehutanan, maka usaha pertambangan tidak

dapat dilaksanakan sepanjang wilayah kerja kegiatan pertambangan

tersebut berada di kawasan hutan.

Dengan berlakunya UU Minerba sebagai pengganti Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,

ada beberapa perubahan mendasar, yaitu antara lain bahwa sebelum

Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam

penerbitan wilayah kerja Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus berada di

dalam Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri Energi

dan Sumber Daya Mineral. WP tersebut ditetapkan dalam rangka tata

ruang nasional. Istilah penggunaan izin “Kuasa Pertambangan (KP)”

menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), bentuk perizinannya berubah

yaitu yang lama setiap tahapan mempunyai KP tersendiri, sedangkan yang

baru terbagi dua, yaitu IUP eksplorasi yang terdiri dari kegiatan

Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan, selanjutnya IUP

produksi sendiri yang terdiri dari kegiatan konsttruksi, Pertambangan,

Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan Penjualan.

Pertambangan adalah sebagian atau keseluruhan tahapan kegiatan

dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan

batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,

pertambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan

serta kegiatan pasca tambang.

Kegiatan fisik untuk melakukan kegiatan pertambangan dalam

kawasan hutan harus terlebih dahulu mendapat izin pinjam pakai kawasan

hutan dari Kementerian Kehutanan, ketentuan di sektor kehutanan

membatasi kegiatan pertambangan tersebut. Kawasan suaka alam tidak

dibenarkan sama sekali untuk kegiatan pertambangan, yang dperbolehkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 101: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

88

adalah pada kawasan hutan produksi terbatas, sedangkan pada kawasan

hutan lindung hanya boleh dilakukan dengan persyaratan tertentu, yaitu

pertambangan tidak boleh tambang terbuka.

2. Peraturan Perundang-undangan Sektor Kehutanan Terkait

Pertambangan di Kawasan Hutan.

Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya

dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang

hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam

wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan,

tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan

mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan

hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan

hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan

hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum

mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya

negara (pemerintah) berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada

pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu

setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan

secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri, termasuk

dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.

Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU

Kehutanan diatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pertambangan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan dari

Menteri Kehutanan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih

mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengendalikan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 102: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

89

penggunaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang dapat digunakan

untuk kegiatan pertambangan adalah kawasan hutan produksi dan hutan

lindung (Pasal 38 ayat (1), dimana pada kawasan hutan lindung dilarang

melakukan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka.(Pasal 38

ayat (4)).

Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah

telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan

kegiatan pertambangan termasuk dalam kegiatan pembangunan di luar

sektor kehutanan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan melalui

izin pinjam pakai kawasan hutan. Mengenai izin pinjam pakai kawasan

hutan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yang

mengatur:138

1. Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Permohonan (diatur dalam

Pasal 11 sampai dengan Pasal 15).

2. Kewajiban Pemegang Persetujuan Prinsip.

3. Kewajiban Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam

Pasal 26 dan Pasal 28).

4. Larangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam

Pasal 29).

5. Hapusnya Persetujuan Prinsip/Izin Pinjam Pakai

6. Jangka Waktu Persetujuan Prinsip Dan IPPKH.

138 Budi Ryanto, Reformasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Menuju Senergitas

Kegiatan Sektor Pertambangan dan Kehutanan, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan , 2011): hal. 17-23

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 103: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

90

7. Dispensasi (diatur dalam Pasal 20).

Dalam Permenhut P.18/Menhut-II/2011, diatur bahwa untuk

kegiatan pertambangan izin pinjam pakai terdiri dari izin pinjam pakai

tahap eksplorasi dan eksploitasi produksi, atau dengan kata lain sejak tahap

eksplorasi pengusaha tambang dalam melakukan kegiatannya di dalam

kawasan hutan harus sudah memiliki izin pinjam pakai.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan di dalam

kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan pertambangan dengan

pola pertambangan terbuka. Incontrario dalam kawasan hutan lindung

diperkenankan melakukan kegiatan pertambangan dengan pola

pertambangan tertutup (bawah tanah). Ketentuan mengenai penggunaan

kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan

tertutup diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawsan Hutan Lindung Untuk

Pertambangan Bawah Tanah.

3. Peraturan Perundang-undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi

Daerah di Sektor Pertambangan dan Kehutanan

Otonomi daerah secara efektif dijalankan serentak di seluruh

wilayah Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2001. Namun demikian, sejak

kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 euforia reformasi sudah

merebak di berbagai wilayah. Tuntutan reformasi yang begitu kuat

didengungkan oleh berbagai kalangan masyarakat menuntut dihapuskannya

sistem pemerintahan yang terpusat. Selama tahun 1998, berbagai tuntutan

muncul dari pemerintah daerah diberbagai wilayah agar diberi kewenangan

yang lebih besar dalam menangani berbagai urusan. Mereka juga menuntut

bagian yang lebih besar dari hasil eksploitasi sumberdaya alam, termasuk

sumberdaya hutan yang ada di wilayah mereka. Pada saat yang sama,

masyarakat setempat mulai melakukan klaim kepemilikan lahan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 104: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

91

menuntut kompensasi dari perusahaan kayu atas kerusakan dan kerugian

yang disebabkan oleh kegiatan logging.

Walaupun dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah secara

resmi sudah ditetapkan pada tahun 1999, namun pelaksanaannya baru

dimulai secara efektif pada awal tahun 2001. Dibutuhkan waktu untuk

menyiapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan

UU No. 25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32

Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, dan tatanan kelembagaan baik di

pusat maupun daerah, termasuk diantaranya peraturan pemerintah sebagai

aturan pelaksanaan otonomi daerah dan proses penyerahan kewenangan

administrative dan pengaturan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah.

Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah

merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 dan 18 A UUD 1945.

Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah untuk

mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam UU Pemerintahan Daerah

pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam

pasal 10:

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah

daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan

tugas perbantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 105: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

92

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa sektor

kehutanan tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur

dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah didesentralisasikan. Berdasarkan

penjelasan pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP

Pembagian Urusan Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam

urusan daerah yang bersifat pilihan. Pembagian urusan pemerintahan sektor

kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah dirinci lebih lanjut

sebagaimana tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan

Pemerintahan huruf AA.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan

desentralisai pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah

tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan

sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud

ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan

dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan

dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk

meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka

pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 106: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

93

bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/

kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,

wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap

dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004

yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi

wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,

dan sumber daya lainnya.

Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut

diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:

(1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,

pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian;

b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya; dan

c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa pengelolaan kawasan

hutan pada era otonomi daerah telah didesentralisasikan, akan tetapi dalam

pengelolaan dan pemanfaatannya tetap memperhatikan hubungan

koordinasi dan bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sama hal nya dengan sektor kehutanan, pertambangan juga

termasuk dalam urusan pemerintahan pilihan yang di desentralisasikan.

Pembagian urusan pemerintahan sektor pertambangan antara pemerintah

pusat dan daerah dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam

lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf BB.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 107: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

94

Ketentuan tentang pertambangan mineral dan batu bara diatur

dalam UU Minerba. UU Minerba yang berlaku saat ini telah menganut

prinsip desentralisasi dengan memberikan ruang bagi peran daerah

(provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian kewenangan antar pemerintahan

(pusat dan daerah) dalam UU Minerba diatur dalam:

Pasal 6:

(1) Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan dan mineral,

antara lain adalah:

a. Penetapan kebijakan nasional;

b. Pembuatan peraturan perundang-undangan;

c. Penetapan standar nasioanal, pedoman, dan kriteria;

d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara

nasional;

e. Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dan

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia;

f. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah

provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari

garis pantai;

g. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan yang lokasi pertambangannya

berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari

12 (dua belas) mil dari garis pantai;

h. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak

lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut

lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 108: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

95

i. Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;

j. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan

serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

k. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan dan

konservasi;

l. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan

masyarakat;

m. Perumusan dan penetapan penerimaan Negara bukan pajak dari

hasil usaha pertambangan dan mineral batu bara;

n. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan

pertambangan mineral dan batu bara yang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah;

o. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di sektor

pertambangan;

p. Penginventarisasian, pendidikan, dan penelitian serta eksplorasi

dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu bara

sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;

q. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya

mineral dan batu bara serta informasi pertambangan pada tingkat

nasional;

r. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan

pascatambang;

s. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara tingkat

nasional;

t. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha

pertambangan; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 109: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

96

u. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemerintah provinsi,

dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan

usaha pertambangan.

Pasal 7

(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan

mineral dan batu bara, antara lain, adalah:

a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

b. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah

kabupaten/kota dan/atau wilayah laut lebih dari 4 (empat) mil

sampai dengan 12 (dua belas) mil;

c. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang

kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau

wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

d. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang

berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau

dalam wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas)

mil;

e. Penginvetarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi

dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu

bara sesuai dengan kewenangannya;

f. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya

mineral dan batu bara, serta informasi pertambangan pada

daerah/wilayah propinsi;

g. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada

daerah/ wilayah provinsi;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 110: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

97

h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha

pertambangan di provinsi;

i. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam

usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian

lingkungan;

j. Pengkoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan

peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;

k. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,

dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan atau

bupati/walikota;

l. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,

serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;

m. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dalam pasca

tambang; dan

n. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan

pertambangan.

Pasal 8:

(1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan

pertambangan mineral dan batu bara, antara lain, adalah:

a. Pembuatan peraturan perundang-undang daerah;

b. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik

masyarakat , dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah

kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)

mil;

c. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik

masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 111: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

98

yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan atau

wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

d. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi

dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu

bara;

e. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batu

bara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;

f. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada

wilayah kabupaten/kota;

g. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam

usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian

lingkungan;

h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat

kegiatan usaha pertambangan secara optimal;

i. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,

dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan

Gubernur;

j. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,

serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur;

k. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca

tambang;

l. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota

dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6, 7, dan 8 tersebut di atas dapat

dicermati bahwa kewenangan ekslusif pemerintah pusat hanya

meliputi:

a. Penetapan kebijakan nasional.

b. Pembuatan peraturan perundang-undangan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 112: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

99

c. Penetapan standar, pedoman dan kriteria.

d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara

nasional.

e. Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan

pemerintah daerah dan DPR.

Selain kewenangan tersebut di atas, kewenangan pemerintah pusat

jika dibandingkan dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota

mempunyai subtansi yang sama hanya berbeda dalam skala cakupan

wilayah. Sebagai rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat,

provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini:139

Tabel 1

Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi serta Kabupaten/Kota

Dalam Menerbitkan IUP

No Kewenangan Pusat Kewenangan Provinsi Kewenangan

Kabupaten/Kota

1. Pemberian IUP,

pembinaan,

penyelesaian konflik

masyarakat, dan

pengawasan usaha

pertambangan yang

berada pada lintas

wilayah provinsi

dan/atau wilayah laut

lebih dari 12 (dua

belas) mil dari garis

pantai

Pemberian IUP,

pembinaan, penyelesaian

konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha

pertambangan yang

berada pada lintas wilayah

kabupaten/kota dan atau

wilayah laut 4 (empat) mil

sampai dengan 12 mil

Pemberian IUP dan Izin

Pertambangan Rakyat

(IPR), pembinaan,

penyelesaian konflik

masyarakat dan

pengawasan usaha

pertambangan di

wilayah kabupaten/kota

dan atau wilayah laut

sampai dengan 4 mil

2. Pemberian IUP,

pembinaan,

penyelesaian

Pemberian IUP,

pembinaan, penyelesaian

konflik masyarakat dan

Pemberian IUP dan IPR,

pembinaan, penyelesain

139 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 138

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 113: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

100

konflik masyarakat,

dan pengawasan

usaha

pertambangan yang

lokasi

pertambangannya

berada pada lintas

wilayah provinsi

dan/atau wilayah

laut lebih dari 12

(dua belas) mil dari

garis pantai

pengawasan usaha

pertambangan operasi

produksi yang

kegiatannya berada pada

lintas wilayah

kabupaten/kota dan atau

wilayah laut 4 (empat) mil

sampai dengan 12 mil

konflik masyarakat dan

pengawasan usaha

pertambangan operasi

produksi yang

kegiatannya berada di

wilayah kabupaten/kota

dan/atau wilayah laut

sampai dengan 4 mil

3. Pemberian IUP,

pembinaan,

penyelesaian

konflik masyarakat,

dan pengawasan

usaha

pertambangan

operasi produksi

yang berdampak

lingkungan

langsung lintas

provinsi dan/atau

dalam wilayah laut

lebih dari 12 (dua

belas) mil dari garis

pantai

Pemberian IUP,

pembinaan, penyelesaian

konflik masyarakat dan

pengawasan usaha

pertambangan yang

berdampak lingkungan

langsung lintas wilayah

kabupaten/kota atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 114: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

101

B. Pembahasan

1. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-undangan yang

Mengatur Kegiatan Pertambangan dalam Kawasan Hutan pada Era

Otonomi Daerah

Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi

daerah, selain tunduk dengan kebijakan pertambangan juga berkaitan erat

dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar sektor

kehutanan dan pembagian urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan

pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk

menghindari kekisruhan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan yang

disebabkan karena adanya pertentangan norma yang mengatur kegiatan

tersebut, maka antar kebijakan tersebut harus sinkron dan bersinergi.

Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan

landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan

kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu

secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih,

inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya

dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi

semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun

horizontal.

Norma hukum yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan di

kawasan hutan merupakan substansi yang harus disinkronkan guna

mencegah kekisruhan kegiatan pertambangan di kawasan hutan.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pemerintah daerah berwenang

menerbitkan IUP, namun untuk IUP yang wilayah kerjanya di kawasan

hutan harus tetap memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan

hutan dari menteri kehutanan.

Ketentuan Pasal 38 ayat (3) yang mengatur kewenangan menteri

kehutanan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 115: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

102

kegiatan pertambangan sering dipertentangkan dengan kebijakan otonomi

daerah yang memberi wewenang daerah mengurus rumah tangganya

sendiri, diantaranya mengurus potensi sumber daya alam di daerahnya,

termasuk sumber daya alam hutan dan bahan galian tambang. Untuk itu

dalam tesis ini penulis akan mengsinkronkan secara vertikal dan horizontal

peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di

kawasan hutan khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur

perizinan kegiatan penambangan di kawasan hutan pada era otonomi

daerah.

a. Sinkronisasi Vertikal

Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pada era

otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pembangunan ekonomi di daerah.

Seperti telah dijabarkan pada kajian teori di atas landasan

konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan adalah Pasal 18 ayat 2 UUD 1945,

sedangkan landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah harus

dilakukan secara selaras dan adil adalah Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945.

Ketentuan tersebut lebih lanjut diejawantahkan dalam UU No.22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU

No. 32 Tahun 2004. Sedangkan dasar hukum dari kewenangan menteri

kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan adalah Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf

g UU Kehutanan. Kesesuaian kewenangan Menteri Kehutanan dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 116: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

103

memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan

dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah, dapat dianalisa dengan

mengsinkronkan dasar hukum kewenangan Menteri kehutanan tersebut

dengan dasar hukum pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam pembahasan ini penulis

akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai

landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal

50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai landasan kewenangan menteri

kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan. Dan selanjutnya penulis akan mengsinkronkan ketentuan

pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 sebagai konstitusional hubungan pusat dan

daerah harus dilakukan secara selaras dan adil dengan ketentuan Pasal 38

ayat (3) UU Kehutanan jo Pasal 66 UU Kehutanan sebagai dasar

pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat

disampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 117: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

104

Tabel 2

Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi

Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

UUD 1945 UU Kehutanan

Pasal

18

ayat

(2)

Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah

kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan

Pasal

38

ayat

(3)

Pasal

50

ayat

(3)

huruf

g

Penggunaan kawasan

hutan untuk kepentingan

pertambangan melalui

pemberian izin pinjam

pakai oleh Menteri

dengan

mempertimbangkan

batasan luas dan jangka

waktu tertentu serta

kelestarian hutan

Setiap orang dilarang

melakukan kegiatan

penyelidikan umum, atau

eksplorasi atau eksploitasi

bahan tambang di

kawasan hutan tanpa izin

menteri

UU Pemerintahan Daerah

Pasal

10

ayat

(3)

Pasal

(5)

Urusan pemerintahan yang

menjadi urusan pemerintahan

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiscal

nasional; dan

f. Agama

Dalam urusan

pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah di

luar urusan pemerintahan

sebagaimana dimaksud

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 118: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

105

pada ayat (3), Pemerintah

dapat:

a. Menyelenggarakan

sendiri sebagian

urusan pemerintahan;

b. Melimpahkan sebagian

urusan pemerintahan

kepada Gubernur

sebagai wakil

Pemerintah; atau

c. Menugaskan sebagian

urusan pemerintahan

kepada pemerintahan

daerah dan / atau

pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas

pembantuan.

Penjelasan UU Pemerintahan Daerah

Pasal

13

ayat

(2)

Pasal

14

ayat

(2)

. Yang dimaksud dengan

urusan pemerintahan yang

secara nyata ada dalam

ketentuan ini sesuai kondisi,

kekhasan dan potensi yang

dimiliki antara lain

pertambangan, perikanan,

pertanian, perkebunan,

kehutanan, pariwisata

Yang dimaksud dengan

urusan pemerintahan yang

secara nyata ada dalam

ketentuan ini sesuai kondisi,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 119: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

106

kekhasan dan potensi yang

dimiliki antara lain

pertambangan, perikanan,

pertanian, perkebunan,

kehutanan, pariwisata.

PP Pembagian Urusan Pemerintahan

Pasal

7 ayat

(4)

Urusan pilihan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3)

meliputi:

a. Kelautan dan perikanan;

b. Pertanian;

c. Kehutanan;

d. Energi dan sumber daya

mineral;

e. Pariwisata;

f. Industri;

g. Perdagangan;dan

h. Ketransmigrasian.

Lampiran PP Pembagian Urusan

Pemerintahan

Huruf

AA

angka

7

Kewenangan pemerintah

pusat dalam penatagunaan

kawasan hutan meliputi

penetapan norma, standar,

prosedur, dan criteria

penatagunaan kawasan

hutan, pelaksanaan

penetapan fungsi hutan serta

perubahan hak dari lahan

milik menjadi kawasan

hutan, pemberian perizinan

penggunaan dan tukar-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 120: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

107

menukar kawasan hutan.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki urgensi

dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, oleh karena itu sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

pengaruh teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky

dengan stufenbau theorie-nya atau jenis dan tata urutan (hieraki) peraturan

perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

Sebagaimana telah disebutkan dalam kajian teori bahwa

berdasarkan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut di

atas, UUD 1945 jika dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans

Nawiasky merupakan norma dasar atau norma fundamental Negara,

sehingga peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus

berpedoman dan mengacu pada UUD 1945. Dalam tingkatan hieraki

peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 menempati

kedudukan paling atas, maka sudah semestinya norma hukum dalam UUD

1945 menjadi rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya,

sehingga kondisi sebagaimana dimaksud Fuller bahwa, “suatu sistem

hukum tidak boleh mengandung peraturan perundang-undangan yang

bertentangan satu sama lain” dapat terwujud.

Berdasarkan tabel sinkronisasi di atas terlihat Pasal 38 ayat 3 jo

Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum kewenangan

menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan di sinkronkan dengan ketentuan Pasal 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 121: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

108

ayat 2 UUD 1945 sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah guna

mengetahui apakah kewenangan menteri kehutanan tersebut telah sinkron

atau selaras dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah

karena berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ketentuan Pasal

38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma

hukum dasar yang mengatur otonomi daerah di Indonesia.

Kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai

kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan merupakan perwujudan hak

menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sejalan

dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional

yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa

mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan

berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan

dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan

bertangung-gugat

Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya

dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang

hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam

wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah memberi wewenang

kepada pemerintah untuk:140

140 Salim HS, op. cit., hal. 12

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 122: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

109

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan;

2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan

kawasan hutan;

3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

kehutanan.

Selain itu, Pemerintah juga mempunyai wewenang untuk

memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di

sektor kehutanan ataupun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan

di dalam kawasan hutan. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di

luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu

adanya ketentuan yang dapat mengakomidir kepentingan-kepentingan

tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam ketentuan Pasal 38

UU Kehutanan diatur mengenai penggunaan kawasan hutan melalui

mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan

hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sector adalah agar pemerintah

masih mempunyai kewenangan untuk mengawsai dan mengendalikan

penggunaan kawasan hutan tersebut.

Dalam Pasal 38 UU Kehutanan disebutkan:

1. Pengaturan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar

kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan

produksi dan hutan lindung.

2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui

pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan

batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 123: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

110

4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan pola

pertambangan terbuka.

5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis

dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan.

Pengaturan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan

lebih lanjut diatur dalam PP. 18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam

Pakai Kawasan Hutan, PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan

Hutan. Dalam PP 24 Tahun 2010, diatur mengenai kegiatan pembangunan

di luar sector kehutanan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan

hutan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan.

Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan tersebut di atas memberi kepastian

hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan

hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan diatur

bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau

eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin

menteri.

Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan Daerah

Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal

18 ayat (2) merupakan landasan konstitusional pelimpahan wewenang dan

urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak

lanjut ketentuan tersebut maka diterbitkan UU Pemerintahan Daerah, yang

ditindaklanjuti dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan.

Dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, urusan

pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat hanya meliputi:

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional, serta agama. Dengan kata lain urusan pemerintahan di luar ke

enam urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 124: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

111

di desentralisasikan. Dalam kajian teori di atas telah dijelaskan bahwa

sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dapat di

desentralisasikan. Sektor kehutanan berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat

(2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan

Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang

bersifat pilihan.

Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah diatur

mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan

pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3). Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang

bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat

berbentuk (1) menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian

kepada Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan

kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas

tugas pembantuan. Atau dengan kata lain pemerintah diperbolehkan untuk

menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain pemerintah dapat

menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor kehutanan.

Dalam huruf AA angka 7 Lampiran PP Pembagian Urusan

Pemerintahan telah diatur pembagian urusan pemerintahan sektor

kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam lampiran tersebut

diatur bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan

hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria

penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta

perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian

perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.

Seperti telah diuraikan pada kajian teori urusan pemerintahan yang

bersifat concurrent dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 125: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

112

dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan

urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Berdasarkan kriteria

tersebut urusan pemerintahan sektor kehutanan dibagi berdasarkan kriteria

eksternalitas. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian

urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang

ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila

dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan

tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, apabila regional

menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan

pemerintah.

Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah

administratif namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah

administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari

kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam

yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Dampak

kerusakan hutan di suatu kabupaten atau provinsi tidak hanya dirasakan

oleh masyarakat yang tinggal di kabupaten atau provinsi tersebut tetapi

juga dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Indonesia bahkan turut

dirasakan masyarakat internasional. Oleh karena itu, seyogyanya

pengaturan izin penggunaan kawasan hutan berada di pemerintah pusat

karena izin penggunaan kawasan hutan ini merupakan instrument

pengendali pengelolaan hutan guna mencegah kerusakan hutan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo

Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, tidak bertentangan dengan Pasal

18 ayat (2) UUD 1945 sebagai norma dasar yang mengatur pelimpahan

wewenang dan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Selanjutnya penulis akan membahas sinkronisasi kewenangan

menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan

pada era otonomi daerah dengan pengaturan hubungan pemerintah pusat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 126: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

113

dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penulis akan

mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 A ayat 2 sebagai landasan

konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah

dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan sebagai dasar

kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai

kawasan hutan serta ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur

pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat

digambarkan dalam table berikut ini:

Tabel 3

Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38

ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan

UUD 1945 UU Kehutanan

Pasal

18 A

ayat

(2)

Hubungan keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber

daya alam lainnya antara

pemerintah pusat dan daerah

diatur dan dilaksanakan secara

adil dan selaras berdasarkan

undang-undang

Pasal

38

ayat 3

Pasal

66

ayat

(1),

(2), (3)

Penggunaan kawasan hutan

untuk kepentingan

pertambangan melalui

pemberian izin pinjam pakai

oleh Menteri dengan

mempertimbangkan batasan

luas dan jangka waktu tertentu

serta kelestarian hutan

(1) Dalam rangka

penyelenggaraan

kehutanan, Pemerintah

menyerahkan sebagian

kewenangan kepada

Pemerintah Daerah;

(2) Pelaksanaan penyerahan

sebagian kewenangan

UU Pemerintahan Daerah

Pasal

2 ayat

4

Pemerintah daerah

dalam

menyelenggarakan

urusan pemerintahan

memiliki hubungan

dengan Pemerintah dan

pemerintahan daerah

lainnya

Hubungan sebagaimana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 127: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

114

Pasal

2 ayat

5

Pasal

17

ayat 1

dimaksud ayat (4)

meliputi hubungan

wewenang, pelayanan

umum, pemanfaatan

sumber daya alam, dan

sumber daya lainnya.

Hubungan dalam

sektor pemanfaatan

sumber daya alam dan

sumber daya lainnya

antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (4)

dan (5) meliputi:

a. Kewenangan

tanggung jawab,

pemanfaatan,

pemeliharaan,

pengendalian

dampak, budidaya

dan pelestarian;

b. Bagi hasil atas

pemanfaatan

sumber daya alam

dan sumber daya

lainnya; dan

c. Penyerasian

lingkungan dan

tata ruang serta

sebagaimana dimaksud

ayat (1) bertujuan untuk

meningkatkan efektivitas

pengurusan hutan dalam

rangka pengembangan

otonomi daerah;

(3) Ketentuan lebih lanjut

sebagaimana dimaksud

ayat (1) dan ayat (2)

diatur lebih lanjut

dengan Peraturan

Pemerintah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 128: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

115

rehabilitasi lahan

Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

pertambangan dalam kawasan hutan oleh menteri kehutanan, tidak dapat

diartikan sebagai upaya mengambil kewenangan daerah dalam mengelola

sumber daya alamnya, tapi lebih sebagai instrumen pengendalian dalam

pengelolaan hutan.

Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah

administratif, namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah

administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari

kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam

yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Keberadaan hutan

tidak semata-mata untuk kepentingan penghasilan daerah dan kepentingan

investasi dalam konteks pemanfaatan hutan, melainkan hutan harus mampu

memberikan manfaat jasa lingkungan, dapat mencegah bencana, erosi dan

tanah longsor serta dapat mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu

diperlukan instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan berupa izin

dan sanksi guna mencegah kerusakan hutan.

Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan

dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-

kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan izin adalah

mengendalikan kegiatan masyarakat. Terkait izin pinjam pakai kawasan

hutan yang diberikan oleh menteri kehutanan, maka izin pinjam pakai

kawasan hutan ditempatkan pada posisi pengendalian dalam penggunaan

kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Dengan demikian,

izin pinjam pakai tersebut bukan hanya sebagai sumber pendapatan hasil

daerah maupun sumber pendapatan hasil Negara, tetapi betul-betul sebagai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 129: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

116

instrument pengendalian agar hutan dapat berfungsi sebagaimana diatur

dalam UU Kehutanan.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan

desentralisasi pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah

tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan

sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud

ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan

dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan

dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk

meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka

pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang

bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/

kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,

wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap

dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004

yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi

wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,

dan sumber daya lainnya.

Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut

diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 130: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

117

(1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,

pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian;

b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya; dan

c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan, dikaitkan dengan Pasal 66 UU

Kehutanan yang mengatur penyerahan urusan atau wewenang dari

pemerintah pusat kepada daerah, maka apabila menteri kehutanan akan

memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri tidak dapat berjalan

sendiri, karena berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat

dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan (5) jo Pasal 17

ayat (1) UU Pemerintahan Daerah dan PP Pembagian Urusan

Pemerintahan, oleh karena itu dalam memberikan izin pinjam pakai

kawasan hutan, menteri kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi

kepala daerah yang menunjukan adanya hubungan yang adil dan selaras

antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

18A ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diejawantahkan dalam ketentuan

Pasal 2 ayat (4) dan 5 jo Pasal 17 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan

Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari

kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan

kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan pelaksanaan

desentralisasi sektor kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 18 A ayat

2 UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah

pusat dan daerah secara adil dan selaras.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 131: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

118

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sesuai stufenbau theory dimana

aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan

hukum yang lebih tinggi. Maka sesuai dengan hieraki peraturan perundang-

undangan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011, Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan

sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam

memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan

tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai landasan

konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat (3)

dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan tidak bertentangan

dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang

hubungan pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kewenangan

menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan telah sinkron dengan upaya

pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah.

b. Sinkronisasi Horizontal

UU Kehutanan, UU Minerba dan UU Pemerintahan Daerah beserta

peraturan pelaksananya, merupakan peraturan yang terkait dengan

penyelenggaraan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era

otonomi daerah. Oleh karena itu selain sinkronisasi vertical terkait

eksistensi kewenangan menteri kehutanan dalam memberika izin pinjam

pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada era otonomi

daerah, maka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur

kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah perlu

juga dilakukan sinkronisasi horizontal. Sinkronisasi horizontal dapat

dilakukan dengan menggunakan asas lex speciali derogate lex generale.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 132: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

119

Dalam sinkronisasi horizontal, yang harus dilakukan pertama kali

adalah menentukan substansi / sektor yang akan disinkronkan, dalam

penelitian ini adalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era

otonomi daerah. Selanjutnya adalah memaparkan peraturan perundang-

undangan yang mengatur kegiatan tersebut, dalam hal ini adalah UU

Minerba, UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan

pelaksananya. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan melalui tabel

sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 133: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

120

Tabel 4

Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU

Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan

UU Pertambangan UU Kehutanan UU Pemerintahan Daerah

Pasal

134

ayat (2)

Pasal

134

ayat (3)

Kegiatan

usaha

pertambangan

tidak dapat

dilaksanakan

pada tempat

yang dilarang

untuk

melakukan

kegiatan usaha

pertambangan

sesuai dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan

Kegiatan

usaha

pertambangan

sebagaimana

dimaksud

Pasal

38

ayat 3

Penggunaan

kawasan hutan

untuk

kepentingan

pertambangan

melalui

pemberian izin

pinjam pakai

oleh Menteri

dengan

mempertimbang

kan batasan luas

dan jangka

waktu tertentu

serta kelestarian

hutan

Pasal

10

ayat

(3)

Pasal

(5)

Urusan pemerintahan yang

menjadi urusan

pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiscal

nasional; dan

f. Agama

Dalam urusan

pemerintahan yang

menjadi kewenangan

Pemerintah di luar urusan

pemerintahan

sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), Pemerintah

dapat:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 134: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

121

pada ayat (2)

dapat

dilaksanakan

setelah

mendapat izin

dari instansi

pemerintah

sesuai dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan

yang berlaku

a. Menyelenggarakan

sendiri sebagian

urusan pemerintahan;

b. Melimpahkan sebagian

urusan pemerintahan

kepada Gubernur

sebagai wakil

Pemerintah; atau

c. Menugaskan sebagian

urusan pemerintahan

kepada pemerintahan

daerah dan / atau

pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas

pembantuan.

Penjelasan UU

Pemerintahan Daerah

Pasal

13

ayat 2

Yang dimaksud

dengan urusan

pemerintahan yang

secara nyata ada

dalam ketentuan ini

sesuai kondisi,

kekhasan dan

potensi yang

dimiliki antara lain

pertambangan,

perikanan,

pertanian,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 135: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

122

Pasal

14

ayat

(2)

perkebunan,

kehutanan,

pariwisata

Yang dimaksud

dengan urusan

pemerintahan yang

secara nyata ada

dalam ketentuan ini

sesuai kondisi,

kekhasan dan

potensi yang

dimiliki antara lain

pertambangan,

perikanan,

pertanian,

perkebunan,

kehutanan,

pariwisata

PP Pembagian Urusan

Pemerintahan

Pasal

7

ayat

(4)

Urusan pilihan

sebagaimana

dimaksud pada ayat

(3) meliputi:

a. Kelautan dan

perikanan;

b. Pertanian;

c. Kehutanan;

d. Energi dan

sumber daya

mineral;

e. Pariwisata;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 136: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

123

f. Industri;

g. Perdagangan;

dan

h. Ketransmigras

ian.

Lampiran PP

Pembagian Urusan

Pemerintahan

Huruf

AA

angka

7

Kewenangan

pemerintah

pusat dalam

penatagunaan

kawasan

hutan meliputi

penetapan

norma,

standar,

prosedur, dan

criteria

penatagunaan

kawasan

hutan,

pelaksanaan

penetapan

fungsi hutan

serta

perubahan

hak dari lahan

milik menjadi

kawasan

hutan,

pemberian

perizinan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 137: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

124

penggunaan

dan tukar-

menukar

kawasan

hutan.

1. UU Pemerintahan Daerah

Seperti sudah dipaparkan pada hasil penelitian, dalam UU

Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) jo Pasal penjelasan

pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian

Urusan Pemerintahan di sebutkan bahwa urusan sektor kehutanan dan

sektor pertambangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang di

desentralisasikan kepada daerah. Dimana rincian urusan sektor kehutanan

yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan

Pemerintahan huruf AA, sedangkan rincian urusan sektor pertambangan

yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan

Pemerintahan huruf BB.

2. UU Minerba

Dalam UU Minerba desentralisasi sektor pertambangan tercermin

dari Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, yang mengatur pembagian kewenangan

pemerintah pusat dan daerah dalam mengelolan pertambangan. Dalam

Pasal tersebut diatur bahwa pemerintah daerah juga mempunyai

kewenangan untuk menerbitkan IUP.

Terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan UU

Minerba mengatur apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang

dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus

memperoleh izin dari instansi terkait (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU

Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU

Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 138: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

125

hutan. Selain itu dalam PP 23 Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal

14 ayat 2, penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan

(berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan kepada

pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP).

3. UU Kehutanan

Dalam UU Kehutanan sendiri desentralisasi sektor kehutanan diatur

dalam Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3), yang menyebutkan tujuan

dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk

meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka

pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang

bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/

kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,

wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pasal 38

ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa

penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus melalui

izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.

Dalam UU Minerba diatur di lokasi yang dilarang untuk melakukan

kegiatan usaha pertambangan harus memperoleh izin dari instansi terkait.

Terkait dengan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan secara khusus

diatur dalam Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan,

dimana kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan harus memperoleh

izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Jadi dapat

dikatakan bahwa UU Kehutanan merupakan aturan lex specialis yang

mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan. Oleh karenanya

norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan

tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3) jo

Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 139: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

126

Dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terkait

kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah,

diketahui bahwa:

1. Pemerintah Daerah berwenang menerbitkan IUP.

2. Kegiatan pertambangan di lokasi yang dilarang untuk melakukan

kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari

instansi terkait.

3. Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan meskipun telah

memperoleh IUP dari kepala daerah tetap memerlukan izin

penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa,

ketentuan UU Minerba Pasal 134 ayat (2) dan (3) telah sinkron dengan

ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.

Sedangkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba yang mengatur

kewenangan daerah untuk menerbitkan IUP dalam pelaksanaannya harus

tunduk pada ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38

ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, artinya untuk IUP

yang lokasinya berada dalam kawasan hutan tetap harus memerlukan izin

penggunaan kawasan dari menteri kehutanan.

d. Sinergitas

Dalam prakteknya kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan

masih menuai banyak persoalan. Hal ini disebabkan kebijakan yang

mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan hanya bersifat

sektoral. Sebagai contoh Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU

Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan harus melalui izin pinjam pakai kawasan hutan dari

menteri kehutanan hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan

(3) UU Minerba yang mensyaratkan izin instansi pemerintah untuk

melakukan kegiatan usaha pertambangan di tempat yang dilarang untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 140: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

127

melakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalamnya izin menteri

kehutanan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan

hutan. Namun UU Minerba lebih lanjut tidak menyebutkan tentang

keharusan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon

areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak

menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam

penerbitan izin pertambangan yang areal kerjanya di dalam kawasan hutan.

Tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin Usaha

Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus

berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,

membuat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah

sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin pertambangan yang berada di

dalam kawasan hutan. Tidak adanya koordinasi dan rekomendasi tersebut

menyebabkan meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi

pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan

kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP)

sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika

proses penerbitan IUP oleh gubernur/bupati tidak melibatkan UPT

Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai

dengan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menjadi acuan

status kawasan hutan dan bukan hutan. Hal ini dapat menyebabkan

kerancuan apakah calon lokasi pertambangan tersebut berada dalam

kawasan hutan atau di luar kawasan hutan.

Selain itu tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin

Usaha Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus

berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,

menyebabkan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 141: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

128

lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa

adanya tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat

dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-

perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal

kerjanya berada dalam kawasan hutan. Disamping itu belum adanya aturan

yang mengharuskan penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan

hutan harus mencantumkan klausul bahwa kegiatan pertambangan baru

bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri

kehutanan menyebabkan banyak Kepala Daerah dalam menerbitkan IUP

tidak mencantumkan klausul tersebut.

Hal-hal tersebut di atas menyebabkan makin maraknya perusahaan

tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam

pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Banyak

pengusaha tambang yang langsung beroperasi di dalam kawasan hutan

setelah mendapatkan izin eksplorasi tanpa adanya izin pinjam pakai

kawasan hutan. Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk

menentukan titik eksploitasi (pit). Penyelidikan umum sebagai bagian dari

tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara

tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP

Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan

dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan (Pasal 36 UU Minerba).

Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu

izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan

pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam

pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan.

Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan

operasi pertambangan bisa dimulai sejak IUP terbit. Seharusnya, operasi

pertambangan di dalam kawasan hutan (Hutan Lindung atau Hutan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 142: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

129

Produksi) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski

benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IUP.141

2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-

Undangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan

a. Keterpaduan Visi dan Misi

Permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan kawasan

hutan dan kegiatan pertambangan adalah adanya tumpang tindih

kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan.

Kebijakan sektor kehutanan sering dituding menjadi faktor

penghambat investor pertambangan di kawasan hutan. Sebaliknya,

kegiatan pertambangan di kawasan hutan dituding sebagai penyebab

kerusakan hutan karena kegiatan pertambangan di kawasan hutan akan

merusak ekosistem hutan. Untuk itu perlu keterpaduan visi dan misi

dalam pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan agar

kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat terus berlangsung,

namun kelestarian hutan juga dapat tetap terjaga.

Landasan konstitusional pengelolaan kawasan hutan dan bahan

galian tambang adalah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di

dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal

33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa

kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus

dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.142

141 Sri Sultarini Rahayu (Auditor pada Inpektorat IV Kementerian Kehutanan), Ketika Izin

Usaha Perkebunan (IUP) Bersinggungan Dengan Kawasan Hutan, hal.4 142 Nandang Sudrajat, op. cit., hal.15

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 143: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

130

Lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-

022/PUUI/2003 menyatakan penguasaan Negara berarti bahwa Negara

berwenang untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi

pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat.

Pengurusan, pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut

harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

konstitusi, yaitu:

1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat;

2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip:

a. Kebersamaan;

b. Efisiensi berkeadilan;

c. Berkelanjutan;

d. Berwawasan lingkungan;

e. Kemandirian;

f. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Kedua ketentuan tersebut diatas mengamanatkan agar Negara

mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan bahan

galian tambang, secara bijaksana untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Oleh karena itu visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan

galian tambang harus berorientasi untuk mencapai kemakmuran

rakyat. Dengan demikian tumpang tindih kepentingan antara sektor

kehutanan dan pertambangan harus dihindari, sebaliknya harus saling

bersinergi agar dapat memanfaatkan sumber daya hutan dan bahan

galian tambang secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas perlu adanya kerjasama antara

Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral untuk merumuskan pola-pola teknis pengelolaan terpadu

kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 144: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

131

Kegiatan pertambangan di kawasan hutan seyogyanya dilakukan

dengan teknis ramah lingkungan yang tetap menjaga kelestarian hutan.

Adanya pengelolaan kawasan hutan dan pertambangan yang terpadu

dan bersinergi dalam satu sistem diharapkan dapat memperoleh hasil

yang optimal guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu

keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan sangat

diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundang-

undangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan

yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan

pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.

b. Penyempurnaan Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi

Daerah

Seperti telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, maka

untuk mewujudkan visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan

galian tambang yang berorientasi untuk mencapai kemakmuran rakyat

diperlukan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan

pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah yang sinkron

dan bersinergis satu sama lain. Peraturan perundang-undangan terkait

kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah

yang ada saat ini meskipun telah sinkron, namun belum bersinergis

satu sama lain. Sehingga belum ada keterpaduan dan koordinasi antar

instansi terkait dalam pengelolaan pertambangan di kawasan hutan

pada era otonomi daerah, terutama dalam hal penerbitan IUP yang

berada di kawasan hutan. Untuk itu perlu penyempurnaan peraturan

perundang-undangan tersebut, agar visi misi pengelolaan kawasan

hutan dan pertambangan dapat mencapai hasil yang optimal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 145: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

132

Peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan

di kawasan hutan meliputi meliputi peraturan perundang-undangan di

bidan kehutanan, yaitu UU Kehutanan dan peraturan pelaksananya,

peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, yaitu UU

Minerba dan peraturan pelaksananya dan peraturan perundang-

undangan terkait otonomi daerah, yaitu UU Pemerintahan Daerah dan

peraturan pelaksananya. Ketiga sektor peraturan perundang-undangan

tersebut masih bersifat ego sektoral, sehingga tidak terjadi koordinasi

dalam pengaturan kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era

otonomi daerah.

UU Minerba (Pasal 134 ayat (2) dan (3) dan PP Minerba (Pasal

14 ayat 2) meskipun telah mensyaratkan untuk IUP yang areal

kerjanya di kawasan hutan harus ada izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan dari menteri

kehutanan, namun tidak menyaratkan perlunya berkoordinasi dengan

kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP tersebut. Perundang-

undangan sector kehutanan yang ada saat ini dinilai masih terasa

bernuansa command and control. Sehingga dianggap tidak memacu

dunia investasi dan tidak pro poor.143 Demikian pula Perda-Perda yang

dikeluarkan daerah lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya alam

untuk peningkatan pendapatan asli daerah daripada pelestarian sumber

daya alam itu sendiri. Untuk itu maka perlu penyempurnaan ketiga

sektor peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam PP Minerba seyogyanya dimasukan ketentuan yang

mengatur perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam

proses penerbitan IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.

Dengan dilibatkannya kementerian kehutanan dalam proses penerbitan

143 Budi Riyanto, Reformasi Kebijakan…..,op. cit., hal. 49

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 146: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

133

IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan diharapkan tumpang tindih

lahan pertambangan dan kawasan hutan dapat dihindari. Dengan

adanya koordinasi kementerian kehutanan dapat segera mengetahui

bahwa di areal hutan tertentu telah diterbitkan IUP, hal ini akan

memudahkan aparat kehutanan dalam mengawasi kegiatan

pertambangan di kawasan hutan, sehingga kegiatan pertambangan

illegal dapat diminimalisir.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor

kehutanan dapat dilakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan

peraturan perundang-undangan sektor kehutanan yang mengarah

kepada good forestry government yang berjiwa pro investasi, pro poor

dan pro job.144 Untuk itu perlu diatur ketentuan insentif dan disinsentif

dalam peraturan perundang-undangan kehutanan guna memacu dunia

usaha.145 Terkait dengan kegiatan pertambangan di kawasan hutan

maka perlu adanya peraturan yang mengatur insentif bagi para

pengusaha tambang yang melakukan kegiatan pertambangang di

kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Insentif tersebut dapat berupa kemudahan

dalam proses pengurusan dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan

hutan untuk kegiatan pertambangan.

Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seyogyanya

perda-perda yang diterbitkan pemerintah daerah tidak hanya

berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam untuk peningkatan

pendapatan asli daerah, tetapi juga harus memperhatikan kelestarian

sumber daya alam tersebut. Perda-perda yang dikeluarkan hendaknya

tidak hanya mengatur masalah pemberian izin pengelolaan sumber

daya alam dan tarif atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tetapi

144 Ibid145 Ibid, hal. 50

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 147: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

134

juga harus mengatur upaya-upaya rehabilitasi sumber daya alam

tersebut. Terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan, perlu

adanya perda yang mengatur bahwa dalam penerbitan IUP yang areal

kerjanya di kawasan hutan oleh Kepala Daerah, maka IUP tersebut

harus mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri

kehutanan” serta dalam IUP tersebut mencantumkan tembusan kepada

menteri kehutanan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 148: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

135

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan

dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron baik secara

vertikal dan horizontal. Namun peraturan-peraturan tersebut belum sinergis

satu dengan yang lainnya, karena peraturan-peraturan tersebut masih

bersifat sektoral sehingga belum terpadu satu dengan yang lainnya.

a. Secara vertikal Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU

Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan

dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai

landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan

Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan

tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai

dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah.

b. Secara horizontal norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan

di kawasan hutan pada era otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam

Pasal 38 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), dan Pasal 66 UU Kehutanan, Pasal

6, Pasal 7, Pasal 8 dan 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, dan Pasal 10

ayat (1) (2) dan (3) UU Pemerintahan Daerah juga telah sinkron satu

dengan yang lain. Namun peraturan perundangan-perundangan tersebut

belum bersinergis satu dengan yang lain. Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU

Minerba meskipun telah mensyaratkan adanya izin menteri kehutanan

untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan, namun tidak mengatur

perlunya koordinasi dan rekomendasi menteri kehutanan dalam

penerbitan IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan. Sehingga

pemerintah daerah dalam penerbitan IUP ada yang tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 149: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

136

mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan

baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri kehutanan”

serta dalam IUP tersebut tidak mencantumkan tembusan kepada

menteri kehutanan.

2. Upaya-upaya untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan terkait

kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara:

a. Keterpaduan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan yaitu

pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan dilakukan

dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu

peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dan pertambangan

yang mengatur pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan

haruslah berorientasi pada upaya optimal untuk mencapai kemakmuran

rakyat. keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan

sangat diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundang-

undangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan

yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan

pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.

b. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan

pertambangan di kawasan hutan yang meliputi peraturan perundang-

undangan di sektor kehutanan, pertambangan dan otonomi daerah,

dengan cara merubah peraturan yang sudah ada dan membuat

peraturan hukum yang baru yang bersifat lintas sektoral dan

bersinergis satu sama lain, sehingga terjadi koordinasi dalam

pengaturan kegiatan pertamabangan di kawasan hutan pada era

otonomi daerah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 150: digilib.uns.ac.id... · i SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

137

B. Implikasi

1. Maraknya kegiatan pertambangan illegal di kawasan hutan karena banyak

pengusaha sektor pertambangan setelah memperoleh IUP dari kepala

daerah langsung melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa

mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.

2. Adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan

IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.

C. Saran

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan

dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral,

sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi antar instansi terkait dalam

menerbitkan perizinan terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan.

2. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan

pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah:

a. PP Minerba perlu menambahkan ketentuan yang mensyaratkan adanya

koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang

berada dalam kawasan hutan.

b. Perlu adanya perda pedoman penerbitan IUP yang mengatur bahwa

dalam penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan

diwajibkan untuk mencantumkan klausul bahwa untuk kegiatan

pertambangan dalam kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya

izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.

c. Perlu adanya peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang

mengatur insentif bagi pengusaha tambang yang melakukan kegiatan

pertambangan di kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user