40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Palangka Raya merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya memiliki julukan sebagai Kota CANTIK yang memiliki definisi sebagai Kota yang Cantik, Aman, Nyaman, Tentram, Indah dan Keterbukaan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut dan menjalankan kebijakan Pemerintah Kota Palangka Raya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat secara maksimal serta dalam rangka perwujudan pelaksanaan Otonomi Daerah secara lebih nyata, dinamis dan bertanggungjawab serta guna pembiayaan Pemerintah dan Pembangunan Daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari sektor Retribusi Daerah maka harus dikelola dengan lebih efektif, efisien dan berhasil guna. Kota Palangka Raya yang berjuluk kota CANTIK tersebut memiliki harapan bahwa Kota Palangka Raya adalah kota yang bersih rapi dan nyaman dirasakan oleh masyarakat yang berada di kota tersebut. Namun untuk kondisi belakangan ini, jika dilihat dari segi kebersihan kotanya, masih memberikan rasa yang kurang nyaman kepada setiap masyarakat yang melihatnya. Berserakannya sampah di sebagian tepi jalan yang ada di Kota Palangka Raya, serta menumpuknya sampah-sampah hampir di setiap TPS 1

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah · Pendapat di atas tidak jauh berbeda dengan definisi yang telah dirumuskan oleh beberapa penulis lain. ... misalnya berkenaan dengan kebijakan

  • Upload
    hanga

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kota Palangka Raya merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan

Tengah. Kota Palangka Raya memiliki julukan sebagai Kota CANTIK yang

memiliki definisi sebagai Kota yang Cantik, Aman, Nyaman, Tentram, Indah

dan Keterbukaan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut dan menjalankan

kebijakan Pemerintah Kota Palangka Raya dalam pemberian pelayanan

kepada masyarakat secara maksimal serta dalam rangka perwujudan

pelaksanaan Otonomi Daerah secara lebih nyata, dinamis dan

bertanggungjawab serta guna pembiayaan Pemerintah dan Pembangunan

Daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari

sektor Retribusi Daerah maka harus dikelola dengan lebih efektif, efisien dan

berhasil guna.

Kota Palangka Raya yang berjuluk kota CANTIK tersebut memiliki

harapan bahwa Kota Palangka Raya adalah kota yang bersih rapi dan nyaman

dirasakan oleh masyarakat yang berada di kota tersebut. Namun untuk

kondisi belakangan ini, jika dilihat dari segi kebersihan kotanya, masih

memberikan rasa yang kurang nyaman kepada setiap masyarakat yang

melihatnya. Berserakannya sampah di sebagian tepi jalan yang ada di Kota

Palangka Raya, serta menumpuknya sampah-sampah hampir di setiap TPS

1

2

menjadi suatu kondisi yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah kota

seluruh warga masyarakat yang ada di Kota Palangka Raya.

Sementara itu, upaya penanggulangan sampah agar dapat

dilaksanakan dengan maksimal serta dalam rangka peningkatkan kualitas

pelayanan kepada masyarakat terutama terkait layanan persampahan, maka

secara khusus Pemerintah Kota Palangka Raya membuat kebijakan dengan

mengadakan retribusi persampahan yang harus dibayarkan setiap bulannya.

Hal tersebut tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Palangka Raya

Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/

Kebersihan. Dimana dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan dapat

menambah Pendapatan Asli Daerah yang nantiya tambahan pendapatan asli

daerah tersebut digunakan untuk. Kebijakan tentang retribusi pelayanan

persampahan atau persampahan tersebut mencakup beberapa hal diataranya

yaitu sanksi bagi wajib retribusi yang melangar. Sanksi tersebut berupa 1)

sanksi administrasi yang berupa denda sebesar 2% dari setiap bulan dari

retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan surat teguran, 2)

Sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak

3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Terkait hal di atas, dari pengamatan peneliti serta dari penuturan

beberapa warga terutama di beberapa lokasi Kecamatan Jekan Raya Kota

Palangka Raya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut masih terdapat warga

masyarakat yang kurang mengetahui secara jelas tentang peraturan tersebut.

Sehingga masih banyak warga masyarakat yang tidak mengetahui tatacara

3

pembayaran retribusi, besar pembayarannya, kapan berlakunya, bentuk sanksi

dan sebagainya.

Belum merata dan maksimalnya pemahaman tentang Peraturan

Daerah retribusi persampahan dari masyarakat di Kecamatan Jekan Raya

dibuktikan dengan bervariasinya pengetahuan masyarakat terkait Peraturan

Daerah tersebut di setiap lokasi di Kecamatan Jekan Raya. Sebagian kecil

warga masyarakat yang telah mengetahui retribusi persampahan hanya

sebatas melihat papan Peraturan Daerah yang dipasang di beberapa ruas jalan

di Kota Palangka Raya. Sementara sebagian warga masyarakat lainnya masih

belum mengetahui program retribusi tersebut.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam

bagaimana implementasi pelayanan persampahan di Kecamatan Jekan Raya

Kota Palangka Raya. Maka dari itu penulis mengambil judul “Implementasi

Kebijakan Retribusi Pelayanan Persampahan di Kecamatan Jekan Raya

Kota Palangka Raya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana Implementasi Kebijakan Retribusi Pelayanan Persampahan di

Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya?

4

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Kebijakan Retribusi

Pelayanan Persampahan pada Rumah Tangga, Rumah Kost dan Barak di

Kecamatan Jekan Raya kota Palangka Raya.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan dan informasi bagi masyarakat secara umum dan bagi para

mahasiswa khususnya dalam hal pengelolaan Retribusi Pelayanan

Persampahan.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

informasi kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas terkait (Dinas Pasar

dan Kebersihan Kota Palangka Raya) dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan

kebijakan dan mengambil keputusan mengenai masalah Retribusi

Pelayanan Persampahan lingkungan di Kota Palangka Raya.

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Implementasi Kebijakan

Riant Nogroho (2006: 119) mengatakan bahwa Implementasi kebijakan

adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang

tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Salain itu, ancaman utama,

adalah konsistensi implementasi. Begitu menentukan strategisnya fungsi dan

peranan implementasi maka memberikan porsi 60% (persen) untuk

implementasi sebagai penentu keberhasilan, dan sisanya 20% untuk rencana

dan 20% lagi adalah bagaimana mengendalikan implementasi itu sendiri.

Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab

(2004: 65), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa:

‘memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan

berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul

yang disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang baik usaha-

usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan

akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian’.

Van Meter dan Van Horn dalam Solichin Abdul Wahab (2004: 65) juga

mengemukakan bahwa ‘implementasi adalah tindakan-tindakan yang

dilakukan baik individu-indvidu, kelompok-kelompok pemerintah dan swasta

5

6

yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijaksanaan’.

Kebijakan (policy) diberi arti macam-macam. Harold D. Lasswell dan

Abraham Kaplam dalam M Irfan Islamy (2007:15&17) kebijakan sebagai

suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang

terarah. Sementara itu Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai

berikut ‘... serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau

pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-

hambatan dan sekempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan

kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu’, (M Irfan Islamy,

2007: 17).

H. Heclo dalam Solichin Abdul Wahab (2008:40) mengatakan bahwa

“policy is not....self evident term” (kebijakan bukanlah sebuah istilah yang

jelas dengan sendirinya), karena itu Heclo menyarankan, dan sekaligus

menunjukkan, bahwa “kebijakan itu lebih baik jika dipandang sebagai

tindakan yang sengaja dilakukan atau ketidakmauan untuk bertindak secara

sengaja dari pada dipandang sebagai keputusan-keputusan atau tindakan-

tindakan tertentu”. Dalam alur pemikiran yang hampir sama David Easton

dalam Solichin Abdul Wahab (2008:40) menyatakan bahwa “a policy

...consists of a web of decisions and action that allocate....values”

(kebijakan....terdiri dari dari serangkaian serangkaian keputusan dan tindakan

untuk mengalokasikan....nilai-nilai).

7

Samodra Wibaya (2011) mendefinisikan kebijakan publik adalah

keputusan suatu sistem politik untuk/dalam/guna mengelola suatu masalah

atau memenuhi suatu kepentingan, di mana pelaksanaan keputusan tersebut

membutuhkan dikerahkannya sumberdaya milik (semua warga) sistem politik

tersebut.

Pendapat di atas tidak jauh berbeda dengan definisi yang telah

dirumuskan oleh beberapa penulis lain. Budi Winarno dalam Samodra

Wibawa (2011:2) mengutip pendapat beberapa pakar diantaranya sebagai

berikut:

a. Thomas R. Dye (1975) memberikan definisi ‘kebijakan sebagai suatu

tindakan pemerintah (penguasa) apapun yang dipilih pemerintah apakah

untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

b. Janes E. Anderson (1979) berpendapat bahwa kebijakan adalah arah

tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang atau

beberapa aktor guna mengatasi suatu masalah.

c. Robert Eyestone (1971) membuat definisi yang sangat luas, yaitu bahwa

kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan

lingkungannya.

d. Carl Friedrich (1963) melihat, bahwa kebijakan adalah arah tindakan

yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan atau

kesempatan-kesempatan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau

merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

8

e. Richard Rose (1969) berpendapat bahwa kebijakan adalah serangkaian

kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-

konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan, bukan keputusan yang

berdiri sendiri-sendiri.

Meruntut pandangan dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di

atas mengenai implementasi dan kebijakan, kini dapat di ketahui apa itu

implementasi kebijakan. Secara sederhana dengan menggunakan

pemahaman-pemahaman implementasi dan kebijakan, maka kita akan dapat

menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan itu merupakan suatu tindakan

yang dilakukan oleh para aktor kebijakan untuk melaksanakan kebijakan itu

sendiri.

Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (2008:176)

mengatakan bahwa ‘Perlu kiranya kita sadari bahwa mempelajari masalah

implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan,

yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses

pengesahan/legalisasi kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha

untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan

dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa’.

Usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-

tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka

melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan

kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Hal prinsip yang

9

perlu ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan

dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau

diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap

implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang atau peraturan-

peraturan ditetapkan dan dana sudah disediakan untuk membiayai

implementasi kebijakan tersebut.

Peter deLeon dan Linda deLeon dalam Riant Nugroho (2006:120)

mengatakan bahwa, pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan

publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu

pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan dan eksekusinya.

Pada generasi ini implementasi kebijakan berimpitan dengan studi

pengambilan keputusan di sektor publik. Generasi kedua, tahun 1980-an

adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan

yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective). Perspektif ini

lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang telah

diputuskan secara politik. Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-

upper. Generasi ketiga, 1990-an, memperkenalkan pemikiran bahwa variabel

perilaku dari aktor pelaksana implementasi kebijakan yang lebih menentukan

keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul

pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang

mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh

adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut.

10

Solichin Abdul Wahab (2004:59) Implementasi kebijakan

sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme

penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin

lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh dari suatu

kebijaksanaan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi

kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses

kebijaksanaan. Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (2004:59) dengan tegas

mengatakan bahwa ‘the execution of policies is as important if not more

important than policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file

jackets unless they are implemented’ (pelaksanaan kebijaksanaan adalah

sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada

pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa

impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak

diimplementasikan).

B. Model Implementasi Kebijakan

Riant Nugroho (2006: 35-36) mengatakan setiap jenis kebijakan publik

memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan

publik yang perlu diimplementasikan secara top-down, seperti kebijakan yang

bersifat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara, berbeda

dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-

upper, yang biasanya berkenaan dengan national security, seperti kebijakan

11

kontrasepsi (KB), padi verietas unggul, pengembangan ekonomi nelayan, dan

sejenisnya. Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita

membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya

bersifat top-down dan bottom-upper. Model ini biasanya lebih dapat berjalan

secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Sementara itu, ada jenis

kebijakan yang efektif dengan model mekanisme paksa, seperti kebijakan

yang berkenaan dengan penanggulangan narkotika dan obat-obat berbahaya

(narkoba). Ada juga yang efektif jika menggunakan mekanisme pasar, seperti

kebijakan keikutsertaan dalam program KB. Ada pula perpaduan mekanisme

paksa dan pasar, misalnya berkenaan dengan kebijakan lingkungan hidup.

Para perusak akan menerima hukuman, namun mereka yang menyelamatkan

akan mendapat hadiah/insentif.

Jadi memang tidak ada pilihan model yang terbaik. Kita hanya memiliki

pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan

kebutuhan dari kebijakannya sendiri. Namun satu hal yang penting, yakni

implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu

sendiri. Di sini kita bicarakan tentang keefektifan implementasi kebijakan.

Pada prinsipnya, ada “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan

implementasi kebijakan. Pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah

tepat. Ketetapan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah

bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak

dipecahkan. Sisi kedua, apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai

dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Sisi ketiga, apakah

12

kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi

kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

Tepat yang kedua adalah “tepat pelaksanaannya”. Aktor implementasi

kebijakan tidaklah hanya pemeritnah. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi

pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah-

masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan

(privatization or contradicting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat

monopoli, seperti kartu tanda penduduk, atau mempunyai derajat politik

keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya

diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan

masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan

pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang betujuan mengarahkan

kegiatan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau jika

pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan

industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya

diserahkan kepada masyarakat.

Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketetapan berkenaan dengan tiga

hal. Pertama apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang

direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau

tidak bertentangan dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan

intervensi kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk income generating

diwarnai dengan banyaknya kebijakan pemberian kredit bersubsidi oleh

berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan di

13

lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi,

ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga

apakah kondisi target dalam konflik mendukung atau meolak. Sosialisasi

kebijakan pemerintah pertanian dikawasan konflik tidaklah salah, namun

tidak efektif karena prioritas utama dalah keselamatan nyawa. Pembangunan

kawasan industri maju dikawasan terbelakang, tanpa menyiapkan

masyarakatnya, menghasilkan penolakan laten, seperti kasus-kasus di Papua.

Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau

memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak

kebijakan yang tampaknya baru, namun pada prinsipnya mengulang

kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan

sebelumnya.

Tepat keempat adalah “tepat lingkungan”. Ada dua lingkungan yang

paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi di antara

lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan serta lembaga lain yang

terkait. Donald J. Calista menyebutkan sebagai variabel endogen, yaitu

authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas

dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi

jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari

pemerintah maupun masyarakat, dan implementasion setting yang berkenaan

dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan

dengan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan

kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebut sebagai variabel

14

eksogen yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan

dan implementasi kebijakan, interpretative institions yang berkenaan dengan

interpretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media

massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam

menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals,

yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting

dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. Keempat

“tepat” tersebut masih perlu didukung oleh ketiga jenis dukungan, yaitu

dukungan politik, dukungan strategis, dan dukungan teknis, Riant Nugroho

(2006: 139).

C. Pelaksana/Implementor Kebijakan Publik

Dalam menerapakan suatu kebijakan, tentunya terdapat berbagai proses

dan tahapan yag harus dilaksanakan oleh para pelaksana dari kebijakan

tersebut. Namun untuk itu perlu diketahui siapa sajakah aktor yang berperan

dalam pengimplementasian kebijakan tersebut.

Michael Hill dan Peter Hupe dalam Riant Nugroho D. (2006:151)

membagi keaktoran implementasi kebijakan secara periodik. Periode

pertama yang disebut periode intervensionis berlangsung antara 1930-1980.

Pada periode ini Pemerintah (atau negara) merupakan aktor utama (kadang

satu-satunya) yang melaksanakan kebijakan publik. Model ini digerakkan

oleh Program New deal dari Presiden Franklin D. Roosevelt di AS untuk

mengatasi malaise ekonomi yang terjadi di negaranya di tahun 1930,

15

berlanjut dengan program Marshall Aid setelah perang Dunia II, dan

Pembangunanisme di negara-negara berkembang. Model yang antara lain

diinspirasi oleh John Maynard Keynes ini menjadi pilihan terbaik hingga

tahun 1980-an.

Menurut Riant Nugroho (2006: 151-152) antara 1980-1990, muncul

model yang disebut “market and corporate goverment” yang juga disebut

“strong civil society”; dimana peran implementasi kebijakan diserahkan

kepada publik atau pasar melalui mekanisme contradicting out, kerjasama,

ataupun privatisasi. Model ini berkembang sejak dua negara adidaya di Barat

Inggris dan AS, dipimpin oleh “garis kanan”. Inggris dipimpin oleh PM

Margareth Thatcher, dan AS dipimpin oleh Ronald Reagan. Namun

demikian, adalah Thatcher yang paling dikenal dengan program privatisasi

BUMN-nya, sementara Raegan membangun dasar-dasar reformasi

pemerintahan AS (sekaligus negara-negara sosialis). Gerakan reformasi ini

ternyata kemudian lebih banyak berkembang di AS daripada di kawasan

kontinen dan Eropa. Presiden Jimmy Carter mengembangkan reformasi

pemerintahan AS, dilanjutkan oleh Presiden Bill Clinton yang

mengembangkan National Performande Review di bawah kendali Wapres Al

Gore, yang kemudian pemikiran-pemikiran di dalam tim ini dikembangkan

oleh Osborne dan Gaebler dalam Reinventing Government (1992).

Periode ketiga adalah pasca-1990-an, dengan berkembangnya

pragmatisme dalam implementasi kebijakan. Para perilaku implementasi

kebijakan diserahkan pada kebutuhan pragmatis dari kebijakan itu sendiri.

16

Dapat berpola government driven, atau partnership, ada pula yang diserahkan

kepada pasar. Pendekatan ini berkembang terutama setelah swantasisasi

implementasi kebijakan publik secara ekstrem tidak menjamin keberhasilan

implementasi kebijakan.

Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti harus berusaha

untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-

kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan/legalisasi kebijakan publik,

baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun

usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun

peristiwa-periatiwa, Masmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab

(2008:176).

Oleh karena itu guna mamperoleh pemahaman yang baik mengenai

implementasi kebijakan publik, hendaknya jangan hanya menyoroti perilaku

lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggung jawab

atas suatu program berikut pelaksanaannya terhadap kelompok-kelompok

sasaran (target groups), tetapi juga perlu memperhatikan secara cermat

berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau

tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang

terlibat dalam program, dan yang pada akhirnya membawa dampak terhadap

program tersebut.

17

D. Fungsi Implementasi Kebijakan

Secara garis besar implementasi berfungsi membentuk suatu hubungan

yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran kebijakan publik yang

diwujudkan sebagai hasil akhir (out come) kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh pemerintah. Sebab itu fungsi implementasi mencakup pola penciptaan

apa yang dalam ilmu kebijakan publik (Policy Science) disebut “policy

delivery system” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan publik) yang

biasanya terdiri dari cara-cara khusus serta diarahkan menuju tercapainya

tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.

Dengan demikian kebijakan-kebijakan publik yang pada umumnya

masih abstrak berupa pernyataan-pernyataan umum yang berisikan tujuan,

sasaran dan berbagai macam sarana, sebagaimana Indonesia pernah memiliki

GBHN yang kemudian diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih

operasional (program aksi) yang kesemuanya dimaksudkan untuk

mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran yang telah dinyatakan

dalam kebijakan tersebut.

Dari sudut ini maka dapat dipahami mengapa berbagai macam program

mungkin sengaja dikembangkan guna mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan

yang kurang lebih sama. Program-program aksi itu sendiri boleh jadi juga

diperinci lebih lanjut di dalam bentuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan.

Pemerincian program-program ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat

dimaklumi pula mengingat proyek-proyek itu merupakan instrumen yang

18

lazim digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan, Rondinelli dalam

Solichin Abdul Wahab (2008: 78).

Maksud utama daripada program-program aksi tersebut dan masing-

masing proyek yang tercakup di dalamnya tidak lain ialah menimbulkan

perubahan-perubahan tertentu dalam lingkungan kebijakan, yakni suatu

perubahan yang didaku dan diperhitungkan sebagai hasil akhir dari program

tersebut.

Dalam tulisan ini pembedaan antara kebijakan (policy) dan program

dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan itu

adalah merupakan fungsi dari implementasi program dan tergantung pada

hasil akhirnya. Sebagaimana studi atau telaah mengenai proses implementasi

kebijakan hampir selalu mencakup penelitian dan anslisis mengenai program

aksi yang konkret yang telah dirancang sebagai cara yang efektif untuk

mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang masih bersifat umum. Sekalipun

dalam prakteknya upaya untuk membedakan secara tegas antara apa yang

disebut kebijakan dan program itu terutama karena adanya berbagai macam

tingkatan penggunaan konsep dan istilah kebijakan itu sendiri.

E. Implementasi yang Efektif

Terdapat empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif,

George Edward III dalam Riant Nugroho D (2006:140) mengemukakan

empat hal tersebut yaitu ‘communication, resource, dispotition or attitudes,

dan bureaucratic structures’. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana

19

kebijakan dikomunikasikan kepada organisasi dan atau publik, ketersediaan

sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap, dan tanggap, dari para

pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.

1. Komunikasi (communication)

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang manjadi tujuan dan

sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target

group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan

dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama

sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi

dari kelompok sasaran. Keberhasilan keluarga Berencana (KB) di

Indonesia, sebagai contoh, salah satu menyebabnya adalah karena Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara intensif

melakukan sosialisasi tujuan dan manfaat program KB terhadap pasangan

usia subur (PUS) melalui berbagai media.

2. Sumber daya (resource)

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.

Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-

aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan

atau aturan-aturan tersebut. Selanjutnya walaupun sisi kebijakan sudah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan

berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya

20

manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial

sebagai investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus

diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab

tanpa kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan

berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan, sumber daya finansial

menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan

finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat

dalam mencapai tujuan dan sasaran.

3. Disposisi (disposition)/(sikap) attitudes

Kata disposisi (disposition) secara terminologi sepadan dengan kata sikap

(attitudes). Definisi disposisi merupakan kecenderungan terhadap keadaan

atau tindakan; kecenderungan secara sadar atau secara alamiah atau

keadaan pikiran, terutama yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan

sesama manusia. Disposisi dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:

disposisi yang baik dan disposisi yang tidak baik. Bila dibandingkan

dengan pengertian karakter di atas disposisi merupakan suatu karakter

yang ditunjukkan oleh seseorang. Disposisi merupakan bentuk karakter

yang tumbuh dalam diri seseorang setelah adanya kebijakan. Terbentuknya

disposisi dalam diri seseorang maka akan muncul rasa tanggung jawab

serta kepedulian terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat di

sekitarnya. Selain itu, disposisi merujuk karakteristik yang menempel erat

kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang penting dimiliki

oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.

21

Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa

bertahan di antara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.

Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus

program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan

kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan taham-

tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan

meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota

kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat

dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran

terhadap implementor dan program/kebijakan. Selain itu sikap tanggap

yang positif dari subjek kebijakan juga mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan dari suat kebijakan.

4. Struktur birokrasi (bureacratic structures)

Merujuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi

kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting, pertama

adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme

implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar

operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline

program/kebijakan, SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang

jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena

akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur

organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit,

panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat

22

menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam

program secara cepat. Hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain

secara ringkas dan fleksibel menghindari pelayanan yang kaku, terlalu

hierarkis dan birokratis.

Sedangkan menurut Marilee S. Grindle dalam AG Subarsono (2005:93)

keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi

kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of

implementation). Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan

ditransformasikan, dilakukan implementasi kebijakan. Keberhasilannya

ditentukan oleh derajat implementability kebijakan tersebut. Isi kebijakan itu

mencakup:

a. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.

b. Jenis manfaat yang akan dihasilkan.

c. Derajat perubahan yang diinginkan.

d. Kedudukan pembuat kebijakan.

e. Pelaksana Program.

f. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah:

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor terlibat.

b. Karakteristik lembaga dan penguasa.

c. Kepatuhan dan daya tanggap.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk

23

mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,

yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau

melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik

tersebut.

Kebijakan publik sejak formulasi hingga implementasi-perlu mengikuti

kaidah-kaidah tersebut karena kaidah tersebut memang bersifat given atau

tidak ditolak. Riant Nugroho (2006:147) menyatakan bahwa, setiap kebijakan

harus dikendalikan dengan cerdas dan efektif agar tujuan kebijakan tercapai.

Pengendalian dapat dilakukan melalui:

a. Organisasi pemerintahan atau negara,

b. Organisasi masyarakat, seperti LSM, yayasan sosial budaya,

c. Organisasi media massa, seperti koran, majalah, TV, dan sebagainya,

d. Organisasi bisnis, seperti asosiasi pengusaha,

e. Organisasi politik, seperti partai politik,

f. Organisasi kuasi negara, seperti Komisi Penanggulangan Korupsi,

g. Tokoh masyarakat, melalui jaringan atau secara individu.

Dalam implementasi kebijakan, ada satu hal penting ditambahkan, yaitu

diskresi atau ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih

tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi

situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur berbeda dengan

kondisi lapangan. Diskresi adalah kehormatan fungsional dari para pelaksana

implementasi kebijakan. Oleh karena kebijakan adalah mati dan kehidupan

masyarakat adalah hidup, dalam pelaksanaan kebijakan, pada tingkat tertentu

24

selalu diperlukan penyesuaian kebijakan dengan implementasi. Untuk itu

pelaksana kebijakan perlu diberi ruang gerak untuk melakukan adaptasi

tersebut. Ini yang harus dipahami sebagai diskresi. Namun diskresi harus

diatur, artinya ada “Panduan Diskresi” yang akan membantu pelaksana untuk

menyesuaikan diri apabila kasus-kasus yang bersifat khusus yang dihadapi

ketika melakukan implementasi kebijakan. Panduan diskresi tersebut dapat

dicantumkan pada “Bagian Penjelasan” dari rumusan kebijakan publik

tersebut. Tentu saja, dengan catatan agar panduan ini tidak menjadi “pasal

karet” dari kebijakan yang pada gilirannya dapat menurunkan keefektifan dari

implementasi itu sendiri.

Variabel isi kebijakan mencangkup sejauh mana kepentingan kelompok

sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang

diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari

sebuah kebijakan, apakah letak program sudah tepat, apakah sebuah

kebijakan telah menyebutkan implementornya secara rinci, dan apakah

sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan

variabel lingkungan kebijakan mencangkup seberapa besar kekuasaan,

kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rejim yang sedang

berkuasa, tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Implementasi yang merupakan tahapan kebijakan publik, antara

pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi

masyrakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak

25

dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka

kebijakan tersebut akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan tersebut

diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu kebijakan yang

direncanakan dengan amat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan,

jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para

pelaksana kebijakan.

Dalam konteks implementasinya, tentang pengelolaan kebersihan

lingkungan merupakan suatu kebijakan yang menitikberatkan kepada proses

dan pelaksanaan oleh para pelaksana kebijakan yang dalam hal ini di

perankan oleh Dinas Pasar dan Kebersihan Kota Palangkaraya dalam

mencapai tujuan dan sasaran dari kebijakan tersebut.

F. Retribusi Daerah

Thomas Sumarjan (2010:6) mengatakan bahwa pengertian retribusi

pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi,

karena pembayaran tersebut ditunjukkan semata-mata untuk mendapat suatu

prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran retribusi parkir,

retribusi sampah, dan lain-lain. Sedangkan pajak tidak mendapat imbalan

langsung.

Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak

Pertambahan Nilai yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, Retribusi yang

dapat disebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah,

(Thomas Sumarjan, 2010:6).

26

Sementara itu menurut Ahmad Yani (2002:63) retribusi daerah adalah

pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah

untuk kepentingan orang atau pribadi atau badan.

Retribusi daerah, sebagai mana hal pajak daerah merupakan salah satu

pendapatan asli daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan

penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan

dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi

peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan

menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi

kriteria yang ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

1. Subjek Retribusi, Wajib Retribusi Daerah

Menurut Ahmad Yani (2002:63) Subjek retribusi umum adalah

orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa

umum yang bersangkutan. Subjek retribusi jasa umum ini dapat

merupakan wajib retribusi jasa umum. Sementara itu subjek retribusi jasa

usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati

pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. Subjek ini dapat merupakan

wajib retribusi jasa usaha. Sedangkan subjek retribusi perijinan tertentu

adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh ijin tertentu dari

pemerintah daerah. Subjek ini dapat merupakan wajib retribusi jasa

perijinan tertentu.

27

2. Objek Retribusi Daerah

Objek Retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan

oleh pemerintah daerah. Tidak semua yang diberikan oleh pemerintah

dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang

menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek

retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan ke dalam tiga golongan,

yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perijinan tertentu, (Ahmad Yani,

2002:63).

Retribusi jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta

dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek retribusi jasa umum

adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan

kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi

atau badan. Salah satu jenis retribusi jasa umum adalah retribusi pelayanan

persampahan. Pelayanan persampahan meliputi pengambilan,

pengangkutan, dan pembuangan serta penyediaan lokasi

pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga, dan perdagangan, tidak

termasuk pelayanan kebersihan jalan umum dan taman.

3. Besarnya Retribusi yang Terutang dan tarif Retribusi Daerah

Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

menggunakan jasa atau perijinan dihitung dengan cara mengalikan tarif

retribusi dengan tingkat penggunaan jasa.

28

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum

didasarkan pada kebijaksanaan daerah dengan memperhatikan biaya

penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek

keadilan. Dengan demikian, daerah mempunyai kewenangan untuk

menetapkan prinsip dan sasaran yang akan dicapai dalam menetapkan tarif

retribusi jasa umum, seperti untuk menutup sebagian atau sama dengan

biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan

masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan.

Terkait hal tersebut maka tarif retribusi persampahan untuk golongan

masyarakat yang mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat

menutup biaya pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah,

sedangkan untuk golongan masyarakat kurang mampu ditetapkan tarif

lebih rendah. (Ahmad Yani, 2002:7).

G. Peraturan Daerah Kota Palangka Raya Nomor 19 Tahun 2011, Tentang

Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.

1. Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi

Pasal 8

(1) Atas penyelenggaraan kegiatan pegelolaan pelayanan persampahan/

kebersihan, Pemerintah Daerah mengenakan retribusi kepada seluruh

wajib retribusi.

(2) Dalam penentuan besarnya tarif retribusi didasarkan atas komponen

biaya perhitungan yang meliputi:

29

a. biaya pengangkutan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS)

ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);

b. biaya penyediaan, pemeliharaan lokasi pemrosesan/pemusnahan

akhir sampah;

c. biaya pengelolaan;

(3) Besarnya tarif retribusi yang meliputi komponen biaya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) di atas adalah sebagai berikut:

TABEL 2.1

Besar Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan

No. Uraian Tarif/Bulan

1. Rumah Tangga, Rumah Kost dan Barak

- < 900

- > 900

Rp. 2.000,-

Rp. 3.000,-

2. Kios, Toko, Warung, dan Pasar Tradisional Rp. 30.000,-

3. Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta Rp. 100.000,-

4. Wisma, Losmen, Rumah Ruko,

Minimarket/Swalayan dan Penginapan

Rp. 50.000,-

5. Bengkel :

- Bengkel kecil

- Bengkel sedang

- Bengkel besar

Rp. 25.000,-

Rp. 100.000,-

Rp. 200.000,-

6. Bangunan/Pabrik Industri :

- Pabrik Industri Kecil

Rp. 100.000,-

30

- Pabrik Industri Menengah

- Pabrik Industri Besar

Rp. 300.000,-

Rp. 500.000,-

7. Tempat Hiburan Karaoke, Diskotik, Hotel

dan Mall

Rp. 200.000,-

8. Tempat Olah Raga Milik Swasta Rp. 50.000,-

9. Kantor Perusahaan/Badan Usaha Milik

Swasta

Rp. 75.000,-

10. Kantor Pemerintahan dan BUMN/BUMD Rp. 100.000,-

Pasal 9

(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) ditinjau

paling lama 3 (tiga) tahun sekali.

(2) Peninjau struktur dan besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan indeks harga dan

perkembangan perekonomian.

(3) Perubahan struktur dan besarnya tarif sebagai akibat peninjauan

kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan

Peraturan Walikota.

2. Sanksi Administrasi

Pasal 15

Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau

kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar

2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang, yang tidak atau

31

kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi

Daerah (STRD).

Pasal 16

(1) Apabila Wajib Retribusi tidak membayar, atau kurang membayar

retribusi terutang sampai saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24, Walikota atau penjabat yang ditunjuk

dapat melaksanakan penagihan atas retribusi yang terutang dengan

menggunakan STRD atau surat lain yang sejenis.

(2) Pengeluaran STRD atau surat lain yang sejenis sebagai awal

tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah

7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.

(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah STRD atau surat lain yang

sejenis diterbitkan, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang

terutang.

(4) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didahului dengan surat teguran.

(5) Tata cara pelaksanaan penagihan retribusi diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Walikota.

3. Ketentuan Pidana

Pasal 29

(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga

merugikan keuangan daerah dapat diancam dengan pidana kurungan

32

paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 3 (tiga) kali

jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sifatnya adalah

menyangkut kepentingan pribadi atau badan selaku wajib retribusi

karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.

(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerima

negara.

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alasan Menggunakan Metode Kualitatif

Menurut Strauss dan Corbin dalam Basrowi dan Suwandi (2008:1),

penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-

penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur

statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif dapat

digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku,

fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan.

Menurut Moleong dalam Basrowi dan Suwandi (2008:187),

mengemukakan bahwa penelitian kualitatif antara lain bersifat deskriptif, data

yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata atau gambar daripada

angka.

Berdasarkan teori tersebut, peneliti beralasan menggunakan metode

kualitatif karena peneliti ingin memahami faktor sosiologis, situasi dan gejala

atau fenomena sosial secara mendalam, dan komprehensif. Ditambah lagi

permasalahan yang belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh

makna, sehingga tidak mugkin data pada situasi sosial tersebut dijaring

dengan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti quisioner,

menganalisis data dengan angka-angka, dan rumus-rumus.

33

34

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian akan dilaksanakan di Kota Palangka Raya

khususnya pada Kecamatan Jekan Raya, dan pada Dinas Pasar dan

Kebersihan Kota Palangka Raya yang teletak di Jalan Tjilik Riwut Km. 5,5

komplek Kantor Pemerintah Kota Palangka Raya sebagai tempat peneliti

melakukan pengamatan dan pengumpulan data terkait implementasi

kebijakan retribusi pelayanan persampahan Kota Palangka Raya.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan terhitung dimulai dari

awal bulan November tahun 2013 hingga akhir bulan Januari 2014.

C. Sumber data

Dalam penelitian ini data yang diperlukan oleh peneliti adalah:

1. Data Primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan

melalui wawancara dan teknik pengumpulan data lainnya seperti observasi

dan lain-lain. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah masyarakat

Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya dan Dinas Pasar Kebersihan

Kota Palangka Raya.

2. Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan

berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari, buku catatan lapangan,

sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah yang

relevan dengan penelitian.

35

D. Instrumen penelitian

Afifuddin & Beni Ahmad Saebeni (2009:25) mengatakan bahwa dalam

penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama dalam penelitian tersebut

adalah peneliti itu sendiri. Maksudnya data sangat tergantung pada validitas

peneliti dalam melakukan pengamatan dan eksplorasi langsung ke lokasi

penelitian. Peneliti merupakan pusat kunci data yang paling menentukan

dalam penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong (1988:19) mengatakan bahwa

pencari tahu alamiyah dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung

pada dirinya sendiri sebagai alat pengumpulan data. Selain itu, paradigma

penelitian ilmiah memanfaatkan tes tertulis (tes-pensil-kertas) atau kuesioner

atau menggunakan alat fisik lainnya.

E. Teknik pengumpulan data

Afifuddin & Beni Ahmad Saebeni (2009:131) teknik pengumpulan data

dalam penelitian kualitatif lebih banyak menggunakan teknik wawancara,

observasi, dan studi dokumentasi.

1. Observasi

Observasi atau pengamatan secara langsung di lokasi penelitian

sebagai salah satu cara untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a) Melalui observasi maka peneliti dapat memperoleh pengalaman

langsung, sehingga tidak semata-mata dipengaruhi oleh pandangan

sebelumnya;

36

b) Peneliti dapat mengamati hal-hal yang kurang atau belum diamati oleh

orang lain, khususnya orang di lingkungan tempat penelitian;

c) Melalui observasi peneliti dapat menemukan hal-hal yang sebelumnya

agak sulit terungkapkan oleh informan dalam kegiatan wawancara

karena bersifat sensitif dan ditutup-tutupi.

2. Wawancara

Untuk mendapatkan informasi dari sumber data primer yang ada,

peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara sebagai

teknik untuk mengumpulkan data, dibuat dengan membuat daftar

pertanyaan tersusun yang nantinya akan ditanyakan kepada para

narasumber yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti

masyarakat di Kecamatan Jekan Raya sebagai lokasi dan Aparat

Pemerintah Kota Palangka Raya terkait dengan bidang permasalahan

tersebut.

3. Studi Dokumentasi

Penggunaan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data

bertujuan untuk mendapatkan informasi yang bersumber dari dokumen-

dokumen yang memiliki relevansi dengan obyek penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Miles dan Huberman dalam Panduan Penulisan skripsi (2012:55-57)

Proses kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa

tahapan. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

37

1. Date Reduction (reduksi data)

Mereduksi data berarti merangkum, memfokuskan pada hal-hal yang

penting, dicari tema dan polanya.

2. Penyajian Data

Data yang telah dirangkum kemudian disajikan secara terorganisasi,

tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan lebih mudah dipahami.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.

3. Penarikan Kesimpulan

Berdasarkan data yang telah diperoleh dan telah terorganisir maka

kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab rumusan masalah yang

dirumuskan sejak awal, serta dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat

yang mendukung hasil penelitian tersebut.

G. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Muhammad Idrus (2009:27), dalam penelitian kualitatif keabsahan data

dapat dicapai dengan trianggulasi dan data informan, peneliti melakukan

klasifikasi tentang hasil temuannya pada orang ketiga, atau pada orang yang

sama, namun pada waktu yang berbeda tetap menghasilkan informasi yang

sama, data dinyatakan “jenuh”. Dan dapat juga ditempuh dengan cara

memperpanjang masa observasi.

38

Menurut Lincoln dan Guba dalam Burhan Bungin (2010: 59-62), paling

sedikit ada empat standar atau kriteria utama guna menjamin keabsahan hasil

penelitian kualitatif, yaitu:

a. Standar Kredibilitas

Agar hasil penelitian kualitatif memiliki tingkat kepercayaan yang

tinggi sesuai dengan fakta dilapangan (informasi yang digali dari subyek

atau partisipan yang diteliti), maka dilakukan upaya sebagai berikut:

1. Memperpanjang keikutsertaan peneliti sendiri dalam proses

pengumpulan data di lapangan.

2. Melakukan observasi atau pengamatan secara terus menerus dan

sungguh-sungguh, sehingga peneliti makin mendalami fenomena

sosial yang diteliti seperti apa adanya.

3. Melakukan trianggulasi, baik trianggulasi metode (menggunakan

metode lintas pengumpulan data), trianggulasi sumber data (memilih

berbagai sumber data yang sesuai), dan trianggulasi pengumpulan

data (beberapa pengumpulkan data secara terpisah).

4. Melibatkan teman sejawat (yang tidak ikut melakukan penelitian)

untuk berdiskusi, memberi masukan, bahkan kritik mulai awal

kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian,

mengingat keterbatasan kemampuan peneliti.

5. Melakukan analisis atau kajian kasus negatif, yang dapat

dimanfaatkan sebagai kasus pembanding atau bahkan sanggahan

39

terhadap hasil penelitian. Kajian kasus negatif akan lebih

mempertajam temuan penelitian.

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data.

7. Mengecek bersama-sama dengan anggota penelitian yang terlibat

dalam proses pengumpulan data, baik tentang data yang telah

dikumpulkan, kategorisasi analisis, penafsiran dan kesimpulan hasil

penelitian.

b. Standar Transferabilitas

Pada prinspnya, transferabilitas ini merupakan pertanyaan empirik

yang tidak dapat dijawab oleh peneliti kualitiatif itu sendiri, tetapi

dijawab dan dinilai oleh pembaca laporan penelitian. Hasil penelitian

kualitatif memiliki standar tranferabilitas yang tinggi bilamana para

pembaca laporan penelitian ini memperoleh gambaran yang jelas tentang

konteks dan fokus penelitian.

c. Standar Dependabilitas

Standar ini melakukan pengecekan atau penilaian akan ketetapan

peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan

cerminan dari kemantapan dan ketetapan menurut standar realibilitas

penelitian. Makin konsisten peneliti dalam keseluruhan proses penelitian,

baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam

melaporkan hasil penelitian, akan semakin memenuhi standar

dependabilitas. Upaya untuk menilai dependabilitas adalah dengan

40

melakukan audit (pemeriksaan) dependabilitas itu sendiri, dengan

melakuka review terhadap seluruh hasil penelitian.

d. Standar Konfirmabilitas

Standar ini lebih fokus pada pemeriksaan kualitas dan kepastian

hasil penelitian, apa benar berasal dari pengumpulan data di lapangan.

Audit konfirmabilitas dilakukan bersamaan dengan audit dependabilitas.

Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepekati

banyak orang. Menguji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian,

dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan

fungsi dan proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah

memenuhi konfirmability.