Upload
arief-nurul-kurniawan
View
14
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering
dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam pada umumnya
dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan
tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada
jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di
kemudian hari (Haslam Robert H.A,2000 )
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata
laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru
pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa
kali dan waktu anak berumur berapa (Haslam Robert H.A,2000 ). Sifat kejang
perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang.
Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh,
penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu
diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi (Haslam Robert H.A, 2000).
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini
secara spontan sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan
gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik
secara seragam.
1
Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi
terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat
untuk profilaksis rumat (Haslam Robert H.A,2000 ).
Dengan latar belakang tersebut, penulis merasa perlu untuk
mengangkat kejadian kejang demam ini dalam sebuah referat yang berjudul
Kejang Demam .
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Neuron
1. Neuron adalah unit dasar sistem saraf (Gibson, 2003). Sistem saraf
melakukan kontrol terhadap hampir sebagian besar aktivitas otot dan
kelenjar tubuh untuk mempertahankan homeostasis. Neuron dikhususkan
untuk menghasilkan sinyal listrik dan biokimia cepat. Neuron juga
mengolah, memulai, mengkode dan menghantarkan perubahan-perubahan
pada potensial membrannya sebagai suatu cara untuk menyalurkan pesan
dengan cepat melintasi panjangnya (Sherwood, 2001). Terdapat berjuta-
juta neuron dalam sistem saraf. Sel saraf bervariasi dalam bentuk dan
ukuran berdasarkan fungsi yang berbeda-beda (Gibson, 2003).
Sebuah neuron biasanya terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel,
dendrit dan akson. Nukleus dan organel-organel terdapat di badan sel,
tempat berasalnya sejumlah besar neuron yang dikenal sebagai dendrit.
Dendrit adalah serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian luar sel
untuk membawa impuls ke arah badan sel. Pada sebagian besar neuron,
membran plasma badan sel dan dendrit mengandung reseptor-reseptor
protein untuk mengikat zat antara kimiawi dari neuron lain (Sherwood,
2001). Akson atau serat saraf adalah serat yang dilalui impuls
meninggalkan badan sel untuk ditransmisikan ke sel lain. Setiap sel saraf
memiliki satu akson yang mempunyai panjang bervariasi dari beberapa
3
milimeter sampai beberapa centimeter. Satu akson sering bercabang
banyak didekat ujungnya dan setiap ujung batang membentuk pembesaran
seperti kancing yang merupakan bagian pengantar informasi. Setiap serat
dilapisi selubung tipis disebut selubung mielin yang merupakan substansi
lemak. Mielinisasi serat dimulai pada bulan keenam masa janin dan
lengkap setelah lahir (Gibson,2003).
Mielin berfungsi sebagai insulator seperti karet yang membungkus kabel
listrik untuk mencegah arus bocor menembus bagian membran yang
bermielin. Mielin bukan merupakan bagian dari sel saraf tetapi terdiri dari
sel-sel pembentuk mielin yang terpisah yang membungkus diri
mengelilingi akson. Sel-sel pembentuk mielin adalah oligodendrosit
disusunan saraf pusat (otak dan korda spinalis) dan sel schwann di sistem
saraf perifer (saraf yang berjalan diantara susunan saraf pusat dan berbagai
bagian tubuh lainnya). Daerah serat yang tidak dilapisi mielin disebut
sebagai nodus ranvier. Serat-serat bermielin menghantarkan impuls lima
puluh kali lebih cepat daripada serat tidak bermielin untuk ukuran yang
sama (Sherwood, 2001).
Impuls saraf adalah perubahan kimia elektrik kompleks yang berjalan
disepanjang serat saraf. Di dalamnya, ion (partikel bermuatan) bergerak
dari bagian dalam sebuah akson ke arah luar, dan ion lain bergerak dari
luar ke dalam. Sinaps adalah titik komunikasi antara satu neuron dan
neuron lain. Saat impuls tiba di sinaps, transmiter kimia dibebaskan dan
merangsang sel berikutnya. Diketahui terdapat sekitar 30 transmiter,
4
diantaranya asetilkolin, norepinefrin, dan dopamin. Setiap transmiter
bekerja dengan aktivitas sistem saraf yang berbeda (Gibson, 2003).
2. Mekanisme Penghantaran Impuls Saraf
Ada dua cara yang dilakukan neuron sensorik untuk menghantarkan
impuls tersebut, yakni melalui membran sel atau membran plasma dan
sinapsis. Penghantaran Impuls Saraf melalui membran plasma di dalam
neuron, sebenarnya terdapat membran plasma yang sifatnya
semipermeabel. Membran plasma neuron tersebut berfungsi melindungi
cairan sitoplasma yang berada di dalamnya. Hanya ion-ion tertentu akan
dapat bertranspor aktif melewati membran plasma menuju membran
plasma neuron lain. Apabila tidak terdapat rangsangan atau neuron dalam
keadaan istirahat, sitoplasma di dalam membrane plasma bermuatan listrik
negatif, sedangkan cairan di luar membrane bermuatan positif. Keadaan
yang demikian dinamakan polarisasi. Perbedaan muatan ini terjadi karena
adanya mekanisme transpor aktif yakni pompa natrium-kalium.
Konsentrasi ion natrium (Na+) di luar membrane plasma dari suatu akson
neuron lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di dalamnya.
Sebaliknya,konsentrasi ion kalium (K+) di dalamnya lebih besar daripada
di luar. Akibatnya, mekanisme transporaktif terjadi pada membran plasma.
Kemudian, apabila neuron dirangsang dengan kuat, permeabilitas
membran plasma terhadap ion Na+ berubah meningkat. Peningkatan
permeabilitas membran ini menjadikan ion Na+ berdifusi ke dalam
membran, sehingga muatan sitoplasma berubah menjadi positif. Fase
5
seperti ini dinamakan depolarisasi atau potensial aksi . Sementara itu, ion
K+ akan segera berdifusi keluar melewati membrane Fase ini dinamakan
repolarisasi. Perbedaan muatan pada bagian yang mengalami polarisasi
dan depolarisasi akan menimbulkan arus listrik. Kondisi depolarisasi ini
akan berlangsung secara terus-menerus, sehingga menyebabkan arus
listrik. Dengan demikian, impuls saraf akan terhantar sepanjang akson.
Setelah impuls terhantar, bagian yang mengalami depolarisasi akan
mengalami fase istirahat kembali dan tidak ada impuls yang lewat. Waktu
pemulihan ini dinamakan fase refraktori atau undershoot
B. Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 ◦c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (Konsensus Penanganan Kejang Demam,UKK neurologi IDAI,
2005). Kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada masa anak-anak yang
terjadi setelah usia satu bulan, berhubungan dengan demam yang tidak
disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat, tanpa adanya kejang neonatal atau
kejang tanpa sebab sebelumnya (The International League Against Epilepsy
(ILAE),1993). Konsesus The National Institute of Health (NIH)
mendefinisikan kejang demam sebagai sebuah peristiwa pada masa bayi dan
anak-anak yang biasanya terjadi antara usia 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tanpa adanya bukti infeksi intrakranial atau penyebab
kejang lainnya. Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6
6
bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan
kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau
ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan
saraf pusat.
C. Epidemilogi Kejang Demam
2-4% dari populasi anak 6 bulan - 4 tahun
80 – 90% merupakan kejang demam sederhana
20% kasus kejang demam kompleks
8% berlangsung > 15’
16% berulang dalam waktu 24 jam
Lebih sering pada anak laki-laki
Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari
12 bulan, maka risiko kejang demam ke dua 50 %,
7
Bi;a kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan, risiko
kejang demam ke dua turun menjadi 30%.
Setelah kejang demam pertama, 2-4 % anak akan berkembang menjadi epilepsy dan
ini 4 kali risikonya dibandingkan populasi umum.
(Baumer JH,2004)
D. Etiologi Kejang Demam
Terdapat interaksi 3 faktor yang menyebabkan kejang demam :
1. Demam
2. Imaturitas otak
3. Predisposisi genetik
(IDAI, 2010; ILAE, 2005)
E. Faktor Resiko Kejang Demam
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan
terlambat dan kadar natrium rendah.
Faktor resiko kejang demam berulang:
1. Faktor resiko yang tetap:
a. Riwayat kejang demam di keluarga
b. Usia saat kejang demam pertama <18 bulan
8
c. Tingginya suhu tubuh saat kejang
d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang
2. Faktor resiko yang possible
Riwayat keluarga yang mengalami epilepsy
3. Bukan faktor resiko
a. Abnormalitas neurodevelomental
b. Kejang demam kompleks
c. Lebih dari satu jenis bangkitan kejang
d. Jenis kelamin
e. Etnik
4. Rekurensi kejang demam
a. 50% dalam 6 bulan pertama
b. 75% dalam tahun pertama
c. 90% dalam tahun kedua
d. KD pertama <1 tahun : 50%
e. KD pertama >1 tahun : 28%
Lebih banyak faktor resiko yang didapatkan , lebih besar juga
kemungkinan terjadi rekurensi .
Resiko terjadinya epilepsy dikemudian hari sebesar 2-10%, jika:
a. Gangguan perkembangan saraf
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsy dalam keluarga
9
d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang
e. Epilepsy mesial temporal , 40% pernah mengalami kejang demam
kompleks. (Garna Herry, Nataprawira M. Heda, 2012)
F. Klasifikasi Kejang Demam
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum,
tonik dan atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan
fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
(ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
sadar. (Nelson KB, Ellenberg JH, 1978)
10
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial (Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT,
1987)
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari , diantara 2
bangkitan kejang anak sadar (Shinnar S 1999).
G. Patogenesis
1. Demam
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjdinya pelepasan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada
neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimia maupun anatomi.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru
11
– paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang
terdapat pada permukaan sel Keseimbangan potensial membran ini dapat
dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20
%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari
seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi
12
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel – sel yang
belum matang / immature
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel.
c. Metabolisme basal meningkat sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
13
d. Demam meningkatkan Cerbral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion – ion keluar masuk sel.
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga
terjadi epilepsy (Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman,Arvin,2000).
14
Patogenesis Kejang Demam
Inflamasi( Infeksi )
demam
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkatKebutuhan O2 meningkat
Glukosa ke otak menurun
Perubahan konsentrasi dan jenis ion di dalam dan di luar sel
Difusi ion Na+ dan K+
Kejang
Durasi pendek Durasi lama
Sembuh Apnea
O2 menurun
Kebutuhan O2 meningkat
hipoxemia
Aktivitas otot meningkat
Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi
15
Hiperkapnia
Hipotensi
arterial
Metabolisme otak meningkat
2. Imaturitas Otak
Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan
prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan
perkembangan otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi
neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut
sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi
pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi meliputi:
diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi,
dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan
dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram,
proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan
pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor
eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-cabang akson (
dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel
terprogram dan plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak
terpakai. Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut
regeresif. Sel neuron yang tidak terkena proses kematian program bahkan
terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi
sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi
16
bangkitan kejang demam dapat mengakibatkan trauma pada sel neuron
sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase
organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam
akan mengakibatkan aberrant palsticity, yaitu penurunan fungsi GABA-
ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor
esksitator. Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat
sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH)
merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada
otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di
hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih
lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan
usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada
masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut
developtmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator
lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada keseimbangan
antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang
pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase
eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang
demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak
17
mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah
terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun
( Soetomenggolo, 2007 ).
H. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /
saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam
diluar susunan saraf pusat.
b. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga , epilepsy
dalam keluarga
c. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari tanda-tanda meningitis, adanya
defisit neurologis, asimetris, atau stigmata kelainan neurokutaneous dan
ganggauan metabolik. Hasil pengukuran lingkar kepala dapat menjadi
informasi penting.
3. Pemeriksaan Penunjang
18
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab demam,
seperti darah perifer, elektrolit dan gula darah (Konsesus
Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 % .
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis,
oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan : tidak rutin
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006).
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
19
epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. (Kesepakatan Saraf
Anak,2005)
d. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed Tomography
(CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti:
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Parese nervus VI
c. Papiledema
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)
I. Diagnosis Banding
1. Epilepsi yang disertai dengan demam
2. Meningitis
3. Ensephalitis
J. Penatalaksanaan
20
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,
• Mencegah kejang demam berulang
• Mencegah status epilepsi
• Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
• Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
1. Penatalaksanaan saat kejang
a. Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 -
0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam
waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis
diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas
usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
b. Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
21
c. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis
0,3 - 0,5 mg/kg.
d. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg
/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.
e. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
di ruang rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
jenis kejang demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam
sederhana atau kompleks. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam,
2006)
22
23
Penjelasan:
a.Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermiten atau rumatan
diberikan berdasarkan apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan bagaimana faktor risikonya.
b. Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena (20
menit) dicampur dengan cairan NaCl fisiologis, untuk mengurangi efek
samping aritmia dan hipotensi.
2. Mencari dan Mengobati Penyebab Demam
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan
infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut,
bronkhitis, furunkulosis dan lain – lain. Mengobati penyebab yaitu dengan
cara mengatasi infeksi – infeksi tersebut.
3. Pemberian obat pada saat demam
a. Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan
bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam (level I, rekomendasi E). Dosis asetaminofen yang
digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali
sehari.
24
Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, meskipun jarang. Antipiretik pilihan adalah
parasetamol 10 mg/kg yang sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg
dalam menurunkan suhu tubuh. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang
Demam, 2006)
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus),
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada
suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi E).
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan
sedasi yang cukup berat pada 25 – 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam. (Konsesus Penatalaksanaan
Kejang Demam, 2006)
25
4. Pemberian Obat Rumatan
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
a) Kejang lama > 15 menit
b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral,
retardasi mental, hidrosefalus.
c) Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
a) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
b) Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c) Kejang demam > 4 kali per tahun
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
Penjelasan:
* Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat
* Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakan indikasi
* Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam,
2006).
26
b. Jenis obat antikonvulsan
a) Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign
dan efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku,
profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada
kasus yang sangat selektif (rekomendasi D). Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar (40 - 50 %).
b) Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat
menyebabkan hepatitis namun insidensnya kecil. Dosis asam
valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis dan fenobarbital 3 - 4
mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
c. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang
Demam, 2006)
.
27
K. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
efek samping obat (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
2. Tetap tenang dan tidak panik
3. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
4. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu
kedalam mulut
5. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
6. Tetap bersama pasien selama kejang
7. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
8. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)
28
L. Indikasi Rawat
1. KDK
2. Hiperpireksia
3. Usia < 6 bulan
4. Kejang demam pertama
5. Terdapat kelainan neurologis
(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)
M. Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik
dan tidak perlu menyebabkan kematian. Resiko Berulangnya kejang demam
sekitar 1/3 anak dapat menglami kejang demam berulang, 10% dapat terjadi
>3x. (Herry Garna, 2012)
29
BAB III
KESIMPULAN
A. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38 ◦c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
B. Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal.
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab demam
3. Pengobatan profilaksis.
a. Intermittent
b. Rumatan
30
DAFTAR PUSTAKA
Bahtera Tjipta, Susilo Wibowo, AG Soemantri Hardjojuwono, Faktor Genetik
Sebagai Resiko Kejang Demam Berulang, dalam Sari Pediatri, Vol 10, No 6,
April 2009
Behrman, Kliegman, Arvin, Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 3, Edisi ke 15,
Jakarta : EGC, 2000.
Gibson, john, Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta : EGC, 2003.
Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060.
Herry Garna, Heda Melinda Nataprawira, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak, Edisi ke 4, Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD: 2012
Melda Deliana , Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak , dalam Sari Pediatri,
Vol. 4, No. 2, September 2002: 59 – 62
Puspunegoro Herdiono, Widodo Dwi P, Ismail Sofyan, Konsesus penatalakanaan
Kejang Demam, Jakarta: UKK Neurologi IDAI, 2006.
31
Puspunegoro Herdiono, Widodo Dwi P, Ismail Sofyan, dkk, Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak, Edisi 1, Jakarta: IDAI, 2004.
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC, 2001
32