68
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan wahana pembentukan dan pelatihan peserta didik menjadi warga negara yang berkualitas dan bertanggungjawab bagi diri dan pembangunan bangsanya. Memasuki era masyarakat global, lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat berat berkaitan dengan upaya pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk mampu dan siap melakukan tataran kehidupan global yang serba dinamis. Kondisi ini semakin diperberat dengan cepatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa dampak pada terjadinya revolusi informasi dan telekomunikasi. Tataran masyarakat global telah mengikis batasan-batasan negara, sehingga menuntut setiap negara untuk sedini mungkin mempersiapkan diri agar tidak menjadi objek dari dinamisasi kehidupan global. 1

03 Bab i Pendahuluan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kti

Citation preview

BAB I

PAGE 2

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan wahana pembentukan dan pelatihan peserta didik menjadi warga negara yang berkualitas dan bertanggungjawab bagi diri dan pembangunan bangsanya. Memasuki era masyarakat global, lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat berat berkaitan dengan upaya pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk mampu dan siap melakukan tataran kehidupan global yang serba dinamis.Kondisi ini semakin diperberat dengan cepatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa dampak pada terjadinya revolusi informasi dan telekomunikasi. Tataran masyarakat global telah mengikis batasan-batasan negara, sehingga menuntut setiap negara untuk sedini mungkin mempersiapkan diri agar tidak menjadi objek dari dinamisasi kehidupan global.Untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas, maka lembaga pendidikan sebagai media strategis-formal untuk membentuk dan melatih peserta didik menjadi warga negara yang berkualitas dan mampu memerankan dirinya dalam kehidupan global, harus mampu menjadi sumber pembaharuan dan inovasi bagi kesejahteraan masyarakatnya.Hal ini didasari oleh suatu rasional, bahma tidak ada satu negarapun yang mampu dan dapat bersembunyi dari implikasi globalisasi yang telah merambah ke dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Menyadari begitu kuat dan derasnya pengaruh globalisasi, maka lembaga pendidikan dituntut untuk mampu memerankan dirinya sebagai media inovasi bagi perbaikan kualitas hidup masyarakat dimana pendidikan itu dilakukan. Pendekatan pengelolaan pendidikan bukan lagi diarahkan pada mencetak lulusan yang siap pakai, namun harus mulai digeser ke arah mencetak lulusan yang mandiri.Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai salah satu mata pelajaran wajib di Madrasah Tsanawiyah memiliki tujuan yang sangat strategis dalam kaitannya dengan pembentukan SDM yang berkualitas dan mandiri. Pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah bertujuan untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan, sikap, nilai-moral, dan keterampilan sosial agar dapat memahami lingkungan masyarakat sekitar dan sebagai bekal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Di samping itu, pembelajaran IPS juga dimaksudkan untuk mendidik dan melatih peserta didik sedini mungkin menjadi warga negara yang paham dan terampil dalam menyikapi berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakatnya (Hasan, 1996: 112).Dalam kenyataan yang tedadi di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran EPS khususnya pada jenjang Madrasah Tsanawiyah masih dihadapkan pada masalah rendalmya dan prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik. Laporan terakhir dari Kasi pergais Departemen Agama Kabupaten Brebes, menunjukkan bahwa Nilai Ebtanas Murni (NEM) IPS siswa Madrasah Tsanawiyah untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun 2000 hanya rata-rata 4,34. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa mutu pendidikan IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah masih memerlukan berbagai upaya agar tercapainya standar mutu sebagaimana yang diharapkan.Rendahnya mutu pendidikan dan prestasi belajar yang dicapai peserta didik dalam pembelajaran IPS disinyalir banyak dikontribusikan oleh model pembelajaran yang dianut dan diaplikasikan oleh guru didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari guru ke peserta didik.Beranjak dari asumsi tersebut, kalangan pembelajar (guru) akibatnya, mungkin saja guru merasa sudah melakukan pembelajaran yang baik, namun ternyata di satu sisi peserta didik tidak belajar. Artinya tidak terjadinya perubahan dan perkembangan stratifikasi kognitif pada diri peserta didik itu sendiri. Hal ini terjadi karena potensi peserta didik cenderung diabaikan selama berlangsungnya pembelajaran.Guru hanya berpikir bagaimana menghabiskan materi yang telah digariskan dalam kurikulum dalam limit waktu yang tersedia. Hal ini dipertegas lagi dengan seringnya guru menggunakan metode ceramah dalam pembelajarannya, sehingga peserta didik lebih banyak berposisi dan diposisikan sebagai objek pembelajaran.Pendekatan dan asumsi pembelajaran sebagaimana yang diuraikan di atas sudah saatnya untuk ditinggalkan khususnya dalam pembelajaran IPS, mengingat pembelajaran IPS senantiasa melibatkan aspek nilai dan keterampilan sosial yang secara pedagogis tidak mungkin bisa dibelajarkan secara bermakna melalui metode ceramah dan pendekatan transfering sebagaimana selama ini dikembangkan oleh guru.

Di samping itu, dalam pembelajaran IPS guru hendaknya mampu mengoptimalkan tumbuh dan berkembangnya potensi peserta didik secara holistik (Azis Wahab, 1987: 9) yang tidak bisa dipindahkan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik. Karena pada hakekatnya belajar dan mengajar memiliki esensi yang sangat berbeda, dimana kita bisa mengajar dengan baik namun di sisi lain peserta didik tidak belajar (Bodner, 1986: 873). Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan oleh guru hendaknya mampu memfasilitasi berkembangnya potensi peserta didik secara optimal, sehingga perolehan belajar mereka menjadi bermakna (Hasan, 1996: 91).Beranjak dari masalah dan kegagalan lembaga pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik, khususnya dalam pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah, nampaknya kita harus beralih pandangan dari pandangan konvensional yang lebih memposisikan -pendekatan pembelajaran pada upaya pemindahan pengetahuan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik menuju ke pandangan inovatif yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivis yang lebih memposisikan pembelajaran pada upaya self-reconstruction, dimana pengetahuan itu dibangun di dalam pikiran pembelajaran dan oleh pembelajar itu sendiri dengan fasilitasi guru.

Kalangan konstruktivis memandang bahwa pengetahuan itu pada dasarnya dibangun sendiri oleh peserta didik yang didasari oleh struktur kognitif yang telah ada dan dimiliki sebelum pembelajaran itu dilakukan. Jadi pada hakekatnya, dalam pembelajaran yang dikembangkan oleh guru, peserta didik itu sendirilah yang secara aktif membangun pengetahuannya dengan dilandasi oleh pengetahuan awal yang telah mereka miliki sebelum pembelajaran itu sendiri dilakukan (Fosnot 1989: 16). Sedangkan guru lebih banyak berposisi sebagai mediator dan fasilitator kreatif selama berlangsungnya pembelajaran (Shymasky, 1992: 761).Dalam kerangka konstruktif belajar dimaknai sebagai suatu upaya pengkonstruksian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dan sebelumnya (Tasker, 1992: 30).Belajar merupakan suatu proses pemaknaan yang melibatkan kontruksi-konstruksi dari para pembelajar (Fosnot, 1989: 20; Sadia 1996: 117). Selanjutnya Bruner (1960) menyatakan bahwa belajar menurut pandangan konstruktivis lebih diarahkan pada terbentuknya makna pada diri pebelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya.Sehingga dalam proses ini lebih ditekankan pada terbentuknya hubungan-hubungan makna antara pengetahuan yang telah ada dengan pengetahuan baru dengan fasilitasi kreatif guru selaku mediator pembelajaran. Dengan demikian, dilihat dari dimensi pembelajaran, model konstruktivis memandang belajar itu sebagai sebuah proses modifikasi ide dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pesert didik menuju terbentuknya pengetahuan baru. Di samping itu, aplikasi model konstruktivis dalam pembelajaran IPS memungkinkan peserta didik untuk menguasai materi pelajaran secara lebih komprehensif dan bermakna, mengingat mereka terlibat secara aktif selama berlangsungnya pembelajaran.Model konstruktivis memberi beberapa peluang bagi kalangan guru untuk mengatasu berbagai persoalan yang berkait dengan rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, karena model ini dapat memfasilitasi keterlibatan aktif dan berkembangnya keterampilan berpikir peserta didik selama pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Sadia (1996) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model konstruktivis sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa SLTP dalam pembelajaran IPS, serta secara signifikan dapat meningkatkan prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Bodner (1986) bahwa model konstruktivis menekankan pada pentingnya aliran informasi dua arah antara pembelajar dan guru, sehingga aktivitas mental mereka menjadi meningkat yang diiringi dengan peningkatan kapasitas belajarnya.Selanjutnya Tobinn dalarn Sadia (1996: 28) menyatakan bahwa pembentukan pengertian dan peningkatan aktivitas mental secara kognitif akan berimplikasi pada proses refleksi diri pembelajar terhadap pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki. Dengan demikian, peserta didik secara kreatif akan melakukan negosiasi-negosiasi ide, konsep, dan objek yang dipelajarinya termasuk nilai dan aspek-aspek sosial lainnya sampai terbentuknya pengetahuan baru berdasarkan apa yang telah mereka miliki sebelumnya.

Berdasarkan dari beberapa temuan penelitian terdahulu dengan didukung oleh beberapa teori sebagaimana yang diuraikan di atas, tampaknya model konstruktivis disinyalir dapat dijadikan sebagai alternatif strategis untuk mengatasi berbagai masalah seputar rendahnya kualitas mutu dan hasil pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs).Model pembelajaran konstruktivis ini tampaknya cukup teruji efektivitasnya dalam meningkatkan perolehan belajar peserta didik, namun yang perlu dikaji lebih jauh adalah bagaimana halnya dengan aplikasi model ini pada jenjang Madrasah Tsanawiyah yang secara psikologis para peserta didiknya masih berada pada tahap operasional-kongkrit. Untuk itu, aplikasi model konstruktivis dalam pembelajaran IPS yang dikembangkan dalam penelitian ini akan menggunakan model belajar learning cycle.Dengan berpijak pada beberapa keunggulan komparatif model konstruktivis dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional, maka penelitian ini akan diarahkan pada upaya penemuan dan pengembangan model konstruktivis yang sesuai dengan efektif bagi peserta didik kelas awal, khususnya dalam pembelajaran IPS untuk lingkungan Madrasah Tsanawiyah.B. Masalah dan Fokus Penelitian

Bertolak dari latar belakang dapat dikemukakan bahwa fokus masalah dalam penelitian ini bertumpu pada upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah. Berdasarkan pengamatan awal dapat ditunjukkan bahwa proses pembelajaran IPS di MTs terntyata lebih diwarnai oleh orientasi yang sangat kuat pada pencapaian target kurikulum, sehingga proses pembelajaran berlangsung dalam interaksi yang lebih condong pada pola satu arah.Proses pembelajaran diwarnai pula oleh dominasi guru menguasai kelas, sehingga aktivitas siswa tampak tidak aktif. Proses pembelajaran dikaitkan dengan produktivitas belajar, ternyata dalam pendidikan IPS di MTs masih terdapat kesenjangan yang cukup berarti, terutama, disebabkan guru belum memiliki peluang dan keberanian untuk mengoptimalkan kemampuannya untuk lebih mengaktitkan siswa dalam proses pembelajaran. Di lain pihak dapat ditemukan juga adanya kendala pada aspek budaya yang memungkinkan siswa sulit meningkatkan aktivitas belajarnya.Implikasi dari kondisi tersebut adalah semakin menguatnya opini yang berkembang di kalangan peserta didik bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang membosankan dan tidak banyak membantu mereka dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasarkab preposisi di atas, maka masalah kemudian yang timbul adalah bagaimanakah membelajarkan IPS agar mampu mengadaptasi entry behavior dan prior knowledge peserta didik, khususnya yang menyangkut aspek nilai-moral masyarakat.Di samping itu, model pembelajaran yang bagaimanakah yang mampu mengakomodasi aspek tersebut sehingga pembelajaran yang dilakukan oleh guru bemakna bagi siswa, terutama. dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dan berkembang di lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks ini pembelajaran yang dirancang dan diaplikasikan oleh guru harus mampu merangsang kemampuan berpikir peserta didik sehingga nantinya dapat meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi IPS yang dibelajarkan.Di samping itu, pola pembelajaran yang dikembangkan hendaknya mampu meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik, termasuk sikap tanggap terhadap berbagai persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ada dan berkembang di lingkungan sekitarnya.Atas dasar masalah di atas, maka kajian dalam penelitian ini difokuskan pada upaya penemuan model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman materi, keterampilan berpikir, evaluasi belajar, dan sumber belajar pendidikan IPS bagi siswa di Madrasah.

Bertolak dari latar belakang dan fokus masalah di atas, maka dapat diformulasikan paradigma penelitian sebagai berikut :

Bagan 1 Paradigma PenelitianC. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang dan identifikasi serta fokus masalah di atas, maka permasalahan pokok yang hendak dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah : "Model pembelajaran IPS yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan pemahaman materi dan keterampilan berpikir siswa di Madrasah Tsanawiyah?". Berdasarkan permasalahan pokok tersebut dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran umum kegiatan belajar mengajar mata pelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah dengan menerapkan konsep konstruktivisme?2. Bagaimanakah kondisi aktual perancangan pembelajaran, kinerja guru, aktivitas siswa, pemanfaatan instrumen pembelajaran, dan pola evaluasinya dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah?3. Bagaimanakah siklus pembelajaran dalarn pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah mampu menjadi salah satu pendekatan terhadap pembelajaran efektif dan efisien?

4. Model konstruktivis yang bagaimanakah yang cocok dikembangkan dalam pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah, yang meliputi aspek proses pengembangan model, langkah-langkah pengembangan model, dan hasil pengembangan model?5. Bagaimanakah efektivitas aplikasi model konstruktivitas dengan pendekatan learning cycle dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah, khususnya dalam aspek-aspek pemahaman materi IPS, keterampilan berpikir siswa, dan pemanfaatan instrumen pembelajaran?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus masalah dan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menemukan profil proses pembelajaran IPS yang selama ini dikembangkan di Madrasah Tsanawiyah2. Menghasilkan model konstruktivis dengan menggunakan pendekatan learning cycle yang mampu meningkatkan pemahaman materi dan keterampilan berpikir siswa dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah3. Menguji keunggulan perbandingan model konstruktivis dengan pendekatan learning cycle dengan model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan pemahaman materi dan keterampilan berpikir siswa dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah, khsusnya di Madrasah Tsanawiyah negeri dan swasta yang berada di wilayah Kabupaten Brebes?

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan dari fokus masalah dan tujuan penelitian di atas, maka temuan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Pengembangan model pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah, sehingga memperluas cakrawala dan komprehensivitas model-model pembelajaran dalam IPS, karena model konstruktivis dengan pendekatan learning cycle merupakan sesuatu yang baru dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah.

2. Pihak pengambil kebijakan pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan temuan penelitian ini khususnya yang menyangkut produk pembelajarannya, nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk pengembangan dan peningkatan kualitas proses dan produk pembelajaran pada jenjang Madrasah Tsanawiyah, sehingga tujuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dapat tercapai dengan lebih baik dan komprehensif.

3. Bagi guru, penggunaan model konstruktivis dapat memperbaiki kualitas proses dan produk pembelajaran, sehingga secara akademik hal tersebut juga dapat meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru yang pada akhirnya akan membantu mereka dalam mengembangkan pembelajaran yang efektif dan bermakna bagi peserta didik.

4. Bagi murid, implementasi model konstruktivis diharapkan dapat membantu dan memfasilitas mereka untuk dapat memahami materi IPS secara lebih baik dan mengembangkan keterampilan berpikirnya sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perolehan belajarnya. F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pemahaman dan penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan antara lain :

1. Model Pembelajaran Konstruktivis

Yang dimaksud dalam, penelitian ini adalah suatu desain atau prosedur pembelajaran yang mengacu pada pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu direkonstruksi atau dibangun di dalam dan oleh pebelajar itu sendiri yang berlangsung melalui proses asimilasi dan/atau akomodasi yang didasari oleh struktur kognitif atau pengetahuan yang telah ada atau dimiliki oleh pebelajar sebelumnya (Bodner, 1986: 21).Dalam proses pembelalaran dengan model konstruktivis, peserta didik itu sendirilah yang aktif secara mental akademis dalam mencari membangun pengetahuannya dengan cara menghubungkan informasi baru yang diperoleh dengan pengetahuan yang telah dimilikinya sampai akhirnya terbangun pengetahuan baru yang dapat dipahami (Piaget, 1967: 141). Guru dalam konteks pembelajaran konstruktivis lebih banyak berposisi sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran selama berlangsungnya aktivitas belajar oleh peserta didik (Osborn, 1993 : 47).

Model belajar konstruktivis dirancang untuk membantu peserta didik dalam membangun pengetahuan dan keterampilan berpikirnya, dimana terminologi yang digunakan mengacu pada aktivitas mental seseorang yang telah berisi oleh berbagai pengalaman dan pengetahuan sebelum mereka mempelajari atau memahami sesuatu yang baru.

Untuk itu, sesuatu informasi atau pengetahuan baru harus diorganisir dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik agar mereka dapat menerima pengetahuan yang baru itu dengan baik. Dalam konteks inilah pembelajaran bermakna akan terwujud. Artinya peserta didik akan dapat memahami pengetahuan atau informasi yang baru dengan baik bilamana hal itu sesuai atau berhubungan dengan apa yang telah mereka pahami dan kuasai sebelumnya.

Model belajar konstruktivis diimplementasikan dengan berlandaskan pada rasional pemikiran bahwa pengetahuan awal (prior knowledge) peserta, didik perlu akomodir secara baik sebelum mereka diberikan atau mempelajari pengetahuan yang baru. Karena melalui proses asimilasi dan akomodasi antara pengetahuan yang baru. Karena melalui proses asimilasi dan akomodasi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru akan terbentuk pemahaman yang komprehensif pada diri peserta didik terhadap pengetahuan yang baru tersebut.

2. Pendekatan Learning CyclePendekatan Learning Cycle merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri dan menyusun kembali pengetahuan itu, menghubungkan pengetahuan baru dengan apa yang telah diketahui, dan mengaplikasikan pengetahuan baru itu dengan cara yang berbeda dengan situasi yang dipelajari.

Dengan demikian, pendekatan ini dapat digunakan secara efektif bagi seluruh siswa dalam setiap tingkatan/kela (Karplus, 1979; Abraham & Renner, 1989: dalam Sunal, 1993: 27). Dengan demikian, pendekatan ini lebih menekankan pada aktivitas peserta didik dalam memahami materi yang dibelajarkan dengan tetap berdasar pada apa yang telah mereka pahami atau ketahui menyangkut materi yang akan dibelajarkan. Pendekatan ini mendukung rasional model konstruktivis dengan memposisikan pengetahuan awal peserta didik merupakan sesuai yang sangat vital dalarn pembelajaran.

3. Pemahaman Materi IPS

Proses pembelajaran sebagai suatu kegiatan belajar mengajar bertujuan bagaimana peserta didik menjadi mengerti dan memahami tentang apa yang mereka pelajari (Azis Wahab, 1987; Kosasih, 1994; Hasan, 1996). Dalam proses kegiatan belajar mengajar yang didesain oleh guru harus dikondisikan untuk membantu peserta didik untuk dapat mengerti dan memahami materi yang dibelajarkan secara baik dan bermakna (Waterworth, 1999: 3). Agar supaya siswa dapat mengerti dan memahami materi yang dibelajarkan, maka guru harus mengkondisikan bagaimana proses pembelajaran itu secara kondusif.

Berdasarkan dari pandangan di atas, maka pemahaman materi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan peserta didik untuk mengerti dan memahami materi yang dibelajarkan oleh guru, dimana hal itu. dapat dilihat dari kemampuan mereka menjawab soal-soal yang diberikan pada setiap akhir pembahasan satu pokok bahasan. Adapun yang menjadi kriteria dari pemahaman materi ini ditunjukkan dari nilai yang diperoleh oleh siswa dalam menjawab soal yang diberikan oleh guru. 4. Keterampilan Berpikir

Berpikir secara umum diasumsikan sebagai suatu proses kognitif yaitu aktivitas mental dengan mana pengetahuan itu didapatkan (Arthur L. Costa, 1988:43). Selanjutnya dikatakan berpikir juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan mental untuk memperolch suatu pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tertentu yang disadari. Berdasarkan pendapat tersebut, maka keterampilan berpikir didefinisikan sebagai keterampilan seseorang dalam melakukan operasi mental khas untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam penelitian ini keterampilan berpikir dibatasi pada lima ciri utama ketrampilan berpikir sebagai yang dikatakan oleh Piaget yaitu: keterampilan analisis, keterampilan hipotesis, keterampilan evaluatif, dan keterampilan mengambil keputusan. Secara operasional, keterampilan berpikir dalam penelitian ini didefinisikan sebagai skor yang diperoleh oleh peserta didik dalam mengerjakan tes keterampilan berpikir yang disusun peneliti dengan aspek-aspek yang meliputi keterampilan menganalisis, keterampilan berhipotesis, keterampilan evaluatif, dan keterampilan mengambil keputusan.

5. Pengetahuan Awal (Prior Knowledge)Pengetahuan awal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik, baik yang berupa ide maupun konsep sebelum pengetahuan itu dibelajarkan oleh guru dalam konteks pembelajaran dalam kelas. Konsep maupun ide yang dimaksud merupakan pengetahuan pribadi peserta didik yang diperoleh melalui belajar informal dalam pergaulan sehari-hari, baik di dalam keluarga maupun masyarakat.Pengetahuan yang dimaksud merupakan pengetahuan sehari-hari, dimana diantaranya ada yang telah berupa pengetahuan ilmiah dan berkaitan dengan materi yang dibelajarkan di dalam kelas. Secara operasional, pengetahuan awal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya oleh peserta didik tentang materi IPS sebelum materi itu dibelajarkan. G. Kerangka Teoritik

1. Hakekat dan Konsepsi Model Pembelajaran Konstruktivis Ada keterkaitan antara apa yang telah ada dan diketahui dengan informasi atau data baru yang diterima, sehingga terbentuklah pengetahuan baru pada diri seseorang. Pengetahuan menurut pandangan konstruktivis pada dasarnya bukan merupakan tiruan (copy) dari dunia kenyataan melainkan senantiasa merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan individu, individu membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk memperoleh pengetahuan, dan pengetahuan itu dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang yang dapat dijadikan dasar untuk memahami pengalaman-pengalaman baru yang di terimanya (Supamo, 1997: 21; Sadia, 1997: 72).

Konstruktivisme sebagai sebuah model pernbelajaran memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Jika dalam pendekatan konvensional mendasarkan diri pada teori objektif, dimana asumsi dasar yang melatarbelakangi adalah bahwa pengetahuan bisa dipindahkan secara utuh dari kepala pembelajar (guru) ke kepala pembelajar (peserta didik), maka pendekatan konstruktivis justru menekankan bahwa ada banyak cara untuk menstruktur makna dimana makna itu berasal dari pengalaman pribadi peserta didik itu sendiri.

Konstruktivisme oleh Piaget didefinisikan sebagai suatu cara untuk menjelaskan bagaimana manusia sampai pada pengetahuannya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan, Piaget berkesimpulan bahwa pengetahuan di bangun dalam diri anak (Dahar,1989). Piaget juga menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sebagai upaya keras pelajar untuk mengorganisasikan pengalamannya dengan skema-skema atau struktur kognitif yang telah ada sebelumnya pada anak itu sendiri. Lebih lanjut, menurut pandangan konstruktivis, pengetahuan berkembang bersifat holistik daripada melalui mengingat fakta-fakta yang terpisah-pisah (Stopsky and Lee, 1994: 312). Berdasarkan pengertian di atas, maka belajar menurut pendekatan konstruktivis memiliki tiga indikator, yaitu pembentukan makna yang holistik, masukan sensori baru, dan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge). Dengan demikian dapat diartikan bahwa belajar adalah proses pembentukan makna secara aktif oleh pembelajar sendiri terhadap masukan sensori baru yang didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya.

Piaget (Oloughlin, 1992: 15) menyatakan bahwa, belajar dalam perspektif konstruktivis meliputi proses pembelajaran sebagai berikut. Pertama, pembelajar secara aktif memilih dan mengamati beberapa masukan sensori baru dari lingkungannya. Dalam hal ini, struktur kognitif yang telah ada pada diri pembelajar sangat berpengaruh terhadap pemilihan masukan sensori yang akan dicermatinya.

Kedua, masukan sensori yang telah dipilih dan menjadi penelitiannya tidak segera bermakna bagi dirinya. Untuk dapat memberi makna terhadap masukan sensori, pembelajar terlebih dahulu membangun hubungan antara masukan sensori dan gagasan-gagasan yang telah ada pada dirinya.

Ketiga, makna-makna masukan sensori yang telah disusunnya dan dirasakan bertentangan dengan memori dan pengalamannya mungkin akan diujinya. Keempat, makna-makna atas masukan sensori yang diwujudkan sebagai suatu pengetahuan baru akan dimasukkan ke dalam salah satu memori dengan jalan menghubungkannya dengan gagasan-gagasan yang telah ada (proses asimilasi) atau dengan cara menstrukturisasi gagasan-gagasan yang telah dimiliki sebelumnya (proses akomodasi).

O'Loughlin (1992: 53) sebagai pendukung konstruktivis, menyatakan bahwa pandangan tentang pengetahuan di dasarkan atas empat prinsip, yaitu bahwa (1) pengetahuan dibentuk dari post construction, (2) pengkonstruksian pengetahuan itu terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi yang memungkinkan subjek memberi interpretasi makna dan proses regulasi diri terhadap informasi yang didapat dari lingkungan, (3) dalam proses pembentukan pengetahuan tersebut subjek belajar adalah sebagai suatu proses inkuiri diri yang dinamis dan bukan semata-mata proses akumulasi pengetahuan, dan (4) proses belajar memperoleh pengetahuan pada dasarnya adalah secara holistik dan bermakna melalui proses refleksi diri.

Melalui keyakinan terhadap prinsip-prinsip ini, White (1993: 9) memberikan petunjuk bagaimana mengimplementasikan model konstruktivis dalam pembelajaran di kelas-kelas social studies pada college of education di Amerika. Selanjutnya White menyatakan bahwa pembelajaran haruslah dirancang ke dalam aktivitas-aktivitas autentik yang meliputi kegiatan percontohan atau modeling, refleksi, melibatkan siswa atau mahasiswa secara aktif, dan mengembangkan suatu masyarakat pebelajar melalui pelatihan keterampilan berpikir.

Berdasarkan pandangan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa semua pengetahuan manusia adalah hasil konstruksi manusia sendiri, yang secara terus menerus berkembang dan berubah berdasarkan pengalaman-pengalaman baru. Implikasinya, dalam belajar siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan, pengertian, konsepsi, dan/atau makna melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran, sehingga guru tidak dapat begitu saja mentransmisikan pengetahuan, pengertian, makna, konsep, atau ide-ide yang dimilikinya ke dalam kepala/pikiran siswa, melainkan memfasilitasi siswa secara aktif mengkonstruksi atau menginterprestasinya berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Tugas utama para guru adalah membantu dan menciptakan lingkungan yang kondusif agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan, pengertian, makna, konsep atau ide-ide dalam pengalaman pembelajaran.

Telaah mengenai hakikat pengetahuan dan belajar dari perspektif konstruktivis dimulai dengan mengkaji teori perkembangan kognitif yang dikemukakan Jean Piaget sebab Piaget dipandang sebagai penganut konstruktivisme atau konstruktivis yang pertama (Bodner, 1986), dan hasil kerja intensif Piaget dan rekan-rekan sekerjanya dalam upaya mempelajari perkembangan struktur kognitif anak adalah mendukung, menguraikan dan/atau menjelaskan, serta memberikan contoh ide-ide atau gagasan-gagasan konstruktivis (Yager, 1995: 13).

Menurut teori Piagiet, pengetahuan atau struktur kognitif seseorang merupakan hasil interaksi secara aktif antara individu dengan lingkungannya dan berkembang secara kuantitas maupun kualitas seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman (Suparno, 1997). Salah satu penekanan utama dalam kurikulum dan belajar-mengajar pendidikan IPS yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme adalah peran aktif siswa dalam membentuk pengetahuan.

Struktur-struktur atau skemata yang telah ada atau dimiliki seseorang merupakan fondasi untuk memahami dunia realita, dan struktur-struktur yang terbentuk kemudian dikomplementasikan ke dalam struktur atau skemata sebelumnya yang menjadikan struktur kognitifnya semakin sempurna dan kompleks (Piaget, 1951: 329).Menurut Piaget secara umum perkembangan struktur-struktur kognitif seseorang mengalami empat tahap. Tahap pertama, sensori motor, yang dicirikan oleh perkembangan anak yang masih didominasi oleh kegiatan sensorik dan tindakan-tindakan motorik. Tahap kedua, pra operasional, yang dicirikan oleh kemampuan berpikir pra logis (klasifikasi berdasarkan satu ciri, terpusat dan terpengaruh oleh kesan visual, ireversibel dan egosentris).

Tahap ketiga, operasional konkret, yang dicirikan oleh kemampuan berpikir logis yang dapat ditunjukkan pada penguasaan konsep konservasi, dan klasifikasi, namun masih terbatas pada objek, peristiwa, atau masalah-masalah konkret. Tahap keempat operasional formal, yang ditandai dengan kemampuan berpikir formal (abstrak, kompleks, dan logis) yang dapat ditunjukkan pada kemampuan menguasai konsep-konsep konservasi, serasi, klasifikasi, inferensial, silogistik, reflektif, korelasional, kombinatioral, proporsional, probabilitas, hipotetik-deduktif, dan mengontrol variabel. Secara ideal, seseorang yang telah mencapai tahap yang keempat berarti sekaligus ia dapat memperlihatkan ciri-ciri kemampuan berpikir pada tahap-tahap sebelumnya.

Kecepatan anak untuk mencapai setiap tahap perkembangan komunitif sebagaimana tersebut di atas berbeda-beda karena dapat dipengaruhi oleh kematangan, pengalaman fisik dan pengalaman logika matematik, transmisi sosial, pengaturan diri sendiri (self regulation) atau kemampuan mengatasi ketidak keseimbangan untuk mencapai keseimbangan baru, serta faktor-faktor budaya dan kebiasaan sehar-hari (Dahar, 1989: 157-158).Perlu juga dipahami, bahwa antara satu tahap terdahulu dengan tahap yang berikutnya tidak bisa ditarik garis demarkasi yang jelas, sehingga setiap tahap selalu mengandung dualisme keadaan yaitu stabil dan transisi. Stabil atau stasioner mengandung pengertian menandai akhir dari pencapaian satu tahap perkembangan struktur kognitif, sedangkan transisi mengandung arti sebagai titik awal perkernbangan struktur kognitif untuk tahap berikutnya.

Ada beberapa konsep dasar dalam teori Piagiet yang dapta memberi penjelasan tentang bagaimana pengetahuan atau struktur kognitif seseorang terbentuk dan berkembang, yaitu : organisasi dan adaptasi, asimilasi, dan akomodasi, serta pengaturan diri sendiri dan ekuilibrasi.

Organisasi dan adaptasi adalah suatu proses pengaturan struktur kognitif yang berlangsung secara terus-menerus sepanjang perkembangan kognitif, juga disebut fungsi-fungsi infarian perkembangan kognitif karena selalu berfungsi secara infarian pada setiap tahap perkembangan kognitif yang telah dicapai. Menurut Shymansky (1992) dan Von Glasersfeld (1988) dalam Supamo (1997: 33), bagi Piagiet mengetahui adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang telah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian yang baru.

Asimilasi dan akomodasi merupakan dua konsep yang secara proses silih berganti, terpadu dan komplementer, tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Asimilasi adalah proses pernyerapan pengetahuan baru ke dalam struktur-struktur kognitif tanpa mengganggu atau harus mengubah struktur kognitif yang telah ada atau dimiliki. Sedangkan akomodasi adalah proses penyesuaian atau pengubahan struktur kognitif yang telad ada/dimiliki agar pengetahuan baru dapat diserap ke dalam skemata/struktur yang baru. Akomodasi terjadi apabila pengetahuan baru tidak dapat diasimilasikan atau diserap langsung dalam struktur kognitif yang telah ada atau struktur untuk pengetahuan baru itu belum dibentuk. Dengan demikian, akomodasi dapat terjadi dalam dua cara, yaitu mengubah struktur yang telah ada dan/atau menciptakan struktur baru agar terjadi asimilasi pengetahuan baru.Dalam keseluruhan proses tersebut (organisasi, adaptasi, asimilasi, dan akomodasi) setiap individu selalu terlibat dalam pengaturan diri sendiri (self regulation). Kegiatan pengaturan diri sendiri dilakukan lebih banyak terutama jika terjadi konflik kognitif atau seseorang menerima pengetahuan baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan atau struktur kognitifnya yang telah ada.Dalam proses pengaturan diri sendiri dapat terjadi keadaan yang disebut disekuilibrasi (ketidakseimbangan), sehingga individu harus terlibat dalam pengaturan diri sendiri untuk mencapai ekuilibrasi baru. Ekuilibrasi (keseimbangan) akan dapat tercapai bila pengetahuan baru telah dan/atau dapat diasimilasi dengan baik ke dalam struktur kognitif. Self regulation ialah proses yang dinamis kontinu dalam arti seseorang tidak pernah mencapai sesuatu keadaan yang seimbang secara mutlak (stasioner-mutlak).

Dengan demikian seorang siswa dikatakan telah belajar sesuatu konsep jika ia telah berhasil mengasimilasi konsep itu ke dalam struktur kognitifnya, dalam arti ia menginternalisasi pengertian/konsepsi dari konsep itu. Namun belajar hanya dengan cara-cara mengasimilasi saja kurang menguntungkan perkembangan kognitif melainkan belajar hanya dengan cara-cara atau mekanisme akomodasi melalui penciptaan situasi yang menyebabkan terjadinya konflik kognitif lebih menguntungkan perkembangan struktur kognitif.Sebab, proses belajar dengan akomodasi mensyaratkan perubahan struktur kognitif agar terjadi asimilasi, tetapi proses belajar dengan asimilasi tidak mensyaratkan perubahan kognitif secara mendasar sebelum terjadi asimilasi atau internalisasi suatu konsep atau pengertian.

Karena itu, dalam penerapan teori Piagiet pada praktek pendidikan sains di sekolah dikenal adanya strategi konflik kognitif. Tetapi jangan dimaknai bahwa tidak memperhatikan aspek asimilasi, atau asimilasi dan akomodasi diartikan sebagai dua proses yang saling terpisah. Keduanya merupakan proses yang silih berganti, terpadu dan komplementer dalam belajar dan sepanjang perkembangan kognitif.

2. Implementasi Model Konstruksi dalam Proses Pembelajaran

Menurut kaum kontruktivis, belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan proses pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan; (1) belajar berarti membentuk makna; (2) konstruksi arti itu adalah terus menerus; (3) belajar bukanlah mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru; (4) proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut; (5) hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya; (6) hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui isi pelajaran, konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Suparno, 1997:61)

Berdasarkan pandangan ini, maka karakteristik iklim pembelajaran yang sesuai dengan konstruktivisme adalah sebagai berikut: (a) siswa tidak dipandang sebagai suatu yang pasif melainkan individu yang memiliki tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran berdasarkan konsepsi awal yang dimilikinya; (b) guru hendaknya melibatkan proses aktif dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya; (c) pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan melalui seleksi secara personal dan sosial.

Suatu iklim pembelajaran tersebut menuntut guru untuk : (1) mengetahui dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa; (2) melibatkan siswa dalam kegiatan aktif., (3) memperhatikan interaksi sosial dengan melibatkan siswa dalam diskusi kelas maupun kelompok (Indrawati, 2000:34-35)

Pandangan konstuktivis, mengajar bukanlah kegiatan yang memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar itu sendiri (Bettencoutt, 1989)

Mathewsa (1994) dalam supano (1997;69-70) mengemukakan beberapa ciri mengajar konstruktivis sebagai berikut : 1. Orintasi. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.2. Elicitasi. Siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar ataupun poster.

3. Restrukturisasi. Dalam hal ini ada 3 hal yaitu (a) klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide; (b) membangun ide baru; (c) mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. 4. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi.5. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.

Dahar (1989: 6) mengemukakan bahwa implikasi pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah, pertama, dalam mengajar, guru harus memperhatikan pengetahuan awal yang dibawa dari luar sekolah; kedua, mengajar bukan berarti hanya meneruskan gagasan kepada siswa, melainkan proses untuk mengubah gagasan siswa yang sudah ada yang mungkin salah. Sedangkan Ausubel 1978 (dalam Dahar, 1989: 6) menyatakan bahwa apabila pengajaran tidak menmindahkan gagasan-gagasan yang dibawa siswa, maka akan membuat mikronsepsi-mikorsepsi anak menjdi lebih komplek dan stabil.

Langkah-langkah pembelajaran tersebut di asat secara garis besarnya agar siswa tertarik untuk belajar, melakukan penyelidikan juga mengungkap konsepsi awal siswa, yakni dengan melalui tanya jawab percobaan dan demontrasi. Pada langkah selanjutnya mengajukan penjelasan dan pengenalan konsep atau pemecahan konsep, melalui diskusi, dan pada tahap akhir adalah membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang telah diperoleh selama pembelajaran.

Berdasarkan uraian tentang model konstruktivisme dalam pembelajaran, maka alur proses belajar menurut pandangan tersebut secara garis besar dapat dijelaskan melalui langkah-langkah proses terjadinya perolehan pengetahuan dalam struktur jognisi siswa. Struktur-struktur kognisi tersebut menurut Dahar 1989: 150)dinamakan skemata.3. Pendekatan SUIRS Belaiar (The Learning Cycle)

Pengertian siklus belajar (learning cycle) menurut Cinthia Szymanaski Sunal & Mar E. Hass (1993:27) The learning cycel designed to aadapt instruction to help student construct their own knowledge and restructure knowledge in ways that are different construct from the situation in which it was learned. Karplus (1979) dala sunal at ala (1993: 27-31) membagi siklus belajar membagi menjadi tiga fase yaitu : 1. Fase eksplorasi. Pada fase ini, guru membuat keputusan penting bila memulai merencanakan suatu pelajaran. Seleksi tujuan harus relevan dengan kurikulum, tingkat perkembangan siswa dan dengan pengalaman siswa. Siswa secara langsung diberi kesempatan menggunakan pengetahuan awalnya dalain mengobservasi, memahami fenomena alam, dan mengkomunikasikannya pada orang lain. Untuk melakukan hal ini, guru melihat tiga komponen penting dalam merencanakan urutan belajar yang efektif yaitu: (a) mengenal apa yang diketahui siswa sekarang; (b) membantu memusatkan perhatian; (c) menghubungkan pelajaran sebelumnya dengan pelajaran baru.

2. Fase invesi (penciptaan) atau pengenalan konsep. Dalam tahapan perencanaan yang kedua ini guru dituntut membuat keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut; (a) Apa gagasan atau ketrampilan utama yang dipelajari?;(b) Bagaimana gagasan atau ketrampilan tersebut paling baik dijelaskan;(c) bagaimana seharusnya gagasan atau ketrampilan itu dimodelkan atau didemontrasikan?;(d) Strategi apa atau teknik apa yang seharusnya digunakan untuk membuat siswa memahami gagasan atau ketrampilan yang diajarkan?. Dalam fase ini, guru mengontrol langsung pengembangan konsep yang dilakukan siswa dan membantu dalam mengidentifikasikan konsep serta menghubungkan antar konsep yang telah mereka dapat.3. Fase Ekspansi atau Aplikasi Konsep. Pada tahap fase ketiga dipandang penting membantu siswa mentransfer informasi yang telah diperoleh dalam invansi (penciptaan) dan eksplanasi (penjelasan), bagian dari pelajaran dalam memori jangka panjang (Lawson, Abraham & Renner, 1989 dalam Sunal). Guru harus memutuskan harus bagaimana mempersiapkan praktek yang sangat dibutuhkan untuk tujuan ekspansi ini. Sebab, tanpa upaya-upaya ekspansif ini melalui kegiatan praktek, tidak satu gagasan atau ketrampilan yang dipelajari sampai dapat disimpan dalam memori jangka panjang. Pada fase ini, siswa melakukan kegiatan memerapkan konsep IPS dalam kontek kehidupan sehari-hari atau disiplin ilmu lain dan selanjutnya menerapkan pada situasi baru.

a. Membantu siswa praktek. Guru harus membimbing siswa mempergunakan pengetahuan dan ketrampilan yang telah mereka mengerti pada setia, kesempatan yang memungkinkan. Melalui bimbingan ini, diharapkan siswa terhindar dari kesalahan-kesalahan. Dalam hal ini dibutuhkan contoh-contoh sekonkret mungkin, terutama bila siswa mempraktekkan pelajaran baru.

b. Praktek akhir. Guru harus memutuskan beberapa hal selama praktek apakah siswa telah mencapai tujuan pelajaran. Bagian ini harus meliputi suatu cara mengevaluasi informasi tentang kemajuan setiap siswa. Siswa harus mendemonstrasikan secara lisan atau melalui aktivitas sejauh mana ia telah mencapai tujuan tersebut. Dalam praktek aktivitas ini guru dimungkinkan untuk memutuskan apakah siswa sudah siap melakukan kegiatan mandiri, dimana siswa menggunakan pengetahuannya yang baru itu dalam situasi-situasi yang berbeda. Selain itu, guru dapat juga menentukan siswa yang mana yang membutuhkan remidial. Bentuk praktek akhir ini dapat berupa bermain peran, latihan tertulis, diskusi, dan tanya jawab.

c. Kegiatan bebas. Agar supaya pengetahuan dan keterampilan dapat digunakan secara otomatis dari memori jangka panjang, perlu dilakukan latihan secara intensif Setelah siswa mempergunakan pengetahuan dan keterampilan baru secara tepat, mereka siap mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan itu pada situasi yang lain.

4. Hakekat dan Tujuan Pembelajaran IPS

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial adalah terjemahan atau adaptasi dalam Bahasa Indonesia dari istilah Bahasa Inggris "Social Studies" sebagai bidang studi (subyect area) yang diajarkan pada sekolah-sekolah (pendidikan dasar sampai menengah) di Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Wiyono, 1995: 1).Istilah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) muncul pertama kali di Indonesia sejak diberlakukannya kurikulum 1975. Pada kurikulum Sekolah Dasar tahun 1968 belum mengenal istilah mata pelajaran IPS, namun yang ada adalah mata pelajaran Ilmu Bumi, Sejarah, dan Pengetahuan Kewarganegaraan, nama bidang studi ini adalah Pendidikan Kewarganegaraan (Civics). Pada kurikulum Sekolah Dasar tahun 1964 bidang studi ini diberi nama Pendidikan Kemasyarakatan (Djamari Uk; 1991: 3).

Berkaitan dengan pengertian IPS, maka Schunke (1988: 4) secara mendasar memberikan pernyataan batasan IPS (studi sosial) adalah kajian mengenai kemanusiaan terutama hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia sekitarnya, serta proses-proses yang mengakibatkan atau memberikan fasilitas terjadinya hubungan tersebut.

Somantri (1997: 2) menyatakan bahwa pendidikan IPS adalah rekonstruksi dari disiplin ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, humaniora, yang diorganisir dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk tujuan pendidikan. Sedangkan menurut Wiyono (1995: 1) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupan dan interaksinya dalam masyarakat.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa secara umum ruang lingkup pengajaran IPS meliputi masalah kehidupan manusia dan masyarakat. Dilihat dari sudut kajiannya maka pengajaran IPS mengkaji hal ikhwal kehidupan diri manusia, perekonomian, kemasyarakatan, budaya, hukum, politik kesejarahan, geografi dan bahkan kehidupan keagamaan. Adapun liputan atau tema khusus ini selengkapnya dapat dikaji dalam GBPP pengajaran IPS.

Oleh sebab itu pengajaran IPS hendaknya disesuaikan dengan (1) tingkat perkembangan usia dan belajar siswa; (2) pengalaman belajar dan lingkungan budaya siswa; (3) kondisi kehidupan masyarakat sekitar masa kini dan kelak yang diharapkan; (4) proyeksi harapan pembangunan nasional/daerah yang tentunya mampu menjangkau dan diperankan siswa kini dan kelak kemudian hari; dan (5) isi dan pesan nilai moral budaya bangsa, Pancasila dan agama yang dianut dan diakui bangsa dan negara Indonesia (Kosasih, 1995: 4-9).Mengenai tujuan Pendidikan ilmu Pengetahuan Sosial dikembangkan menjadi dua kelompok, yakni: pertama, pengajaran pengetahuan sosial yang bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari, dan kedua, adalah pengajaran sejarah yang bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini sehingga siswa memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dan cinta tanah air (Kurikulum IPS 1994).Jarolimek (1993: 8) menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial hendaknya mampu mengembangkan aspek pengetahuan dan pengertian (knowledge and understanding), aspek sikap dan nilai (attitude and value) dan aspek keterampilan (skill) pada diri siswa. Aspek pengetahuan dan pemahaman siswa tentang dunia dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, aspek sikap berkaitan dengan pemberian bekal mengenai dasar etika dan norma yang nantinya menjadi orientasi nilai dalam kehidupan di masyarakat, sedangkan aspek keterampilan meliputi keterampilan sosial dan mampu bekerja sama dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Schunke (1988: 8-9) mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan IPS mengembangkan tiga kemampuan dasar siswa, yaitu kemampuan penguasaan bidang pengetahuan (knowing), kecakapan melaksanakan kegiatan untuk menguasai sejumlah pengetahuan dari berbagai sumber belajar (doing) serta apresiasi, penguasaan dan penginternalisasian bidang nilai dan sikap untuk menjadi manusia seutuhnya (caring). Ketiga kemampuan dasar ini memiliki kaitan yang sangat erat dan bersifat pararel, sehingga kemampuan dasar ini memiliki kaitan yang sangat erat dan bersifat pararel, sehingga kemampuan dasar ini perlu dikembangkan secara seimbang.Dari uraian tersebut bahwa tujuan pendidikan IPS adalah memperkenalkan siswa kepada pengetahuan tentang kehidupan masyarakat manusia secara sistematis. Dengan demikian peranan pendidikan IPS sangat penting untuk mendidik siswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk dapat mengambil bagian secara aktif dalam kehidupannya kelas sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik (Somantri, 1994; Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1996; Waterwrot, 2000).

Bagi Indonesia, karakteristik warganegara yang baik tentu saja harus mengacu kepada Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 dan GBHN. Secara khusus, tujuan pengajaran IPS di sekolah dapat dikelompokkan menjadi 4 komponen, yaitu: (1) memberikan kepada siswa pengetahuan (knowledge) tentang pengalaman manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada masa lalu, sekarang dan di masa datang; (2) menolong siswa untuk mengembangkan keterampilan (skills) untuk mencari dan mengolah/memproses informasi; (3) menolong siswa untuk mengembangkan nilai/sikap (values) demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat; (4) menyediakan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian/berperan serta dalam kehidupan sosial (social participation) (Chapin, JR. dan Messick, R.G., 1992: 5).Keempat tujuan tersebut tidak terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan kesatuan dan saling berhubungan. Keempat tujuan tersebut sesuai dengan perkembangan pendidikan IPS sampai pada saat sekarang.Untuk mencapai tujuan pendidikan IPS sebagaimana diuraikan di atas diperlukan pola pembelajaran dengan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkatkan (Azis Wahab, 1987; Kosasih, 1994). Dalam pembelajaran IPS sesuai dengan apa yang diuraikan NCSS (1994: V) hendaknya bercirikan: meaningful, integrative, value-based, challenging, dan active.

H. Metode Penelitian1. Pendekatan Penefitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan pendidikan yang menggunakan model pendekatan penelitian dan pengembangan (Borg and Gall, 1979: 624) yang dalam pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk siklus seperti halnya penelitian tindakan (McNiff, 1994: 31) sampai dihasilkan suatu model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle yang cocok bagi pembelajaran IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah sebagai produk dari penelitian ini.

Untuk itu, maka pelaksanaan penelitian ini mengacu pada sistim aplikasi penelitian tindakan yang terbagi menjadi beberapa siklus sampai dihasilkan suatu produk, yaitu model pembelajaran yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Pembangan model ini akan diawali dengan studi pendahuluan dan kajian teoritis, kemudian diformulasikan model dan diuji validitasnya dalam konteks pembelajaran di kelas secara kontinyu sambil dilakukan revisi hingga dihasilkan model pembelajaran sesuai dengan fokus penelitian, yang merupakan produk dari penelitian.

2. Langkah-langkah Penelitian

Menurut Borg and Gall, prosedur penelitian dan pengembangan terdiri dari 10 (sepuluh) langkah yang meliputi: (1) penelitian dan pengumpulan informasi, (2) perencanaan, (3) pengembangan produk pendahulu, (4) uji coba pendahuluan, (5) revisi terhadap produk utama, (6) uji coba utama, (7) revisi produk operasional. (8) uji coba operasional, (9) revisi produk akhir, dan (10) diseminasi dan distribusi. Berdasarkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh Borg and Gall (1979: 626) di atas, maka dalam konteks penelitian dan pengembangan pada dasarnya harus diawali dengan pengembangan model pendahuluan (preliminary model) berdasarkan hasil studi kepustakaan dan studi pendahuluan terhadap latar penelitian.

Kemudian model ini diuji dalam latar yang sesungguhnya yaitu di kelas sambil dilakukan revisi sampai ditemukan model yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Setelah itu barulah dilakukan uji coba model untuk mengetahui efektivitas dari model yang dikembangkan.Berkaitan dengan langkah-langkah di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan penyederhanaan, mengingat penelitian pengembangan pendidikan tidak sama halnya dengan penelitian kimiawi dan genetika yang pengembangan modelnya bisa dilakukan di laboratorium sampai ditemukannya suatu model definitif untuk diuji efektivitasnya. Untuk itu, langkah-langkah penelitian dan pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:

Pertama, Penelitian prasurvey, yaitu melakukan studi kepustakaan dan pengumpulan informasi riil di lapangan yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan untuk mengembangkan model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan Learning cycle. Yang diteliti pada tahap ini meliputi: (1) disain pembelajaran dan penerapannya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, (2) kemampuan kinerja siswa, (3) kemampuan kinerja guru, (4) pemanfaatan sumber belajar, dan (5) evaluasi pembelajaran.

Kedua, Pengembangan model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle, pada tahap ini setelah diperoleh data dan informasi yang dibutuhkan baik dari hasil studi kepustakaan maupun studi pra-survei, maka dikembangkan model yang pengujian dan revisinya dilakukan oleh peneliti bersama-sama dengan guru dalam iklim kerja yang demokratis dan kolaboratif sampai diperoleh suatu model yang sesuai untuk membelajarkan IPS pada jenjang Madrasah Tsanawiyah.Proses pengembangan, pengujian, dan revisi model pada tahap ini dilakukan dalam bentuk penelitian tindakan melalui sistim siklus. Dalam tahap ini aspek-aspek yang diteliti adalah: (1) draf model konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle yang dikembangkan, (2) penerapan draf model tersebut. Uji coba model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle direncanakan dilakukan pada catur wulan kedua.Ketiga, Pengujian model, pada tahap ini dilakukan uji validasi terhadap model konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle yang telah dikembangkan tersebut. Dalam tahap ini yang diteliti meliputi aspek-aspek : (1) dampak penerapan model konstruktivis terhadap kinerja siswa, dan (2) dampak penerapan model terhadap kinerja guru. Uji validasi direncanakan dilakukan pada catur wulan ketiga.

3. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian ini akan dilakukan pada dua Madrasah Tsanawiyah, yaitu Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 dan Madrasah Tsanawiyah Al-Hikmah Benda yang keduanya berdomisili di wilayah kabupaten Brebes Jawa Tengah. Subjek penelitian adalah terdiri dari guru dan siswa kelas awal Madrasah Tsanawiyah.

Mengingat banyaknya Madrasah Tsanawiyah yang ada, sehingga tidak mungkin melakukan penelitian populasi, maka terhadap populasi sekolah ini peneliti melakukan sampling. Adapun secara rinci, pengambilan sampel dalam. penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :Tahap penelitian pra survey, penentuan sampel akan dilakukan dengan tehnik random yakni memilih secam acak. Dimana untuk setiap kecamatan akan diambil secara acak 2 sekolah untuk dijadikan sebagai sampel penelitian, Jadi, pada tahap ini, jumlah Madrasah Tsanawiyah yang dijadikan sampel adalah sebanyak 10 dari 5 kecamatan yang ada. Rasionalisasi dilakukannya random dalam penentuan sekolah ini adalah, karena tidak ada klasifikasi pada madrasah-madrasah sebagaimana data yang diperoleh dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Brebes Seksi Pendidikan Agama Islam, maka semua Madrasah Tsanawiyah Swasta yang ada diangkap sama.

Tahap uji coba model (pengembangan model), maka dari 10 sekolah yang dilibatkan dalam penelitian pra survey akan dipilih satu sekolah untuk dijadikan sebagai tempat uji coba pengembangan model konstruktivis. Penetapan sekolah ini lebih didasari oleh kemauan dan kemungkinan dilakukannya pengembangan, dengan melihat kesiapan dan kemauan guru mitra, kesedian dan ijin kepala madrasah, serta ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang dibutuhkan selama proses uji coba dilaksanakan.

Uji validasi model, penetapan sekolah yang dijadikan sebagai sampel baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol akan dilakukan berdasarkan klasifikasi kondisi sekolah, yaitu sekolah yang dianggap baik, sedang, dan kurang. Adapun kriteria penetapan klasifikasi sekolah tersebut didasarkan pada pendapat umum terhadap kondisi sekolah.

Penetapan sampel dimana setiap kecamatan akan diambil masing-masing 2 sekolah, satu sekolah untuk eksperimentasi dan satu sekolah sebagai kelompok kontrol. Sehingga untuk validasi ini jumlah sekolah yang dilibatkan sebagai sampel penelitian adalah 10, yaitu 5 sekolah sebagai kelompok eksperimen dan 5 sekolah sebagai kelompok kontrol.

Tahapan berikutnya adalah merumuskan dua sekolah sebagai penerapan model pembelajaran IPS, dan terkait dengan kedua MTs tersebut Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 dan Madrasah Tsanawiyah AI-Hikmah Bumiayu adalah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan baik dari sisi efektifitas, kelengkapan data, tingkat keunggulan lembaga, kelengkapan sarana serta model pengelolaan lembapan yang berbeda dibandingkan dengan yang lain sehingga kedua sekolah tersebut akan dapat mewakili baik sekolah negeri maupun swasta sebagai rujukan penelitian berikutnya.

4. Instrumen Penelitian

Bertolak dari fokus penelitian dan jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka instrumen yang digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini terdiri dari: (1) instrumen observasi, (2) instrumen angket, (3) instrumen hasil belajar siswa. Rincian penjelasan dari penggunaan dan pengembangan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

4.1. Lembar Observasi

Instrumen ini digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan proses dan situasi riil pembelajaran di kelas, baik yang menyangkut kinerja guru maupun kinerja peserta didik. Observasi ini dilakukan secara langsung oleh - peneliti selama berlangsungnya pembelajaran.

Instrumen ini digunakan untuk menjaring data yang diperlukan pada tahap penelitian pendahuluan (Pra-survei) dan tahap uji coba model (pengembangan model). Bentuk dari instrumen ini adalah terbuka dan tertutup. Terbuka artinya setiap data yang teramati selama berlangsungnya pembelajaran langsung dicatat dalam lembar yang telah ada.

Sedangkan tertutup, artinya observer cukup mengisikan check list pada kolom yang telah ada berdasarkan realitas yang dikemukakan di lapangan sesuai dengan candraan kriteria yang telah ada dalam lembar observasi. Instrumen ini dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan meminta judgement dari pakar, khususya dari mereka yang diasumsikan memahami dan memahami dalam bidang pengembangan intrumen jenis ini. Di samping itu, untuk mejustifikasi instrumen ini, peneliti akan meminta judgement kepada promotor dan pembimbing, agar validitas dari instrumen ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,

4.2. Instrumen Angket

Instrumen ini digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan pendapat guru dan siswa tentang situasi dan kondisi pembelajaran IPS antara sebelum dan sesudah dilakukan pengembangan dan pengujian model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan Learning Cycle. Instrumen ini dirancang dalam bentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup, hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada subjek untuk mengungkapkan pendapatnya. Pengembangan instrumen ini juga dilakukan sendiri oleh peneliti dengan meminta judgement pada promotor dan pembimbing. Sementara untuk menguji keterbacaan instrumen, maka peneliti akan melakukan uji coba kepada sebelum dilakukannya penelitian, agar validitas konstruk dari instrumen dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

4.3. Instrumen Tes Hasil Belajar Siswa

Instrumen tes hasil belajar siswa dikembangkan dan digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memahami materi IPS selama berlangsungnya penelitian. Instrumen ini digunakan untuk menjaring data pada tahap pengembangan model dan uji validitas model, yaitu dengan melakukan pra-tes dan pasca-tes.

Terhadap instrumen tes hasil belajar siswa tidak dilakukan uji validasi dan reliabilitas, mengingat hasil penilaian terhadap prestasi belajar siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes semata-mata, melainkan juga dilihat dari unjuk kerja siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Di samping itu, dalam pengembangannya, instrumen ini disusun oleh peneliti dan guru praktisi dengan berpedoman pada substansi materi ajar dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, sehingga dari kelayakan akademis pada dasarnya sudah cukup memadai, mengingat para guru yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mereka yang telah memiliki masa kerja di atas rata-rata 10 tahun.

4.4. Angket

Angket dalam penelitian ini dikembangkan sebagai instrumen untuk menjaring data tentang pendapat guru terhadap IPS, penyusunan program pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran oleh guru. Di samping itu, juga dikembangkan angket untuk siswa yang dimaksudkan untuk menjaring data tentang pendapat siswa terhadap pembelajaran IPS.Bentuk angket yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari pertanyaan terbuka dan pertanyan tertutup. Hal. ini dimaksudkan untuk menjamin representativitas dan validitas data, sehingga dapat mengeliminir bias data yang diperoleh.Di samping itu, dengan menyediakan dan memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi jawaban sendiri di samping memilih pernyataan yang telah disediakan, memungkinkan responden untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas, sehingga diharapkan diperoleh data yang lebih lengkap. Karena instrumen angket lebih mengacu pada kumpulan pernyataan yang dimaksudkan untuk menjaring data pendapat responden, maka akan dilakukan uji validitas khususnya validitas isi, dimana butir-butir pernyataan dalam angket akan diturunkan berdasarkan kisi-kisi instrumen yang telah disusun sebelumnya. Di samping itu, terhadap instrumen ini juga akan dimintakan penilaiannya kepada para pakar pendidikan IPS dan para pembimbing.

Sementara untuk instrumen angket siswa akan dilakukan uji keterbacaan (validitas konstruk), untuk menghindari terjadinya bias dari pernyataan yang ada sehingga data yang diperoleh terjamin akurasinya.

4.5. Tehnik Analisis dan Pengolahan Data

Analisis dan pengolahan data penelitian dan pengembangan ini teknik analisis kualitatif. Adapun penjelasan analisis data dalam adalah sebagai berikut :

a. Tahap penelitian pra survey, data yang diperoleh yang berkaitan dengan aspek (1) disain pembelajaran dan penerapannya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, (2) kemampuan kinerja siswa, (3) kemampuan kinerja guru, (4) pemanfaatan sumber belajar, dan (5) evaluasi pembelajaran selama pembelajaran berlangsung, akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif dengan cara dideskripsikan secara naratif, sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh dari proses pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah.

GURU

SISWA

KURIKULUM IPAS MTs 1994

MODEL KONSTRUKTIVIS

DENGAN PENDEKATAN LEARNING CYCLE

PEMAHAMAN MATERI

KETRAMPILAN BERPIKIR

EVALUASI

SUMBER

BELAJAR

1