28
1

KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

  • Upload
    dinhtu

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

1

Page 2: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

1

KAJIAN GNSS UNTUK PERBAIKAN JARING KONTROL GEODESI DAN GEODINAMIKA

Oleh: Dadan Ramdani

Fahmi Amhar Prayudha Hartanto Agung Syetiawan

Yustisi Ardhitasari Lumban Gaol Ayu Nur Safii

Danang Budi S M Irwan H

Bidang Penelitian

Pusat Penelitian Promodi dan Kerjasama

Badan Informasi Geospasial

2017

Page 3: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

2

DAFTAR ISI

Daftar Isi 2

KATA PENGANTAR 3

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4

Latar Belakang 4

Tujuan 5

Tahapan Pelaksanaan Penelitian 5

Waktu Pelaksanaan Kegiatan 5

Personil 6

Luaran (Output) 6

Rencana Strategi Pengembangan INA_CORS untuk Keperluan Publik dan Studi Deformasi Tektonik 7

Abstrak 7

PENDAHULUAN 7

PEMANFAATAN INA-CORS 9

INA-CORS untuk Keperluan Publik 9

INA-CORS untuk Penelitian Deformasi Tektonik 9

JARING INA-CORS TERSEDIA 10

METODE 11

Distribusi Jaring CORS yang Ideal 14

KESIMPULAN 15

DAFTAR PUSTAKA 16

Pengaruh Sistem Proyeksi Peta Terhadap Luas 18

ABSTRAK 18

PENDAHULUAN 18

METODE 20

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

KESIMPULAN 25

DAFTAR PUSTAKA 25

Page 4: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang telah menurunkan rahmat dan taufiknya sehingga hasil penelitian ini akhirnya dapat diterbitkan. Salah satu lini penelitian pada Bidang Penelitian, Pusat Penelitian Promosi dan Kerja-sama BIG adalah riset peralatan pendukung survei pemetaan, dan salah satu bagiannya adalah Kajian GNSS untuk perbaikan jaring kontrol geodesi dan geodinamika. Riset ini diharapkan berguna baik untuk pusat-pusat teknis di BIG, maupun untuk dunia survei pemetaan nasional.

Pada Tahun Anggaran 2017, riset yang dilakukan dengan melaksanakan Rencana Strategi Pengembangan INA_CORS untuk Keperluan Publik dan Studi Deformasi Tektonik dan Pengaruh Sistem Proyeksi Peta Trhadap Luas.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para peneliti dan pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan sedikit kontribusi bagi semakin meningkatnya kinerja survei dan pemetaan di BIG, serta di Indonesia pada umumnya.

Cibinong, Desember 2017 Pusat Penelitian, Promosi dan

Kerjasama Kepala,

Wiwin Ambarwulan 19600629 198801 2 001

Page 5: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

4

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN

LATAR BELAKANG

Informasi geospasial sangat diperlukan untuk berbagai macam kegiata baik itu perencanaan, batas, navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk kegiatan tersebut diperlukan informasi yang baik, handal, dapat dipercaya dan akurat. Untuk menjaga hal tersebut informasi geospasial yang dibuat harus dijaga dengan jaring kontrol yang baik dan handal juga.

Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang penyelenggaraannya menjadi tugas utama Badan Informasi Geospasial, terdiri dari Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar. Peta Dasar terdiri dari Peta Rupabumi Indonesia (RBI), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). Sedangkan jaring kontrol terdiri dari Jaring Kontrol Horisontal Nasional (JKHN),Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN) danJaring Kontrol gayaberat (JKG)

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 3 tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 3 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Informasi Geospasial, khususnya pasal 96, Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang informasi geospasial, serta promosi, kerja sama, hubungan masyarakat dan hubungan antar lembaga.

Sistem Referensi Geospasial merupakan suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global, yang secara spesifik menentukan lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya mencakup seluruh wilayah NKRI, termasuk bagaimana nilai-nilai koordinat tersebut berubah terhadap waktu. Dalam realisasinya sistem referensi geospasial ini dinyatakan dalam bentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional dimana setiap titik kontrol geodesi akan memiliki nilai koordinat yang teliti baik nilai koordinat horisontal, vertikal maupun gayaberat.

Sedangkan tugas Bidang Penelitian adalah melaksanakan penyusunan rencana penelitian dan pengembangan, melakukan penelitian dan pengembangan informasi geospasial yang mendukung unit kerja tertentu dan yang bersifat lintas unit kerja, melakukan koordinasi penelitian dan pengembangan antar instansi / lembaga, serta melakukan pengelolaan jurnal dan publikasi penelitian dan pengembangan. Dan tertuang juga pada salah satu Misi Badan Informasi Geospasial yaitu meningkatkan kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia, kualitas penelitian dan pengembangan dalam penyelenggaraan informasi geospasial serta mendorong pemanfaatannya. Serta berdasar hasil penyusunan rencana induk penelitian 2016 – 2019, bahwa terdapat beberapa strategi yang harus dilakukan oleh Bidang Penelitian antara lain mengarahkan penelitian yang fokus pada percepatan produksi IG, mendorong applied research untuk penelitian terkait pembangunan nasional berbasis wilayah dan mengarahkan penelitian terkait penyebarluasan dan pemanfaatan informasi geospasial. Dengan dasar hal tersebut diatas, maka pada tahun anggaran 2017, Bidang Penelitian merencanakan melaksanakan Kajian GNSS untuk perbaikan jaring kontrol geodesi dan geodinamika.

Page 6: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

5

TUJUAN

Penelitian bertujuan memberikan rekomendasi kepada Pusat terkait dan seluruh rekanannya hal-hal untuk peningkatan kinerja pemetaan. Pada tahun 2017 ini, penelitian ini terbagi dalam dua kelompok.

1. Kelompok pertama adalah penelitian mengenai Jaring Kontrol, yaitu: mengenai kajian INA_CORS

2. Kelompok kedua adalah penelitian mengenai proyeksi peta:

TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN

Secara umum, tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dibagi menjadi 4.

Yang pertama adalah inventarisasi masalah dan metode melalui serangkaian Focus Group Discussion, baik yang di kalangan peneliti, di internal Badan Informasi Geospasial (Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi, PPRT), maupun yang melibatkan pakar dan praktisi dari luar. Pakar diundang dari perguruan-perguruan tinggi yang selama ini dikenal memiliki pengalaman terkait topik itu, seperti UGM dan ITB. Sedang praktisi diambil dari perusahaan survei pemetaan baik yang biasa menjadi rekanan BIG (diwakili oleh Asosiasi Perusahaan Survei Pemetaan dan Informasi Geospasial, APSPIG) dan perusahaan survei pemetaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang biasa mendapatkan pekerjaan dari luar negeri, dan nyaris tidak memiliki kepentingan dengan BIG, sehingga diharapkan menjadi pembanding yang objektif. Dalam karya tulis ilmiah, hasil tahap pertama ini adalah Bab I (Pendahuluan, Tinjauan Pustaka) dan sedikit gagasan untuk pengembangan Bab II (Metode Penelitian)

Yang kedua adalah pendalaman Metode Penelitian. Beberapa test awal untuk pematangan metode penelitian dilakukan, misalnya try out kuesioner atau percobaan awal algoritma dengan software yang didapatkan. Hasil tahap kedua ini adalah Bab II (Metode Penelitian).

Yang ketiga adalah pelaksanaan pengumpulan data melalui survei, eksperimen dan analisis. Tahap ketiga ini kadang bersifat iteratif dengan tahap kedua. Hasil sementara survei atau eksperimen yang belum memuaskan, akhirnya mendorong perbaikan metode dan survei atau eksperimen ulang, hingga didapatkan data yang dianggap cukup untuk dianalisis.

Yang keempat adalah penarikan kesimpulan dan penulisan akhir. Pada tahap ini, penarikan kesimpulan diperkaya lagi melalui komunikasi dengan pakar dan praktisi, baik melalui Focus Group Discussion-II, ataupun dalam forum seminar-seminar ilmiah.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN

Secara umum, tiga bulan pertama (bulan 1-3) adalah tahap inventarisasi masalah. Bulan 4-6 adalah tahap pengembangan metode. Kebetulan bulan 6 adalah bulan puasa / liburan Lebaran. Maka survei dan eksperimen untuk mendapatkan data paling banyak dilakukan di bulan 7-9, bahkan sebagian ada yang baru bisa dilaksanakan di bulan-10 dan awal bulan-11. Dan akhirnya, pada bulan 10-12 dilakukan serangkaian FGD dan partisipasi dalam beberapa seminar ilmiah untuk mengkomunikasikan hasil sementara penelitian ini dan mematangkan kesimpulannya.

Page 7: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

6

PERSONIL

Personil penelitian ini terdiri dari para peneliti utama, madya, muda dan pertama dari Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama (PPKS) Badan Informasi Geospasial. Hampir seluruhnya memiliki latar belakang pendidikan Teknik Geodesi. Sebelum bergabung dengan Pusat PPKS, sebagian besar juga pernah bergabung dalam pusat-pusat teknis, terutama Pusat Pemetaan Rupabumi dan Topinimi (PPRT), Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika (PJKGG), Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai (PKLP) dan Pusat Pemetaan Batas Wilayah.

Daftar personil penelitian ini adalah

Nama Jabatan dalam tim Keterangan

1. Dadan Ramdani, S.T., M.T. Koordinator Umum Peneliti Muda

2. Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar Peneliti Utama

3. Prayudha Hartanto, S.T., M.T. Peneliti Pertama

4. Agung Syetiawan, S.T. Peneliti Pertama

5. Yustisi Ardhitasari, , S.T. Peneliti Pertama

6. Ayu Nur Safi’I, S.T. Peneliti Pertama

7. Danang Budi Susetyo, S.T. Peneliti Pertama

8. M. Irwan Hariyono, S.T. Peneliti Pertama

Anggota tim saling membantu dalam sub penelitian lain. Beberapa juga ada yang terlibat dalam Kelompok Penelitian lain di dalam lingkup PPKS.

LUARAN (OUTPUT)

Luaran dari kegiatan ini muncul dalam dua bentuk:

Pertama adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dipublikasikan melalui jurnal atau prosiding konferensi. Bagi peneliti, KTI ini merupakan indikator kinerjanya yang akan dihitung dalam SKP (Satuan Kinerja Perorangan) dan Angka Kredit untuk Jabatan Fungsional Peneliti.

Page 8: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

7

RENCANA STRATEGI PENGEMBANGAN INA_CORS UNTUK KEPERLUAN PUBLIK DAN STUDI DEFORMASI

TEKTONIK

ABSTRAK

Teknologi penentuan posisi menggunakan GPS dapat diterapkan untuk tujuan survey, pemetaan dan penelitian. Penentuan posisi menggunakan teknologi GPS menjadi pilihan utama dalam survey dan pemetaan dibandingkan dengan metode lain. Ketelitian posisi pengukuran GPS dapat dihasilkan dengan berbagai macam ketelitian tergantung pada metode pengukuran yang digunakan. Dalam rangka untuk memfasilitasi pengukuran GPS dengan hasil ukuran yang lebih teliti dan cepat, beberapa instansi membangun stasiun GPS permanen dengan berbagai tujuan dan tersebar di seluruh Indonesia, dikenal sebagai Continuous Operating Referrence Stations (CORS). Sistem peralatan pada CORS secara kontinyu akan melakukan pengukuran dan merekam data hasil ukuran yang akan digunakan oleh Pengguna.

Badan Infrormasi Geospasial sebagai instansi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai penyedia data informasi geospasial, mulai membangun stasiun permanen GPS yang sekarang dikenak sebagai stasiun CORS yang dapat digunakan oleh masyarakat umum berkaitan dengan pengukuran dan pengolahan data GPS seperti Real time kinematic (RTK), permintaan data RINEX, atau post processing data GPS, dan studi deformasi tektonik untuk menentukan model deformasi di Indonesia serta keperluan evaluasi system referensi geodesi nasional.

Studi ini bertujuan untuk untuk mengkaji terhadap lokasi ideal dalam pengembangan distribusi jaringan CORS di Indonesia. Mertode yang digunakan adalah untuk mengetahui analisa spasial pada distribusi stasiun CORS milik Badan Informasi Geospasial dan Badan Pertanahan Nasional dioverlay-kan dengan peta seismotektonik dan peta liputan lahan Indonesia. Kondisi ideal yang diinginkan adalah CORS tersedia dalam radius 50 km. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi CORS di Jawa dan Nusa Tenggara sudah cukup rapat, sedangkan di Sumatra, Sulawesi, dan Maluku masih kurang sehingga perlu penambahan satasiun CORS baru.

Sedangkan, pengembangan stasiun CORS di Papua menghadapi kendala tehadap akses jalan dan jaringan. Hasil analisa disini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan prioritas pengembangan CORS di Indonesia.

PENDAHULUAN

Penggunaan teknologi GPS untuk penentuan posisi di Indonesia dimulai pada tahun 1989, kerjasama antara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Informasi Geospasial (BIG) sekarang dengan National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat dalam rangka penelitian dan pemantauan Sesar Besar Sumatra yang memanjang dari teluk semangko di bagian selatan sampai dengan Aceh. Saat ini teknologi GPS di Indonesia telah dipakai dalam berbagai macam penggunaan terutama untuk survey dan pemetaan serta tujuan-tujuan ilmiah.

Pada prinsipnya, jaring stasiun CORS Nasional Indonesia, merupakan yang pertama dibangun

Page 9: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

8

oleh BIG (Subarya, 2004). Jaring ini diartikan sebagai Jaring Stasiun GPS Permanen Indonesia (JSGPI). Tujuan utama JSGPI adalah untuk menjaga ketelitian dan kepresisian referensi kerangka geodesi di seluruh wilayah Indonesia, dan juga untuk mendukung secara luas dalam aplikasi praktis seperti memonitor pergerakan lempeng (geodinamik), studi meteorologi dan ionosfer, memonitor muka laut, system transportasi canggih, dan aplikasi-aplikasi real time untuk survey dan pemetaan dasar (Abidin et al,2010)

Gambar1. Metode penentuan koordinat batas persil secara tidak langsung dengan pengukuran terestris dan pengikatan koordinat ke titik GPS (Abidin dkk., 2011)

Selain BIG, stasiun CORS di Indonesia juga dibangun oleh instansi lain, baik pemerintah maupun swasta dan perguruan tinggi. BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang membangun CORS untuk keperluan mempercepat administrasi lahan. Badan Pertanahan Nasional, sebelumnya melakukan pemetaan batas persil secara tidak langsung yaitu melakukan pengukuran terestris dengan pengikatan koordinat ke stasiun/pilar BPN terdekat, seperti terlihat pada Gambar 1., BPN menerapkan teknologi CORS diharapkan untuk mempercepat survey dan pemetaan lahan persil dan mengurangi adanya tumpang tindih administrasi lahan sebagai akibat tidak adanya system referensi tunggal (Imam, 2011). Pada 2015, BPN membangun 184 stasiun CORS (Syetiawan, 2015).

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bekerjasama dengan Earth Observatory of Singapore (EOS) membangun jaringan CORS di pulau Sumatra, dinamakan Sumatra GPS Array (SuGAr) dengan jumlah 33 stasiun yang dimaksudkan dengan tujuan untuk penelitian deformasi tektonik sepanjang pantai barat Sumatra. Beberapa Jaringan stasiun CORS dengan skala lebih kecil juga dibangun oleh pihak swasta dan perguruan tinggi (Sunantyo, 2009). Perguruan Tinggi seperti ITB, UGM, Undip, membangun CORS dengan tujuan untuk pendidikan.

Page 10: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

9

Pengembangan Jaringan CORS BIG dimulai pada t6ahun 1996 dengan membangun tiga stasiun permanen GPS di Cibinong (BAKO), Sampali Medan (SAMP), dan Parepare (PARE). Setelah tsunami menerjang Aceh pada tahun 2004, jaringang stasiun CORS dibangun lebih cepat dari sebelumnya. Sampai dengan tahun 2016, jumlah stasiun CORS BIG sebanyak 126 stasiun tersebar diseluruh Indonesia (Syetiawan, 2015). Tujuan utama pembangunan CORS oleh BIG adalah untuk mendukung kegiatan survey dan pemetaan BIG berkaitan dengan pengukuran posisi menggunakan satelit, supaya didapatkan hasil ukuran posisi yang lebih teliti, cepat dan murah. Selain itu dat CORS dapat digunakan untuk penelitian bidang geodinamika dan penentuan system referensi nasional. Data CORS terekam yang dihasilkan, biasanya digunakan oleh pihak-pihak pengguna (mahasiswa, swasta, pemerintah) untuk keperluan penelitian, Real Time Kinematic (RTK), dan post processing.

PEMANFAATAN INA-CORS

Survei dan pemetaan dilakukan oleh beberapa instansi. Badan Informasi Geospasial mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan dan menyediakan peta dasar (Rupa Bumi Indonesia, Lingkungan Laut Nasional, Lingkungan Pantai Indonesia), peta batas dan peta garis batas, serta peta-peta tematik. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan dan menyediakan peta kadaster. Sektor swasta membuat peta tergantung bidang pekerjaan masing-masing sektor, semua kegiatan survey dan pemetaan tersebut di atas harus mengacu pada sistem referensi yang sama, sehingga peta yang dihasilkan terintegrasi pada satu system referensi.

Jaring CORS BIG berperan sebagai satu-satunya Jaring Kontrol Geodesi (JKG), pada kenyataannya selain CORS JKG juga diwakili oleh Jaring Kontrol Horisontal (JKH), Jaring Kontrol Vertikal (JKV), dan Jaring Kontrol Gayaberat (JKGB) (UUIG, 2011). Penyebaran JKG di Indonesia secara kebutuhan akan jumlah dan lokasi penyebarannya saat ini tidak mencukupi, hal ini menjadi kendala dalam pelaksanaan survey dan pemetaan di Indonesia, terutama di luar Jawa. Saat ini BIG menghentikan penambahan pilar-pilar JKH dan mengganti dengan penambahan stasiun-stasiun CORS baru.

INA-CORS untuk Keperluan Publik

Publik, seperti lembaga pemerintah lainnya, sector swasta, peneliti dan mahasiswa menggunakan CORS untuk jeperluan mereka masing-masing. CORS menyediakan layanan RTK yang menyediakan posisi real time dengan menyambungkan satasiun rover pengguna dengan satasiun CORS sebagai satasiun ikat (base) melalui sambungan internet. CORS dapat digunakan sebagai titik referensi bila pengguna menginginkan untuk membuat BM temporer sebagai cntoh dalam survey konstruksi. Data posisi dari CORS dikirim secara kontinyu, memungkinkan penerapan post processing untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti dapat dilakukan dengan mudah. Pembangunan sebaran CORS yang baik, akan sangat berguna bagi pengguna umum.

INA-CORS untuk Penelitian Deformasi Tektonik

Indonesia dikelilingi oleh tiga lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, lempeng-lempeng ini saling bertumbukan dan menyebabkan terjadinya deformasi. Penelitian deformasi tektonik dibutuhkan untuk mengetahui besaran, karakteristik, arah perubahan yang terjadi. Gempa yang terjadi secara

Page 11: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

10

berulang (Andreas dkk, 2005) dapat dimonitor menggunakan pengukuran GPS secara periodic pada lokasi patahan aktif. Penelitian survey geofisik menggunakan GPS untuk mengukur deformasi co-seismic, post-seismic, dsn inter-seismic: pergeseran lempeng dan perubahan kerak bumi pada batas-batas lempeng (Segall & Davis, 1997). Jaring CORS akan sangat membantu untuk melakukan penelitian ini karena data GPS dihasilkan secara kontinyu. Kita dapat mengambil data sesuai kurun waktu pada setiap stasiun CORS dan menghitung vektur pergeserannya, Menggunakan data CORS, peneliti dapat melakukan analisa dengan cepat jika gempa bumi terjadi. Ulinnuha menggunakan data GPS untuk menghitung kecepatan rata-rata pergeseran blok mentawai berkaitan dengan gempabumi tektonik pada 2013 (lihat gambar 2).

Gambar 2. Hasil perubahan horizontal fase setelah aktifitas seismik (Ulinnuha, 2015)

JARING INA-CORS TERSEDIA

Kebanyakan CORS dibangun oleh instansi pemerintah, terutama oleh BIG dan BPN, dari kledua instansi ini dapat dilihat bahwa sebaran CORS belum merata. Pada gambar 3 terlihat bahwa distribusi stasiun terpusat di Jawa. Kebanyakan lokasi stasiun CORS saling tumpang tindih antara stasiun CORS BIG dan BPN sehingga terlihat tidak efisien. Dengan adanya satasiun CORS yang saling berdekatan menunjukkan terjadi kurang koordinasi antar instansi pemerintah dalam pengembangan dan pembangunan jarring kontrol geodesi di Indonesia. Untuk itu perlu pengkajian lebih lanjut terkait dengan pengembangan jaringan stasiun CORS di Indonesia. Pengembangan jaring stasiun CORS kedepan harus dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia agar dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan termasuk kaitannya dengan kebijakan satu peta (Syetiawan, 2015).

Page 12: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

11

Gambar 3, Peta Distribusi CORS BIG dan BPN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lokasi ideal untuk pengembangan jarring stasiun CORS. Pemerintah dapat menggunakannya sebagai pertimbangan dalam pemilihan lokasi yang baik untuk stasiun CORS untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Jaring stasiun CORS yang terintegrasi akan mendukung kebijakan satu peta yang sedang dicanangkan. Ketersediaan stasiun CORS untuk keperluan masyarakat umum dan pendidikan diharapkan menambah dalam kaitannya dengan penyebaran stasiun-stasiun CORS yang sesuai kebutuhan diseluruh Indonesia.

METODE

Lokasi yang baik untuk pemasangan stasiun CORS tergantung pada beberapa factor. Pertama kali yang harus diperhatikan adalah lokasi harus ditentukan posisinya dengan baik untuk mendukung aplikasi-aplikasi yang dikehendaki. Sebagai contoh, bila CORS di desain terutama untuk mendukung aktifitas pengukuran posisi relative seperti survey dan pemetaan, idealnya terletak di tengah area dimana aktifitas tersebut akan dilakukan. Jika CORS merupakan salah satu bagian dari jaringan dengan fasilitas yang terlibat dalam hitungan precise satellite ephemerides atau clock correction generation, maka hal itu lebih penting untuk meletakkan stasiun itu relatif terhadap failitas CORS yang lain yang berkontribusi pada tujuan yang sama.

Page 13: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

12

Gambar 4, Diagram Alir Penelitian

Penyebaran ideal jaring stasiun CORS di Indonesia diasumsikan bahwa pada radius 50 km di setiap wilayah Indonesia tersedia minimal 1 stasiun CORS dengan mempertimbangkan kondisi topografi, tutupan lahan, dan lokasi lempeng tektonik. Langkah kerja dari penelitian ini terlihat pada gambar 4. Pertama-tama perlu mengumpulkan beberapa peta-peta distribusi stasiun CORS BIG dan BPN, peta kegempaan Indonesia (Kertapati, Soehaimi, Djuanda, & Effendi, 2006) dan peta liputan lahan. Peta distribusi CORS dan BPN di tumpang tindihkan untuk mengetahui kondisi distribusi CORS yang ada, setelah itu peta itu diintegrasikan untuk mengetahui area mana yang belum ada stasiun CORS-nya. Selanjutnya dengan radius 50 km direncanakan pengembangan stasiun CORS baru, jarak ini diambil sebagai jarak maksimum untuk keperluan survey dan pemetaan dengan metode RTK dengan kondisi topografi yang tidak ekstrem. Selanjutnya distribusi rencana lokasi CORS yang baru di tumpang tindihkan dengan peta kegempaan untuk mencari lokasi yang paling ideal. Untuk pergerakan lempeng jaring stasiun CORS harus berada pada intersek dari patahan aktif sehingga bila terjadi gempa akan bias dihitung besarnya pergerakan dan pergeserannya. Sedangkan untuk keperluan pengukuran GPS secara RTK, dibutuhkan jaringan internet yang bekerja secara terus menerus, untuk itu area dengan jaringan stasiun BTS yang rapat bisa menjadi pilihan. Layanan RTK oleh CORS BIG dan BPN menggunakan Network Transpot of RTCM via Internet Protocol (NTRIP) dimana komunikasi data antara stasiun Base (CORS) dan Rover (BM) menggunakan sambungan internet, sehingga membutuhkan koneksi internet yang stabil yang biasanya tersedia pada lokasi yang padat penduduk. Disamping itu, pemerintah daerah menggunakan RTK untuk mengambil data untuk pemetaan detil rencana wilayah perkotaan dan survey persil tanah.

Lenih jauh, data GPS dari CORS biasanya digunakan oleh pihak swasta dalam perencanaan survey dan pemetaan. Mereka menggunakan CORS sebagai titik ikat untuk diikatkan ke BM,

BIG CORS distribution

BPN CORS distribution

Seismotectonic Map of

Indonesia

Overlay

Buffer CORS with radius 50 km

Overlay

Land cover layer

Analyze the potential CORS site

Ideal distribution CORS network

CORS buffer layer

Page 14: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

13

sebagai contoh untuk survey konstruksi jalan dan jembatan. Aktifitas tersebut menggunakan pengukuran GPS statis dan membnutuhkan pengolahan data lanjutan (Post Processing) untuk mendapatkan hasil posisi hitungan yang teliti. Mahasiswa di Universitas biasanya menggunakan data posisi GPS CORS untuk penelitian mereka maupun tugas akhir.

Setelah kami menganalisa lokasi potensial CORS berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka kami mendapatkan lokasi ideal untuk distribusi jaring stasiun CORS di Indonesia. Bila kami bandingkan dengan jarring CORS yang sudah ada, maka kami akan dapatkan sejumlah stasin CORS yang masih dibutuhkan untuk dibangun.

Gambar 5. Area Terliput Jaringan CORS

Gambar 6. RTK network coverage in Java

Page 15: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

14

(a) (b)

Gambar 7. Jaringan CORS yang dibutuhkan di Sulawesi dan Papua

Dari distribusi CORS BIG dan BPN, dapat dilihat daerah yang belum mempunyai Stasiun CORS. Gambar 5 menunjukkan bahwa distribusi CORS di Jawa lebih banyak dibandingkan pulau lain. CORS milik BIG dan BPN kebanyakan saling tumpang tindih di Jawa tetapi di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi terlihat saling melengkapi. Di lain pihak Maluku dan Papua masih jarang dijumpai adanya stasiun CORS. Dari CORS BIG dan BPN dapat dilihat area yang terliput untuk keperluan pengukuran GPS secara RTK.

Tidak semua stasiun CORS dapat digunakan untuk pengukuran GPS secara RTK, sebagai contoh di Jawa seperti terlihat di gambar 6, beberapa stasiun CORS tidak menyediakan layanan RTK karena tipe data komunikasi yang digunakan adalah radio dan peralatan pada CORS tidak dapat merubah data menggunakan RTCM. Sejauh ini ketersediaan RTK hanya terdapat di Jawa menimbang distribusi CORS di Jawa sudah cukup memadai. Penambahan jaringan CORS di daerah yang tidak terliput akan meningkatkan ketersediaan jaringan CORS di luar Jawa. Pengguna akan mendapatkan posisi ukuran secara cepat dan dengan ketelitian yang cukup. Teknologi RTK untuk pengguna berkembang pesat di Swedia ketika Jaringan RTK SWEPOS diperkenalkan tahun 2004 (Lilje, Wiklund, & Hedling, 2014). Dengan tambahan CORS yang ada di Indonesia , sepertinya dapat menambah pengguna RTK seperti di Swedia untuk keperluan pertanian, otoritas local, konsultan survey, dan perusahaan-perusahaan konstruksi.

Lokasi utama untuk pengembangan jaringan CORS di Sulawesi adalah di tengah pulau seperti terlihat pada gambar 7a. Hal ini disebabkan karena area tersebut merupakan titik temu dari beberapa patahan aktif, seperti patahan Palu-Koro dan Poso, dan Batui. Papua sebagaian besar daerahnya merupakan kawasan hutan dengan kepadatan penduduk yang rendah. Hal ini membuat pengembangan CORS di Papua menjadi terbatas untuk beberapa daerah. Penambahan CORS di Papua akan membantu pengamatan patahan, seperti Sorong Ransiki dan Mamberamo.

DISTRIBUSI JARING CORS YANG IDEAL

Dari integrasi sebaran stasiun CORS BIG dan BPN, kemudian ditumpang-tindihkan ke peta seismotektonik dan peta liputan lahan. Dari cara tersebut kami identifikasi lokasi yang ideal dan bias digunakan untuk jarring stasiun-stasiun CORS. Berdasarkan analisa, jumlah stasiun

Page 16: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

15

CORS yang dibutuhka untuk meliput seluruh wilayah Indonesia adalah 440 stasiun, dimana pada saat ini sudah tersedia 310 stasiun milik BIG dan BPN, sehingga dibutuhkan pembangunan 130 stasiun baru dimasa depan.

Gambar 8. Rencana Penambahan Jaringan Stasiun CORS

Gambar 8 di atas memperlihatkan bahwa pengembangan jaring CORS sudah tidak perlu diperapat lagi. Berdasarkan peta Liputan Lahan, sebagian besar wilayah Papua merupakan hutan dan pegunungan sehingga tidak perlu jaringan CORS yang terlalu rapat. Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi masih memerlukan penambahan stasiun CORS untuk mendukung pengukuran posisi secara RTK, selain untuk membantu para peneliti bidang geodinamika melakukan aktifitasnya terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi. Untuk urusan perbatasan, CORS dapat membantu sebagai kerangka datum referensi antara kedua Negara yang saling berbatasan, misalnya Indonesia-Malaysia.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini kami dapatkan distribusi ideal Jaringan CORS di Indonesia, jumlah stasiun CORS yang masing dibutuhkan adalah sekitar 130 stasiun, dengan distribusinya 48 stasiun di Sumatra, 40 stasiun di Kalimantan, 18 stasiun di Sulawesi, 6 stasiun di Nusa Tenggara, 9 stasiun di Maluku, dan 9 stasiun di Papua. Stasiun CORS BIG dan BPN yang saling tumpang tindih dapat dilakukan pemindahan sesuai kebutuhan, sehingga ndapat menghemat biaya pengadaan alat.

Pengembangan CORS untuk layanan masyarakat umum diberikan dengan tersedianya layanan RTK, dan ketersediaan data dari CORS. Jika INA-CORS tersebar secara merata seperti di Jawa, maka pemerintah dapat menyediakan layanan RTK di seluruh wilayah Indonesia (terutama jarring RTK). Untuk itu, semua pihak yang ingin melakukan survey dan pemetaan dapat menggunakan INA-CORS. Disamping pembuatan BM sementara akan lebih mudah bila tersedia jaringan CORS, demikian pula untuk penelitian geodinamika pada area-area patahan aktif akan sangat terbantu dengan tersedianya jaringan stasiun CORS.

Hasil ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan prioritas dalam pengembangan CORS di Indonesia, sehingga penerapan pemetaan dasar di Indonesia dapat teratasi secara cepat. Jaringan ideal CORS Indonesia akan mendukung rencana pemetaan

Page 17: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

16

perkotaan, Sistem Referensi Geospasial Nasional (SRGN), percepatan dalam urusan administrasi lahan, menjawab asu-asu jalur batas administrasi dan Kebijakan Satu Peta.

This result can be used as consideration for determining the priorities of CORS development in Indonesia, so that the implementation of the basic mapping in Indonesia can be resolved quickly. The ideal CORS network Indonesia will support urban plan mapping, National Geospatial Reference System (SRGN), acceleration of land administration, solve borderline issue and One Map Policy

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H. Z., Andreas, H., Gumilar, I., Adiyanto, F. H., Rusmawar, W., & Firmansyah. (2011). On the Use of GPS CORS for Cadastral Survey in Indonesia. In FIG Working Week (pp. 1–14). Marrakech.

Abidin, H. Z., Subarya, C., Muslim, B., Adiyanto, F. H., Meilano, I., Andreas, H., & Gumilar, I. (2010). The Applications of GPS CORS in Indonesia : Status , Prospect and Limitation. In FIG Congress (pp. 1–14). Sydney, Australia.

Andreas, H., Sarsito, D. A., Meilano, I., Abidin, H. Z., Darmawan, D., & Gamal, M. (2005). Implikasi CoSeismic dan Post-Seismic Horizontal Displacement Gempa Aceh 2004 Terhadap Status Geometrik Data Spasial Wilayah Aceh dan Sekitarnya.

Imam, M. (2011). GNSS-RTK Network Technology Impact Assessment for Land Surveying at Badan Pertanahan Nasional Republic Indonesia (BPN RI): A Report. In Asia Geospatial Forum (pp. 1–18). Jakarta.

Kertapati, E. K., Soehaimi, A., Djuhanda, A., & Effendi, I. (2006). Seismotectonic Map of Indonesia (3rd ed.). Geological Survey.

Lilje, M., Wiklund, P., & Hedling, G. (2014). The Use of GNSS in Sweden and the National CORS Network SWEPOS. In FIG Congress (pp. 1–11). Kuala Lumpur.

Republic of Indonesia. (2011). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL .

Segall, P., & Davis, J. L. (1997). GPS applications for geodynamics and earthquake studies. Annual Review of Earth and Planetary Sciences, 25(1), 301-336.

Subarya, C. (2004). The Maintenance of Indonesia Geodetic Control Network – In the Earth Deforming Zones. In 3 rd FIG Regional Conference (pp. 1–6). Jakarta.

Sunantyo, T. A. (2009). GNSS CORS Infrastructure and Standard in Indonesia. In 7th FIG Regional Conference (pp. 1–16). Hanoi.

Syetiawan, A. (2015). Kondisi dan Tantangan Pembangunan Stasiun CORS di Indonesia. In Seminar Percepatan Implementasi ONE MAP POLICY di Indonesia (pp. 1–6).

Ulinnuha, H. (2015). Geometric Deformation Analysis of Mentawai Segment Toward Tectonic Earthquake Occurence on July 10, 2013. Gadjah Mada University.

Page 18: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

17

Page 19: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

18

PENGARUH SISTEM PROYEKSI PETA TERHADAP LUAS

ABSTRAK

Sistem proyeksi peta yang umum digunakan di Indonesia adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem proyeksi Mercator digunakan untuk mempertahankan sudut sehingga akan terjadi distorsi pada luas dan jarak. Hal ini menjadi masalah jika proyeksi ini digunakan untuk keperluan perhitungan luas yang membutuhkan distorsi minimum, terutama pada skala besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh sistem proyeksi pada berbagai skala, serta mendapat sistem proyeksi yang cocok digunakan untuk menghitung luas wilayah Indonesia. Metode yang digunakan adalah perhitungan luas menggunakan 72 sistem proyeksi pada masing-masing skala menggunakan perangkat lunak MATLAB. Luasan yang dianggap benar adalah luas sabuk di bidang ellipsoid sehingga dapat dihitung selisih dari luas sabuk dan luas proyeksi. Hasil terbaik adalah yang memberikan distorsi luas paling minimum, yaitu selisih luas sabuk dan luas proyeksi yang paling kecil. Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diketahui sistem proyeksi yang paling cocok untuk menghitung luasan dengan distorsi minimal adalah Collignon untuk skala 1: 250.000 dan 1:50.000, sistem proyeksi Eckert II untuk skala 1: 25.000 serta sistem proyeksi Equal-area Conic Albers Standard untuk skala 1: 5.000.

Kata kunci: sistem proyeksi, luas sabuk, distorsi, skala

PENDAHULUAN

Peta merupakan gambar permukaan bumi dalam bidang datar yang dihasilkan melalui proses proyeksi tertentu. Proyeksi peta merupakan transformasi sistematis dari posisi (latitude dan longitude) suatu titik di permukaan bumi ke dalam sebuah bidang datar, peta kertas (Ghaderpour, 2014). Proses transformasi dari tiga menjadi dua dimensi ini menyebabkan terjadinya distorsi baik dalam ukuran sudut (conform), jarak (distant), maupun luasan (area). Sistem proyeksi dibedakan berdasarkan bidang proyeksi serta unsur yang tidak terdistorsi atau dipertahankan. Bidang proyeksi yang dimaksud dapat berupa bidang datar, silinder, dan kerucut.

Saat ini sudah dikenal banyak jenis sistem proyeksi (Tabel 1). Proyeksi peta dirancang untuk tujuan tertentu, misalnya suatu sistem proyeksi digunakan untuk skala besar pada area kecil sementara sistem proyeksi lainnya digunakan untuk skala kecil lingkup seluruh dunia (Kennedy, 2000). Pemilihan sistem proyeksi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuannya apakah ingin mempertahankan bentuk, jarak antar titik, atau luas area. Sebagai contoh, peta yang dibuat untuk tujuan navigasi umumnya menggunakan proyeksi conform untuk mempertahankan sudut. Namun, proyeksi conform memberikan distorsi yang besar pada luasan area yang mendekati kutub. Luas Greendland adalah seperdelapan dari luas Amerika Selatan, namun pada peta dengan proyeksi Mercator, Greenland justru terlihat lebih besar (Knippers, 2009).

Selama ini, sistem proyeksi peta yang umum digunakan di Indonesia adalah Universal Transverse Mercator (UTM). UTM membagi permukaan bumi ke dalam beberapa zona,

Page 20: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

19

dengan lebar zona sebesar enam derajat, masing-masing dipetakan menggunakan proyeksi Transverse Mercator (TM) dengan meridian sentral berada di tengah zona. Distorsi minimal pada masing-masing zona terletak di meridian sental. Semakin menjauh dari meridian sentralnya, distorsi akan semakin besar. Sistem proyeksi Mercator digunakan untuk mempertahankan sudut sehingga akan terjadi distorsi pada luas dan jarak. Hal ini menjadi masalah jika proyeksi ini digunakan untuk keperluan perhitungan luas yang membutuhkan distorsi minimum, terutama pada wilayah luas yang terdiri atas beberapa zona pada peta dalam skala besar. Dalam kaitannya dengan sistem proyeksi peta UTM, Indonesia terbagi ke dalam sembilan zona mulai dari 46 hingga 54, baik Utara maupun Selatan.

Snyder (1987) merekomendasikan sistem proyeksi cylindrical equal-area, equatorial lambert, dan azimuthal equal-area untuk distorsi luas paling minimum di daerah Asia dan Australia dengan catatan bumi diasumsikan berbentuk ellipsoid terutama untuk wilayah kecil atau skala yang lebih besar.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sistem proyeksi peta terhadap luas suatu wilayah berdasarkan skala peta dan seperti apa perbandingan hasil proyeksi UTM dengan sistem lainnya. Selain itu juga untuk mengetahui sistem proyeksi mana yang cocok digunakan untuk wilayah Indonesia supaya menghasilkan distorsi luas minimum.

Tabel 1. Jenis sistem proyeksi

Sistem Proyeksi Bidang Proyeksi Equal-Area Conform Equi-distant

Balthasart Cylindrical • Behrmann Cylindrical • Bolshoi Sovietskii Atlas Mira Cylindrical Braun Perspective Cylindrical Cassini Cylindrical • Central Cylindrical Equal-Area Cylindrical Cylindrical • Equidistant Cylindrical Cylindrical • Gall Isographic Cylindrical • Gall Orthographic Cylindrical • Gall Stereographic Cylindrical Lambert Equal-Area Cylindrical Cylindrical • Mercator Cylindrical • Miller Cylindrical Plate Carrée Cylindrical • Trystan Edwards Cylindrical • Universal Transverse Mercator (UTM) Cylindrical • Wetch Cylindrical Apianus II Pseudocylindrical Collignon Pseudocylindrical • Craster Parabolic Pseudocylindrical • Eckert I Pseudocylindrical Eckert II Pseudocylindrical • Eckert III Pseudocylindrical Eckert IV Pseudocylindrical • Eckert V Pseudocylindrical Eckert VI Pseudocylindrical • Fournier Pseudocylindrical • Goode Homolosine Pseudocylindrical • Hatano Asymmetrical Equal-Area Pseudocylindrical • Kavraisky V Pseudocylindrical • Kavraisky VI Pseudocylindrical • Loximuthal Pseudocylindrical

Page 21: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

20

McBryde-Thomas Flat-Polar Parabolic Pseudocylindrical • McBryde-Thomas Flat-Polar Quartic Pseudocylindrical • McBryde-Thomas Flat-Polar Sinusoidal Pseudocylindrical • Mollweide Pseudocylindrical • Putnins P5 Pseudocylindrical Quartic Authalic Pseudocylindrical • Robinson Pseudocylindrical Sinusoidal Pseudocylindrical • Tissot Modified Sinusoidal Pseudocylindrical • Wagner IV Pseudocylindrical • Winkel I Pseudocylindrical Albers Equal-Area Conic Conic • Equidistant Conic Conic • Lambert Conformal Conic Conic • Murdoch I Conic Conic • Murdoch III Minimum Error Conic Conic • Bonne Pseudoconic • Werner Pseudoconic • Polyconic Polyconic Van Der Grinten I Polyconic Breusing Harmonic Mean Azimuthal Equidistant Azimuthal Azimuthal • Gnomonic Azimuthal Lambert Azimuthal Equal-Area Azimuthal • Orthographic Azimuthal Stereographic Azimuthal • Universal Polar Stereographic (UPS) Azimuthal • Vertical Perspective Azimuthal Azimuthal Wiechel Pseudoazimuthal • Aitoff Modified Azimuthal Briesemeister Modified Azimuthal • Hammer Modified Azimuthal • Globe Spherical • • •

Sumber: www.mathworks.com

METODE

Penelitian ini menggunakan sampel lokasi dalam koordinat geodetik pada bidang ellipsoid yang disesuaikan dengan besaran skalanya. Skala peta yang digunakan adalah 1:250.000, 1:50.000, 1:25.000, dan 1:5.000 dengan ukuran pada bidang lengkung seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Ukuran bidang lengkung pada skala peta

Skala Ukuran

1:250.000 1o x 1,5o

1:50.000 15’ x 15’

1:25.000 7,5’ x 7,5’

1:5.000 1’ x 1’

Sampel yang digunakan adalah posisi bujur sebelah barat diambil pada koordinat 102o BT dan posisi lintang dibagi mulai dari lokasi yang berimpit dengan ekuator hingga lintang 10o. Pembagian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh distorsi terhadap lokasi jika semakin menjauhi ekuator. ProsedPenelitian ini menggunakan sampel lokasi dalam koordinat geodetik pada bidang ellipsoid yang disesuaikan dengan besaran skalanya. Skala peta yang digunakan adalah 1:250.000, 1:50.000, 1:25.000, dan 1:5.000 dengan ukuran pada bidang lengkung seperti pada Tabel 2.

Page 22: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

21

Perangkat lunak yang digunakan adalah Matlab R2014b. Sistem proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 72 buah (Tabel 3) dengan bidang dan unsur yang berbeda. Seluruh sistem proyeksi tersebut digunakan dalam penelitian ini dengan mendefinisikan bumi berbentuk ellipsoid. Ellipsoid referensi yang digunakan adalah WGS84 dengan parameter setengah sumbu panjang = 6378137 m, setengah sumbu pendek = 6356752.3 m, dan pegepengan = 1/298.257223560 (Sandwell, 2012).

Hasil perhitungan luas berdasarkan sistem proyeksi tersebut kemudian divalidasi menggunakan luas sabuk ellipsoid. Validasi dilakukan dengan menghitung residu antara luas hitungan dengan luas sabuk pada setiap area dan skala yang ditentukan. Kualitas hitungan dikatakan terbaik jika jumlah kuadrat dari residunya adalah minimum. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur penelitian

Page 23: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan residu dari setiap sistem proyeksi pada setiap skala disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Residu perhitungan luas proyeksi dengan luas di bidang ellipsoid

Sistem Proyeksi Residu (km2)

250k 50k 25k 5k

Balthasart Cylindrical 0.000320327 1.33551E-05 3.3391E-06 5.93703E-08 Behrmann Cylindrical 0.000320327 1.33551E-05 3.33911E-06 5.93705E-08 Bolshoi Sovietskii Atlas Mira* 3287.696591 137.6443557 34.43698955 0.612606152 Braun Perspective Cylindrical* 291.9735329 11.46228416 2.837846439 0.050029925 Cassini Cylindrical-Standard 70197.53543 2869.091028 715.9043504 12.70615668 Cassini Cylindrical 649804.2768 103277.0221 51171.96804 6767.857709 Central Cylindrical* 466.4631851 17.99166443 4.441026255 0.07808854 Equal Area Cylindrical 0.000320327 1.33551E-05 3.3391E-06 5.937E-08 Equidistant Cylindrical 2348.064103 98.30640532 24.59514844 0.437528519 Gall Isographic 5274.125781 220.2241448 55.07452427 0.979383193 Gall Orthographic 0.000320327 1.33551E-05 3.3391E-06 5.93689E-08 Gall Stereographic* 7099.911749 296.4373655 74.13329952 1.318288857 Lambert Cylindrical 0.000320327 1.33551E-05 3.3391E-06 5.937E-08 Mercator Cylindrical 226.2377231 8.474633306 2.081143531 0.036428924 Miller Cylindrical* 308.1826596 12.06903552 2.986832023 0.052637567 Plate Carree 112.4945229 4.215611842 1.035306183 0.018123254 Transverse Mercator 640429.5115 25737.3986 6412.450662 113.6614628 Trystan Edwards Cylindrical 0.000320327 1.33551E-05 3.3391E-06 5.93712E-08 Universal Transverse Mercator (UTM) 15.07427536 1.309115319 0.348319649 0.006525401 Wetch Cylindrical* 13460929.38 2345428.932 1172917.526 156372.3377 Apianus II* 188.0922242 7.577432198 1.883911641 0.033332359 Collignon 0.000320327 1.33551E-05 3.33909E-06 5.9369E-08 Craster Parabolic 0.412519253 0.001086974 7.04421E-05 8.05779E-08 Eckert I* 3057.460265 126.4867699 31.58284906 0.560870143 Eckert II 0.000320327 1.33551E-05 3.33908E-06 5.93695E-08 Eckert III* 5114.098319 213.4774479 53.38481277 0.949298106 Eckert IV 0.186135247 0.000497376 3.36411E-05 7.22371E-08 Eckert V* 3936.970899 164.3096914 41.08822986 0.730622238 Eckert VI 0.379133201 0.001001403 6.51501E-05 8.22899E-08 Flat-Polar Parabolic 0.373783698 0.000986233 6.41471E-05 7.8588E-08 Flat-Polar Quartic 12.40080703 0.454243941 0.111415668 0.001949529 Flat-Polar Sinusoidal 0.434973774 0.00114668 7.42463E-05 8.35095E-08 Fournier 9232.428399 384.6754544 96.16874166 1.709665695 Goode Homolosine 0.462163516 0.001216767 7.85592E-05 8.31441E-08 Hatano Assymmetrical Equal Area 0.1432932 0.002138351 0.000636011 1.18978E-05 Kavraisky V 0.214614577 0.000570629 3.81609E-05 7.03727E-08 Kavraisky VI 7.988179363 0.319550543 0.079726539 0.001416494 Loximuthal* 196.3746985 7.886266139 1.959664922 0.034641959 Modified Sinusoidal (Tissot)* 1720.123433 71.73487338 17.93567364 0.318883782 Mollweide 0.2881839 0.000762841 5.02095E-05 7.64733E-08 Putnins P5* 596.1936069 24.99371382 6.253838701 0.111258852 Quartic Authalic 0.3498827 0.000923369 6.02119E-05 7.73424E-08 Robinson* 3227.171668 134.8055785 33.71464701 0.599598676 Sinusoidal 0.463139296 0.001219379 7.87334E-05 8.34503E-08 Wagner IV 0.169539038 0.002847551 0.000847957 1.58705E-05 Winkel I* 3200.681271 133.5758822 33.40266075 0.593958015 Equal Area Conic (Albers)-Standard 0.787951618 0.000912544 5.70394E-05 1.80284E-08 Equal Area Conic (Albers) 0.788271904 0.000925899 6.03786E-05 7.74002E-08 Equidistant Conic-Standard 1542.132944 67.20620138 16.92402232 0.302760647 Equidistant Conic 1542.132596 67.20618685 16.92401868 0.302760583 Lambert Conformal Conic-Standard 3987.839936 174.3117933 43.92025477 0.786095262 Lambert Conformal Conic 3987.839546 174.3117769 43.92025066 0.786095189 Murdoch I Conic* 3258.084224 138.9256931 34.86281794 0.621809558

Page 24: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

23

Murdoch III Minimum Error Conic* 689.2170743 27.14397459 6.7198727 0.118442068 Polyconic-Standard 29247.42714 1206.763164 301.4288482 5.354640696 Polyconic 29247.42529 1206.763088 301.4288291 5.354640357 Van Der Grinten I* 665.8713145 25.79558304 6.372879113 0.112132486 Bonne 0.484771179 0.001392875 8.9566E-05 8.68715E-08 Werner 0.784688084 0.002443697 0.000155257 1.07636E-07 Breusing Harmonic Mean* 26453.09325 1080.984422 269.7367928 4.787466803 Equal Area Azimuthal (Lambert) 0.835580389 0.004129918 0.000259844 1.40226E-07 Equidistant Azimuthal* 15577.38261 637.7237891 159.1591333 2.825298395 Globe 16602.4384 697.1399225 174.5084486 3.105813138 Gnomonic* 1744427.008 83765.36694 21258.95116 382.9580603 Orthographic* 14301.29413 604.2913646 151.287445 2.692861141 Stereographic 102153.4988 4125.918587 1028.362605 18.23411015 Universal Polar Stereographic 42212.88031 1790.280543 448.8855982 8.000511803 Vertical Perspective* 18353.36422 765.1857129 191.3146521 3.4014259 Wiechel Equal Area* 120.290356 5.040321136 1.261443403 0.022439324 Aitoff* 2882.28725 118.5448589 29.59671142 0.525553479 Briesemeister* 120.5900058 5.043713523 1.261654517 0.02243939 Hammer* 120.2612392 5.043041754 1.261612531 0.022439377

Berdasarkan hasil tersebut (Tabel 3), terdapat delapan sistem proyeksi dengan nilai residu minimum, yaitu baris yang diberi warna lebih gelap. Dari hasil penelitian diketahui tidak ada satu sistem proyeksi yang sesuai untuk semua lokasi. Setiap skala peta memiliki sistem proyeksinya masing-masing yang akan memberikan distorsi luas paling minimum. Pada skala 1:250.000 dan 1:50.000, sistem proyeksi terbaik adalah Collignon. Sistem proyeksi Eckert II memberikan hasil optimum untuk perhitungan luas di skala 1:25.000 sementara Equal-area Conic (Albers) – Standard untuk skala 1:5.000. Ketiga sistem proyeksi tersebut menggunakan tipe equal-area dimana sistem tersebut dirancang untuk mempertahankan luas sehingga meminimalisir distorsinya. Sistem proyeksi Collignon (Collignon, 1865) dan Eckert II (Eckert, 1906) menggunakan bidang proyeksi pseudocylindrical sementara Equal-area Conic Albers Standard menggunakan bidang proyeksi conic (Snyder, 1987).

Jika dilihat secara menyeluruh, sistem proyeksi UTM yang umum digunakan ternyata belum optimal digunakan untuk perhitungan luas karena distorsinya cukup besar dibandingkan dengan sistem proyeksi lainnya. Pada skala besar (1:5.000), luasan area pada bidang ellipsoid adalah sekitar 3,401 km2. Distorsi untuk satu luasan lembar peta dengan proyeksi UTM mencapai 6.525,401 m2. Sementara untuk skala yang sama, distorsi pada sistem proyeksi Equal-area Conic (Albers) – Standard hanya sebesar 0,018 m2 atau Collignon dan Eckert II sebesar 0,059 m2. Pada skala kecil (1:250.000), UTM memberikan distorsi luas sebesar 15,074 km2 dari luas bidang ellipsoid 18.353,375 km2. Sementara proyeksi Collignon, Trystan Edwards Cylindrical, Eckert II, Gall Orthographic (Snyder, 1989), Balthasart Cylindrical, Equal Area Cylindrical, Lambert Cylindrical, dan Behrmann Cylindrical (Behrmann, 1909) hanya memberikan distorsi sebesar 320,327 m2. Lebih lanjut mengenai distorsi sistem proyeksi pada masing-masing skala dapat dilihat pada Tabel 4, dengan luas area di bidang elipsoid ditampilkan pada Tabel 5. Warna gelap menunjukkan distorsi pada sistem proyeksi terbaik di masing-masing skala.

Tabel 4 Distorsi pada masing-masing skala

Sistem Proyeksi Distorsi (m2)

250k 50k 25k 5k

Equal Area Conic (Albers)-Standard 787951.61807 912.54368 57.03945 0.01803 Eckert II 320.32701 13.35506 3.33908 0.05937

Collignon 320.32696 13.35505 3.33909 0.05937

Page 25: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

24

Trystan Edwards Cylindrical 320.32698 13.35509 3.33910 0.05937

Gall Orthographic 320.32703 13.35508 3.33910 0.05937

Balthasart Cylindrical 320.32706 13.35507 3.33910 0.05937

Equal Area Cylindrical 320.32711 13.35509 3.33910 0.05937

Lambert Cylindrical 320.32711 13.35509 3.33910 0.05937

Behrmann Cylindrical 320.32716 13.35510 3.33911 0.05937

Untuk proyeksi UTM, posisi bujur yang diambil sebagai sampel pada penelitian ini tidak berada pada meridian sentral melainkan paling jauh dari meridian sentral sehingga distorsinya adalah distorsi maksimal yang bisa dihasilkan. Setelah diuji coba menggunakan meridian sentranya, yaitu pada posisi bujur 105o, diketahui distorsi yang dihasilkan masih jauh lebih besar dari delapan proyeksi lainnya. Namun demikian, jika dilihat dalam skala persentase (Tabel 5), distorsi pada proyeksi UTM menjadi tidak terlalu besar karena kisarannya hanya antara 0,082% sampai dengan 0,192% (semakin besar skala, distorinya semakin besar) dari luas pada bidang ellipsoid. Untuk delapan proyeksi lainnya, persentase hampir dapat diabaikan.

Tabel 5. Persentase distorsi luas

Sistem Proyeksi 250k 50k 25k 5k

Le (km2) % R Le (km2) % R Le (km2) % R Le (km2) % R

Eckert II 18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Collignon 18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Equal Area Cylindrical

18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Lambert Cylindrical 18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Balthasart Cylindrical

18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Gall Orthographic 18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Trystan Edwards Cylindrical

18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

Behrmann Cylindrical

18353.375 1.745E-06 765.186 1.745E-06 191.315 1.745E-06 3.401 1.745E-06

UTM 18353.375 0.082 765.186 0.171 191.315 0.182 3.401 0.192

Keterangan: Le = Luas di bidang ellipsoid %R = Persentase residu (selisih) luas bidang ellipsoid dengan proyeksi

Penggunaan UTM sebagai sistem proyeksi pada peta yang dibagi-bagi menjadi beberapa nomor lembar peta dapat ditoleransi. Meski demikian jika digunakan untuk menghitung luas area seluruh Indonesia, penggunaan sistem proyeksi UTM perlu dipertimbangkan lagi. Sebagai gambaran kasar, pada skala 1:250.000 Indonesia memiliki 309 buah NLP. Jika dihitung secara kasar, maka distorsinya bisa mencapai 25% dari total seluruh luas wilayah Indonesia di bidang ellipsoid. Demikian juga dengan skala 1:50.000, total lembar peta ada 3.901 buah sehingga distorsinya bisa sangat besar jika menggunakan proyeksi UTM. Sementara delapan proyeksi lainnya untuk skala 1:250.000 menghasilkan distorsi 5,393E-04% dan untuk skala 1:50:000 bisa mencapai 6,809E-03%.

Pembagian area mulai dari lintang nol ke 10 derajat memberikan informasi bahwa semakin menjauhi equator distorsinya semakin kecil untuk sistem proyeksi Collignon, Eckert II, UTM, dan Equal-area Conic (Albers) – Standard pada setiap skala.

Page 26: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

25

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian ini, untuk penghitungan luas wilayah Indonesia, distorsi luas paling minimum pada peta skala 1:5.000 (skala besar) adalah dengan sistem proyeksi Equal-area Conic Albers Standard. Pengaruh sistem proyeksi Eual-area Conic Albers Standard berupa distorsi luas sebesar 0,018 m2 pada luas area bidang ellipsoid 3,401 km2. Untuk skala 1:25.000 (skala menengah) sebaiknya menggunakan sistem proyeksi Eckert II. Pengaruh sistem proyeksi Eckert II pada skala 1:25.000 berupa distorsi luas sebesar 3.339 m2 dari luas area bidang ellipsoid 191,315 km2. Sementara skala 1:50.000 dan 1:250.000 menggunakan sistem proyeksi terbaik adalah Collignon. Sistem proyeksi Collignon memiliki distorsi luas pada skala 1:50.000 (skala menengah) sebesar 13.355 m2 dari luas bidang ellipsoid 765.186 km2, dan pada skala 1:250.000 (skala kecil) sebesar 320,327 m2 dari luas bidang ellipsoid 18.353,375 km2. Proyeksi UTM masih optimum digunakan untuk setiap lembar peta namun tidak untuk menghitung luas seluruh Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Behrmann, W. (1909). Zur Kritik der flächentreuen Projektionen der ganzen Erde und einer Halbkugel. Bericht d. Königlichen Bayer. Akad. Wiss, 13, 1-48.

Collignon, E. (1865). Recherches sur la representation plane de la surface du globe terrestre.J. Ecole Polytech., 24, 125-132.

Eckert, M. (1906).Neue Entwürfe für Erdkarten. Petermann’s Geogr. Mitt., 52, 97-109, 1906.

Ghaderpour, E. (2014). Map Projection. Toronto: Department of Earth and Space Science and Engineering, York University.

Hooijberg, M. (2008). Geometrical Geodesy Using Information and Computer Technology. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Kennedy, M. (2000). Understanding Map Projections. California: Environmental Systems Research Institute, Inc.

Knippers, R. A. (2009). Map Projections. Retrieved from Geometric Aspects of Mapping: https://kartoweb.itc.nl/geometrics/Map%20projections/mappro.html. [18 September 2017]

MathWorks, T. (2015). PDF Documentation for Mapping Toolbox. Retrieved from MathWorks: https://www.mathworks.com/help/pdf_doc/map/map_ug.pdf. [7 September 2017]

Sandwell, D. T. (2012). Reference Earth Model - WGS84. Retrieved from www.topex.ucsd.edu. [7 September 2017]

Snyder, J. P. (1987). Map Projections - A Working Manual. Washington DC: United States Government Printing Office

Snyder, John P. (1989). An Album of Map Projectionsp. 19. Washington, D.C.: U.S. Geological

Page 27: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

26

Survey Professional Paper 1453. (Mathematical properties of the Gall–Peters and related projections).

Page 28: KAJIANbig.go.id/e-ppid/asset/Laporan-pelaksanaan-penelitian/Lap-GNSS.pdf · LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 4 ... navigasi, penanggulangan bencana, pembuatan jalan dan lain-lain. Untuk

27