Author
nguyennhi
View
219
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Nama : Tn. S
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Sudah Menikah
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Kesongo Lor Tuntang
Tanggal masuk RS : 11 September 2018
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 September 2018 pukul 06.00 WIB di ruang rawat Ashoka kamar 103.1
A. Keluhan Utama :
Kedua kaki tidak dapat digerakkan
B. Riwayat PenyakitSekarang :
Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret, sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama sekali.
Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua telapak kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk jarum, sesak napas (+), sulit BAK (+) sehingga pasien harus menggunakan kateter urin, tidak bisa BAB (+) selama 3 hari, demam (-), nyeri kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), kesemutan (+) dikedua kaki, dan nyeri sendi pada kedua kaki (-). Penurunan berat badan (-), benjolan di punggung (-), Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, pasien sadar dan bicara tidak pelo.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa: disangkal
Riwayat Hipertensi: disangkal
Riwayat batuk lama: diakui tetapi jarang
Riwayat Tuberkulosis: disangkal
Riwayat HIV: disangkal
Riwayat penyakit paru: disangkal
Riwayat herpesdan varicela: disangkal
Riwayat tumor, kankr : disangkal
Riwayat trauma: diakui 10 tahun yang lalu, hingga menyebabkan wajah pasien sedikit merot
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat sakit kuning: disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa: disangkal
Riwayat batuk lama: disangkal
Riwayat Tuberkulosis: diakui sejak 1 tahun yang lalu (anak kandung dan tinggal serumah dengan pasien)
Riwayat HIV: disangkal
Riwayat penyakit paru: disangkal
Riwayat herpesdan varicela: disangkal
Riwayat tumor, kanker : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat sakit kuning: disangkal
E. Riwayat Pribadi :
Riwayat merokok : Diakui sejak 20 tahun yang lalu, sehari 3 sampai 4 batang rokok, terakhir berhenti 1 tahun yang lalu
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat konsumsi obat : Disangkal
F. Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai buruh panggul enceng gondok dengan jam kerja kurang lebih 8 jam dalam sehari. Pasien mengaku sering mengangkat beban dengan punggungnya dengan beban kurang lebih 50 kg. Pasien terdaftar sebagai peserta BPJS PBI. Pasien tinggal bersama dengan istri dan dua anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh diri sendiri dan istri. Kesan ekonomi kurang.
G. Anamnesis Sistem :
1. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (-), muntah (-), pingsan (-), kelemahan anggota gerak (+) di kedua kaki, perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan (+), baal (+)
2. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
3. Sistem Respirasi : Sesak napas (+) sejak keluhan kaki lemas muncul, batuk (-), riwayat sesak napas (-)
4. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), belum BAB selama 3 hari
5. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (+) pada ekstremitas bawah
6. Sistem Integumen : Ruam merah (-)
7. Sistem Urogenital : sulit BAK
H. Resume Anamnesis
Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret, sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama sekali. Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua telapak kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk jarum, sesak napas (+), sulit BAK (+), tidak bisa BAB (+) sejak 3 hari sebelum pemeriksaan, kesemutan (+) sebelum kaki lemas. Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran dan bicara pelo.
Pada riwayat penyakit dahulu terdapat kontak dengan TB Aktif yang tinggal serumah. Pasien merupakan buruh panggul enceng gondok setiap hari membawa beban panggul sekitar 50 kg, kesan ekonomi kurang
I. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis: paraplegia inferior, paraparestesia, parahipestesia, gangguan miksi akut
Diagnosis Topis: medulla spinalis
Diagnosis Etiologi: Myelitis transversa dd suspek spondilitis tuberkulosis dd Mielopati dd SOP dd HNP
III. DISKUSI I
Hasil anamnesis pasien didapatkan adanya kedua kaki pasien tidak dapat digerakkan sama sekali secara mendadak sejak 4 hari dirawat di RS, sebelum keluhan tersebut muncul pasien merasakan punggung nyeri pasien seperti ditusuk-tusuk jarum diikuti dengan kaki kanan kesemutan sejak 1 hari SMRS tetapi hilang timbul. keluhan tersebut juga disertai penurunan sensibilitas saat diberikan rangsangan. Kelemahan yang terjadi pada pasien dapat disebut plegia karena anggota gerak bawah pasien sama sekali tidak dapat digerakkan. Pada pasien ini terjadi plegia di kedua sisi anggota gerak bawah sehingga disebut paraplegia inferior. Didapatkan adanya keluhan lain, yaitu rasa nyeri seperti ditusuk dipunggung, baal dan sebelum keluhan muncul pasien merasa kesemutan . Keluhan ini disebut paraparestesia. Istilah merujuk pada sensasi abnormal seperti kesemutan, menggelitik, menusuk, mati rasa (baal) atau terbakar. Keluhan ini terjadi pada kedua anggota gerak bawah sehingga disebut paraparestesia inferior. Pasien juga mengeluh kurang terasa rabaan pada kedua kaki, sehingga disebut parahipestesia inferior.
Pada pasien ini tidak mengarah ke lesi di otak, melainkan cenderung lesi di medula spinalis. Lesi di otak akan mengakibatkan kelainan di salah satu sisi tubuh dan seringkali disertai gangguan fungsi luhur, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan hal-hal tersebut. Kelainan pada pasien berupa kelemahan di kedua anggota gerak bawah yang sering terjadi pada lesi di medula spinalis. Pada anamnesis didapatkan kontak langsung dengan penderita TB aktif sehingga memnungkinkan adanya suatu infeksi Tuberkulosa yang dapat menyebar secara hematogen maupun limfogen ke bagian vertebra . Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit ataupun kelainan pada medula spinalis (myelitis transversa).
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.1
Myelitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan penyakit lain. Inflamasi dapat berasal dari akibat infeksi virus, reaksi abnormal reaksi imun atau insufisiensi aliran darah yang melewati pembuluh darah yang berlokasi di medula spinalis. 4 Pada kasus ini, penyebabnya masih perlu dipertimbangkan. Adanya riwayat kontak TB aktif dapat memungkinkan terjadi infeksi yang berasal dari tuberkulosa. Namun perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui causanya.
1. Myelitis Transversalis
a. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior.1
b. Epidemiologi
Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi antara 10 dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat insiden, diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis melintang setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat gangguan ini. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam keluarga.2
c. Etiologi
Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik. 3
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan Mycoplasma pneumonia.4
Myelitis transversa telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES yang aktif.5
d. Patogenesis
Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum tulang belakang. 6
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal. 6
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi MT. 8,9
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata parainfeksi telah digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT.9
Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.
Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya lubang pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.
Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan self dan non-sel. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.
e. Gambaran klinis
Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.
Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang muncul:
1) kelemahan kaki dan tangan,
2) nyeri,
3) perubahan sensorik, dan
4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.
Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya. Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.
Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau dingin.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6
Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.
f. Perjalanan penyakit
Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.
Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung kemih.
Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya gejala yang timbul.
g. Diagnosa
Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan.
Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.
Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis
Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the spinal cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from point of awakening)
Exclusion criteria
1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years
2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the anterior spinal artery
3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis, Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma, other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,EpsteinBarr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis. (Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5
h. Pemeriksaan Penunjang
1) MRI
Evaluasi awal harus dapat menentukan apakah ada penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.
2) CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.
3) Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.
4) Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.
5) Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis
Kemungkinan Penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Infeksi
Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR CSF; Foto Thorax dan pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Autoimun Sistemik atau Penyakit Inflamasi
Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Paraneoplastik
Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating Disease (sklerosis multiple, optic neuromielitis)
MRI otak dengan kontras gadolinium; CSF rutin; pemeriksaan visual evoked potential; serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi
Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi sebelumnya; konfirmasi serologi adanya infeksi; eksklusi penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)
i. Penatalaksanaan
a. Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.
Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini.8
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
b. Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8.
c. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.
d. Abnormalitas Tonus
Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
e. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik. 8
f. Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.
g. Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor 1-adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia.
j. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 20 September 2018, pukul 08:00 WIB.
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
A. Kesadaran: Compos mentis
B. GCS: E4 M6 V5
C. Berat badan : 55 kg
D. Tinggi badan : 160 cm
E. Status gizi : BMI 21,4 (Normal)
F. Vital sign
Saat masuk RS (11 September 2018)
TD: 120/70 mmHg
Nadi: 52 x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR: 21 x/menit
Suhu: 36,8 0 C secara aksiler
Saat pemeriksaan (20 September 2018)
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,50C secara aksiler
G. Status Internus
1. Kepala: mesocephal
2. Mata: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm / 3 mm), edema pupil (-/-), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+), reflek kornea (+/+), ptosis (-)
3. Hidung: napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
4. Telinga: serumen (+/+), sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)
5. Mulut: bibir sianosis (-), karies dentis (-) atrofi papil lidah (-), lidah deviasi (-), mulut merot ke kanan
6. Leher: simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (dalam batas normal)
7. Thorax:
a. Cor:
1) Inspeksi: tidak tampak ictus cordis
2) Palpasi: Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
3) Perkusi:
a) Batas atas jatung: ICS 2 linea parasternal sinistra
b) Pinggang jantung: ICS 2 linea sternalis sinistra
c) Batas kiri bawah jantung : ICS 6, 2 cm lateral dari linea midclavikula sinistra
d) Batas kanan bawah jantung : ICS 6 linea parasternalis dextra
4) Auskultasi: BJ I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)
b. Pulmo:
Depan
Dextra
Sinistra
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pergerakan simetris, retraksi (-)
Vokal fremitus normal kanan = kiri
Sonor seluruh lapang paru
SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)
Pergerakan simetris, retraksi (-)
Vokal fremitus normal kanan = kiri
Sonor seluruh lapang paru
SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)
DepanBelakang
SDV (+/+)
8. Abdomen:
a. Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit sama dengan warna kulit sekitar
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
d. Palpasi : Hepar & lien tak teraba, nyeri tekan (-)
9. Ekstremitas:
a. Atas : Oedem (-/-), CRT < 2 detik
b. Bawah : Oedem (+/+), CRT < 2 detik, Akral dingin (-/-)
10. Pemeriksaan punggung : pada palpasi teraba benjolan berjumlah satu di sebelah kiri tulang vertebra konsistensi kenyal, saat prabaan terasa panas dan nyeri (+).
H. Status Neurolois
1. Sikap tubuh: Simetris
2. Gerakan abnormal: -
3. Rangsang Meningeal:
a. Kaku kuduk: (-)
b. Kernig sign: (-)
c. Brudzinky I: (-)
d. Brudzinky II: (-)
e. Brudzinky III: (-)
f. Brudzinky IV: (-)
4. Pemeriksaan saraf kranial
NERVUS CRANIALIS
Kanan
Kiri
N.I
Daya Penghidu
Normal/Normal
N.II
Daya Penglihatan
Normal/Normal
Penglihatan Warna
Normal/Normal
Lapang Pandang
Normal/Normal
N.III
Ptosis
-/-
Gerakan mata ke medial
Normal/Normal
Gerakan mata ke atas
Normal/Normal
Gerakan mata ke bawah
Normal/Normal
Ukuran Pupil
+ (3 mm)
+ (3mm)
Reflek cahaya Langsung
+
+
Reflek cahaya konsensuil
+
+
Strabismus divergen
-/-
N.IV
Gerakan mata ke lateral bawah
+/+
Strabismus konvergen
-/-
Menggigit
Normal/Normal
Membuka mulut
Normal/Normal
N.V
Sensibilitas muka
Normal/Normal
Reflek kornea
+
+
Trismus
-/-
N.VI
Gerakan mata ke lateral bawah
+/+
Strabismus konvergen
-/-
N.VII
Kedipan mata
Normal/Normal
Lipatan nasolabial
Simetris/simetris
Sudut mulut
Merot ke kanan/simetris
Mengerutkan dahi
Tidak ada kerutan/Normal
Menutup mata
Normal/Normal
Meringis
Merot kanan/Normal
Menggembungkan pipi
Normal/Normal
Daya kecap lidah 2/3 depan
Normal/Normal
N.VIII
Mendengar suara berbisik
+/+
Mendengar detik arloji
+/+
Tes Rinne
Tidak dilakukan
Tes Schawabach
Tidak dilakukan
Tes Weber
Tidak dilakukan
N.IX
Arkus Faring
Normal/Normal
Daya kecap lidah 1/3 belakang
Normal/Normal
Reflek muntah
+
Sengau
Tersedak
N.X
Denyut nadi
80x/mnt regular
Arkus Faring
Simetris/simetris
Bersuara
Normal/Normal
Menelan
Normal/Normal
N.XI
Memalingkan kepala
Normal/Normal
Sikap bahu
Normal/Normal
Mengangkat bahu
Normal/Normal
Trofi otot bahu
Eutrofi/Eutrofi
N.XII
Sikap Lidah
Normal/Normal
Artikulasi
Normal/Normal
Tremor Lidah
-/-
Menjulurkan Lidah
Normal/Normal
Trofi otot lidah
Eutrofi/Eutrofi
Fasikulasi Lidah
-/-
5. Pemeriksaan fungsi sensorik
Kanan
Kiri
Eksteroseptif
(setinggi segmen medulla spinalis T7- T8)
(setinggi segmen medulla spinalis T7 T 8 )
Propioseptif
+
+
-
-
6. Pemeriksaan Motorik
G B B K 5 5 Tn NN Tr Eu Eu
T T 0 0 HiperHiper Eu Eu
RF ++ RP --Cl
++++ ++ + +
Keterangan : Refleks patologis babinsky (+)
7. Pemeriksaan Fungsi Vegetatif:
1) Miksi : sulit dinilai
2) Defekasi : BAB cair (-), inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Darah Lengkap
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Leukosit
8.6
ribu
3.8 10.6
Eritrosit
4.84
juta
4.4 5.9
Hemoglobin
14.1
g/dl
13.2 17.3
Hematokrit
43.7
%
40 52
MCV
90.3
Fl
80 98
MCH
29.2
Pg
27 32
MCHC
32.4
g/dl
32 37
Trombosit
377
ribu
150 400
RDW
14.1
%
10 16
MPV
7.5
Mikro m3
7 11
Eosinofil absolute
0.30
10^3/ul
0.04 0.8
Basofil absolute
0.03
10^3/ul
0 0.2
Neutrofil absolute
5.38
10^3/ul
1.8 7.5
Limfosit absolute
1.49
10^3/ul
1.0 4.5
Monosit absolute
1.24 H
10^3/ul
0.2 1.0
Eosinofil %
3.5
%
2 4
Basofil %
0.03
%
0 1
Neutrofil %
62.3
%
50 70
Limfosit %
19.6 L
%
25 40
Monosit %
14.3 H
%
2 8
PCT
0.282
%
0.2 0.5
PDW
7.3 L
%
10 -18
PTT
10.1
detik
9.3 11.4
INR
0.97
detik
APTT
27.9
detik
24.5 32.8
Golongan darah
A
b) Kimia Klinik
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Gukosa sewaktu
84
mg/dl
74 106
SGOT
30
U/L
4.4 5.9
SGPT
30
IU/L
13.2 17.3
Ureum
27.3
mg/dL
40 52
Kreatinin
1.03
Mg/dl
0.62 1.1
c) Urin Lengkap
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Warna
Kuninh
-
-
Kekeruhan
Jernih
-
-
Protein urin
Negatif
g/dL
Negatif
Glukosa urin
Negatif
Mmol
Negatif
pH
5.0
-
5 9
Bilirubin urin
Negatif
Umol/l
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Umol/L
Negatif
Berat jenis urin
1.015
-
1000-1030
Keton urin
Negatif
Mmol/L
Negatif
Lekosit
Negatif
sel/mol
Negatif
Eritrosit
Negatif
sel/mol
Negatif
Nitrit
Negatif
-
Negatif
Eritrosit
24.9
uL