58
BAB II BAHAN MENGANYAM Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam kerangka penulisan ini: bambu, rotan, daun pandan dan daun palem, rumput-rumputan, ilalang, irisan kulit kayu, tulang daun, serat dan sebagainya. Bab II bermaksud memberikan gambaran menyeluruh tentang arti bahan dasar atau bahan baku bagi kerajinan menganyam yang ditemukan berlimpah di Hindia Belanda. A. BAMBU (Bambusa, termasuk keluarga Graminae) Untuk kerajinan menganyam, bambu dipakai dimana-mana. Tumbuhan bambu yang terdiri dari berbagai jenis, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan pring, di Madura disebut pereng atau preng; dan di Jawa Barat disebut awi. Jenis yang paling sering digunakan adalah: bambu ori atau bambu duri atau bambu gading; dalam Bahasa Sunda disebut awi cucuk (Schizostochium Durio Rupr.), bambu yang tebal, panjang dan berduri; Bambu apus (Bambusa apus Shlt.), sejenis bambu tanpa duri, tetapi di ruasnya ditumbuhi rambut halus yang tajam (dinamakan lugut); dan bambu wuluh (Bambusa verticillata Bl.) sejenis bambu yang tipis dengan ruas yang panjang. Misalnya di Madura orang mengenal pereng noreh, pereng gutas dan pereng keles. Di Malang dibedakan: ori, apus, jowo, rampal, wuluh dan petung. Di Tulung Agung dikenal bambu ulung; di Pacitan dikenal jenis-jenis ori, apel, apus, jowo,wulung, petung, tutul, tembelang, rampal, jabal, grinjing, embong dan wuluh. Di Pekalongan dikenal bambu kasap, sedangkan di Cirebon, disebut bambu tali dan bambu temen hideung (jenis berwarna hitam); di wilayah Priangan, awi tali awi buluh, awi temen, awi irateun dan lain-lain; di Banten disebut awi bunar. Jadi di Indonesia jenis bambu mengenal variasi yang sangat luas. Dalam bukunya “Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё “ (Kamus Ilmu Tumbuh-tumbuhan Hindia Belanda), penulis G.J. Filet membedakan jenis- jenis sebagai berikut: 1) Bambusa verticillata Bl., bambu andong (Bahasa Melayu). Di bawah nama ilmiah yang sama di bagian lain di buku Filet, diberi nama 1

dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

  • Upload
    ngoliem

  • View
    261

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

BAB II

BAHAN MENGANYAM

Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam kerangka penulisan ini: bambu, rotan, daun pandan dan daun palem, rumput-rumputan, ilalang, irisan kulit kayu, tulang daun, serat dan sebagainya. Bab II bermaksud memberikan gambaran menyeluruh tentang arti bahan dasar atau bahan baku bagi kerajinan menganyam yang ditemukan berlimpah di Hindia Belanda.

A. BAMBU (Bambusa, termasuk keluarga Graminae)

Untuk kerajinan menganyam, bambu dipakai dimana-mana. Tumbuhan bambu yang terdiri dari berbagai jenis, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan pring, di Madura disebut pereng atau preng; dan di Jawa Barat disebut awi. Jenis yang paling sering digunakan adalah: bambu ori atau bambu duri atau bambu gading; dalam Bahasa Sunda disebut awi cucuk (Schizostochium Durio Rupr.), bambu yang tebal, panjang dan berduri; Bambu apus (Bambusa apus Shlt.), sejenis bambu tanpa duri, tetapi di ruasnya ditumbuhi rambut halus yang tajam (dinamakan lugut); dan bambu wuluh (Bambusa verticillata Bl.) sejenis bambu yang tipis dengan ruas yang panjang.

Misalnya di Madura orang mengenal pereng noreh, pereng gutas dan pereng keles. Di Malang dibedakan: ori, apus, jowo, rampal, wuluh dan petung. Di Tulung Agung dikenal bambu ulung; di Pacitan dikenal jenis-jenis ori, apel, apus, jowo,wulung, petung, tutul, tembelang, rampal, jabal, grinjing, embong dan wuluh. Di Pekalongan dikenal bambu kasap, sedangkan di Cirebon, disebut bambu tali dan bambu temen hideung (jenis berwarna hitam); di wilayah Priangan, awi tali awi buluh, awi temen, awi irateun dan lain-lain; di Banten disebut awi bunar.

Jadi di Indonesia jenis bambu mengenal variasi yang sangat luas.

Dalam bukunya “Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё “ (Kamus Ilmu Tumbuh-tumbuhan Hindia Belanda), penulis G.J. Filet membedakan jenis-jenis sebagai berikut:

1) Bambusa verticillata Bl., bambu andong (Bahasa Melayu). Di bawah nama ilmiah yang sama di bagian lain di buku Filet, diberi nama bambu atter. Dalam buku Ensiklopedi Hindia Belanda disebut: awi tali (Bahasa Sunda), pring wuluh (Bahasa Jawa); bulo karisa (Bahasa Makasar) loleba (Bahasa Ternate), wudu atau wulud (Bahasa Alifuru, Bahasa Menado). Sedangkan dalam buku F.S.A de Clerque berjudul ”Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё” (Kamus Baru Ilmu Tumbuh-tumbuhan) jenis pring wuluh diberi nama ilmiah Bambusa longinodes Miq.

2) Bambusa fera Miq., bambu ampel (Bahasa Melayu); awi haur geuies (Bahasa Sunda). Untuk istilah terakhir, F.S.A. de Clerque memberikan nama ilmiah Bambusa vulgarsi Schrad, varian striata.

3) Bambusa apus Schlt, bambu apus (Bahasa Melayu), awiapus (Bahasa Sunda), pringapus (Bahasa Jawa). Di bagian lain Filet juga memasukkan bambu tali ke dalam kelompok ini.

1

Page 2: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

4) Bambusa nigrociliata Büse, dan Bambu aspera R. dan S; bambu bitung (Bahasa Melayu); awi bitung (Bahasa Sunda); pring petung (Bahasa Jawa).

5) Bambusa vulgaris Wndl, bambu jawa (Bahasa Jawa); awi haur geulis (Bahasa Sunda); pring jawa (bahasa Jawa). Selain itu, Ensiklopedi juga menyebutkan taki atau tahaki (Bahasa Alifuru Minahasa); teri atau teli (bahasa Alifuru-Ambon).

6) Bambusa vulgaris Wndl. Varlutea, awi haur koneng (Bahasa Sunda)7) Bambusa vulgarus Wndl var. tremula, awihaursehah (Bahasa Sunda)8) Bambusa elegantissima Hassk, bambu el-el (Bahasa Melayu); awi el-el (Bahasa Sunda)9) Bambusa nigra Lodd, awi hidung (Bahasa Sunda)10) Dendrocalamus strictus Nees, bambu andor (Bahasa Melayu)11) Schizostachyum Durio Rupr, bambu duri (bahasa Melayu); pring ori (bahasa Jawa); pereng dore

(Bahasa Madura). Di bagian lain Fillet menyebutkan: awi haur gading dan juga awi cucuk sebagai nama-nama dalam Bahasa Sunda, begitupula bambu iraton (Bahasa Jawa).

12) Schizotachyum Blumei N. ab S. Es bambu mayang atau bambu krisik (Bahasa Melayu)13) Melocanna gracilis Kürz, bambu bulu akar (Bahasa Melayu)14) Melocanna brachyclada Kürz. var.viridis, bambu bulu hijau (Bahasa Melayu)15) Melonanna serpentine Kürz, bambu ular (Bahasa Melayu)16) Melocnna Blumei Kürz, bambu tamiang (Bahasa Melayu)17) Melocanna Zolingeriϊ Kurz, bambu sirit kuda (Bahasa Melayu)18) Gigantochloa Atter Kürz, bambu hitam (Bahasa Melayu)19) Gigantochloa robusta Kürz, bambu wulung (Bahasa Melayu)20) Gigantochloa maxima Kürz, awi gede (Bahasa Sunda). Ensiklopedia juga menyebutkan awi

gombong, dan di Bogor disebut awi andong; pring surat (Bahasa Jawa)21) Dinachloa cangkorreh Büse, awicangkoreh (Bahasa Sunda)22) Arundinaria glaucescens Beauv, bambu cina (Bahasa Melayu)23) Ischurochloa floribunda Büse, bambu cina halus (Bahasa Melayu).

F.S.A. de Clercq dalam Encyclopedia antara lain menyebutkan jenis-jenis berikut:

24) Bambusa teba Miq, buluh badur (Bahasa Melayu); bambu hutan (Bahasa Melayu), banggeha (Bahasa Alifuru-Ambon); toto’oden u watu atau toto’oren u watu (Bahasa Alifuru-Menado)

25) Bambusa alineata Munro, var. Rumphiana Kürz; winaluyan in dollop (Bahasa Alifuru-Minahasa)26) Bambusa nana Roxb, pring jabal (Bahasa Jawa), pereng cena (Bahasa Madura), buluh cina

(Bahasa Melayu)27) Bambusa tuldoides Munro, buluh balai (Bahasa Melayu)28) Bambusa Wrayi Stapf, awi bunar atau awi tamyang (Bahasa Sunda).

Di kepulauan Hindia Belanda mungkin tidak ada tumbuhan yang begitu bermanfaat bagi penduduk asli di dalam kehidupan sehari-hari serta memiliki nilai praktis, selain tumbuhan bambu, yang dapat dibudidayakan (di halaman dan sebagai pagar) maupun tumbuh liar (dalam hutan yang luas seperti di pantai selatan Jawa Timur).

2

Page 3: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Dr. C. Schroter dalam bukunya “Der Bambus und seine Bedeutung als Nutzplanze” ( Bambu dan artinya sebagai tanaman berguna), “Wo der Bambus häufig vorkomt, wie namentlich im tropischen Asien, bietet er ein sehr characteristisches Vegetationsbild dar. Er zieht zwar im Allgemeinen feuchte Strandorte vor, besonders quelling berieselten Grund, kann aber doch auch Trockenheit ertragen. Er wächst neist gesellig und bildet namentlich im tropischen Asien und America ausgedehnte Graswälder (“Djungles”) welche in Folge des dichten Standes und der Hohen Bodendecke aus Blättern keine andern Planzen aufkomen lassen.”(………………….)

Dalam buku Teysmannia, jilid I tahun 1890, saya mengutip Tuan Lovink dalam esainya tentang bambu: “Terutama pada musim hujan, pertumbuhan bambu luar biasa cepatnya; dalam tabel tambahan terlampir terbukti bahwa ada tanaman bambu yang tumbuh 30 sentimeter dalam waktu 24 jam. Yang paling peka adalah tunas bambu terhadap unsur kering; bila menjadi kering, tunas tidak akan tumbuh lagi, dan bila keadaan itu bertahan maka tunas akan mati”.

Tuan W. L. de Sturler dalam bukunya “Handboek voor de Landbouw in Nederlandsch Indie”(Buku Pedoman untuk Pertanian di Hindia Belanda) membahas tentang cara penanaman bambu. Batang dipotong dari rumpun dasar dan ditanam sendiri-sendiri. Ada cara penanaman yang lebih sederhana, batang bambu diambil secara keseluruhan dan dipotong membuat lubang pada ruasnya, bersilang dengan tunas cabang. Dalam keadaan demikian bambu ditanam dalam lubang tanah sedemikian rupa sehingga tunas tetap muncul di atas permukaan tanah.

Cara penanaman bambu, juga dibahas secara mendalam oleh Dr. J.H.F Sollewijn Gelpke dalam bukunya “De Vruchtenteelt op de erven van Inlanders” (Budidaya Buah di Pekarang Penduduk Asli) (Indische Gids 1880, jilid 2). Penulis ini mengemukakan kerugian yang ditimbulkan penanaman bambu: “Bila dipikirkan bahwa bambu memerlukan tempat yang sangat luas, dan keganjilan bahwa di bawah rumpunnya kosong dan tidak ada yang tumbuh, bahwa tempat tumbuhnya bambu menggunung dan tidak berguna untuk penanaman tanaman lain dan bahwa rumpun bambu menjadi tempat persembunyian tupai, musuh terbesar pohon kelapa, maka dapat difahami bahwa tanaman bambu sebaiknya berada di luar pekarangan rumah, dan bila hal ini tidak mungkin, bambu cukup tumbuh pada batas halaman rumah”.

Perihal pembudidayaan melalui biji, saya mengutip dari esai berikut ini “Verscheidenheden op Landbouwgebied door N. (Keanekaragaman di bidang Pertanian oleh N.) (Tijdschrift voor Nijverheid in Nederlandsch Indiё, jilid XLI, tahun 1890: “Kembang bambu jarang terlihat terutama pada genus bambu besar. Genus bambu tipis dan kecil (bambu tamiang) lebih sering berkembang. Dalam pengumuman “Agri Horticultural Society of India” (Himpunan Agri Cultura India) antara lain disebutkan bambu Indonesia jenis Dendrocalamus strictus yang hampir setiap tahun berkembang.”

Dalam buku F.S.A. de Clerq “Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё” dikatakan: “Penduduk asli mengatakan bahwa bambu selalu ada, dan walaupun ada rumpun yang mati yang biasanya terjadi setiap 15 hingga 20 tahun, maka akan ada yang tumbuh baru di tempat lain. Karena itu dikenal peribahasa “Lebar pring, bosok beling” yang berarti bila bambu habis, belingpun busuk.”

Bila ada yang ingin mengetahui bagaimana bambu difungsikan oleh penduduk asli, dapat membaca buku ”Bambu in Nederlandsch Indiё” (Bambu di Hindia Belanda) oleh J.A. Loeber Jr (Bulletin van het Koloniaal

3

Page 4: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Museum); tulisan dari Dr. C. Schröter yang dibicarakan di atas; esai tentang bambu dari Tuan H.J. Wigman (Teysmannia, jilid 8, tahun 1898), dan karya-karya yang lain. Selanjutnya saya akan membatasi diri pada cara-cara pengolahan bambu yang dibutuhkankan sebagai bahan baku menganyam.

Pada dasarnya, cara pengolahan bambu untuk keperluan menganyam adalah sebagai berikut. Setelah batang bambu dipotong, batangnya dibelah menjadi bilah-bilah kecil, yang kemudian dibelah lagi menjadi batangan lebih tipis. Pembelahan bambu dalam bahasa Jawa disebut nyigar (dari kata sigar), seperti misalnya bila dibelah menjadi dua atau lebih potongan, maka ditambah dengan angka, misalnya: disigar loro, disigar telu, disigar papat.

Gambar 1. Penganyam di Tangerang

Selembar bambu (juga selembar rotan) disebut irat-iratan, sairat atau sirat. Disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan bagi barang anyamannya, seringkali hanya kulit bambu yang digunakan, inti atau jantungnya (aten-aten) atau kedua-duanya, kulit dan jantung misalnya dipakai untuk membuat pagar dan barang anyaman kasar yang lain. Membelah bambu arah memanjang, menyebabkan kulitnya akan terpisah dari aten-aten, disebut mbelah (dari kata belah).

Untuk anyaman halus, setiap lembar diserut sampai halus menggunakan pisau kecil atau pangot. Menyerut menjadi halus disebut ngongoti (dari kata angot, mungkin juga pangot).

Membelah lembar irisan lebar (iratan) menjadi lembar irisan yang lebih tipis disebut nyiladi (dari kata silad) dan lembar irisan tipis ini disebut siladan.

4

Page 5: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Akhirnya untuk menghindari bubuk (serangga yang menyebabkan hancurnya bambu), di beberapa daerah, bambu direndam dalam air paling sedikit selama 15 hari, atau kadang-kadang selama satu bulan1.

Gambar 2. Penganyam perempuan dan laki-laki Sunda.

Di daerah Madura, Cirebon, daerah Priangan dan Banten, kerajinan menganyam mendapat perhatian penuh. Untuk memotong sebatang bambu dalam dua ruas (tetogel-togel), orang Madura menggunakan sebilah calok, yaitu pisau dengan mata pisau melengkung. Potongan-potongan ini dibelah lagi menjadi lembar irisan berukuran lebar kurang lebih 2 sentimeter, yang kemudian dikeringkan di matahari selama dua hari. Dengan alat todi bengtoroi, tongkat-tongkat ini diserut atau dierat, dan dikeringkan selama sehari. Dengan pisau yang kecil (piyol) dikerjakan tahap terakhir.Sambil memegang pisau piyol di tangan kanan, dengan jari telunjuk tepat di atasnya, dengan handal, penganyam Madura mengerus lembar irisan bambu satu per satu antara pisau dan telunjuk (eraok). Bambu tipis biasanya dipukul-pukul dengan sebuah palu kayu menjadi lembar lebar, dan dipakai untuk menganyam dinding gubuk.Sebelum membuat tabing (sekat terbuat dari anyaman bambu), mula-mula dibuat lembar irisan kayu (nyebak atau bila), yang dibersihkan dulu dari mata (buko) dan tonjolan (soca) kayu.

1 W.L de Sturler mengatakan di dalam “Handboek voor de Landbouw in Nederlandsch Oost-Indiё” (Buku Pedoman Pertanian di Hindia Belanda), ketika bambu pada musim kemarau ditebang dalam umur yang paling dewasa, bambu disandarkan ke pohon (lain), kalau bisa dengan pucuknya ke bawah, dan batang bawah menghadap ke atas, dan membiarkan batang bambu demikian sampai menjadi kering, dan berwarna kuning-jerami sehingga tidak akan lapuk, berkutu atau berlubang-lubang karena ulat (bubuk). Sesudah membelah dan memotong bambu bila memungkinkan merendam bambu untuk beberapa waktu di dalam air, maka hal ini lebih baik, meskipun tidak selalu perlu.

5

Page 6: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di Cirebon dan khususnya di daerah Majalengka, pisau yang digunakan untuk membelah bambu dinamakan bedog atau gobang.Setelah memperoleh bilah-bilah kayu, kemudian bilah ini diserut (diraut) dengan bantuan pisau pangot atau pisau raut, yang mata pisaunya meraut agak miring dan mempersiapkan bilah bambu untuk pekerjaan menganyam yang agak kasar. Untuk kerajinan bambu halus, bilah-bilah dipoles dengan bantuan pisau raut (dipaut), yaitu dengan cara meraut memegang mata pisau dalam keadaan tegak lurus, hingga lembar irisan terasa halus dan tidak berserat. Dengan demikian, lembar-lembar irisan bambu dinamakan bakalan anyaman atau pakan.

Bambu dengan kulit hitam biasanya dipakai untuk menganyam corak atau pola. Di Indihiang (Tasikmalaya), dipakai bilahan bambu tali berumur sedang dan dengan buku antar ruas yang panjang. Bila sudah memperoleh bambu yang cocok, maka 1/3 bagian atas dan 1/3 bagian bawah akan dipotong, sehingga tinggal 1/3 bagian yang di tengah, yang selanjutnya dipakai. Selama 3 hingga 5 hari bambu tersebut diletakkan di tempat yang teduh, kemudian diserut dengan sebilah golok dan dipotong dalam beberapa bidang sebanyak adanya buku antar ruas yang kemudian dijemur di matahari. Kalau sudah cukup lentur dan alot, buku antar ruas itu dibelah memanjang menjadi kurang lebih 10 keping. Keping-keping ini di bagian ujungnya di buka dengan pisau raut dan kemudian dibelah lagi menjadi 8 hingga 10 lembar tipis; 4 lapisan terluar dipakai untuk anyaman halus, sedangkan 4 lapisan terdalam dipakai untuk anyaman kasar. Setelah dijemur di matahari, rambut pada lapisan ini diraut dengan bantuan pisau (dileles); kemudian lembar bambu tersebut dilipat bagian tengahnya dan dipisahkan dengan bantuan sebilah bambu bergerigi tajam (suwaran awi), menghasilkan lembar irisan dengan ukuran tertentu. Suwaran = dari Bahasa Jawa suwir, nyuwir = menyobek menjadi lembar irisan lebih kecil. Dengan demikian setiap lembar irisan dibelah lagi menjadi 10 sampai 20 lembar yang lebih kecil. Di Anyer (Banten) dipakai awi bunar yang dibeli di pedalaman (terutama di desa Bengras dan Kareo); satu ikat berisi 10 lembar masing-masing sepanjang 1,5 depa dijual seharga fl.0,25. Bambu ini tentunya masih sangat muda.

Untuk membuat lembar anyaman, belahan bambu dipotong di bagian buku sehingga berukuran 50 sentimeter. Dengan demikian diperoleh tabung yang diisi air sampai setengah penuh dan dipanaskan di atas api selama 5 menit, maksudnya adalah untuk melayukan bambu dan dengan demikian bambu menjadi lebih lentur. Ini dinamakan ngelayur. Setelah dilenturkan, maka bambu dibelah (dilining-lining) menjadi 6 bilah; setiap potong setelah kulit terluar dipotong, kemudian dibelah lagi mengikuti ketebalannya menjadi 7 bagian.Melakukan pekerjaan ini, perlu dijaga bahwa lembar-lembar bambu di satu sisi tidak terlepas satu sama lain, yaitu di bagian buku antar ruas; hal ini dimaksudkan agar pekerjaan berikutnya lebih mudah. Untuk mencegah tumbuhnya jamur (bintik-bintik hitam), lembar bambu ini dijemur selama 2 hari, dan sekaligus dimaksudkan untuk memutihkan bambu. Setelah tahap ini dilalui, lembar yang diikat direndam di dalam air selama 2 kali 24 jam. Setelah itu satu per satu akan digantung pada seutas tali (pada malam hari akan disimpan di dalam rumah dalam keadaan tergantung juga). Maksudnya adalah untuk mengeringkan dan sekaligus memutihkan bambu. Setelah itu, lembar bambu akan dipisahkan satu per

6

Page 7: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

satu dari rentengan 7, dan dibelah menjadi 2 atau 3 bagian, tergantung dari anyaman yang akan dibuat. Lembar-lembar irisan ini akhirnya diserut menjadi halus dengan bantuan sebilah pisau lading capit.

Gambar 3. Bedog atau gebang Pisau pangot Gambar. 4 Soewaran awi

Penduduk daerah Cilegon jauh lebih praktis. Meraut lembar bambu dengan lebar yang sama dilakukan dengan 2 pangot, yang ditusukkan pada sebatang kayu. Di dalam desa Wanasaba dan Giripada dipakai kayu sepanjang kurang lebih satu meter, yang diikat pada batang sebuah pohon, sehingga bila meraut bambu, orang harus berdiri. Di dalam desa-desa lain seperti di Taslas dan Temuputih, batang kayu tidak lebih panjang dari 40cm dan dinamakan patok yang ditancap ke dalam tanah, sehingga hanya kayu sepanjang 30cm terlihat berdiri. Untuk meraut lembar bambu menggunakan pangot, orang bisa duduk. Kedua pisau yang dipasang dinamakan penjangetan. Lembar i yang dijanget dinamakan iratan alus.

Untuk memoles lembar-lembar irisan menjadi tipis, di desa Menes (Banten) digunakan pamaudan, sebatang bambu. Setiap lembar ditarik oleh jari manis dan jempol tangan kanan melalui alat sederhana ini.

Selanjutnya di daerah ini juga dipergunakan pisau raut, sedangkan untuk membelah lembar bambu dengan lebar tertentu dipakai balok pengrautan dengan dua pisau.

Untuk menganyam, biasanya bahan baku bambu diambil dari hutan atau dari kebun sendiri; di beberapa tempat juga dijual dengan harga yang murah. Hampir mirip seperti sudah dijelaskan di atas, di Lampung

7

Gambar 5. Membelah bambu

Gambar 6. Menghaluskan dengan alat pamaudan

Page 8: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

menganyam juga mengalami tahapan yang sama. Di daerah ini, setelah batang bambu dibelah menjadi potongan, selama beberapa hari bambu direndam di dalam air, agar menjadi lentur dan memperoleh warna yang diinginkan. Ketika menganyam, dipakailah sebuah kait atau paku yang dibengkokkan, untuk menyatukan potongan bambu tersebut. Di Ketimbang (Lampung), setelah bambu dipotong dibiarkan selama tiga hari dengan maksud agar menjadi layu, kemudian dipotong-potong dan dipanggang di atas api. Setelah itu, potongan bambu dibersihkan dengan sabut kelapa. Kemudian mengikat bambu menjadi ikatan, merendam di dalam air, mengeringkan dengan menjemur bilahan bambu dan meraut untuk membersihkan bilahan.

Di Talang Padang (Palembang), dikenal bambu bemban. Untuk memotong bambu maupun rotan menjadi lembar berukuran sama, dipakailah parit, yang bentuknya kurang lebih seperti terlihat dalam Gbr. 8, di mana dalam sebatang kayu, ditancapkan dua pisau yang sisi tajamnya saling berhadapan.

Ketika menganyam, maka bahan anyaman sering dibasahi dengan air agar tetap lentur; untuk anyaman yang sangat halus harus dipakai sari buah aren (manis).

Di daerah Ranau dipergunakan jenis bambu sebagai berikut: bemban (banban kaur (aur), dabuk, awi dan selepah. Bahan kaur, dabuk dan awi biasanya hanya bagian dalam yang dipakai, sedangkan dari selepah, dan bemban, dipakai bagian dalam dan bagian luar yang berlapis kulit. Meraut halus dengan pisau di daerah ini disebut alit. Di Kroe, selain mengenal bemban atau bemban burung, juga dikenal bambu semak. Dengan menggunakan kedua jenis bambu, yang pertama bersifat lembut, sedangkan kedua lebih keras, penganyam mempersiapkan pewarnaan dan bahan fiksasi yang akan dibicarakan di Bab berikut.

Di daerah Painan (Padang Bukit Datar), dipakai buluh talang sebagai bahan menganyam. Orang Minang tidak mengenal satu istilah untuk tanaman bambu. Misalnya di wilayah Danau dan Matur, dikenal jenis-jenis bambu sebagai berikut: batung, buluh, pari’eng, talang; batung adalah jenis bambu yang sangat berat dan dibudidayakan di ladang-ladang dan di kebun atau parak, begitu juga jenis talang. Jenis buluh dan pari’eng ditemukan di dalam hutan. Bambu batung dipakai untuk konstruksi rumah; talang adalah jenis yang paling kecil, paling mahal tetapi alot.1

1 Istilah lokal untuk bambu disebutkan di dalam buku F.S.A. de Clerq “Nieuw Plantenkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё” sebagai berikut: aholal (Bahasa Alifuru-Nusa Laut); a’u (Bahasa Endeh, Sumba, Solor); a’ug (Bahasa Bolong Bongondow); a’ur (Bahasa Melayu, Sika); a’uwe (Bahasa Minangkabau); aor (Bahasa Batak); awi (Bahasa Sunda); awo (bahasa Bugis); awur (Bahasa Sasak); balul (Bahasa Makian); bambu (Bahasa Melayu, Timor, Minangkabau); bangbu (bahasa Jawa- Tegal); bulo (Bahasa Dayak,Kalimantan Tenggara, Bahasa Makasar, Bahasa Singir); bulu (Bahasa Batak);buluh (Bahasa Minangkabau); buluh (Bahasa Bali, Batak-Dairi, Lampung dari Bumi Agung, Melayu, Maluku); buluh (Bahasa Melayu); bolo (Bahasa Alifuru-Buru); boloh (Bahasa Lubu); deling (Bahasa Jawa-Kromo); jajang (Bahasa Jawa Timur); e’ere (Bahasa Sermate); epring (Bahasa Jawa-Ngoko); ewan (Bahasa Kei); hao (Bahasa Nias); haur (Bahasa Melayu); hawi (Bahasa Lampung, Pabean, Paminggir); humbang (Bahasa Dayak- Kalimantan Tenggara); kabalam (Bahasa Papua- Raja Ampat);kabalem (Papua Utara dan Raja Ampat); kabel (Bahasa Aru; kaka (Bahasa Timor); uka (Bahasa Alifuru-Buru); kabalim (bahasa Papua, Raja Ampat); kelaiwu (Bahasa Sabu); keles (Bahasa Madura); ke’u (Bahasa Bima); ko’in (Bahasa Alifuru, Minahasa-Bentenan); o (Bahasa Roti, Bahasa Timor); ute (Bahasa Alifuru dari Seit, dan Lima Seram-Selatan); uteo (Bahasa Alifuru-Haruku); uto’ol (Bahasa Alifuru dari Saparua); ole (Bahasa Alifuru dari Seram-Barat); oloh (Bahasa Bima, Wetar); o’uru (Bahasa Kisar); parawata (Bahasa Buton); paring (Bahasa Dayak, Melayu); pereng (Bahasa Kangean, Madura); peri (Bahasa Endeh); pering (Bahasa Lampung-Abung); pring (Bahasa Jawa-Ngoko); rosan (bahasa Jawa Kromo dusun); tabadiko (bahasa Ternate); taholal (bahasa Alifuru-Saparua); taki (Bahasa Alifuru-Minahasa); tambelan (Bahasa Alifuru Minahasa);tehing (Bahasa Bali-Sembiran); teli (Alifuru-Seram-Selatan); temar (Bahasa Tanimbar); tereng (Bahasa Sasak); teri (Bahasa Alifuru Seram-Selatan);tung (Bahasa Bali); timbarang (Bahasa Alifuru Minahasa-Bantik); to’e

8

Page 9: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Pembelahan bambu menjadi lembar irisan dalam bahasa Minangkabau dinamakan balah.

Bagian dalam yang lunak (ampulur) dibuang (diraut) dengan sebilah pisau (ladieng), kemudian sisi-sisi yang tajam (sudut) diraut dengan pisau yang sama. Kemudian diikuti dengan merendam di dalam air (dibanam); hal ini berlangsung selama 20 hari; bahan-bahan diletakkan di dalam kolam (tabѐ) atau dibenamkan dalam rawa berlumpur.

Di Lubuk Sikaping, dikenal jenis bambu sebagi berikut: maryan, talang, talang kuning, sarik, betung, pari’eng, buluh apau, tamiang, munti, aur duri, aur licin, atau aur leman, aur batu dll.

Di Tapanuli, dikenal jenis: bulu aur duri, bulu soma, bulu talang, bulu laga, bulu parapet, bulu paring , dan bulu hait.

Di Aceh orang menyebutnya tri’eng beutong (bambu besar), tri’eng meuduru (bambu duri), tri’eng gadeng (bambu kuning), igeu’eh (jenis yang kasar, awo (jenis yang kasar).

Di Bangka dan Bilitung, bambu jarang tumbuh. Sedangkan untuk orang Dayak, bambu (dan juga rotan) merupakan bahan menganyam primer. Di Kalimantan bambu disebut paring; buluh adalah bambu paling tebal, dan paringtali merupakan jenis bambu paling tipis.

Juga di pulau Sulawesi bambu dipakai sebagai bahan menganyam; di Toraja, bambu dikenal dengan nama woyo, jenis-jenisnya adalah sebagai berikut: woyo kojo (bulu lo dari Maluku); woyo watu (bulu batu dari Maluku) dan tobalo atau woyo wiyu (Bambusa longinodes Miq). Menurut Tuan Alb. C. Kruyt, dari kedua jenis yang disebut pertama, yang dipakai adalah kulit paling luar; jenis yang ketiga, dipakai bagian antara kulit dan bagian dalam, ini disebut uba; pengupasan kulit bambu dinamakan moyapi.

Dalam Bahasa Mongondow, bambu dinamakan bayui, dalam Bahasa Bwool: tomulango. Ada dua jenis: litano dan pa’ulano. Di Minahasa disebut bambu lau atau tuwi, bambu bitung, bambu berduri, bambu jawa, bambu hijau, bambu kuning, bambu cina dan lain-lain. Di Limboto bambu disebut talilo. Di kepulauan Sangir dan Talaud, dipergunakan bambu khusus, dinamakan nanapa. Di Ambon dikenal loleba. Di Wahai, bambu disebut tepo’u.

Di Bali dan Lombok, banyak bambu dipakai, bahkan juga bagi anyaman kotak yang halus. Di Bali bambu dinamakan ti’ing1. Terutama di Lombok, khususnya desa Kuteraja, terkenal karena seni menganyamnya

(Bahasa Manggarai); toto’oden (Bahasa Alifuru Minahasa Tonsea); toto’oren (Bahasa Alifuru-Minahasa); tri’eng (Bahasa Aceh); tring (Bahasa Aceh); wulu (Bahasa Gorom); wojo (Alifuru Tomini). 1 Di dalam esai “Een en Ander over de Cultuur van Rotan” (Segala sesuatu mengenai Budidaya Rotan)(Teymannia, jilid 13, 1902), Tuan B. Boers mengatakan: “Untuk mempercepat pembibitan pohon rotan, penduduk asli membuang kulit dan bagian dalam yang lembut, meletakkan buah rotan ke dalam sebuah keranjang yang isinya kemudian diinjak-injak dengan kaki, sambil menambah banyak air bersih, sebagaimana dikerjakan dengan biji kopi.

9

Gambar 7. Pisau Raut

Page 10: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

yang tinggi, menggunakan lembar irisan tali bambu berwarna-warni. Untuk ini dipilih batang bambu yang berumur sedang yang masih berwarna hijau. Setelah dipotong dan dibuang daunnya, batang bambu dibagi menjadi beberapa bagian, sebanyak adanya buku antar ruas, menjadi bagian sepanjang setengah atau duapertiga meter. Potongan tersebut dihaluskan, kemudian seluruh potongan tersebut dicat. Bila cat sudah mengering, potongan tersebut diolesi getah. Baru setelah itu, dimulai pekerjaan mengiris. Dari setiap lembar diambil bagian luar yang dicat itu, yang dipakai untuk menganyam halus. Pekerjaan mengiris lembaran-lembaran, dilakukan di atas sebuah bangku, di mana sudah tercancap dua buah pisau kecil yang tajam. Lembar irisan yang tengah dipakai untuk anyaman yang lebih kasar (seperti misalnya bagian dalam atau furing) kotak.

B. ROTAN (Calamus, Daemonorops, Korthalsia, Plectocomia, termasuk keluarga Graminae)

Rotan tidak tumbuh di semua daerah di pulau Jawa dan Madura. Di Gresik dipakai dalam jumlah besar untuk industri penganyaman tikar. Di daerah-daerah yang tidak memiliki hutan, rotan diimpor dari daerah pedalaman . Di daerah Kediri, rotan didatangkan dari hutan-hutan pegunungan. Dengan demikian dikenallah rotan wuluh

(putih), rotan slatuh, berwarna kuning, selanjutnya rotan cacing dan rotan sepet1.

Rotan banyak dipergunakan di distrik Singaparna, afdeling [sekarang kecamatan] Sukapura, Karesidenan [sekarang kabupaten] Priangan, di mana bahan rotan yang lebih halus diperjual-belikan seharga f. 0.30 satu gulungan

@ 100 potong sepanjang kurang lebih 1,5 meter. Selanjutnya afdeling Sukanegara, afdeling Cianjur di Karesidenen yang sama, ada tempat

pembuatan tikar, yang tidak kalah mutu dan kehandalannya dari tikar buatan Gresik.

Rotan tidak memerlukan penanganan khusus, biasanya rotan diserut pada buku antar ruas, dibelah menjadi dua atau empat potong, diraut, kadang-kadang direndam dalam air, dan sebelum

diolah dijemur dahulu. Di Sukanegara, sesuai mutunya dikenal beberapa macam rotan: sege, walat, pelah, se’el dan karokok. Jenis sege dan walat adalah rotan terhalus dan termahal dan dijual seharga f 0.30 per 100 potong; jenis-jenis yang lain dapat dibeli dengan harga f. 0.15 per 100 potong. Untuk penjualan kepada pedagang Tionghoa, dihitung f.0.04 setiap kati [1 kati=625 gram].

Setelah 14 hari pada bijinya mulai nampak bercak-bercak putih, yang merupakan awal kecambahnya bertunas. Segera sesudahnya bibit ini dipindahkan ke lahan budidaya yang terdiri dari tanah gembur, ditanam berjarak 5 sentimeter dengan kedalaman 2 hingga 3 sentimeter. Pada musim hujan, setelah mencapai tinggi 10 hingga 20 sentimeter dilakukan pemindahan bibit muda, dan baru setelah 6 tahun rotan bisa dipanen.Tuan van Leemburgen dalam esainya “De Cultuur van Rotan” (Tijdschrift van Nijverheid in N.I. tahun 1899, jilid LIX) menulis bahwa tumbuhan rotan tanpa kemungkinan untuk merambat, tidak akan menghasilkan tanaman yang bagus. Buku-buku menjadi pendek dan batangnya bengkok berlekuk, dan seringkali memperlihatkan noda-noda berwarna gelap.

1 Di dalam esai

10

Gambar 8. Parit

Page 11: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Dapat dimengerti mengapa kulit bagian keras dan mengkilap yang dipakai, sedangkan bagian dalam yang lembut dibuang.

Pembuatan lembar yang sama lebarnya, misalnya untuk dudukan kursi rotan, dilaksanakan dengan bantuan jangget atau janget. Alat ini terdiri dari papan kayu, dengan sebatang kayu di salah satu ujungnya di mana tercancap dua bilah pisau tajam. Letak kedua pisau ini dengan bagian mata pisau berhadap-hadapan dengan membiarkan spasi kecil di antaranya. Sang penganyam duduk di atas bangku, dan satu persatu menarik lembaran-lembaran di antara kedua pisau tersebut. Pita-pita ini sebelumnya telah diserut menggunakan pangot. Dengan demikian akan diperoleh lembaran yang sama lebarnya.

Di distrik Lampung dikenal jenis rotan sebagai berikut: sega, getah, kemurangan, balandangan, dahanan dan laca; di Talang Padang (Palembang) dikenal rotan lela, rotan udang, dan rotan sego. Di Komering Hulu, anyaman rotan paling banyak dibuat terutama di daerah Kisam. Di daerah ini dipakai jenis rotan seperti kesan, bebuan, lelak dan sego. Jenis yang tebal seperti semambu dan manau, dipakai untuk pinggir anyaman, tetapi tidak untuk badan anyaman. Rotan yang paling digemari adalah rotan sego. Misalnya di Ogan Hulu, jenis ini tidak banyak ditemui; tanah memiliki nilai yang cukup tinggi, sehingga rotan diekspor ke luar daerah. Untuk bahan anyaman dipakai bagian luar maupun bagian dalam rotan. Kulit rotannya lebih kuat dan lebih awet.

Agar rotan cocok sebagai bahan anyaman, terlebih dahulu rotan dibelah (ngalit) menjadi pita-pita, yang ditarik melewati dua pisau tajam menjadi pita dengan lebar yang sama. (Kedua pisau kecil ini dinamakan penjangat). Pita-pita yang dihasilkan dinamakan bemban rotan. Di Jambi, dikenal otan (rotan udang dan otan getah; di Agam ada manau dan manau tabu (jenis kasar untuk pinggiran anyaman), dan rotan kubung, rotan piladeh dan rotan bancah; jenis rotan yang paling bagus, sago, tidak ditemukan di Agam. Rotan dipotong dengan sebuah golok bernama ladieng. Ujung batang rotan (pucuk) dan dedaunannya dibuang (diceceh). Di rumah, buku-buku diraut dengan pisau raut (disisi). Setelah itu batang dibelah (dibalah) dan bagian dalam yang lembut (ampulur) dikeluarkan. Bagian kulit luar yang keras dibagi menjadi pita-pita anyaman (mensiang). Bila menghendaki pita-pita yang licin dan kecil, pita-pita ditarik melewati dua pisau raut

11

Gambar 9. Alat Janget untuk pembuatan bahan rotan

Page 12: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

kecil (dihѐlo) yang berada di atas sebuah batang kayu dengan jarak beberapa milimeter antar kedua mata pisau.

Di Payahkumbuh terdapat jenis-jenis sebagai berikut: rotan balam, rotan galang, rotan Surabaya, rotan paku. Setelah bahan diserut menjadi pita-pita, untuk lebih menghaluskan lagi, dipergunakan pisau siraut, sebilah pisau dengan garan atau hulu yang panjang, yang ketika dipergunakan panjangnya bisa sampai ke siku-siku.

Di Puar Datar dan Suliki, orang berbicara tentang rotan kaci (=kecil), rotan samui (=semut) dan rotan sebayo. Seperti di Payahkumbuh di sinipun dipergunakan pisau siraut untuk menghaluskan rotan. Jenis rotan yang lain disebut er kuai. Pengolahannya sama dengan jenis rotan yang lain, tetapi batang kuai yang tebal, setelah dibelah menjadi dua, dipukul-pukul dengan palu kayu di atas paron atau tempat pukul batang menjadi pipih, sehingga lapisan serat terlepas dan dibuang menggunakan sebilah pisau. Dengan demikian bahan siap untuk dianyam. Pada tahap kuai menjadi pita-pita, dipakai pelindung jari (cincin), terbuat dari kulit kerbau, kulit sapi atau dari bahan kaleng, untuk melindungi ibu jari dan jari telunjuk. Pita-pita rotan itu agar menjadi halus pada bagian belahan, diraut dan diserut dengan pisau raut.

Di Lubuk Sikaping, rotan tebal dinamakan cikalau1 . Di Tapanuli dinamakan otang yang ada dua macam yaitu otang sabut dan otang pau, selanjutnya jenis-jenis ampang, pangka, lilin, udang, sogo, monci, pulogos, rumunan, sihin (dengan buah yang manis), andili, laskuti dan hotari. Di Nias dinamakan rotan uwe.

Di Aceh dipakai terutama rotan (awe) sago sebagai bahan anyaman, misalnya di pulau Simeulu dan Leuku’en dan Sigulai.

Di Kuteraja dikenal jenis-jenis: awe mulam (rotan yang berat dan tebal), dan awe beuto.

Rotan juga disebut pekat, menjadi bahan anyaman yang paling cocok bagi orang Dayak, terutama rotan segah. Selanjutnya di Kalimantan dikenal rotan taman, rotan ra’ah, rotan milatung2.

Setelah memotong rotan (mamagat pekat) di hutan, rotan dibersihkan dari durinya menggunakan sebilah parang (mengoyak), melilitkan cabang-cabang rotan di sebuah tongkak (meruntik), menjemurnya di sinar matahari, membelah dan menghaluskannya dengan pisau raut.

1 Dari buku “Midden Sumatra” (Sumatra Tengah), prof. P.J. Veth (jilid ke 4)mengemukakan ”De Rotan sago atau sego paling berharga sebagai alat ikat, dan rotan coklat tua, rotan si mambu sebagai handrotting, tetapi rotan yang lain berwarna lebih gelap atau bertutul juga cocok sebagai alat mengikat atau diolah menjadi tikar lantai atau mebel2 Tuan Tijl menulis dalam laporannya tentang rotan –rotan yang paling penting di karesidenan Selatan dan Timur afdeling Kalimantan (Tijdschrift voor Nijverheid in N.I. jaar 1874 jilid XIX):” Di antara tanaman rotan yang paling penting dan paling berguna, perlu disebutkan yang pertama rotan taman, yang memiliki kelenturan dan kekuatan yang tinggi, dan karena itu mudah diolah. Rotan ini tumbuh di dataran tinggi maupun di dataran rendah, di tanah berpasir maupun di tanah liat, sehingga rotan ini dapat ditemukan di seluruh karesidenan”, Selanjutnya di dalam artikel ini di sebutkan: rotan irit, rotan tapa, rotan samuli, rotan bambulan, rotan bulu.rotan dandan, rotan buyong

12

Page 13: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Orang Toraja juga banyak memakai rotan; salah satu jenis yang sangat halus, inole banyak dipergunakan oleh suku Tolage.Dalam bahasa Mongondou rotan dinamakan uo’ooi. Di Kakas (MInahasa) dibuat banyak keranjang rotan, dikenal jenis-jenis: ambel dan wongkowan.Di Ambon seringkali dipakai yang dinamakan tongkat setan, sejenis rotan yang sangat tipis.Jumlah jenis rotan jauh lebih besar dari jumlah jenis bambu, seolah-olah kekayaan alam secara intensif mengungkapkan diri dalam hal jumlah dan kebinekaan jenis tumbuhan yang cocok untuk dianyam yang ditemukan di dalam hutan-hutan Indonesia.Dari Kamus Ilmu Tumbuh-tumbuhan karangan G.J. Filet dan F.S.A. de Clerq, saya kompilasi jenis-jenis rotan yang disusun menurut abjad berikut ini:

1. Calamus adspersus Bl. Howe bogo (Bahasa Sunda) atau howe bogoh (Bahasa Sunda)

2. Calamus asperri,us Bl. Howe leumeus (Bahasa Sunda); howe leles, leuleus atau lulus (Bahasa Sunda)

3. Calamus buroensis Mart, rotan wanitette (Bahasa Maluku) 4. Calamus caesius Bl., howe walat (Bahasa Sunda); rotan urai janag (Bahasa Sumatra); penjalin

latung (Bahasa Jawa), rotan bilatung (Bahasa Melayu); hwi walatung (Bahasa Bali); rotan dandan (Bahasa Minangkabau)

5. Calamus calolepis Miq., rotan lilin (Bahasa Melayu)6. Calamus cawa Bl., rotan kawa (Bahasa Melayu); ke’akawa (Bahasa Ambon)7. Calamus ciliares Bl. Howe pahit (Bahasa Sunda); howe muka (Bahasa Sunda), howe cacing

(Bahasa Sunda); manjalin caceng (Bahasa Madura); penjalin cacing (Bahasa Jawa); penjalin cacing (Bahasa Bali)

8. Calamus depressiuculus T. dan B., rotan sikey (Bahasa Sumatra), rotan sikek (Bahasa Minangkabau)

9. Calamus didymophyllus Becc., awe getah (Bahasa Aceh), awe udeng (Bahasa Aceh); e’uwa (Bahasa Enggano), hotang udang (Bahasa Batak); uwe bekus apoi (Bahasa Lampung); uwi getah (Bahasa Lampung); rotan gatah (Bahasa Mingkabau); rotan getah (Bahasa Melayu); rotan udang (Bahasa Gayo); we udang (bahasa Gayo)

10. Calamus Dienhorstii Miq, rotan batu (Bahasa Melayu)

13

Gambar 10. Pisau raut

Gambar 11. Palu dan paron (landasan) batang kayu untuk memukul rotan agar menjadi datar.

Page 14: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

11. Calamus equestris Bl., Rotan kawa (Bahasa Melayu); hea kawa (Bahasa Ambon); rotan cawoni (Bahasa Melayu)

12. Calamus exilis Griff., rotang gunung (Bahasa Melayu); rotan galiti’ek (Bahasa Minangkabau)13. Calamus fasciculatus Roxb., rotan glatik (Bahasa Melayu); rotan galitik (Bahasa Minanagkabau) =

Calamus viminalis Reinw.14. Calamus glacescens Bl., howe perlan (Bahasa Sunda); howe perlas (Bahasa Sunda) = Calamus

caesius Bl.15. Calamus graminosus Bl., rotan alea (Bahasa Melayu); rotan alya (Bahasa Melayu-Ambon); uwalo

pu’il (Bahasa Alifuru-Nusa Laut); uwalu puti’il (Bahasa Alifuru-Saparua); u’a putih (Bahasa Ambon); u’a lahun sehi (Bahasa Ambon); u’a ahuntanyn (Bahasa Ambon); uwa ela (Bahasa Ambon)

16. Calamus heteroideus Bl., rotan segah (Bahasa Melayu); howe gorot (Bahasa Sunda); howe geureung (Bahasa Sunda) = Calamus Reinwardti’I Mart

17. Calamus heteroideus, var. procerus; howe tertas atau tretas (Bahasa Sunda)18. Calamus heteroideus var. refractus; howe segeh (Bahasa Sunda)19. Calamus horrens Bl., rotan gelag (Bahasa Melayu); rotan galang (Bahasa Minangkabau)20. Calamus insignis Griff; awe bate’e (Bahasa Aceh); kihi (Bahasa Enggano); manjalin bato (Bahasa

Madura); rotan batu (Bahasa Melayu)21. Calamus javanensis Bl., rotan cacing (Bahasa Melayu); howe omas (Bahasa Sunda); heawaeorey

(Bahasa Ambon); awe lilin (Bahasa Aceh); huwi pantis (Bahasa Lampung); owe lilin (Bahasa Gayo); owe pedeh (Bahasa Gayo); rotan lilin (Bahasa Melayu)

22. Calamus littoralis Bl., Rotan air (Bahasa Melayu) = Calamus viminalis Reinw.23. Calamus manan Miq., awe mane’e (Bahasa Aceh); deku (Bahasa Aceh); eye (Bahasa Enggano);

hotang maldo (Bahasa Batak); hotang malo (Bahasa Batak); maldo atau malo (Bahasa Batak); mana’u (Bahasa Melayu Minangkabau); mani (Bahasa Gayo); uwi nunggal (Bahasa Lampung); rotan mana’u (Bahasa Melayu); rotan manci (Bahasa Melayu-Bengkulu); jenis-jenis di Minangkabau: mana’ubana, mana’u gadang; mana’u kaci’e; mana’u liki’e; mana’u siabu; mana’u tabutabu

24. Calamus manicatus T. dan B., rotan tapah (Bahasa Sumatra)25. Calamus marginatus Mart, rotan ohat (Kalimantan Tenggara)26. Calamus melanoloma Mart, howe lilin (Bahasa Sunda); howe lemes (Bahasa Sunda); penjalin

malam (Bahasa Melayu)27. Calamus micranthus Bl., rotan karokrok (Bahasa Melayu); awe kerokrok (Bahasa Aceh); penjalin

kokrok (Bahasa Jawa); rotan segah banyu (Bahasa Sumatra); rotan sega air (Bahasa Melayu)28. Calamus ornatus; howe kidang (Bahasa Sunda); howe kasur atau kesur (Bahasa Sunda); awe

saga (Bahasa Aceh); huwisesah (Bahasa Lampung); howe tutul (Bahasa Sunda); uwi segah (Bahasa Lampung); uwi segue (Bahasa Gayo); penjalin porong (Bahasa Jawa); penjalin sego (Bahasa Melayu-Palembang); rotan sago (Bahasa Minangkabau); rotan sega (Bahasa Melayu); jenis-jenis yang ada di Jawa: penjalin tingal atau penjalin buntal

29. Calamus oxleyanus T. dan B., rotan kikir (Bahasa Melayu Bangka)30. Calamus pisicarpus Bl., rotan tum dawor besar (Bahasa Melayu); ualahunsehi (Bahasa Ambon)31. Calamus rhomboideus Bl., rotan ulet (Bahasa Sumatra); howe sampan (Bahasa Sunda)

14

Page 15: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

32. Calamus rudentum Lour, rotan putih (Bahasa Melayu); howe pella (Bahasa Sunda)33. Calamus Reinwardtii Mart, rotan ceceret (Bahasa Jawa)34. Calamus scipionum Lour, hu’i samabu (Bahasa Dayak, Kalimantan Barat); huwi semambu

(Bahasa Lampung); hotang semambu (Bahasa Batak); poak-poak (Bahasa Enggano); rotan raja (Bahasa Melayu); rotan sima., rotan jemurangan mbu (Bahasa Sumatra Barat)

35. Calamus stoloniferus T. dan B., rotan jamurangan (Bahasa Sumatra); uwi pamurangan (Bahasa Lampung); = Calamus horrens Bl.

36. Calamus subangulatus Miq., rotan jerenang kecil (Bahasa Melayu)37. Calamus viminalis Rwdr., rotan Jawa (Bahasa Melayu, Maluku); howe korod (Bahasa Sunda);

owe weria (Bahasa Alifuru Haruku)38. Ceratolobus glaucescens Bl., howe paesan (Bahasa Sunda)39. Ceratolobus kingianus Becc., rotan kipas (Bahasa Melayu); howe bubut (Bahasa Sunda)40. Ceratolobus rudentum Lour; howe pella (Bahasa Sunda)41. Daemonorops accedens Bl., howe selang (Bahasa Sunda)42. Daemonorops barbatus Mart., rotan asem (Bahasa Melayu, Maluku)43. Daemonorops calapparius Bl., rotan kalapa (Bahasa Melayu Ambon); uahahulu (Bahasa Ambon);

uamanima (Bahasa Ambon); uaniwel (Bahasa Alifuru – Hila); uanimelo (Bahasa Alifuru Haruku); uwalu nuwolo (Bahasa Alifuru Nusa Laut)

44. Daemonorops calicarpus Mart., rotan cucur minyak (Bahasa Melayu)45. Daemonorops crinitus Bl., howe gelang (Bahasa Sunda)46. Daemonorops draco Mart., rotan jerenang (Bahasa Melayu); jerene (Bahasa Makasar); jaranang

(Bahasa Makasar); awe jernang (Bahasa Aceh); janang (Bahasa Minangkabau; jarenang (Bahasa Bugis); jarnang (Bahasa Batak); uwi jerenang (Bahasa Lampung); owe jernang (Bahasa Gayo)

47. Daemonorops geniculatus Mart., huwi gelang (Bahasa Lampung); rotan gelang (Bahasa Melayu); rotan kerai (Bahasa Melayu); rotan cincin (Bahasa Melayu); - Daemonorops crinitus Bl.

48. Daemonorops hirsutus Bl., rotan kalang sintang (Bahasa Palembang)49. Daemonorops hygrophylus Mart., rotan sepat (Bahasa Melayu)50. Daemonorops hystrix Mart; rotan sabote (Bahasa Melayu); pasisir (Bahasa Melayu); awe sabut

(Bahasa Aceh); huwisabok (Bahasa Lampung); hotang sabut (Bahasa Batak); uwi sabut (Bahasa Lampung); rotan buah (Bahasa Melayu); rotan sabu’ik (Bahasa Minangkabau)

51. Daemonorops longipes. Miq., rotan sikey (Bahasa Sumatra)52. Daemonorops melanochaetes Bl. , rotan hitam (Bahasa Melayu); uwa metta (Bahasa Ambon);

howe se’el (Bahasa Sunda); howe selang (Bahasa Sunda); penjalin selang (Bahasa Jawa)53. Daemonorops micracanthus Becc., rotan tahi ayam (Bahasa Melayu)54. Daemonorops niger Bl., rotan tebu (Bahasa Melayu); uwa metta (Bahasa Ambon); irit (Bahasa

Dayak, Kalimantan Selatan dan Timur); lasa’ur (Bahasa Alifuru Seram Selatan); uwa mete (Alifuru, Haruku, Hila); uwa mite (Bahasa Alifuru dari Seit dan Lima); uwa tehu (Bahasa Alifuru dari Seit dan Lima); uwai irit (Bahasa Dayak Kalimantan Selatan dan Timur); rotan hitam (Bahasa Melayu, Maluku); rotan tubu (Bahasa Melayu-Maluku); uwe ne wowatu (bahasa Alifuru Minahasa); puti meten (Bahasa Alifuru, Seram Selatan); uwalo mete’il (Bahasa Alifuru Nusa Laut, Saparua)

55. Daemonorops oblongus. Mart., howe pella (Bahasa Sunda); howe balukbuk (Bahasa Sunda)

15

Page 16: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

56. Daemonorops palembanicas Bl., rotan lelang (Bahasa Palembang); rotan selang (Bahasa Melayu)57. Daemonorops periacanthus Miq., rotan landak (Bahasa Palembang); rotan udang (Bahasa

Palembang); penjalin landak (Bahasa Jawa)58. Daemonorops platyacanthus Mart., howe teretes (Bahasa Sunda) = Calamus oblongus Reinw.59. Daemonorops propinquus Becc., rotan bakau (Bahasa Melayu)60. Daemonorops Rumphii Mart., rotan bubut (Bahasa Melayu); uwa helite (Bahasa Ambon); uwa

tuni (Bahasa Alifuru dari Seit dan Lima); uwalo tuni (Bahasa Alifuru Nusa Laut); putuni (Bahasa Alifuru Seram Selatan); rotan bubu (Bahasa Melayu); rotan tuni (Bahasa Melayu, Ambon); wallet puti tuni (Bahasa Alifuru Seram Selatan)

61. Daemonorops Ruber Bl., howe seti atau howe suti (Bahasa Sunda)62. Daemonorops structus Bl., rotan bulu (Bahasa Melayu); uwa lou kana (Bahasa Ambon); penjalin

wuluh (Bahasa Jawa); rotan tuni daun besar (Bahasa Melayu, Ambon)63. Daemonorops scandens Bl., howe pelah (Bahasa Sunda)64. Daemonorops trichorus Miq., rotan bungkus (Bahasa Melayu)65. Korthalsia debilis Bl., atau Korthalsia flagellaris Miq., rotan dahan66. Korthalsia Junghuhnii Miq., howe sasampayan (Bahasa Sunda)67. Korthalsiascaphigera Mart., uwi semuti (Bahasa Lampung); rotan semut (Bahasa Melayu)68. Plectocomia elongate Bl., howe bubuai (Bahasa Sunda); howe bubuan (Bahasa Sunda); baduar

(Bahasa Batak); huwi membuai (Bahasa Lampung); hotang baduar (Bahasa Batak)

Sebagai alternatif rotan dapat dikemukakan:

a. Flagellaria indica L., rotan korwaer (Bahasa Melayu), rotan hutan (Bahasa Melayu); aywara (Bahasa Ambon)

b. Flagellaria minor Bl., rotan kroh (Bahasa Bangka); howe leutik (Bahasa Sunda); rotan mance atau rotan marouw (Bahasa Bangka); kokrok (Bahasa Jawa)

Yang disebut terakhir ini tidak termasuk keluarga Palmae, tetapi termasuk keluarga Flagellarieae. Sesuai dengan dafter tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan tentang rotan yang terdapat di dalam Encyclopaedie Nederlandsch Indiё (Ensiklopedi Hindia Belanda), sebagai berikut: “Agak sulit untuk memberikan semua nama botanis kelompok rotan, karena banyak di antaranya memiliki dua istilah atau lebih. Jenis yang paling penting adalah Calamus Rotang L (= Calamus Roxburghii Griff), yang memberikan rotan anyaman yang terbaik.”

C. Dedaunan Pandan dan Palma

I. Pandan (Pandanus, termasuk kelompok Pandanacaea).

16

Page 17: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Pandan adalah tumbuh-tumbuhan dengan daun yang panjang seperti pita dan berduri, yang justru karena panjangnya dan kelenturannya sangat cocok untuk bahan anyaman. Sebagaimana tumbuhan bambu, pandan ditemukan di seluruh pulau Jawa dan Madura, tumbuh liar, atau dibudidayakan seperti di pulau Bawean, dan banyak tumbuh di sepanjang parit, kali, sungai dan di tanah yang lembab.

Bisschop Grevelink menulis dalam karangannya “Planten van Nederlandsch Indiё” (Tanaman Hindia Belanda): Tumbuhan perdu pandan yang unik, yang ditemukan di berbagai tempat, dengan batang kokoh dan banyak akar yang kuat tertancap di tanah, dan dengan dedaunan yang panjang yang di pucuknya tumbuh seperti spiral, diwakili berbagai jenis di seluruh Nusantara. Kebanyakan tumbuh dekat pantai di daerah yang dijuluki Junghuhn ‘bibir pantai atau flora bukit pasir tropis’, karena terletak di antara hutan pantai Rizophora dan pedalaman.Bila di Yogyakarta dan terutama di kelurahan Bantul, dikenal pandan pasir (Pandanus littoralis), di Blora dibedakan pandan sari (jenis pandan terbaik dengan duri kecil-kecil) dari pandan betok (jenis yang lebih besar dengan duri panjang); di Tulung Agung dikenal pandan jaran, sedangkan di Karanganyar orang kenal jenis pandan pudak, di Tasikmalaya jaksi, dan di Banten pandan cucuk.Pada umumnya penganyam memakai apa yang dinamakan pandan duri atau pandan eri, yaitu pandan berduri, yang menghasilkan pudak atau bunga.Selain itu juga dikenal jenis pandan wangi, yang memiliki dedaunan yang kecil, yang karena harumnya diiris menjadi irisan rambut halus, dan berfungsi sebagai kembang ramping.Persiapan daun pandan menjadi lembar anyaman yang siap pakai, adalah sebagai berikut.

Daun pandan dipotong dari batangnya dengan sebilah pisau pangkas. Dalam hal ini dijaga daun pandan yang tersisa di pohon masih cukup banyak agar bisa tumbuh dan tidak mati. Tentunya yang dipilih untuk menganyam adalah daun yang paling panjang. Setelah daun diperoleh, maka dedaunan pandan diikat menjadi satu, untuk di jual di pasar tradisional. Daun pandan tidak dapat disimpan terlalu lama karena cepat mengering, sehingga tidak berguna sebagai bahan menganyam.

Sepuluh hingga 15 daun dijadikan satu ikat kemudian kedua ujungnya dipotong sedikit, sehingga semua daun berukuran sama. Yang penting adalah membuang durinya.

Daun pandan memiliki tulang daun di tengah yang berbentuk cekung, yang menyebabkan potongan silang daun membentuk huruf V. Duri berada di sepanjang kedua sisi daun dan di bagian bawah tengah daun (a,b dan c pada Gbr. 12). Duri pandan sekarang dipotong dengan bantuan alat ‘cicin’ yang terbuat dari serat luar kelapa matang (sepet klapa) atau serat pohon aren. Di pulau Bawean, cicin ini disebut barcong, kalau di Madura disebut krabag sepet.

17

Gambar 12. Penampang lintang daun pandan

Page 18: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Cincin serat itu sekarang diikat dan ditegangkan antara jempol dan jari tengah dan mulai memotong di bagian bawah barisan duri-duri.

Daun sekarang mulai diiris dengan serat cincin hingga semuaduri dibuang, dan daun dibagi menjadi dua, yang disebut menderehdan setiap lembar daun disebut derehan. Di daerah Anyerdaun-daun pandan dengan mudahnya dibelah menjadilembar dengan memakai kuku jari (disowek).

Di Caringin (Banten) penganyam lebih hati-hati. Cincin serat tidak dipasang di antara jempol dan jari tengah, tetapi di pasang pada carucuk sejenis katapel, yang terlihat di Gbr. 13, yang dengan jelas memperlihatkan bagaimana duri dibuang menggunakan alat. Biasanya pekerjaan dengan cincin serat yang dipasang antara jari jempol dan jari tengah, dilanjutkan dengan mengiris daun menjadi lembaran yang lebih tipis.Setiap belahan daun dibagi lagi menjadi 2, 4, atau 8 lembar.

Di Caringin (Banten), dipakai suwakan, sebuah alat yang diberi takik atau geratan penanda yang dapat menghasilkan ukuranlebar pita yang konsisten dan sama.

Alat tersebut sangat berguna untuk penganyaman tikar halus seperti yang dibuat di Bawean. Semua pita anyaman memiliki lebar yang sama yang tentunya menghasilkan tikar yang amat halus, berbeda dengan pita yang diiris dengan kuku tangan atau dengan serat. Suwakan ini berasal dari kata suwek atau sobek, dan seringkali juga di pakai di kota Galuh, Cirebon. Di sini pita-pita pandan ditumpuk dengan rapih

dan diikat dengan jepitan bambu (gapitan), dipotong kedua ujungnya, sehingga mendapat ukuran yang sama yaitu 8 sampai 9 jengkal ( jeungkal). Kemudian dari setiap ikat sisi yang berduri disobek. Setelah itu daun-daun dilepaskan dari jepitan dan mulai diiris menggunakan suwakan.

18

Gambar 13. Carucuk

Gambar 14. Suwakan

Page 19: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Untuk menganyam tikar yang kasar, dipakai lembaran pita yang dijemur selama beberapa jam dan kemudian dikerik menggunakan penggaris dari bambu atau dari tanduk kerbau (dikeroki). Untuk tikar halus harus dipakai lembaran pita yang ditangani khusus. Mula-mula pita diikat menjadi satu, dan direbus di dalam air, kemudian diletakkan di dalam ember dengan air mengalir, lalu dijemur dan dikelantang di bawah sinar matahari selama sehari, untuk selanjutnya dikerik. Di tangan satu dipegang alat kerik atau penggaris pipih (Bahasa Madura: sesegik atau panjerot) yang agak membulat pada kedua sisi panjangnya. Dengan tangan lain daun ditarik melalui bagian bawah alat kerik. Daun yang tadinya melingkar karena sebelumnya dimasak, direndam dan dikeringkan, sesudah dikerik menjadi lebar dan lentur. Makin baik proses pengolahan yang betahap memasak, memutihkan, mengeringkan dan mengerik, makin putih dan bagus bahan pita anyaman. Untuk tikar pembungkus, seperti telah dijelaskan di atas, tahap merebus dan merendam tidak perlu.

Di Yogyakarta, untuk tahap pengirisan menjadi lembar-lembar dengan lebar yang sama, dipakai alat terbuat dari kaleng yang disebut garu, yang diberi gigi pada jarak tertentu membentuk sejenis sisir atau garukan yang dipakai untuk “menyisir” daun pandan. Setelah tahap ini, maka pita-pita yang diperoleh “dikerik”, direbus dengan air (digodok), lalu direndam di dalam air bersih (dicelup atau direndam), kemudian dipukul dengan sebuah batu (dikemplong), dijemur sehari di bawah sinar matahari (di pé), direndam sekali lagi dan dijemur. Setelah itu pita pandan diolah lagi dengan alu dan terakhir dikerik dengan sebuah pisau raut (dibesut), sehingga memperoleh pita-pita pipih berukuran lebar 3 hingga 5 mm, dan panjang 65 hingga 70 cm yang siap anyam. Di Yogyakarta, sebuah ikat pita pandan siap anyam dijual seharga kurang lebih 27 hingga 30 sen. Daun pandan juga bisa disobek dengan tangan, yang disebut nyuwir (dari kata suwir), untuk membedakan dengan kata nyirat, yaitu menyobek dengan alat garu.

Perajin yang tidak memiliki kebun pandan, atau tidak memiliki cukup bahan baku untuk menganyam (pandan duri dapat dipanen setiap 9 bulan), dapat membeli tanaman daun pandan hijau seharga 1,5 hingga 2,5 sen setiap batangnya, tetapi si pembeli memotong sendiri daun pandannya dan membuang batangnya, atau di pasar tradisional dapat membeli dalam membentuk pita-pita pandan siap anyam seharga 7,5 hingga 8,5 sen satu kecěl atau 10 hingga 12,5 sen satu untěng. (Satu kecěl adalah ukuran di mana jari jempol dan jari tengah satu tangan bertemu melingkar; sedangkan satu untěng adalah ukuran bilamana jari jempol tangan kiri bertemu jari jempol tangan kanan dan jari tengah tangan kiri bertemu jari tengah tangan kanan membentuk lingkaran).

Persiapan daun pandan duri di pulau Bawean adalah sebagai berikut:Setelah duri dibersihkan dari tulang daun utama dan pinggir daun dengan bantuan sebilah pisau meja, daun pandan melalui tahapan biasa seperti yang sudah dijelaskan di atas, dengan bantuan benang serat diiris menjadi pita berukuran sama. Kemudian sari atau getah (kaot) pita-pita daun pandan diperas dengan cara: menjepit dan menarik pita antara sebuah penggaris bambu yang dipegang jari-jari tangan kanan dan ditekan oleh jempol tangan yang sama. Setelah diperas diikat menjadi untěng dan direbus dengan air, sampai warna hijaunya memudar dan hilang. Merebus bisa memakan waktu kurang lebih setengah hari. Tahap berikutnya adalah merendam ikatan daun pandan di dalam kali atau sungai dengan air deras atau direndam di dalam gentong atau drum selama satu atau kurang dari sehari. Biasanya cara pertama berlaku, bila cara kedua dijalankan, maka air di dalam gentong harus diganti paling sedikit 3

19

Page 20: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

kali. Ikatan untěng kemudian dilepaskan, dan lembar-lembar dijemur di bawah sinar matahari selama paling lama dua hari, lalu menjalani tahap kaot. Lembar-lembar dibilas sekali lagi dengan air, dikaot untuk ketiga kalinya dan dijemur sampai menjadi kering sekali. Sekarang bahan baru siap untuk dianyam1.Rajapolah distrik Indihiang dan juga Ciawi, adalah produsen tikar pandan yang paling tinggi mutunya. Pandan yang halus disebut jaksi. Daun pandan jaksi dapat mencapai panjang 80 hingga 150 cm. Setelah daun jaksi dipotong (tilas), durinya dibuang dengan sebilah pisau, ditumpuk (dibereskeun atau dientepi) menjadi tumpukan 30 lembar, dan ujung-ujungnya dipotong (didendeng), sesuai ukuran. Lalu daun-daun dibelah menjadi pita-pita dengan suwakan (lihat di atas). Pita-pita disebut beunang nyuwakan atau pandan atah. Menggores dengan sebilah bambu tumpul untuk melipat daun (pamaod) dinamakan dipaod atah. Pita-pita yang sudah diolah ditumpuk kembali (dientep), diikat dan direbus lagi di dalam pangkuluban (= tempat menggodok). Setelah pita-pita menjadi dingin, direndam lagi di dalam air mengalir selama sehari-semalam, dijemur dan sekali lagi di kerik (dipaod). Sekarang pita pandan menjadi putih bersih dan disebut putihan; yang kurang bagus dan kurang putih disebut ilab. Putihan dipakai untuk barang anyaman yang halus dan kebanyakan berasal dari pandan jaksi; ilab dipakai untuk menganyam barang anyaman yang lebih kasar atau untuk lapisan furing (ilab) sehelai tikar.

Untuk pengolahan daun pandan di Meester Cornelis [sekarang Jatinegara, Jakarta], dipakai alat-alat sebagai berikut:

a. Getokan, penggaris bambu atau kayu yang dipakai untuk mengebas daun-daun pandan segarb. Prѐtan atau penyirian sepotong kayu dalam bentuk garpu tala, panjang 35 cm, di bagian tengah

terbujur bersilang 3 atau 4 kawat tembaga/kuningan dengan jarak antar kawat kurang lebih 2 hingga 8 mm, tergantung ukuran lebar pita yang diinginkan. Alat ini dipakai untuk memperoleh pita-pita daun pandan dengan ukuran yang sama

c. Kerokan, sebilah bambu datar untuk mengerik daun menjadi licin

Pengolahan daun pandan biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

Di Jambi dikenal jenis-jenis pandan sebagai berikut: pandan singkir, pandan putih, pandan patah ujung, pandan tilau dan pandan mangkuang. Membelah daun pandan menjadi pita-pita dilakukan dengan alat jangko, sepotong kayu berbentuk segitiga dan pada salah satu sisinya dipasang pisau-pisau kecil pada jarak tertentu.

Membelah daun pandan menjadi pita (turis), di daerah Moko-moko dikerjakan dengan menggunakan sagar, sebilah pisau terbuat dari kayu aren.

Di Painan (dataran rendah Padang) dikenal pandan gѐgѐh yang juga dibelah menjadi lembar-lembar dengan bantuan alat sagar. Lembar-lembar ini kemudian dipukul dengan tongkat sehingga menjadi lentur, kemudian direbus, direndam, dan dijemur. Di Air Bangis ditemukan jenis-jenis pandan godang atau berduri, pandan putih, pandan singki.

1 Catatan dari H.J. Hofman, camat Bawean

20

Page 21: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di afdeeling Agam dikenal jenis: pandan, bangku dan garingging. Yang disebut pertama adalah jenis terbaik dan dibudidayakan di tanah berbatu. Pengolahan pandan di daerah ini adalah sebagai berikut:

Daun pandan dipotong (ditarik) dengan sebilah sabit, dan tulang tengah yang berduri dibuang (dilinging), sehingga mendapat 2 lembar. Daun-daun yang dibawa pulang kemudian dihancurkan (dilipe), direbus dalam sebuah kaleng (dirabus), sampai daun menjadi lemas dan lembek (lunas). Sekarang, duri-duri yang masih ada di sisi daun dibuang memakai sejenis pisau dari ijuk (saga), dan dengan alat inipun diiris-iris (mensiang) menjadi pita-pita (diturih). Lembaran irisan (mensiang) selama satu malam direndam di air dan diperberat dengan batu (diimpi dengan batu), kemudian dikeringkan (diampai). Kalau sudah kering, sekali lagi dibentangkan (dikakar) di lantai atau di tempat kering. Setelah 24 jam dikeringkan, pita-pita berpasangan empat diluruskan (disaut) sampai licin dengan sebilah bambu (penyaut) dan menjaga agar tidak patah.

Di Payahkumbuh, mengiris pandan menjadi pita-pita dinamakan mandidih, melincinkan adalah menyaut. Di onderafdeeling XX Kota (Singkarak) dikenal jenis-jenis pandan bana dan pandan singki. Alat saga juga disebut panurih di seluruh Padangse Bovenlanden [Padang Atas] adalah alat untuk mengiris daun pandan menjadi pita-pita kecil (manuri’eh), di Tanah Datar alat ini dikenal sebagai peridok (ridok = menarik pita).Di Solok (XIII dan IX Kota) dikenal pandan bengkuang, pandan gadang, dan pandan sunggu’eh. Melicinkan daun disebut disawi; bambu yang dipakai untuk melicinkan pita-pita adalah sebuah bilah sawi.

Di Lubuk Sikaping, pandan yang halus disebut pandan abu. Daun-daun dimasukkan sejenak ke api (disiut), dipanggang (didiang), atau direbus sebentar. Membuang duri disebut mendidis, yang dilakukan dengan sagar, sedangkan untuk mengiris (menjurai, mendidi’eh, atau manjiga) menjadi pita-pita tipis dilakukan dengan alat jangko. Selanjutnya, pita-pita dilicinkan dengan penyaut dari bambu, agar menjadi lemas (lunak), diikuti dengan tahap merendam, mengeringkan, dan sekali lagi dilicinkan dengan penyaut.

Di Mandailing Besar dan Batang Natal (karesidenan Tapanuli),dikenal jenis pandan kapur, pandan abu, pandan korbo, pandangaringging, pandan antunu. Cara pengolahan adalah sebagai berikut:Pertama-tama daun pandan dipanggang di atas api untuk melemaskan (mangalus-alus), lalu dibuang durinya, dibungkus dalam selembar kain katun, kemudian dengan sebuah alu dipukul-pukul agar menjadi lemas. Lembar-lembar direndam dalam air selama satu malam, dikeringkan dan dengan sebilah bambu dilicinkan (mangkias). Lembar-lembar sekarang bisa dipakai untuk menganyam dan dinamakan bayon atau bayuon (dari dasar kata bayu = menganyam).

21

Gambar 15 dan 16 Penjangat dan alat

Page 22: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di Aceh, pandan disebut sekѐh. Di sinipun daun-daun sekѐh direbus, sebelum diiris menjadi lembaran pita dengan serat kelapa (beuneu’eng tape) dan dilicinkan dengan bambu pipih (panyuku’et) sampai mengkilap.

Di kepulauan Riau, sebagaimana halnya di Tapanuli, dikenal pengolahan daun pandan yang dimulai dengan memanggangnya di atas api; mengiris menjadi pita-pita dilakukan dengan alat penjangat, yaitu sebuah alat dari bambu di mana dipasang beberapa pisau kecil yang dapat dipindah-pasangkan (disebut juga jangka atau jangko). Menyerut halus atau melicinkan dilakukan dengan sebilah bambu yang dinamakan pelorot. Selanjutnya dikenal jenis-jenis: pandan siah, pandan laut, pandan perak, pandak pudak, pandan jeleta, pandan jakas (jenis yang kasar yang dibagi lagi menjadi jakas seraya, jakas padi, dan jakas item).

Di Sulawesi Selatan, daun pandan dinamakan banga; jenis-jenis pandan adalah banga balaho, bangalola, panrang. Suku-suku Toraja di Sulawesi Tengah menyebut pandan, pondani atau yombori; jenis yang lain adalah tole, jenis yang paling dikenal adalah balaba dan didiri. Alat jangka yang disebut di atas, di antara orang Toraja dinamakan pondaresi. Di Bwool dikenal jenis bokung dan lomuli.Di Limboto, pandan dikenal sebagai lomuli. Untuk mengiris daun menjadi pita-pita, dipakai sejenis jangka yang dinamakan pongilito. Pandan di kepulauan Sangir dan Talaud disebut pondang. Di Wahaai dikenal tiga jenis pondan atau pandan, pandan duri (yang tumbuh di pantai, daon sulé dan daon seat (jenis yang kurang bermutu); dua jenis yang disebut terakhir ditemukan di dalam hutan. Di daerah Belu (Timor) pandan disebut hedan-tahan, di pulau Rote dinamakan henakdok, dan di Timor disebut ekamno’en.

Pandan jarang ditemukan di pulau Sumbawa, tetapi di pulau Bali dan Lombok pandan tumbuh subur.Di Bali, duri pada daun pandan dibuang dengan bantuan sejenis garpu kayu, yang sudah dipasang benang serat pohon aren (lihat Gbr.17).Pengirisan dengan jarak tertentu dilakukan dengan alat penyangkaan, sepotong kayu ber bentuk persegiempat yang diberi takik pada kedua sisi panjang. Kedalaman dari takik tersebut sama dengan lebarpita yang dikehendaki. Bagian lebar kayu dikelilingi oleh serat buah aren, yang dipakai untuk mengiris daun pandan sesuai keinginannya. Lembar-lembar dilicinkan dengan sebilah bambu (pengerotan), lalu dikeringkan selama dua hari dan dibiarkan semalam terkena embun.

II. MAKUANG ATAU MANGKUANG (Pandanus atrocarpus Griff, termasuk keluarga Pandanaceae), ditemukan di Tulang Bawang (distrik Lampung) dan merupakan jenis pandan dengan daun yang panjang dan lebar, berukuran kurang lebih panjang 5 meter dan lebar 10 sentimeter yang menjadi bahan yang baik untuk anyaman tikar. Setelah diolah, daun pandan ini menjadi lentur dan sangat kuat, berwarna kuning muda. Daun pucuk dari tumbuhan tua kurang lentur dan berukuran lebih pendek. Penampang lintang daun diperlihatkan di Gbr. 18.

22

Gambar 17. serat buah aren

Page 23: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian 5 sampai 6 meter. Bahan diolah seperti pandan, tetapi tidak dilicinkan dengan sebilah bambu. Untuk mencegah daun menjadi keriput dan menyusut, dedaunan pandan diikat datar setelah dipanen dari hutan.

Selanjutnya di kecamatan yang disebut di atas ini juga dikenal jenis saladangan, yang menyerupai pandan mangkuang dan hampir menghasilkan bahan yang sama. Di Palembang mangkuang dikenal sebagai bengkuang (jangan dikacaukan dengan bengkuang – Pachyrrhizus angulatus di Jawa dari keluarga Leguminoseae, yang merupakan umbi-umbian).

Di Rawas (Palembang), bengkuang dibudidayakan; daun bengkuang sebelum dijemur dianyam menjadi anyaman kasar (dibelembang), dan setelah tiga hari dibuka anyamannya (diboyar). Di distrik Ranau daun bengkuang juga disebut ladangan (lihat di atas). Tanaman lain yang sejenis adalah tanaman sepejam. Perihal ukuran tebal dan lebarnya, daun sepejam terletak di antara ukuran pandan biasa dan daun bengkuang. Untuk mendapatkan warna putih bersih, di kecamatan Ranau daun bengkuang sebelumnya direbus dulu.

Di Jambi, daun mengkuang dinamakan pandan mengkuang. Di Lubuk Sikaping, jenis bengkuang yang lebih kecil dikenal sebagai gringging utan.

Cara pengolahannya sama dengan daun pandan, hanya pada pengolahan gringging utan, tahap perendaman dalam air tidak perlu. Dikatakan bahwa bahan daun ini adalah bekinau, artinya tidak berubah rupa (tidak berubah warna).

Juga di Aceh, lembar-lembar mangkuang dipakai untuk membuat barang anyaman yang kecil dan halus. Prof. Dr. Snouck Hurgronje dalam bukunya “Het Gajoland en zijne bewooners” (Tanah Gayo dan Penduduknya) dalam catatan pada halaman 375 mengemukakan: “Di beberapa daerah, untuk keperluan agama (tikar mesjid, tikar sembahyang, tikar jenazah) orang lebih menyukai anyaman yang dibuat dengan bahan yang lain seperti bahan ilalang yang tumbuh secara liar di pedalaman, daripada tikar yang terbuat dari daun bengkuang, karena tumbuhan bengkuang ditanam orang, dan seringkali tidak diketahui apakah tikar bengkuang tersebut atau bagian dari tikar itu diperoleh dengan jalan halal. Bahan mentah ilalang tumbuh liar di rawa-rawa dan dapat diolah oleh siapa saja, sehingga penggunaan tikar ilalang yang dianyam sendiri, pasti tidak melanggar aturan agama.”

Juga di daerah Alas, daun bengkuang banyak digunakan. Dalam jumlah besar daun-daun ini dipotong dan sekaligus durinya dibuang. Mengirisnya menjadi pita-pita dilakukan dengan bantuan serat kelapa yang dipasang di antara dua jari tangan kanan. Kemudian beberapa kali daun-daun ditarik melewati sebilah kayu atau bambu untuk membuatnya menjadi lentur. Setelah itu dedaunan diikat menjadi satu, direbus di dalam panci berisi air, selama satu malam direndam di dalam sungai atau kali, barulah dikeringkan. Pada tahap ini warna sudah berubah menjadi putih bersih. Sebelum pita-pita ini bisa dipakai untuk menganyam, sekali lagi diulang pengolahan dengan sebilah bambu.

23

Gambar 18. Penampang silang dari daun mengkuang

Page 24: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di kepulauan Riau, mengkuang antara lain dipakai untuk menganyam tudung saji.

Di pulau Bangka, mengkuang banyak dipakai sebagai bahan menganyam. Daun mengkuang dibagi menjadi beberapa bagian yang dikenal sebagai: (a) carut, tulang daun tengah atau utama yang memiliki duri berkait, dibuang karena tidak bisa dipakai; (b) kedem, tulang daun yang terletak di samping kiri-kanan tulang tengah. Tulang daun ini tebal dan kuat, karena itu dipakai untuk menganyam keranjang mengangkut barang berat dan yang banyak mengalami gesekan; (c) duri atau unek, duri di pinggir daun, yang bentuknya hampir sama dengan duri carut, hanya lebih besar; duri inipun tidak dipakai; (d) bagian daun yang terletak di antara tulang daun, yang menghasilkan bahan anyaman yang terbaik.

Daun-daun yang banyak dipakai adalah yang terletak di bagian bawah batang pohon, dan dipanen selagi daun masih muda. Duri dibuang dengan cara mengirisnya dengan pisau tajam melawan arah (membuang duri). Selanjutnya ujung daun dibuang sedemikian rupa, sehingga sisa daun kira-kira memiliki lebar yang sama. Kemudian memasuki tahap dediang. Untuk ini dibuat sebuah aram-aram atau bagan setinggi 20 cm dengan lebar 1 meter, terdiri dari 2 tonggak yang ditusuk ke dalam tanah yang berfungsi untuk menopang kayu silang yang diletakkan di atasnya. Di bawah bagan dinyalakan api. Daun kemudian diletakkan di atas kayu silang dan dipanggang agar menjadi layu. Selanjutnya, daun diletakkan di bawah sepotong bambu yang ditekan dengan kaki ke tanah, lalu daunnya ditarik hingga menjadi licin yang disebut intus. Daun dilipat dua dan ditumbuk. Dengan bantuan janget (garpu yang memiliki pisau-pisau kecil dengan lebar tertentu), daun diiris-iris. Irisan ini yang diikat menjadi ikatan terdiri dari 10 irisan (kebet), ditumbuk, direndam dalam air, dan dikeringkan. Dengan bantuan sebuah pengidus, sebuah papan yang kedua sisinya miring, pita-pita sebanyak tiga pita sekaligus dilicinkan (ngidus).

Selanjutnya di Bangka juga dikenal lais (juga dinamakan jelutu atau jelutek – Pandanus lais Kurz), sejenis mengkuang. Tetapi daun lais yang baru dipotong lebih tua warnanya, dan bila diterawang di cahaya, terlihat adanya bintik-bintik berwarna gelap, sedangkan daun mengkuang berwarna hijau muda polos. Daun lais juga berukuran lebih pendek dan kurang lebar, dan menghasilkan lembar-lembar berwarna hijau kotor dan seratnya lebih kasar. Selain itu pita yang diolah lebih rentan dan bila dilipat seratnya cenderung patah. Tanaman lais juga tumbuh setinggi tumbuhan mengkuang. Anyaman lais, jauh lebih awet, karena itu orang Tionghoa di Bangka lebih senang memakai pita daun lais sebagai bahan anyaman. Penduduk asli lebih suka bahan mengkuang sebagai bahan anyaman. Persiapan daun lais menjadi pita anyaman, sama dengan persiapan daun mengkuang. Juga di pulau Kalimantan daun bengkuang dipakai sebagai bahan anyaman1.

1 F.S.A.de Clerq dalam bukunya “Nieuw Plantkundig Woordenboek van Nederlandsch Indiё” membedakan jenis pandan sebagai berikut: 1. Pandanus atrocarpus Griff (mengkuang atau lais); 2. Pandanus bifurcates Roxb (pandan natunu); 3. Panus caricosus Spreng (pandan sarengseng); 4. Pandanus ceramicus Rumph (pandan gunung); 5. Pandanus fascicularis Lam (pandan duri); 6. Pandanus heliocopus Kurz (pandan rasau);7. Pandanus Houlletii Carz (mengkuang hutan); 8 Pandanus humilis Rumph (pandan kecil); 9. Pandanus immerses Ridl (mengkuang air); 10. Pandanus enermis Roxb (jaksi); 11.Pandanus labyrinthicus Kurz (atunu); 12.Pandanus laevis Lour (pandan wangi); 13. Pandanus littoralis Jungh (pandan pasir); 14.Pandanus montanus Miq.(pandan gunung); Pandanus ornatus Kurz (pandan tikus); 16.Pandanus spurius Kurz (pandan laut gede); 17. Pandanus sylvestris Eumph (pandan utan).Bila untuk daun lais, de Clercq menyebutkan Pandanus atrocarpus Griff, tuan Filet menyebutnya: Pandanus lais Kurz.

24

Page 25: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

III. PALMA LONTAR, ENTAL ATAU SIWALAN (Borassus flabelliformis)

Jenis palma ini (di tempat lain di sebut Palmyra), dedaunannya dipakai sebagai bahan menganyam, terutama tumbuh subur di sebelah utara karesidenan Surabaya dan pulau Madura, di mana industri topi dan kotak anyaman terbuat dari daun lontar. Dedaunan yang muda cocok untuk anyaman keranjang dan kotak ringan. Ada sebuah peribahasa Tamil yang jika diterjemahkan berarti: “Ilmu sihir adalah ilmu termudah, sedangkan keranjang lontar adalah anyaman paling ringan” (baca: Berthold Seemann: “Die Palmen”)1.

Di Lamongan dedaunan yang tertua dipakai untuk menganyam. Setelah dijemur selama setengah jam (di pé), daun menjadi lemas dan lentur. Selanjutnya tulang daun yang panjang (a) dipotong menggunakan pisau, kemudian disobek sehingga memperoleh bagian daun berbentuk panah (Gbr.19). Setiap bagian ini kemudian disobek lagi mengikuti tulang daun yang pendek (b) menjadi dua pita. Sekarang pita satu per satu dipotong dan dijepit ujungnya (c) di dalam bambu yang dilipat (janget), di mana pita ditempatkan antara tekukan janget dan dua tanda takik yang saling menutupi.

Sekarang dengan tangan satu janget dengan takik ditempatkan pada bagian mata pisau yang tajam, yang ditancap di dalam tanah, dan dengan tangan lain pita daun ditarik ke belakang, sehingga tulang daun (a) terpotong: bahan sudah siap dianyam. Untuk membuat pita lebih kecil, setengah dari yang ada, dibuat dua takik lagi pada setengah ukuran di janget.

Di distrik Gunungkendeng di Surabaya dan Gresik, dibuat topi tropong dengan tiga dan enam titik atau sudut, yang akan dibahas di bagian lain buku ini. Untuk topi ini dipergunakan daun lontar muda (pupus). Setelah daun lontar dijemur selama satu hari, dikumpulkan dan disimpan di dalam rumah agar bisa menjadi lentur kembali. Baru keesokan harinya dedaunan lontar diiris atau dirobek menjadi pita selebar 1-3 mm. Pita lontar harus dianyam pada pagi atau malam hari, karena pada siang hari dedaunan ini terlalu kaku dan ketika dilicinkan seratnya mudah putus.

1 Istilah-istilah lokal untuk lontar di dalam buku F.S.A.de Clercq “Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё” adalah sebagai berikut: a’alowole (Bahasa KIsar); bungkhana kara-kara (bahasa Kangean); dirun (bahasa Timor); juntal (bahasa Sumbawa); duntal (Bahasa Sasak); duwe (Bahasa Sabu); dontal (Bahasa Bali); ental (Bahasa Bali-Jawa); etal (Bahasa Jawa); huk tuak (bahasa Roti); kanau atau konau (bahasa Alifuru-Tomini); kepuweduwe (bahasa Sabu); koli (Bahasa Sika Tanimbar); ko’o (Bahasa KIsar); lonta (bahasa Minangkabau); lontar (bahasa Melayu); Lontara (bahasa Bugis-Makasar); menggit (bahasa Sumba); no’e (Bahasa Timor); otal (Bahasa Batak); pengi menggit (bahasa Sumba); pohon tuak (bahasa Melayu-Timor); soko (bahasa Bima); sosonga (bahasa Roti); ta (Bahasa Bugis); ta’a (Bahasa Bima); ta’al (Bahasa Madura); tio (Bahasa Leti); tuak poking (Bahasa Solor); togo (Bahasa Sermata; wit lontar (Jawa).

25

Gambar 19. Daun lontar

Page 26: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di Madura, lontar selain dipakai untuk membuat kotak anyaman dipakai juga untuk anyaman tikar. Di daerah Pamekasan pita lontar dinamakan las elasan, dan daun lontar disebut daun tarebung. Mula-mula daun lontar dijemur selama satu hari, dan tulang daun (lenteh) dibuang dengan tangan (eroji) dan dengan janget membuat ukuran yang diinginkan. Janget terdiri dari tulang daun yang ditekuk dua (lenteh), di sisi kanan dan kiri masih terlihat daun; di dalam bagian daun dibuat takik, di mana sebuah pisau kecil (tadikenek) ditempatkan. Dengan menarik daun lontar kering (rakara) yang telah dibuang tulang daun utamanya, di antara janget tadikenek memotong daun menjadi pita lontar dengan lebar yang sama.

Di Sumatera ditemukan pohon lontar dalam jumlah terbatas. Di Tapanuli anyaman daun lontar dinamakan daun biru dan dipergunakan untuk menganyam tas-tas kecil.

Di Sulawesi Selatan, lontar dipergunakan dalam jumlah yang sangat besar. Pohon lontar dikenal dengan nama tala atau lekobalo. Dedaunan lontar mula-mula dibuang tulang daunnya dan dijemur dengan baik, setelah itu selama 2 atau 3 hari direndam dalam air, dan dikeringkan, lalu ditumpuk dan dipukul-pukul dengan sebilah kayu atau ditumbuk dengan alu.

Juga di pulau Timor daun lontar dipakai untuk anyaman. Di Belu, bahan anyaman ini dinamakan akadirun tahan, dalam Bahasa Rote dan Bahasa Timor tu’a (bandingkan kata Jawa tuak dan kata Madura toak untuk kata saguer, sari yang disadap dari pohon lontar)1.

Daun-daun gebang (pohon gebang adalah Corypha umbraculifera L. atau Corypha gebanga.Bl., yang di dalam Bahasa Melayu dinamakan gebang, dalam Bahasa Madura pocok, di Jawa Barat bogor), di Sampang (karesidenan Madura) dipakai untuk mengikat jaringan ikan, baring atau pajang, atau untuk menenun kaduk (tenun karung).

Biasanya daun gebang dikumpulkan, dibuang tulang daun dengan sebilah bambu lancip (cocoh), membiarkan daun berada di luar, dilicinkan dengan bambu, dan dijemur di bawah matahari yang kemudian disebut kobel (Bahasa Jawa agel). Selain untuk menganyam kaduk (Jawa kadut) dan mengikat jaringan ikan, agel dipakai untuk membuat tali. Di Tulungagung, dan terutama di Yogya, dipakai untuk menenun karung dan di zaman dahulu untuk menenun pakaian. Kadang-kadang agel dipakai untuk membuat tali ikat. Selanjutnya agel juga dipakai untuk membuat layar perahu. Tenunan agel dipakai untuk menutup serambi terbuka dan melindungi terhadap sinar matahari dan sekali-kali dipakai untuk membuat cita yang dipakai sebagai kasa nyamuk dan sebagai bahan baju (lihat: Rapport van den

1 Istilah-istilh lokal untuk lontar di dalam buku F.S.A.de Clercq “Nieuw Palntkundig Woordenboek of Nederlandsch Indiё” adalah sebagai berikut: a’alowole (Bahasa KIsar); bungkhana kara-kara (bahasa Kangean); dirun (bahasa Timor); juntal (bahasa Sumbawa); duntal (Bahasa Sasak); duwe (Bahasa Sabu); dontal (Bahasa Bali); ental (Bahasa Bali-Jawa); etal (Bahasa Jawa); huk tuak (bahasa Roti); kanau atau konau (bahasa Alifuru-Tomini); kepuweduwe (bahasa Sabu); koli (Bahasa Sika Tanimbar); ko’o (Bahasa KIsar); lonta (bahasa Minangkabau); lontar (bahasa Melayu); Lontara (bahasa Bugis-Makasar); menggit (bahasa Sumba); no’e (Bahasa Timor); otal (Bahasa Batak); pengi menggit (bahasa Sumba); pohon tuak (bahasa Melayu-Timor); soko (bahasa Bima); sosonga (bahasa Roti); ta (Bahasa Bugis); ta’a (Bahasa Bima); ta’al (Bahasa Madura); tio (Bahasa Leti); tuak poking (Bahasa Solor); togo (Bahasa Sermata; wit lontar (Jawa).

26

Page 27: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Direkteur van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) (Laporan Direktur Pendidikan, Dinas Kehormatan dan Kerajinan Tangan) tentang aturan kerajinan tradisional, jilid I, halaman 83).

Di Sulawesi Utara materi ini dinamakan silar (Bahasa Mongondow: silad). Di Tondano daun silar dipanen, bila bulan tidak nampak pada pagi hari. Menurut kepercayaan orang Minahasa, kalau bulan terlihat, maka daun silar mengandung banyak air dan tercemar insekta. Daun diiris menjadi pita lebar, selama setengah hari dimasak dalam air bercampur cuka, selama 3 hari dijemur di matahari, kemudian dicuci dalam campuran air dan sari kulit pohon lausip (lausip adalah buah langsep liar atau Baccaurea

Minahassaw Koord., termasuk keluarga Euphorbiaceae). Penambahan cairan lausip perlu supaya pada lembaran pita tidak timbul bercak-bercak. Agar tidak ada lipatan dalam pita-pita tersebut, agel digulung dalam keadaan basah di atas sebilah bambu seperti dilakukan juga dengan sahuma (batang anggrek) di pulau Sangir. Bila sudah kering maka warnanya putih bersih, pipih dan agak mengkilap. Setiap pita terdiri dari kulit luar berserat, dan kulit dalam yang berserat atau berspon. Untuk anyaman halus misalnya untuk tabung rokok, pita kulit bagian dalamnya dibuang. Kulit bagian dalam dapat diambil dengan ujung pisau dan dapat ditarik dengan tangan untuk mengupasnya dari kulit bagian luar. Untuk anyaman tabung cerutu, mula-mula dipakai pita yang belum dipisahkan untuk badan kotak, dan pita lebih halus yang sudah dipisahkan atau pita bagian luar dipakai untuk bagian pemisah dalam. Setiap pita anyam (sangakisi) terbentuk ketika mengiris (mangisi) daun-daun lebar. Untuk ini dipakai sebilah pisau dan pita rotan ganda yang dilipat dua (kaketa) yang menyusuri pinggir daun, agar memperoleh pita dengan lebar yang sama. Di Limboto, silar dikenal sebagai lilado, dan di kepulauan Banda dikenal sebagai koli1.

Daun dari pohon aren (Arenga Saccharifera)2, kelapa (terutama kelapa ijo, Cocos nucifera L., jenis viridis), dan

1 Nama lokal untuk gebang, disebutkan oleh F.S.A. de Clercq dalam bukunya “Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indiё” sebagai berikut: aka (Bahasa Bugis); burung (Bahasa Sumba); boro (Bahasa Sabu); gabang (Bahasa Dayak, Kalimantan Tenggara); gawang (bahasa Melayu-Timor); gebang (bahasa Bali, Jawad an Sunda); ibus (Bahasa Aceh, Batak, Sasak); ihusu (Bahasa Selayar); iwes (Bahasa Sumba); iwus (bahasa Sasak); katawu (Bahasa Solor); kuala ( Bahasa Makasar); laju (Bahasa Bima); lanu (Bahasa Alifuru-Tomini); lelangi (Bahasa Alifuru Tomini); lontar hutan (Bahasa Melayu); pucuk (bahasa Melayu-Jawa);pocok (Bahasa Madura); rombe (Bahasa Alifuru-Tomini); silar (Alifuru-Minahasa); sirada (bahasa Alifuru-Minahasa, Bantik); tiradu (Bahasa Gorontalo); tula (Bahasa Roti); to’u (Bahasa Bugis). 2 Tentang budidaya palma ini, K.F. Holle dalam esainya “De Aren Boom” (Pohon Aren) (Tijdschrift voor Nijverheid in N.I. jilid 23, tahun 1879), antara lain mengemukakan: “Bila menanam pohon aren muda dalam lubang yang lebar

27

Gambar 20. Daun palas dengan tangkainya

Page 28: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

pohon nipah juga dipakai untuk bahan anyaman. Batangnya dipisahkan dari daun, dan tanpa memerlukan pengolahan khusus daun siap untuk dipakai: menganyam keranjang (kisa), dan bungkusan ketupat. Seluruh daun kelapa juga bisa dipakai dan dianyam untuk pagar, penutup atap dst.

Di Kalimantan dikenal sejenis palma kipas dan disebut palas (Licuala)1; dedaunannya terbagi hingga mencapai tangkai daun. Dari tangkai daun hanyalah kulit di dalam lekukan atau alur yang dipakai, sehingga dari setiap tangkai daun hanya diperoleh satu pita saja, yang bagian dalamnya dibuang. Daun palas hanya dipakai untuk anyaman halus seperti misalnya keranjang-keranjang kecil. Di Kalimantan Tengah jenis palma ini disebut samit (baca esai Prof. Dr. A. W. Nieuwenhuis “Quer durch Borneo” (Menjelajahi Kalimantan) yang menjadi bahan dasar anyaman tikar.

Di Sulawesi untuk bahan anyaman juga dipakai dedaunan dari pohon kelapa, pohon aren, rumbia (Palem sagu) dan gebang. Yang disebut terakhir ini di Makasar disebut kuala, di dalam Bugis dikenal sebagai aka dan dalam bahasa Buton disebut mangka. Terutama di pulau Buton, mangka banyak tumbuh. Pita-pita yang diperoleh dari pucuk daun muda, setelah dibuang tulang daunnya (buku), direndam di dalam air dan kemudian dijemur. Lembaran yang diperoleh diiris menjadi pita-pita yang siap menjadi bahan anyaman.

Di suku Toraja di Sulawesi Tengah, gebang dikenal sebagai lelangi. Setelah kaum perempuan membuang tulang daun (ndape igeti) pita-pita lelangi digulung (ndapare), supaya tidak menciut. Tentang pengolahan materi ini, Tuan Alb C. Kruyt melaporkan yang berikut ini: Pita-pita ditarik melalui sebilah rotan yang dilipat (pontubu), yang diberi alur kecil. Dalam alur ini dipasang sebilah pisau, jadi waktu ditarik melalui pontubu, pita-pita dipotong dengan lebar daun yang sama. Pengirisan ini dinamakan mesai. Pita-pita tidak dimasak, kecuali bila pita-pita diinginkan berwarna putih bersih.

Daun gebang juga dipakai sebagai bahan anyaman di kepulauan Timor. Dalam Bahasa Rote bahan ini disebut tula polo (bandingkan dengan kata kuala dalam bahasa Makasar, dalam bahasa Timor tuneno’on, dalam bahasa Sumba rominggit).

Di pulau Sumbawa seperti juga di Sulawesi, bahan lontar banyak dipakai; di sana materi ini disebut jontar.

Di pulau Bali dan Lombok, lontar juga banyak tumbuh. Di Bali seperti juga di Jawa, disebut juga ental atau lontar. Dengan bantuan penyangkaan dan pengerotan bahan baku lontar juga diolah sama seperti pandan dan diiris menjadi pita-pita anyam (lihat di atas, bagian pandan).

C. JENIS RERUMPUTAN, ILALANG

dan dalamnya 2 – 3 kaki, dan tanah dicampur dengan baik, pohon cukup cahaya dan ruang yang cukup lebar, pohon ini dalam waktu dekat dapat disadap sarinya.” 1 De Clercq membedakan palas menjadi jenis-jenis sebagai berikut: 1. Licuala acutifida Mart. (palas tikus); 2 Licuala amplifrons Miq. (palas); Licuala bissula Miq (alosi bisu); 4. Licuala glabra Griff (palas gunung atau palas padi); 5.Licuala longipes Griff (palas batu); 6. Licuala pumila Bl. (wiru leutik); 7. Kicuaka oussila Becc (palas rawangi); 8. Ricuala Rumphii Bl. (biru); 9. Licuala spectabilis Miq (wiru gede).

28

Page 29: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

I. Mendon1 adalah nama untuk jenis rerumputan yang halus, kuat dan panjang (Fimbristylis efoliataSteud2 termasuk keluarga Cyperaceae) yang jarang ditemui di Jawa Barat dan Jawa Timur, tetapi banyak sekali tumbuh di Jawa Tengah dan lebih khusus dipakai untuk anyaman di daerah Bagelѐn (afdeeling Ledok). Di daerah ini, mendong dibudidayakan di tanah yang karena letaknya berbentuk cekung berada di dekat sumber air, sungai atau aliran air, dan dengan bantuan tegal dapat dibanjiri; sampai kedalaman cukup dalam, tanah bisa berlumpur. Ditempat lain, seperti di Ngawi, Blitar, Magetan di distrik Godean dari Sleman (Yogyakarta), mendong tumbuh liar.Di Ledok, mendong ditanam di daerah persawahan di mana airnya tidak menunjukkan warna kuning kecoklatan yang biasanya terjadi karena mengandung zat besi dan bersifat niyeng (dari kata tahyeng – tyeng = kotor). Budidaya mendong paling tepat dilakukan di sawah karena memerlukan pengawasan terus menerus, dan sebaiknya berada tidak jauh dari rumah si penanam mendong. Pembudidayaan mendong adalah sebagai berikut:Tanah yang dipilih untuk membudidayakan mendong dikelilingi dengan tegalan selebar 2 kaki dan setinggi 3 kaki, dan tanah diolah dengan bantuan pacul; setelah 8 atau 9 hari, tanah diberi pupuk kandang atau pupuk organik, biasanya ± 20 manvracht [beban yang bisa diangkut seorang laki-laki] untuk setiap 5 roeden persegi [ukuran kuno yang sudah tidak dipakai lagi; 1 roede untuk permukaan = 14,19m²], diolah dan dicampur dengan baik; setelah 8 atau 10 hari, diikuti dengan menggaruk ladang. Bila tahap ini tidak mungkin, petani dapat memakai hewan pengolah sawah. Setelah 5 atau 6 hari dimulai penanaman mendong. Bibit tanaman diambil dari kebun/ladang mendong berumur 6 hingga 9 tahun, yang seringkali diizinkan oleh si pemilik ladang mendong, karena tiap ladang sewaktu-waktu memerlukan penyiangan atau pengurangan dahan dan tanaman, agar tumbuh lebih subur. Untuk bibit biasanya dipilih tanaman yang utuh, tidak termakan oleh insektida gombong berwarna kuning kehijauan, dan sekaligus membersihkan tumbuhan liar (rumput mendongan), yang sangat mirip dengan mendong. Setelah bibit dipotong hingga ketinggian 1,5 kaki, mendong ditanam di ladang, setiap lubang berisi 4 hingga 5 batang tanaman, sedangkan jarak antar tanaman adalah 0,5 hingga 1 kaki persegi, ini disesuaikan dengan tujuan penanaman mendong: genjah (matang cepat) ataupun dalem (matang lama). Cara penanaman pertama menghasilkan ilalang mendong setinggi 3 – 4 kaki dan dapat dipanen setelah 6 hingga 7 bulan, sedangkan cara kedua menghasilkan mendong setinggi 4,5 – 5 kaki dan dapat dipanen setelah 8 – 9 bulan. Pembudidayaan genjah setelah 6 hingga 7 tahun dan dalem setelah 8 hingga 9 tahun harus diperbaharui. Budidaya mendong menghendaki pemeliharaan berkesinambungan, walaupun pekerjaannya tidak berat. Sekali sebulan perlu menyiangi rumputan liar dan harus dijaga agar debit air bersih cukup menutup tanah ladang. Hal ini memerlukan pengawasan intensif. Bila tumbuhan dirusak walang gombong, biasanya petani memasang beberapa dahan kering di setiap sudut ladang, yang bisa dihinggapi burung pemakan walang gombong. Ketika mendong yang berwarna hijau berubah menjadi warna kecoklatan dan mulai kehilangan sifat kelenturannya, waktu panen tiba3. Tanaman

1 Keterangan tentang mendong disampaikan oleh kontrolir [pengawas] Onland, berupa sebuah esai yang dikirim ke Panitia Pameran Dunia Paris pada tahun 1899, tetapi seluruhnya dilupakan. 2 “Encyclopaedie van Nederlansch Indiё” mengemukakan ”Untuk mendong biasanya dikatakan Fimbristylis efoliatus Steud (=F. globulosa Kunth), tetapi mungkin adalah Scirpus Sundanus Miq, Scirpus juncoides Roxb atau jenis lain yang ditemui di Jawa dari jenis Scirpus”.

3 Dalam esainya “De Cultuur der Mendong” (Budidaya Mendong) (Teysmannia jilid 6), Tuan A.G. Vorderman menulis:”Panen daun mendong terjadi setiap 8 hingga 10 bulan; tetapi seluruh tumbuhan harus diganti dan

29

Page 30: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

mendong dipotong dengan sebilah arit di dekat dasar batangnya (magas), kemudian setiap ikat digoyangkan untuk melepaskan tanah, batang mendong yang pendek dan rerumputan liar yang ikut terpotong. Kemudian hasil potongan ini digosok dengan abu, agar menjadi kering, alot dan berwarna putih. Ilalang mendong dijemur di bawah sinar matahari, diletakkan di tegalan sekeliling sawah, pada musim panas selama 2 hingga 3 hari, selama musim hujan selama 4 hingga 5 hari, sedangkan pada malam hari dibawa masuk ke rumah. Memanen mendong hanya boleh dilakukan sebanyak mendong yang bisa ditangani per hari, kalau tidak ilalang yang tidak selesai diolah akan menjadi kering dan rentan.Tahap pengolahan selanjutnya adalah membuang dedaunan yang terletak di bagian bawah batang dan dinamakan nglameni. Setelah daun dipotong, maka ilalang diikat menjadi ikatan yang terdiri dari kurang lebih 400 batang (nguntingi) dan dalam bentuk ini dipergunakan untuk menganyam.Besarnya panen, untuk budidaya dalem berukuran 5 roede [1 roede=3,6787meter] menghasilkan 142 ikatan, yang dapat dijual dengan harga f.1.50. sedangkan panen genjah menghasilkan 250 ikatan seharga f 1.25. Satu ladang dapat menghasilkan panen sebanyak 12 kali.Tanaman mendong tumbuh di Ledok pada ketinggian kurang lebih 800 hingga 2800 kaki di atas permukaan laut, kebanyakan berada di daerah Sapuran, di mana bahan ditanam khusus untuk penganyaman tikar. Setelah kering, ilalang dicuci dalam air.Di Blitar mendong dipotong ketika masih hijau, diampelas dengan pasir untuk menghilangkan warna hijau, dijemur dan akhirnya dipukul menjadi pipih dengan alu. Untuk membuatnya menjadi pipih, di Ngawi dipakai sebatang bambu. Di Magelang, ilalang digosok dulu dengan abu kayu, dijemur kemudian dipukul-pukul.Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa budidaya mendong sangatlah sederhana.Di Yogyakarta, jenis rerumputan ini diolah menggunakan alu dan dihaluskan dengan sebilah pisau, sehingga memperoleh batang-batang yang cenderung bulat berukuran diameter 3 hingga 4 mm. yang dipipihkan selagi dianyam, sehingga memperoleh lebar 4 – 5 mm. dan panjang 65-70 cm. Satu ikat ilalang mendong di Yogyakarta dapat dijual seharga 8 hingga 10 sen.

O.W. Meyer dalam tulisannya berjudul “De Inlandsche Kunstnijverheid in de residentie Kedu” (Keranjinan Tangan di Karesidenan Kedu), berbicara mengenai ‘menumbuk’, tetapi menurut beliau, mungkin salah tafsir, yang dimaksud adalah menumbuk tikar setelah dianyam.

II. LINGI atau welingi1, adalah sejenis ilalang dengan batang berbentuk segitiga yang tumbuh di

diperbaharui setiap 3 tahun, yang dilakukan dengan mencabut tanaman, diambil bibit-bibit muda (anak tanaman) untuk ditanam kembali di dalam air. Perendaman dalam air merupakan sesuatu yang mutlak.

30

Page 31: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

daerah lembab atau di antara tanaman padi. Welingi terutama tumbuh di daerah Jawa Tengah (di Semarang, Yogyakarta dan Pekalongan), dipakai sebagai bahan anyaman tikar dan tenunan karung. Dengan sebilah pisau rumput, ilalang dipotong dan dijemur selama 4 hari. Kemudian bagian selaput di batangnya dikerok dengan bambu yang agak tumpul (bilah), sehingga ilalang cukup lemas dan lentur agar bisa dipakai untuk menganyam. Di sana-sini welingi diiris terlebih dahulu menjadi lembaran pita, atau dirobek dengan tangan.Di Pekalongan, welingi setelah dipanen diikat kemudian dipotong untuk mendapatkan ukuran yang sama; kemudian batang dibelah menjadi dua dengan sebilah pisau tajam (ani-ani) yang diikat pada ujung bambu. Setelah dijemur selama 3 hingga 5 hari, batang-batang dikerik dengan sebilah bambu yang tajam (bilah). Di Kudus, materi ini dipukul menjadi pipih dengan sejenis palu kayu. Di Pekalongan dikenal jenis yang dinamakan got, sejenis rumput yang sangat mirip dengan welingi. Di Demak juga dipakai jenis kedot (Cyperus malaccensis Lam, tergolong keluarga Cyperaceae) batangnya juga berbentuk segitiga, dan jenis embet dengan pita yang kecil dan pipih, yang tidak diiris atau dirobek tetapi dipakai sebagai bahan anyaman dalam bentuk utuh. Di Sidoharjo dan di Batang dikenal jenis suketdem, sejenis rumput yang mirip welingi dan diolah dengan cara yang sama. Di Grobogan ditemukan jenis rumput yang juga cocok dipakai sebagai bahan anyaman yang disebut rumput děkěng (Eleocharis tuberosa Schult, tergolong keluarga Cyperaceae).Jenis suketdem, yang dapat mencapai ketinggian 1,25m. diambil dari pinggir sungai; bagian tulang tengah batang dibuang dengan bantuan pisau bambu, dan dijemur selama 3 hari di bawah sinar matahari. Kemudian batang-batang dibawa ke dalam rumah untuk membuatnya lebih lentur, dan dipipihkan dengan sebatang bambu, dan segera dapat dipergunakan sebagai bahan menganyam, antara lain untuk tikar dan tabung rokok.Di Kudus, plumpung atau prumpung (Eulalia japonica Trin. = Miscanthus cinensis Anderss, tergolong keluarga Graminaea), tanaman yang tumbuh di sawah-sawah. Batang-batang dari tanaman ini dipukul menjadi pipih dengan palu, dan dibagi menjadi pita-pita yang setelah dijemur dan dikerik siap untuk dianyam.Sejenis rumput yang ditemukan di Kebumen, memiliki batang segitiga dan dinamakan suket welulang (Frimbristyles globulosa Kunth, tergolong keluarga Cyperaceae). Di Banyumas jenis ini dinamakan rumput celulang1. Mula-mula batang dipotong dan dijemur, kemudian dibelah dua dengan kuku jari. Kedua belah ini dibuang bagian dalamnya (sumsum batang kering) dengan pisau tumpul, kemudian dengan bantuan sebuah jarum diiris menjadi 5 atau 7 pita. Pita dengan lebar yang sama dikumpulkan dan yang kurang bagus dibuang. Harga segenggam suket welulang adalah f.0,25. Pita yang siap untuk dianyam tampak mengkilap seperti sutera dan terutama dipakai untuk menganyam tabung rokok halus.

1 Menurut F.S.A. de Clercq dalam “Nieuw Plantkundig Woordenboek”, lingi atau welingi adalah Cyperus elatus L. termasuk keluarga Cyperaceae. Di bagian lain di buku yang sama, jenis rerumputan ini dinamakan Scirpus Sundanus Miq (=Scirpus muczonatus L. yang termasuk keluarga Cyperaceae) dan juga sebagai Typha javanica Schnitz, termasuk keluarga Typhaceae. Tuan Filet menyebut rerumputan ini Rypha angustifolia Bl.1 Menurut F.S.A. de Clercq ”Nieuw Plantkundig Woordenboek van Ned.Indiё”, nama lokal adalah sebagai berikut: lulangan (Bahasa Jawa-ngoko); rumput sandang (Bahasa Melayu); rumput cucalan (Bahasa Jawa Kromo); rumput wecucalan (Bahasa Jawa, Kromo); suket welulangan (Bahasa Jawa Ngoko); wawalingiyen leutik (Bahasa Sunda).

31

Page 32: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

III. RUMBAI (Sceleria caricina Benth, tergolong keluarga Cypercereae) adalah sejenis rerumputan yang mirip alang-alang, dan tumbuh di daerah yang berawa-rawa. Di daerah Lampung, jenis ini disebut juga pi’es, daunnya berukuran panjang 2,70m, mula-mula dibelah dua, kemudian dijemur di sinar matahari selama 4 hari, lalu pingir daun yang berduri dibuang. Untuk memperoleh kehalusan dan kelenturan, daun digores dengan sebilah bambu. Di Palembang bahan ini juga dikenal dan diambil dari hutan, dan dibuang pinggir berduri (ditrinting) lalu dijemur. Akhirnya daun demi daun diolah dengan bambu (dikikis).Di Jambi, rumbai dibudidayakan di rawa-rawa (paya). Bibit baru yang baru tumbuh di samping induknya dipisahkan dan ditanam di rawa. Setelah kurang lebih 5 tahun, daunnya dapat dipanen untuk menganyam, dan seringkali dapat mencapai panjang 3,60 m. Setelah dipotong, di buang tulang daun tengah, lembar dedaunan dijemur selama 3 hari di matahari, setelah sebelumnya diiris tipis ( bejangko). Rumbai tumbuh juga di dataran tinggi Padang.

IV. PURUN (Fimbristylis diphylla Vahl, tergolong keluarga Cyperaceae). Di daerah Tulang Bawang (Lampung), jenis rumput ini disebut purun, yang sangat mirip dengan mendong yang sudah disebut di atas1. Batang yang berongga memiliki panjang 1,80m. Ada 2 jenis: purun cucuk atau cocok dan purun benar; yang pertama lebih besar dari jenis kedua.Purun, setelah ditaburi abu - sebagai alat pemutih, dijemur di bawah sinar matahari; kemudian bahannya dikikis, ditarik dan diolah dengan sebatang bambu, untuk menjadi licin dan lentur, lalu diikat dan dipukul-pukul dengan alu. Di Rejang dan Lebong (Palembang), ilalang purun banyak dipakai sebagai bahan anyaman. Dapat dikatakan purun ditemukan di seluruh wilayah Palembang. Purun cocok juga tumbuh di Komering Ilir dan Blidah.Di kecamatan Ranau dikenal juga bemban burung yang tumbuh setinggi tanaman purun, tetapi batangnya tidak berongga. Hanya kulit batang yang dipakai dan menghasilkan bahan anyaman bermutu halus dan kuat.Di dataran rendah Padang, dipakai batang mansiang (Cyperus procerus Rottb., tergolong keluarga Cyperaceae), kurang lebih seperti puru. Ilalang lain di daerah ini adalah agamkumbuh (Scirpus mucronatus, L. tergolong keluarga Cyperaceae) dan jenis baik, kedua jenis ini memiliki batang segitiga (basandieng tiga), kemudian mansiang mancit, mansiang buluh atau bihau dan mansiang agam, yang memiliki batang yang berongga dan batang bulat (bagaung dan bule).Ilalang (terutama kumbuh) di Agam dibudidayakan di rawa-rawa atau rawang (Payahkumbuh = rawa ilalang) dan di rawa-sawah (sawah=banca). Dalam waktu 4 bulan, kumbuh mencapai kematangannya. Agar bisa dipakai sebagai bahan anyaman, batangnya dipotong (diturih), dijemur, digelar di dalam rumah (dikakar) dan dengan sebilah bambu dilicinkan (disaut).Di Payahkumbuh, purun

1 Istilah lokal, disebut oleh F.S.A. Clercq sebagai berikut: purun (Bahasa Melayu); purin (bahasa Minangkabau); rumput purun (Bahasa Melayu); wawalingyen tali (Bahasa Sunda); mendong (Bahasa Jawa); wurut in talun (Alifuru,Minahasa). Tuan Filet menyebut purun sebagai: Lepironia mucronata Rich, tergolong keluarga Cyperaceae.

32

Gambar 22. Panampang silang mansiang

Page 33: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

juga terkenal; untuk istilah kumbuh dipakai istilah kumbut, sedang istilah lai dipakai untuk menyebut ilalang yang lebih halus,Di Puar Datar, dikenal ilalang anyam seperti kumbuh (dengan batang berbentuk segitiga dan bigau (Xyris indica L., termasuk keluarga Xyridaceae dengan batang bulat), di daerah inipun dikenal lai.

Di XX Kota (Singkarak) dikenal jenis mansiang sebagai berikut: mansiang payo, mansiang lai dan mansiang darik. Mansiang tumbuh subur di sawah rawa-rawa (sawah rawang). Lembar mansiang diolah menjadi bahan anyam seperti pita daun pandan.

Di Lubuk Sikaping dikenal ilalang: mansiang kaci, mansiang gadang, tobi atau bigau, kumbuh buku-buku, agam, rumput sarut atau puruan. Di Mandailing Besar dan Batang Natal (karesidenanTapanuli) ada rumput dengan batang berbentuk segitiga bernama loging. Biasanya loging dicabut dari tanah dan diikat baru di rumah disortir (seikat loging dengan ukuran sama dinamakan satu ntum). Selama satu jam, batang dibiarkan terkena embun, dipipihkan dan dilicinkan dengan cara menarik pita tersebut antara jari dan sebilah bambu. Basiang (=mansiang) juga mempunyai batang berbentuk segitiga. Dari batang tersebut hanya sudut-sudut batang dipakai; sumsum batang yang berbentuk spon dibuang. Jadi dari setiap batang diperoleh 3 pita. Pita-pita ini diikat pada ujungnya dan dijemur di matahari; sebelum dianyam diletakkan di embun, dilicinkan dan digosok menjadi mengkilap seperti telah dijelaskan di atas.

Bigo atau bigau adalah sejenis ilalang, berongga, tanpa sumsum, dan batangnya berbentuk bulat. Tie adalah jenis rumput dengan batang persegi empat yang keras. Pengolahan rumput ini menjadi pita anyaman sama dengan pengolahan loging.

Di pulau Nias mansiang disebut koloyeumen.

Di Aceh, rumput berbatang segitiga dinamakan ngom (di negeri Gayo: berndong); pengolahannya sama, menjemur, mengerik halus di mana sumsumnya tidak dipakai. Jenis ngom yang lebih kecil adalah baron dan cucu’et yang juga tumbuh di rawa-rawa.

Di negeri Gayo, ilalang ini dinamakan beldöm dan benyѐt (tetapi kedua jenis ini tidak dipakai di daerah Gayo Luös) dan cike, ilalang yang lebih halus yang dipakai untuk warna merahnya. Di negeri Alas ilalang yang dipakai untuk membuat motif anyaman, banyak tumbuh di sana dan dinamakan daun keretan. Jenis ilalang ini memiliki warna gelap setelah dijemur. Untuk mendapat warna yang lebih hitam, ilalang ini diiris dulu menjadi pita-pita kemudian dimasak bersama dengan dedaunan dan batang daun dayang yang sudah dihaluskan. Untuk mendapatkan warna yang lebih intens dan lebih mengkilap, lembaran pita dibenamkan di dalam lumpur selama 24 jam, setelah itu baru dicuci dan dijemur.

Di pulau Bangka dikenal tanaman purun dan pucut, kedua-duanya dengan batang berbentuk segitiga.

Di Kalimantan dikenal purun tikus dan purun danau. Pengolahan jenis ini adalah sebagai berikut: Seikat ilalang purun ditumbuk dengan alu terbuat dari kayu besi. Purun diikat menjadi spiral dengan serat bambu dan ditumbuk dari bawah hingga atas menjadi pipih. Kemudian prosedur ini diulangi lagi sebanyak 3 atau 4 kali, barulah purun siap sebagai bahan anyaman. Menumbuk purun bermaksud untuk menghilangkan tulang daun.

33

Page 34: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Di tempat lain, purun masih harus ditebar dengan abu, dibungkus dalam kulit pohon waru (Hibiscus tiliaceus L. termasuk keluarga Malvaceae) dan ditumbuk.

Di Sulawesi, ilalang jenis ini dipakai di Sulawesi Tengah dan Utara sebagai bahan anyaman. Di Sulawesi Selatan purun tidak dikenal. Orang Toraja memiliki jenis tiu (Cyperus Malaccesensis Lam), sejenis ilalang yang tumbuh di rawa-rawa dan danau dengan batang seperti spons, yang disobek dalam 3 bagian (banyak persamaan dengan mansiang, yang telah dijelaskan di atas).

Di Bwool, dibedakan purun dengan batang bulat dari yang berbentuk segitiga. Yang pertama dinamakan pea-pea, yang kedua tikogu. Di Minahasa dipakai berbagai jenis rerumputan sebagai bahan anyaman, seperti misalnya werot, tekek, pinaondong, kaingas daqn lain sebagainya yang tumbuh di danau-danau besar Tondano dan Tombatu.

Menurut Dr. Koorders, werot adalah sejenis Cyperus, tumbuh di sepanjang rawa-rawa air tawar dan sepanjang tepi sungai, kebanyakan setengah terendam di air, dengan batang lurus tanpa cabang, berbentuk segitiga tajam yang memiliki tiga daun di ujung. Batangnya memiliki saluran udara dan karena itu bersifat seperti cendawan. Selanjutnya, werot dibagi menjadi tekěk (jenis yang halus), werot (jenis sedang), dan pinaondong (jenis kasar). Di Tombatu salah satu jenis ini dinamakan kaingas, sedangkan di Tondano, jenis yang halus dikenal sebagai ayaměn. Yang lain, jenis Cyperus, yang juga tumbuh di pinggir danau memiliki batang bulat; yang dipakai untuk menganyam tikar berwarna adalah tehѐ (Bahasa Tombatu); titimbihen (Bahasa Tombatu); wilirang (Bahasa Tondano); pepeselěn (Bahasa Tondano).

Pengolahan rerumputan ini sederhana: menjemur dan memipihkan. Rumput yang tumbuh di tepi danau Limboto adalah: tiohu, loyoto dan tintilo. Rumput pѐja dengan batang berbentuk bayonet tumbuh di muara sungai-sungai.

D. JENIS-JENIS KULIT POHON

I. Rembulung (Bahasa Jawa) atau kirai (Bahasa Sunda). Rembulung atau kirai (Metroxylon Sagus

Rottb.) adalah sejenis palma (palma sagu). Untuk bahan anyaman dipergunakan batang daun utama dan yang diambil adalah kulit pohon yang bersifat keras seperti tanduk, lentur, licin dan berwarna coklat. Di tempat lain bahan ini disebut juga bamban. Di antara orang Toraja dikenal sebagai bomba. Di Ambon sejenis bamban adalah tapinawan. Batang daun di Tulungagung dinamakan gedobos; di Kudus, rembulung lebih dikenal dengan nama resula. Dalam esai “Sagoe en Sagoepalmen” (Palma sagu dan Sagu) (Bulletin Van het Koloniaal Museum No.44), dibedakan jenis berikut ini:

34

Page 35: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Metroxylon Rumphuii, pohon sagu sesungguh-nya dari Maluku; Metroxylon sagus atau Metroxylon leave, yang lebih banyak tersebar di Nusantara; Metroxylon sylvestre, pohon sagu liar dari Maluku; Metroxylon longispinum, salah satu jenis yang paling banyak menghasilkan sagu;Metroxylon filare, daun muda dipakai untuk bahan menenun; Metroxylon elatum, kayunya yang keras dipakai sebagai kayu bangunan. Di Sukapura, untuk menganyam tikar bisa dibeli 100 pita kirai dengan panjang 270 cm seharga f 0,25. Karena rentannya bahan ini terutama di bagian tengah atau dari sumsumnya, tikar jenis ini tidak terlalu awet jika dibandingkan misalnya dengan tikar yang terbuat dari rotan. Kulit kirai atau rembulung lebih mengkilap dan berwarna kecoklatan.Juga di daerah Tangerang kirai dipakai. Di distrik Kramatbatu, daerah Anyer pengolahan kirai adalah sebagai berikut: (di bagian lain cara pengolahan pada dasarnya sama). Batang daun tua dipotong dengan sebilah arit, dan sekaligus menoreh ujung batangnya sedalam kurang lebih 1 cm. Kulit yang licin dengan mudahnya dapat disobek dengan panjang kurang lebih 180 cm. Ini dinamakan disebet dan sebenarnya merupakan pengupasan kulit dari batang daunnya (papah)1. Untuk melicinkan bagian dalam pita yang diperoleh, dan untuk menggerus di lebar tertentu, pita ditarik di antarai alat yang disebut pagot (pisau raut) dan arit (lihat b dan c di Gbr.23). Potongan kayu kurang lebih 1 meter tingginya dan diikat pada sebuah pohon. Untuk menjamin kayu dan pohon tidak bergerak, dipakai sejenis baji. Nama teknis potongan kayu adalah bagbagan; pangot yang ditancapkan pada kayu dinamakan penjangetan dan arit bernama damping.Bila ingin membuat tikar polos, pita-pita dijemur selama beberapa hari, warnanya adalah kuning muda; bila tikarnya menjadi tua, warnanya berubah menjadi coklat. Di Sumatra Tengah nama resmi rumbia adalah rembia atau rumbio. Bamban dan sikai tumbuh di hutan-hutan Agam. Pengolahan adalah sebagai berikut: kulit pohon dibelah (dibalah) dan diketuk-ketuk (di toko’) dengan sebilah kayu (panoko) untuk membuat pita menjadi lebih lentur. Juga di Lubuk Sikaping, bamban dipakai sebagai bahan anyaman.Bamban juga dikenal di Kalimantan, terutama di daerah pantai. Di sini pengolahan adalah sebagai berikut: Setelah dipotong, kulit pohon dibelah lagi menjadi kulit bagian luar dan dalam. Kulit luar direndam, dijemur dan dapat disimpan untuk waktu yang lama. Kulit bagian dalam harus digantung di embun selama semalam, dan keesokan harinya langsung bisa dipakai untuk menganyam. Bagian luar kulit pohon disebut ilu, bagian dalam disebut ubak. Untuk

1 Dari setiap daun diiris 8 pita panjang dan ramping untuk anyaman tikar. Dan setiap dahan menghasilkan bahan anyaman tikar seharga f 1.- hingga f 1,5 setiap tahunnya. Setelah kulit bagian luar dibuang (gabagaba) yang tersisa dapat dipakai untuk membuat bermacam kotak (dari “Een Sagoeboom op Java” (Pohon Sagu di Jawa) (Sagus laevis Rumph) ditulis oleh R.H.C.C. Scheffer dan K.F.Holle di dalam Tijdschrift voor Nijverheid in Ned. Indiё, tahun 1873).

35

Gambar 24. Jangatan

Page 36: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

mendapat ukuran pita yang sama, pita-pita ditarik melewati lubang sempit dari sebuah kaleng (jangatan).

Dari esai “Sagoe en Sagoepalmen” (Bulletin van het Koloniaal Museum di Haarlem No. 44) dikutip: “Tidak mungkin kami dapat membatasi dengan pasti daerah berbagai jenis palma sagu yang ada, karena menurut orang yang melakukan perjalanan, jenis-jenis tersebut tidak dibedakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pusat penyebaran pohon sagu terletak di kepulauan Maluku, terutama di Halmahera, Seram dan Buru, juga di Papua, di mana palem sagu banyak tumbuh di hutan-hutan. Dari sana sagu berkembang ke bagian utara hingga ke Mindanao, ke sebelah timur ke pulau Vaniko (kepulauan St. Cruz, terkenal karena karamnya kapal ‘La Perouse’), ke selatan hingga kepulauan Kei dan Aru, Damme dan Timor, ke bagian barat lewat Sulawesi, terutama tumbuh di pulau-pulau semenanjung di sebelah timur, hingga Kalimantan, kepulauan Natuna dan Riau Lingga, Sumatra dan pulau-pulau sepanjang pantai barat Sumatra. Selanjutnya hanya sebagai tanaman budaya ke semenanjung Malaysia dan Thailand Selatan, dan juga ke pulau Jawa. Perkembangan ke bagian timur terlihat Metroxylon Rumphii mendominasi pertumbuhan Metroxylon sagus”1. Tidak di semua daerah palma sagu yang disebut di atas dikenal penganyaman dengan kulit kayu.

II. Lakanan, lengkanang, atau rengkanang, kulit kayu pohon puar atau poar (di Jawa Barat, honje), sejenis perdu (Amomum sp.div., termasuk keluarga Scitamineae).Di wilayah Lampung, dari batang diambil kulitnya, dikeringkan di atas api, untuk melepaskan lapisan dari batang. Lapisan-lapisan ini digulung, dan selama 2 hari 2 malam direndam dalam air dan dilicinkan dengan sebilah bambu.

Di Palembang, lengkanang terkenal sebagai bahan anyaman. Di Komering Hulu, kulit kayu direndam dalam air selama 24 jam dan kemudian dijemur. Ketika hampir kering, bahan dibelah dan lapisan-lapisan disobek dengan tangan, yang kemudian dijemur di bawah sinar matahari, setelah kering, disimpan sampai perlu dipakai. Untuk pengolahan selanjutnya, lapisan-lapisan direndam lagi sehingga mekar dan dapat diiris menurut lebar yang diinginkan.

III. Pendilau, handilau atau holimau (Commersonia echinata Forst, tergolong keluarga Sterculiaceae), adalah pohon yang tumbuh di Palembang dan bagian dalam kulit kayu dipakai sebagai bahan anyaman. Di Palembang juga dikenal kulit kayu pohon baru atau waru (Hibiscus tiliaceus L. yang tergolong keluarga Malvaceae). Di Lubuk Sikaping dikenal kulit kayu andilau, kulit kayu baru, dan kulit kayu telisir dan kulit batang kayu tarok (di Jawa, tarok disebut benda, adalah pohon sukun liar Artocarpus Blumei Trecul). Juga di Tapanuli anidilo dipakai sebagai bahan anyaman. Dari andilio yang dipakai adalah kulit kayunya.

1 Dalam tulisan yang dikutip di atas, muncul dua nama lokal palma sagu: kersula, kersulo, rembulung (Bahasa Jawa); ambalung, embalung atau ambulan (Bahasa Banten); kirai (Bahasa Sunda); rembia, rembio atau rumbia (Bahasa Sumatra); hembia (Bahasa Sangir Talaud); huda (Bahasa Halmahera); tawasen atau tewasen (bahasa Alifuru-Menado); labia (Bahasa Gorontalo); bi atau bariam ( Bahasa Papua); bia (Bahasa Buru); maria (Bahasa Aceh); hapia atau lepia ( Bahasa Alifuru-Ambon); bai dan suat (Bahasa Ambon, Gorontalo); kamriu (Bahasa Ambon-Wetar); manga’a (Bahasa Ambon Kei); piѐone (Bahasa Ambon, Kisar); rabia (Bahasa Ambon-Aru); rotnia (bahasa Ambon-Sermata); e’era (Bahasa Ambon-Ternate).

36

Page 37: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

Bagian luar berwarna coklat yang dikerok, sehingga hanya tertinggal serat, yang kemudian diiris menjadi pita-pita menurut lebar yang dikehendaki dan segera dapat digunakan.

Di Mandailing Kecil (Tapanuli), dikenal pohon sukun liar tetapi dengan nama tangki (atau takki). Ketika masih muda, dan batangnya sebesar pergelangan tangan dan disebut uwalang; kulit kayunya dipakai untuk membuat tali. Kulit kayu dari batang yang besar dipakai untuk bahan anyaman. Bila batangnya sudah berukuran lebih besar dari 3 dm, pohon tersebut disebut torop. Dari kulit kayu torop, dahulu dibuat selimut, dengan memukul-mukul kulit kayu dengan palu terbuat dari tanduk kerbau. Dewasa ini kulit kayu ini dipergunakan untuk membuat tabung padi.

Tangki setelah pohonnya dipotong, dan diambil kulit kayunya yang dengan mudah terlepas, kulitnya dibuang, kemudian kulit kayunya dipukul-pukul sehingga menjadi lentur, setelah itu dijemur dan diiris menjadi pita-pita. Dari pita dan rotan dibuat anyaman tikar (bide tangka).

Di Padang Lawas, untuk pengolahan bahan ini dikenal dua cara: 1) Setelah dipukul-pukul (nitipal), kulitnya dijemur, kemudian direndam selama 5 menit di dalam air, dan dilipat (memanjang berukuran 0,5 meter), di letakkan antara 2 papan untuk diperas dan akhirnya diiris dengan pisau tajam menjadi pita-pita berukuran kurang lebih lebar 2 cm. 2) setelah dipukul-pukul, kulit kayu direndam di dalam bak dengan air mengalir selama satu malam, kemudian dikeringkan, dijemur dan diiris menjadi pita.

IV. Kulit kayu tumbuhan salak (Zalacca edulis, tergolong keluarga Palmae), di Dataran Rendah Padang dipakai sebagai bahan anyaman. Kulit kayu ini tidak memerlukan pengolahan; kulit kayunya dikupas dan dijemur. Di Bangka, juga dipakai kulit kayu dari pias atau kapulaga, kecombrang atau honje (Amomum sp.div tergolong keluarga Scitamineae).

V. Kulit batang pisang (pisang kalѐ, pisang bamban atau pisang rantau gadang) (Musa sp.div. tergolong keluarga Musaceae). Batang kulit yang mengandung senyawa tanin, disobek (salisieh) menjadi pita yang berwarna hitam, dan kadang-kadang direndam di dalam lumpur untuk memperoleh warna hitam yang lebih pekat. Pita-pita hitam ini dipakai di Singkarak sebagai pita hias dikombinasi dengan bahan lain seperti pandan atau mansiang.

Juga di negeri Gayo, cara ini dipergunakan, pita kulit pisang yang hitam dinamakan sinah dan di Gayo Lu’os dinamakan cinah (Lihat “Het Gajoland en zijne bewooners” oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, hlm. 376). Pita berwarna hitam ini selalu dipakai sebagai anyaman tambahan (manyisiken), dengan bantuan sebuah jarum yang terbuat dari kawat besi yang halus. Untuk membuat pita hitam tambahan, di Bangka dipakai kulit kerpuak, sejenis tanaman yang cabang-cabang kayunya yang direndam selama 3 x 24 jam, yang menyebabkan kulit kayu yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi hitam pekat. Kemudian cabang kayu hitam ini dipanggang di atas api, dan dibersihkan atau diusap/dilap arangnya. Kulit kayu kemudian ditarik dan dikupas dari tangkainya dan diiris menjadi pita.

VI. Pakis (tergolong keluarga Felicis). Tumbuhan ini adalah sejenis pakis, yang kulit batangnya dipakai sebagai bahan anyaman di daerah Pasirian (Lumajang). Ada jenis pakissata yang menghasilkan pita warna kuning, sedangkan pakis kurung menghasilkan pita hitam. Pita yang tersebut terakhir terdapat di

37

Page 38: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

daerah Tengger. Batang pakissata dibagi menjadi tiga, dan dijemur selama 5 hari; kemudian setiap potong dibelah lagi menjadi dua, dan dibuang sisi yang tajam.

Batang pakis kurung dibelah menjadi 4: dan bagian sisi tajam dibuang, selama 7 hari direndam dalam air, kemudian dioles dengan minyak kelapa.

VII. Ginto atau ansam (Dioscorea slicifolia Bl., tergolong keluarga Dioscoreaceae). Ginto atau ansam adalah tumbuhan merayap, yang dipakai adalah kulitnya yang berwarna coklat tua. Kulitnya dikupas dari batangnya dan segera dapat dipergunakan sebagai bahan anyaman. Di Kakas (MInahasa) bahan anyaman banyak tumbuh, yang dipakai untuk menganyam keranjang yang terdiri dari potongan-potongan rotan. Juga di kepulauan Talaud bahan ini dipergunakan sebagai bahan anyaman untuk membentuk motif pada keranjang rotan.

E. TULANG DAUN, SERAT DSB.I. Sada aren dan lidi

Tulang daun dari daun aren (Arenga) dinamakan sada aren atau disebut juga lidi seperti tulang daun kelapa; tulang daunnya tipis, bulat dan lentur, berwarna kuning hingga coklat, diangkat dari daun dengan bantuan sebilah pisau kecil, dan dikerik untuk menghaluskan, baru siap untuk dianyam, untuk membuat sapu, keranjang dan sebagainya. Tulang daun salak (Zalaca), serta tulang daun sikai (sejenis salak tetapi lebih kecil) juga dipakai di Lubuk Sikaping.

Dapat dikatakan bahwa tulang daun aren dan kelapa di pakai di seluruh kepulauan Hindia Belanda, di mana-mana pohon ini tumbuh, dan merupakan bahan yang paling baik untuk anyaman keranjang yang jarang, juga dipakai untuk menopang pot tanaman, panci dan lain lain perkakas rumah tangga. Tulang daun nipah (Nipa fructicans Thunb, tergolong keluarga Palmae) dipakai di Sulawesi Selatan, dan disebut tikarung.

II. Serat dari pohon lontar. Ijuk1 yang dihasilkan pohon aren di Sulawesi Selatan, adalah sama dengan uratala atau urata (Bahasa Bugis) yang dihasilkan pohon lontar atau pohon tala (Borasus flabelliformis). Ijuk adalah serat yang lentur dan kuat yang tumbuh di ketiak daun pohon palma. Serat yang mudah dapat ditekuk, tipis dan memiliki sifat-sifat rotan, paling cocok untuk anyaman berlingkar seperti songko (tutup kepala) atau tabung cerutu; di Sulawesi Selatan dipakai: putih, coklat, biru tua dan hitam. Ketika masih muda warnanya putih kuning, coklat ketika berumur sedang, dan ijuk tua berwarna hitam. Ijuk dapat diwarnai biru tua bila dicelup dalam indigo, terung (Bahasa Bugis); tarung (Bahasa Makasar) (Indigofera sumatra Gaertn, termasuk keluarga Leguminoseae) dan warna hitam , ijuk yang sudah berwarna biru digosok dengan arang. Serat setelah dipotong dari pohonnya2, harus diserut dahulu menjadi halus yang dilakukan dengan cara tradisional: di antara jari telunjuk dan sebilah pisau tajam, dengan memberikan tekanan pada serat ketika diserut. Menyerut lingkar dilakukan dengan alat padari,

1 Juga disebut: vegetable bristles atau erin vegetal (Lihat “De Vezelplanten van Indiё”) (Tanaman Berserat dari Hindia Belanda) oleh Dr. J. Forbes Watson, diolah oleh prof. S. Bleekrode.2 Pohon lontar banyak tumbuh di Sulawesi Selatan

38

Page 39: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

alat terbuat dari kayu di mana tertancap dua pisau kecil berdekatan. Serat melewati di antara kedua pisau ini. Bila menginginkan serat tala yang pipih, kedua pisau ditempatkan berhadap-hadapan. Serat yang bulat dinamakan malebu (Bahasa Bugis); mabula (Bahasa Makasar); serat pipih disebut malepang (malepa (Bahasa Bugis); malepa (Bahasa Makasar).

III. Batang anggrek. Sejenis anggrek yang istimewa di Kalimantan dinamakan tawa-tawa (Agrostophyllum glumaceum Hook, termasuk keluarga Orchidaceae), yang memiliki tangkai mengkilap dan bagus, berwarna kuning keemasan. Di Kalimantan dipakai sebagai anyaman hiasan untuk membentuk pola, atau dipakai melingkari cincin penguat. Di Sulawesi Selatan, karena warna asli dan kilaunya bahan anyaman yang bagus ini terkenal dengan nama anemia atau alemi – terutama di pulau Bone serat ini ditemukan dalam jumlah yang banyak. Di Toraja dipakai untuk mengikat bingka lora (keranjang; lihat Bab mengenai Keranjang) dan disebut wintu.

Di kepulauan Sangir Talaud dikenal dengan nama sahuma. Tangkai anggrek diiris membujur, dibelah dan dilingkari pada sepotong bambu dalam keadaan basah, agar nantinya dalam pengolahan mendapat pita yang licin dan bagus. Bahan batang anggrek ini sudah agak langka dan karena itu mahal harganya, itu sebabnya bahan hanya dipakai untuk menghias pinggiran. Hanya tolu (topi) Sangir dan Donggala seluruhnya dibuat dari sahuma dan karena itu sangat mahal.

IV. Resam (Gleichenia linearis Clarke, termasuk keluarga Filices), sejenis pakis, yang tangkainya memiliki tulang daun utama, terutama di Ogan Ulu (Palembang) dan di Bangka banyak dipakai sebagai bahan anyaman. Tangkai ditekuk pada beberapa tempat sehingga mudah dibelah. Tulang daun utama segera nampak karena warna yang merah kecoklatan atau putih yang menyolok dengan mudah dapat dibuang tulangnya. Tulang daun sekarang dibersihkan dari unsur-unsur tangkai yang melengket dengan bantuan sabut kelapa dan digosok, kemudian untuk mencapai ketebalan benang yang diinginkan tulang daun ditarik melewati sebuah kaleng berlubang. Dengan demikian tangkai resam dapat dibuat menjadi setipis sehelai benang. Jadi resam sebagai bahan anyaman tidak berbentuk pipih tetapi berbentuk bulat seperti benang. Ketebalan tulang daun yang terpilih sebagai bahan anyaman, sama dengan ketebalan ijuk atau duk. Bahan resam tidak diperdagangkan; mereka yang ingin memakai bahan resam untuk anyaman mengumpulkan sendiri bahan bakunya di hutan.

Dalam tahap penganyaman, tulang daun resam harus dianyam dalam keadaan lembab. Bila kering, maka resam retak dan putus, karena itu perlu dibasahi berkali-kali. Jadi setelah resam diolah, maka perlu didiamkan selama 24 jam dan disimpan di tempat yang dingin, sebelum dipakai. Benang-benang resam dioles dengan lilin agar menjadi licin.

Sejenis resam juga dikenal oleh orang-orang Dayak Kayan dengan nama “kebalan” dan dipakai untuk menganyam halus gagang pedang. Dalam pengolahan kebalan juga dipakai sebuah kaleng berlubang untuk mendapatkan benang yang bulat dan tipis.

Di Bangka bahan anyaman ini dikenal sebagai resam dan terutama dipakai untuk sero (bubu ikan) dan kopiah (tutup kepala) atau songko (Bahasa Bugis). Di Toraja resam dinamakan paka; bahan anyaman ini dipakai oleh orang Toraja sebagai pengikat keranjang kecil.

39

Page 40: dekranas.id · Web viewBAB II. BAHAN. MENGANYAM. Berikut ini akan dibahas berturut-turut, walaupun tidak lengkap secara botanis karena tidak termasuk di dalam …

F. BULU BURUNG, RAMBUT, BENANG, DAN LAIN-LAIN

I.Bulu burung merak. Di Rembang dipakai sebagai bahan menganyam, dan hanya bulu tengah yang tipis yang dipakai, yang dianyam menjadi tabung cerutu.

II.Rambut Kuda. Bahan anyaman ini dipakai di distrik timur Sulawesi Selatan untuk membuat tabung cerutu dan tabung rokok. Namanya bulu jarang (Bahasa Makasar) atau bulu anyarang (Bahasa Bugis) dan diperoleh dari ekor hewan yang mati atau yang disembelih.

III. Benang emas atau perak. Terdapat di daerah Sulawesi Selatan sebagai bahan anyaman yang dipakai untuk menganyam songko (tutup kepala) yang mahal dan baku bodo (keranjang, yang dipesan oleh orang terkemuka atau orang yang penting).

Detil pengolahan dari metal ini menjadi bahan anyaman, lebih tepat menjadi bahan studi tentang seni menempa emas dan perak dan ditulis dalam jilid yang lain. Pada dasarnya pengolahan emas atau perak ditarik melalui alat dengan lubang berukuran tertentu.

Benang emas atau perak seringkali juga ditempa dengan palu menjadi pita-pita pipih (patuku) yang dipakai untuk menghias.

40