Upload
ledan
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Permasalahan
Ada yang mengatakan, “Dunia ini panggung sandiwara”. Banyak cerita, banyak peran. Lelaki
dan perempuan, beradu dalam panggung kehidupan. Terkadang, mereka memainkan peran
bahagia, terkadang derita. Ada kalanya mereka harus menangis, dan kemudian tertawa.
Kehidupan memberikan sejuta alasan untuk manusia bertahan, termasuk dalam penindasan.
Kehidupan juga “menawarkan” pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Kehidupan
memberikan jarak dan tak mengijinkan waktu untuk berhenti dan merenungkan ketidakadilan
yang terjadi atas kehidupan, juga atas mereka yang sedang menghidupi kehidupan ini. Disadari
atau tidak, manusia-manusia yang mempunyai kekuasaan atas kehidupan ini sedang giat
membangun ruang yang memenjarakan manusia lain. Status sosial, status ekonomi, pembagian
kerja dan budaya patriakal turut membentuk jurang yang memisahkan kemanusiaan. Dominasi
terhadap kaum tertentu seakan menjadi budaya baru. Realitanya, perempuan sebagai kaum yang
diciptakan sebagai rekan sekerja yang setara dengan laki-laki malah menjadi budak penindasan
oleh laki-laki dan kebudayaan. Budaya dominasi laki-laki yang merajai hampir seluruh aspek
kehidupan “keperempuanan” inilah yang selama ini dibungkam. Namun, kehidupan ini masih
dan akan terus berjalan untuk perjuangan sebuah kebebasan. Agaknya, suara perempuan di era
globalisasi ini terus lantang berdengung tentang kesetaraan. Menggebrak budaya partiaki yang
sekian lama berkobar membakar setiap kebebasan kaum perempuan, bahkan membakar harga
diri perempuan.
Dewasa ini mulai muncul pemikiran tentang feminisme sebagai upaya untuk memanusiakan
perempuan yang telah lama “menderita” dan ditindas oleh struktur, menggugat ketidakadilan
atas perempuan yang didiskriminasikan karena jenis kelaminnya selama berabad-abad oleh
karena sistem masyarakat patriakhi. Identitas keperempuanan inilah yang sering dipandang
sebelah mata. Identitas merupakan hal yang sering kita anggap bahwa kita sudah memahaminya,
namun sulit ketika kita harus memberi batasan tentangnya. Identitas dipengaruhi oleh banyak
hal, salah satunya adalah budaya. Budaya adalah realita tak terelakkan yang turut membangun
citra seseorang dalam kehidupan. Perempuan adalah contoh nyata manusia bentukan budaya
yang selama ini tanpa perlawanan melanggengkan setiap tindakan yang menjungkirbalikkan
martabat mereka sendiri. Identitas perempuan memang tak seutuhnya murni berdiri diatas kaki
©UKDW
4
mereka sendiri. Sebagai makhluk sosial, identitas perempuan turut dibentuk oleh orang lain
(laki-laki).
Sebagai manusia Asia, setidaknya ada tiga konteks yang kita hidupi, yakni konteks Alkitab,
konteks tradisi sistematis dan konteks kita di masa kini. Kecenderungannya adalah selalu ada
pemisahan antara ketiga teks tersebut, yang sejatinya bertemu dalam konteks yang kita hidupi.
J. Fokkelman mengatakan bahwa:
Di dunia ini mungkin terdapat ribuan teks yang tetap tersembunyi atau bahkan sudah terlupakan.
Ratusan diantaranya adalah teks-teks yang bermutu tinggi dari sudut pandang sastra atau
merupakan bagian dari teks-teks yang menjadi pedoman bagi suatu kehidupan (jemaat beriman).
Namun demikian, kita baru dapat menemukakan makna yang terkandung dalam teks-teks itu
apabila kita dapat meneliti bahasa yang digunakan. Tanpa hal itu, makna atau isi teks akan tetap
tinggal tersembunyi. Singkatnya, sebuah teks baru menjadi sebuah karya ketika teks itu bekerja
dalam diri seseorang. Tanpa hal itu, makna atau isi teks akan tetap tinggal tersembunyi.1
Penulis setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Fokkelman, bahwa ada banyak teks yang
keberadaannya masih tersembunyi dan terlupakan. Artinya, teks-teks tersebut tidak berbicara
pada kehidupan. Padahal, ketika menggali lebih dalam teks yang tersembunyi tersebut, mungkin
pembaca akan menemukan sesuatu yang bisa berdialog dengan kehidupannya. Proses penemuan
makna inilah yang kurang dilakukan oleh pembaca Alkitab, sehingga masih banyak teks dalam
Alkitab yang dianggap tidak penting atau setidaknya ada bagian yang dianggap tidak berkaitan
dengan bagian sesudah atau sebelumnya.
Sebagai penerima warisan tradisi Alkitab, penulis menyadari bahwa pemaknaan teks Alkitab
secara baru dan dinamis adalah sesuatu yang tidak mudah. Budaya patriakhal yang mewarnai
teks Alkitab menambah tantangan dalam proses pemaknaan, apalagi ketika membaca teks-teks
mengenai perempuan. Pembacaan Alkitab yang terlalu “kaku” (artinya, hanya mewarisi cara
pandang patriakhal dan tidak terbuka terhadap cara pandang yang lain) membuat manusia lupa
bahwa Alkitab adalah bagian dari pengalaman kehidupan, dan setiap manusia mempunyai
kebebasan dengan pengalamannya masing-masing. Pengalaman inilah yang nantinya penting
untuk membentuk sebuah teologi yang kontekstual untuk konteks tertentu, juga Asia bahkan
Indonesia.
Kehidupan kita saat ini tidak pernah terlepas dari sejarah masa lalu, dan sejarah masa lalu turut
dipengaruhi oleh cerita-cerita rakyat yang sangat kental dengan nilai dan budaya ketimuran.
Pentingnya sebuah kesadaran akan keberadaan diri dengan konteks yang kaya akan kekayaan
1J. Fokkelman, Di Balik Kisah-kisah Alkitab: Menuntun Membaca Narasi Alkitab sebagai Karya Sastra (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008) h. 17
©UKDW
5
cerita rakyat yang menyimpan kearifan tersendiri dan tentunya sesuai dengan konteks
masyarakat Indonesia, karena nilai itu pernah ada dan dihidupi. Inilah yang menjadi titik pijak
untuk menggugah kesadaran pentingnya mendialogkan tradisi cerita yang sarat nilai kehidupan
sebagai pengalaman hidup dengan cerita Alkitab sebagai pengalaman kehidupan beriman.
Pui-lan mengatakan bahwa, “The historical-critical method of interpretation, which grew out of
an Eurocentric culture, must be critically judged from the experiences of local interpretive
communities”.2 Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pui-lan, bahwa metode historis-
kritis yang diwariskan oleh orang barat (Eropa) harus ditinjau ulang. Pui-lan mengingatkan
bahwa pengalaman manusia menjadi sesuatu yang penting untuk didialogkan dengan teks
Alkitab. Kritik Pui-lan itu mempunyai dasar, karena cara berteologi orang-orang Asia kurang
memberi tempat pada cerita tradisi konteks Asia dan cenderung berkiblat pada cara berteologi
barat yang seakan memutlakkan bahwa hanya ada satu sudut pandang yang dianggap sah, yakni
sudut pandang barat.
Sebagai bangsa Indonesia, bagian dari Asia, penulis mempunyai keprihatinan yang sama, bahwa
kekayaan teks yang ada di Indonesia tidak dilihat sebagai celah untuk berdialog dengan teks
Alkitab. Penulis berpendapat bahwa manusia kristen Asia masih hidup dalam dikotomi, bahwa
teks non-Alkitab adalah bagian yang terpisah dari kehidupan orang Kristen. Hal inilah yang
menjadi tantangan dalam proses berdialog. Sebagai manusia Asia, penulis harus terbuka dan
mengakui bahwa penulis memang hidup dalam dua teks tersebut (teks Alkitab dan teks Asia).
Keduanya menjadi penting karena turut membentuk manusia Asia. Dengan menyadari bahwa
kehidupan manusia Asia dibentuk oleh kedua teks tersebut, maka bukan menjadi hal yang
mustahil untuk mempertemukan keduanya dalam sebuah diskursus hermeneutis teologis.
1. 2. Permasalahan
Sebagai perempuan Asia, Pui-lan mengkritik penginterpretasian Alkitab yang menggunakan
metode historis-kritis yang menurutnya muncul dari Eropa (Barat). Oleh karena itu perlu adanya
pencerahan yang dilakukan Gereja untuk penggunaan doktrin Alkitab. Menurutnya, metode
historical-critical adalah produk ideologi yang dimunculkan oleh kalangan borjuis liberal, yang
2 Kwok Pui-lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Book, 1995) h. 85
©UKDW
6
dipertimbangkan sebagai temuan fakta dan itu bebas nilai dalam berbagai sekolah Alkitab.3
Asumsinya, metode historis kritis bisa merekonstruksi apa yang pernah terjadi.
Penulis setuju dengan apa yang menjadi kritik Pui-lan bahwa metode pembacaan teks secara
hitoris-kritis harus dikritisi, karena hal itu membatasi pemaknaan teks. Terlebih untuk konteks
Asia, dimana pembacaan terhadap teks-teks Alkitab masih selalu mengharapkan adanya hikmah
yang timbul dari pembacaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memaknai ulang
setiap teks yang menyudutkan kaum tertentu, atau yang membuat posisi tidak seimbang. Dengan
mengusung semangat kesetaraan, penulis ingin menawarkan model pendekatan hermeneutis
teologis yang (mungkin) akan memberi makna “lain” pada teks. Kajian hermeneutis terhadap
Alkitab menjadi perhatian penting, mengingat keberadaan teks Alkitab masih sangat
mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, proses pembacaan dan pemaknaan
(kembali) menjadi diperlukan.
Eben Nuban Timo mengatakan bahwa:
Sebagian besar cerita Alkitab (Perjanjian Lama) mengenai perempuan-perempuan hanyalah
berupa potongan-potongan yang berdiri sendiri. Ada gap4 (kesenjangan) antara potongan yang
satu dengan potongan yang lain, sehingga sulit bagi pembaca (modern) untuk melihat
kesinambungan potongan-potongan tadi. Gap yang paling mencolok tampak dalam hal berikut:
penulis Alkitab hanya memperlihatkan kepada kita “apa” yang perempuan-perempuan itu alami
atau lakukan, tanpa menunjukkan “mengapa” itu bisa terjadi sedemikan rupa.......Teks-teks
tersebut dengan sendirinya menuntut pembaca untuk membuat filling of the gap, mengisigaps....
Dalam usaha melakukan filling of the gaps, ada dua cara yang ditempuh, yakni: (1) spekulasi,
yang berarti memilih latar belakang, membentuk nuansa, dan mengarahkan persepsi pembaca
pada alur cerita dengan bahan yangsama sekali menyimpang dari fakta-fakta yang diajukan teks,
sehingga makna dari teks tertentu serta kesatuan potongan-potongan cerita yang berdiri sendiri
tadi sulit ditemukan. Dan (2) interpretasi, sebagai sebuah usaha memberi setting, membentuk
nuansa, dan mengarahkan persepsi pembaca dengan menggunakan bahan yang diperoleh dari
pemahaman yang mendalam dari semua kesan yang mungkin diperoleh pembaca ketika
menganalisis teks-teks itu.5
Penulis setuju dengan apa yang diungkapkan Eben Nuban Timo, bahwa perempuan dalam
Perjanjian Lama tidak diperlakukan secara adil. Dari uraian diatas, penulis melihat keberadan
3 Dalam bukunya Discovering the Bible in the Non-Biblical World. New York: Orbis Books, 1995, Pui-lan
mengatakan: The historical-critical method of biblical interpretation emerged from a particular religious and
intellectual milieum in Europe. On the one hand, challenged by rationalism and humanism, there was a religious
need wake of the Enlightenment to examine and critique the doctrinal use of the Bible by the church. On the other
hand, biblical scholars lived in an intellectual climate with heightened historical consciousness. They shared a
modern concept of history that was “the ideological product of an emergent bourgeois liberal society. Since then
the historical-critical method, considered to be fact-finding and value-free, has been taken as the standart for biblical
scholarship. h. 85-86 4Gap adalah istilah yang dipakai Eben Nuban Timo dalam bukunya Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan
Tertindas Dalam Alkitab untuk menyebut kesenjangan antara kisah satu dengan kisah yang lain dalam Alkitab.
Yang kemudian akan dipakai dalam tulisan ini untuk menyebut kesenjangan. 5 Eben Nuban Timo, Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan Tertindas Dalam Alkitab (jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), h.13-14
©UKDW
7
perempuan menjadi figur yang tidak diperhitungkan. Banyak perempuan yang namanya tidak
disebutkan dalam Alkitab yang justru mempunyai peranan penting. Atau yang dikenal karena dia
merupakan istri/anak dari seorang laki-laki. Sedangkan keberadaan perempuan pada dirinya
sendiri selalu dipandang sebelah mata. Memang terjadi masalah yang serius dalam pembacaan
Alkitab mengenai perempuan. Oleh karena itu penulis akan menempuh upaya “interpretasi” teks.
Penulis memilih kisah Daud-Batsyeba (2 Samuel 11-12:25; 1 Raja-raja 1:1-52), dengan
Batsyeba sebagai subyek kajian. Berangkat dari keprihatinan bahwa banyak penilaian negatif
dialamatkan kepada Batsyeba. “Sejarah” Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa Batsyeba
adalah seorang perempuan yang ayu parasnya, rela dipersunting raja, sedangkan dia sudah
bersuamikan Uria. Alkitab sendiri (menurut penulis) dengan tidak adil mengabadikan Batsyeba
sebagai bagian dari sejarah yang tak terelakkan. Alkitab hanya merekam apa yang sudah
Batsyeba lakukan tanpa memberi keterangan jelas mengapa hal itu bisa terjadi. Sedang Alkitab
tidak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: apakah Batsyeba seorang perempuan yang
tidak baik yang mencoba untuk menarik perhatian laki-laki lain (bahkan seorang raja) pada saat
suaminya tidak sedang berada dirumah? Apakah ia bermaksud menjerat raja yang sensitif
dengan kecantikan paras perempuan? Ataukah dia adalah seorang perempuan kesepian yang
sedang berusaha mengusir rasa sepi itu? Ataukah dia adalah perempuan yang polos namun
kurang berhati-hati? Ataukah Batsyeba sebenarnya tidak se-polos yang dibayangkan oleh para
pembaca, bahwa ia adalah bagian dari sebuah “konspirasi” besar? Tentu kita tak tahu motif
dibalik “tragedi” itu, dan kita juga tidak bisa menyalahkan Batsyeba karena tidak ada kejelasan
teks. Mungkin keadaannya yang sedemikian rupa sehingga ia memang tidak mengira bahwa ada
orang yang melihatnya.
Adanya gaps mengenai kisah Batsyeba ini membuat para pembaca dengan kebebasan berfikirnya
menilai Batsyeba secara negatif, tanpa mempertimbangkan bahwa dari rahim Batsyeba-lah lahir
raja-raja besar penerus tahta Daud, dan rahim Batsyeba adalah gerbang pertama menuju
kelahiran Sang Juru Selamat dunia, yaitu Yesus.6
6 Lih. Matius 1:6, “.. Daud memperanakkan Salomo dari istri Uria”. Ada kejanggalan dalam teks ini, bahwa
Batsyeba diperkenalkan sebagai istri Uria. Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa Batsyeba dalam Injil Matius
disebut sebagai istri Uria? Hal ini mengindikasikan bahwa Daud (ternyata) memperanakkan Salomo dari istri orang
lain, yakni Uria. Secara eksplisit ingin menekankan keberdosaan Daud (dan Batsyeba). Dalam bukunya Ketegaran
Menghadapi Krisis Identitas (suatu Studi terhadap Silsilah Yesus dan Maknanya Bagi Komunitas Matius), Samuel
Hakh mengatakan bahwa pemahaman silsilah mengenai Mesias dari keturunan Daud memainkan peranan yang
penting dalam Perjanjian Baru. Mengutip pendapat Ferdinand Hahn, Samuel Hakh mengatakan bahwa kedekatan
Mesias (Yesus) dengan Daud itu bersumber dari janji Allah kepada Daud (2 Sam. 7:16), yang kemudian
dinubuatkan oleh para nabi. Hans menegaskan bahwa tidak dapat disangkali adanya harapan mesianik dari garis
keturunan imam dalam tradisi Yahudi. Tetapi harapan tentang seorang Mesias dari keturunan Daud tetap menduduki
©UKDW
8
Sebagai bagian dari manusia Asia, dengan melihat konteks Indonesia (khususnya) yang
merupakan negara majemuk, kaya akan ragam budaya, yang menyimpan kearifan lokal,
menyimpan kekayaan teks-teks yang hidup dalam masyarakat, penulis sadar bahwa teks-teks
Asia ini belum mendapatkan tempat yang semestinya, dianggap sebagai bagian yang terpisah
dari kehidupan. Inilah yang keliru, justru teks ini (seharusnya) berbicara! Menyadari konteks
dimana penulis hidup, dalam kerangka pembacaan teks Alkitab dan teks Asia (yang dua-duanya
menurut penulis kurang diperlakukan secara adil oleh pembaca), penulis melakukan proses
cross-textual hermeneutic.
Penulis memilih novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer, sebagai representasi teks
Asia untuk berdialog dengan kisah Daud-Batsyeba. Disini, Dedes menjadi subyek kajian.
Dikisahkan bahwa Dedes adalah seorang brahmana-keturunan, putri seorang brahmana bernama
Mpu Parwa. Singkatnya, Dedes dipersunting –secara paksa- oleh Tunggul Ametung yang adalah
seorang dari kasta Sudra (kasta rakyat jelata/budak) yang disatryakan oleh karena ia menjadi
seorang akuwu Tumapel. Dedes yang awalnya tidak mau menerima kenyataan bahwa ia sudah
dipersunting oleh seorang yang berkasta lebih rendah (yang berarti juga sebuah penghinaan),
akhirnya menyadari bahwa dalam ‘ketertindasannya’, ia mempunyai semangat untuk bangkit.
Bangkit memperjuangkan martabatnya sebagai seorang perempuan, juga martabat kaum
brahmana yang selama ini tidak dihormati keturunan Raja Erlangga, raja pertama yang mulai
tidak mengindahkan ajaran agama Hindu.
Perannya sebagai seorang Pramesywari, membuatnya leluasa bergerak disekitar wilayah
Tumapel. Dedes bersikap manis didepan Akuwu Tumapel hanya untuk menutupi rencana
besarnya menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung (atau balas dendam?). Dan kedatangan
Arok, sebagai tokoh utama dalam novel karya Pram, semakin memuluskan jalan Dedes untuk
merebut kekuasaan. Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional7 (terkait kutukan keris
empu Gandring yang memakan tujuh turunan). Ditangan Pram, ini adalah roman politik
seutuhnya. Tokoh-tokoh utama yang tidak pernah menggunakan tangannya sendiri untuk
membunuh setiap lawannya. Licik nan cerdik! Tragedi berdarah, tapi para pembunuh (yang
sejati) bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Dari rahim Dedes lahirlah raja-raja
besar pulau Jawa.
posisi penting. Motivasi Injil Matius adalah membangun suatu kontinuitas janji Allah dari Abraham kepada Yesus.
Penulis injil Matius melakukannya untuk mengabsahkan identitas komunitasnya dengan mengakarkan tradisi
mereka jauh ke dalam tradisi bapa-bapa leluhur dngan menampilkan Yesus sebagai Pewaris janji itu. 7 Istilah yang digunakan Lentera Dipantara yang untuk menunjukkan kutukan keris Empu Gandring yang tidak
masuk akal.
©UKDW
9
Dari kedua perempuan ini, dari dua tradisi yang berbeda, hadir dalam waktu yang berbeda,
namun sama-sama ada ‘penindasan’ disana. Batsyeba yang (mungkin) tertindas karena tidak bisa
menolak keinginan Raja, ‘memilih bungkam’ dan membiarkan pembaca seenaknya melayangkan
setiap tafsiran negatif terhadapnya. Sedangkan Dedes, tidak tinggal diam untuk setiap
ketidakadilan yang ia alami.
Adanya gap diseputaran kisah Batsyeba memang tak terhindarkan. Penulis ingin mengajak
pembaca melihat celah ini untuk melakukan apa yang ditawarkan oleh Archie Lee, yakni
interpretasi teks Alkitab dengan menggunakan metode lintas-pembacaan (cross-textual).
Dengan konteks realitas Asia yang beragam, kata konteks mungkin akan membantu untuk
menjelaskan secara dinamis dalam strategi hermeneutik ini. Point-nya adalah dalam konteks
Asia terdapat beragam teks yang hidup.
Pembacaan Alkitab secara cross-textual di Asia datang dengan orientasi tunggal
Alkitab dan struktur kepercayaan di Asia yang beragam.Teks Asia seharusnya
dihormati dan diperlakukan setara dengan Alkitab dalam upaya untuk
menginterpretasikan Alkitab, memberi makna yang mana selama ini tersembunyi
dan tersingkirkan dalam sejarah penginterpretasi-an Alkitab. Interpretasi teks
secara cross-textual dalam konteks Asia, berinteraksi secara dinamis dan saling
menerangi antara teks Alkitab dan teks Asia.8
Disini yang menjadi teman berdialog adalah kisah Arok Dedes. Untuk mengisi gap ini,
diperlukan adanya imajinasi.
Eben Nuban Timo mengutip apa yang dikatakan oleh C. S. Song dalam buku: Theology from the
Womb of Asia bahwa, imajinasi adalah hal yang dibutuhkan oleh orang Kristen di Asia untuk
membebaskan diri dari kegemukan akibat makanan-makanan teologi dari Barat sehingga mereka
tidak lagi lincah dan gesit di bumi Asia dan memanfaatkan kekayaan budaya, sejarah, tradisi suci
dan agama-agama Asia untuk pengembangan hidup mereka. Imajinasi dibutuhkan agar orang
Kristen Asia dapat bertemu dengan Allah dalam kemanusiaan Asia, untuk mengenal Allah dalam
dunia Asia, untuk dapat merajut sejarah Alkitab dan sejarah Asia, dan bebas untuk bertemu
8 Archie C. C. Lee, “Cross-textual hermeneutics in Asia” dalam Asian Theology on the Way, Ed. By Peniel
Jesudason Rufus Rajkumar, (London: SPCK International Study, 2012), h.35. Cross-textual reading of the Bible in
Asia has to come to terms with the monotheistic/henotheistic orientation of the Bible and the polytheistic stucture of
Asian religious presupposittion....Asian texts should be regarded as being on a par with the Bible in order to bring
out of the biblical text a fuller range of meanings which have been hidden or marginalized in the history of biblical
interpretation.
©UKDW
10
Yesus Juru Selamat dalam kedalaman spiritualitas yang menopang orang-orang Asia dalam
perjalanan panjang dari penderitaan dan harapan mereka.9
Adapun penulisan kajian ini akan dibantu dengan rumusan masalah:
Bagaimana metode hermeneutis cross-textual antara novel Arok-Dedes karya Pramoedya
Ananta Toer (teks Asia) dan kisah Daud-Batsyeba (teks Alkitab), dapat mengisi kesenjangan
dalam pembacaan teks Alkitab, sehingga mampu menjadikan cara berfikir orang Asia yang
lebih berkembang, peka dan terbuka terhadap keberagaman teks dan permasalahan
didalamnya (secara khusus terhadap perempuan –sebagai kaum yang termajinalkan)?
1. 3. Batasan Masalah
(1) Masalah yang dikaji adalah seputar adanya kesenjangan (gap) dalam pembacaan
(pemaknaan) teks Alkitab mengenai perempuan.
(2) Dengan adanya masalah tersebut akan dikaji melalui metode cross-textual untuk
membantu pembaca menemukan filling of the gaps, sehingga pembacaan teks
mengenai perempuan bisa lebih dibaca secara adil.
1. 4. Judul Skripsi
Memoar Perempuan: Perjuangan “Korban” Kekuasaan
(Kajian Hermeneutis Cross-textual antara
Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer dan Kisah Daud-Batsyeba)
1. 5. Penjelasan Judul
Penulis mengusulkan rumusan judul seperti diatas dengan penjelasan demikian:
- Penggunaan kata memoar yang memiliki arti (menurut KBBI) adalah kenang-kenangan
sejarah atau catatan peritiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan
menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan
tentang tokoh yang berhubungan dengannya. Penulis melihat penggunaan kata memoar
menjadi bagian dari judul yang tepat karena dalam proses tafsir lintas-pembacaan (cross-
9 Ungkapan ini dikutip oleh Eben Nuban Timo dalam bukunya Hagar dan Putri-putrinya: Perempuan Tertindas
Dalam Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. h. 14
©UKDW
11
textual interpretation), penulis berperan sebagai “pencerita” yang menceritakan ulang
sebuah kisah melalui perspektif yang lain, sehingga apa yang nantinya menjadi
keberhasilan penulis adalah sebuah cerita baru dan pemaknaan baru terhadap tokoh yang
dibahas dalam cerita tersebut.
- Penulis juga menggunakan kata perempuan untuk disandingkan dengan kata memoar.
Menurut penulis, ketika kata memoar dan perempuan digabungkan menjadi satu frasa,
maknanya akan menunjukkan bahwa perempuan dalam cerita itu sendirilah yang
“memonumenkan” dirinya. Semata-mata bukan penghargaan yang diberikan penulis
kepada perempuan dalam cerita, penulis hanya mempertemukan mereka, dan kisah
merekalah yang membuat mereka pantas menjadi sebuah memoar.
- Penulis menggunakan kata perjuangan karena kata itulah yang mewakili isi dari tulisan
ini, mengenai perjuangan perempuan.
- Penulis menggunakan kata “korban” dan memberi tanda petik pada kata ini dengan
alasan bahwa makna dari korban itu sendiri tidak jelas. Manusia yang sebagai korban
kerap kali tidak mengetahui bahwa posisinya adalah korban, atau bahkan para korban ini
terlalu nyaman dengan status korban. Dan melalui dua perempuan yang akan dibahas
penulis, akan dijelaskan apa itu korban, bagaimana posisinya, dan apa yang bisa mereka
perbuat sebagai korban.
- Penulis menggunakan kata “kekuasaan” untuk menunjukkan superioritas laki-laki
terhadap perempuan. Laki-laki dan kekuasaan adalah simbol bagi penindasan kaum
perempuan dalam kedua teks yang akan dibahas oleh penulis.
1. 6. Tujuan Penulisan
(1) Dengan adanya penulisan ini, diharapkan memunculkan kesadaran bersama bahwa kita
sebagai bagian dari manusia Asia memiliki keunikan tersendiri, yakni hidup dalam
konteks budaya dan teks kehidupan yang beragam. Dan sudah saatnya kita menggunakan
kacamata kita sendiri sebagai manusia Asia dengan bentukan budaya Asia dan hidup di
Asia untuk berteologi secara kontekstual Asia. Bukan menjadi anti-barat, namun
memberi perhatian kepada teks-teks Asia agar bisa berbicara dalam kehidupan kita.
Berlaku adil untuk teks Asia guna didialogkan dengan teks Alkitab, untuk menjawab
setiap ketidakadilan yang terjadi didalam kehidupan konteks Asia.
(2) Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan satu contoh kesenjangan yang terjadi di
Alkitab, yang selama ini kurang mengkritisi oleh pembacanya. Menyadari adanya
©UKDW
12
kesenjangan, yang membuat kita sebagai pembaca dengan serta merta mengisi setiap
kekosongan dari potongan-potongan cerita dengan sesuatu yang negatif terkait dengan
perempuan di Alkitab (khususnya Batsyeba). Untuk itu dengan adanya penulisan ini,
diharapkan bisa mengajak pembaca untuk bisa menciptakan filling of the gap secara lebih
positif terhadap teks yang bersangkutan.
(3) Dengan adanya upaya cross-textual, teks Asia dan teks Alkitab diharapkan bisa saling
berdialog, berjumpa untuk saling melengkapi kekosongan yang ada. Masing-masing teks
dengan kebijaksanaan yang terkandung didalamnya, saling mengkritik dan membangun.
Sehingga diharapkan dari pertemuan keduanya dapat ditemukan cara/alternatif untuk
menjadikan cara berfikir orang Asia lebih ‘berkembang’ dalam pembacaan teks. Bukan
hanya sekedar menjawab permasalahan, sekiranya tulisan ini menjadi model keberhasilan
cross-textual untuk menjawab pergumulan yang lain.
(4) Menghadirkan kajian tentang perempuan tertindas yang berjuang untuk sebuah “nama”,
dalam tulisan ini, perempuan yang menjadi perhatian adalah Batsyeba dan Dedes.
Pemikiran ini berangkat dari nama-nama perempuan di Perjanjian Lama yang
mendapatkan perlakuan yang sama seperti Batsyeba, yakni tidak mendapatkan
pernghargaan sebagai perempuan yang utuh.
1. 7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan mendeskripsikan dan
menganalisis pustaka-pustaka yang berkaitan dengan tema. Yakni hal-hal yang terkait dengan
penafsiran secara naratif-kritis terhadap teks Daud-Batsyeba dan Arok-Dedes. Kemudian
mengupayakan model pendekatan cross-textual sehingga mampu menjawab apa yang menjadi
permasalahan.
Perlu diketahui bahwa, metode cross-textual hampir mirip dialogical-imagination. Walau tak
persis sama, ada perbedaan diantara keduanya.
Arhie Lee mengungkapkan bahwa,
Interpretasi teks secara cross-textual, secara tidak langsung menyiratkan proses crossing
diantara kedua teks selama proses membaca, mengikatnya dalam ketegangan yang
kreatif. Dalam proses tersebut, kedua teks harus menjadi subyek dan ditafsir secara kritis
oleh pembaca, yang mana yang akan mencari keterikatan kedua teks, kemudian
©UKDW
13
memperbaharui makna dan oleh sebab itu pembaca bisa mengkonfirmasi dua identitas
yang dimilikinya. Pendekatan cross-textual memberikan perhatian pada dua teks
tersebut. Ada dua teks, teks A adalah teks Asia dan teks B adalah Alkitab. Teks A (teks
Asia) harus diperiksa dengan teliti oleh teks B, begitu juga sebaliknya. Dan teks B juga
perlu dibaca secara kritis dalam perspektif teks A yang sudah diinterpretasikan tadi. Yang
terpenting adalah teks A dan B tersebut memiliki kedudukan yang seimbang. Dialog
antara dua teks itu juga dengan ketegangan yang seimbang. Sehingga mengimplikasikan
adanya pertemuan yang seimbang di anatara keduanya. Keduanya memiliki kesempatan
yang sama dalam berdialog. Sehingga memiliki kesempatan yang sama untuk saling
mengkritik. Teks A dan B diperlakukan sama. Tidak ada yang lebih tinggi di antaranya.10
Sedangkan dialogical-imagination, mengutip apa yang disampaikan Sharon Parks, Pui-lan
mengungkapkan bahwa dalam kerangka interpretasi teks Alkitab di Asia, agaknya perlu
melibatkan daya imajinasi secara penuh.
Proses menuju sebuah imajinasi yang kreatif, ditempuh dengan beberapa tahap: ketika
mengkaji teks, perlu disadari adanya konflik (ada sesuatu yang janggal), kemudian
berhenti sejenak, dan menemukan gambaran baru, setelahnya mempolakan realita dan
baru kemudian melakukan interpretasi.11
Sekiranya menjadi jelas, apa yang menjadi perbedaan diantara kedua pendekatan teks ini.
Dengan upaya meng-cross-kan kedua teks tersebut diharapkan manusia Asia mampu menyadari
dan menemukan ketidaksesuaian antara berbagai macam interpretasi terhadap Alkitab yang
sudah kita warisi dengan realita di Asia yang kita hadapi. Manusia Asia harus menemukan
gambaran yang baru untuk realitas yang sedang mereka hadapi, kemudian membuat sebuah
relasi baru antara Alkitab dan kehidupan mereka.
Dalam proses cross-textual, penulis mengajukan metode menafsir teks secara naratif-kritis
dengan strategi pragmatis. Penulis merujuk pada resensi yang dibuat oleh Darmanto Lemuel
10
Archie C. C. Lee, “Cross-textual hermeneutics in Asia” dalam Asian Theology n the Way, Ed. By Peniel
Jesudason Rufus Rajkumar, (London: SPCK International Study, 2012), h.35-36. Cross-textual interpretation also
implies making crossing between the two text during the reading process, engaging them in creative tension. In the
process, the two texts should be subjected to vigorous and critical appraisal by their readers, who will seek to engage
both texts so as to bring about a renewed configuration of meaning and hence a confirmation of those readers dual
identity.... Cross-textual scriptural interpretation has suggested that there may be multiple crossing between the
Asian text (text A) and the biblical text (text B)... text A must be scrutinized by text B, and vice versa. Text B also
needs to be read critically in the perspective brought to it by text A. Each text provides the necessary contour against
which the other can be seen in a proper light. 11
Kwok Pui-lan, Discovering The Bibe in the Non-Biblical World, (New York:Orbis Books, 1995), h. 13. Biblical
interpretation in Asia must involve a powerful act of imagination. Sharon Parks shows that the process of creative
imagination involves the following stages: a consciousness of conflict (something not fitting), a pause, the finding
of a new image, the repatterning of reality, and interpretaion.
©UKDW
14
mengenai pemikiran Robert Alter dalam buku The Art of Biblical Narative, yakni mengenai
metode tafsir secara naratif. Pemikiran Alter membuka cakrawala berfikir penulis (sebagai
teolog dan pembaca) bahwa Alkitab merupakan sebuah karya sastra, buah pemikiran dan refleksi
umat.
Darmanto Lemuel menulis pemikiran Alter yang mengungkapkan bahwa,
Cerita-cerita Alkitab merupakan sebuah kesinambungan, berkaitan satu dengan
yang lain. Mengacu pada pendekatan tradisional Midrash, Alter setuju bahwa teks
harus didekati dengan cara halus, disesuaikan dengan tanda-tanda verbal kecil
dari kontinuitas cerita dan nuansa leksikal penting, seperti yang dilakukan oleh
close reading pada zaman sekarang. Dalam pendekatan Midrash, teks yang
merupakan sesuatu yang berbelit-belit dihubungkan sebagai satu kesatuan, sedang
tafsiran modern melihat potongan-potongan kecil itu sebagai dokumen yang
berbeda-beda.12
Berangkat dari keprihatinan penulis yang terangkum dalam rumusan permasalahan, maka teks
Alkitab mengenai kisah Daud-Batsyeba dan teks Asia Arok-Dedes akan didekati dengan
pendekatan naratif. Mengutip apa yang dikemukakan Alter, bahwa cerita Alkitab menekankan
sekali kesatuan dan kesinambungan teks, dan tidak ada ayat atau perikop yang merupakan
tambahan atau sisipan yang “lepas” dari rangkaian cerita. Bagi Alter, selalu ada “kejadian
kebetulan” tertentu yang mirip dan erat dari cerita yang satu dengan cerita yang lain.13
Alter mengungkapkan beberapa seni dalam cerita Alkitab14
1. Seni dalam kata-kata
Mengingat bahwa cerita Alkitab merupakan cerita yang singkat, maka katakata tunggal
dan frase-frase khusus perlu diperhatikan, mungkin saja itu memiliki peranan penting.
Kata kunci yang sering diulang ini dinamakan “leitwort” yang dipakai untuk
mengungkapkan makna moral, historis, psikologis atau teologi. Leitwort ini sering
memberi tekanan pada tokoh-tokoh utama dalam cerita Alkitab. Pada penulisan ini,
penulis akan mengkaji leitwort pada tokoh-tokoh utama yakni Daud dan Batsyeba.
12
Resensi buku Robert Alter, The Art of Biblical Narative, London, 1981, oleh Darmanto Lemuel dalam majalah
Gema Duta Wacana no. 41 edisi Teologi Narasi, h.112 13
Ibid, h.113 14
Ibid, 114-121
©UKDW
15
2. Seni dalam tindakan
Seni dalam tindakan meliputi: analogi, paralel dan pengulangan. Istilah yang dipakai
Alter adalah type scene yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sama (dimana
kesamaan dapat dianggap sebagai rangkaian motif-motif cerita tertentu yang mungkin
ditampilkan secara yang variatif dan kadang dengan variasi yang amat cerdik)
3. Seni dalam dialog
Dialog menjadi kecenderungan manakala kita membaca Alkitab. Banyak dialog yang
ditampilkan untuk menunjukkan banyak sentuhan-sentuhan mimesis (mimesis: cerminan
kenyataan). Dialog akan membantu penafsir untuk mengetahui bahwa suatu narasi dalam
Alkitab itu penting. Dalam penulisan kali ini, penulis akan melihat teks 2 Samuel 11,
bahwa di awal cerita, narator menceritakan dengan sedikit dialog, yang kemudian dalam
cerita selanjutnya, dialog menjadi dominan, terlebih dialog ketika Daud berencana
membunuh Uria (suami Batsyeba), pembaca akan lebih memahami secara mendalam
maknanya melalui dialog.
4. Seni dalam cerita
Dalam cerita Alkitab, sosok narator menjadi bagian yang penting. Narator sebagai yang
maha-tahu dan keberadaannya sering tidak menonjol, namun dia ada! Narator
mempunyai toritas untuk menyampaikan segala sesuatu, bahkan ucapan-ucapan Allah
dengan baik disampaikan oleh sang narator. Narator juga berkuasa menghentikan
kerangka waktu pada sebuah cerita untuk menyisipkan sebuah informasi rinci dalam
bentuk waktu lampau, kadang meloncat kedepan. Dari rincian tersebut, penulis
berpendapat bahwa besar kemungkinan adanya gaps dalam cerita Daud-Batsyeba
merupakan bagian dari otoritas narator yang ingin menyampaikan banyak pesan dalam
sebuah cerita. Sehingga terkesan ada kesenjangan disana.
1. 8. Sistematika Penulisan
Berikut adalah sistematika penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis:
BAB I : Pendahuluan
©UKDW
16
Pada bagian ini berisi tentang latar belakang penulisan, permasalahan, batasan
masalah, judul, penjelasan judul, tujuan penulisan dan metode.
BAB II : Menafsir roman Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dengan strategi
pembacaan naratif
BAB III : Menafsir teks Daud-Batsyeba dengan strategi pembacaan naratif
BAB IV : Upaya cross-textual antara kisah Arok-Dedes dan Daud-Batsyeba serta
menemukan filling of the gaps dari dialog tersebut.
BAB V : Penutup (Kesimpulan dan Evaluasi)
©UKDW