If you can't read please download the document
Upload
rosinadilah
View
69
Download
21
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nbhjhguy
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia. Infeksi jamur paru atau mikosis paru dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapat perhatian karena frekuensinya semakin meningkat. Hal itu seiring dengan meningkatnya faktor risiko, di antaranya: penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid, alat-alat kesehatan invasif (ventilator mekanik, kateter vena sentral, dll), obat- obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan, transplantasi organ, maupun gangguan sistem imun lain.
Secara umum mikosis paru terjadi pada dua keadaan yaitu menyertai kelainan paru kronik yang sudah ada dan keadaan imunokompromis. Penyakit paru yang berisiko menimbulkan mikosis paru adalah keganasan rongga toraks, TB paru dengan kerusakan paru luas misalnya kavitas, bronkiektasis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma serta keadaan imunokompromis pascakemoterapi atau penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah aspergilosis, pneumonia pneumositis (PCP), kandidosis, kriptokokosis dan histoplasmosis. Epidemi AIDS merupakan salah satu faktor penting yang berperan pada peningkatan kejadian mikosis paru.
Penggunaan antimikroba secara luas (misalnya antivirus, antijamur profilaksis dan fluorokuinolon untuk bakteri gram negatif) bagi pasien imunokompromis telah meningkatkan risiko kolonisasi oleh spesies jamur resisten serta meningkatnya kemungkinan infeksi jamur sistemik termasuk aspergilosis invasif, antara lain pada pasien penerima transplantasi organ dan pasien leukemia mieloid akut yang menerima kemoterapi. Prevalensi kandidosis sistemik hampir tidak berubah dari waktu ke waktu.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 1 Jamur Paru di Indonesia
Pneumonia pneumosistis dan mikosis endemik termasuk histoplasmosis yang prevalensinya sempat menurun dalam dekade terakhir, dilaporkan meningkat kembali karena meluasnya penggunaan obat-obat imunosupresan.
Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga sering terlambat dalam penatalaksanaan selanjutnya. Perkembangan pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang ditimbulkan bakteri atau virus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya: mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak, gejala klinis dan hasil pemeriksaan seringkali tidak khas serta faktor risiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai epidemiologi, patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru diharapkan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis serta menentukan strategi penatalaksanaan yang lebih baik.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2 Jamur Paru di Indonesia
BAB II
PROSEDUR DIAGNOSIS
Prosedur diagnosis mikosis paru masih menjadi tantangan sampai saat ini. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat merupakan langkah penting dalam prosedur diagnosis mikosis paru. Langkah tersebut harus diikuti pemeriksaan penunjang yang tepat, meliputi: pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan mikologi. Meningkatnya kewaspadaan klinisi terhadap kemungkinan infeksi jamur paru dan pemilihan modalitas diagnosis yang tepat, akan membuat penatalaksanaan lebih baik.
Keluhan pasien mikosis paru mirip dengan keluhan penyakit paru pada umumnya, tidak ada keluhan yang patognomonik. Perlu anamnesis lebih teliti pada pasien dengan keadaan sebagai berikut:
Pasien yang memiliki kondisi imunosupresi (neutropenia berat, keganasan darah, transplantasi organ atau kemoterapi)
Penggunaan jangka panjang alat-alat kesehatan invasif (ventilator mekanik, kateter vena sentral dan perifer, kateter urin, kateter lambung, water sealed drainage, dll)
Pasien dengan kondisi imunokompromis akibat penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid, obat imunosupresi
Penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK, bronkiektasis, luluh paru, sirosis hati, insufisiensi renal, diabetes
Gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak membaik setelah pemberian antibiotika adekuat dengan atau tanpa adenopati
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3 Jamur Paru di Indonesia
Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema nodosum pada ekstremitas bawah terutama di daerah endemik
Pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah endemik
Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru lain, tergantung pada kelainan anatomi yang terjadi pada paru. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru antara lain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium klinik tertentu, serta pemeriksaan mikologi. Gambaran foto toraks pada sebagian besar mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran yang khas dapat terlihat pada aspergiloma yaitu ditemukan fungus ball pada pemeriksaan foto toraks. Hasil yang lebih baik didapat dari pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan sel eosinofil.
Pemeriksaan laboratorium mikologi merupakan prosedur diagnosis mikosis paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh pemilihan, pengumpulan serta cara pengiriman bahan klinik (spesimen) yang baik. Penanganan spesimen yang tidak memadai dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis. Spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus, dll.
Spesimen harus diletakkan dalam wadah steril yang tertutup rapat, tanpa bahan pengawet dan dilabel dengan baik. Selanjutnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam waktu paling lama dua jam setelah prosedur pengambilan. Bila tidak memungkinkan segera diproses dalam dua jam, spesimen dapat disimpan dalam suhu 40C. Spesimen yang
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 4 Jamur Paru di Indonesia
disimpan terlalu lama dapat menurunkan keberhasilan pemeriksaan.
Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan, dilakukan tiga hari berturut- turut. Pasien harus berkumur dengan air matang sebanyak 2-3 kali, selanjutnya berusaha mengeluarkan sputum dengan membatukkannya. Induksi sputum lebih dianjurkan karena lebih merepresentasikan spesimen saluran napas bawah/paru. Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10-15 ml. Bilasan bronkus atau BAL memiliki arti klinik lebih tinggi dibandingkan sputum, tetapi prosedur pengambilannya lebih sulit. Spesimen tersebut dikirim dalam semprit steril tanpa bahan pengawet atau diberi sedikit larutan garam faal bila jumlahnya sangat sedikit. Spesimen yang berasal dari cairan pleura, pus maupun eksudat dapat diambil dengan semprit steril dan langsung dikirim tanpa penambahan cairan atau bahan pengawet.
Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinik paling tinggi karena penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis. Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam faal sekedar untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena akan mematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak dapat dilakukan proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap obat antijamur. Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak 2,5-5 ml diambil dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke laboratorium. Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan sebaiknya diberi antikoagulan.
Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis pasien secukupnya dan permintaan yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf laboratorium mengarahkan pemeriksaan yang diperlukan dan menghindari kesalahan interpetasi hasil pemeriksaan.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5 Jamur Paru di Indonesia
Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru dilakukan melalui tiga pendekatan penting yaitu: pemeriksaan mikroskopik, isolasi dan identifikasi jamur pada biakan serta deteksi respons serologis terhadap jamur atau penandanya. Prosedur diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini sedang dikembangkan. Biakan spesimen maupun hasil biopsi jaringan masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru. Pemeriksaan uji kepekaan jamur terhadap obat perlu dilakukan untuk menentukan pemilihan obat antijamur yang tepat atau evaluasi terapi.
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya sangat bervariasi (10 sampai >90%) bergantung pada spesies jamur yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan imunofluoresens. Pemeriksaan langsung sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain dapat mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora maupun hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal, bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas 35-60%, sedangkan pemeriksaan BAL menunjukkan sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum dilaporkan memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL. Pewarnaan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 6 Jamur Paru di Indonesia
imunofluorensens antibodi monoklonal meningkatkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan pewarnaan biasa.
Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang dialami pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik tinggi bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu, misalnya biakan darah merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci belum dapat dibiak sampai saat ini. Pada histoplasmosis akut, sensitivitas biakan hanya 15%, sedangkan pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya >85%. Hasil pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk identifikasi spesies secara konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.
Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat bermanfaat dalam diagnosis
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7 Jamur Paru di Indonesia
kriptokokosis karena nilai sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai sensitivitas >90% dan spesivisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis; tetapi hasil uji antigen negatif tidak lantas menyingkirkan diagnosis. Uji antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan nilai sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan kemungkinan hasil positif palsu pada pasien yang mendapat terapi antibiotik golongan -laktam misalnya piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi Pencillium karena terdapatnya reaktivitas silang. Perkembangan terkini menunjukkan manfaat pemeriksaan galaktomanan Aspergillus pada spesimen BAL pasien yang diprediksi akan mengalami aspergilosis invasif. Komponen jamur yang juga sedang dikembangkan untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah -1,3-glukan (merupakan komponen dinding sel pada hampir semua jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih sangat terbatas.
PCR
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas karena belum terdapatnya standarisasi dan validasi.
Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis optimal. Keterlambatan diagnosis akan mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Dalam penegakan diagnosis mikosis paru dikenal beberapa istilah yang menentukan derajat diagnostik itu sendiri yaitu: proven, probable dan possible. Derajat diagnostik tersebut ditentukan oleh tiga kriteria yaitu: faktor pejamu (faktor risiko, penyakit yang mendasari), kriteria klinis (gejala klinis, pemeriksaan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 8 Jamur Paru di Indonesia
radiologi) serta hasil pemeriksaan mikologi. Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut :
Diagnosis Mikosis Paru
Faktor
+
Kriteria
pejamu
klinis
Faktor
+
Kriteria
pejamu
klinis
Faktor
+
Kriteria
pejamu
klinis
Biopsi
Probabl
+
Mikologi
=
e
Negatif
+
atau
=
tidak
Possibbl
dilakuka
e
n
+
Mikologi
=
Proven
Gambar 1. Skema diagnosis mikosis paru (sistemik/invasif)
Definisi diagnosis mikosis invasif proven
Pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur positif dari hasil biopsi atau TTNA dengan bukti disertai kerusakan jaringan (secara mikroskopik atau radiologi).
ATAU biakan positif dari spesimen yang berasal dari tempat steril serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan lesi yang sesuai dengan infeksi.ATAU pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dari LCS
Kriteria diagnosis proven
Faktor pejamu:
Netropenia (netrofil 10 hari).Menerima transplantasi sum-sum tulang alogenik
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 9 Jamur Paru di Indonesia
Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3 minggu.
Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin, penyekat TNF-, antibodik monoklonal spesifik (misalnya alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam 90 hari terakhir.
Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya).
2.Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam area konsolidasi.
Minor:
Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis, dll).
Pemeriksaan fisis pleural rub.Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria mayor.
Kriteria mikologi:
Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan) atau biakan jamur positif.
Pemeriksaan tidak langsung:
odeteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil positif.
odeteksi -d- glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi jamur invasif (selain
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
10
Jamur Paru di Indonesia
kriptokokosis dan zigomikosis) menunjukkan hasil positif.
o deteksi antigen kriptokokus positif.
Definisi diagnosis mikosis invasif probable
Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
DAN satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau radiologi.DAN satu kriteria mikologi.
Diagnosis mikosis invasif possible
Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
DAN satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau radiologi ATAU satu kriteria mikologi.
Kriteria diagnosis probable dan possible
Faktor pejamu:
Netropenia (netrofil 10 hari).Demam persisten selama >96 jam, refrakter terhadap antibiotik adekuat.Suhu tubuh >380C atau 10 hari) dalam 60 hri terakhir
- penggunaan obat imunosupresif saat ini (3 minggu).
2. Kriteria klinis: Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam area konsolidasi.
Minor:
Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis, dll).
Pemeriksaan fisis pleural rub.
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria mayor.
Kriteri mikologi:
Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan) atau biakan jamur positif.
Pemeriksaan tidak langsung:deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil positif.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
12
Jamur Paru di Indonesia
deteksi -d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi jamur invasif (selain kriptokokosis dan zigomikosis) menunjukkan hasil positif.deteksi antigen kriptokokus positif.kelainan paru dan hasil biakan bakteri negatif dari spesimen saluran napas bawah termasuk BAL, sputum dan darah.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
13
Jamur Paru di Indonesia
BAB III
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan: jenis jamur, status imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap obat, terapi antijamur sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan faktor risiko. Penatalaksanaan ini terdiri atas medikamentosa dan bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat antijamur (OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat:
golongan polien
golongan alilamin
golongan flusitosin
golongan azol
golongan ekinokandin
Obat
antijamur dapat diberikan sebagai
terapi
definitif,
pre-emptive (targeted prophylaxis), empirik
dan profilaksis. Terapi definitif diberikan kepada pasien dengan diagnosis proven. Terapi pre- emptive (targeted prophylaxis) diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan diagnosis possible. Terapi profilaksis diberikan kepada pasien dengan faktor pejamu khusus (misalnya pasien transplantasi organ, leukemia, keganasan dengan leukopenia tanpa demam), tetapi tidak ditemukan gejala infeksi.
Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma terutama pada kasus aspergiloma tunggal. Pada pasien dengan hemoptisis ringan dilakukan bed rest, postural drainage atau terapi simtomatik lain. Pada pasien dengan hemoptisis berulang atau hemoptisis masif, pembedahan dilakukan dengan mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika toleransi operasi tidak memungkinkan,
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
14
Jamur Paru di Indonesia
dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian antijamur transtorakal-intrakavitas.
Lama pemberian pengobatan mikosis paru tergantung kepada jenis jamur dan OAJ yang diberikan. Evaluasi pengobatan harus dilakukan untuk melihat respons obat dan toksisitas yang ditimbulkan OAJ. Toksisitas obat dinilai dari klinis, misalnya mual muntah, ikterus dan pemeriksaan fungsi hati (terutama bila mendapat OAJ golongan azol), fungsi ginjal (terutama bila mendapat OAJ golongan polien). Tabel 1 menunjukkan kriteria respons terapi OAJ
Tabel 1. Respons terapi OAJ
Luaran klinis,
K r i t e r i a
respons
Sukses
Respons
Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala klinis
komplit
dan kelainan radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur).
Respons
Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis dan
parsial
kelainan radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan
beban/jumlah jamur yang ditentukan secara kuantitatif dengan
petanda laboratorium.
Gagal
Respons
Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau tanpa
menetap
perbaikan dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti progresif
(stable)
berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris.
Progresif
Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan
Kematian
laboratoris.
Kematian dalam periode pengamatan, regardless of attribution
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
15
Jamur Paru di Indonesia
BAB IV
OBAT ANTIJAMUR
Harus diperhatikan pemberian obat antijamur (OAJ) yang adekuat, dalam waktu dan dosis tepat sehingga dapat mencegah toksisitas. Selama bertahun-tahun, satu-satunya obat antijamur yang tersedia adalah amfoterisin-B dan golongan azol. Dalam beberapa dekade terakhir telah ditemukan obat antijamur baru dengan mekanisme aksi lebih baik, spektrum lebih luas, dan efek samping lebih sedikit. Gambar berikut menunjukkan sejarah penemuan obat antijamur.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
16
Jamur Paru di Indonesia
1 4
1 2
L-Am
1 0
ABCD
ABLC Terb
8
Itrakonaz
6
Flukonazol
4
Ketokonazol
Mikonazol
Gambar 3.1. Sejarah penemuan obat antijamur dalam 50 tahun terakhir
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
17
Jamur Paru di Indonesia
Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan natamisin. Cara kerjanya adalah membuat kerusakan pada membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol (komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas seluler meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan nistatin.
Amfoterisin-B diperkenalkan pada tahun 1950an, merupakan terapi standar berbagai infeksi jamur sistemik sebelum azol berspektrum luas dan ekinokandin diperkenalkan. Amfoterisin-B memiliki
aktivitas terhadap hampir semua infeksi jamur invasif, termasuk Candida spp, Aspergillus spp, Cryptococcus, Histoplasma, dan Zygomyces. Perlu diperhatikan bahwa
Candidalusitaniae, Scedosporium prolificans dan
Aspergillus terreus memiliki resistensi primer terhadap Am-B. Dosis standar Am-B deoksikolat adalah 0,7-1 mg/kgBB/hari.
Selanjutnya diperkenalkan Am-B dalam formulasi lain yang memiliki spektrum aktivitas luas dan toksisitas lebih kecil, yaitu: amfoterisin-B liposomal (Ambisome) dan kompleks lipid amfoterisin-B (Abelcet). Dosis standar Am-B formula lipid adalah 3-6 mg/kgBB/hari.
Toksisitas yang dapat terjadi pada pemberian Am-B meliputi nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal akut, toksisitas hematologi, reaksi terkait infus (misalnya demam, menggigil, sakit kepala, mual, muntah) dan gangguan elektrolit (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia, hipernatremia, asidosis metabolik). Pemberian infus lambat (biasanya lebih dari 4 jam) dan premedikasi dengan antipiretik, antihistamin dapat dilakukan untuk mencegah reaksi terkait-infus. Pemberian infus garam fisiologis sebelum terapi dapat
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
18
Jamur Paru di Indonesia
menurunkan nefrotoksisitas yang diinduksi obat. Untuk meminimalkan nefrotoksisitas, dapat dipilih Am-B formula lipid, serta mengoreksi kelainan elektrolit misalnya hipokalemia dan hipomagnesemia.
Pada pasien dewasa tanpa neutropenia, AmB diberikan sampai 14 hari setelah hasil terakhir kultur darah negatif dan terdapat perbaikan klinis.
Tabel 3.1. Indikasi dan dosis amfoterisin-B
Sediaan
Indikasi
Dosis
Amfoterisin B
Aspergilosis invasif,
0.251 mg/kg/hari
deoksikolat
blastomikosis, kandidosis,
(Fungizone)
koksidioidomikosis,
mukcormikosis, basidiobolus,
0.71 mg/kg/hari
conidiobolus
Histoplasmosis, sporotrikosis
0.51 mg/kg/hari
Kriptokokus ringan-sedang
0.71 mg/kg/hari
atau non-SSP
0.7 mg/kg/hari
Kriptokokosis berat atau SSP
5 mg/kg/hari
Kompleks lipid
Meningitis kriptokokal (+HIV)
amfoterisin B
Infeksi jamur invasif pada
(Abelcet)
3 mg/kg/hari
pasien yang refrakter atau
Amfoterisin B
intoleran terhadap terapi
amfoterisin-B konvesional
6 mg/kg/hari
liposomal
Terapi empiris pada pasien
(Ambisome)
35 mg/kg/hari
demam, netropenia, dan
diduga mengalami infeksi
34 mg/kg/hari
jamur
Meningitis kriptokokal (+
Amfoterisin B
HIV)
Infeksi Aspergillus sp.,
colloidal dispersion
Candida sp., dan atau
(Amphotec)
Cryptococcus sp.
Aspergilosis invasif pada
pasien dengan gangguan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
19
Jamur Paru di Indonesia
ginal atau tidak dapat menerima toksisitas amfoterisin- B konvensional dalam dosis efektif dan pada pasien dengan aspergilosis invasif yang mengalami kegagalan dengan terapi amforeisin- B konvesional sebelumnya.
Dikutip dari
Proceeding ATS 2010
Nistatin, secara struktural mirip dengan amfoterisin B, namun tidak diberikan parenteral karena toksisitasnya. Nistatin biasanya bersifat fungistatik secara in vivo tetapi dapat juga bersifat fungisida pada konsentrasi tinggi atau terhadap organisme yang sangat peka. Obat itu tersedia dalam bentuk oral maupun topikal, dan tidak memiliki interaksi obat yang signifikan karena hampir tidak diserap dalam usus. Efek samping jarang terjadi, tetapi dalam dosis yang besar dapat menimbulkan mual, muntah, diare, dan nyeri perut.
Golongan allylamines
Terbinafin adalah antijamur allylamine yang memiliki efek menghambat enzim mono-oksigenase squalene, enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur. Pemberiannya dapat dilakukan topikal maupun oral terutama untuk terapi mikosis superfisialis. Terbinafin yang tersedia di Indonesia adalah dalam bentuk obat topikal yang biasa digunakan untuk mikosis superfisial.
Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptococcus. Cara kerjanya dengan mengganggu
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
20
Jamur Paru di Indonesia
sintesis asam nukleat. Mudah mengalami resistensi. Absropsi oral baik, t 4 jam, diekskresi dalam urin. Obat ini terdistribusi baik dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi jamur sistemik. Efek samping meliputi: netropenia, trombositopenia. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.
Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan menjadi dua kelas yang berbeda:
imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan posakonazol).
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis ergosterol, suatu komponen penting dalam membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui penghambatan enzim lanosterol 14- demetilase yang berperan mengubah lanosterol menjadi ergosterol, sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa penelitian in vitro melaporkan efek fungisidal itrakonazol dan vorikonazol terhadap Aspergillus spp pada dosis standar.
Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan gastrointestinal (misalnya mual, muntah, diare), hepatotoksisitas (transaminitis sampai hepatitis,
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
21
Jamur Paru di Indonesia
kolestasis). Obat golongan azol tidak boleh diberikan pada perempuan hamil (kategori C). Obat golongan azol dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P-450, sekaligus merupakan inhibitor poten sitokrom P-450 yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan berbagai obat terutama imunosupresan, misalnya statin, benzo-diazepin, dll).
a. Imidazol
Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan obat topikal seperti krim, losio, sampo, tablet vagina, tablet isap, dan solusio yang terutama digunakan untuk terapi kandidosis vagina dan mukokutan. Ketokonazol merupakan antijamur golongan azol bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi infeksi jamur superfisial maupun sistemik. Obat itu mempunyai aktivitas terhadap berbagai spesies
Candida, dermatofit, Malassezia furfur, dan beberapa jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis dan Coccidioides spp). Penyerapan ketokonazol di saluran cerna akan lebih baik bila disertai dengan minuman asam seperti soda berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek samping ketokonazol terhadap hati (hepatotoksik) serta interaksi signifikan dengan obat-obat lain sehingga penggunaannya sangat dibatasi.
Triazol
Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama, memiliki spektrum aktivitas lebih luas, bioavailability hampir 100 % karena tidak mengalami first-past metabolism, dan penyerapannya tidak dipengaruhi asam lambung. Flukonazol aktif terhadap hampir semua
Candida spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata),
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
22
Jamur Paru di Indonesia
Cryptococcus neoformans, beberapa jamur dimorfik, M. furfur, Prototheca, serta dermatofit. Flukonazol tersedia dalam sediaan oral (dosis 50 mg dan 150 mg) maupun intravena (dosis 200 mg). Flukonazol merupakan penghambat isoenzim CYP2C9, CYP2C19, dan CYP3A4, sehingga penggunaannya harus memperhatikan kemungkinan interaksi obat dengan obat lain. Obat ini juga dapat memasuki cairan otak dengan baik.
Itrakonazol, biasanya diberikan secara oral (sediaan intravena tidak tersedia di Indonesia). Spektrum aktivitasnya mirip dengan flukonazol, tetapi juga memiliki aktivitas terhadap Aspergillus spp, golongan
dematiaceae (misalnya Alternaria, Bipolaris, Curvularia) serta Sporothrix schenckii. Itrakonazol tidak efektif terhadap Zygomycetes dan Fusarium spp. Pemberian itrakonazol sebaiknya dihindari pada pasien dengan gagal jantung karena efek inotropiknya, terutama pada pasien yang menerima dosis oral harian total 400 mg. Pemberian kapsul oral itrakonazol harus diminum bersamaan dengan makanan/minuman asam (berkarbonasi) untuk meningkatkan penyerapannya.
Vorikonazol, diperkenalkan pada tahun 2002, memiliki spektrum aktivitas yang luas terhadap Aspergillus spp termasuk Aspergillus terreus yang resisten terhadap amfoterisin-B, galur resisten Candida spp, Fusarium spp,
Scedosporium apiospermum, Trichosporon spp, serta berbagai golongan kapang. Aktivitas vorikonazol dilaporkan tidak efektif terhadap jamur golongan Zygomycetes. Vorikonazol tidak memerlukan lingkungan asam untuk penyerapannya sehingga bioavailability-nya lebih baik dibandingkan dengan ketokonazol atau itrakonazol. Vorikonazol sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 1-2 jam setelah makan karena makanan tinggi lemak dapat menurunkan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
23
Jamur Paru di Indonesia
absorpsinya. Efek samping yang dapat ditemukan misalnya gangguan pengihatan sementara (fotofobia, penglihatan kabur, atau perubahan warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol tidak terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi sediaan parenteral memerlukan dosis penyesuaian pada kasus kerusakan ginjal, dan tidak boleh diberikan pada pasien dengan bersihan kreatinin (CrCl) 200
tiap 12-24 jam
blastomikosis
mg/hr)
Koksidioidomi
400-600 mg/hr dalam 2
kosis
dosis terbagi
Vorikonazol
Loading dose (x 2
CCL < 50
(oral atau
dosis): Intravena 6
ml/min:
intravena)
mg/kg tiap 12 jam.
pemberian
Oral-400 mg tiap12 jam
oral lebih
dianjurkan
Dosis rumatan
Intravena- 3-4 mg/kg
tiap 12 jam
Oral 200 mg tiap 12
Child-Pugh Class A or B: dosis rumatan 50%
Child-Pugh Class C: belum ditentukan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
25
Jamur Paru di Indonesia
jam
Posakonazo
Profilaksis
200 mg, 3x sehari
Belum
Belum
l (oral)
infeksi jamur
diketahui
ditentukan
invasif
Kandidosis
100 mg 2x sehari( x 2
orofarings
dosis), lalu 100 mg/hr
selama 13 hr
Kandidosis
400 mg 2x sehari (lama
orofarings
pemberian bervariasi
yang refrakter
tergantung respons
thd flukonazol
pasien)
dan/atau
itrakonazol
Dikutip dari Proceeding ATS 2008
Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya melalui penghambatan sintesis enzim 1,2--D dan 1,6--D-glucan synthase. Enzim itu penting dalam produksi glukan (komponen penting dinding sel jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan osmotik sehingga sel jamur tidak dapat mempertahankan bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan tidak ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit.
Dinding sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3- atau 1,6--glucan, sehingga jamur itu lebih resisten terhadap ekinokandin. Terdapat beberapa kelas ekinokandin yaitu: kaspofungin, mikafungin, dan anidulafungin. Semua golongan ekinokandin memiliki keterbatasan bioavailabilitas oral dan hanya tersedia dalam sediaan intravena.
Kaspofungin disetujui pada tahun 2001 untuk terapi aspergilosis invasif yang tidak dapat menolerir atau yang tidak membaik dengan pengobatan antijamur lainnya. Obat ini juga disetujui untuk terapi kandidosis
esofagus, abses intra-abdomen, peritonitis, dan infeksi
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
26
Jamur Paru di Indonesia
rongga pleura yang disebabkan Candida spp. Secara empiris, obat ini digunakan untuk terapi demam yang tidak diketahui penyebabnya pada pasien neutropenia. Kaspofungin secara substansial tidak mengganggu sistem enzim CYP450, tetapi dapat mengalami metabolisme hepatik signifikan. Pada pasien dengan penyakit hati, diperlukan penyesuaian dosis obat.
Mikafungin disetujui pada tahun 2005 dan terutama digunakan untuk terapi kandidosis esofagus serta profilaksis pada pasien yang menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Mikafungin terikat sangat erat dengan protein (> 99%), terutama albumin. Pada konsentrasi terapi relevan, mikafungin tidak mengganti pengikatan bilirubin terhadap albumin secara kompetitif, sehingga tidak akan menyebabkan kernicterus (kerusakan otak akibat penyakit kuning yang berlebihan). Mikafungin juga relatif sedikit berinteraksi dengan obat-obat lain karena obat ini merupakan inhibitor CYP3A4 yang lemah.
Anidulanfungin disetujui FDA pada tahun 2006 untuk terapi kandidosis esofagus, kandidemia, peritonitis, dan abses intra-abdomen akibat Candida spp. Anidulafungin tidak mengalami metabolisme di hati dan bukan merupakan substrat, inducer, atau inhibitor enzim CYP450. Hasil degradasi dikeluarkan dalam tinja melalui saluran empedu dan jumlah yang sangat kecil juga ditemukan di urin, sehingga pasien yang memiliki insufisiensi ginjal atau hati tidak memerlukan dosis penyesuaian.
Tabel 3.3. Obat antijamur golongan ekinokandin
OAJ
Spektru
Dosis
Adverse
Interaksi
Keterang
m
Reactions
Obat
an
Aktivita
s
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
27
Jamur Paru di Indonesia
Kaspofungi
Candida
IV: 35-70 mg/hari
Gangguan sal.
Siklosporin,
Penuruna
n
,
cerna, , hipotensi,
rifampin
n dosis
Aspergill
rash, demam,
diperlukan
us
menggigil, sakit
pada
kepala,
kasus
hipokalemia,
gangguan
anemia,
hati
peningkatan kadar
sedang
enzim hati, flebitis
Mikafungin
Candida,
Kandidosis
Gangguan sal.
Tidak ada
Tidak
Aspergill
esofagus
cerna, demam,
interaksi
diperlukan
us
sakit kepala,
obat utama
dosis
IV:150 mg/hari.
hipokalemia,
penyesuai
Profilaksis HSCT
hipomagnesemia,
an
IV: 50 mg/hari.
netropenia
Kandidemia atau
kandidosis
invasif
IV: 100mg/hari
Anidulafun
Candida,
Kandidosis
Jarang terjadi
Tidak ada
Tidak
gin
Aspergill
esofagus IV: 100
adverse reactions
interaksi
diperlukan
us
obat utama
dosis
mg hari ke-1,
dilanjutkan 50
penyesuai
an
mg/ hari
Kandidemia
IV: 200 mg hari ke- 1, dilanjutkan
100mg/ hari
Dikutip dari Proceeding ATS 2010
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
28
Jamur Paru di Indonesia
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
Fungus Ball
CT-Scan,
Pemeriksaa
n lain
termasuk
pemeriksaa
GEJALA / FAKTOR
RISIKO
FOTO TORAKS Lesi Lain
Operasi
CT-Scan, Induksi sputum,
(bila
Bronkoskopi (BAL), Biopsi, TTNA,
mungkin) +
Pem. Mikologi)
OAJ
n mikologi
(konfirmasi
jamur)
Evaluasi
Respons
+(-)
)
Teruskan
OAJ
OAJ sesuai FR
Sampai teratasi
Bila operasi
FR
Possi
tidak
(+),
ble
INF
mungkin
Inf.
(
-)
Profi
OAJ
-
Empir
Usahakan
laksi
ik
s
tatalaksana
OAJ
invasif
sampai
minimal
faktor
(Konvernost
risiko
omi,
teratasi
kavernoplas
ti)
minggu
Sampai
gejala /
OAJ sesuai
mikologi
jenis jamur
jamur (-)
Gejala Klinis
Evaluasi
Hati-hati
Mikologi
Proba
Prov
ble
en
Inf.
Pre-
Defi-
empti
nitiv
ve
e
OAJ sesuai jenis jamur dan OAJ sampai gejala dan mikologi (-)
OAJ sesuai dengan jenis mikologi
2 minggu setelah perbaikan klinis, radiologi dan mikologi
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
29
Jamur Paru di Indonesia