Upload
sidjerk
View
73
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fsdrfserfsdfsdfsdfsdfsdfsdfdsfsdfsdf
Citation preview
Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berkolaborasi
Oleh: Prof. Dr. Mustaji, M.Pd
Dosen Program Studi TP FIP Universitas Negeri Surabaya
A. Pendahuluan
Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi (PT) selama ini dinilai belum optimal. Penyebab
belum optimalnya kegiatan pembelajaran itu karena 3 hal, yakni (1) pembelajar kurang mampu
menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan perkembangan di bidang
teknologi pembelajaran, (2) pembelajar keliru dalam memandang proses pembelajaran, dan (3)
pembelajar menggunakan konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan dengan
perkembangan teknologi pembelajaran
Selain itu belum optimal tersebut bisa dilihat dari proses pembelajarannya. Proses pembelajaran
belum optimal karena 2 hal, yakni (1) proses pembelajaran bersifat informatif, belum diarahkan
ke proses aktif pebelajar untuk membangun sendiri pengetahuannya, dan (2) proses pembelajaran
berpusat pada pembelajar belum diarahkan ke pembelajaran yang berpusat pada pebelajar(Joni
,2000).
Xaviery (2004) menemukan bahwa proses pembelajaran saat ini kurang memiliki daya tarik.
Kurang menariknya pembelajaran karena 2 hal. Pertama, pembelajaran yang dirancang oleh
pembelajar tidak dapat memacu keingintahuan pebelajar untuk membedah masalah seputar
lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah tersebut.
Kedua, pembelajar memposisikan diri sebagai pribadi menggurui pebelajar, belum memerankan
diri sebagai fasilitator yang membelajarkan pebelajar.
Dengan mencermati sebab-sebab proses kegiatan pembelajaran yang belum optimal seperti
diuraikan di atas, adalah masuk akal apabila hasilnya juga belum optimal. Hal ini ditemukan oleh
Gaspersz (2007) mencatat bahwa lulusan PT kurang memiliki kemampuan memecahkan masalah
dan keterampilan berkolaborasi. Menurutnya telah terjadi kesenjangan antara kinerja kebutuhan
jasa alumni —yang umumnya adalah dunia kerja di banyak aspek bidang pekerjaan—dengan
kinerja lulusan di Indonesia seperti ditunjukkan dalam tabel berikut
Tabel : Kesenjangan Kinerja Lulusan PT dengan Kinerja Kebutuhan Jasa
Alumni di Indonesia (Gaspersz, 2007)
No Kinerja Lulusan Kinerja Kebutuhan
1 Hanya memahami teori Kemampuan memecahkan masalah
berdasarkan konsep ilmiah
2 Memiliki keterampilan
individual
Memiliki keterampilan berkolaborasi
(teamwork)
3 Memotivasi belajar hanya untuk
lulus ujian
Mempelajari bagaimana belajar yang efektif
untuk memecahkan masalah yang kompleks
4 Hanya berorientasi pada
pencapaian tingkat atau nilai
tertentu (pembatasan target)
Berorientasi pada peningkatan kinerja terus-
menerus dengan tidak dibatasi pada target
tertentu.
5 Orientasi belajar hanya pada
bidang studi secara terpisah
Membutuhkan pengetahuan terintegrasi
antar disiplin ilmu untuk pemecahan
masalah yang kompleks
6 Pasif, hanya menerima perintah
dari atasan
Bekerja adalah suatu proses berinteraksi
dengan orang lain dan mengolah informasi
secara aktif untuk pemecahan masalah yang
kompleks
7 Penggunaan teknologi (misalnya:
komputer terpisah dari proses
kerja)
Penggunaan teknologi merupakan bagian
integral dan proses kerja untuk pemecahan
masalah yang kompleks
Bertolak dari kelemahan proses dan hasil pembelajaran sebagaimana di uraikan di atas, penulis
(teknolog pembelajaran) berkeyakinan bahwa salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah
melakukan perbaikan sistem pembelajaran. Perbaikan sistem pembelajaran dalam perspektif
Teknologi Pembelajaran (TEP) berawal dari pemecahan masalah dan berorientasi pada pebelajar
dengan menggunakan sistem dan sumber belajar dalam arti luas, sehingga proses pembelajaran
dapat dilaksanakan secara optimal. Asumsi yang ditancapkan adalah semakin optimal proses
pembelajaran, maka akan semakin optimal pula hasil belajarnya.
Reigeluth dan Merrill (2003) menyatakan bahwa perbaikan sistem pembelajaran harus
berdasarkan pada teori pembelajaran. Teori pembelajaran bisa dilihat secara deskriptif dan
preskriptif. Teori pembelajaran deskriptif bersifat memerikan hasil dengan menempatkan
variabel metode dan kondisi sebagai variabel bebas, dan variabel hasil sebagai variabel terikat.
Teori pembelajaran preskriptif bersifat mencapai tujuan dengan menempatkan variabel hasil dan
kondisi sebagai variabel bebas, dan variabel metode sebagai variabel terikat.
Karakteristik dari sistem pembelajaran yang optimal adalah keterlibatan pebelajar sebagai subjek
belajar. Pemikiran itu perlu dijadikan titik tolak untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apa
yang harus dikerjakan oleh teknolog pembelajaran agar pebelajar terdorong untuk terlibat dalam
peristiwa belajar”. Jawaban atas pertanyaan itu akan membawa implikasi terhadap desain,
pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran karena terkandung suatu pemikiran pembaharuan
tentang bagaimana memperlakukan siswa sebagai subjek belajar—bukan objek belajar—dan apa
yang harus disediakan untuknya agar terjadi peristiwa belajar dalam dirinya.
Sistem pembelajaran mesti didesain sedemikian rupa agar pebelajar dapat bekerja secara
kolaboratif dalam memecahkan masalah nyata kehidupan masa kini (Boud & Feletti,1991).
Sistem pembelajaran harus didesain agar pebelajar mampu berpikir kritis, memecahkan masalah,
mandiri (Barrows & Kelson, 2004). Pengembangan kemandirian, kemampuan mengolah
informasi, dan kemampuan untuk terus mengembangkan diri akan lebih optimal bila dilakukan
secara kolaborasi.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Dalam pandangan masyarakat umum, pengertian collaborative learning (CBL) sering disamakan
dengan cooperative learning (CPL). Definisi pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai
suatu “tatanan” dalam proses bermasyarakat yang saling membantu dan saling berhubungan
dalam rangka memenuhi mencapai suatu tujuan. CPL lebih direktif dibanding sistem CBL. CPL
lebih dikendalikan oleh pembelajar, sedangkan CBL oleh pebelajar. Dalam CPL banyak
mekanisme analisis tim dan introspeksi berpusat pada pembelajar sedangkan dalam CBL lebih
berpusat pada pebelajar (Panitz,1996). Kagan (1990) mendefinisikan CPL sebagai suatu
pendekatan struktural yang berdasarkan pada penciptaan, analisis dan aplikasi struktur yang
sistematis, atau mengorganisir interaksi sosial di dalam kelas . Struktur pada umumnya
melibatkan satu rangkaian langkah-langkah. Kata kunci penting pendekatan ini adalah
pembedaan antara " struktur" dan " aktivitas".
Yohanes Myers (1991) menyatakan bahwa cooperative berarti memusatkan pada proses bekerja
bersama. CPL berasal dari Amerika dan sebagian besar dari tulisan filosofis Yohanes Dewey
yang menekankan belajar sosial secara alami dan berdasarkan pada ilmu dinamika kelompok dari
Kurt Lewin. Pembelajaran kolaboratif mempunyai akar dari Britania, berdasar pada pekerjaan
para guru Bahasa Inggris yang menyelidiki jalan untuk membantu para pebelajar bereaksi
terhadap literatur dengan suatu peran yang lebih aktif di dalam pelajaran mereka sendiri. Tradisi
pembelajaran kooperatif cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan memperhatikan
prestasi, yaitu hasil belajar. Tradisi pembelajaran kolaboratif mengambil suatu pendekatan yang
lebih kualitatif, pebelajar melakukan penelitian suatu topik sebagai jawaban atas suatu potongan
literatur (artikel) atau suatu sumber utama, misalnya masalah sosial .
Dalam CBL, pembelajar memindahkan semua otoritas kepada tim, sementara CPL tidak
melakukan hal seperti ini. Kerja kolaboratif sungguh-sungguh memberikan kuasa kepada
pebelajar dan harus berani mengambil semua resiko seseuai yang telah disepakati. Sebagai
contoh, hasil kerja tim atau individu kurang disetujui, atau dalam suatu posisi yang tak
meyakinkan, atau terlalu sederhana, atau menghasilkan suatu solusi tidak sesuai dengan milik
pembelajar. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang
memiliki pegangan, kontribusi kosa kata interpretative, sejarah, nilai-nilai, konvensi dan minat.
Pembelajar mungkin “tidak memiliki persepsi yang sama” dengan pebelajar, sehingga ia tidak
bisa membantu para pebelajar belajar untuk merundingkan batasan-batasan pengetahuan yang
telah dimiliki masyakarat, meskipun mungkin secara akademis menguasai. Tiap-tiap
pengetahuan masyarakat mempunyai suatu inti pengetahuan bahwa dirinya adalah anggota
masyakarat yang perlu mendapatkan peran (tetapi tidak harus absolut). Untuk berfungsi dengan
bebas di dalam suatu masyarakat, pebelajar harus menguasai bahan cukup untuk menjadi lebih
mengenal masyarakat.
2. Karakteristik
Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi
"transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai
dialogue antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar dengan
masyarakat dan lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif
ini memandang mengajar sebagai " percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar
belajar bersama-sama melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar
kolaborasi memiliki 6 karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan
pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah
yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam,
(4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan,
(5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada
dirinya sendiri, dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan
Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran
pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus dikembangkan adalah
(1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif
pemecahan masalah yang dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau
kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui, (4) mengkritik,
yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan yang
diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang
diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh
kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan
yang terjadi antara anggota kelompok.
Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan dan yang disetujui
oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan
tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada
masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab
tugas dan menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan
pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang
penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.
Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1) free-rider, yaitu membiarkan teman-
temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses
kolaborasi, (2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia
membagi pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses
penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggotatim yang lain tidak optimal, (4) ganging up on
task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk
menyelesaikannya
Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di depan kelas, tapi
dapat berperan seperti (1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses
belajar; mengatur lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi,
menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku
tertentu, dan merancang tugas; (2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam
melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara
mengungkapkan pemikiran secara verbal (think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi
pengetahuan; (3) pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap
upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh
masukan pengajar.
3. Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasii
McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke
dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi
dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five
students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every
group member” (Dishon dan O‟Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991)
menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut
harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil
yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan
Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang atau
lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama.
Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar.
Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan
pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan
pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan,
mengabaikan batas waktu penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab,
serta kurang dapat bekerja secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan faktor
kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada berbagai pendapat.
Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim dalam kelas sebaiknya terdiri
dari tiga sampai dengan lima orang (Howard, 1999). Namun, ia menegaskan bahwa untuk
permulaan latihan pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para pembelajar
memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu
kelompok. Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi dengan
orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang ditindaklanjuti dengan pembuatan
laporan dan menyajikannya di kelas, Howard (1999) menyarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga
sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah
anggota sebaiknya gasal, jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan
voting dalam penyelesaiannya.
Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bowen
(1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga perlu diperhatikan dan
latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan. Misalnya, kualitas perspektif pebelajar
dalam memandang berbagai persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen
(1998) menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan
pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang
tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim
cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk menelusuri
kesempatan karir di berbagai instansi atau perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih
tepat didasarkan atas minat karir yang sejenis.
Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi
penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan
lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar untuk menangani setiap masalah
yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi
suatu konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga
terpaksa harus melibatkan pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut
Bowen (1998) penting untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang
dihadapi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan
oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur tangan pembelajar agar
pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu mengatasi secara efektif setiap masalah
atau konflik yang dihadapi oleh timnya.
Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya. Oleh
sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya dalam bentuk tulisan semacam
handout dalam membimbing pebelajar melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif.
Berikut sejumlah strategi yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan
pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:
1. Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim.
Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam
melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada
ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.
2. Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi:
tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika
schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan
berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang
berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus
dicantumkan di dalam schedule.
3. Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat
digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu
pebelajar memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
4. Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam
bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran
tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian
depan buku catatan pebelajar
Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang bijaksana dapat
mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat bahwa pembagian
kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan keterampilan yang telah dimiliki
sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir
dalam mengoperasikan komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan
seorang lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang
ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap anggota tim
tersebut.
Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya mengandung
kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam
lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara kompetitif manakala nanti sudah
memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar menyimpan kelemahan dan keterbatasan
kesempatan untuk memperoleh atau meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas
dasar itu, Davis dan Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam
bekerja secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya
pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan, melainkan juga
pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya
selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai pentingnya
tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan melainkan juga dari tiap-tiap personel
dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab
tersebut untuk dikembangkan secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum
memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat
dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau
bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting adalah apapun
bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus
memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang
diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan
menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat waktu.
Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka dia
berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang penyebab
ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga rasa tanggungjawab terhadap
tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak
dapat hadir dalam pertemuan tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis,
laporan tertulis, dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam
pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir tersebut juga harus
mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk mendapatkan informasi tentang hasil
diskusi selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di
(McCahon & Lavelle, 1998).
4. Peranan dan Pentingnya Pencatatan Pembelajaran Kolaborasi
CBL sangat memberikan perhatian atas pentingnya pencatatan tugas-tugas belajar dalam tim—
umumnya dalam bentuk lembar tugas—dalam suatu format yang disepakati. Dengan lembar
tugas itu dapat membantu tim untuk tetap memfokuskan pada upaya penyelesaian kegiatan-
kegiatan secara benar, efisien, dan tepat waktu. Lebih dari itu, kata Bowen (1998), proses
pengisian format pencatatan dapat mendorong pebelajar untuk mengembangkan dan
meningkatkan keterampilan organisasional mereka yang nantinya akan sangat berguna tidak
hanya selama menempuh studi melainkan juga setelah mereka memasuki dunia kerja, kegiatan-
kegiatan sosial, dan berbagai situasi lainnya.
Dalam konteks ini, Davis & Miller (1996) menyatakan bahwa pembelajar menekankan pada tim
untuk tetap bekerjasama dalam mengisi format pencatatan itu, dan setiap anggota tim harus
memegang satu fotokopi dari format pencatatan yang telah selesai dikerjakan. Ketua tim secara
cepat dan tepat menyampaikan fotokopi dari format pencatatan yang telah dikerjakan itu kepada
pembelajar agar dapat digunakan untuk melakukan monitoring secara kontinyu kegiatan-
kegiatan tim dan sesegera mungkin memberikan umpan balik kepada tim Berikut ini diuraiakn
ebeberapa format pencatatan lembar tugas yang bisa dipakai oleh tim CBL.
1. Roster Komunikasi. Jika suatu tim sudah terbentuk, maka anggota tim itu harus
senantiasa saling bertukar informasi sehingga memungkinkan mereka tetap saling
berkomunikasi. Bagi anggota tim yang memiliki “e-mail” akan memudahkan untuk
saling berkomunikasi secara cepat dan sekaligus hasil komunikasi tersebut terekam serta
dapat dicetak. Untuk mendapatkan e-mail gratis, dapat diakses Yahoo dengan situs:
http://www.yahoo.com dan di sana dapat dibuat e-mail tanpa harus membayar; misalnya:
[email protected]. Roster komunikasi ini akan sangat berguna jika anggota tim
menemukan sesuatu yang penting, tetapi tidak memungkinkan untuk segera melakukan
pertemuan atau anggota tim tersebut tidak dapat hadir dalam pertemuan yang
diselenggarakan oleh tim. Dengan alat ini anggota tim tetap akan dapat melakukan
komunikasi dengan anggota tim lainnya. Dengan cara demikian, setiap anggota tim tetap
akan memelihara tanggungjawab terhadap kekohesifan timnya.
2. Lembar Tugas. Setelah tim mendiskusikan kegiatan yang akan dilakukan dan tugas yang
akan menjadi tanggungjawab tiap anggota telah ditentukan, maka pebelajar sebagai
anggota tim membuat catatan-catatan tertulis mengenai berbagai informasi bekenaan
dengan tugas dan tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya batas waktu penyelesaian
tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Lembar tugas, menurut Hart (1997), dapat
membantu pebelajar untuk (1) menghindarkan diri dari terjadinya duplikasi yang tidak
diinginkan (2) terjadinya pemborosan waktu yang dapat disebabkan oleh adanya dua
orang atau lebih anggota tim mengerjakan pekerjaan yang sama karena adanya
kebingungan tanggungjawab dan (3) menghindarkan diri dari pengabaian tugas dan
tanggungjawabnya.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar
sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi
lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian
dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah
tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2)
apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas
waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat
segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim.
3. Jadwal Pertemuan. Tugas penting yang juga harus dipersiapkan oleh anggota tim pada
awal pelaksanaan kegiatan adalah menyusun jadwal pertemuan yang akan
diselenggarakan di luar jam pembelajaran tatap muka guna mendiskusikan gagasan-
gagasan anggota, bertukar informasi, penyesuaian rencana kerja, dan tugas-tugas penting
lainnya dalam rangka penyelesaian kegiatan tim. Ada kemungkinan suatu tim menyusun
schedul pertemuannya bersama-sama pembelajar di kelas ketika tidak ada pembelajaran,
sedangkan tim lain mungkin lebih senang memilih menyusunnya di perpustakaan, di
rumah salah seorang anggota tim, di asrama, atau di tempat lain yang lebih cocok.
Dengan adanya format jadwal pertemuan ini akan sangat memudahkan tim untuk
mencatat informasi penting serta penggunaannya.
4. d. Agenda Pertemuan. Agar pertemuan tim dapat berjalan lancar dan jelas topik yang
akan dibahas, maka setiap anggota tim harus memiliki agenda pertemuan yang akan
didiskusikan bersama pada setiap pertemuan. Jika tidak, maka pertemuan tim akan
menjadi tak tentu arah atau bahkan tidak ada bahan yang akan didiskusikan. Pada akhir
pertemuan, anggota tim merumuskan agenda pertemuan yang akan datang dan bila
rencana kegiatan yang akan datang itu telah disepakati, hal itu dituangkan ke dalam
lembar agenda pertemuan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap anggota dapat
selalu mengecek rencana agenda pertemuan berikutnya sehingga tiap dapat menyiapkan
diri untuk menentukan apa agenda yang akan dibawa ke dalam pertemuan tim berikutnya.
Dengan cara demikian, dapat dihindarkan kemungkinan ketiadaan bahan untuk
didiskusikan pada pertemuan berikutnya.
5. Evaluasi Pertemuan. Davis dan Miller (1996) menegaskan bahwa untuk
memaksimalkan kesempatan belajar dari keterlibatan dalam kegiatan tim, pebelajar
mendiskusikan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman kegiatan dalam timnya.
Lembar evaluasi pertemuan ini diisi oleh setiap anggota tim pada akhir dari setiap
pertemuan. Cara demikian akan dapat membantu memfasilitasi proses maksimalisasi
kesempatan belajar bagi setiap anggota tim sekaligus mengevaluasi kinerja tim.
Kehadiran anggota tim, penyelesaian tugas setiap anggota, kontribusi setiap anggota
dalam diskusi, keterampilan interpersonal, dan faktor-faktor lain yang akan dievaluasi
harus dicatat di dalam lembaran evaluasi pertemuan tersebut. Cara demikian dapat juga
digunakan sebagai evaluasi sejawat dan sekaligus evaluasi-diri para anggota tim. Dalam
pada itu, tim juga dapat menggunakan lembaran evaluasi pertemuan ini untuk menilai
kemajuan mereka dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tim.
6. Evaluasi akhir keseluruhan kegiatan. Sebagaimana penilaian yang dilakukan pada
setiap pertemuan, evaluasi pada akhir keseluruhan kegiatan juga merupakan cara yang
sangat efektif bagi pebelajar untuk belajar dari pengalaman-pengalaman kegiatan tim
secara keseluruhan. Catatan-catatan secara rinci yang telah dibuat pada lembaran evaluasi
setiap pertemuan yang telah lalu akan sangat penting bagi pebelajar untuk dapat
melakukan evaluasi sejawat dan evaluasi diri pada akhir keseluruhan kegiatan secara
akurat dan teruji berdasarkan bukti-bukti yang kuat
Peranan evaluasi sejawat dan evaluasi diri untuk menilai kegiatan tim masih merupakan sesuatu
yang kontroversial. Beberapa peneliti dan ahli pendidikan berkeyakinan bahwa konsep bekerja
secara tim mengandung makna bahwa keseluruhan tim harus berbagi nilai secara sama. Namun,
sebagian yang lain berpendapat bahwa pendekatan seperti itu dapat menyebabkan sebagian
anggota tim kurang dapat bertanggungjawab terhadap keseluruhan kegiatan timnya karena
merasa akhirnya akan mendapatkan nilai yang sama dengan anggota lain yang aktif dan penuh
tanggungjawab (Kagan, 1995; Holt, 1997). Untuk mengatasi isu ini, diperlukan kearifan
pembelajar; bahkan banyak ahli pendidikan yang bersikeras agar masukan-masukan dari
pebelajar tetap harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
5. Domain Kemampuan Berkolaborasi
Kemampuan berkolaborasi bukan warisan, tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Kemampuan
berkolaborasi dapat dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan seperti observasi dan mengerjakan
proyek tertentu. Ada empat domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan pebelajar dalam
memecahkan suatu masalah, yakni (1) kemampuan membentuk tim, (2) bekerja /belajar secara
kolaborasi, (3) melaksanakan pemecahan masalah secara kolaborasi, dan (4) mengatur perbedaan
dalam tim (Hill & Tim, 1993). Berikut diuraikan keempat kemampuan tersebut
a. Kemampuan Membentuk Tim
Pada umumnya para pebelajar sangat mudah bekerja dalam tim, apalagi bila anggota tim tersebut
merupakan teman-teman dekatnya. Namun demikian, kadang-kadang di antara mereka sering
terjadi konflik yang berkepanjangan dalam membentuk tim kolaboratif. Konflik terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan pandangan, pola pikir, latar belakang, status, tujuan dan
sebagainya. Dalam pembelajaran, perbedaan tersebut perlu diakomodasi (Slavin, 1997) karena
amat penting dalam membangun perdamaian.
Ada beberapa keuntungan dalam tim yang anggotanya berlatar belakang beragam. Keuntungan
tersebut, di antaranya adalah mereka akan memperoleh sesuatu yang lebih dari pebelajar yang
lainnya, dengan jenis kelamin yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan kemampuan yang
berbeda pula. Tiap pebelajar memiliki kelebihan tertentu, yang mungkin tidak dimiliki oleh
pebelajar yang lainnya. Menurut Hill & Tim ( 1993) beberapa kemampuan pebelajar yang
kemungkinan diperlukan pada tahap pembentukan tim, yakni (1) memberikan ruang bagi orang
lain, (2) membuat pasangan/lingkaran, (3) melakukan kontak mata, (4) tetap berada ditimnya, (5)
menggunakan suara lembut/pelan, (6) menggunakan nama-nama orang, (7) tidak putus asa/cepat
menyerah, (8) bergiliran, (9) menggunakan pikiran sendiri/tidak menggunakan tangan orang lain,
(10) membentuk kelompok tanpa mengganggu orang lain, (11) mengijinkan teman lain untuk
berbicara, dan (12) mendengarkan secara aktif
b. Kemampuan Bekerja/Belajar dalam Tim
Setelah membentuk tim, ada beberapa cara untuk meningkatkan kinerja tim, yakni (1) membuat
tugas dan (2) membentuk organisasi tim, misalnya ketua, sekretaris, yang mengerjakan tugas 1,
tugas 2, dan seterusnya. Cara itu tepat untuk menjadikan tim agar lebih bisa mandiri, efektif, dan
efisien. Adanya pemimpin atau juru bicara dalam suatu tim akan memberikan keuntungan dalam
menyelesaikan berbagai tugas/masalah. Setiap peran di dalam tim memacu kinerja menjadi lebih
efektif dan efisien (Hill & Tim, 1993). Peran-peran tersebut mencakup (1) mengamati (2)
mencatat, (3) bertanya, (4) meringkas, (5) mendorong untuk berkontribusi, (6) memberikan
penjelasan lebih lanjut, (7) mengoranisasikan penyelesaian, dan (8) pengaturan waktu.
c. Kemampuan Memecahkan Masalah dalam Tim
Ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki oleh pebelajar agar dapat bekerja secara efektif
dalam tim untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan mendaftar ide/gagasan dan alternatif
pemecahan masalah dapat diterapkan dalam memulai diskusi. Mereka dapat melanjutkan
menulis berdasarkan kesepakatan diantara mereka serta dapat diulang-ulang secara terus menerus
sampai tahap akhir. Kemampuan membangun perdebatan tentang penyelesaian alternatif
pemecahan, kemudian menyetujui satu pemecahan masalah adalah bagian terpenting dari tim
pemecah masalah. Ketika disibukkan dalam pemecahan masalah, pebelajar dapat menjelaskan
ide-ide atau gagasan mereka atau posisi mereka. Diskusi ini merangsang berpikir dan
meningkatkan belajar (Hill & Tim, 1993).
d. Kemampuan mengatur perbedaan dalam tim
Tiap individu pebelajar hakekatnya berbeda. Perbedaan itu di antaranya kelihatan dari aspek (1)
perkembangan intelektual, beberapa pebelajar dapat belajar lebih cepat dan lebih abstrak dari
pada yang lain, (2) kemampuan berbahasa, beberapa pebelajar dapat lebih mudah mempelajari
bahan pembelajaran yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula, (3) latar belakang
pengalaman, beberapa pebelajar lebih mudah belajar bahan-bahan pembelajaran yang ada
hubungannya dengan pengalaman masa lalunya, (4) cara dan gaya belajar, beberapa pebelajar
lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran dan alat pembelajaran yang
dipergunakan dari pada pebelajar yang lain, (5) bakat dan minat, beberapa pebelajar lebih
bergairah dan tidak menemui kesulitan mengikuti beberapa mata pelajaran dibanding dengan
teman-teman lainnya, dan (6) kepribadian, kepribadian ini menyebabkan pebelajar berbeda-beda
reaksi dan tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara pengajar.
Untuk mengatur perbedaan tersebut diperlukan kemampuan tertentu yang sangat penting baik
pada saat mengikuti kegiatan pembelajaran maupun untuk masa depannya. Melihat masalah dari
sudut berbeda, belajar berorganisasi, dan menjadi penengah ketika konflik memanas adalah
kemampuan amat berharga bagi kehidupan seseorang sehari-hari dan masa depan. ( Hill & Tim,
1993). Kemampuan yang diperlukan untuk mengatur perbedaan itu diantaranya: (1) mengatur
posisi, (2) melihat masalah dari sudut pandang lainya, (3) negosiasi, (4) memediasi, dan (5)
menentukan kesepakatan
6. Mendesain dan Mengembangkan Pembelajaran Kolaborasi
Salah satu model pengembangan pembelajaran yang relevan untuk mendesain dan
mengembangkan pembelajaran kolaborasi adalah adalah model Constructivist Instructional
Design (C-ID) dari Willis (1995; 2000). C-ID adalah suatu model pengembangan pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivistik dengan pola kerja R2D2 (Reflective, Recursive, Design,
andDevelopment). Struktur model C-ID itu terdiri dari 4 tahap, yakni (1) difine, (2) design, (3)
development, dan (4) dissemination.
Pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada pandangan konstruktivisme berbeda
dengan pandangan behaviorisme (misalnya model Dick dan Carey). Model pengembangan
pembelajaran yang konstruktivis memiliki beberapa karakteristik, diantaranya (1) proses
pengembangan pembelajaran bersifat recursive, non-linier, dan tidak ada kepastian(chaos), (2)
desain bersifat reflektif dan kolaboratif, (3) tujuan muncul dari pekerjaan desain dan
pengembangan, (4) pembelajaran menekankan pada belajar dalam konteks yang bermakna, (5)
evaluasi formatif menentukan, dan (6) data subyektif lebih bernilai. Berikut disajikan secara rinci
pengembangan model pembelajaran yang berpijak pada C-ID.
1. Proses ID bersifat recursive, non-linier, dan kadang-kadang semrawut (chaos).
Pengembangan bersifat recursive, yakni berpijak pada masalah nyata pembelajaran dan
masalah itu terus berkembang yang kini menjadi fokus perhatian para pembelajar,
pebelajar, dan para pengelola pembelajaran. Masalah itu bersifat konteks, artinya terjadi
di kampus atau sekolah itu saja yang penyelesainya juga kontekstual. Proses
pengembangan tidak linier, tidak berurutan, pemecahannya tidak cukup melibatkan satu
keahlian saja, dan tidak beorientasi pada pencapaian tujuan tertentu yang terikat dalam
kurikulum.
2. Proses desain dan pengembangan terus berkembang, reflektif, dan kolaboratif.
Kegiatan pengembangan dimulai dari desain yang kurang jelas, namun terus dilakukan
kegiatan pengembangan sambil terus melakukan perbaikan. Pengembangan bersifat
kolaboratif, artinya melibatkan beberapa pihak, termasuk pengguna produk hasil
pengembangan. Pengembangan seperti itu, dengan pengembangan pembelajaran yang
behavioristik. Dalam pengembangan pembelajaran yang behavioristik kegiatan desain
dimulai dari perencanaan yang sistematik, rapi, dan jelas, termasuk tujuan
pembelajarannya.
3. Tujuan pembelajaran muncul dari desain dan pengembangan kinerja. Tujuan
pengembangan bukan pijakan dalam melakukan proses pengembangan. Selama proses
pengembangan secara kolaboratif, tujuan muncul dan terkesan “kasar” atau kurang jelas ,
kemudian menjadi lebih jelas. Dalam pengembangan pembelajaran dengan pijakan
behavioristik, rumusan tujuan pembelajaran yang opeasional sangat penting dan menjadi
acuan dalam pengembangan produk pembelajaran.
4. Ahli ID umum tidak perlu ada. Dalam pandangan konstruktivisme, generalis ahli ID
yang dapat bekerja dengan bidang keahlian dari berbagai disiplin adalah mitos.
Pengembang perlu lebih dulu memahami “proses pengembangan” pembelajaran sebelum
melakukan kegiatan pengembangan pembelajaran. Jika pengembang melibatkan tenaga
ahli, maka diutamakan mereka yang memahami hal-hal berikut, yakni (1) menguasai isi
bidang studi, (2) memahami kontek pengembangan, (3) memiliki keterampilan dalam
mendesain dan mengembangkan pembelajaran, dan (4) memiliki kewenangan untuk
mengabil keputusan dalam bidang pembelajaran. Dalam pengembangan pembelajaran
yang berpijak pada teori behaviristik, ahli yang memiliki pengetahuan khusus, sangat
diperlukan untuk mengembangan pembelajaran.
5. Pembelajaran lebih ditekankan pada kontek dan pemahamam individu yang lebih
bermakna (meaningful). Agar pebelajar dapat memahami isi lebih bermakna, maka
disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah.
Pebelajar difasilitasi untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap) dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah
tersebut menggunakan berbagai sumber daya informasi, misalnya media cetak, media
audio, media audio visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda
dengan pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik,
pengembangan pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan
pengetahuan secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah). Teori Behavioristik
menekankan pada subskill yang diajarkan.
6. Menekankan pada penilian formatif. Dalam pembelajaran yang berpijak pada teori
konstruktivistik, penilaian formatif dianggap penting. Penilaian itu untuk mengumpulkan
sejumlah informasi dalam rangka perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Dalam pembelajaran yang behaviristik, yang dipandang penting adalah penilaian sumatif,
karena kegiatan pembelajaran lebih diarahkan ke penguasaan pengetahuan yang telah
diajarkan.
7. Data kualitatif mungkin lebih berharga. Penganut teori konstruktvistik meyakini
bahwa sesuatu dapat ditunjukkan atau diamati, tetapi tidak selalu dapat diukur. Untuk itu
disarankan menggunakan penilaian authentik, portofolio, kinerja, proyek, produk, dan
ethnografi. Selama proses pembelajaran, pengembang disarankan menggunakan lembar
observasi, melakukan wawancara, fokus group, kritik ahli, dan sebagainya. Dalam
pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, lebih banyak menggunakan data
kuantitatif, misalnya menggunakan instrumen penilaian melalui ujian pilihan ganda. Data
kuantitatif digunakan untuk mengukur kebehasilan pembelajaran dengan mengacu pada
rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ketercapaian tujuan itu diukur
dengan menggunakan pretes dan postes.
Prosedur pengembangan model pembelajaran dengan model C-ID terdiri 5 tahap, yakni (1) tahap
identifikasi, (2) tahap desan, (3) tahap pengembangan, (4) tahap uji coba, dan (5) tahap
desimininasi. Berikut diuraikan secara singkat kelima tapan tersebut secara berturut-turut
(Mustaji, 2009)
Pada tahap identifikasi ada 3 kegiatan yang dilakukan, yakni (1) melakukan kajian teoritis
melalui studi pustaka atau literatur, (2) melakukan kajian empiris melalui observasi di kelas, dan
(3) menuliskan kondisi nyata di kelas/lapangan berdasarkan kegiatan point 1 dan 2.
Pada tahap desain, ada 4 kegiatan yang dilakukan, yakni (1) mengidentifikasi kemampuan
awal, (2) merumuskan tujuan pembelajaran, (3) mengorganisasikan isi bidang studi, dan (4)
melakukan studi kelayakan. Pada tahap desain ini, Willis (2000) mengajurkan agar pengembang
membentuk tim partisipasi (team partisipatory). Tugas tim sedikitnya ada 3 yaitu (1)
menciptakan dan mendukung tim pengembang, (2) melakukan pemecahan masalah secara
progresif, dan (3) mengembangkan pronesis atau pemahaman konstekstual.
Pada tahap pengembangan, dilakukan penerjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk
fisik/produk (Seels & Richey, 1994). Produk pengembangan itu berupa prototipa perangkat
pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, bahan
pembelajaran, lembar tugas, dan lembar penilaian pembelajaran
Tahap uji coba terdiri dari 3 tahapan, yakni (1) uji individu, (2) uji kelompok, dan (3) uji
lapangan. Ketiga tahap tersebut selalu diawali dengan review oleh ahli, yakni (1) ahli
pembelajaran, (2) ahli isi bidang studi, dan (3) ahli media pembelajaran. Ahli isi bidang studi,
diharapkan dapat memberikan masukan tentang kebenaran isi, kekinian, dan organisasi isi
bidang studi.
Pada tahap desiminasi dilakukan penyusunan laporan hasil kegiatan pengembangan. Laporan
tersebut diseminarkan yang dihadiri oleh para ahli isi bidang studi sosiologi, teknisi
pembelajaran, teknolog pembelajaran, teknolog pembelajaran, dan ahli penilaian pembelajaran,
dan para pengambil kebijakan dalam bidang pembelajaran. Kegiatan lain adalah menyajikan
hasil pengembangan dalam suatu jurnal pendidikan.
Namun perlu ditegaskan di sini bahwa produk perangkat pembelajaran yang dikembangkan,
kemungkinan hanya sesuai diimplementasikan pada konteks lokal, dimana latar pengembangan
ini didesain dan dikembangkan. Lokal dalam pengertian kontekstual (ruang, waktu, kasus,
masalah, isi bidang studi), sehingga produk model hasil pengembangan tidak dapat
digeneralisasikan untuk semua latar. Yang penting produk model yang dikembangkan itu (1)
didasarkan pada masalah dalam pembelajaran, (2) menggunakan hasil penelitian yang relevan
untuk mengembangkan produk, (3) melakukan uji coba produk dan uji lapangan, (4) melakukan
revisi sesuai kriteria dan tujuan yang telah ditentukan--tidak menguji teori, namun
mengembangkan dan menyempurnakan produk, dan (5) produk yang dihasilkan bermanfaat
untuk perbaikan/peningkatan kualitas pembelajaran
7. Prosedur Pembelajaran Kolaborasi
Mata kuliah yang diselenggarakan dengan menggunakan CBL dalam pelaksanaannya mengikuti
mengikuti 5 tahap, yakni (1) konsep dasar, (2) pendefinisian masalah, (3) pembelajaran mandiri
atau kolaborasi, (4) pertukaran pengetahuan, dan (5) penilaian (Barrow,1980; Sudarman, 2007).
a.Konsep Dasar (Basic Concep)
Dalam CBL, jika dipandang perlu pembelajar memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi,
atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran. Hal itu dimaksudkan agar pebelajar
lebih cepat masuk dalam atmosfir pembelajaran dan mendapatkan “peta” tentang arah dan tujuan
pembelajaran. Lebih dari itu, untuk memastikan pebelajar mendapatkan kunci utama materi
pembelajaran. Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar
saja sehingga pebelajar dapat mengembangkan secara mandiri dan secara mendalam.
Kegiatan pada tahap ini tidak dalam bentuk paparan konsep dasar materi oleh pembelajar,
melainkan kegiatan penggalian teori pendukung yang dibutuhkan untuk mendasari pemahaman
dalam mata kuliah. Untuk memastikan pebelajar bisa mengikuti tahap ini, dianjurkan dalam
pembelajaran dengan CBL menggunakan lembar tugas atau petunjuk pembelajaran.
b. Pendefinisian Masalah
Pada tahap ini, pembelajar menyampaikan permasalahan dalam tim belajar yang memungkinkan
mereka melakukan berbagai aktivitas belajar. Ada 3 hal yang penting dilakukan pada tahap ini.
Pertama, tim melakukan brainstorming. Dengan brainstorming, setiap anggota tim belajar dapat
mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap permasalahan secara bebas sehingga
akan mmuncul berbagai macam alternative pendapat. Setiap anggota tim memiliki hak yang
sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendukumentasikan secara
tertulis pendapatnya dalam kertas kerja. Selain itu, setiap kelompok mencari istilah yang kurang
dikenal dalam scenario/masalah tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika
ada pebelajar yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman-temannya. Jika ada
bagian yang belum dapat dipecahkan dalam tim tersebut, ditulis isu dalam permasalahan tim.
Kedua, melakukan seleksi alternative untuk memilih pendapat yang lebih focus. Ketiga,
menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam tim untuk mencari referensi
penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Pembelajar menvalidasi pilihan-pilihan yang
diambil pebelajar. Jika ada tujuan pembelajaran yang belum disinggung oleh pebelajar,
pembelajar mengusulkannya dengan memberikan alasan-alasan yang cukup.
Pada akhir tahap ini pebelajar diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang
mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan
untuk “menjembataninya”.
c. Pembelajaran Mandiri dan atau Kolaborasi
Setelah mengetahui tugasnya, setiap anggota tim secara mandiri dan atau kolaborasi mencari
berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud
bisa dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan dalam perpustakaan, halaman web, atau bahkan
pakar dalam bidang yang relevan. Kegiatan investigasi memiliki 2 tujuan, yakni (1) agar
pebelajar mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan
permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu
tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
Di luar pertemuan dengan pembelajar, pebelajar bebas untuk mengadakan pertemuan dan
melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut pebelajar saling bertukar informasi
yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Pebelajar juga harus
mengorganisasikan informasi yang didiskusikan sehingga anggota tim lain dapat memahami
relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.
Pada tahap ini, proses pembelajaran dapat dimulai bila seleksi alternatif dan pembagian tugas
sudah dilakukan. Setiap pebelajar dapat melakukan pendalaman materi sesuai dengan pembagian
tugas dalam tim masing-masing. Pendalaman materi dapat dilakukan melelaui referensi (buku,
jurnal, majalah, browsing internet, dan informasi dari ahli).
d. Pertukaran Pengetahuan
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran
mandiri dan atau kolaborasi, selanjutnya pada pertemuan berikutnya pebelajar berdiskusi dalam
timnya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan tim.
Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara pebelajar berkumpul sesuai dengan tim
dan pembelajar atau asisten pembelajarnya.
Tiap tim menetukan ketua diskusi dan tiap anggota tim menyampaikan hasil kerja/belajarnya
dengan cara mengintegrasikan hasil belajarnya untuk mendapatkan kesimpulan. Langkah
selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari
pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dukumentasi akhir.
e. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Penilaian terhadap hasil konstruksi pengetahuan dapat dilakukan dengan ujian, dukumen, atau
laporan. Penilaian terhadap keterampilan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran
baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian
terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam
tim, keterampilan bekerja secara kolaborasi, dan kehadiran dalam perkuliahan. Bobot ketiga
aspek tersebut ditentukan oleh pembelajar yang bersangkutan
Untuk mengetahui keefektifan pembelajaran dengan menggunakan CBL perlu dilakukan
evaluasi. Evaluasi itu untuk mendapatkan 2 informasi penting, yakni (1) tingkat keberhasilan
pelaksanaan pembelajaran, meliputi keluaran pembelajaran, manfaat bagi pebelajar, relevansinya
dengan kemampuan lulusan, dan (2) kendala atau masalah yang timbul, meliputi fasilitas
penunjang pembelajaran dengan PBM, resistensi pembelajar, resistensi pebelajar, dan informasi
yang diperoleh dilakukan untuk melakukan perbaikan dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian pembelajaran.
8. Hasil Pengujian Model Pembelajaran Kolaborasi
Gokhale (1995), menemukan bahwa kelompok pebelajar yang belajar dengan pola belajar
kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding kelompok pebelajar yang belajar secara
kompetitif. Berdasarkan analisisstatistik menunjukkan bahwa para pebelajar yang belajar secara
kolaboratif memiliki kemampuan yang baik dalam hal “berpikir kritis” dibanding mereka yang
belajar secara kompetitif. Ini sesuai dengan teori pembelajaran yang diusulkan oleh penganjur
pembelajaran kolaboratif.
Selanjutnya ia menyarankan agar pembelajaran kolaboratif lebih efektif, pembelajar harus
memandang pembelajaran sebagai proses untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
pebelajar untuk belajar. Peran Pembelajar bukanlah untuk memancarkan informasi, tetapi untuk
bertindak sebagai suatu fasilitator untuk belajar. Belajar adalah kegiatan menciptakan, mengelola
pengalaman belajar dan merangsang pemikiran pebelajar melalui permasalahan dunia nyata.
Saran lain yang diajukan Gokhale (1995), kepada para peneliti pembelajaran berikutnya agar
melakukan penelitian pembelajaran yang menyelidiki efek dari variabel yang berbeda seperti
komposisi kelompok, heterogen melawan homogen, pemilihan kelompok dan ukuran, struktur
dari pembelajaran kolaboratif, jumlah intervensi pengajar di dalam proses pembelajaran, jenis
kelamin dan etnis, dan gaya belajar yang berbeda.
Arnseth dan Ludvigsen (2000) dalam penelitiannya tentang komputer pembelajaran
menghasilkan temuan bahwa peralatan teknologi modern (komputer) mempengaruhi pemikiran,
pemecahan masalah, pemahaman konseptual, dan penerapan strategi pemecahan masalah, dan
proses kolaborasi dibandingkan dengan penggunaan teknologi peradaban kuno. Ia menyarankan
agar penelitian yang akan datang menguji bagaimana teknologi benar-benar menonjolkan
aktivitas sosial, bagaimana orang bisa “menjadi lebih sosial” dengan menggunakan teknologi
modern, karena ada asumsi bahwa “teknologi dehumanisasi” atau menjadikan manusia lebih
individual. Topik psikologis, seperti persepsi, pemecahan masalah, ingatan dan pemikiran perlu
dikaji dengan menggunakan pendekatan dengan tindakan sosial, dan pengaturan interaksi sosial.
Kedua ilmuwan pembelajaran ini juga menemukan bahwa penggunakaan teknologi informasi
dapat meningkatkan aktivitas kolaborasi secara terus menerus. Para pebelajar „dapat belajar‟
secara jarah jauh atau telelearning untuk merundingkan struktur masalah, proses pemecahan
masalah, pemahaman tugas, dan perbedaan peran mereka dalam tim. Proses kolaborasi dapat
membangun bingkai pemahaman atas masalah, kejelasan tugas tim dalam memecahkan masalah,
meningkatkan kemampuan interaksi sosial, dan dapat meenghasilkan kerja yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Mustaji (2009) menemukan bahwa penggunaan pembelajaran kolaborasi pada mata kuliah
masalah sosial dapat meningkatkan hasil belajar. Hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya (1) hasil belajar pebelajar yang mencapai ketuntasan 82.3%, (2) pebelajar lebih
bergairah untuk bekerja/belajar, (3) produktifitas pebelajar dilihat dari sisi portofolio
pembelajaran lebih meningkat, (4) tugas-tugas proyek pemecahan masalah dapat dilaksanakan
secara optimal, (5) pebelajar memiliki sikap yang positif terhadap proses pembelajaran, materi,
pembelajar, dan norma yang berkaitan dengan materi pembelajaran, (6) dan pebelajar lebih
memiliki keterampilan berkolaborasi.
Penggunaan model pembelajaran kolaborasi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini
bisa dilihat dari tanggapan pebelajar yang menyatakan bahwa penggunanan pembelajaran
kolaborasi dapat menciptakan terhadap suasana pembelajaran yang interaktif, pebelajar lebih
aktif untuk belajar/bekerja, dan menyenangkan. Peran pembelajar sebagai fasilitator, motivator,
konsultan pembelajaran, dan mitra pebelajar. Pebelajar dapat memilih tujuan belajar,
mengkonstruksi pengetahuan, kesungguhan untuk belajar, dan belajar berkolaborasi. Ini
menunjukan bahwa pembelajaran kolaborasi adalah suatu model pembelajaran yang berpusat
pada pebelajar.
C. Penutup
Keterampilan berkolaborasi sangat diperlukan dalam kehidupan masa kini. Kini, keberhasilan
bukanlah buah dari kompetisi, tetapi dari kolaborasi. Paradigma keberhasilan proses
pembelajaran berbasis kompetisi (competition) perlu digeser ke paradigma proses pembelajaran
berbasis kolaborasi (collaboration). Paradigma kehidupan sekarang yang paling tinggi adalah
interdependensi (saling ketergantungan), bukan independensi(individualisasi). Pergeseran
paradigma seperti itu penting untuk dipahami oleh para pembelajar karena semakin
terspesialisasikannya bidang-bidang ilmu sehingga untuk menghasilkan suatu produk harus
mampu mengkolaborasikan secara serasi antar spesialisasi bidang ilmu. Sehubungan dengan itu
para pembelajar juga perlu mengembangkan pola kerja/be;lajar kolaborasi daripada kompetensi.
Jika kompetisi yang dikembangkan, maka akan mengarahkan pada pikiran dan perasaan untuk
menyerang orang lain.
Keterampilan berkolaborasi merupakan keterampilan yang sangat diperlukan untuk memasuki
dunia kerja. Dengan bekerja/belajar secara kolaborasi, pebelajar menjadi lebih sukses sebagai
bagian dari anggota tim dan kinerja menjadi lebih berkualitas. Sukses sebagai bagian dari tim
dan kinerja yang berkualitas, merupakan keterampilan yang sangat penting ketika nanti mereka
sudah memasuki dunia kerja.
Bagaimana pendapat Anda ?
DAFTAR RUJUKAN
Arnseth, H.C dan Sten Ludvigsen. 2000. Collaboration and Problem Solving in
Distributed Collaborative Learning.University of Oslo Barbara Wasson, Anders Mørch
University of Bergen: http://www.ll.unimaas.nl/euro-cscl/Papers/8.doc. Diakses 8
Desember 2006
Bowen, D.D 1998. “Team Frames: The Multiple Realities of The Team.” Journal of
Management Education, 22, (1), 95-103.
Covey, S.R. 1989. The Seven Habits of Highly Effective People.” New York: A Fireside
Book.
Davis, B.D. & Miller, T.R. 1996. “Job Preparation for The 21st Century: A Group
Project.” Journal of Education for Business, 72, (2), 69-73.
Duin, J.S. et al., 1994. “Collaborative Processes.” Dalam Dishon D. & O‟Leary, W. P.
(1994). A Guidebook For Cooperative Learning: A Technique For Creating More
Effective Schools. Holmes Beach, FL: Learning
Gaspersz. 1998. Manajemen Produktivitas Total: Strategi Peningkatan Produktivitas
Bisnis Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gaspersz. 2007. Team Oriented Problem Solving. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gokhale, A A. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thingking.
http://scolar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/jte-v7n1/gokhale.jte-v7n11,html. diakses 20
Nopember 2006
Graham, R.A. & Graham, B.L. 1997. “Cooperative Learning: The Benefit of
Participatory Examinations in Principles of Marketing Classes.” Journal of Education for
Business, 72, (3), 149-152.
Greening, Tony.1998. Scaffolding for Success in Problem Base Learning,
http://www.med-ed-online.org?f0000012.htm. diakses tanggal 10 Desember 2006
Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classrom: a guide co-operaative
learning. Australia. Eleanor Curtain Publisshing.
Howard, S.A. 1999. “Guiding Collaborative Teamwork In The Classroom”. Effective
Teaching, 10, (5), 11-27.
Joni, T.R. 2000. Rasional Pembelajaran Terpadu. Makalah disajikan dalam Seminar
Regional: Implementasi Pembelajaran Terpadu dalam Menyongsong Era Indonesia Baru:
PPS Universitas Negeri Malang, 20 Mei 2000
Jorn, L.A.& Duin, A.H. 1992. “Information Technology and The Collaborative Writing
Process in The Classroom.” Bulletin of The Assosiation for Business Communication, 55,
(4), 13-20.
Kirschner, P A. 2005. Technology-Based Collaborative Learning: A Europian
Perspektive. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, p 5-7
Kirschner, P A. 2005. Technology-Based Collaborative Learning: A Europian
Perspektive. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, p 5-7
Lookatch, R.P. 1996. “Collaborative Learning and Multimedia: Are Two Heads Still
Better, http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006
Ludvigsen, A R & Morch A I. 2005. Situating Collaborative Learning: Educational
Technology in the Wild. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, 39-
43
McCahon, C.S. & Lavelle, J.P. 1998. “Implementation for Cross-Disciplinary Teams for
Business and Engineering Students for Quality Improvement Projects. Journal of
Education for Business, 73, (3) 150-157.
Mustaji, 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pola
Kolaborasi dalam Mata Kuliah Masalah Sosial. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana
UIniversitas Negeri Malang
Qin, Z, Johnson, D.W, dan Johnson, R.T. 1995. Cooperative versus Competitive efforts
and problem solving. Reviewof Educational Research, 65 (2) p. 129-143
Panitz,T (1996). A Definition of Collaborative vs Cooperative Learning:
http://www.city.londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/panitz2.htm
l. diakses 18 Nopember 2006 Ravenscroft, S.P. & Buckless, F.A. 1995.“Incentives in Student Team Learning: An
Experiment in Cooperative Group Learning.” Issues in Accounting Education, 10, (1),
97-109.
Sharan, Y. and Sharan, S.(1992). Expanding cooperative learning through group
investigation. New York: Teachers College Press.
Mann, S.T , 2003. Study Guides and Strategies; Cooperative & Collaborative Learning.
http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006
Xaviery, 2004. Strategi Pembelajaran Sosiologi Tingkat SMA. http://artikel.us/xaviery6-
04.html. diakses tanggal 27 Agustus 2007
Education
Pendidikan Bagi Kita Semua
Kamis, 15 November 2012
Model Pembelajaran Ekspositori
Model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa
dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Roy Killen menamankan model ekspositori ini dengan
istilah model pembelajaran langsung (dirrect intruction), karena dalam model ini materi pelajaran
disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.1[1] Model
ekspositori sama seperti model ceramah. Kedua model ini menjadikan guru sebagai pemberi informasi
(bahan pelajaran).
Dominasi guru dalam kegiatan belajar-mengajar model ceramah lebih terpusat pada guru dari
pada model ekspositori. Pada model ekspositori siswa lebih aktif dari pada model ceramah. Siswa
mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakan bersama dengan siswa
lain, atau disuruh membuatnya dipapan tulis.2[2] Metode Ekspositori adalah cara penyampaian pelajaran
dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan
materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individual,
menerangkan lagi kepada siswa apabila dirasakan banyak siswa yang belum paham mengenai materi.
Kegiatan siswa tidak hanya mendengar dan mencatat, tetapi siswa juga menyelesaikan latihan soal dan
bertanya bila belum mengerti.
Beberapa karakteristik model ekspositori, diantaranya: 3[3]
a. model ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur
secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan model ini., oleh karena itu sering mengidentikanya
dengan ceramah;
1[1] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 179.
2[2] Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), hlm. 171.
3[3] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 179.
b. materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta,
konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehinga tidak menuntut siswa untuk bertutur ulang;
c. tujuan utama pembelajaran dalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses
pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat
mengungkapkan kembali materi yang sudah diuraikan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah suatu model
pembelajaran yang cara penyampaian materinya secara langsung oleh guru kepada siswa dengan tujuan
siswa dapat menguasai materi secara optimal. Materi yang pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam
model pembelajaran ekspositori biasanya materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta,
konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehinga tidak menuntut siswa untuk bertutur ulang.
Diposkan oleh Andi "Ghothenx" El-Faraby di 11:41:00 AM