Upload
eka-fitriani
View
54
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi
yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh
dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki
kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan
oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar
dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini
menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di
lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi
dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat
profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan
jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang
kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar.
Akan tetapi yang terjadi saat ini, masyarakat umum mengeluhkan pelayanan
yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan
apa yang semestinya mereka dapatkan dan mengeluhkan hal-hal yang menurut
mereka tidak perlu dilakukan atau diberikan. Dari sana semua permasalahan
ini berawal, masyarakat umum dengan segera mengecam masyarakat profesi
melakukan tindakan yang tidak wajar, malpraktik.1
Kasus malpraktik muncul pertama kali di Indonesia pada awal tahun
1981. Dokter Setianingrum, seorang dokter Puskesmas dari Wedarijaksa,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terpaksa diadili di Pengadilan Negeri Pati atas
dasar Pasal 359 KUHP karena telah menyebabkan pasiennya, Ny. Rukmini
Kartono meninggal dunia karena kejutan anfilatik akibat reaksi alergi dari
suntikan streptomisin yang diberikan kepadanya. Akhir-akhir ini, kasus
dugaan malpraktik menjadi sorotan. Di antaranya, dugaan kasus malpraktik
yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit berstandar internasional empat
menjadi berita utama di beberapa media massa. Belum terlepas dari kasusnya
1
Prita Mulyasari yang dilaporkan oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional,
terdengar lagi adanya aduan dari seorag ibu yang bernama Juliana ke polisi.
Juliana menuduh dokter rumah sakit tersebut telah melakukan malpraktik
terhadap kedua anak kembarnya, Jayden Christopel dan Jared Christopel, di
mana mata Jayden silinder 2,5, sedangkan mata Jared buta karena saraf
matanya lepas dari retina.2
Malpraktik medik dan kelalaian medik adalah dua masalah yang
berbeda. Terkait dengan tingkat pemahaman masyarakat akan kedua masalah
tersebut dan masalah kesehatan masyarakat yang terkait, dibutuhkan
pemahaman yang benar dan tepat untuk kejelasan hukum keduanya.1,2
1.2 Batasan Masalah
Penulisan referat ini dibatasi pada aspek hukum hubungan dokter dan pasien,
definisi malpraktik medik dari segi medik dan hukum, jenis-jenis malpraktik
medik, kriteria dan unsur malpraktik medik, pembuktian kasus malpraktik
medik, serta kelalaian medik.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
a. Sebagai pemenuhan syarat dalam mengikuti dalam mengikuti kepaniteraan
klinik senior di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
b. Sebagai sarana dalam memberikan pemahaman tentang malpraktik medik
dan kelalaian medik.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang diambil dari
berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Pasien
Dokter dan pasien merupakan dua subjek hukum yang keduanya membentuk
hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan keduanya diatur dalam
peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Hubungan
hukum antara dokter dan pasien ada dua macam, yaitu hubungan karena
kontrak (transaksi terapeutik) serta hubungan karena undang-undang.1
Berdasarkan The Universal Declaration of Human Right tahun
1948 dan The United Nations International Covenant on Civil and Political
right tahun 1966, pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan
pasien bertumpu pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam
dokumen maupun konvensi internasional, yaitu hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right
to information).2
Pada awalnya, hubungan hukum timbul ketika pasien menghubungi
dokter karena ia merasa keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan
bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu
menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien. Hal ini melahirkan hubungan vertikal antara dokter dan pasien
(paternalistic). Dampak positif pola vertikal yaitu sangat membantu pasien
dalam hal awam terhadap penyakitnya, tatapi dampak negatif berupa
pembatasan otonomi pasien.1,2
Pola hubungan vertikal bergeser pada pola horizontal kontraktual yang
bersifat “inspannings verbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara
dua subyek hukum yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak
menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari
3
hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.1,3
Dalam hubungan terapeutik, berlaku asas-asas hubungan terapeutik
yang mencakup:2
a. Asas konsensual
Berdasarkan azas ini, masing-masing pihak harus menyatakan
persetujuannya. Dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan
persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan
sanggup) maupun secara emplisit (misalnya menerima pendaftaran,
memberikan nomor urut, menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu
tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh
pegawainya.
b. Azas itikad baik
Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama
dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa
disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah
menurut hukum.
c. Azas bebas
Pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas
menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing,
sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk
perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah
bahwa upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian dan hasilnya tidak
dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan
secara matang sebelum memberikan garansi kepada pasien.
d. Azas tidak melanggar hukum
Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak
boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan
aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh
dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus
dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter
4
serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan
kontraktual, maka dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian
yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada
pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi.
e. Azas kepatutan dan kebiasaan
Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah
mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati,
juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan
dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan
hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti dalam
hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat
hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah
sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya
kepada dokter hilang.
Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan
terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada
masing-masing pihak sebagai berikut:
a. Hak pasien
1) Hak primer
Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan
teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
2) Hak sekunder
a) Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya.
b) Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan
dilakukan oleh dokter.
c) Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas
kepatutan dan kebiasaan).
d) Hak atas rahasia kedokteran.
e) Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang
bersifat nonyustisial.
f) Hak atas second opinion.
5
b. Hak dokter
1) Hak untuk memperoleh imbalan yang layak.
2) Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan
sejujur-jujurnya demi kepentingan diagnosis.
c. Kewajiban pasien
1) Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkap-
lengkapnya bagi kepentingan diagnosis dari terapi.
2) Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter.
3) Kewajiban memberikan imbalan yang layak.
d. Kewajiban dokter
1) Kewajiban primer
Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori
kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
2) Kewajiban sekunder
a) Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien.
b) Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan
dilakukan.
c) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah
ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan
dilakukan oleh dokter.
d) Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion.
e) Menyimpan rahasia kedokteran.
f) Memberikan surat keterangan dokter.
Suatu tindakan medik yang dilakukan dapat mendatangkan dua akibat
sebagai berikut: 13
a. Akibat positif, di mana tindakan yang dilakukan berhasil mencapai tujuan
yang diharapkan dan pasien pulang dalam keadaan sembuh.
b. Akibat negatif, yang sama sekali tidak diharapkan ataupun tidak terduga
terjadinya yang disebabkan oleh:
6
1) Kesalahan dokter
a) Karena suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang.
Perbuatan ini menurut hukum termasuk pada golongan dolus
karena ada kesengajaan terhadap perbuatan itu (delicta
commissionis). Contohnya adalah melakukan tindakan abortus
tanpa indikasi medik ataupun mengeluarkan surat keterangan sakit
yang tidak benar.
b) Karena kelalaian. Perbuatan ini disebut sebagai delicta
ommissionis atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga
menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelompok ini paling banyak
terjadi.
2) Bukan kesalahan dokter
Peristiwa atau akibat merugikan pasien yang terjadi bisa dikarenakan
sebab-sebab lain. Jenis penyakit, beratnya penyakit, ada tidaknya
komplikasi, usia pasien dan daya tahan tubuh pun berbeda-beda.
Adapun penyebabnya misalnya bisa terjadi karena:
a) Tingkat penyakit yang sudah berat (terlambat dibawa ke dokter
atau rumah sakit). Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat serng
menunda-nunda pemeriksaan. Bisa karena rasa takut atau bisa juga
jarena alasan lain, misalnya faktor keuangan.
b) Reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri yang tidak
dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya timbulnya syok
anafilaktik pada waktu diberikan suntikan anaestesi. Jika timbul
dan sudah diberikan antinya tetapi tidak berhasil, dokter tidak
dapat dipersalahkan karena tidak ada unsur kelalaian. Akibatnya
timbul karena pasien hipersensitif terhadap obat suntikan tersebut.
c) Ketidakterusterangan pasien atau kurang menceritakan seluruhnya
apa yang dirasakan olehnya, sehingga diagnosis dan terapi yang
diberikan meleset.
7
d) Pasien tidak menuruti apa yang dinasehati oleh dokter sehingga
bisa menimbulkan akibat yang buruk dan fatal (contributory
negligence). Misalnya dilarang meminum obat-obat ramuan yang
keras berbarengan dengan obat yang diberika dokter.
Dalam melakukan profesi medik, seorang dokter harus memenuhi dua
tanggung jawab utama yaitu: 2
a. Informed consent atau persetujuan tindakan medik (Pertindik)
b. Standar Profesi Medik (SPM)
Menurut Leenen, informed consent dan SPM merupakan dua hal pokok yang
dapat menghilangkan suatu sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu
tindakan ataupun perbuatan medik. Pelanggaran kedua hal tersebut dapat
berujung tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.2
Sebagai contoh, apabila A melukai B maka tergolong sebagai
penganiayaan menurut pasal 351 KUHP, atau apabila dokter A melukai B, hal
tersebut tetap tergolong penganiayaan. Hal ini tidak berlaku lagi apabila: 2,3
a. Orang yang dilukai memberikan persetujuan.
b. Tindakan tersebut berdasrkan indikasi medik tertentu dan ditujukan untuk
sasaran atau tujuan tertentu.
c. Tindakan tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran.
Dengan pemenuhan ketiga unsur tersebut maka tindakan penganiayaan pada
pasal 351 KUHP tadi dapat dinetralkan dan tindakan medik (diagnostik
maupun terapeutik) tidak dikategorikan sebagai penganiayaan.2,3
Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah lege artis, yang pada
hakikatnya mengacu pada tidakan sesuai SPM termasuk dalam aspek
hukumnya. Menurut Leenen, SPM minimal meliputi:
a. Bekerja secara teliti, cermat dan hati-hati.
b. Sesuai ukuran medis.
c. Sesuai kemampuan rata-rata dibanding dokter dari kategori keahlian medis
yang sama.
d. Dalam situasi yang sebanding
8
2.2 Malpraktik Medik
2.2.1 Definisi Malpraktik dari Segi Medik dan Hukum
Kata malpraktik berasal dari kata ''mal'' yang berarti buruk dan ''praktik''
yang berarti pelaksanaan profesi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
malpraktik diartikan sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah
atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktik
merupakan suatu tindakan medik yang dilakukan tidak memenuhi
standar medik yang telah ditentukan maupun standar operasional
prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang
membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh
pasien.1,3
Hayat berpendapat bahwa malpraktik oleh dokter adalah: 3
a. kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan
pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat
yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani
pasien;
b. atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian
(kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan
ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya;
c. atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam
menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;
d. atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta
perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para
dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang
sama.
Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam
mengartikan malpraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa
syarat yaitu: 3
a. Adanya hubungan dokter dan pasien.
b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya.
9
c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi.
d. Suatu hubungan kausal antara pelanggaran kehati-hatian dan
kerugian yang diderita.
Menurut Coughlin's Dictionary of Law, “Malpractice is
professional misconduct on the part of a professional person, such as
physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or
fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong
doing or illegal or unethical practice.” Terjemahan bebasnya yaitu,
“Malpraktik adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang
profesional, seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter
gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan,
kelalaian, atau kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam
pelaksanaan tugas-tugas profesional; kesalahan berbuat yang disengaja
atau praktik yang tidak etis.” 4
Malpraktik medik menurut World Medical Association (1992)
adalah “Medical malpractice involves the physician's failure to conform
to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct
cause of an injury to the patient''. Berdasarkan hal itu dirumuskan kata
malpraktik medik yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat
kriteria yaitu 4 D: duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause.
Untuk menyatakan seorang dokter melakukan malpraktek medik maka
di pengadilan harus terbukti keempat unsur tersebut dan tidak hanya
berdasarkan somasi pengacara atau laporan pengaduan pasien saja.2,3,4
Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia menegaskan dokter bisa
disebut melakukan malpraktik apabila melanggar prosedur standar.
Prosedur standar sebelum melakukan tindakan medik, yaitu melakukan
informed consent, memberi penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan termasuk risikonya, serta meminta persetujuan pasien atau
keluarganya. Selain itu, menanyakan obat apa saja yang diminum dalam
10
waktu dekat untuk mengetahui adanya obat yang bisa berinteraksi
dengan obat anestesi. Jika ada keraguan, darah pasien perlu diperiksa
untuk mengetahui adanya sisa obat.5
Definisi malpraktik masih beragam tergantung dari sudut
pandang mana malpraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum
ataukah dari segi medik sendiri. Ada kalanya tindakan seorang dokter
dikategorikan malpraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah,
atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku,
melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau
mengambil tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.5,6
Malpraktik juga menunjuk pada tindakan-tindakan secara sengaja dan
melanggar undang-undang terkait, misalnya UU No.23 tahun 1992
tentang Kesehatan.1,5
2.2.2 Jenis-jenis Malpraktik Medik
Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum, malpraktik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: 5,6
a. Malpraktik Etik
Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Etika Kedokteran yang dituangkan di
dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan,
atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktik ini merupakan
dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang bertujuan
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu
dokter untuk mempermudah menentukan diagnosis dengan cepat,
lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Contoh di bidang diagnostik misalnya pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti, namun karena
11
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada
dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang
bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Sementara di bidang
terapi, berbagai perusahaan menawarkan antibiotik kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.6
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus
selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk
mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis
dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya, mengetahui apa
yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan
dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan
pasien serta mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait
dengan situasi kondisi pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi,
hukum, budaya, dan sebagainya.6,7
b. Malpraktik Hukum
Malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam tiga
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar sebagai berikut: 7-9
1) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Perbuatan seseorang dimasukkan dalam kategori malpraktik
pidana jika perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)
merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin
yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness), atau kealpaan (negligence).
Malpraktik pidana yang bersifat kesengajaan
(intensional):
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan
Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
12
(1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang
dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama
sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu
rupiah.
(2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang
tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata
pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus
Provokatus. Pasal 346 KUHP mengatakan:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
(1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan.
(2) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
13
e) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
(1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
(2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima
tahun.
(3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja
merusak kesehatan.
(5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.
Malpraktik pidana yang bersifat kecerobohan
(recklessness) misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan standar profesi atau melakukan tindakan medik tanpa
persetujuan pasien.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
(1) Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan
mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(2) Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita
tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
b) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
14
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Malpraktik pidana yang bersifat kelalaian (negligence)
misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a) Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati:
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
b) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
(1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
(2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
c) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan
atau pekerjaan hingga mengakibatkan mati atau luka berat,
maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361
KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka
pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat
dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya diumumkan.
15
Pertanggungjawaban didepan hukum pada malpraktik
kriminal adalah bersifat individual / personal dan oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit /
sarana kesehatan.
2) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Seorang dokter akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter
yang dapat dikategorikan malpraktik sipil antara lain:
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan tetapi tidak sempurna.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban malpraktik perdata dapat bersifat
individual atau korporasi serta dapat pula dialihkan pihak lain
berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini
maka rumah sakit / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (dokter) selama
dokter tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
Dasar hukum malpraktik sipil adalah transaksi dokter
dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, di
mana dokter bersedia memberikan pelayanan medis kepada
pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter
tersebut. Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti
rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban
kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.
16
Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena
kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya
empat unsur, yaitu:
a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
b) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat
dimintakan ganti ruginya.
d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah
standar.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak
perlu membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam
hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang
artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter,
terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien.
Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul
komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan
tidak ada kelalaian pada dirinya.
3) Malpraktik Administratif
Dokter dikatakan telah melakukan malpraktik
administratif manakala dokter tersebut telah melanggar hukum
administrasi. Dalam melakukan police power, pemerintah
mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di
bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi dokter
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban dokter. Apabila
aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.
17
2.2.3 Kriteria dan Unsur Malpraktik Medik
Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan apakah
suatu perbuatan itu termasuk kategori malpraktik atau tidak, biasanya
dipakai empat kriteria, antara lain: 10
a. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (aduty of
due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh
pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang
diharapkan.
b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty).
c. Apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation).
d. Adanya ganti rugi (damages).
Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (malpraktek)
apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi
Kedokteran, hal ini disebut juga “kunstfout”.10,11
Standar Profesi Kedokteran menurut rumusan Leneen: 11
a. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan ”culpa”
(kelalaian). Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”,
(tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi unsur kelalaian;
bila ia sangat tidak berhati-hati ia memenuhi ”culpa lata”.
b. Sesuai ukuran ilmu medik.
c. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama.
d. Situasi dan kondisi yang sama.
e. Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan
konkrit tindakan atau perbuatan tersebut.
Apabila ada dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter maka kelima
unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu
perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak.11
Hukum Kedokteran mengenal empat unsur malpraktik medik,
yaitu: 12
a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan;
b. Adanya dereliction (breach) of that duty (penyimpangan kewajiban);
18
c. Terjadinya damaged (kerugian);
d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara
pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Apabila ada dugaan malpraktik medik maka harus dapat dibuktikan
adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam menangani
pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi
kedokteran yang dirumuskan Leneen.11,12
2.1.4 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik
Terdapat perbedaan penting antara perbuatan pidana biasa dan perbuatan
pidana di bidang medik. Pada perbuatan pidana biasa yang terutama
diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan perbuatan pidana di bidang
medik yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi kausanya. Tanpa unsur
kelalaian atau kealpaan ataupun bisa saja kesengajaan, dokter tidak dapat
dipersalahkan.13
Pada tahap pembuktian akan dilakukan identifikasi untuk menilai
apakah seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana benar-
benar terbukti atau tidak. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 183 KUHAP terdapat larangan bagi hakim untuk menjatuhkan
hukuman kecuali jika didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah yang dengan itu hakim dapat mempunyai keyakinan
bahwa suatu perbuatan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukan. Apabila kasus itu ternyata benar secara kode etik,
maka masalahnya selesai. Namun bila terjadi pelanggaran, maka
diberikan peringatan. Kalau memang badan independen menilai bahwa
kasus tersebut malpraktik dan melanggar hukum, maka bisa saja
diserahkan ke peradilan umum pidana.12,13
Ketidakseragaman pengertian malpraktik medik sangat
berpengaruh dalam proses pembuktian kasus malpraktek itu sendiri.
Apalagi dikaitkan dengan beban pembuktian untuk kasus malpraktik itu
sendiri dan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Fakta tersebut
19
di atas yang menjadi kendala dalam pembuktian kasus malpraktik, di
antaranya adalah beban pembuktian biasa yang diatur dalam KUHAP
mengingat pembuktian kasus malpraktik ini membutuhkan pengetahuan
dan keahlian khususnya menyangkut dunia kedokteran itu sendiri.13
2.1.5 Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian Kasus Malpraktik
Medik
Beberapa sistem pembuktian kasus malpraktik medik sebagai berikut:
a. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata
(conviction-in time). Artinya jika dalam pertimbangan keputusan
hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan
keyakinan yang timbul dari hati nurani atau sifat bijaksana seorang
hakim, maka dapat dijatuhkan putusan.8
b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas
tertentu atas alasan yang logis (conviction- raisonee). Menurut teori
ini hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk
mengambil keputusannya, sama sekali tidak terikat pada alat-alat
bukti sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang, melainkan
hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain,
asalkan semuanya itu dilandaskan alasan-alasan yang tetap menurut
logika.14
c. Sebagaimana yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP, Indonesia
menganut sistem pembuktian yang disebut sistem pembuktian
berdasar pada undang-undang secara negatif (negatief wettelijke
bewijstheori), yaitu sistem pembuktian yang didasarkan cara
membuktikan berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan
pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan
hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.15
d. Kebalikan dari sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheori,
yaitu sistem pembuktian positif yaitu pembuktian yang
20
menyandarkan diri pada alat bukti saja, yaitu alat bukti yang telah
ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut dinyatakan
bersalah dan harus dipidana.15
Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara
negatif yang mempunyai maksud sebagai berikut: 16
a. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan
suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-
undang.
b. Namun demikian, biarpun bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum
yang ditetapkan dalam undang-undang tadi, jikalau hakim tidak
berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh
mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.
Berdasarkan dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang
secara negatif, terdapat dua komponen: 9
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang,
b. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam pembuktian kasus malpraktik, apabila ada unsur pidana
maka diselesaikan dalam suatu proses pemidanaan. Dalam UU
Kesehatan tidak diatur mengenai beban pembuktian, maka hukum acara
yang berlaku adalah Hukum Acara yang tercantum dalam KUHAP. Hal
ini berarti beban pembuktiannya adalah beban pembuktian yang dianut
oleh KUHAP, yaitu beban pembuktian biasa di mana yang harus
membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak adalah Jaksa
Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana terdapat juga dalam Pasal 66
KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. Akan tetapi, ada beberapa
permasalahan apabila menggunakan beban pembuktian biasa:10,15
21
a. Untuk membuktikan bahwa seorang dokter bersalah karena telah
lalai atau sengaja melukai bahkan membunuh pasiennya, maka
dibutuhkan pembuktian yang secara teknis.
b. Akibat perlunya pembuktian teknis tersebut maka akan dibutuhkan
pendapat saksi ahli yang tentu saja akan berasal dari profesi
kedokteran juga. Masalahnya organisasi profesi para dokter sangat
kuat, yaitu IDI, sehingga seorang dokter tidak akan memberikan
pendapat yang akan merugikan dokter lainnya.
Untuk beban pembuktian biasa ini maka perlu diingat adanya
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), bahwa seorang
yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat
dibuktikan di depan hakim.10,15
2.1.6 Kendala Pembuktian Kasus Malpraktik Medik
Penyidik (polisi) menyatakan bahwa untuk dapat membawa suatu kasus
malpraktik ke tingkat Peradilan Umum pidana harus ada putusan dari
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) terlebih dahulu bahwa kasus
tersebut telah mengandung unsur kriminal (tergolong sebagai culpa lata
atau kelalaian yang serius) dan bukan pelanggaran etik profesi semata.
Dengan adanya putusan dari MKEK terlebih dulu maka penyidik
memberikan keterangan bahwa hal tersebut akan mempermudah dalam
melakukan pembuktian di persidangan nantinya.17
Wewenang untuk membuktikan adanya malpraktik atau tidak
dinyatakan bukan sebagai tugas kepolisian tetapi merupakan wewenang
MKEK di bawah IDI. Setiap kasus malpraktik pertama-tama ditangani
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jika kemudian ada unsur kriminal
baru diserahkan pada pihak kepolisian untuk diproses. Dalam hal ini
MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran,
mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan
medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu
kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktik medik. MKEK hanya
22
bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan
kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau belum, dalam hal ini berdasar pada
UU Kesehatan, KODEKI, dan Standar Profesi Kedokteran.17
Untuk prosedur penyelesaian dugaan kasus malpraktik yang lain
adalah langsung diproses melalui Peradilan Umum pidana tanpa harus
melalui MKEK terlebih dulu. Hanya saja masalah penegakan hukum
dalam kasus malpraktik, sangat erat kaitannya dengan unsur penegakan
hukum itu sendiri. Di dalam Undang-undang Praktik Kedokteran, dokter
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Hal yang
sering menjadi kendala yang ada pada penegak hukum terletak pada
kurangnya ilmu dan pengetahuan medik. Tetapi hal ini bisa diatasi
dengan adanya saksi ahli. Tanpa bekal ilmu dan pengetahuan medik,
mustahil kiranya penegak hukum bisa memahami dan mengerti
keterangan ahli.17
Hal lain yang menjadi masalah dalam penegakan hukum ini
adalah birokrasi atau prosedur yang berlaku pada profesi kedokteran,
yang berkaitan dengan berkas catatan tentang pelayanan medik atau
Rekam Medik (RM). Kesulitan untuk memperoleh rekaman medik
tersebut berbenturan dengan kewajiban dokter terhadap pasien yang
tercantum dalam Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
yang menyatakan bahwa setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga
setelah penderita itu meninggal dunia dan juga dalam Sumpah Dokter
yang mengikrarkan akan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
karena pekerjaan dan keilmuan sebagai dokter, sehingga seringkali tidak
membantu usaha penegakan hukum.17
Pada dasarnya kasus malpraktik tergolong delik pidana biasa
yang dapat dijerat dengan Pasal 89, 351, 359, 360, 361 KUHP, sehingga
ada atau tidaknya aduan dari masyarakat, kepolisian harus memeriksa
23
kasus malpraktik sesuai dengan hukum acara pidana yang tercantum
dalam KUHAP. Namun, pada prakteknya terdapat perbedaan prosedur
penanganan dugaan kasus malpraktek sebelum dibawa ke pengadilan
yaitu pertama, harus melewati MKEK terlebih dulu dan kedua, dapat
dibawa langsung ke pengadilan untuk diproses.17
2.2.4 Kelalaian Medik
Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang
merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medik yang
dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi
karena hasil yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan
harapan pasien dan keluarganya. Hasil upaya pengobatan yang
mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau
kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.4
Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan
antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada
umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan
pasiennya, terutama terkait masalah informed consent. Perselisihan atau
sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut
dengan istilah “sengketa medik”. Beberapa unsur dari persetujuan
tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan
penyebab sengketa medik ini adalah: 4,12
a. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif
yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.
b. Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai
dilakukan, terutama dalam hal tindakan medik yang beresiko tinggi
dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan
medik.
c. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena
pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang
24
jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari
dokter yang merawatnya.
d. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan
atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya,
sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self
determination) diabaikan oleh dokter.
e. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat
(paramedik), padahal menurut hukum yang berhak memberikan
informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.
Kelalaian medik, atau yang biasa dikenal dengan istilah medical
negligence, merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam
menunjukkan kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat oleh dokter,
rumah sakit ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya. Istilah ini
sering disalahartikan dengan malpraktik medik. Selama akibat dari
kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka
tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena
hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not
curat lex, the law does not concern itself with trifles). Kelalaian yang
terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan
oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian
baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada
anggota tubuh seseorang.4
Menurut Black’s Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai
“Negligence is the omission to do something which the reasonable man,
guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated
human affair, would do or the doing of something which a reasonable
and prudent man would not do. Negligence is a failure to use such care
as a reasonably prudent and careful person would use under the similar
circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary
prudence would not have done under the similar circumstances or
25
failure to do what a person of ordinary prudence would have done under
the similar circumstances.”1
Berdasarkan Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Boston Tahun
1979, kelalaian didefenisikan sebagai “Negligence is the lack of ordinary
care. It is a failure to do what a reasonable careful and prudent person
would done on the occasion in question”.1
Dalam dunia kedokteran, kelalaian medis digolongkan sebagai
professional negligence. Medical Injury Compensation Reform Act
merumuskan “Professional negligence is a negligence act or omission to
act by a healthcare provider in the rendering of professional services,
which is the proximate cause of personal injury or wrongful death,
provided that the service are within the scope of service for which the
provider is licensed and which are not within any restriction imposed by
the licensing agency or licensed hospital”.1,4
Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan
hukum pidana, maka Jonkers mengemukakan empat unsur yaitu: 12
a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum
(wederrechtelijkheid)
b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)
c. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid),
karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat
menghindarinya.
Menurut hukum pidana, kelalaian terbagi menjadi dua yaitu: 10,12
a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan
suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak
perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (pasal 205
KUHP).
b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu
peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat
yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau
26
kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan (pasal 359,
360, dan 361 KUHP).
Picard (1984) mengemukakan tentang tiga kategori yang dapat
dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat
dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut: 4
a. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang
berlaku untuk tenaga kesehatan
b. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan
c. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia
bagi tenaga kesehatan.
C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman mengemukakan tiga faktor
yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi,
yaitu kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan kurangnya
pengertian.4
Dari semua pendapat diatas, ada dua pakar hukum yang
memberikan kesimpulan sebagai berikut: 4,18
a. Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa
seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat
dibuktikan hal-hal sebagai berikut:
1) Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin.
2) Bertentangan dengan hokum.
3) Bertentangan dengan standar profesi medic.
4) Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam
profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.
5) Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang
hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien,
kesalahan menyolok dan sebagainya.
b. Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan
harus terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut:
1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut
hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya
27
telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang
melawan hukum.
2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang
berpikir panjang.
3) Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus
bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.
Kecelakaan medik sering dianggap sama dengan kelalaian
medik, karena kedua keadaan tersebut sama-sama dapat
menimbulkan kerugian kepada pasien. Bila ditinjau dari segi hukum,
dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena didalam hukum medik
yang menganut “inspanning verbintenis” (perjanjian upaya) yang
harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi
pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai
akibat tersebut terjadi.4
Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau
meninggal atau cacat, tetapi bila dokter telah melakukan upaya
sungguh-sungguh sesuai dengan standar profesi medik, maka dokter
tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh, seorang pasien datang
dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat tidur.
Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hipertensi berat.
Dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan
ringan pada tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan
pengobatan sesuai prosedur, tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan
terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang menetap dari kaki dan
tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak bisa
dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada
pasien, karena perjalanan penyakitnya memang tidak bisa dicegah
dan diobati oleh dokter yang bersangkutan. Demikian juga dalam
kecelakaan medik yang merupakan kecelakaan murni tanpa
ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa
dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang
28
akibat tersebut disebabkan oleh kecelakaan medik yang tidak dapat
diduga sebelumnya.4
Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien
merupakan kecelakaan medik dan bukan merupakan kelalaian medik,
Guwandi (2004) memberikan ciri-ciri sebagai berikut: 18
a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan
yang tidak disengaja (accident, misfortune, bad fortune,
mischance, ill luck).
b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam
kecelakaan.
c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar
profesi medik dan etika profesi.
d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat
dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah
(vermijdbaarheid), dan terjadinya tidak dapat diduga
sebelumnya.
e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan
upaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala
ilmunya, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.
f. Dokter telah berusaha meminimalisasi risiko yang mungkin
terjadi dengan melakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan
pendahuluan yang adekuat, dan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan.
g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha
melakukan terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau
telah melakukan konsultasi dengan spesialis lainnya yang
berkompeten terhadap kelainan yang diderita pasiennya.
Di Indonesia, hukum kedokteran belum dapat dirumuskan
secara mandiri sampai saat ini, sehingga rumusan yang digunakan
mengacu pada negara lain. Hal ini menyebabkan sering kacaunya
batasan antara kelalaian dan malpraktik, yang sebenarnya berbeda.
29
Bahasa Inggris lebih kaya dalam peristilahan tentang berbagai
macam kelalaian.4,17-18
Bentuk-bentuk kelalaian di dalam bahasa Inggris di antaranya
sebagai berikut: 18
a. Malfeasance
Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan
dengan hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut
(execution of an unlawful or improper act).
b. Misfeasance
Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper
performance of an act).
c. Nonfeasance
Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban
untuk melakukan (the failure to act when there is a duty to act).
d. Malpractice
Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang
suatu profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan,
dan profesi lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya
(negligence or carelessness of professional person, such as
nurse, pharmacist, physician, accountant, etc).
e. Maltreatment
Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang
dilakukan tidak secera benar atau terampil (improper or
unskillful treatement). Hal ini bisa disebabkan karena
ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh (ignorance, neglect, or
willfulness).
f. Criminal negligence
Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap
keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa
tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada
30
orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is the
willful indifference to an injury which could follow an act).
Secara jelas dikatakan bahwa, malpraktik memiliki
pengertian yang lebih luas daripada kelalaian, karena malpraktik
mencakup pula tindakan yang sengaja (intentional, dolus) dan
melanggar undang-undang yang akibat dari tindakan itu memang
merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih berintikan
ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli dan akibat
yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan
tersebut.4
Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran
tingkat yaitu: 18
a. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) – (Culpa
levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang
biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan, atau justru
melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan
didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut.
b. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) – (Culpa lata), yaitu
apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak
melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak
dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which
wold be proper to prived or the doing of that which would be
improper to do).
31
BAB III
PENUTUP
c.1 Kesimpulan
Setelah pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a. Dalam perkembangannya, hubungan dokter dan pasien berubah dari yang
awalnya berupa hubungan vertikal (patrinialistic) menjadi hubungan
horizontal. Baik dokter maupun pasien sama-sama memiliki hak dan
kewajiban. Dalam melaksanakan profesi medik, seorang dokter harus
memenuhi tanggung jawab utama yaitu informed consent dan standar
pelayanan medik. Pelanggaran salah satu atau keduanya dapat berujung
pada tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.
b. Beberapa pengertian mengenai malpraktik medik masih belum terdapat
kesamaan. Akan tetapi, dapat dirumuskan bahwa malpraktik medik adalah
kesalahan dokter dalam melaksanakan standar pelayanan medik terhadap
pasien atau keterbatasan kemampuan atau kelalaian dalam memberikan
pelayanan kepada pasien yang dapat menyebabkan kecacatan secara
langsung kepada pasien.
c. Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum, malpraktik dibedakan
menjadi malpraktik etik dan malpraktik hukum. Malpraktik hukum sendiri
dibagi menjadi malpraktik pidana, baik akibat kesengajaan, kecerobohan,
maupun kealpaan; malpraktik perdata; dan malpraktik administratif.
d. Sesuai Pasal 183 KUHAP, pembuktian kasus malpraktik medik di
Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang negatif, yaitu
berdasarkan peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Kasus
dugaan malpraktik dibawa ke tingkat peradilan umum. Setelah ada
keputusan dari Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) bahwa kasus
tersebut merupakan culpa lata dan bukan pelanggaran etik profesi semata
32
berdasarkan UU Kesehatan, KODEKI, dan Standar Profesi Kedokteran,
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berwenang membuktikan malpratik ini.
Jika ditemukan unsur kriminal, kasus diserahkan kepada pihak kepolisian
untuk diproses. Kendala yang sering terjadi pada pembuktian kasus
malpraktik medik yaitu kurangnya pengetahuan penegak hukum dalam
bidang medik sehingga memerlukan saksi ahli serta keterbatasan
memperoleh berkas catatan pelayanan medik yang merupakan rahasia
pasien.
e. Kelalaian medik adalah kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat
oleh dokter rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Selama
akibat kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencelakai orang lain,
maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadiat CM. Hukum Kedokteran. Dalam: Dinamika Etika dan Hukum
Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2007; h.1-59.
2. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik.
Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. 2009. h.14-23.
3. Komalawati V. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1989; h.19-20.
4. Flynn M. Medical Malpractice: Negligence Duty of Care. Dalam:
Encyclopedia of Forensic Medicine, Volume 4. Florida: Elsevier Ltd. Nova
South Eastern University. 2005; h.324-5.
5. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam
Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003; h.34-42.
6. Lusiana KI. Skripsi: Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di
Bidang Medis. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2010;
h.10-9.
7. Isfandyarie A. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher. 2006, h.5-17.
8. Poernomo B. Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam
Undang-undang RI, edisi kedua. Yogyakarta: Liberty. 1993; h.41.
9. Harahap Y. Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi, dan Peninjauan Kembali, edisi kedua. Jakarta:
Sinar Grafika. 2000. h.279.
10. Maryanti N. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bina Aksara. 1998. h.1-10.
11. Ameln F. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafika Tama Jaya.
1991. h.87.
34
12. Hariyani S. Sengketa Medik. Jakarta: Diadit Media. 2005; h.64.
13. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang: Magister
Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 2010; h.1-42.
14. Sutarto S. Hukum Acara Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008;
h.55.
15. Hamzah A. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2001; h.234-59.
16. Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003; h.7.
17. Nugraha CI. 2011. Skripsi: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Malpraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran di Indonesia. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. 2011; h.1-55.
18. Guwandi. Berbagai Macam Kelalaian. Dalam: Dugaan Malpraktek Medik dan
Draft RPP: Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.94-112.
35