32
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PINRANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PINRANG, Menimbang : a. bahwa pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu jenis kekayaan alam tak terbarukan, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara efisien, optimal, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan berkelanjutan sesuai perundang-undangan; b. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola pertambangan mineral sesuai dengan potensi daerahnya berdasarkan perundang-undangan; c. bahwa potensi mineral dan batubara yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Pinrang selama ini pengelolaannya belum dilakukan secara efisien, optimal, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan berkelanjutan sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah secara luas; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

TENTANG · Web viewIUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. IUP Operasi Produksi adalah

  • Upload
    lamdung

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PINRANGNOMOR 13 TAHUN 2012

TENTANG

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PINRANG,

Menimbang : a. bahwa pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu jenis kekayaan alam tak terbarukan, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara efisien, optimal, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan berkelanjutan sesuai perundang-undangan;

b. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola pertambangan mineral sesuai dengan potensi daerahnya berdasarkan perundang-undangan;

c. bahwa potensi mineral dan batubara yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Pinrang selama ini pengelolaannya belum dilakukan secara efisien, optimal, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan berkelanjutan sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah secara luas;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724);

6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kabupaten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142 );

15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);

17. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 5);

18. Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Pinrang;

19. Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Pemerintah Kabupaten Pinrang;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PINRANG

dan

BUPATI PINRANG

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :1. Daerah adalah Kabupaten Pinrang.2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah.

3. Bupati adalah Bupati Pinrang.4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat DPRD,

adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pinrang.5. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, penambangan, pengolahan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascapertambangan.

6. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk mineral, baik dalam bentuk lepas atau padu.

7. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

8. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau mineral, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.

9. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.

10. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, penambangan, pengolahan, pengangkutan dan penjualan, serta pascapertambangan.

11. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

12. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

13. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

14. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disingkat IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

15. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan usaha pertambangan.

16. Izin Usaha Jasa Pertambangan adalah izin usaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha Jasa Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan.

17. Surat Keterangan Terdaftar adalah surat keterangan tanda terdaftar yang diberikan kepada Perusahaan Jasa Pertambangan Non Inti.

18. Usaha Jasa Pertambangan Non Inti adalah usaha jasa selain usaha jasa pertambangan yang memberikan pelayanan jasa dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan.

19. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.

20. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

21. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascapertambangan.

22. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk

pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

23. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.

24. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara serta mineral ikutannya.

25. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dari daerah pertambangan sampai tempat penyerahan.

26. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral.

27. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

28. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disingkat AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

29. Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja, dan bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan resiko kecelakaan kerja (zero accident).

30. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

31. Kegiatan pasca tambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

32. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

33. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disingkat WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

34. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat WUP, adalah bagian dari Wilayah Pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.

35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.

36. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disingkat WPR, adalah bagian dari Wilayah Pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

BAB IIPENYELIDIKAN DAN PENELITIAN PERTAMBANGAN

Pasal 2(1) Bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya dapat

melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan.(2) Data hasil penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), paling sedikit meliputi :a. peta topografi dan peta geologi;

b. peta geokimia dan peta geofisika;c. evaluasi data perizinan yang masih berlaku, yang sudah berakhir

dan/atau sudah dikembalikan kepada pemerintah daerah;d. evaluasi data geologi yang berasal dari kegiatan pertambangan yang

sedang berlangsung, telah berakhir dan/atau telah dikembalikan kepada pemerintah daerah; dan

e. interpretasi penginderaan jauh, baik berupa pola struktur maupun litologi.

(3) Data dan laporan beserta peta hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Menteri dan Gubernur.

(4) Tata cara penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Biaya penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB IIIUSAHA PERTAMBANGAN

Pasal 3(1) Usaha pertambangan yang diatur dalam peraturan daerah ini adalah usaha

pertambangan mineral dan batubara.(2) Usaha pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) digolongkan atas :a. usaha pertambangan mineral logamb. usaha pertambangan mineral bukan logam c. usaha pertambangan batuan; dand. usaha pertambangan batubara.

Pasal 4(1) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat

(2) dapat dilaksanakan setelah mendapatkan IUP atau IPR dari Bupati.(2) Untuk mendapatkan IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terlebih dahulu mendapatkan penetapan WIUP atau WIPR.(3) WIUP atau WIPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh

Bupati.(4) Pemegang IUP atau IPR wajib melakukan kegiatan usaha pertambangan

paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterbitkan.

BAB IVIZIN USAHA PERTAMBANGAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 5(1) IUP terdiri atas dua tahap :

a. IUP Eksplorasi meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; dan

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral dan mineral pengikutnya.

(3) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 6(1) IUP diberikan kepada :

a. badan usahab. koperasi; danc. perseorangan.

(2) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan :a. administrasi;b. teknis;c. lingkungan; dan d. finansial.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 7IUP diberikan melalui tahapan:

a. Pemberian WIUP; danb. Pemberian IUP.

Pasal 8(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) huruf a

memuat paling sedikit :a. badan usaha;b. nama perusahaan;c. lokasi dan luas wilayah;d. rencana umum tata ruang;e. jaminan kesungguhan;f. modal investasi;g. perpanjangan waktu tahap kegiatan;h. hak dan kewajiban pemegang IUP;i. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;j. jenis usaha yang diberikan;k. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar

wilayah pertambangan;l. perpajakan;m. penyelesaian perselisihan;n. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dano. dokumen kajian lingkungan.

(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b memuat paling sedikit :a. nama perusahaan;b. luas wilayah;c. lokasi penambangan;d. lokasi pengolahan dan pemurnian;e. pengangkutan dan penjualan;f. modal investasi;g. jangka waktu berlakunya IUP;h. jangka waktu tahap kegiatan;i. penyelesaian masalah pertanahan;j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;

l. perpanjangan IUP;m. hak dan kewajiban pemegang IUP;n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar

wilayah pertambangan;o. perpajakan; danp. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran

produksi.

Bagian KeduaPemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Paragraf 1Umum

Pasal 9(1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP. (2) Setiap pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

diberikan 1 (satu) WIUP.(3) Dalam hal pemohon adalah badan usaha terbuka (go public), dapat

diberikan lebih dari 1 (satu) WIUP.

Paragraf 2Pemberian WIUP Mineral Logam dan Batubara

Pasal 10(1) WIUP mineral logam dan batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi,

dan perseorangan dengan cara lelang.(2) Sebelum melakukan pelelangan WIUP mineral logam dan batubara, Bupati

mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan dilelang kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan lelang.

(3) Dari hasil pelaksanaan pelelangan WIUP mineral logam dan batubara yang berada di dalam WP yang menjadi kewenangan daerah, ditetapkan oleh Bupati.

(4) Biaya lelang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(5) Ketentuan mengenai pelaksanaan pelelangan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 11(1) WIUP mineral bukan logam atau batuan diberikan kepada badan usaha,

koperasi, dan perseorangan dengan cara mengajukan permohonan wilayah kepada Bupati.

(2) WIUP mineral bukan logam atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati apabila WIUP berada di dalam 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil.

(3) Bupati wajib menerapkan sistem permohonan pertama yang telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, mendapat prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan.

Bagian KetigaPemberian IUP Eksplorasi

Pasal 12(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a

diberikan oleh Bupati kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan apabila WIUP berada dalam 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

(2) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan oleh Bupati apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2).

Pasal 13(1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral dapat diberikan dalam jangka

waktu paling lama 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

(2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun.

(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun.

(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun.

Pasal 14(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling

sedikit 5.000 (lima ribu) hektar dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 15(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas

paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang bukan keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 16

(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 17 (1) Pemegang IUP Eksplorasi batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit

5.000 (lima ribu) hektar dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan

pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang bukan keterdapatannya berbeda.

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 18(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP

Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Bupati.

(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara kepada Bupati untuk melakukan pengangkutan dan penjualan.

Pasal 19Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenai ketentuan sebagai berikut :a. Apabila mineral yang tergali berupa mineral logam atau batubara dikenai

iuran produksi; danb. Apabila mineral yang tergali berupa mineral bukan logam dan/atau batuan

dikenai pajak daerah.

Bagian KeempatPemberian IUP Operasi Produksi

Pasal 20(1) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b

diberikan oleh Bupati kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, dan lokasi pelabuhan berada dalam 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2).

(3) Selain persyaratan yang dimaksud pada ayat (2) dalam hal pemberian IUP Operasi Produksi oleh Bupati untuk mineral bukan logam dan batuan dengan luas WIUP lebih besar 10 (sepuluh) hektar dan/atau menggunakan bahan peledak atau peralatan mekanis, maka terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.

(4) Dalam hal Gubernur tidak menerbitkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya surat permintaan rekomendasi, maka Bupati dapat menerbitkan IUP Operasi Produksi, termasuk perpanjangannya.

Pasal 21

(1) IUP Operasi Produksi pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(2) IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing 5 (lima) tahun.

(3) IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

(4) IUP Operasi Produksi pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing 5 (lima) tahun.

(5) IUP Operasi Produksi pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 22(1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan 2

(dua) kali, harus mengembalikan WIUP-nya kepada Bupati.(2) Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bermaksud untuk mengusahakannya, maka pemegang IUP Operasi Produksi untuk mineral logam atau batubara harus mengajukan permohonan mengikuti lelang dengan mendapatkan hak penawaran pertama.

(3) Dan dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bermaksud untuk tetap mengusahakannya, maka harus mengajukan permohonan kembali kepada Bupati dan mendapatkan hak prioritas.

(4) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Bupati paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP Operasi Produksi.

(5) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit harus dilengkapi : a. peta dan batas koordinat wilayah;b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir;c. laporan akhir kegiatan;d. rencana kerja dan anggaran biaya; dane. neraca sumber daya dan cadangan.

(6) Keputusan diterima atau ditolaknya permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diberikan dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi pemohon.

Pasal 23Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki :a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; danb. IUP Operasi Produksi untuk pengolahan dan pemurnian.

Pasal 24(1) IUP Operasi Produksi khusus pengangkutan dan penjualan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 23 huruf a diberikan oleh Bupati, apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) wilayah Daerah.

(2) IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf b diberikan oleh Bupati, apabila komoditas

tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada dalam 1 (satu) wilayah Daerah.

(3) Ketentuan persyaratan pemberian IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 selanjutnya diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 25(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang tidak bergerak pada usaha

pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.

(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali penjualan oleh Bupati.

(3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak daerah dan/atau iuran produksi.

(4) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral yang tergali kepada Bupati.

(5) Ketentuan persyaratan pemberian IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diatur dalam Peraturan Bupati.

Bagian KelimaPenciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Pasal 26(1) Pemegang IUP sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada

Bupati, untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUP.(2) Pemegang IUP dalam melaksanakan penciutan atau pengembalian WIUP

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyerahkan:a. laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang

berisikan semua penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada wilayah yang akan diciutkan dan alasan penciutan atau pengembalian serta data lapangan hasil kegiatan;

b. peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta koordinatnya;c. bukti pembayaran kewajiban keuangan;d. laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir; dane. laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan atau

dilepaskan.

Pasal 27(1) Pemegang IUP Eksplorasi mempunyai kewajiban untuk melepaskan WIUP

dengan ketentuan :a. Untuk IUP mineral logam :

1. Pada tahun keempat, wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare; dan

2. Pada tahun kedelapan atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

b. Untuk IUP bukan logam :1. Pada tahun kedua, wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan

paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektare; dan2. Pada tahun ketiga atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan

menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

c. Untuk IUP mineral bukan logam jenis tertentu :

1. Pada tahun ketiga, wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektare; dan

2. Pada tahun ketujuh atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

d. Untuk IUP batuan :1. Pada tahun kedua, wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan

paling banyak 2.500 (dua ribu lima ratus) hektare; dan2. Pada tahun ketiga atau pada akhir tahap eksplorasi saat peningkatan

menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 1.000 (seribu) hektare.

e. Untuk IUP batubara :1. Pada tahun keempat, wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan

paling banyak 25.000 (dua pulu lima ribu) hektare; dan2. Pada tahun ketujuh atau pada akhir tahap eksplorasi saat

peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

(2) Apabila luas wilayah maksimum yang dipertahankan sudah dicapai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP Eksplorasi tidak diwajibkan lagi menciutkan wilayah.

Bagian KelimaLarangan, Hak dan Kewajiban

Paragraf 1Larangan

Pasal 28(1) Pemegang IUP tidak boleh memindahkan IUP-nya kepada pihak lain.(2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia

hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.

(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat :a. harus memberitahu kepada Bupati; danb. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 29Pemegang IUP Operasi Produksi dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP atau IPR.

Paragraf 2Hak

Pasal 30Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Pasal 31Pemegang IUP dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32

Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

Pasal 33Pemegang IUP dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Paragraf 3Kewajiban

Pasal 34Pemegang IUP wajib :a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral;d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan; danf. membayar pajak daerah yang diatur dengan peraturan daerah tersendiri.

Pasal 35Pemegang IUP wajib :a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;b. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk

kegiatan reklamasi dan pasca tambang;c. upaya konservasi sumber daya mineral;d. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam

bentuk cair atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Pasal 36(1) Pemegang IUP wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu

lingkungan sesuai dengan karakteristik daerah. (2) Pemegang IUP wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber

daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi

Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP.

(2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi.

(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP dan dilaporkan kepada Dinas.

Pasal 38(1) Pemegang IUP wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral

dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sumber daya mineral sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 39Untuk pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang memiliki IUP.

Pasal 40(1) Pemegang IUP harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat,

barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemanfaatan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perusahaan jasa pertambangan yang telah memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan dan/atau Surat Keterangan Terdaftar.

Pasal 41Pemegang IUP wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati.

Pasal 42(1) Pemegang IUP wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas

rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara kepada Bupati.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu dan tatacara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati

BAB VIZIN PERTAMBANGAN RAKYAT

Bagian KesatuUmum

Pasal 43(1) IPR diberikan oleh bupati berdasarkan permohonan yang diajukan oleh

penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

(2) Bupati dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44(1) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh bupati.(2) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR.

Pasal 45Kegiatan usaha pertambangan rakyat terdiri atas :a. pertambangan mineral;b. pertambangan mineral bukan logam; c. pertambangan batuan; dand. pertambangan batubara.

Bagian KeduaWilayah Pertambangan Rakyat

Pasal 46(1) WPR ditetapkan oleh bupati setelah berkoordinasi dengan Pemerintah

Provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.(2) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria :

a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai, tepi sungai, dan/atau di antara tepi sungai;

b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;

c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare;e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan pertambangan rakyat yang

sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun;g. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; danh. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana

tata ruang.(3) Dalam menetapkan WPR, Bupati melalui Dinas melakukan pengumuman

mengenai rencana penetapan WPR, kepada masyarakat secara terbuka. (4) Pengumuman rencana penetapan sebagaimana dimaksud ayat (3)

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja dan ditempatkan di kantor Pemerintah Daerah, Dinas dan/atau media massa.

(5) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Bupati kepada Menteri dan Gubernur.

Pasal 47(1) Untuk menetapkan WPR, bupati sesuai dengan kewenangannya dapat

melakukan eksplorasi.(2) Data dan informasi hasil eksplorasi yang dilakukan oleh bupati sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diolah menjadi peta potensi mineral.(3) Peta potensi mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit

memuat sebaran mineral.(4) Bupati menyampaikan potensi mineral sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) beserta laporan hasil eksplorasi kepada Menteri dan Gubernur.(5) Peta potensi mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam

bentuk lembar peta dan digital.

Bagian KetigaPemberian IPR

Pasal 48(1) Usaha pertambangan rakyat pada WPR hanya dapat dilaksanakan apabila

telah mendapatkan IPR.(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi persyaratan, meliputi:

a. persyaratan administratif;b. persyaratan teknis; danc. persyaratan finansial.

Pasal 49(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 ayat (2)

huruf a untuk :a. orang perorangan, paling sedikit meliputi :

1. surat permohonan;2. kartu tanda penduduk;3. komoditas pertambangan yang dimohon; 4. surat keterangan dari kelurahan setempat; 5. peta wilayah pertambangan; dan6. melampirkan izin gangguan.

b. kelompok masyarakat, paling sedikit meliputi :1. surat permohonan;2. komoditas pertambangan yang dimohon; 3. surat keterangan dari kelurahan setempat; 4. peta wilayah pertambangan;

5. izin gangguan.6. nama kelompok dan daftar anggota.

c. koperasi setempat, paling sedikit meliputi :1. surat permohonan;2. nomor pokok wajib pajak;3. akte pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang

berwenang;4. komoditas pertambangan yang dimohon; 5. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat.6. peta wilayah pertambangan; dan7. izin gangguan.

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan yang memuat paling sedikit mengenai :a. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan

dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan

c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.(3) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf

c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.

Pasal 50(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada :

a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atauc. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.

(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 51Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian KeempatHak dan Kewajiban Pemegang IPR

Paragraf 1Hak

Pasal 52(1) Pemegang IPR berhak mendapatkan pembinaan dan pengawasan

pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(2) Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2Kewajiban

Pasal 53Pemegang IPR wajib :a. melakukan kegiatan pertambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR

diterbitkan;

b. mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan pertambangan, dan memenuhi standar yang berlaku;

c. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada pemberi IPR; dan

d. membayar iuran dan pajak daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 54Pemegang IPR tidak boleh mengalihkan hak pertambangannya kepada pihak lain tanpa seizin bupati.

BAB VI PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 55(1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat.(2) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada Bupati untuk diteruskan kepada pemegang IUP.

(4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP yang terkena dampak langsung akibat kegiatan pertambangan.

(5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang berada dekat dengan lokasi kegiatan operasional pertambangan dengan tidak melihat batas administrasi wilayah Kecamatan.

(6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang IUP setiap tahun.

(7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP.

Pasal 56Pemegang IUP setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran biaya tahunan kepada Bupati untuk mendapatkan persetujuan.

Pasal 57Pemegang IUP wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Bupati.

Pasal 58Ketentuan lebih lanjut mengenai program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VIIREKLAMASI DAN PASCATAMBANG

Pasal 59

(1) Pemegang IUP Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi.(2) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi

pascatambang.(3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan

terganggu pada kegiatan eksplorasi. (4) Reklamasi pasca tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan.

Pasal 60(1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi wajib memenuhi

prinsip :a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan pertambangan; dan b. keselamatan dan kesehatan kerja.

(2) Pelaksanaan reklamasi pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip : a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan pertambangan; b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan c. konservasi mineral.

Pasal 61(1) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan pertambangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, paling sedikit meliputi : a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan

tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan

penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;

d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. (2) Keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60

ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, meliputi : a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja/ buruh; dan b. perlindungan setiap pekerja/buruh dari penyakit akibat kerja.

(3) Prinsip konservasi mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf c, meliputi : a. penambangan yang optimum; b. penggunaan metode dan teknologi pengolahan dan pemurnian yang

efektif dan efisien; c. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marjinal, mineral kadar

rendah, dan mineral ikutan; dan d. pendataan sumber daya serta cadangan mineral yang tidak tertambang

serta sisa pengolahan dan pemurnian. (4) Dalam hal mineral ikutan dari sisa penambangan, pengolahan dan

pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mengandung radioaktif, wajib melakukan analisis keselamatan radiasi untuk tenon dan melaksanakan intervensi terhadap paparan radiasi yang berasal dari tenon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 62

Ketentuan mengenai tata laksana reklamasi dan pascatambang lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VIIIPENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN

IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 63(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan

kepada pemegang IUP apabila terjadi :a. keadaan kahar;b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian

sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat

menanggung beban kegiatan operasi produksi sumberdaya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi masa berlaku IUP.

(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bupati.

(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf c dapat dilakukan oleh Inspektur Tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Bupati.

(5) Bupati mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.

Pasal 64(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau

keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.

(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP sudah siap melakukan kegiatan operasinya, maka kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Bupati.

(3) Bupati mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 65(1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan

karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a, maka kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak berlaku.

(2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf b, maka kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah dan Pemerintah Daerah tetap berlaku.

(3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c, maka kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah dan Pemerintah Daerah tetap berlaku.

BAB IXBERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 66IUP berakhir karena:a. dikembalikan;b. dicabut; atauc. habis masa berlakunya.

Pasal 67(1) Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP-nya dengan pernyataan

tertulis kepada Bupati dan disertai dengan alasan yang jelas.(2) Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan sah

setelah disetujui secara tertulis oleh Bupati dan memenuhi kewajibannya.

Pasal 68IUP dapat dicabut oleh Bupati apabila:a. pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP serta

peraturan perundang-undangan; danb. pemegang IUP melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Peraturan Daerah ini; dan c. pemegang IUP dinyatakan pailit.

Pasal 69Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir.

Pasal 70(1) IUP yang telah dikembalikan, dicabut atau habis masa berlakunya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikembalikan kepada Bupati.(2) WIUP yang IUP-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ditawarkan kepada Badan Usaha dan/atau Perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71Dalam hal IUP berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c, maka pemegang IUP wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati.

BAB XPENDAPATAN DAERAH

Pasal 72(1) Pemegang IUP dan IPR wajib membayar pendapatan negara dan

pendapatan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas

penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.(3) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pajak daerah;b. retribusi daerah; danc. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

BAB XIPENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN

USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 73(1) Hak atas WIUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.(2) Tempat kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan penataan

ruang kabupaten.(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74(1) Pemegang IUP hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha pertambangan

setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemegang hak atas tanah.(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP.

BAB XIIPEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN

PERLINDUNGAN MASYARAKAT

Bagian KesatuPembinaan dan Pengawasan

Pasal 75(1) Bupati melalui Dinas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan usaha pertambangan;b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;c. pendidikan dan pelatihan; dand. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi

pelaksanaan usaha pertambangan.(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi :

a. teknis pertambangan;b. pemasaran;c. keuangan;d. pengolahan data mineral dan batubara;e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;g. keselamatan operasi pertambangan;h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;i. pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang

bangun dalam negeri;j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;l. pengusaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut

kepentingan umum;n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, atau IPR; dano. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh Inspektur Tambang.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf i, huruf j, huruf k, huruf m, huruf n dan huruf o dilakukan oleh Pejabat.

(6) Inspektur Tambang dan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diangkat oleh Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 76Bupati wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan kepada Menteri dan Gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

Pasal 77Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan IUP dan IPR diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian KeduaPerlindungan Masyarakat

Pasal 78(1) Pemegang IUP dan IPR dalam menjalankan usaha pertambangannya wajib

memberikan perlindungan kepada masyarakat.(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak :

a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.

BAB XIIIPENYIDIKAN

Pasal 79(1) Pejabat pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kabupaten Pinrang diberi

wewenang khusus sebagai penyidik atas pelanggaran peraturan daerah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan

berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga

melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar

dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;

d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;

g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau

h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

Pasal 80(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dapat

menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIVSANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 81(1) Bupati berwenang memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP

atau IPR pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 ayat (2), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), Pasal 53, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (2), Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 77 ayat (1).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :a. teguran tertulis;b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau

operasi produksi; dan/atauc. pencabutan izin.

(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing jangka untuk jangka waktu 1 (satu) bulan.

(4) Pemegang IUP atau IPR yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhir jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi penghentian sementara seluruh kegiatan .

(5) Sanksi administrasi berupa penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dikenakan jangka waktu 3 (tiga) bulan.

(6) Pemegang IUP atau IPR yang tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dikenakan sanksi pencabutan.

BAB XVIKETENTUAN PIDANA

Pasal 82(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1), Pasal 18, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 37, Pasal 46 ayat (1), Pasal 53, dan Pasal 73 ayat (3) dipidana dengan pidana kurangan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XVIIKETENTUAN KHUSUS

Pasal 83Setiap masalah yang timbul atas pelaksanaan IUP atau IPR yang berkaitan dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 84Kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dapat terus dilaksanakan sampai dengan berakhir masa izinnya.

BAB XIXKETENTUAN PENUTUP

Pasal 85Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.

Pasal 86Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pinrang.

Ditetapkan di Pinrangpada tanggal 30 Nopember 2012

BUPATI PINRANG,

ASLAM PATONANGI

Diundangkan di Pinrangpada tanggal 30 Nopember 2012

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PINRANG,

SYARIFUDDIN SIDE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PINRANG TAHUN 2012 NOMOR 13