14
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (1), 63 - 76 63 Latar Belakang Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondi- si medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria diagnostik ha- rus disebabkan oleh adanya tekanan (McCar- ron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan Somatisasi mengacu pada perkembangan ge- jala somatik yang tidak ditemukan atau dise- babkan oleh penyakit medis (Escalona, Achil- les, Waitzkin, & Yager, 2004; North, Kawasaki, Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Esco- bar, Waitzkin, & Cohen-Silver, 2001). Somati- sasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan teori psikodinamik, dimana penyebab penya- kit dikarenakan konflik psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang diubah menjadi penya- kit fisik (Kirmayer, 1984; Li-powski, 1988). Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang sering digunakan individu untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri dan tidak ber- pengaruh pada orang lain (Kaplan, Harold, Sa- dock, & Grebb, 1997; Barry, 2003). Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang ti- dak dapat dijelaskan secara adekuat berdasar- kan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gang- guan somatisasi dibedakan dari gangguan so- matoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis). Gang- guan ini bersifat kronis dengan gejala ditemu- kan selama beberapa tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti gangguan Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi Nidya Rizky Selvera Universitas Muhammadiyah Malang 1 Abstraksi Gangguan somatisasi banyak terjadi di Asia dan Afrika, khususnya pada wanita usia dewasa muda, gejala nampak pada adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah (distortion cognitive) serta ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau kesalahan dalam menafsirkan sensasi somatik. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang perempuan yang diidentifikasi mengalami gangguan somatisasi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Tindakan (action research) dengan menggunakan metode analisis data gabungan (mixed methods). Instrument pengumpulan data yang digunakan wawancara, self-report, dan skala IBT. Intervensi yang diberikan kepada subyek berupa teknik restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan pada keyakinan irasional pada gangguan somatisasi. Hal ini berarti bahwa penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasikan dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami somatisasi. Kata kunci Teknik restrukturisasi kognitif, keyakinan irasional, gangguan somatisasi 1 Korespondensi ditujukan kepada Nidya Rizky Selvera, [email protected], telepon: 081233671115

1349 3056-1-pb

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1349 3056-1-pb

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936Volume I (1), 63 - 76

63

Latar Belakang

Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondi-si medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria diagnostik ha-rus disebabkan oleh adanya tekanan (McCar-ron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan Somatisasi mengacu pada perkembangan ge-jala somatik yang tidak ditemukan atau dise-babkan oleh penyakit medis (Escalona, Achil-les, Waitzkin, & Yager, 2004; North, Kawasaki, Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Esco-bar, Waitzkin, & Cohen-Silver, 2001). Somati-sasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan teori psikodinamik, dimana penyebab penya-kit dikarenakan konflik psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang diubah menjadi penya-kit fisik  (Kirmayer, 1984;  Li-powski, 1988).

Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang sering

digunakan individu untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri dan tidak ber-pengaruh pada orang lain (Kaplan, Harold, Sa-dock, & Grebb, 1997; Barry, 2003).

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan  somatoform  spesifik  yang  ditandai oleh  banyaknya  keluhan  fisik/gejala  somatik yang mengenai banyak sistem organ yang ti-dak dapat dijelaskan secara adekuat berdasar-kan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gang-guan somatisasi dibedakan dari gangguan so-matoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis). Gang-guan ini bersifat kronis dengan gejala ditemu-kan selama beberapa tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti gangguan

Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi

Nidya Rizky Selvera Universitas Muhammadiyah Malang1

Abstraksi Gangguan somatisasi banyak terjadi di Asia dan Afrika, khususnya pada wanita usia dewasa muda, gejala nampak pada adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah (distortion cognitive) serta ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau kesalahan dalam menafsirkan sensasi somatik. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang perempuan yang diidentifikasi mengalami gangguan somatisasi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami gangguan somatisasi dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Tindakan (action research) dengan menggunakan metode analisis data gabungan (mixed methods). Instrument pengumpulan data yang digunakan wawancara, self-report, dan skala IBT. Intervensi yang diberikan kepada subyek berupa teknik restrukturisasi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan pada keyakinan irasional pada gangguan somatisasi. Hal ini berarti bahwa penerapan teknik restrukturisasi kognitif diidentifikasikan dapat meningkatkan pemikiran positif dan rasional pada subyek yang mengalami somatisasi.

Kata kunci Teknik restrukturisasi kognitif, keyakinan irasional, gangguan somatisasi

1 Korespondensi ditujukan kepada Nidya Rizky Selvera, [email protected], telepon: 081233671115

Page 2: 1349 3056-1-pb

64

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan (Kaplan et al., 1997; Woolfolk & Allen, 2010).

Gangguan somatisasi lebih sering ter-jadi    atau  ditemukan  di  budaya  non-Barat, terutama sering terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika   (Gaw, 1993). Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umumnya diperki-rakan  0,1–0,7%  (Weissman,  Myers,  &  Hard-ing, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997; Barsky, & Borus,  1995).  Prevalensi  gangguan somatisasi terjadi pada wanita di populasikan sebanyak 1–5%. Perbandingan rasio penderita pada  wanita  dan  laki-laki  adalah  5  berban-ding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun) (David-son, Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Pun-noose,  2010;  Eisendrath,  1998;    Khouzam  & Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart, Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga  menyebut-kan bahwa gangguan somatisasi lebih sering terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Sur-vey pada komunitas penderita gangguan soma-tisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang dengan gangguan somatisasi telah mengun-jungi seorang dokter dan hampir setengahnya (45%) masuk  perawatan  inap  di  rumah  sakit (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).  Kasus gang-guan somatisasi terjadi juga di klinik psikologi di Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Nina diketahui bahwa pada tahun 2008 terdapat 8 pasien somatisasi dan mening-kat menjadi 14 pasien pada tahun 2010.

Gangguan somatisasi biasanya menun-jukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit ti-dur,  sakit  perut/nyeri  pada  perut,  gangguan pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit medis, hal ini dikarenakan individu dengan gangguan somatisasi merasa sakit pada seba-gian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan penyakit tubuh kepada dokter setiap individu merasa sakit (McCahill, 1995, Boeree, 2008). 

Individu dengan gangguan somatisasi memiliki kecenderungan untuk bereaksi ter-hadap tekanan psikososial dan lingkungan yang membuat stres sehingga tubuh merasa sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat pada jantung, pencernaan, pernapasan, kulit, dan sistem organ lainnya (Katon, Ries & Klein-man, 1984; Moore & Jefferson, 1996). Individu yang mengalami gangguan somatisasi memi-liki keyakinan dan alasan yang kuat bahwa ia sakit, meskipun juga penyakit tersebut su-dah dibuktikan dengan berulang kali dari ha-

sil tes laboratorium, tes diagnostik, konsultasi dengan  spesialis/dokter,  bahkan  rawat  inap menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang serius ditubuh individu. Individu tersebut terus mencari perawatan medis atau membeli beberapa obat tanpa resep dokter (Escobar, Waitzkin & Silver, 1998;   McCahill, 1995; Ali, Deuri,  Jahan,  Singh  &  Verma,  2010).  Gang-guan somatisasi merupakan hasil dari keya-kinan irasional dan kesalahan dalam proses berpikir (distortion cognitive) serta adanya ke-takutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi  fisik  atau  salah  dalam  menafsirkan sensasi somatik. Sebagai contoh, individu per-caya bahwa rasa sakit, kelelahan, atau ketidak nyamanan dalam bentuk apapun merupakan tanda-tanda penyakit yang terjadi pada dirinya (Rief, Hiller, & Margraf, 1998).

Individu dengan gangguan somatisasi le-bih mungkin percaya bahwa  gejala  fisik  yang tidak jelas merupakan indikator penyakit seri-us dan selalu mencari pengobatan. Misal-nya, seseorang dengan gangguan somatisasi mungkin takut bahwa sakit kepala adalah sinyal tumor otak, atau sesak napas menun-jukkan timbulnya asma. Ketika dokter tidak dapat menemukan penjelasan medis untuk ge-jala, individu mungkin takut bahwa ia memi-liki penyakit langka dan panik untuk mencari spesialis yang dapat memberikan diagnosis pe-nyakitnya  (Menza,  Lauritano,  Allen, Warman, Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001).

Gangguan somatisasi disebabkan oleh pikiran individu, individu merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya sehingga menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang negatif dan keyakinan irasional tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang rnenyebabkan individu merasa bahwa jika adanya tekanan, stress, terlalu banyak akti-vitas yang dilakukan, kelelahan yang mengu-ras energi dan tenaga serta ketidak percaya diri dengan kemampuan dirinya maka dapat memunculkan rasa sakit dan menganggap hal tersebut dapat mengancam atau memba-hayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini membuat individu sakit, sehingga perlu ada-nya pendekatan (intervention) untuk individu gangguan somatisasi yang bertujuan mengu-bah pola pikir yang salah dan negatif men-jadi pikiran-pikiran yang positif dan rasional (Emair, 1998). 

Pendekatan  kognitif  menekankan  bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi

Page 3: 1349 3056-1-pb

65

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu dalam hal ini menerima stimulus kemudian melakukan proses mental sebelum memberi-kan reaksi yang datang (Boeree, 2008). Dasar pikiran teknik kognitif adalah proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Selain itu, perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang di-pikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran  individu  tersebut  belum  tentu  meru-pakan suatu pemikiran yang objektif menge-nai keadaan yang dialami sebenarnya (Burns, 1988).

Adapun faktor kognitif yang menyebabkan gangguan somatisasi seperti prediksi berlebih terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sen-sitivitas berlebihan mengenai sinyal-sinyal dan tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self ef-ficacy (kemampuan diri) yang terlalu rendah dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga somatisasi terbentuk karena cara berpikir yang terdistorsi yang membuat seseorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sen-sasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/anca-man yang akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif tersebut akan berdampak pada fungsi sosial, pekerjaan dan  masyarakat (Kallivayalli & Pun-noose, 2010).

Teori-teori kognitif beranggapan bahwa ke-mampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental karena dapat mengerakkan, mempengaruhi, mengubah, dan yang akan membimbing suatu tingkah laku. Kognisi atau kognitif merupakan proses sentral yang meng-hubungkan peristiwa-peristiwa di luar (ekster-nal) dan di dalam (internal) diri individu. Kesa-ahan dalam proses kognitif atau distorsi kogni-tif akan menimbulkan berbagai dampak seperti munculnya pemikiran negatif, dan keyakinan irasional serta akan mengalami kesulitan dalam menghasilkan suatu emosi dan perilaku yang positif (Boeree, 2008). 

Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif meru-pakan faktor yang sangat berperan penting dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya gangguan somatisasi. Kesalahan dalam proses kognitif atau terjadinya penyimpangan kognitif dapat memberikan pengaruh negatif bagi diri individu. Somatisasi merupakan salah satu gangguan yang terjadi akibat adanya kesala-han dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah. Distor-si kognitif merupakan hasil dari pengolahan informasi dengan cara yang diduga mengaki-batkan  kesalahan  yang diidentifikasi kedalam 

pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak rasional    (Beck, 1967).   Distorsi kognitif adalah pikiran tentang kejadian atau peristi-wa yang mengalahkan diri sendiri yang tidak dapat  didukung  oleh  realitas/kenyataan  ter-tentu yang masuk akal (Kevin, Christopher, El-lison, Koening, 2008).

Dalam hal ini perlunya terapi kognitif un-tuk mengatasi keyakinan-keyakinan negatif atau kesalahan dalam proses kognitif pada in-dividu yang mengalami gangguan somatisasi. Terapi kognitif adalah bentuk terapi di mana pasien atau subjek diajarkan keterampilan mengidentifikasi,  mengevaluasi  dan  menang-gapi dirinya sendiri sehingga mengalahkan pikiran-pikiran yang menyimpang serta mene-rapkan terapi kognitif untuk mengubah piki-ran, suasana hati dan perilaku pada penderita gangguan somatisasi. (Emair, 1998).

Intervensi yang biasanya digunakan untuk membantu mengatasi gangguan somatisasi yai-tu dengan menggunakan Rational Emotif thera-py (RET) dan terapi kognitif perilaku. Cognitive-Behavior Therapy  (CBT) adalah  istilah umum untuk cabang psikoterapi yang menggunakan cara perubahan kognitif dan perilaku serta untuk memahami dan mengobati masalah kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah, pengobatan, upaya kolaboratif, di mana terapis dan individu bekerja bersama-sama membangun gagasan tentang sumber masalah dan strategi untuk penyelesaiannya. Secara  teoritis  CBT  dapat  digunakan  untuk mengatasi gangguan somatisasi, karena de-ngan terapi ini seseorang diajari bagaimana memahami bahwa adanya hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan. Terapi CBT   untuk  somatisasi    yang difokus-kan pada manajemen stres, regulasi aktivitas, emosional kesadaran, kognitif restrukturisasi, dan komunikasi interpersonal (Allen & Wool-folk  2006;    Escobar  et  al.,  1998).  CBT meru-pakan terapi yang cukup lama sehingga untuk focus menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi, maka digunakan terapi kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif (Dobson, 2008).

Restrukturisasi kognitif adalah salah satu teknik CBT yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan tujuan untuk menata kem-bali pikiran, menghilangkan keyakinan ira-sional yang menyebabkan ketegangan dan ke-cemasan bagi diri seseorang yang selama ini mempengaruhi emosi dan perilakunya (Oemar-di, 2003). Restrukturisasi kognitif dapat digu-nakan dalam penanganan permasalahan pada

Page 4: 1349 3056-1-pb

66

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

gangguan somatisasi. Untuk memecahkan akibat dari pemikiran irasional dan merubah ke  pemikiran  rasional/logis  maka  dapat  di-lakukan dengan mengendalikan kognitif dan merubah kepercayaan-kepercayaannya, salah satu caranya dengan menggunakan teknik re-strukturisasi kognitif (Ellis, 2011). Metode re-strukturisasi kognitif merupakan metode terapi kognitif untuk membantu mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau keyakinan-keyaki-nan negatif dan menggantikannya pemikiran-pemikiran yang positif, serta untuk menolong orang-orang  mengidentifikasikan  ide-ide  atau keyakinan yang irasional tersebut dan meng-gantinya dengan pernyataan-pernyataan yang lebih realitas (Suryaningrum, 2007). 

Tujuan teknik restrukturisasi kognitif di-lakukan pada individu yang mengalami gang-guan somatisasi yaitu untuk menyanggah keyakinan irasional individu tentang pemikiran negatif dengan menggunakan metode mengum-pulkan data asumsi negatif, lembar pekerjaan rumah, membentuk interpretasi yang berbeda, mempelajari keahlian menyelesaikan masalah (problem solving), merubah pola pikir dan me-nentang keyakinan yang salah pada gangguan somatisasi. Dengan cara individu diajak untuk memahami bahwa perubahan perilaku hanya dapat dilakukan dan dapat memberikan hasil efektif dalam mengatasi masalahnya, jika in-dividu mampu bekerja sama dalam mengeks-plorasi pikiran dan perasannya.

Manfaat teknik restrukturisasi kognitif pada individu yang mengalami gangguan so-matisasi yaitu individu dapat membedakan, memahami pikiran dan perasaannya yang salah, serta mengevaluasi keyakinan dengan bukti yang jelas sehingga individu dapat ber-pikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006).

Penelitian Allen, Woolfolk, Lehrer, Gara, & Escobar (2001) yang menggunakan Cognitive-Behaviour Therapy untuk menurunkan sejum-lah simtom pada gangguan somatisasi. Teknik yang digunakan adalah relaksasi dan restruk-turisasi kognitif. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan    bahwa  teknik  CBT  tersebut dapat membantu menurunkan simtom soma-tisasi.

Penelitian Allen, & Woolfolk (2006) menun-jukkan terapi kognitif-perilaku untuk menu-runkan simtom somatisasi menggunakan waktu 10 pertemuan. Intervensi mengguna-kan teknik relaksasi dan restrukturisasi kog-nitif. Hasil penelitian menunjukkan subjek dinilai sudah jauh lebih baik, sudah mampu menjalankan fungsi sehari-hari dan adanya penurunan somatic dibandingkan dengan sub-

jek yang hanya dirawat dan diobati dirumah sakit.

Berdasarkan  studi  pendahuluan  pada subjek yang mengalami somatisasi, ia sering mengeluhkan rasa sakit dalam keadaan yang cukup menekan dirinya seperti terlalu ba-nyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energy dan tenaga, banyak-nya tugas kampus yang harus diselesaikan, dan kelelahan dalam menyelesaikan tugas akhir. Selain itu seperti cuaca yang buruk, tempat yang baru dan kurang bersih dapat memunculkan rasa sakit serta mengan-cam dan membahayakan diri subjek. Hal ini merupakan suatu keadaan yang selama ini diyakini  akan  membuat  subjek  sakit.  Ben-tuk rasa sakit yang biasanya muncul pada subjek berupa sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh (dada, punggung, kaki, pe-rut), sulit tidur, sering mual, dan gangguan pada menstruasi. Subjek berpikiran dan takut yang berlebihan bahwa bersin-bersin dan nyeri dada yang sering dideritanya menunjukkan penyakit serius yaitu sakit jantung.

Berdasarkan uraian  di  atas  peneliti men-duga kuat bahwa kognitif/pikiran merupakan bagian terpenting untuk meningkatkan atau memperbaiki distorsi kognitif atau kesalahan pemikiran pada subjek yang mengalami gang-guan somatisasi. Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengembangan teknik restruk-turisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi.

Kajian Pustaka

Somatisasi dan faktor kognitif

Gangguan somatisasi adalah salah satu gang-guan  somatoform  spesifik  yang  ditandai  oleh banyaknya  keluhan  fisik/gejala  somatik  yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan  fisik  dan  laboratorium  (Kaplan et al., 1997). Gangguan somatisasi   hasil dari  keyakinan irasional (distorsi kognitif) dan ke-takutan berlebihan tentang pentingnya sen-sasi  fisik.    Individu dengan    gangguan  soma-tisasi demikian lebih mungkin untuk percaya bahwa  gejala fisik yang tidak jelas merupakan indikator penyakit serius dan mereka pasti mencari pengobatan (Menza et al, 2001). Fak-tor yang berperan terhadap timbulnya gang-guan somatisasi yaitu kognitif. Faktor kog-nitif dalam gangguan somatisasi disebabkan adanya penyimpangan proses kognitif yang disebut dengan distorsi kognitif. Dasar piki-

Page 5: 1349 3056-1-pb

67

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

ran teknik kognitif adalah bahwa proses kog-nitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang  ditampakan  oleh  individu.  Perasaan  in-dividu sering dipengaruhi oleh apa yang dipi-kirkan individu mengenai dirinya sendiri. Piki-ran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai ke-adaan yang dialami sebenarnya (Kaplan et al., 1997). Menurut  Beck  (1975),  distorsi  kognitif didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan in-formasi dengan cara yang diduga mengaki-batkan  kesalahan  dan  diidentifikasi ke dalam pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak rasional.

Individu yang mengalami gangguan so-matisasi disebabkan adanya penyimpangan kognitif (distorsi kognitif), dimana proses kog-nitif yang terjadi diawali oleh adanya stimulus yang tangkap oleh indera yaitu mata, kemu-dian stimulus tersebut diartikan sebagai se-suatu yang akan membahayakan dirinya dan pada saat  itu  terjadilah proses berpikir. Pada saat proses berpikir tersebut, individu tidak menemukan coping yang dapat menyelesaikan permasalahannya serta pikiran individu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga mengakibatkan individu mengambil keputusan untuk menghindari permasalahanya kemudian menimbulkan dampak perasaan yang tidak nya-man bagi dirinya. Akibatnya tubuh kemudian bereaksi dengan berbagai macam cara, salah sa-tunya dengan pelepasan enzim-enzim di tubuh, lalu tersimpan dimemori individu, sehingga apa-bila individu dihadapkan pada situasi yang sama dan menurut individu dapat membahayakan dirinya, maka akan menghasilkan suatu perilaku yang sama yaitu munculnya rasa sakit dan ce-mas. Hal itulah yang secara terus-menerus teru-lang pada individu yang mengalami gangguan somatisasi (Novita, 2011).

Teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan berpikir rasional

Teknik restrukturisasi kognitif adalah suatu metode terapi kognitif untuk membantu subjek mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau keyakinan yang negatif dan menggantikannya dengan  pemikiran-pemikiran  yang  positif/ra-sional dengan menggunakan pernyataan-per-nyataan yang lebih realistis (Oemarjoedi, 2003)

Teknik restrukturisasi kognitif dapat mengubah pola-pola kognitif, asumsi-asum-si, keyakinan-keyakinan dan penilaian-pe-nilaian yang irasional merusak dan menga-lahkan diri sendiri. Restrukturisasi kogni-tif memberikan tantangan langsung terhadap

keyakinan, asumsi, dan harapan subjek. Sub-jek diminta untuk mengevaluasi pemikiran-pemikiran yang muncul, apakah benar-benar masuk akal, membantunya atau menghibur. Namun dengan berpikir yang lebih realistis dan adaptif subjek dapat melihat situasi yang di-takuti atau dicemaskan. Teknik-teknik ini ha-rus didukung dan dilengkapi sehingga dapat terjadi perubahan dalam pemikiran subjek bahwa pemikiran negatif subjek belum tentu terjadi dan tidak benar. Restrukturisasi kogni-tif mengajarkan subjek untuk berpikir posi-tif/logis tentang pengalaman mereka (Safaria, 2004).

Berdasarkan  pengertian  diatas,  peneliti dapat menyimpulkan bahwa manfaat teknik restrukturisasi kognitif adalah membentu mengenali kejadian yang menyebabkan tim-bulnya pemikiran dan keyakinan negatif dan reaksi yang dihasilkan yaitu berupa rasa sakit, mengenali dan memonitor distorsi kognitif yang muncul dalam suatu kejadian. Selain itu, un-tuk  mengubah cara berfikir dalam menginter-pretasi dan mengevaluasi suatu kejadian de-ngan cara-cara yang lebih sehat dan rasional.

Teknik-teknik kognitif yang digunakan untuk merubah cara berfikir seseorang

Menurut  Omeardi  (2005)  terdapat  empat teknik besar dalam teknik-teknik kognitif, yaitu: (a) Teknik pengajaran teknik ini mem-berikan keleluasaan kepada terapis untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu subjek, terutama menunjukkan ketidaklogisan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada subjek tersebut. (b) Teknik per-suasif dengan cara meyakinkan subjek untuk mengubah pandangannya karena panda-ngan yang ia kemukakan itu tidak benar. Te-rapis dapat langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh subjek itu adalah tidak benar. (c) Teknik konfrontasi dengan cara terapis menyerang ketidaklogisan berfikir  subjek  dan  membawa  subjek  kearah berfikir yang lebih logis. (d) Teknik pemberian tugas, terapis memberikan tugas kepada sub-jek untuk mencoba melakukan tindakan ter-tentu dalam situasi nyata.

Langkah-langkah teknik restrukturisasi kognitif

Terdapat beerapa langkah dalam restrukturi-sasi kognitif (Burns, & David, 1988): (a) Mengi-dentifikasi    situasi yang dirasa subjek adalah suatu permasalahan, (menjelaskan peristiwa

Page 6: 1349 3056-1-pb

68

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

atau masalah yang sedang mengganggu sub-jek).  (b) Mengidentifikasi distorsi kognitif sub-jek, dan  perasaan  yang dirasakan. Bagaima-na perasaan subjek (sedih, marah, cemas, bersalah, frustrasi, putus asa) mengenai si-tuasi yang menjadi sumber permasalahan. (c) Menggunakan teknik kolom. Menuliskan pikiran negatif yang berhubungan dengan pe-rasaan. Serta menuliskan seberapa besar tingkat pemikiran dan perasaan tersebut Mem-buat skala dari 0-100 tingkat setiap pemiki-ran dan perasaan negatif yang diyakini subjek (untuk tingkatan yang paling rendah hingga tinggi). (d) Mendiskusikan hasil dan menga-jari subjek untuk mencari dan menggantikan pemikiran negatif tersebut dengan pemikiran-pemikiran yang lebih rasional. Pastikan bahwa  pemikiran rasional dapat dan telah diyakini oleh subjek. untuk mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Ke-mudian melakukan evaluasi dan menunjukkan kepada subjek betapa jauh lebih baik dira-sakan jika berpikiran lebih positif dan realistis.

Berpikir logis tidak terlepas dari dasar reali-tas. Berpikir rasional adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertim-bangkan, merenungkan, menganalisis, membuk-tikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, me-narik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan piki-ran, dan mencari bagaimana berbabagai hal itu dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional (Mukhayat, 2004).

Metode Penelitian

Desain penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah pene-litian tindakan (action research). Penelitian tin-dakan untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Kurt  Lewin.  Ia  menggunakan  istilah  ini  un-tuk mendeskripsikan bentuk penelitian yang mengawinkan antara pendekatan penelitian eksperimen dalam ilmu sosial dengan program tindakan sosial dalam merespon permasala-han sosial yang besar pada waktu.  Lewin me-nyatakan bahwa teori pengembangan dan pe-rubahan sosial yang diperlukan secara simul-tan dapat dicapai dengan memberikan definisi penelitian tindakan sebagai proses di mana dengan proses itu orang dapat membangun eksperimen-eksperimen sosial dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu (Greenwood & Levin, 1998). Menurut Arikuntoro (2002) dalam penelitian tindakan, peneliti melakukan suatu

tindakan atau eksperimen yang secara khusus diamati secara terus menerus, dilihat plus mi-nusnya, kemudian diadakan perubahan ter-kontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan paling tepat.

Spesifikasi model intervensi

Model Intervensi yang digunakan adalah pengembangan teknik restrukturisasi kognitif yang bertujuan untuk mengurangi distorsi kog-nitif dan meningkatkan berpikir rasional pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Dimana dengan teknik ini subjek diajarkan un-tuk melihat kembali keyakinan irasional terse-but dan membantunya menghilangkan dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Sasaran intervensi adalah perempuan dan usia dewasa muda dimulai se-dewasa muda dimulai se-belum usia 30 tahun. Durasi intervensi selama 1 bulan, dengan 9 kali pertemuan untuk per-subjek.

Subjek penelitian

subjek berjumlah 2 orang, berjenis kelamin perempuan yang mengalami gangguan somati-sasi berdasarkan criteria DSM-IV (APA, 2000). Penentuan  subyek  dalam  penelitian  ini  atas rekomendasi dari dokter. Subyek belum pernah mendapatkan intervensi dari klinik psikologi.

Variabel dan instrumen pengumpulan data

Variabel  terikat  adalah  keyakinan  pemikiran rasional. Instrument yang digunakan adalah skala Irrational Beliefs Test  (IBT).  Skala  IBT untuk  mengukur  keyakinan  irasional  (Jones, 1968). Skala IBT mengandung 10 aspek yaitu demand for approval (DA), high self expectations (HSE), blame proneness (BP),  frustration reac-tivity (FR), emotional irresponsibilft (EI), anxious overconcern (AO), problem avoidance (PA),  de-pendency (D), helplessness (HC), perfectionism (P). Skala  IBT  terdiri dari 100 pernyataan de-ngan  empat  pilihan  dengan  skala  Likert,  sa-ngat setuju (1); setuju (2); tidak setuju (3); dan sangat tidak setuju (4). Subjek memilih salah satu pilihan yang paling sesuai dengan pilihan tersebut. Hasil pengujian di Russian dengan n=94, diperoleh nilai Alpha  .66-.80. Hasil  pe-ngujian  di  Malang  (Indonesia)  dengan  n=50, diperoleh nilai validitas .79 serta nilai reliabili-tas (konsistensi internal) Alpha .98. Salah satu contoh  item  IBT  “Saya  punya  ketakutan  ten-tang sesuatu yang sering mengganggu saya”.

Page 7: 1349 3056-1-pb

69

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

Wawancara yang digunakan pada pene-litian ini yaitu wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan kepada subjek, dan dokter. Tujuan wawancara untuk mengetahui perubahan-perubahan pemikiran negatif dan keyakinan irasional pada subyek.

Selain itu menggunakan self report untuk mengetahui perkembangan perubahan tingkat keyakinan irasional dari sesi ke sesi sehingga dapat dijadikan penilaian yang dapat diper-tanggungjawabkan (Woolfolk & Allen, 2007).

Prosedur penelitian

Lewin  (1952)  menggambarkan  penelitian  tin-dakan sebagai suatu proses siklus spiral, yang meliputi: perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus. Pada siklus pertama bertu-juan untuk menujicobakan model untuk dieva- menujicobakan model untuk dieva-luasi proses terapi yang selanjutnya dilakukan perbaikan untuk digunakan pada siklus kedua. Pada  siklus  kedua  bertujuan  untuk  mening-katkan kepraktisan pengembangan model se-hingga semakin efektif terapi dalam mengubah keyakinan irasional maka dapat dikatakan model terapi semakin berkualitas.

Dalam setiap siklus terdapat tahapan-tahapan pelaksanaannya, tahapan tersebut adalah: (a) Tahap Perencanaan, terapis terlebih dahulu melakukan rapport kepada subjek penelitian. Dilanjutkan membangun komitmen tentang persetujuan mengikuti terapi restruk-turisasi kognitif. Kemudian, membuat modul terapi restrukturisasi kognitif, membuat guide interview untuk subjek penelitian dan melaku-kan try out skala IBT kepada 50 orang, pre-test skala IBT. (b) Tahap tindakan, terapis melaku-kan  identifikasi    permasalahan/assesmen de-ngan wawancara, self report dan memberikan skala IBT (post tes), terapis melakukan  terapi restrukturisasi kognitif (lihat Modul teknik re-strukturisasi kognitif). (c) Tahap pengamatan, dilakukan ketika proses kegiatan berlangsung dan bersamaan waktunya dengan tahap pelak-

Gambar 1. Siklus dalam penelitian tindakan (Greenwood & Levin, 1998)

sanaan tindakan. Pengamatan dilakukan pada  data-data yang diperoleh dari tahap tindakan (hasil pre dan post tes, hasil grafik dan hasil  in-tervensi teknik restrukturisasi kognitif). Dan (d)Tahap refleksi, mengevaluasi hasil terapi yang sudah dilakukan, mencari kekurangan yang terjadi saat pelaksanaan tindakan dan penga-matan, kemudian melakukan perubahan atau memperbaiki model terapi, lalu mengembang-kannya kembali pada model teknik restrukturi-sasi kognitif pada siklus selanjutnya.

Analisis data

Analisis data penelitian ini menggunakan metode penelitian gabungan (mixed methods) antara metode penelitian kuantitatif dan kuali-tatif. Untuk hasil pada kuantitatif dapat beru-pa angka-angka dengan analisis deret berkala (time series)  dengan  metode  bebas/free hand method. Analisisi deret berkala bertujuan un-tuk mengetahui kecenderungan nilai suatu variabel dari waktu ke waktu, untuk meramal nilai suatu variabel pada suatu waktu terten-tu  (Algifari,  1994).  Agar  perkembangan  nilai variabel dari waktu ke waktu mudah diketa-hui, maka pola perubahannya digambarkan dengan  sebuah  grafik.  Sedangkan  pada  hasil kualitatif yaitu menganalisis data dengan cara mendeskripsikan hasil pengamatan sebelum dilakukan intervensi dan setelah dilakukan intervensi.  Pada  analisa  kualitatif  digunakan teknik wawancara (Okpala, Hopson, Chapman, & Fort, 2011). Hasil kuantitatif didapatkan dari hasil perubahan tingkat keyakinan pemikiran negatif subyek dan hasil pre-tes dan post tes IBT.

Desain ini menurut Creswell mengintegra-sikan dan menarik kesimpulan dari data kuali-tatif dan kuantitatif, desain studi metode cam-puran. Keuntungan menggunakan mixed me-thods atau metode campuran kuantitatif dan kualitatif dalam proses paralel atau berurutan menawarkan kesempatan lebih besar untuk memverifikasi  dan  menemukan  pengetahuan tentang fenomena daripada menggunakan salah satu metode saja (Cagle, & Wells, 2008).

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengujian model teknik restrukturisasi kognitif

Penerapan  teknik  restrukturisasi    kognitif  di-lakukan dua tahapan siklus dengan subjek yang berbeda. Pada siklus pertama dikenakan pada subyek 1 (ANS) dan pada subyek 2 (YNI)

Page 8: 1349 3056-1-pb

70

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

dikenakan pada siklus kedua. Siklus kedua dimulai setelah subyek 1 menyelesaikan taha-pan siklus pertama pada sesi 1 dan 2 dilaku-kan. Hal ini dikarenakan untuk tujuan penga-matan dan untuk perbaikan yang akan dite-rapkan  disiklus  kedua.  Pada  siklus  pertama pengujian model teknik restrukturisasi kogni-tif  dilakukan  selama 9  sesi  dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 4–5 hari. Pada siklus kedua dilakukan selama 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 3 hari.

Siklus pertama: pengujian model teknik restruk-turisasi kognitif. Pada  sesi  pertama,  teknik  re-strukturisasi kognitif yaitu raport, dan alloan-amnesa. Pada sesi  ini  terdapat banyak waktu luang, dimana pada kegiatan perkenalan dan identifikasi  pemikiran  dan  tingkat  keyakinan hanya memerlukan waktu 30 menit. Pada ke-giatan alloanamnesa cukup menyisakan ba-nyak waktu, sehingga waktu yang digunakan untuk alloanamnesa digunakan 10 menit. Hal ini menjadi catatan penting bagi terapis untuk mengefektifkan waktu, karena pada sesi ini dinilai masih tersisa banyak waktu, sehingga sebaiknya dimanfaatkan untuk meneruskan kesesi selanjutnya.

Pada  sesi  kedua  yaitu  psikoedukasi  me-ngenai gangguan somatisasi dan terapi dengan mengguanakan teknik restrukturisasi kogni-tif. Pada sesi ini waktu yang digunakan untuk melakukan psikoedukasi terlalu lama, dan ma-teri yang dijelaskan tidak terlalu banyak, se-hingga waktu yang efektif dalam memberikan psikoedukasi tersebut dirasa cukup oleh tera-pis dan subjek selama 10 menit. Hal ini menja-dikan catatan penting bagi terapis agar meng-gabungkan psikoedukasi ini di sesi pertama.

Pada sesi ketiga dan keempat, yaitu teknik restrukturisasi kognitif dengan kegiatan menjelaskan bahwa adanya hubungan antara pemikiran, emosi, tingkah laku ini sebaiknya digabungkan dengan teknik selanjutnya yaitu menjelaskan dan mengajarkan untuk mencari pemikiran alternative yang positif. Sehingga terapis dengan mudah melakukan terapi dan subjek lebih memahami teknik-teknik terse-but, Hal ini menjadi catatan bagi terapis untuk menggabungkan waktu dan langsung tertuju pada tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak terjadi pengulangan penjelasan pada sesi se-belumnya. Selain itu contoh kasus diberikan sebaiknya ketika sesi terakhir terapi, hal ini menjadi catatan penting karena terapis dapat melihat perubahan pemikiran rasional pada

subjek yang mengalami gangguan somatisasi setelah dilakukan beberapa teknik restrukturi-sasi kognitif. Pengembangan model  teknik  re-strukturisasi kognitif diharapkan dapat mem-peroleh hasil yang lebih baik.

Siklus kedua: perbaikan model teknik restrukturisasi kognitif. Berdasarkan revisi dari siklus pertama, maka terapis menyusun model teknik restruk-turisasi kognitif untuk meningkatkan pemiki-ran rasional pada gangguan somatisasi dilaku-kan perbaikan prosedur untuk diapli-kasikan pada siklus kedua yang dirasa dapat menjawab kekurangan dari siklus pertama atau model se-belumnya.

Pada siklus kedua ini model teknik restruk-turisasi kognitif dilakukan kepada satu subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Subjek berjenis kelamin perempuan, berusia 27 tahun. Pengujian pada tahap kedua ini, subjek dipilih atas rujukan dari dokter dan klinik psikologi. Pengujian Model  teknik restrukturisasi kogni-tif  dilakukan  selama 7  sesi  dengan waktu 60 menit per sesi dengan jarak waktu pertemuan 3 hari.

Data  yang  diperolah  dari  Pengujian  Mo-del terapi dengan teknik restrukturisasi kog-nitif pada siklus kedua ini kemudian ditulis, direduksi dan dianalisis secara kualitatif. Se-lanjutnya  data  tersebut  diklasifikasikan  serta dipilih data yang berguna untuk meningkatkan kepraktisan pengembangan model. Data yang berguna untuk meningkatkan kepraktisan di-jadikan dasar revisi, sedangkan yang tidak dapat meningkatkan kepraktisan akan diabai-kan.

Setelah dilakukan perbaikan pada siklus pertama, maka peneliti menyusun kembali mo-del teknik restrukturisasi kognitif untuk me-ningkatkan pemikiran rasional pada gangguan somatisasi sebagai berikut: (a) Pengurangan se-si terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 me-nit per sesi. pada sesi pertama kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan waktu yang telah direvisi, seperti raport, penjelasan kon-trak terapi, alloanamnesa, dan digabungkan dengan psikoedukasi gangguan somatisasi dan teknik restrukturisasi kognitif dengan meng-gunakan  waktu  60  menit.  Pada  sesi  ke-dua, terapi restrukturisasi kognitif dengan kegia-tan menjelaskan bahwa ada hubungan antara pemikiran, emosi dan tingkah laku digabung dengan penjelasan untuk mengidentifikasi pe-mikiran negatif dan menggantikan pemikiran negatif tersebut dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional, kemudian langsung di-

Page 9: 1349 3056-1-pb

71

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

berikan tugas rumah kepada subjek. pada sesi tiga-lima, dilakukan evaluasi hasil kerja teknik restrukturisasi kognitif dan self report.  Pada sesi ke-enam, tujuh yaitu tahap penghentian sesi dan tindak lanjut (b) Perbaikan pada jad-wal pertemuan dengan jarak waktu pertemuan menjadi 3 hari setiap pertemuan. (c) pada si-klus kedua, terapis lebih banyak melakukan konfrontasi yang diiringi dengan persuasi ke-pada subjek.

Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional

Pada  siklus  pertama  terdapat  lima  pemikiran negatif yang diyakini subjek. Pemikiran negatif 1 yaitu cuaca buruk dan berubah-rubah serta tempat yang kotor dapat menyebabkan sub-jek  gampang  sakit.  Pemikiran negatif  2,  sakit yang  dialami  subjek  adalah  turunan/bawaan dari keluarga dan tidak bisa sembuh. Pemiki-ran negatif 3, ujian dan tugas yang banyak me-nyebabkan  sakit.  Pemikiran  negatif  4,  tubuh dan badan sangat sensitive sehingga gampang sakit. Pemikiran negatif 5, selalu minum obat untuk menghilangkan sakit atau pergi kedok-ter.

Hasil evaluasi pada setiap sesi menunjuk-kan bahwa subjek belum cukup banyak me-ngalami perubahan pada pemikiran negatif-nya.  Penurunan  tingkat  keyakinan  irasional cukup baik antara 5-10 point per-sesi, namun penurunan tersebut sudah dinilai sangat baik untuk  subjek.  Penurunan  tingkat  keyakinan mulai terlihat pada sesi ke-empat. Dari sesi tujuh sampai sesi kesembilan yaitu follow up, masih terlihat hasil point keyakinan yang ma-sih tetap dan berhenti di point yang sama yaitu pada pemikiran negatif 1 (20 point) dan pemiki-ran negatif 5  (30 point). Sedangkan pada  tiga pemikiran negatif lainnya (pemikiran negatif 2, 3, dan 4) secara perlahan-lahan mengalami

perubahan yaitu terjadinya penurunan pada tingkat keyakinan irasional. Hasil perubahan setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Berdasarkan  hasil  evaluasi  pada  siklus kedua subjek memiliki empat pemikiran nega-tif yang diyakini oleh subjek. Pemikiran negatif 1 yaitu sakit diakibatkan bertengkar dengan pasangan.  Pemikiran  negatif  2,  setiap  berada ditempat yang baru yang belum pernah dikun-jungi dan tempat kotor dapat menyebabkan sakit.  Pemikiran  negatif  3  orang  yang  rentan dan  mudah  terserang  penyakit.  Pemikiran negatif 4, selalu meminum obat penghilang rasa sakit dan biasanya mengunjungi dokter jika sakit.

Pada  setiap  sesi pada  siklus dua menun-menun-jukkan bahwa perubahan lebih cepat terjadi, perubahan mulai terlihat pada sesi ke-dua, Subjek mengalami penurunan tingkat keyaki-nan irasional. Setiap sesi terjadi penurunan 10-20  point.  Penurunan  0  point  terjadi  pada sesi terakhir yaitu pada pemikiran ke-empat. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan model teknik restrukturisasi kognitif yang dilakukan pada siklus kedua sehingga hasil yang diper-oleh cukup efektif. Selain itu penurunan ting-kat keyakinan ini diperkuat dengan pelaporan self report yang diberikan sebagai tugas rumah, hasil self report menunjukkan secara perlahan terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional subjek. Namun pada siklus kedua ini juga ter- Namun pada siklus kedua ini juga ter-dapat tingkat keyakinan irasional yang masih tetap dari sesi kelima hingga sesi ke tujuh yaitu pemikiran negatif tiga. Hasil perubahan setiap sesinya dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil pretes dan post-tes keyakinan irasional Pada pre-test siklus pertama dan kedua dapat diketahui kedua subjek memiliki skor nilai keyakinan irasional yang tinggi dan terjadi

Gambar 2. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek ANS dengan teknik restrukturisasi kognitif

Page 10: 1349 3056-1-pb

72

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

perubahan penurunan tingkat keyakinan ira-sional setelah diberikan teknik restrukturi-sasi kognitif. Untuk meningkatkan pemikiran yang rasional dan mengurangi/menghilangkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi, maka subjek dilibatkan dalam terapi kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif. Hasil yang diperoleh yaitu adanya keyakinan iratio-adanya keyakinan iratio-nal subjek menjadi pemikiran yang lebih positif dan rasional.

Pada  siklus  pertama, adanya penurunan kategori pada keyakinan-keyakinan irasional dari tinggi kekategori sedang. Aspek yang me-ngalami perubahan setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek FR, AO dan HC. Sedangkan, aspek-aspek yang belum banyak mengalami perubahan dan berada pada kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek DA, HSE, EI, PA, D, P. Pada aspek BP  terjadi pe-ningkatan point, namun dilihat dari kategori-nya aspek BP tetap berada dikategori sedang. Sedangkan,  pada  siklus  kedua  indikator  IBT menunjukkan cukup banyak terjadi penu-runan keyakinan irasional dari kategori tinggi ke sedang yaitu pada aspek DA, FR, EI, AO, D, HC, P. Sedangkan aspek yang belum menun-jukkan terjadinya perubahan dan berada pada

kategori sedang setelah dilakukan terapi yaitu pada aspek HSE, BP. Pada aspek PA terjadi pe-ningkatan point, namun dilihat dari kategori-nya aspek PA tetap berada dikategori sedang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bah-wa perubahan-perubahan yang terjadi pada saat pre-test dan post-test disebabkan oleh adanya tindakan dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sehingga dapat meni-ngkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi. Hasil pre-test dan post-test dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembahasan

Berdasarkan  analisis  grafik  yang  dilakukan bahwa teknik restrukturisasi kognitif menun-jukkan adanya perubahan yaitu terjadi penu-runan pada tingkat keyakinan irasional dan meningkatnya pemikiran rasional pada pen-derita  gangguan  somatisasi.  Penurunan  ter-jadi terus menerus pada setiap sesi dan terus menetap hingga tindak lanjut. Hal ini dikare-nakan terapi restrukturisasi kognitif mengajar-kan untuk menolong orang-orang untuk meng-identifikasi  ide-ide  atau  keyakinan-keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya de-

Gambar 3. Hasil perubahan tingkat keyakinan irasional subjek YNI dengan teknik restrukturisasi kognitif

Gambar 4. Hasil pre-test dan post-test keyakinan irasional pada subjek ANS dan YNI

Page 11: 1349 3056-1-pb

73

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

ngan pernyataan-pernyataan yang lebih realis-tis (Martin & Pear, 2003).

Peningkatan  pemikiran  positif  dan  rasio-nal dengan teknik restrukturisasi kognitif lebih terlihat pada siklus ke dua. Karena pada si-klus kedua dilakukan perbaikan/revisi model teknik  restrukturisasi  kognitif.  Perbaikan  di-lakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Dengan perbaikan model terapi tersebut perubahan peningkatan pemikiran yang lebih positif dan rasional lebih cepat terjadi. Hal ini dikarenakan pada siklus kedua terapis menge-fesiensikan waktu terapi, pengurangan sesi te-rapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per sesi, dan membuat jarak pertemuan yang tidak terlalu  lama yaitu 3 hari.  Penelitian  tindakan bertujuan pencarian sistematik, mengumpul-kan data tentang pelaksanaan kegiatan, ke-berhasilan dan hambatan yang dihadapi, dan kemudian menyusun rencana dalam melaku-kan kegiatan-kegiatan penyempurnaan atau penyesuaian dengan kondisi dan situasi se-hingga diperoleh hasil yang lebih baik (Green-wood & Levin, 1998).  

Pada siklus pertama, teknik restrukturisa-si kognitif yang dilakukan pada subjek menun-jukkan cenderung terjadi penurunan pada setiap tingkat keyakinan irasional. Namun penurunan tersebut baru terjadi pada sesi ke-empat. Penurunan tersebut terjadi karena sesi, waktu dan jarak yang terlalu lama. Meskipun terjadi penurunan tetapi penurunan tersebut hanya 10 point dan hanya pada pemikiran 2 dan 4. Selain itu pemikiran negatif cenderung drastis turun pada sesi lima dan enam. Hal ini dikarenakan suyek sudah mampu meyakini pemikiran positif dan rasional yang dimuncul-kan oleh subjek sendiri walaupun terkadang pemikiran negatif masih muncul. Selain itu terapis cukup sering melakukan konfrontasi pada setiap pernyataan negatif subjek. Terapis menyerang ketidaklogikaan berfikir subjek dan membawa subjek kearah berfikir yang lebih logis (Omeardi, 2005). 

Sedangakan pada sesi 7, 8, 9  point tingkat keyakinan irasional cenderung tetap/stabil. Hal ini diduka terapis merupakan progress yang baik dimana pemikiran positif dan rasional memiliki point yang stabil dan diprediksikan situasi yang menetap tersebut dapat bertahan bahkan lebih menurun. Hal ini merupakan hal yang bermak-na bagi subjek dan terapis. Selain itu, frekuensi simtom somatisasi seperti mual, pusing dan nyeri kaki dan dada mulai berkurang. Hal ini sesuai dengan dasar pemikiran dasar teknik kognitif, dimana proses kognitif sangat berpe-

ngaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh  individu  (Burns,  1988).  Namun  terdapat faktor lain yang menjadi pertimbangan menu-runnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu subjek mengkonsumsi obat-obat penahan rasa sakit.

Pada siklus kedua, tingkat keyakinan ira-sional cenderung lebih cepat terjadi penurunan setiap  sesinya.  Penurunan  terjadi  pada  sesi ke-dua. Hal ini dikarenakan adanya perbai-kan model terapi yaitu pengurangan pada sesi terapi menjadi 7 sesi dengan waktu 60 menit per-sesi, dan dengan jarak pertemuan yang dipersingkat yaitu 3 hari. Efek dari perbaikan model terapi yaitu hampir disetiap sesi terapi terjadi penurunan tingkat keyakinan irasional walaupun penurunan tersebut masih dalam kategori tinggi. Pada sesi ketiga hampir semua keyakinan irasional cenderung turun dalam rentang kategori sedang dan pada sesi ke lima dan enam semua keyakinan irasional cende-rung turun ke kategori rendah.

Penurunan  yang  paling  baik  ditunjukkan subjek selama menjalani proses terapi yaitu adanya tingkat keyakinan irasional yang men-capai nilai 0 point yang didapatkan pada saat sesi tindak lanjut, hal ini merupakan situasi yang bermakna, karena situasi tersebut cende-rung menetap/stabil, sehingga diduga setelah sesi tindak lanjut keyakinan positif dan rasio-nal yang diyakini subjek dapat menetap bah-kan meningkat (Joseph, 1997).

Perubahan tingkat keyakinan tersebut di-peroleh subjek karena subjek juga membuk-tikan langsung pemikiran negatifnya pada kehidupan nyata dan kehidupan sehari-hari, dengan pembuktian tersebut maka ia me-nyadari bahwa pemikirannya selama ini tidak-lah semuanya benar. Oleh karena itu, manfaat teknik restrukturisasi kognitif disini memban-tu individu membedakan, memahami pikiran dan perasaan mereka yang salah, serta menge-valuasi keyakinan negatif dengan bukti yang jelas sehingga mereka dapat berpikir lebih ra-sional (Allen, & Woolfolk, 2006). Faktor lain yang menjadi pertimbangan turunnya tingkat pemikiran negatif subjek, yaitu lingkungan subyek, dimana keluarga memberikan duku-ngan dengan tidak membelikan obat yang bi-asa dikonsumsi oleh subjek.

Perubahan/penurunan  tingkat  keyaki-nan pemikiran irasional juga ditunjukkan dari hasil  skala  IBT.  Setiap  siklus  menunjukkan bahwa terjadi penurunan keyakinan irasional setelah diberikan teknik restrukturisasi kogni-tif. Penurunan kategori dari tinggi ke kategori 

Page 12: 1349 3056-1-pb

74

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

sedang terjadi pada tiga aspek utama FR, AO dan HC. Pada aspek FR menunjukkan bahwa kedua subjek sudah cukup mampu mengen-dalikan dan mengontrol pemikiran negative (catastropic) yang selama ini dianggap sebagai bencana dan dapat membahayakan subjek. Seperti yang dialami subjek sebelum dilakukan terapi, ia berkeyakinan bahwa sakit yang sela-ma ini dialami subjek diakibatkan oleh pemiki-ran negative yang yakini subjek benar. Sakit fisik  yang  dialami  seseorang  diyakini  sebagai hasil subjective orang yang menderita. Sehing-ga pemikiran irasional tersebut yang dianggap mengerikan dan bencana oleh seseorang (Pas-tore, 1952). 

Pada aspek AO menunjukkan bahwa sub-jek sudah cukup mampu mengendalikan dan mengontrol kecamasan yang dianggap mena-kutkan dan membahayakan, sehingga ia dapat mengendalikan pemikiran negative yang se-lama ini telah diyakini subjek, bahkan bu-kan hanya mengendalikan namun subjek su-dah cukup mampu menghilangkan pemikiran negative dan menggantikan dengan pemikiran positif dan rasional setelah mengikuiti terapi. Sehingga terjadi penurunan pada kecemasan yang berlebihan pada subjek (Stewart, 1962). 

Pada  aspek  HC  setelah  dilakukan  terapi menunjukkan perubahan dari tinggi ke sedang. Subjek sudah mampu meyakini bahwa bukan masa lalu penentu perilaku seseorang dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang. Na-mun dengan berkeyakinan bahwa perubahan akan terjadi jika subyek mampu mengenda-likan dan menggantikan pemikiran negatifnya dengan pemikiran yang positif dan rasional (Jones, 1968).

Secara keseluruhan diidentifikasikan bah-wa teknik restrukturisasi kognitif dapat me-ningkatkan pemikiran positif dan rasional pada gangguan somatisasi serta dapat mengurangi terjadinya simtom somatisasi. Teknik restruk-turisasi kognitif merupakan satu komponen yang terpenting dilakukan untuk mengurangi dan  menghilangkan  pemikiran  negatif/irasio-nal, dengan tujuan teknik yaitu untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini mempengaruhi emosi dan perilakunya (Wool-folk & Allen, 2007). 

Secara perlahan subjek menyadari bahwa sakit yang dialaminya selama ini sebagai aki-bat dari keyakinan dan pemikiran irasional-nya yang sangat berperan dalam terbentuknya simtom somatisasi. Somatisasi terbentuk oleh cara berfikir yang terdistorsi yang membuat se-

seorang tersebut salah mengartikan peruba-han kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari bencana atau bahaya yang akan terjadi pada dirinya (Kaplan et al., 1997; Novita, 2011).  Kesalahan dalam proses kognitif ditunjukkan oleh sensasi fisik yang awalnya biasa diartikan berbeda oleh subjek, selain itu hasil interaksi yang kurang baik antara stressor, sumber daya psikologis dan diri pribadi tersebut menghasil-kan pemikiran yang irasional dan reaksi emo-sional yang tidak menyenangkan seperti ke-cemasan yang tinggi dan rasa sakit pada fisik (Rief, Hiller, & Margraf, 1998).

Pengembangan teknik restrukturisasi kog-nitif dapat menurunkan tingkat keyakinan irasional pada subyek yang mengalami gang-guan somatisasi dan memberikan dampak yang cukup baik, dimana simtom somatisasi yang sering kali muncul frekuensinya menjadi berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan  dan  pangkal  kaki,  nyeri  punggung/pundak, nyeri pada dada yang setiap hari bi-asanya dirasakan subjek, namun saat ini su-dah berkurang dengan 3 sampai 4 hari muncul dirasakan oleh subjek. Hal ini juga diperkuat dari evaluasi hasi terapi, subyek menyatakan bahwa terapi sangat bermaanfaat baginya, hal ini dikarenakan setelah dilakukan terapi sub-yek lebih berpikiran posif dan rasional. Subyek mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang se-belumnya takut untuk dilakukan oleh subyek seperti: melanjutkan menyelesaikan skripsi, berkunjung ke tempat-tempat yang baru, wa-laupun hanya sebentar. Subyek juga meyakini bahwa ia cukup mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari teknik restrukturisasi kognitif yang telah dipelajarinya.

Kemajuan yang diperlihatkan oleh kedua subjek dikarenakan adanya motivasi subjek yang sangat menginginkan untuk sembuh dari sakit yang cukup mengganggu aktivitas dan pemikirannya selama ini. Hal ini diperlihatkan subjek dengan kesediaan subjek dalam mengi-kuti setiap sesi terapi karena tidak ada pak-saan/kemauan subjek sendiri dan konsistensi subjek dalam mengikuti proses terapi.

Keterbatasan penelitian dan rekomendasi

Rekomendasi bagi peneliti selanjutnya, pene-liti sebaiknya terus memonitor perkembangan subjek setelah follow up guna mengetahui se-berapa jauh efek terapi apakah bertahan atau menetap. Selain itu, peneliti dapat melibatkan keluarga dan teman setelah follow up dilaku-kan, hal ini dilakukan guna memberikan du-kungan, motivasi untuk memberikan pengua-

Page 13: 1349 3056-1-pb

75

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

tan pada pemikiran positif dan rasional yang telah diyakini subjek melalui terapi kognitif. Selain itu, bagi subjek penelitian sebaiknya se-cara terus-menerus menerapkan teknik yang sudah dipelajari ke kehidupan sehari-hari.

Simpulan

Penerapan teknik restrukturisasi kognitif diiden-tifikasi dapat menurunkan keyakinan irasional serta dapat meningkatkan pemikiran yang le-bih positif dan rasional pada subjek yang me-ngalami gangguan somatisasi. Selain itu, fre-Selain itu, fre-kuensi simtom somatisasi menjadi berkurang seperti: mual, pusing, nyeri pada lengan dan pangkal  kaki,  nyeri  punggung/pundak,  nyeri pada dada. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan pemikiran positif dan ra-sional pada gangguan somatisasi.

Daftar Pustaka

Algifari. (1994). Statistika ekonomi teori, kasus dan solusi. Yogyakarta. STIE  YKPN.

Ali, A., Deuri, S., Jahan, M., Singh, A., & Verma, A. (2010). Perceived  social  support  and  life  satisfaction  in per-sons with somatization disordr. Journal of Industrial Psychiatry,19 (2), 115.

Allen, L. A., & Woolfolk, R. L. (2006). Affective cognitive be-havioral therapy: A new treatment for somatization. Journal of Cognitif Psychotherapy, 14 (3), 549-566. 

Allen,  L.  A.,  Gara, M.  A.,  Escobar,  J.  I., Waitzkin,  H.,  & Cohen-Silver, R. (2001). Somatization: A debilitating syndrome in primary care. Psychosomatics, 42, 63–67.

Allen, L. A., Woolfolk, R. L., Lehrer, P. M., Gara, M. A., & Escobar,  J.  I.  (2001). Cognitive behavior  therapy  for somatization: A pilot study. Journal of Behavior Thera-py and Experimental Psychiatry, 32, 53–62.

American  Psychiatric  Association.  (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorder. (Fourth Edition). Washingtong DC: American Associatic.

Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Yogyakarta. Rineka Cipta.

Barry, D. (2003). Somatization disorder. Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158.

Barsky, A. J., & Borus, J. F. (1995). Somatization and me-dicalization in the era of managed care. Journal of The American Medical Association, 274, 1931–1934.

Bellack,  A.,  &    Hersen, M.  (1977). Behavior modification: An introductory textbook. New York: Oxford University Press.

Beck,  A.  T.  (1993).  Cognitive  approaches  to  stress.  In  P. M. Lehrer, & Woolfolk, Principles and practice of stress management, (Volume2, pp 333-372). New York: Guil-ford.

Beck, A. T. (1975). Cognitive therapy and the emotional dis-orders. American   International Universities Press Inc.

Burns,  D.  (1988).  Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi penanganan depresi. Jakarta: Penerbit Airlangga.

Burns D, & David, D.  (1989). The feeling good handbook. New York: William Morrow and Company, Inc.

Boeree, G. (2008). Psikologi kepribadian, persepsi, kognisi, emosi & perilaku. Jogjakarta: Prismasophie.

Cagle, RC., Wells, OJ. (2008). Journey to a mixed methods approach for understanding Mexican American female cancer caregiving. Journal of Theory Construction & Testing, 12 (2), 50-76.

Caplan, & Sadock. (2010). Synopsis psikiatri. Tanggerang: Binarupa aksara.

Cormier, W. H., & Cormier L. S. (1985).  Interviewing strate-gies for helpers fundamental skill and behavioral in-terventions. (Eds. 2). Monterey, California: Publishing Company.

Davidson, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi abnor-mal. (Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 

Ellis, A. (2011). Rational emotive behavior therapy. Journal of Counseling & Development, 1 (3), 82-87. 

Escobar, J., Waitzkin, H., & Silver, R. (1998). A bridged so-matization: A study in primary care. American journal of Public Health, 60 (3), 466-472.

Escalona, R., Achilles, G., Waitzkin, H., & Yager, J. (2004). PTSD and somatization in women treated at a VA pri-mary care clinic. Journal Nervuoes Mental Disorder, 45 (4), 291-296.

Eisendrath, S. J. (1998). In current medical diagnosis and treatment. American Journal of Psychiatry, 24 (7), 128-142.

Emair, B.  (1998). Cognitive therapy for pain management. American academic of pain management. Atlanta Hil-ton Hotel.

Gaw, A.  (1993). Culture, ethnicity and mental illness. Wa-shington, DC: American Psychiatric Press.

Goldfried, R., & Davison, G. (1976). Clinical behavior thera-py. New York: Holt Rinehart and Winston.

Greenwood, D.J., & Levin, M. (2007). Introduction to action research social research for social change (2th Edition). California: Sage Publications, Inc.

Jones, G.R.    (1968). A factored miiasure of ellis’ irrational belief. System, with personality anu maladjustment correlates. A dissertation in psychology, Faculty of Texas Technological College.

Joseph,  L.  (1997).  Treating  stress  across  cultures:  A  so-matic cognitive model. Education Resources Informa-tion center, 29 (7), 209-210.

Kallivayalil, R., & Punnoose, V. (2010). Understanding and managing somatoform disordes: Making sense of non-sense. Indian Journal of Psychiatry, 52 (7), 240.

Kevin,  J.,  Christopher,  G.,  Ellison,  G.,  &  Koening,  HG. (2008). Belief about life after death psychiatry symto-mology and cognitif theories of psychopatology. Jour-nal of Psychology and Theology, 36 (2), 94. 

Page 14: 1349 3056-1-pb

76

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 63 - 76

Katon, W., Ries, R., & Kleinman, A. (1984). The prevalence of somatization in primary care. Indian Journal of Psy-chiatry, 25 (5), 208-215.

Kaplan, I., Sadock, B., & Grebb, J. (1997). Synopsis psiki-artri. Jakarta: Binarupa akasara.

Khouzan, H. R., & Field, S. (1999). Somatization disorder: Clinical presentation and treatment in primary care. Indian Journal of Psychiatry, 152, 897-991.

Kimayer, L. (1984). A young: Culture, affect and somatiza-tion. American Journal of Psychiatry, 21 (159), 237-262.

Lipowski,  Z.  (1988).  Somatization  1  the  concept  and  its clinical application. American Journal of Psychiatry, 145, 1358-1368.

Martin, G., & Pear, J.  (2003). Behavior modification what it is and how to do it. Seventh Edition.  New  Jersey: Prentice Hall, Inc.

Menza, Matthew, Lauritano, M., Allen, L., Warman, M., Os-tella, F., et al. (2001). Treatment of somatization disor-der with nefazodone: A prospective, open-label study. Journal Annals of Clinical Psychiatry, 13 (3), 153-158.

McLeod,  C.C.,  Budd, M.  A.,  & McClelland,  D.  C.  (1997). Treatment of somatization in primary care. Journal of Clinical Psychiatry, 19, 251–258.

McCahill. (1995). Focus on the somatoform disorders. Jour-nal Psychological Medicine , 30 (2), 59-66.

McCarron, R. M. (2006). Somatization in the primary care setting. Indian Journal of psychiatry, 6 (23), 32-40.

Mukhayat, T. (2004). Mengembangkan metode belajar yang baik pada anak. Yogyakarta: FMIP UGM.

Moore, D., & Jefferson, J. (1996). Somatoform disorder. In Handbook of medical psychiatry (198-200). New york: Springer

MosMorris,  R.,  &  Petrie,  K.  (1997).  Cognitive  distortions of somatic. Experiences: Revision and validation of a measure. Journal of Psychosomatic, 43 (3), 293-306.

Nevid, S., Rathus, S., & Greene B. (2005).  Psikologi abnor-mal. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 

North, C., Kawasaki, A., Spritznagel, E., & Hong, B. (2004). The  course  of  PTSD,  major  depression,  substance abuse, and somatization after a natural disaster. Jour-nal Nervuoes Mental Disorder, 192, 823-829.

Novita, R. (2011). Cognitive behavioral theraphy untuk me-ngurangi simtom somatisasi. Tesis (tidak diterbitkan).

Malang:  Program  Pascasarjana  Universitas  Muham-madiyah Malang.

Okpala, O., Hopson, L., Chapman, B., & Fort, E.  (2011). Leadership  development  expertise:  A  mixed  method analysis.  Journal of Instructional Psychology, 38 (2), 133-144.

Oemarjoedi, A. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.

Philips,  H.  C.,  &  Rachman,  S.  (1996).  The psychological management of chronic pain: Treatment manual (2 ed.). New York: Springer.

Pastore, N. (1950). A neglected factor in thefrustration ag-gression hypothesis. Journal of Psychology, 29,  271-279.

Poedjawijatna. (1992). Logika filsafat berfikir. Jakarta: PT. Rieneka Cipta.

Redekop, F., Stuart, S., Mertens, C. (1999). Physical “phan-tasies”  and  family  functions: Overcoming  the mind/body dualism in somatization. Family Process, 38 (3), 371.

Rief, W., Hiller, W., & Margraf, J. (1998). Cognitive aspects of hypochondriasis and the somatization syndrome. Journal of Abnormal Psychology, 107, 587-595.

Safaria, T. (2004). Terapi kognitif perilaku untuk anak. Yog-yakarta: Graha Ilmu.

Suryaningrum, C. (2007).Cognitive behavior therapy (terapi kognitif perilaku). Fakultas Psikologi Universitas Mu-hammadiyah Malang.

Stewart,  Louis.  (1992).  Social  and  emotional  adjustment during adolcscence, as related to the development of psychomatic illness in adulthood. Genet Psychology, 11, 65- 175.

Weissman, M., Myers, J.K., & Harding, P. S. (1978). Psychi-atric disorders in a U.S. urban community. American Journal of Psychiatry, 135, 459-462.

Woolfolk, R., & Allen, L. A.  (2007). Treating somatization: A cognitive behavioral approach. Journal of Cognitive Psychotherapy,72, 126-128.

Woolfolk,  R.,  &  Allen,  L.  A.  (2002).  Cognitive  behaviour therapy for Somatoform Disorder. Journal of Cognitive Psychotherapy, 7 (4), 118-135.

 Woolfolk, R., & Allen, L. A. (2010). Affective cognitif beha-viour therapy for somatization disorders. Journal of Cognitive Psychotherapy, 24 (2), 116-119.