52
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS Nama Nama : Tn. S Umur : 58 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Status perkawinan : Sudah Menikah Pendidikan : SD Agama : Islam Alamat : Kesongo Lor Tuntang Tanggal masuk RS : 11 September 2018 II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 September 2018 pukul 06.00 WIB di ruang rawat Ashoka kamar 103.1 A. Keluhan Utama : Kedua kaki tidak dapat digerakkan B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret, sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri punggung semakin 1

sarafambarawa.files.wordpress.com€¦ · Web viewKeluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua telapak kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama   Nama               : Tn. S

Umur                           : 58 tahun

Jenis kelamin               : Laki-laki

Status perkawinan       : Sudah Menikah

Pendidikan                  : SD

Agama                         : Islam

Alamat                        : Kesongo Lor Tuntang

Tanggal masuk RS      : 11 September 2018

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 September 2018

pukul 06.00 WIB di ruang rawat Ashoka kamar 103.1

A. Keluhan Utama :

Kedua kaki tidak dapat digerakkan

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari

yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang

menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk

jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret,

sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis

dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri

punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala

nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan

kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat

digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke

dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien

mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien

hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor

memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama

sekali.

1

Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua

telapak kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk

jarum, sesak napas (+), sulit BAK (+) sehingga pasien harus menggunakan

kateter urin, tidak bisa BAB (+) selama 3 hari, demam (-), nyeri kepala (-),

pusing (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), kesemutan (+) dikedua kaki, dan

nyeri sendi pada kedua kaki (-). Penurunan berat badan (-), benjolan di

punggung (-), Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi,

pasien sadar dan bicara tidak pelo.

C. Riwayat Penyakit Dahulu          :                                  

Riwayat keluhan serupa: disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat batuk lama : diakui tetapi jarang

Riwayat Tuberkulosis : disangkal

Riwayat HIV : disangkal

Riwayat penyakit paru : disangkal

Riwayat herpes dan varicela : disangkal

Riwayat tumor, kankr : disangkal

Riwayat trauma : diakui 10 tahun yang lalu, hingga

menyebabkan wajah pasien sedikit merot

Riwayat stroke : disangkal

Riwayat sakit kuning : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga       :

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat batuk lama : disangkal

Riwayat Tuberkulosis : diakui sejak 1 tahun yang lalu (anak

kandung dan tinggal serumah dengan pasien)

Riwayat HIV : disangkal

Riwayat penyakit paru : disangkal

Riwayat herpes dan varicela : disangkal

Riwayat tumor, kanker : disangkal

Riwayat stroke : disangkal

2

Riwayat sakit kuning : disangkal

E. Riwayat Pribadi :

Riwayat merokok : Diakui sejak 20 tahun yang lalu, sehari 3 sampai 4

batang rokok, terakhir berhenti 1 tahun yang lalu

Riwayat minum alkohol : Disangkal

Riwayat konsumsi obat : Disangkal

F. Sosial Ekonomi     :

Pasien bekerja sebagai buruh panggul enceng gondok dengan jam kerja

kurang lebih 8 jam dalam sehari. Pasien mengaku sering mengangkat beban

dengan punggungnya dengan beban kurang lebih 50 kg. Pasien terdaftar

sebagai peserta BPJS PBI. Pasien tinggal bersama dengan istri dan dua

anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh diri sendiri dan istri. Kesan ekonomi

kurang.

G. Anamnesis Sistem           :

1. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (-), muntah (-), pingsan (-),  kelemahan

anggota gerak (+) di kedua kaki, perubahan tingkah laku (-), wajah merot

(-), bicara pelo (-), kesemutan (+), baal (+)

2. Sistem Kardiovaskuler :           Riwayat hipertensi (-),  riwayat sakit jantung

(-),    nyeri dada (-)

3. Sistem Respirasi :  Sesak napas (+) sejak keluhan kaki lemas muncul, batuk

(-), riwayat sesak napas (-)

4. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), belum BAB selama 3 hari

5. Sistem Muskuloskeletal :  Kelemahan anggota gerak (+) pada ekstremitas

bawah

6. Sistem Integumen :  Ruam merah (-)

7. Sistem Urogenital : sulit BAK

H. Resume Anamnesis

Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari

yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang

menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk

jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret,

3

sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis

dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri

punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala

nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan

kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat

digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke

dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien

mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien

hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor

memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama

sekali. Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua telapak

kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk jarum,

sesak napas (+), sulit BAK (+), tidak bisa BAB (+) sejak 3 hari sebelum

pemeriksaan, kesemutan (+) sebelum kaki lemas. Pasien kooperatif dan tidak

ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran dan bicara pelo.

Pada riwayat penyakit dahulu terdapat kontak dengan TB Aktif yang

tinggal serumah. Pasien merupakan buruh panggul enceng gondok setiap hari

membawa beban panggul sekitar 50 kg, kesan ekonomi kurang

I. DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis Klinis        : paraplegia inferior, paraparestesia, parahipestesia,

gangguan miksi akut

Diagnosis Topis         : medulla spinalis

Diagnosis Etiologi     : Myelitis transversa dd suspek spondilitis tuberkulosis

dd Mielopati dd SOP dd HNP

III. DISKUSI I

Hasil anamnesis pasien didapatkan adanya kedua kaki pasien tidak dapat

digerakkan sama sekali secara mendadak sejak 4 hari dirawat di RS, sebelum

keluhan tersebut muncul pasien merasakan punggung nyeri pasien seperti

ditusuk-tusuk jarum diikuti dengan kaki kanan kesemutan sejak 1 hari SMRS

tetapi hilang timbul. keluhan tersebut juga disertai penurunan sensibilitas saat

4

diberikan rangsangan. Kelemahan yang terjadi pada pasien dapat disebut plegia

karena anggota gerak bawah pasien sama sekali tidak dapat digerakkan. Pada

pasien ini terjadi plegia di kedua sisi anggota gerak bawah sehingga disebut

paraplegia inferior. Didapatkan adanya keluhan lain, yaitu rasa nyeri seperti

ditusuk dipunggung, baal dan sebelum keluhan muncul pasien merasa

kesemutan . Keluhan ini disebut paraparestesia. Istilah merujuk pada sensasi

abnormal seperti kesemutan, menggelitik, menusuk, mati rasa (baal) atau

terbakar. Keluhan ini terjadi pada kedua anggota gerak bawah sehingga disebut

paraparestesia inferior. Pasien juga mengeluh kurang terasa rabaan pada kedua

kaki, sehingga disebut parahipestesia inferior.

Pada pasien ini tidak mengarah ke lesi di otak, melainkan cenderung lesi

di medula spinalis. Lesi di otak akan mengakibatkan kelainan di salah satu sisi

tubuh dan seringkali disertai gangguan fungsi luhur, sedangkan pada pasien ini

tidak ditemukan hal-hal tersebut. Kelainan pada pasien berupa kelemahan di

kedua anggota gerak bawah yang sering terjadi pada lesi di medula spinalis.

Pada anamnesis didapatkan kontak langsung dengan penderita TB aktif

sehingga memnungkinkan adanya suatu infeksi Tuberkulosa yang dapat

menyebar secara hematogen maupun limfogen ke bagian vertebra . Hal ini

dapat menyebabkan terjadinya penyakit ataupun kelainan pada medula spinalis

(myelitis transversa).

Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai

suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya

perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi

neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula

spinalis.1

Myelitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama

dengan penyakit lain. Inflamasi dapat berasal dari akibat infeksi virus, reaksi

abnormal reaksi imun atau insufisiensi aliran darah yang melewati pembuluh

darah yang berlokasi di medula spinalis. 4 Pada kasus ini, penyebabnya masih

perlu dipertimbangkan. Adanya riwayat kontak TB aktif dapat memungkinkan

5

terjadi infeksi yang berasal dari tuberkulosa. Namun perlu dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui causanya.

1. Myelitis Transversalis

a. Definisi

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut

yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik

klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala

disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus

saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya

melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna

posterior, dan funikulus anterior.1

b. Epidemiologi

Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di

kedua jenis kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga

tidak jelas. Sebuah puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru

per tahun) tampaknya terjadi antara 10 dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun.

Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat insiden,

diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis

melintang setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang

Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat gangguan ini.

Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika

penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya

sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis

berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam

keluarga.2

c. Etiologi

Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa

myelitis. Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada

medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan

6

yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah

yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat

terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa

vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik. 3

Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen

infeksi yang dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella

zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza,

echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan rubella.

Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan

Mycoplasma pneumonia.4

Myelitis transversa telah dihubungkan dengan penyakit

autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan

mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES

yang aktif.5

d. Patogenesis

Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif

akibat virus atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam

menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti

belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya

cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem

kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi

kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun,

sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme

asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi

dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam

sumsum tulang belakang. 6

Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi

arteriovenosa spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran

darah) atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang

menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan

sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang

7

belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau

faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen

dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa

metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka

tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke

jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum

tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan

serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat

menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis

transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai

akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung,

atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal. 6

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi

Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya

akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel

mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis.

Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan

parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi

menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang

berkembang menjadi MT. 8,9

MTA Parainfeksi

Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat

adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik

sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah digunakan untuk cedera neurologis

yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang

diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang

dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon

sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah

dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi

langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti

Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla

8

spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai

akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang

berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan

inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang

dapat dilihat pada pasien MT.9

Mimikri molekuler

Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan

inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS.

Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting

yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung

beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di

dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik,

juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar

lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni

ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan

dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf.

Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan

autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.

Microbial superantigen-mediated inflammation

Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan

terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen

mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai

kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi

terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah

diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok

toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi

limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen

konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional,

superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-

stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi

antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen

9

konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang

diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya

“lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9.

Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit

autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia,

banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan

penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen

sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki

jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan

autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari

Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia,

pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan

ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi

aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.

Abnormalitas Humoral

Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi

sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan

“self” dan “non-sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat

mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-

elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi

dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla

spinalis9.

e. Gambaran klinis

Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam

sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu

hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung

bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti membakar,

menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan

paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang

menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan

defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan

10

umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan.

Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien

mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.

Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis

transversa yang muncul:

1) kelemahan kaki dan tangan,

2) nyeri,

3) perubahan sensorik, dan

4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.

Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di

kaki mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya,

orang-orang dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki

mereka tampak lebih berat dari biasanya. Perkembangan penyakit selama

beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh dari kaki, yang

mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.

Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga

sampai setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di

punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan

bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.

Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan

istilah-istilah seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk

menggambarkan gejala mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang

myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga pakaian

atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak

nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga

mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang

ekstrem atau panas atau dingin.

Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary

urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air),

11

pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering

didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom

adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis

pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom,

walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung

progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6

Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin

melibatkan peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau

buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang air kecil, dan sembelit.

Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis

transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.

f. Perjalanan penyakit

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul

secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan

menjalar ke atas.

Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat

akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya

pengendalian pencernaan dan kandung kemih.

Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis

menentukan beratnya gejala yang timbul.

g. Diagnosa

Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi

medula spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik

maupun ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan

polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).

Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya

tidak didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200

sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100

ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di

mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan

12

pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta

pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga

terdapat pada kedua lengan.

Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena

perjalanan penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental

sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi

lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan kadar protein yang

meningkat tanpa disertai adanya sel.

Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta

pemeriksaan darah.

Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik

dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua

kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi.

Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi

semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari

penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis

Inclusion criteria1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the

spinal cord2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)3) Clearly-defined sensory level4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or

myelography; CT of spine not adequate)5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or

elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset meets kriteria

6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from point of awakening)

Exclusion criteria1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the

anterior spinal artery3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,

Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a

5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,

13

other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a

(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa

(b) History of clinically apparent optic neuritisa

AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis. (Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5

h. Pemeriksaan Penunjang

1) MRI

Evaluasi awal harus dapat menentukan apakah ada penyebab

struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau

spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium

harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.

2) CT-myelografi

14

Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan

struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.

3) Punksi Lumbal

Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan

pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi

ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan

glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.

4) Kultur CSF, PCR, titer antibodi

Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik

konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau

penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi

terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,

atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti

ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi

harus dilakukan.

5) Pemeriksaan Lainnya

Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit

inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,

sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,

pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A

(Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein,

dan level komplemen.

Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis

Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR CSF; Foto Thorax dan pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi

Autoimun Sistemik atau Penyakit Inflamasi

Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi

Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi paraneoplastik

15

serum dan CSFAcquired CNS Demyelinating Disease (sklerosis multiple, optic neuromielitis)

MRI otak dengan kontras gadolinium; CSF rutin; pemeriksaan visual evoked potential; serum NMO-IgG

Post infeksi atau post vaksinasi

Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi sebelumnya; konfirmasi serologi adanya infeksi; eksklusi penyebab lain

(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The

New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)

i. Penatalaksanaan

a. Immunoterapi inisial

Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk

menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang

terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis.

Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien

mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis

tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari)

diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus

pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian

glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang

datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari

pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik.

Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg

berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara

bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per

oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8

mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan

secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7

hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali

per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid,

penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari

16

atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat

diberikan antasid per oral.

Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu

gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi,

manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8.

Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang

tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan

elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan

dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari

tindakan ini.8

Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa

fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang

kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika

diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien

demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan

menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.

Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus

diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan

sebanyak 3 liter per hari diperlukan.

b. Respirasi dan Oropharyngeal Support

Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila

medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh

karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring

dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot

bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan

lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi

dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria,

disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan

pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian

feeding tube diperlukan atau tidak8.

17

c. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi

Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis

untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan

imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur

dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa

nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus

dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai

secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-

aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan

kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis,

mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun

demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis

belum diteliti secara khusus.

Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam.

Bila terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg

sebelum tidur.

d. Abnormalitas Tonus

Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut

(spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi

terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot

involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif,

tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan

fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa

baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien

dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.

Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi

sehingga sering menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat

diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4

kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk

mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.

e. Nyeri

18

Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan

setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung

pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan

posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini.

Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-

obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors

of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik. 8

f. Malaise

Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya

berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan

mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi

amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu

studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti

dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi

malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis,

tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum

pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.

g. Disfungsi Usus dan Genitourinari

Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis

transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut,

hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi

berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung

kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik

(oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk

memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk

menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan

untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-

adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan

urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien

memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung

kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan

19

irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis

(trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).

Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus

dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan

mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang

biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi

konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian

laksan.

Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari

mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi

genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau

anorgasmia.

j. Prognosis

Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan

pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu.

Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan

dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat

sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2

minggu terapi6.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 20 September 2018, pukul 08:00

WIB.

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

A. Kesadaran : Compos mentis

B. GCS : E4 M6 V5

C. Berat badan : 55 kg

D. Tinggi badan : 160 cm

E. Status gizi : BMI 21,4 (Normal)

F. Vital sign       

Saat masuk RS (11 September 2018)

20

TD : 120/70 mmHg

Nadi : 52 x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup

RR : 21 x/menit

Suhu : 36,8 0 C secara aksiler

Saat pemeriksaan (20 September 2018)

TD                 : 130/80 mmHg

Nadi              : 80 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup

RR                : 26 x/menit

Suhu              : 36,50 C secara aksiler

G. Status Internus1. Kepala : mesocephal

2. Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil

isokor (3 mm / 3 mm), edema pupil (-/-), reflek pupil direk (+/+), reflek

pupil indirek (+/+), reflek kornea (+/+), ptosis (-)

3. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)

4. Telinga : serumen (+/+), sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)

5. Mulut : bibir sianosis (-), karies dentis (-) atrofi papil lidah (-),

lidah deviasi (-), mulut merot ke kanan

6. Leher : simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (dalam batas normal)

7. Thorax :

a. Cor :

1) Inspeksi : tidak tampak ictus cordis

2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS

3) Perkusi :

a) Batas atas jatung : ICS 2 linea parasternal sinistra

b) Pinggang jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra

c) Batas kiri bawah jantung : ICS 6, 2 cm lateral dari linea

midclavikula sinistra

d) Batas kanan bawah jantung : ICS 6 linea parasternalis dextra

4) Auskultasi : BJ I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)

b. Pulmo :

21

Depan Dextra SinistraInspeksi

Palpasi

Perkusi

Auskultasi

Pergerakan simetris, retraksi (-)

Vokal fremitus normal kanan = kiri

Sonor seluruh lapang paru

SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)

Pergerakan simetris, retraksi (-)

Vokal fremitus normal kanan = kiri

Sonor seluruh lapang paru

SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)

Depan Belakang

SDV (+/+)

8. Abdomen :a. Inspeksi      : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit

sama dengan warna kulit sekitarb. Auskultasi  : Bising usus (+) normalc. Perkusi       : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)d. Palpasi        : Hepar & lien tak teraba, nyeri tekan (-)

9. Ekstremitas :a. Atas              : Oedem (-/-), CRT < 2 detikb. Bawah           : Oedem (+/+), CRT < 2 detik, Akral dingin (-/-)

10.Pemeriksaan punggung : pada palpasi teraba benjolan berjumlah satu di sebelah kiri tulang vertebra konsistensi kenyal, saat prabaan terasa panas dan nyeri (+).

H. Status Neurolois

1. Sikap tubuh : Simetris

2. Gerakan abnormal : -

3. Rangsang Meningeal :

a. Kaku kuduk : (-)

b. Kernig sign : (-)

c. Brudzinky I : (-)

d. Brudzinky II : (-)

e. Brudzinky III: (-)

22

f. Brudzinky IV: (-)

4. Pemeriksaan saraf kranial

NERVUS CRANIALIS Kanan KiriN.I Daya Penghidu Normal/NormalN.II

 

 

Daya Penglihatan Normal/NormalPenglihatan Warna Normal/Normal

Lapang Pandang Normal/Normal

N.III

 

 

 

 

Ptosis -/-Gerakan mata ke medial Normal/NormalGerakan mata ke atas Normal/NormalGerakan mata ke bawah Normal/NormalUkuran Pupil + (3 mm) + (3mm)Reflek cahaya Langsung + +Reflek cahaya konsensuil + +

Strabismus divergen -/-

N.IV

 

 

 

Gerakan mata ke lateral bawah +/+Strabismus konvergen -/-Menggigit Normal/Normal

Membuka mulut Normal/Normal

N.V

 

 

Sensibilitas muka Normal/NormalReflek kornea + +

Trismus -/-

N.VI

 

Gerakan mata ke lateral bawah +/+

Strabismus konvergen -/-

N.VII

 

 

 

 

 

 

Kedipan mata Normal/NormalLipatan nasolabial Simetris/simetrisSudut mulut Merot ke kanan/simetrisMengerutkan dahi Tidak ada kerutan/NormalMenutup mata Normal/NormalMeringis Merot kanan/NormalMenggembungkan pipi Normal/NormalDaya kecap lidah 2/3 depan Normal/Normal

23

 

N.VIII

Mendengar suara berbisik +/+Mendengar detik arloji +/+Tes Rinne Tidak dilakukanTes Schawabach Tidak dilakukanTes Weber Tidak dilakukan

N.IX

Arkus Faring Normal/NormalDaya kecap lidah 1/3 belakang Normal/NormalReflek muntah +Sengau –Tersedak –

N.X

Denyut nadi 80x/mnt regularArkus Faring Simetris/simetrisBersuara Normal/NormalMenelan Normal/Normal

N.XI

Memalingkan kepala Normal/NormalSikap bahu Normal/NormalMengangkat bahu Normal/NormalTrofi otot bahu Eutrofi/Eutrofi

N.XII

Sikap Lidah Normal/NormalArtikulasi Normal/NormalTremor Lidah -/-Menjulurkan Lidah Normal/NormalTrofi otot lidah Eutrofi/EutrofiFasikulasi Lidah -/-

5. Pemeriksaan fungsi sensorik

Kanan KiriEksteroseptif (setinggi segmen medulla

spinalis T7- T8) (setinggi segmen medulla

spinalis T7 – T 8 )Propioseptif + +

- -6. Pemeriksaan Motorik

G B B K 5 5 Tn N N Tr Eu

Eu

T T 0 0 Hiper Hiper Eu Eu

RF + + RP - - Cl

++ ++ + + + +

Keterangan : Refleks patologis babinsky (+)

7. Pemeriksaan Fungsi Vegetatif:

1) Miksi : sulit dinilai

24

2) Defekasi : BAB cair (-), inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

a. Darah LengkapPemeriksaan

Hasil Satuan Nilai Normal

Leukosit 8.6 ribu 3.8 – 10.6Eritrosit 4.84 juta 4.4 – 5.9Hemoglobin 14.1 g/dl 13.2 – 17.3Hematokrit 43.7 % 40 – 52MCV 90.3 Fl 80 – 98MCH 29.2 Pg 27 – 32MCHC 32.4 g/dl 32 – 37Trombosit 377 ribu 150 – 400RDW 14.1 % 10 – 16 MPV 7.5 Mikro m3 7 – 11Eosinofil absolute 0.30 10^3/ul 0.04 – 0.8Basofil absolute 0.03 10^3/ul 0 – 0.2Neutrofil absolute 5.38 10^3/ul 1.8 – 7.5Limfosit absolute 1.49 10^3/ul 1.0 – 4.5Monosit absolute 1.24 H 10^3/ul 0.2 – 1.0Eosinofil % 3.5 % 2 – 4 Basofil % 0.03 % 0 – 1 Neutrofil % 62.3 % 50 – 70 Limfosit % 19.6 L % 25 – 40 Monosit % 14.3 H % 2– 8 PCT 0.282 % 0.2 – 0.5PDW 7.3 L % 10 -18PTT 10.1 detik 9.3 – 11.4INR 0.97 detikAPTT 27.9 detik 24.5 – 32.8Golongan darah A

b) Kimia KlinikPemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Gukosa sewaktu 84 mg/dl 74 – 106SGOT 30 U/L 4.4 – 5.9SGPT 30 IU/L 13.2 – 17.3Ureum 27.3 mg/dL 40 – 52Kreatinin 1.03 Mg/dl 0.62 – 1.1

c) Urin Lengkap

Pemeriksaan

Hasil Satuan Nilai Normal

Warna Kuninh - -Kekeruhan Jernih - -Protein urin Negatif g/dL NegatifGlukosa urin Negatif Mmol NegatifpH 5.0 - 5 – 9

25

Bilirubin urin Negatif Umol/l NegatifUrobilinogen Negatif Umol/L NegatifBerat jenis urin 1.015 - 1000-1030Keton urin Negatif Mmol/L NegatifLekosit Negatif sel/mol NegatifEritrosit Negatif sel/mol NegatifNitrit Negatif - NegatifEritrosit 24.9 uL <6.4Lekosit 30.5 uL <5.8Epitel 7.2 uL <3.6Silinder 0.00 uL <0.47Bakteri 9.5 uL <23Kristal 0.0 - NegatifYeast 0.0 - NegatifEpitel tubulus 6.6 - NegatifSilinder patologis 0.00 - NegatifMucus 0.00 - NegatifSperma 0.0 - NegatifKonduktivity 8.9 - Negatif

d) Serologi

HbsAg : Non reaktif

2. Radiologi

A. Foto Rontgen Thorax PA

Hasil :

Kardiomegali

Gambaran pneumonia dengan -

underlying TB

B. Foto Rontgen Thorakolumbal Ap/Lat (15/09/2018)

Hasil :

Tampak kompresi wedging thoracal 3

Penyempitan diskus intervertebralis

VTH 2-3

Spondilosis thoracalis dan lumbal

26

C. USG Abdomen

Kesan :

Susp Nefrolithiasis kanan

Nefrolithiasis kiri

Complex cyst ginjal kiri

sistitis

D. Foto Rontgen BNO posisi

Kesan : Tak tampak gambaran ileus

VI. Diskusi IIPada pemeriksaan fisik saat pasien ditemui memiliki status

generalisata yang baik, dengan tidak adanya penurunan kesadaran, didapatkan

adanya kontak mata, motorik pasien dapat menggerakan sesuai instruksi

pemeriksa dan verbal pasien dapat menjawab pertanyaan dan menjelaskan

keluhannya dengan baik.

Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah pasien adalah 120/80

27

mmHg dalam batas normal, nadi 80x/menit dengan irama regular dan isi

cukup, laju nafas 26x/mnt dalam batas normal, suhu 36,5 derajat (afebris),

dan saturasi dalam keadaan baik walau tanpa oksigen.

Pada pemeriksaan fungsi motorik didapatkan adanya keterbatasan,

kelemahan kekuatan otot, peningkatan tonus, peningkatan reflex fisiologis

serta clonus pada kaki kanan dan kiri. Sehingga defisit neurologis pada pasien

ini mengarahkan ke kelainan lesi di Upper Motor Neuron (UMN) karena lesi

di UMN memiliki ciri-ciri spastis (kaku), hiperreflex, hipertonus, muncul

reflex patologis, dan dapat ditemukan adanya klonus. UMN terdiri atas otak

dan medula spinalis. Hal ini disebabkan karena adanya lesi pada medula

spinalis yang mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Peningkatan refleks

fisiologis juga didapatkan pada ekstremitas yang mengalami kelemahan, hal

ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi ke motor neuron. Didapatkan

adanya kelainan sensoris seperti berkurangnya kepekaan terhadap rangsang

yang diberikan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena saraf sensoris

(posterior root) ikut terlibat. Kelemahan kaki pasien membuat pasien tidak

bisa beraktivitas dan hanya di tempat tidur saja.

Berdasarkan hasil pemeriksaan foto rongten Thorak PA didapatkan

kardiomegali dan gambaran pneumonia dengan underlying TB. Hal ini dapat

mendukung kemungkinkan adaya infeksi TB yang sudah menyebar secara

hematogen maupun limfanogen sehingga memungkinkan terjadinya infeksi

TB pada medulla spinalis akan tetapi diagnosis tersebut masih lemah, karena

perlu dilakukan pemeriksaan lain yang lebih spesifik seperti pemeriksaan IgG

TB atau PCR TB. Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen thoracolumbal

tampak komprsi wedging thoracal 3, penyempitan diskus intervertebralis

VTH 2-3, dan spondilosis thoracalis lumbalis. Hal ini dapat menunjukkan

bahwa medula spinalis terkena dampaknya dan kompresi weding thoracal 3

dapat juga mendukung diagnosis suspek spondilitis TB, karena pada

spondilitis TB dapat terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan

terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),

yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat

28

terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini

terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat

kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

Perubahan bentuk vertebra akan menekan medula spinalis yang menyebabkan

keluhan pada pasien. Pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis biasanya

terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Penjelasan yang mungkin mengenai

hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang

mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada

vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan

menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara

medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai

melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale

di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya

lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian

anterior.

Pemeriksaan rontgen masih belum dapat menentukan causa pada

pasien ini. Masih diperlukan pemeriksaan lain seperti MRI yang dapat

memperlihatkan gambaran struktur tubuh. MRI merupakan pemeriksaan gold

standard untuk Myelitis transversalis. Secara radiologis kelainan karena

infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak

suatu lesi yang berbatas jelas. Jika infeksi terjadi pada bagian sentral korpus

vertebra, terisolasi sehingga disalah artikan sebagai tumor. Keadaan ini sering

menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain

sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Terbanyak di

temukan di regio torakal.

VII. DIAGNOSIS AKHIR :

Diagnosis klinis : Paraplegi inferior spastik, paraparestesia,

parahipestesia, retensi urin akut

Diagnosis tropis : Medulla spinalis setinggi segmen T7-T8

Diagnosis etiologi : myelitis transversalis e.c suspek spondilitis TB

VIII. PLANNING

29

Planning diagnosis :

MRI Thorakal

Kultur

Serologi IgG TB, PCR TB

LED

Pada penderita ini diberikan terapi :

Non Medikamentosa :

Edukasi keluarga mengenai penyakitnya

Rehabilitasi medik konsultasi dr. Sp.KFR (18/09/2018) dan

jawaban konsultasi : pasien disarankan menggunakan korset TLSO

(Thoraco Lumbal Sacral Orthosis) tetapi pasien menolak

imobilisasi

Medikamentosa :

Oksigen kanul 2 Liter pr menit

Inf RL 20 tpm

Inj metilprednisolon 4 x 125

Inj ranitidin 2x1 amp

Sohobion 1 x 1

Inj. seftriakson 2 x 2 gr

renadinac 50 mg 2 x 1

XI. DISKUSI III

Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa

dan medikamentosa sabagai berikut :

Inj Metilprednisolon 4 x 125

Metilprednisolon adalah kortikosteroid dengan aktivitas

imunosupresan dan anti-inflamasi.Sebagai imunosupresan

metilprednisolon bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh

terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi dengan jalan

menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan

menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk

makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Metilprednisolon

30

merupakan anti inflamasi yang direkomendasikan penggunaannya pada

pasien gejala neurologis dan peningkatan tekanan intrakranial.

Inj. Ranitidin 2x1 ampul

Pemberian Ranitidine ditujukan sebagai gastroprotektor untuk

mencegah terjadinya stress ulcer terutama pada pasien yang mendapat

nutrisi hanya lewat parenteral saja dapat meningkatkan resiko terjadinya

peningkatan asam lambung.

Sohobion 1 x 1 tablet

Pemberian sohobion ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan

penyakit karena kekurangan vitamin b1,b6,b12 seperti beri beri, neuritis

perifer dan neuralgia.

Inj. seftriakson 2 x 2 gr

Seftriakson adalah antibiotik yang berguna untuk pengobatan sejumlah infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga terjadi kebocoran sel bakteri dan bakteri lisis.

Renadinac 50 mg 2 x 1Renadinac 50 mg adalah obat yang mengandung Diclofenac Na digunakan

untuk membantu mengurangi nyeri, gangguan inflamasi (radang), nyeri ringan

sampai sedang pasca operasi khususnya ketika pasien juga mengalami

peradangan.

31

FOLLOW UPTanggal S O A P21 September ‘1806.00HP VI

Kaki tidak dapat digerakkan dari dada bagian bawah sampai kaki tidak terasa, jika kaki digerakkan punggung terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Kedua kaki bengkak.

TD : 150/80 mmhgHR : 80 x/mRR : 20 x/mT :36,8 0CSpO2 : 98%GCS : E4M6V5Kekuatan motorik :5/50/0Sensibilitas Sensorik menurun stinggi T7-T8

Myelitis transversalis dd susp spondilitis TB

Inj ranitidin 2x1 ampInj. Seftriakson 2 x 1 grMetil prednisolon 4x125 (dosis tetap)Sohobion 1 x 1

21 September ‘1806.00HP VII

Keluhan masih sama seperti sebelumnya

TD : 130/80 mmhgHR : 80 x/mRR : 20 x/mT :36,8 0CSpO2 : 98%GCS : E4M6V5Kekuatan motorik :5/50/0Sensibilitas Sensorik menurun stinggi T7-T8

Myelitis transversalis dd susp spondilitis TB

Inj ranitidin 2x1 ampInj. Seftriakson 2 x 1 grMetil prednisolon 4x125 (dosis tetap)Sohobion 1 x 1

Pasien dirujuk ke RSDK Untuk Pemeriksaan lebih lanjut

Obat PulangDiazepam 2 mg 2 x 1Meticobalamin 500 mg

32

2 x 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from : http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.

2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html

3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013. Available from:  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf 

4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available from:  http://jani-orthoprost.com/mielitis.html

5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from : http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?secret_password=&autodown=pdf

33

6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact Sheet Available from : http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.htm

7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from : http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html

8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 . Jakarta.

9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th

Edition. McGraw-Hill.

34