26
BAB I PENDAHULUAN  1.LATAR BELAKANG Irigasi  Irigasi merupakan upa ya yang dilakukan manusia untuk mengair ilahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan  sungaiatau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian.  Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak  Mesir Kuno. Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas yang disyaratkan untuk mengikuti ujian akhir semester. Kami ingin melakukan penelitian tentang pemanfaatan system perairan irigasi yang mulai kering karena musim kemarau yang berkepanjangan. Makalah tersebut kami tuangkan dalam makalah yang berjudul “Pemanfaatan Sistem Perairan Irigasi Dari Sungai Cimanuk”. 2.PERMASALAHAN DAN PEMBATASAN MASALAH A.Permasalahan  Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan kami teliti yaitu: Apakah pemanfaatan perairan irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya tarik bagi masyarakat setempat, ditinjau dari kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan? B.Pembatasan Masalah Dalam makalah ini kami membatasi masalah penting yang akan di teliti yaitu: a.  penelitian ini di lakukan di tempat system perairan irigasi di sekitar sungai cimanuk.  b. Objek penelitian kami adalah keadaan dan kondisi system perairan irigasi di cimanuk c. Waktu pelaksanaan di lakukan satu bulan terakhir terhitung tanggal 14 November s/d 16 Desember 2008. 3.TUJUAN PENELITIAN Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah:

119400386-80541106-Sistem-Irigasi

  • Upload
    tr1a

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ada

Citation preview

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.LATAR BELAKANG

    Irigasi

    Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairilahan pertaniannya.

    Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada

    zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungaiatau

    sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian.

    Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan

    wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti

    ini di Indonesia biasa disebut menyiram.

    Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat

    dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.

    Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas yang disyaratkan untuk mengikuti

    ujian akhir semester. Kami ingin melakukan penelitian tentang pemanfaatan system perairan

    irigasi yang mulai kering karena musim kemarau yang berkepanjangan.

    Makalah tersebut kami tuangkan dalam makalah yang berjudul Pemanfaatan Sistem Perairan

    Irigasi Dari Sungai Cimanuk.

    2.PERMASALAHAN DAN PEMBATASAN MASALAH

    A.Permasalahan

    Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan

    kami teliti yaitu:

    Apakah pemanfaatan perairan irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya tarik bagi

    masyarakat setempat, ditinjau dari kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan?

    B.Pembatasan Masalah

    Dalam makalah ini kami membatasi masalah penting yang akan di teliti yaitu:

    a. penelitian ini di lakukan di tempat system perairan irigasi di sekitar sungai cimanuk.

    b. Objek penelitian kami adalah keadaan dan kondisi system perairan irigasi di cimanuk

    c. Waktu pelaksanaan di lakukan satu bulan terakhir terhitung tanggal 14 November s/d

    16 Desember 2008.

    3.TUJUAN PENELITIAN

    Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah:

  • Dorongan untuk memberikan informasi dan data secara menyeluruh mengenai system irigasi

    di cimanuk,serta tentang kondisi dan keadaan system irigasi tersebut kepada

    pembaca.sehingga pembaca dapat mengetahui dan mengenal system irigasi.

    Dan mudah-mudahan dengan adanya makalah ini di tangan para pembaca,bias memberikan

    dorongan untuk memanfaat kan system perairan irigasi dari sungai cimanuk.

    Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi erosi, hasil sedimen, dan mengkaji penurunan

    debit minimum yang terjadi disungai Cimanuk.

    Pendekatan bidang ekohidrologi sebagai pendekatan interdisipliner dalam memahami

    ekosistem perairan dikenal sebagai sarana manajemen yang adaptif karena didasarkan pada

    pengintegrasian dinamika perairan dan dinamika biota dalam suatu kerangka kerja pada suatu

    daerah tangkapan. Indonesia ditunjuk sebagai Pusat Ekohidrologi Regional Asia Pasific, hal

    itu diharapkan dapat memacu perkembangan konsep ekohidrologi sebagai pendekatan dalam

    penyelesaian masalah-masalah lingkungan. Dalam rangka pendirian pusat tersebut dilakukan

    persiapan berupa prasarana dalam bentuk penetapan waduk Saguling sebagai studi kasus

    permasalahan ekohidrologis yang terjadi di daerah

    4.KEGUNAAN PENELITIAN

    Hasil penelitian ini di harap kan dapat memberikan gambaran atau sumber pemikiran yang

    terbaik untuk terus mengembangkan dan melestarikan system perairan irigasi.Memiliki

    peranan penting bagi masyarakat sekitar.selain iti penelitian ini di harapkan dapat membantu

    mengenal lebih jauh tentang pemenfaatan system perairan irigasi.

    5.METODE PENELITIAN

    Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:

    Metode eksperimen atau melakukan survai yang benar-benar kuat.Yang selanjutnya data

    tersebut di olah secara bersama-sama dengan data yang di kumpulkan dengan cara mencari

    artikel-artikel tentang system perairan irigasi.Sehingga di harap kan dapat menghasilkan

    kesimpulan yang tepat.

    Sejarah Irigasi di Indonesia 1.Sejarah Irigasi

    Secara umum menjelaskan perkembangan mulai dari adanya usaha

    pembuatan irigasi sangat sedehana, perkembangan irigasi di

    Mesir, Babilonia, India,dll kemudian bagaimana perkembangan irigasi

    di Indonesiasampai saat sekarang.

    Di Bali, irigasi sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti dengan adanya

    sedahan (petugas yang melakukan koordinasi atas subak-subak dan mengurus

    pemungutan pajak atas tanah wilayahnya). Sedangkan pengertian subak adalah Suatu masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris relegius yang secra

    histories tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tataguna air di

    tingkat usaha tani (PP. 23 tahun 1982, tentang Irigasi)

    Irigasi Mesir Kuno dan Tradisional Nusantara

  • Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia irigasi

    tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok

    tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara

    bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan

    dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun

    pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.

    Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda

    Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa

    (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut

    mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus

    menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya.

    Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi

    sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air dalam

    irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi

    pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air

    untuk sawahnya. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat dan Pengalaman TVA 1933 di Amerika Serikat

    Tennessee Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada

    tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia [2]. Resesi

    ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam

    membangun kembali ekonomi Amerika Serikat.

    Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan

    malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek TVA menjadi salah satu model

    dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang

    hampir mirip dengan TVA di AS tersebut.

    Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (9 km

    dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir.

    H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai

    dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang

    tersedia sebesar 12,9 milyar m3/tahJenis Irigasi

    Irigasi Permukaan

    Irigasi Permukaan terjadi di mana air dialirkan pada permukaan lahan. Di sini dikenal alur

    primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah

    gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.

    Irigasi Lokal

    Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana

    lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau

    secara lokal.

    Irigasi dengan Penyemprotan

    Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan

    seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian

    menetes ke akar.

    Irigasi Tradisional dengan Ember

    Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga

    pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.

    Irigasi Pompa Air

  • Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan

    berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus

    mengairi sawah.

    Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi Khusus

    Irigasi Pasang-Surut di Sungai Cimanuk

    Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Garut, dikenal apa yang dinamakan

    Irigasi Pasang-Surat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan

    pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di

    mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu

    pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Garut

    memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada

    cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di Wilayah Sungai

    Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana disana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.

    Irigasi Tanah Kering atau Irigasi Tetes

    Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang

    diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta

    sarana irigasi yang tersedia.

    Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:

    (1) irigasi tetes (drip irrigation),

    (2) irigasi curah (sprinkler irrigation),

    (3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan

    (4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation)

    Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes. [3] merupakan salah satu alternatif. Misal

    sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.

    Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi

    adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan

    karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan

    kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.

    Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.

    Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang

    Sistem Irigasi Pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya

    manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat

    tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke

    tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan

    dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya.

    Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir

    berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan

    sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari

    pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan

    sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan

    untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu

    pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari

    beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah

    tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.

  • Pengalaman Irigasi Perkebunan Kelapa Sawit

    Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit.

    Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak

    negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif

    kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan

    terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan

    kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah.

    Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat

    terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu,

    gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.

    Manajemen irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat

    pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk meningkatkan daerah

    layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang

    untuk mengkaji pengaruh irigasi suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan

    vegetatif kelapa sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performance kelapa

    sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat untuk 4 buah Dam Parit

    dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran sungai.

    Arti Irigasi

    Irigasi merupakan suatu ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh

    sampai masa panen. Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran, dibagikan

    kepada tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah air tersebut terpakai, kemudian

    dibuang melalui saluran pembuang menuju sungai kembali.

    Irigasi dikehendaki dalam situasi: (a) bila jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan

    tanaman; (b) bila jumlah curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah hujan tidak

    bersamaan dengan waktu yang dikehendaki tanaman.

    Aspek irigasi

    Menjelaskan tentang: Aspek engineering, dan Aspek agricultural Aspek engineering

    menyangkut: (1) Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan (2) membawa air ke lading

    pertanian, (3) pemakaian air untuk persawahan, (4) pengeringan air yang berlebihan, dan (5)

    pembangkit tenaga air.

    Aspek Agrikultural, menyangkut: (1) kedalaman pemberian air, (2) distribusi air

    secara seragam dan berkala, (3) kapasitan dan aliran yang berbeda, dan (4) reklamasi tanah

    tandus dan tanah alkaline.

    KAJIAN NERACA AIR DAERAH IRIGASI LEUWI GOONG DENGAN SISTIM EFISIENSI

    KEBUTUHAN AIR DI DAERAH GARUT JAWA BARAT

    Bendung Copong merupakan pengambilan utama bagi Daerah Irigasi Leuwi Goong

    abupaten Garut, direncanakan dapat mengairi daerah irigasi seluas 5271 ha. Bendung ini

    direncanakan dapat mengairi gabungan jaringan irigasi teknis yang ada menjadi sistem satu

    kesatuan.

  • Penggunaan air irigasi di tingkat usaha tani khususnya untuk tanaman padi sawah yang dilakukan

    petani masih boros + 1.5 liter/detik/ha dibagian udik yang mengakibatkan dibagian hilir sering tidak

    memperoleh air, karenanya koreksi pemanfaatan air irigasi perlu dilakukan agar pemberian air secara

    real time dapat menjangkau seluruh areal irigasi.

    Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengkaji masalah ketersediaan dan kebutuhan air irigasi

    untuk daerah irigasi Leuwi Goong jika bendung Copong dibangun. Sehingga akan diperoleh suatu

    rekomendasi untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya air dari sungai Cimanuk untuk

    memenuhi kebutuhan air di hilir.

    Sedangkan Tujuan dari tinjauan studi ini adalah memperoleh angka yang optimum untuk neraca air

    dari curah hujan dengan kondisi real time di lapangan, sehingga antara kebutuhan dan ketersediaan

    air akan mendekati angka yang paling optimal.

    Lingkup kajian tesis ini adalah meliputi pengumpnlan data sekunder,pengolahan dan analisis data,

    identifikasi, perhitungan ketersediaan air, perhitungan kebutuhan air irigasi dengan cara yang efisien

    dan penyusunan neraca air.

    Lokasi pengamatan studi adalah Daerah Irigasi Leuwi Goong, yang terletak di Kabupaten Garut

    propinsi Jawa Barat dan secara geografis terletak pada 7 00' - 7 12' Lintang Selatan dan 107 52' -

    108 05' Bujur Barat, dimana areal DI Leuwi Goong terletak di sebelah kiri dan kanan sungai Cimanuk

    dan saat ini merupakan integrasi dari beberapa irigasi teknis, semi teknis, irigasi pedesaan sebesar

    52 % memanfaatkan air dari anak-anak sungai Cimanuk sedangkan sisanya 48 % berupa areal tadah

    hujan.

    Dalam perhitungan debit metode yang digunakan adalah sistim keseimbangan air (Water

    Balance) dari FG Mock dan sebagai pembanding digunakan data debit lapangan dari stasiun debit

    den gan menggunakan AWLR (Automatic Water Level Recorder). Sedangkan perhitungan kebutuhan

    air di petal( sawah dihitung berdasarkan cara konvensional dari Kriteria Perencanaan Irigasi (KP-01

    19%) dan berdasarkan teori keseimbangan dari curah hujan yang terjadi di lapangan.

    Dari teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70 % seperti pada metoda

    konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai dengan kondisi di lapangan dan air yang

    dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil perhitungannya

    Reff ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan curah hujannya.

    Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan air dengan metode

    keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal bila dibandingkan dengan metode

    konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya

    yang mempunyai perbedaan tinggi curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim

    kemarau. Kebutuhan air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode

    keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam yang dihasilkan

    dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda konvensional yaitu diperoleh intensitas

    tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu 278,17 %, angka ini jauh lebih besar dibandingkan

    dengan intensitas tanamnya dengan metoda konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215 %. Karena

    perbedaan luasnya yang cukup tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal iragasi

    tadah hujan menjadi areal irigasi teknis.

    Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai pesmilihan besar intensitas tanam agar kajian

    dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas tanam yang lebih

    besar, ditinjau dui segi ekonomi.

  • Tujuan irigasi. Tujuan utama irigasi adalah untuk: Membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu tanah,

    kolmatase, membersihkan air kotor, meninggikan air tanah, pemeliharaan ikan

    Pengaruh dan syarat-syarat air guna irigasi.

    Menjelaskan pengaruh air yang ada pada suatu daerah irigasi, dan bagaimana syarat-syarat

    air yang diperlukan untuk suatu daerah irigasi, seperti : air yang berasal dari dalam tanah; air berasal

    dari sungai, air berasal dari waduk, dananu, dan rawa;

    (1) Syarat air terhadap maksud irigasi, (2) syarat-syarat air terhadap tanaman, (3) pengaruh air irigasi

    terhadap tanah, (4) pengaruh Lumpur terhadap tanaman

    BAB II

    Landasan Teori dan Data

    2.1.1 Pengelolaan Air Sangat Buruk

    MUSIM hujan terendam air, musim kemarau kering kerontang. Demikian nasib 125 juta penduduk

    Pulau Jawa. Setelah hampir empat ratus ribu hektar sawah terendam musim banjir lalu, kali ini giliran

    kekeringan yang melanda. Untuk areal sawah saja, 204.322 hektar sudah kering akhir Juli lalu.

    Bahkan, 19.562 di antaranya mengalami puso. "Ini karena kita tidak memiliki manajemen air secara

    terpadu," kata Dirjen Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam

    Sjarief.

    TIDAK padunya penanganan air harus berhadapan dengan antrean masalah. Sejumlah masalah

    merupakan faktor alam maupun iklim global. Seperti karakteristik wilayah tropik di mana 80 persen

    dari total aliran permukaan tersedia pada musim hujan yang berdurasilima bulan. Sementara pada

    musim kemarau yang berlangsung tujuh bulan, hanya menyediakan 20 persen air untuk aliran

    permukaan. Belum lagi efek global La Nina dan El Nino yang datang bergantian.

    Faktor alam lalu berkawan dengan kerusakan hutan yang merusakkan kemampuan tanah meresap

    air, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Hal ini ditambah rusaknya prasarana irigasi seperti

    waduk dan saluran yang sedianya dibuat untuk "mengakali" alam. Semua hal itu lalu berkolaborasi

    membentuk suatu manajemen air yang buruk. Padahal, prinsip manajemen air sebenarnya tidak

    muluk-muluk: bagaimana caranya mengendalikan kedatangan air yang tidak merata itu.

    Neraca air di Jawa-Bali selama tahun 2003, kebutuhan mencapai 38,4 miliar kubik, sementara yang

    tersedia hanya 25,3 miliar meter kubik. Perkiraan Badan Meteorologi Geofisika tentang kondisi musim

    kemarau di tahun 2003, tingkat kerawanan kekeringan terjadi di 12 kabupaten di Jawa Barat, yaitu

    Indramayu, Tasikmalaya, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Sumedang, Garut, Bandung, Cianjur,

    Sukabumi, Serang, dan Pandeglang. Sementara di Jawa Tengah enam kabupaten, yaitu Pati,

    Sragen, Boyolali, Wonogiri, Cilacap, dan Rembang. Di Jawa Timur ada dua kabupaten, yaitu

    Lamongan dan Tulungagung.

    Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengungkapkan, krisis air bersih

    terparah terjadi di DKI Jakarta, sedangkan Jawa Barat mulai krisis air untuk tanaman. Kondisi di

    Jateng belum begitu parah. "Wonogiri akan menjadi tolok ukur kekeringan di wilayah itu," kata

    Menteri.

    Di Jabar, selain terjadi kekeringan di Kabupaten Bandung, kondisi terberat terjadi di

    Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan Subang. Di sini sudah terjadi konflik perebutan air bersih untuk

    perumahan dan pertanian. Saat warga meminta air satu meter kubik/detik untuk air bersih

    perumahan, petani tak mengizinkan. Di beberapa bendungan, pintu air sudah dikuasai preman

    sehingga siapa yang bisa membayar, dia yang mendapat air bersih itu.

  • Di Jawa Tengah, dua kabupaten/kota rawan kekeringan, pertanian rusak, dan poso. Jumlah kerugian

    sampai minggu lalu 30.000 KK kesulitan airkarena keringnya embung. Di Jatim, beberapa daerah

    sudah dianggap rawan, seperti Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Pasuruan. "Masalah ini harus

    dilihat secara luas, tidak bisa kekeringan sendiri atau banjir sendiri," timpal Roestam.

    Air yang jatuh ke permukaan tanah dan potensial menimbulkan banjir diupayakan agar meresap ke

    dalam tanah. Untuk itu, permukaan DAS harus maksimal menyerap air. Air hujan yang secara optimal

    meresap ke dalam tanah itu nantinya akan mengisi sumber- sumber air yang ada di danau, situ,

    sungai, dan waduk. Tujuannya, pada musim kemarau, saat hujan hampir tidak ada, debit airnya bisa

    tetap terjaga. "Masalah banjir diatasi dengan cara itu. Dengan demikian, akan mengatasi masalah

    kekeringan juga," tambah Roestam.

    KONSEP di atas kertas atau di kepala lebih sering berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan.

    Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS

    menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan

    menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan

    yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Menurut Roestam, untuk daerah

    DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai

    hanya 10 mm. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coef bisa sampai 1.

    Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau

    dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang. Masalahnya, rencana tata ruang lebih

    banyak yang tidak komprehensif. Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan hanya

    melihat uang sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk

    air sama sekali tidak terlintas di pikiran.

    Kondisi yang ada saat ini, menurut Roestam, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia,

    hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan Kompas berdasarkan data Badan

    Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup

    hutan tinggal empat persen.

    Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang

    tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim

    kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan sehingga terjadi kekeringan.

    Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis diIndonesia mencapai 22 buah.

    Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis

    di Indonesia, 26 ada di Jawa. Kemiskinan yang melatarbelakangi tindakan masyarakat, menurut

    Roestam, merupakan penyebab utama. Di Jawa dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat,

    masyarakat cari kehidupan dengan membuka lahan baru mendekati hulu. Akibat perambahan dan

    oknum-oknum yang terus merajalela, hutan Jawa menjadi gundul.

    Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan, dengan majunya musim kekeringan

    tahun ini, selain kekurangan air untuk pengairan di lahan-lahan pertanian, juga terjadi penderitaan

    warga akan krisis air bersih. Sebagai contoh, warga Jakarta dan sekitarnya menghadapi kekurangan

    pasokan air. Dulu terdapat sekitar 49 situ atau danau kecil antara Bogor dan Jakarta. Sekarang,

    banyak situ diuruk dijadikan rumah dan pusat-pusat perbelanjaan. Padahal, situ itu untuk menahan

    air.

    Sungai yang ada di Jakarta pun sudah hitam karena pencemaran sehingga tidak bisa menjadi

    sumber air bersih masyarakat. Air makin sedikit, sedangkan pencemaran tetap malah cenderung

    bertambah. Maka, makin kental pencemarannya. Air yang tadinya bisa untuk menyiram tanaman,

    mencuci mobil, sekarang tidak bisa lagi. Bahkan, ada tanda peningkatan penyakit diare yang cukup

    besar dan dikhawatirkan terjadi perebutan akses air tanah antara industri dan domestik.

    Untuk lahan- lahan pertanian yang mengalami kekeringan, Roestam mengatakan, sebenarnya

    pemerintah telah mengantisipasi hal tersebut.

  • Caranya, pemerintah membuat rencana pola tanam yang di kabupaten ditangani oleh oleh Komisi

    Irigasi. Komisi ini terdiri atas Dinas Pengairan, Bapedda, P3A, dan BMG, Dinas Pertanian, dan tentu

    saja wakil petani. BMG memberikan informasi prediksi jumlah curah hujan dan air yang tersedia.

    Selanjutnya rencana tanam disesuaikan dengan prediksi yang ada. Misalnya, dengan jumlah curah

    hujan yang hampir pasti kurang, tidak seluruh areal ditanami padi, sebagian saja. "Sebagian ditanami

    palawija, sebagian padi sehingga cukup airnya," katanya.

    Namun, pada prakteknya petani sering kali melakukan spekulasi dengan menanam padi dengan

    harapan akan ada hujan di musim kemarau sesuai dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

    Akibatnya, kebutuhan meningkat sehingga air pasti tidak cukup.

    Data di Departemen Kimpraswil, dampak kekeringan bagi Pulau Jawa mencapai 11,6 persen dari

    luas sasaran masa tanam (MT) II 1,8 juta hektar, yaitu 209.332 hektar. Kekeringan terbesar terjadi di

    Jawa Barat yaitu 141.793 hektar sawah yang merupakan 22,5 persen dari sasaran MT II, 11.590

    hektar diantaranya mengalami puso. Kekeringan sawah di Jawa Tengah juga cukup besar, yaitu

    47.823 hektar atau 20,3 persen dari total MT. Di Jawa Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1 persen dari total

    sasaran MT II atau seluas 14.706 hektar. Sementara di Banten kekeringan di Kabupaten Pandeglang

    mencapai 5.000 hektar, sedangkan di DI Yogyakarta tidak ada yang mengalami kekeringan.

    Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak rencananya hendak

    dikendalikan dengan prasarana irigasi. Namun, apa daya, kondisi prasarana irigasi yang dibangun

    pemerintah serta waduk dan saluran irigasi pun banyak yang rusak parah. Dari total jaringan irigasi di

    Pulau Jawa seluas 3,28 juta hektar, 379,761 ribu hektar rusak.

    Menurut Roestam, kerusakan sebesar lebih dari 10 persen ini amat mengganggu. Padahal, upaya

    untuk menyeimbangkan debit maksimum dan minimum yang perbedaannya semakin tajam kalau

    tidak mampu diserap DAS bisa efektif dengan pembangunan waduk. Hujan yang jatuh di hulu karena

    kondisi DAS rusak semua mengalir ke bawah, ditampung waduk. Kemudian pada waktu musim

    kemarau, ada cadangan air untuk mengairi, air baku, dan kebutuhan lainnya.

    JUMLAH potensi air yang dikendalikan baru 10 persen dari total air yang jatuh. Walau di Jawa paling

    banyak waduk, namun kondisi muka airnya tidak sesuai rencana.

    Di Jawa Barat dan Banten, pada DAS Citarum, yaitu Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata, volume

    ketiganya tinggal 57,6 persen dari volume rencana pada tanggal 15 Juli. Di waduk Djuanda, tinggi air

    tinggal 86,89 m, padahal tinggi muka air terendah untuk operasi PLTA adalah 75 meter. Dengan

    demikian, kalau tiap hari muka air waduk Djuanda turun 20 sentimeter, pada pertengahan September

    PLTA di waduk tersebut akan terhenti.

    Di Jawa Tengah, Waduk Kedungombo kering dengan tinggi air 0,33 m di bawah tinggi air siaga

    kering (77.86 m). Waduk Wonogiri untuk MT II diperkirakan masih cukup, sementara untuk MT III

    hanya bisa mengairi 35 persen luas lahan yang ada hingga habis pada 15 Okt 2003. Waduk Cacaban

    sedang dilakukan pengeringan. Di Jawa Timur, waduk di DAS Brantas, yaitu Sutami, Selorejo, dan

    Wonorejo masih dalam kondisi normal. Kadang-kadang air cukup. Namun, sistem irigasi yang tidak

    baik seperti misalnya saluran irigasi penuh lumpur. Jadi, datang dari hulu cukup, namun di hilir

    menjadi sangat berkurang karena tertahan oleh lumpur. Dengan demikian, petani merasa air yang

    diperolehnya tidak cukup atau tidak ada sama sekali.

    Masalahnya, hal ini sangat tergantung kemampuan memelihara prasarana pengairan yang dalam hal

    ini berarti juga biaya pemeliharaan. Sekitar 40-50 persen ditanggung oleh pemerintah. Untuk daerah

    diberikan di antaranya dana alokasi khusus (DAK) untuk spesifik pemeliharaan prasarana irigasi.

    Evaluasi atas pemeliharaan saluran irigasi bisa menjadi rapor bagi daerah.

    Selain biaya investasi, operasional, dibutuhkan biaya konservasi sumber air, sesuatu yang menjadi

    sasaran pemerintah dalam RUU Sumber Daya Air. Masyarakat memandang ini sebagai privatisasi

    air, nanti semua untuk dapat air harus bayar. Sementara pemerintah, menurut Roestam,

  • beranggapan, masyarakat akan mendapat air sesuai dengan kemampuannya. Semakin tinggi

    seseorang berani membayar, semakin tinggi kualitas air yang diperolehnya.

    Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu, pemerintah berjanji akan menyediakan berbagai

    fasilitas seperti tangki- tangki air di mana hal ini berupa subsidi. "Itu yang sekarang sedang dibahas di

    RUU Sumber Daya Air," kata Roestam. Pemerintah selalu menyatakan tidak memiliki uang, bahkan

    untuk pemeliharaan prasarana dan konservasi. Janjinya dana dari pembayaran air bersih orang-

    orang yang mampu akan digunakan untuk prasarana dan konservasi.

    Menurut Roestam, rehabilitasi DAS kritis, per hektar dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta. Luas lahan kritis

    di Indonesia mencapai 3 juta hektar, sebagian besar ada di Jawa, yang menurut catatan Kompas

    berjumlah 2,481 juta hektar. Dihitung-hitung dibutuhkan Rp 12,405 triliun untuk rehabilitasi DAS.

    (EDN/TRI)

    2.1.2 Bencana Itu Makin Lama Tambah Parah

    TANDA bahaya itu sebenarnya sudah dibunyikan sejak awal tahun ini. Tanggal 22 Januari 2003,

    Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Sathori Djuhaeri memperkirakan, akibat keterlambatan

    awal musim tanam 2002/2003, masa panen juga akan mundur hingga bulan Mei atau Juni.

    Dikhawatirkan, sawah-sawah pada saat itu sudah tidak dapat ditanami padi lagi pada musim tanam

    gadu karena sudah memasuki musim kemarau.

    MENURUT prediksi Dinas Pertanian, apabila hujan hanya turun sampai bulan Juni dan sistem irigasi

    tidak bisa difungsikan optimal karena kerusakan sebagian besar saluran irigasi tersier di Kabupaten

    Cirebon, sekitar 20.000 hektar sawah dipastikan tidak akan dapat ditanami padi pada musim gadu ini.

    Dengan produktivitas pertanian saat ini sekitar 3,7 ton beras per hektar lahan dengan harga beras

    berkisar Rp 2.500/kg, itu berarti Kabupaten Cirebon pada tahun ini akan kehilangan potensi produksi

    74.000 ton beras senilai Rp 185 miliar.

    Ternyata yang terjadi adalah musim kering datang lebih cepat dari perkiraan itu. Sekitar pertengahan

    Mei lalu, hujan mulai enggan turun di daerah pantai utara (pantura), yaitu Kabupaten Cirebon dan

    Indramayu, yang menjadi kawasan lumbung padi Jawa Barat.

    Berbagai peringatan dini sudah diberikan sejak awal oleh Dinas Pertanian setempat melalui

    media massa. Pertama adalah peringatan kepada para petani berupa imbauan untuk mempercepat

    awal tanam atau tidak menanam padi pada musim gadu tahun ini.

    Peringatan kedua ditujukan kepada pihak pemerintah, mulai dari pemerintah kabupaten, pemerintah

    provinsi, hingga pemerintah pusat, dalam bentuk permintaan bantuan pompa air dan bibit kacang

    hijau sebagai tanaman pengganti. Semuanya dimaksudkan untuk menghindari terulangnya bencana

    kekeringan yang melanda daerah ini tahun lalu.

    Namun, entah mengapa dan bagaimana, berbagai peringatan dini itu seolah-olah dibiarkan berlalu

    begitu saja. Para petani tetap menanam padi dengan pola seperti biasa, sedangkan bantuan pompa

    maupun bibit tanaman pengganti dari pemerintah tidak segera turun, mungkin dengan anggapan

    bahwa titik bencana itu masih jauh di mata sehingga tidak perlu buru-buru menurunkan bantuan.

    Sampai akhirnya, tanda-tanda kekeringan itu mulai tampak nyata ketika memasuki Juni lalu. Tanggal

    4 Juni, tanah sawah di Desa Wanakaya, Kecamatan Cirebon Utara, sudah terlihat retak-retak karena

    tidak terairi sama sekali selama lebih dari seminggu. Tanaman padi yang baru berusia 1-7 minggu

    dalam keadaan terancam.

    Data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cirebon menunjukkan, hingga tanggal 5 Juni

    lahan seluas 13.505 hektar dari total luas tanam 25.242 hektar yang tersebar di 28 dari 31 kecamatan

    di seluruh kabupaten telah terkena kekeringan. Bahkan, 223 hektar di antaranya sudah dinyatakan

    puso.

    Sementara Kepala Subdinas Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu H Muhaimin

    menyebutkan, dari luas tanam total hingga minggu pertama bulan Juni sebesar 59.585 hektar, 32.375

    hektar di antaranya sudah dilanda kekeringan. Perinciannya, 22.345 hektar dalam status terancam

  • kekeringan yang tersebar di 18 dari 24 kecamatan, dan 10.030 hektar sudah dalam tahap terkena

    kekeringan yang tersebar di 14 kecamatan.

    BENCANA mulai terjadi. Kekeringan terus meluas di daerah-daerah sentra produksi

    padi. Para petani, meski agak terlambat, mulai menanam tanaman pengganti padi, seperti kacang

    hijau, kacang panjang, semangka, dan mentimun suri. Sementara para petani yang sudah telanjur

    menanam padi mendesak agar bantuan pompa air segera diberikan, mumpung masih ada air di

    saluran-saluran irigasi.

    Akan tetapi, seperti hal-hal lain yang ditangani pemerintah, segalanya terasa lamban dan penuh

    hambatan birokrasi, termasuk janji-janji pemberian bantuan. Menurut Sathori, Pemkab Cirebon

    sebenarnya sudah menyiapkan dana bantuan sebesar Rp 400 juta untuk pengadaan pompa air dan

    Rp 100 juta untuk benih kacang hijau.

    Namun, dikhawatirkan, bantuan tersebut tidak akan sampai tepat pada waktunya karena proses

    birokrasi yang terlalu lama. "Saat ini, bantuan pompa itu sedang diusulkan masuk dalam rapat

    perubahan anggaran APBD dengan DPRD. Paling cepat baru satu bulan lagi dana bantuannya akan

    cair untuk membeli pompa. Dan saat itu semua dikhawatirkan sudah terlambat," kata Sathori awal

    Juni lalu.

    Di Indramayu, dalam kondisi kekeringan yang terus meluas, Bupati Irianto MS Syafiuddin justru

    mengatakan, kekeringan adalah hal yang wajar terjadi di negara yang memiliki dua musim

    seperti Indonesia. Bahkan, ia menganggap bantuan pompa air percuma diberikan karena sumber-

    sumber airnya sudah kering.

    Demikian juga bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dan pemerintah pusat yang tidak

    kunjung tiba. Pada akhirnya, perubahan alam yang begitu cepat dan ganas tidak dapat ditanggulangi

    oleh manusia yang serba tidak serius dan cenderung meremehkan kekuatan alam. Dan pada

    kenyataannya, berbagai bantuan itu memang akhirnya turun sangat lambat, yaitu sekitar akhir Juli

    dan awal Agustus, saat semuanya sudah terlambat.

    Dalam waktu satu setengah bulan, musim kemarau yang semula dianggap sebagai fenomena alam

    yang wajar dan tidak membahayakan telah berubah menjadi bencana yang nyata. Kekeringan tidak

    saja terjadi dan mengancam sektor pertanian, tetapi juga telah meluas dan mulai mengancam

    bidang- bidang lainnya setelah sumber- sumber air bersih untuk keperluan minum, memasak, serta

    mandi, cuci, dan kakus (MCK) ikut mengering.

    Data terakhir pada minggu pertama Agustus lalu menyebutkan, kekeringan sudah melanda 20.371

    hektar sawah di Kabupaten Cirebon atau mencapai 63 persen dari total luas tanam pada musim

    tanam (MT) gadu tahun ini sebesar 32.006 hektar. Perinciannya, 5.407 hektar dinyatakan puso, 4.098

    hektar terkena kekeringan berat, 2.687 hektar terkena kekeringan sedang, 4.955 hektar terkena

    kekeringan ringan, dan 3.224 hektar dalam tahap terancam kekeringan.

    Kondisi serupa terjadi juga di Kabupaten Indramayu. Dari jumlah realisasi tanam sebesar 68.884

    hektar, 34.493 hektar di antaranya, atau lebih dari 50 persen, terkena kekeringan dengan perincian

    19.781 hektar puso, 5.906 hektar terkena kekeringan berat, 5.171 kekeringan sedang, dan 3.635

    hektar kekeringan ringan, serta 4.418 hektar tanaman dalam terancam kekeringan.

    Dengan produktivitas rata- rata sawah di Pantura Jabar mencapai 5 ton gabah kering giling (GKG)

    per hektar dan dengan asumsi seluruh daerah kekeringan tidak akan dapat terselamatkan, berarti

    tahun ini Jabar terancam kehilangan produksi padi hampir mencapai 300.000 ton.

    KEKERINGAN yang terjadi di Cirebon dan Indramayu tahun ini jauh lebih parah dibandingkan tahun

    lalu dan masih lebih parah dibandingkan pada saat terjadinya El-Nino pada 1997. Tahun lalu, yang

    dikatakan sebagai kekeringan terparah di Indramayu sejak 1994, hanya sekitar 26.000 hektar sawah

    di Indramayu yang terkena kekeringan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.026 hektar terkena puso

    atau gagal panen total dan sisanya bervariasi mulai dari kekeringan ringan, sedang, dan berat.

  • Ada beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab parahnya dampak kekeringan tahun ini.

    Di samping kondisi alam di musim kemarau yang datang terlalu awal dan sangat kering, faktor-faktor

    lain seperti kondisi saluran irigasi, pola tanam dan pola pikir para petani, dan kerusakan lingkungan di

    wilayah hulu sungai-sungai besar.

    Kepala Seksi Irigasi dan Klimatologi Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Asyikin Kusnandi

    mengatakan, sekitar 70 persen dari jumlah saluran irigasi tersier yang ada di wilayah Kabupaten

    Cirebon sudah tidak dapat berfungsi dengan baik selama 10 tahun terakhir ini karena kurangnya

    perawatan.

    Menurut dia, saluran-saluran tersier dibangun oleh pemerintah pusat pada tahun 1975. Dan sejak

    saat itu, tidak pernah mendapat perawatan yang layak karena para petani menyangka perawatan

    saluran irigasi merupakan tanggung jawab pemerintah. Padahal, para petani seharusnya

    bertanggung jawab terhadap perawatan saluran irigasi tersier secara swadaya.

    Pola pikir dan pola tanam petani yang tidak memperhitungkan kondisi alam juga menyebabkan

    datangnya musim kering selalu diikuti dengan gagal panen dalam skala besar. Seperti yang terlihat di

    Desa Soge dan Kertawinangun, Kecamatan Kandanghaur, Selasa (12/8).Para petani nekat menanam

    untuk musim tanam ketiga tahun ini meskipun sebagian tanah di sawah mereka sudah kering dan

    retak-retak, dan hanya mendapatkan sisa-sisa air.

    Kepala Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Ir Ucu

    Sumiarsa menilai, salah satu penyebab cepatnya penyusutan sumber-sumber air utama di kawasan

    pantura adalah kerusakan lingkungan, terutama kawasan hutan, di daerah hulu sungai.

    Dua sungai utama di pantura, yaitu Sungai Cimanuk dan Cisanggarung sama-sama memiliki mata air

    di kawasan pegunungan Kabupaten Garut. Dengan hilangnya hutan di kawasan hulu, air hujan

    menjadi tidak tertahan di bawah tanah. Dengan demikian, pada musim hujan sangat rawan banjir dan

    pada musim kemarau tidak ada cadangan air tanah.

    Di samping semua permasalahan yang harus dicari solusinya itu, hampir semua pihak menandaskan

    bahwa solusi jangka panjang untuk menghindari bencana kekeringan selalu terulang di wilayah

    lumbung padi di Pantura Jabar adalah pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.

    Tak kurang dari Gubernur Jabar Danny Setiawan berulang kali mengingatkan, pembangunan Waduk

    Jatigede mendesak dilakukan karena kondisi pengairan di wilayah pantura sudah sangat

    mengkhawatirkan. Proyek Waduk Jatigede sebenarnya sudah digagas sejak 1969. Akan tetapi,

    hingga sekarang pembangunan fisik waduk itu belum terlihat di lapangan. (DAHONO FITRIANTO)

    2.1.3 Krisis Air di Pulau Jawa

    DALAM "Diskusi Teknik Kehutanan" akhir tahun lalu di Jakarta, Badan Planologi Departemen

    Kehutanan mengeluarkan data luas hutan Pulau Jawa yang cukup mengerikan. Luas kawasan yang

    masih berhutan atau lahan yang masih ditutup pepohonan di Jawa tahun 1999/2000 hanya empat

    persen. Kawasan itu sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai

    (DAS). Data ini memang bersifat indikatif, tetapi diambil dari interpretasi citra satelit.

    APABILA melihat distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun di Jawa, di mana 80 persen

    hujan jatuh di musim penghujan dan sisanya 20 di musim kemarau-dengan kondisi DAS yang sudah

    tidak mampu lagi menahan dan menyimpan air-dipastikan potensi yang 80 persen itu akan terbuang

    percuma ke laut tanpa sempat dimanfaatkan. Malah hujan tersebut kerap kali menyebabkan

    terjadinya banjir yang dirasakan semakin intensif dan signifikan, sementara kebutuhan air di musim

    kemarau tidak lagi dapat dipenuhi.

    Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor. Karena itu, luas hutan ideal

    untuk mendukung keseimbangan ekosistem-seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU)

    Nomor 41 tentang Kehutanan-minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu

    dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan. Malah Pemerintah

  • Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menargetkan luas kawasan hutan di wilayahnya minimal harus 45

    persen dari luas wilayah.

    Ini mengingat topografi wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung-gunung harus

    dipertahankan hutannya untuk menopang ketersediaan air, baik bagi pertanian, air minum

    masyarakat, maupun pembangkit tenaga listrik di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Pembangkit

    listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan turbin air di ketiga waduk itu merupakan pemasok listrik

    pada interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga waduk ini menampung air dari Sungai Citarum yang kawasan

    DAS-nya sudah rusak parah.

    Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan

    Jawa yang seluas 3.289.131 hektar saat ini keadaannya benar-benar menyedihkan. Sebagai

    gambaran umum, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi

    tercatat 1,714 juta hektar atau mencapai 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Itu terdiri atas

    hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta hutan produksi tak berpohonan

    seluas 1.147.116 hektar.

    Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai

    9,016 juta hektar sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau

    84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa.

    Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia disesaki oleh 65

    persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5

    persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan (conflict of

    interest). "Melihat kondisi Jawa seperti ini, dipandang dari segi pengembangan sumber daya air,

    sudah termasuk kategori kritis," ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA)

    Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief.

    Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat

    dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung

    menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air

    akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang ada

    sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi

    memenuhi kebutuhan tersebut.

    Dengan cepatnya perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan pantai utara Jawa,

    kebutuhan air meningkat tajam. Namun, perkembangan itu tidak sebanding lagi dengan peningkatan

    upaya penyediaannya atau bahkan melebihi potensi sumber daya air yang ada. Ini menyebabkan

    terjadinya defisit air. Terbatasnya tempat- tempat penampungan air serta semakin parahnya kondisi

    lingkungan dan DAS, menyebabkan terakumulasinya kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

    Melihat fakta ini, dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan

    semakin jauh dari jangkauan. Karena itu, perlu dipikirkan dan dicermati bersama upaya-upaya

    pengembangan sumber daya air yang lebih efektif dan mampu menjawab tantangan di atas. Ini

    mengingat tekanan akibat pertumbuhan penduduk menyebabkan kecenderungan terjadinya

    perubahan kondisi daerah hulu sungai serta kerusakan hutan penutup catchment area, yang

    sebetulnya perlu dijaga guna menjamin tersedianya dan terjamin meratanya keberadaan air

    sepanjang tahun.

    DIRJEN SDA menjelaskan, upaya pengembangan wilayah sungai dalam rangka mengembangkan

    dan mendayagunakan sumber daya air sekaligus pengelolaan dan konservasi sumber daya air telah

    dikembangkan di berbagai wilayah sungai di Jawa. Baik yang bersifat single basin maupun multiriver

    basin, yang semuanya diarahkan agar dapat mengatasi permasalahan air yang ada. Contohnya

    pengembangan wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Cimanuk-Cisanggarung, Citanduy-

    Ciwulan, Serayu-Bogowonto, Jratunseluna, dan pengembangan wilayah Sungai Brantas.

  • Masalahnya, hanya sebagian atau kurang dari 15 persen prasarana pengairan yang mampu

    menjamin tersedianya air hampir sepanjang tahun, melalui waduk dan reservoir yang ada. Selebihnya

    seperti bangunan- bangunan bendung pengambilan air bersifat run off river yang mengandalkan

    sepenuhnya pada fluktuasi air di sungai apabila terjadi kekeringan bangunan ini tidak mampu

    mengatasinya.

    Merunut permasalahan yang dihadapi di Pulau Jawa serta melihat tingkat kekritisan potensi sumber

    daya air dan penggunaannya, konsep bagaimana menampung air pada saat kelebihan di musim

    hujan serta mengatur dan memanfaatkan air saat kemarau menjadi sangat relevan.

    Roestam Sjarief berpendapat, melihat potensi sumber daya air di wilayah barat Pulau Jawa yang

    relatif lebih basah dan lebih besar dibanding wilayah tengah dan timur Jawa, adanya gagasan

    membawa dan mentransfer air dari barat ke timur bukanlah merupakan hal yang tidak mungkin.

    Dalam kaitan ini ada baiknya melihat kembali gagasan seorang ahli pengairan, Prof DR Ir Van

    Blommestein, yang mencoba mengembangkan konsep penataan sumber daya air bagi kesejahteraan

    umat manusia.

    Ketika menyampaikan gagasannya pada pertemuan tahunan persatuan insinyur-Koninklijk Instituut

    van Ingenieurs-di Bataviatanggal 18 Desember 1948, Van Blommestein menjelaskan konsep

    penataan air dengan pemikiran sederhana. Di musim hujan kelebihan air ditampung dan disimpan

    untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Pengendalian air semacam ini tidak hanya dapat

    mengamankan produksi pangan sepanjang tahun, tetapi akan dapat pula menghindari kerusakan dan

    kerugian karena banjir, khususnya di wilayah pantai utara Pulau Jawa.

    Selain itu, melalui pengembangan konsep ini akan dapat pula diperoleh sumber pembangkit tenaga

    listrik serta dapat pula diwujudkan sarana transportasi melalui alur air yang murah bagi produk-produk

    pertanian. Pada waktu itu, gagasannya masih terfokus pada penanganan Pulau Jawa bagian barat.

    Gagasan awal Van Blommestein adalah untuk pengendalian air perlu dibangun waduk-waduk besar

    sebagai tempat menyimpan dan mengatur ketersediaan air. Inti dari rencana van Blommestein untuk

    Pulau Jawa bagian barat adalah pembuatan dua waduk besar di kali Citarum dengan kapasitas total

    lebih dari 4 miliar meter kubik. Waduk ini akan mampu menjamin kelangsungan pengelolaan daerah

    pengairan di bagian utara Pulau Jawa bagian barat, sambung-menyambung dari wilayah Serang

    hingga Pemalang seluas 517.240 hektar. Selain itu, waduk tersebut menyediakan pasokan air ke

    Kota Batavia bagi penggelontoran saluran di kota sepanjang tahun serta menyediakan tambahan air

    minum dan penyediaan tenaga listrik guna mendukung pengembangan kawasan industri di Batavia,

    Cirebon, dan Tegal.

    Selanjutnya, dengan membuat saluran-saluran utama dari sistem pengairan ini cukup besar yang

    mampu dimanfaatkan untuk pelayaran perahu, akan diperoleh sarana transportasi air sepanjang 385

    kilometer di wilayah barat. Sementara itu, dengan memanfaatkan keberadaan saluran panjang

    tersebut (parit raya), pengembangan wilayah dari Serang hingga Pemalang airnya akan dipasok dari

    15 sungai, mulai dari kali Sungai Ciujung di ujung barat hingga Kali Rambut dekat Kota Pemalang di

    ujung timur beserta waduk di kali Citarum, waduk Darma di kali Cisanggarung, dan waduk Malahayu

    di kali Kabuyutan.

    "Wilayah pengairan itu akan dibagi dalam tujuh rayon. Tiap rayon didukung oleh sekelompok sungai-

    sungai, dengan sistem tata air "terusan panjang" yang akan diatur dengan pembuatan pintu-pintu

    pengatur tinggi muka air yang dapat pula melewatkan perahu," papar Roestam Sjarief.

    Gagasan Van Blommestein sebagian telah terwujud dengan dibangunnya Waduk Jatiluhur, Saguling,

    dan Cirata di Sungai Citarum, Waduk Cacaban di Tegal, serta saluran sepanjang pantura Jawa Barat

    yang melintang melewati berbagai sungai. Sebenarnya pengembangan saluran panjang ini telah pula

    dilakukan pada zaman Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1800-an, dengan pembangunan saluran

    pelayaran-Prauwvaar Kanaal-yang menghubungkan Semarang, Demak, terus ke Kudus untuk

  • kepentingan pelayaran dan saluran pembawa air irigasi yang digabungkan dengan saluran induk

    irigasi Sedadi.

    TAHUN 1964 Blommestein mengembangkan gagasannya yang tertuang di dalam rencana

    pengembangan bagi Pulau Jawa bagian barat menjadi "Pengembangan Sumber Daya Air di Pulau

    Jawa dan Madura". Di dalam rencana ini, sumber daya air dikembangkan dengan menggabungkan

    sungai-sungai besar di Pulau Jawa dalam satu kesatuan sistem pengembangan agar senantiasa

    tersedia air bagi berbagai keperluan, seperti air baku untuk air minum dan untuk industri, pengairan

    irigasi dan perikanan darat, transportasi air, serta untuk pengembangan pariwisata.

    Dasarnya pemikirannya, bagi pengairan dan pengendalian banjir, tidak ada sungai yang secara

    tunggal dapat diandalkan karena sifat ekstremitas curah hujan di Pulau Jawa yang ditunjukkan

    dengan musim hujan yang sangat basah dan sebaliknya musim kemarau yang amat kering.

    Hubungan antarsungai dipandang sangat penting untuk meratakan efek ekstremitas pola hidrologis

    itu.

    Dengan sumber hujan yang berlebih di bagian barat dibanding wilayah lainnya, dapat membantu

    mengatasi masalah air di bagian timur melalui kanal-kanal penghubung (dapat pula disebut sebagai

    Parit Raya). Di bagian barat dengan potensi sumber air yang besar dan topografi yang mendukung,

    dimungkinkan dibangun waduk-waduk besar.

    Adapun inti gagasan pengembangan sumber daya air di Pulau Jawa dan Madura di atas adalah

    dibangunnya suatu kanal panjang (parit raya) dari Waduk Jatiluhur ke timur dengan alternatif.

    Pertama, kanal dari Waduk Jatiluhur sampai dekat kota Tuban di Jawa Timur diharapkan air dapat

    mengalir secara gravitasi.

    Kedua, kanal dibuat dari Waduk Jatiluhur sampai Sungai Garang di Semarang bagian barat. Pada

    poin lokasi ini ketinggian air yang tinggal lebih kurang 15 meter di atas permukaan laut (dpl) dipompa

    sampai ketinggian lebih dari 75 meter dpl, dan melalui saluran buatan dialirkan ke sungai Serang,

    Sungai Uter, dan Sungai Kedungdowo, kemudian dialirkan ke Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya di

    selatan Kota Tuban dibuat terusan lagi ke selatan Kota Surabaya dan dialirkan ke Pulau Madura

    melalui polder di Selat Madura.

    Menurut Dirjen SDA, gagasan Blommestein pada dasarnya menampilkan peranan suatu terusan

    transversal dan menggabungkannya dengan pengembangan waduk-waduk penampung air, sebagai

    syarat utama memeratakan potensi sumber daya air. Ini sekaligus berperan bagi pengendalian banjir

    dengan membuka peluang meringankan beban banjir pada suatu sungai dan mengalihkan sebagian

    arus banjir ke sungai lain. Namun, dengan perkembangan kondisi yang terjadi di Pulau Jawa,

    gagasan cerdas ini belum dapat terwujud.

    Seandainya telah ada transversal atau parit raya Serang- Semarang, upaya pengendalian banjir di

    seluruh pantai utara Pulau Jawa bagian barat dan tengah dapat dilaksanakan secara terpadu. Ini

    termasuk dukungan terhadap keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan lahan-lahan pertanian

    produktif di sepanjang pantura.

    Gagasan Blommestein sebagai salah satu pemikiran cemerlang pengelolaan sumber daya air secara

    komprehensif dan terpadu dapat memberikan motivasi bagi kita dalam menerapkan kebijakan

    pengembangan dan pengelolaan sumber daya air ke depan. Khususnya dalam mengatasi krisis air

    yang semakin berat dan komplek. (edn/dmu)

    2.1.4 Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia

    INDONESIA membutuhkan reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air

    (SDA). Ada sejumlah alasan mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan. Pertama, sektor air

    di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan berbagai tuntutan sebagai konsekuensi

    akibat meningkatnya populasi.

  • KEBUTUHAN air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal

    dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan

    sarana air yang bersih dan memadai.

    Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan

    munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan

    institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan

    terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun

    1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak

    lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan

    masalahnya sudah multidimensional.

    Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan

    Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali

    dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan,

    yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup.

    Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah

    melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai

    irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional.

    Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan

    apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi

    sektor ini?

    Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas

    sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas

    ekonomi.

    Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan

    dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara

    kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu.

    Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air.

    Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan

    pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan

    kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih.

    Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung.

    Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi

    bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian,

    segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan.

    Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic

    right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses kepada air dan sanitasi dengan harga

    yang terjangkau (FAO, 1995).

    Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada

    November tahun lalu mendeklarasikan bahwa air adalah sebuah hak yang hakiki (fundamental right).

    Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang sosial dan kultural,

    dan bukan komoditas ekonomi belaka.

    DALAM konteks Indonesia, arah reformasi SDA dapat dilihat dari paradigma dominan yang

    melandasinya. Dalam RUU SDA, paradigma air sebagai komoditas ekonomi lebih diutamakan.

    Walaupun dinyatakan bahwa penguasaan air ada di tangan negara dan pengelolaan air harus

    mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan, RUU SDA ini membuka kesempatan yang sangat

    besar bagi upaya komersialisasi dan komodifikasi air.

    Indikasinya adalah kesempatan swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air lewat

    pemberian hak guna usaha. Jika sebelumnya sektor swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan

  • pengelolaan air minum, RUU SDA memungkinkan peran swasta pada seluruh bidang perairan, dari

    penyediaan air bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian.

    Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran

    masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan

    perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun

    dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat

    berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak

    konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.

    Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan

    harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan

    biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal.

    Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok

    masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-

    kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.

    Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah

    tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien

    dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai

    hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa

    reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi

    kelompok miskin dengan harga yang terjangkau.

    Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80

    persen populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan

    bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar

    rakyat Indonesia atas air. Namun, kenyataannya, untuk dapat memenuhi kewajiban tersebut,

    diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan

    perawatan sumber daya air.

    Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan

    air bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana

    tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah.

    Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi.

    Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang

    justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air bersih dan sanitasi.

    UNTUK mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan

    pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam

    pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang berlebihan kepada

    publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan (gap) antara

    tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar. Mekanisme ini

    dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat.

    Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang

    berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga,

    mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk

    menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang

    efektif guna menjamin check and balances.

    Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi SDA dapat diarahkan pada upaya-

    upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan

    menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan

    pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama. Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal

    (polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya

  • air yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan

    penggunaan air sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air.

    Sejumlah tujuan yang disebutkan di atas tidak akan dapat tercapai tanpa, pertama-tama, memiliki

    struktur manajemen air yang baik yang memiliki sumber daya modal dan manusia untuk menjalankan

    sistem yang efisien, efektif, dan responsif. Pemerintah mau tidak mau harus melakukan investasi

    sumber daya manusia dan finansial dalam sistem pengelolaan air yang dimiliki.

    Efisiensi dalam sistem pengelolaan sumber daya air tidak melulu harus dipaksakan pada bentuk

    pengelolaan oleh swasta, sebagaimana yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan

    multilateral, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ada banyak contoh di

    mana pengelolaan sumber daya air berbasis kepemilikan dan manajemen publik berhasil baik.

    Sejumlah penelitian menyatakan bahwa utilitas air milik publik dapat bekerja dengan baik apabila

    utilitas itu dikelola dengan melibatkan peran yang aktif dan konstruktif dari serikat pekerja, transparan,

    dan bertanggung jawab atas konsumen atau pengguna air serta manajemen yang otonom dan bebas

    dari interferensi politik.

    Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat

    menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.

    Masalah Air dan Energi

    DPRD Desak Pemkab Perbaiki Saluran Irigasi Debit air Sungai

    Cimanuk di wilayah Kab. Garut semakin menyusut. Berdasarkan

    penelusuran "PR" Selasa (1/8), sungai besar di Garut itu masih

    tampak berair, hanya saja, akibat kemarau yang berkepanjangan,

    semakin hari airnya tampak semakin berkurang. Di sejumlah tempat

    yang terlihat di sungai tersebut bahkan hanya bebatuan baik yang

    berukuran kecil maupun besar. Akibat menyusutnya air sungai Cimanuk tersebut, pesawahan

    yang biasanya menerima aliran air, kini kekeringan dan tidak lagi digarap petani.

    Sementara itu, DPRD Garut mengharapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut

    memprioritaskan perbaikan saluran irigasi karena kondisi saluran irigasi di Kab. Garut hanya

    50% saja dalam kondisi baik. Prioritas terhadap hal itu diperlukan agar ketika terjadi kemarau

    panjang, masyarakat Garut tidak kesulitan memperoleh air.

    "Saya merasa kekeringan yang dialami Garut belakangan ini karena saluran irigasi di Garut

    banyak yang rusak selain belum bisa menyentuh seluruh wilayah pertanian. Karena itulah,

    kami mengharapkan Pemkab memprioritaskan hal itu," kata anggota Fraksi Partai Persatuan

    Pembangunan Garut, Lucky Trenggana, Selasa (1/8).

    Ia mengatakan, setelah pihaknya melakukan evaluasi terhadap Laporan Keterangan

    Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tahun 2005 diketahui bahwa 50% saluran irigasi di

    Garut dalam keadaan rusak, selebihnya rusak berat. Selain itu diketahui pula bahwa pemkab

    sudah melakukan perbaikan pada sektor tersebut.

    Sayangnya, katanya, pemkab belum memberikan prioritas penuh terhadap perbaikan irigasi.

    Padahal, tingkat kebutuhan air irigasi bagi masyarakat Garut sangat tinggi, karena 80% warga

    Garut pada umumnya sebagai masyarakat petani sehingga air dianggap sebagai kebutuhan

    primer.

    "Jika tidak ada prioritas, saya khawatir masyarakat petani Garut akan selalu merasakan

    dampak yang tidak menguntungkan jika kemarau berkepanjangan seperti sekarang," katanya.

    Selain itu, Lucky juga meminta pemkab menyampaikan data soal areal pesawahan yang

  • sampai sekarang belum tersentuh irigasi. Data itu dibutuhkan, agar bisa segera menghitung

    berapa irigasi yang dibutuhkan atau perlu segera dibangun di Garut.

    BAB III

    Penutup

    Kesimpulan

    Dari teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70 %

    seperti pada metoda konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai

    dengan kondisi di lapangan dan air yang dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi

    infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil perhitungannya Reff ini dapat

    diklasifikasikan sesuai dengan curah hujannya.

    Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan

    air dengan metode keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal

    bila dibandingkan dengan metode konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan

    pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya yang mempunyai perbedaan

    tinggi curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim kemarau.

    Kebutuhan air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode

    keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam yang

    dihasilkan dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda konvensional

    yaitu diperoleh intensitas tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu 278,17 %,

    angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan intensitas tanamnya dengan metoda

    konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215 %. Karena perbedaan luasnya yang cukup

    tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal iragasi tadah hujan

    menjadi areal irigasi teknis.

    SARAN

    Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai pesmilihan besar intensitas tanam

    agar kajian dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas

    tanam yang lebih besar, ditinjau dari segi ekonomi.

    DAFTAR PUSTAKA

    Sumber pengambilan dokumen :

    Tesis Magister Program Studi Teknik Sipil

    Bidang Khusus Pengembangan Sumber Daya Air

    20062889

    Abstrak :

    .(Sumber: ://www.limnologi.lipi.go.id)

  • PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang

    cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak

    zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang

    membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada

    realitas sistem irigasi yang telah ada.

    Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi merupakan suatu

    realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak

    dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja.

    Begitu pula sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau

    pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air

    atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup

    masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk kehidupan

    mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari

    berbagai faktor, yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi

    pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat

    dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola,

    dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada. Dengan pemahaman tersebut maka akan

    dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan

    efektivitas pembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada berbagai faktor

    di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role sharing ) dalam pembangunan

    dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman

    bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya

    peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.

    Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal 13 sampai dengan

    pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah,

    dan pemerintah desa.

    Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi irigasi, secara khusus

    pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang di penjelasan diuraikan bahwa daerah

    irigasi dengan luas kurang dari 1000 hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota

    menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan

    luas areal 1000 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000 hektar

    dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah

    provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000 hektar, atau daerah irigasi yang

    lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis nasional serta lintas negara menjadi kewenangan

    dan tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006

    tentang Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwapengembangan dan

  • pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan

    lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Beberapa regulasi yang disebutkan

    di atas merupakan acuan dasar, sehingga pemerintah mengembangkan program keirigasian

    yang disebut Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif/PPSIP.

    Akan tetapi dari Laporan Kajian Pembangian Urusan dalam PPSIP dari BAPPENAS

    (Anonymous, 2007) dan Lembaran Kesepakatan Rapat Pembagian Peran pelaksanaan

    program PPSIP, tanggal 21 Juni 2006, tampak tersurat bahwa pembagian peran yang diatur

    hanya antar instansi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi.

    Sedangkan peran bagi masyarakat petani sama sekali tidak disebutkan. Ironisnya kebijakan

    keirigasian sesuai PP No. 20/2006 justru disebut sebagai aktivitas Pembangunan dan

    Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.

    B.KONSEP METODE PELAKSANAAN

    Dalam sebuah Negara, urusan pemerintahan terbagi atas dua kelompok besar (1) urusan

    yang tidak mungkin didesentralisasikan, yang mutlak menjadi wewenang Pemerintah (pusat);

    dan (2) urusan yang dapat di-desentralisasikan yang tidak eksklusif menjadi wewenang

    daerah otonom (Hoessein: 2005). Dalam kelompok pertama, Pemerintah dapat melakukan

    sendiri secara sentralisasi murni dan atau dengan pengembangan dekonsentrasi dengan

    menempatkan instansi vertikal-nya di daerah (field administration). Dalam praktek Indonesia,

    urusan dalam kelompok pertama juga dapat dilakukan dengan melakukan tugas pembantuan

    kepada daerah otonom.

    Kelompok urusan kedua adalah urusan yang dapat didesentralisasikan. Dalam urusan seperti

    ini, Pemerintah masih memiliki peran. Oleh karena itu terkandung elemen sentralisasi pula

    sebagaimana diketahui bahwa desentralisasi selalu bertalian dengan sentralisasi dalam

    organisasi (Sherwood: 1969).

    Peran pemerintah yang masih ada tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan

    kelompok urusan pertama. Dengan demikian, terjadi perpaduan sentralisasi dan desentralisasi

    dalam kelompok urusan kedua. Situmorang (2005) menyebut urusan seperti ini sebagai

    urusan yang bersifat konkuren. Urusan irigasi termasuk urusan yang bersifat konkuren.

    Tesis makalah ini adalah pembagian urusan dalam irigasi di Indonesia masih berasaskan pada

    satu konsep desentralisasi yang tidak utuh. Urusan tersebut didistribusikan hanya dengan

    konsep desentralisasi territorial. Sementara dalam kondisi empirik, potensi dan kebutuhan

    akan pengembangan desentralisasi fungsional mendesak sesuai karakter urusan tersebut.

    Makalah ini akan mambahas persoalan tersebut.

  • II. PEMBAHASAN

    A. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PPSIP

    Upaya untuk membangun kesepakatan dalam pembagian peran.urusan antar berbagai

    instansi pemerintah dalam pelaksanaan PPSIP merupakan upaya yang baik sebagai salah satu

    upaya dalam mengembangkan kerja yang koordinatif dalam pengembangan dan pengelolaan

    irigasi. Pendekatan ini dapat dijadikan terobosan dalam mengatasi kelemahan dalam

    koordeinasi di tingkat pemerintah yang selama ini sering menjadi penyebab kegagalan suatu

    program atau proyek pemerintah.

    Akan tetapi upaya ini perlu dijadikan momentum bagi semua pihak yang terkait dalam

    pembahasanrole sharing pelaksanaan PPSIP, bahwa dalam membagi peran dan urusan

    keirigasian tidak hanya menjadi urusan pemerintah dan pemerintah daerah. Akan tetapi

    organisasi petani secara legal dan secara faktual herus diberi peran/urusan sesuai dengan

    tingkat kemampuanya. Oleh karena itu pemerintah perlu menempatkanpemberdayaan

    masyarakat sebagai paradigma pendekatan pembangunan dalam pelaksanaan PPSIP.

    Apalagi program keirigasian ini juga menggunakan temapartisipatitif, sehingga sangat

    wajar jika setiap tahap pelaksanaan kegiatan pemerintah mampu memberi ruang partisipasi

    organisasi petani.

    Salah satu usaha yang terkait dengan pembahasan pembagian urusan ini yaitu menempatkan

    organisasi petani yang mempunyai peran dan urusan yang dalam implementasinya juga

    didukung

    oleh pembiayaan dari pemerintah, dalam mengimplementasikan peran/urusan tersebut.

    Sudah banyak pengalaman dan pelajaran bagaimana jika kegiatan keirigasian tidak

    menempatkan organisasi petani sebagai subyek. Maka kegagalan program dan keberlanjutan

    program menjadi persoalan ketika kegiatan masih berjala, apalagi ketika program sudah

    selesai.

    Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu segera mereposisi organisasi petani dalam

    implementasi PPSIP yaitupertama, pemerintah memasukkan institusi organisasi petani

    (P3A/GP3A/IP3A) sebagai pihak yang memiliki peran/urusan bukan wewenang dalam

    pelaksanaan PPSIP; dan kedua, pemerintah juga mengalokasikan dana atau anggaran bagi

    organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) untuk menjalankan peran atau urusan yang diberikan

    kepada organisasi petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan upaya nyata

    menempatkan organisasi petani sebagai subyek pembangunan pada tingkat tertentu ( LP3ES,

    2001). Bentuk pemberdayaan ini sudah dilakukan di beberapa proyek pemerintah yang ada

    dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM. Pemberdayaan masyarakat

    merupakan ruh atau nyawa dalam pelaksanaan PPSIP. Oleh karenanya sudah seharusnya

    setiap jenis kegiatan yang diimplementasikan selalu berorientasi kepada hasil yang

  • memberdayakan masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP

    hanya untukp emberdayaanbirokrasi pemerintah.

    B.Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan

    Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai negara

    berkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang menyatakan bahwa kelangkaan

    air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun kualitatif disebabkan oleh manajemen

    (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh kedua pakar tersebut sebagai berikut:

    Although the nature and severity of water problems are different from country to country,

    one aspect is common to most countries; water scarcitywhether quantitative, qualitative, or

    bothoriginates more from inefficient use and poor management than any real physical

    limits on supply augmentation.

    Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam Pengembangan dan

    Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang

    diselenggarakan oleh BAPPENAS-RI.

    Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yang tersedia.

    Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan) primer, sekunder,

    tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut merupakan jalinan sistemik yang terpadu

    keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk

    pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J.,

    dan Sjarief, Roestam,: 2005).

    Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat

    dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi

    jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang

    berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah

    ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):

    Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake),

    saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang

    (ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori tertentu dalam sebuah wilayah negara.

    Antara jenjang yang satu dengan yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisah-

    pisahkan. Dibutuhkan satu manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut

    yang terjadi ada di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat

    di-

    attach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati

  • batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam sistem

    pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang bersinggungan.

    C.Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi

    Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahan menggunakan dasar tingkatan daerah

    irigasi sebagai cara untuk mendistribusikan urusan-urusan tersebut dari berbagai jenjang

    (tingkatan) Pemerintahan dari sudut pandang teritorial semata. Oleh karena pemerintahan

    teritorial tersusun atas Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga

    kecataman dan Desa/ kelurahan atau yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang

    dengan bersandar pada karakter jenjang pemerintahan tersebut.

    Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter hidrologis dan

    karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat digambarkan bahwa

    urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah tetap

    menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir dalam pengelolaan irigasi ini. Untuk itu,

    selalu ada urusan dalam bidang irigasi ini yang dikembangkan secara sentralistik.

    Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah dan seterusnya di

    jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi Primer dan Sekunder sebatas

    dalam lingkup teritorinya. Jika terdapat daerah irigasi yang melebihi jangkauan Kabupaten/

    kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai

    kriteria eksternalitas dan akuntabilitas dalam distribusi urusan pemerintahan.

    McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi bukan saja

    kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata), melainkan dapat

    pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagai berikut:

    Two important levels of devolution have evolved in water services management; devolution to

    local governments, and devolution to community based user groups. The later is more

    common and, depending on the country, is often incorporated into the first type.

    Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negara terutama

    negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut ke dalam sistem yang

    pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama

    desentralisasi teritorial, yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut

    menambahkan penjelasannya sebagai berikut:

    The new push toward participatory management process has enabled decentralization to user

    groups. These groups comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically feasible

    options, consider capital and recurrent cost implications, make choices, and then manage

    systems. The approach pays dividends for both government and communities; communities

    get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance

  • (O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural water supply and sanitation.

    Generally they are referred to as water users associations (WUAs) in the former and water and

    sanitation committees (WSCs) in the latte.

    Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jika

    organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsung dari

    Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalam sebuah tabel

    kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam

    6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya

    dikelola oleh asosiasi pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika

    pada model ke-enam yakniWUA/WSC full control dimana aktivitas sepenuhnya dilakukan

    organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategori desentralisasi

    fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika

    pemerintah secara langsung, maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.

    III. PENUTUP

    MEMBANGUN KOMITMEN BERSAMA

    Lokakarya mengkaji ulang pembagian urusan dalam PPSIP yang sekarang sedang dilasanakan

    merupakan momentum bagi semua pihak dari unsur pemerintah untuk membangun

    kesepahaman diantara instansi pemerintah yang terlibat. Oleh karena itu diharapkan para

    pihak seperti Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, dan Departemen Dalam

    Negeri dalam membangun rumusan pemabngian peran/urusan tidak hanya terpaku padatu

    gas pokok dan fungsi masing-masing, akan tetapi mampu membangun pemahaman

    bersama yang berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat petani. Paling tidak ada tiga

    faktor utama dalam membangun efektivitas pembagian peran/urusan dalam PPSIP yaituper

    tama pembagian peran harus mampu meningkatkan koordinasi kerja antar instansi

    pemerintah dan pemerintah daerah yang terlibat baik dalam kegiatan perencanaan, misalnya

    menyusun AWP, atau dalam pelaksanaan kegiatan;kedua, implementasi pembagian peran

    oleh instansi pemerintah manapun harus mampu memberikan akses partisipasi organisasi

    petani P3A/GP3A, IP3A pada setiap tahap pelaksanaan PPSIP; dank e tiga, berhasil

    disepakatinya oleh pemerintah untuk memberikan peran/urusan dan alokasi anggaran bagi

    P3A/GP3A/IP3A dalam pelaksanaan PPSIP. Sudah saatnya semua instansi pemerintah dan

    pemerintah daerah yang terlibat dalam implementasi PPSIP ini membangun komitmen baru

    dalam mengimplementasikan pendekatan partisipasi dan dalam pemberdayaan masyar