47
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari (Haslam Robert H.A,2000 ) Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa (Haslam Robert H.A,2000 ). Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, 1

119760350-kejang-demam-refrat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 119760350-kejang-demam-refrat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering

dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam pada umumnya

dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan

tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada

jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di

kemudian hari (Haslam Robert H.A,2000 )

Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata

laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru

pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa

kali dan waktu anak berumur berapa (Haslam Robert H.A,2000 ). Sifat kejang

perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.

Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang.

Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh,

penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu

diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi (Haslam Robert H.A, 2000).

Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini

secara spontan sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan

gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik

secara seragam.

1

Page 2: 119760350-kejang-demam-refrat

Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi

terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat

untuk profilaksis rumat (Haslam Robert H.A,2000 ).

Dengan latar belakang tersebut, penulis merasa perlu untuk

mengangkat kejadian kejang demam ini dalam sebuah referat yang berjudul

Kejang Demam .

2

Page 3: 119760350-kejang-demam-refrat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Neuron

1. Neuron adalah unit dasar sistem saraf (Gibson, 2003). Sistem saraf

melakukan kontrol terhadap hampir sebagian besar aktivitas otot dan

kelenjar tubuh untuk mempertahankan homeostasis. Neuron dikhususkan

untuk menghasilkan sinyal listrik dan biokimia cepat. Neuron juga

mengolah, memulai, mengkode dan menghantarkan perubahan-perubahan

pada potensial membrannya sebagai suatu cara untuk menyalurkan pesan

dengan cepat melintasi panjangnya (Sherwood, 2001). Terdapat berjuta-

juta neuron dalam sistem saraf. Sel saraf bervariasi dalam bentuk dan

ukuran berdasarkan fungsi yang berbeda-beda (Gibson, 2003).

Sebuah neuron biasanya terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel,

dendrit dan akson. Nukleus dan organel-organel terdapat di badan sel,

tempat berasalnya sejumlah besar neuron yang dikenal sebagai dendrit.

Dendrit adalah serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian luar sel

untuk membawa impuls ke arah badan sel. Pada sebagian besar neuron,

membran plasma badan sel dan dendrit mengandung reseptor-reseptor

protein untuk mengikat zat antara kimiawi dari neuron lain (Sherwood,

2001). Akson atau serat saraf adalah serat yang dilalui impuls

meninggalkan badan sel untuk ditransmisikan ke sel lain. Setiap sel saraf

memiliki satu akson yang mempunyai panjang bervariasi dari beberapa

3

Page 4: 119760350-kejang-demam-refrat

milimeter sampai beberapa centimeter. Satu akson sering bercabang

banyak didekat ujungnya dan setiap ujung batang membentuk pembesaran

seperti kancing yang merupakan bagian pengantar informasi. Setiap serat

dilapisi selubung tipis disebut selubung mielin yang merupakan substansi

lemak. Mielinisasi serat dimulai pada bulan keenam masa janin dan

lengkap setelah lahir (Gibson,2003).

Mielin berfungsi sebagai insulator seperti karet yang membungkus kabel

listrik untuk mencegah arus bocor menembus bagian membran yang

bermielin. Mielin bukan merupakan bagian dari sel saraf tetapi terdiri dari

sel-sel pembentuk mielin yang terpisah yang membungkus diri

mengelilingi akson. Sel-sel pembentuk mielin adalah oligodendrosit

disusunan saraf pusat (otak dan korda spinalis) dan sel schwann di sistem

saraf perifer (saraf yang berjalan diantara susunan saraf pusat dan berbagai

bagian tubuh lainnya). Daerah serat yang tidak dilapisi mielin disebut

sebagai nodus ranvier. Serat-serat bermielin menghantarkan impuls lima

puluh kali lebih cepat daripada serat tidak bermielin untuk ukuran yang

sama (Sherwood, 2001).

Impuls saraf adalah perubahan kimia elektrik kompleks yang berjalan

disepanjang serat saraf. Di dalamnya, ion (partikel bermuatan) bergerak

dari bagian dalam sebuah akson ke arah luar, dan ion lain bergerak dari

luar ke dalam. Sinaps adalah titik komunikasi antara satu neuron dan

neuron lain. Saat impuls tiba di sinaps, transmiter kimia dibebaskan dan

merangsang sel berikutnya. Diketahui terdapat sekitar 30 transmiter,

4

Page 5: 119760350-kejang-demam-refrat

diantaranya asetilkolin, norepinefrin, dan dopamin. Setiap transmiter

bekerja dengan aktivitas sistem saraf yang berbeda (Gibson, 2003).

2. Mekanisme Penghantaran Impuls Saraf

Ada dua cara yang dilakukan neuron sensorik untuk menghantarkan

impuls tersebut, yakni melalui membran sel atau membran plasma dan

sinapsis. Penghantaran Impuls Saraf melalui membran plasma di dalam

neuron, sebenarnya terdapat membran plasma yang sifatnya

semipermeabel. Membran plasma neuron tersebut berfungsi melindungi

cairan sitoplasma yang berada di dalamnya. Hanya ion-ion tertentu akan

dapat bertranspor aktif melewati membran plasma menuju membran

plasma neuron lain. Apabila tidak terdapat rangsangan atau neuron dalam

keadaan istirahat, sitoplasma di dalam membrane plasma bermuatan listrik

negatif, sedangkan cairan di luar membrane bermuatan positif. Keadaan

yang demikian dinamakan polarisasi. Perbedaan muatan ini terjadi karena

adanya mekanisme transpor aktif yakni pompa natrium-kalium.

Konsentrasi ion natrium (Na+) di luar membrane plasma dari suatu akson

neuron lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di dalamnya.

Sebaliknya,konsentrasi ion kalium (K+) di dalamnya lebih besar daripada

di luar. Akibatnya, mekanisme transporaktif terjadi pada membran plasma.

Kemudian, apabila neuron dirangsang dengan kuat, permeabilitas

membran plasma terhadap ion Na+ berubah meningkat. Peningkatan

permeabilitas membran ini menjadikan ion Na+ berdifusi ke dalam

membran, sehingga muatan sitoplasma berubah menjadi positif. Fase

5

Page 6: 119760350-kejang-demam-refrat

seperti ini dinamakan depolarisasi atau potensial aksi . Sementara itu, ion

K+ akan segera berdifusi keluar melewati membrane Fase ini dinamakan

repolarisasi. Perbedaan muatan pada bagian yang mengalami polarisasi

dan depolarisasi akan menimbulkan arus listrik. Kondisi depolarisasi ini

akan berlangsung secara terus-menerus, sehingga menyebabkan arus

listrik. Dengan demikian, impuls saraf akan terhantar sepanjang akson.

Setelah impuls terhantar, bagian yang mengalami depolarisasi akan

mengalami fase istirahat kembali dan tidak ada impuls yang lewat. Waktu

pemulihan ini dinamakan fase refraktori atau undershoot

B. Definisi Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38 ◦c) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium (Konsensus Penanganan Kejang Demam,UKK neurologi IDAI,

2005). Kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada masa anak-anak yang

terjadi setelah usia satu bulan, berhubungan dengan demam yang tidak

disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat, tanpa adanya kejang neonatal atau

kejang tanpa sebab sebelumnya (The International League Against Epilepsy

(ILAE),1993). Konsesus The National Institute of Health (NIH)

mendefinisikan kejang demam sebagai sebuah peristiwa pada masa bayi dan

anak-anak yang biasanya terjadi antara usia 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan

dengan demam tetapi tanpa adanya bukti infeksi intrakranial atau penyebab

kejang lainnya. Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6

6

Page 7: 119760350-kejang-demam-refrat

bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,

kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.

Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan

kejang berulang tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur

kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur

kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului

demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau

epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan

kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau

ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan

kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan

saraf pusat.

C. Epidemilogi Kejang Demam

2-4% dari populasi anak 6 bulan - 4 tahun

80 – 90% merupakan kejang demam sederhana

20% kasus kejang demam kompleks

8% berlangsung > 15’

16% berulang dalam waktu 24 jam

Lebih sering pada anak laki-laki

Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari

12 bulan, maka risiko kejang demam ke dua 50 %,

7

Page 8: 119760350-kejang-demam-refrat

Bi;a kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan, risiko

kejang demam ke dua turun menjadi 30%.

Setelah kejang demam pertama, 2-4 % anak akan berkembang menjadi epilepsy dan

ini 4 kali risikonya dibandingkan populasi umum.

(Baumer JH,2004)

D. Etiologi Kejang Demam

Terdapat interaksi 3 faktor yang menyebabkan kejang demam :

1. Demam

2. Imaturitas otak

3. Predisposisi genetik

(IDAI, 2010; ILAE, 2005)

E. Faktor Resiko Kejang Demam

Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor

riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan

terlambat dan kadar natrium rendah.

Faktor resiko kejang demam berulang:

1. Faktor resiko yang tetap:

a. Riwayat kejang demam di keluarga

b. Usia saat kejang demam pertama <18 bulan

8

Page 9: 119760350-kejang-demam-refrat

c. Tingginya suhu tubuh saat kejang

d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang

2. Faktor resiko yang possible

Riwayat keluarga yang mengalami epilepsy

3. Bukan faktor resiko

a. Abnormalitas neurodevelomental

b. Kejang demam kompleks

c. Lebih dari satu jenis bangkitan kejang

d. Jenis kelamin

e. Etnik

4. Rekurensi kejang demam

a. 50% dalam 6 bulan pertama

b. 75% dalam tahun pertama

c. 90% dalam tahun kedua

d. KD pertama <1 tahun : 50%

e. KD pertama >1 tahun : 28%

Lebih banyak faktor resiko yang didapatkan , lebih besar juga

kemungkinan terjadi rekurensi .

Resiko terjadinya epilepsy dikemudian hari sebesar 2-10%, jika:

a. Gangguan perkembangan saraf

b. Kejang demam kompleks

c. Riwayat epilepsy dalam keluarga

9

Page 10: 119760350-kejang-demam-refrat

d. Lamanya demam hingga terjadinya kejang

e. Epilepsy mesial temporal , 40% pernah mengalami kejang demam

kompleks. (Garna Herry, Nataprawira M. Heda, 2012)

F. Klasifikasi Kejang Demam

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum,

tonik dan atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan

fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.

2. Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):

a. Kejang lama > 15 menit

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial

c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

(ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993)

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau

kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak

sadar. (Nelson KB, Ellenberg JH, 1978)

10

Page 11: 119760350-kejang-demam-refrat

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial (Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT,

1987)

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari , diantara 2

bangkitan kejang anak sadar (Shinnar S 1999).

G. Patogenesis

1. Demam

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjdinya pelepasan

listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada

neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimia maupun anatomi.

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,

diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk

metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah

oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru

11

Page 12: 119760350-kejang-demam-refrat

– paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber energi

otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2

dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan

dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan

normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium

(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,

kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi

dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan

sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di

luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial

membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial

membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang

terdapat pada permukaan sel Keseimbangan potensial membran ini dapat

dirubah oleh adanya :

a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 

b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya. 

c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20

%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari

seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi

12

Page 13: 119760350-kejang-demam-refrat

pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan

dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion

kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat

terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya

sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya

dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari

tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang

rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan

ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih.

Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang

demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga

dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa

penderita kejang.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel – sel yang

belum matang / immature

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang

menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel.

c. Metabolisme basal meningkat sehingga terjadi timbunan asam laktat

dan CO2 yang akan merusak neuron

13

Page 14: 119760350-kejang-demam-refrat

d. Demam meningkatkan Cerbral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan

pengaliran ion – ion keluar masuk sel.

Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai

terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk

kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,

asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial

disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat

disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan

metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor

penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya

kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang

mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan

timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan

kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari,

sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang

berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga

terjadi epilepsy (Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman,Arvin,2000).

14

Page 15: 119760350-kejang-demam-refrat

Patogenesis Kejang Demam

Inflamasi( Infeksi )

demam

Peningkatan suhu tubuh

Metabolisme basal meningkatKebutuhan O2 meningkat

Glukosa ke otak menurun

Perubahan konsentrasi dan jenis ion di dalam dan di luar sel

Difusi ion Na+ dan K+

Kejang

Durasi pendek Durasi lama

Sembuh Apnea

O2 menurun

Kebutuhan O2 meningkat

hipoxemia

Aktivitas otot meningkat

Hipoxia

Permeabilitas meningkat

Edema otak

Kerusakan sel neuron otak

Epilepsi

15

Hiperkapnia

Hipotensi

arterial

Metabolisme otak meningkat

Page 16: 119760350-kejang-demam-refrat

2. Imaturitas Otak

Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan

prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan

perkembangan otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi

neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut

sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi

pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase

perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami

bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi meliputi:

diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi,

dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan

dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram,

proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan

pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor

eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal

dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-cabang akson (

dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel

terprogram dan plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak

terpakai. Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut

regeresif. Sel neuron yang tidak terkena proses kematian program bahkan

terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi

sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi

16

Page 17: 119760350-kejang-demam-refrat

bangkitan kejang demam dapat mengakibatkan trauma pada sel neuron

sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase

organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam

akan mengakibatkan aberrant palsticity, yaitu penurunan fungsi GABA-

ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor

esksitator. Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat

sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA

sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih

dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH)

merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada

otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di

hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh

demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih

lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan

usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada

masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi

dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut

developtmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator

lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada keseimbangan

antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang

pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase

eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang

demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak

17

Page 18: 119760350-kejang-demam-refrat

mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah

terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan

otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun

( Soetomenggolo, 2007 ).

H. Diagnosis

1. Anamnesa

a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /

saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam

diluar susunan saraf pusat.

b. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga , epilepsy

dalam keluarga

c. Singkirkan penyebab kejang lainnya.

(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)

2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari tanda-tanda meningitis, adanya

defisit neurologis, asimetris, atau stigmata kelainan neurokutaneous dan

ganggauan metabolik. Hasil pengukuran lingkar kepala dapat menjadi

informasi penting.

3. Pemeriksaan Penunjang

18

Page 19: 119760350-kejang-demam-refrat

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan

untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab demam,

seperti darah perifer, elektrolit dan gula darah (Konsesus

Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis

bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 % .

Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis,

oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:

a. Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan dilakukan

b. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan

c. Bayi > 18 bulan : tidak rutin

(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi

lumbal (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006).

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian

19

Page 20: 119760350-kejang-demam-refrat

epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak

direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam

yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia

lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. (Kesepakatan Saraf

Anak,2005)

d. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed Tomography

(CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti:

a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

b. Parese nervus VI

c. Papiledema

(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam ,2006)

I. Diagnosis Banding

1. Epilepsi yang disertai dengan demam

2. Meningitis

3. Ensephalitis

J. Penatalaksanaan

20

Page 21: 119760350-kejang-demam-refrat

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,

• Mencegah kejang demam berulang

• Mencegah status epilepsi

• Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi

• Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

1. Penatalaksanaan saat kejang

a. Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien

datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang,

obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam

yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 -

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam

waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah

adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis

diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg

untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk

berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg

untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas

usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).

b. Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi

dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

21

Page 22: 119760350-kejang-demam-refrat

c. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah

sakit. dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis

0,3 - 0,5 mg/kg.

d. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena

dengan dosis awal 10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg

/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis

selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.

e. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat

di ruang rawat intensif.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari

jenis kejang demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam

sederhana atau kompleks. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam,

2006)

22

Page 23: 119760350-kejang-demam-refrat

23

Page 24: 119760350-kejang-demam-refrat

Penjelasan:

a.Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermiten atau rumatan

diberikan berdasarkan apakah kejang demam sederhana atau kompleks

dan bagaimana faktor risikonya.

b. Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena (20

menit) dicampur dengan cairan NaCl fisiologis, untuk mengurangi efek

samping aritmia dan hipotensi.

2. Mencari dan Mengobati Penyebab Demam

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan

dengan kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan

infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut,

bronkhitis, furunkulosis dan lain – lain. Mengobati penyebab yaitu dengan

cara mengatasi infeksi – infeksi tersebut.

3. Pemberian obat pada saat demam

a. Antipiretik

Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan

bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam (level I, rekomendasi E). Dosis asetaminofen yang

digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan

tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali

sehari.

24

Page 25: 119760350-kejang-demam-refrat

Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak

kurang dari 18 bulan, meskipun jarang. Antipiretik pilihan adalah

parasetamol 10 mg/kg yang sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg

dalam menurunkan suhu tubuh. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang

Demam, 2006)

b. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat

demam menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus),

begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada

suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi E).

Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan

sedasi yang cukup berat pada 25 – 39 % kasus.

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak

berguna untuk mencegah kejang demam. (Konsesus Penatalaksanaan

Kejang Demam, 2006)

25

Page 26: 119760350-kejang-demam-refrat

4. Pemberian Obat Rumatan

a. Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam

menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):

a) Kejang lama > 15 menit

b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral,

retardasi mental, hidrosefalus.

c) Kejang fokal

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

a) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

b) Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

c) Kejang demam > 4 kali per tahun

(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)

Penjelasan:

* Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit

merupakan indikasi pengobatan rumat

* Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan

ringan bukan merupakan indikasi

* Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak

mempunyai fokus organik (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam,

2006).

26

Page 27: 119760350-kejang-demam-refrat

b. Jenis obat antikonvulsan

a) Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif

dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).

Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign

dan efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku,

profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada

kasus yang sangat selektif (rekomendasi D). Pemakaian

fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

kesulitan belajar (40 - 50 %).

b) Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat

menyebabkan hepatitis namun insidensnya kecil. Dosis asam

valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis dan fenobarbital 3 - 4

mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.

(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)

c. Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan

secara bertahap selama 1-2 bulan. (Konsesus Penatalaksanaan Kejang

Demam, 2006)

.

27

Page 28: 119760350-kejang-demam-refrat

K. Edukasi pada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada

saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah

meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat

efek samping obat (Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:

2. Tetap tenang dan tidak panik

3. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

4. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.

Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun

kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu

kedalam mulut

5. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang

6. Tetap bersama pasien selama kejang

7. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti

8. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau

lebih

(Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam, 2006)

28

Page 29: 119760350-kejang-demam-refrat

L. Indikasi Rawat

1. KDK

2. Hiperpireksia

3. Usia < 6 bulan

4. Kejang demam pertama

5. Terdapat kelainan neurologis

(IDAI SPM Kesehatan Anak , 2004)

M. Prognosis

Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik

dan tidak perlu menyebabkan kematian. Resiko Berulangnya kejang demam

sekitar 1/3 anak dapat menglami kejang demam berulang, 10% dapat terjadi

>3x. (Herry Garna, 2012)

29

Page 30: 119760350-kejang-demam-refrat

BAB III

KESIMPULAN

A. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh

(suhu rektal di atas 38 ◦c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

B. Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal.

1. Pengobatan fase akut

2. Mencari dan mengobati penyebab demam

3. Pengobatan profilaksis.

a. Intermittent

b. Rumatan

30

Page 31: 119760350-kejang-demam-refrat

DAFTAR PUSTAKA

Bahtera Tjipta, Susilo Wibowo, AG Soemantri Hardjojuwono, Faktor Genetik

Sebagai Resiko Kejang Demam Berulang, dalam Sari Pediatri, Vol 10, No 6,

April 2009

Behrman, Kliegman, Arvin, Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 3, Edisi ke 15,

Jakarta : EGC, 2000.

Gibson, john, Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta : EGC, 2003.

Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,

Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060.

Herry Garna, Heda Melinda Nataprawira, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak, Edisi ke 4, Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK

UNPAD: 2012

Melda Deliana , Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak , dalam Sari Pediatri,

Vol. 4, No. 2, September 2002: 59 – 62

Puspunegoro Herdiono, Widodo Dwi P, Ismail Sofyan, Konsesus penatalakanaan

Kejang Demam, Jakarta: UKK Neurologi IDAI, 2006.

31

Page 32: 119760350-kejang-demam-refrat

Puspunegoro Herdiono, Widodo Dwi P, Ismail Sofyan, dkk, Standar Pelayanan

Medis Kesehatan Anak, Edisi 1, Jakarta: IDAI, 2004.

Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC, 2001

32