Upload
hanga
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kota Palangka Raya merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan
Tengah. Kota Palangka Raya memiliki julukan sebagai Kota CANTIK yang
memiliki definisi sebagai Kota yang Cantik, Aman, Nyaman, Tentram, Indah
dan Keterbukaan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut dan menjalankan
kebijakan Pemerintah Kota Palangka Raya dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat secara maksimal serta dalam rangka perwujudan
pelaksanaan Otonomi Daerah secara lebih nyata, dinamis dan
bertanggungjawab serta guna pembiayaan Pemerintah dan Pembangunan
Daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari
sektor Retribusi Daerah maka harus dikelola dengan lebih efektif, efisien dan
berhasil guna.
Kota Palangka Raya yang berjuluk kota CANTIK tersebut memiliki
harapan bahwa Kota Palangka Raya adalah kota yang bersih rapi dan nyaman
dirasakan oleh masyarakat yang berada di kota tersebut. Namun untuk
kondisi belakangan ini, jika dilihat dari segi kebersihan kotanya, masih
memberikan rasa yang kurang nyaman kepada setiap masyarakat yang
melihatnya. Berserakannya sampah di sebagian tepi jalan yang ada di Kota
Palangka Raya, serta menumpuknya sampah-sampah hampir di setiap TPS
1
2
menjadi suatu kondisi yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah kota
seluruh warga masyarakat yang ada di Kota Palangka Raya.
Sementara itu, upaya penanggulangan sampah agar dapat
dilaksanakan dengan maksimal serta dalam rangka peningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat terutama terkait layanan persampahan, maka
secara khusus Pemerintah Kota Palangka Raya membuat kebijakan dengan
mengadakan retribusi persampahan yang harus dibayarkan setiap bulannya.
Hal tersebut tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Palangka Raya
Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/
Kebersihan. Dimana dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan dapat
menambah Pendapatan Asli Daerah yang nantiya tambahan pendapatan asli
daerah tersebut digunakan untuk. Kebijakan tentang retribusi pelayanan
persampahan atau persampahan tersebut mencakup beberapa hal diataranya
yaitu sanksi bagi wajib retribusi yang melangar. Sanksi tersebut berupa 1)
sanksi administrasi yang berupa denda sebesar 2% dari setiap bulan dari
retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan surat teguran, 2)
Sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Terkait hal di atas, dari pengamatan peneliti serta dari penuturan
beberapa warga terutama di beberapa lokasi Kecamatan Jekan Raya Kota
Palangka Raya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut masih terdapat warga
masyarakat yang kurang mengetahui secara jelas tentang peraturan tersebut.
Sehingga masih banyak warga masyarakat yang tidak mengetahui tatacara
3
pembayaran retribusi, besar pembayarannya, kapan berlakunya, bentuk sanksi
dan sebagainya.
Belum merata dan maksimalnya pemahaman tentang Peraturan
Daerah retribusi persampahan dari masyarakat di Kecamatan Jekan Raya
dibuktikan dengan bervariasinya pengetahuan masyarakat terkait Peraturan
Daerah tersebut di setiap lokasi di Kecamatan Jekan Raya. Sebagian kecil
warga masyarakat yang telah mengetahui retribusi persampahan hanya
sebatas melihat papan Peraturan Daerah yang dipasang di beberapa ruas jalan
di Kota Palangka Raya. Sementara sebagian warga masyarakat lainnya masih
belum mengetahui program retribusi tersebut.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam
bagaimana implementasi pelayanan persampahan di Kecamatan Jekan Raya
Kota Palangka Raya. Maka dari itu penulis mengambil judul “Implementasi
Kebijakan Retribusi Pelayanan Persampahan di Kecamatan Jekan Raya
Kota Palangka Raya”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana Implementasi Kebijakan Retribusi Pelayanan Persampahan di
Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya?
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Kebijakan Retribusi
Pelayanan Persampahan pada Rumah Tangga, Rumah Kost dan Barak di
Kecamatan Jekan Raya kota Palangka Raya.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan informasi bagi masyarakat secara umum dan bagi para
mahasiswa khususnya dalam hal pengelolaan Retribusi Pelayanan
Persampahan.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
informasi kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas terkait (Dinas Pasar
dan Kebersihan Kota Palangka Raya) dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan dan mengambil keputusan mengenai masalah Retribusi
Pelayanan Persampahan lingkungan di Kota Palangka Raya.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Implementasi Kebijakan
Riant Nogroho (2006: 119) mengatakan bahwa Implementasi kebijakan
adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang
tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Salain itu, ancaman utama,
adalah konsistensi implementasi. Begitu menentukan strategisnya fungsi dan
peranan implementasi maka memberikan porsi 60% (persen) untuk
implementasi sebagai penentu keberhasilan, dan sisanya 20% untuk rencana
dan 20% lagi adalah bagaimana mengendalikan implementasi itu sendiri.
Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab
(2004: 65), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa:
‘memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul
yang disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang baik usaha-
usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian’.
Van Meter dan Van Horn dalam Solichin Abdul Wahab (2004: 65) juga
mengemukakan bahwa ‘implementasi adalah tindakan-tindakan yang
dilakukan baik individu-indvidu, kelompok-kelompok pemerintah dan swasta
5
6
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan’.
Kebijakan (policy) diberi arti macam-macam. Harold D. Lasswell dan
Abraham Kaplam dalam M Irfan Islamy (2007:15&17) kebijakan sebagai
suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang
terarah. Sementara itu Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai
berikut ‘... serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-
hambatan dan sekempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu’, (M Irfan Islamy,
2007: 17).
H. Heclo dalam Solichin Abdul Wahab (2008:40) mengatakan bahwa
“policy is not....self evident term” (kebijakan bukanlah sebuah istilah yang
jelas dengan sendirinya), karena itu Heclo menyarankan, dan sekaligus
menunjukkan, bahwa “kebijakan itu lebih baik jika dipandang sebagai
tindakan yang sengaja dilakukan atau ketidakmauan untuk bertindak secara
sengaja dari pada dipandang sebagai keputusan-keputusan atau tindakan-
tindakan tertentu”. Dalam alur pemikiran yang hampir sama David Easton
dalam Solichin Abdul Wahab (2008:40) menyatakan bahwa “a policy
...consists of a web of decisions and action that allocate....values”
(kebijakan....terdiri dari dari serangkaian serangkaian keputusan dan tindakan
untuk mengalokasikan....nilai-nilai).
7
Samodra Wibaya (2011) mendefinisikan kebijakan publik adalah
keputusan suatu sistem politik untuk/dalam/guna mengelola suatu masalah
atau memenuhi suatu kepentingan, di mana pelaksanaan keputusan tersebut
membutuhkan dikerahkannya sumberdaya milik (semua warga) sistem politik
tersebut.
Pendapat di atas tidak jauh berbeda dengan definisi yang telah
dirumuskan oleh beberapa penulis lain. Budi Winarno dalam Samodra
Wibawa (2011:2) mengutip pendapat beberapa pakar diantaranya sebagai
berikut:
a. Thomas R. Dye (1975) memberikan definisi ‘kebijakan sebagai suatu
tindakan pemerintah (penguasa) apapun yang dipilih pemerintah apakah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
b. Janes E. Anderson (1979) berpendapat bahwa kebijakan adalah arah
tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang atau
beberapa aktor guna mengatasi suatu masalah.
c. Robert Eyestone (1971) membuat definisi yang sangat luas, yaitu bahwa
kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya.
d. Carl Friedrich (1963) melihat, bahwa kebijakan adalah arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan atau
kesempatan-kesempatan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.
8
e. Richard Rose (1969) berpendapat bahwa kebijakan adalah serangkaian
kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan, bukan keputusan yang
berdiri sendiri-sendiri.
Meruntut pandangan dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di
atas mengenai implementasi dan kebijakan, kini dapat di ketahui apa itu
implementasi kebijakan. Secara sederhana dengan menggunakan
pemahaman-pemahaman implementasi dan kebijakan, maka kita akan dapat
menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan itu merupakan suatu tindakan
yang dilakukan oleh para aktor kebijakan untuk melaksanakan kebijakan itu
sendiri.
Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (2008:176)
mengatakan bahwa ‘Perlu kiranya kita sadari bahwa mempelajari masalah
implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan,
yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan/legalisasi kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha
untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan
dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa’.
Usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-
tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan
kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Hal prinsip yang
9
perlu ditekankan adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan
dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau
diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang atau peraturan-
peraturan ditetapkan dan dana sudah disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut.
Peter deLeon dan Linda deLeon dalam Riant Nugroho (2006:120)
mengatakan bahwa, pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan
publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan dan eksekusinya.
Pada generasi ini implementasi kebijakan berimpitan dengan studi
pengambilan keputusan di sektor publik. Generasi kedua, tahun 1980-an
adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan
yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective). Perspektif ini
lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang telah
diputuskan secara politik. Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-
upper. Generasi ketiga, 1990-an, memperkenalkan pemikiran bahwa variabel
perilaku dari aktor pelaksana implementasi kebijakan yang lebih menentukan
keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, muncul
pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang
mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh
adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut.
10
Solichin Abdul Wahab (2004:59) Implementasi kebijakan
sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin
lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh dari suatu
kebijaksanaan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi
kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijaksanaan. Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (2004:59) dengan tegas
mengatakan bahwa ‘the execution of policies is as important if not more
important than policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file
jackets unless they are implemented’ (pelaksanaan kebijaksanaan adalah
sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada
pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa
impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan).
B. Model Implementasi Kebijakan
Riant Nugroho (2006: 35-36) mengatakan setiap jenis kebijakan publik
memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan
publik yang perlu diimplementasikan secara top-down, seperti kebijakan yang
bersifat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara, berbeda
dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-
upper, yang biasanya berkenaan dengan national security, seperti kebijakan
11
kontrasepsi (KB), padi verietas unggul, pengembangan ekonomi nelayan, dan
sejenisnya. Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita
membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya
bersifat top-down dan bottom-upper. Model ini biasanya lebih dapat berjalan
secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Sementara itu, ada jenis
kebijakan yang efektif dengan model mekanisme paksa, seperti kebijakan
yang berkenaan dengan penanggulangan narkotika dan obat-obat berbahaya
(narkoba). Ada juga yang efektif jika menggunakan mekanisme pasar, seperti
kebijakan keikutsertaan dalam program KB. Ada pula perpaduan mekanisme
paksa dan pasar, misalnya berkenaan dengan kebijakan lingkungan hidup.
Para perusak akan menerima hukuman, namun mereka yang menyelamatkan
akan mendapat hadiah/insentif.
Jadi memang tidak ada pilihan model yang terbaik. Kita hanya memiliki
pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan
kebutuhan dari kebijakannya sendiri. Namun satu hal yang penting, yakni
implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu
sendiri. Di sini kita bicarakan tentang keefektifan implementasi kebijakan.
Pada prinsipnya, ada “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan
implementasi kebijakan. Pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah
tepat. Ketetapan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah
bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak
dipecahkan. Sisi kedua, apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai
dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Sisi ketiga, apakah
12
kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
Tepat yang kedua adalah “tepat pelaksanaannya”. Aktor implementasi
kebijakan tidaklah hanya pemeritnah. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi
pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah-
masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan
(privatization or contradicting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat
monopoli, seperti kartu tanda penduduk, atau mempunyai derajat politik
keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya
diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan
masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan
pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang betujuan mengarahkan
kegiatan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau jika
pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan
industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya
diserahkan kepada masyarakat.
Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketetapan berkenaan dengan tiga
hal. Pertama apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang
direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau
tidak bertentangan dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan
intervensi kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk income generating
diwarnai dengan banyaknya kebijakan pemberian kredit bersubsidi oleh
berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan di
13
lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi,
ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga
apakah kondisi target dalam konflik mendukung atau meolak. Sosialisasi
kebijakan pemerintah pertanian dikawasan konflik tidaklah salah, namun
tidak efektif karena prioritas utama dalah keselamatan nyawa. Pembangunan
kawasan industri maju dikawasan terbelakang, tanpa menyiapkan
masyarakatnya, menghasilkan penolakan laten, seperti kasus-kasus di Papua.
Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau
memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak
kebijakan yang tampaknya baru, namun pada prinsipnya mengulang
kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan
sebelumnya.
Tepat keempat adalah “tepat lingkungan”. Ada dua lingkungan yang
paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi di antara
lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan serta lembaga lain yang
terkait. Donald J. Calista menyebutkan sebagai variabel endogen, yaitu
authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas
dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi
jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat, dan implementasion setting yang berkenaan
dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan
dengan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan
kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebut sebagai variabel
14
eksogen yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan
dan implementasi kebijakan, interpretative institions yang berkenaan dengan
interpretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media
massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam
menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals,
yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting
dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. Keempat
“tepat” tersebut masih perlu didukung oleh ketiga jenis dukungan, yaitu
dukungan politik, dukungan strategis, dan dukungan teknis, Riant Nugroho
(2006: 139).
C. Pelaksana/Implementor Kebijakan Publik
Dalam menerapakan suatu kebijakan, tentunya terdapat berbagai proses
dan tahapan yag harus dilaksanakan oleh para pelaksana dari kebijakan
tersebut. Namun untuk itu perlu diketahui siapa sajakah aktor yang berperan
dalam pengimplementasian kebijakan tersebut.
Michael Hill dan Peter Hupe dalam Riant Nugroho D. (2006:151)
membagi keaktoran implementasi kebijakan secara periodik. Periode
pertama yang disebut periode intervensionis berlangsung antara 1930-1980.
Pada periode ini Pemerintah (atau negara) merupakan aktor utama (kadang
satu-satunya) yang melaksanakan kebijakan publik. Model ini digerakkan
oleh Program New deal dari Presiden Franklin D. Roosevelt di AS untuk
mengatasi malaise ekonomi yang terjadi di negaranya di tahun 1930,
15
berlanjut dengan program Marshall Aid setelah perang Dunia II, dan
Pembangunanisme di negara-negara berkembang. Model yang antara lain
diinspirasi oleh John Maynard Keynes ini menjadi pilihan terbaik hingga
tahun 1980-an.
Menurut Riant Nugroho (2006: 151-152) antara 1980-1990, muncul
model yang disebut “market and corporate goverment” yang juga disebut
“strong civil society”; dimana peran implementasi kebijakan diserahkan
kepada publik atau pasar melalui mekanisme contradicting out, kerjasama,
ataupun privatisasi. Model ini berkembang sejak dua negara adidaya di Barat
Inggris dan AS, dipimpin oleh “garis kanan”. Inggris dipimpin oleh PM
Margareth Thatcher, dan AS dipimpin oleh Ronald Reagan. Namun
demikian, adalah Thatcher yang paling dikenal dengan program privatisasi
BUMN-nya, sementara Raegan membangun dasar-dasar reformasi
pemerintahan AS (sekaligus negara-negara sosialis). Gerakan reformasi ini
ternyata kemudian lebih banyak berkembang di AS daripada di kawasan
kontinen dan Eropa. Presiden Jimmy Carter mengembangkan reformasi
pemerintahan AS, dilanjutkan oleh Presiden Bill Clinton yang
mengembangkan National Performande Review di bawah kendali Wapres Al
Gore, yang kemudian pemikiran-pemikiran di dalam tim ini dikembangkan
oleh Osborne dan Gaebler dalam Reinventing Government (1992).
Periode ketiga adalah pasca-1990-an, dengan berkembangnya
pragmatisme dalam implementasi kebijakan. Para perilaku implementasi
kebijakan diserahkan pada kebutuhan pragmatis dari kebijakan itu sendiri.
16
Dapat berpola government driven, atau partnership, ada pula yang diserahkan
kepada pasar. Pendekatan ini berkembang terutama setelah swantasisasi
implementasi kebijakan publik secara ekstrem tidak menjamin keberhasilan
implementasi kebijakan.
Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti harus berusaha
untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-
kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan/legalisasi kebijakan publik,
baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun
usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun
peristiwa-periatiwa, Masmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab
(2008:176).
Oleh karena itu guna mamperoleh pemahaman yang baik mengenai
implementasi kebijakan publik, hendaknya jangan hanya menyoroti perilaku
lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggung jawab
atas suatu program berikut pelaksanaannya terhadap kelompok-kelompok
sasaran (target groups), tetapi juga perlu memperhatikan secara cermat
berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau
tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang
terlibat dalam program, dan yang pada akhirnya membawa dampak terhadap
program tersebut.
17
D. Fungsi Implementasi Kebijakan
Secara garis besar implementasi berfungsi membentuk suatu hubungan
yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran kebijakan publik yang
diwujudkan sebagai hasil akhir (out come) kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah. Sebab itu fungsi implementasi mencakup pola penciptaan
apa yang dalam ilmu kebijakan publik (Policy Science) disebut “policy
delivery system” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan publik) yang
biasanya terdiri dari cara-cara khusus serta diarahkan menuju tercapainya
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan publik yang pada umumnya
masih abstrak berupa pernyataan-pernyataan umum yang berisikan tujuan,
sasaran dan berbagai macam sarana, sebagaimana Indonesia pernah memiliki
GBHN yang kemudian diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih
operasional (program aksi) yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran yang telah dinyatakan
dalam kebijakan tersebut.
Dari sudut ini maka dapat dipahami mengapa berbagai macam program
mungkin sengaja dikembangkan guna mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan
yang kurang lebih sama. Program-program aksi itu sendiri boleh jadi juga
diperinci lebih lanjut di dalam bentuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan.
Pemerincian program-program ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat
dimaklumi pula mengingat proyek-proyek itu merupakan instrumen yang
18
lazim digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan, Rondinelli dalam
Solichin Abdul Wahab (2008: 78).
Maksud utama daripada program-program aksi tersebut dan masing-
masing proyek yang tercakup di dalamnya tidak lain ialah menimbulkan
perubahan-perubahan tertentu dalam lingkungan kebijakan, yakni suatu
perubahan yang didaku dan diperhitungkan sebagai hasil akhir dari program
tersebut.
Dalam tulisan ini pembedaan antara kebijakan (policy) dan program
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan itu
adalah merupakan fungsi dari implementasi program dan tergantung pada
hasil akhirnya. Sebagaimana studi atau telaah mengenai proses implementasi
kebijakan hampir selalu mencakup penelitian dan anslisis mengenai program
aksi yang konkret yang telah dirancang sebagai cara yang efektif untuk
mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang masih bersifat umum. Sekalipun
dalam prakteknya upaya untuk membedakan secara tegas antara apa yang
disebut kebijakan dan program itu terutama karena adanya berbagai macam
tingkatan penggunaan konsep dan istilah kebijakan itu sendiri.
E. Implementasi yang Efektif
Terdapat empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif,
George Edward III dalam Riant Nugroho D (2006:140) mengemukakan
empat hal tersebut yaitu ‘communication, resource, dispotition or attitudes,
dan bureaucratic structures’. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana
19
kebijakan dikomunikasikan kepada organisasi dan atau publik, ketersediaan
sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap, dan tanggap, dari para
pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
1. Komunikasi (communication)
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang manjadi tujuan dan
sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target
group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan
dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama
sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi
dari kelompok sasaran. Keberhasilan keluarga Berencana (KB) di
Indonesia, sebagai contoh, salah satu menyebabnya adalah karena Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara intensif
melakukan sosialisasi tujuan dan manfaat program KB terhadap pasangan
usia subur (PUS) melalui berbagai media.
2. Sumber daya (resource)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-
aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan
atau aturan-aturan tersebut. Selanjutnya walaupun sisi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan
berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya
20
manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial
sebagai investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus
diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab
tanpa kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan
berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan, sumber daya finansial
menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan
finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat
dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3. Disposisi (disposition)/(sikap) attitudes
Kata disposisi (disposition) secara terminologi sepadan dengan kata sikap
(attitudes). Definisi disposisi merupakan kecenderungan terhadap keadaan
atau tindakan; kecenderungan secara sadar atau secara alamiah atau
keadaan pikiran, terutama yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan
sesama manusia. Disposisi dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
disposisi yang baik dan disposisi yang tidak baik. Bila dibandingkan
dengan pengertian karakter di atas disposisi merupakan suatu karakter
yang ditunjukkan oleh seseorang. Disposisi merupakan bentuk karakter
yang tumbuh dalam diri seseorang setelah adanya kebijakan. Terbentuknya
disposisi dalam diri seseorang maka akan muncul rasa tanggung jawab
serta kepedulian terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat di
sekitarnya. Selain itu, disposisi merujuk karakteristik yang menempel erat
kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang penting dimiliki
oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.
21
Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa
bertahan di antara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.
Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus
program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan
kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan taham-
tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan
meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota
kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat
dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran
terhadap implementor dan program/kebijakan. Selain itu sikap tanggap
yang positif dari subjek kebijakan juga mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan dari suat kebijakan.
4. Struktur birokrasi (bureacratic structures)
Merujuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi
kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting, pertama
adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar
operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan, SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang
jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena
akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur
organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit,
panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat
22
menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat. Hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain
secara ringkas dan fleksibel menghindari pelayanan yang kaku, terlalu
hierarkis dan birokratis.
Sedangkan menurut Marilee S. Grindle dalam AG Subarsono (2005:93)
keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi
kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation). Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, dilakukan implementasi kebijakan. Keberhasilannya
ditentukan oleh derajat implementability kebijakan tersebut. Isi kebijakan itu
mencakup:
a. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.
b. Jenis manfaat yang akan dihasilkan.
c. Derajat perubahan yang diinginkan.
d. Kedudukan pembuat kebijakan.
e. Pelaksana Program.
f. Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu, konteks implementasinya adalah:
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor terlibat.
b. Karakteristik lembaga dan penguasa.
c. Kepatuhan dan daya tanggap.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
23
mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik
tersebut.
Kebijakan publik sejak formulasi hingga implementasi-perlu mengikuti
kaidah-kaidah tersebut karena kaidah tersebut memang bersifat given atau
tidak ditolak. Riant Nugroho (2006:147) menyatakan bahwa, setiap kebijakan
harus dikendalikan dengan cerdas dan efektif agar tujuan kebijakan tercapai.
Pengendalian dapat dilakukan melalui:
a. Organisasi pemerintahan atau negara,
b. Organisasi masyarakat, seperti LSM, yayasan sosial budaya,
c. Organisasi media massa, seperti koran, majalah, TV, dan sebagainya,
d. Organisasi bisnis, seperti asosiasi pengusaha,
e. Organisasi politik, seperti partai politik,
f. Organisasi kuasi negara, seperti Komisi Penanggulangan Korupsi,
g. Tokoh masyarakat, melalui jaringan atau secara individu.
Dalam implementasi kebijakan, ada satu hal penting ditambahkan, yaitu
diskresi atau ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih
tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi
situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur berbeda dengan
kondisi lapangan. Diskresi adalah kehormatan fungsional dari para pelaksana
implementasi kebijakan. Oleh karena kebijakan adalah mati dan kehidupan
masyarakat adalah hidup, dalam pelaksanaan kebijakan, pada tingkat tertentu
24
selalu diperlukan penyesuaian kebijakan dengan implementasi. Untuk itu
pelaksana kebijakan perlu diberi ruang gerak untuk melakukan adaptasi
tersebut. Ini yang harus dipahami sebagai diskresi. Namun diskresi harus
diatur, artinya ada “Panduan Diskresi” yang akan membantu pelaksana untuk
menyesuaikan diri apabila kasus-kasus yang bersifat khusus yang dihadapi
ketika melakukan implementasi kebijakan. Panduan diskresi tersebut dapat
dicantumkan pada “Bagian Penjelasan” dari rumusan kebijakan publik
tersebut. Tentu saja, dengan catatan agar panduan ini tidak menjadi “pasal
karet” dari kebijakan yang pada gilirannya dapat menurunkan keefektifan dari
implementasi itu sendiri.
Variabel isi kebijakan mencangkup sejauh mana kepentingan kelompok
sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang
diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari
sebuah kebijakan, apakah letak program sudah tepat, apakah sebuah
kebijakan telah menyebutkan implementornya secara rinci, dan apakah
sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan
variabel lingkungan kebijakan mencangkup seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rejim yang sedang
berkuasa, tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Implementasi yang merupakan tahapan kebijakan publik, antara
pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi
masyrakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak
25
dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
kebijakan tersebut akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan tersebut
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu kebijakan yang
direncanakan dengan amat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan,
jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para
pelaksana kebijakan.
Dalam konteks implementasinya, tentang pengelolaan kebersihan
lingkungan merupakan suatu kebijakan yang menitikberatkan kepada proses
dan pelaksanaan oleh para pelaksana kebijakan yang dalam hal ini di
perankan oleh Dinas Pasar dan Kebersihan Kota Palangkaraya dalam
mencapai tujuan dan sasaran dari kebijakan tersebut.
F. Retribusi Daerah
Thomas Sumarjan (2010:6) mengatakan bahwa pengertian retribusi
pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi,
karena pembayaran tersebut ditunjukkan semata-mata untuk mendapat suatu
prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran retribusi parkir,
retribusi sampah, dan lain-lain. Sedangkan pajak tidak mendapat imbalan
langsung.
Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, Retribusi yang
dapat disebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah,
(Thomas Sumarjan, 2010:6).
26
Sementara itu menurut Ahmad Yani (2002:63) retribusi daerah adalah
pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan orang atau pribadi atau badan.
Retribusi daerah, sebagai mana hal pajak daerah merupakan salah satu
pendapatan asli daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan
dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi
peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan
menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi
kriteria yang ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
1. Subjek Retribusi, Wajib Retribusi Daerah
Menurut Ahmad Yani (2002:63) Subjek retribusi umum adalah
orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa
umum yang bersangkutan. Subjek retribusi jasa umum ini dapat
merupakan wajib retribusi jasa umum. Sementara itu subjek retribusi jasa
usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. Subjek ini dapat merupakan
wajib retribusi jasa usaha. Sedangkan subjek retribusi perijinan tertentu
adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh ijin tertentu dari
pemerintah daerah. Subjek ini dapat merupakan wajib retribusi jasa
perijinan tertentu.
27
2. Objek Retribusi Daerah
Objek Retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan
oleh pemerintah daerah. Tidak semua yang diberikan oleh pemerintah
dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang
menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek
retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan ke dalam tiga golongan,
yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perijinan tertentu, (Ahmad Yani,
2002:63).
Retribusi jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek retribusi jasa umum
adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi
atau badan. Salah satu jenis retribusi jasa umum adalah retribusi pelayanan
persampahan. Pelayanan persampahan meliputi pengambilan,
pengangkutan, dan pembuangan serta penyediaan lokasi
pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga, dan perdagangan, tidak
termasuk pelayanan kebersihan jalan umum dan taman.
3. Besarnya Retribusi yang Terutang dan tarif Retribusi Daerah
Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
menggunakan jasa atau perijinan dihitung dengan cara mengalikan tarif
retribusi dengan tingkat penggunaan jasa.
28
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum
didasarkan pada kebijaksanaan daerah dengan memperhatikan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek
keadilan. Dengan demikian, daerah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan prinsip dan sasaran yang akan dicapai dalam menetapkan tarif
retribusi jasa umum, seperti untuk menutup sebagian atau sama dengan
biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan
masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan.
Terkait hal tersebut maka tarif retribusi persampahan untuk golongan
masyarakat yang mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat
menutup biaya pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah,
sedangkan untuk golongan masyarakat kurang mampu ditetapkan tarif
lebih rendah. (Ahmad Yani, 2002:7).
G. Peraturan Daerah Kota Palangka Raya Nomor 19 Tahun 2011, Tentang
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
1. Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 8
(1) Atas penyelenggaraan kegiatan pegelolaan pelayanan persampahan/
kebersihan, Pemerintah Daerah mengenakan retribusi kepada seluruh
wajib retribusi.
(2) Dalam penentuan besarnya tarif retribusi didasarkan atas komponen
biaya perhitungan yang meliputi:
29
a. biaya pengangkutan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS)
ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);
b. biaya penyediaan, pemeliharaan lokasi pemrosesan/pemusnahan
akhir sampah;
c. biaya pengelolaan;
(3) Besarnya tarif retribusi yang meliputi komponen biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) di atas adalah sebagai berikut:
TABEL 2.1
Besar Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
No. Uraian Tarif/Bulan
1. Rumah Tangga, Rumah Kost dan Barak
- < 900
- > 900
Rp. 2.000,-
Rp. 3.000,-
2. Kios, Toko, Warung, dan Pasar Tradisional Rp. 30.000,-
3. Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta Rp. 100.000,-
4. Wisma, Losmen, Rumah Ruko,
Minimarket/Swalayan dan Penginapan
Rp. 50.000,-
5. Bengkel :
- Bengkel kecil
- Bengkel sedang
- Bengkel besar
Rp. 25.000,-
Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,-
6. Bangunan/Pabrik Industri :
- Pabrik Industri Kecil
Rp. 100.000,-
30
- Pabrik Industri Menengah
- Pabrik Industri Besar
Rp. 300.000,-
Rp. 500.000,-
7. Tempat Hiburan Karaoke, Diskotik, Hotel
dan Mall
Rp. 200.000,-
8. Tempat Olah Raga Milik Swasta Rp. 50.000,-
9. Kantor Perusahaan/Badan Usaha Milik
Swasta
Rp. 75.000,-
10. Kantor Pemerintahan dan BUMN/BUMD Rp. 100.000,-
Pasal 9
(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) ditinjau
paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjau struktur dan besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan indeks harga dan
perkembangan perekonomian.
(3) Perubahan struktur dan besarnya tarif sebagai akibat peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Walikota.
2. Sanksi Administrasi
Pasal 15
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang, yang tidak atau
31
kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi
Daerah (STRD).
Pasal 16
(1) Apabila Wajib Retribusi tidak membayar, atau kurang membayar
retribusi terutang sampai saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, Walikota atau penjabat yang ditunjuk
dapat melaksanakan penagihan atas retribusi yang terutang dengan
menggunakan STRD atau surat lain yang sejenis.
(2) Pengeluaran STRD atau surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah
7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah STRD atau surat lain yang
sejenis diterbitkan, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang
terutang.
(4) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didahului dengan surat teguran.
(5) Tata cara pelaksanaan penagihan retribusi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.
3. Ketentuan Pidana
Pasal 29
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan daerah dapat diancam dengan pidana kurungan
32
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 3 (tiga) kali
jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi atau badan selaku wajib retribusi
karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerima
negara.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Alasan Menggunakan Metode Kualitatif
Menurut Strauss dan Corbin dalam Basrowi dan Suwandi (2008:1),
penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif dapat
digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku,
fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan.
Menurut Moleong dalam Basrowi dan Suwandi (2008:187),
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif antara lain bersifat deskriptif, data
yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata atau gambar daripada
angka.
Berdasarkan teori tersebut, peneliti beralasan menggunakan metode
kualitatif karena peneliti ingin memahami faktor sosiologis, situasi dan gejala
atau fenomena sosial secara mendalam, dan komprehensif. Ditambah lagi
permasalahan yang belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh
makna, sehingga tidak mugkin data pada situasi sosial tersebut dijaring
dengan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti quisioner,
menganalisis data dengan angka-angka, dan rumus-rumus.
33
34
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian akan dilaksanakan di Kota Palangka Raya
khususnya pada Kecamatan Jekan Raya, dan pada Dinas Pasar dan
Kebersihan Kota Palangka Raya yang teletak di Jalan Tjilik Riwut Km. 5,5
komplek Kantor Pemerintah Kota Palangka Raya sebagai tempat peneliti
melakukan pengamatan dan pengumpulan data terkait implementasi
kebijakan retribusi pelayanan persampahan Kota Palangka Raya.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan terhitung dimulai dari
awal bulan November tahun 2013 hingga akhir bulan Januari 2014.
C. Sumber data
Dalam penelitian ini data yang diperlukan oleh peneliti adalah:
1. Data Primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan
melalui wawancara dan teknik pengumpulan data lainnya seperti observasi
dan lain-lain. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah masyarakat
Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya dan Dinas Pasar Kebersihan
Kota Palangka Raya.
2. Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan
berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari, buku catatan lapangan,
sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah yang
relevan dengan penelitian.
35
D. Instrumen penelitian
Afifuddin & Beni Ahmad Saebeni (2009:25) mengatakan bahwa dalam
penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama dalam penelitian tersebut
adalah peneliti itu sendiri. Maksudnya data sangat tergantung pada validitas
peneliti dalam melakukan pengamatan dan eksplorasi langsung ke lokasi
penelitian. Peneliti merupakan pusat kunci data yang paling menentukan
dalam penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong (1988:19) mengatakan bahwa
pencari tahu alamiyah dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung
pada dirinya sendiri sebagai alat pengumpulan data. Selain itu, paradigma
penelitian ilmiah memanfaatkan tes tertulis (tes-pensil-kertas) atau kuesioner
atau menggunakan alat fisik lainnya.
E. Teknik pengumpulan data
Afifuddin & Beni Ahmad Saebeni (2009:131) teknik pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif lebih banyak menggunakan teknik wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi.
1. Observasi
Observasi atau pengamatan secara langsung di lokasi penelitian
sebagai salah satu cara untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Melalui observasi maka peneliti dapat memperoleh pengalaman
langsung, sehingga tidak semata-mata dipengaruhi oleh pandangan
sebelumnya;
36
b) Peneliti dapat mengamati hal-hal yang kurang atau belum diamati oleh
orang lain, khususnya orang di lingkungan tempat penelitian;
c) Melalui observasi peneliti dapat menemukan hal-hal yang sebelumnya
agak sulit terungkapkan oleh informan dalam kegiatan wawancara
karena bersifat sensitif dan ditutup-tutupi.
2. Wawancara
Untuk mendapatkan informasi dari sumber data primer yang ada,
peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara sebagai
teknik untuk mengumpulkan data, dibuat dengan membuat daftar
pertanyaan tersusun yang nantinya akan ditanyakan kepada para
narasumber yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti
masyarakat di Kecamatan Jekan Raya sebagai lokasi dan Aparat
Pemerintah Kota Palangka Raya terkait dengan bidang permasalahan
tersebut.
3. Studi Dokumentasi
Penggunaan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang bersumber dari dokumen-
dokumen yang memiliki relevansi dengan obyek penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Miles dan Huberman dalam Panduan Penulisan skripsi (2012:55-57)
Proses kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa
tahapan. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
37
1. Date Reduction (reduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya.
2. Penyajian Data
Data yang telah dirangkum kemudian disajikan secara terorganisasi,
tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan lebih mudah dipahami.
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
3. Penarikan Kesimpulan
Berdasarkan data yang telah diperoleh dan telah terorganisir maka
kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab rumusan masalah yang
dirumuskan sejak awal, serta dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung hasil penelitian tersebut.
G. Rencana Pengujian Keabsahan Data
Muhammad Idrus (2009:27), dalam penelitian kualitatif keabsahan data
dapat dicapai dengan trianggulasi dan data informan, peneliti melakukan
klasifikasi tentang hasil temuannya pada orang ketiga, atau pada orang yang
sama, namun pada waktu yang berbeda tetap menghasilkan informasi yang
sama, data dinyatakan “jenuh”. Dan dapat juga ditempuh dengan cara
memperpanjang masa observasi.
38
Menurut Lincoln dan Guba dalam Burhan Bungin (2010: 59-62), paling
sedikit ada empat standar atau kriteria utama guna menjamin keabsahan hasil
penelitian kualitatif, yaitu:
a. Standar Kredibilitas
Agar hasil penelitian kualitatif memiliki tingkat kepercayaan yang
tinggi sesuai dengan fakta dilapangan (informasi yang digali dari subyek
atau partisipan yang diteliti), maka dilakukan upaya sebagai berikut:
1. Memperpanjang keikutsertaan peneliti sendiri dalam proses
pengumpulan data di lapangan.
2. Melakukan observasi atau pengamatan secara terus menerus dan
sungguh-sungguh, sehingga peneliti makin mendalami fenomena
sosial yang diteliti seperti apa adanya.
3. Melakukan trianggulasi, baik trianggulasi metode (menggunakan
metode lintas pengumpulan data), trianggulasi sumber data (memilih
berbagai sumber data yang sesuai), dan trianggulasi pengumpulan
data (beberapa pengumpulkan data secara terpisah).
4. Melibatkan teman sejawat (yang tidak ikut melakukan penelitian)
untuk berdiskusi, memberi masukan, bahkan kritik mulai awal
kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian,
mengingat keterbatasan kemampuan peneliti.
5. Melakukan analisis atau kajian kasus negatif, yang dapat
dimanfaatkan sebagai kasus pembanding atau bahkan sanggahan
39
terhadap hasil penelitian. Kajian kasus negatif akan lebih
mempertajam temuan penelitian.
6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data.
7. Mengecek bersama-sama dengan anggota penelitian yang terlibat
dalam proses pengumpulan data, baik tentang data yang telah
dikumpulkan, kategorisasi analisis, penafsiran dan kesimpulan hasil
penelitian.
b. Standar Transferabilitas
Pada prinspnya, transferabilitas ini merupakan pertanyaan empirik
yang tidak dapat dijawab oleh peneliti kualitiatif itu sendiri, tetapi
dijawab dan dinilai oleh pembaca laporan penelitian. Hasil penelitian
kualitatif memiliki standar tranferabilitas yang tinggi bilamana para
pembaca laporan penelitian ini memperoleh gambaran yang jelas tentang
konteks dan fokus penelitian.
c. Standar Dependabilitas
Standar ini melakukan pengecekan atau penilaian akan ketetapan
peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan
cerminan dari kemantapan dan ketetapan menurut standar realibilitas
penelitian. Makin konsisten peneliti dalam keseluruhan proses penelitian,
baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam
melaporkan hasil penelitian, akan semakin memenuhi standar
dependabilitas. Upaya untuk menilai dependabilitas adalah dengan
40
melakukan audit (pemeriksaan) dependabilitas itu sendiri, dengan
melakuka review terhadap seluruh hasil penelitian.
d. Standar Konfirmabilitas
Standar ini lebih fokus pada pemeriksaan kualitas dan kepastian
hasil penelitian, apa benar berasal dari pengumpulan data di lapangan.
Audit konfirmabilitas dilakukan bersamaan dengan audit dependabilitas.
Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepekati
banyak orang. Menguji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian,
dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan
fungsi dan proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah
memenuhi konfirmability.