120 Resolving Timor Leste s Crisis Indonesian

Embed Size (px)

Citation preview

MENYELESAIKAN KRISIS DI TIMOR-LESTEAsia Report N120 10 Oktober 2006

DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI.............................................................. i PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 I. II. IMPLIKASI DARI PERPECAHAN YANG TERJADI PADA MASA PERLAWANAN..............................................................................................................2A. B. C. D. A. B. A. B. C. AWAL MULA FRETILIN.......................................................................................................2 KEBANGKITAN FALINTIL ...................................................................................................4 FRETILIN SETELAH KEMERDEKAAN ....................................................................................5 ROGERIO LOBATO .................................................................................................................6 MASALAH YANG TUMBUH DI F-FDTL ..................................................................................7 TANGGAPAN TERHADAP PETISI..............................................................................................8 PROTES PARA PETISIONER ...................................................................................................11 MAYOR ALFREDO BERGABUNG DENGAN PARA PETISIONER .................................................12 KONFLIK SEMAKIN MEMANAS, PASUKAN INTERNASIONAL TIBA...........................................14 PIDATO 22 JUNI ...................................................................................................................17 PENGUNDURAN DIRI ALKATIRI DAN PENANGKAPAN ALFREDO .............................................19 PBB....................................................................................................................................21 AUSTRALIA .........................................................................................................................23 INDONESIA ..........................................................................................................................24 PORTUGAL ..........................................................................................................................24 MEMECAHKAN KEBUNTUAN POLITIK DI TINGKAT PALING ATAS...........................................25 MENYIAPKAN LAPORAN KOMISI PENYELIDIK .......................................................................25 MENGHADAPI PARA PETISI DAN MAYOR ALFREDO .............................................................26 PENINJAUAN SEKTOR KEAMANAN ........................................................................................26 MENGEMBALIKAN POLISI KEPADA TUGASNYA .....................................................................26 MEMULIHKAN KERETAKAN HUBUNGAN ANTARA TIMUR-BARAT DAN MEMULANGKAN KEMBALI PENGUNGSI KE RUMAH MEREKA ...........................................................................27 MEMPERBAIKI PENGAWASAN PENGADILAN DAN PEREKRUTAN PERANGKAT PERADILAN.......27 MEMPERSIAPKAN PEMILU 2007 ...........................................................................................27 MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA BAGI PARA PEMUDA DI PERKANTORAN ...........................27 MENGADOPSI REKOMENDASI CAVR ......................................................................................27 PETA TIMOR-LESTE ............................................................................................................29 INDEX NAMA DAN SINGKATAN.............................................................................................30 TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP ...........................................................................33 CRISIS GROUP REPORTS AND BRIEFINGS ON ASIA ...............................................................34 CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES ...................................................................................37

III. SEKTOR KEAMANAN................................................................................................. 6

IV. KEKERASAN MELETUS .......................................................................................... 10

V.

PERTARUNGAN POLITIK ....................................................................................... 16A. B. A. B. C. D. A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. A. B. C. D. E.

VI. PARA PELAKU INTERNASIONAL......................................................................... 21

VII. KESIMPULAN ............................................................................................................. 25

LAMPIRAN

Asia Report N120

10 Oktober 2006

MENYELESAIKAN KRISIS DI TIMOR-LESTERINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASIKrisis yang terburuk yang terjadi dalam sejarah singkat Timor Leste masih jauh dari selesai. Negara itu saat ini dalam keadaan terlantar secara politis, menunggu laporan dari Komisi Penyelidik Khusus Independen yang ditunjuk oleh badan PBB. Laporan ini diharapkan dapat menyebut nama-nama para pelaku aksi kekerasan bulan April-Mei 2006 di Dili yang telah menewaskan lebih dari 30 orang, dan merekomendasikan tuntutan hukum bagi mereka. Dijadwalkan untuk dirilis pada pertengahan bulan Oktober, laporan ini penting untuk bergerak maju tetapi berpotensi untuk menimbulkan kontroversi. Pemilu yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan Mei 2007 juga dapat menjadi sumber konflik lain. Dengan kreatifitas, fokus dan kemauan politik, Timor Leste dapat kembali ke jalur yang benar, tetapi luka yang telah ditinggalkan cukup dalam, dan dibutuhkan kebesaran hati secara politis dari beberapa pihak pelaku utama. Tetapi, ada sebuah konsensus yang semakin meningkat mengenai apa yang dibutuhkan bagi penyelesaian krisis, termasuk reformasi sektor keamanan. Sebuah misi PBB yang baru dan diperluas telah bertugas dengan mandat untuk mengkonsolidasi stabilitas, meningkatkan sebuah budaya pemerintahan yang demokratis, dan memfasilitasi dialog antara para pemangku kepentingan di Timor Leste. Krisis ini secara luas digambarkan berasal dari dipecatnya sepertiga dari seluruh anggota angkatan bersenjata Timor Leste pada bulan Maret 2006, dimana setelah itu para tentara yang tidak puas menjadi bagian dari perebutan kekuasaan antara Presiden Xanana Gusmao dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri, yang sekarang telah dicopot dari jabatannya. Tetapi, masalahnya jauh lebih rumit. Akar permasalahan sebagian terletak pada perjuangan dan pengkhianatan yang telah terjadi di dalam tubuh FRETILIN, tak lama sebelum dan pada masa pendudukan Indonesia. Pertikaian ideologi dan politik yang terjadi pada tahun 1980an dan 1990an, terutama antara para anggota komite sentral FRETILIN dengan Xanana Gusmao, yang pada saat itu adalah komandan pasukan gerilya FALINTIL, terbawa ke dalam pemerintahan pasca-konflik. Pertikaian itu juga ditemukan dalam proses demobilisasi pejuang FALINTIL yang dilakukan secara kurang memadai di tahun 2000 dan pembentukan sebuah institusi pertahanan keamanan untuk negara baru ini di tahun 2001 yang menyerap sebagian dari para veteran tetapi sebagian lagi tidak tertampung sehingga menganggur dan marah, sementara itu para donor dan PBB mencurahkan sebagian besar dari perhatian mereka terhadap pembentukan sebuah institusi kepolisian baru. Kenyataan bahwa banyak dari anggota polisi yang telah disaring dan ditraining kembali, pernah bekerja dengan pemerintah Indonesia sebelumnya, menjadi garam bagi luka para mantan pejuang. Perpecahan ideologi yang sudah berlangsung lama dan rasa frustrasi dari para mantan FALINTIL secara khusus dimanipulasi oleh Rogerio Lobato, seorang anggota komite sentral FRETILIN yang menetap di Angola dan Mozambique pada masa-masa konflik. Sebagai Menteri Dalam Negeri, ia mengendalikan institusi kepolisian, mendorong persaingan dengan institusi pertahanan keamanan, dimana hampir seluruh anggotanya secara pribadi setia kepada Xanana Gusmao, dan membentuk kesatuan polisi khusus yang secara efektif menjadi sebuah pasukan keamanan privat. Institusi kepolisian yang berada dibawahnya bertanggung jawab terhadap penegakan hukum dan ketertiban, patroli perbatasan, penanganan kerusuhan dan imigrasi. Sedangkan angkatan bersenjata tidak pernah jelas peranannya apa. Semua masalah ini semakin memburuk selama bertahun-tahun. Ketika sebanyak 159 tentara pada bulan Januari 2006 mengajukan petisi kepada Presiden sebagai panglima tertinggi, yang isinya mengeluhkan adanya diskriminasi di dalam institusi pertahanan keamanan oleh para perwira yang berasal dari bagian timur Timor Leste (lorosae) terhadap mereka yang berasal dari bagian barat (loromonu),

Menyelesaikan Krisis di Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page ii

banyak pihak yang berkepentingan melihat hal ini sebagai kesempatan politik. Jumlah tentara dari bagian barat yang bergabung dengan para petisi bertambah banyak, sementara itu ketegangan pribadi dan kelembagaan antara seorang presiden yang terikat dengan pluralisme, dengan sebuah partai berkuasa yang secara jelas cenderung otoriter, politisasi institusi kepolisian, kurangnya kerangka kerja yang berkenaan dengan pengaturan bagi institusi pertahanan keamanan secara umum dan sifat bawaan dari sebuah elit politik kecil dengan sejarah yang sama selama 30 tahun, telah menyebabkan permasalahan ini menjadi diluar kendali.

dan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri akan duduk. 5. Menyelesaikan permasalahan para pelaku desersi F-FDTL sebagai permasalahan yang sangat genting, dengan cara menuntut secara hukum untuk kasus-kasus yang dipandang perlu dan menyerap sisanya kembali ke dalam angkatan bersenjata atau menjadi pegawai negeri sipil. 6. Mengembangkan sebuah perencanaan proses pensiun secara bertahap bagi para veteran pejuang di dalam F-FDTL dan sebuah paket jaminan sosial yang lebih komprehensif bagi seluruh veteran. 7. Menampung kesatuan polisi khusus yang dibentuk oleh Rogerio Lobato ke dalam kepolisian umum sebagai langkah sementara sampai pelaksanaan peninjauan keamanan selesai dan upaya restrukturisasi apapun yang lebih lanjut dapat didasarkan pada kebutuhan yang telah diidentifikasi. 8. Meninjau rencana penyaringan kembali para anggota polisi setelah sebulan atau dua bulan untuk melihat jika hal ini dapat dirampingkan agar polisi dapat kembali bekerja lebih cepat. 9. Mencari kesepakatan dari para pimpinan seluruh partai politik mengenai kode etik politik untuk pemilu tahun 2007, mengumumkannya melalui radio-radio dan televisi dan memastikan kode etik ini disampaikan ke seluruh tingkatan di dalam struktur partai. 10. Memastikan bahwa presiden dan seluruh menteri memberikan dukungan penuh terhadap upaya rekonsiliasi Simu-Malu dan menjajaki upaya-upaya lain untuk memulihkan keretakan hubungan antara timur-barat (loromonu-lorosae), dengan perhatian khusus terhadap peran yang dapat dimainkan oleh kaum perempuan di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh keretakan hubungan ini. 11. Mengadopsi rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dalam laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi atau CAVR

REKOMENDASI-REKOMENDASI Kepada Pemerintah Timor Leste dan the United Nations Integrated Mission in Timor-Leste (UNMIT) secara bersama-sama: 1. Segera mendefinisikan terms of reference dan mengalokasikan dana bagi peninjauan (review) komprehensif terhadap peran dan kebutuhan sektor keamanan seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 4(e) Resolusi Dewan Keamanan 1704/2006, dan secepatnya mengangkat staff yang dibutuhkan untuk mulai melaksanakan peninjauan tersebut. 2. Menggunakan review atau peninjauan untuk menjelaskan peran dari institusi pertahanan keamanan (F-FDTL), institusi kepolisian (PNTL), dan badan intelijen; maritim, perbatasan, dan ancaman keamanan dalam negri; persiapan komando dan kontrol, termasuk pada saat-saat darurat; dan mekanisme pengawasan sipil. 3. Menciptakan sebuah lapangan pekerjaan bagi para pemuda yang tinggal di perkotaan, dimulai dari Dili, dan secara bersamaan mengurangi kecenderungan terjadinya aksi kekerasan antar geng dan memberi perhatian terhadap tingkat pengangguran untuk kelompok ini yang diperkirakan mencapai lebih dari 40 persen. Kepada Pemerintah Timor Leste: 4. Membentuk sebuah dewan keamanan nasional berdasarkan pada peninjauanpeninjauan diatas, dimana para komandan polisi dan F-FDTL, kepala badan intelijen,

Menyelesaikan Krisis di Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page iii

yang berjudul Chega! [Cukup!], dengan memberikan prioritas terhadap hal-hal yang berhubungan dengan keamanan bagi setiap orang, sektor keamanan, perlindungan HAM bagi kaum lemah dan rekonsiliasi, serta menyebarluaskan keseluruhan isi laporan ini kepada masyarakat. Kepada Sekretaris Jendral dan Sekretariat PBB: 12. Mengangkat seorang aktivis Utusan Khusus Sekretaris Jendral (Special Representative of the Secretary General or SRSG) yang mampu melibatkan anggota-anggota elit politik tanpa menjauhkan diri dari konflik, turun tangan jika diperlukan untuk mengurangi keteganganketegangan politik. menyesuaikan programprogram yang keluar dari jalur dan membantu mengatasi hambatan politik. 13. Melembagakan prosedur-prosedur untuk memperbaiki proses perekrutan hakimhakim, jaksa dan pengacara internasional yang akan bertugas di pengadilan Timor Leste. 14. Mengundang sebuah peer review (tim penilai) secara berkala terhadap kinerja peradilan, termasuk di dalam Pengadilan Banding, oleh sebuah panel yang independen. 15. Memastikan bahwa ada pengawasan secara tetap terhadap program-program yang didanai oleh PBB dalam bidang pengembangan hukum dan sistem peradilan oleh seorang pejabat senior PBB yang memiliki keahlian di bidang ini. Jakarta/Brussels, 10 Oktober 2006

Asia Report N120

10 Oktober 2006

MENYELESAIKAN KRISIS TIMOR-LESTEI. PENDAHULUANKrisis yang baru-baru ini terjadi berawal pada bulan Januari 2006, ketika sejumlah tentara mengajukan sebuah petisi kepada para pimpinan tertinggi pemerintahan, menuduh adanya perlakuan diskriminasi di dalam tubuh angkatan bersenjata. Tuduhan ini sebenarnya bukanlah tuduhan baru, tetapi dibuat dalam suasana yang telah diracuni oleh manipulasi politik yang menyebabkan polisi dan militer secara internal terpecah-pecah, dan antar polisi dan militer saling bertikai. Campur tangan dari Perdana Menteri saat itu, Mari Alkatiri, dan Presiden Xanana Gusmao, yang masing-masing memiliki visi yang sangat berbeda mengenai kemana negara ini harus dibawa dan basis kekuasaan yang saling bertentangan, sering malah membuat keadaan menjadi lebih buruk. Perpecahan antara timur-barat yang terjadi di dalam tubuh pasukan keamanan pindah ke jalan-jalan di Dili, yang akhirnya memicu tindakan penyerangan oleh orang-orang dari bagian barat (loromonu) terhadap orang-orang dari bagian timur (lorosae), dan akhirnya menciptakan sebuah generasi baru para pengungsi. Laporan ini menggambarkan bagaimana krisis timbul pertama kali dan mengidentifikasi beberapa langkah utama yang perlu dilakukan untuk menyelesaikannya, tetapi tidak jelas apakah langkah-langkah tersebut dapat atau akan dilakukan. Permasalahan di Timor Leste semakin dibuat sulit dengan luas negara yang sangat kecil, dan jumlah elit politik yang lebih kecil lagi. Keseluruhan dari krisis, penyebab dan penyelesaiannya, berputar di sekitar kurang dari sepuluh orang, yang menjalani sejarah yang sama sejak tiga puluh tahun yang lalu. Mereka antara lain termasuk Presiden Gusmao; mantan Perdana Menteri (dan sekretaris jendral FRETILIN) Mari Alkatiri; mantan menteri dalam negeri dan Wakil Presiden FRETILIN Rogerio Lobato; Perdana Menteri Jose Ramos Horta; panglima angkatan bersenjata, Brigadir Jendral Taur Matan Ruak; Kepala Staff-nya, Colonel Lere Anan Timor; Menteri Urusan Administrasi Negara, Ana Pessoa; dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues. Masing-masing individu ini, yang adalah pendiri negara Timor Leste, mungkin telah menciptakan sebuah pemerintahan yang disfungsional, tetapi mereka masing-masing juga

Krisis politik yang paling buruk dalam sejarah negara Timor Leste yang masih muda usia belum berakhir. Dili, ibukota Timor Leste, yang hampir runtuh oleh kekerasan yang terjadi pada bulan April dan Mei 2006, saat ini dalam suasana relatif tenang tetapi mencekam, jalan-jalan di ibukota dijaga oleh pasukan keamanan internasional. Lebih dari 100,000 orang terpaksa masih harus mengungsi, dan jam malam diberlakukan secara tidak resmi. Sementara itu sejumlah anggota elit politik kunci masih berseteru. Sebuah komisi penyelidik yang ditunjuk oleh PBB diharapkan untuk mengeluarkan laporannya pada pertengahan bulan Oktober. Temuan-temuan komisi penyelidik tersebut akan menjadi hal yang penting untuk dapat maju, namun juga dapat menimbulkan kontroversi. Ian Martin, utusan khusus Kofi Annan untuk Timor Leste, menyampaikan kepada Dewan Keamanan pada bulan Agustus bahwa ini bukan mengenai Timor Leste menjadi sebuah negara yang gagal. Tetapi lebih mengenai sebuah negara yang baru berusia empat tahun yang berjuang untuk dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri dan belajar untuk mempraktekkan sebuah pemerintahan yang demokratis. Tetapi hal ini juga mengenai lebih dari itu, yaitu: bagaimana sebuah pasukan gerilya melakukan transisi dari situasi perang ke damai, dan bagaimanan institusi keamanan dibangun dari nol. Krisis ini menggarisbawahi betapa pentingnya strategi-strategi yang perlu dipikirkan secara mendalam mengenai proses demobilisasi pasca-konflik dan reintegrasi, serta bagaimana keputusan-keputusan yang buruk di awal proses transisi dapat membawa akibat yang menghancurkan di kemudian hari. Ia menyoroti masalah-masalah penting dimana proses pembentukan perdamaian oleh PBB yang berjalan salah, lebih dikarenakan kepasifannya daripada karena hal lain. Dan ia juga memperlihatkan betapa penyelesaian krisis menjadi jauh lebih sulit ketika para pimpinan politik membiarkan masalah menjadi semakin parah.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 2

memiliki peran untuk dapat membuat pemerintahan ini dapat bekerja kembali dalam beberapa kasus dengan cara mengundurkan diri. Dalam situasi semacam ini, sebuah misi PBB yang baru dan diperluas yaitu Misi Integrasi di Timor Leste atau UNMIT (Integrated Mission in Timor Leste), memainkan sebuah peran yang sangat penting. Misi ini ditugaskan untuk mengkonsolidasi stabilitas, meningkatkan sebuah budaya pemerintahan yang demokratis, dan memfasilitasi dialog antara para pemangku kepentingan di Timor Leste.1 Banyak hal tergantung pada ketrampilan, pengalaman dan kepribadian dari kepala UNMIT. Kepasifan seperti yang telah menjadi ciri khas kedua misi PBB terdahulu tidak akan dapat membantu negara keluar dari krisis. Namun beberapa intervensi yang kreatif, terutama antara sekarang hingga pemilu yang rencananya akan dilaksanakan Mei 2007, dapat membantu Timor Leste kembali ke jalur yang benar.

Sebenarnya semua pelaku utama di dalam krisis yang sedang terjadi saat ini adalah anggota atau mantan anggota FRETILIN (Frente Revolucioniria de TimorLeste Independente). Pro-kemerdekaan dan sosialis, FRETILIN adalah salah satu partai yang muncul pada masa penjajahan Portugis, tak lama setelah Revolusi Carnation yang terjadi di Lisbon pada bulan April 1974. Di sebuah koloni yang sebelumnya tak memiliki tradisi aktifitas politik yang terbuka, munculnya partai-partai secara tiba-tiba membawa persaingan keras dan pertikaian fisik, terutama antara FRETILIN dengan UDT (Uniao Democratic Timorense), yaitu sebuah partai yang lebih konservatif dan pro-otonomi (dibawah Portugal): Tiap partai menyatakan pandangan mereka sebagai kepentingan nasional, tetapi tidak mempertimbangkan bahwa kita semua adalah orang Timor, juga tidak mempertimbangkan apa yang sedang diperjuangkan oleh seluruh bangsa. Dan karena hal ini, kami melihat kurangnya kemauan para pemimpin partai untuk mengurangi tingkat kekerasan, untuk menyelesaikan apa yang sedang terjadi. Kerap kali kami melihat bahwa partai-partai tersebut cukup senang ketika para pendukungnya datang dan berkata Kami pukuli orang ini atau Kami bunuh orang itu. Hal seperti ini dianggap sebagai kemenangan kecil... Apabila suatu partai memiliki jumlah anggota terbanyak di suatu subdistrik, partai tersebut tidak memperbolehkan partai-partai lain berkampanye di daerah itu. Dan kemudian ketika partai-partai lain akan pergi ke daerah itu, penduduk akan menyerang, menutup jalan mereka, memboikot, saling melempar batu dan saling memukul.2 Sementara itu, Indonesia semakin was-was dengan kemungkinan munculnya sebuah basis komunis di perbatasan mereka dan mulai melancarkan sebuah program infiltrasi, propaganda dan destabilisasi, dimana beberapa organisasi-organisasi politik baru di

II.

IMPLIKASI DARI PERPECAHAN YANG TERJADI PADA MASA PERLAWANAN

Permasalahan di Timor Leste tidak dapat dipahami tanpa merujuk kepada perjuangan dan pengkhianatan yang terjadi di dalam gerakan perlawanan tak lama sebelum dan pada masa pendudukan Indonesia. Perpecahan tersebut tak hanya terjadi di antara mereka yang tetap tinggal dan bertempur di Timor dengan mereka yang menetap di luar negeri selama masa pendudukan. Di dalam tubuh gerakan perlawanan yang berbasis di Timor, perbedaan yang kuat muncul, terutama pada tahun 1983-1984 antara mereka yang bersifat ideolog garis keras dengan mereka yang ingin membentuk sebuah front nasional yang lebih terbuka. Sebuah kelompok yang disebut Klompok Maputo, yaitu kumpulan orang-orang Timor yang selama masa perang lebih banyak menetap di Angola dan Mozambique, juga terbagibagi oleh perbedaan-perbedaan kepribadian dan perebutan kekuasaan di dalamnya. Perpecahan dalam sebuah gerakan gerilya umum terjadi, tetapi ketika hal ini dibawa ke dalam sebuah pemerintahan pascakonflik, akibatnya dapat menjadi sangat menghancurkan, terutama bagi sebuah negara sekecil Timor Leste. A. AWAL MULA FRETILIN

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1704 S/Res/1704/2006, 25 Agustus 2006.

1

Kesaksian Xanana Gusmao, Chega! [Cukup!], Laporan Komisi Kebenaran, Penerimaan dan Rekonsiliasi (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliaciao disingkat CAVR), bab 3, par 100. (edisi bahasa Inggris). Laporan CAVR, sebuah dokumen yang terdiri dari 2,500-halaman mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pelbagai pihak antara tahun 1974 dan 1999, juga mengangkat sebuah sejarah yang luarbiasa mengenai gerakan perlawanan.

2

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 3

Timor Leste baik secara disengaja atau tidak menjadi pionnya. Pada tanggal 11 Agustus 1975, UDT melancarkan sebuah aksi militer, yang diberi berbagai nama, antara lain: sebuah kudeta, sebuah percobaan kudeta, sebuah gerakan dan sebuah pemberontakan melawan FRETILIN.3 Setelah sekitar seminggu UDT unggul, pasukan FRETILIN, yang menyebut diri mereka FALINTIL (Forcas Armados de Libertacao Nacional de Timor Leste atau angkatan bersenjata FRETILIN) menyerang balik, di bawah komando Rogerio Lobato, yang pada saat itu menjadi orang Timor yang memiliki pangkat tertinggi di angkatan darat Portugis, dan berhasil membujuk banyak rekan-rekan tentaranya untuk bergabung dengan tentara FRETILIN. Oleh karena itu maka FALINTIL lahir bukan dari gerakan perjuangan melawan Indonesia, melainkan muncul sebagai sebuah partai dalam sebuah perang saudara.4 Kemudian sebuah pertikaian umum terjadi, bukan hanya antara UDT dengan FRETILIN, tetapi juga antar kelompok koalisi yang berbeda saling bertikai di daerah-daerah lain di Timor. Jumlah korban tewas yang paling banyak yaitu di wilayah perkotaan dimana ketegangan yang berasal dari dendam pribadi dan perseteruan antar klan yang sudah lama berlangsung, ditambah dengan posisi ideologi partai militan yang baru-baru ini, meledak menjadi sebuah kekerasan.5 Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR), yang didirikan setelah kemerdekaan, memperkirakan bahwa sebanyak 1,500 hingga 3,000 orang tewas pada waktu itu, dengan sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh FRETILIN, tetapi tidak seluruhnya. Ermera, yang pada masa lalu menjadi sebuah basis kekuatan UDT dan pada saat ini menjadi basis para petisioner, adalah lokasi dari sejumlah kekejaman yang paling parah. Karena hampir seluruh tentara Timor Timur yang bergabung dalam angkatan darat pasukan kolonial berpihak kepada FRETILIN,

maka mereka berhasil mengalahkan UDT dalam waktu singkat; sehingga pada bulan September 1975, puluhan ribu anggota UDT menyeberang perbatasan menuju Timor Barat untuk menyelamatkan diri. Disana, dibawah paksaan, para pemimpin UDT menandatangani sebuah petisi yang isinya memohon agar Timor Timur digabungkan ke dalam Indonesia. Kekuasaan FRETILIN yang singkat terhadap wilayah Timor Timur dari awal telah terhambat oleh kurangnya personil dan serangan dari pasukan Indonesia yang semakin hebat. Pada tanggal 28 November 1975, dua hari setelah pasukan militer Indonesia berhasil menguasai Atabae, yaitu sebuah kota kecil yang letaknya sekitar 40 km dari perbatasan Timor Barat, FRETILIN memproklamirkan kemerdekaannya dan mendirikan negara Republik Demokratik Timor Leste, dengan Xavier do Amaral sebagai presidennya, dan Nicolau Lobato sebagai Perdana Menteri. Pada tanggal 4 Desember, tiga orang menteri kabinet Mari Alkatiri, menteri urusan ekonomi dan politik; Jose Ramos Horta, menteri luar negeri; dan Rogerio Lobato, menteri pertahanan berangkat ke luar negeri untuk mencari bantuan diplomatik dan membeli persenjataan. Lebih dari dua puluh tahun kemudian baru mereka kembali ke Timor Leste. Pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan sebuah serangan besar-besaran ke Timor Leste, dan meskipun Timor Leste memiliki sejumlah pasukan yang cukup terlatih dan mampu mempertahankan negara mereka dengan sangat baik selama tiga tahun, pada akhirnya mereka bukanlah tandingan pasukan bersenjata Indonesia yang lebih besar jumlahnya dan memiliki persenjataan yang lebih lengkap.6 Pada saat serangan dari angkatan bersenjata Indonesia terus berlanjut, diikuti oleh kekejaman perang yang meluas, terjadi perpecahan di dalam tubuh FRETILIN yang semakin dalam mengenai apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi situasi tersebut. Terjadi perbedaan pendapat mengenai prinsip untuk menempatkan militer di bawah para pemimpin politik, meskipun mereka saat itu masih muda-muda dan belum berpengalaman; mengenai strategi-strategi yang sebaiknya diterapkan untuk menghadapi musuh; dan mengenai sejauh mana rakyat sipil sebaiknya dilibatkan dalam gerakan perlawanan terhadap Indonesia. Pada tahun 1977, Xavier do Amaral mengusulkan bahwa rakyat sipil diperbolehkan

Ibid, bab 3, paras 139-149. anggota UDT memberi tahu CAVR bahwa tindakan tersebut tidak ditujukan kepada FRETILIN tetapi untuk menyingkirkan elemen komunis dalam tubuh FRETILIN dan mengambil kendali atas proses dekolonisasi. 4 Edward Rees, Under Pressure, FALINTIL: Three Decades of Defence Force Development in Timor-Leste, Geneva Centre for the Democratic Control of the Armed Forces, 2004. pp. 36-37. Ia mengutip Xanana Gusmao yang mengatakan dalam sebuah pidatonya di tahun 2003 bahwa FALINTIL dilahirkan di bawah payung sebuah partai politik, FRETILIN, untuk menandingi partai politik lain, UDT. 5 CAVR, bab 3, par. 149.

3

Rees, Under Pressure, op. cit., p. 37. FALINTIL sendiri mengklaim pernah memiliki 27,000 pejuang pada tahun 1975.

6

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 4

menyerah kepada Indonesia, sehingga ia dituduh telah menjadi seorang penghianat yang mudah menyerah dan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden, digantikan oleh Nicolau Lobato.7 Partai ini kemudian menjadi lebih marxist radikal dan menyingkirkan lebih banyak disiden. Kekalahan yang diderita sangat berat. Jika pada tahun pertama perang FALINTIL mampu mengerahkan paling sedikit 15,000 pejuang untuk bertempur, tahun 1980 hanya tinggal 700 tentara yang tersisa.8 Nicolau Lobato tewas pada akhir tahun 1978, dan kebijakan resettlement /pemindahan paksa pemerintah Indonesia berakhir dengan bencana kelaparan yang sangat besar dimana ribuan orang meninggal. Tahun 1979, tinggal tiga orang anggota komite sentral yang masih berjuang di perbukitan, salah satunya adalah Xanana Gusmao.9 B. KEBANGKITAN FALINTIL Pada bulan Maret 1981, sejumlah anggota kepempimpinan militer dan politik FRETILIN yang masih hidup mengadakan pertemuan untuk menghimpun kelompok mereka kembali. Salah satu dari mereka yang disetujui untuk menjadi anggota komite sentral adalah Lere Anan Timor, yang kemudian menjadi kepala staff pasukan pertahanan negara Timor Leste setelah merdeka. Mereka yang dikonfirmasi kembali sebagai anggota yang berada di luar negeri yaitu Mari Alkatiri, Rogerio Lobato, Jose Ramos Horta, Roque Rodrigues, dan Abilio Araujo. Xanana diangkat menjadi komisaris politik nasional dan juga komandan FALINTIL. Pertemuan tersebut juga menghasilkan perkembangan penting lain, yaitu: upaya pertama kali untuk membentuk sebuah front nasional, Dewan Revolusi Gerakan Perlawanan Nasional (the Revolutionary Council of National Resistance atau CRRN), sebagai sebuah cara untuk mendorong anggota non-partai ikut berjuang.10 Sampai titik ini, komite sentral FRETILIN telah menjadi badan yang paling penting dari gerakan perlawanan. Sejak tahun 1981, perjuangan bersenjata menggantikan perjuangan politik, dan komandan militer lah yang berkuasa saat itu hal ini berarti Xanana harus memegang peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.11 Hingga dua tahun

kemudian, ia dan sejumlah pemimpin yang lain memilih untuk memulai perundingan dengan Indonesia dan mendekati Gereja Katolik, yang mana hal ini telah membuat FRETILIN menjauh.12 Mereka juga membuat tawaran kepada partai-partai lain, dan demi kepentingan bagi sebuah front nasional yang bersatu, meninggalkan Marxisme.13 Kebijakan-kebijakan ini tidak populer di mata anggota garis keras FRETILIN, dan pada tahun 1984, sebuah perpecahan terjadi. Keretakan ini begitu pahit hingga pada bulan September 2006, hal ini disinggung di hampir setiap pembicaraan tentang krisis yang terjadi saat ini. Para perwira senior FALINTIL, yang juga anggota komite sentral FRETILIN, melakukan percobaan kudeta terhadap Xanana.14 Dipimpin oleh Kepala Staff Kilik Wae Gae; Mauk Moruk (Paulo Gama), seorang komandan brigade; dan wakilnya, Oligari Asswain, namun percobaan kudeta tersebut gagal. Akibatnya cukup berat. Mauk Moruk menyerahkan diri kepada pihak Indonesia. Saudara laki-lakinya, Cornelio Gama, yang lebih dikenal sebagai L-7 (Elle Sette), disingkirkan, dan meskipun kemudian ditarik kembali, membentuk sebuah basis kekuatan terpisah di wilayah Baucau lewat sebuah organisasi yang mirip dengan kelompok kultus, bernama Sagrada Familia.15 Oligari dikeluarkan dari FALINTIL dan muncul kembali di negara Timor Leste setelah merdeka sebagai pimpinan sebuah kelompok disiden bernama CPD-RDTL, sehingga untuk tahun-tahun pertama setelah kepergian Indonesia menjadi sebuah masalah keamanan yang memusingkan bagi pemerintah transisi. Kilik tewas dalam keadaan yang masih diperdebatkan; istrinya menjadi anggota komite sentral FRETILIN dan akhirnya menjadi wakil menteri urusan administrasi negara dalam pemerintahan Alkatiri. Hampir dua puluh tahun kemudian, Rogerio Lobato mampu memanipulasi

12

Lobato pada saat itu adalah presiden RDTL, presiden FRETILIN dan komisaris politik untuk Staff Jendral FALINTIL. Lihat CAVR, op. cit., bab 5, par. 29. 8 Ibid. 9 Yang dua lagi Fernando Txay dan Mau Hunu (Antonio Manuel Gomes da Costa) CAVR, op. cit., bab 5, par. 95. 10 Ibid. 11 Ibid, bab 5, par. 110-111.

7

Sebuah gencatan senjata untuk lima bulan yang dirundingkan tahun 1983 berakhir dengan sebuah bentrokan di Kraras, Viqueque bulan Agustus 1983 yang mengakibatkan sebuah pembunuhan massal terhadap warga sipil oleh pasukan militer Indonesia. Hasilnya, tokoh lain dalam krisis saat itu bergabung dengan FALINTIL. Falur Rate Laek, sekarang komandan Batalion I Angkatan Darat Timor-Leste, saat itu sedang bekerja membantu pasukan militer Indonesia. Pembunuhan massal membuat ia berpindah haluan. Rees, Under Pressure, op. cit. hal. 41. 13 CAVR, bab 5, par. 116-118. 14 Ibid, bab 5, par. 120-123. Sebuah penjelasan lain yang mungkin yaitu bahwa pemimpin kudeta tidak puas karena mereka baru saja di turunkan jabatannya. 15 Rees, Under Pressure, op. cit., hal. 41.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 5

kemarahan yang tersisa dari peristiwa tahun 1984, untuk membangun konstituennya sendiri. Langkah besar Xanana selanjutnya, yang bahkan lebih kontroversial dari pada strategi persatuan nasionalnya, namun merupakan sebuah konsekwensi yang wajar yaitu menarik FALINTIL keluar dari FRETILIN, dan membuatnya menjadi sebuah angkatan bersenjata non partisan. Ia telah mengusulkan hal ini pada tahun 1984, tetapi baru melakukannya pada tanggal 7 Desember 1987 dan meletakkan jabatannnya di FRETILIN pada hari yang sama. Tahun berikutnya ia mendirikan Dewan Nasional Gerakan Perlawanan Maubere (the National Council of Maubere Resistance atau CNRM) sebagai badan politik tertinggi dalam gerakan perlawanan; pada tahun 1989, ia mengangkat Jose Ramos Horta sebagai perwakilannya di luar negeri, sebuah langkah yang tidak mendapat sambutan baik dari kelompok Maputo yang dipimpin oleh Alkatiri, yang selama ini diberi tanggung jawab untuk urusan luar negeri.16 Perceraian FRETILIN-FALINTIL telah membawa implikasi yang mendalam bagi dinamika politik di Timor Leste pasca konflik. Hal ini berarti kepemimpinan politik partai terkonsentrasi pada kelompok diaspora, terutama dengan sejumlah anggota komite sentral yang berbasis di Angola dan Mozambique, dan mereka yang tetap bersama dengan FALINTIL hingga akhir sesungguhnya adalah para pengikut Xanana. Dan setelah kemerdekaan, hal ini kemudian menciptakan sebuah pemisahan yang terjadi di dalam antara partai dengan militer, dan partai dengan Xanana.17 C. FRETILIN SETELAH KEMERDEKAAN Namun untuk saat ini FRETILIN masih menjadi komponen yang paling penting di dalam front nasional, yang pertama CNRM, kemudian penerusnya, CNRT, yang dibentuk tahun 1998 beberapa bulan setelah Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaan. Untuk pertama kali CNRT mengikutsertakan para pemimpin UDT dan bahkan orang-orang Timor yang memiliki hubungan dengan partai pro-integrasi yaitu APODETI. Saat itu Xanana sudah berada dalam penjara di Jakarta selama lima

tahun, tetapi sesungguhnya ia semakin dikenal secara internasional, dan terpilih menjadi pemimpin CNRT. Kerenggangan antara ia dan kepemimpinan FRETILIN ditutup-tutupi demi kepentingan persatuan nasional, tetapi setelah Alkatiri dan banyak yang lain kembali ke Timor pada tahun 1999, kerenggangan ini menjadi terbuka, hingga pada suatu titik dimana pada tahun 2000, FRETILIN meninggalkan CNRT. Menurut Xanana, hal ini awalnya disebabkan karena tuduhan Alkatiri bahwa ia mencoba merusak reputasi FRETILIN dengan berpendirian bahwa FRETILIN bertanggung jawab atas pembunuhan para lawan politiknya pada tahun 1975. Namun sebetulnya perbedaan diantara keduanya telah terakumulasi sejak lebih dari sepuluh tahun. Ketika pemilu yang pertama kali di Timor Leste diselenggarakan dengan bantuan PBB pada bulan Agustus 2001, sebelum kemerdekaannya yang resmi, sudah jelas bahwa FRETILIN memiliki nama yang sangat dikenal dan infrastruktur partai yang tidak dapat ditandingi oleh lawan politik manapun di Timor Leste.18 FRETILIN berhasil memperoleh 57 persen suara. Alkatiri menjadi ketua menteri, dan setelah kemerdekaan, menjadi Perdana Menteri. Xanana Gusmao terpilih menjadi Presiden pada bulan April 2002 dengan memperoleh 82 persen suara, tetapi kekuasaan yang ia miliki relatif kecil. Meskipun awalnya komite sentral FRETILIN memberikan persetujuan terhadap sebuah pemerintahan persatuan nasional yang akan mengikutsertakan partai-partai lain, namun dalam prakteknya mereka memposisikan diri mereka untuk menguasai pemerintahan dengan memberikan hampir seluruh posisi penting dalam kabinet kepada para anggota partai. Ketua Parlemen Lu Olo (Francisco Guterres) juga presiden FRETILIN. Dari permulaan, hubungan antara presiden dan perdana menteri, parlemen, dan beberapa orang menteri agak tegang, sebagian karena peran presiden di bawah konstitusi sangat terbatas, sementara wibawa Xanana begitu besar. Alkatiri memegang sebagian besar dari kekuasaan, dan ia lebih mudah membuat musuh dari pada kawan. Pada tahun 2005, Gereja Katolik mengorganisir aksi demonstrasi selama sembilan hari memprotes Alkatiri atas sikap18

16

Kelompok Maputo saat itu juga sedang ditimpa keretakan dan masalah lain. Rogerio Lobato dipenjara tahun 1983 di Angola atas tuduhan menyelundupkan intan. Setelah bebas, ia terus membuat masalah dan suatu kali bertanggung jawab atas serangan terhadap Jose Ramos Horta. Tahun 1989 ia menulis surat kepada Xanana mengeluh tentang Mari Alkatiri. Hubungannya juga kurang baik dengan Roque Rodrigues, yang kemudian menjadi menteri pertahanan. 17 Rees, Under Pressure, op.cit., hal. 45.

Pada tanggal 20 August 2001 para pemberi suara memilih anggota majelis konstituante, yang bertugas merancang UUD dalam waktu 90 hari. Pendapatan suara FRETILIN sebanyak 57 persen membuatnya memperoleh 55 dari 88 kursi. UUD, yang penyusunannya ternyata lebih lama dari perkiraan dan akhirnya diadopsi pada bulan March 2002, mengatur bahwa majelis konstituante akan berubah menjadi parlemen setelah pemilihan presiden bulan April 2002.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 6

pemerintah terhadap pendidikan agama yang berarti bahwa ketika krisis yang saat ini terjadi pecah, gereja katolik tidak dilihat sebagai mediator yang netral. Sementara itu, sejumlah pemimpin partai oposisi yang juga mantan anggota FRETILIN menemukan caracara baru di dalam kompetisi demokratis untuk mengangkat kembali rasa ketidakpuasan yang tidak terselesaikan sebelumnya. D. ROGERIO LOBATO Orang yang menjadi persoalan bagi FRETILIN, dan juga bagi yang lain, adalah anggota komite sentral Rogerio Lobato. Walaupun di banyak pemberitaan media mengenai krisis saat ini ia digambarkan sebagai tangan kanan Alkatiri, namun sebenarnya hubungan mereka lebih sebagai kawin paksa daripada sebuah persekutuan yang terbentuk secara alamiah. Rogerio kembali ke Timor Leste pada bulan Oktober 2000 setelah pemilu, dan ia segera membuat masalah. Ia memanfaatkan rasa ketidakpuasan yang beredar luas di antara para mantan tentara FALINTIL setelah dibentuknya Tentara Timor Leste pada awal tahun 2001, dengan bersekutu dengan mereka yang tidak puas dengan harapan untuk menciptakan sebuah basis kekuatan tersendiri. Pada bulan Agustus 2001, selama masa kampanye pemilu dan melebih-lebihkan perannya sebagai komandan FALINTIL yang pertama, ia menjanjikan tanpa merinci lebih lanjut, bahwa FRETILIN akan membentuk sebuah konsep baru untuk mengakomodasi para bekas tentara FALINTIL karena banyak dari mereka yang belum dapat ditampung ke dalam angkatan bersenjata yang baru.19 Pada awalnya ia tidak diikutsertakan dalam pemerintahan dan merasa tersinggung karena ia tidak diberi posisi sebagai menteri pertahanan pada tahun 2001, meskipun ia pernah memegang jabatan tersebut pada tahun 1975. Pada awal tahun 2002, ia mengorganisir sebuah kelompok yang terdiri dari para veteran yang memiliki hubungan dengan FRETILIN, yaitu Asosiasi Mantan Pejuang (Associacao dos Antigos Combatentes das Falintil), dan bersaing dengan dua asosiasi sejenis yang lain, salah satunya berhubungan dengan Xanana dan CNRT.20 Pada bulan Mei 2002, Rogerio mengorganisir beberapa ribu mantan pejuang FALINTIL untuk berpawai menuju kota Dili, seolah-olah untuk merayakan kemerdekaan Timor Leste namun sudah hampir pasti sebenarnya untuk menunjukkan bahwa ia19

adalah sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan. Pada tanggal 20 Mei, ia ditarik ke dalam dewan menteri menjadi menteri administrasi dalam negeri, bertugas mengawasi pemerintah lokal dan institusi polisi. Ia telah memperkirakan kalau Alkatiri akan memutuskan bahwa ia merupakan ancaman yang lebih kecil jika berada di dalam, daripada di luar pemerintahan.21 Ia kemudian mencoba mengubah institusi polisi menjadi perangkatnya sendiri, dengan cara yang merugikan pemerintah, memperdalam perpecahan yang sudah lama ada, dan berakibat merusak keamanan internal. Kebanyakan dari anggota polisi yang diwarisi oleh Rogerio adalah orang-orang Timor yang pernah bekerja dengan Indonesia tetapi telah disaring dan dipekerjakan kembali. Kepala polisi, Paulo Martins, adalah mantan perwira Polri. Selama enam bulan terakhir tahun 2002, Lobato mempergunakan dukungan yang dimilikinya dari kelompok disiden untuk mengipasi kemarahan terhadap kelompok ini, yang berakhir dengan aksi protes yang diwarnai kekerasan di jalan-jalan, sambil mempersiapkan untuk membuka perekrutan dan menarik orang-orangnya ke dalam institusinya. Hasilnya adalah bahwa sebuah elemen yang signifikan di dalam institusi kepolisian menjadi lebih setia kepada Rogerio dari pada kepada institusinya sendiri ataupun negara. Dalam pidatonya di hari kemerdekaan Timor Leste tanggal 28 November 2002, Xanana Gusmao meminta Rogerio untuk berhenti dari jabatannya, dengan alasan tidak kompeten dan lalai22. Pada bulan Desember 2002, Dili rusuh setelah polisi menangani penangkapan seorang mahasiswa dengan kurang baik. Para pelaku kerusuhan membakar habis rumah Mari Alkatiri, dan banyak yang bertanya-tanya: Apakah Rogerio Lobato di belakang ini juga? III. SEKTOR KEAMANAN Militer memiliki masalahnya sendiri. Pada tahun 1999, pada saat referendum yang diawasi oleh PBB dalam rangka menentukan pemisahan Timor Leste dari Indonesia semakin dekat, para pejuang FALINTIL ditempatkan di Aileu. Di bawah kepemimpinan Taur Matan Ruak, komandan FALINTIL sejak tahun 1998, mereka telah menahan diri untuk tidak melakukan penyerangan balasan ketika tentara Indonesia dan para milisinya telah membakar sebagian besar rumah-rumah dan bangunan di Timor Leste, karena menyadari bahwa jika mereka menyerang balik, hal itu akan

Institutional Tensions and Public Perceptions of the East Timor Police Service (TLPS) and the East Timor Defence Force (F-F-FDTL), laporan UNMISET, November 2002. 20 Rees, Under Pressure, op. cit., hal.49, cat. kaki. 146.

21 22

Ibid, hal. 52. Ibid, hal. 53.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 7

membahayakan intervensi internasional. Tetapi kelihatannya dunia melupakan mereka. UNTAET (The UN Transitional Administration in East Timor atau Administrasi Transisi PBB di Timor Timur) yang tiba pada bulan Oktober 1999 untuk menyiapkan Timor Timur untuk merdeka lebih memberi perhatian terhadap proses menyaring para mantan polisi Indonesia dan menugaskan mereka kembali ke jalanjalan daripada mencarikan peran bagi para mantan anggota FALINTIL yang telah berjuang di perbukitan. Kondisi di Aileu semakin memburuk, dan para mantan pejuang bertambah bosan dan tidak senang. Kami diperlakukan seperti anjing, kata Taur Matan Ruak pada bulan September 2006. Dan ketika akhirnya Pasukan Pertahanan atau Tentara Timor Leste (FDTL) dibentuk pada bulan Februari 2001, hanya sebanyak 650 orang dari 1,500 jumlah tentara yang diambil dari para mantan pejuang; sisanya adalah rekrutan baru. Dari permulaan, sudah ada kasak-kusuk mengenai perlakuan diskriminasi, dan sumber kebencian inilah yang dimanfaatkan oleh Rogerio Lobato.23 Pembubaran FALINTIL bersamaan dengan pembentukan FDTL menambah rasa ketidakpuasan di antara para mantan tentara FALINTIL, terutama karena dengan adanya tingkat pengangguran yang sangat tinggi tidak ada tempat lain bagi mereka untuk bekerja. FDTL, yang setelah kemerdekaan pada bulan Mei 2002 diganti namanya menjadi FALINTIL-FDTL (FFDTL), dibagi menjadi dua batalion. Batalion I sebelumnya bermarkas di kota bagian timur Los Palos, dari bulan Juli 2002 hingga 2006, kemudian pindah ke Baucau. Batalion II, yang dibentuk akhir tahun 2002 dengan anggotanya kebanyakan adalah rekrutan baru, berbasis di pusat pelatihan Angkatan Darat di Metinaro, di bagian timur Dili. Masalahmasalah manajemen timbul dimana-mana tetapi terutama yang paling parah di Batalion I, dimana perselisihan antara timur-barat dan keretakan lain mulai timbul. Pada bulan November 2002, sebuah laporan internal PBB mencatat bahwa: Ada rasa ketidakpuasan masyarakat yang meluas di wilayah pusat dan barat mengenai komposisi etnis Batalion I, yang didominasi

oleh mantan kombatan dari tiga kabupaten di wilayah timur (dimana sebagian besar pertempuran terjadi dan wilayah dimana Falintil memiliki paling banyak 24 pendukung). Sehubungan dengan itu, Taur Matan Ruak membuat sejumlah penyesuaian di dalam kebijakan perekrutan dan promosi, tetapi ada masalah logistik juga. Dengan kondisi infrastruktur transportasi yang buruk, sulit bagi para prajurit dari wilayah barat untuk kembali ke markas mereka tepat waktu, setelah cuti pulang ke keluarga mereka. Akibatnya banyak prajurit dari bagian barat dikenai tindakan disiplin, pelanggaran yang dituduhkan antara lain mangkir (ingkar dari tugas dan tanggung jawab). A. MASALAH YANG TUMBUH DI F-FDTL Pada bulan Desember 2003, sejumlah 42 tentara (sebagian besar dari bagian barat, dan termasuk Vicente da Conceicao alias Railos, yang berperan dalam krisis tahun 2006 ini)25 dikeluarkan dari pekerjaannya. Mereka mengeluhkan mengenai pemecatan yang tidak adil, jarak perjalanan yang jauh, dan sarana komunikasi yang buruk. Dan beberapa dari keluhan ini disebutkan dalam laporan yang disusun oleh sebuah komisi kepresidenan yang ditugaskan untuk melakukan penilaian terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam F-FDTL pada bulan Agustus 2004. Laporan tersebut menyebutkan sulitnya kondisi hidup di mana-mana, dan sangat tidak mudah untuk kembali bertugas tepat waktu setelah cuti, serta adanya perasaan perlakuan

24

23

Elle Sette (L-7), contohnya, yang telah meninggalkan wilayahnya tahun 2000 dan tidak pernah kembali, mengatakan bahwa tak satupun dari 500 pengikutnya yang diterima ke dalam F-FDTL, walaupun banyak yang pernah jadi anggota ABRI justru diterima. Catatan dari wawancara dengan Elle Sette yang diberikan kepada Crisis Group, Agustus 2001.

Institutional tensions, laporan UNMISET, op. cit. Tahun 2001, 56 persen dari FDTL adalah timur, tetapi untuk perwira FDTL proporsi timur adalah 85 persen. 25 Vicente da Conceicao alias Railos, asal Liquica, adalah pejuang FALINTIL pada masa perlawanan dan setelah merdeka bekerja di akademi pelatihan angkatan bersenjata Timor Leste yang baru di Metinaro. Ia mengatakan dikeluarkan secara tidak adil karena cuti terlalu lama setelah mengalami kecelakaan lalulintas. Sumber lain mengatakan ia dikeluarkan karena penyelundupan. Menurut Railos, ia cuti bulan September 2003 dengan ijin Taur Matan Ruak untuk menghadiri pemakaman saudara laki-lakinya. Dalam perjalanan kembali Metinaro, ia luka-luka dalam kecelakaan lalulintas dan pulang lagi untuk dirawat, memberi tahu lewat surat ke F-FDTL. Tapi tanggal 23 Desember, ketika sedang nonton berita di TV , ia melihat ia termasuk salah satu tentara F-FDTL yang dipecat karena mangkir. Kesaksian beberapa anggota F-FDTL yg dipecat 23 December 2003, tak bertanggal, diberikan kepada Crisis Group oleh Yayasan Hak, Dili. Railos mengklaim dalam program TV Australia, Four Corners bulan Juni 2006 bahwa Alkatiri mengizinkan pembagian senjata ke warga sipil. Hiruk pikuk berikutnya menimbulkan berhentinya Alkatiri.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 8

berat sebelah dalam proses promosi. Tetapi pemerintah tampaknya tidak melakukan langkahlangkah yang direkomendasikan oleh laporan tersebut, dan perasaan tak senang terus bertambah. Pada tanggal 26 Februari 2005, sebuah kelompok tentara lain yang juga merasa tidak puas dan mengeluhkan tentang adanya diskriminasi dalam proses promosi kepegawaian bertemu dengan presiden. Pada bulan September 2005, sebuah kontrak dengan Amerika Serikat yang memberikan bantuan logistik kepada F-FDTL dihentikan, sehingga mereka terpaksa harus mengurus dirinya sendiri untuk kebutuhan dasar seperti pemeliharaan barak dan ransum. Pada bulan Oktober, sejumlah tentara mengirim surat keluhan kepada markas berkas angkatan bersenjata mengenai atap bocor dan kekurangan makanan. Sementara masalah yang paling genting ditangani, kasak kusuk terus berlanjut. Sementara itu, Rogerio Lobato, dengan dukungan dari Alkatiri, sedang membentuk sejumlah unit-unit kepolisian khusus yang mendapat gaji dan perlengkapan yang lebih baik daripada institusi militer.26 Karena sudah ada persepsi bahwa orang timur mendominasi korps perwira F-FDTL, Rogerio dengan sengaja berpihak pada barat. Pada bulan Januari, sebuah kelompok yang terdiri dari 159 tentara mengajukan petisi kepada Xanana Gusmao sebagai panglima tertinggi, yang isinya mengeluhkan perlakuan diskriminasi terhadap barat dalam proses perekrutan, promosi dan tindakan disiplin. Mereka membuat daftar sebanyak 28 poin, sebagian besar melaporkan penghinaan yang mereka terima dari para komandan yang kurang lebih isinya bahwa loromonu tidak dapat dipercaya dan dalam masa perlawanan tidak bertempur sekeras lorosae. Sasaran utama keluhan mereka yaitu komandan Batalion I, Letnan Kolonel Falur Rate Laek. Keluhan yang mereka sampaikan cukup sepele dan mungkin dapat ditangani jika memang benar hal itu yang menjadi pokok persoalan. Tetapi ada faktor lain yang bermain.

Pemimpin petisioner, Gascao Salsinha, pernah tertangkap tangan menyelundupkan cendana pada bulan April 2005. Sehubungan dengan itu Taur Matan Ruak membatalkan kenaikan pangkatnya dan rencana tugas belajar baginya ke Portugal. Polisi mencatat kasus tersebut dalam laporan mereka tetapi tiba-tiba kasus itu tak kedengaran lagi. Karena Rogerio Lobato dikenal sebagai orang yang menguasai bisnis cendana, beberapa kalangan menafsirkan hal ini sebagai bukti bahwa Salsinha termasuk di dalam kubu Rogerio, melawan F-FDTL dan Xanana seperti halnya kepolisian. Benar atau tidak, pembatalan kenaikan pangkatnya membuat Salsinha menyimpan dendam pribadi terhadap Taur Matan Ruak dan mungkin hal ini menjadi salah satu sebab atas aksiaksi selanjutnya. B. TANGGAPAN TERHADAP PETISI Media internasional telah melaporkan bahwa pemecatan sekitar 600 tentara pada bulan Maret 2006 telah menjadi pemicu krisis politik, dengan Taur Matan Ruak dan Perdana Menteri Alkatiri sebagai penjahat yang membiarkan hal itu terjadi. Tetapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Salsinha dan 158 pengikutnya menandatangani petisi mereka kepada Presiden Gusmao pada tanggal 9 Januari, dan mengirimkan tembusannya kepada Matan Ruak, sejumlah pejabat pemerintah, kedua uskup, seluruh pemimpin parpol dan duta besar Australia, Portugal dan AS. Mereka menyatakan bahwa mereka siap untuk melakukan mogok makan di depan kantor presiden jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, dan jika setelah sebulan mogok makan tidak menghasilkan apa-apa, mereka akan keluar dari angkatan bersenjata.27 Pada tanggal 16 Januari, Presiden Gusmao memanggil Matan Ruak dan memintanya untuk menangani masalah tersebut. Tetapi pada saat itu angkatan bersenjata sedang dalam proses memindahkan markas Batalion I dari Los Palos ke Baucau, sebuah kota yang letaknya lebih di tengah. Pemindahan lokasi markas ini merupakan sebuah langkah yang sudah lama direncanakan, yang sebagian akan menjawab keluhan tentang jarak Los Palos yang terlalu jauh bagi prajurit dari barat untuk dapat mengambil cuti normal. Tidak masuk akal bahwa dua minggu setelah petisi diterima, Matan Ruak tidak dapat bertemu dengan Salsinha hanya karena alasan terlalu sibuk. Hubungan27

26

Unit Polisi Cadangan (URP) dibentuk setelah F-FDTL gagal menangani dugaan serangan oleh milisi di Atsabe di bagian barat bulan Januari-Februari 2003. Mereka yang dikerahkan ke perbatasan membuat marah masyarakat lokal tanpa menemukan atau menangkap satupun dari milisi yang dicurigai bertanggung jawab. Bukannya menganalisa mengapa mereka gagal, mereka menyalahkan warga setempat karena tidak mau bekerjasama dan membantu milisi. Komunikasi Crisis Group dengan Robert Lowry, mantan penasihat keamanan di Timor-Leste, 4 Oktober 2006.

Terjemahan tak resmi dari petisi ada di Crisis Group, 10 September 2006.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 9

Matan Ruak di masa lalu dengan Salsinha, dan keluhan-keluhan yang terus berdatangan dari para tentara tampaknya dapat menjadi penjelasan. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa protes yang kali ini secara signifikan lebih penting dari protes-protes sebelumnya, tetapi protes tersebut meningkat cepat dari keluhan mengenai masalah diskriminasi menjadi tuntutan terhadap Alkatiri untuk turun. Tanggal 1 Februari, peresmian barak baru untuk Batalion I dilakukan di Baucau, dan tanggal 2 Februari, Matan Ruak bertemu dengan Salsinha. Diskusi hari itu dan hari berikutnya tidak menghasilkan apa-apa, dan dua hari kemudian, ratusan tentara meninggalkan tempat tugasnya tanpa ijin. Tanggal 7 Februari, setelah bertemu dengan sekelompok kecil petisioner, dan tanpa berkonsultasi dengan Matan Ruak, Presiden Gusmao setuju untuk bertemu dengan seluruh anggota petisioner hari berikutnya. Matan Ruak percaya bahwa seharusnya presiden menolak pertemuan karena akan semakin mempolitisasi masalah, membawanya keluar dari masalah tindakan disiplin biasa dalam angkatan bersenjata dan menarik semakin banyak tentara bergabung ke dalam kelompok petisioner.28 Karena itu, ketika Matan Ruak sendiri diminta untuk ikut hadir, ia menolak. Meskipun demikian, Xanana tetap bertemu dengan 400 anggota petisioner (dan jumlah ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari jumlah awal) di kantornya, bersama dengan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues dan Kepala Staff pasukan pertahanan, Kolonel Lere Anan Timor. Dua orang anggota parlemen juga hadir. Menurut Xanana, Lere menolak mengakui bahwa memang benar ada masalah diskriminasi, sebaliknya ia menyalahkan partai politik oposisi bahwa mereka mencoba mengipasi para lawan politik.29 Presiden meminta para pengunjuk rasa untuk kembali ke barak mereka, dan mengatakan tidak akan ada tindakan balasan jika mereka sudah kembali ke barak pagi berikutnya, serta menjanjikan untuk melakukan investigasi terhadap keluhan mereka.30 Awalnya para pengunjuk rasa menolak dan mengatakan bahwa komandan mereka telah memberi peringatan dan akan menganggap mereka sebagai musuh jika ikut aksi unjuk rasa. Tetapi akhirnya mereka bubar.

Tanggal 12 Februari, sebuah komisi yang terdiri dari lima orang anggota yang dipimpin oleh Kolonel Lere dijadwalkan untuk mulai memeriksa keluhan para tentara, tetapi beberapa petisioner menolak untuk bertemu karena tiga perwira yang mereka keluhkan dalam petisi ikut sebagai tim investigator. Yang lain keberatan bahwa mereka diperlakukan seperti tahanan, diawasi terus menerus.31 Pada tanggal 17 Februari, Lere memberikan ultimatum kepada para petisioner: bekerja sama dalam proses investigasi atau dipecat. Ia kembali menduga bahwa beberapa parpol sedang menghasut mereka.32 Ia kemudian memberikan cuti akhir pekan, dimana sejak itu para petisioner tidak kembali ke tempat tugas mereka, dan desersi terus berlanjut. Biasanya tentara yang absen tanpa ijin selama lebih dari 24 jam, akan dipotong gajinya, tetapi FFDTL terus membayar gaji mereka selama berjalannya perundingan. Hingga akhir Februari, jumlah tentara yang melakukan unjuk rasa meningkat hingga 593 orang, dan pada tanggal 16 Maret, ketika mereka masih menolak kembali ke pos mereka, Matan Ruak memerintahkan mereka untuk dipecat. Ketika kemudian ditanya mengenai hal itu, ia menjawab dengan tidak sabar, Kami telah memberi mereka segala kesempatan. Apa lagi yang bisa saya lakukan?33 Alkatiri mendukung keputusan tersebut; sementara Xanana Gusmao, yang pada saat itu sedang berada di luar negeri, tidak. Tanggal 23 Maret, ia melakukan pidato yang cukup emosional kepada seluruh rakyat Timor Leste yang disiarkan lewat tv, dimana semua berpendapat pidato itu hanya semakin memperburuk situasi salah seorang wartawan lokal menyebut pidato tersebut dengan ungkapan 27 menit kata-kata yang provokatif.34 Presiden mengatakan pemecatan tersebut tidak tepat dan tidak adil, dan memperingatkan para komandan bahwa jika mereka gagal menangani keluhan-keluhan yang telah disampaikan para tentara, maka akan menimbulkan semakin banyak perpecahan. Ia mengatakan jika 400 tentara meninggalkan barak mereka, hal itu menunjukkan ada masalah serius dalam institusi tersebut. Persoalan diskriminasi telah lama terjadi di31

28

Wawancara Crisis Group, Taur Matan Ruak, Dili, 9 September 2006 29 http://en.wikisource.org/wiki/Palace_of_Ashes,_Speech_ Xanana_Gusm%C3%A3o,_23th_March_2006. 30 Inquiry commission opens hearings on soldiers grievances, Lusa, 10 Februari 2006.

UNOTIL Daily Media Review, 28 Februari 2006; East Timor: Almost 600 troops involved in strike against poor conditions, Lusa, 2 Maret 2006; More East Timorese soldiers desert: officer, Agence France-Presse, 3 Maret 2006. 32 UNOTIL Daily Media Review, 21 Februari 2006 dan 3 Maret 2006. 33 Wawancara Crisis Group, Taur Matan Ruak, 9 September 2006. 34 Wawancara Crisis Group, Dili, 10 September 2006

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 10

dalam F-FDTL; dan hal itu bukan masalah kurang disiplin semata. Ia mengatakan jika persoalan ini tidak diselesaikan sebagaimana mestinya, hal ini akan memberi kesan bahwa F-FDTL hanya untuk orangorang dari bagian timur yang percaya bahwa cuma merekalah yang bertempur dalam perang, sementara yang lain, dari Manatuto hingga Oecusse, adalah anak-anak milisi.35 Kenyataan bahwa ia mengutip langsung dari petisi tampaknya memberi tambahan legitimasi terhadap komplain yang telah disampaikan oleh tentara. Pidato tersebut segera membawa dua dampak. Selain dengan begitu jelas di depan publik menyepelekan keputusan Matan Ruak, pidato ini telah merusak hubungan antara kedua orang yang persekutuannya telah menjadi sebuah pondasi dari gerakan perlawanan selama lebih dari duapuluh tahun, sehingga membuka jalan terhadap upaya lebih jauh oleh FRETILIN untuk membuat pengaruhnnya dirasakan dalam F-FDTL.36 Dan dengan melegitimasi keluhan barat, pidato ini tampaknya telah memunculkan serangan terhadap orang timur di Dili oleh beberapa orang petisioner dan kelompok lain yang menurut kabar (tapi tidak ada bukti) mendapat dukungan dari Rogerio. Hingga tanggal 27 Maret, tujuhbelas rumah penduduk telah dibakar habis, dan orang-orang dari bagian timur berdesak-desakan dalam bis-bis untuk meninggalkan kota demi menyelamatkan diri mereka. Peristiwa kekerasan tersebut kemudian membuat Alkatiri mengeluarkan pernyataan bahwa hanya FRETILIN yang mampu memastikan stabilitas nasional, dan hal ini selanjutnya

menambah kecurigaan dari kamp anti-Alkatiri bahwa kerusuhan telah diprovokasi untuk tujuan politik.37 Untuk beberapa minggu tidak terjadi kekerasan, tetapi suasana masih mencekam, bersamaan dengan kunjungan oleh Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz, yang mengatakan kepada pers: pasar yang sibuk, pembangunan kembali sekolah-sekolah, berfungsinya pemerintah dan yang paling penting perdamaian dan stabilitas merupakan bukti kepemimpinan yang bijaksana dan keputusan yang tepat.38 IV. KEKERASAN MELETUS Hingga pertengahan bulan April 2006, para petisioner tampaknya telah memperoleh simpati tak hanya dari presiden tetapi juga sebagian besar warga Dili. Taur Matan Ruak dan pemimpin tertinggi F-FDTL, dikagetkan oleh pidato 23 Maret, marah kepada Xanana tetapi tidak sampai membuat mereka masuk ke kubu Alkatiri. Kolonel Lere diisukan dekat dengan Alkatiri, tapi sebagian besar karena ia adalah anggota FRETILIN sejak lama. Persekutuan antara FRETILIN dengan perwira senior F-FDTL tampaknya tidak mungkin, sebagian karena rasa permusuhan angkatan bersenjata terhadap Rogerio Lobato. Presiden Gusmao dan Jose Ramos Horta terkunci dalam sebuah pertikaian politik yang serius dengan Alkatiri, dan pada taraf tertentu, para pendukung Gusmao, jika bukan Gusmao sendiri, tampaknya telah memutuskan untuk menggunakan para petisioner dalam pergelutan itu. Pada akhir April, para petisioner yang telah dipecat meminta dan memperoleh ijin dari polisi untuk mengadakan unjuk rasa di depan kantor utama pemerintah di Dili. Salsinha menjanjikan unjuk rasa akan berjalan damai, dan Rogerio Lobato memperingatkan jika tidak, polisi akan melepaskan tembakan.39 Komandan kepolisian Paulo Martins berulangkali meyakinkan masyarakat bahwa polisi menguasai keadaan. Pada hari unjuk rasa akan dimulai, Taur Matan Ruak dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues berangkat ke luar negeri untuk

35 36

Xanana Gusmao, pidato 23 Maret, op. cit. Keputusan Alkatiri untuk mendukung Taur Matan Ruak ditinjau dengan sangat teliti. Salah satu alasan yang beredar luas yaitu bahwa Alkatiri telah mencoba tanpa hasil selama dua tahun untuk membawa Taur Matan Ruak dan F-FDTL ke pihaknya. Kenyataan bahwa seorang pendukung kelompok Maputo, Menteri Pertahanan Roque Rodrigues, tinggal di rumah Taur selama dua tahun dilihat sebagai bukti oleh lawan FRETILIN, tanpa alasan, bahwa Alkatiri sedang mencoba menempatkan seorang sekutu dekat untuk mendapatkan Matan Ruak ke pihaknya. Kemudian Alkatiri menawarkan kepada istri Matan Ruak, Isabel Pereira, untuk diangkat sebagai provador (ombudsman), tetapi tidak berhasil, yang juga dilihat lawan Alkatiri sebagai upaya untuk menarik Matan Ruak. Yang berbeda dari tema ini yaitu bahwa Alkatiri mendukung penyaringan barat di dalam angkatan bersenjata sehingga hubungan FRETILIN-FALINTIL yang lebih murni bisa dibangun kembali. Wawancara Crisis Group di Dili, September 2006.

37

Alarico Ximenes: Political leaders should be careful with statements, Timor Post, dikutip dalam UNOTIL Daily Media Review, 25-27 Maret 2006. 38 Closing Press Conference in Timor-Leste with Paul Wolfowitz, 10 April 2006, di http://web.worldbank.org. 39 Police can use gun to defend, UNOTIL Daily Media Review, 20 April 2006 dan wawancara Crisis Group, Dili, 9 September 2006.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 11

menghadiri sebuah pameran peralatan militer di Malaysia.40 A. PROTES PARA PETISIONER Unjuk rasa mulai tanggal 24 April di depan kompleks gedung utama pemerintah, Palacio do Governo, dan dengan cepat berubah menjadi protes terhadap pemerintah Alkatiri, dengan ratusan pemuda setempat ikut bergabung, dimana banyak dari mereka diketahui adalah perusuh dan anggota geng. Beberapa dari pengunjuk rasa adalah pendukung pro-Xanana Gusmao dari barat (loromonu), CNRT yang anti FRETILIN, yang menambah kecurigaan bahwa hal ini bukan lagi mengenai persoalan diskriminasi dalam angkatan bersenjata, tetapi lebih tentang perebutan kekuasaan politik terhadap negara. Desasdesus mulai tersebar di antara para pengunjuk rasa bahwa senjata mulai dibagi-bagikan untuk membubarkan unjuk rasa. Rogerio Lobato mengatakan kepada pers bahwa ia memiliki bukti diplomat asing berdiri dibelakang aksi unjuk rasa.41 Kekerasan juga terjadi di sekitar Dili tanggal 26 April, dengan dihancurkannya kios-kios pasar di satu wilayah, dan pengrusakan rumah-rumah penduduk di wilayah lain. Beberapa saksi mata mengatakan para pelakunya mengenakan seragam militer.42 Hari berikutnya, dengan meningkatnya kekerasan, Xanana, Ramos Horta, dan Alkatiri bertemu dan mengumumkan bahwa sebuah Commission of Notables akan dibentuk untuk mengusut masalah dalam angkatan bersenjata. Taur Matan Ruak masih berada diluar negeri dan tidak ikut ambil bagian. Tetapi ketika itu, persoalan yang utama sudah bukan lagi mengenai masalah internal dalam pasukan keamanan, melainkan kelangsungan hidup pemerintah. Hari terakhir unjuk rasa, tanggal 28 April, merupakan momen penting bagi peristiwa yang terjadi selanjutnya. Kekerasan, yang dimulai oleh beberapa orang pemuda, meletus di depan istana, menewaskan dua orang. Salah satu dari unit-unit kepolisian khusus yang dibentuk oleh Rogerio, yaitu UIR, yang memiliki spesialisasi untuk bertugas mengendalikan kerusuhan (unit ini dibentuk justru untuk menghadapi

situasi seperti ini) seharusnya berada di lokasi, tetapi hanya satu pasukan yang dikerahkan. Polisi tampaknya menghilang; para petisioner dilaporkan berulangkali berusaha untuk mengendalikan para pemuda namun tak berhasil, kemudian berbaris kembali ke basis mereka di Tacitolu. Ketika mereka bergerak melalui wilayah Comoro, Dili, perkelahian pecah. Karena Taur Matan Ruak sedang berada di luar negeri, Alkatiri memanggil Kolonel Lere dan meminta bantuan angkatan bersenjata untuk memulihkan keadaan. Dan ini merupakan salah satu keputusan yang paling kontroversial dalam krisis yang terjadi di Timor Leste. Tergantung dengan siapa seseorang bicara, keputusan Alkatiri tersebut bisa dilihat sebagai sebuah upaya putus asa agar dapat memulihkan situasi kota atau merupakan petunjuk bahwa Alkatiri merampas kendali, dan secara sengaja menunggu hingga Taur Matan Ruak tak ada di tempat untuk melakukan siasatnya. Apapun yang terjadi, hal itu dilakukan tanpa berkonsultasi dengan presiden atau menyatakan keadaan darurat, jadi kemungkinan tidak konstitusional.43 Hasilnya membawa malapetaka. Pasukan F-FDTL yang tidak memiliki pengalaman mengendalikan massa diterjunkan untuk memadamkan kerusuhan yang apapun faktor lain yang memicu memiliki komponen timur versus barat yang kuat. Dalam kerusuhan tersebut sebagian besar penyerangan dilakukan oleh pemuda loromonu terhadap warga lorosae. Karena pasukan F-FDTL dikomandoi oleh Kolonel Lere, salah seorang yang menjadi sasaran tuduhan diskriminasi yang dikeluhkan oleh para petisioner, maka para tentara FFDTL tersebut dianggap sebagai pro-lorosae, dan oleh sebab itu menjadi pihak yang terlibat konflik. Apakah pasukan F-FDTL memang pro-lorosae dan oleh sebab itu terlibat konflik atau tidak, namun penggunaan kekuatan yang tampaknya tidak pandang bulu oleh mereka semakin memperburuk keretakan antara timur-barat, dan telah membuat para penyerang loromonu lebih berani, serta menambah dugaan warga akan adanya teori konspirasi. Segera beredar desasdesus dan hampir pasti tidak terbukti adanya pembunuhan masal oleh F-FDTL di Comoro, Dili, sehingga ribuan warga lorosae mengungsi ke gerejagereja dan kompleks kedutaan.

40

Petitioners protest, UNOTIL Daily Media Review, 22-24 April 2006. 41 Ibid. Ini mungkin menunjuk Australia, dimana pejabat senior FRETILIN curiga mereka ingin menimbulkan masalah supaya pemerintahan yang sekarang jatuh dan diganti dengan yang lebih flexible dalam negosiasi masalah minyak. 42 Demonstrators assaulted houses and shops in Lecidere, UNOTIL Daily Media Review, 27 April 2006.

43

FRETILIN mengklaim intervensi F-FDTL sah menurut ketetapan pemerintah no. 20 7/2004 dan Pasal 115 dalam UUD. UNOTIL Daily Media Review, 23 Mei 2006.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 12

Jumlah resmi korban tewas adalah lima orang dan lebih dari 100 rumah hancur, tetapi yang lain, termasuk sejumlah politikus oposisi menduga ada lebih dari 60 korban tewas. Badan ombudsman pemerintah yang dikirim atas ijin dari Xanana Gusmao, Alkatiri, Rogerio Lobato, dan Taur Matan Ruak, mengatakan timnya tidak dapat memverifikasi laporan karena F-FDTL melarang tim ombudsman untuk mencapai lokasi penembakan.44 Pagi hari berikutnya, tanggal 29 April, segerombolan orang menyerang rumah komandan Batalion I, Falur. Xanana Gusmao berusaha mengunjungi sekelompok pengungsi, tetapi dalam penolakan yang luarbiasa terhadap otoritas yang ia miliki sejak Timor Leste merdeka, ia dicela dan dipaksa untuk meninggalkan lokasi. Pertama TNI membunuh kita, sekarang FFDTL dan polisi ingin membunuh kita lagi. Kapan mereka akan berhenti menembak? ia ditanya.45

penculikan anak-anak oleh Indonesia setelah orangtuanya ditembak mati. Ketika ia berumur tigabelas tahun, seorang sersan TNI-AD memaksanya untuk ikut kapal ke Indonesia, dimana ia menghabiskan waktu selama lima tahun di situ. Ia kembali tahun 1985 dan dua tahun kemudian bergabung dengan gerakan perlawanan. Tahun 1995, ia kabur ke Darwin naik kapal boat bersama dengan tujuhbelas orang yang lain dan bekerja di Australia hingga tahun 1999, kemudian kembali ke Timor. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan angkatan bersenjata dan diangkat menjadi komandan Angkatan Laut yang hanya memiliki dua kapal, dan menjadi salah satu dari beberapa loromonu dengan pangkat senior. Pada bulan Juli 2004, Alfredo dipindahkan dari jabatannya sebagai komandan karena terlibat dalam perkelahian dengan polisi, dan tahun berikutnya ia dikirim untuk kursus pelatihan angkatan laut selama tiga bulan di Australian Joint Command and Staff College. Menurut kabar di sana ia berpacaran dengan seorang tentara perempuan junior-nya dari Timor dan dikenai tindakan disiplin dengan dikeluarkan dari angkatan laut dan diberi jabatan komandan polisi militer, sebuah penurunan pangkat yang cukup jelas. Hubungan yang sudah jelek antara Alfredo dan atasannya semakin memburuk, sehingga kemungkinan besar hal itu telah menjadi faktor pribadi yang membuatnya melakukan desersi pada awal bulan Mei 2006, selain karena kemarahannya atas tindakan F-FDTL.47 Alfredo yang congkak tapi karismatik menjadi faktor tambahan dalam situasi yang sudah sulit sebelumnya terutama karena para pengikutnya masih memiliki senjata, tidak seperti para pengikut Salsinha, yang telah meninggalkan senjata mereka ketika melakukan desersi. Tanggal 6 Mei, Alkatiri melantik Commission of Notables untuk mengusut tuduhan dari para petisioner dan masalah yang terjadi dalam F-FDTL. Ana Pessoa, seorang anggota kelompok diaspora Maputo dan menteri urusan administrasi negara, yang memimpin komisi ini, dengan anggotanya terdiri dari perwakilan pemerintah, parlemen, gereja dan masyarakat madani. Tidak seperti komisi-komisi lain sebelumnya, komisi ini memiliki pengaruh dan kapasitas untuk meminta dan mendapatkan dokumen-dokumen dari sejumlah pemain kunci. Tetapi Salsinha menolak upaya pengusutan yang dipimpin Pessoa, yang seorang loyalis Alkatiri, dan mengatakan internasional harus

B. MAYOR ALFREDO BERGABUNG DENGAN PARA PETISIONER Tanggal 3 Mei, dalam aksi protes terhadap apa yang disebutnya sebagai penembakan sengaja terhadap rakyat sipil oleh angkatan bersenjata, seorang figur baru muncul, yaitu: Mayor Alfredo Alves Reinado, seorang kepala polisi militer. Bersama dengan tujuhbelas orang pengikutnya dan empat anggota polisi UIR, ia melakukan desersi. Hal ini menjadi kasus desersi terbesar kedua dalam konflik. Beberapa hari kemudian, dua orang perwira F-FDTL dari barat, Mayor Tilman dan Mayor Tara, mengikuti langkahnya. Alfredo pergi ke Gleno, Ermera untuk bertemu dengan beberapa petisioner, kemudian mendirikan kamp di Aileu. Ia keluar dari F-FDTL, katanya, karena pada hari itu, tanggal 28, timur yang menembak barat. Saya saksi mata untuk kejadian itu. Saya tidak ingin menjadi bagian dari (angkatan bersenjata) yang menembak barat.46 Namun pada kenyataannya, ia tidak melihat apa-apa. Alfredo adalah salah satu karakter yang rumit dalam cerita ini. Pada tahun 1977, pada usia sebelas tahun, ia terpaksa bekerja buat TNI sebagai tukang angkat barang, walaupun ibunya memprotes apalagi ketika ia melihat seorang tukang angkat barang ditembak mati karena menolak membawa beban lebih banyak. Ia menjadi saksi dari insiden kejam lain, termasuk

44

Investigation of dead bodies in Tasi Tolu, UNOTIL Daily Media Review, 3 Mei 2006. 45 Xanana asked population to return home, UNOTIL Daily Media Review, 2 Mei 2006. 46 Mark Forbes, A nation ruled by the gun. The Age, 27 Mei 2006.

47

Looking back in anger at a life less ordinary, The Age, 31 Mei 2006.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 13

ikut terlibat agar upaya investigasi ini dapat dipercaya. Gleno, ibukota kabupaten Ermera, yang telah menjadi basis para petisioner setelah tanggal 28-29 April, menjadi lokasi peristiwa kekerasan besar berikutnya. Beberapa tentara yang hengkang dari F-FDTL, termasuk Salsinha, berasal dari Ermera, dan banyak warga Dili dari loromonu telah meninggalkan Ermera setelah terjadinya kekerasan. Tanggal 8 Mei, sekitar 1,000 orang yang diorganisir sebagai bagian dari apa yang disebut Gerakan Sepuluh Kabupaten yang dipimpin oleh Mayor Tara, berkumpul di Gleno. Mereka membawa sebuah petisi yang mengklaim bahwa masalah timur-barat telah dikipasi untuk tujuan politik, mengkritik pemerintah karena gagal menahan mereka yang bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah korban tanggal 28 April, dan mendesak presiden menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk melucuti mereka yang membawa senjata api. Mereka menuntut bantuan peradilan dan kemanusiaan bagi para pengungsi (yang mana sebagian besar adalah loromonu) dan diakhiri dengan seruan untuk memboikot pemerintah lokal. Egidio de Jesus Amaral, koordinator sekretaris negara untuk wilayah termasuk Ermera, datang dari Dili untuk mencoba mencegah boikot. Setelah kedatangan sekretaris negara, bersama dengan duabelas pengawal dari kesatuan polisi UIR (enam dari timur, enam dari barat), massa justru menjadi beringas. Para tamu terpaksa mengamankan diri di sebuah kantor pemerintah. Akhirnya komandan kepolisian Ermera meminta bala bantuan dari Dili. Tetapi ketika mereka datang, massa justru menuntut kematian polisi UIR yang dituduh bertanggung jawab atas penembakan 28 April. Ismail Babo, wakil komandan operasional kepolisian nasional Timor Leste, yang saat itu memimpin pasukan bala bantuan, atas desakan massa mengatur agar senjata para petugas UIR dilucuti, kemudian mengarahkan mereka untuk menuju pintu keluar gedung. (Katanya kemudian, kalau senjata mereka tidak diambil, massa mungkin akan menyerang gedung dan membunuh mereka semua di situ).48 Para polisi UIR keluar dari dalam gedung menuju sebuah mobil yang sudah menunggu untuk membawa mereka kembali ke Dili, tetapi kemudian massa mulai melempari mobil dengan batu. Dua orang polisi UIR ditarik atau jatuh

dari mobil dan ditikam. Salah satu kemudian meninggal.49 Dalam hitungan hari, lebih dari 90 orang ditahan di Gleno, tetapi insiden tersebut telah menambah panas suasana: polisi ingin tahu mengapa rekan mereka dilucuti; kelompok barat mengatakan insiden tersebut tidak akan pernah terjadi jika pemerintah lebih cepat menanggapi tuntutan petisi sebelumnya; dan kelompok timur ingin tahu bagaimana mereka akan dilindungi. Kejadian tersebut juga menghancurkan komando kepolisian. Ismail Babo tidak kembali ke Dili hingga Juni, dan Paulo Martins, komandan kepolisian nasional Timor Leste, tidak pernah berhasil menguasai anak buahnya kembali secara penuh. Peristiwa Gleno juga memperlihatkan bahwa Xanana Gusmao memperoleh dukungan dari para petisioner dan koalisi kelompok-kelompok yang berada di belakang mereka; pertanyaannya adalah sejauh mana ia aktif mendorong tumbuhnya sebuah gerakan populer melawan FRETILIN.50 Di Dili, konfrontasi dengan para pemberontak terus berlanjut. Ramos Horta dan Xanana melakukan pembicaraan dengan Mayor Alfredo pada pertengahan bulan Mei, yang membuat kesal Taur Matan Ruak. Ia mengatakan sudah cukup buruk bahwa Alfredo melakukan desersi, lebih buruk lagi ia masih bersenjata. Tanggal 17 Mei, kongres Nasional FRETILIN yang kedua dibuka dalam suasana krisis. Menurut pendapat para pemimpin FRETILIN, persoalan para petisioner telah berkembang menjadi sebuah serangan politik skala penuh terhadap FRETILIN, kelompok Maputo dan Alkatiri secara pribadi; sehingga diputuskan mereka tidak akan membiarkan hal ini terus berlangsung.51 Alkatiri mungkin tidak akan menyetujui adanya sebuah tantangan dari dalam terhadap rencana pemilihannya kembali dibawah situasi dan kondisi apapun, apalagi sekarang. Oleh karena itu, ketika sebuah kelompok kecil reformis yang dipimpin oleh Jose Luis Guterres, duta besar Timor Leste untuk Amerika Serikat dan PBB, melakukan kampanye untuk mencalonkan diri, Alkatiri merubah aturan pemungutan suara. Daripada melakukan voting secara rahasia seperti yang diharuskan oleh undang-undang partai politik, sebaliknya ia meminta voting dilakukan dengan mengangkat tangan dan ia terpilih kembali dengan

49

48

Police showing good example: Alkatiri, UNOTIL Daily Media Review, 10 Mei 2006.

Gleno riots: one member of UIR killed, one injured, UNOTIL Daily Media Review, 9 Mei 2006. 50 Joint declaration from 10 districts, UNOTIL Daily Media Review, 9 Mei 2006. 51 Pidato pembukaan LuOlos, kongres partai.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 14

jumlah suara yang sangat besar. Para reformis mengatakan banyak yang memilih Alkatiri karena takut pembalasan yang akan diterima; jika pemungutan suara dilakukan secara rahasia maka dukungan bagi penantangnya akan jauh lebih kuat.52 Alkatiri menutup kemenangannya dengan pidato yang mengatakan FRETILIN adalah institusi negara yang paling penting; jika ia dipecah belah, maka Timor Leste akan meledak.53 Sementara itu, Mayor Alfredo terus memberikan wawancara di radio nasional dan tv dari basisnya di Aileu, menyerukan keadilan bagi mereka yang terbunuh April lalu dan memperkuat posisinya sebagai juru bicara bagi loromonu. Semakin sering ia menyatakan kesetiaannya kepada Xanana, semakin renggang keretakan di antara Xanana dan Taur Matan Ruak yang marah dengan perlakuan lunak yang diberikan kepada seseorang yang telah melanggar semua peraturan militer yang ada dalam buku. Tanggal 22 Mei, Alfredo dan sekitar 25 orang tentara pindah ke perbukitan tak jauh dari Dili. Tembak menembak yang terjadi hari berikutnya antara kesatuan F-FDTL dengan para pengikut Alfredo mungkin memang tidak dapat dihindari, tetapi pindahnya mereka ke lokasi lain juga tidak membantu situasi. C. KONFLIK SEMAKIN MEMANAS, PASUKAN INTERNASIONAL TIBA

direncanakan, melainkan sebuah kasus dimana kedua kelompok saling terkejut bertemu kelompok yang lain ada disitu.56 Sebuah film yang diambil oleh crew TV dari Australia yang berada di lokasi bentrokan pada saat itu memperlihatkan bahwa pengikut Alfredo melepaskan tembakan pertama kali, tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa mereka memang sengaja menyerang.57 Sebuah koalisi LSM punya penjelasan yang jauh lebih rumit lagi. Menurut analisa mereka, dua kelompok geng telah beroperasi di wilayah tersebut sejak tahun 2000, yang satu dipimpin oleh Alito Rambo, yang satu lagi Jacinto Kulao. Setelah bulan April 2006, persaingan antar geng berubah menjadi bersifat politis, Rambo berpihak pada lorosae dan Kulao dengan loromonu. Tanggal 22 Mei, sehari sebelum dugaan aksi serangan, konflik pecah antar kedua geng, menewaskan empat orang. Warga setempat memberitahu koalisi LSM bahwa tentara F-FDTL membantu Rambo, jadi kepala desa telah meminta Alfredo untuk melindungi kelompok Kulao. Mereka juga mengatakan polisi dari unit pasukan cadangan telah mendirikan sebuah basis dekat basis Kulao.58 Insiden ini adalah salah satu insiden yang sedang diusut oleh komisi internasional. Dan apapun penyebab insiden tersebut, hasilnya adalah operasi FFDTL melawan kelompok Alfredo, dimana sebagian besar berhasil pulang ke Aileu dengan selamat. Insiden tembak menembak ini menimbulkan serangkaian aksi kekerasan baru. Malam itu, di tengah-tengah laporan mengenai polisi yang melakukan desersi dan bergabung dengan para petisi, polisi bersenjata dan warga sipil mulai berkumpul di Tibar, di bagian barat Dili. Pagi tanggal 24 Mei, kelompok ini, bersama dengan para tentara pemberontak, menyerang dari perbukitan di atas markas angkatan bersenjata di Tacitolu, membunuh seorang perwira F-FDTL, Kapten Domingos de Oliveira (Kaikeri), komandan logistik pusat pelatihan angkatan bersenjata Timor Leste di Metinaro. Sebuah pertanyaan yang penting yaitu bagaimana para penyerang mampu memperoleh cukup persenjataan dan amunisi dan terus melakukan penembakan selama lebih dari empat jam

Versi resmi dari pemerintah yaitu bahwa tanggal 23 Mei kelompok Alfredo menyerang tentara F-FDTL di Fatuahi, di pinggir Dili, yang menewaskan satu orang dan melukai tujuh lainnya.54 Dua orang pengikut setia Alfredo terbunuh, termasuk seorang bernama Kablaki, seorang petisioner yang terlibat dalam penyerangan ke istana pemerintah tanggal 28 April. Alkatiri tetap berpendapat bahwa Alfredo telah merencanakan aksi penyerangan sebagai bagian dari sebuah kampanye politik, dan ia diperintah oleh orang lain untuk menjatuhkannya. Aksi kekerasan yang lebih banyak akan dapat membantu tujuan tersebut.55 Seorang penasihat militer internasional di Dili yang menganalisa lokasi dimana bentrokan terjadi mengatakan bahwa ia percaya bentrokan tersebut mungkin bukan sebuah serangan yang telah

52

Wawancara Crisis Group, Aderito de Jesus Soares, 12 September 2006. 53 Divide FRETILIN and Timor-Leste will explode, UNOTIL Daily Media Review, 22 Mei 2006. 54 Gunfights in Fatu Ahi: 2 people killed, 8 injured, Daily Media Review, 24 Mei 2006. 55 East Timor: Downfall of a prime minister, rekaman program SBS Dateline program, 30 Agustus 2006.

Wawancara Crisis Group di Dili, 12 September 2006. East Timor: Downfall of a prime minister, op. cit. 58 Rede Monitorizasaun Direitus Humanus (RMDH), Submission to the Independent Special Commission of Inquiry for Timor-Leste on Security & Political Crisis in Timor Leste, September 2006.57

56

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 15

pertempuran sengit. Salah satu dari mereka yang terlibat, yaitu seorang tentara yang dipecat bernama Railos, mengatakan kepada program televisi Australia berjudul Four Corners bahwa Rogerio Lobato, dengan sepengetahuan Alkatiri, telah membentuk sebuah tim keamanan rahasia yang dipersenjatai dengan delapanbelas senjata jenis HK-33, untuk membunuh lawan politik FRETILIN. Railos, yang kredibilitasnya patut dipertanyakan, mengatakan bahwa ia bertemu dengan Alkatiri tanggal 8 Mei dan diperintahkan untuk menghabiskan semua petisioner.59 Alkatiri mengakui bertemu dengan Railos dan dua orang yang lain beberapa kali selama kongres partai FRETILIN tetapi mengatakan ia meminta mereka untuk melakukan pengamanan, bukan untuk membunuh siapapun. Tak berapa lama di hari yang sama, rumah Taur Matan Ruak diserang oleh sebuah kelompok dari loromonu, yang terdiri dari para polisi pro-Rogerio Lobato, dibawah kendali wakil komandan polisi Dili, Abilio Mesquita alias Mausoko. Bulan Agustus, Mesquita, dari sebuah sel penjara di Dili, menuduh bahwa Xanana Gusmao telah memberi perintah kepadanya untuk melakukan penyerangan. Ia juga mengklaim ikut hadir dalam sebuah pertemuan di rumah Xanana di suatu waktu sebelum krisis ketika rencana untuk menjatuhkan Alkatiri dibahas.60 Crisis Group tidak mengetahui jika ada bukti untuk mendukung klaim tersebut. Ada perasaan negara ini akan karam, kata seorang penasihat militer internasional. Ada beberapa versi yang berbeda mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Sebuah sumber mengatakan, Taur Matan Ruak menemui Alkatiri siang itu dan memberikan sebuah ultimatum apakah kita akan mempersenjatai unit pasukan cadangan, atau anda meminta bantuan pasukan internasional. Menurut sumber ini, Alkatiri setuju bahwa Matan Ruak dapat membagikan senjata ke sebuah kelompok bekas pejuang Falintil termasuk beberapa pengikut Elle Sette (L-7) yang mana hal ini adalah sebuah langkah luarbiasa mengingat sejarah

pemberontakan Elle Sette terhadap otoritas FALINTIL. Baik Taur Matan Ruak maupun Alkatiri menyangkal bahwa Alkatiri pernah terlibat dalam memutuskan hal itu. Tetapi dengan atau tanpa ijin darinya, angkatan bersenjata telah membagi-bagikan sebanyak 200 dari 1,000 senjata yang telah ditransfer dari Metinaro ke Baucau kepada pasukan cadangan. Berbeda dengan pembagian senjata yang dilakukan secara rahasia dan ilegal oleh polisi ke warga sipil, pembagian senjata oleh angkatan bersenjata relatif lebih tertib dan terdokumentasi dengan baik, membuat senjata tersebut lebih mudah diperoleh kembali setelah pasukan internasional tiba.61 Bagaimanapun juga, pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan, dan sebuah permohonan bantuan resmi yang ditandatangani oleh Alkatiri dengan berat hati dikirim ke Australia, Portugal, Malaysia dan Selandia Baru. Pengaruh langsung dari aksi penyerangan ke markas F-FDTL yaitu memperuncing permusuhan antara tentara dan polisi, yang membawa kepada malapetaka tanggal 25 Mei. Pagi itu, sekelompok tentara FFDTL, bersama dengan beberapa polisi dari sebuah unit yang berbasis di Baucau (bagian timur Timor Leste) melucuti senjata tiga orang polisi di Comoro, sebuah wilayah yang sangat rawan di Dili. Tentara FFDTL saling tembak menembak dengan sebuah patroli kepolisian bermobil. Tak berapa lama pagi itu, para pemuda bergabung dengan beberapa tentara FFDTL membakar sebuah rumah milik saudara dari Rogerio Lobato. Rumah tersebut terbakar habis bersama dengan seorang ibu dan empat orang anak didalamnya; semuanya tewas. Kemudian rumah Ismail Babo, komandan polisi yang terlibat dalam peristiwa Gleno, yang menurut beberapa orang terlibat dalam penyerangan terhadap markas angkatan bersenjata, juga dibakar. Tak lama kemudian, sekitar jam 11 pagi, tentara FFDTL menyerang markas kepolisian. Penasihat militer PBB datang ke lokasi kejadian dan lewat Taur Matan Ruak, menegosiasikan apa yang mereka pikir adalah sebuah penyelesaian damai terhadap masalah ini, yaitu: tentara F-FDTL akan membiarkan polisi di dalam untuk pergi, tanpa senjata, dan mereka akan dikawal ke kantor UNOTIL oleh polisi PBB. Tetapi tak seorangpun melucuti senjata personil F-FDTL yang berada di luar markas polisi, dan ketika 85 anggota polisi mulai meninggalkan gedung dan berjalan menuju kantor UNOTIL, para tentara mulai melepaskan tembakan. Sembilan anggota polisi langsung tewas tertembak, satu meninggal beberapa

59

Liz Jackson, Claims E Timors PM recruited secret security force, Lateline, 8 Juni 2006, at http://www.abc.net. au/lateline/content/2006/s1658941.htm. Railos secara tidak meyakinkan mengatakan ia bergabung dengan para penyerang dari Tacitolu untuk membujuk mereka supaya tidak melakukan penyerangan. Ia punya rasa ketidaksenangan dengan F-FDTL karena dipecat tahun 2003, dan dia dari barat. Ia punya lebih banyak alasan untuk bergabung dengan para petisi daripada memerangi mereka, bahkan jika ia menerima senjata dari Rogerio. 60 Declaration from Abilio Mausoko, Comarca Becora, 20 Agustus 2006 (terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Tetum).

61

Crisis Group interview, Dili, 12 September 2006.

Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N120, 10 Oktober 2006

Page 16

saat kemudian, dan sekitar 30 orang terluka. Komisi penyelidikan ditugaskan untuk memutuskan siapa yang bertanggung jawab. Pada saat pertempuran berlangsung di seantero kota dan polisi tidak terlihat dimanapun, 100 orang tentara dari total 1,300 tentara Australia telah mendarat di Dili. Xanana mengumumkan ia mengambil alih kendali keamanan berdasarkan landasan konstitusional yang kurang jelas: Alkatiri mempertanyakan legalitas dari tindakan Xanana tetapi mengatakan ia akan bekerja sama. Kemudian Xanana memerintahkan Alkatiri untuk memecat Rogerio Lobato dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues. Malaysia, Portugal dan Selandia Baru juga mengirimkan pasukannya yang jika seluruhnya digabungkan jumlahnya mencapai 2,250 tentara.62 PBB dan sejumlah kedutaan dengan susah payah berusaha mengevakuasi para pegawainya yang non-essential staff bersamaan dengan meletusnya tembak menembak antara polisi dan militer, dan kelompok geng yang sebagian besar loromonu, bersenjatakan parang dan panah ambon (yaitu semacam ketapel, bukan memakai batu sebagai bahan lontaran tetapi besi yang ujungnya diruncingkan, sangat mematikan), menyerang warga lorosae.63 Di New York, Kofi Annan mengumumkan bahwa Ian Martin, yang mengawasi jajak pendapat kemerdekaan tahun 1999 sebagai kepala Misi PBB di Timor Timur (UNAMET), sedang kembali ke Timor Leste sebagai utusan khususnya. Seorang tamu yang malam itu bertemu dengan Alkatiri dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues mengatakan mereka, seperti yang lain, kelihatan lumpuh: Mereka seperti anak-anak penderita autistik, duduk di tempat gelap, dengan badan membungkuk ke depan, tangannya memeluk lutut mereka, tubuhnya mengayun ke depan dan belakang.64 Seantero kota, katanya, dicekam ketakutan yang luar biasa. Pertempuran terus berlangsung di jalan-jalan, dan warga Dili mencari perlindungan di komplekskompleks gereja, kantor-kantor LSM dan berusaha menyelamatkan diri bersama dengan teman dan saudara ke luar kota Dili. PBB memperkirakan bahwa lebih dari 120,000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak April, dan jumlah tersebut terus

bertambah.65 Tanggal 30 Mei, sejumlah preman menjarah kantor jaksa agung, memporak porandakan file-file dan mencuri perlengkapan kantor dan kertaskertas. Laporan media memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa diantara data yang hilang adalah file-file dari Unit Kejahatan Serius mengenai orangorang yang didakwa terlibat dalam kekerasan 1999, termasuk mantan panglima TNI Wiranto. Tetapi, tidak ada alasan untuk percaya bahwa para preman tersebut memilih-milih apa yang mereka hancurkan atau mereka jarah, dan isyu bahwa Indonesia terlibat tak berdasar. Dengan kehadiran pasukan internasional, perhatian pun berpindah kepada pertarungan politik: apakah Alkatiri akan tetap memegang jabatannya atau pergi? V. PERTARUNGAN POLITIK Bulan Juni kita meliha