Upload
lamduong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MANDIRI
MATA KULIAH PENGEMBANGAN PROFESI
GURU PROFESIONAL DI TENGAH DUNIA PENDIDIKAN
Disusun Oleh:
ASJON ABASStb. K 202 09 013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya, makalah ini dapat diselesaikan dalam waktu yang diharapkan. Makalah ini merupakan
bagian dari kegiatan pembelajaran mata kuliah Pengembangan Profesi pada Program Studi
Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Tadulako.
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai wahana latihan dalam menuangkan ide
dan pikiran secara tertulis, logis, dan sistematis sesuai dengan konsep yang relevan serta untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Profesi.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan isi dan substansi dari makalah ini. Tak lupa pula
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Asep Mahpudz,
M.Si. dan Bapak Dr. Samsurizal M. Suleman, M.Si. selaku Dosen Pembina Mata Kuliah dan
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT tetap
memberikan petunjuk terhadap upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan
di masa yang akan datang.
Palu, Maret 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Sampul …………………………………………………………………… i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………... ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………….. 1
B. Tujuan …………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Kualitas Pendidikan ……………………………………… 3
B. Posisi Guru Dalam Pendidikan …………………………………… 4
C. Masalah Pendidikan …………...……………..…………………… 8
D. Peluang dan Tantangan Pendidikan yang Profesional .…………… 15
E. Upaya Membangun Guru yang Profesional ………………………. 23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 26
B. Saran ……………………………………………………………… 26
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….. 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat
dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa maupun secara eksternal dalam kaitan
dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan nasional masih
rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam
yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional
dengan berbagai alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa
krisis nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai
kesalahan guru. Benarkah ada unsur “salah” pada guru? Mungkin “ya” dan mungkin “tidak”
tergantung dari sudut mana memandang dan menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa
kondisi guru saat ini bersumber dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun
diakui guru sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru
belum memperoleh penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya.
Hal itu tercermin dari belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam
pelaksanaan tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga
negara.
Siapapun mulai dari presiden, wakil rakyat, para pejabat, dan semua warga masyarakat
sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus dirtingkatkan untuk mengejar
ketertinggalannya di dalam tantangan golal. Namun bagaimana upaya itu harus dilakukan
secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini akan mengemukakan satu
pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang
berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara
nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka.
Jika kita renungi masalah pembangunan pendidikan di Indonesia, sungguh mengundang
kita semua untuk dapat mencermati betapa pendidikan di Indonesia baru sekedar mampu
memberikan dampak langsung pendidikan yang diwujudkan dengan ijazah, tetapi belum
sampai memberikan dampak pengiring pengajaran yang indikatornya adanya kemampuan daya
saing sumberdaya manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha maupun tuntutan
dunia industry, apalagi persaingan dalam kancah percaturan dunia.
Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan makna kualitas pendidikan, posisi guru dalam pendidikan, masalah dan kendala, serta
upaya membangun pendidikan guru yang ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang
masih harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber empiris
dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun luar negeri. Dalam
ketidaksempurnaan ini ibarat setitik air di tengah samudera luas, namun semoga memberi
manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan dunia pendidikan pada umumnya.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami makna kualitas pendidikan
2. Memahami posisi guru dalam pendidikan
3. Memahami masalah pendidikan
4. Memahami peluang dan tantangan yang profesional
5. Memahami upaya membangun pendidikan guru yang profesional
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kualitas Pendidikan
Dalam konsep yang lebih luas, kualitas pendidikan mempunyai makna sebagai suatu
kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pendidikan yang menyangkut
proses dan atau hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu. Proses
pendidikan merupakan suatu keseluruhan aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam berbagai
dimensi baik internal maupun eksternal, baik kebijakan maupun oprasional, baik edukatif
maupun manajerial, baik pada tingkatan makro (nasional), regional, institusional, maupun
instruksional dan individual; baik pendidikan dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, dsb.
Dalam bahasan ini proses pendidikan yang dimaksud adalah proses pendidikan Proses
pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Kualitas
pendidikan bukan terletak pada besar atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau
miskin, permanen atau tidak, di kota atau di desa, gratis atau membayar, fasilitas yang “wah
dan keren”, guru sarjana atau bukan, berpakaian seragam atau tidak. Faktor-faktor yang
menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis
yang ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Salah satu
unsurnya ialah guru sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat
institusional dan instruksional.
Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu: produk,
efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”, adalah wujud hasil yang dicapai
pada akhir satu proses pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional, akhir semester,
akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan, dan sebagainya. Wujudnya dinyatakan dalam satu
satuan ukuran tertentu seperti angka, grade, peringkat, indeks prestasi, yudisium, UN, dan
sebagainya sebagai gambaran kualitas hasil pendidikan dalam periode tertentu. Hasil
pendidikan berupa “efek”, adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadian
peserta didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu
periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk hasil belajar
seperti angka dalam rapor, dan sebagainya, seharusnya memberikan pengaruh (efek) terhadap
perubahan keseluruhan perilaku/kepribadian peserta didik seperti dalam pemahaman diri, cara
berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang
berupa “dampak”, adalah berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan berupa produk dan
efek yang diperoleh peserta didik terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga
ataupun masyarakat secara keseluruhan.
B. Posisi Guru Dalam Pendidikan
Setiap tahun ajaran baru dimulai, guru-guru Sekolah Dasar Kelas I dengan rajin
mengajari peserta didiknya untuk menguasai dan dapat membawakan “Hymne Guru” agar pada
saat upacara dan kesempatan-kesempatan lain mereka dapat ikut menyenandungkan nyanyia itu
bersama kakak-kakak kelasnya. Bila suara dan pengahayatannya bagus, di antara anak-anak
tersebut mungkin ada juga yang terpilih untuk bergabung dalam kelompok paduan suara yang
mewakili sekolah dalam perlombaan antar Sekolah Dasar di tingkat kecamaan. Seorang guru
Sekolah Dasar mengakui, kadang-kadang ada perasaan rikuh ketika ia mengajari murid-
murudnya menghafalkan lagu ini karena seakan-akan ia minta dipuji oleh para muridnya.
Sejalan dengan itu, kesadaran dan kepedulian para guru, calon guru, sebagian
masyarakat dan pejabat pemerintah terhadap perbaikan nasib guru serta upaya mengangkat citra
dan martabat guru dirasakan semakin kuat. Kesadaran itu tumbuh melihat kenyataan bahwa
imbalan yang diterima oleh para guru belum layak dibandingkan dengan beban tugas yang
dipikulnya dan standar kehidupan yang sepantasnya diperoleh sesuai dengan predikatnya
sebagai pendidik generasi bangsa.
Dalam menjalankan tugasnya, guru tidak jarang pula mendapatkan perlakuan-perlakuan
yang kurang pada tempatnya. Misalnya pemotongan gaji untuk sesuatu yang sebenarnya kurang
perlu dan pengurusan kenaikan pangkat yang dipersulit oleh orang-orang tertentu di atasnya.
Kalangan yang peduli itu kemudian melihat kembali lirik Hymne Guru, menyimak kata
demi kata, kalimat demi kalimat, serta merenungkan makna eksplisit maupum implisitnya.
Ditemukan bahwa hingga baris kedua terakhir, tidak ada masalah. Memang demikianlah guru
adanya. Hanya ada saja, tidak ada masalah. Pertama, tidak ditemukan kata, kalimat, atau
makna baik secara eksplisit maupun implisit yang mengarah pada kesejahteraan dan
perlindungan terhadap diri dan profesinya sebagai guru sebagaimana dijamin dalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kedua, kandungan yang
ditekankan di dalamnya lebih pada pengabdian dan pengorbanan para guru untuk peserta didik
dan bangsanya, dan untuk itu mereka dihargai dan dijunjung tinggi. Tetapi, penghargaan itu
baru penghargaan moral berupa pengakuan atas jasa-jasanya. Bagaimana dengan penghargaan
dalam bentuk peningkatan kesejahteraan? Ketiga, begitu menginjak baris terakhiryang dapat
diibaratkan sebagai klimaksnya atau “gong”nya, ada sesuatu yang mengganggu guru adalah
kalimat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Memang semua julukan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat dan
kehormatan guru. Sebutan itu lebih dimaksudkan sebagai simbol pengabdian guru yang tanpa
tanda pamrih dan ikhlas. Sekalipun bekerja seharian untuk mendidik murid-muridnya dalam
rentang waktu belasan bahkan puluhan tahun, para guru tetap setia. Mereka tidak
mengharapkan ada kalungan medali atau kelak dimakamkan di taman makam pahlawan,
sekalipun sebagian anak didinya kemudian menjadi presiden, menteri, guru besar, jenderal, dan
konglomerat.
Di pihak lain, julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa bisa tidak
menguntungkan bagi para guru dan profesi keguruan. Dengan julukan tersebut, ada kesan
seakan-akan guru merupakan kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan yang terhormat,
bernilai, dan agung dalam mendidik bangsanya, namun atas keringat dan jerih payahnya
tersebut meeka mesti menerima apa adanya. Tidak perlu banyak menuntut atau adanya atau
mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang mereka dapatkan sekarang.
Jawaban klise yang sering mereka dengar bila mereka dengan penuh kerendahan hati,
rasa hormat, dan harapan (juga do’a kepada Alla Swt) mengungkapkan isi hatinya yang
berkaitan dengan nasibnya adalah “Siapa menyuruh Saudara jadi guru”, “Mengapa anda
memilih pekerjaan guru?”, atau “Tetap menjadi guru atau mundur, take in or leave if”. Sungguh
jawaban seperti ini tidak empatik yang membuat guru panas dingin, tidak tahu kepada siapa
lagi mereka mesti mengadu untuk menyampaikan isi hatinya.
Itulah kesan, citra, dan implikasi yang timbul dari julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa. Orang sinistik malah menyebut penggunaan julukan tersebut dalam Hymne Guru
yang semula berkonsentrasi dan bermaksud baik, berubah menjadi ibarat sebuah nyanyian
kematian bagi profesi keguruan.
Sesuai dengan judulnya, “guru” merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini,
karena siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses
pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya
akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan, yaitu guru. “No teacher no
education, no education no economic and social development”. Demikian prinsip dasar yang
diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat Bapak bangsanya,
yaitu Ho Chi Minh. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan.
Di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan
program-program pendidikan. Saatnya kini membuat kebijakan dengan paradigma baru, yaitu
membangun pendidikan dengan memulainya dari subyek “guru”. Tanpa itu semua
dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui pengembangan sumber daya manusia.
Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar secara
profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah yang
kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan
tuntutan, distribusi yang kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan
manajemen yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi
guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui perundang-undangan
yang mengatur pendidikan antara lain Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus
segera diimplementasikan pada tatanan operasional dan manajerial mulai di tingkat nasional,
regional, institusional, sampai tingkat instruksional.
Peran guru dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu:
1. Guru sebagai Pribadi
Kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan harus dimulai dengan dirinya
sendiri. Sebagai pribadi, guru merupakan perwujudan diri dengan seluruh keunikan
karakteristik yang sesuai dengan posisinya sebagai pemangku profesi keguruan. Kepribadian
merupakan landasan utama bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif baik dalam
melaksanakan tugas profesionalnya di lingkungan pendidikan dan di lingkungan kehidupan
lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi
yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Untuk itu,
ia harus mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkannya ke arah terwujudnya pribadi
yang sehat dan paripurna (fully functioning person).
2. Peran Guru di Keluarga
Dalam kaitan dengan keluarga, guru merupakan unsur keluarga sebagai pengelola
(suami atau isteri), sebagai anak, dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini mengandung
makna bahwa guru sebagai unsur keluarga berperan untuk membangun keluarga yang kokoh
sehingga menjadi fondasi bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur
pendidikan. Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh perlu ditopang antara lain
oleh: landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang sehat, suasana hubungan
inter dan antar keluarga yang harmonis, kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola
pendidikan keluarga yang efektif.
3. Peran Guru di Sekolah
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan
penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional,
dan eksperiensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan
tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu
sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan
lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik.
Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru
mengalami perluasan, yaitu sebagai pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran,
partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan
peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara
pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai
konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku
pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap
peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran,
guru mengelola keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan seluruh sumber-
sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar
akan tetapi juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai
pemimpin, guru menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk
mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif. Sebagai pembelajar, guru secara terus
menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas
profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai
karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugasnya.
Hamzah Uno (2008), posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan
berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran, dimana guru harus menempatkan diri sebagai:
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi, pelaksana, dan
pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam
melakukan kegiatan belajarnya memalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik.
d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan
kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus menciptakan kondisi kelas yang merangsang
peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif.
4. Peran Guru di Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru
merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota
masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan
pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai
mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam
kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke
dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah.
Selanjutnya, sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan
mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil
pendidikan yang bermutu.
C. Masalah Pendidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai
satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan
telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dan
sebagainya. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional
terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah yang berkaitan dengan kondisi guru
antara lain sebagai berikut.
1. Kuantitas, Kualitas, dan Distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk
menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di
berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di
daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini
masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Dari aspek penyebarannya, masih
terdapat ketidakseimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah. Dari aspek
kesesuaiannya, di SLTP dan SMA, masih terdapat ketidaksepadanan guru berdasarkan mata
pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kesejahteraan
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan
sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah (1) kesenjangan antara guru
dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen,
(3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan
guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji
oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru
pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas
di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan
karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada
yang beban tugasnya banyak misalnya di sekolah yang kekurangan guru, akan tetapi
imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman,
kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
3. Manajemen Guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang
lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan antara
lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dan sebagainya. Dari aspek unsur dan
prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurangterpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen,
pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat
keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan
pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari
aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan
guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara
proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada
berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan
otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin
semrawut.
4. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan
yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru
dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun
belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak
dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru
harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur
yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara
pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
5. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik prajabatan maupun dalam jabatan masih belum
memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum
terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan
pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping
kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada
sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga
diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap
menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan
sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya
pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar.
Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-
sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan
pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK
tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun
kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
Sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, begitu banyak sebutan
sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru yang digugu dan ditiru”, “Guru pejabat
mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, “guru sebagai sumber
teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa”, dan sebagainya. Tentunya ungkapan-
ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan
tugasnya, meskipun dalam kenyataannya banyak yang mempersepsi ungkapan-ungkapan
tersebut justru merupakan sanjungan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga membuat guru
tersandung. Guru dipandang memiliki prestise terhormat, akan tetapi sebagai profesi yang
rendah dengan imbalan yang tidak memadai.
Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan, seharusnya guru
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal pembinaan profesional dan dukungan
kesejahteraan melalui manajemen pendidikan yang kondusif. Menurut Carl D. Glickman
(1990) guru masih berada di lingkungan kerja yang disebut “The legacy of the One-Room
Schoolhouse” atau “warisan satu-kamar bangunan sekolah”. Dikatakan bahwa guru melakukan
tugas kerjanya berada dalam sebuah ruangan yang dibatasi empat dinding di kawasan bangunan
sekolah. Aktivitas guru dari menit ke menit dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun berada
dalam batas tembok empat dinding menata seluruh kelas, memeriksa kehadiran murid,
mengajar, menilai, dan sebagainya. Kondisi ini masih terus berlangsung dengan karakteristik
sebagai berikut:
1. Terisolasi
Penataan struktur ruang kelas tempat guru bertugas membuat guru bekerja secara
individual dan berada di lingkungan kerja yang terisolasi. Selama guru melakukan aktivitas
instruksional, pihak lain tidak mengamatinya termasuk para supervisor (pengawas). Guru
beraktivitas tanpa memperoleh umpan balik dari kinerjanya sehingga sulit bagi mereka untuk
memperoleh informasi balikan. Guru lain pun tidak dapat mengamati kinerja guru tersebut
sehingga sulit untuk terjadi proses berbagai pengalaman. Mungkin hal ini berbeda dengan
mereka yang bekerja dalam suasana kerja yang terbuka seperti di pabrik, di lapangan, di rumah
sakit, dan sebagainya. Mereka yang bekerja di lingkungan kerja seperti di rumah sakit, para
petugas baik professional, seperti dokter maupun para professional, seperti asisten, perawat,
dan sebagainya dapat saling mengamati kinerja masing-masing. Petugas senior dapat
membimbing yang senior terutama pemula, demikian juga tenaga paramedis. Situasi seperti ini
dapat memberikan pengaruh konstruktif bagi perkembangan profesi, namun hal seperti itu tidak
dijumpai dalam lingkungan kerja guru. Kepala sekolah, pengawas, atau pejabat pendidikan
jarang yang melakukan pengawasan dan pembinaan yang bersifat mengembangkan. Mereka
lebih banyak membahas hal-hal yang bersifat administratif.
2. Dilema Psikologis
Kondisi penataan lingkungan kerja seperti dikemukakan di atas, membuat guru secara
terus menerus tanpa putus senantiasa berhadapan dengan tantangan psikologis. Setiap hari guru
melaksanakan tugasnya dengan perilaku mengajar seperti mengecek kehadiran siswa,
memperhatikan siswa satu persatu, menyampaikan materi, mengajukan pertanyaan, menjawab
pertanyaan siswa, menulis, membacakan, memeriksa pekerjaan, melakukan teguran,
memberikan pujian, dsb. Kalau guru SD sebagai guru kelas hal itu dilakukan mulai dari
pelajaran yang satu ke pelajaran berikutnya sampai akhir waktu. Kalau guru mata pelajaran
seperti di SMP atau SMA rangkaian perilaku itu dilakukan dari satu kelas ke kelas lainnya
hingga berakhir jam pelajaran. Cukup banyak jumlah siswa yang harus dihadapi setiap hari
dengan berbagai ragam kepribadian mulai dari yang menyenangkan sampai ke yang
menjengkelkan, mulai dari yang cerdas sampai yang lambat, dan begitu banyak macam pola
tingkah laku siswa yang berasal dari berbagai latar belakang. Semua itu harus dihadapi dengan
sebaik-baiknya. Sebagai manusia biasa sudah tentu guru akan berhadapan dengan situasi
psikologis yang bersifat dilematis. Sebagai guru harus bertahan pada norma-norma etika
psikologis, namun sebagai manusia biasa iapun memiliki kualitas kondisi psikologis tertentu.
Kalau kurang memiliki daya tahan psikologis yang prima, maka dapat berkembang menjadi
konflik, frustrasi bahkan mendapat gangguan psikis.
Dilema psikologis yang dihadapi guru tidak hanya berhadapan dengan siswa, namun
dengan pihak orang tua, pihak kepala sekolah, dan birokrasi pendidikan. Orang tua
memberikan tuntutan tertentu menurut kehendak dan perasaannya. Pihak kepala sekolah dan
birokrasi lainnya lebih banyak menuntut hal-hal yang bersifat administratif. Belum lagi
tantangan yang bersifat sosial, ekonomi, kultural, dan bahkan politik cukup memberikan
tekanan psikologis. Guru dituntut berperilaku ideal normatif namun berbagai kendala ekonomis
membuat mereka berada dalam situasi konflik. Kondisi keluarga seperti tuntutan kebutuhan
hidup yang menyangkut sandang, pangan, dan papan, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sosial,
dan sebagainya makin menambah panjangnya deretan daftar tantangan dilema psikologis bagi
guru.
3. Rutinitas
Situasi lingkungan kerja sebagaimana dikemukakan di atas, membawa guru pada pola-
pola rutin. Semua aktivitas guru seolah-oleh sudah dipolakan sedemikian rupa sehingga
aktivitas guru terpasung dengan hal-hal yang rutin. Kurikulum dan silabus serta jadwal
mengajar setiap hari, jadwal mingguan, bulanan, bahkan tahunan, semuanya sudah diatur secara
administratif. Sedikit sekali guru berpeluang untuk dapat mengatur dirinya sendiri di luar
ketentuan yang rutin. Bahkan di masa lalu hal-hal yang sebenarnya menjadi tugas otonomi guru
sudah diatur dari atas seperti buku pelajaran, materi, metode mengajar, soal tes, persiapan
mengajar, serta juklak dan juknis lainnya. Kondisi rutinitas itu dapat menghambat
perkembangan kreativitas dan profesi guru, disamping memberikan dampak psikologis seperti
kebosanan, apatis, pasif, reaktif, mekanis, dan sebagainya.
4. Kendala Guru Pemula
Situasi lingkungan kerja seperti telah disebutkan di atas akan banyak menimbulkan
kendala bagi para guru pemula. Untuk memulai melaksanakan tugas dakam lingkungan yang
baru guru pmula memerlukan orientasi unmtuk mengenal situasi baru dalam mempersiapkan
diri untuk memulai melaksanakan tugas. Dalam kenyataan jarang sekali guru memperoleh
bantuan untuk memulai tugasnya. Guru-guru yang sudah ada terlebih dahulu atau guru senior
kurang banyak membantu. Dari pihak kedinasan dan birokrasi jarang ditemukan adanya
program orientasi awal masa tugas bagi pemula. Program yang disebut pendidikan dan
pelatihan prajabatan lebih banyak berkenaan dengan berbagai hal yang bersifat administratif
kepegawaian.
Kondisi seperti itu agak berbeda dibandingkan dengan lingkungan kerja profesi lain
seperti di bidang hukum, kesehatan, pemerintahan, bisnis, dan sebagainya. Dalam lingkungan
tersebut para pemula telah disiapkan program yang secara bertahap membantu untuk secara
bertahap dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Lingkungan kerja guru dengan
kondisi seperti itu menjadi kendala untuk memulai tugasnya. Para pemula harus berupaya
sendiri dalam melaksanakan tugas dan melakukan penyesuaian diri dalam berbagai aspek.
Dampak psikologis yang mungkin timbul adalah rasa terasing yang kemudian berkembang
menjada rasa kurang betah dan menurunnya motivasi kerja. Pada gilirannya keadaan seperti itu
berpengaruh terhadap efektiivitas kerja guru secara keseluruhan.
5. Karir Tak Berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dan
sebagainya menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional.
Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi
yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai
dengan magang kepada yang lebih senior dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin
tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang
langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi
seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah
puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang
semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke
guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun, dalam pelaksanaannya lebih
banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan
Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya
seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing
skripsi.
6. Kurang Dialog Mengenai Pengajaran
Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi berkenaan
dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya seperti kepala
sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas,
pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit
menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat
informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah.
Kalau terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan
santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan, dan
sebagainya. Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog
instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sayangnya
forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali lagi lebih banyak
mengarah ke hal-hal administratif.
7. Kurang Keterlibatan Dalam Pengambilan Keputusan Kurikulum Sekolah dan Pengajaran.
Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat satu
dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas, maka tidak heran
apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan
pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan
yang berada di garda terdepan pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak ditetapkan dari
atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seolah-olah sebuah resep
yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah
baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya.
Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?
D. Peluang dan Tantangan Pendidikan yang Profesional
Sebagai satu bentuk reformasi dan inovasi, kelahirannya akan memberikan peluang
sekaligus tantangan yang akan dihadapi oleh subyek-subyek terkait.
Pertama; bagi para Guru
Sebagai peluang, guru akan memperoleh jaminan dalam mewujudkan otonomi
pedagogis yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama pendidikan sehingga dapat
berkinerja secara profesional dan lebih optimal dengan dukungan kualitas kesejahteraan dan
perlindungan hukum yang memadai. Di samping itu guru berpeluang untuk memperoleh
jaminan sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya dalam suasana lingkungan
kerja yang kondusif dalam pengembangan karir baik profesi maupun pribadi. Semua peluang
tersebut apabila dapat terwujud akan membuat para guru berkinerja secara profesional dengan
dukungan kesejahteraan yang memadai dan dalam lingkungan kerja yang kondusif, serta
jaminan kepastian karir yang lebih prospektif. Namun semua peluang itu tidak serta merta akan
terwujud karena guru ditantang untuk mampu berkinerja sesuai dengan tuntutan undang-
undang. Guru harus memenuhi standar profesi baik dalam bentuk kualifikasi maupun
kompetensi sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang dan harus senantiasa
meningkatkan mutu profesionalnya melalui berbagai cara dan kesempatan. Guru ditantang
untuk dapat melaksanakan semua tuntutan undang-undang berkenaan dengan kewajiban
profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi. Hak untuk memperoleh kesejahteraan dan
jaminan hanya mungkin terwujud apabila yang bersangkutan mampu memenuhi kewajibannya
sebagai tantangan dari tuntutan undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
peluang yang mungkin akan dicapai oleh para guru, harus diikuti dengan kemampuan
menghadapi tantangan yang yang timbul dari implementasi undang-undang.
Tantangan guru profesional dalam era globalisasi, antara lain:
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi
informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.
Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan
guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan
guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya
justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang
dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan
di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah
sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya
pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran
guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan
sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar. Wen (2003) seorang
usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan.
Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani
kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan
masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian
yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi
pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup
pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya.
Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara
drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara
tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya.
Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas
internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan
sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena
dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan
peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi
mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial,
dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran
informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di
sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan
melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu
(Karsidi, 2004). Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi
informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang
peranprofesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan
agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut.
Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi
pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong
orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya
revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita
belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga
pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi
informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan. Pemilihan jenis media
sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan
sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigm
desentralistik. Sejak diundangkan UU Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintah Daerah maka
menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.
Menurut Tjokroamidjoyo dalam Jalal dan Supriyadi (2001), bahwa salah satu tujuan dari
desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya,
bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam
pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-
lebarnya. Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah
mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu
sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti
bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses
mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti
yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas
kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara
kolektif. Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan
peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan
terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah
menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi.
Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol
rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan
pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan
urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004) Desentralisasi
adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban
pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban
tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang
masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun
program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur
urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak
memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan
dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara
nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah
didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah. Kurikulum dan proses pendidikan dalam
kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya
terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah
tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa
Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3)
Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar;
(4) Standarstandar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan. Program-
program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-
kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah
agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi
pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya
nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harusdibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan
pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah
sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai
dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga
pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer
pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisamenampung sumbangan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-
kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan
kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah.
Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat
meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan
mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industry terhadap
lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai
dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain,
termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga
pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-
komponen lainnya di masyarakat.
Kedua; bagi Pemerintah.
Dengan berlakunya undang-undang guru, pemerintah mendapat tantangan untuk secara
konsekuen mengimplementasikan berbagai amanat undang-undang dalam berbagai aspek dan
dimensi pendidikan. Sesuai dengan amanat undang-undang, hal yang harus dilaksanakan antara
lain: (1) Menata berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan implementasi undang-
undang, (2) Menyediakan dana dan sarana untuk menunjang implementasi undang-undang. (2)
Mewujudkan satu sistem manajemen guru dan dosen dalam dalam satu sistem pengelolaan
yang profesional dan proporsional. (3) Pembenahan Sistem Pendidikan dan pelatihan yang
lebih fungsional untuk dan lebih berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan
kepribadian dan profesi, (4) Pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya)
bagi guru dan secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa
sehingga merangsang para guru dan melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan
memberikan kepuasan lahir batin.
Ketiga; bagi Organisasi Profesi
Organisasi profesi merupakan peluang untuk sebagai wadah perjuangan dalam
mewujudkan semua amanat yang tersirat dan tersurat dalam undang-undang. PGRI yang hingga
saat ini telah menjadi salah satu organisasi guru dengan usia paling lama dan memiliki potensi
yang cukup mantap dalam struktur, kultur, substansi dan SDM harus mampu menjadi
organisasi profesi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Sebagai organisasi profesi,
PGRI mempunyai fungsi sebagai wadah kebersamaan rasa kesejawatan para anggota dalam: (1)
mewujudkan keberadaannya di lingkungan masyarakat, (2) memperjuangkan segala aspirasi
dan kepentingannya suatu profesi, (3) menetapkan standar perilaku profesional, (4) melindungi
seluruh anggota, (5) meningkatkan kualitas kesejahteraan, (6) mengembangkan kualitas pribadi
dan profesi.
Keempat; bagi Penyelenggara Pendidikan
Sebagaimana kita maklumi, Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Guru dan
Dosen memberikan jaminan kesetaraan antara pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah (negeri) dan yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Bagi penyelenggara
pendidikan swasta kelahiran Undang-Undang Guru dan Dosen merupakan peluang bagi
peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu dan kesejahteraan para pengajar (guru
dan dosen). Namun hal itu merupakan tantangan tersendiri yang mungkin cukup berat dan
rumit sehingga bukan hal yang mustahil dapat menimbulkan komplikasi. Kondisi swasta yang
berbeda dengan negeri terutama dalam dana dan sarana menuntut pihak swasta harus bekerja
keras untuk mengejar ketertinggalan dengan negeri. Sementara itu, kondisi swasta memiliki
rentangan keragaman yang cukup besar antara satu dengan lainnya sehingga dalam
mengimplementasikan Undang-Undang Guru dan Dosen memerlukan adaptasi yang cukup
rumit dan memerlukan tahapan waktu dalam kurun yang panjang. Untuk itu dibutuhkan
kesiapan pihak swasta dan dukungan pemerintah dalam rangka mengembangkan kemitraan
penyelenggaraan pendidikan.
Kelima; Pihak Terkait Lainnya
Berbagai pihak terkait baik institusi maupun perorangan yang berada di lingkungan
penyelenggara pendidikan, birokrasi, lembaga legislatif, organisasi, dan masyarakat pada
umumnya, harus ikut berperan serta dalam implementasi undang-undang guru dan dosen.
Dalam hubungan ini semua pihak terkait mendapat tantangan untuk dapat memberikan
perlakuan secara tepat sebagai dukungan bagi guru dan dosen dalam mewujudkan dirinya
sesuai dengan amanat undang-undang guru. Langkah mendasar yang harus dilakukan oleh
pihak birokrasi adalah mereposisi guru dan dosen dalam pendidikan nasional dalam berbagai
tatanan dan dimensi pendidikan sesuai dengan tuntutan undang-undang. Selanjutnya guru dan
dosen harus diperlakukan sebagai subyek yang berada dalam tatanan manajerial yang berbasis
pendidikan sebagai mitra dalam pengelolaan yang luwes. Dengan demikian. Guru dan dosen
akan mewujud sebagai pribadi mandiri, matang, penuh percaya diri dan berwibawa untuk
tampil sebagai insan professional yang terjamin dan prospektif. Semua itu pada gilirannya akan
menunjang suksesnya kinerja pendidikan nasional sebagai infrastruktur pengembangan sumber
daya manusia.
Setiap aspek dunia pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi
tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan global seluruh umat manusia di
dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Robert B Tucker (2001)
mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21, yaitu: (1) kecepatan (speed), (2)
kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam
gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga (discounting), (7) pertambahan nilai (value added),
(8) pelayananan pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno age), (10)
jaminan mutu (quality control). Menurut Robert B. Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut
inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning,
learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching,
transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dan lain-lain), process
approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality
improvement, life skills, competency based curriculum.
Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan
dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-
Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk ketentuan hukum
lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggung
jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan
otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru
yang lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup
banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan
ketidakmampuan LPTK menghasilkan guru yang berkualitas. Menurut Linda Darling
Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjudul: ”Good Teacher
in Every Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve”, ada
beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, yaitu pertama; pemerintah dan masyarakat belum
menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin,
kedua, penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata
sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum; ketiga, banyak
pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya, keempat, hampir semua
meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik,
kelima masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas, keenam
para peneliti dan pendidik guru barui sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar
yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga
sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang
akan diajarkan di kelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan
pemahaman mengernai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan
landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai
pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-
Undang Guru dan Dosen.
Sehubungan dengan kritikan dan tantangan tersebut maka LPTK harus mau dan mampu
melakukan reformasi pola-pola pendidikan guru. Pola-pola lama harus dikembangkan sehingga
mampu menghasilkan guru yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu
dilakukan berbagai penataan sistem secara utuh dengan menempatkan proses pengajaran dan
pembelajaran sebagai inti dari sistem pendidikan guru. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel
menyebutnya proses interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai ”technical core”
dalam pendidikan guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik prajabatan maupun
dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input,
proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur subsistem secara utuh.
E. Upaya Membangun Pendidikan Guru yang Profesional
Menghadapi berbagai tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan
nasional, diperlukan guru berkualitas yang mampu mewujudkan kinerja profesional, modern,
dalam nuansa pendidikan dengan dukungan kesejahteraan yang memadai dan berada dalam
lindungan kepastian hukum. “Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi dan profesi bagi
seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan memalui interaksi edukatif
secara terpola, formal, dan sistematis. Saat ini telah lahir Undang-Undang Nomor 14 tahun
2006 tentang Guru dan Dosen sebagai satu landasan konstitusional yang sekaligus sebagai
payung hukum yang memberikan jaminan bagi para guru dan dosen secara profesional,
sejahtera, dan terlindungi. Undang-undang guru sangat diperlukan dengan tujuan: (1)
mengangkat harkat citra dan martabat guru, (2) meningkatkan yanggung jawab profesi guru
sebagai pengajar, pendidik, pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3)
memberdayakan dan mendayagunakan profesi guru secara optimal, (4) memberikan jaminan
kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru, (5) meningkatkan mutu pelayanan dan
hasil pendidikan, (6) mendorong peranserta masyarakat dan kepedulian terhadap guru.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 1 ayat 1) dinyatakan bahwa: ”Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru profesional akan tercermin dalam
penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam
materi maupun metode, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual,
dan kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. pribadi. Sementara itu,
perwujudan unjuk kerja profesional guru ditunjang dengan jiwa profesionalisme yaitu sikap
mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri sebagai guru profesional.
Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut:
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi.
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat
meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya.
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.
5. Memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Dalam UU Guru dan Dosen (pasal 7 ayat 1) prinsip profesional guru mencakup
karakteristik sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan dan idealisme, (b) memiliki
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (c) memiliki
kompetrensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (d) memiliki ikatan kesejawatan dan
kode etik profesi, (e) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f)
memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki
kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (h) memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan (i) memiliki organisasi
profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian.
Selanjutnya pasal 14 menyatakan bahwa guru mempunyai hak professional sebagai berikut: (a)
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
(b) mendapatkan poromosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, (c)
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, (d)
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, (e) memperoleh dan memanfaatkan
sarana dan prasaranban pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofeionalam, (f)
memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusaan,
penghargaan dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik
guru, dan peraturan perundang-undangan, (g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan
dalam melaksanakan tugas, (h) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi,
(i) memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, (j)
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi, dan/atau, (k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Beberapa substansi UU Guru dan Dosen yang bernilai “pembaharuan” untuk
mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan dengan:
1. Kualifikasi dan kompetensi guru: yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal
lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
2. Hak guru: penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat
tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru (pasal 15 ayat 1).
3. Kewajiban guru; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS
yang memenuhi persyaratan.
4. Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada
pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga pendidikan guru yang terpadu.
5. Perlindungan; guru mendapat perlindungan hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan
profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
6. Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk peningkatan kompetensi karir,
wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahtreraan dan atau pengabdian,
menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kualitas proses pendidikan suatu sekolah ditentukan pada unsur-unsur dinamis yang ada di
dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Salah satu unsurnya
ialah guru sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional
dan instruksional. Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang
yaitu produk, efek, dan dampak.
2. Peran guru dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu:
peran guru sebagai pribadi, peran guru di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Masalah yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain kuantitas, kualitas, dan distribusi;
kesejahteraan; manajemen guru; penghargaan terhadap guru; dan pendidikan guru.
4. Guru memiliki peluang untuk memperoleh jaminan dalam mewujudkan otonomi pedagogis
yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama pendidikan sehingga dapat berkinerja
secara profesional dan guru berpeluang untuk memperoleh jaminan sebagai warga negara
dengan segala hak dan kewajibannya. Sedangkan tantangan guru profesional dalam era
globalisasi, antara lain perkembangan teknologi informasi, otonomi daerah, dan
desentralisasi pendidikan.
5. Upaya membangun guru yang profesional antara lain (1) mengangkat harkat citra dan
martabat guru, (2) meningkatkan tanggungjawab profesi guru sebagai pengajar, pendidik,
pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3) memberdayakan dan mendayagunakan
profesi guru secara optimal, (4) memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan
terhadap profesi guru, (5) meningkatkan mutu pelayanan dan hasil pendidikan, (6)
mendorong peranserta masyarakat dan kepedulian terhadap guru.
B. Saran
Diharapkan para pembaca makalah ini, khususnya guru dapat meningkatkan dan
mengembangkan profesinya sehingga lebih berkualitas dalam upaya menambah wawasan dan
memperkaya khasanah pengetahuan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks OtonomiDaerah. Yogyakarta: Adicipta.
Karsidi, Ravik. 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah diPondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
Uno, Hamzah. 2008. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Wen, Sayling. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan), alih bahasa ArvinSaputra. Batam: Lucky Publisher.
http://dunia55pendidikan.blogspot.com/2010/02/guru-yang-profesional-itu-gimana-seh.html diakses tanggal 8 Maret 2010.
http://www.uns.ac.id/data/0023.pdf diakses tanggal 8 Maret 2010.