Upload
others
View
9
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TINDAK TUTUR
DAN PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA
DALAM SANDIWARA RADIO KISAH RELIGI
“CINTA YANG HILANG”
DI RADIO RETJO BUNTUNG YOGYAKARTA
(Suatu Pendekatan Pragmatik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
TRI HARSINI
C0207046
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Tri Harsini
NIM : C0207046
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Tindak Tutur dan
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara Radio Kisah Religi “Cinta
yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta (Suatu Pendekatan Pragmatik)
adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang
lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan)
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti ini tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, November 2012
Yang membuat pernyataan,
Tri Harsini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTO
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
(Terjemahan Q.S. Ar-Rad:11).
“Tiada suatu yang besar tanpa perjuangan yang hebat”
(Yovie Widianto)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Bapak dan ibuku tercinta yang selalu memberi kasih sayang, dukungan serta
doa.
2. Kedua kakakku yang selalu mendukung dan memberiku semangat.
3. Almamater Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas segala
rahmat dan karunia-Nya, karena penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara
Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta
(Suatu Pendekatan Pragmatik) ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang
telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan
segenap kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyusun skripsi.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberi izin
dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Istadiyantha, M.S., selaku pembimbing akademis, yang senantiasa
memberikan semangat dan nasihat selama penulis menempuh studi di Jurusan
Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
4. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku pembimbing penulis, yang bersedia
membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum., selaku penelaah penulis, yang
bersedia memberi petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staf pengajar Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret atas semua ilmu yang telah penulis terima.
7. Staf UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret dan staf Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah membantu dan memberikan
kemudahan pada penulis dalam mendapatkan buku-buku referensi untuk
penyusunan skripsi ini.
8. Kedua orang tua dan kedua kakak penulis yang sangat penulis sayangi,
terima kasih atas semua kasih sayang, dukungan dan doa yang selama ini
tercurah. Suasana kekeluargaan bersama kalian sangat penulis rindukan.
9. Cinta dan kasih penulis, Ashari Puguh Novianto (Aa‟ Puguh), yang sudah
setia berbagi suka dan duka bersama, selalu sabar menghadapi penulis.
Terima kasih atas semua yang Aa‟ berikan. Semoga kita dipersatukan dalam
suatu keindahan dan kebahagiaan.
10. Kedua kakak ipar penulis, Mas Endang dan Kak Dedy, terima kasih untuk
semuanya.
11. Kedua keponakan penulis, Revi dan Aryo, keceriaan dan kelucuan kalian
membuat penulis semangat dan selalu merindukan kalian.
12. Saudara seperjuangan penulis, Ukhti Zulaikha, yang selalu memberikan
semangat sampai hari ini dan selalu membantu penulis dalam segala hal.
Kenangan bersamamu akan selalu penulis ingat dan penulis rindukan.
13. Sahabat penulis, Alfiatun yang selalu mengingatkan untuk segera
menyelesaikan skripsi. Terima kasih juga atas kebersamaan denganmu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
selalu memberikan kesenangaan, keceriaan dan kenangan-kenangan manis
yang tidak terlupakan.
14. Semua teman Sastra Indonesia angkatan 2007 (Bety, Esti, Putri, Diana, Unun
Yeni, Nana, Imas, Ririn, Pipit, Savitri, Wilda, Panca, Aril, Eri, Pyta, Arvita,
Vitalia, Arif, Ikhsan, Hari Setiawan, Hari Sulistyo, Fajar, Wibi, Rahmat, Adit,
Anggoro, Ayip), terima kasih atas segala dukungan, bantuan, dan kerja
samanya, semoga kesatuan kita tetap terjaga sampai kapan pun.
15. Saudara-saudara penulis di Wisma Anif dan Kos Sekartaji 4, terima kasih
untuk kebersamaan kalian yang penuh keceriaan yang tidak bisa terlupakan.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan segala bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari Allah swt. Penulis sudah berupaya dengan maksimal dalam
penyusunan skripsi ini, tiada gading yang tidak retak, begitu pula dalam
penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bisa membangun untuk
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sastra
Indonesia khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Desember 2012
Penulis,
Tri Harsini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………. iii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………….. iv
MOTO ………………………………………………………………....... v
PERSEMBAHAN ……………………………………………………… vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………..... x
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. xv
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………… .. xvi
ABSTRAK ……………………………………………………………… xvii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………..... 1
B. Pembatasan Masalah ……………………………………….. 8
C. Rumusan Masalah ………………………………………….. 8
D. Tujuan Penelitian …………………………………………… 9
E. Manfaat Penelitian ………………………………………..... 9
F. Sistematika Penulisan ……………………………………… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ……….......... 12
A. Kajian Pustaka ……………………………………………… 12
1. Tinjauan Terdahulu ……………………………………. .. 12
2. Landasan Teori ………………………………………….. 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
a. Pragmatik …………………………………………….. 14
b. Situasi Tutur ………………………………………..... 16
c. Tindak Tutur …………………………………………. 18
d. Prinsip Kerja Sama …………………………………… 27
e. Implikatur …………………………………………... .. 29
B. Kerangka Pikir ……………………………………………… 33
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………. .. 35
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan …………………………… 35
B. Sumber Data dan Data ……………………………………… 36
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………..... 36
D. Klasifikasi Data …………………………………………….. 37
E. Metode dan Teknik Analisis Data ………………………….. 39
F. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ……………………… 42
BAB IV ANALISIS DATA …………………………………………….. 43
A. Wujud Tindak Tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang”
di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ……………………….. 43
1. Wujud Tindak Tutur Asertif ……………………………. 43
a. Memberitahukan ……………………………………… 44
b. Menjelaskan ………………………………………….. 46
c. Membenarkan ………………………………………… 50
d. Menunjukkan ………………………………………… 52
e. Meyakinkan ………………………………………… .. 53
f. Menegaskan ………………………………………….. 56
g. Menyatakan ………………………………………...... 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2. Wujud Tindak Tutur Direktif ………………………….. 61
a. Mempersilakan ……………………………………... 62
b. Memohon ………………………………………….... 64
c. Menasihati ………………………………………….. 65
d. Menyarankan ……………………………………….. 68
e. Menyuruh …………………………………………… 71
f. Meminta izin ………………………………………... 74
g. Melarang ……………………………………………. 76
h. Mengingatkan ………………………………………. 78
i. Meminta …………………………………………….. 80
j. Mengajak ……………………………………………. 81
k. Memperingatkan ……………………………………. 84
l. Membujuk …………………………………………... 87
m. Mendesak …………………………………………… 89
n. Memesan …………………………………………..... 90
o. Berharap …………………………………………….. 92
p. Menolak …………………………………………….. 94
3. Wujud Tindak Tutur Ekspresif ………………………… 96
a. Meminta maaf ………………………………………. 97
b. Memuji ……………………………………………… 99
c. Berterima kasih ……………………………………... 101
d. Mengungkapkan kesengsaraan …………………….. 103
e. Menghibur ………………………………………….. 105
f. Mengeluh …………………………………………… 108
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
g. Mengungkapkan rasa sedih ……………………….... 111
h. Mengungkapkan rasa kecewa ……………………… 114
i. Menyesal ……………………………………………. 116
j. Mengungkapkan rasa putus asa …………………….. 119
k. Mengungkapkan rasa senang ……………………….. 121
l. Mengungkapkan rasa iri ……………………………. 123
m. Mengungkapkan rasa jengkel ………………………. 124
n. Menuduh ……………………………………………. 127
o. Menyindir …………………………………………… 128
p. Mengungkapkan rasa cemburu ……………………… 130
q. Menyalahkan ……………………………………….. 131
r. Mengungkapkan rasa penasaran ……………………. 133
s. Mengungkapkan rasa bingung ……………………… 134
t. Menyangkal …………………………………………. 135
u. Mengungkapkan rasa simpati ………………………. 138
v. Mengungkapkan rasa kasihan ………………………. 140
w. Mengungkapkan rasa kaget ……………………........ 141
x. Mengungkapkan rasa marah ……………………….. 143
y. Mengungkapkan rasa heran ………………………… 146
z. Mengungkapkan rasa malu …………………………. 147
4. Wujud Tindak Tutur Komisif ………………………….. 149
a. Menyatakan kesanggupan ………………………….. 149
b. Menawarkan ……………………………………….... 152
c. Berjanji ……………………………………………… 154
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
B. Wujud Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta .. 162
1. Pelanggaran Maksim Kuantitas ………………………... 163
2. Pelanggaran Maksim Kualitas …………………………. 166
3. Pelanggaran Maksim Relevansi ……………………….. 169
4. Pelanggaran Maksim Pelaksanaan …………………….. 171
BAB V PENUTUP …………………………………………………….. 173
A. Simpulan …………………………………………………... 173
B. Saran ………………………………………………………. 174
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 176
LAMPIRAN …………………………………………………………… 179
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Tindak Tutur ………………………………………………. 157-161
Tabel 2 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ………………………….. 172
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR SINGKATAN
FM : Frequency Modulation
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
PPKS : Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
RB : Retjo Buntung
SDM : Sumber Daya Manusia
SRKR : Sandiwara Radio Kisah Religi
STAI : Sekolah Tinggi Agama Islam
TT : Tindak Tutur
TTA : Tindak Tutur Asertif
TTDir : Tindak Tutur Direktif
TTE : Tindak Tutur Ekspresif
TTK : Tindak Tutur Komisif
UMY : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRAK
Tri Harsini. C0207046. 2012. Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
dalam Sandiwara Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta (Suatu Pendekatan Pragmatik). Skripsi: Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana wujud tindak
tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta? (2)
Bagaimana wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta?
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud tindak tutur dalam
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta, (2)
Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.
Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik. Sumber
data penelitian ini adalah acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta selama 5 episode yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011
sampai 22 Juli 2011. Data dalam penelitian ini adalah dialog para pemain SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang mengandung
tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama beserta konteksnya yang disiarkan
pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah simak, sedangkan teknik yang digunakan
dalam pengumpulan data menggunakan teknik rekam. Metode analisis data yang
digunakan adalah padan pragmatis dan kontekstual. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah means-end dan heuristik. Metode penyajian
hasil analisis data dalam penelitian ini adalah penyajian secara informal.
Berdasarkan analisis data dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo Buntung Yogyakarta dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Ditemukan 7
subtindak tutur asertif, yaitu memberitahukan, menjelaskan, membenarkan,
menunjukkan, meyakinkan, menegaskan, dan menyatakan. Adapun tindak tutur
asertif yang paling banyak ditemukan adalah „memberitahukan‟, (2) Ditemukan
16 subtindak tutur direktif, yaitu mempersilakan, memohon, menasihati,
menyarankan, menyuruh, meminta izin, melarang, mengingatkan, meminta,
mengajak, memperingatkan, membujuk, mendesak, memesan, berharap, dan
menolak. Adapun tindak tutur direktif yang paling banyak ditemukan adalah
„mengingatkan‟, (3) Ditemukan 26 subtindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur
yang berfungsi untuk meminta maaf, memuji, berterima kasih, mengungkapkan
kesengsaraan, menghibur, mengeluh, mengungkapkan rasa sedih,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
mengungkapkan rasa kecewa, menyesal, mengungkapkan rasa putus asa,
mengungkapkan rasa senang, mengungkapkan rasa iri, mengungkapkan rasa
jengkel, menuduh, menyindir, mengungkapkan rasa cemburu, menyalahkan,
mengungkapkan rasa penasaran, mengungkapkan rasa bingung, menyangkal,
mengungkapkan rasa simpati, mengungkapkan rasa kasihan, mengungkapkan
rasa kaget, mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa heran, dan
mengungkapkan rasa malu. Adapun tindak tutur ekspresif yang paling banyak
ditemukan adalah „berterima kasih‟ dan „mengeluh‟, (4) Ditemukan 3 subtindak
tutur komisif, yaitu menyatakan kesanggupan, menawarkan, dan berjanji. Adapun
tindak tutur komisif yang paling banyak ditemukan adalah „menyatakan
kesanggupan‟. Tindak tutur deklarasi tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Mengenai pelanggaran prinsip kerja sama, dalam penelitian ini ditemukan banyak
pelanggaran terhadap semua maksimnya, yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Pelanggaran paling banyak
ialah terhadap maksim kuantitas, yang diikuti oleh maksim kualitas, kemudian
maksim relevansi dan maksim pelaksanaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya, manusia tidak
bisa hidup sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia hidup saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, manusia perlu
bergaul dan berkomunikasi dengan sesama manusia untuk saling bertukar pikiran,
menyampaikan ide atau pendapatnya. Terkait masalah pentingnya berkomunikasi
dengan sesama manusia, maka bahasa memegang peran yang sangat penting
karena bahasa adalah salah satu sarana untuk melakukan komunikasi. Tanpa
adanya bahasa, sulit bagi manusia sebagai makhluk sosial untuk menyampaikan
kepentingannya, baik kepentingan individu, kelompok, maupun kepentingan
bersama. Harimurti Kridalaksana berpendapat bahwa, “Bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri” (Harimurti Kridalaksana, 1993:21).
Berkomunikasi sangat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Hal tersebut dikarenakan komunikasi memiliki fungsi menyampaikan
informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi khalayak. Salah satu cara
penyampaian informasi bisa diwujudkan dengan cara bertutur satu sama lain.
Adapun media yang bisa digunakan untuk menyampaikan dan
memperoleh informasi atau berita bisa menggunakan media cetak dan media
elektronik. Yang termasuk media cetak, misalnya koran, majalah, dan buku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Media elektronik bisa berupa audiovisual, misalnya televisi sedangkan media
elektronik yang berupa audio, misalnya radio.
Radio bisa menjadi salah satu media yang dipilih masyarakat untuk
memperoleh informasi dan hiburan yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan
radio memiliki keunggulan, yaitu harganya relatif murah. Hampir setiap rumah
memiliki radio, bahkan handphone zaman sekarang pun sudah difasilitasi dengan
radio.
Saat ini, masyarakat dapat dengan mudah mendengarkan radio kesayangan
mereka, di mana pun mereka berada, bahkan di luar negeri sekalipun. Radio Retjo
Buntung (selanjutnya disingkat RB) 99,4 FM adalah salah satu stasiun radio yang
berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Radio RB bisa didengarkan melalui live
streaming. Dengan live streaming, masyarakat bisa mendengarkan acara-acara
Radio RB sekalipun mereka tidak berada di Daerah Istimewa Yogyakarta
(http://www.retjobuntungfm.co.id/index.php?mod=profil).
Menurut survei Nielsen, Radio RB adalah radio ranking 1 di Yogyakarta.
Jika dilihat di twitter, Radio RB memiliki followers sebanyak 3.202 orang
(https://twitter.com/retjobuntungfm). Selain itu, jika dilihat di fan page Radio RB,
sebanyak 5.286 orang menyukai Radio RB (http://www.facebook.com/pages/Fan-
Page-Retjo-Buntung-994-FM/203559922996017?sk=likes). Dari sekian banyak
radio yang ada di Yogyakarta, pada hari Jumat, 21 Desember 2012, Radio RB
menempati urutan ke-4 teratas dalam today top listener via streaming
(http://www.jogjastreamers.com/). Oleh sebab itulah alasan ketertarikan penulis
memilih Radio Retjo Buntung Yogyakarta sebagai sumber yang digunakan oleh
penulis untuk memperoleh sumber data dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Radio RB lahir pada tanggal 9 Maret 1967. Digerakkan oleh SDM kreatif,
dinamis dan berwawasan luas, serta didukung teknologi canggih saat ini, RB 99,4
FM terus tumbuh di tengah pesatnya perkembangan dunia media informasi. Radio
RB adalah salah satu radio yang tetap mengudara sampai saat ini dengan usianya
yang lebih dari 40 tahun. Program yang telah disajikan dikemas secara khas untuk
memenuhi kebutuhan akan hiburan dan informasi keluarga di Yogyakarta dan
kota-kota sekitarnya. Dengan memposisikan RB sebagai “Citra Radio Keluarga”,
program acara yang dirancang nonstop 24 jam, sampai saat ini telah memenuhi
kebutuhan pendengar yang selalu disebut dengan sapaan “Pemiarsa”. Radio RB
mempunyai komitmen untuk memberikan layanan memuaskan kepada
“Pemiarsa”, yang diwujudkan dengan program musik, hiburan dan informasi
termasuk program talk show tentang permasalahan aktual dan keluarga
(http://www.retjobuntungfm.co.id/index.php?mod=profil).
Acara-acara radio yang semakin menarik tentu akan semakin banyak pula
yang mendengarkan. Oleh karena itu, Radio RB memberikan suatu acara hiburan
yang menarik untuk disimak oleh pemiarsa. Hiburan tersebut bertema kisah religi
yang dikemas dalam bentuk sandiwara radio. Sandiwara radio merupakan suatu
karya sastra yang dihasilkan manusia yang berupa drama yang disiarkan melalui
radio sebagai medianya. Sandiwara radio termasuk dalam genre sastra elektronik.
Sastra elektronik adalah sastra di media elektronik. Sandiwara atau drama radio
menggunakan media berupa audio karena hanya menampilkan suara saja.
Radio RB mempunyai dua acara sandiwara, yaitu sandiwara radio bahasa
Jawa dan sandiwara radio kisah religi (http://gudeg.net/id/directory/37/413/Radio-
Retjo-Buntung-994-FM.html). Adapun acara sandiwara radio yang dipilih penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
untuk dilakukan penelitian adalah Sandiwara Radio Kisah Religi (selanjutnya
disingkat SRKR) yang disiarkan Radio RB 99,4 FM Yogyakarta. Sandiwara radio
bahasa Jawa tidak dipilih oleh penulis karena bahasa yang digunakan bukan
bahasa Indonesia melainkan bahasa Jawa. Sehingga hal tersebut bukan merupakan
lingkup kajian untuk sastra Indonesia.
SRKR mampu mengangkat potret nyata kehidupan manusia dengan segala
kelemahan yang dimilikinya dalam sebuah drama radio yang sangat menarik
untuk disimak. SRKR ini disiarkan setiap hari Senin sampai Jumat mulai pukul
09.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB. Bagi Pemiarsa yang tidak bisa
mendengarkan SRKR pada pagi hari maka Radio RB memberikan solusi dengan
menghadirkan siaran ulang acara SRKR pada hari Senin sampai Jumat mulai
pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 21.30 WIB.
Acara SRKR ini menghadirkan pelajaran yang bisa diambil karena cerita-
cerita yang disajikan merupakan kisah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, sesuai dengan tujuan komunikasi, yaitu, mengubah sikap, mengubah
pendapat, mengubah perilaku, dan mengubah sosial, diharapkan dengan adanya
acara SRKR ini mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari
menjadi lebih baik karena banyak pelajaran yang bisa diambil dari acara SRKR
ini.
Acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB Yogyakarta ini berbeda
dengan acara sandiwara radio lainnya. Sandiwara radio biasanya hanya
mengangkat drama kolosal, akan tetapi acara SRKR “Cinta yang Hilang” mampu
menampilkan cerita yang menggambarkan potret nyata kehidupan manusia saat
ini, misalnya masalah percintaan, keluarga, persahabatan, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Acara SRKR ini menampilkan judul yang berbeda-beda. Judul yang
diambil oleh penulis untuk dijadikan penelitian adalah “Cinta yang Hilang”
naskah karya Liya Adriansyah, dengan sutradara W. Adya Putra. Judul ini terdiri
dari 5 episode. Judul “Cinta yang Hilang” dipilih oleh penulis untuk diteliti karena
menurut pengamatan penulis, judul tersebut yang paling mendekati dengan kisah
kehidupan sehari-hari. Cerita yang disampaikan cukup mewakili perasaan orang
tua pada umumnya, yaitu perasaan untuk diperhatikan dan diberi kasih sayang
oleh anak-anak dan istrinya.
Dari segi kebahasaan, yang menarik dari acara SRKR ini adalah tuturan-
tuturan yang diujarkan oleh para tokoh. Misalnya ketika tokoh Pak Dibyo
merasakan kerinduan kepada anak-anaknya yang tidak kunjung datang untuk
menemui atau menjenguknya, tentu banyak tuturan yang diujarkan mengandung
jenis tindak tutur, seperti tuturan mengekspresikan keluhan, kejengkelan,
kesedihan, kebahagiaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
meneliti tuturan-tuturan yang terdapat dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di
Radio Retjo Buntung Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan ilmu
pragmatik, yang bertujuan untuk mengetahui makna tuturan tanpa meninggalkan
konteksnya.
Apabila percakapan terjadi antara dua orang atau lebih, maka jumlah
tuturan yang terjadi akan menjadi banyak. Hal inilah yang tejadi dalam acara
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakara, yaitu percakapan
antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dalam percakapan, diharapkan
peserta percakapan dapat melakukan percakapan secara kooperatif. Untuk itu
penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
padat dan ringkas sehingga maksud tuturannya bisa dipahami oleh mitra tuturnya.
Agar terjadi suatu percakapan yang baik, peserta tutur harus mematuhi 4 prinsip
kerja sama yang disampaikan oleh Grice, meliputi maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Akan tetapi, berbagai
tuturan yang terjadi pada sebuah percakapan bisa menyebabkan terjadinya
pelanggaran prinsip percakapan. Begitu halnya dalam SRKR “Cinta yang Hilang”
ini, berbagai tuturan para pemain tidak sepenuhnya mematuhi prinsip kerja sama,
namun bisa saja prinsip tersebut dilanggar.
Prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” ini banyak
diwujudkan dalam bentuk pelanggaran prinsip kerja sama. Dalam penelitian ini,
pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran prinsip kerja sama yang
dilakukan oleh para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung
Yogyakarta ketika mereka melakukan percakapan. Wujud Pelanggaran prinsip
kerja sama dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung
Yogyakarta ini bisa dijumpai, misalnya ketika tokoh Fatimah bertanya benar atau
tidak jika Pak Dibyo tinggal di satu daerah dengan Fatimah. Pak Dibyo pun
menjawab pertanyaan Fatimah bahwa dirinya satu warga dengan Fatimah,
kemudian Pak Dibyo menunjukkan letak rumahnya kepada Fatimah. Hal tersebut
tentu melanggar maksim kuantitas karena kontribusi yang diberikan oleh Pak
Dibyo tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Fatimah, yaitu terlalu banyak.
Dari pelanggaran prinsip kerja sama itulah muncul adanya implikatur meyakinkan
yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturannya. Dengan menunjukkan letak
rumahnya kepada Fatimah, Pak Dibyo bermaksud membuat Fatimah percaya dan
yakin bahwa Pak Dibyo juga warga di tempat Fatimah tinggal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB menarik untuk dikaji
dengan pendekatan pragmatik, karena tuturan-tuturan yang terdapat dalam acara
tersebut mengandung berbagai macam maksud dari penutur, baik yang tersirat
maupun yang tersurat. Semua itu dapat dikaji dalam ilmu pragmatik. Dengan teori
pragmatik, dapat dijelaskan fenomena-fenomena bahasa yang terjadi dalam suatu
percakapan melalui tuturan-tuturan yang disampaikan oleh penutur dan mitra
tutur.
Alasan lain yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB Yogyakarta dengan
pendekatan pragmatik adalah karena banyak muncul keterkaitan bahasa yang
digunakan oleh para tokoh dengan unsur-unsur eksternalnya yang menjadi cirri
khas ilmu pragmatik. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh George Yule bahwa
pragmatik adalah studi yang mengkaji makna kontekstual atau makna yang terikat
dengan konteks (Yule, 1996:3).
Adanya konteks sangat membantu pendengar dalam menikmati acara
SRKR “Cinta yang Hilang” supaya maksud tuturan yang disampaikan oleh para
tokoh dapat dengan mudah dipahami. Begitu pula dalam penelitian ini, adanya
konteks sangat membantu penulis dalam melakukan analisis data. Konteks dalam
SRKR “Cinta yang Hilang” ini bisa diperoleh dari tuturan-tuturan yang
disampaikan oleh para tokoh. Monolog dari para tokoh juga bisa memperjelas
adanya konteks percakapan. Monolog dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” ini
biasanya terdapat dibagian awal, tengah, dan akhir dari cerita.
Ragam bahasa yang digunakan dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang”
ini cenderung menggunakan ragam bahasa informal. Penggunaan ragam bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
informal dalam acara tersebut bertujuan supaya cerita yang disampaikan mudah
dipahami dan bisa menarik pendengar untuk menyimak acara SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio RB.
Dari uraian di ataslah penulis tertarik meneliti acara SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio RB Yogyakarta dari segi tindak tutur dan pelanggaran prinsip
kerja sama karena di dalam acara ini banyak tuturan-tuturan yang mengandung
variasi tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama.
B. Pembatasan Masalah
Untuk mencegah kerancuan masalah dan untuk mengarahkan penelitian ini
agar lebih intensif dan efisien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka
diperlukan adanya pembatasan masalah. Ruang lingkup penelitian ini penulis
fokuskan pada masalah pemakaian bahasa yang digunakan oleh para pemain
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB. Penulis menggunakan pendekatan
pragmatik untuk membedah permasalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis
membatasi kajian pada analisis tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama
dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
C. Rumusan Masalah
Salah satu hal yang penting dalam suatu penelitian ilmiah adalah
perumusan masalah yang merupakan dasar bagi suatu penelitian. Dengan adanya
perumusan masalah, hal yang hendak dikaji dapat didefinisikan lebih rinci dan
dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan yang operasional, yaitu pernyataan-
pernyataan yang mengarahkan sekaligus membatasi rumusan masalah. Perumusan
masalah sekaligus mempertegas ruang ligkup yang diteliti (pembatasan masalah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Dengan demikian, penelitian lebih dikhususkan dan ditentukan ruang lingkupnya
(Edi Subroto, 1992:88).
Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini
penulis merumuskan masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo Buntung Yogyakarta?
2. Bagaimana wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta
yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah memecahkan masalah. Adapun tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di
Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan manfaat baik
secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Memperkaya hasil penelitian dalam peristiwa kebahasaan terutama
masalah tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
b. Menambah khasanah kajian dalam bidang pragmatik khususnya dan
linguistik umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan positif kepada pembuat acara SRKR dan penulis
naskah sandiwara radio “Cinta yang Hilang” tentang wujud tindak tutur
dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam karyanya yang berupa
sandiwara radio agar yang disampaikan bisa lebih menarik dan mengena
serta mudah dipahami.
b. Menambah wawasan pembaca dalam menikmati suatu sandiwara radio.
c. Dengan adanya penelian ini diharapkan masyarakat bisa menerapkan
penggunaan tindak tutur dan prinsip kerja sama dalam percakapan sehari-
hari agar terjadi suatu tuturan yang relevan dan mitra tutur mampu
memahami maksud tuturan yang disampaikankan oleh penutur.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diperlukan untuk mempermudah penguraian
masalah dalam suatu penelitian, yaitu agar cara kerja penelitian lebih terarah,
runtut, dan jelas. Penulisan yang sistematis banyak membantu pembaca dalam
memahami penelitian. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini tersusun
atas lima bab. Kelima bab itu adalah sebagai berikut.
Bab pertama pendahuluan. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua kajian pustaka dan kerangka pikir. Bab ini terdiri atas kajian
pustaka, dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tinjauan terdahulu dan landasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
teori. Tinjauan terdahulu merupakan tinjauan dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian ini, sedangkan landasan
teori berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan memahami
permasalahan yang diteliti. Kerangka pikir berisi gambaran secara jelas kerangka
yang digunakan penulis untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang
diteliti.
Bab ketiga metode penelitian. Bab ini memberikan gambaran proses
penelitian yang terdiri atas jenis penelitian dan pendekatan, sumber data dan data,
metode dan teknik pengumpulan data, klasifikasi data, metode dan teknik analisis
data, metode penyajian hasil analisis data.
Bab keempat analisis data. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang
berisikan analisis data, yaitu deskripsi tentang wujud tindak tutur dan pelanggaran
prinsip kerja sama.
Bab kelima penutup. Bab ini berisi simpulan hasil penelitian dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Terdahulu
Ada beberapa studi terdahulu yang berhubungan dengan penelitian tindak
tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama yang menggunakan pendekatan
pragmatik. Beberapa studi terdahulu yang penulis temukan yang sejenis dan masih
relevan dengan penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.
Skripsi Waluyo (2009) dari dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang berjudul Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Percakapan Lum Kelar di Radio Sas FM,
membahas tiga permasalahan, yaitu (1) bentuk pelanggaran prinsip kerja sama
dalam percakapan Lum Kelar, (2) bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam
Percakapan Lum Kelar, (3) implikatur percakapan yang terdapat dalam
percakapan Lum Kelar.
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari skripsi tersebut pertama,
ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam tuturan Lum
Kelar. Pelanggaran prinsip kerja sama terjadi terhadap empat maksim, yaitu (a)
pelanggaran maksim kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran
maksim relevansi, (d) pelanggaran maksim pelaksanan. Pelanggaran prinsip kerja
sama paling banyak terjadi terhadap maksim kualitas. Kedua, ditemukan adanya
pelanggaran terhadap prinsip kesopanan dalam percakapan Lum Kelar.
Pelanggaran hanya terjadi terhadap lima maksim dari enam maksim yang tercakup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dalam prinsip ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud adalah (a)
pelanggaran maksim kebijaksanaan, (b) pelanggaran maksim penerimaan, (c)
pelanggaran maksim kemurahan, (d) pelanggaran maksim kerendahan hati, dan
(e) pelanggaran maksim kecocokan. Pelanggaran terhadap maksim kesimpatian
tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketiga, tuturan dalam Lum Kelar
mengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur
tersebut digunakan antara lain untuk (a) menegaskan, (b) mengeluh, (c)
menciptakan humor, (d) menyindir, (e) memastikan, (f) menolak, (g)
menyombongkan diri, (h) mengejek, dan (i) menyatakan rasa kesal. Dalam
percakapan Lum Kelar, implikatur percakapan terbanyak digunakan untuk humor.
Hal tersebut merupakan salah satu strategi untuk menarik minat pendengar, agar
mau mendengarkan Lum Kelar dari awal hingga akhir.
Skripsi Eri Dwi Astuti (2012) dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang berjudul Tindak Tutur dan Kesopanan
Berbahasa dalam Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta (Sebuah Tinjauan
Pragmatik), membahas dua permasalahan, yaitu (1) bentuk tindak tutur dalam
Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta, (2) bentuk kesopanan berbahasa dalam
Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta.
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari skripsi tersebut pertama,
ditemukan 4 jenis tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur asertif atau representatif,
tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur komisif. Tindak tutur
asertif meliputi enam subtindak tutur, yaitu melaporkan, menjelaskan,
menyampaikan pendapat, meluruskan, menegaskan, dan menyetujui. Tindak tutur
direktif meliputi tujuh subtindak tutur, yaitu mempersilakan, meminta, menasihati,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
menyarankan, mengingatkan, melarang, dan menyuruh. Tindak tutur ekspresif
meliputi empat subtindak tutur, yaitu berterima kasih, meminta maaf, mengeluh,
dan memuji. Tindak tutur komisif meliputi dua subtindak tutur, yaitu berjanji dan
menawarkan. Kedua, bentuk kesopanan berbahasa terjadi karena mematuhi
maksim kesopanan Leech yang terdiri dari lima maksim, yaitu maksim kearifan,
maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, dan maksim
kesepakatan.
Dari beberapa tinjauan terdahulu di atas, penelitian-penelitian tersebut
membahas masalah tindak tutur, pelanggaran prinsip kerja sama, prinsip
kesopanan, dan implikatur percakapan. Dua penelitian di atas digunakan sebagai
tinjauan terdahulu karena dalam penelitian ini penulis juga membahas masalah
tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama. Walaupun pada penelitian
terdahulu telah dilakukan penelitian tentang tindak tutur dan pelanggaran prinsip
kerja sama, namun data yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini
penulis focus pada kajian tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta. Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa penelitian tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja
sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta
belum pernah dilakukan.
2. Landasan Teori
a. Pragmatik
Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994:83-84), bidang
linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
disebut pragmatik. Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force)
ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran
itu dibuat atau diujarkan. Geoffrey Leech mendefinisikan pragmatik sebagai studi
tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations)
(Leech, 1993:8).
Pada kesempatan lain, Jenny Thomas dalam bukunya yang berjudul
“Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics”, bidang ilmu yang
mengkaji makna dalam interaksi atau meaning in interaction disebut pragmatik.
Pengertian tersebut dengan mengandalkan bahwa pemaknaan merupakan proses
dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara
konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin
dari sebuah ujaran (Thomas, 1995:22).
Sementara itu, I Dewa Putu Wijana berpendapat bahwa cabang ilmu
bahasa yang mempelajari stuktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan
kebahasaan digunakan dalam komunikasi disebut pragmatik. Jadi, makna yang
dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent) atau
dengan kata lain mengkaji maksud penutur (1996:2). Senada dengan I Dewa Putu
Wijana, Muhammad Rohmadi menegaskan bahwa pragmatik adalah studi
kebahasaan yang terikat konteks. Konteks memiliki peranan kuat dalam
menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur (2004:2).
George Yule dalam bukunya yang berjudul “Pragmatics” mendefinisikan
pragmatik menjadi empat batasan. Keempat batasan tersebut dapat dilihat sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
1) “Pragmatics is the study of speaker meaning” (Pragmatik adalah studi
yang mengkaji tentang makna penutur).
2) “Pragmatics is the study of contextual meaning” (Pragmatik adalah studi
yang mengkaji tentang makna kontekstual).
3) “Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said”
(Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan dari pada yang dituturkan).
4) “Pragmatics is the study of the expression of relative distance” (Pragmatik
adalah studi yang mengkaji tentang bentuk ungkapan atau ekspresi
menurut jarak sosial dari penutur dan mitra tutur) (Yule, 1996:3).
b. Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan
dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur
merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur.
Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasikan melalui situasi
tutur yang mendukungnya (Rustono, 1999:25).
Terkait masalah situasi tutur, Geoffrey Leech mengemukakan beberapa
aspek yang perlu dipertimbangkan dalam studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut
mencakup 5 aspek, yang meliputi:
1) Penyapa dan pesapa
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca
bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-
aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan
sebagainya.
2) Konteks sebuah tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Di dalam
pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang
pengetahuan (backround knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur
dan lawan tutur.
3) Tujuan sebuah tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang
sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan
tuturan yang sama.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan
Tindak tutur itu merupakan suatu aktivitas. Pada tindakan bertutur, alat
ucaplah yang berperan. Alat ucap juga termasuk bagian tubuh manusia.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur.
Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal (Leech, 1993:19-21).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
c. Tindak Tutur
Teori tindak tutur „speech act‟ berawal dari ceramah yang disampaikan
oleh filsuf berkebangsaan Inggris, John L. Austin, pada tahun 1955 di Universitas
Harvard, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul “How to do
Things with Word” (Nadar, 2009:11).
Tindak tutur merupakan hal penting dalam pragmatik. George Yule
berpendapat bahwa “speech act is actions performed via utterances” „tindak tutur
adalah tindakan yang dilakukan lewat tuturan‟ (Yule, 1996:47). Senada dengan
George Yule, Rustono mengatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan tertentu
dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh), di
samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Kegiatan
melakukan tindakan mengujarkan tuturan itulah yang merupakan tindak tutur atau
tindak ujar (Rustono, 1999:31).
Masih terkait masalah tindak tutur, J. L. Austin menggolongkan tindak
tutur yang menggunakan kalimat performatif (kalimat yang pengutaraannya
dipergunakan untuk melakukan sesuatu) menjadi tiga peristiwa tindakan, yang
meliputi:
1) Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk
menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk
kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut
sebagai the act of saying something. Searle (1969) menyebut tindak tutur
lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena
tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2) Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do
something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur
yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
3) Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek atau daya
pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan
mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin dinamakan tindak perlokusi.
Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja,
dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan
tindak perlokusi (Austin, 1968:94-102).
Istilah 'tindak tutur' umumnya diterjemahkan secara sempit dengan sekedar
diartikan sebagai tekanan illokusi suatu tuturan. Tekanan ilokusi suatu tuturan
adalah „apa yang diperhitungkan tekanan itu‟. Tuturan yang sama secara potensial
dapat memiliki tekanan ilokusi yang sedikit berlainan (misalnya: janji dengan
peringatan). Supaya pendengar mengetahui tekanan ilokusi apa yang dimaksudkan
oleh penutur, maka diperlukan adanya alat penunjuk tekanan ilokusi (Yule,
2006:84-85).
Terkait masalah alat penunjuk tekanan ilokusi, George Yule menjelaskan
bahwa “Alat Penunjuk Tekanan Illokusi (APTI) ialah jenis ungkapan di mana
terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja yang secara eksplisit menyebutkan
tindakan illokusi yang sedang ditunjukkan. Kata kerja yang demikian ini
dikatakan sebagai kerja kata performatif (Vp)” (Yule, 2006:85). Contoh kata kerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
performatif , misalnya berjanji dan memperingatkan. Jika kata kerja performatif
tersebut dinyatakan dalam suatu tuturan, maka akan sangat jelas kata kerja
performatif tersebut sebagai APTI. Lebih lengkap George Yule menjelaskan
bahwa APTI yang lain yang dapat diidentifikasikan ialah urutan kata, tekanan, dan
intonasi. Ada juga alat-alat penunjuk lainnya yang dimungkinkan untuk
menunjukkan tekanan illokusi, misalnya kualitas suara yang rendah untuk
memperingatkan atau mengancam (Yule, 2006:86-87).
Dalam konteks sehari-hari ada juga pra-kondisi pada tindak tutur yang
dikemukakan oleh George Yule, pra-kondisi tersebut adalah kondisi umum pada
peserta, misalnya bahwa mereka dapat memahami bahasa yang sedang digunakan.
Kondisi isi, misalnya untuk sebuah peringatan atau sebuah janji, kedua tuturan itu
harus berisi tentang peristiwa yang akan terjadi mendatang. Kondisi persiapan
untuk suatu janji secara signifikan berbeda dengan kondisi persiapan dalam suatu
peringatan. Kondisi persiapan ini berhubungan dengan kondisi ketulusan yang
merupakan pra-kondisi keempat. Sebuah janji dalam kondisi ini penutur harus
secara tulus bermaksud untuk melaksanakan tindakan itu di masa mendatang.
Sementara itu, untuk suatu peringatan, penutur secara tulus percaya bahwa
peristiwa di masa yang akan datang itu tidak memiliki suatu akibat yang
bermanfaat. Yang terakhir merupakan kondisi esensial, yang meliputi kenyataan
bahwa dengan tindakan ucapan janji, maka penutur bermaksud menciptakan suatu
keharusan untuk melaksanakan tindakan yang dijanjikan. Dengan kata lain,
tuturan mengubah pernyataan penutur dari ketidakharusan menjadi suatu
keharusan (Yule, 2006:87-88).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Austin mengemukakan pandangannya bahwa di dalam mengutarakan
tuturan, seseorang dapat melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Tuturan
yang pengutaraanya digunakan untuk melakukan sesuatu, seperti tindakan mohon
maaf, berjanji, bertaruh, mengumumkan, dan meresmikan disebut tuturan
performatif (performative), sedangkan tuturan yang dipergunakan untuk
mengatakan sesuatu disebut tuturan konstantif (constative). Tuturan performatif
tidak mengandung nilai benar dan salah (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:23-24).
Austin (1962) mengemukakan bahwa validitas tuturan performatif
tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat yang disebut felicity conditions.
Adapun syarat-syarat yang diajukan meliputi:
1) Orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan tuturan itu harus sesuai.
2) Tindakan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan
lawan tutur
3) Penutur dan lawan tutur harus memilki niat yang sungguh-sungguh untuk
melakukan tindakan itu (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:24-25)
Searle memperluas syarat-syarat validitas tindak tutur yang diajukan oleh
Austin menjadi 5 syarat, yang meliputi:
1) Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh terhadap apa yang
dijanjikannya.
2) Penutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan itu
benar-benar akan dilaksanakan.
3) Penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu melaksanakan tindakan itu.
4) Penutur harus memprediksi tindakan yang akan dilakukan (future action),
bukannya tindakan-tindakan yang sudah dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
5) Penutur harus memprediksi tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan
tindakan yang dilakukan orang lain (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996: 25-
26).
Pada kesempatan lain, J. R. Searle mengategorikan tindak tutur menjadi
lima jenis, yang meliputi:
1) Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan yang
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan.
2) Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya
dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di
dalam tuturan itu atau berharap lawan tutur melakukan sesuatu. Tuturan-
tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak
tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah,
meminta, dan menantang.
3) Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada
suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan yang
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur berjanji,
bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan
mengancam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
4) Ekspresif ( Expressives)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud
agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan
dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap
suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur
ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih, meminta
maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.
5) Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan
maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang
baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini
misalnya, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan
mengangkat (Searle, 1996:147-149).
Ahli lain, Geoffrey Leech mengklasifikasikan tindak tutur menjadi enam
macam, yang meliputi:
1) Asertif: merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang dituturkan, misalnya menceritakan, melaporkan,
mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak.
2) Direktif: bentuk tindak tutur yang dimaksud oleh penutur untuk membuat
pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan, misalnya
memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.
3) Komisif: tindak tutur yang menyatakan janji atau penawaran, misalnya
menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, bersumpah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
4) Ekspresif: tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis
penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur, misalnya
mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa ikut
bersimpati, meminta maaf.
5) Deklaratif: tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataan, misalnya memecat, membaptis, menikahkan, mengangkat,
menghukum, memutuskan.
6) Rogatif: tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk menanyakan jika
bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif ragu-ragu, misalnya
menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan (Leech, 1993:327-
329).
Sementara itu, Fraser mengklasifikasikan tindak tutur menjadi delapan
macam, yang meliputi:
1) Tindakan asertif (act of asserting): ditandai dengan verba menuduh,
mengakui, menyimpulkan, memberi tahu, menyatakan, menyatakan yakin.
2) Tindakan evaluasi (act of evaluating): ditandai dengan verba mendesak,
mengevaluasi, menganggap, memvonis, menerka.
3) Tindakan reflektif perilaku pembicara (acts of reflecting speaker attitude):
ditandai dengan verba memuji, mengeluh, merasa ikut bersimpati,
menuduh, menyayangkan, meminta maaf.
4) Tindakan penetapan (acts of stipulating): ditandai dengan verba
menetapkan, mencalonkan, memilih, mengumumkan, mengatur,
menggolongkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
5) Tindakan permohonan (acts of requesting): ditandai dengan verba
menuntut, memohon, menawarkan, mengundang, mengarahkan, melarang.
6) Tindakan menyarankan (acts of suggesting) ditandai dengan verba
memperingatkan, merekomendasikan, menyarankan, mengusulkan,
mendukung, menasihati.
7) Tindakan dari penggunaan kekuasaan (act of exercising authority):
ditandai dengan verba membatalkan, memutuskan, memecat, menurunkan
gaji, mewariskan, menghukum.
8) Tindakan komisif (act of committing): ditandai dengan verba bersumpah,
berjanji, menawarkan diri, meyakinkan, berikrar, berkaul (dalam Nadar,
2009:16-17).
Pada kesempatan lain, J. R. Searle menjelaskan bahwa tindak tutur dapat
dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
1) Tindak tutur langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat
berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah
(imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk
memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan
sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan,
permintaan, atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara
konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya,
dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb, tindak
tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (direct speech act).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
2) Tindak tutur tidak langsung
Tindak tutur tidak langsung (indirect speech) ialah tindak tutur untuk
memerintah sesorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan
ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar
orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung bisanya tidak dapat dijawab secara
langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di
dalamnya (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:30-31).
Sehubungan dengan kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan, tindak
tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
1) Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya
sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2) Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) ialah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata
yang menyusunnya (I Dewa Putu Wijana 1996:32).
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan
(diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka
akan diperoleh empat macam tindak tutur, meliputi:
1) Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur
yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat
perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu
dengan kalimat tanya, dsb.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
2) Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
menyusunnya sesuai dengan yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak
tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau
kalimat tanya.
3) Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna
yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan
dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat
berita. Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat tanya tidak dapat
digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
4) Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (I Dewa
Putu Wijana1996:33-35).
d. Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama merupakan pokok subteori tentang penggunaan bahasa
itu dimaksudkan sebagai upaya membimbing para peserta percakapan agar dapat
melakukan percakapan secara kooperatif (Rustono, 1999:53).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa
seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan
bicaranya dapat memahami yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk ini penutur
selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah
dipahami, padat dan rigkas (straight forward), sehingga tidak menghabiskan
waktu lawan bicaranya (I Dewa Putu Wijana, 1996:45).
H. P. Grice, mengatakan prinsip kerja sama yang berbunyi: “Make your
conversational contribution such as is required, at the stage at whice it occurs, by
the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged”
(Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang Anda inginkan pada saat
berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan
yang sedang anda ikuti) (Grice, 1996:158-159).
Terkait masalah prinsip kerja sama, H. P. Grice mengemukakan bahwa secara
lengkap prinsip kerja sama meliputi empat maksim, yang satu persatu dapat
disebutkan sebagai berikut: (1) maksim kuantitas (the maxim of quantity), (2)
maksim kualitas (the maxim of quality), (3) maksim relevansi (the maxim of
relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (the maxim of manner).
1) Maksim kuantitas (the maxim of quantity)
Maksim kuantitas dijabarkan menjadi dua submaksim, a) “Make your
contribution as invormative as is required (for the current purposes of the
exchange)”, b) “Do not make your contribution more informative than is
required”. (Maksim kuantitas: a) „Berikan informasi anda sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
kebutuhan sesuai dengan tujuan atau maksud pertuturan‟, b) „Jangan
memberikan informasi yang berlebihan dari yang dibutuhkan‟).
2) Maksim kualitas (the maxim of quality)
Maksim kualitas dijabarkan ke dalam dua submaksim, a) “Do not say what
you believe to be false”, b) “Do not say that for which you lack adequate
evidence”. (Maksim kualitas: a) „Jangan mengatakan sesuatu yang tidak
benar‟, b) „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat
dibuktikan secara memadai‟).
3) Maksim relevansi (the maxim of relevance)
Untuk maksim relevasi, Grice memberikan sebuah ungkapan “Be
relevant”. Dalam maksim relevansi, usahakan perkataan Anda ada
relevansinya.
4) Maksim pelaksanaan (the maxim of manner)
Maksim pelaksanaan dijabarkan ke dalam empat submaksim: a) “Avoid
obscurity”, b) “Avoid ambiguity”, c) “Be brief (avoid unnecessary
prolixity)”, d) “Be orderly”. (Maksim pelaksanaan: a) „Hindarilah
pernyataan-pernyataan yang samar‟, b) „Hindarilah ketaksaan‟, c)
„Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang
lebar dan bertele-tele)‟, d) „Usahakan agar Anda berbicara secara teratur‟)
(Grice, 1996:159).
e. Implikatur
Implikatur adalah salah satu bidang kajian dari pragmatik. Implikatur
(implicature) berasal dari kata kerja “to imply”, sedangkan kata bendanya adalah
implication (Mey dalam Nadar, 2009: 60).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Terkait masalah implikatur, Grice mengatakan bahwa implikatur adalah
derivasi kata implicate, yang semula bermakna menuduh seseorang terlibat dalam
perbuatan yang melanggar hukum, maka makna ini diubah oleh Grice menjadi
sinonimi kata imply. Bedanya adalah imply bermakna menyiratkan secara umum,
sedangkan implicate bermakna menyiratkan secara kebahasaan (dalam Asim
Gunarwan, 2007:86).
Menurut Asim Gunarwan (2007:87) istilah implikatur hampir selalu
dikaitkan dengan Grice yang memostulatkan bahwa di dalam berkomunikasi itu
efisien dan efektif. Dengan kata lain, partisipan komunikasi perlu mematuhi
Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle), yang dapat dijabarkan menjadi
empat maksim atau bidal, yaitu bidal keinformatifan, bidal kebenaran, bidal
relevansi, dan bidal kejelasan. Namun nyatanya dalam komunikasi sehari-hari,
orang tidak selalu mematuhi Prinsip Kerja Sama tersebut. Dengan kata lain, bidal-
bidal Prinsip Kerja Sama tersebut sering dilanggar dalam komunikasi sehari-hari.
Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam
percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan
(Rustono, 1999:77).
Kunjana Rahardi mengatakan bahwa di dalam pertuturan yang
sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena
mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang
sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat
semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa yang sedang dipertuturkan itu
saling dimengerti (2005: 42-43).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Terkait masalah implikatur, H. P. Grice membedakan implikatur menjadi
dua bagian, yaitu:
1) Implikatur konvensional
Implikatur konvensioanal adalah implikatur yang diperoleh dari makna
kata, dan bukan dari prinsip percakapan. (Grice dalam Rustono, 1999:80).
2) Implikatur nonkonvensioanal atau implikatur percakapan
Implikatur nonkonvensioanal adalah implikasi pragmatis yang tersirat di
dalam suatu percakapan akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan
(Grice dalam Rustono, 1999:80).
Selanjutnya, Asim Gunarwan (dalam Rustono, 1999:81) menegaskan tiga
hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu:
a) Implikatur bukanlah bagian dari tuturan.
b) Implikatur bukanlah akibat logis tuturan.
c) Mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan itu
tergantung kepada konteksnya.
Terkait masalah implikatur, Grice dan Levinson membagi implikatur
nonkonvensioanal atau implikatur percakapan menjadi dua, yaitu implikatur
percakapan khusus dan implikatur percakapan umum.
1) Implikatur percakapan khusus
Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya
memerlukan konteks khusus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
2) Implikatur percakapan umum
Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di
dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus (dalam Rustono,
1999:81).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implikatur
percakapan muncul dalam suatu tindak percakapan. Oleh sebab itu, sifatnya
temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
B. Kerangka Pikir
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Tindak Tutur
Sumber Data
5 episode Acara SRKR
“Cinta yang Hilang”
Data
Rekaman Percakapan
para pemain SRKR
“Cinta yang Hilang” Dialog
Tuturan yang
Mengandung Tindak
Tutur
Tuturan yang Mengandung
Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama
Konteks
Tindak Tutur Searle Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Grice
1. Maksim Kuantitas
2. Maksim Kualitas
3. Maksim Relevansi
4. Maksim Pelaksanaan
1. Asertif
2. Direktif
3. Ekspresif
4. Komisif
5. Deklarasi
Implikatur
Hasil Analisis Data:
1. Wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang”
2. Wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Penjelasan bagan di atas:
Objek kajian penelitian ini adalah tindak tutur dan pelanggaran prinsip
kerja sama. Sumber data dalam penelitian ini adalah acara SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang disiarkan pada tanggal 18 Juli
2011 sampai 22 Juli 2011. Dari sumber data akan diperoleh data penelitian berupa
dialog para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung
Yogyakarta yang mengandung tindak tutur, pelanggaran prinsip kerja sama, dan
implikatur beserta konteksnya yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22
Juli 2011. Dialog dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” ini dianalisis
menggunakan teori tindak tutur dari Searle dan pelanggaran prinsip kerja sama
Grice berserta implikaturnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
D. Edi Subroto berpendapat bahwa “Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang
berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar/foto, catatan harian,
memorandum, video tipe” (Edi subroto, 1992:7).
Berdasarkan uraian di atas, maka metode yang digunakan dalam penelitian
Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara Radio
Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ini adalah
metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Hal tersebut dikarenakan, hasil analisis
dalam penelitian ini berbentuk deskripsi fenomena tindak tutur dan pelanggaran
prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung
Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis
data. Pendekatan pragmatik di dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab
permasalahan dan menginterpretasikan maksud suatu tuturan. Tindak tutur dan
pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo buntung Yogyakarta ini dianalisis dengan mempertimbangkan faktor-faktor
konteks situasi tuturnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
B. Sumber Data dan Data
1. Sumber Data
Sudaryanto (1990:33) menjelaskan bahwa sumber data adalah asal dari
data penelitian itu diperoleh. Dari sumber itu penulis memperoleh data yang
dimaksud dan yang diinginkan. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah
acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta selama 5
episode yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011.
2. Data
Data berbeda dengan objek penelitian. Sudaryanto (1990:3) memberi
batasan data sebagai bahan penelitian, yaitu berupa bahan jadi (lawan dari bahan
mentah), yang ada berkat pemilihan dan pemilahan aneka macam tuturan. Adapun
data dalam penelitian ini adalah dialog para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di
Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang mengandung tindak tutur dan pelanggaran
prinsip kerja sama beserta konteksnya yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011
sampai 22 Juli 2011.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik penyediaan data menjadi dasar bagi pelaksanaan tahapan analisis
data. Dikatakan demikian karena pelaksanaan analisis data hanya dimungkinkan
untuk dilakukan jika data yang akan dianalisis telah tersedia. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaanya diperlukan metode-metode beserta jabarannya berupa
teknik-teknik tertentu, sehingga data yang tersedia cukup representatif untuk
menjelaskan ihwal keberadaan objek penelitian yang dipersoalkan (Mahsun,
2007:86-87).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Ada dua metode penyediaan data, yaitu metode simak dan metode cakap
(Sudaryanto, 1993:132). Pada penelitian Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip
Kerja Sama dalam Sandiwara Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo Buntung Yogyakarta ini penulis menggunakan metode simak. Teknik
penyediaan data ini dibedakan menjadi dua pula, yaitu teknik dasar dan teknik
lanjutan (Sudaryanto, 1993:133). Ada lima teknik lanjutan dalam pengumpulan
data berdasarkan metode simak, yaitu dengan teknik sadap, teknik simak libat
cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto,
1993:133).
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam.
Teknik rekam adalah alat utama penulis untuk mendapatkan data yang sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Seiring perkembangan teknologi, sekarang kegiatan merekam tidak hanya
dapat dilakukan dengan menggunakan tape recorder saja, melainkan dapat pula
dilakukan dengan menggunakan camera digital, handycam, handphone, laptop.
Dalam penelitian ini, untuk melakukan perekaman terhadap objek penelitian
penulis menggunakan laptop yang dilengkapi dengan software jet audio yang di
dalamnya terdapat recording yang fungsinya untuk merekam suara. Hal itu dipilih
karena suara yang dihasilkan dari rekaman tersebut cukup jelas. Dengan
demikian, penulis dapat dengan mudah melakukan transkripsi data melalui
rekaman yang dihasilkan.
D. Klasifikasi Data
Pengklasifikasian data merupakan masalah pengaturan data menurut asas-
asas tertentu yang mempunyai kepentingan yang cukup strategis di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
penelitian (Edi Subroto, 1992:46). Klasifikasi data dilakukan setelah semua data
terkumpul. Klasifikasi data sangat bermanfaat untuk mengarahkan sekaligus
memudahkan dalam melakukan analisis.
Data yang telah tersedia dikelompok-kelompokkan terlebih dahulu dengan
maksud mendapatkan tipe-tipe data dari acara SRKR yang tepat dan cocok dengan
tujuan penelitian. Pengelompokan data diharapkan dapat memberi arahan serta
gambaran langkah selanjutnya yang dilakukan penulis sehingga mempermudah
proses analisis data pada tahapan-tahapan selanjutnya.
Klasifikasi data pada penelitian ini dilakukan berdasarkan tujuan penelitian
yaitu dengan cara memperhatikan tuturan berdasarkan data pada konteksnya.
Klasifikasi data juga dikelompokkan berdasarkan dialog yang termasuk tindak
tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama. Dengan begitu, makna dan tujuan
tuturan yang mengandung tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dapat
diketahui.
Adanya pengurutan data bermanfaat untuk mencocokkan data-data dengan
analisisnya, yaitu memberikan isyarat tambahan yang dikerjakan berikutnya dan
bagaimana tahapan ini dilakukan dengan mengurutkannya sesuai dengan tujuan
penelitian. Adapun penomoran data disesuaikan menurut nomor urut, contoh:
1. (8/TT/18 JULI 2011)
Keterangan:
8 : Nomor urut data
TT : Tindak Tutur
18 Juli 2011 : Episode penyiaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
2. (2/PPKS/18 JULI 2011)
Keterangan:
2 : Nomor urut data
PPKS : Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
18 Juli 2011 : Episode penyiaran
E. Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap setelah data terkumpul. Dalam
menganalisis data penulis menggunakan analisis pragmatik yaitu analisis bahasa
berdasarkan pada sudut pandang pragmatik. Analisis ini berupaya untuk
menemukan maksud penutur baik yang diekspresikan secara tersurat maupun
tersirat yang diungkapkan secara tersirat dibalik tuturan (Rustono, 1999:17).
Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa metode
padan pragmatis di mana yang menjadi alat penentunya adalah mitra wicara.
Sudaryanto (1993:14-15) menjelaskan hal ini dengan „bila sampai kepada
penentuan bahwa kalimat perintah ialah kalimat yang diucapkan menimbulkan
reaksi tindakan tertentu dari mitra wicaranya dan kata afektif ialah kata yang bila
diucapkan menimbulkan akibat emosional tertentu‟. Metode ini digunakan untuk
mengidentifikasi, misalnya suatu tuturan menurut reaksi atau akibat yang terjadi
atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika tuturan itu dituturkan oleh
pembicara. Hal ini sejalan dengan data analisis tuturan yang menunjukkan bahwa
terjadi reaksi atau akibat yang timbul pada mitra wicara ketika suatu tuturan itu
disampaikan oleh penutur.
Selain menggunakan metode padan pragmatis, penelitian ini juga
menggunakan metode kontekstual untuk menganalisis data. Cara analisis yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan
identitas konteks-konteks yang ada disebut metode kontekstual. (Kunjana
Rahardi, 2005:16). Pemahaman konteks ini sejalan dengan yang disampaikan oleh
Harimurti Kridalaksana, yakni bahwa konteks itu adalah aspek-aspek lingkungan
sosial yang berkaitan dengan tuturan (1993:120). Dengan demikian, tindak tutur
dan pelanggaran prinsip kerja sama akan dianalisis dengan mempertimbangkan
faktor-faktor konteks situasi tuturnya.
Teknik merupakan penjabaran metode yang ditentukan oleh alat yang
dipakai untuk analisis data. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah means-end „cara tujuan‟. Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi
pemecahan masalah oleh penutur dapat dilihat sebagai sebuah bentuk analisis cara
tujuan (means-end) (Leech, 1993:55). Penutur bertugas untuk menggunakan cara
yang paling tepat agar tujuan tuturannya dapat tercapai dengan baik. Analisis
cara-tujuan pada umumnya diterapkan pada penggunaan tuturan secara
komunikatif. Dalam konteks ini istilah „tujuan‟ (goal) dan „maksud‟ (intention)
menyiratkan makna „sadar‟ dan „sengaja‟. Teknik ini tidak ingin memberi kesan
seakan-akan tuturan direncanakan dengan sadar dan sengaja. Tujuan-tujuan yang
lebih khusus dapat dicapai tanpa harus sadar sepenuhnya akan tujuan tersebut.
Penutur menggunakan bahasa secara komunikatif dengan maksud agar
tujuannya dapat dipahami. Tuturan merupakan keseluruhan transaksi dan
dianggap sebagai suatu usaha untuk menyampaikan daya ilokusi pada petutur.
Tujuan penutur tercapai apabila dipahami oleh petutur. Keberhasilan ini ditandai
oleh keadaan terakhir. Supaya penutur dapat mencapai tujuannya, penutur harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
memilih suatu makna (atau ide idesional) yang dapat menyampaikan makna yang
dimaksud (Leech, 1993:93).
Selain menggunakan teknik analisis cara tujuan (means-end), penelitian ini
juga menggunakan teknik analisis heuristik. Teknik heuristik adalah teknik
pemecahan masalah yang dihadapi petutur dalam menginterpretasikan tuturan.
Teknik heuristik di sini berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan
dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan
data-data yang tersedia. Bila hipotesis tidak teruji akan dibuat hipotesis yang baru
(Leech, 1993:61).
Bila semua hipotesis selaras dengan bukti kontekstual, maka hipotesis
dapat diterima.jika salah satu hipotesis (atau lebih), bertentangan dengan konteks,
maka hipotesis harus ditolak dan harus dipertimbangkan seperangkat
kemungkinan lain. Interpretasi yang didasarkan pada kebenaran hipotesis yang
pertama kali muncul disebut interpretasi baku (default interpretation), yakni
interpretasi yang diterima karena tidak ada evidensi yang bertentangan dengan
hipotesis tersebut (Leech, 1993:64).
Dalam menganalisis data dengan menggunakan teknik heuristik ini,
penulis terlebih dahulu menunjukkan konteks tuturan, kemudian tuturan akan
dikaitkan dengan konteks yang telah ditunjukkan. Setelah itu tuturan diidentifikasi
dengan menunjukkan penanda lingualnya dan disebutkan siapa yang menuturkan,
kepada siapa, dan apa tujuannya. Setelah itu penulis mendeskripsikan tuturan
yang telah diidentifikasi dengan diperkuat melalui penanda lingual tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
F. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Sudaryanto menyatakan bahwa metode penyajian hasil analisis data ada
dua macam, yaitu yang bersifat informal dan yang bersifat formal. Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan
terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan
dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:144-145). Penelitian ini
menggunakan metode penyajian hasil analisis data secara informal, yaitu
merumuskan hasil analisis data dengan kata-kata biasa untuk menafsirkannya.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
BAB IV
ANALISIS DATA
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam sebuah
penelitian. Tahapan ini dilakukan untuk menemukan jawaban-jawaban dari
rumusan masalah yang ada. Adapun analisis dalam penelitian ini meliputi 2 hal,
yaitu wujud tindak tutur dan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
A. Wujud Tindak Tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta
George Yule menjelaskan bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan
lewat tuturan biasanya disebut tindak tutur (Yule, 2006:82). Searle (1996:147-
149) mengategorikan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu: asertif (assertives),
direktif (directives), komisif (commisives), ekspresif (expressives), deklarasi
(declarations). Pada penelitian SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta, penulis hanya meneliti empat jenis tindak tutur saja, yaitu
tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Tindak tutur deklarasi tidak
ditemukan dalam penelitian ini. Adapun pembahasan keempat jenis tindak tutur
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Wujud Tindak Tutur Asertif
Pada penelitian tindak tutur Asertif (selanjutnya disingkat TTA) dalam
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ini ditemukan 7
macam subtindak tutur yang dapat dikategorikan ke dalam TTA, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
memberitahukan, menjelaskan, membenarkan, menunjukkan, meyakinkan,
menegaskan, dan menyatakan.
a. Memberitahukan
Memberitahukan adalah menyampaikan (kabar dan sebagainya) supaya
diketahui (KBBI, 2007:141). Jadi, yang dimaksud TTA „memberitahukan‟ adalah
suatu tindak tutur yang dilakukan penutur untuk memberitahukan mitra tutur
tentang sesuatu, bisa berupa kabar. Data yang menunjukkan TTA
„memberitahukan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(1) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
menanyakan tempat Pak Dibyo dulu bekerja. Pak Dibyo
pun memberitahukan tempat Pak Dibyo dulu bekerja.
Fatimah : “E… dulu Bapak bekerja di instansi mana, Pak?”
Pak Dibyo : “E… anu saya di Departemen Sosial, ngurusin orang-
orang. Tapi, sekarang saya sudah tua ini tidak ada yang
mengurus, semua pada sibuk sendiri-sendiri dengan
urusannya masing-masing.”
(15/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (1) termasuk ke dalam jenis TTA „memberitahukan‟.
Pada data (1) Fatimah bertanya tempat Pak Dibyo bekerja. Hal itulah yang
memicu terjadinya TTA yang dilakukan oleh Pak Dibyo. TTA „memberitahukan‟
tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “E… anu saya di Departemen
Sosial”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTA „memberitahukan‟. TTA „memberitahukan‟ pada tuturan di
atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Pak Dibyo memberitahukan tempat Pak Dibyo dulu bekerja.
TTA „memberitahukan‟ pada data (1) terjadi ketika Fatimah bertanya
kepada Pak Dibyo melalui tuturan “E… dulu Bapak bekerja di instansi mana
Pak?”. Pertanyaan Fatimah tersebut secara tidak langsung berarti Fatimah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
meminta informasi tempat Pak Dibyo dulu bekerja. Hal itulah yang memicu
terjadinya TTA „memberitahukan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan
“E… anu saya di Departemen Sosial”. Melalui tuturan tersebut Pak Dibyo ingin
memberitahukan tempat Pak Dibyo dulu bekerja kepada Fatimah, yaitu di
Departemen Sosial. Jika Pak Dibyo tidak ingin memberitahukan hal tersebut
kepada Fatimah tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi
untuk „memberitahukan‟.
Data yang menunjukkan TTA „memberitahukan‟ dapat pula dilihat pada
data berikut:
(2) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan ustazah dalam sebuah
acara pengajian rutin yang bertempat di rumah Fatimah. Bu
Dibyo memberitahukan namanya kepada ustazah setelah
ditanya oleh ustazah.
Bu Dibyo : “Eh, maaf Ustazah, saya mau tanya.”
Ustazah : “Eh, silakan! Maaf, dengan ibu siapa?”
Bu Dibyo : “Saya Bu Dibyo.”
Ustazah : “Mangga mangga silakan!”
(327/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (2) termasuk ke dalam jenis TTA „memberitahukan‟.
TTA „memberitahukan‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Saya
Bu Dibyo”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTA „memberitahukan‟. TTA „memberitahukan‟ pada data (2)
dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteks tuturan pada
data di atas terlihat bahwa Bu Dibyo memberitahukan namanya kepada ustazah
ketika ditanya namanya.
TTA „memberitahukan‟ pada data (2) terjadi karena dalam tuturan tersebut
di awali oleh adanya tindak tutur direktif (selanjutnya disingkat TTDir). TTDir
„meminta izin‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui tuturan “Eh, maaf Ustazah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
saya mau tanya”. Dari tuturan tersebut terlihat bahwa Bu Dibyo ingin meminta
izin kepada ustazah untuk bertanya. Kemudian ustazah mempersilakan Bu Dibyo
untuk bertanya dan sebelum Bu Dibyo menyampaikan pertanyaannya, ustazah
bertanya nama ibu yang akan bertanya tersebut melalui tuturan “Eh, silakan!
Maaf, dengan ibu siapa?”. Hal itulah yang memicu terjadinya TTA
„memberitahukan‟ yang dilakukan Bu Dibyo. Bu Dibyo pun memberitahukan
kepada ustazah bahwa namanya adalah Bu Dibyo. Bu Dibyo melakukan TTA
„memberitahukan melalui tuturan “Saya Bu Dibyo”. Jika Bu Dibyo tidak ingin
memberitahukan namanya kepada Ustazah tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „memberitahukan‟.
b. Menjelaskan
Menjelaskan adalah menerangkan, menguraikan secara terang (KBBI,
2007:465). Jadi, TTA „menjelaskan‟ adalah tindak tutur yang disampaikan
penutur yang berfungsi untuk membuat mitra tutur menjadi lebih jelas tentang
suatu hal. Data yang menunjukkan TTA „menjelaskan‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(3) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati, Fatimah, dan Pak Dibyo
ketika Pak Dibyo sedang bertamu di rumah Fatimah. Aryati
mengira bahwa Pak Dibyo itu adalah kakeknya. Oleh sebab
itu, Aryati meminta Pak Dibyo untuk tidur di rumah Aryati.
Fatimah pun menjelaskan kepada Aryati bahwa Pak Dibyo
tidak bisa tidur di rumah mereka dengan alasan rumah Pak
Dibyo dekat dengan rumah mereka.
Aryati : “Selamat datang, Kakek. Kakek nanti tidur di rumah Titi,
ya! Nanti Titi siapin kamarnya Kek.”
Fatimah : “Titi, Kakek kan rumahnya dekat dengan rumah kita
ini, jadi Kakek bisa pulang ke rumah Kakek sendiri,
tidak bisa tidur di sini dengan Titi, ya!”
Aryati : “Iya Kakek, Kakek nggak bisa tidur sama Titi di sini?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Pak Dibyo : “Iya sayang, Kakek kan tinggal di ujung jalan itu dan di
sana ada cucu-cucu Kakek yang lain.”
(95/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (3) termasuk ke dalam jenis TTA „menjelaskan‟. TTA
„menjelaskan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Titi, Kakek kan
rumahnya dekat dengan rumah kita ini, jadi Kakek bisa pulang ke rumah
Kakek sendiri, tidak bisa tidur di sini dengan Titi, ya?”. Dalam tuturan
tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA
„menjelaskan‟. TTA „menjelaskan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteks tuturan pada data di atas terlihat
bahwa Fatimah memberi penjelasan kepada Aryati bahwa Pak Dibyo tidak bisa
tidur di rumah mereka dengan alasan rumahnya dekat dengan rumah mereka.
TTA „menjelaskan‟ pada data (3) terjadi ketika tuturan tersebut diawali
oleh adanya TTDir „meminta‟ yang dilakukan oleh Aryati melalui tuturan “Kakek
nanti tidur di rumah Titi ya”. Ketika Pak Dibyo datang ke rumah Fatimah, Aryati
langsung menyambut kedatangan Pak Dibyo. Setahu Aryati Pak Dibyo itu adalah
kakeknya, maka Aryati menyuruh Pak Dibyo untuk tidur di rumah Aryati, dan
Aryati pun akan menyiapkan kamarnya. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
TTA „menjelaskan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Titi, kakek kan
rumahnya dekat dengan rumah kita ini, jadi kakek bisa pulang ke rumah kakek
sendiri, tidak bisa tidur di sini dengan Titi, ya”. Dalam tuturan tersebut Fatimah
memberi penjelasan kepada Aryati bahwa rumah Pak Dibyo dekat dengan rumah
mereka, jadi Pak Dibyo bisa pulang ke rumahnya sendiri dan tidak bisa menginap.
Oleh karena itu, tuturan yang disampaikan oleh Fatimah termasuk dalam TTA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
„menjelaskan‟. Jika Fatimah tidak bermaksud memberi penjelasan kepada Aryati
tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menjelaskan‟.
Data yang menunjukkan TTA „menjelaskan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(4) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Karena
dituduh menggoda Pak Dibyo, Fatimah berusaha
menjelaskan bahwa Fatimah tidak menggoda Pak Dibyo.
Fatimah : “Ibu Dibyo, sebaiknya Ibu tidak marah-marah pada Bapak,
karena Bapak hanya bermain dengan anak saya Bu.”
Bu Dibyo : “Ya justru itu yang membuat saya marah. Di rumah saja dia
tidak mau bermain dengan cucu-cucunya. Padahal mereka
juga ingin bermain dengan kakeknya. Heeh, malah dia di
sini enak-enakan main dengan anak sampeyan. Sampeyan
sudah menggoda suami saya, ya? Jangan, ndak baik
mengganggu suami orang.”
Fatimah : “Ibu, di sini tidak ada yang mengganggu suami orang.
Bapak ini kesepian, beliau butuh teman Ibu.”
Bu Dibyo : “Heh, perempuan, jangan sok suci ya jadi orang, jangan sok
alim. Saya tahu bagaimana suami saya. Sampeyan ndak
usah menasihati saya.”
(140/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (4) di atas termasuk ke dalam jenis TTA „menjelaskan‟.
TTA „menjelaskan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Ibu, di sini
tidak ada yang mengganggu suami orang. Bapak ini kesepian, beliau butuh
teman Ibu”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual
yang menunjukkan TTA „menjelaskan‟. TTA „menjelaskan‟ pada data (4) dapat
ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa
karena dituduh menggoda Pak Dibyo, Fatimah berusaha menjelaskan kepada Bu
Dibyo bahwa Fatimah tidak menggoda Pak Dibyo.
TTA „menjelaskan‟ pada data (4) terjadi ketika tuturan tersebut diawali
oleh adanya TTDir „menasihati‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan
“Ibu Dibyo, sebaiknya Ibu tidak marah-marah pada bapak, karena bapak hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
bermain dengan anak saya Bu”. Fatimah menasihati Bu Dibyo supaya tidak
marah dengan Pak Dibyo. Hal tersebut justru membuat Bu Dibyo mengungkapkan
rasa marahnya. Bu Dibyo marah karena saat di rumah, Pak Dibyo tidak mau jika
dimintai bantuan untuk merawat cucu-cucunya, namun ketika Pak Dibyo di rumah
Fatimah justru bermain dengan Aryati, anaknya Fatimah. Bu Dibyo pun menuduh
Fatimah telah menggoda Pak Dibyo. Hal itulah yang mendorong terjadinya TTA
„menjelaskan‟ yang dilakukan oleh Fatimah. TTA „menjelaskan‟ yang dilakukan
oleh Fatimah tampak pada tuturan “Ibu, di sini tidak ada yang mengganggu suami
orang. Bapak ini kesepian, beliau butuh teman Ibu”. Melalui tuturan tersebut
Fatimah menjelaskan kepada Bu Dibyo bahwa dirinya tidak menggoda Pak Dibyo
dan alasan Pak Dibyo di rumah Fatimah adalah karena Pak Dibyo membutuhkan
teman. Jika Fatimah tidak ingin memberi penjelasan kepada Bu Dibyo, tentu
Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menjelaskan‟.
Data yang menunjukkan TTA „menjelaskan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(5) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah di rumah Bu
Dibyo ketika Pak Dibyo meninggal dunia. Aryati
menanyakan anak-anak Pak Dibyo yang belum datang.
Fatimah pun memberi penjelasan anak-anak Pak Dibyo
yang belum datang.
Aryati : “Kok anak-anak kakek yang lain belum ada yang datang, ya
Bun?”
Fatimah : “Rumah mereka itu jauh sayang, ndak ada yang dekat,
harus naik pesawat. Kalau naik jalan darat kelamaan,
bisa dua hari. Yuk kita pulang yuk! Nanti kalau sudah mau
diberangkatkan kita datang lagi, ayo sayang!”
Aryati : “Iya, Bunda.”
(318/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (5) di atas termasuk ke dalam jenis TTA „menjelaskan‟.
TTA „menjelaskan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
mereka itu jauh sayang, ndak ada yang dekat, harus naik pesawat. Kalau
naik jalan darat kelamaan, bisa dua hari”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA „menjelaskan‟. TTA
„menjelaskan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
dilihat dari konteks tuturan pada data (5) terlihat bahwa Fatimah memberi
penjelasan kepada Aryati tentang anak-anak Pak Dibyo.
TTA „menjelaskan‟ terjadi ketika anak-anak Pak Dibyo belum ada yang
pulang saat Pak Dibyo meninggal dunia. Lalu Aryati menanyakan hal tersebut
kepada Fatimah dengan menuturkan “Kok anak-anak kakek yang lain belum ada
yang datang, ya Bun?”. Tuturan dari Aryati tersebut secara tidak langsung
meminta penjelasan dari Fatimah tentang anak-anak Pak Dibyo yang belum ada
yang pulang saat Pak Dibyo meninggal dunia. Tuturan Aryati tersebut memicu
terjadinya TTA „menjelaskan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan
“Rumah mereka itu jauh sayang, ndak ada yang dekat, harus naik pesawat. Kalau
naik jalan darat kelamaan, bisa dua hari”. Melalui tuturan tersebut Fatimah
berusaha memberi penjelasan kepada Aryati bahwa anak-anak Pak Dibyo itu
rumahnya jauh tidak ada yang dekat dan harus naik pesawat. Jika Fatimah tidak
ingin memberi penjelasan kepada Aryati tentu Fatimah tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „menjelaskan‟.
c. Membenarkan
Membenarkan adalah mengiyakan, mengakui (menyungguhkan),
menganggap benar (baik), menyetujui (KBBI, 2007:130). Jadi, TTA
„membenarkan‟ adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur yang berfungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
menganggap benar yang dikatakan mitra tuturnya. Data yang menunjukkan TTA
„membenarkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(6) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati ingin
belajar komputer kemudian meminta ibunya untuk
mengajarinya. Aryati membenarkan pertanyaan Fatimah
bahwa Aryati ingin belajar komputer.
Aryati : “Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer?”
Fatimah : “Oh, mau belajar komputer, ya bisa dong. Mau belajar?
Aryati : “Iya, Bun.”
Fatimah : “Yah, sip kalau gitu. Nah, sekarang Titi nyalain dulu
komputernya, ya, Bunda mau melihat samping rumah sudah
ada ibu-ibu yang datang atau belum. Hari ini kan ada
pengajian rutin di rumah kita, ya kan?”
Aryati : “Oke, Bun.”
(167/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (6) termasuk ke dalam jenis TTA „membenarkan‟. TTA
„membenarkan‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan “Iya, Bun”. Kata
iya digunakan Aryati dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTA
„membenarkan‟. Aryati membenarkan bahwa dirinya ingin belajar komputer.
TTA „membenarkan‟ pada data (6) terjadi ketika tuturan tersebut diawali
oleh adanya TTDir „meminta‟ yang dilakukan oleh Aryati melalui tuturan
“Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer”. Dari tuturan tersebut Aryati
meminta ibunya untuk mengajari bermain komputer. Fatimah menyatakan
kesanggupannya untuk mengajari Aryati bermain komputer melalui tuturan “Oh,
mau belajar komputer, ya bisa dong”. Kemudian Fatimah meyakinkan Aryati
benar atau tidak ingin bermain komputer dengan bertanya “Mau belajar?”. Hal
itulah yang memicu terjadinya TTA „membenarkan‟ yang dilakukan oleh Aryati
dengan menuturkan “Iya, Bun”. Dari tuturan tersebut terlihat bahwa Aryati
membenarkan perkataan Fatimah bahwa dirinya ingin belajar komputer. Jika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Aryati tidak ingin belajar komputer tentu Aryati tidak akan menuturkan tuturan
yang berfungsi „membenarkan‟.
d. Menunjukkan
Menunjukkan adalah memberitahu tentang sesuatu (KBBI, 2007:1226).
Jadi, TTA „menunjukkan‟ adalah tindak tutur yang disampaikan penutur yang
berfungsi untuk memberitahukan mitra tutur tentang sesuatu. Data yang
menunjukkan TTA „menunjukkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(7) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Fatimah
adalah warga baru. Hal tersebut membuat Pak Dibyo datang
ke rumah Fatimah untuk berkenalan. Pak Dibyo
memberitahukan kalau dirinya satu warga dengan Fatimah.
Pak Dibyo juga menunjukkan letak rumahnya.
Fatimah : “Oohhh, iya iya. Bapak warga sini atau….?”
Pak Dibyo : “Iya iya, saya warga sini. Itu rumah saya di ujung sebelah
sana itu, yang gang kedua belakangnya dari gang ini. Tidak jauh sih, tapi ya, untuk ukuran di kota Jogja ini sudah
lumayan jauh.”
(3/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (7) termasuk ke dalam jenis TTA „menunjukkan‟. TTA
„menunjukkan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Itu rumah
saya di ujung sebelah sana itu, yang gang kedua belakangnya dari gang ini”.
Kata itu digunakan Pak Dibyo dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual
TTA „menunjukkan‟. Pak Dibyo menunjukkan rumahnya kepada Fatimah.
TTA „menunjukkan‟ pada data (7) terjadi karena Fatimah bertanya kepada
Pak Dibyo melalui tuturan “Oohhh, iya iya. Bapak warga sini atau….”. Maksud
tuturan tersebut adalah Fatimah ingin bertanya kepada Pak Dibyo satu warga
dengan Fatimah atau tidak. Secara tidak langsung, tuturan Fatimah tersebut
mempunyai maksud bahwa Fatimah meminta informasi dari Pak Dibyo, satu
wargakah Pak Dibyo dengan Fatimah. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
TTA „menunjukkan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. TTA „menunjukkan‟
disampaikan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Itu rumah saya di ujung sebelah
sana itu, yang gang kedua belakangnya dari gang ini”. Dari tuturan tersebut, Pak
Dibyo ingin menunjukkan letak rumahnya kepada Fatimah. Hal itu dilakukan Pak
Dibyo untuk meyakinkan Fatimah bahwa Pak Dibyo benar warga di daerah
tempat Fatimah tinggal. Jika Pak Dibyo tidak ingin menunjukkan rumahnya
kepada Fatimah tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„menunjukkan‟.
e. Meyakinkan
Meyakinkan adalah menjadikan (menyebabkab dan sebagainya) yakin
(KBBI, 2007:1277). Jadi, TTA „meyakinkan‟ adalah tindak tutur yang
disampaikan penutur yang membuat mitra tutur menjadi yakin akan sesuatu. Data
yang menunjukkan TTA „meyakinkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(8) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
bermaksud meyakinkan Fatimah bahwa dirinya masih sehat,
belum pikun. Hal tersebut dilakukan Pak Dibyo karena
merasa Fatimah tidak percaya atau meragukan Pak Dibyo
yang masih ingat betul tentang keadaan anaknya dulu.
Pak Dibyo : “E.. saya ini tidak pikun, saya masih sehat kok, saya masih
waras akal dan pikiran saya.”
Fatimah : “Iya.”
Pak Dibyo : “Daya ingat saya juga masih tajam, kalau saya pikun, pasti
saya sudah lupa, lupa sudah makan atau belum. Saya masih
ingat kok jam berapa saya makan dan juga pakai lauk
apa.”
Fatimah : “Iya Pak, saya percaya kok kalau Pak Dib belum pikun.”
Pak Dibyo : “He… he… iya.”
(75/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (8) termasuk ke dalam jenis TTA „meyakinkan‟. TTA
„meyakinkan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Saya masih
ingat kok jam berapa saya makan dan juga pakai lauk apa.”. Dalam tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA
„meyakinkan‟. TTA „meyakinkan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo
bermaksud meyakinkan Fatimah bahwa dirinya masih sehat, belum pikun karena
Pak Dibyo merasa Fatimah sedikit tidak percaya atau ragu akan diri Pak Dibyo
yang masih ingat betul tentang keadaan anaknya dulu.
TTA „meyakinkan terjadi ketika Pak Dibyo menceritakan anaknya secara
rinci pada waktu dulu. Hal itu membuat Fatimah merasa sedikit ragu dengan Pak
Dibyo karena Pak Dibyo masih benar-benar ingat tentang kebiasaan anaknya. Hal
tersebut memicu terjadinya TTA „meyakinkan‟ pada tuturan Pak Dibyo. Pak
Dibyo meyakinkan Fatimah bahwa Pak Dibyo benar-benar masih ingat, dirinya
masih waras, dan tidak pikun dengan mengatakan bahwa dirinya masih ingat saat
dia makan. Hal tersebut dilakukan Pak Dibyo supaya Fatimah percaya dengan Pak
Dibyo bahwa Pak Dibyo masih waras dan tidak pikun. Jika Pak Dibyo tidak
bermaksud meyakinkan Fatimah, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „meyakinkan‟.
Data yang menunjukkan TTA „meyakinkan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(9) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati, Fatimah, dan Pak Dibyo.
Aryati dan Fatimah datang ke rumah Pak Dibyo untuk
menjenguk dan membujuk Pak Dibyo supaya Pak Dibyo
mau makan. Pak Dibyo meyakinkan Fatimah dan Aryati
bahwa dirinya bisa duduk setelah Aryati dan Fatimah
bertanya Pak Dibyo bisa duduk atau tidak.
Aryati : “Kakek, Kakek Makan, ya, ini Titi bawa bubur kesukaan
Kakek. Sekarang Titi suapin ya biar Kakek lekas sembuh
dan Kakek bisa main lagi, makan ya Kek biar lekas
sembuh!”
Fatimah : “Titi sayang, hati-hati, ya!”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Aryati : “Iya, Bunda. Kakek bisa duduk ndak, Bun?”
Fatimah : “Bisa duduk kan, Kek?”
Pak Dibyo : “Oh, bisa sekali bisa.”
(278/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (9) termasuk ke dalam jenis TTA „meyakinkan‟. TTA
„meyakinkan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Oh, bisa sekali
bisa”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTA „meyakinkan‟. TTA „meyakinkan‟ pada tuturan di atas dapat
ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa
Pak Dibyo meyakinkan Aryati dan Fatimah bahwa dirinya bisa duduk.
TTA „meyakinkan‟ pada data (9) terjadi karena diawali oleh adanya TTDir
„membujuk yang dilakukan oleh Aryati. Aryati membujuk Pak Dibyo supaya mau
makan dengan menyuapi bubur kesukaan Pak Dibyo. Kemudian Fatimah
mengingatkan Aryati supaya hati-hati saat menyuapi Pak Dibyo. Aryati pun
bertanya kepada ibunya (Fatimah), Pak Dibyo bisa duduk atau tidak. Aryati tidak
langsung bertanya kepada Pak Dibyo namun justru bertanya kepada ibunya.
Fatimah pun bertanya kepada Pak Dibyo bisa duduk atau tidak melalui tuturan
“Bisa duduk kan, Kek”. Hal itu yang menyebabkan terjadinya TTA „meyakinkan‟
yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo meyakinkan kepada Aryati dan
Fatimah bahwa dirinya bisa duduk melalui tuturan “Oh, bisa sekali bisa”. Dari
tuturan tersebut Pak Dibyo ingin meyakinkan Aryati dan Fatimah bahwa dirinya
bisa duduk. Jika Pak Dibyo tidak bermaksud meyakinkan ke Fatimah dan Aryati
bahwa dirinya bisa duduk, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi
untuk „meyakinkan‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
f. Menegaskan
Menegaskan adalah menerangkan, menjelaskan, mengatakan dengan tegas
(KBBI, 2007: 1155). Jadi, TTA „menegaskan‟ adalah tindak tutur yang
disampaikan penutur yang berfungsi untuk mengatakan dengan jelas kepada mitra
tutur. Data yang menunjukkan TTA „menegaskan‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(10) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
menegaskan bahwa Bu Dibyo bukan tidak ada waktu untuk
mengurus suaminya, melainkan memang istrinya tidak ada
perhatian untuk mengurus Pak Dibyo.
Fatimah : “Oh iya, Pak, ibu masih kuat menggendong cucu, ya? Wah,
hebat dong berarti, ibu masih muda, ya?”
Pak Dibyo : “Iya, he.. he.. he.. E.. apalagi istri saya, dia orangnya super
sibuk, sampai lupa melayani suaminya, he.. he.. he...”
Fatimah : “Bukan lupa Pak, ndak ada waktu, he.. he.. he…”
Pak Dibyo : “Bukan ndak ada waktu, dia saja yang dari dulu
memang ndak perhatian pada suami. Kalau dia tahu
bagaimana seharusnya seorang istri, sesibuk apa pun
yang masih menyediakan waktunya dong untuk suami.
Lha ini dia tidak kok. Dari dulu sibuk dengan urusannya
sendiri, yang inilah, yang itulah. Istri saya memang begitu
sejak dulu, tidak pernah meluangkan waktu untuk melayani
saya. Saya tu suami mandiri. Mau berangkat kerja
menyiapkan segala sesuatunya sendiri, ya pakaian, ya
makan pagi, ya pokoknya semuanya.”
(49/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (10) termasuk ke dalam jenis TTA „menegaskan‟. TTA
„menegaskan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Bukan ndak
ada waktu, dia saja yang dari dulu memang ndak perhatian pada suami.
Kalau dia tahu bagaimana seharusnya seorang istri, sesibuk apa pun yang
masih menyediakan waktunya dong untuk suami. Lha ini dia tidak kok”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTA „menegaskan‟. TTA „menegaskan‟ pada tuturan di atas dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
ditentukan berdasarkan konteksnya. Ketika Fatimah menanyakan Bu Dibyo masih
kuat menggendong cucunya atau tidak, Pak Dibyo justru mengeluhkan keadaan
istrinya yang selalu sibuk mengurus cucu-cucunya sampai lupa untuk melayani
suaminya. Kemudian terjadi perdebatan antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak
Dibyo tetap mengatakan bahwa istrinya memang tidak mau mengurus Pak Dibyo,
sedangkan Fatimah mengatakan bahwa Bu Dibyo bukan lupa untuk merawat
suaminya tapi tidak ada waktu. Hal itulah yang menyebabkab terjadinya TTA
„menegaskan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Bukan ndak ada
waktu, dia saja yang dari dulu memang ndak perhatian pada suami. Kalau dia
tahu bagaimana seharusnya seorang istri, sesibuk apa pun yang masih
menyediakan waktunya dong untuk suami. Lha ini dia tidak kok”. Dari tuturan
tersebut, Pak Dibyo ingin menegaskan kepada Fatimah bahwa istrinya bukan
tidak ada waktu tapi memang istrinya tidak perhatian kepada Pak Dibyo. Jika Pak
Dibyo tidak bermaksud untuk menegaskan kepada Fatimah tentu ia tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menegaskan‟.
Data yang menunjukkan TTA „menegaskan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(11) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
menasihati istrinya supaya mau salat dan bisa
menghilangkan kebiasaan buruknya, namun Bu Dibyo
justru mengatakan bahwa Pak Dibyo merasa keberatan jika
Bu Dibyo merawat cucu-cucunya. Pak Dibyo pun
menegaskan kepada istrinya bahwa dirinya tidak pernah
merasa keberatan jika istrinya merawat cucu-cucunya.
Pak Dibyo : “Tu kan, lho, masak kebisaaan buruk yang seperti ini ndak
hilang juga, satu pun ndak ada yang masuk ke hati ibu.
Coba deh Ibu salat! Kalau mau salat nanti kan hati dan jiwa
Ibu itu bersih. Jangan hanya dunia saja. Jangan hanya
ngurus cucu saja!”
Bu Dibyo : “Jadi Bapak keberatan kalau aku ngurus cucu?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Pak Dibyo : “Bu, sekali lagi Bapak katakana, ya Bu, ya, ndak ada
rasa keberatan atau apa pun di hati bapak kalau ibu
sibuk dengan cucu-cucu kita.”
(192/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (11) termasuk ke dalam jenis TTA „menegaskan‟. TTA
„menegaskan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Bu, sekali lagi
Bapak katakana, ya Bu, ya, ndak ada rasa keberatan atau apa pun di hati
bapak kalau ibu sibuk dengan cucu-cucu kita”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA „menegaskan‟. TTA
„menegaskan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteks dan
tuturan sebelumnya, yaitu tuturan dari Bu Dibyo. Bu Dibyo merasa Pak Dibyo
keberatan ketika Bu Dibyo merawat cucunya. Dalam tuturan di atas terlihat bahwa
Pak Dibyo bermaksud menegaskan kepada istrinya bahwa Pak Dibyo tidak pernah
merasa keberatan bahwa istrinya merawat dan bermain dengan cucu-cucunya.
Terjadinya TTA „menegaskan‟ pada data (11) di awali oleh adanya TTDir
„menasihati‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo kepada istrinya melalui tuturan “Tu
kan, lho, masak kebisaaan buruk yang seperti ini ndak hilang juga, satu pun ndak
ada yang masuk ke hati ibu. Coba deh Ibu salat! Kalau mau salat nanti kan hati
dan jiwa Ibu itu bersih. Jangan hanya dunia saja. Jangan hanya ngurus cucu
saja”. Dari tuturan tersebut terlihat bahwa Pak Dibyo menasihati istrinya supaya
mau salat dan bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Nasihat dari Pak Dibyo
tersebut membuat Bu Dibyo merasa suaminya keberatan jika Bu Dibyo merawat
cucu-cucunya. Hal itulah yang memicu terjadinya TTA „menegaskan‟ yang
dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Bu, sekali lagi Bapak katakana, ya
Bu, ya, ndak ada rasa keberatan atau apa pun di hati bapak kalau ibu sibuk
dengan cucu-cucu kita”. Melalui tuturan tersebut, Pak Dibyo menegaskan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
istrinya bahwa dirinya tidak merasa keberatan sama sekali jika istrinya mengurus
cucu-cucunya. Jika Pak Dibyo tidak bermaksud menegaskan kepada istrinya, tentu
ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menegaskan‟.
g. Menyatakan
Menyatakan adalah mengatakan, mengemukakan (pikiran, isi hati),
melahirkan (isi hati, perasaan) (KBBI, 2007:790). Jadi, TTA „menyatakan‟ adalah
tindak tutur yang disampaikan penutur kepada mitra tutur yang berfungsi untuk
mengemukakan tentang yang dirasakannya. Data yang menunjukkan TTA
„menyatakan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(12) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
meyakinkan Fatimah bahwa Pak Dibyo masih sehat, belum
pikun karena Pak Dibyo merasa Fatimah tidak percaya atau
ragu kepada Pak Dibyo yang masih ingat betul tentang
keadaan anaknya dulu. Fatimah pun menyatakan dirinya
percaya bahwa Pak Dibyo itu belum pikun.
Pak Dibyo : “E.. saya ini tidak pikun, saya masih sehat kok, saya masih
waras akal dan pikiran saya.”
Fatimah : “Iya.”
Pak Dibyo : “Daya ingat saya juga masih tajam, kalau saya pikun, pasti
saya sudah lupa, lupa sudah makan atau belum. Saya masih
ingat kok jam berapa saya makan dan juga pakai lauk apa.
Fatimah : “Iya Pak, saya percaya kok kalau Pak Dib belum
pikun.”
Pak Dibyo : “He.. he… iya.”
(76/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (12) termasuk ke dalam jenis TTA „menyatakan‟. TTA
„menyatakan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Iya Pak, saya
percaya kok kalau Pak Dib belum pikun”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA „menyatakan‟. TTA
„menyatakan‟ pada data (12) dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
dilihat dari konteks tuturan data (12) terlihat bahwa Fatimah menyatakan dirinya
percaya bahwa Pak Dibyo itu belum pikun.
Terjadinya TTA „menyatakan‟ diawali oleh adanya TTA „meyakinkan‟
yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Saya masih ingat kok jam
berapa saya makan dan juga pakai lauk apa”. Pada tuturan tersebut Pak Dibyo
berusaha meyakinkan Fatimah yang sempat ragu jika Pak Dibyo itu masih sehat,
belum pikun. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTA „menyatakan‟ yang
dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Iya Pak, saya percaya kok kalau Pak
Dib belum pikun”. Melalui tuturan tersebut Fatimah menyatakan jika dirinya
percaya jika Pak Dibyo itu masih sehat dan belum pikun. Jika Fatimah tidak ingin
menyatakan bahwa dirinya percaya kepada Pak Dibyo, tentu Fatimah tidak akan
mengatakan tuturan yang berfungsi untuk „menyatakan‟.
Wujud TTA „menyatakan‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(13) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
melihat Aryati di rumah Fatimah, lalu Pak Dibyo brtanya
Aryati itu cucunya Fatimah atau bukan. Fatimah pun
memberitahukan bahwa Aryati itu adalah anaknya.
Pak Dibyo : “Itu cucunya Bu Fat?”
Fatimah : “Eh, anak saya Pak Dib, coba Bapak bisa bayangkan, saya
yang setua ini punya anak kecil Titi yang sepantasnya jadi
cucu saya, Pak. Eh, tapi saya bahagia hanya punya Titi
seorang.”
(107/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (13) termasuk ke dalam jenis TTA „menyatakan‟. TTA
„menyatakan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Eh, tapi saya
bahagia hanya punya Titi seorang”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan
adanya penanda lingual yang menunjukkan TTA „menyatakan‟. TTA
„menyatakan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah menyatakan bahwa dirinya bahagia
walaupun hanya mempunyai Aryati.
Terjadinya TTA „menyatakan‟ pada data (13) diawali oleh pertanyaan
Fatimah kepada Pak Dibyo yang menuturkan “Itu cucunya Bu Fat”. Dari tuturan
tersebut, secara tidak langsung Pak Dibyo meminta informasi kepada Fatimah
tentang Aryati. Fatimah pun memberitahukan Pak Dibyo bahwa Aryati itu adalah
anaknya melalui tuturan “Eh, anak saya Pak Dib, coba Bapak bisa bayangkan,
saya yang setua ini punya anak kecil Titi yang sepantasnya jadi cucu saya, Pak”.
Tuturan tersebut menggambarkan perasaan Fatimah yang sedih karena
mempunyai anak yang sepantasnya menjadi cucunya. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya TTA „menyatakan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui
tuturan “Eh, tapi saya bahagia hanya punya Titi seorang”. Melalui tuturan
tersebut Fatimah menyatakan bahwa dirinya merasa bahagia walaupun hanya
mempunyai Aryati. Jika Fatimah tidak ingin menyatakan bahwa dirinya merasa
bahagia, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„menyatakan‟.
2. Wujud Tindak Tutur Direktif
Pada penelitian TTDir dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 16 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam TTDir, yaitu mempersilakan, memohon, menasihati,
menyarankan, menyuruh, meminta izin, melarang, mengingatkan, meminta,
mengajak, memperingatkan, membujuk, mendesak, pemesanan, berharap, dan
menolak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Mempersilakan
Mempersilakan adalah meminta secara lebih hormat supaya (KBBI,
2007:1064). Jadi, TTDir „mempersilakan‟ adalah tindak tutur yang disampaikan
oleh penutur yang berfungsi untuk meminta mitra tutur secara hormat supaya
melakukan sesuatu. Data yang menunjukkan TTDir „mempersilakan‟ dapat dilihat
pada data berikut:
(14) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
bertamu di rumah Fatimah. Fatimah dan Pak Dibyo sedang
asik mengobrol. Fatimah bermaksud mempersilakan Pak
Dibyo untuk minum.
Fatimah : “Oh iya, diminum Pak sampai kelupaan!”
Pak Dibyo : “Iya iya.”
Fatimah : “Nanti keburu dingin lho.”
Pak Dibyo : “Injih.”
Fatimah : “Mangga, silakan!”
Pak Dibyo : “Terima kasih terima kasih.”
(31/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (14) termasuk ke dalam jenis TTDir „mempersilakan‟.
TTDir „mempersilakan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan
“Mangga, silakan”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir „mempersilakan‟
karena Fatimah ingin mempersilakan Pak Dibyo untuk meminum minuman yang
sudah disediakan. Kata mangga dan silakan digunakan dalam tuturan tersebut
sebagai penanda lingual TTDir „mempersilakan‟.
TTDir „mempersilakan‟ pada data (14) terjadi karena ketika Pak Dibyo
dan Fatimah keasyikan mengobrol, Fatimah lupa mempersilakan Pak Dibyo untuk
minum. Kemudian Fatimah pun menyuruh Pak Dibyo untuk minum. Karena Pak
Dibyo tidak segera minum setelah disuruh oleh Fatimah, Fatimah mendesak Pak
Dibyo untuk minum dengan menuturkan “Nanti keburu dingin lho”. Hal itu
menyebabkan terjadinya TTDir „mempersilakan‟ yang dilakukan oleh Fatimah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
melalui tuturannya “Mangga, silakan”. Melalui tuturan tersebut Fatimah
bermaksud untuk mempersilakan Pak Dibyo untuk meminum minuman yang
sudah disediakan. Jika Fatimah tidak bermaksud mempersilakan Pak Dibyo untuk
minum, tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mempersilakan‟.
Data yang menunjukkan TTDir „mempersilakan‟ dapat pula dilihat pada
data berikut:
(15) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan ustazah dalam acara
pengajian rutin yang bertempat di rumah Fatimah. Setelah
ustazah selesai memberikan tausiyah, Bu Dibyo meminta
izin untuk bertanya kepada ustazah. Ustazah pun
mempersilakan Bu Dibyo untuk menyampaikan
pertanyaannya.
Bu Dibyo : “Eh, maaf Ustazah, saya mau tanya.”
Ustazah : “Eh, silakan! Maaf dengan ibu siapa?”
Bu Dibyo : “Saya Bu Dibyo.”
Ustazah : “Mangga mangga silakan!”
(328/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (15) termasuk ke dalam jenis TTDir „mempersilakan‟.
TTDir „mempersilakan‟ tampak pada tuturan ustazah yang menuturkan “Eh,
silakan” dan “Mangga-mangga silakan”. Kata mangga dan silakan digunakan
dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTDir „mempersilakan‟. Tuturan
tersebut termasuk ke dalam TTDir „mempersilakan‟ karena ustazah ingin
mempersilakan Bu Dibyo untuk bertanya.
TTDir „mempersilakan‟ pada data (15) terjadi ketika sesi tanya jawab
dalam acara pengajian sudah dibuka, Bu Dibyo ingin bertanya kepada ustazah
yang mengisi pengajian tersebut. Sebelum bertanya, Bu Dibyo meminta izin
kepada ustazah untuk bertanya melalui tuturan “Eh, maaf Ustazah, saya mau
tanya”. Melalui tuturan tersebut Bu Dibyo meminta izin kepada ustazah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
bertanya dan supaya diberikan izin untuk bertanya oleh ustazah. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya TTDir „mempersilakan‟ yang dilakukan oleh ustazah
melalui tuturan “Eh, silakan….” dan “Mangga-mangga silakan”. Melalui tuturan
tersebut ustazah bermaksud memberikan izin kepada Bu Dibyo untuk bertanya
dan mempersilakan Bu Dibyo untuk menyampaikan pertanyaannya. Hal tersebut
dilakukan oleh ustazah supaya Bu Dibyo segera menyampaikan pertanyaannya.
Jika ustazah tidak bermaksud mempersilakan Bu Dibyo untuk bertanya, tentu ia
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mempersilakan‟.
b. Memohon
Memohon adalah meminta dengan hormat (KBBI, 2007:752). Jadi, TTDir
„memohon‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur kepada mitra tutur untuk
meminta secara hormat sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan kepada
mitra tutur. Data yang menunjukkan TTDir „memohon‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(16) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Bu Dibyo
bermaksud memohon bantuan kepada Fatimah karena
suaminya sudah satu minggu sakit.
Bu Dibyo : “Assalamualaikum, Bu Fat (sambil menangis), saya mohon
talong saya Bu, Bapaknya sudah seminggu ini ndak mau
makan, sekarang dia nggak mau bangun nggak bisa bangun,
badannya itu lemas, wajahnya pucat sekali.”
Fatimah : “Ada apa ini Bu Dibyo, ada apa Bapak? Tenang, ya, tenang,
ya Bu.Ada apa kok sampai nangis seperti ini. Ada apa
dengan Pak Dibyo Bu?”
(214/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (16) termasuk ke dalam jenis TTDir „memohon‟. Bu
Dibyo datang ke rumah Fatimah sambil menangis. Bu Dibyo bermaksud
memohon bantuan pada Fatimah karena sudah satu minggu suaminya sakit dan
tidak mau makan. TTDir „memohon‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
menuturkan “Saya mohon tolong saya Bu”. Kata mohon digunakan dalam
tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTDir „memohon‟. Tuturan tersebut
termasuk ke dalam TTDir „memohon‟ karena Bu Dibyo bermaksud memohon
bantuan kepada Fatimah.
TTDir „memohon‟ pada data (16) terjadi ketika Bu Dibyo melihat kondisi
suaminya yang sedang sakit, tidak mau makan, bangun, dan wajahnya pucat. Bu
Dibyo datang ke rumah Fatimah sambil menangis. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya TTDir „memohon‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui tuturan
“Saya mohon tolong saya Bu”. Tuturan tersebut disampaikan oleh Bu Dibyo agar
Fatimah bersedia menolongnya untuk membujuk Pak Dibyo supaya mau makan
agar bisa cepat sembuh. Jika Bu Dibyo tidak bermaksud memohon bantuan
kepada Fatimah, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„memohon‟.
c. Menasihati
Menasihati adalah memberi nasihat (kepada) (KBBI, 2007:775). Jadi,
TTDir „menasihati‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur yang berfungsi
untuk memberi nasihat kepada mitra tutur. Data yang menunjukkan TTDir
„menasihati‟ dapat dilihat pada data berikut:
(17) Konteks : Tuturan disampaikan oleh Fatimah. Pak Dibyo
mengungkapkan kesengsaraan yang dialaminya karena
istrinya tidak pernah ada waktu untuk mengurus Pak Dibyo.
Fatimah pun bermaksud menasihati Pak Dibyo untuk lebih
sabar dan bisa mengendalikan emosinya.
Pak Dibyo : “Istri saya memang begitu sejak dulu, tidak pernah
meluangkan waktu untuk melayani saya. Saya tu suami
mandiri. Mau berangkat kerja menyiapkan segala
sesuatunya sendiri, ya pakaian, ya makan pagi, ya pokoknya
semuanya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Fatimah : “Pak Dib, sudahlah, sabar, ya, jangan emosi. Emosinya
harus bisa dikendalikan, nanti malah sakitnya datang
lagi, kan malah repot.”
(51/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (17) termasuk ke dalam jenis TTDir „menasihati‟.
TTDir „menasihati‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Pak Dib,
sudahlah, sabar, ya, jangan emosi. Emosinya harus bisa dikendalikan, nanti
malah sakitnya datang lagi, kan malah repot”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTDir „menasihati‟. TTDir
„menasihati‟ pada tuturan (17) dapat dilihat berdasarkan konteksnya. Jika dilihat
dari konteks tuturanya, terlihat bahwa Fatimah bermaksud menasihati Pak Dibyo
untuk lebih sabar dan bisa mengendalikan emosinya agar penyakitnya tidak
datang lagi.
Terjadinya TTDir „menasihati‟ pada data (17) diawali oleh adanya tindak
tutur ekspresif (selanjutnya disingkat TTE) „kesengsaraan‟ yang dilakukan oleh
Pak Dibyo melalui tuturan “Istri saya memang begitu sejak dulu, tidak pernah
meluangkan waktu untuk melayani saya. Saya tu suami mandiri. Mau berangkat
kerja menyiapkan segala sesuatunya sendiri, ya pakaian, ya makan pagi, ya
pokoknya semuanya”. Melalui tuturan tersebut terlihat bahwa Pak Dibyo
mengungkapkan kesengsaraannya sebagai seorang suami karena harus
mengerjakan segala sesuatu sendiri tanpa dibantu oleh istri. Hal itulah yang
mendorong terjadinya TTDir „menasihati‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui
tuturan “Pak Dib, sudahlah, sabar, ya, jangan emosi. Emosinya harus bisa
dikendalikan, nanti malah sakitnya datang lagi, kan malah repot”.Tuturan dari
Fatimah tersebut sebagai bentuk respon dari Fatimah atas kesengsaraan yang
dialami oleh Pak Dibyo. Melalui tuturan tersebut, Fatimah bermaksud menasihati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Pak Dibyo untuk lebih sabar dan bisa mengendalikan emosinya agar penyakitnya
tidak datang lagi. Jika Fatimah tidak bermaksud untuk menasihati Pak Dibyo,
tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menasihati‟.
Data yang menunjukkan TTDir „menasihati‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(18) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
merasa bersalah dan menyesal karena tidak bisa mendidik
jiwa anak-anaknya. Fatimah pun bermaksud menasihati Pak
Dibyo agar tidak lagi menyesali semuanya.
Pak Dibyo : “Saya hanya berhasil mendidik anak-anak saya menjadi
sarjana dan pekerjaan tetap, tetapi tidak berhasil mendidik
jiwa mereka. Ahh, saya sudah keliru Bu Fat, keliru.”
Fatimah : “Pak Dibyo, Bapak tidak boleh bersedih seperti ini.
Buat istigfar saja, ya Pak, bersyukur dan mendoakan
anak-anak semoga diberikan keselamatan dan selalu
dalam hidayah-Nya dan tidak lupa dengan Bapak, ya?” (90/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (18) termasuk ke dalam jenis TTDir „menasihati‟.
TTDir „menasihati‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Pak Dibyo,
Bapak tidak boleh bersedih seperti ini. Buat istigfar saja, ya Pak, bersyukur
dan mendoakan anak-anak semoga diberikan keselamatan dan selalu dalam
hidayah-Nya dan tidak lupa dengan Bapak, ya”. Tuturan tersebut termasuk ke
dalam TTDir „menasihati‟ karena pada tuturan sebelumnya Pak Dibyo merasa
menyesal karena tidak bisa mendidik jiwa anak-anaknya. Oleh sebab itulah terjadi
TTDir „menasihati‟ yang dituturkan oleh Fatimah.
TTDir „menasihati‟ pada data (18) terjadi ketika anak-anak Pak Dibyo
tidak ada yang peduli dengan Pak Dibyo. Mereka tidak datang untuk menjenguk
Pak Dibyo. Hal tersebut membuat Pak Dibyo menuturkan tuturan yang
mengandung TTE „menyesal‟. Pak Dibyo merasa bersalah dan menyesal karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
tidak bisa mendidik jiwa anak-anaknya. Dengan adanya TTE „menyesal‟ yang
dilakukan oleh Pak Dibyo tersebut memicu terjadinya TTDir „menasihati‟ yang
dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Pak Dibyo, Bapak tidak boleh bersedih
seperti ini. Buat istigfar saja, ya Pak, bersyukur dan mendoakan anak-anak
semoga diberikan keselamatan dan selalu dalam hidayah-Nya dan tidak lupa
dengan Bapak, ya”. Tuturan tersebut disampaikan Fatimah sebagai respon atas
tuturan Pak Dibyo yang mengungkapkan rasa bersalah dan menyesal. Melalui
tuturan tersebut Fatimah bermaksud menasihati Pak Dibyo agar tidak lagi
menyesali semua yang sudah terjadi. Hal itu dilakukan Fatimah supaya Pak Dibyo
bisa bersyukur dan bisa mendoakan anak-anaknya. Jika Fatimah tidak bermaksud
menasihati Pak Dibyo, tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menasihati‟.
d. Menyarankan
Menyarankan adalah memberikan saran (anjuran) (KBBI, 2007:999). Jadi,
TTDir „menyarankan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk
memberikan saran atau anjuran kepada mitra tutur. Data yang menunjukkan
TTDir „menyarankan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(19) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
merasa sedih karena kesepian, tidak ada yang bisa ia ajak
berbicara, istrinya selalu sibuk dengan cucu-cucunya.
Fatimah bermaksud memberikan saran kepada Pak Dibyo
hal yang bisa dilakukan Pak Dibyo untuk mengusir rasa
sepinya.
Pak Dibyo : “E.. iya, tapi saya merasa sedih, merasa sendiri, nggak ada
yang saya ajak bicara, nggak ada yang menemani. Istri saya
kalau siang sibuk dengan cucu-cucunya dan kalau sudah
malam juga sudah capek. Dia tidur dekat cucu-cucunya dan
saya tidur sendiri.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Fatimah : “Eh, sekarang begini saja Pak Dib, kalau Bu Dib
momong cucu, ya Bapak ikut saja momong, bercanda
sama cucu-cucu, nanti pasti hati Bapak akan terhibur.” Pak Dibyo : “He.. he.. saya ini sudah ndak bisa lari-lari. Jangankan lari,
jalan saja sudah ndak bisa lurus, harus pakai tongkat. Lha
itu cucu saya laki-laki sukanya main bola, lalu, menarik-
narik saya kalau diajak mengejar bola e… kalau saya
berhenti dia suka nangis padahal saya kan sudah ndak bisa,
he.. he.. he...”
(20/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (19) termasuk ke dalam jenis TTDir „menyarankan‟.
TTDir „menyarankan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Eh,
sekarang begini saja Pak Dib, kalau Bu Dib momong cucu, ya Bapak ikut
saja momong, bercanda sama cucu-cucu, nanti pasti hati Bapak akan
terhibur”. Fatimah menyarankan Pak Dibyo untuk ikut istrinya merawat dan
bermain dengan cucu-cucunya supaya bisa mengusir rasa sepi dan bisa terhibur.
Terjadinya TTDir „menyarankan‟ pada data (19) diawali oleh adanya TTE
„kesedihan‟ yang dilakukan Pak Dibyo. Pak Dibyo mengungkapkan rasa sedihnya
karena merasa kesepian tidak ada yang diajak bicara, istrinya sibuk mengurus
cucu-cucunya. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTDir „menyarankan‟
yang dituturkan oleh Fatimah melalui tuturan “Eh, sekarang begini saja Pak Dib,
kalau Bu Dib momong cucu, ya Bapak ikut saja momong, bercanda sama cucu-
cucu, nanti pasti hati Bapak akan terhibur”. Melalui tuturan tersebut Fatimah
bermaksud memberikan saran untuk Pak Dibyo dengan harapan supaya Pak
Dibyo tidak lagi bersedih karena merasa kesepian. Jika Fatimah tidak bermaksud
untuk menyarankan Pak Dibyo tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menyarankan‟. Setelah mendapat saran dari Fatimah, Pak Dibyo
justru mengeluh karena dirinya tidak bisa berlari lagi, padahal cucu-cucunya suka
bermain bola.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Data yang menunjukkan TTDir „menyarankan‟ dapat pula dilihat pada
data berikut:
(20) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Bu Dibyo
merasa bingung kepada suaminya yang semakin tua
semakin manja dan Bu Dibyo tidak tahu yang harus ia
lakukan kepada suaminya ketika suaminya sudah jatuh
sakit. Fatimah pun bermaksud memberikan saran kepada Bu
Dibyo untuk memberikan perhatian untuk suaminya dengan
menelepon putra-putrinya agar bergiliran menjenguk
bapaknya.
Bu Dibyo : “Suami saya itu sekarang memang aneh kok. Dulu saat
sehat saja dia apa-apa sendiri, ndak mau diperhatikan, mau
makan ambil sendiri, bahkan nyuci baju, setrika juga
sendiri, saya ndak pernah menyiapkan keperluannya sama
sekali, eh sudah tua seperti ini malah manjanya setengah
mati. Sebentar-sebentar Bu, bentar-bentar Bu minta
diperhatikan, kesel Bu saya.
Fatimah : “He.. he.. he.. Yah, mungkin ini juga ujian dari Allah Bu
agar kita ini berbakti pada suami. Saya saja yang ndak
punya suami pingin punya suami kok Bu. Lha Ibu yang
punya suami sebaik Pak Dibyo malah ngendiko begitu,
jangan ya Bu. Coba Ibu ingat-ingat kembali saat Bapak
masih aktif bekerja dan sehat seperti dulu beliau sumber
kehidupan Ibu dan anak-anak kan? Bahkan sampai sekarang
pun bapak masih memberikan gaji pensiun pada Ibu. Maaf
lho Bu kalau dari ceritanya bapak yang diinginkan beliau
bukan harta atau benda Ibu hanya ingin perhatian dari anak-
anak juga Ibu. Kasihan lho Bu, Bapak sudah sepuh, sudah
sakit-sakitan, jangan sampai Ibu menyesal dikemudian hari.
Kalau saya boleh memberikan saran lho, telepon putra-
putri Ibu minta bergiliran menjenguk bapaknya!”
(256/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (20) termasuk ke dalam jenis TTDir „menyarankan‟.
TTDir „menyarankan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Kalau
saya boleh memberikan saran lho, telepon putra-putri Ibu minta bergiliran
menjenguk bapaknya”. Tuturan kalau saya boleh memberikan saran menjadi
penanda lingual TTDir „menyarankan‟. Fatimah bermaksud memberikan saran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kepada Bu Dibyo supaya menelepon anak-anaknnya sebagai bentuk perhatian Bu
Dibyo kepada suaminya.
TTDir „menyarankan‟ kepada data (20) terjadi karena Pak Dibyo
menginginkan perhatian dari istri dan anak-anaknya namun istrinya selalu
mengeluh dan tidak mau memberikan perhatiannya. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya TTDir „menyarankan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan
“Kalau saya boleh memberikan saran lho, telepon putra-putri Ibu minta
bergiliran menjenguk bapaknya”. Melalui tuturan tersebut Fatimah bermaksud
memberikan saran kepada Bu Dibyo supaya menelepon anak-anaknya agar Pak
Dibyo merasa terhibur jika bisa berkomunikasi dengan anak-anaknya. Jika
Fatimah tidak bermaksud memberi saran kepada Bu Dibyo, tentu ia tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menyarankan‟.
e. Menyuruh
Menyuruh adalah memerintah (supaya melakukan sesuatu) (KBBI,
2007:1109). Jadi, TTDir „menyuruh‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
yang berfungsi untuk memberi perintah kepada mitra tutur. Data yang
menunjukkan TTDir „menyuruh‟ dapat dilihat pada data berikut:
(21) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah ketika Pak Dibyo
sedang bertamu di rumah Fatimah. Aryati mengira Pak
Dibyo adalah kakeknya sendiri.
Aryati : “Ibu, ini kakek Titi, ya?”
Fatimah : “Oh, iya Ti, ini Kakek Dibyo. Ayo kasih salam sama
Kakek!” Aryati : “Asik Titi ketemu sama Kakek. Titi akhirnya punya
Kakek.”
(92/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (21) termasuk ke dalam jenis TTDir „menyuruh‟. TTDir
„menyuruh‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu “Ayo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kasih salam sama Kakek”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
„menyuruh‟ karena Fatimah ingin menyuruh Aryati untuk memberikan salam
kepada Pak Dibyo. Kata “ayo” digunakan sebagai penanda lingual TTDir
„menyuruh‟. Fatimah menggunakan kata “ayo” dalam tuturan tersebut untuk
memperhalus suruhan.
Terjadinya TTDir „menyuruh‟ pada data (21) ketika Pak Dibyo sedang
bertamu di rumah Fatimah. Aryati melihat ada seorang kakek yang berada di
rumahnya. Oleh sebab itulah Aryati menanyakan kakek tersebut kepada ibunya.
Aryati bertanya melalui tuturan “Ibu, ini kakek Titi, ya?”. Secara tidak langsung
Aryati meminta informasi tentang kakek yang berada di rumahnya. Fatimah pun
merespon pertanyaan Aryati tersebut dengan memberitahukan bahwa kakek yang
berada di rumahnya itu adalah Kakek Dibyo. Setelah memberitahu Aryati tentang
kakek yang berada di rumahnya, Fatimah menyuruh Aryati untuk memberikan
salam kepada Kakek Dibyo melalui tuturan “Ayo kasih salam sama Kakek!”.
Tuturan tersebut mengandung jenis TTDir „menyuruh‟. Melalui tuturan tersebut
Fatimah menyuruh Aryati memberikan salam kepada Pak Dibyo. Jika Fatimah
tidak bermaksud menyuruh Aryati, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menyuruh‟. Setelah Fatimah menyuruh Aryati untuk
memberikan salam kepada Pak Dibyo, Aryati tidak menyatakan kesanggupannya
untuk memberikan salam ataupun menolak untuk memberikan salam kepada Pak
Dibyo, tetapi Aryati justru mengungkapkan kesenangnnya karena bisa bertemu
dengan kakeknya dan Aryati merasa dirinya mempunyai kakek.
Data yang menunjukkan TTDir „menyuruh‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(22) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Fatimah
menyuruh Aryati untuk masuk agar tidak melihat keributan
yang terjadi.
Aryati : “Bunda, siapa sih nenek ini kok marah-marah sama kakek
sih Bun?”
Fatimah : “Ti.. Titi.. Titi ke dalam dulu ya sama Mbak, bunda
baru ada tamu, ayo.. ayo sana!” Aryati : “Tapi kakek Bun, kasihan kan dimarahin nenek itu.”
Fatimah : “Sssstttt, Titi ke dalam dulu, ya! Nanti Bunda nyusul,
oke?”
Aryati : “Oke, Bun. Dada…. Kek.”
(133/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (22) termasuk ke dalam jenis TTDir „menyuruh‟. TTDir
„menyuruh‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu “Ti..
Titi.. Titi ke dalam dulu ya sama Mbak, bunda baru ada tamu, ayo..ayo
sana” dan “Titi ke dalam dulu, ya”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
„menyuruh‟ karena Fatimah ingin menyuruh Aryati untuk masuk ke rumah. Kata
“ayo” digunakan sebagai penanda lingual TTDir „menyuruh‟. Fatimah
menggunakan kata “ayo” dalam tuturan tersebut untuk memperhalus suruhan dan
supaya Aryati segera masuk ke rumah.
Terjadinya TTDir „menyuruh‟ pada data (22) ketika Pak Dibyo dan
istrinya sedang bertengkar di rumah Fatimah. Aryati dan Fatimah mengetahui
keributan yang terjadi di rumah mereka. Oleh sebab itulah Fatimah menyuruh
Aryati untuk masuk ke rumah. Aryati pun bersedia untuk masuk ke rumah. Jika
Fatimah tidak bermaksud menyuruh Aryati, tentu ia tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „menyuruh‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
f. Meminta Izin
TTDir „meminta izin‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur yang
berfungsi untuk mendapatkan izin dari mitra tutur. Data yang menunjukkan TTDir
„meminta izin‟ dapat dilihat pada data berikut:
(23) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
menawarkan buku kepada Pak Dibyo. Pak Dibyo pun
meminta izin kepada Fatimah untuk membawa pulang buku
tersebut.
Fatimah : “Eh, ini saya punya buku bagus, Pak, barangkali Bapak
suka membaca, bisa sedikit-sedikit mengusir rasa sepi,
Pak.”
Pak Dibyo : “E… boleh saya bawa?”
Fatimah : “Silakan silakan, Pak!”
(61/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (23) termasuk ke dalam jenis TTDir „meminta izin‟.
TTDir „meminta izin‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Pak Dibyo,
yaitu “E… boleh saya bawa?”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
„meminta izin‟ karena Pak Dibyo meminta izin kepada Fatimah untuk membawa
pulang buku yang telah ditawarkan oleh Fatimah kepadanya. Kata “boleh” pada
tuturan yang disampaikan Pak Dibyo dengan kalimat tanya tersebut digunakan
sebagai penanda lingual TTDir „meminta izin‟.
TTDir „meminta izin‟ yang disampaikan oleh Pak Dibyo tersebut terjadi
karena diawali oleh adanya TTK „menawarkan‟ yang dilakukan oleh Fatimah.
Fatimah menawarkan buku kepada Pak Dibyo barangkali Pak Dibyo suka
membaca dan berharap bisa membantu Pak Dibyo untuk mengurangi rasa sepinya.
Tawaran dari Fatimah tersebut direspon oleh Pak Dibyo dengan TTDir „meminta
izin‟ dengan menuturkan “E… boleh saya bawa?”. Melalui tuturan tersebut Pak
Dibyo bermaksud meminta izin kepada Fatimah untuk membawa pulang buku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
yang telah ditawarkan oleh Fatimah. Kemudian Fatimah pun mengizinkan Pak
Dibyo untuk membawa pulang buku yang telah ditawarkan Fatimah. Jika Pak
Dibyo tidak bermaksud untuk meminta izin kepada Fatimah, tentu Pak Dibyo
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „meminta izin‟.
Data yang menunjukkan TTDir „meminta izin‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(24) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati meminta
izin kepada Fatimah untuk bermain dan meminta Fatimah
untuk mengajari bermain komputer. Fatimah pun bersedia
untuk mengajari Aryati bermain komputer.
Aryati : “Titi boleh nggak mainnya sekarang?”
Fatimah : “Oh, boleh, sekarang Titi mau main apa sih?”
Aryati : “E…”
Fatimah : “Apa?”
Aryati : “Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer?”
Fatimah : “Oh, mau belajar komputer, ya bisa dong. Mau belajar?”
Aryati : “Iya, Bun.”
(163/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (24) termasuk ke dalam jenis TTDir „meminta izin‟.
TTDir „meminta izin‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Aryati, yaitu
“Titi boleh nggak mainnya sekarang?”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam
TTDir „meminta izin‟ karena Titi (Aryati) meminta izin kepada ibunya untuk
bermain. Kata “boleh nggak” digunakan sebagai penanda lingual TTDir
„meminta izin‟.
TTDir „meminta izin‟ terjadi karena Aryati meminta izin kepada ibunya
untuk bermain. Tuturan yang mengandung TTDir „meminta izin‟ yang dilakukan
Aryati tersebut disampaikan melalui tuturan “Titi boleh nggak mainnya
sekarang?”. Dari tuturan tersebut Aryati berharap supaya ibunya (Fatimah)
memberikan izin kepada Aryati untuk bermain. Jika Aryati tidak bermaksud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
meminta izin kepada ibunya, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „meminta izin‟. Fatimah pun memberikan izin kepada Aryati
untuk bermain. Kemudian Fatimah menanyakan permainan yang ingin dimainkan
oleh Aryati. Dan Aryati merespon pertanyaan dari Fatimah tersebut melalui
tuturan yang mengandung TTDir „meminta‟. Aryati meminta Fatimah untuk
mengajarinya bermain komputer.
g. Melarang
Melarang adalah memerintah supaya tidak melakukan sesuatu, tidak
memperbolehkan berbuat sesuatu (KBBI, 2007:640). Jadi, TTDir „melarang‟
adalah tindak tutur yang dilakukan penutur kepada mitra tuturnya untuk tidak
melakukan sesuatu. Data yang menunjukkan TTDir „melarang‟ dapat dilihat pada
data berikut:
(25) Konteks : Tuturan terjadi antara anaknya Pak Dibyo dan
istrinya (menantunya Pak Dibyo). Menantunya Pak
Dibyo melarang suaminya pergi menjenguk Pak
Dibyo.
Anak Pak Dibyo : “Riris kan sudah beres urusannya Ma, tinggal
tunggu pengumuman, adik sudah dapat sekolahan,
apa lagi sih yang harus dipusingkan, kan papa pergi
nggak lama ta Ma, paling lama ya tiga hari pulang
pergi Ma. Lagian sudah lama Papa ini ndak jenguk
Bapak, kangen juga kan, Ma?”
Menantu : “Heh Pa, anak-anak kita saja memerlukan
perhatian kita, masa’ Papa mau pergi, gimana sih
Papa ini, ah. Keluarga dulu dong Pa yang diurus!
Lagian kan anaknya bukan cuma Papa aja.
Kenapa sih harus Papa yang ke sana, yang lain
pada ke mana? Aneh deh ah.”
(264/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (25) termasuk ke dalam jenis TTDir „melarang‟. TTDir
„melarang‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh menantu dari Pak Dibyo,
yaitu “Heh Pa, anak-anak kita saja memerlukan perhatian kita, masa’ Papa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
mau pergi, gimana sih Papa ini, ah …. Lagian kan anaknya bukan cuma
Papa aja. Kenapa sih harus Papa yang ke sana, yang lain pada ke mana?
Aneh deh ah”. Dilihat dari tuturan sebelumnya, yaitu tuturan dari anaknya Pak
Dibyo yang berusaha membujuk istrinya supaya mengizinkannya untuk
menjenguk Pak Dibyo, maka secara tidak langsung tuturan dari menantunya Pak
Dibyo sebagai bentuk larangan kepada anaknya Pak Dibyo yang akan menjenguk
orang tuanya.
TTDir „melarang‟ pada data (25) terjadi saat anaknya Pak Dibyo berusaha
membujuk istrinya supaya diberikan izin untuk pergi menjenguk orang tuanya.
Oleh sebab itulah terjadi TTDir „melarang‟ yang dilakukan oleh menantunya Pak
Dibyo. Menantu Pak Dibyo bermaksud melarang suaminya pergi menjenguk
orang tuanya. Hal tersebut dilakukan menantu Pak Dibyo supaya suaminya tidak
pergi menjenguk orang tuanya dan berharap supaya suaminya bisa lebih
memperhatikan anak-anaknya dibanding memperhatikan orang tuanya. Jika
menantu dari Pak Dibyo tidak ingin melarang suaminya menjenguk orang tuanya
tentu menantu Pak Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„melarang‟.
Data yang menunjukkan TTDir „melarang‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(26) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Pak Dibyo. Mengetahui
Pak Dibyo akan pergi, Aryati bermaksud untuk
melarangnya.
Aryati : “Memang Kakek mau pergi ke mana?”
Pak Dibyo : “Kakek mau pergi sayang.”
Aryati : “Pergi ke mana Kek? Kakek ndak boleh pergi!”
“Kakek harus di sini nemenin Titi!”
(285/TT/22 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Tuturan pada data (26) termasuk ke dalam jenis TTDir „melarang‟. TTDir
„melarang‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Aryati, yaitu “Kakek
ndak boleh pergi”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir „melarang‟ karena
Aryati melarang Pak Dibyo untuk pergi. Kata “ndak boleh” digunakan sebagai
penanda lingual TTDir „melarang‟. Aryati bermaksud melarang Pak Dibyo untuk
pergi.
Terjadinya TTDir „melarang‟ pada data (26) diawali oleh adanya TTA
„memberitahukan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo memberitahukan
kepada Aryati bahwa dirinya akan pergi. Hal itulah yang memicu terjadinya
TTDir „melarang‟ yang dilakukan oleh Aryati melalui tuturan “Kakek ndak boleh
pergi”. Melalui tuturan tersebut Aryati bermaksud melarang Pak Dibyo untuk
pergi dan meminta Pak Dibyo untuk menemani Aryati. Jika Aryati tidak ingin
melarang Pak Dibyo untuk pergi, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
yang berfungsi untuk „melarang‟.
h. Mengingatkan
Mengingatkan adalah menjadikan ingat (terkenang) kepada (KBBI,
2007:433). Jadi, TTDir „mengingatkan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur untuk menjadikan mitra tutur ingat atau terkenang akan sesuatu. Data
yang menunjukkan TTDir „mengingatkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(27) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Fatimah
mengingatkan Aryati agar mandinya tidak terlalu lama
supaya tidak kedinginan.
Aryati : “Titi mau mandi dulu. Bunda, Titi mandi dulu, ya Bunda.
Fatimah : “Iya sayang, mandinya jangan lama-lama ya biar nggak
kedinginan. Minta sama Mbak pake air hangat biar tidak
kedinginan, ya sayang!”
Aryati : “Iya Bunda.”
(102/TT/19 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Tuturan pada data (27) termasuk ke dalam jenis TTDir „mengingatkan‟.
TTDir „mengingatkan‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu
“Mandinya jangan lama-lama ya biar nggak kedinginan”. Tuturan tersebut
termasuk dalam TTDir „mengingatkan‟ karena sesuai dengan konteksnya, yaitu
Aryati meminta izin kepada ibunya untuk mandi. Fatimah pun mengingatkan
Aryati agar mandinya tidak terlalu lama supaya tidak kedinginan.
TTDir „mengingatkan‟ terjadi ketika Aryati meminta izin kepada ibunya
untuk mandi. Fatimah pun mengingatkan Aryati melalui tuturan “Mandinya
jangan lama-lama ya biar nggak kedinginan”. Melalui tuturan tersebut Fatimah
bermaksud mengingatkan Aryati supaya mandinya tidak terlalu lama dan tidak
kedinginan. Jika Fatimah tidak ingin mengingatkan Aryati tentu Fatimah tidak
akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengingatkan‟. Aryati pun
merespon tuturan Fatimah dengan menyatakan kesanggupannya untuk tidak
terlalu lama mandinya.
Data yang menunjukkan TTDir „mengingatkan‟ dapat pula dilihat pada
data berikut:
(28) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
mengingatkan tanggung jawab sebagai seorang istri adalah
merawat suaminya, namun, Bu Dibyo justru merasa
suaminya keberatan jika dirinya merawat cucu-cucunya.
Pak Dibyo : “Bu, sekedar mengingatkan saja Bu, masih menjadi
tugas dan tanggung jawabmu merawat aku kan, Bu,
jangan sampai kelak dikemudian hari kamu menyesal.”
Bu Dibyo : “Oh, jadi Bapak ndak suka, ndak rela kalau aku momong
cucu-cucuku, Bapak keberatan?”
Pak Dibyo : “Bukan masalah keberatannya, Bu.”
(119/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (28) termasuk ke dalam jenis TTDir „mengingatkan‟.
TTDir „mengingatkan‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Pak Dibyo,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
yaitu “Bu, sekedar mengingatkan saja Bu, masih menjadi tugas dan tanggung
jawabmu merawat aku kan, Bu, jangan sampai kelak dikemudian hari kamu
menyesal”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir „mengingatkan‟ karena
Pak Dibyo mengingatkan istrinya untuk memperhatikan Pak Dibyo sebagai
suaminya karena masih menjadi tanggung jawab Bu Dibyo sebagai seorang istri
agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Kata “mengingatkan” digunakan
sebagai penanda lingual TTDir „mengingatkan‟. Setelah Pak Dibyo mengingatkan
istrinya untuk lebih bertanggung jawab terhadap tugas sebagai seorang istri, Bu
Dibyo justru merasa suaminya keberatan dan tidak rela jika Bu Dibyo merawat
cucu-cucu mereka. Jika Pak Dibyo tidak bermaksud mengingatkan istrinya, tentu
ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengingatkan‟.
i. Meminta
Meminta adalah berkata-kata supaya diberi atau mendapat sesuatu (KBBI,
2007:745). Jadi, TTDir „meminta‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
supaya diberi tahu atau mendapat sesuatu dari mitra tuturnya. Data yang
menunjukkan TTDir „meminta‟ dapat dilihat pada data berikut:
(29) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati ingin
belajar komputer meminta Fatimah untuk mengajarinya.
Fatimah pun bersedia untuk mengajari Aryati bermain
komputer.
Aryati : “Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer?”
Fatimah : “Oh, mau belajar komputer, ya bisa dong. Mau belajar?”
Aryati : “Iya, Bun.”
(164/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (29) termasuk ke dalam jenis TTDir „meminta‟. TTDir
„meminta‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Aryati, yaitu “Bunda,
Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer”. Tuturan yang disampaikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
kalimat tanya tersebut termasuk ke dalam TTDir „meminta‟ karena Aryati
meminta ibunya untuk mengajari bermain komputer. Kata “bisa nggak”
digunakan Aryati untuk memperhalus permintaan kepada ibunya.
TTDir „meminta‟ pada data (29) terjadi ketika Titi (Aryati) ingin bermain
komputer. Aryati meminta ibunya untuk mengajarinya bermain komputer melalui
tuturan “Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer”. Melalui tuturan
tersebut Aryati meminta ibunya untuk mengajarinya bermain komputer. Fatimah
pun merespon permintaan Aryati tersebut dengan mengatakan bahwa dirinya bisa
mengajari Aryati bermain komputer. Jika Aryati tidak ingin meminta ibunya
untuk mengajarinya belajar bermain komputer, tentu ia tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „meminta‟.
j. Mengajak
Mengajak adalah membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu (KBBI,
2007:17). Jadi, TTDir „mengajak‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
untuk membangkitkan hati mitra tuturnya supaya melakukan sesuatu. Data yang
menunjukkan TTDir „mengajak‟ dapat dilihat pada data berikut:
(30) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Pak Dibyo. Merasa
sudah tidak tahan melihat suaminya berlama-lama di rumah
Fatimah, Bu Dibyo mengajak suaminya untuk pulang.
Bu Dibyo : “Huh, Pak ayo pulang. Ndak usah macam-macam
sampeyan ini, ingat umur Pak. Ayo pulang.”
Pak Dibyo : “Kamu ini apa ta, apa, ndak usah banyak omong, malu.”
Bu Dibyo : “Huh.”
(143/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (30) termasuk ke dalam jenis TTDir „mengajak‟. TTDir
„mengajak‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Bu Dibyo, yaitu “Pak
ayo pulang” dan “Ayo pulang”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
„mengajak‟ karena Bu Dibyo ingin mengajak Pak Dibyo (suaminya) untuk
pulang. Kata “ayo” digunakan sebagai penanda lingual TTDir „mengajak‟.
TTDir „mengajak‟ pada data (30) terjadi ketika Bu Dibyo dan Pak Dibyo
berada di rumah Fatimah. Bu Dibyo mengajak Pak Dibyo untuk pulang dengan
menggunakan tuturan “Pak ayo pulang” dan “Ayo pulang”. Melalui tuturan
tersebut Bu Dibyo bermaksud mengajak pulang suaminya agar tidak berlama-
lama di rumah Fatimah. Jika Bu Dibyo tidak ingin mengajak suaminya untuk
pulang, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengajak‟.
Setelah diajak istrinya pulang, Pak Dibyo justru merespon dengan melarang
istrinya untuk bicara banyak dengan alasan malu.
Data yang menunjukkan TTDir „mengajak‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(31) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Aryati. Fatimah
bermaksud mengajak Aryati pulang istirahat terlebih
dahulu. Aryati pun bersedia untuk pulang.
Fatimah : “Titi, pulang dulu yuk makan, dari tadi kan Titi belum
makan!” Aryati : “Bunda, kasihan Kakek Dib sendirian nggak ada yang
nemenin. Titi di sini saja, ya Bun nemenin Kakek.”
Fatimah : “Kan ada bapak-bapak tetangga yang nungguin sayang. Titi
harus makan dan istirahat dulu. Pulang dulu yuk! Bunda
juga mau istirahat, yuk pulang dulu, ayo!”
Aryati : “Iya, Bunda.”
(313/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (31) termasuk ke dalam jenis TTDir „mengajak‟. TTDir
„mengajak‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu “Titi,
pulang dulu yuk makan, dari tadi kan Titi belum makan” dan tuturan
“Pulang dulu yuk! Bunda juga mau istirahat, yuk pulang dulu, ayo”. Kata yuk
dan ayo menjadi penanda lingual dari TTDir „mengajak‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tuturan pada data (31) masuk dalam TTDir „mengajak‟ karena Fatimah
ingin mengajak Aryati pulang terlebih dahulu untuk istirahat. TTDir „mengajak‟
tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Titi, pulang dulu yuk makan,
dari tadi kan Titi belum makan” dan tuturan “Pulang dulu yuk! Bunda juga mau
istirahat, yuk pulang dulu, ayo”. Jika Fatimah tidak ingin mengajak Aryati untuk
pulang, tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengajak‟. Aryati pun bersedia pulang untuk makan dan istirahat terlebih dahulu.
Wujud TTDir „mengajak‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(32) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan ibu-ibu pengajian
dalam sebuah acara pengajian rutin. Fatimah selaku
pembawa acara mengajak ibu-ibu pengajian untuk
membaca basmallah bersama-sama.
Fatimah : “Ibu-ibu, sore ini telah hadir di hadapan kita
semuanya Ustazah Siti Umi Ma‟rifah. Beliau yang
akan mengisi pengajian sore ini. Sehari-hari selain
aktif mengisi pengajian, beliau adalah staf pengajar
lembaga bahasa Arab UMY juga staf pengajar di
STAI Jogja. Nah untuk mengawali acara, marilah
kita baca basmallah bersama-sama!” Ibu-ibu pengajian : “Bismillahirrahmaanirrahiim.”
(322/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (32) termasuk ke dalam jenis TTDir „mengajak‟. TTDir
„mengajak‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu “Marilah
kita baca basmallah bersama-sama”. Kata marilah menjadi penanda lingual
dari TTDir „mengajak‟.
Tuturan pada data (32) masuk dalam TTDir „mengajak‟ karena Fatimah
selaku pembawa acara ingin mengajak ibu-ibu anggota pengajian supaya bersama-
sama membaca basmallah untuk mengawali acara pengajian pada sore hari itu
dengan menuturkan “Marilah kita baca basmallah bersama-sama”. Jika Fatimah
tidak ingin mengajak ibu-ibu anggota pengajian tentu Fatimah tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengajak‟. Semua anggota pengajian
pun bersama-sama membaca basmallah.
k. Memperingatkan
Memperingatkan adalah mengingatkan atau memberi ingat (KBBI,
2007:433). Jadi, TTDir „memperingatkan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur kepada mitra tutur untuk mengingatkan sesuatu. Data yang menunjukkan
TTDir „memperingatkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(33) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Bu Dibyo
merasa jengkel karena mengetahui suaminya berada di
rumah Fatimah, lalu Bu Dibyo memperingatkan Fatimah
untuk tidak genit atau mengganggu suaminya.
Fatimah : “Aduh, ada apa ini, ya, ada apa? Aduh Ibu, ada apa, Bu?
Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Bu Dibyo : “Saya peringatkan ya, jangan genit-genit pada laki-laki
orang!”
(132/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (33) di atas termasuk ke dalam jenis TTDir
„memperingatkan‟. TTDir „memperingatkan‟ tampak pada tuturan yang
disampaikan oleh Bu Dibyo, yaitu “Saya peringatkan ya, jangan genit-genit
pada laki-laki orang”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
„memperingatkan‟ karena Bu Dibyo ingin memperingatkan Fatimah agar tidak
genit-genit kepada suami orang. Kata peringatkan digunakan dalam tuturan
tersebut sebagai penanda lingual TTDir „memperingatkan‟.
TTDir „memperingatkan‟ pada data (33) terjadi ketika Fatimah mengetahui
ada keributan di rumahnya, Fatimah bertanya kepada Bu Dibyo dengan
menuturkan “Aduh, ada apa ini, ya, ada apa? Aduh Ibu, ada apa, Bu? Ada yang
bisa saya bantu, Bu?”. Melalui tuturan tersebut Fatimah secara tidak langsung
meminta informasi atau penjelasan dari Bu Dibyo hal yang sedang terjadi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
sampai menimbulkan keributan di rumahnya. Akan tetapi Bu Dibyo tidak
menjawab pertanyaan dari Fatimah melainkan justru memberi peringatan kepada
Fatimah dengan menuturkan “Saya peringatkan ya, jangan genit-genit pada laki-
laki orang”. Melalui tuturan tersebut Bu Dibyo bermaksud memberi peringatan
kepada Fatimah supaya tidak lagi genit kepada Pak Dibyo. Jika Bu Dibyo tidak
ingin memperingatkan Fatimah tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan tuturan
yang berfungsi untuk „memperingatkan‟.
Data yang menunjukkan TTDir „memperingatkan‟ dapat pula dilihat pada
data berikut:
(34) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Bu Dibyo
marah karena mendapati suaminya sedang asik bermain di
rumah Fatimah. Fatimah pun berusaha memberi penjelasan
kepada Bu Dibyo, namun yang terjadi justru Bu Dibyo
menuduh Fatimah telah menggoda Pak Dibyo.
Fatimah : “Ibu Dibyo, sebaiknya ibu tidak marah-marah pada Bapak,
karena Bapak hanya bermain dengan anak saya Bu.
Bu Dibyo : “Ya justru itu yang membuat saya marah. Di rumah saja dia
tidak mau bermain dengan cucu-cucunya. Padahal mereka
juga ingin bermain dengan kakeknya. Heeh, malah dia di
sini enak-enakan main dengan anak sampeyan. Sampeyan
sudah menggoda suami saya ya, heh, jangan, ndak baik
mengganggu suami orang.”
Fatimah : “Ibu, di sini tidak ada yang mengganggu suami orang.
Bapak ini kesepian, beliau butuh teman Ibu.”
Bu Dibyo : “Heh, perempuan, jangan sok suci ya jadi orang,
jangan sok alim. Saya tahu bagaimana suami saya.
Sampeyan ndak usah menasihati saya!”
(141/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (34) di atas termasuk ke dalam jenis TTDir
„memperingatkan‟. Bu Dibyo marah karena mendapati suaminya sedang bermain
dengan Aryati di rumah Fatimah. Melihat Bu Dibyo marah-marah, Fatimah
berusaha memberi penjelasan kepada Bu Dibyo bahwa sebenarnya Pak Dibyo
hanya bermain dengan Aryati. Hal tersebut tidak membuat Bu Dibyo menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
lebih tenang tetapi justru membuat Bu Dibyo mengungkapkan rasa marahnya
karena Pak Dibyo jika di rumah tidak mau membantu merawat cucu tetapi di
rumah Fatimah justru Pak Dibyo bermain dengan Aryati. Karena kondisi
kemarahan Bu Dibyo sudah memuncak, sampai akhirnya Bu Dibyo menuduh
Fatimah telah menggoda suaminya. Mengetahui hal tersebut Fatimah memberi
penjelasan kepada Bu Dibyo bahwa dirinya tidak menggoda Pak Dibyo. Hal
tersebut memicu terjadinya TTDir „memperingatkan‟ yang dilakukan Bu Dibyo
kepada Fatimah. TTDir „memperingatkan‟ tampak pada tuturan yang disampaikan
oleh Bu Dibyo, yaitu “Heh, perempuan, jangan sok suci ya jadi orang, jangan
sok alim. Saya tahu bagaimana suami saya”. Dalam tuturan yang disampaikan
oleh Bu Dibyo tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual TTDir
„memperingatkan‟. TTDir „memperingatkan‟ pada tuturan tersebut dapat
ditentukan berdasarkan konteks, dan intonasinya. Jika dilihat dari konteks tuturan
tersebut terlihat bahwa Bu Dibyo bermaksud memperingatkan Fatimah supaya
menjadi orang itu tidak sok alim dan sok suci. Tuturan yang mengandung TTDir
„memperingatkan‟ yang disampaikan oleh Bu Dibyo tersebut dituturkan dengan
intonasi tinggi. Hal tersebut semakin memperkuat bahwa Bu Dibyo bermaksud
memperingatkan Fatimah. Jika dilihat dari tuturan sebelumnya, yaitu tuturan yang
disampaikan oleh Fatimah yang bermaksud memberi penjelasan kepada Bu Dibyo
bahwa dirinya tidak mengganggu suaminya, hal tersebut memicu terjadinya
TTDir „memperingatkan‟ yang disampaikan oleh Bu Dibyo. Jika Bu Dibyo tidak
ingin memperingatkan Fatimah tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan tuturan
yang berfungsi untuk „memperingatkan‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
l. Membujuk
Membujuk adalah berusaha meyakinkan seseorang bahwa yang
dikatakannya benar (untuk memikat hati, menipu, dan sebagainya), merayu
(KBBI, 2007:171). Jadi, TTDir „membujuk‟ adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur untuk memikat hati mitra tuturnya. Data yang menunjukkan TTDir
„membujuk‟ dapat dilihat pada data berikut:
(35) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati, Fatimah, dan Pak Dibyo.
Aryati dan Fatimah bermaksud membujuk Pak Dibyo untuk
makan.
Aryati : “Kakek, Kakek Makan, ya, ini Titi bawa bubur
kesukaan Kakek. Sekarang Titi suapin ya biar Kakek
lekas sembuh dan Kakek bisa main lagi, makan ya Kek
biar lekas sembuh!” Fatimah : “Titi sayang, hati-hati, ya!”
Aryati : “Iya, Bunda. Kakek bisa duduk ndak, Bun?”
Fatimah : “Bisa duduk kan, Kek?”
Pak Dibyo : “Oh, bisa sekali bisa.”
Fatimah : “Tu Ti setelah melihat kamu Kakek Dib langsung sehat,
bisa duduk. Ayo disuapin yang banyak!”
Aryati : “Oke, Bunda.”
(274/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (35) termasuk ke dalam jenis TTDir „membujuk‟.
TTDir „membujuk‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Aryati, yaitu
“Kakek, Kakek Makan, ya, ini Titi bawa bubur kesukaan Kakek. Sekarang
Titi suapin ya biar Kakek lekas sembuh dan Kakek bisa main lagi, makan ya
Kek biar lekas sembuh”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTDir
„membujuk‟ karena jika dilihat dari konteksnya, Aryati mencoba membujuk Pak
Dibyo untuk makan.
TTDir „membujuk‟ pada data (35) terjadi ketika Pak Dibyo sedang sakit
dan tidak mau makan. Mengetahui hal itu, Aryati mencoba membujuk Pak Dibyo
agar mau makan dengan menggunakan tuturan “Kakek, Kakek Makan, ya, ini Titi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
bawa bubur kesukaan Kakek. Sekarang Titi suapin ya biar Kakek lekas sembuh
dan Kakek bisa main lagi, makan ya Kek biar lekas sembuh”. Melalui tuturan
tersebut Aryati bermaksud membujuk Pak Dibyo agar mau makan dengan
membawakan bubur kesukaan Pak Dibyo dan Aryati sendiri yang akan menyuapi
Pak Dibyo. Hal tersebut dilakukan Aryati agar Pak Dibyo mau makan. Jika Aryati
tidak ingin membujuk Pak Dibyo untuk makan, tentu Aryati tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „membujuk‟. Pak Dibyo pun
menunjukkan keadaannya yang semakin sehat setelah melihat Aryati.
Data yang menunjukkan TTDir „membujuk‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(36) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Aryati. Fatimah dan
Aryati sedang melayat di rumah Bu Dibyo. Fatimah
membujuk Aryati supaya mau pulang istirahat terlebih
dahulu.
Fatimah : “Titi, pulang dulu yuk makan, dari tadi kan Titi belum
makan!”
Aryati : “Bunda, kasihan Kakek Dib sendirian nggak ada yang
nemenin. Biarlah Titi di sini nemenin Kakek.”
Fatimah : “Kan ada bapak-bapak tetangga yang nungguin sayang.
Titi harus makan dan istirahat dulu. Pulang dulu yuk!
Bunda juga mau istirahat, yuk pulang dulu, ayo!”
Aryati : “Iya, Bunda.”
(316/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (36) termasuk ke dalam jenis TTDir „membujuk‟.
TTDir „membujuk‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu
“Kan ada bapak-bapak tetangga yang nungguin sayang. Titi harus makan
dan istirahat dulu”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda
lingual TTDir „membujuk‟. Tuturan yang mengandung TTDir „membujuk‟ pada
data di atas dapat ditentukan berdasarkan tuturan sebelumnya. Jika dilihat dari
tuturan sebelumnya, yaitu tuturan Aryati yang meminta izin kepada ibunya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
tetap menemani Pak Dibyo maka Fatimah bermaksud membujuk Aryati supaya
mau pulang untuk istirahat dan makan terlebih dahulu. Fatimah membujuk dengan
memberi penjelasan kepada Aryati bahwa sudah ada tetangga yang menunggu Pak
Dibyo. Jika Fatimah tidak ingin membujuk Aryati untuk pulang tentu Fatimah
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „membujuk‟. Setelah dibujuk
oleh Fatimah, akhirnya Aryati bersedia untuk pulang terlebih dahulu.
m. Mendesak
Mendesak adalah memaksa untuk segera dilakukan (dipenuhi,
diselesaikan) karena ada dalam keadaan darurat, genting (KBBI, 2007:257). Jadi,
TTDir „mendesak‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk memaksa
mitra tuturnya supaya segera melakukan sesuatu. Data yang menunjukkan TTDir
„mendesak‟ dapat dilihat pada data berikut:
(37) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
bermaksud mendesak Pak Dibyo untuk segera minum
karena Pak Dibyo tidak segera minum setelah dipersilakan
untuk minum.
Fatimah : “Oh iya, diminum Pak sampai kelupaan!”
Pak Dibyo : “Iya iya.”
Fatimah : “Nanti keburu dingin lho.”
Pak Dibyo : “Injih.”
Fatimah : “Mangga, silakan!”
Pak Dibyo : “Terima kasih terima kasih.”
(30/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (37) termasuk ke dalam jenis TTDir „mendesak‟. TTDir
„mendesak‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Fatimah, yaitu “Nanti
keburu dingin lho”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda
lingual TTDir „mendesak‟. Tuturan yang mengandung TTDir „mendesak‟ pada
data di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteks
tuturan tersebut terlihat bahwa Fatimah bermaksud mendesak Pak Dibyo untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
segera minum karena Pak Dibyo tidak segera minum setelah dipersilakan untuk
minum oleh Fatimah.
TTDir „mendesak‟ pada data (37) terjadi ketika tuturan pada data di atas
di awali oleh adanya tindak tutur direktif „menyuruh‟ yang dilakukan oleh
Fatimah melalui tuturan “Oh iya, diminum Pak sampai kelupaan!” Karena sedang
asyik mengobrol, Fatimah lupa menyuruh Pak Dibyo untuk minum. Melalui
tuturan tersebut Fatimah bermaksud menyuruh Pak Dibyo untuk minum. Melihat
Pak Dibyo tidak segera minum setelah dipersilakan oleh Fatimah untuk minum
maka terjadilah TTDir „mendesak‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah
mendesak Pak Dibyo dengan mengatakan “Nanti keburu dingin lho”. Dengan
mengatakan tuturan tersebut, Fatimah berharap supaya Pak Dibyo segera
meminum minuman yang sudah disediakan. Jika Fatimah tidak ingin mendesak
Pak Dibyo untuk minum tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „mendesak‟.
n. Memesan
Memesan adalah memberi pesan (nasihat, petunjuk), menyuruh (meminta)
supaya dikirim (disediakan, dibuatkan) sesuatu (KBBI, 2007:867). Jadi, TTDir
„memesan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk menyuruh atau
meminta mitra tuturnya supaya dibuatkan atau disediakan sesuatu. Data yang
menunjukkan TTDir „memesan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(38) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Sebelum
pulang, Pak Dibyo memesan kepada Fatimah untuk
menyampaikan salamnya untuk Titi. Fatimah pun bersedia
untuk menyampaikan salam dari Pak Dibyo untuk Aryati.
Pak Dibyo : “E.. e.. Bu Fat, saya saya pulang dulu, ya. Eh, sampaikan
salam saya pada Titi, ya Bu, ya, Kakek sayang banget
sama dia!”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Fatimah : “Iya, Pak. Terima kasih Bapak sudah mau ke rumah saya
dan bermain bersama Titi. Nanti salam Bapak saya
sampaikan pada Titi.”
(152/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (38) termasuk ke dalam jenis TTDir „memesan‟. TTDir
„memesan‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Pak Dibyo, yaitu Eh,
sampaikan salam saya pada Titi, ya Bu, ya”. Kata sampaikan digunakan dalam
tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTDir „memesan‟.
TTDir „mesanan‟ pada data (38) terjadi ketika Pak Dibyo akan pulang dari
rumah Fatimah, Pak Dibyo menitipkan salam kepada Fatimah untuk Aryati
dengan menuturkan “Eh, sampaikan salam saya pada Titi, ya Bu, ya”. Hal
tersebut dilakukan Pak Dibyo supaya Fatimah bersedia menyampaikan salamnya
kepada Aryati. Jika Pak Dibyo tidak ingin menitip pesan kepada Fatimah supaya
menyampaikan salamnya untuk Aryat,i tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „memesan‟. Kemudian Fatimah menyatakan
kesanggupannya untuk menyampaikan salam dari Pak Dibyo untuk Aryati.
Data yang menunjukkan TTDir „memesan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(39) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Aryati. Pak Dibyo
memesan kepada Aryati untuk menyimpan kalung
pemberian dari Pak Dibyo.
Pak Dibyo : “Titi, sini sayang, Kakek punya sesuatu untuk Titi.”
Aryati : “Apa ini Kek? Ini kalung ya Kek?”
Pak Dibyo : “Titi, kalung ini Titi simpan baik-baik, ya, sebagai
hadiah dari Kakek! Kelak suatu saat nanti kalau Kakek
sudah pergi, kalung ini bisa mengingatkan Titi pada
Kakek.” (284/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (39) termasuk ke dalam jenis TTDir „memesan‟. TTDir
„memesan‟ tampak pada tuturan yang disampaikan oleh Pak Dibyo, yaitu “Titi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
kalung ini Titi simpan baik-baik, ya, sebagai hadiah dari Kakek! Kelak suatu
saat nanti kalau Kakek sudah pergi, kalung ini bisa mengingatkan Titi pada
Kakek”. Pada data (39) tidak ditemukan adanya penanda lingual TTDir
„memesan‟. Tuturan yang mengandung TTDir „memesan‟ pada data tersebut
dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteks tuturan
tersebut terlihat bahwa Pak Dibyo memesan kepada Aryati untuk menyimpan
kalung pemberian dari Pak Dibyo sebagai kenang-kenangan.
TTDir „memesan‟ pada data (39) terjadi ketika Pak Dibyo memanggil
Aryati untuk diberi kalung sebagai kenang-kenangan darinya. Pak Dibyo
memesan kepada Aryati supaya Aryati menyimpan baik-baik kalung pemberian
dari Pak Dibyo agar Aryati selalu ingat dengan Pak Dibyo. Jika Pak Dibyo tidak
bermaksud memesan Aryati untuk menyimpan kalung tersebut, tentu Pak Dibyo
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „memesan‟.
o. Berharap
Berharap adalah berkeinginan supaya, meminta supaya (KBBI, 2007:338).
Jadi, TTK „berharap‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena penutur
menginginkan sesuatu. Data yang menunjukkan TTK „berharap‟ dapat dilihat
pada data berikut:
(40) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
berharap Fatimah tidak bosan mendengarkan keluh kesah
Pak Dibyo. Fatimah juga berharap Pak Dibyo selalu sehat.
Pak Dibyo : “E… mudah-mudahan saja Ibu ndak bosan, ya Bu, ya
dan saya juga tidak membosankan, he.. he.. he…”
Fatimah : “He.. he.. he.. insya Allah Pak Dib, semoga Bapak juga
selalu sehat ya.” Pak Dibyo : “Amin.. amin.”
(66/TT/18 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Tuturan pada data (40) termasuk ke dalam jenis TTDir „berharap‟. TTDir
„berharap‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo “E… mudah-mudahan saja Ibu
ndak bosan, ya Bu, ya dan saya juga tidak membosankan, he.. he.. he..” dan
Fatimah yang menuturkan “He.. he.. he.. insya Allah Pak Dib, semoga Bapak
juga selalu sehat ya”. Kata mudah-mudahan dan semoga digunakan dalam
tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTDir „berharap‟.
TTDir „berharap‟ pada data (40) terjadi karena Pak Dibyo berharap
Fatimah tidak bosan mendengarkan keluh kesah Pak Dibyo. Fatimah pun
merespon tuturan Pak Dibyo tersebut dengan tuturan yang mengandung TTDir
„berharap‟ pula. Fatimah berharap semoga Pak Dibyo selalu sehat. Jika mereka
berdua tidak ingin berharap tentu mereka tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „berharap‟.
Wujud TTDir „berharap‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(41) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
mengingatkan istrinya untuk salat. Pak Dibyo juga berharap
Bu Dibyo bisa berubah menjadi lebih baik.
Pak Dibyo : “Ya, sudah sudah, Bapak masih bisa menerima Ibu seperti
itu kok. Bapak berharap ibu bisa berubah, sadar bahwa
hidup ini hanya sebentar. Jangan diperbudak oleh dunia,
belajar salat dan kalau perlu Ibu ke rumah Bu Fatimah sana,
banyak sekali lho manfaatnya!”
Bu Dibyo : “Ndak mau ah kalau ke sana, nanti Bapak kegirangan.”
(203/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (41) termasuk ke dalam jenis TTDir „berharap‟. TTDir
„berharap‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Bapak berharap
ibu bisa berubah”. Kata berharap digunakan dalam tuturan tersebut sebagai
penanda lingual TTDir „berharap‟. Pak Dibyo berharap istrinya bisa berubah
menjadi lebih baik, dengan kata lain mengubah sifat buruknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Melihat istrinya belum bisa mengubah sifat buruknya, Pak Dibyo masih
menerima istrinya dengan apa adanya. Hal itulah yang memicu terjadinya TTDir
„berharap‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo berharap istrinya bisa
berubah menjadi lebih baik melalui tuturan “Bapak berharap ibu bisa berubah”.
Jika Pak Dibyo tidak ingin berharap supaya istrinya bisa berubah, tentu ia tidak
akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „berharap‟.
p. Menolak
Menolak adalah tidak menerima, menampik (KBBI, 2007:1203). Jadi,
TTDir „menolak‟ adalah tindak tutur yang dilakukan seseorang untuk menolak
sesuatu kepada mitra tutur. Data yang menunjukkan TTDir „menolak‟ dapat
dilihat pada data berikut:
(42) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati, Fatimah, dan Pak Dibyo.
Aryati menyambut kedatangan Pak Dibyo di rumahnya.
Aryati mengira Pak Dibyo itu adalah kakeknya sendiri.
Aryati menyuruh Pak Dibyo untuk menginap di rumahnya.
Pak Dibyo pun bermaksud menolak untuk tidur di rumah
Aryati.
Aryati : “Selamat datang kakek. Kakek nanti tidur di rumah Titi ya.
Nanti Titi siapin kamarnya Kek.”
Fatimah : “Titi, Kakek kan rumahnya dekat dengan rumah kita ini,
jadi Kakek bisa pulang ke rumah Kakek sendiri, tidak bisa
tidur di sini dengan Titi, ya?”
Aryati : “Iya kakek, Kakek nggak bisa tidur sama Titi di sini?
Pak Dibyo : “Iya sayang, Kakek kan tinggal di ujung jalan itu dan di
sana ada cucu-cucu Kakek yang lain.” (97/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (42) termasuk ke dalam jenis TTDir „menolak‟. TTDir
„penolakan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Iya sayang,
Kakek kan tinggal di ujung jalan itu dan di sana ada cucu-cucu Kakek yang
lain”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual TTDir
„menolak‟. TTDir „menolak‟ pada tuturan tersebut dapat ditentukan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo bermaksud
menolak untuk menginap di rumah Aryati.
Terjadinya TTDir „menolak‟ pada data (42) diawali oleh TTDir „meminta‟
yang dilakukan oleh Aryati. Aryati meminta Pak Dibyo menginap di rumahnya.
Fatimah pun memberi penjelasan kepada Aryati bahwa rumah Pak Dibyo dekat
dengan rumah mereka sehingga Pak Dibyo tidak bisa menginap. Kemudian Aryati
meyakinkan benar atau tidak jika Pak Dibyo tidak bisa menginap. Hal itulah yang
memicu terjadinya TTDir „menolak‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui
tuturan “Iya sayang, Kakek kan tinggal di ujung jalan itu dan di sana ada cucu-
cucu Kakek yang lain”. Dari tuturan tersebut, secara tidak langsung Pak Dibyo
menolak permintaan Aryati untuk menginap di rumahnya. Pak Dibyo menolak
dengan menunjukkan rumahnya kepada Aryati. Jika Pak Dibyo tidak ingin
menolak permintaan Aryati, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menolak‟.
Wujud TTDir „menolak‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(43) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
memberi saran kepada istrinya untuk belajar salat dan
datang ke rumah Fatimah karena di sana banyak
manfaatnya. Bu Dibyo pun bermaksud menolak untuk
datang ke rumah Fatimah.
Pak Dibyo : “Ya, sudah sudah, Bapak masih bisa menerima Ibu seperti
itu kok. Bapak berharap ibu bisa berubah, sadar bahwa
hidup ini hanya sebentar. Jangan diperbudak oleh dunia,
belajar salat dan kalau perlu Ibu ke rumah Bu Fatimah sana,
banyak sekali lho manfaatnya!”
Bu Dibyo : “Ndak mau ah kalau ke sana, nanti Bapak kegirangan.”
(206/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (43) termasuk ke dalam jenis TTDirTTDir „menolak‟.
TTDir „menolak‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Ndak mau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
ah kalau ke sana, nanti Bapak kegirangan”. Ndak mau ah merupakan
penggalan dari tuturan Bu Dibyo dan itu digunakan sebagai penanda lingual
TTDir „menolak‟. Bu Dibyo menolak saran dari Pak Dibyo untuk datang ke
rumah Fatimah.
Terjadinya TTDir „menolak‟ diawali oleh adanya TTDir „menyarankan‟
yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo menyarankan istrinya untuk belajar
salat dan supaya mau datang ke rumah Fatimah karena di sana banyak hal yang
bisa dilakukan dan bermanfaat. Hal itulah yang memicu terjadinya TTDir
„menolak‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo dengan tuturan “Ndak mau ah kalau ke
sana, nanti Bapak kegirangan”. Melalui tuturan tersebut Bu Dibyo bermaksud
menolak untuk datang ke rumah Fatimah. Hal tersebut dilakukan Bu Dibyo
dengan alasan nanti Pak Dibyo bisa merasa kesenangan jika Bu Dibyo bersedia ke
rumah Fatimah. Jika Bu Dibyo tidak ingin menolak saran dari Pak Dibyo tentu ia
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menolak‟.
3. Wujud Tindak Tutur Ekspresif
Pada penelitian TTE dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 26 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang berfungsi
untuk meminta maaf, memuji, berterima kasih, mengungkapkan kesengsaraan,
menghibur, mengeluh, mengungkapkan rasa sedih, mengungkapkan rasa kecewa,
menyesal, mengungkapkan rasa putus asa, mengungkapkan rasa senang,
mengungkapkan rasa iri, mengungkapkan rasa jengkel, menuduh, menyindir,
mengungkapkan rasa cemburu, menyalahkan, mengungkapkan rasa penasaran,
mengungkapkan rasa bingung, menyangkal, mengungkapkan rasa simpati,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
mengungkapkan rasa kasihan, mengungkapkan rasa kaget, mengungkapkan rasa
marah, mengungkapkan rasa heran, dan mengungkapkan rasa malu.
a. Meminta maaf
Meminta maaf adalah mengharap agar diberi maaf (dimaafkan) (KBBI,
2007:745). Jadi, TTE „meminta maaf‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
untuk mengharap agar diberi maaf atau dimaafkan oleh mitra tuturnya. Data yang
menunjukkan TTE „meminta maaf‟ dapat dilihat pada data berikut:
(44) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo di rumah
Fatimah. Fatimah bermaksud meminta maaf kepada Pak
Dibyo karena sebagai warga baru belum sempat datang ke
rumah Pak Dibyo untuk berkenalan, tetapi justru Pak Dibyo
yang datang ke rumah Fatimah untuk berkenalan.
Fatimah : “Saya minta maaf Bapak, sebagai warga baru saya belum
sowan ke rumah Bapak, belum berkenalan, he.. he.. he..
malah Bapak yang sudah sepuh tindak kemari. Perkenalkan
Pak kalau gitu, saya Fatimah, saya warga baru di sini.”
Pak Dibyo : “Iya, he… he… saya memang sengaja datang kemari ingin
berkenalan karena saya mendengar nama Bu Fatimah sudah
di mana-mana. (Pak Dib dan Fatimah tersenyum bersama),
Bu Fatimah orangnya baik, ya, ramah, dan mau
mendengarkan keluhan orang lain, he.. he.. he..”
(4/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (44) termasuk ke dalam jenis TTE „meminta maaf‟.
TTE „meminta maaf‟ tampak pada tuturan Fatimah kepada Pak Dibyo yang
menuturkan “Saya minta maaf bapak”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam
TTE „meminta maaf‟ karena terdapat penanda lingual berupa minta maaf pada
penggalan kalimat yang dituturkan oleh Fatimah.
TTE „meminta maaf‟ pada data (44) terjadi ketika Pak Dibyo sengaja
datang ke rumah Fatimah ingin berkenalan karena Fatimah adalah warga baru dan
nama Fatimah sudah dikenal di mana-mana. Fatimah belum sempat bertamu ke
rumah Pak Dibyo untuk berkenalan. Oleh sebab itulah Fatimah meminta maaf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
kepada Pak Dibyo dengan menuturkan “Saya minta maaf Bapak”. Permintaan
maaf tersebut dituturkan oleh Fatimah karena Fatimah merasa tidak enak kepada
Pak Dibyo sebagai penduduk lama justru yang mendatangi Fatimah sebagai warga
baru dan ingin berkenalan. Jika Fatimah tidak ingin minta maaf kepada Pak Dibyo
tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi „meminta maaf‟.
Data yang menunjukkan TTE „meminta maaf‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(45) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
meminta maaf sebelum dirinya bertanya kepada Fatimah.
Pak Dibyo : “E.. e.. anu Bu, saya mau nanya ni Bu.”
Fatimah : “He’em.”
Pak Dibyo : “E… maaf ini, ya Bu, ya, Ibu pernah kesepian?”
Fatimah : “Eh, terus terang saja Pak, pernah tapi saya segera mencari
kesibukan yang membuat saya tidak merasa kesepian Pak
Dib.”
(38/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (45) termasuk ke dalam jenis TTE „meminta maaf‟.
TTE „meminta maaf‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo kepada Fatimah yang
menuturkan “E… maaf ini, ya Bu, ya”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTE
„meminta maaf‟ karena terdapat penanda lingual berupa kata maaf pada penggalan
kalimat yang dituturkan oleh Pak Dibyo.
Pak Dibyo ingin bertanya kepada Fatimah pernah merasa kesepian atau
tidak. Pak Dibyo mengawali pertanyaannya dengan meminta maaf kepada
Fatimah. Pak Dibyo bertanya kepada Fatimah melalui tuturan “E… maaf ini, ya
Bu, ya, Ibu pernah kesepian?”. Melalui tuturan tersebut Pak Dibyo meminta
maaf sebelum bertanya kepada Fatimah supaya Fatimah tidak tersinggung atas
pertanyaan Pak Dibyo tersebut. Jika Pak Dibyo tidak ingin meminta maaf kepada
Fatimah tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi „meminta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
maaf‟. Fatimah tidak merasa tersinggung atas pertanyaan Pak Dibyo, dan Fatimah
pun memberitahukan kepada Pak Dibyo bahwa dirinya juga pernah kesepian.
b. Memuji
Memuji adalah melahirkan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu
(yang dianggap baik, indah, gagah berani, dan sebagainya) (KBBI, 2007:904).
Jadi, TTE „menuji‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk memberikan
penghargaan kepada mitra tuturnya. Data yang menunjukkan TTE „memuji‟ dapat
dilihat pada data berikut:
(46) Konteks : Tuturan terjadi anatara Fatimah dan Aryati. Aryati
memberitahukan kalau dirinya sudah sampai jilid empat.
Kemudian Fatimah bermaksud memuji Aryati karena
mengajinya sudah sampai jilid empat.
Fatimah : “Oh ya, Bunda mau tanya, Titi ngajinya sudah sampai mana
ta?”
Aryati : “E.. sampai mana ya Bun?”
Fatimah : “Sampai mana?”
Aryati : “Eh.. sampai jilid empat.”
Fatimah : “Oh, sudah jilid empat. Wah, sip dong kalau gitu sudah
jilid empat. Mudah-mudahan sebentar lagi Iqro nya selesai,
ya.”
Aryati : “Iya, Bun.”
(172/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (46) termasuk ke dalam jenis TTE „memuji‟. TTE
„memuji‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Wah, sip dong kalau
gitu sudah jilid empat”. Kata sip dong digunakan dalam tuturan tersebut sebagai
penanda lingual TTE „memuji‟. Fatimah memuji Aryati karena mengajinya sudah
sampai jilid empat.
Terjadinya TTE „memuji‟ pada data (46) diawali oleh pertanyaan dari
Fatimah yang bertanya kepada Aryati melalui tuturan “Oh ya, Bunda mau tanya,
Titi ngajinya sudah sampai mana ta?”. Dari tuturan tersebut, secara tidak
langsung Fatimah meminta informasi kepada Aryati untuk memberitahu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
mengajinya Aryati. Aryati pun memberitahukan kepada Fatimah bahwa dirinya
mengajinya sudah sampai jilid empat. Hal tersebut memicu terjadinya TTE
„memuji‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Wah, sip dong kalau gitu
sudah jilid empat”. Melalui tuturan itu Fatimah bermaksud memuji Aryati. Kata
sip berarti bagus. Hal tersebut membuktikan bahwa Aryati itu memang pandai,
pintar dan rajin karena Aryati yang masih kecil mengajinya sudah sampai jilid
empat. Jika Fatimah tidak ingin memuji Aryati tentu Fatimah tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi „memuji‟.
Wujud TTE „memuji‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(47) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Fatimah
menawakan hadiah yang diinginkan Aryati ketika
mengajinya sudah selesai. Aryati justru menginginkan
dirinya dijadikan anak yang baik dan sayang dengan ibunya.
Fatimah pun memuji Aryati karena Aryati masih kecil tetapi
pintar.
Aryati : “Titi mau berdoa pada Allah supaya Titi juga dijadikan
anak yang baik, sayang sama Bunda. Bunda juga sayang
kan sama Titi?”
Fatimah : “Oh, ya pasti dong. siapa dulu, Aryati kan anak Bunda.
Anak Bunda ini memang pinter sekali. Wah, bikin gemes
aja.”
(177/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (47) termasuk ke dalam jenis TTE „memuji‟. TTE
„memuji‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Anak Bunda ini
memang pinter sekali”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTE „memuji‟
karena terdapat penanda lingual berupa frasa pinter sekali pada penggalan kalimat
yang dituturkan oleh Fatimah. Fatimah bermaksud memuji Aryati sebagai anak
yang pintar sekali.
TTE „memuji‟ pada data (47) terjadi ketika Aryati mengatakan
keinginannya kepada Fatimah, yaitu Aryati berdoa kepada Allah supaya dirinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
dijadikan anak yang baik, sayang kepada ibunya. Mendengar keinginan Aryati
itulah yang membuat Fatimah memuji Aryati dengan menuturkan “Anak Bunda
ini memang pinter sekali”. Jika Fatimah tidak ingin memuji Aryati tentu Fatimah
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „memuji‟.
c. Berterima kasih
Berterima kasih adalah mengucapkan syukur, melahirkan rasa syukur atau
membalas budi setelah menerima kebaikan (KBBI, 2007:1183). Jadi, TTE
„berterima kasih‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur sebagai ucapan
syukurnya kepada mitra tutur sebagai bentuk balas budi setelah menerima
kebaikan. Data yang menunjukkan TTE „berterima kasih‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(48) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
sedang bertamu di rumah Fatimah. Pak Dibyo berterima
kasih karena Fatimah telah mempersilakan dirinya masuk.
Fatimah : “E… tapi ngomong-ngomong mangga lho silakan masuk,
duduk di teras, ya, Pak, ya, mangga Pak silakan masuk
Pak!”
Pak Dibyo : “Iya iya, terima kasih terima kasih.”
(9/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (48) termasuk ke dalam jenis TTE „berterima kasih‟.
Percakapan terjadi ketika Pak Dibyo sedang bertamu di rumah Fatimah. Fatimah
pun mempersilakan Pak Dibyo untuk masuk dan duduk. Hal itulah yang memicu
terjadijanya TTE „berterima kasih‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo
berterima kasih kepada Fatimah karena telah mempersilakan dirinya untuk masuk
dan duduk. TTE „berterima kasih‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang
menuturkan “Iya iya, terima kasih terima kasih”. Tuturan tersebut termasuk ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
dalam TTE „berterima kasih‟ karena terdapat penanda lingual berupa frasa, yaitu
terima kasih pada penggalan kalimat yang dituturkan oleh Pak Dibyo.
Terjadinya TTE „berterima kasih‟ pada data (48) diawali oleh adanya
TTDir „menyuruh‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “E… tapi
ngomong-ngomong mangga lho silakan masuk, duduk di teras, ya, Pak, ya,
mangga Pak silakan masuk Pak!”. Dari tuturan tersebut Fatimah bermaksud
menyuruh Pak Dibyo untuk masuk dan duduk di teras. Hal itulah yang memicu
terjadinya TTE „berterima kasih‟. TTE „berterima kasih‟ dilakukan oleh Pak
Dibyo melalui tuturan “Iya iya, terima kasih terima kasih”. Melalui tuturan
tersebut Pak Dibyo bermaksud mengucapkan terima kasih kepada Fatimah karena
telah disuruh masuk dan duduk. Jika Pak Dibyo tidak ingin berterima kasih
kepada Fatimah tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi
„berterima kasih‟.
Wujud TTE „berterima kasih‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(49) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Aryati. Aryati
mengucapkan terima kasih kepada Pak Dibyo kerena Pak
Dibyo berjanji akan selalu mengingat nama Aryati.
Pak Dibyo : “Cucu Kakek yang cantik ini namanya siapa, he?‟
Aryati : “Aryati Kek, tapi lebih suka dipanggil Titi Kek.”
Pak Dibyo : “Oh, iya Titi. Kakek akan selalu ingat nama cucu Kakek
yang cantik ini, Titi, he.. he.. he...”
Aryati : “Terima kasih, ya Kek.”
(100/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (49) termasuk ke dalam jenis TTE „berterima kasih‟.
Aryati memberitahukan namanya kepada Pak Dibyo setelah Pak Dibyo bertanya
nama kepada Aryati. Kemudian Pak Dibyo mengatakan bahwa dirinya akan
mengingat nama Aryati yang dianggapnya sebagai cucunya sendiri. Hal itulah
yang menyebabkan terjadinya TTE „berterima kasih‟ yang dilakukan oleh Aryati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
TTE „berterima kasih‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan “Terima
kasih, ya Kek”. Tuturan tersebut termasuk ke dalam TTE „berterima kasih‟
karena terdapat penanda lingual berupa frasa, yaitu terima kasih pada penggalan
kalimat yang dituturkan oleh Aryati.
Terjadinya TTE „berterima kasih‟ pada data (49) diawali oleh adanya TTK
„berjanji‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Kakek akan selalu
ingat nama cucu Kakek yang cantik ini, Titi, he.. he.. he...”. Melalui tuturan
tersebut Pak Dibyo ingin berjanji kepada Aryati akan selalu mengingat nama
Aryati. Hal utulah yang menyebabkan terjadinya TTE „berterima kasih‟ yang
dilakukan oleh Aryati dengan tuturan “Terima kasih, ya Kek”. Dari tuturan
tersebut Aryati bermaksud mengucapkan terima kasih kepada Pak Dibyo karena
Pak Dibyo mengatakan kepada Aryati bahwa dirinya akan selalu mengingat Titi
(Aryati) yang dianggapnya seperti cucunya sendiri. Jika Aryati tidak ingin
berterima kasih kepada Pak Dibyo, tentu Aryati tidak akan menuturkan tuturan
yang berfungsi untuk „berterima kasih‟.
d. Mengungkapkan kesengsaraan
Kesengsaraan adalah perihal kesulitan dan kesusahan hidup, penderitaan
(KBBI, 2007:1037). Jadi, TTE „kesengsaraan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur untuk mengekspresikan kesulitan atau kesengsaraan yang dialaminya.
Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan kesengsaraan‟ dapat dilihat pada
data berikut:
(50) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
sedang jalan-jalan sendiri bertemu dengan Fatimah. Fatimah
bertanya kepada Pak Dibyo yang sedang jalan-jalan sendiri,
tidak ditemani anak-anak atau isrinya. Pak Dibyo
mengungkapkan kesengsaraan karena anak-anaknya tidak
ada lagi yang mau memperhatikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Fatimah : “Bapak dari mana tadi, kok sendirian tidak ditemani anak-
anak atau cucu atau ibu barang kali, eh maaf, kalau Bapak
jatuh terus bagaimana, coba?”
Pak Dibyo : “Iya. E.. anak-anak saya itu ada tujuh orang, yang tiga
perempuan, yang empat laki-laki. Lima orang sudah
berkeluarga semua, sudah punya anak, tapi ya itu,
semua sudah jauh dari saya, yah, hanya dua orang ini
yang tinggal bersama saya. Yang satu perempuan sudah
berumah tangga tapi ditinggal meninggal suaminya,
padahal anaknya sudah dua dan masih kecil-kecil.” (11/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (50) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
kesengsaraan‟. Pak Dibyo yang sedang jalan-jalan sendiri bertemu dengan
Fatimah. Fatimah bertanya kepada Pak Dibyo yang sedang jalan-jalan sendiri,
tidak ditemani anak-anak atau isrinya. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
TTE „mengungkapkan kesengsaraan‟ yang dilakukan Pak Dibyo. TTE
„mengungkapkan kesengsaraan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan
“E.. anak-anak saya itu ada tujuh orang, yang tiga perempuan, yang empat
laki-laki. Lima orang sudah berkeluarga semua, sudah punya anak, tapi ya
itu, semua sudah jauh dari saya, yah, hanya dua orang ini yang tinggal
bersama saya. Yang satu perempuan sudah berumah tangga tapi ditinggal
meninggal suaminya, padahal anaknya sudah dua dan masih kecil-kecil”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan kesengsaraan‟. TTE „mengungkapkan
kesengsaraan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo merasa sengsara karena dari
sekian banyak anaknya tidak ada yang mau memperhatikan Pak Dibyo, termasuk
kedua anaknya yang tinggal bersamanya. Jika Pak Dibyo tidak ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
mengungkapkan kesengsaraannya kepada Fatimah tentu Pak Dibyo tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan kesengsaraan‟.
e. Menghibur
Menghibur adalah menyenangkan dan menyejukkan hati yang susah,
melipur (KBBI, 2007:398). Jadi, TTE „menghibur‟ adalah tindak tutur yang
dilakukan penutur untuk menyenangkan dan menyejukkan hati mitra tutur yang
sedang susah. Data yang menunjukkan TTE „menghibur‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(51) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
menghibur Pak Dibyo yang sering mengeluh karena dari
beberapa anaknya tidak ada yang datang mengunjunginya.
Fatimah : “Bapak sabar saja, ya, mungkin anak-anak Bapak masih
sibuk atau mungkin juga ada di antara anak-anak
Bapak yang hidupnya susah dan tidak bisa pulang
menemui Bapak.” Pak Dibyo : “He.. he.. Ibu Fat ini. Bu Fat ndak usah menghibur saya.
Saya tahu keadaan anak-anak saya, Bu. Saya mengantarkan
anak-anak menjadi sarjana semua dan berkarir punya masa
depan. Kalau hanya ongkos untuk menengok saya tentunya
mereka pasti punya, kan? Ndak mungkin kalau ndak punya.
Yah, dasar mereka saja yang sudah lupa pada saya bapaknya
ini. Lha kalau sama ibunya masih suka telpun-telpunan, Bu.
Tapi kalau saya bapaknya ini, he.. he.. he.. sama sekali ndak
ada yang perhatian.”
(79/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (51) termasuk ke dalam jenis TTE „menghibur‟.
Fatimah berusaha menghibur Pak Dibyo. Pak Dibyo selalu mengeluh karena dari
beberapa anaknya tidak ada satupun yang datang untuk menjenguk Pak Dibyo.
TTE „menghibur‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Mungkin
anak-anak Bapak masih sibuk atau mungkin juga ada di antara anak-anak
Bapak yang hidupnya susah dan tidak bisa pulang menemui Bapak”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
„menghibur‟. TTE „menghibur‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah bermaksud
menghibur Pak Dibyo yang sering mengeluh karena dari beberapa anak-anaknya
tidak ada yang datang mengunjunginya.
Terjadinya TTE „menghibur‟ pada data (51) semakin jelas karena di
dukung oleh tuturan selanjutnya, yaitu tuturan dari Pak Dibyo. Setelah Fatimah
menghibur Pak Dibyo, Pak Dibyo meresponnya dengan mengingatkan Fatimah
supaya tidak menghibur Pak Dibyo karena Pak Dibyo yang lebih tahu tentang
keadaan anak-anaknya. Hal itulah yang menyebabkan tuturan dari Fatimah
tersebut masuk dalam TTE „menghibur‟. Jika Fatimah tidak ingin menghibur Pak
Dibyo tentu Fatimah tidak menuturkan tuturan yang berfungsi „menghibur‟.
Data yang menunjukkan TTE „menghibur‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(52) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Fatimah
bermaksud mengibur Aryati yang sedang merasa kecewa
karena Pak Dibyo tidak datang ke rumahnya.
Aryati : “Bunda, kok hari ini Kakek ndak datang, ya Bun? Padahal
Titi udah pesen sama Mbak untuk buat bubur kacang ijo
yang enaaak banget.”
Fatimah : “Ti, Kakek Dibyo itu punya keluarga, punya anak-anak
dan juga cucu-cucu sendiri. Mungkin hari ini beliau
ingin bermain dengan mereka.” (159/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (52) termasuk ke dalam jenis TTE „menghibur‟. Aryati
merasa kecewa karena Pak Dibyo tidak datang ke rumah Aryati seperti biasanya.
Aryati sudah terlanjur memesan bubur kacang hijau kesukaan Pak Dibyo. Hal
tersebut semakin membuat Aryati kecewa. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya TTE „menghibur‟ yang dilakukan oleh Fatimah. TTE „menghibur‟
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Ti, Kakek Dibyo itu punya
keluarga, punya anak-anak dan juga cucu-cucu sendiri. Mungkin hari ini
beliau ingin bermain dengan mereka”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan
adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE „menghibur‟. TTE „menghibur‟
pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari
konteksnya terlihat bahwa Fatimah bermaksud mengibur Aryati yang sedang
merasa kecewa karena Pak Dibyo tidak datang ke rumahnya.
Aryati merasa kecewa karena Pak Dibyo yang biasanya datang ke rumah
Aryati tapi kali ini Pak Dibyo tidak datang. Apalagi Aryati sudah terlanjur
memesan makanan kesukaan Pak Dibyo kepada mbak yang membantu di
rumahnya, hal tersebut semakin membuat Aryati semakin kecewa. Karena
Fatimah tidak ingin melihat Aryati sedih dan merasa kecewa, lalu Fatimah
bermaksud mengibur Aryati dengan memberi penjelasan kepada Aryati. Hal
tersebut dilakukan Fatimah supaya Aryati tidak lagi merasa sedih dan kecewa
serta bisa memahami keadaan Pak Dibyo. Jika Fatimah tidak ingin menghibur
Aryati yang sedang kecewa tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi „menghibur‟.
Wujud TTE „menghibur‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(53) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Bu Dibyo
merasa sedih karena suaminya meninggal dunia. Fatimah
pun menghibur Bu Dibyo yang sedang sedih.
Bu Dibyo : “Kenapa sampeyan tega meninggalkan aku ta, Pak?”
(sambil menangis).
Fatimah : “Sudah Bu, sudah Bu Dib, Bu Dib yang ikhlas saja ya.
Bapak ndak usah ditangisi!” (300/TT/22 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Tuturan pada data (53) termasuk ke dalam jenis TTE „menghibur‟. Bu
Dibyo menangis karena merasa sedih suaminya telah meninggal dunia. Hal itulah
yang menyebabkan terjadinya TTE „menghibur‟ yang dilakukan Fatimah. TTE
„menghibur‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Sudah Bu, sudah
Bu Dib, Bu Dib yang ikhlas saja ya. Bapak ndak usah ditangisi”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„menghibur‟. TTE „menghibur‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah bermaksud
menghibur Bu Dibyo yang sedang sedih karena suaminya meninggal.
Terjadinya TTE „menghibur‟ yang dilakukan oleh Fatimah pada data di
atas diawali oleh adanya TTE „kesedihan‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo. Bu
Dibyo menangis dan merasa sedih karena suaminya meninggal. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya TTE „menghibur‟ pada tuturan yang disampaikan oleh
Fatimah pada Bu Dibyo. Jika Fatimah tidak ingin menghibur Bu Dibyo yang
sedang sedih, tentu Fatimah tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„menghibur‟.
f. Mengeluh
Mengeluh adalah menyatakan susah (karena penderitaan, kesakitan,
kekecewaan) (KBBI, 2007:536). Jadi, TTE „mengeluh‟ adalah tindak tutur yang
dilakukan penutur sebagai bentuk ekspresi atas penderitaan, kesakitan dan
kekecewaan yang dialaminya. Data yang menunjukkan TTE „mengeluh‟ dapat
dilihat pada data berikut:
(54) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
mengeluh karena sudah tua tidak ada yang mengurus.
Fatimah : “E… dulu Bapak bekerja di instansi mana, Pak?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Pak Dibyo : “E… anu, saya di Departemen Sosial, ngurusin orang-
orang. Tapi sekarang saya sudah tua ini tidak ada yang
mengurus, semua pada sibuk sendiri-sendiri dengan
urusannya masing-masing.” (16/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (54) termasuk ke dalam jenis TTE „mengeluh‟. TTE
„mengeluh‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Tapi sekarang
saya sudah tua ini tidak ada yang mengurus, semua pada sibuk sendiri-
sendiri dengan urusannya masing-masing”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengeluh‟. TTE
„mengeluh‟ pada tuturan (54) dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo mengeluh karena dirinya yang
sudah tua tidak ada yang mengurus.
Terjadinya TTE „mengeluh‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo pada data (54)
diawali tuturan Fatimah yang menanyakan tempat Pak Dibyo dulu bekerja.
Pertanyaan Fatimah tersebut secara tidak langsung meminta informasi dari Pak
Dibyo tempat Pak Dibyo dulu bekerja. Kemudian Pak Dibyo meresponnya
dengan tuturan yang mengandung TTA „memberitahukan‟. Pak Dibyo
memberitahukan kepada Fatimah bahwa dulu Pak Dibyo bekerja di Departemen
Sosial. Hal itu menyebabkan terjadinya TTE „mengeluh‟ yang dilakukan oleh Pak
Dibyo melalui tuturan “Tapi sekarang saya sudah tua ini tidak ada yang
mengurus, semua pada sibuk sendiri-sendiri dengan urusannya masing-masing”.
Melalui tuturan tersebut Pak Dibyo bermaksud mengeluh kepada Fatimah tentang
keadaan dirinya yang tidak diurusi oleh anak-anak dan istrinya. Jika Pak Dibyo
tidak bermaksud untuk mengeluh, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „mengeluh‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Wujud TTE „mengeluh‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(55) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
sedang sakit dan ingin diperhatikan oleh anggota
keluarganya. Fatimah menyarankan kepada Bu Dibyo untuk
merawat dan memberikan perhatian sendiri kepada
suaminya. Akan tetapi, Bu Dibyo mengeluh ketika harus
merawat Pak Dibyo sekaligus merawat cucu-cucunya.
Fatimah : “Yah, kalau memang sakitnya hanya ingin diperhatikan
sebenarnyakan mudah Bu, mudah untuk pengobatannya.
Ndak usah manggil dokter, ndak usah membawa ke rumah
sakit. Ibu sendiri bisa kok mengobatinya.”
Bu Dibyo : “Loh, justru itu Bu yang tidak bisa saya lakukan. Loh, kalau
sakitnya Bapak itu sakit badan malah saya enak, tinggal
saya bawa ke rumah sakit, rawat inap, dilayani suster. Saya
tinggal bayar berapa habisnya, Bu. Tapi kalau yang
seperti ini malah repot. Saya harus merawat dia,
memperhatikan dia, belum cucu saya waduh Bu, saya
ndak bisa, saya bingung.”
(224/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (55) termasuk ke dalam jenis TTE „mengeluh‟. Pak
Dibyo sedang sakit dan ingin mendapat perhatian dari anak-anak dan istrinya. Bu
Dibyo tidak tahu yang harus ia lakukan untuk kesembuhan Pak Dibyo. Lalu
Fatimah memberitahukan kepada Bu Dibyo hal yang harus dilakukannya untuk
kesembuhan Pak Dibyo, yaitu dengan memberikan perhatian kepada Pak Dibyo.
Hal itulah yang menyebabkab terjadinya TTE „mengeluh‟ yang dilakukan oleh Bu
Dibyo. TTE „mengeluh‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Tapi
kalau yang seperti ini malah repot. Saya harus merawat dia, memperhatikan
dia, belum cucu saya waduh Bu, saya ndak bisa, saya bingung”. Kata waduh
digunakan dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTE „mengeluh‟. Bu
Dibyo mengeluh bila harus merawat dan memberikan perhatian sendiri kepada
Pak Dibyo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Terjadinya TTE „mengeluh‟ pada data (55) diawali oleh adanya TTA
„memberitahukan‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah memberitahukan hal
yang harus dilakukan Bu Dibyo untuk kesembuhan suaminya. Hal itulah yang
menyebabkab terjadinya TTE „mengeluh‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui
tuturan “Tapi kalau yang seperti ini malah repot. Saya harus merawat dia,
memperhatikan dia, belum cucu saya waduh Bu, saya ndak bisa, saya bingung”.
Dari tuturan tersebut Bu Dibyo mengeluh karena dirinya tidak bisa bila harus
merawat suaminya sendiri. Bu Dibyo lebih memilih jika suaminya dirawat oleh
suster dan Bu Dibyo tinggal membayarnya. Jika Bu Dibyo tidak bermaksud
mengeluh, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengeluh‟.
g. Mengungkapkan rasa sedih
Sedih adalah merasa sangat pilu di hati, susah hati (KBBI, 2007:1009).
Jadi, TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur sebagai bentuk ekspresi atas perasaannya yang sedang sedih, pilu, dan
susah hati. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ dapat
dilihat pada data berikut:
(56) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
mengeluh karena keluarganya tidak ada yang
memperhatikannya. Fatimah pun menasihati Pak Dibyo
supaya tidak mengeluh lagi. Akan tetapi, Pak Dibyo justru
merasa sedih karena dirinya kesepian, tidak ada yang bisa ia
ajak berbicara dan memperhatikannya.
Pak Dibyo : “E… anu, saya di Departemen Sosial, ngurusin orang-
orang. Tapi sekarang saya sudah tua ini tidak ada yang
mengurus, semua pada sibuk sendiri-sendiri dengan
urusannya masing-masing.”
Fatimah : “Pak Dib, Bapak tidak boleh seperti itu. Dulu sekali anak-
anak kita masih kecil adalah milik kita, kita bisa apa saja
pada anak-anak kita, tapi setelah perjalanan waktu, anak-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
anak punya dunia masing-masing, Pak. Yang tadinya anak-
anak meningkat menjadi remaja, dan yang tadinya remaja
meningkat jadi dewasa. Nah, kalau sudah pada dewasa,
mereka punya keluarga masing-masing dan kesibukan, Pak.
Dan mungkin kalau kita mau menoleh, meneliti pada diri
kita sendiri, saat kita berumah tangga, waktu dan pikiran
kita tercurah pada keluarga, eh kadang lupa sama orang tua,
apalagi kalau jaraknya berjauhan, setahun sekali baru
ketemu. Kita yang sudah tua seperti ini hanya berteman sepi
dan sendiri, Pak. Ehm, Bapak masih beruntung punya
banyak anak yang sewaktu-waktu kalau kita kangen masih
ada yang dikangenin, Pak.”
Pak Dibyo : “E.. iya, tapi saya merasa sedih, merasa sendiri, nggak
ada yang saya ajak bicara, nggak ada yang menemani.
Istri saya kalau siang sibuk dengan cucu-cucunya dan
kalau sudah malam juga sudah capek. Dia tidur dekat
cucu-cucunya dan saya tidur sendiri.”
(19/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (56) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa sedih‟. Pak Dibyo merasa sedih ketika menceritakan keadaan dirinya yang
selalu kesepian tidak ada yang bisa ia ajak bicara, istrinya selalu sibuk dengan
cucu-cucu mereka. TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ tampak pada tuturan Bu
Dibyo yang menuturkan “E.. iya, tapi saya merasa sedih, merasa sendiri,
nggak ada yang saya ajak bicara, nggak ada yang menemani. Istri saya kalau
siang sibuk dengan cucu-cucunya dan kalau sudah malam juga sudah capek.
Dia tidur dekat cucu-cucunya dan saya tidur sendiri”. Dalam tuturan tersebut
tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa sedih‟. TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ pada tuturan di
atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Pak Dibyo merasa sedih karena keluarganya tidak ada yang
memperhatikannya.
Terjadinya TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ pada data (56) diawali oleh
adanya TTE „mengeluh‟ yang dilakukan Pak Dibyo. Pak Dibyo sering mengeluh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
karena keluarganya tidak ada yang memperhatikannya, sehingga membuat Pak
Dibyo merasa sedih tidak ada orang yang bisa diajak bicara, menemani Pak Dibyo
dan istrinya selalu sibuk dengan cucu-cucunya. Jika Pak Dibyo tidak merasa sedih
tentu Pak Dibyo tidak menuturkan tuturan yang berfungsi mengungkapkan
„kesedihan‟.
Wujud TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(57) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Bu Dibyo
merasa sedih sampai menangis karena suaminya meninggal.
Bu Dibyo : “Kenapa sampeyan tega meninggalkan aku ta, Pak?”
(sambil menangis).
Fatimah : “Sudah Bu, sudah Bu Dib, Bu Dib yang ikhlas saja ya.
Bapak ndak usah ditangisi!”
(299/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (57) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa sedih‟. Pak Dibyo telah meninggal dunia. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya TTE „mengungkapkan rasa sedih‟ yang dilakukan Bu Dibyo. Bu Dibyo
merasa sedih karena suaminya telah meninggal dunia. TTE „mengungkapkan rasa
sedih‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Kenapa sampeyan tega
meninggalkan aku ta, Pak”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya
penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa sedih‟. TTE
„mengungkapkan rasa sedih‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo merasa sedih
karena suaminya meninggal. Bu Dibyo sampai menangis karena merasa sedih.
Dengan menangis itulah yang semakin memperkuat tuturan dari Bu Dibyo
tersebut masuk dalam TTE „mengungkapkan rasa sedih‟. Bu Dibyo menangis
tentu karena dirinya merasa sedih dan bukan menangis karena bahagia ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
terharu. Jika Bu Dibyo tidak merasa sedih tentu Bu Dibyo tidak menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa sedih‟.
h. Mengungkapkan rasa kecewa
Kecewa adalah kecil hati, tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya,
harapannya) (KBBI, 2007:522). Jadi, TTE mengungkapkan rasa „kecewa‟ adalah
tindak tutur yang dilakukan penutur sebagai bentuk ekspresi atas perasaannya
karena merasa kecil hati, tidak puas karena keinginannya tidak terkabul. Data
yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(58) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati merasa
kecewa karena Pak Dibyo tidak datang ke rumah Aryati
untuk menemui Aryati.
Aryati : “Bunda, kok hari ini Kakek ndak datang, ya Bun?
Padahal Titi udah pesen sama Mbak untuk buat bubur
kacang ijo yang enaaak banget.” Fatimah : “Ti, Kakek Dibyo itu punya keluarga, punya anak-anak dan
juga cucu-cucu sendiri. Mungkin hari ini beliau ingin
bermain dengan mereka.
(158/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (58) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa kecewa‟. Pak Dibyo tidak datang ke rumah Aryati seperti biasanya. Aryati
merasa kecewa ketika mengetahui Pak Dibyo tidak datang untuk menemui Aryati,
padahal Aryati sudah memesan bubur kesukaan Pak Dibyo. TTE
„mengungkapkan rasa kecewa‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan
“Bunda, kok hari ini Kakek ndak datang, ya Bun? Padahal Titi udah pesen
sama Mbak untuk buat bubur kacang ijo yang enaaak banget”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa kecewa‟. TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟ pada tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya
terlihat bahwa Aryati merasa kecewa karena Pak Dibyo yang dianggap seperti
kakeknya sendiri tidak datang ke rumah Aryati untuk menemui Aryati seperti
biasanya.
TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟ pada data (58) terjadi karena Aryati
berharap hari itu Pak Dibyo datang menemuinya seperti biasa dan Aryati sudah
terlanjur memesan kepada Mbak yang membantu pekerjaan rumahnya untuk
membuat bubur kacang hijau yang enak, makanan kesukaan Pak Dibyo. Akan
tetapi, yang terjadi pada hari itu adalah Pak Dibyo tidak datang ke rumah Aryati.
Hal itulah yang menyebabkan Aryati merasa kecewa. Jika Aryati tidak ingin
mengungkapkan kekecewaannya tentu Aryati tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „mengungkapkan rasa kecewa‟. Kemudian Fatimah memberi
penjelasan kepada Aryati bahwa Pak Dibyo itu mempunyai keluarga sendiri
sehingga tidak datang ke rumah mereka. Hal tersebut dilakukan Fatimah supaya
Aryati tidak lagi merasa kecewa.
Wujud TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(59) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan istrinya, yaitu Bu
Dibyo. Pak Dibyo menasihati istrinya supaya bisa meniru
sifat Aryati yang tulus memberikan perhatian kepada Pak
Dibyo. Pak Dibyo merasa kecewa dengan istrinya karena
sudah hampir 50 tahun hidup bersama tetapi Bu Dibyo tidak
bisa berubah dan mengerti keinginan Pak Dibyo.
Pak Dibyo : “Bu, ada satu hal yang bisa kita tiru dari anak kecil itu.”
Bu Dibyo : “Ah, Bapak ini.”
Pak Dibyo : “Anak kecil itu polos dan jujur, apa adanya dan perasaanya
tulus, suci. Titi memperhatikan Bapak itu dengan hati yang
tulus tanpa pamrih apa pun. Dan saat ini Bapak ndak butuh
apa-apa, kecuali perhatian dari orang orang di sekitar bapak.
Ibu sebagai istri yang sudah mendampingi Bapak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
hampir 50 tahun ndak ngerti-ngerti juga, ndak ada
perubahan sama sekali Bu, Bapak kecewa Bu.” Bu Dibyo : “Hla, ini sudah watak je, sudah karakter, gimana mungkin
bisa berubah, ndak mungkin ta, Pak?”
Pak Dibyo : “Yah, watak manusia memang tidak bisa diubah, tapi
sedikitnya Ibu bisa mengendalikan diri, menahan diri itu
sudah lebih baik Bu, tidak bla bla dan seenaknya sendiri,
ndak pake piye terus sama sekali Bu.”
Bu Dibyo : “Halah, mboh Pak, mumet aku, mboh mboh.”
(198/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (59) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa kecewa‟. Pak Dibyo menceritakan kebaikan Aryati agar Bu Dibyo bisa
meniru sifat baiknya Aryati yang sayang dan perhatian dengan Pak Dibyo. Pak
Dibyo merasa kecewa kepada istrinya karena sudah hampir 50 tahun
mendampingi Pak Dibyo tapi Bu Dibyo tidak mengerti apa yang menjadi
keinginan Pak Dibyo. Pak Dibyo juga merasa kecewa karena istrinya tidak bisa
mengubah sifatnya menjadi lebih baik. TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟
tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Ibu sebagai istri yang sudah
mendampingi Bapak hampir 50 tahun ndak ngerti-ngerti juga, ndak ada
perubahan sama sekali Bu, Bapak kecewa Bu”. Pernyataan dari Pak Dibyo,
yaitu pernyataan bahwa dirinya merasa kecawa kepada Bu Dibyo (istrinya)
menjadi penanda lingual TTE „mengungkapkan rasa kecewa‟. Jika Pak Dibyo
tidak ingin mengungkapkan kekecewaannya tentu Pak Dibyo tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa kecewa‟.
i. Menyesal
Menyesal adalah merasa tidak senang atau tidak bahagia (susah, kecewa)
karena (telah melakukan) sesuatu yang kurang baik (dosa, kesalahan) (KBBI,
2007:1054). Jadi, TTE „menyesal‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
sebagai bentuk ekspresi rasa susah, kecewa karena telah melakukan sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
kurang baik. Data yang menunjukkan TTE „menyesal‟ dapat dilihat pada data
berikut:
(60) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
putus asa karena merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan
untuk mengusir rasa sepinya. Fatimah pun memberi saran
kepada Pak Dibyo untuk mendengarkan ceramah di masjid
dan membaca Alquran untuk menghilangkan rasa sepinya.
Akan tetapi, Pak Dibyo justru menyesal karena pada waktu
masih muda Pak Dibyo tidak belajar membaca Alquran dan
hanya direpotkan mencari uang saja.
Pak Dibyo : “Kalau badan saya masih sehat, masih kuat, saya akan
melakukan apa saja untuk mengusir kesepian saya, tapi
badan saya ini sudah ndak sehat, penyakit saya banyak,
ndak kuat apa-apa dan juga ndak bisa lagi ke mana-mana.”
Fatimah : “Eh, masih ada kok Pak yang bisa Bapak lakukan. Bapak
bisa ke musala atau ke masjid ikut mendengarkan ceramah
atau kalau Bapak suka membaca, Bapak bisa membaca apa
saja, apalagi kalau bisa membaca Alquran. Untuk mengusir
kesepian, Bapak bisa membaca Alquran. Wah, banyak
sekali manfaatnya, Pak, di samping rasa kesepian kita
terobati masih dapat juga pahala dari Allah terasa sejuk dan
senang.”
Pak Dibyo : “Yah, itulah kerugian saya. Waktu muda dulu saya
hanya dikejar oleh repotnya mencari rupiah sampai
ndak ada waktu untuk belajar membaca Alquran.”
(44/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (60) termasuk ke dalam jenis TTE „menyesal‟. Pak
Dibyo merasa putus asa karena tidak bisa lagi melakukan kegiatan yang bisa
mengusir rasa kesepiannya. Fatimah pun memberitahukan hal yang bisa dilakukan
Pak Dibyo untuk mengusir rasa kesepiannya, yaitu dengan membaca Alquran. Hal
itulah yang menyebabkan terjadinya TTE „menyesal‟ yang dilakukan oleh Pak
Dibyo. TTE „menyesal‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Yah,
itulah kerugian saya. Waktu muda dulu saya hanya dikejar oleh repotnya
mencari rupiah sampai ndak ada waktu untuk belajar membaca Alquran”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
menunjukkan TTE „menyesal‟. TTE „menyesal‟ pada tuturan di atas dapat
ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa
Pak Dibyo menyesal karena pada waktu masih muda Pak Dibyo tidak belajar
membaca Alquran dan hanya direpotkan mencari uang saja.
Terjadinya TTE „menyesal‟ pada data (60) diawali oleh adanya TTDir
„menyarankan‟ yang dilakukan Fatimah. Fatimah memberikan saran pada Pak
Dibyo supaya ke musala untuk mendengarkan ceramah atau membaca Alquran
agar rasa kesepian Pak Dibyo bisa terobati. Hal itulah yang menyebabkan
terjadinya TTE „menyesal‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Yah,
itulah kerugian saya. Waktu muda dulu saya hanya dikejar oleh repotnya mencari
rupiah sampai ndak ada waktu untuk belajar membaca Alquran”. Setelah
mendengar saran dari Fatimah Pak Dibyo justru mengungkapkan rasa
penyesalannya karena pada waktu masih muda Pak Dibyo tidak belajar membaca
Alquran dan hanya direpotkan mencari uang saja. Jika Pak Dibyo tidak ingin
mengungkapkan penyesalannya kepada Fatimah, tentu Pak Dibyo tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk mengungkapkan rasa „menyesal‟.
Wujud TTE „menyesal‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(61) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Bu Dibyo
merasa menyesal karena selama Pak Dibyo masih hidup, Bu
Dibyo tidak mengikuti nasihat Fatimah.
Bu Dibyo : “Saya menyesal Bu Fat, kenapa saya tidak mengikuti
nasihat Bu Fat. Kalau saja saya mengikuti nasihat Bu
Fat, saya tidak akan semenyesal ini Bu.” Fatimah : “Iya, Bu. Ya sudah Bu, setiap penyesalan selalu ada di
belakang, sekarang antar Bapak dengan doa-doa ya, jangan
dengan air mata!”
Bu Dibyo : “Iya, Bu Fat, tapi saya menyesal sekali kalau seperti ini.”
(301/TT/22 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Tuturan pada data (61) termasuk ke dalam jenis TTE „menyesal‟. Bu
Dibyo merasa menyesal karena sewaktu Pak Dibyo masih hidup dirinya tidak
menurti nasihat dari Fatimah untuk merawat dan memperhatikan Pak Dibyo.
Fatimah pun menghibur Bu Dibyo agar tidak terus menyesal dan menyalahkan
dirinya sendiri. TTE „menyesal‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan
“Saya menyesal Bu Fat, kenapa saya tidak mengikuti nasihat Bu Fat. Kalau
saja saya mengikuti nasihat Bu Fat, saya tidak akan semenyesal ini Bu” dan
tuturan “tapi saya menyesal sekali kalau seperti ini”. Tuturan tersebut termasuk
ke dalam TTE „menyesal‟ karena terdapat penanda lingual, yaitu kata menyesal
pada penggalan kalimat yang dituturkan oleh Bu Dibyo.
Ungkapan penyesalan Bu Dibyo tersebut terjadi setelah Pak Dibyo
meninggal. Penyesalan tersebut disebabkan karena selama Pak Dibyo masih
hidup, Bu Dibyo tidak pernah menuruti nasihat Fatimah untuk mengurus dan
merawat Pak Dibyo. Jika Bu Dibyo tidak ingin mengungkapkan rasa
penyesalannya karena tidak menuruti nasihat dari Fatimah tentu Bu Dibyo tidak
akan menuturkan tuturan yang berfungsi sebagai ungkapan rasa „menyesal‟.
j. Mengungkapkan rasa putus asa
Putus Asa adalah habis (hilang) harapan, tidak mempunyai harapan lagi
(KBBI, 2007:914). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ adalah tindak tutur
yang dilakukan penutur karena merasa dirinya sudah tidak mempunyai harapan
lagi. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ dapat dilihat
pada data berikut:
(62) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
merasa putus asa tidak bisa lagi melakukan hobinya.
Fatimah : “Oh iya, Bapak punya hobi, hobi Bapak apa, ya?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Pak Dibyo : “He.. he.. he.. hobi? Saya dulu suka jalan, tapi sekarang
sudah enggak, temen saya tu banyak tapi sekarang mau
jalan ke mana, ya. Jalan keliling jalan kampung saja
sudah nggak mampu saya ini.” Fatimah : “Waduh, Bapak nggak boleh putus asa dan patah semangat.
Masih banyak kok yang bisa Bapak lakukan, contohnya
seperti sekarang ini, Bapak bisa share kepada orang lain
walaupun akan lebih baik kalau Bapak bisa share pada
sesama laki-laki. Eh, maaf lho Pak Dib, jangan salah
penerimaan, bukannya saya tidak mau Bapak share dengan
saya lho tapi kan ada pantasnya kalau share dengan
perempuan ndak bebas seperti pada teman laki-laki, ya kan,
Pak?”
(53/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (62) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa putus asa‟. TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ tampak pada tuturan Bu
Dibyo yang menuturkan “Temen saya tu banyak tapi sekarang mau jalan ke
mana, ya. Jalan keliling jalan kampung saja sudah nggak mampu saya ini”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟. TTE „mengungkapkan rasa
putus asa‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo merasa putus asa tidak bisa lagi
melakukan hobinya. Fatimah pun memberi semangat kepada Pak Dibyo agar tidak
putus asa dan bisa melakukan hal lain seperti berbagi cerita dengan orang lain.
TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ pada data (62) terjadi ketika
Fatimah menanyakan hobi Pak Dibyo, Pak Dibyo memberitahukan kepada
Fatimah bahwa hobinya adalah jalan-jalan lalu Pak Dibyo merasa putus asa
karena tidak bisa lagi melakukan hobinya dengan mengatakan bahwa dirinya
berjalan keliling kampung saja sudah tidak mampu. Hal itulah yang memicu
terjadinya TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ pada tuturan yang disampaikan
oleh Pak Dibyo. TTE „mengungkapkan rasa putus asa‟ pada tuturan data di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
semakin diperkuat oleh kalimat sesudahnya, yaitu tuturan yang disampaikan oleh
Fatimah yang bermaksud mengingatkan Pak Dibyo supaya tidak putus asa da
patah semangat. Jika Pak Dibyo tidak ingin mengungkapkan rasa putus asanya
karena tidak bisa melakukan hobinya tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa putus asa‟.
k. Mengungkapkan rasa senang
Senang adalah puas dan lega (KBBI, 2007:1032). Jadi, TTE
„mengungkapkan rasa senang‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur sebagai
bentuk ekspresi atas perasaannya yang sedang merasa senang, puas, kebahagiaan,
dan sebagainya. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa senang‟
dapat dilihat pada data berikut:
(63) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Sebelum Pak
Dibyo pulang, Fatimah menawarkan buku-buku kepada Pak
Dibyo. Pak Dibyo pun berterima kasih kepada Fatimah dan
mengungkapkan rasa senangnya karena Fatimah sudah mau
mendengarkan keluh kesah darinya.
Fatimah : “Kalau Bapak mau, di dalam masih banyak kok buku-buku
yang bagus-bagus. Sekali waktu ajak istri Bapak main ke
rumah, ya Pak, ya, ajak juga cucu-cucunya! Di sini juga ada
tempat bermain lho untuk anak-anak.”
Pak Dibyo : “Iya iya. Terima kasih Bu Fatimah. Saya senang Ibu mau
mendengar keluh kesah saya.”
(65/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (63) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa senang‟. Pak Dibyo datang ke rumah Fatimah untuk berbagi cerita. Sebelum
Pak Dibyo pulang dari rumah Fatimah, Fatimah menawarkan buku-buku untuk
dibaca. Fatimah juga menyuruh Pak Dibyo untuk mengajak cucu dan istrinya
bermain ke rumah Fatimah. Pak Dibyo pun berterima kasih kepada Fatimah atas
segala kebaikan Fatimah. Pak Dibyo merasa senang karena Fatimah sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
bersedia mendengarkan keluh kesah dari Pak Dibyo. TTE „mengungkapkan rasa
senang‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan Saya senang Ibu mau
mendengar keluh kesah saya”. Kata senang pada tuturan yang disampaikan oleh
Pak Dibyo tersebut menjadi penanda lingual TTE „mengungkapkan rasa senang‟.
Jika Pak Dibyo tidak ingin mengungkapkan rasa senangnya tentu Pak Dibyo tidak
akan mengatakan tuturan yang berfungsi sebagai ungkapan „kesenangan‟
Wujud TTE „mengungkapkan rasa senang‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(64) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Pak Dibyo
bertamu di rumah Fatimah. Aryati mengira Pak Dibyo
adalah kakeknya sendiri. Aryati pun merasa senang karena
ia bisa bertemu dengan Pak Dibyo.
Aryati : “Ibu, ini kakek Titi, ya?”
Fatimah : “Oh, iya Ti, ini Kakek Dibyo. Ayo kasih salam sama
Kakek!”
Aryati : “Asik Titi ketemu sama Kakek. Titi akhirnya punya
kakek.” (93/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (64) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa senang‟. Pak Dibyo sedang bertamu di rumah Fatimah. Aryati menanyakan
kepada Fatimah orang yang sedang berada di rumahnya itu kakeknya atau bukan.
Fatimah pun memberitahukan kakek yang berada di rumahnya. Aryati mengira
Pak Dibyo adalah kakeknya sendiri. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTE
„mengungkapkan rasa senang‟ yang dilakukan Aryati. TTE „mengungkapkan rasa
senang‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan “Asyik Titi ketemu sama
Kakek. Titi akhirnya punya kakek”. Kata asyik pada tuturan yang disampaikan
oleh Aryati tersebut menjadi penanda lingual TTE „mengungkapkan rasa senang‟.
Aryati merasa senang atau gembira karena akhirnya dia bisa bertemu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
kakeknya. Jika Aryati tidak ingin mengungkapkan rasa senangnya tentu Aryati
tidak menuturkan tuturan yang berfungsi mengungkapkan „kesenangan‟.
l. Mengungkapkan rasa iri
Iri adalah merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain, cemburu,
sirik, dengki (KBBI, 2007:442). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa iri‟ adalah
tindak tutur yang dilakukan penutur karena merasa kurang senang melihat
kelebihan orang lain, cemburu, sirik, dengki. Data yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa iri‟ dapat dilihat pada data berikut:
(65) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
merasa iri kepada tetangganya, meski hidup sederhana,
namun mereka bisa saling menyayangi dan bisa
memperhatikan anggota keluarganya.
Pak Dibyo : “Aduh, saya benar-benar iri. Berhasil sekali mereka
mendidik anak-anaknya dan istrinya. Sekalipun sudah
sama-sama tua tapi masih sangat perhatian dan sayang pada
suaminya. Setiap pagi, suaminya itu dibawa keluar didorong
pake kursi roda dan sambil disuapi tanpa mengeluh. Selalu
ada senyum mengembang di bibir ibu renta itu.”
Fatimah : “Oh, ya?”
(87/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (65) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa iri‟. TTE „mengungkapkan rasa iri‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang
menuturkan “Aduh, saya benar-benar iri”. Kata iri pada tuturan yang
disampaikan oleh Pak Dibyo tersebut menjadi penanda lingual TTE
„mengungkapkan rasa iri‟. Pak Dibyo merasa iri dengan tetangganya, walaupun
hidupnya sederhana tapi mereka bisa saling menyayangi dan saling
memperhatikan.
TTE „mengungkapkan rasa iri‟ pada data (65) terjadi ketika Pak Dibyo
menceritakan tentang kebaikan tetangganya yang hidupnya sederhana tapi mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
bisa saling menyayangi dan bisa saling memperhatikan anggota keluarganya.
Tentu hal itu membuat Pak Dibyo merasa iri karena keadaan tetangganya yang
hidup sederhana berkebalikan dengan kondisi keluarga Pak Dibyo yang hidup
serba cukup namun tidak ada rasa saling menyayangi dan saling memperhatikan
satu sama lain dalam keluarga. Jika Pak Dibyo tidak ingin mengungkapkan rasa
irinya tentu Pak Dibyo tidak akan mengatakan tuturan yang berfungsi untuk
„mengungkapkan rasa iri‟.
m. Mengungkapkan rasa jengkel
Jengkel adalah perasaan kesal, mendogkol (KBBI, 2007:469). Jadi, TTE
„mengungkapkan rasa jengkel‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena
merasa kesal dan dongkol. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
jengkel‟ dapat dilihat pada data berikut:
(66) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
mengambil piring dan gelas untuk makan dan minum. Akan
tetapi, secara tidak sengaja Pak Dibyo menjatuhkan piring
dan gelasnya sampai pecah. Bu Dibyo pun merasa jengkel
karena Pak Dibyo tidak segera merapikannya.
Bu Dibyo : “Masya Allah Pak, kok malah masih berdiri di situ saja
ta, bengong seperti sapi ompong sampeyan ini. Ambok
dirapikan apa gimana, malah diam saja!”
Pak Dibyo : “Bu, sampeyan ini apa sebenarnya ndak tau kalau aku ini
sudah tua juga ndak bisa apa-apa ta Bu.”
Bu Dibyo : “Huh.”
(116/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (66) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa jengkel‟. Pak Dibyo akan mengambil makan dan minum tapi justru piring
dan gelasnya jatuh tanpa disengaja. Pak Dibyo tidak segera membereskan dan
merapikannya. Tentu hal tersebut membuat Bu Dibyo merasa jengkel kepada
suaminya. TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
“Masya Allah Pak, kok malah masih berdiri di situ saja ta, bengong seperti
sapi ompong sampeyan ini. Ambok dirapikan apa gimana, malah diam saja”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟. TTE „mengungkapkan rasa
jengkel‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat
dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo merasa jengkel kepada Pak Dibyo.
Intonasi yang sedikit meninggi dari tuturan Bu Dibyo semakin memperkuat
bahwa tuturan tersebut masuk dalam TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟.
TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ pada data (66) terjadi ketika Bu Dibyo
melihat suaminya menjatuhkan piring dan dan gelas ketika akan mengambil
makan. Pak Dibyo tidak segera membersihkan atau merapikan piring dan gelas
yang jatuh namun Pak Dibyo hanya diam saja. Hal itulah yang memicu terjadinya
TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui
tuturan “Masya Allah Pak, kok malah masih berdiri di situ saja ta, bengong
seperti sapi ompong sampeyan ini. Ambok dirapikan apa gimana, malah diam
saja”. Jika Bu Dibyo tidak merasa jengkel kepada suaminya tentu Bu Dibyo tidak
akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa jengkel‟.
Wujud TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(67) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
bertamu di rumah Fatimah. Saat itu pula Bu Dibyo melihat
Pak Dibyo sedang asik bermain dengan Aryati di rumah
Fatimah. Bu Dibyo pun merasa jengkel melihat kejadian itu.
Bu Dibyo : “Oh, jadi seperti ini, ya? Katanya olahraga jalan-jalan,
tapi ternyata bercanda di rumah janda. Sudah tua bau
tanah juga Pak. Pak, mbok ya nyebut, emut sampeyan ki!
Di rumah saja kalau dimintai bantuan nunggu cucunya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
katanya yang capeklah, yang inilah, heh ternyata di sini
juga cuma momong anak orang. Ayo pulang.. pulang!”
Pak Dibyo : “Apa ta Ibu ini?”
(126/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (67) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa jengkel‟. Pak Dibyo sedang bertamu di rumah Fatimah. Saat itu pula Bu
Dibyo mendapati suaminya sedang asyik bermain dengan anaknya Fatimah. Hal
itulah yang menyebabkan terjadinya TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ yang
dilakukan Bu Dibyo. TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ tampak pada tuturan Bu
Dibyo yang menuturkan “Oh, jadi seperti ini, ya? Katanya olahraga jalan-
jalan, tapi ternyata bercanda di rumah janda. Sudah tua bau tanah juga
Pak. Pak, mbok ya nyebut, emut sampeyan ki! Di rumah saja kalau dimintai
bantuan nunggu cucunya katanya yang capeklah, yang inilah, heh ternyata
di sini juga cuma momong anak orang”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
jengkel‟. TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟ pada tuturan di atas dapat
ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu
Dibyo merasa jengkel karena mendapati suaminya sedang berada di rumah
Fatimah. Intonasi yang meninggi dari tuturan Bu Dibyo semakin memperkuat
bahwa tuturan tersebut masuk dalam TTE „mengungkapkan rasa jengkel‟. Bu
Dibyo merasa jengkel karena di rumah sibuk mengurus dan merawat cucu-
cucunya sendiri dan Pak Dibyo tidak mau bila dimintai bantuan untuk menunggu
cucu-cucunya, akan tetapi di rumah Fatimah Pak Dibyo justru bermain dengan
Aryati, anaknya Fatimah. Jika Bu Dibyo tidak merasa jengkel kepada suaminya
tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengungkapkan rasa jengkel‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
n. Menuduh
Menuduh adalah menunjuk dan mengatakan bahwa seseorang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, mendakwa (KBBI, 2007:1215). Jadi, TTE
„menuduh‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk menunjukkan dan
mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Data
yang menunjukkan TTE „menuduh‟ dapat dilihat pada data berikut:
(68) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
bertamu di rumah Fatimah. Saat itu pula Bu Dibyo melihat
Pak Dibyo sedang asik bermain dengan Aryati. Bu Dibyo
pun marah kepada suaminya. Fatimah berusaha
menenangkan Bu Dibyo supaya tidak marah. Akan tetapi,
Bu Dibyo justru menuduh Fatimah telah menggoda Pak
Dibyo.
Fatimah : “Ibu Dibyo, sebaiknya ibu tidak marah-marah pada Bapak,
karena Bapak hanya bermain dengan anak saya Bu.”
Bu Dibyo : “Ya justru itu yang membuat saya marah. Di rumah saja dia
tidak mau bermain dengan cucu-cucunya. Padahal mereka
juga ingin bermain dengan kakeknya. Heeh, malah dia di
sini enak-enakan main dengan anak sampeyan. Sampeyan
sudah menggoda suami saya, ya? Jangan, ndak baik
mengganggu suami orang.”
Fatimah : “Ibu, di sini tidak ada yang mengganggu suami orang.
Bapak ini kesepian, beliau butuh teman Ibu.”
(138/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (68) termasuk ke dalam jenis TTE „menuduh‟. Fatimah
berusaha menenangkan Bu Dibyo supaya tidak marah dengan suaminya karena
Pak Dibyo di rumah Fatimah hanya bermain dengan Aryati. Hal itu semakin
membuat Bu Dibyo marah karena ketika di rumah saja Pak Dibyo tidak mau jika
dimintai bantuan untuk merawat dan bermain dengan cucu-cucunya tapi di rumah
Fatimah Pak Dibyo justru bermain dengan anaknya Fatimah. Bu Dibyo pun
menuduh Fatimah telah menggoda suaminya. TTE „menuduh‟ tampak pada
tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Sampeyan sudah menggoda suami saya,
ya”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
menunjukkan TTE „jengkel‟. TTE „jengkel‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa ketika melihat
suaminya bermain di rumah Fatimah, Bu Dibyo menuduh Fatimah telah
menggoda Pak Dibyo.
Terjadinya TTE „menuduh‟ pada data (68) diawali oleh adanya TTDir
„menasihati‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah menasihati Bu Dibyo supaya
tidak marah kepada Pak Dibyo. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTE
„menuduh‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui tuturan “Sampeyan sudah
menggoda suami saya, ya”. Melalui tuturan tersebut Bu Dibyo menuduh Fatimah
telah menggoda suami Bu Dibyo. Fatimah pun memberi penjelasan bahwa dirinya
tidak menggoda suaminya. Jika Bu Dibyo tidak bermaksud menuduh Fatimah
telah menggoda Pak Dibyo tentu Bu Dibyo tidak menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menuduh‟.
o. Menyindir
Menyindir adalah mengkritik (mencela, mengejek, dan sebagainya)
seseorang secara tidak sengaja atau terus terang (KBBI, 2007:1069). Jadi, TTE
„menyindir‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk mengkritik
seseorang, baik yang disengaja atau terus terang. Data yang menunjukkan TTE
„menyindir‟ dapat dilihat pada data berikut:
(69) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
bertamu di rumah Fatimah. Saat itu pula Bu Dibyo melihat
Pak Dibyo sedang asik bermain dengan Aryati. Karena
merasa jengkel, Bu Dibyo menyindir suaminya yang sudah
tua.
Bu Dibyo : “Oh, jadi seperti ini, ya? Katanya olahraga jalan-jalan, tapi
ternyata bercanda di rumah janda. Sudah tua bau tanah
juga Pak. Pak, mbok ya nyebut, emut sampeyan ki! Di
rumah saja kalau dimintai bantuan nunggu cucunya katanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
yang capeklah, yang inilah,heh ternyata di sini juga cuma
momong anak orang. Ayo pulang.. pulang!”
Pak Dibyo : “Apa ta Ibu ini?”
(127/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (69) termasuk ke dalam jenis TTE „menyindir‟. Ketika
Bu Dibyo marah dan jengkel saat mendapati suaminya sedang berada di rumah
Fatimah, Bu Dibyo menyindir suaminya. TTE „menyindir‟ tampak pada tuturan
Bu Dibyo yang menuturkan “Sudah tua bau tanah juga Pak”. Dalam tuturan
tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„menyindir‟. TTE „menyindir‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo menyindir
suaminya karena merasa jengkel. Bu Dibyo mengatakan bahwa suaminya sudah
tua dan bau tanah, hal tersebut sama saja Bu Dibyo mendoakan suaminya cepat
meninggal.
Terjadinya TTE „menyindir‟ pada data (69) diawali oleh adanya TTE
„jengkel‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo pula. Bu Dibyo merasa jengkel kepada
suaminya karena sedang asyik bermain di rumah Fatimah. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya TTE „menyindir‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo kepada
suaminya melalui tuturan “Sudah tua bau tanah juga Pak”. Melalui tuturan
tersebut Bu Dibyo bermaksud menyindir suaminya yang sudah tua. Dari tuturan
tersebut, sama saja Bu Dibyo mendoakan suaminya cepat meninggal. Sebagai
seorang istri seharusnya Bu Dibyo tidak mengatakan hal itu. Jika Bu Dibyo tidak
bermaksud menyindir suaminya tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan tuturan
yang berfungsi untuk „menyindir‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
p. Mengungkapkan rasa cemburu
Cemburu adalah merasa tidak atau kurang senang melihat orang lain
beruntung; kurang percaya; curiga (iri hati) (KBBI, 2007:204). Jadi, TTE
„mengungkapkan rasa cemburu‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
sebagai bentuk ungkapan perasaannya yang kurang percaya, curiga (iri hati
kepada) seseorang. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa cemburu‟
dapat dilihat pada data berikut:
(70) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Pak Dibyo. Ketika Bu
Dibyo melihat suaminya berada di rumah Fatimah, Bu
Dibyo merasa cemburu sampai menuduh yang tidak-tidak
kepada suaminya.
Bu Dibyo : “Ndak usah mencari alasan Pak! Saya tahu Bapak suka
dengan Bu Fatimah yang suaranya lembut dan merdu
itu kan? Iya? Makanya Bapak betah di sana, ndak mau
di rumah.” Pak Dibyo : “Masya Allah, kenapa sih Bu masih tidak mau berubah, dari
muda sampai sekarang bawaannya cemburu terus, curiga
terus. Heh, sampai kapan sifat yang jelek itu dipelihara? Bu,
makin tua itu seharusnya makin baik jalan pikirannya,
makin sadar bahwa ndak ada yang dibawa kalau kita mati
nanti selain amal soleh kita Bu.”
Bu Dibyo : “Halah.”
(186/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (70) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa cemburu‟. Ketika Bu Dibyo mengetahui suaminya sedang berada di rumah
Fatimah, Bu Dibyo merasa cemburu dan menuduh suaminya suka dengan
Fatimah. TTE „mengungkapkan rasa cemburu‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo
yang menuturkan “Saya tahu Bapak suka dengan Bu Fatimah yang suaranya
lembut dan merdu itu kan? Iya? Makanya Bapak betah di sana, ndak mau di
rumah”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa cemburu‟. TTE „mengungkapkan rasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
cemburu‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika
dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo merasa cemburu sampai
menuduh suaminya suka dengan Fatimah.
Ekspresi rasa cemburu yang diungkapkan oleh Bu Dibyo terjadi karena Bu
Dibyo mengatakan yang tidak-tidak tentang suaminya. Bu Dibyo menunjukkan
kelebihan dari Fatimah dan mengatakan bahwa Pak Dibyo suka kepada Fatimah.
Oleh sebab itulah Bu Dibyo merasa cemburu lantaran Pak Dibyo lebih memilih
untuk bermain di rumah Fatimah daripada di rumahnya sendiri. Jika Bu Dibyo
tidak merasa cemburu pada suaminya tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa cemburu‟.
q. Menyalahkan
Menyalahkan adalah menyatakan (memandang, menganggap) salah;
melemparkan kesalahan kepada; menyesali (KBBI, 2007:983). Jadi, TTE
„menyalahkan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur yang menganggap
mitra tuturnya salah atau melempar kesalahan kepada mitra tutur. Data yang
menunjukkan TTE „menyalahkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(71) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Fatimah
menasihati Bu Dibyo untuk mendahulukan merawat
suaminya dibanding cucu-cucunya karena cucunya sudah
ada yang bertanggung jawab, yaitu orang tuanya. Fatimah
menyalahkan Bu Dibyo yang membiasakan cucu-cucunya
selalu bersamanya sehingga sekarang susah bila cucu-
cucunya harus jauh dari Bu Dibyo.
Fatimah : “Bu, cucu Ibu kan sudah ada yang lebih bertanggung
jawab.”
Bu Dibyo : “Iya.”
Fatimah : “Kenapa tidak orang tuanya saja yang mengasuh, kenapa
harus Ibu? Kan Ibu punya tanggung jawab merawat suami.
Pernah saya dengar di pengajian bahwa salah satu jalan
pintu surga terbuka untuk istri adalah bila kita berbakti dan
mengabdi pada suami Bu. Jangan seperti saya Bu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
gagal membina rumah tangga. Selagi masih ada kesempatan
lho Bu. Jangan disia-siakan, menikmati masa tua berdua.”
Bu Dibyo : “Haduh, susah deh Bu, cucu saya sudah kadung lengket
sama saya. Kalau tidur ndak dengan saya mereka itu nangis
Bu, susah.”
Fatimah : “Heh, itu karena Ibu membisakan diri membawa cucu-
cucu Ibu tidur bersama Ibu.” Bu Dibyo : “Iya.”
(246/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (71) termasuk ke dalam jenis TTE „menyalahkan‟. TTE
„menyalahkan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Heh, itu karena
Ibu membisakan diri membawa cucu-cucu Ibu tidur bersama Ibu”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„menyalahkan‟. TTE „menyalahkan‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah
menyalahkan Bu Dibyo yang membiasakan cucu-cucunya selalu bersamanya
sehingga sekarang susah bila cucu-cucunya harus jauh dari Bu Dibyo.
Terjadinya TTE „menyalahkan‟ pada data (71) di awali oleh adanya TTDir
„menasihati‟ yang dilakukan Fatimah. Fatimah menasihati Bu Dibyo untuk
merawat suami dan menikmati masa tua berdua dengan suami. Bu Dibyo merasa
putus asa tidak bisa melakukan yang dikatakan Fatimah dengan alasan cucu-
cucunya yang tidak bisa ditinggal. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTE
„menyalahkan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Heh, itu karena Ibu
membisakan diri membawa cucu-cucu Ibu tidur bersama Ibu”. Dari tuturan
tersebut secara tidak langsung Fatimah menyalahkan Bu Dibyo karena Bu Dibyo
membiasakan cucu-cucunya selalu bersamanya sehingga sekarang kesulitan bila
cucu-cucunya harus jauh dari Bu Dibyo. Jika Fatimah tidak bermaksud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
menyalahkan Bu Dibyo tentu Fatimah tidak akan menyampaikan tuturan yang
berfungsi untuk „menyalahkan‟.
r. Mengungkapkan rasa penasaran
Penasaran adalah sangat ingin menghendaki; sangat ingin hendak
mengetahui (KBBI, 2007:848). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa penasaran‟
adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena merasa sangat ingin
mengetahui sesuatu. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
penasaran‟ dapat dilihat pada data berikut:
(72) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Aryati. Pak Dibyo
memberitahukan bahwa dirinya akan pergi ke atas, ke
tempat yang serba indah dan sudah ada yang akan
menjemput Pak Dibyo. Aryati merasa penasaran dengan
yang akan menjemput Pak Dibyo.
Pak Dibyo : “Titi, coba lihat ke atas, awan putih berarak indah sekali, ya
Ti. Di atas semua serba indah. Kakek rasanya ingin terbang
ke sana.”
Aryati : “Kakek, Kakek kan nggak punya sayap, mana mungkin
Kakek bisa terbang.”
Pak Dibyo : “Kakek memang ndak punya sayap, tapi Kakek mau ke
sana. Tu, sudah ada yang melambaikan tangannya ke Kakek
Ti.”
Aryati : “Kakek, mana sih, ndak ada siapa-siapa kok, nggak ada
orang.” Pak Dibyo : “Titi, hanya Kakek yang melihat mereka.”
(291/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (72) termasuk dalam jenis TTE „mengungkapkan rasa
penasaran‟. Pak Dibyo memberitahukan kepada Aryati bahwa dirinya akan pergi
ke atas, ke tempat yang serba indah dan sudah ada yang akan menjemput Pak
Dibyo. Dengan polosnya Aryati merasa penasaran dengan yang akan menjemput
Pak Dibyo. TTE „penasaran‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan
“Kakek, mana sih, ndak ada siapa-siapa kok, nggak ada orang”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
„mengungkapkan rasa penasaran‟. TTE „mengungkapkan rasa penasaran‟ pada
tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari
konteksnya terlihat bahwa Aryati merasa penasaran dengan orang yang akan
menjemput Pak Dibyo.
Terjadinya TTE „mengungkapkan rasa penasaran‟ pada data (72) diawali
oleh adanya TTA „mengungkapkan rasa penasaran‟ yang dilakukan oleh Pak
Dibyo. Pak Dibyo memberitahukan kepada Aryati bahwa sudah ada yang
melambaikan tangannya untuk menjemput Pak Dibyo. Hal itulah yang memicu
terjadinya TTE „mengungkapkan rasa penasaran‟ yang dilakukan oleh Aryati
dengan menuturkan “Kakek, mana sih, ndak ada siapa-siapa kok, nggak ada
orang”. Melalui tuturan tersebut Aryati mengungkapkan rasa penasarannya
kepada Pak Dibyo. Aryati tidak melihat ada orang yang melambaikan tangannya.
Hal tersebut membuat Aryati merasa penasaran dengan yang dikatakan Pak
Dibyo. Aryati penasaran ingin melihatnya. Jika Aryati tidak merasa penasaran,
tentu Aryati tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengungkapkan rasa penasaran‟.
s. Mengungkapkan rasa bingung
Bingung adalah hilang akal (tidak tahu yang harus dilakukan) (KBBI,
2007:153). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa bingung‟ adalah tindak tutur yang
dilakukan penutur karena merasa hilang akal, tidak tahu yang harus dilakukannya.
Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa bingung‟ dapat dilihat pada
data berikut:
(73) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
sedang sakit. Bu Dibyo datang ke rumah Fatimah karena Bu
Dibyo merasa bingung dengan yang harus ia lakukan untuk
kesembuhan Pak Dibyo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Bu Dibyo : “Bapaknya Bu, sudah seminggu ndak mau makan,
badannya lemes dan wajahnya pucat sekali dan saya
ndak tahu harus bagaimana. Setiap saat Bapak mengigau
memanggil nama Titi.”
Fatimah : “Oh, pantesan sudah beberapa hari ini tidak kelihatan. Anak
saya juga menanyakan katanya, „Ke mana Kakek ya Bun
kok nggak pernah jalan-jalan sekarang?‟.”
(217/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (73) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa bingung‟. Ketika Pak Dibyo sedang sakit, Bu Dibyo tidak tahu yang harus ia
lakukan untuk kesembuhan suaminya. Akhirnya Bu Dibyo datang ke rumah
Fatimah dengan maksud meminta pertolongan kepada Fatimah agar bisa
membujuk Pak Dibyo supaya mau makan. TTE „mengungkapkan rasa bingung‟
tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Bapaknya Bu, sudah
seminggu ndak mau makan, badannya lemes dan wajahnya pucat sekali dan
saya ndak tahu harus bagaimana”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan
adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa bingung‟.
TTE „mengungkapkan rasa bingung‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo
merasa bingung dengan yang harus ia lakukan menghadapi suaminya yang sedang
sakit. Jika Bu Dibyo tidak bingung tentu Bu Dibyo tidak akan menuturkan kepada
Fatimah tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa bingung‟.
t. Menyangkal
Menyangkal adalah membantah; menyanggah (KBBI, 2007:995). Jadi,
TTE „menyangkal‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur untuk membantah
dan menyanggah sesuatu yang dikatakan oleh mitra tuturnya. Data yang
menunjukkan TTE „menyangkal‟ dapat dilihat pada data berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
(74) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan istrinya, yaitu Bu
Dibyo. Ketika Pak Dibyo meminta istrinya untuk mengubah
sifatnya agar menjadi lebih baik, Bu Dibyo justru
menyangkal bahwa watak itu tidak bisa diubah.
Pak Dibyo : “Bu, ada satu hal yang bisa kita tiru dari anak kecil itu.”
Bu Dibyo : “Ah, Bapak ini.”
Pak Dibyo : “Anak kecil itu polos dan jujur, apa adanya dan perasaanya
tulus, suci. Titi memperhatikan Bapak itu dengan hati yang
tulus tanpa pamrih apa pun. Dan saat ini Bapak ndak butuh
apa-apa, kecuali perhatian dari orang orang di sekitar
Bapak. Ibu sebagai istri yang sudah mendampingi bapak
hampir 50 tahun ndak ngerti-ngerti juga, ndak ada
perubahan sama sekali Bu, Bapak kecewa Bu.”
Bu Dibyo : “Hla, ini sudah watak je, sudah karakter, gimana mungkin
bisa berubah, ndak mungkin ta, Pak.”
(200/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (74) termasuk ke dalam jenis TTE „menyangkal‟. Pak
Dibyo memberitahukan kebaikan Aryati yang memperhatikan Pak Dibyo dengan
tulus dan tanpa pamrih apapun. Pak Dibyo berharap istrinya bisa mengubah
sifatnya menjadi lebih baik seperti Aryati. Akan tetapi, Bu Dibyo mengatakan
bahwa kebiasaan buruknya itu semua sudah menjadi watak dari Bu Dibyo. Hal
itulah yang menyebabkan terjadinya TTE „menyangkal‟ yang dilakukan Bu
Dibyo. TTE „menyangkal‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan
“Gimana mungkin bisa berubah, ndak mungkin ta, Pak”. Melalui tuturan
tersebut Bu Dibyo menyangkal perkataan suaminya dengan mengatakan bahwa
watak itu tidak bisa diubah. Kata gimana mungkin dan ndak mungkin digunakan
dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTE „menyangkal‟.
Terjadinya TTE „menyangkal‟ pada data (74) diawali oleh adanya TTDir
„menasihati‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo menasihati istrinya agar
bisa berubah menjadi lebih baik. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTE
„menyangkal‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo dengan menuturkan “Gimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
mungkin bisa berubah, ndak mungkin ta, Pak”. Melalui tuturan tersebut Bu Dibyo
menyangkal bahwa yang sudah menjadi watak atau karakter itu tidak bisa diubah.
Jika Bu Dibyo tidak bermaksud menyangkal, tentu Bu Dibyo tidak akan
mengatakan tuturan yang berfungsi untuk „menyangkal‟.
Wujud TTE „menyangkal‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(75) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Aryati. Pak Dibyo
mengatakan bahwa dirinya akan pergi ke atas, ke tempat
yang serba indah dengan cara terbang. Aryati menyangkal
jika Pak Dibyo bisa terbang.
Pak Dibyo : “Titi, coba lihat ke atas, awan putih berarak indah sekali, ya
Ti. Di atas semua serba indah. Kakek rasanya ingin terbang
ke sana.”
Aryati : “Kakek, Kakek kan nggak punya sayap, mana mungkin
Kakek bisa terbang.”
Pak Dibyo : “Kakek memang ndak punya sayap, tapi Kakek mau ke
sana. Tu, sudah ada yang melambaikan tangannya ke Kakek
Ti.”
(289/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (75) termasuk ke dalam jenis TTE „menyangkal‟. TTE
„menyangkal‟ tampak pada tuturan Aryati yang menuturkan “Kakek, Kakek kan
nggak punya sayap, mana mungkin Kakek bisa terbang”. Kata mana mungkin
digunakan dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTE „menyangkal‟.
Aryati menyangkal jika Pak Dibyo bisa terbang ke atas karena Pak Dibyo tidak
mempunyai sayap.
Terjadinya TTE „menyangkal pada data (75) di awali oleh adanya TTA
„memberitahukan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo memberitahukan
kepada Aryati bahwa dirinya ingin terbang ke atas, ke tempat yang serba indah.
Hal itulah yang memicu terjadinya TTE „menyangkal‟ yang dilakukan oleh Aryati
dengan tuturan “Kakek, Kakek kan nggak punya sayap, mana mungkin Kakek bisa
terbang”. Melalui tuturan tersebut Aryati menyangkal bahwa Pak Dibyo akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
terbang ke atas karena Pak Dibyo tidak mempunyai sayap. Jika Aryati tidak
bermaksud menyangkal perkataan Pak Dibyo tentu Aryati tidak akan menuturkan
tuturan yang berfungsi untuk „menyangkal‟.
u. Mengungkapkan rasa simpati
Simpati adalah keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah) orang
lain (KBBI, 2007:1067). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa simpati‟ adalah tindak
tutur yang dilakukan penutur karena ikut merasakan perasaan mitra tuturnya yang
sedang sedih atau susah. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
simpati‟ dapat dilihat pada data berikut:
(76) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
bersimpati kepada Pak Dibyo karena keluarganya tidak ada
yang memperhatikannya.
Fatimah : “Eh, begini saja Pak Dib, hidup ini memang tidak ada yang
abadi. Dulu Bapak sudah merasakan bagaimana rasanya
berbuat sesuatu pada orang lain, Bapak sudah sering
membantu, bahkan menolong orang lain. Bapak bisa
melakukan apa saja. Nah, kalau sekarang Bapak sudah
merasa ndak mampu, eh namanya juga sudah eh, maaf, ya,
Pak, lama memakainya, he.. he...”
Pak Dibyo : “He.. he.. iya iya, tapi setidaknya e… minimal mereka tahu
sedikitlah, ndak usah banyak-banyak, saya ini hanya ingin
diperhatikan, tapi mereka suka ndak ngerti, mereka sibuk
sendiri.”
Fatimah : “Iya Pak, saya tahu perasaan Bapak saat ini. Bapak
kesepian, Bapak sendiri, sakit ndak ada yang
memperhatikan padahal Bapak ingin diperhatikan.”
(27/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (76) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa simpati‟. Fatimah berusaha menghibur dan memberi nasihat kepada Pak
Dibyo karena Pak Dibyo sering mengeluhkan keadaan keluarganya yang tidak
memperhatikan Pak Dibyo. Pak Dibyo berharap anak-anaknya bisa mengerti dan
tahu yang menjadi keinginan dari Pak Dibyo. Hal itulah yang menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
terjadinya TTE „mengungkapkan rasa simpati‟ yang dilakukan oleh Fatimah. TTE
„mengungkapkan rasa simpati‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan
“Iya Pak, saya tahu perasaan Bapak saat ini. Bapak kesepian, Bapak sendiri,
sakit ndak ada yang memperhatikan padahal Bapak ingin diperhatikan”.
Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa simpati‟. TTE „mengungkapkan rasa
simpati‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat
dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah bersimpati kepada Pak Dibyo karena
keluarganya tidak ada yang memperhatikaanya.
Terjadinya TTE „mengungkapkan rasa simpati‟ pada data (76) diawali
oleh adanya TTDir „menasihati‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah
bermaksud menasihati Pak Dibyo karena Pak Dibyo sering mengeluh tidak ada
yang memberinya perhatian. Pak Dibyo pun berharap anak-anak Pak Dibyo bisa
mengerti yang dirasakan Pak Dibyo. Hal itulah yang memicu terjadinya TTE
„mengungkapkan rasa simpati‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Iya
Pak, saya tahu perasaan Bapak saat ini. Bapak kesepian, Bapak sendiri, sakit
ndak ada yang memperhatikan padahal Bapak ingin diperhatikan”. Melalui
tuturan tersebut Fatimah mengungkapkan rasa simpatinya kepada Pak Dibyo.
Fatimah bersimpati kepada Pak Dibyo karena Fatimah mengetahui perasaan Pak
Dibyo. Fatimah tidak bisa berbuat apa-apa kepada Pak Dibyo selain menghibur
dan memberinya nasihat. Fatimah ikut merasakan dengan yang dirasakan Pak
Dibyo. Jika Fatimah tidak merasa simpati kepada Pak Dibyo tentu ia tidak akan
menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa simpati‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
v. Mengungkapkan rasa kasihan
Kasihan adalah rasa iba hati; rasa belas kasih (KBBI, 2007:512). Jadi, TTE
mengungkapkan rasa „kasihan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena
merasa iba atau perasaan belas kasih penutur kepada orang lain. Data yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa kasihan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(77) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Aryati. Fatimah dan
Aryati sedang melayat di rumah Bu Dibyo. Fatimah
mengajak Aryati pulang terlebih dahulu. Aryati sebenarnya
tidak mau pulang karena merasa kasihan tidak ada yang
menunggu jenazahnya Pak Dibyo.
Fatimah : “Titi, pulang dulu yuk makan, dari tadi kan Titi belum
makan!”
Aryati : “Bunda, kasihan Kakek Dib sendirian nggak ada yang
nemenin. Titi di sini saja ya Bun, nemenin Kakek.”
Fatimah : “Kan ada bapak-bapak tetangga yang nungguin sayang. Titi
harus makan dan istirahat dulu. Pulang dulu yuk! Bunda
juga mau istirahat, yuk pulang dulu, ayo!”
Aryati : “Iya, Bunda.”
(314/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (77) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa kasihan‟. TTE „mengungkapkan rasa kasihan‟ tampak pada tuturan Aryati
yang menuturkan “Bunda, kasihan Kakek Dib sendirian nggak ada yang
nemenin”. Kata kasihan digunakan dalam tuturan tersebut sebagai penanda
lingual TTE mengungkapkan rasa „kasihan‟. Aryati merasa kasihan tidak ada yang
menunggu jenazahnya Pak Dibyo.
Terjadinya TTE „mengungkapkan rasa kasihan‟ pada data (77) diawali
oleh adanya TTDir „mengajak‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah mengajak
Aryati pulang terlebih dahulu ketika sedang melayat di rumah Bu Dibyo. Hal
itulah yang memicu terjadinya TTE „mengungkapkan rasa kasihan‟ yang
dilakukan oleh Aryati melalui tuturan “Bunda, kasihan Kakek Dib sendirian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
nggak ada yang nemenin”. Melalui tuturan tersebut Aryati menolak ajakan
Fatimah untuk pulang dengan alasan Aryati merasa kasihan bila harus
meninggalkan jenazahnya Pak Dibyo sendirian tidak ada yang menjaganya.
Sehingga tuturan dari Aryati itu masuk dalam TTE „mengungkapkan rasa
kasihan‟. Lalu Fatimah memberitahukan bahwa sudah ada bapak-bapak yang
menjaga Pak Dibyo. Hal tersebut dilakukan Fatimah untuk membujuk aryati
supaya mau pulang terlebih dahulu. Aryati pun bersedia untuk pulang terlebih
dahulu.
w. Mengungkapkan rasa kaget
Kaget adalah terperanjat; terkejut (karena heran) (KBBI, 2007:489). Jadi,
TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
karena merasa terkejut (karena heran). Data yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa kaget‟ dapat dilihat pada data berikut:
(78) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
merasa kaget ketika piring dan gelas yang diambilnya untuk
makan justru jatuh. Bu Dibyo pun marah ketika mengetahui
hal tersebut.
Pak Dibyo : “Aduh, malah jatuh!”
Bu Dibyo : “Ya ampun Pak, setiap sampeyan itu ambil makan, minum
pasti selalu pecah. Pelan dong Pak! Kalau begini caranya,
setiap hari dua tiga yang pecah bisa habis semua piring
gelas yang ada di rumah ini. Mbok hati-hati ta Pak! Heh,
kalau pecah begini kena cucu sampeyan gimana, he, ndak
kasihan sampeyan?”
(112/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (78) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa kaget‟. Ketika Pak Dibyo mengambil piring dan gelas untuk makan dan
minum, namun justru piring dan gelas yang diambilnya jatuh dan pecah. Hal
itulah yang membuat Pak Dibyo merasa kaget. TTE „mengungkapkan rasa kaget‟
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Aduh, malah jatuh”. Dalam
tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa kaget‟. TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ pada tuturan di
atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Pak Dibyo merasa kaget ketika piring dan gelas yang diambilnya untuk
makan dan minum justru jatuh.
TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ pada data (78) yang dilakukan oleh Pak
Dibyo kemudian direspon oleh Bu Dibyo dengan tuturan yang mengandung TTE
„mengungkapkan rasa kaget‟. Bu Dibyo marah kepada Pak Dibyo karena telah
memecahkan piring dan gelas. Jika Pak Dibyo tidak merasa kaget ketika piring
dan gelasnya jatuh, tentu Pak Dibyo tidak menuturkan tuturan yang berfungsi
sebagai ungkapan rasa „kaget‟.
Wujud TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(79) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Bu Dibyo
mendapati suaminya di rumah Fatimah sedang asik bermain
dengan Aryati. Kemudian terjadi keributan antara Pak
Dibyo dan Bu Dibyo. Fatimah pun merasa kaget ketika
mendengar ada keributan di rumahnya.
Fatimah : “Aduh, ada apa ini, ya, ada apa? Aduh Ibu, ada apa,
Bu? Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Bu Dibyo : “Saya peringatkan, ya, jangan genit-genit pada laki-laki
orang!”
(130/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (79) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa kaget‟. Ketika Bu Dibyo mendapati suaminya sedang bermain di rumah
Fatimah, Bu Dibyo bertengkar dengan suaminya di rumah Fatimah. Hal itulah
yang menyebabkan terjadinya TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
oleh Fatimah. TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ tampak pada tuturan Fatimah
yang menuturkan “Aduh, ada apa ini, ya, ada apa? Aduh Ibu, ada apa, Bu?”.
Melalui tuturan tersebut Fatimah bermaksud bertanya kepada Bu Dibyo dengan
yang sedang terjadi yang menimbulkan adanya keributan. Hal tersebut dilakukan
Fatimah sebagai bentuk ekspresi rasa kaget yang dirasakannya. Dalam tuturan
Fatimah tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE
„mengungkapkan rasa kaget‟. TTE „mengungkapkan rasa kaget‟ pada tuturan di
atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Fatimah merasa kaget ketika mendengar ada keributan di rumahnya. Jika
Fatimah tidak merasa kaget, tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „mengungkapkan rasa kaget‟.
x. Mengungkapkan rasa marah
Marah adalah sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak
sepantasnya; berang gusar (KBBI, 2007:715). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa
marah‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena merasa sangat tidak
senang karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya oleh orang lain. Data yang
menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa marah‟ dapat dilihat pada data berikut:
(80) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
akan mengambil makan dan minum, namun Pak Dibyo
secara tidak sengaja menjatuhkan piring dan gelas yang
diambilnya. Hal itu membuat Bu Dibyo marah.
Pak Dibyo : “Waduh, malah jatuh!”
Bu Dibyo : “Ya ampun Pak, setiap sampeyan itu ambil makan,
minum pasti selalu pecah. Pelan dong Pak! Kalau begini
caranya, setiap hari dua tiga yang pecah bisa habis
semua piring gelas yang ada di rumah ini. Mbok hati-
hati ta Pak! Heh, kalau pecah begini kena cucu
sampeyan gimana, he, ndak kasihan sampeyan?”
(113/TT/19 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Tuturan pada data (80) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa marah‟. Pak Dibyo akan mengambil makan dan minum, namun Pak Dibyo
secara tidak sengaja menjatuhkan piring dan gelas yang diambilnya. Hal itulah
yang menyebabkan terjadinya TTE „mengungkapkan rasa marah‟ yang dilakukan
oleh Bu Dibyo. TTE „mengungkapkan rasa marah‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo
yang menuturkan “Ya ampun Pak, setiap sampeyan itu ambil makan, minum
pasti selalu pecah. Pelan dong Pak! Kalau begini caranya, setiap hari dua
tiga yang pecah bisa habis semua piring gelas yang ada di rumah ini. Mbok
hati-hati ta Pak! Heh, kalau pecah begini kena cucu sampeyan gimana, he,
ndak kasihan sampeyan”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya
penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa marah‟. TTE
„mengungkapkan rasa marah‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo marah terhadap
Pak Dibyo karena ketika ambil makan selalu piring dan gelasnya jatuh dan pecah.
TTE „mengungkapkan rasa marah‟„mengungkapkan rasa marah‟ pada data
(80) terjadi ketika Pak Dibyo menjatuhkan piring dan gelas saat akan makan. Hal
itulah yang membuat Bu Dibyo marah kepada Pak Dibyo. Bu Dibyo menuturkan
tuturan tersebut dengan intonasi tinggi sehingga memperkuat jika tuturan tersebut
masuk dalam jenis TTE „mengungkapkan rasa marah‟. Jika Bu Dibyo tidak marah
kepada suaminya tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengungkapkan rasa marah‟.
Wujud TTE „mengungkapkan rasa marah‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(81) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Pak Dibyo
mengingatkan istrinya untuk merawat Pak Dibyo karena hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
itu masih menjadi tanggung jawab Bu Dibyo sebagai
seorang istri. Bu Dibyo pun marah kepada suaminya karena
dirinya merasa dilarang ketika merawat cucu-cucunya.
Pak Dibyo : “Bu, sekedar mengingatkan saja Bu, masih menjadi tugas
dan tanggung jawabmu merawat aku kan, Bu, jangan
sampai kelak di kemudian hari kamu menyesal.”
Bu Dibyo : “Oh, jadi Bapak ndak suka, ndak rela kalau aku
momong cucu-cucuku, Bapak keberatan?”
Pak Dibyo : “Bukan masalah keberatannya Bu.”
Bu Dibyo : “Apa?”
(120/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (81) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa marah‟. Pak Dibyo mengingatkan istrinya tanggung jawab sebagai seorang
istri adalah merawat suaminya. Hal tersebut sangat diharapkan Pak Dibyo agar Bu
Dibyo tidak menyesal di kemudian hari. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
TTE „mengungkapkan rasa marah‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo. TTE
„mengungkapkan rasa marah‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan
“Oh, jadi Bapak ndak suka, ndak rela kalau aku momong cucu-cucuku,
Bapak keberatan”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda
lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa marah‟. TTE
„mengungkapkan rasa marah‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo marah kepada
Pak Dibyo karena dirinya merasa dilarang ketika merawat cucu-cucunya. Intonasi
yang tinggi dari tuturan Bu Dibyo tersebut memperjelas bahwa tuturan tersebut
adalah TTE „mengungkapkan rasa marah‟.
Terjadinya TTE „mengungkapkan rasa marah‟ pada data (81) diawali oleh
adanya TTDir „mengingatkan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. Pak Dibyo
mengingatkan istrinya untuk lebih bertanggung jawab kepada tugasnya sebagai
seorang istri. Hal itulah yang memicu terjadinya TTE „mengungkapkan rasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
marah‟ yang dilakukan oleh Bu Dibyo melalui tuturan “Oh, jadi Bapak ndak
suka, ndak rela kalau aku momong cucu-cucuku, Bapak keberatan”. Melalui
tuturan tersebut Bu Dibyo mengungkapkan rasa marahnya karena dirinya merasa
dilarang untuk merawat cucu-cucunya. Jika Bu Dibyo tidak marah kepada Pak
Dibyo tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk
„mengungkapkan rasa marah‟.
y. Mengungkapkan rasa heran
Heran adalah merasa ganjil (ketika melihat atau mendengar sesuatu);
tercengang; takjub (KBBI, 2007:396). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa heran‟
adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena merasa ganjil ketika melihat
atau mendengar sesuatu. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
heran‟ dapat dilihat pada data berikut:
(82) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Bu Dibyo
merasa heran kepada Fatimah karena Bu Dibyo sedang
bingung tetapi Fatimah justru tersenyum melihat Bu Dibyo.
Fatimah : “Ibu, Bu Dibyo, maaf ya, saya mau tanya, Pak Dibyo itu
suami kan?”
Bu Dibyo : “Loh, Bu Fat ini gimana sih, ya suami saya dong, masa’
tetangga.”
Fatimah : “He.. he.. he..”
Bu Dibyo : “Loh, kok malah senyum ada orang bingung.”
(227/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (82) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa heran‟. Ketika Bu Dibyo merasa bingung karena tidak tahu yang harus ia
lakukan untuk kesembuhan suaminya, Fatimah berusaha membujuk Bu Dibyo
supaya mau merawat suaminya sendiri dengan bertanya bahwa Pak Dibyo itu
suaminya atau bukan. Bu Dibyo pun mengatakan bahwa sudah jelas Pak Dibyo
adalah suaminya. Oleh sebab itulah Fatimah senyum mendengar jawaban dari Bu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Dibyo. Melihat Fatimah tersenyum ketika Bu Dibyo sedang bingung, tentu hal itu
membuat Bu Dibyo merasa heran kepada Fatimah. TTE „mengungkapkan rasa
heran‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang menuturkan “Loh, kok malah
senyum ada orang bingung”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya
penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa heran‟. TTE
„mengungkapkan rasa heran‟ pada tuturan di atas dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo merasa heran
kepada Fatimah karena Bu Dibyo sedang bingung tetapi Fatimah justru tersenyum
melihat Bu Dibyo. Jika Bu Dibyo tidak merasa heran kepada Fatimah tentu ia
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa
heran‟.
z. Mengungkapkan rasa malu
Malu adalah merasa tidak enak hati (hina, rendah) karena berbuat sesuatu
yang kurang baik, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan
(KBBI, 2007:706). Jadi, TTE „mengungkapkan rasa malu‟ adalah tindak tutur
yang dilakukan penutur karena merasa tidak enak hati karena berbuat sesuatu
yang kurang baik. Data yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa malu‟
dapat dilihat pada data berikut:
(83) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Bu Dibyo
merasa malu karena belum mencoba menyuruh anak-
anaknya menelepon Pak Dibyo tetapi Bu Dibyo sudah
mengatakan bahwa Pak Dibyo tidak bisa berkomunikasi
melalui telepon dikarenakan pendengarannya sudah
berkurang.
Fatimah : “Yah, kalau ndak bisa datang lewat telepon kan bisa Bu
sebagai obat kangen. Ndak ketemu orangnya ketemu
suaranya kan sudah lumayan ta, Bu Dib?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Bu Dibyo : “Aduh, Bu Fat ini gimana sih, pendengaran suami saya itu
sudah ndak normal Bu, jadi bagaimana mungkin dia bisa
telepon.”
Fatimah : “Apakah sudah dicoba, Bu?”
Bu Dibyo : “Ya, anu e… ya, anu belum sih.”
Fatimah : “Nah itu, ada baiknya dicoba dulu Bu! Maaf kemarin-
kemarin waktu Bapak rawuh ke sini bisa ngobrol lancar
kok. Nah, nanti kalau putro-putro telepon siapa tahu bisa
sebagai obat kangen dan bisa membuat Bapak mau dahar.
Dicoba ya Bu! Dulu pasti Bapak sanggat memanjakan Ibu
ya?”
Bu Dibyo : “Iya, Bapak memang sangat membahagiakan saya.”
(261/TT/21 Juli 2011)
Tuturan pada data (83) termasuk ke dalam jenis TTE „mengungkapkan
rasa malu‟. Fatimah memberikan saran kepada Bu Dibyo untuk menelepon anak-
anaknya supaya Pak Dibyo bisa berkomunikasi dengan anak-anaknya sebagai obat
kangen. Mendengar saran dari Fatimah, Bu Dibyo justru beralasan bahwa
pendengaran suaminya sudah tidak normal jadi tidak mungkin bisa telepon.
Kemudian Fatimah bertanya kepada Bu Dibyo sudah mencoba telepon anak-
anaknya atau belum. Bu Dibyo merasa kebingungan dan merasa malu kepada
Fatimah karena belum mencoba menyuruh anak-anaknya menelepon Pak Dibyo
tetapi Bu Dibyo sudah mengatakan bahwa Pak Dibyo tidak bisa berkomunikasi
melalui telepon dikarenakan pendengaran berkurang.
TTE „mengungkapkan rasa malu‟ tampak pada tuturan Bu Dibyo yang
menuturkan “Ya, anu e… ya, anu belum sih”. Dalam tuturan tersebut tidak
ditemukan adanya penanda lingual yang menunjukkan TTE „mengungkapkan rasa
malu‟. TTE „mengungkapkan rasa malu‟ pada tuturan di atas, jika dilihat dari
konteksnya terlihat bahwa Bu Dibyo merasa malu kepada Fatimah. Bu Dibyo
merasa kebingungan saat menjawab pertanyaan dari Fatimah. Tentu hal itu
semakin memperjelas bahwa tuturan dari Bu Dibyo tersebut masuk dalam TTE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
„mengungkapkan rasa malu‟. Jika Bu Dibyo tidak merasa malu tentu Bu Dibyo
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „mengungkapkan rasa malu‟.
4. Wujud Tindak Tutur Komisif
Pada penelitian tindak tutur komisif (selanjutnya disingkat TTK) dalam
SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ini ditemukan 3
macam subtindak tutur yang dapat dikategorikan ke dalam TTK, yaitu
menyatakan kesanggupan, menawarkan, dan berjanji.
a. Menyatakan kesanggupan
Menyanggupi adalah bersedia (KBBI, 2007:995). Jadi, TTK „menyatakan
kesanggupan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur karena penutur bersedia
untuk melakukan sesuatu yang telah disuruh atau diminta mitra tuturnya untuk
melakukan sesuatu. Data yang menunjukkan TTK „menyatakan kesanggupan‟
dapat dilihat pada data berikut:
(84) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
sedang bertamu di rumah Fatimah. Fatimah menyuruh Pak
Dibyo untuk minum.
Fatimah : “Oh iya, diminum Pak sampai kelupaan!”
Pak Dibyo : “Iya iya.”
Fatimah : “Nanti keburu dingin lho.”
Pak Dibyo : “Injih.”
Fatimah : “Mangga, silakan!”
Pak Dibyo : “Terima kasih terima kasih.”
(29/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (84) termasuk ke dalam jenis TTK „menyatakan
kesanggupan‟. Pak Dibyo sedang bertamu di rumah Fatimah. Fatimah menyuruh
Pak Dibyo untuk minum. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya TTK
„menyatakan kesanggupan‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo. TTK „menyatakan
kesanggupan‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Iya iya” dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
“Injih”. Kata iya-iya dan injih digunakan dalam tuturan tersebut sebagai penanda
lingual TTK „menyatakan kesanggupan‟. Pak Dibyo bersedia untuk minum
setelah disuruh oleh Fatimah untuk minum.
Terjadinya TTK „menyatakan kesanggupan‟ pada tuturan yang
disampaikan oleh Pak Dibyo tersebut diawali oleh adanya TTDir „menyuruh‟ dan
TTDir „mendesak‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah menyuruh Pak Dibyo
minum. Karena Pak Dibyo tidak segera minum setelah disuruh oleh Fatimah,
kemudian Fatimah mendesak Pak Dibyo supaya segera minum. Hal itulah yang
memicu terjadinya TTK „menyatakan kesanggupan‟. Pak Dibyo bersedia untuk
minum karena telah disuruh oleh Fatimah untuk minum. Jika Pak Dibyo tidak
bersedia untuk minum, tentu Pak Dibyo tidak akan menuturkan tuturan yang
berungsi untuk „menyatakan kesanggupan‟ tersebut kepada Fatimah.
Wujud TTK „menyatakan kesanggupan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(85) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Terjadi keributan
antara Bu Dibyo dan suaminya di rumah Fatimah. Fatimah
pun menyuruh Aryati untuk masuk, lalu Aryati
menyanggupinya.
Aryati : “Bunda, siapa sih nenek ini kok marah-marah sama kakek
sih Bun?”
Fatimah : “Ti.. Titi.. Titi ke dalam dulu ya sama Mbak, bunda baru
ada tamu, hayo..hayo sana!”
Aryati : “Tapi kakek Bun, kasihan kan dimarahin nenek itu.”
Fatimah : “Sssstttt, Titi ke dalam dulu, ya! Nanti Bunda nyusul, oke?”
Aryati : “Oke, Bun. Dada…. Kek.”
(135/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (85) termasuk ke dalam jenis TTK „menyatakan
kesanggupan‟. Aryati melihat keributan yang terjadi di rumahnya. Aryati merasa
kasihan kepada Pak Dibyo karena Bu Dibyo marah-marah dengan Pak Dibyo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
Fatimah pun menyuruh Aryati untuk masuk agar tidak melihat keributan tersebut.
Aryati pun bersedia untuk masuk. TTK „menyatakan kesanggupan‟ tampak pada
tuturan Aryati yang menuturkan “Oke, Bun”. Kata oke digunakan dalam tuturan
tersebut sebagai penanda lingual TTK „menyatakan kesanggupan‟.
Terjadinya TTK „menyatakan kesanggupan‟ pada data (85) diawali oleh
adanya TTDir „menyuruh‟ yang dilakukan oleh Fatimah. Fatimah menyuruh
Aryati masuk ke rumah saat ada keributan di rumah mereka. Hal itulah yang
memicu terjadinya TTK „menyatakan kesanggupan‟ yang dilakukan Aryati
melalui tuturan “Oke, Bun”. Melalui tuturan tersebut Aryati menyatakan
kesanggupannya atau bersedia untuk masuk ke rumah setelah disuruh oleh ibunya.
Jika Aryati tidak mau masuk rumah tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menyatakan kesanggupan‟.
Wujud TTK „menyatakan kesanggupan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(86) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati meminta
ibunya mengajarikan bermain komputer. Fatimah pun
bersedia untuk mengajari Aryati bermain komputer.
Aryati : “Bunda, Bunda bisa nggak ngajarin Titi komputer?”
Fatimah : “Oh, mau belajar komputer, ya bisa dong. Mau belajar?”
Aryati : “Iya, Bun.”
(165/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (86) termasuk ke dalam jenis TTK „menyatakan
kesanggupan‟. Aryati meminta ibunya mengajarinya bermain komputer. Fatimah
pun bersedia untuk mengajari Aryati bermain komputer. TTK „menyatakan
kesanggupan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Ya bisa dong”.
Kata bisa digunakan dalam tuturan tersebut sebagai penanda lingual TTK
„menyatakan kesanggupan‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Terjadinya TTK „menyatakan kesanggupan‟ pada data (86) diawali oleh
adanya TTDir „meminta‟ yang dilakukan oleh Aryati. Aryati meminta ibunya
untuk mengajarinya bermain komputer. Hal itu yang memicu terjadinya TTK
„menyatakan kesanggupan‟ yang dilakukan oleh Fatimah melalui tuturan “Ya bisa
dong”. Melalui tuturan tersebut Fatimah menyatakan kesanggupannya atau
bersedia untuk mengajari Aryati bermain komputer. Jika Fatimah tidak mau
mengajari Aryati bermain komputer tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang
berfungsi untuk „menyatakan kesanggupan‟.
b. Menawarkan
Menawarkan adalah perbuatan menawari atau menawarkan (KBBI,
2007:1151). Jadi, TTK „menawarkan‟ adalah tindak tutur yang dilakukan penutur
karena penutur ingin menawarkan sesuatu kepada mitra tuturnya. Data yang
menunjukkan TTK „menawarkan‟ dapat dilihat pada data berikut:
(87) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Pak Dibyo. Fatimah
bermaksud menawarkan buku agar Pak Dibyo tidak
kesepian lagi.
Fatimah : “Eh, ini saya punya buku bagus, Pak, barangkali Bapak
suka membaca, bisa sedikit-sedikit mengusir rasa sepi,
Pak.” Pak Dibyo : “E… boleh saya bawa?”
Fatimah : “Silakan silakan, Pak!”
(60/TT/18 Juli 2011)
Tuturan pada data (87) termasuk ke dalam jenis TTK „menawarkan‟.
Fatimah menawarkan buku-buku bagus kepada Pak Dibyo, siapa tahu Pak Dibyo
suka membaca tentu bisa mengusir rasa sepinya Pak Dibyo. TTK „menawarkan‟
tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Eh, ini saya punya buku bagus,
Pak, barangkali Bapak suka membaca, bisa sedikit-sedikit mengusir rasa
sepi, Pak”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan penanda lingual yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
menunjukkan TTK „menawarkan‟. TTK „menawarkan‟ pada tuturan tersebut
dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Fatimah bermaksud menawarkan buku kepada Pak Dibyo untuk dibaca
agar Pak Dibyo tidak lagi kesepian. TTK „menawarkan yang dilakukan oleh
Fatimah tersebut direspon oleh Pak Dibyo melalui tuturan yang mengandung
TTDir „meminta izin‟, yaitu “E… boleh saya bawa?”. Melalui tuturan tersebut
Pak Dibyo bermaksud meminta izin kepada Fatimah untuk meminjam buku
tersebut. Fatimah pun mempersilakan Pak Dibyo jika ingin meminjam buku
tersebut. Jika Fatimah tidak ingin menawarkan buku kepada Pak Dibyo tentu ia
tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „menawarkan‟.
Data yang menunjukkan TTK „menawarkan‟ dapat pula dilihat pada data
berikut:
(88) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Terjadi
keributan antara Pak Dibyo dan Bu Dibyo di rumah
Fatimah. Fatimah pun menawarkan bantuan ketika melihat
ada keributan di rumahnya supaya tidak terjadi keributan
lagi di rumahnya.
Fatimah : “Aduh, ada apa ini, ya, ada apa? Aduh Ibu, ada apa, Bu?
Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Bu Dibyo : “Saya peringatkan, ya, jangan genit-genit pada laki-laki
orang!”
(131/TT/20 Juli 2011)
Tuturan pada data (88) termasuk ke dalam jenis TTK „menawarkan‟.
Terjadi keributan antara Pak Dibyo dan istrinya di rumah Fatimah. Hal itu
menyebabkan terjadinya TTK „menawarkan‟ yang dilakukan oleh Fatimah. TTK
„menawarkan‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Ada yang bisa
saya bantu, Bu”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan penanda lingual yang
menunjukkan TTK „menawarkan‟. TTK „menawarkan‟ pada tuturan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat
bahwa Fatimah menawarkan bantuan kepada Pak Dibyo dan Bu Dibyo ketika
melihat mereka bertengkar di rumahnya. Hal tersebut dilakukan Fatimah supaya
Pak Dibyo dan Bu Dibyo tidak bertengkar lagi di rumah Fatimah.
Keributan yang terjadi di rumah Fatimah tersebut terjadi antara Pak Dibyo
dan istrinya. Bu Dibyo mendapati suaminya sedang bermain di rumah Fatimah
dan akhirnya mereka bertengkar. Melihat keributan tersebut Fatimah bermaksud
menawarkan bantuan kepada mereka berdua, ada yang bisa dibantu atau tidak.
Jika Fatimah tidak ingin menawarkan bantuan tentu ia tidak akan mengatakan
tuturan yang berfungsi untuk „menawarkan‟.
c. Berjanji
Berjanji adalah menyanggupi akan menepati apa yang telah dikatakan atau
disetujui (KBBI, 2007:458). Jadi, TTK „berjanji‟ adalah tindak tutur yang
dilakukan seseorang untuk menyanggupi akan menepati sesuatu yang telah
dikatakan atau yang disetujuinya kepada orang lain. Data yang menunjukkan TTK
„berjanji‟ dapat dilihat pada data berikut:
(89) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Aryati. Pak Dibyo
berjanji kepada Aryati untuk selalu mengingat nama Aryati.
Aryati pun mengucapkan terima kasih kepada Pak Dibyo.
Pak Dibyo : “Cucu Kakek yang cantik ini namanya siapa, he?‟
Aryati : “Aryati Kek, tapi lebih suka dipanggil Titi Kek.”
Pak Dibyo : “Oh, iya Titi. Kakek akan selalu ingat nama cucu Kakek
yang cantik ini, Titi, he.. he.. he..”
Aryati : “Terima kasih, ya Kek.”
(99/TT/19 Juli 2011)
Tuturan pada data (89) termasuk ke dalam jenis TTK „berjanji‟. TTK
„berjanji‟ tampak pada tuturan Pak Dibyo yang menuturkan “Kakek akan selalu
ingat nama cucu Kakek yang cantik ini, Titi, he..he.. he..”. Dalam tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual TTK „berjanji‟. TTK „berjanji‟
pada tuturan tersebut dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Jika dilihat dari
konteksnya terlihat bahwa Pak Dibyo berjanji kepada Aryati untuk selalu
mengingat nama Aryati.
Terjadinya TTK „berjanji‟ pada data (89) di awali oleh Adanya TTA
„memberitahukan‟ yang dilakukan Aryati. Aryati memberitahukan kepada Pak
Dibyo bahwa dirinya bernama Aryati. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
TTK „berjanji‟ yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturan “Kakek akan
selalu ingat nama cucu Kakek yang cantik ini, Titi, he..he.. he..”. Dari tuturan
tersebut terlihat bahwa Pak Dibyo berjanji akan selalu mengingat nama Aryati.
Kemudian Aryati berterima kasih kepada Pak Dibyo karena Pak Dibyo
mengatakan bahwa dirinya akan selalu mengingat nama Aryati. Jika Pak Dibyo
tidak ingin berjanji untuk selalu mengingat nama Aryati tentu Pak Dibyo tidak
akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „berjanji‟.
Wujud TTK „berjanji‟ dapat pula dilihat pada data berikut:
(90) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Fatimah
pamit pulang dari di rumah Bu Dibyo. Fatimah berjanji
kepada Bu Dibyo bahwa dirinya akan datang lagi di rumah
Bu Dibyo.
Fatimah : “Bu Dib, maaf e saya mau nyuwun pamit dulu ya.”
Bu Dibyo : “Iya.”
Fatimah : “Mau ngantar Titi biar mau makan dan bobok dulu.”
Bu Dibyo : “Ya ya iya.”
Fatimah : “Nanti saya ke sini lagi.”
Bu Dibyo : “Iya iya.”
(309/TT/22 Juli 2011)
Tuturan pada data (90) termasuk ke dalam jenis TTK „berjanji‟. TTK
„berjanji‟ tampak pada tuturan Fatimah yang menuturkan “Nanti saya ke sini
lagi”. Dalam tuturan tersebut tidak ditemukan adanya penanda lingual TTK
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
„berjanji‟. TTK „berjanji‟ pada tuturan tersebut dapat ditentukan berdasarkan
konteksnya. Jika dilihat dari konteksnya terlihat bahwa Fatimah berjanji kepada
Bu Dibyo bahwa dirinya akan datang lagi di rumah Bu Dibyo.
TTK „berjanji‟ pada data (90) terjadi saat Fatimah pamit kepada Bu Dibyo
untuk pulang dulu bersama Aryati. Sebelum Fatimah meninggalkan rumah Bu
Dibyo, Fatimah berjanji bahwa dirinya akan datang lagi ke rumah Fatimah,
tentunya untuk melayat. Jika Fatimah tidak ingin berjanji akan datang ke rumah
Bu Dibyo tentu ia tidak akan menuturkan tuturan yang berfungsi untuk „berjanji‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Tabel 1 Tindak Tutur
No.
Jenis
Tindak
Tutur
Subtindak
Tutur
Jumlah
Data
Nomor
Data
1. Asertif Memberitahukan 42 1, 5, 6, 12, 15, 21, 41,
50, 52, 58, 68, 70, 72,
73, 91, 98, 101, 105,
145, 169, 171, 184, 194,
197, 199, 207, 212, 218,
219, 220, 223, 241, 248,
254, 259, 279, 290, 296,
308, 321, 327, 340
Menjelaskan 16 35, 57, 69, 85, 88, 95,
140, 215, 257, 268, 288,
318, 329, 333, 335, 339
Membenarkan 10 2, 14, 36, 46, 74, 77,
167, 230, 242, 262
Menunjukkan 1 3
Meyakinkan 8 22, 39, 75, 81, 96, 176,
213, 278
Menegaskan 7 49, 121, 166, 192, 222,
226, 229
Menyatakan 5 76, 107, 149, 201, 282
Jumlah Data Tindak Tutur Asertif 89 Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
2. Direktif Mempersilakan 8 8, 31, 62, 323, 326, 328,
338, 345
Memohon 1 214
Menasihati 19 17, 23, 51, 55, 78, 83,
90, 136, 161, 188, 191,
193, 202, 231, 237, 244,
270, 302, 310
Menyarankan 5 20, 42, 205, 256, 334
Menyuruh 20 28, 34, 63, 92, 103, 109,
117, 133, 160, 168, 178,
183, 209, 232, 277, 280,
283, 287, 295, 344
Meminta izin 9 37, 61, 151, 163, 292,
307, 315, 325, 337
Melarang 8 142, 144, 148, 221, 236,
251, 264, 285
Mengingatkan 24 10, 18, 54, 80, 102, 111,
114, 118, 119, 125, 128,
139, 147, 181, 185, 204,
210, 239, 243, 247, 252,
265, 275, 336
Meminta 6 94, 122, 164, 195, 286,
330
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Mengajak 9 84, 129, 143, 156, 293,
313, 319, 322, 346
Memperingatkan 2 132, 141
Membujuk 9 43, 208, 235, 250, 255,
258, 263, 274, 316
Mendesak 5 30, 233, 260, 266, 298
Memesan 2 152, 284
Berharap 10 26, 59, 66, 108, 173,
175, 203, 332, 341, 343
Menolak 2 97, 206
Jumlah Data Tindak Tutur Direktif 139 Data
3. Ekspresif Meminta maaf 8 4, 24, 38, 56, 225, 238,
253, 347
Memuji 7 7, 45, 71, 172, 177, 281,
305
Berterima kasih 11 9, 32, 64, 100, 110, 154,
304, 312, 324, 331, 342
Mengungkapkan
kesengsaraan
1 11
Menghibur 7 13, 48, 79, 86, 159, 216,
300
Mengeluh 11 16, 40, 47, 82, 115, 224,
234, 240, 245, 249, 269
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
Mengungkapkan
rasa sedih
4 19, 67, 106, 299
Mengungkapkan
rasa kecewa
5 33, 124, 146, 158, 198
Menyesal 5 44, 89, 189, 273, 301
putus asa 2 53
Mengungkapkan
rasa senang
2 65, 93
Iri 1 87
Jengkel
10 116, 123, 126, 157, 180,
187, 190, 196, 211, 267
Menuduh 2 138, 182
Menyindir 2 127, 150
Cemburu 1 186
Menyalahkan 2 246, 272
Mengungkapkan
rasa penasaran
1 291
Bingung 3 217, 228, 294
Menyangkal 2 200, 289
Simpati 1 27
Mengungkapkan
rasa kasihan
2 134, 314
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
Kaget 2 112, 130
Marah 3 113, 120, 137
Heran 1 227
Malu 2 261, 306
Jumlah Data Tindak Tutur Ekspresif 97 Data
4 Komisif Menyatakan
Kesanggupan
17 25, 29, 104, 135, 153,
162, 165, 170, 174, 179,
271, 276, 297, 303, 311,
317, 320
Menawarkan 2 60, 131
Berjanji 3 99, 155, 309
Jumlah Data Tindak Tutur komisif 22 Data
Jumlah Data Tindak Tutur 347 Data
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, terlihat bahwa tindak
tutur direktif paling banyak ditemukan, yang kedua tindak tutur ekspresif, diikuti
oleh tindak tutur asertif, dan yang terakhir adalah tindak tutur komisif.
Tindak tutur direktif paling banyak ditemukan karena dalam SRKR “Cinta
yang Hilang” menceritakan tentang kerinduan Pak Dibyo sebagai seorang ayah
kepada anak-anaknya. Dari beberapa anaknya, tidak ada satupun yang datang
untuk menjenguk Pak Dibyo. Dari hal tersebut terjadilah ekspresi mengeluh yang
dilakukan oleh tokoh Pak Dibyo yang akhirnya menyebabkan terjadinya tindak
tutur direktif, misalnya „mengingatkan‟, „menasihati‟, „menyarankan‟, dan
sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
B. Wujud Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta
Prinsip kerja sama merupakan pokok subteori tentang penggunaan bahasa
itu dimaksudkan sebagai upaya membimbing para peserta percakapan agar dapat
melakukan percakapan secara kooperatif (Rustono, 1999:53).
Grice (1996:159) mengemukakan bahwa secara lengkap prinsip kerja sama
meliputi empat maksim yang satu persatu dapat disebutkan sebagai berikut: (1)
maksim kuantitas (the maxim of quantity), (2) maksim kualitas (the maxim of
quality), (3) maksim relevansi (the maxim of relevance), dan (4) maksim
pelaksanaan (the maxim of manner).
Agar terjadi suatu percakapan yang baik, peserta tutur harus mematuhi 4
maksim tersebut. Akan tetapi, dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya,
terutama dalam kehidupan sehari-hari prinsip kerja sama tersebut sering dilanggar
dan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Terlebih dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” ini, bentuk pelanggaran prinsip kerja sama paling banyak
terjadi. Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam SKRR “Cinta yang Hilang”
ini terjadi pada keempat maksim yang disampaikan oleh Grice tersebut.
Dalam penelitian ini hanya dibahas pelanggaran prinsip kerja sama saja
karena tujuan akhirnya untuk mengetahui bentuk implikatur yang terjadi. Adapun
wujud pelanggaran prinsip kerja sama beserta implikatur dalam SRKR “Cinta
yang Hilang” adalah sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
1. Pelanggaran Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan mitra tutur. Data
yang menunjukkan pelanggaran maksim kuantitas dapat dilihat pada data berikut:
(91) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
berkenalan dengan Fatimah sebagai warga baru. Fatimah
menanyakan Pak Dibyo satu warga dengan Fatimah atau
tidak. Pak Dibyo pun memberitahukan bahwa dirinya juga
satu warga dengan Fatimah.
Fatimah : “Oohhh, iya iya. Bapak warga sini atau….?”
Pak Dibyo : “Iya, iya saya warga sini. Itu rumah saya di ujung sebelah
sana itu yang gang kedua belakangnya dari gang ini.
Tidak jauh sih, tapi ya untuk ukuran di kota Jogja ini
sudah lumayan jauh, he.. he.. he..”
(2/PPKS/18 Juli 2011)
Pada data (91) terdapat tuturan yang melanggar maksim kuantitas karena
tuturan Pak Dibyo dalam menjawab pertanyaan Fatimah melebihi yang
dibutuhkan. Kontribusi yang diberikan dalam penggalan dialog di atas tidak
sesuai dengan yang dibutuhkan, yaitu terlalu banyak. Dalam tuturan di atas,
Fatimah hanya menanyakan Pak Dibyo satu warga dengan Fatimah atau tidak.
Tuturan “Itu rumah saya di ujung sebelah sana itu yang gang kedua
belakangnya dari gang ini. Tidak jauh sih, tapi ya untuk ukuran di kota
Jogja ini sudah lumayan jauh, he.. he.. he..” dalam jawaban Pak Dibyo tidak
dibutuhkan karena Fatimah tidak menanyakan letak rumah Pak Dibyo.
Tuturan Pak Dibyo yang melanggar maksim kuantitas tersebut
mengandung sebuah implikatur. Berdasarkan inferensi yang ada dapat
disimpulkan bahwa tuturan Pak Dibyo mengandung implikatur meyakinkan.
Melalui tuturan tersebut Pak Dibyo ingin menyakinkan Fatimah bahwa Pak Dibyo
benar-benar warga di tempat Fatimah tinggal. Pak Dibyo menggunakan modus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
tindak tutur asertif „menunjukkan‟ yang mengisyaratkan bahwa Pak Dibyo
bermaksud meyakinkan Fatimah.
Data yang menunjukkan pelanggaran maksim kuantitas dapat pula dilihat
pada data berikut:
(92) Konteks : Tuturan terjadi antara Pak Dibyo dan Fatimah. Pak Dibyo
sedang bertamu di rumah Fatimah. Pak Dibyo melihat anak
kecil di rumah Fatimah. Anak tersebut adalah Aryati,
anaknya Fatimah. Selagi Aryati mandi, Pak Dibyo
menanyakan Aryati kepada Fatimah. Fatimah pun
memberitahukan tentang Aryati.
Pak Dibyo : “Itu cucunya Bu Fat?”
Fatimah : “Eh, anak saya Pak Dib. Coba Bapak bisa bayangkan,
saya yang setua ini punya anak kecil Titi yang
sepantasnya jadi cucu saya, Pak. Eh, tapi saya bahagia
hanya punya Titi seorang.”
(19/PPKS/19 Juli 2011)
Pada data (94) terdapat tuturan yang melanggar maksim kuantitas karena
tuturan Fatimah dalam menjawab pertanyaan Pak Dibyo melebihi yang
dibutuhkan. Kontribusi yang diberikan dalam penggalan dialog tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan, yaitu terlalu banyak. Dalam tuturan di atas, Pak Dibyo
hanya menanyakan Aryati itu cucunya Fatimah atau bukan. Tuturan “Coba
Bapak bisa bayangkan, saya yang setua ini punya anak kecil Titi yang
sepantasnya jadi cucu saya, Pak. Eh, tapi saya bahagia hanya punya Titi
seorang” dari Fatimah tidak dibutuhkan atas pertanyaan Pak Dibyo. Seharusnya
Fatimah cukup menjawab pertanyaan dari Pak Dibyo dengan menuturkan “Eh,
anak saya Pak Dib” atau “Bukan” karena dengan tuturan tersebut sudah cukup
mewakili jawaban Fatimah atas pertanyaan Pak Dibyo.
Tuturan Fatimah yang melanggar maksim kuantitas tersebut mengandung
sebuah implikatur. Berdasarkan inferensi yang ada dapat disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
tuturan Fatimah mengandung implikatur mengungkapkan rasa sedih karena
Fatimah yang sudah tua baru mempunyai anak yang seharusnya anak tersebut
lebih pantas menjadi cucunya.
Data yang menunjukkan pelanggaran maksim kuantitas dapat pula dilihat
pada data berikut:
(93) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Fatimah
menawarkan hadiah yang diinginkan Aryati ketika
mengajinya sudah selesai. Aryati pun mengungkapkan yang
menjadi keinginannya dan Aryati bertanya kepada ibunya
bahwa ibunya sayang dengan Aryati atau tidak. Fatimah
mengatakan kalau dirinya juga sayang dengan Aryati.
Aryati : “Titi mau berdoa pada Allah supaya Titi juga dijadikan
anak yang baik, sayang sama Bunda. Bunda juga sayang
kan sama Titi?”
Fatimah : “Oh, Ya pasti dong. Siapa dulu, Aryati kan anak Bunda.
Anak Bunda ini memang pinter sekali, wah bikin gemes
aja.”
(30/PPKS/20 Juli 2011)
Pada data (95) terdapat tuturan yang melanggar maksim kuantitas karena
tuturan Fatimah dalam menjawab pertanyaan Aryati melebihi yang dibutuhkan.
Kontribusi yang diberikan dalam penggalan dialog tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan, yaitu terlalu banyak. Tuturan “Siapa dulu, Aryati kan anak Bunda.
Anak Bunda ini memang pinter sekali, wah bikin gemes aja” dalam jawaban
Fatimah tidak dibutuhkan atas pertanyaan Aryati. Dalam tuturan tersebut Aryati
hanya menanyakan Fatimah menawarkan hadiah yang diinginkan Aryati ketika
mengajinya sudah selesai. Aryati pun mengungkapkan yang menjadi
keinginannya dan Aryati bertanya kepada ibunya jika ibunya sayang dengan
Aryati atau tidak. Seharusnya Fatimah cukup menjawab pertanyaan Aryati dengan
mengatakan “Oh…. Ya pasti dong” atau “iya, sayang” sehingga tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
melanggar maksim kuantitas dan tuturan tersebut sudah mewakili jawaban
Fatimah atas pertanyaan dari Aryati.
Tuturan Fatimah yang melanggar maksim kuantitas tersebut mengandung
sebuah implikatur. Berdasarkan inferensi yang ada dapat disimpulkan bahwa
tuturan Fatimah mengandung implikatur meyakinkan. Fatimah menggunakan
modus tindak tutur ekspresif „memuji‟ yang mengisyaratkan bahwa Fatimah
bermaksud meyakinkan Aryati bahwa Fatimah juga sayang dengan Aryati. Hal
yang mustahil dan jarang ditemui jika seorang ibu tidak menyayangi anaknya. Hal
itulah yang mendorong terjadinya implikatur „meyakinkan‟ yang dilakukan oleh
Fatimah melalui tuturan “Siapa dulu, Aryati kan anak Bunda. Anak Bunda ini
memang pinter sekali, wah bikin gemes aja”. Dengan tuturan tersebut Fatimah
berharap Aryati percaya dan yakin bahwa Fatimah juga sayang dengan dirinya.
2. Pelanggaran Maksim Kualitas
Maksim kualitas menghendaki setiap peserta pertuturan mengatakan hal
yang sebenarnya dan disertai bukti yang memadai. Data yang menunjukkan
pelanggaran maksim kualitas dapat dilihat pada data berikut:
(94) Konteks : Tuturan terjadi antara Fatimah dan Bu Dibyo. Terjadi
keributan antara Bu Dibyo dan suaminya di rumah Fatimah.
Fatimah berusaha menenangkan keadaan dengan menasihati
Bu Dibyo untuk tidak marah kepada suaminya.
Fatimah : “Ibu Dibyo, sebaiknya ibu tidak marah-marah pada Bapak,
karena Bapak hanya bermain dengan anak saya Bu.”
Bu Dibyo : “Ya justru itu yang membuat saya marah. Di rumah saja dia
tidak mau bermain dengan cucu-cucunya. Padahal mereka
juga ingin bermain dengan kakeknya. Heeh, malah dia di
sini enak-enakan main dengan anak sampeyan. Sampeyan
sudah menggoda suami saya, ya? Jangan, ndak baik
mengganggu suami orang!”
Fatimah : “Ibu, di sini tidak ada yang mengganggu suami orang.
Bapak ini kesepian, beliau butuh teman Ibu.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
Bu Dibyo : “Heh, perempuan, jangan sok suci ya jadi orang, jangan sok
alim. Saya tahu bagaimana suami saya. Sampeyan ndak
usah menasihati saya!”
(24/PPKS/20 Juli 2011)
Pada data (96) terdapat tuturan yang melanggar maksim kualitas. Tuturan
“Sampeyan sudah menggoda suami saya, ya” yang dituturkan oleh Bu Dibyo
melanggar maksim kualitas karena pernyataan tersebut tidak didasarkan
kenyataan bahwa Fatimah sudah menggoda Pak Dibyo. Pak Dibyo yang sedang
bermain di rumah Fatimah tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa Fatimah
sudah menggoda Pak Dibyo karena Pak Dibyo hanya bermain dan supaya
mendapatkan teman untuk berbicara saja. Pernyataan dari Bu Dibyo yang
mengatakan bahwa Fatimah sudah menggoda Pak Dibyo tersebut hanya saja Bu
Dibyo merasa cemburu dengan Pak Dibyo yang sedang berada di rumah Fatimah
dan bermain dengan anaknya Fatimah. Oleh sebab itulah Bu Dibyo menuduh
Fatimah telah menggoda suaminya dan tuturan tersebut melanggar maksim
kualitas.
Tuturan dari Bu Dibyo yang melanggar maksim kualitas tersebut
mengandung sebuah implikatur. Berdasarkan inferensi yang ada dapat
disimpulkan bahwa tuturan Bu Dibyo mengandung implikatur mengungkapkan
rasa cemburu. Bu Dibyo menggunakan modus tindak tutur ekspresif „menuduh‟
yang mengisyaratkan bahwa Bu Dibyo merasa cemburu kepada Fatimah.
Data yang menunjukkan pelanggaran maksim kualitas dapat pula dilihat
pada data berikut:
(95) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Aryati merasa
kecewa karena Pak Dibyo tidak datang untuk menemui
Aryati. Fatimah pun berusaha menghibur Aryati supaya
tidak merasa kecewa lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
Aryati : “Bunda, kok hari ini Kakek ndak datang, ya Bun? Padahal
Titi udah pesen sama Mbak untuk buat bubur kacang ijo
yang enaaak banget.”
Fatimah : “Ti, Kakek Dibyo itu punya keluarga, punya anak-anak
dan juga cucu-cucu sendiri. Mungkin hari ini beliau
ingin bermain dengan mereka.”
(27/PPKS/20 Juli 2011)
Pada data (97) terdapat tuturan yang melanggar maksim kualitas. Tuturan
“Ti, Kakek Dibyo itu punya keluarga, punya anak-anak dan juga cucu-cucu
sendiri. Mungkin hari ini beliau ingin bermain dengan mereka” yang
dituturkan oleh Fatimah tidak didasarkan kepada kenyataan bahwa Pak Dibyo
tidak datang ke rumah Fatimah dan Aryati adalah karena sedang bermain dengan
cucunya. Fatimah hanya mengira-ngira saja alasan Pak Dibyo tidak datang ke
rumah Fatimah seperti biasanya. Kenyataan yang sebenarnya bahwa Pak Dibyo
tidak datang ke rumah Fatimah adalah karena Pak Dibyo sedang sakit.
Tuturan Fatimah yang melanggar maksim kualitas tersebut mengandung
sebuah implikatur. Berdasarkan inferensi yang ada dapat disimpulkan bahwa
tuturan Fatimah mengandung implikatur menghibur. Melalui tuturan “Ti, Kakek
Dibyo itu punya keluarga, punya anak-anak dan juga cucu-cucu sendiri. Mungkin
hari ini beliau ingin bermain dengan mereka”, secara tidak langsung Fatimah
bermaksud menghibur Aryati supaya tidak merasa kecewa karena Pak Dibyo tidak
datang untuk menemuinya seperti biasanya.
Data yang menunjukkan pelanggaran maksim kualitas dapat pula dilihat
pada data berikut:
(96) Konteks : Tuturan terjadi antara Bu Dibyo dan Fatimah. Fatimah
memberi saran kepada Bu Dibyo untuk menelepon anak-
anaknya sebagai obat kangennya Pak Dibyo kepada anak-
anaknya. Bu Dibyo pun berlasan ketika mendapat saran dari
Fatimah untuk menelepon anak-anaknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
Fatimah : “Yah, kalau ndak bisa datang, lewat telepon kan bisa Bu
sebagai obat kangen. Ndak ketemu orangnya, ketemu
suaranya kan sudah lumayan ta Bu Dib?”
Bu Dibyo : “Aduh, Bu Fat ini gimana sih, pendengaran suami saya
itu sudah ndak normal Bu, jadi bagaimana mungkin dia
bisa telepon.”
Fatimah : “Apakah sudah dicoba, Bu?”
Bu Dibyo : “Ya, anu e… ya, anu belum sih.”
(44/PPKS/21 Juli 2011)
Pada data (98) terdapat tuturan yang melanggar maksim kualitas. Tuturan
“Aduh, Bu Fat ini gimana sih, pendengaran suami saya itu sudah ndak
normal Bu, jadi bagaimana mungkin dia bisa telepon” yang dituturkan oleh
Bu Dibyo melanggar maksim kualitas karena tidak didasari kenyataan bahwa
pendengaran Pak Dibyo itu sudah tidak normal. Kenyataan yang sebenarnya
bahwa Pak Dibyo itu masih bisa mendengarkan dengan normal yang terbukti
ketika Pak Dibyo berbicara dengan Fatimah masih bisa mendengar dengan baik.
Pak Dibyo masih bisa menangkap yang dikatakan Fatimah. Jadi tuturan dari Bu
Dibyo tersebut termasuk pelanggaran maksim kualitas.
Tuturan Bu Dibyo yang melanggar maksim kualitas tersebut mengandung
sebuah implikatur, yaitu implikatur menolak. Melalui tuturan “Aduh, Bu Fat ini
gimana sih, pendengaran suami saya itu sudah ndak normal Bu, jadi bagaimana
mungkin dia bisa telepon” ini, Bu Dibyo hanya ingin mencari alasan untuk
menolak saran dari Fatimah, yaitu untuk menghubungi anak-anaknya melalui
telepon.
3. Pelanggaran Maksim Relevansi
Maksim relevansi menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Data yang menunjukkan
pelanggaran maksim relevansi dapat dilihat pada data berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
(97) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Fatimah. Terjadi keributan
antara Bu Dibyo dan suaminya di rumah Fatimah. Melihat
ada keributan di rumahnya, Aryati pun menanyakan orang
yang marah-marah tersebut kepada Fatimah, namun
Fatimah justru menyuruh Aryati masuk.
Aryati : “Bunda, siapa sih nenek ini kok marah-marah sama Kakek
sih, Bun?”
Fatimah : “Ti.. Titi.. Titi ke dalam dulu, ya sama Mbak, bunda
baru ada tamu, ayo.. ayo sana!”
Aryati : “Tapi kakek Bun, kasihan kan dimarahin nenek itu.”
Fatimah : “Sssstttt, Titi ke dalam dulu, ya! Nanti Bunda nyusul, oke?”
Aryati : “Oke, Bun. Dada…. Kek.”
(22/PPKS/20 Juli 2011)
Pada data (99) terdapat tuturan yang melanggar maksim relevansi. Tuturan
“Ti.. Titi.. Titi ke dalam dulu, ya sama Mbak, bunda baru ada tamu, ayo..
ayo sana!” dari Fatimah dianggap melanggar maksim relevansi karena yang
dikatakan Fatimah tidak sesuai dengan yang dituturkan oleh Aryati. Aryati
menanyakan nenek-nenek yang marah-marah tersebut kepada Pak Dibyo namun
Fatimah tidak mejawab pertanyaan dari Aryati tetapi justru menyuruh Aryati
untuk ke dalam. Tentu tuturan dari Fatimah tersebut tidak releven dengan tuturan
sebelumnya, yaitu tuturan dari Aryati.
Berdasarkan inferensi yang ada dapat disimpulkan bahwa tuturan Fatimah
yang melanggar maksim relevansi tersebut mengandung implikatur mengalihkan
pembicaraan. Melalui tuturan “Ti.. Titi.. Titi ke dalam dulu, ya sama Mbak, bunda
baru ada tamu, ayo.. ayo sana!”, Fatimah ingin mengalihkan pembicaraan antara
Aryati dan Fatimah. Fatimah tidak ingin Aryati yang masih kecil mengetahui
keributan yang sedang terjadi di rumahnya sehingga Fatimah menyuruh Aryati
untuk masuk ke rumah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
4. Pelanggaran Maksim Pelaksanaan
Maksim cara menghendaki setiap peserta pertuturan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa, runtut dan tidak berlebihan. Data yang
menunjukkan pelanggaran maksim pelaksanaan dapat dilihat pada data berikut:
(98) Konteks : Tuturan terjadi antara Aryati dan Pak Dibyo. Pak Dibyo
tidak memberitahukan secara jelas dirinya akan pergi.
Aryati : “Memang Kakek mau pergi ke mana?”
Pak Dibyo : “Kakek mau pergi sayang.”
Aryati : “Pergi ke mana, Kek? Kakek ndak boleh pergi!”
“Kakek harus di sini nemenin Titi!”
Pak Dibyo : “Titi, coba lihat ke atas, awan putih berarak indah
sekali, ya Ti. Di atas semua serba indah. Kakek rasanya
ingin terbang ke sana.”
(47/PPKS/22 Juli 2011)
Pada data (100) terdapat tuturan yang melanggar maksim pelaksanaan.
Tuturan dari Pak Dibyo “Titi, coba lihat ke atas, awan putih berarak indah
sekali, ya Ti. Di atas semua serba indah. Kakek rasanya ingin terbang ke
sana” dianggap melanggar maksim pelaksanaan kerena jawaban Pak Dibyo masih
kabur. Aryati menanyakan Pak Dibyo akan pergi ke mana, namun Pak Dibyo
justru memberi jawaban yang tidak jelas ke mana dirinya akan pergi. Tentu hal
tersebut membuat Aryati semakin bingung.
Berdasarkan inferensi yang ada dapat disimpulkan bahwa tuturan Pak
Dibyo yang melanggar maksim pelaksanaan mengandung implikatur menjaga
rahasia. Pak Dibyo berusaha menyembunyikan ke mana dirinya akan pergi ketika
ditanya oleh Aryati. Hal tersebut di lakukan oleh Pak Dibyo untuk menjaga
rahasia kepada Aryati bahwa dirinya merasa akan meninggal dunia. Sehingga
tempat yang di maksud Pak Dibyo dari tuturan tersebut sebenarnya adalah surga
yang digambarkan dengan tempat yang serba indah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
Tabel 2 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
No. Pelanggaran Prinsip
Kerja Sama
Nomor Data Jumlah
Data
1. Maksim Kuantitas 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23,
26, 28, 30, 33, 34, 35, 36, 37,
39, 40, 41, 42, 43, 45, 46, 49,
50, 51
37
2. Maksim Kualitas 14, 24, 25, 27, 31, 32, 38, 44 8
3 Maksim Relevansi 3, 11, 22 3
4 Maksim Pelaksanaan 29, 47, 48 3
Jumlah Data Pelanggaran Prinsip Kerja Sama 51
Dari tabel di atas terlihat bahwa pelanggaran terhadap maksim kuantitas
paling banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dalam acara SRKR “Cinta
yang Hilang” seringkali para tokoh menyampaikan tuturan atau keterangan yang
melebihi dari yang dibutuhkan dalam berkomunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut adalah
simpulan dari penelitian ini.
1. Wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta:
a. Tindak tutur asertif dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 7 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam tindak tutur asertif, yaitu memberitahukan,
menjelaskan, membenarkan, menunjukkan, meyakinkan, menegaskan,
dan menyatakan.
b. Tindak tutur direktif dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 16 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam tindak tutur direktif, yaitu mempersilakan,
memohon, menasihati, menyarankan, menyuruh, meminta izin, melarang,
mengingatkan, meminta, mengajak, memperingatkan, membujuk,
mendesak, memesan, berharap, dan menolak.
c. Tindak tutur ekspresif dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 26 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang
berfungsi untuk meminta maaf, memuji, berterima kasih,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
mengungkapkan kesengsaraan, menghibur, mengeluh, mengungkapkan
rasa sedih, mengungkapkan rasa kecewa, menyesal, mengungkapkan
rasa putus asa, mengungkapkan rasa senang, mengungkapkan rasa iri,
mengungkapkan rasa jengkel, menuduh, menyindir, mengungkapkan rasa
cemburu, menyalahkan, mengungkapkan rasa penasaran,
mengungkapkan rasa bingung, menyangkal, mengungkapkan rasa
simpati, mengungkapkan rasa kasihan, mengungkapkan rasa kaget,
mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa heran, dan
mengungkapkan rasa malu.
d. Tindak tutur komisif dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta ini ditemukan 3 macam subtindak tutur yang dapat
dikategorikan ke dalam tindak tutur komisif, yaitu menyatakan
kesanggupan, menawarkan, dan berjanji.
2. Dalam SRKR “Cinta yang Hilang”, prinsip kerja sama banyak diwujudkan
dalam bentuk pelanggaran prinsip kerja sama pada semua maksimnya, yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim
pelaksanaan. Pelanggaran paling banyak ialah terhadap maksim kuantitas,
yang diikuti oleh maksim kualitas, kemudian maksim pelaksanaan dan
maksim relevansi.
B. Saran
Dalam penelitian ini penulis menyadari akan keterbatasan waktu, biaya,
dan kemampuan penulis sehingga masih banyak permasalahan yang belum sempat
terungkap. Oleh sebab itu, penulis berharap penelitian masalah kajian pragmatik,
khususnya tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam sandiwara radio
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
dapat dilakukan lebih lanjut, mendalam, dan lebih bervariasi lagi. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya.