32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga keuangan berorientasi bisnis, bank melakukan berbagai transaksi 1 . Transaksi perbankan yang paling utama di antaranya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) dan menyalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk fasilitas kredit (lending). Transaksi tersebut merupakan fungsi bank yang disebut sebagai fungsi intermediary antara masyarakat yang kelebihan dana dan masyarakat yang memerlukan dana. 2 Dari berbagai macam usaha perbankan, kredit merupakan kegiatan bisnis perbankan yang mendominasi. Hal ini wajar mengingat dari kredit inilah sumber pendapatan terbesar bank, yaitu hasil yang diperoleh dari bunga (interest) atas kredit yang disalurkan kepada masyarakat (debitur). Namun demikian tujuan bisnis bank untuk memperoleh keuntungan (profitability) harus diimbangi dengan adanya unsur keamanan (safety). Mengingat pemberian kredit tersebut juga mempunyai risiko yang cukup tinggi baik bagi bank maupun nasabah penyimpan dana (degree of risk). 3 Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu mengandung risiko bagi bank. Risiko di sini adalah risiko dari kemungkinan ketidakmampuan dari 1 Transaksi adalah kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentrasferan dan/atau pemidahbukuan dana yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan” Z. Dunil, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.191. 2 Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal.1. 3 Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Kehati-hatian Sebagai Landasan Dalam Mewujudkan Sosok Perbankan Yang sehat (Sound Banking Business) Bagian II ”, (Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi XXI, Agustus 1998), hal.49. Universitas Sumatera Utara

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai lembaga keuangan berorientasi bisnis, bank melakukan berbagai

transaksi1. Transaksi perbankan yang paling utama di antaranya menghimpun dana

masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) dan menyalurkan kembali pada

masyarakat dalam bentuk fasilitas kredit (lending). Transaksi tersebut merupakan

fungsi bank yang disebut sebagai fungsi intermediary antara masyarakat yang

kelebihan dana dan masyarakat yang memerlukan dana.2

Dari berbagai macam usaha perbankan, kredit merupakan kegiatan bisnis

perbankan yang mendominasi. Hal ini wajar mengingat dari kredit inilah sumber

pendapatan terbesar bank, yaitu hasil yang diperoleh dari bunga (interest) atas kredit

yang disalurkan kepada masyarakat (debitur). Namun demikian tujuan bisnis bank

untuk memperoleh keuntungan (profitability) harus diimbangi dengan adanya unsur

keamanan (safety). Mengingat pemberian kredit tersebut juga mempunyai risiko yang

cukup tinggi baik bagi bank maupun nasabah penyimpan dana (degree of risk).3

Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu mengandung

risiko bagi bank. Risiko di sini adalah risiko dari kemungkinan ketidakmampuan dari

1Transaksi adalah kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkantimbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentrasferan dan/ataupemidahbukuan dana yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan” Z. Dunil, Kamus IstilahPerbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.191.

2Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Bogor: Ghalia Indonesia,2009), hal.1.

3Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Kehati-hatian Sebagai Landasan Dalam MewujudkanSosok Perbankan Yang sehat (Sound Banking Business) Bagian II”, (Jurnal Hukum Ekonomi, EdisiXXI, Agustus 1998), hal.49.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

2

debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya karena sesuatu hal tertentu

yang tidak dikehendaki.4

Pihak bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tentu saja tidak hanya

dapat bergantung dengan perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur.

Agar lebih memberikan rasa aman kepada bank, maka debitur diwajibkan untuk

memberikan jaminan5 kepada kreditur apabila debitur wanprestasi atau debitur tidak

sanggup untuk melunasi seluruh hutangnya kepada kreditur. Oleh karena itu

sebaiknya dibuatlah suatu perjanjian tambahan mengenai jaminan tersebut. Jika di

samping perjanjian yang telah ada, tidak ada perjanjian tambahan apa pun maka

sesuai dengan Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata kreditur yang bersangkutan

bukanlah kreditur yang diistimewakan.

Adanya jaminan ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan

antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan atau

jaminan yang bersifat perorangan. “Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya

benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat

perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi

prestasi manakala debitur wanprestasi.”6

Oleh karena itu, jaminan merupakan tindakan preventif untuk mengamankan

hutang debitur yang telah diberikan oleh kreditur yaitu dengan cara menjaminkan

4Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.57.5Jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul darisuatu perikatan”, Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,(Yogyakarta: Liberty,1984), hal.50. Di samping itu, jaminan juga dapat diartikan dengan menjamindipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Olehkarena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”, Mariam Darus Badrulzaman, Bab-babtentang Creditverband, Gadai, dan Fiducia, (Bandung: Alumni, 1987), hal.227-265.

6Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2001), hal.46.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

3

kekayaan debitur agar debitur memenuhi kewajiban untuk membayar kembali atau

dengan adanya kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi prestasi debitur.7

Jaminan fidusia yang merupakan objek penulisan tesis ini, termasuk ke dalam

ruang lingkup jaminan yang bersifat kebendaan. “Jaminan yang bersifat kebendaan

memberikan hak-hak kepada kreditur untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan

daripada kreditur-kreditur lain, atas hasil penjualan suatu benda tertentu atau

sekelompok benda tertentu, yang secara khusus diperikatkan”.8

Mengenai jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua

orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-

bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan”.

Semula jaminan fidusia tidak diatur dalam undang-undang, melainkan hanya

diatur dengan yurisprudensi,9 jaminan fidusia ini dahulu dikenal dengan Fiduciare

Eigendom Overdracht (FEO). Lembaga ini muncul karena adanya kebutuhan dari

masyarakat sendiri di samping pengaruh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-Undang

7Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yangMelekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Jakarta: Citra AdityaBakti, 1996), hal.201.

8J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT.Citra AdityaBakti, 2002), hal.17.

9Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga JaminanKhususnya Fidusia Didalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1977),hal.73.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

4

Pokok Agraria.10 Masyarakat menganggap prosedur fidusia lebih mudah, lebih luwes,

biaya murah, selesainya cepat dan meliputi benda bergerak dan tidak bergerak,

namun untuk menjamin kepastian hukum serta agar mampu memberikan jaminan

hukum bagi pihak yang berkepentingan, lembaga jaminan fidusia ini harus

dituangkan dalam suatu peraturan yang jelas dan lengkap. Maka dibentuklah Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berusaha menampung

kebutuhan masyarakat.

Definisi, eksistensi Lembaga Jaminan Fidusia, maupun ruang lingkupnya

telah diatur dengan adanya Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia memberikan pengertian fidusia sebagai berikut: “fidusia adalah pengalihan

hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda

yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pengalihan hak milik atas suatu

barang bergerak yang dijaminkan hanya sebatas secara kepercayaan. Pengalihan

secara kepercayaan merupakan perbuatan abstrak yang dilandasi oleh alam pemikiran

barat, seolah-olah barang itu sebagai milik kreditur selama perjanjian hutang piutang

belum berakhir.11

Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia juga dijelaskan dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagai berikut:

10Ibid, hal.76.11Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2009), hal.235.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

5

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujudmaupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunanyang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagimana dimaksud dalamUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetapberada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutangtertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusiaterhadap kreditur lainnya.”

Definisi tersebut di atas jelas memberikan pengertian bahwa fidusia berbeda

dengan jaminan fidusia, di mana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak

kepemilikan sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk

fidusia. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena

undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan

nasabah debitur, oleh karena itu fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih

bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal 1131

KUHPerdata.12 Jaminan fidusia terbentuk melalui proses 3 fase yaitu : 13

1. Fase Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenkomst)

Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir

(Obligatoir Overeenkomst). Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pinjam

uang berupa kredit dengan jaminan fidusia di antara pihak pemberi fidusia

(debitur) dengan pihak penerima fidusia (kreditur).

2. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst)

Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitur

kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan dengan cara constitutum prosessorium,

yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik benda.

12Tan Kamelo, “Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan”, (Bandung:PT. ALumni, 2006), hal.187-188.

13Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1996), hal.256.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

6

3. Fase Perjanjian Pinjam Pakai (Bruiklening)

Dalam fase ketiga ini dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini hak milik atas

benda jaminan fidusia sudah berpindah ke tangan kreditur.

Objek yang dapat diberikan jaminan fidusia adalah berupa benda, yang

dimaksud dengan benda tersebut diuraikan dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia yaitu :

“Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak

terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani

hak tanggungan atau hipotik”.

Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia juga dijelaskan bahwa “jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau

lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat

jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian”. Ini berarti benda tersebut demi

hukum akan dibebani dengan jaminan fidusia pada saat benda dimaksud menjadi

milik pemberi fidusia. Pembebanan jaminan fidusia tersebut tidak perlu dilakukan

dengan perjanjian jaminan tersendiri, hal ini karena atas benda tersebut sudah

dilakukan pengalihan hak.14

Hal utama yang perlu diperhatikan ialah pengertian piutang dalam Pasal 9

Ayat (1) di atas, piutang tersebut harus jelas piutang yang mana, karena kantor

14Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal.145.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

7

pendaftaran fidusia tidak akan dapat mendaftarkan suatu jaminan fidusia jika tidak

secara tegas menyebutkan benda yang dijadikan jaminan fidusia tersebut. Jika objek

yang dijadikan jaminan fidusia berupa piutang, maka piutang tersebut harus tegas dan

jelas.15

Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.16 Dalam kehidupan sehari-

hari, terlebih dalam dunia perdagangan piutang dikenal seperti piutang biasa, wesel,

cheque, promes, cognossement, dan lain-lain. Sebagian piutang-piutang tersebut,

sengaja atau dalam hal-hal tertentu disyaratkan oleh undang-undang dibuat dalam

bentuk tertulis. Piutang-piutang tersebut ada yang berupa piutang atas sejumlah uang

tertentu dan atau atas sejumlah barang tertentu.

Untuk memberikan pemahaman yang cukup, maka perlu dikemukakan

berbagai hal yang berkaitan dengan agunan kredit berupa piutang yaitu sebagai

berikut: 17

a. Dalam praktik pendaftaran fidusia, terdapat kantor pendaftaran fidusia yang

hanya menerima piutang dalam suatu daftar yang pasti. Artinya, jika tidak

terdapat piutang yang secara pasti telah ada, maka kantor pendaftaran fidusia

setempat tidak bersedia untuk mendaftar. Termasuk dalam hal ini adalah termin-

termin proyek yang belum terdapat hak menagih dari debitur, tidak dapat

dijadikan jaminan fidusia.

15Try Widiyono, Op.Cit, hal.207.16Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia17Ibid, hal.208.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

8

b. Sekalipun piutang dari debitur tersebut telah diikat dalam suatu jaminan fidusia

yang terdapat dalam daftar berupa lampiran sertipikat jaminan fidusia, maka

pada praktik, atas piutang yang telah diikat, tidak mempunyai nilai likuidasi

karena hutang tersebut telah lunas. Hal ini terjadi karena daftar piutang yang

didaftarkan adalah daftar piutang yang ada pada saat daftar dibuat. Padahal

dalam siklus usaha, piutang itu akan selalu bergulir setiap saat, terutama piutang-

piutang yang timbul karena hasil penjualan dari inventory. Idealnya, memang

setiap perubahan daftar piutang itu dilakukan pendaftaran ulang karena adanya

perubahan daftar yang terdapat dalam sertipikat fidusia, tetapi kreditur (bank)

tidak mungkin dapat melakukan pendaftaran ulang secara terus menerus setiap

saat jika terjadi perubahan daftar piutang.

Sebagai contoh perusahaan pembiayaan (multifinance) sebagai debitur, dalam

menerima fasilitas kredit dari perbankan, lazimnya memberikan jaminan berupa

piutang konsumen (end user) yang dituangkan dalam bentuk daftar piutang dan

berpotensi mengalami masalah seperti “dalam praktek perbankan, sifat kebendaan

dan karakteristik jaminan fidusia berpotensi menyulitkan kreditur, mulai dari proses

pengikatannya, pendaftaran, pengawasan dan eksekusi terutama piutang”.18

Berbeda dengan proses hak tanggungan yang pengikatannya bisa

mengandalkan informasi tentang pendaftaran hak atas tanah, pengalihan hak atas

tanah dan pembebanan hak atas tanggungan dalam buku tanah yang ada di kantor

18Sunu Widy Purwoko, Catatan Hukum Seputar Kredit Dan Jaminan, (Jakarta: Nine SeasonsCommunication, 2011), hal.178.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

9

pertanahan, pengikatan jaminan fidusia hanya dapat mengandalkan informasi yang

ada dalam lampiran jaminan fidusia yang dibuat debitur selaku pemberi jaminan

fidusia.

Hal tersebut membuka peluang timbulnya pengikatan ganda atas objek

jaminan fidusia yang sama. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia menyatakan bahwa, “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia

ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar”.

Dalam praktek, kantor pendaftaran fidusia dapat menerbitkan sertipikat jaminan

fidusia untuk beberapa kreditur atas pendaftaran objek jaminan fidusia yang sama,

apalagi sejak diberlakukannya Surat Edaran Dirjen AHU tertanggal 5 Maret 2013,

Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 mengenai Pemberlakuan Sistem Administrasi

Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik (Online System).

Di dalam proses ini, fidusia online juga mempunyai kelemahan, yaitu tidak

adanya pemblokiran akses bagi perusahaan yang objek jaminannya sudah

didaftarkan. Ini menjadi masalah karena memungkinkan terjadinya fidusia ulang

dengan sertipikat ganda terhadap objek jaminan yang sama. Selain itu, dalam hal

notaris melakukan kesalahan dalam menginput data yang mengakibatkan notaris atau

masyarakat dirugikan karena kehilangan biaya pembayaran Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) yang sudah ditransfer, dan wajib melakukan perubahan dengan

biaya PNBP yang lebih mahal daripada harus mendaftarkan jaminan fidusia tersebut

dari awal.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

10

Di samping permasalahan tentang sistem pendaftaran fidusia online, ada juga

masalah yang sering menimbulkan masalah yuridis adalah ketika pihak debitur lalai

atau bahkan tidak mampu melakukan pembayaran atau pengembalian dana yang

dipinjamnya kepada pihak kreditur. Debitur yang lalai atau bahkan tidak mampu

membayar hutangnya kepada keditur ini biasanya karena dia mengalami kerugian

sehingga debitur cidera janji dan melanggar kesepakatan yang telah mereka buat.19

Menurut Tan Kamelo, bahwa dari isi akta jaminan fidusia, pengaturan tentang

wanprestasi debitur pada prinsipnya dapat dikategorikan dalam 3 hal yaitu: 20

1) Debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila tidak membayarjumlah hutang kepada bank berdasarkan perjanjian kredit sesuai waktu yangditentukan, dalam hal ini tidak ditentukan apakah wanprestasi tersebut didahuluioleh pernyataan lalu dengan cara peneguran kepada kreditur.

2) Debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila dalam memenuhikewajibannya untuk membayar hutang kepada bank dan cukup dibuktikandengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian kredit tanpa perluadanya surat teguran dari juru sita atau surat sejenis lainnya.

3) Masalah wanprestasi tidak ada diatur sama sekali dalam akta perjanjian jaminanfidusia cukup diatur dalam perjanjian pokoknya.

Jaminan dalam bentuk daftar piutang merupakan jaminan yang akan diperoleh

pada saat yang akan datang, oleh karena itu jaminan dalam bentuk daftar piutang

sangatlah besar risikonya, karena ada kemungkinan bahwa pihak ketiga tidak

membayar hutangnya kepada kreditur. Apabila hal itu terjadi maka debitur juga akan

mengalami kesulitan untuk menjalankan usahanya. Sedangkan di dalam akta jaminan

19Wawancara dengan Mercy Brilliant Zebua, Analis Legalitas Kredit Bank Central Asia, padahari Selasa, tanggal 3 Juni 2014.

20Tan Kamelo, Op.cit. hal.198.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

11

fidusia sendiri tidak dijelaskan mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh pihak

ketiga (pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang).

Tahap awal dari proses terjadinya fidusia daftar piutang ini adalah dengan

diadakannya perjanjian hutang-piutang antara debitur dengan kreditur yang

merupakan perjanjian pokok, dan untuk menjamin lebih terjaminnya pelunasan

hutang yang harus dibayar oleh debitur ke kreditur maka debitur diwajibkan untuk

memberikan jaminan fidusia, dalam hal ini yang dijadikan jaminan adalah daftar

piutang. Oleh karena itu perjanjian fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir),

yang tidak mungkin berdiri sendiri tetapi harus mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu

perjanjian hutang piutang.

Selain permasalahan di atas, dalam pemberian jaminan fidusia dalam bentuk

daftar piutang dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pihak

yang namanya termasuk dalam daftar piutang tidak dapat membayar hutangnya

kepada pemberi fidusia karena terjadinya penurunan kondisi ekonomi, atau bisa juga

karena terjadinya kerugian. Selain itu bisa juga pihak yang namanya termasuk dalam

daftar piutang wanprestasi atau cidera janji dalam pembayaran hutangnya tersebut

kepada pemberi fidusia.

Hal tersebut menyebabkan kedudukan bank yang semula diutamakan menjadi

kedudukan yang konkuren karena tidak tersedianya objek jaminan yang nyata dan

mengakibatkan kreditur berpotensi mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk

mencegah hal tersebut maka kreditur sebagai penerima fidusia berhak dan berwenang

Universitas Sumatera Utara

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

12

untuk melakukan pengawasan terhadap objek jaminan fidusia daftar piutang tersebut,

sehingga dapat mencegah terjadinya kerugian.

Pemberian jaminan fidusia dalam bentuk daftar piutang mempunyai risiko

yang sangat besar, dan kreditur akan lebih terjamin jika menggunakan jaminan

perseorangan, yang dapat memberikan kepastian hukum bahwa debitur akan

membayar hutangnya kepada kreditur hanyalah perjanjian kredit yang dibuat dan akta

jaminan fidusia yang dibuat secara otentik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu pembebanan

benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan

merupakan akta jaminan fidusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, fungsi akta adalah

untuk kesempurnaan perbuatan hukum (formalita causa), dan sebagai alat bukti

(probationis causa).21

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diteliti dalam sebuah penulisan tesis

dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia

Dalam Bentuk Daftar Piutang”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang tersebut di atas,

maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan hukum daftar piutang sebagai jaminan fidusia?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur penerima jaminan fidusia

dalam bentuk daftar piutang?

21Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982),hal.122-121.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

13

3. Bagaimana tanggung jawab pemberi fidusia terhadap penerima fidusia apabila

pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang wanprestasi kepada pemberi

fidusia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum daftar piutang sebagai jaminan fidusia.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditur penerima jaminan

fidusia dalam bentuk daftar piutang.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab pemberi fidusia terhadap penerima fidusia

apabila pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang wanprestasi kepada

pemberi fidusia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu

hukum dalam bidang hukum jaminan, khususnya mengenai perjanjian jaminan

fidusia dalam bentuk daftar piutang.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa

magister kenotariatan, notaris dan praktisi hukum sehingga dapat menambah

wawasan dan pengetahuan dalam menjalankan tugasnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

14

b. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi bagi lembaga-lembaga

keuangan baik bank maupun non-bank, dalam memberi kredit ataupun dalam

membiayai pembelian atas barang yang dapat dibebankan fidusia serta

memberikan masukan kepada pemerintah dalam penyempurnaan peraturan

atau ketentuan-ketentuan yang telah ada.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang

pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang

“Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia Dalam Bentuk

Daftar Piutang”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul-

judul penelitian terdahulu yang membahas tentang jaminan fidusia, antara lain:

1. Amelia Kosasih, NIM: 017011072, mahasiswa Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Perlindungan Hak

Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia”, permasalahan yang diteliti yaitu:

1) Bagaimana akibat hukumnya apabila akte jaminan fidusia tidak didaftarkan ke

Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai kewajiban kreditor?

2) Kendala-kendala apa saja yang dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi jaminan

fidusia?

Universitas Sumatera Utara

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

15

3) Bagaimana perlindungan hak kreditor dengan jaminan fidusia berdasarkan

UUJF?

2. Rahmat Setiadi, NIM: 097011007, mahasiswa Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Resiko Hukum Atas

Cessie Tagihan Piutang Sebagai Jaminan Kredit Pada Perusahaan Pembiayaan

(Studi Pada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) Cabang Medan)”,

permasalahan yang diteliti yaitu:

1) Bagaimanakah kedudukan hukum cessie (tagihan piutang) sebagai jaminan

hutang pada lembaga pembiayaan PT. Permodalan Nasional Madani,

(Persero) cabang Medan?

2) Bagaimanakah prosedur pemberian kredit dengan cessie (tagihan piutang)

sebagai jaminan pada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) cabang

Medan?

3) Bagaimanakah resiko yang di timbulkan atas cessie (tagihan piutang) sebagai

jaminan kredit pada perusahaan pembiayaan PT. Permodalan Nasional

Madani (Persero) cabang Medan?

3. Martinus Tjipto, NIM: 077011079, mahasiswa Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Perlindungan Hukum terhadap Kreditur

dalam Perjanjian Fidusia yang Dibuat Secara di Bawah Tangan (Penelitian pada

PT. Olympindo Multi Finance Cabang Medan dan PT. Orix Indonesia Finance)”,

permasalahan yang diteliti yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

16

1) Apakah faktor-faktor penyebab lembaga pembiayaan melakukan perjanjian

fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?

2) Bagaimana kedudukan hukum perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah

tangan?

3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian fidusia

yang dibuat secara di bawah tangan, jika terjadi wanprestasi?

Dari judul-judul penelitian di atas, maka dapat diketahui bahwa belum ada

yang membahas secara khusus tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur

Penerima Jaminan Fidusia Dalam Bentuk Daftar Piutang. Dengan demikian,

penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik

tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara

rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan

suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu

penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris

untuk dapat dinyatakan benar.22

22M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal.27.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

17

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis.23

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan

hukum, yaitu suatu perlindungan yang diberikan oleh perangkat hukum yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang bersifat tertulis maupun tidak

tertulis yang diberikan terhadap subjek hukum dengan tujuan memberikan suatu rasa

aman, damai, tertib dan pasti dalam kehidupan sehari-hari subjek hukum.24

Perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalah perlindungan hukum

yang diberikan kepada bank dalam kedudukannya sebagai kreditur dengan

menggunakan perangkat hukum tertulis yang dapat menjelaskan bagaimana bank

dapat mempertahankan hak-haknya atas benda jaminan fidusia berupa daftar piutang

dan memperoleh pertanggungjawaban dari debitur sepenuhnya apabila pihak yang

namanya termasuk dalam daftar piutang melakukan wanprestasi.

Selain itu kerangka teori yang digunakan dalam menelaah perlindungan

hukum terhadap penerima fidusia dalam perjanjian fidusia didasarkan pada teori

keadilan dari John Rawls yang dikenal dengan teori Rawls bahwa Hukum sebagai

Justice as Fair.25 Melalui teori Rawls, bagaimanapun juga, cara yang adil untuk

23Ibid, hal.27.24Otje Salman, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelaahan), (Jakarta: Renada Media,

2007), hal.19.25Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta

PT. Toko Gunung Agung Tbk., 2002), hal.76.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

18

mempersatukan berbagai kepentingan adalah dengan tanpa memberikan perhatian

istimewa terhadap kepentingan itu sendiri.

Teori Rawls,26 memberikan dua prinsip keadilan di dalamnya yakni prinsip

kebebasan dan prinsip fair. Prinsip kebebasan bahwa setiap orang berhak mempunyai

kebebasan yang terbesar asal tidak menyakiti orang lain. Selanjutnya, dengan prinsip

fair bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika

ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

alinea keempat yang berbunyi: “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu

pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa

Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum

tertentu seperti dalam hal kredit.

Dalam perjanjian fidusia terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu penerima

fidusia sebagai pihak yang membiayai atau memberikan kredit (kreditur) dan pihak

pemberi fidusia sebagai pihak yang menerima kredit (debitur). Pihak kreditur

penerima fidusia dalam kaitannya dengan tulisan ini adalah orang perseorangan atau

korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan

Fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan debitur pemberi fidusia adalah orang

perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Apabila berbicara mengenai perjanjian fidusia, tidak terlepas dari perjanjian

26Ibid, hal.81.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

19

pokoknya, yang dalam hal ini adalah perjanjian pembiayaan. Di samping itu,

perjanjian fidusia tersebut dapat yang dibuat secara otentik maupun di bawah tangan,

yang juga tidak terlepas dari konsep perjanjian yang secara mendasar sebagaimana

termuat dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menegaskan semua perjanjian, baik

yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama

tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata.

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III

KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya mengatur

saja.

Sifat terbuka dari KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 Ayat (1)

KUHPerdata yang mengandung azas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang

bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban

umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat di

dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Suatu perjanjian pada dasarnya harus memuat beberapa unsur perjanjian

yaitu:27

a. unsur essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti

identitas para pihak yang harus dicantumkan di dalam suatu perjanjian;

b. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun

tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-

masing pihak dalam perjanjian;

27R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), hal.20.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

20

c. unsur accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam

perjanjian.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa perjanjian dapat digunakan sebagai dasar

untuk memahami dan menyusun mengenai perjanjian kredit. Perjanjian kredit tidak

secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi termasuk dalam perjanjian bernama di

luar KUHPerdata.

Perjanjian kredit dilandaskan oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata Bab XII

Buku III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang. Menurut

Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: pinjam meminjam adalah suatu perjanjian

dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah

tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak

yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang

sama pula.28

Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti

melepaskan sebagian kekuasaan atas barang tersebut.29 Kekuasaan yang dimaksud

bukanlah melepaskan kekuasaan benda ekonomis melainkan secara yuridis, artinya

pemberi fidusia tetap memiliki hak ekonomis atas benda yang dijaminkannya itu,

akan tetapi pemberi fidusia tersebut tidak dapat mengalihkan maupun mengagunkan

benda yang dijaminkannya itu kepada pihak lain sebelum kewajibannya terhadap

kreditur penerima fidusia terpenuhi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

28Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Jakarta: Alvabetha, 2005), hal.96.29R.Subekti, Op.cit, hal.27.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

21

bahwa benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh si pemberi fidusia untuk

melanjutkan usaha bisnisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam

perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi jaminan fidusia

bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima jaminan fidusia bertindak

sebagai pemilik yuridis.

Benda yang dijadikan jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat

dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun

tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani

dengan hak tanggungan atau hipotik.30 Berbeda halnya dengan objek fidusia, benda

jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Pembebanan hak

tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah berikut bangunan, tanaman

dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik pemegang hak

atas tanah tersebut.31 Secara teoritis konseptual hak tanggungan hanya dibebankan

atas tanah saja, sedangkan benda-benda yang ada di atasnya bukan merupakan benda

bagian dari tanah melainkan benda yang memiliki status hukum tersendiri.32 Ini

berarti, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan pada

prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal. Pengecualian atas asas tersebut

hanya dimungkinkan apabila bangunan/rumah yang ada di atas tanah tersebut adalah

30Rumusan pengertian benda dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999tentang Fidusia. Bandingkan dengan Pasal 1131 KUHPerdata.

31Pasal 4 jo. Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan.

32Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

22

kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Dalam teori hukum pun dapat dibenarkan

bahwa asas itu memiliki sifat pengecualian. Dalam teori hukum tanah yang dianut

Undang-Undang Pokok Agraria, antara tanah dan bangunan/rumah yang ada di

atasnya adalah terpisah satu sama lain.

Hak kebendaan dari jaminan fidusia baru lahir sejak dilakukan pendaftaran

pada kantor pendaftaran fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya sertipikat

jaminan fidusia.33 Konsekuensi yuridis dari tidak didaftarkannya jaminan fidusia

adalah perjanjian jaminan fidusia bersifat perseorangan (persoonlijke karakter). Oleh

karena itu, proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai

dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan diikuti

dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan

proses perjanjian jaminan fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga

memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya. Pengalihan jaminan

fidusia diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan

beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada

kreditur baru.

2) Beralihnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan

oleh Kreditur baru kepada kantor pendaftaran fidusia.

33Pasal 14 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

23

Sehingga pengalihan perjanjian pokok dalam mana diatur hak atas piutang

yang dijamin dengan fidusia, mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan

kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Selanjutnya kreditur baru harus

mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.

Penghapusan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bunyinya hapusnya hutang yang dijamin

dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, dan

musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Perjanjian fidusia, seperti

halnya dengan perjanjian, yaitu bersifat acessoir, maka perjanjian/hak fidusia hapus

dapat disebabkan oleh hapusnya perikatan pokoknya, yaitu perjanjian kredit atau

perjanjian hutang piutang yang mendahuluinya. Selain itu, jaminan fidusia juga hapus

karena pelepasan hak jaminan fidusia oleh penerima fidusia, termasuk musnahnya

benda yang manjadi objek jaminan fidusia. 34

Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa suatu perjanjian kredit

sangatlah membutuhkan adanya suatu perlindungan hukum, baik bagi si kreditur

maupun debitur. Bagi kreditur, salah satunya adalah adanya jaminan, yang dapat

dibuat dengan perjanjian jaminan fidusia, yang merupakan suatu perjanjian jaminan

yang tunduk pada asas konsensualisme, yang dianut oleh KUHPerdata.

Pengertian konsensualisme adalah perjanjian sudah dilahirkan sebagai suatu

perjanjian yang sah mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pada detik

34H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal.290.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

24

tercapainya kata sepakat mengenai apa yang telah diperjanjikan antara kreditur dan

debitur. Kata sepakat mengenai kredit antar kreditur dan debitur dalam perjanjian

kredit dinyatakan dengan cara menandatangani surat perjanjian kredit.35 Asas

konsensualisme itu sendiri dianut oleh KUHPerdata.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa dalam hak terdapat empat unsur,

yaitu subjek hukum, objek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain

dengan kewajiban dan perlindungan hukum. Hak milik itu ada subjeknya yaitu

pemilik, sebaliknya setiap orang terikat kewajiban untuk menghormati hubungan

antara pemilik dan objek yang dimilikinya. Seseorang yang membeli suatu barang

dari orang lain berhak atas barang yang dibelinya, sedangkan penjual mempunyai

kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya. Jadi hak pada hakekatnya

merupakan hubungan hukum dengan subjek hukum lain yang dilindungi oleh hukum

dan menimbulkan kewajiban.36

Penjelasan di atas memberikan pemahaman, jika interaksi atau hubungan yang

dilakukan oleh orang yang satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan masyarakat

akan menimbulkan hubungan hukum yang menciptakan hak dan kewajiban di antara

satu dengan atau terhadap lainnya.37 Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan

35Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.182-183.

36Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003),hal.42.

37Gr. Van der Burght, (ed. Wila Chandra Wila Supriadi), Buku tentang Perikatan dalam Teoridan Yurisprundensi, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal.1 mengatakan “perikatan adalah suatuhubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang menurut ketentuan seseorang ataulebih berhak atas sesuatu, sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu”.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

25

hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga orang atau anggota

masyarakat merasa aman kepentingannya. Demikian juga halnya dalam perjanjian

fidusia yang dilakukan oleh bank dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia

dalam bentuk daftar piutang.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi

dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian

atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu

dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh

karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi

operasional sebagai berikut:38

a. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.39

b. Perjanjian Kredit

38Tan Kamelo, Op.cit, hal. 30-31.39Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2000), hal.54.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

26

Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan pemberian bunga.40

Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank

secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan

hukum antara bank dengan nasabah debitur. 41

c. Jaminan Fidusia

Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang yang timbul dari suatu perikatan. 42

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

berada dalam penguasaan pemilik benda. 43

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan

yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

40Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.41Tan Kamelo, Op.Cit, hal.33.42Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2004), hal.22.43Pasa1 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

27

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima

Fidusia terhadap kreditor lainnya. 44

d. Benda Jaminan Fidusia

Benda jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan,

baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak

terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani

dengan hak tanggungan atau hipotik. 45

e. Pemberi Fidusia

Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang

menjadi obyek Jaminan Fidusia. 46

f. Penerima Fidusia

Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai

piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 47

g. Akta Jaminan Fidusia

Akta Jaminan Fidusia adalah akta dibawah tangan dan akta notaris yang

berisikan pemberian jaminan fidusia kepada kreditur tertentu sebagai jaminan

untuk pelunasan piutangnya. 48

h. Hutang

44Pasa1 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.45Pasa1 1 angka 3 jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia.46Pasa1 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.47Pasa1 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.48Tan Kamelo, Op.Cit, hal.32.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

28

Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam

bentuk mata uang rupiah atau mata uang lainnya sebagai akibat perjanjian kredit

dengan jaminan fidusia. 49

i. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.50

G. Metode Penelitian

Sunaryati Hartono mendefenisikan bahwa :

”Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan ataupenyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (ataubeberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakanverifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah,peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu. 51

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi. 52

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang

menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk

teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan.53 Pada penelitian ini bersifat

deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan

49Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.50Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op.cit, hal.122.51Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal.105.52Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hal.35.53Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.63.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

29

menganalisis Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia

Dalam Bentuk Daftar Piutang.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis

normatif), yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang dimulai

dengan analisis terhadap permasalahan hukum baik yang berasal dari literatur

maupun peraturan perundang-undangan,54 khususnya Undang-Undang Jaminan

Fidusia dan peraturan pelaksanannya dan ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu

dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan

korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah dan praktek pelaksanaan yang

menyangkut dengan akta jaminan fidusia.

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan

perundang-undangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan

yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek, maka pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu

juga dilakukan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah

yang diperlukan dalam penelitian normatif.” 55

54Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2010), hal.37-38.

55Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia,2007), hal.295.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

30

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder melalui studi dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari bahan

kepustakaan, diantaranya adalah:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, antara

lain:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan

3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini antara lain mencakup hasil penelitian,

rancangan undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum dan literatur-literatur.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia, dan sebagainya. 56

4. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,

karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan

untuk selanjutnya dianalisis sesuai yang diharapkan. Maka tehnik pengumpulan data

dalam penelitian ini berupa:

56Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), hal.13.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

31

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu mencari dan mengumpulkan data

sekunder yang berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan yang

terjadi dalam pembuatan akta jaminan fidusia.

b. Wawancara yang menghimpun data dengan melakukan tanya jawab antara

peneliti dengan narasumber untuk mendapatkan informasi. Untuk menambah dan

melengkapi data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan

informan yang terdiri dari pihak bank dan Notaris/ PPAT di kota Medan

sebanyak 3 orang.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan,

selanjutnya akan dilakukan proses pengeditan data. Ini dilakukan agar akurasi data

dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki kembali ke

sumber data. Setelah pengeditan selanjutnya adalah pengolahan data. Setelah

pengolahan data selesai selanjutnya akan dilakukan analisi data secara deskriptif-

analitis-kualitatif, dan khusu terhadap data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan

kajian isi (content analysis). 57

Lexi J. Moleong mengemukakan bahwa kajian isi adalah metodologi

penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang

sahih dari suatu dokumen untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga pokok

permasalahn yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat terjawab. 58

57Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), hal.163-165.

58Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai lembaga

32

Kemudian penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika

berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum ke

yang khusus.59 Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti

sehingga diharapkan akan memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dalam

penelitian ini.

59Tampil Ansahari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2005),hal.16.

Universitas Sumatera Utara