Upload
muhamad-guru-adiluhung
View
97
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
A. PENDAHULUAN
Garam merupakan salah satu kebutuhan yang
merupakan pelengkap dari kebutuhan pangan dan
merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia.
Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun
usaha meningkatkan produksi garam belum diminati,
termasuk dalam usaha meningkatkan kualitasnya. Di
lain pihak untuk kebutuhan garam dengan kualitas baik
(kandungan kalsium dan magnesium kurang) banyak
diimpor dari luar negeri, terutama dalam hal ini garam
beryodium serta garam industri.
Indonesia termasuk Negara kepulauan, tetapi pusat
pembuatan garam terkonsentrasi di jawa dan Madura,
yaitu Jawa seluas 10.231 Ha ( Jawa Barat 1.159 Ha, Jawa
Tengah seluas 2.168 Ha, Jawa Timur 6.904 Ha) dan
Madura 15.347 Ha (Sumenep 10.067 Ha, Pemekasan
3.075 Ha, Sampang 2.205 Ha) luas area yang dikelola
oleh PT,Garam hanya 5.116 Ha yang seluruhnya berada
di Pulau Madura yaitu di Sumenep 3.163 Ha,
Pemekasan 907 Ha dan di Sampang 2.205 Ha. Lokasi
lainnya yaitu Nusa Tenggara Barat seluas 1.885 Ha,
sehingga luas areal penggaraman seluruhnya sebesar
30.658 Ha sejumlah 25.542 Ha dikelola secara
tradisional oleh rakyat.
Kualitas garam yang dikelola secara tradisional pada
umumnya harus diolah kembali untuk dapat dijadikan
garam komsumsi maupun garam industri.
Areal penggaraman yang dikelola oleh rakyat cukup
luas, sedangkan produksi dan hasilnya belum sesuai
untuk dapat dijadikan garam komsumsi maupun garam
industri. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan, untuk
membuat garam dengan beberapa kategori
berdasarkan perbedaan kandungan NaCI- nya sebagai
unsur utama garam.
Pembuatan garam dapat dilakukan dengan beberapa
kategori berdasarkan perbedaan kandungan NaCl nya
sebagai unsur utama garam., Jenis garam dapat dibagi
dalam beberapa kategori seperti; kategori baik sekali,
baik dan sedang. Dikatakan berkisar baik sekali jika
mengandung kadar NaCl >95%, baik kadar NaCl 90–
95%, dan sedang kadar NaCl antara 80–90% tetapi yang
diutamakan adalah yang kandungan garamnya di atas
95%.
Garam industri dengan kadar NaCl >95% yaitu sekitar
1.200.000 ton sampai saat ini seluruhnya masih
diimpor, hal ini dapat dihindari mengingat Indonesia
sebagai negara kepulauan.
B. METODE PEMBUATAN GARAM
Proses pembuatan garam dibagi dalam empat tahap
yaitu:
1. Penyiapan lokasi penggaraman
2. Sarana dan Prasarana
3. Lokasi penggaraman
4. Produksi garam
1. Penyiapan Lokasi Penggaraman
Proses pembuatan garam yang sederhana adalah
menguapkan air laut sehingga mineral-mineral
yang ada di dalamnya mengendap. Hanya saja
mineral-mineral yang kurang diinginkan sedapat
mungkin hanya sedikit yang dikandung oleh garam
yang diproduksi.
Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak
secara bertingkat, sehingga dengan gaya gravitasi
PROSES PRODUKSI GARAM
Oleh : Sukino Subiyantoro
Produktivitas pembuatan garam masih rendah, menurut catatan dalam satu tahun Indonesia membutuhkan garam
sekitar 2,1 juta ton. Namun Indonesia hanya mampu memenuhinya sebesar 1 ,12 juta ton. Sisa kebutuhan sebesar
900 juta ton garam masih diimpor.
2
air dapat mengalir ke hilir kapan saja dikehendaki.
Dalam tulisan ini diberikan dua model peningkatan
mutu garam, yaitu mengendapkan Ca dan Mg
dengan menggunakan Natrium Karbonat atau
Natrium Oksalat yang dikombinasikan dengan cara
pengendapan bertingkat.
Kalsium dan magnesium sebagai unsur yang cukup
banyak dikandung dalam air laut selain NaCl perlu
diendapkan agar kadar NaCl yang diperoleh
meningkat. Kalsium dan magnesium dapat
terendapkan dalam bentuk garam sulfat, karbonat
dan oksalat. Dalam proses pengendapan atau
kristalisasi garam karbonat dan oksalat mengendap
dahulu, menyusul garam sulfat, terakhir bentuk
garam kloridanya.
Prinsip dasar dari proses pembuatan garam yang
dilakukan adalah menghasilkan garam yang
kualitasnya lebih baik. Untuk itu, diperlukan studi
lapangan yang menunjang kualitas garam antara
lain kondisi lahan yang digunakan, kemiringan, uji
laboratorium, termasuk kondisi iklim dan
sebagainya, sehingga dihasilkan garam sesuai
kualitas yang diharapkan
Data yang diperlukan yaitu :
• Evaporasi / penguapan (tinggi)
• Kecepatan dan arah angin (>5 m/detik)
• Suhu udara (>32°C)
• Penyinaran matahari (100%)
• Kelembaban udara (<50% H)
• Curah hujan (rendah) dan hari hujan (kurang)
• Pasang surut
2. Sarana dan Prasarana
a. Sarana:
1. Kolam Penampungan Air laut
Kolam ini berfungsi untuk menampung air
laut (3 be), kedalaman air maksimal 1 meter
dan luasan kolam paling tidak 25 % dari total
lahan tambak garam.
2. Kolam peminihan (penguapan)
Kolam ini berfungsi sebagai kolam
penguapan. Pada kolam inilah air laut
dengan kadar garam 3 – 3,5 Be di uapkan
sehingga mencapai konsentrasi > 16 Be dan
siap di kristralkan di meja – meja garam.
Kedalaman air pada kolam ini bervariasi
antara 10 – 30 cm dengan luasan lahan 40 %
dari total lahan tambak garam.
3. Kolam Penampungan Air Tua
Kolam ini berfungsi sebagai tempat
penampungan air tua (20 Be).
Kedalaman air pada kolam ini paling tidak 10
cm. Luas kolam 20 % dari total lahan tambak
garam.
4. Meja Garam (Kristalisasi)
Petakan ini berfungsi sebagai petakan
penguapan garam, kedalaman air pada
petakan ini sekitar 5 cm. Luas kolam sekitar
15 % dari total areal lahan.
5. Pintu air
Terdiri dari pintu air pemasukan dan pintu
air pengeluaran yang berfungsi memasukkan
dan mengeluarkan air.
6. Saluran air tua.
Berfungsi menyalurkan air muda dari
penampungan ke peminihan. Lebar saluran
disesuaikan dengan luas lahan pegaraman
7. Gudang
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan
garam setelah dipanen. Volume gudang
penyimpanan di sesuaikan dengan kapasitas
produksi. Gudang tidak boleh bocor dan
terkena rembesan air hujan.
b. Peralatan
1. Mesin pompa air
Berfungsi untuk memompa dan mengelirkan
air dari petakan yang satu ke petakan yang
lain apabila di butuhkan.
2. Beaumemeter
Berfungsi untuk mengukur konsentrasi kadar
garam pada air laut.
3. Kincir Angin
Berfungsi untuk memompa air secara
manual menggunakan tenaga angin.
4. Guluk
Berfungsi untuk meratakan dasar petakan
garam pada meja garam.
5. Waring, Ember, Karung, Terpal serta peralatan
lain yang dibutuhkan dalam operaional
tambak garam.
c. Prasarana:
1. Pematang sekitar (pematang keliling).
2. Pematang waduk.
3
3. Saluran pemasukan.
4. Saluran air muda.
5. Pematang peminihan dan pematang
penghalang.
6. Pematangan meja-meja.
7. Saluran pembuangan.
8. Jalan (akses transportasi)
3. Lokasi Penggaraman
Tanah untuk penggaraman yang dipilih harus
memenuhi kriteria yang berkaitan dengan
ketinggian dari permukaan laut, topografi tanah,
sifat fisis tanah, kehidupan (hewan/tumbuhan) dan
gangguan bencana alam.
a. Letak terhadap permukaan air laut :
Untuk mempermudah suplai air laut
Untuk mempermudah pembuangan
b. Topografi :
Dikehendaki tanah yang landai atau
kemiringan kecil.
Untuk mengatur tata aliran air dan
meminimilisasi biaya konstruksi
c. Sifat fisis tanah :
Dikehendaki sifat-sifat :
Permeabilitas rendah
Tanah tidak mudah retak
Pasir : Permeabilitas tinggi
Tanah liat : Permeabilitas rendah
Retak pada kelembaban
rendah
Untuk peminihan tanah liat untuk
penekanan resapan air (kebocoran)
Untuk meja-meja campuran pasir dan
tanah liat guna kualitas dan kuantitas hasil
produksi
d. Gangguan kehidupan :
Tanaman pengganggu
Binatang tanah
e. Gangguan bencana alam :
Daerah banjir / gempa / gelombang pasang
4. Produksi Garam
Ada bermacam-macam cara pembuatan garam
yang telah dikenal manusia, tetapi dalam tulisan ini
hanya akan diuraikan secara singkat cara
pembuatan garam yang proses penguapannya
menggunakan tenaga matahari (solar
evaporation), mengingat cara ini dinilai masih
tepat untuk diterapkan perkembangan teknologi
dan ekonomi di Indonesia pada waktu sekarang.
Pada dasarnya pembuatan garam dari air laut
terdiri dari langkah-langkah proses pemekatan
(dengan menguapkan airnya) dan pemisahan
garamnya (dengan kristalisasi).
A. Teknik Pembuatan Garam
1. Teknik Tradisional
Pembuatan garam rakyat di Indonesia yang
ada saat ini rata-rata masih menggunakan
teknik yang masih tradisional dimana hasil
produksi baik secara kualitas maupun
kuantitas masih rendah. Kondisi ini terjadi
karena penerapan proses produksi pada
teknik tradisional masih sederhana
teknologinya. Alur proses produksi yang
biasa diterapkan para petani garam di
Indonesia yaitu air laut (3 Be) dimasukkan
dalam petak penampungan air laut
(tandon) kemudian air tersebut dialirkan
pada beberapa petak peminihan dengan
tujuan untuk menguapkan air laut
sehingga kandungan garam didalamnya
akan semakin pekat (16 Be) seiring
perjalanan air laut tersebut dari petak
peminihan yang satu ke petak peminihan
yang terakhir (penampungan air tua). Dari
petak pemihan ini selanjutnya air yang
konsentrasi kandungan garamnya makin
tinggi ini langsung di alirkan ke meja garam
untuk di kristalkan. Tahapan-tahapan pada
teknik tradisional ini memerlukan waktu
yang cukup lama (> 10 hari) untuk
menghasilkan garam yang kualitasnya juga
masih rendah. Rendahnya kualitas garam
tersebut bisa disebabkan oleh kandungan
NaCl yang kurang karena proses produksi
yang masih sangat sederhana dan cara
panen yang seringkali mengakibatkan
lumpur dasar petakan masih melekat pada
garam.
4
Gambar. Pola Teknik Tradisional
2. Teknik Semi Intensif
Pada proses pembuatan garam
menggunakan teknik semi intensif
membutuhkan modifikasi lahan tambak
dengan penambahan ulir pada tahap
peminihan dengan tujuan untuk
mempercepat proses penuaan air.
Penambahan ulir disini dimaksudkan untuk
mempercepat penguapan pada air laut
sehingga saat tiba di petak penampungan
sudah mencapai 20 Be dalam waktu yang
lebih singkat apabila kondisi cuaca dan
iklim memungkinkan.
Pada teknik semi intensif ini, ulir dibuat
berbentuk petakan – petakan kolam tanah
yang berkelok – kelok dengan dasar yang
tidak rata untuk membuat arus air secara
alami sehingga terjadi proses penguapan
yang di bantu cahaya matahari dan angin.
Dengan adanya ulir ini diharapkan dapat
mempercepat waktu penuaan air laut
sehingga proses produksi dapat lebih
singkat. Ketinggian air pada ulir berkisar
antara 10 – 20 cm. Perbandingan luas
lahan peminihan dengan lahan kristalisasi
adalah 65 : 35. Meja kristalisasi dapat
dilapisi terpal plastik sehingga bebas
bocor, mudah dirawat dan dapat segera
digunakan bila musim garam tiba.
Gambar. Pola Teknik Semi Intensif
3. Teknik Back Yard
Pembuatan garam secara sederhana tanpa
memerlukan lahan tambak yang sangat
luas tetapi memanfaatkan pekarangan
rumah sebagai lahan produksi garam.
Bahan baku air tua ini dapat di datangkan
dari tambak-tambak garam yang sengaja
membuat air tua untuk didistribusikan
pada usaha pembuatan garam
menggunakan backyard. Jadi dengan
teknik ini terdapat beberapa elemen usaha
yang saling mendukung, saling
membutuhkan dan saling menguntungkan.
Bahan baku dapat berupa air tua dengan
kadar kepekatan minimum 20 Be sehingga
langsung mengalami tahap kristalisasi.
Untuk membuat air tua tersebut menjadi
Kristal-kristal garam maka dapat di buat
meja kristalisasi menggunakan terpal
plastic sehingga bebas bocor, mudah
dirawat dan dapat dipindahkan. Luas meja
kristalisasi minimal 2,4 m x 1,2 m x 0,04 m.
Proses kristalisasi air tua dilakukan dengan
penyinaran matahari. Diusahakan letak
meja kristalisasi ini mendapatkan sinar
matahari penuh dari pagi sampai sore atau
tidak tertutup oleh pepohongan atau
bangunan.
5
Gambar. Pola Teknik Back Yard
B. Proses Produksi Garam
1. Peminihan (Penguapan)
Setelah dari kolam penampungan (air laut
3 Be) dialirkan ke petak peminihan
(penguapan). Berikut ini merupakan alur
proses dalam kolam peminihan :
a. Selama tiga hari pertama air laut yang
keluar masuk digunakan untuk
membersihkan waduk dari air hujan
atau air tawar. Mulai hari keempat
sesuai dengan perkembangan iklim,
air laut mulai ditahan di dalam tambak
sampai konsentrasi minimal 2 °Be
atau 20 gram/liter.
b. Setelah seluruh areal peminihan
terendam air laut pintu air ditutup,
sehingga tebal air di peminihan sesuai
dengan urutan-urutannya memiliki
ketebalan minimal 7,5 cm.
c. Bersamaan dengan pengaturan
ketebalan air laut pada peminihan
dimulai pekerjaan penimbangan
konsentrasi air laut pada pintu air
utama, di dalam tambak (sedikitnya di
3 tempat kalau tambaknya sangat
luas) dan pada masing-masing
peminihan tepatnya pada tempat-
tempat dimana terdapat patok ukuran
air yang dipasang.
d. Air laut ditimbang dengan Baume
meter, pencatatan dilakukan secara
tertib setiap hari selama musim
pembuatan garam.
2. Penampungan Air Tua
Proses penampungan air tua yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Air dari petak peminihan (16 s.d 20 Be)
selanjutnya ditampung dalam petak air
tua
2. Ketinggian air pada petak air tua 30 cm
3. Air dalam petak air tua dapat dialirkan
ke meja-meja garam dan dilakukan
secara terus - menerus.
3. Pengolahan Tanah dan Air di Meja-meja
Beberapa tahapan dalam pengolahan
tanah di meja garam dilakukan sebagai
berikut:
1. Pengeringan pendahuluan dilakukan
sebelum atau pada waktu air laut
dialirkan untuk menghilangkan lumut-
lumut. Pengeringan pertama dilakukan
mulai dari meja terendah dalam satu
seri, sehingga konsentrasinya
mencapai maksimum 3 – 6 °Be.
2. Pemadatan dengan menggunakan
guluk pertama pada meja dilakukan
setelah pengeringan pertama selesai
dan lahan dijemur hingga kering
selama 1 – 2 hari, kemudian dasarnya
dipemadatan dengan menggunakan
guluk menggunakan pemadatan
dengan menggunakan guluk kayu.
3. Setelah meja mengalami proses
pengeringan pertama dan pemadatan
dengan menggunakan guluk pertama
konsentrasi air akan mencapai
maksimum 10 –14 °Be. Selanjutnya
dilakukan pengeringan kedua yang
secara teknis sama dengan
pengeringan pertama.
4. Pemadatan dengan menggunakan
guluk kedua dilakukan 1 – 2 hari
setelah pengeringan kedua pada
kondisi dasar meja dalam keadaan
kering. Pelaksanaan teknis pemadatan
dengan menggunakan guluk kedua
sama seperti pemadatan dengan
menggunakan guluk pertama sehingga
dasar meja yang sudah menjalani
proses pengeringan kedua dan
pemadatan dengan menggunakan
6
guluk kedua benar- benar bersih, rata,
keras dan padat.
5. Setelah air di dalam meja yang telah
dipengeringan kedua dan pemadatan
dengan menggunakan guluk kedua,
konsentrasi air akan mencapai
maksimum 20 – 23 °Be selanjutnya
dilakukan pengeringan terakhir pada
meja tersebut.
6. Pemadatan dengan menggunakan
guluk terakhir dilakukan 1 – 2 hari
setelah pengeringan terakhir dan pada
kondisi dasar meja dalam keadaan
kering. Pelaksanaan teknis pemadatan
dengan menggunakan guluk terakhir
sama dengan pemadatan pertama dan
kedua, dilakukan dengan
menggunakan guluk beton besar
sebagai syarat untuk persiapan lepas
air.
4. Pengeluaran Air Tua (Lepas Air Tua)
Setelah meja mengalami proses
pengeringan terakhir dan pemadatan
dengan menggunakan guluk terakhir, serta
konsentrasi air yang ada diatasnya telah
mencapai 25 Be, selanjutnya Lepas Air Tua
(LAT) pada meja tersebut dapat dilakukan.
Proses LAT adalah sebagai berikut :
1. LAT dilakukan antara jam 10.00 s/d
13.00, pada konsentrasi 25 Be.
2. LAT pada meja-meja lainnya berurutan
keatas di dalam seri yang sama.
(tambahkan gambar)
Perlu diperhatikan ketertiban dalam
melakukan pencatatan urutan timbangan
air pada meja-meja dalam buku produksi
setiap hari, ketebalan air pada masing-
masing meja dijaga minimal 5 cm, meja
yang berfungsi sementara sebagai
gentongan memiliki ketebalan air minimal
8 cm serta kekuatan persediaan air baik
konsentrasi dan volumenya.
5. Kristalisasi
Setelah proses meja LAT berakhir terjadi
kristalisasi garam, selanjutnya dilakukan
pemeliharaan proses kristalisasi dalam meja
yang sudah LAT dengan menambahkan air
tua yang memiliki konsentrasi 25 - 29 °Be
setiap hari ke dalam meja serta tetap
menjaga ketebalan air minimal 5 cm, ke
dalam meja kristal dilakukan penambahan
brine dengan konsentrasi minimal 25 – 26
°Be.
Pada sistem pemanenan yang dilakukan PT.
GARAM (Persero), kristal garam dipelihara
selama 30 hari sebelum dilakukan perataan.
Selang waktu dari LAT ke proses perataan
selama 30 hari. Lapisan garam yang berumur
30 hari disebut lantai garam yang menjadi
dasar pada pemanenan garam selanjutnya.
Pada metode maduris kristal garam
dipelihara selama 15 – 20 hari, setelah itu
langsung dipungut diatas lantai tanah.
6. Pemanenan
1. Jenis pemanenan garam Terdiri dari dua
sistem yaitu:
a. Sistem Portugis
Pungutan garam di atas lantai garam,
yang terbuat dari kristal garam yang
dibuat sebelumnya selama 30 hari,
berikut tiap 10 hari dipungut.
b. Sistem Maduris
Pungutan garam yang dilakukan di
atas lantai tanah, selama antara 10–
15 hari garam diambil di atas dasar
tanah
2. Teknis pemanenan garam adalah sebagai
berikut:
a. Perataan meja garam
Lantai garam diratakan terlebih
dahulu agar kristal garam yang
terbentuk pada hari-hari berikutnya
tidak melekat pada lantai garam untuk
memudahkan pelaksanaan pungutan.
7
Perataan lantai garam dilakukan
minimal oleh 3 orang pekerja
menggunakan sorkot besi.
Pekerja yang bertugas meratakan
dasar garam harus membersihkan
kakinya sebelum masuk ke meja,
menghadap ke arah angin dan
berjalan mundur secara hati-hati agar
tidak merusak lantai garam.
Meja diratakan dalam keadaan
terendam air tua.
Pungutan garam dilakukan setelah
pekerjaan meratakan lantai garam
selesai.
b. Pungutan garam
Dilakukan setelah 10 hari meja garam
diratakan.
Disiapkan profil untuk menentukan
volume garam dan jembatan pungut.
Kristal garam dilonggarkan
menggunakan sorkot besi setiap 3 hari
sekali untuk memudahkan proses
pungutan garam.
Pungutan dilakukan dengan
menggunakan sorkot kayu.
Kristal garam ditarik (dikais) dari
tengah ke tepi meja, membentuk
lenceran sejajar dengan galengan
meja yang membujur ke arah
pejemuran dalam jarak 1 m dari tepi
galengan meja.
c. Garam hasil pungutan ditimbun di
penjemuran yang terletak sejajar dengan
meja terendah. Timbunan dibentuk
menurut profil yang sudah dipersiapkan,
ukuran disesuaikan dengan ukuran
penjemuran.
d. Penjemuran terbuat dari batu kapur / batu
karang yang kuat dan bersih, apabila
penjemuran terbuat dari tanah dan dalam
keadaan rusak, perlu dibuatkan alas dari
dinding / anyaman bambu yang diletakkan
di atas penjemuran untuk menjaga
kebersihannya, sehingga garam tidak
terkontaminasi dengan tanah atau debu.
e. Jika konsentrasi air tua kurang dari 29 °Be
bisa dipergunakan dan ditambahkan air tua
hingga ketebalannya minimal 5 cm.
f. Pemanenan dilanjutkan setelah 10 hari
kemudian dan seterusnya, hari pungut
tidak boleh diperpendek meskipun sudah
mendekati akhir musim garam.
g. Pemanenan darurat dilaksanakan bila
musim produksi tidak mungkin diteruskan,
misalnya kondisi cuaca hujan terus
menerus.
7. Penanganan Hasil Panen
Setelah dilakukan pemanenan, selanjutnya
penanganan garam melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
1. Pengangkutan Garam
a. Pengangkutan garam dilakukan dari
timbunan garam pertama dengan tetap
menjaga kebersihan garam.
b. Semua garam hasil pungutan diangkut
dan dimasukkan ke gudang.
2. Penyimpanan Garam
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada proses
penyimpanan garam yaitu:
a. Pastikan kondisi dasar gudang dalam
keadaan baik, tidak ada bagian cekung
yang memungkinkan adanya genangan
air.
b. Selokan-selokan di sekeliling gudang
dibersihkan agar air dapat mengalir.
c. Garam disimpan didalam gudang
berbentuk curah/ dikemas dalam karung
C. KRITERIA KUALITAS GARAM
Garam yang diproduksi rakyat pada umumnya
tidak mengalami pencucian, sehingga pada
umumnya berkualitas rendah. Kadar NaCl dalam
garam rakyat biasanya bervariasi sekitar 88 %.
Oleh karena itu garam rakyat tidak dapat
memenuhi standar kualitas garam untuk
pembelian stok nasional. Sehingga harga jual
garam rakyat cenderung rendah. Berdasarkan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 44/M-Dag/Per/101 2007
kualitas Garam rakyat dikelompokan 3 jenis yaitu:
8
1. K-1
Yaitu kualitas terbaik yang memenuhi syarat
untuk bahan industri maupun untuk
konsumsi. merupakan hasil proses kristalisasi
pada larutan 24-29,5 Be dengan kadar NaCl
minimal 97,46 %. Dengan komposisi sebagai
berikut:
a. NaCl : 97.46 %
b. CaCl2 : 0.723 %
c. CaSO4 : 0.409 %
d. MgSO4: 0.04 %
e. H2O : 0.63 %
f. Impurities: 0.65 %
2. K-2
Yaitu kualitas dibawah K-1, garam jenis ini
harus dikurangi kadar berbagai zat agar
memenuhi standart sebagai bahan baku
industri. Secara fisik garam K-2 berwarna
putih agak kecoklatan dan sedikit lembab.
Garam ini merupakan sisa kristalisasi di atas
pada kondisi kelarutan 29,5-35 Be dengan
kadar NaCl 94,7%.
3. K-3
Merupakan garam kualitas terendah,
tampilan fisik yang putih kecoklatan dan
bercampur lumpur. Garam ini merupakan
sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >
35 Be dengan kadar NaCl < 94,7%.
D. FAKTOR TEKNIS YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI GARAM
a. Air Laut
Mutu air laut (terutama dari segi kadar
garamnya (termasuk kontaminasi dengan air
sungai), sangat mempengaruhi waktu yang
diperlukan untuk pemekatan (penguapan).
b. Keadaan Cuaca
Panjang kemarau berpengaruh langsung
kepada “kesempatan” yang diberikan
kepada kita untuk membuat garam dengan
pertolongan sinar matahari.
Curah hujan (intensitas) dan pola hujan
distribusinya dalam setahun rata-rata
merupakan indikator yang berkaitan erat
dengan panjang kemarau yang kesemuanya
mempengaruhi daya penguapan air laut.
Kecepatan angin, kelembaban udara dan
suhu udara sangat mempengaruhi
kecepatan penguapan air, dimana makin
besar penguapan maka makin besar jumlah
kristal garam yang mengendap.
c. Tanah
Sifat porositas tanah mempengaruhi
kecepatan perembesan (kebocoran) air laut
kedalam tanah yang di peminihan ataupun
di meja.
Bila kecepatan perembesan ini lebih besar
daripada kecepatan penguapannya, apalagi
bila terjadi hujan selama pembuatan garam,
maka tidak akan dihasilkan garam. Jenis
tanah mempengaruhi pula warna dan
ketidakmurnian (impurity) yang terbawa
oleh garam yang dihasilkan.
d. Pengaruh air
Pengaturan aliran dan tebal air dari
peminihan satu ke berikutnya dalam
kaitannya dengan faktor-faktor arah
kecepatan angin dan kelembaban udara
merupakan gabungan penguapan air
(koefisien pemindahan massa).
Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja
kristalisasi akan mempengaruhi mutu hasil.
Pada kristalisasi garam konsentrasi air garam
harus antara 25–29°Be. Bila konsentrasi air
tua belum mencapai 25°Be maka gips
(Kalsium Sulfat) akan banyak mengendap,
bila konsentrasi air tua lebih dari 29°Be
Magnesium akan banyak mengendap.
9
Daftar Pustaka
Aris, Kabul. 2011. Pedoman Garam. Dirjen KP3K,
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia. Jakarta.
Julianty, Elissa. 2006. Teknologi Pengemasan.
Universitas Sumatera Utara.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 44/M-Dag/Per/101 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-
Dag/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam.
Nonny. 2004. Pembesaran Udang. Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
Vita, Mayasari. 2009. Penelitian Garam Rakyat. Jurnal
Pedesaan. Surabaya.
__________mr.Q_________