Upload
voxuyen
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iv
ABSTRAK
REZA HARYO MAHENDRA PUTRA 1111048000078 SYARAT HAL IHWAL
KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBUATAN PERATURAN
PEMERINTA PENGGANTI UNDANG-UNDANG (Studi Analisis Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota) Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 77 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisa
bagaimana tolak ukur dan kedudukan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
terhadap Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian pustaka yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang ada dalam perundang-undangan, kepustakaan, pendapat
ahli, dan jurnal. Penulis menganalisa bagaimana suatu Perpu itu dikeluarkan harus
berdasarkan asas kegentingan yang memaksa yang menyangkut kepentingan rakyat
Indonesia khususnya Perpu No 1 Tahun 2014 dengan melihat putusan MK No
138/PUU-VII/2009 tentang penafsiran asas kegentingan yang memaksa. Dengan
mengacu pada putusan MK No 138/PPU-VII/2009, Perpu No 1 Tahun 2014 dinilai
tidak mengandung unsur kegentingan yang memaksa, desakan penolakan dari rakyat
Indonesia sebagai alasan kegentingan yang memaksa tidak menjadi unsur yang tepat
untuk dikeluarkanya Perpu ini.
Kata Kunci : Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa, Perpu
No 1 Tahun 2014, Perpu Pilkada, dan
Kewenangan Presiden mengeluarkan Perpu.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 Sampai Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah swt, atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “SYARAT
HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBUATAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (Studi Analisis
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota).”
Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
ilmu dan keberkahan.
Penulisan skripsi ini dilakukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak
mungkin diselesaikan dengan baik dan tepat oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Syarifuddin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A. dan Arip Purqon, SHI, M.A. Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode
sebelumnya. Drs. H.Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, SH.,
M.Hum Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Periode sekarang.
3. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalantung, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan
dalam menyusun skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat
bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah dari Allah swt.
4. Burhandduin M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
membantu penulis dari semester I hingga semester VIII, semoga bapak selalu
mendapat keberkahan.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen-dosen Ilmu Hukum
yang telah memberikan ilmu-ilmunya selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu
Hukum. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan
mendapat balasan yang berlimpah dari Allah SWT.
6. Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta serta staff Perpustakaan Universitas Indonesia yang
telah memberikan fasilitas untuk penulis mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua R. Eddy Prasetyo S.H dan Yetty Sri Supriyati S.H yang selalu
memberikan doa dan dukungan baik materil maupun moril, khususnya untuk
Mama yang tanpa kenal lelah bekerja keras hingga penulis selesai menyelesaikan
vii
skripsi ini. Semoga beliau selalu mendapatkan lindungan dan rahmat dari Allah
SWT, amin.
8. Untuk kedua saudara Penulis Denny Prastiaji Budi Tama dan Muhammad Daffa
Roihandro yang memberi semangat serta membantu menciptakan kehangatan di
dalam rumah dan insyallah selalu berada dalam lindungan-Mu dalam mencapai
kesuksesan dunia dan akhirat.
9. Terimakasih untuk keluarga tante Zaidah, keluarga Cibubur, dan keluarga
Bandung yang telah membantu dalam hal materil sampai penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga untuk Bude Neni yang selalu
membantu administrasi kampus dari awal masuk perkuliahan sampai saat ini
penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga kebaikan yang sudah diberikan akan
dibalas berlipat ganda oleh Allah Swt dan selalu mendapatkan perlindungan serta
rahmat dari Allah swt. Amin.
10. Teman-teman Ilmu Hukum M. Rizki Firdaus, Marwan, Dwi Puji Apriyantok,
Nanda Narendra Putra, Gary Ichsan Putro, Ridwan Ardy Prasetya, Ade Putra
Indrawan, Azhar Nur Fajar Alam, Lidia Asrida, Rizki Arisandi, Zaimi Multazim,
Ahmad Bustomi Kamil, dan M. Hisyam Rasfanjani terima kasih atas
kebersamaan semangat, dan wawasannya sehingga penulis bisa mencapai
kelulusan dan seluruh teman-teman Ilmu Hukum 2011 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu, semoga kita semua bisa menjadi orang yang berguna bagi
nusa, bangsa, dan agama. Amin
11. Terima kasih untuk para sahabat yang setia memberikan semangat dan dukungan
dalam pertemanan yakni Deo Rino Hendro, Annisa Dwi Nur Amalina, Milla Sari,
viii
terutama untuk Febrina Erni Ratna Sari yang selalu setia menemani dan
memberikan dukungan positif kepada penulis. Semoga kita semua selalu
diberikan perlindungan dan kesuksesan oleh Allah swt. Amin.
12. Terimakasih untuk Ade Azaz Rachman dengan kebaikanya memfasilitasi rumah
dan wifinya untuk Penulis mengerjakan skripsi ini sampai dengan selesai.
13. Kepada Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu berorganisasi selama 4 tahun perkuliahan, dan kepada Pusat
Studi Hukum Ketatanegaraan serta Angkatan Muda Peduli Hukum yang
memberikan wadah keilmuan bagi penulis. Semoga eksistensi dan regenerasi
yang baik terus dicetak oleh lembaga kajian ini, amin.
14. Para Senior Irfan Kamil Siregar S.H, Rizky Hariyo Wibowo S.H, Eko Yulianto
S.H, Satyawan Pari Kresno S.H, Andi Komara S.H dan semua yang tergabung
dalam Ikatan Keluarga Ilmu Hukum UIN Syarifhidayatullah Jakarta yang telah
memberi inspirasi positif dan motivasi penulis dalam menyusun skripsi ini.
Semoga semua senior bisa meraih impiannya dan mendapat berkah dari Allah
swt.
15. Terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam membantu penulis, baik
membantu dalam segi materil maupun moril hingga bisa menyelesaikan skripsi
ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-
sebesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan yang kurang berkenan bagi
ix
pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia khususnya bagi penulis.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 2 Juli 2015
Reza Haryo Mahendra Putra
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN …………...……………………………………..……. ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………. iii
ABSTRAK ………………………….…………………………………………..…. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..… v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….…………............ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………............. 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual..................................... 7
E. Tinjauan Studi Terdahulu ………………………………... 12
F. Metode Penelitian ………………………………………... 14
G. Sistematika Penulisan …………………………………..... 17
xi
BAB II TEORI KEWENANGAN DAN KEWENANGAN PRESIDEN
A. Pengertian Kewenangan dan Jenis-Jenis Kewenangan....... 20
1. Pengertian Kewenangan................................................ 20
2. Jenis-Jenis Kewenangan ............................................... 25
B. Tugas Pokok dan Fungsi Presiden....................................... 27
C. Pemisahan Kekuasaan DPR dan Presiden........................... 30
1. Kekuasaan DPR.............................................................. 32
2. Kekuasaan Presiden........................................................ 35
BAB III PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG DAN HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG
MEMAKSA
A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang……..... 38
1. Pengertian Perpu........................................................... 38
2. Sejarah Perpu................................................................ 39
3. Kedudukan Perpu Dalam Peraturan
Perundang-undangan..................................................... 43
B. Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa ............................. 46
1. Pengertian Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa...... 46
2. Urgensi Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam
Pembuatan Perpu........................................................... 51
xii
BAB IV ANALISIS PERPU NO 1 TAHUN 2014 TERKAIT DENGAN
HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
A. Proses Pembentukan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati......................... 55
B. Perbedaan Pendapat Dalam Memahami Perpu No 1 Tahun
2014 Tentang Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa........ 60
C. Analisis Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.......................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 72
B. Saran .................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara yang dilandasi oleh norma adalah istilah lain dari Negara
Hukum, yaitu aturan-aturan yang berlaku disebuah negara selalu ditempatkan
pada tempat yang tinggi (junjung tinggi).1 Sebagai sebuah negara, Indonesia
merupakan negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945. Pencantuman dalam UUD 1945 sebagai bukti bahwa hukum diletakkan
pada posisi penting dalam kehidupan bernegara sebagai perwujudan dari
paham kedaulatan hukum.
Kedaulatan hukum diletakkan pada posisi tertinggi dan sebagian besar
ide-ide dalam norma hukum tersebut dituangkan dalam peraturan tertulis.
Dalam struktur (hierarki) norma hukum, Indonesia menempatkan konstitusi
UUD 1945 sebagai aturan dasar bagi norma-norma hukum lain dibawahnya,
hal ini merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu perundang-
undangan dibawahnya.2
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi-II, cetakan kedelapan (Jakarta : Balai
Pustaka, 1966), h.685
2 Maria Farida Indarti Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan “Dasar-Dasar dan
Pembentukanya”, Cetakan ke 11 (Jakarta: Kanisius, 2006), h.31
2
Didalam peraturan perundang-undangan terdapat peraturan yang
berasal dari produk pemerintah, salah satunya adalah Perpu. Perpu di
keluarkan atas dasar prerogatif Presiden dengan melihat situasi negara dalam
keadaan genting dan memaksa. Hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa
yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta
persetujuan lembaga lain yakni pembuatan Peraturan pemerintah pengganti
undang-undang oleh Presiden3. Perpu dibuat berdasarkan hal ihwal
kegentingan yang memaksa. Kewenangan ini sebagai konsekuensi
keterbatasan DPR dalam membuat Undang-Undang dalam hal waktu. DPR
sebagai lembaga legislatif tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
membuat Undang-Undang dalam waktu yang singkat padahal pengaturan
setingkat Undang-Undang tersebut harus dibuat secepatnya mengingat
kondisinya yang darurat dan bersifat memaksa untuk segera dibuat.
Soehino mengatakan bahwa Perpu ditetapkan untuk mengatur suatu
materi yang seharusnya diatur dengan undang-undang, tetapi karena keadaan
yang mendesak sehingga tidak bisa ditangguhkan sampai adanya sidang di
DPR untuk membicarakan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
mengatur materi tersebut. Untuk mengatasi keadaan agar keselamatan negara
terjamin oleh pemerintah, terpaksa pemerintah bertindak cepat yaitu
menetapkan Perpu yang mempunyai kekuasaan dan derajat yang sama
3 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi , cet I, (Gama Media,
Yogjakarta, 1999), h.256
3
setingkat dengan Undang-Undang tanpa persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.4
UUD 1945 menekankan kedaulatan rakyat dan demokrasi dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tanggal 2 Oktober 2014 telah menandatangani Perpu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dengan syarat 10 perbaikan. Perpu yang berisi 206 Pasal dimaksudkan sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang ditetapkan dalam Rapat Paripura DPR-
RI. Undang-Undang yang mengatur tentang mekanisme pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mendapat penolakan yang tegas dari rakyat Indonesia dan proses pengambilan
keputusannya dinilai tidak mencerminkan prinsip demokrasi yang selama ini
dijunjung tinggi oleh bansgsa Indonesia.5
Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 kedaulatan rakyat dan
demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa
perbaikan mendasar atas permasalahan pemilihan langsung yang selama ini
4 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan “Dasar-Dasar dan
Pembentukanya”, h.150
5 http://www.demokrat.or.id/2014/10/inilah-pokok-pokok-perpu-pilkada,diunduh
pada tanggal 10 April 2015
4
telah dilaksanakan. Dijelaskan juga tentang pertimbangan mengenai hal ihwal
kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 yang intinya ada keadaan yaitu kebutuhan
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang. Kemudian Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum
ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai, serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan
Perpu adalah hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang." Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa perppu itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Kemudian Mahkamah Konstitusi
memperjelas frasa "kegentingan yang memaksa" bagi presiden untuk
menerbitkan perpu. Dalam hal kondisi yang memaksa dan darurat pembuatan
Perpu oleh presiden dapat dilakukan, menginggat Presiden sebagai kepala
Pemerintahan sekaligus kepala negara merupakan pihak yang paling tahu
5
tentang kondisi negara, meskipun alasan dalam keadaan yang memaksa
tersebut dilandaskan pada pertimbangan subjektif dan prerogatif Presiden.6
Terkait dengan hal di atas penulis tertarik untuk membahasnya
dengan judul Syarat Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam
Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Studi
Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan
penelitian ini akan dibatasi. Pembuatan Perpu didasarkan oleh Asas Hal
Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dan penilaian subjektifitas Presiden.
Penelitian ini hanya membahas tolak ukur Asas Hal Ihwal Kegentingan
Yang Memaksa terhadap pembuatan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
6 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Cetakan kedua, (Jogjakarta: FH UII Pres
1997), h.153
6
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan batasan masalah
tersebut diatas maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014 ?
b. Apa tolak ukur Presiden dalam pembuatan Perpu ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kedudukan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014.
b. Untuk mengetahui tolak ukur Presiden dalam pembuatan Perpu.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat secara teoritis, praktis, dan akademis yakni:
a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang tolak ukur
subjektif Presiden dan asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
dalam pembuatan Perpu No.1 Tahun 2014.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para
peminat hukum tata negara, dan praktisi ketatanegaraan dalam melihat
produk Perpu yang berkualitas atas dasar kepentingan rakyat.
7
c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Kewenangan Presiden Menurut UUD 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa : “Dalam hal ihkwal
kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Di dalam penjelasan
Pasal 22 sebelum perubahan amandemen UUD 1945 dijelaskan
bahwa, pasal ini mengenai Noodverordeningsrecht Presiden.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, yang berarti pembentukannya
memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak,
memaksa atau darurat. Dikatakan juga bahwa dapat dirumuskan
sebagai keadaan yang sukar, penting dan terkadang krusial sifatnya
yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya,
8
serta harus ditanggulangi segera pembentukan peraturan perundang-
undangan yang setingkat dengan undang-undang.
Diterbitkanya Perpu oleh Presiden adalah suatu hal yang tidak
melanggar konstitusional atau mengakibatkan inkonstitusional, karena
secara jelas termaktub di dalam UUD 1945.7 Permasalahan yang
mungkin terjadi ketika Presiden mengeluarkan Perpu tidak mengacu
pada asas “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
c. Pendapat Pakar Hukum Tentang Asas Hal Ihwal Kegentingan Yang
Memaksa
Menurut Jimlly Ashidiqie terdapat 3 (tiga) unsur penting yang
dapat menimbulkan suatu kegentingan yang memaksa yakni, unsur
ancaman yang membahayakan, unsur yang mengharuskan, dan unsur
keterbatasan waktu.8 Menurut Profesor Lauddin Marsuni dapat
dirumuskan kegentingan yang memaksa adanya situasi bahaya atau
situasi genting, kedua adanya situasi bahaya atau genting mengancam
keselamatan negara jika pemerintah tidak cepat mengambil tindakan
hukum konkrit, ketiga adanya situasi yang sangat mendesak sehingga
7 Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihkwal kepentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang”.
8 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.207-208
9
diperlukan tindakan pembentukan hukum pemenrintah tanpa
menunggu mekanisme DPR RI.9 Bagir Manan mengemukakan
pendapatnya tentang unsur kegentingan memaksa yang harus
menunjukan dua ciri umum10
, yaitu adanya keadaan krisis dan
mendesak. Keadaan krisis yang dimaksud adalah dimana suatu
keadaan dapat dikatakan sebagai krisis apabila terdapat suatu
gangguan yang menimbulkan kegentinganya. Kemudian adanya sifat
mendesak, artinya adalah suatu keadaan dapat dikatakan kegentingan
memaksa apabila suatu tindakan atau pengaturan dengan segera tanpa
menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
2. Kerangka Konseptual
a. Kewenangan
Secara bahasa, kata kewenanangan berasal dari kata wewenang
yang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak atau juga berarti
kekuasaan membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah
dikeluarkannya keputusan tersebut.11
Philipus M. Hadjon membagi
9http://sumbar.antaranews.com/berita/117575/perppu-untuk-negara-dalam-keadaan-
genting diunduh pada tanggal 20 Juni 2015
10 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h.157
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1988), h. 1011
10
wewenang atas dua cara yaitu atribusi dan delegasi12
. Atribusi
merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.
Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat
besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan
kata penyerahan, berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang
memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi
(delegetaris).
b. Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung diselenggarakan atas kedaulatan rakyat
(democratie) melalui sistem secara langsung. Penyaluran kedaulatan
rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui
pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum
untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana
perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar.
Dapat juga disalurkan melalui pelaksanaan hak atas kebebasan
berpendapat, berorganisasi, berserikat, dan pers, serta hak-hak yang
dijamin lainya oleh konstitusi.13
12
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid),
Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, h. 90 13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h.59
11
c. Demokrasi Perwakilan
Demokrasi perwakilan diwujudkan dalam tiga cabang
kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) sebagai pemegang kekuasaan legislatif.
Dalam menjalankan kebijakan pokok Pemerintahan dan mengatur
ketentuan hukum berupa UUD dan Undang-Undang pelembagaan
kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan. Di daerah
provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan demokrasi perwakilan
disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
d. Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
Segala sesuatu yang membahayakan negara dan kedaulatan
rakyat tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan “kegentingan
yang memaksa”, tetapi kegentingan yang memaksa tidak selalu
membahayakan. Terkait dengan penafsiran mengenai kegentingan
yang memaksa oleh Presiden, memang belum ada literatur yang dapat
menjelaskan tentang ukuran secara jelas ataupun patokan perihal
klasifikasi khusus tentang keadaan memaksa. Semua pertimbangan
tersebut diserahkan sepenuhnya oleh Presiden secara subjektif, artinya
penentuan adanya “kegentingan yang memaksa” tersebut baru bersifat
12
objektif setelah hal itu dinilai dan dibenarkan oleh DPR berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.14
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
1. Skripsi
Membahas tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang ditulis oleh Rizki Masapan Sarjana Strata 1 (S1)
Program Studi Ilmu Hukum UI. Penelitian ini dilakukan bertujuan
mengetahui pelaksanaan pengujian terhadap sebuah peraturan perundang-
undangan dalam hal ini pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi.
2. Jurnal Hukum
Membahas tentang Multitafsir Pengertian Tentang “Hal Ihwal
Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan Perpu yang di tulis oleh
Janpantar Simamora. Jurnal ini menjelaskan bagaimana sebenarnya
batasan asas tentang “Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” menurut
UUDNRI 1945 dan pakar-pakar hukum seperti Jimly Asshiddiqie dan
Vernon Bogdanor. Ketika sebuah perpu diterbitkan oleh Presiden maka
14
Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.13
13
logika penerbitan Perpu dikarenakan yang pertama adanya situasi bahaya
dan genting. Kedua situasi bahaya ini dapat mengancam keamanan negara
jika pemerintah tidak secepatnya mengambil tindakan yang konkret.
Ketiga karena situasinya amat mendesak dibutuhkan tindakan pemerintah
secepatnya sebab jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi
genting itu menunggu mekanisme DPR menunggu waktu yang cukup
lama.15
3. Buku
Buku “Hukum Tata Negara Darurat” yang ditulis oleh Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, S.H. Buku ini membahas tentang pandangan teoritis
dan praktik keadaan darurat, hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan
hukum tata negara darurat. Dalam buku ini banyak dimuat hal penting
yang jarang dibahas dalam studi hukum ataupun dalam praktik
penyelenggaraan hukum di Indonesia, yaitu hukum tata negara darurat.
Dalam praktik, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary
condition) atau normal (normal condition) kadang-kadang timbul keadaan
yang tidak normal. Suatu negara yang tertimpa keadaan bersifat tidak
biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat
tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif
15 Mimbar.hukum.ugm.ac.id , diakses pada tanggal 16 Februari 2015
14
dalam keadaan yang tidak normal itu.16
Dalam hal ini adalah pembuatan
perpu oleh Presiden yang dilandaskan oleh asas hal ihwal kegentingan
yang memaksa.
Sehubungan dengan itu penelitian diatas memiliki hubungan
dengan penelitian penulis tentang asas hal ikhwal kegentingan yang
memaksa studi analisis pembuatan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang No. 1 Tahun 2014 terkait dengan pembahasan dalam
skripsi ini. Yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian
sebelumnya adalah, penelitian sebelumnya lebih bersifat umum multitafsir
asas Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dan pengujianya, sedangkan
penelitian yang akan penulis lakukan lebih mengerucut kepada tolak ukur
Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa dalam pembuatan Perpu No.1
Tahun 2014 oleh Presiden.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
16 Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.v
15
dianggap pantas.17
Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang
berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu:18
pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan
pendekatan konseptual. Dalam penelitian ini pendekatan yang Penulis
gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach),
pendekatan kasus dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat
otoritatif, artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak
yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-
17
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI, (Jakarta: Kencana,2010), h.93.
16
undangan.19
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
138/PUU-VII/2009 Tentang Pertimbangan Mengenai Hal Ihwal
Kegentingan Yang Memaksa, dan Undang-Undang No. 22 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.20
Terdiri dari buku-buku,
jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan
asas hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam Perpu No.1 Tahun
2014.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang
akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum
19
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.141.
20
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h.119.
17
bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan
permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih
konkret. Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis
menganalisisnya (melakukan penelitian ilmiah) secara maksimal untuk
menjawab isu hukum dan permasalahan yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah yang telah dibuat.
5. Metode Penulisan Skripsi
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”
G. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini, penulis akan mensistematiskan persoalan-persoalan
yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah
sistematisasi agar penulisan ini mengahsilkan kesimpulan yang baik dan
berkualitas. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab akan membuat tulisan
lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
18
penelitian, tinjauan studi terdahulu, kerangka konseptual, dan
metode penelitian.
BAB II Tentang peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan
hal ihwal kegentingan yang memaksa. Bab ini membahas
secara menyeluruh tentang pengertian, sejarah, dan kedudukan
perpu dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian
membahas tentang sejarah dan penafsiran Hal Ihwal
Kegentingan Yang Memaksa.
BAB III Landasan teori umum tentang kewenangan dan kewenangan
presiden. Bab ini membahas secara umum tentang pengertian
dan jenis-jenis kewenangan. Kemudian membahas tentang
kewenangan Presiden secara umum dan kewenanganya
terhadap pembuatan perpu secara khusus.
BAB IV Tentang analisis perpu no 1 tahun 2014 terkait dengan asas hal
ihwal kegentingan yang memaksa. Bab ini membahas secara
kritis kewenangan Presiden dalam pembuatan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun
2014 dikaitkan dengan asas “hal ihwal kegentingan yang
memaksa”
19
BAB V Penutup, bab ini dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan
analisis bab-bab terdahulu sehingga dapat ditarik
kesimpulannya serta ditambahkan dengan saran yang terkait
dengan pokok bahasan.
20
BAB II
TEORI KEWENANGAN DAN KEWENANGAN PRESIDEN
A. Pengertian Kewenangan dan Jenis-Jenis Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (Yang berarti
wewenang atau berkuasa). Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI)
sebagaimana dikutip oleh Kamal Hidjaz, kata wewenang disamakan
dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk
bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang/badan lain.21
Kewenangan yang diberikan
langsung oleh peraturan perundang-undangan, contohnya Presiden
berwenang membuat Undang-Undang, Perpu, PP adalah kewenangan
Atributif.
Kewenangan dalam bahasa Inggris disebut dengan Authority, di
dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “Legal power; a right to
command or to act; the right and power of public officers to require
obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties”.22
21
Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Makasar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 35.
22
Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary ( West Publishing, 1990), h. 133.
20
21
Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa Kewenangan atau
wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau
bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan
hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.
Dalam Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara juga dikenal
istilah kewenangan, istilah kewenangan diberikan kepada suatu organ
Negara. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam
kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya
kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek
menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in het
staats-en administratief recht”.23
Dari pernyataan tersebut diartikan
bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan
hukum administrasi.
Ada beberapa definisi kewenangan yang diartikan oleh para pakar
hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Ferrazi kewenangan yaitu sebagai hak untuk menjalankan
satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi
23
E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief
Recht (Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985), h. 26.
22
dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan
(supervisi) atau suatu urusan tertentu.24
b. Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian
kewenangan dan wewenang.25
Atas hal tersebut harus dibedakan
antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan.
c. Bagir Manan menyatakan wewenang mengandung arti hak dan
kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam hukum
administrasi negara wewenang pemerintahan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan diperoleh melalui cara-cara yaitu
atribusi, delegasi dan mandat.
24
Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2007), h. 93.
25
Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung, Universitas Parahyangan,
2000), h. 22.
23
d. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum
publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.26
e. Menurut S. F. Marbun, Kewenangan dan wewenang harus dibedakan.
Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan
baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu
bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan wewenang
(competence, bevoegdheid) hanya mengenal bidang tertentu saja.
Dengan demikian, kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-
wewenang (rechsbevoegdheden). Jadi, wewenang adalah kemampuan
bertindak yang diberikan peraturan perundang-undangan untuk
melakukan hubungan hukum.27
f. Menurut F.P.C.L. Tonner berpendapat sebagaimana dikutip oleh
Ridwan HR “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als
het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus
rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te
scheppen”. Dari kalimat tersebut dapat diterjemahkan bahwa
kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
26
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII,
September – Desember, 1997 , h.1.
27
Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Pustaka Refleksi, Makasar, 2010), h. 35.
24
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu
dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan warga
Negara.28
Dari definisi yang dijelaskan oleh para ahli, bila dilihat dari sisi
tata Negara dan administrasi Negara, penulis berpendapat bahwa
kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ
Negara/lembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai organ Negara/lembaga Negara. Kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu organ Negara/lembaga
Negara adalah kewenangan yang memiliki legitimasi, sehingga
munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara
dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar
tidak berlaku sewenang-wenang.
Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga
negara atau pemerintah dalam hal ini Presiden, adalah kewenangan yang
memiliki legitimasi. Dalam mengaplikasikan suatu kewenangan yang
dimiliki oleh Presiden, penulis memberi contoh mengenai kewenangan
Presiden untuk mengeluarkan sebuah produk hukum Perpu sebagai akibat
negara dalam keadaan genting dan memaksa.
28
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 100.
25
2. Jenis-Jenis Kewenangan
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe
voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,
lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang
membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum.29
Dalam memperoleh kewenangan ada tiga cara untuk
memperoleh kewenangan yaitu antara lain:
a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang
sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada
maupun yang baru sama sekali.30
Artinya kewenangan itu bersifat
melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan
dan kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut.
b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain.31
Dalam delegasi mengandung
29
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994), h. 65.
30
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008),
h. 104. 31
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105.
26
suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan orang pertama,
untuk selanjutnya menjadi kewenangan orang kedua. Kewenangan
yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi
tanggung jawab penerima wewenang.
c. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.
Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk
membuat keputusan a/n (atas nama) pejabat Tata Usaha Negara yang
memberi mandat.32
Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris,
melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal
ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua
akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang
dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab dari pemberi
mandat.33
Dari penjelasan diatas maka, penulis menghubungkan dengan
pembahasan tentang penerbitan Perpu No 1 Tahun 2014. Dalam
penjelasan kewenangan Atribusi yaitu pemberian kewenangan oleh
pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, artinya
pemerintahan yang dimaksud dalam hal ini adalah Presiden. Presiden
diberikan kewenangan untuk membuat Perpu dalam keadaan genting yang
32
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”,
Pro Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90.
33
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”,
h. 94.
27
memaksa. Pemberian kewenangan ini sesuai dengan Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan. Kemudian arti selanjutnya mengenai Atribusi yakni
kewenangan ini bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut
yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ
pemerintahan tersebut, artinya ada rasa tanggungjawab yang harus bisa
dipertanggungjawabkan bila kewenangan ini sudah dilakukan. Secara
langsung atau tidak langsung kewenangan ini akan memberikan dampak
hukum yang harus di pertanggungjawabkan.
B. Tugas Pokok dan Fungsi Presiden
Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah lembaga yang
dapat diartikan sebagai institusi atau jabatan organisasi yang dalam sistem
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 memiliki tugas dan jabatan sekaligus Presiden dan wakil Presiden.
Jabatan seorang Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan
sekaligus sebagai kepala negara yang merupakan penanggungjawab dari
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Sistem ini pada hakikatnya
merupakan uraian tentang bagaimana mekanisme pemerintahan negara
dijalankan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Pada dasarnya sistem penyelenggaraan pemerintahan negara tidak
membicarakan sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara
28
secara keseluruhan. Dalam arti sempit, istilah penyelenggaraan negara tidak
mencakup lembaga-lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945
sedangkan dalam arti luas, istilah penyelenggaraan negara mengacu pada
tataran supra struktur politik maupun pada tataran infra struktur politik.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem penyelenggaraan negara
sebenarnya adalah mekanisme bekerjanya lembaga eksekutif yang dipimpin
oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara.34
Dalam UUD 1945 terdapat beberapa tugas dan fungsi yang dimiliki
Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, yakni:
1. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, Pasal 4 ayat (1) yang
menyatakan “Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”
2. Kekuasaan dibidang peraturan perundang-undangan, Pasal 5 ayat (1) yang
menyatakan “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat” dan Pasal 22 yang menyatakan
“Dalam hal ihkwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
3. Kekuasaan di bidang Yudisial, Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan
“Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
34
Salamoen Soeharyo & Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2006), h.3
29
pertimbangan Mahkamah Agung” dan ayat (2) “Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat”.
4. Kekuasaan di bidang hubungan luar negeri, Pasal 11 ayat (1) “Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” dan Pasal 13
ayat (3) “Presiden mengangkat duta dan konsul”.
5. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya, Pasal 12 “Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan
dengan undang-undang”.
6. Kekuasaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata.
Pasal 10 “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”
7. Kekuasaan mengangkat dan membberhentikan menteri-menteri, Pasal 17
ayat (1) “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Ayat (2)
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Sehubungan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan dalam
tulisan ini, maka penulis akan mengkaitkannya dengan kekuasaan Presiden
dalam bidang peraturan perundang-undangan, khususnya kekuasaan Presiden
menetapkan Perpu. Kewenangan dalam membuat Perpu dibuat berdasarkan
hal ihwal kegentingan yang memaksa, kewenangan ini diberikan oleh
30
pemerintah sebagai konsekuensi keterbatasan DPR dalam membuat Undang-
Undang dalam hal waktu. DPR sebagai lembaga legislatif tidak mempunyai
waktu yang cukup lama untuk membuat Undang-Undang dalam waktu yang
singkat padahal pengaturan setingkat Undang-Undang tersebut harus dibuat
secepat mungkin mengingat kondisinya yang daryrat dan bersifat memaksa
untuk segera dibuat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, saat DPR dalam masa
reses atau tidak dalam masa sidang, sementara pemerintah (Presiden)
menganggap perlu diadakan suatu peraturan yang seharusnya adalah Undang-
Undang, seperti misalnya peraturan itu merupakan perubahan dari suatu
Undang-Undang, atau materinya memuat ancaman hukuman pidana sehingga
harus dibuat dalam bentuk Undang-Undang. Dalam kondisi yang demikian,
maka Presiden mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan Perpu.35
C. Pemisahan Kekuasaan DPR dan Presiden
Bentuk dan paradigma dari pemisahan dan pembagian kekuasaan telah
memperlihatkan corak yang beragam di berbagai negara. Bagaimanapun
bentuk perwujudannya, tidak lepas dan merupakan perkembangan lebih lanjut
dari ajaran pemisahan kekuasaan (Separation Of Power) yang dipelopori dua
pemikir besar yaitu John Locke dan Montesquieu.36
Dalam buku Two Treaties
35
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan-6,
(Jakarta: Dian Rakyat, 1989), h.77-78
36
Green Mind Community, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta:
Total Media, 2009), h.46
31
on Civil Goverment yang diterbitkan tahun 1960 Masehi, mengemukakan
bahwa untuk mencapai keseimbangan dalam suatu negara, kekuasaan negara
harus dipiliah kepada tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan federatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang
berwenang untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan lain harus tunduk
pada kekuasaan ini. Kekuasaan eksekutif meliputi kekuasaan melaksanakan
atau mempertahankan Undang-Undang termasuk mengadili. Kekuasaan
federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua yang tidak termasuk
kekuasaan legislatif dan eksekutif, meliputi kekuasaan keamanan negara,
urusan perang dan damai dalam keterkaitannya dengan hubungan luar negeri.
Dari ketiga kekuasaan itu, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif harus
berada pada tangan yang sama dan harus ada supremasi kekuasaan legislatif
atas kekuasaan yang lain.37
Versi lain teori pemisahan kekuasaan, oleh Immanuel Kant disebut
sebagai doktrin “Trias Politika”, dikemukakan oleh Montesquieu dalam
bukunya L‟esprit des Loi.38
Dasar pemikiran doktrin Trias Politika sudah
pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh Jhon
Locke.39
Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut: Pertama,
37
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradlian Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah. (Bandung: Alumni,2004), h.138
38
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, h.11
32
terciptanya masyarakat yang bebas. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat
yang bebas adalah pemisahan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan
eksekutif. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif.40
1. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat
Kekuasaan legislatif tidak memahami keseluruhan fungsi membuat
hukum, melainkan satu aspek khusus dari fungsi ini yaitu pembentukan
norma-norma hukum. “Hukum” suatu produk dari legislatif pada
hakikatnya adalah norma hukum, atau sekumpulan norma umum.
(“hukum” digunakan sebagai sebutan bagi keseluruhan norma-norma
hukum hanya karena kita cenderung untuk menyamakan “hukum” dengan
bentuk hukum umum dan secara keliru mengabaikan eksistensi norma-
norma hukum khusus). 41
Kedaulatan rakyat (Demokrasi) di Indonesia diselenggarakan
secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung,
kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang
tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai
39
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cetakan-2, (Jakarta,Gramedia Pustaka
Utama,2004), h.200-203
40
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2006), h.30-35
41
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan-1, (Bandung:
Nusamedia, 2006), h.362
33
pemegang kewenngan legislatif, Presiden dan wakil Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dalam menentukan
kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum
berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang serta dalam
menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalanya pemerintahan,
pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan,
yaitu melalui DPR dan DPD.42
Terkait dengan kedudukan DPR sebagai bagian dari demokrasi
perwakilan, dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, susunan Dewan
Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang, dan Dewan
Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Sesuai
dengan Pasal 20A UUD 1945, DPR sebagai lembaga negara pelaksana
demokrasi perwakilan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang
diatur dalam Pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain hak
yang diatur dalam Pasal-Pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat, serta hak imunitas.
42
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 71-72
34
Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUD sebelum amandemen,
anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana disebutkan yakni “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”. Sedangkan di ayat
(2) menyatakan jika rancangan undang-undang itu, meskipun disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
Diantara perubahan penting dalam rumusan-rumusan tersebut
diatas adalah terjadinya pergeseran mendasar dalam fungsi legislatif dari
tangan Presiden ke tangan DPR. Semula dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 (sebelum perubahan) menyatakan bahwa “Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”, dan
dalam Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa “DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”, dan Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”.
Untuk memastikan kuatnya kedudukan DPR maka dalam rangka
perubahan kedua UUD 1945 ditambahkan lagi ayat (5) yang menyatakan
“Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjang
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah berlaku undang-undang dan wajib diundangkan.”
35
2. Kekuasaan Presiden
Menurut tata bahasa, kata President adalah derivatif dari to preside
yang artinya memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata latin
Presidere berasal dari kata prae yang artinya di depan, dan kata sedere
yang artinya duduk.43
Jabatan Presiden erat hubunganya dengan bentuk
republik, meskipun tidak selalu berkaitan. Dalam sejarah politik romawi
telah muncul istilah republik, disamping kerajaan, prinsipat, dan dominat,
namun belum muncul istilah Presiden.
Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah lembaga
yang dapat diartikan sebagai institusi atau organisasi jabatan yang dalam
sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan yaitu
Presiden dan wakil Presiden. Dalam struktur ketatanegaraan dengan
sistem pemerintahan presidensil, patut dicatat bahwa yang menyangkut
lembaga kepresidenan adalah pertama, kedudukan sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensil seperti di Indonesia
menyatu dalam jabatan Presiden dan wakil Presiden. Dengan demikian
Presiden memimpin penyelenggaraan negara dalam pemerintahan sehari-
hari. Kedua Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Ketitga
Presiden dan Parlemen memiliki kedudukan yang sejajar sehingga
43
Webster‟s New World Dictionary, Collage Edition, New York: The World
Publishing Company, 1962 h. 1153 dalam Harun Al Rasid, Pengisian Jabatan Presiden,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 10
36
Presiden tidak dapat membubarkan Parlemen, demikian pula parlemen
tidak dapat memberhentikan Presiden.44
Dalam konteks Indonesia Presiden merupakan penanggungjawab
dari sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Sistem ini pada
hakikatnya merupakan uraian tentang bagaimana mekanisme
pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan negara. Sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara ialah sistem bekerjanya pemerintahan sebagai fungsi yang ada pada
Presiden.45
Pengertian pemerintahan dalam rangka hukum administrasi
digunakan dalam arti pemerintah umum atau pemerintah negara.
Pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian, diatu pihak dalam
arti “fungsi pemerintahan”, di lain pihak dalam arti “organisasi
pemerintahan”.46
Pada dasarnya sistem penyelenggaraan pemerintahan negara tidak
membicarakan sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga
negara secara keseluruhan. Dalam arti sempit istilah penyelenggaraan
negara tidak mencakup lembaga-lembaga negara yang tercantum dalm
44
Agustin Teras Narang, Reformasi Hukum: Pertanggungjawaban Seorang Wakil
Rakyat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h.49
45
Salamoen Soeharyo & Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia,h.3
46
Philipus M. Hadjon, “Pengantar Hukum Administrasi Negara”, Cetakan-3,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 1994), h.6
37
UUD 1945. Sedangkan dalam arti luas istilah penyelenggaraan negara
mengacu pada tataran supra struktur politik (Lembaga negara dan
Lembaga pemerintahaan), maupun pada tataran infra struktur politik
(Organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan). Dengan demikian
yang dimaksud dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara
sebenarnya adalah mekanisme bekerjanya lembaga eksekutif yang
dipimpin oleh Presiden baik selaku kepala negara maupun sebagai kepala
pemerintahan.47
47
Salamoen Soeharyo & Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia,h.4
38
BAB III
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
DAN HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
1. Pengertian Perpu
Istilah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sepenuhnya adalah ciptaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Produk hukum Perpu murni atas dasar subjektifitas Presiden, dikarenakan
kegentingan yang memaksa (noodstaatsrecht) yang sedang dialami oleh
negara. Istilah noodstaatsrecht merupakan hukum tata negara yang
berlaku atau baru berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan
genting.48
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang
bentuknya adalah Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya”. Jika biasanya bentuk Peraturan Pemerintah itu
48
W.F Prins, Buitengewone Regelingsbevoegdheden in het indische staatsrecht,
(Ind. Tijdschrift van het Recht, 1941), h.29
38
39
adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang memaksa
bentuk Peraturan Pemerintah itu dapat dipakai untuk menuangkan
ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk Undang-
Undang dan untuk menggantikan Undang-Undang.49
Kata ”Perpu” itu
sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD 1945. Namun,
dalam praktiknya Peraturan Pemerintah yang demikian lazim dinamakan
sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat
Perpu. Menurut Prof Jimly Asshiddiqie kelaziman itu diterima saja apa
adanya sehingga produk hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang itu dapat secara resmi disebut sebagai Perpu.50
2. Sejarah Perpu
Dalam perkembanganya diawal kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1945,
Presiden tidak pernah menetapkan Perpu.51
Pada tahun 1946 barulah
Presiden menetapkan Perpu sebanyak 10 buah dan pada tahun yang sama
ditetapkan 2 buah menjadi undang-undang. Pengaturan mengenai
eksistensi Perpu dalam Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah
49
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.55
50
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, h.56
51
Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia,h.183-184
40
satu substansi yang tidak ikut diubah dalam proses amandemen Undang-
Undang Dasar 1945, sehingga eksistensi Perpu sebagai salah satu jenis
peraturan perundang-undangan di Indonesia secara esensial selalu diakui
baik berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, Pasal 139 (1) UUD-RIS, Pasal 96
(1) UUDS, meskipun tiap-tiap konstitusi tersebut pada masa berlakunya
mengatur hal tersebut dalam rumusan yang berbeda.
Memahami sejarah Perpu di Indonesia maka perlu mengetahui
beberapa aturan yang mirip diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen.
Aturan yang mirip seperti Perpu sudah dijelaskan sebelumnya didalam
UUD-RIS, UUDS, dan UUD 1945. Dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Serikat (UUD-RIS) Tahun 1949, istilah yang dipakai
adalah keadaan yang mendesak dan Undang-Undang Darurat. Pasal 139
ayat (1) menyatakan, “Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab
sendiri menetapkan Undang-Undang darurat untuk mengatur hal-hal
penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan
yang mendesak perlu diatur dengan segera”.
Ketentuan yang sama diadopsikan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS 1950), yaitu pada Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi,
“Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan
Undang-Undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan
pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak
41
perlu diatur dengan segera”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ketentuan mengenai ini
diatur dalam dua Pasal, yaitu Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyatakan,
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang “, dan Pasal 22
menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang”.
Pada masa UUD-RIS Tahun 1949, UUDS Tahun 1950, dan UUD
Tahun 1945, bentuk-bentuk peraturan yang diterapkan berupa Undang-
Undang darurat, Perpu, Emergency Legislation (Inggris), Emergency Law
(Amerika), dan yang disebut dengan istilah lain. Oleh karena itu baik
UUD-RIS Tahun 1949 maupun UUDS 1950 sama-sama menggunakan
istilah Undang-Undang Darurat, sementara itu UUD 1945 menggunakan
istilah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Sejarah penempatan Perpu dalam peraturan perundang-undangan52
secara lebih rinci dapat dilihat dari Undang-Undang No 1 Tahun 1950
yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950 Pasal 1
52 Soimin, Pembentukan Peturan Perundang-undangan Negara di Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2010), h.56
42
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri. Kemudian Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
yang tercantum pada lampiran II yakni Bentuk-bentuk Peraturan
Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945
ialah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Keputusan Presiden Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
e. Peraturan Menteri;
f. Instruksi Menteri.
Selanjutnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada
Pasal 2 yaitu tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
43
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden;
g. Peraturan Daerah.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasca UU
No.12 Tahun 2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
3. Kedudukan Perpu Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia, norma-
norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang,
sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
44
demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar
(staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila 53
Dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan diketahui bahwa
Undang-Undang dan Perpu memiliki kedudukan yang sama, sejajar, atau
sederajat. Perpu mempunyai hirarki setingkat dengan Undang-Undang,
tetapi Perpu terkadang dikatakan tidak sama dengan Undang-Undang
karena belum adanya persetujuan dari DPR.54
Kedudukan Perpu dalam
peraturan perundang-undangan tertulis dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan bahwa jenis dan hirearki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan
Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi dan; g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selama ini Undang-Undang selalu
dibentuk oleh Presiden atas persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal
atau menurut UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden. Sedangkan Perpu
53
Maria Farida Indarti, Ilmu Perunang-Undangan: Jenis, Fungsi, Materi Muatan,
Edisi Revisi,(Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h.57
54
Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-Undangan “Dasar-Dasar dan
Pembentukanya”, h.96
45
dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya suatu hal
ihwal kegentingan yang memaksa.55
Dari penjelasan diatas bahwa sebenarnya Undang-Undang dan
Perpu dalam hirarki peraturan perundang-undangan memang memiliki
kedudukan yang sama, hanya saja kedua produk hukum ini dibentuk
dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang dibentuk oleh Presiden
dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perpu
dibentuk oleh Presiden dalam keadan kegentingan yang memaksa.
Kondisi seperti ini kemudian membuat kedudukan Perpu yang dibentuk
tanpa persetujuan DPR terkadang dianggap memiliki kedudukan di bawah
Undang-Undang.
Perpu sebagai emergency legislation berdasarkan UUD 1945
adalah produk peraturan yang mempunyai kedudukan sama kuat dan
bahkan sederajat dengan Undang-Undang. Dari segi bentuknya Perpu
adalah Peraturan Pemerintah (PP), namun dari segi isisnya Perpu identik
dengan Undang-Undang. Karena itu Perpu dapat disebut sebagai Undang-
Undang dalam arti materil atau wet in materiele zin, sebagai produk
Undang-Undang dalam arti materil penerbitan dan pelaksanaan Perpu
harus diawasi ketat oleh DPR. Maka dari itu dapat disimpulakan bahwa
Perpu secara materil adalah Undang-Undang juga, hanya bentuknya bukan
55
Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik
Pembentukanya, (Jakarta: Kanisius, 1998), h. 80
46
Undang-Undang. Bajunya Peraturan Pemerintah (PP), namun isinya
adalah Undang-Undang, yaitu Undang-Undang dalam arti materiil.
Dengan demikian Perpu sebagai Undang-Undang dalam arti materil dapat
saja diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
mestinya.56
B. Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
1. Pengertian Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam pengertian praktis
yaitu keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal atau
state of exception. Keadaan the state of exception itu digambarkan oleh
Kim Lane Scheppele sebagai the situation in which a state is confronted
by a mortal threat and responds by doing things that would never be
justifiable in normal times, given the working principles of that state57
(keadaan dimana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati
yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak
mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh
negara yang bersangkutan).
56
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, h.60
57
Kim Lane Scheppele, Law In A Time Of Emergency: States Of Exception And The
Temptations Of 9/11, HeinOnline- 6 U. Pa. Journal Of Constitutional Law, Vol.6:5, 2003-
2004, h.1004
47
Pengertian kegentingan yang memaksa memiliki sifat darurat atau
emergency yang memberikan alas kewenangan kepada Presiden untuk
menetapkan Perpu. Kegentingan yang memaksa lebih menekankan aspek
kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait
dengan persoalan waktu yang terbatas. Disatu pihak ada unsur reasonable
necessity, tetapi dipihak lain terhadap kendala limited time. Pasal 22
menjelasakan adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai syarat
objektif, namun syarat tersebut sepenuhnya menjadi subjektif atas dasar
penilaian Presiden apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting
dan memaksa atau terdapat hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk
ditetapkanya Perpu.
Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden
secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan
negara yang menyebabkan suatu Undang-Undang tidak dapat dibentuk
segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materil mengenai hal yang
perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945
memberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang atau Perpu. Jika kelak Perpu itu telah dinilai
oleh DPR sebagaimana mestinya dan selanjutnya diterima maka, dapat
dikatakan keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa yang
menjadi syarat pemberlakuan Perpu yang bersangkutan menjadi keadaan
48
atau hal ihwal yang memang bersifat kegentingan yang memaksa
berdasarkan penilaian yang objektif atas keadaan atau hal ihwal dimaksud
yang dilakukan bersama-sama oleh DPR bersama-sama dengan
pemerintah.
Dalam perspektif Islam dibahas tentang arti dari keadaan bahaya
atau darurat dalam menanggapi suatu masalah umum atau masalah hukum
yang terjadi. Dalam hal dikeluarkanya Perpu salah satunya ada keadaan
kegentingan yang memaksa dan darurat hukum, maka Islam pun
membahas tentang keadaan darurat dan hukumnya seperti apa.
Darurat secara bahasa berasal dari kalimat "adh dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Dalam
pengertian darurat para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Bakar
darurat adalah kekhawatiran adanya kesulitan atau kerusakan jiwa atau
sebagian anggota badan bila tidak memakan yang diharamkan. Kemudian
menurut ulama Malikyah darurat adalah kekhawatiran akan adanya
kerusakan jiwa, baik secara meyakinkan maupun dugaan.58
Hukum darurat menempati posisi yang amat penting dalam syariah
karena mengandung berbagai keuntungan seperti memberikan kemudahan
bagi orang yang ditimpa kesulitan. Darurat memiliki cakupan yang luas
untuk menghadapi setiap keadaan yang membahayakan dalam hidup tanpa
58
Jaih Mubarok, Kaidah fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), h. 150
49
mengubah hukum. Hukum tidak diubah karena peraturan ini, karena
hukum darurat dan apa yang merupakan perkenan bebas untuk mengubah
hukum dan apa yang diperbolehkan dalam hukum darurat ini memiliki
batasan waktu dan jangkauannya.59
Jika dikorelasika dengan peraturan di
Indonesia ini sama halnya dengan Perpu.
Dilihat dari perspektif Islam, dikeluarkanya Perpu harus
mengandung keadilan bagi rakyat banyak, sebagaimana dijelasakan dalam
Q.S An-Nisa ayat 58 :
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”.
Seperti yang dijelaskan Quran Surah An-nisa ayat 58 bahwa Allah
menyuruh untuk menetapkan hukum atau amanat bagi yang berhak
59
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 145
50
menerimanya, artinya ketika suatu Perpu itu dikeluarkan oleh Presiden
maka penetapannya harus mengedepankan kepentingan rakyat bukan
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Allah Swt menyuruh untuk
menetapkan hukum seadil-adilnya agar tidak ada yang dirugikan.
Sesungguhnya penetapan hukum yang merugikan atas ketidakadilan
pemimpin hukumnya haram dan dibenci Allah Swt.
Kemudian menurut Hadits dari Ali radhiallahu „anhu, Ahmad
Syakir di dalam Tahkik Musnad (1095) yakni:
اَل َطاَعَة ِلَمْخُلْوٍق ِفْي َمْعِصَيِة اهلِل
Artinya: “Tidak ada taat pada makhluk dalam perbuatan yang maksiat
pada Allah Ta’ala”. 60
Ali radhiallahu „anhu, Ahmad Syakir berpendapat bahwa hadits tersebut
shahih. Apabila peraturan tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan
untuk kaum Muslimin dan tidak terdapat madharat serta tidak
bertentangan dengan syari‟at Allah Ta‟ala, maka peraturan itu harus
ditaati dan tidak boleh dilangar. Tapi jika peraturan itu bertentangan
dengan syari‟at Allah Ta‟ala dan mengandung unsur maksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka janganlah di dengar dan ditaati.
60
Imam Ahmad di dkalam Musnadnya Juz I h. 131- 409
51
2. Urgensi Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembuatan Perpu.
Polemik terus terjadi sampai saat ini mengenai urgensi tentang
kegentingan yang memaksa sebagai dasar politis dan sosiologis bagi
pembentukan Perpu. Seiring berlangsungnya zaman, seringkali muncul
pameo di masyarakat bahwa Perpu umumnya dibentuk bukan karena
adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya
kepentingan yang memaksa.
Perpu hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan
“kegentingan yang memaksa” terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan
“kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak
boleh dicampuradukan dengan pengertian “keadaan bahaya”61
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 UUD 1945. Pasal 12 menyatakan,
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kedua ketentuan
Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut sama-sama
berasal dari ketentuan asli UUD 1945, yang tidak mengalami perubahan
dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat. Artinya norma
dasar yang terkandung didalamnya tetap tidak mengalami perubahan.
61
Jimly Asshidiqie, “Hukum Tata Negara Darurat”, h.207-208
52
Menurut I.C Van der Viles dalam bukunya yang berjudul
Handboek wetgeving, asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan
dalam hal ini termasuk Perpu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu62
:
a. Asas Formil
Asas Tujuan, yakni tujuan yang jelas (beginsel van duidelijk)
perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan mafaat yang jelas
untuk apa dibuat. Asas Organ/Lembaga (beginsel van het juiste
orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Asas Kedesakan Pembuatan Pengaturan
(het noodzakelijkheidsbeginsel). Asas Kedapatlaksanakan atau dapat
dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) yakni setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada
perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk
nantinya akan berlaku secara efektif di masyarakat karena mendapat
dukungan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Asas zkonsensus
(het beginsel van de consensus).
62
A. Hamid SA, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, (Jakarta: Disertasi, 1990),h.321-331
53
b. Asas Materil
Asas terminologi dan sistematika yang benar. Asas dapat dikenali.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas kepastian hukum. Asas
pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Kriteria dikeluarkanya Perpu oleh Presiden yaitu dikeluarkan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, tidak mengatur mengenai
hal-hal yang diatur dalam UUD 1945. Tidak mengatur mengenai
keberadaan dan tugas wewenang lembaga negara, dan tidak boleh ada
Perpu yang dapat menunda dan menghapuskan kewenangan lembaga
negara, hanya boleh mengatur ketentuan Undang-Undang yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan.63
Urgensi hal ihwal kegentingan yang memaksa bukan hanya karena
ada keadaan bahaya, ancaman, dan berbagai kegentingan lain yang
langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Dalam sejarahnya
ada Perpu yang ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya Undang-
Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-
Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Perpu yang dimaksud adalah Perpu No. 1 Tahun 1984 tentang
Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan
63
Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 151
54
Nilai 1984. Menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 8 Tahun
1983, Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap sehingga perlu
ditangguhkan. Demikian juga Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, menurut ketentuan Pasal 74 Undang-Undang tersebut
mulai berlaku pada tanggal 1 September 1994. Namun menjelang tanggal
tersebut ternyata belum siap. Keadaan “Belum Siap” menjadi dasar
membuat Perpu penangguhan. Maka dari itu, urgensi kegentingan yang
memaksa tidak semata-mata dikarenakan adanya keadaan mendesak.64
64
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 102
55
BAB IV
ANALISIS PERPU NO 1 TAHUN 2014 TERKAIT DENGAN HAL
IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
A. Proses Pembentukan Perpu No.1 Tahun 2014
Perjalanan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur,
Bupati, dan Walikota tidak lepas dari permasalahan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang
membuat rakyat menjadi resah. Alasan ini secara logis dapat diterima rakyat
karena regulasi yang diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ini mengenai pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung oleh rakyat, tetapi dipilih secara proses politik
oleh anggota DPRD. Hal ini dianggap mencederai rasa demokrasi yang
dijunjung bangsa Indonesia, meskipun banyak pakar hukum menganggap
dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD masuk kedalam demokrasi juga
yakni demokrasi perwakilan, karena demokrasi diartikan sebagai
pemerintahan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
yang dilaksanakan secara langsung maupun perwakilan.
55
56
Implikasi dari permasalahan tersebut menimbulkan banyak kelemahan
dalam RUU Pilkada. Oleh karena itu Susilo Bambang Yudhoyono memberi
opsi dengan 10 perbaikan yakni:65
1. Ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik dapat mencegah
calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat
tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang
bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik
semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang
untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun Walikota.
2. Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena
dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.
3. Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa
lebih dihemat dan untuk mencegah benturan antar massa.
4. Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang
sering disalahgunakan. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
indikasi korupsi.
5. Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol
yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan
korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini.
65
www.hukumonline.com diakses pada tanggal 30 Mei 2015
57
6. Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik
dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku
fitnah perlu diberikan sanki hukum.
7. Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang
menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas dari
pemilihan kepala daerah.
8. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat
Pilkada calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh
aparat birokrasi tersebut.
9. Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti, dan tidak
berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak
terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penyuapan.
10. Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan
hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-
aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.
Dengan usulan 10 perbaikan yang dijelaskan di atas maka, Susilo
Bambang Yudhoyono menegaskan dirinya dan Partai Demokrat mendukung
RUU tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan 10
perbaikan, agar tidak dipaksakan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD atau pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Hal ini
58
menimbulkan besarnya desakan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia yang
menginginkan Pilkada secara langsung.
Pada tanggal 25 September 2014 DPR menggelar rapat paripurna
pengesahan RUU Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada
dengan opsi pemilihan melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota. RUU
Pilkada dimungkinkan tidak akan disahkan oleh DPR apabila Partai mayoritas
di parlemen yakni Partai Demokrat tidak melakukan walkout. Keputusan
walkout Partai Demokrat bukan tanpa alasan, melainkan tidak disetujuinya
usulan 10 perbaikan untuk RUU Pilkada oleh Parlemen. Akibat dari
keputusan walkout membuat tidak kuatnya suara di parlemen untuk
mendukung RUU Pilkada secara langsung, dan secara langsung disahkan atas
perolehan suara terbanyak.
Kemudian pada tanggal 2 Oktober 2014 Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Presiden menyerahkan dua Perpu kepada DPR atas pengesahan
Undang-Undang Pilkada yang disahkan pada tanggal 26 September 2014.
Salah satunya Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan
Gubenur/Bupati/Walikota sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang
mengatakan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada
pemilihan kepala daerah tak langsung oleh DPRD.
59
Keputusan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Perpu di
sinyalir akan mendapat penolakan terutama dari Koalisi Merah Putih, yang
untuk saat itu menguasai Parlemen. Masalah lain adalah Perpu harus
mendapat persetujuan DPR. Jika dihitung-hitung secara matematika, maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:66
Dugaan ditolakanya Perpu No. 1 Tahun 2014 oleh DPR akhirnya
terbantahkan. Babak baru perjalanan Perpu No.1 Tahun 2014 berakhir dengan
disahkannya Perpu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perpu No. 2 Tahun
2014 tentang Pemda menjadi Undang-Undang. Dengan disahkanya oleh DPR
maka rakyat kembali bisa memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Wali Kota-
Wakil Wali Kota, Bupati-Wakil Bupati secara langsung. Presiden Susilo
66
www.masshar2000.com diakses pada tanggal 28 Mei 2015
NO SETUJU PERPU TIDAK SETUJU
1 PDI-P (109 Kursi) Golkar (91 kursi)
2 Demokrat (61 kursi) Gerindra (71 kursi)
3 PKB (47 kursi) PAN ( 49 Kursi)
4 Nasdem (35 kursi) PKS (40 kursi)
5 Hanura (16 kursi) PPP (39 kursi)
Total 268 kursi 290 kursi
60
Bambang Yudhoyono pada saat itu harus melakukan pendekatan politik
kepada sejumlah pimpinan partai agar Perpu bisa mendapat persetujuan oleh
DPR. Langkah yang diambil menurut Sacipto Rahardjo adalah pengertian
politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam masyarakat yang
cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar.67
B. Perbedaan Pendapat Dalam Memahami Perpu No 1 Tahun 2014 Terkait
Dengan Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
Pada pembahasan sebelumnya unsur politik menjadi kekuatan yang
besar pengaruhnya terhadap perjalanan Perpu No.1 Tahun 2014, seperti yang
dijelaskan Prof. Moh. Mahfud MD, hukum dipandang sebagai dependent
variable (Variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai
independent variable (Variabel berpengaruh)68
. Terlepas dari unsur politik di
parlemen pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Penulis lebih
menekankan alur permasalahan hukumnya. Aturan UUD 1945 menjelaskan
keberadaan Perpu adalah hak Presiden yang diakomodir dalam Pasal 22 UUD
1945 Amandemen ke empat, menyatakan “dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
67
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h.352
68
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, cet-4, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 10
61
pengganti Undang-Undang”. Seperti halnya penerbitan Perpu No.1 Tahun
2014 dianggap sebagai langkah terbaik bagi negara dalam keadaan genting
dan memaksa atas dasar desakan dan kehendak rakyat Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah yang berhak
menafsirkan Perpu No 1 Tahun 2014 itu dalam keadaan genting yang
memaksa dan apa yang menjadi tolak ukurnya? Prof. Jimly menyatakan yang
menilai suatu keadaan yang genting dan mendesak tersebut adalah
subjektifitas dari Presiden. Meski begitu tentu diperlukan pertimbangan-
pertimbangan yang matang agar subjektifitas itu tidak disalahgunakan, dalam
arti ketika diterbitkan hanya semata-mata ditujukan untuk kepentingan bangsa
dan negara.69
Permasalahan mengenai tolak ukur hal ihwal kegentingan yang
memaksa dari Perpu No. 1 Tahun 2014 menimbulkan banyak perbedaan
pendapat. Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi
ketika suatu Perpu dikeluarkan oleh seorang Presiden. Berikut beberapa
pernyataan mengenai tolak ukur hal ihwal kegentingan yang memaksa Perpu
No. 1 Tahun 2014, yakni:
1. Menurut Prof. Dr. Saldi Isra, terlepas dari perbedaan sikap dalam
memandang Perpu No. 1 Tahun 2014, pilihan politik untuk menyetujui
69
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 101
62
produk hukum yang lahir dari hak subjektif presiden ini jelas merupakan
upaya untuk memulihkan kedaulatan rakyat dalam memilih kepala daerah.
Kemudian jika dibaca risalah pembahasan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,70
maksud frase “dipilih secara demokratis” sama dengan model pemilihan
presiden dan wakil presiden. Dalam hal tindak lanjut Perpu, Pasal 52 ayat
(3) UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa DPR hanya memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu. Jika DPR
setuju, Perpu ditetapkan menjadi Undang-Undang. Artinya, secara
konstitusional, tindak lanjut Perpu untuk memenuhi Pasal 22 UUD 1945
tidak memungkinkan dilakukan perubahan substansi.
Mengenai Perpu No 1 Tahun 2014, yang harus diperdebatkan
dalam proses pembahasannya adalah alasan-alasan Presiden sebagaimana
tertuang dalam konsideran menimbang. Dalam hal ini, apakah alasan
menghormati daulat rakyat, perbaikan mendasar atas berbagai masalah
pemilihan langsung, dan penolakan luas rakyat benar-benar telah
menimbulkan kegentingan yang memaksa? Secara hukum, untuk menilai
kondisi kegentingan yang memaksa tersebut DPR dapat menggunakan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/ PUU-VII/2009. Merujuk pada
putusan ini, Perpu diperlukan apabila adanya keadaan kebutuhan
70
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.”
63
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai
untuk menyelesaikan masalah, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi
dengan membuat Undang-Undang secara prosedur karena memerlukan
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu dengan
segera untuk mendapatkan penyelesaian. Berdasarkan pada putusan MK
tersebut, sangat terbuka kemungkinan memperdebatkan alasan subjektif
presiden dalam menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2014. Namun jika dilacak
dan ditelusuri semua Perpu yang pernah ada dan kemudian disetujui
menjadi Undang-Undang, sebagian besar dapat dinilai tidak memenuhi
alasan objektif ditetapkannya Perpu. Artinya pengalaman selama ini
proses persetujuan Perpu lebih banyak ditentukan oleh “komunikasi”
presiden dan kekuatan politik di DPR.71
2. Menurut H. M. Helmi Faisal Zaini (Pimpinan Fraksi PKB di DPR Periode
2009-2014) menyatakan bahwa sikap yang jelas, tegas dan terang, yaitu
mendukung penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Demokrasi yang berprinsip pada kedaulatan rakyat hanya bisa ditegakkan
jika pemimpin daerah dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditentukan oleh
wakil-wakil rakyat. Pilkada secara langsung lebih memberikan jaminan
71
http://www.rumahpemilu.org Persetujuan Perpu Pilkada oleh Saldi Isra diakses
pada tanggal 13 Juni 2015
64
pada peningkatan dan perluasan partisipasi politik rakyat, pembentukan
kultur politik yang lebih matang, pembelajaran kompetisi politik yang
sehat, fair, dan terbuka serta memberikan peluang yang lebih besar bagi
individu-individu berkualitas untuk naik ke tangga puncak kepemimpinan
daerah.
Secara historis harus diingat bahwa pemilukada secara langsung
pada mulanya muncul sebagai antitesa atas pemilihan kepala daerah yang
sebelumnya berlangsung tertutup, terbatas, elitis dan sarat dengan kolusi.
Ketika jarum sejarah yang sudah bergerak maju itu hendak diputar
kembali ke belakang melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur
pemilukada dikembalikan lagi lewat DPRD, maka wajar jika kemudian
muncul penolakan dan protes meluas di masyarakat. Pemilukada oleh
DPRD dianggap sebagai keputusan anti demokrasi, maka Perpu No. 1
Tahun 2014 adalah pilihan yang terbaik bagi masa depan demokrasi di
Indonesia.72
Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun
2014 sebagai langkah tepat untuk mempertahankan kedaulatan rakyat dalam
memilih pemimpinnya. Maka ketika banyak penolakan dan desakan dari
rakyat atas pemilihan secara tidak langsung dianggap menjadi suatu alasan
sebagai keadaan yang mendesak dan kegentingan yang harus diselesaikan
72
www.fpkb-dpr.or.id diakses pada tanggal 22 Mei 2015
65
dengan cepat. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau dengan
perwakilan DPRD dinilai sebagai langkah mundur dari apa yang sudah
dilakukan bangsa ini yang sudah menjadikan demokrasi langsung sebagai
suatu langkah maju. Kesimpulanya Perpu lebih banyak ditentukan oleh
“komunikasi” presiden dan kekuatan politik di DPR dilihat dari pengalaman
beberapa Perpu yang disahkan oleh DPR. Hukum dipandang sebagai
dependent variable (Variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan
sebagai independent variable (Variabel berpengaruh)73
.
Pernyataan kontra terhadap dikeluarkanya Perpu No. 1 Tahun 2014
membuat para pakar hukum tata negara memberikan argumentasinya, yakni
sebagai berikut:
1. Menurut Irman Putra Sidin sebaik apapun materi sebuah Perpu,
perdebatan pertama dan utamanya adalah apakah Perpu tersebut telah
memenuhi syarat hal ihwal kegentingan memaksa menurut Pasal 22 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Hal ini yang menjadi
acuan pertama dan utama baik DPR dan Mahkamah Konstitusi guna
menilai Perpu tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota inkonstitusional, bahkan bisa
dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut karena perpu
tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan
73
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, h. 10
66
Perpu, yakni hal ihwal kegentingan memaksa. Jika Perpu tidak memenuhi
syarat tersebut, maka semulia apapun materinya, Perpu itu tidak dapat
disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan harus dinyatakan
inkonstitusional oleh MK. MK sudah memiliki kerangka konstitusional
tentang syarat formil perpu, yaitu pada putusan MK Perkara Nomor
03/PUU-III/2005 hingga Perkara Nomor 1 dan 2/PUU-XII/2014.
Berdasarkan syarat formil tersebut, Perpu sesungguhnya memiliki syarat
umum dan syarat khusus yang harus terpenuhi oleh Presiden untuk dapat
mengeluarkan Perpu.74
2. Menurut Andi Muhammad Asrun mengatakan sejumlah norma dalam
Perpu Pilkada tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa. Sebagai
contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan
wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal
ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa. Selain
itu, dengan tidak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 digantikan dengan
UU No. 22 Tahun 2014. Kemudian datang Perpu menyatakan UU No. 22
Tahun 2014 tidak berlaku. Maka akan dipakai yang mana? Ini tidak ada
rujukannya dan tidak jelas. Dengan demikian, Perpu Pilkada telah
menimbulkan ketidakpastian dan tidak mengandung unsur kegentingan
yang memaksa.75
74
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 22 Mei 2015
67
3. Menurut Prof Moh. Mahfud MD mengatakan yang harus wajib diingat
adalah syarat disahkannya suatu Undang-Undang adalah dengan
persetujuan bersama dari DPR dan Presiden dalam suatu rapat paripurna
yang dijelaskan dalam Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011. Ini berarti bahwa
segala hak veto Presiden sudah diatur pada saat rapat paripurna yang
menyetujui Undang-Undang tersebut. Pasal 69 Ayat (3) UU No. 12 Tahun
2011 bahkan sudah jelas menegaskan bahwa apabila RUU tidak disetujui
bersama antara Presiden dan DPR, maka RUU tersebut tidak dapat
diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu. Dengan kata lain,
satu-satunya alasan mengapa Undang-Undang Pilkada bisa lolos di
pertengahan tahun 2014 adalah karena Undang-Undang tersebut sudah
disetujui secara bersama-sama oleh DPR dan Presiden. Maka jangan
dilupakan, Undang-Undang tersebut tidak bisa dikeluarkan jika Presiden
dan DPR tidak menyepakati isinya. Dengan demikian menjadi tidak
masuk akal ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kemudian seenaknya tanpa ada kegentingan yang memaksa mengeluarkan
Perpu Pilkada yang mencabut Undang-Undang yang sudah disetujuinya
sendiri.76
Pernyataan tersebut memberikan pandangan bahwa Perpu No. 1 Tahun
2014 inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan penyalahgunaan
76 https://www.selasar.com politik perpu pilkada diakses pada tanggal 22 Mei 2015
68
kewenangan. Hal tersebut karena Perpu tidak memenuhi syarat formil yang
menjadi syarat mutlak pembentukan Perpu, yakni hal ihwal kegentingan
memaksa. Sebagai contoh Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur,
wakil bupati, dan wakil walikota, ini tidak ada kegentingan memaksa untuk
mengatur hal ini, hal ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa.
C. Analisis Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota
Lahirnya suatu peraturan adalah berdasarkan cita-cita masyarakat yang
ingin dicapai yang dikristalisasikan didalam tujuan negara, dasar negara dan
cita-cita hukum.77
Alasan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu
No. 1 Tahun 2014 adanya desakan dari masyarakat Indonesia untuk tetap
melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menilai telah cermat menggunakan hak konstitusional
untuk menerbitkan Perpu ini. Beliau merumuskan kegentingan yang memaksa
melalui pertimbangan yang matang dan mendengarkan dengan seksama
aspirasi rakyat yang sangat kuat untuk menolak Pilkada tidak langsung.
Beliau berpandangan setiap Rancangan Undang-Undang yang disusun
haruslah mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Penolakan luas
yang ditunjukkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia harus disikapi dengan
77
Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2011), h.20
69
tindakan yang cepat, dan salah satunya dengan menerbitkan Perpu ini. Sebuah
Undang-Undang yang mendapatkan penolakan yang kuat dari masyarakat,
akan menghadapi tantangan dan permasalahan dalam implementasinya.
Kekuasaan atau kewenangan Presiden untuk menetapkan Perpu itu
juga harus memenuhi persyaratan yang bersifat materil yaitu apabila negara
dalam situasi keadaan kegentingan yang memaksa. Memang dalam UUD 45
dan UU No 12 Tahun 2011 tidak memberikan rumusan atau tafsir yuridis
tentang kategori hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang
dimaksud. Namun secara akademik dapat dirumuskan kegentingan yang
memaksa diharuskan ada situasi bahaya atau situasi genting, kemudian adanya
situasi bahaya atau genting mengancam keselamatan negara jika pemerintah
tidak cepat mengambil tindakan hukum konkrit, dan adanya situasi yang
sangat mendesak sehingga diperlukan tindakan pembentukan hukum
pemerintah tanpa menunggu mekanisme DPR.
Perpu sebagai solusi yuridis atas penolakan sebagian warga negara
terhadap Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan DPR dan belum masuk
lembaran negara. Analisis dari hal tersebut yakni, Undang-Undang Pilkada
adalah produk hukum yang merupakan persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden, jika persetujuan bersama maka presiden dalam hal ini pemerintah
tidak memperhatikan azas-azas pembentukan peraturan perudang-undangan.
70
Akibat hal itu Presiden mempermalukan lembaganya sendiri dan kurang
cermatnya dalam pembahasan dan persetujuan bersama. Kemudian Undang-
Undang yang ditetapkan tanpa persetujuan bersama adalah produk hukum
bersifat cacat prosedur.
Melihat pandangan dari Susilo Bambang Yudhoyono, penolakan yang
ditunjukkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia harus disikapi dengan
tindakan yang cepat dan salah satunya dengan menerbitkan Perpu ini. Alasan
yang digunakan adalah penolakan dari masyarakat, masih teringat betapa
masifnya penolakan dari masyarakat ketika kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gerakan terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, tetapi harga BBM tetap
saja naik. Tidak ada Perpu yang keluar pasca kenaikan harga BBM untuk
menjaga hak-hak kesejahteraan warga negara dan hal ini berbanding lurus
dengan penolakan terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung
yang juga menyangkut hak-hak dasar warga negara. Artinya ketika penolakan,
desakan, dan ketidakpuasan yang timbul dari masyarakat bukan menjadi
alasan sebagai suatu kegentingan yang memaksa.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran
terhadap keadaan genting memaksa melalui putusan pada sidang perkara
nomor 138-PUU-VII-2009, sebagai berikut :
71
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada yang mengatur
sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-undang tetapi tidak
memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
untuk diselesaikan.
Menurut penulis pertimbangan Putusan MK tersebut dapat dijadikan
preseden dalam menjawab tepatkah Perpu ini diterbitkan dalam rangka
membatalkan RUU Pilkada yang baru saja disahkan. Perpu yang dijadikan
sebagai alasan penyelesaian masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang menurut penulis belum saatnya, karena sebagaimana
diketahui pasca disahkannya RUU Pilkada telah diajukan judicial review ke
MK. Di sini lah nantinya akan dilakukan uji materil terhadap RUU Pilkada
tersebut. Begitupun jika dilihat dari segi kekosongan hukum atau hukum yang
ada tidak memadai, tentunya hal ini tidak bisa dijadikan landasan.
72
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
paparkan pada bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Kedudukan “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam pembuatan
Perpu No.1 Tahun 2014 dinilai tidak memenuhi asas tersebut karena
hanya berdasarkan dari desakan masyarakat Indonesia untuk tetap
melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
2. Tolak ukur Presiden dalam pembuatan Perpu adalah Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 yang intinya adanya keadaan
yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada yang
mengatur sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-undang
tetapi tidak memadai, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi
dengan cara membuat undang-undang secara prosedur karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
72
73
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
paparkan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Dalam hal dikeluarkanya Perpu No. 1 Tahun 2014, sebaiknya Presiden
perlu mempertimbangkan secara cermat di dalam pembahasan RUU
Pilkada dengan DPR sebagai langkah preventif, bukan mengeluarkan
sebuah Perpu sebagai langkah represif. Presiden sebaiknya
memperhatikan unsur kegentingan yang lain, tidak hanya berasal dari
desakan rakyat Indonesia saja namun unsur ancaman yang
membahayakan, unsur yang mengharuskan, dan unsur keterbatasan waktu.
2. Tolak ukur dikeluarkanya Perpu oleh Presiden sebaiknya mengandung
kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan MK dengan putusanya No
138/PUU-VII/2009 mengenai tafsiran asas kegentingan yang memaksa.
Presiden sebaiknya selalu berkordinasi dengan seluruh menteri-
menterinya agar tolak ukur dikeluarkanya Perpu menjadi berkualitas.
Kemudian DPR yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap Presiden
harus lebih cermat dalam melihat tolak ukur dari setiap Perpu yang
dikeluarkan oleh Presiden.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmad, Imam. di kalam Musnadnya Juz I
Asshidiqie, Jimly. “Hukum Tata Negara Darurat”, edisi ke-1, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007;
. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika, 2011;
. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2006;
Asikin, Amirudin dan Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004;
Black, Henry Campbell. Black’S Law Dictionary, West Publishing, 1990;
Community, Green Mind. Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta:
Total Media, 2009;
Dictionary, Webster‟s New World. Collage Edition, New York: The World
Publishing Company, 1962 h. 1153 dalam Harun Al Rasid, Pengisian
Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999;
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradlian Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah. Bandung: Alumni,2004;
Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2007
Ghofar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana, 2009;
Hadjon, Philipus M. “Tentang Wewenang Pemerintahan
(Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998;
. “Pengantar Hukum Administrasi Negara”, Cetakan-3,
Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 1994;
74
75
. “Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII,
September – Desember, 1997;
Hidjaz, Kamal. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Makasar: Pustaka Refleksi, 2010;
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006;
. Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2008;
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,
Malang : Bayumedia Publishing, 2008;
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1994;
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan-1,
Bandung: Nusamedia, 2006;
Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, Cetakan II, Jogjakarta : FH UII Pres
2008;
. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1997;
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cet.VI, Jakarta: Kencana,2010;
MD, Moh. Mahfud. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi , Yogjakarta, Gama
Media, 1999;
. Politik Hukum Di Indonesia, cet-4, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009;
. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011;
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997;
Mubarok, Jaih. Kaidah fiqih, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002;
76
Narang, Agustin Teras. Reformasi Hukum: Pertanggungjawaban Seorang
Wakil Rakyat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003;
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan-
6, Jakarta: Dian Rakyat, 1989;
Prins, W.F. Buitengewone Regelingsbevoegdheden in het indische staatsrecht,
Ind. Tijdschrift van het Recht, 1991;
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991;
SA, A. Hamid. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, Jakarta: Disertasi, 1990;
Scheppele, Kim Lane. Law In A Time Of Emergency: States Of Exception And
The Temptations Of 9/11, HeinOnline- 6 U. Pa. Journal Of
Constitutional Law, Vol.6:5, 2003-2004;
Soeharyo, Salamoen & Nasri Effendy. Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara, 2006;
Soeprapto, Maria Farida Indarti. Ilmu Perundang-Undangan “Dasar-Dasar
dan Pembentukanya”, Cet. XI. Jakarta : Kanisius, 2006;
. Ilmu Perunang-Undangan: Jenis, Fungsi, Materi Muatan,
Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007;
. Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik
Pembentukanya, Jakarta: Kanisius, 1998;
Stroink, E.A.M. dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief
Recht Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985;
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cetakan-2,
Jakarta,Gramedia Pustaka Utama,2004;
Syafrudin, Ateng. “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
Bersih dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,
Bandung, Universitas Parahyangan, 2000;
77
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Putusan:
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 Tentang Pertimbangan Mengenai Hal
Ihwal Kegentingan Yang Memaksa
Internet:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt525d4a626827f/prosedur-
penolakan-dan-pencabutan-perpu
http://www.demokrat.or.id/2014/10/inilah-pokok-pokok-perpu-pilkada,
http://www.rumahpemilu.org Persetujuan Perpu Pilkada oleh Saldi Isra
http://www.masshar2000.com
http://www.fpkb-dpr.or.id
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
http://www.selasar.com politik perpu pilkada